Anda di halaman 1dari 5

Ciguatera Fish Poisoning

Kemungkinan yang paling membahayakan dari bentuk racun pada ikan


adalah Ciguatera Fish Poisoning (Ciguatoxic). Ini adalah racun yang bisa berada pada
semua ikan, tetapi mencapai konsentrasi yang paling tinggi pada ikan pemakan segala
yang merupakan struktur rantai makanan tertinggi. Racun ini tidak mengakibatkan apa-apa
pada ikan itu sendiri, tetapi dapat menyebabkan sakit luar biasa atau bahkan kematian
pada manusia atau hewan lainnya. Racun ini diproduksi oleh dinoflasgelata berukuran
kecil yang dinamakan Gambierdiscus toxicus yang hidupnya berkoloni pada permukaan
batu, dermaga, bangkai kapal ataupun pada alga (blades of algae). Organisme ini tertelan
bersama-sama dengan alga berfilamen oleh ikan herbivor yang kemudian ikan herbivor ini
dimangsa oleh ikan predator. Racun ini terakumulasi pada daging ikan terutama pada
hatinya dan organ-organ reproduksinya. Jadi disarankan untuk tidak mengkonsumsi ikan-
ikan karang yang berukuran sangat besar yang melebihi ukuran yang umum ditangkap
nelayan setempat.
Penderita keracunan Ciguatera akan mengalami gejala sakit kepala, muntah-muntah
dan gejala kelainan syaraf seperti rasa gatal hebat serta gemetar di jari tangan maupun
kaki juga ketidakmampuan membedakan panas dan dingin. Keracunan Ciguatera tidak bisa
diobati, gejala akan hilang dalam hitungan hari, minggu, bulan, bahkan bisa tahun,
tergantung ketahanan (sistem imunitas) tubuh penderita terhadap penetrasi dan efek
racun. Beberapa contoh ikan yang mengandung Ciguatoxic:
1. Amber Jacks
2. Black Grouper
3. Blackfin Snapper
4. Cubera Snapper
5. Dog Snapper
6. Great Barracuda
7. Hogfish
8. Horse Eye Eacks
9. King Mackerel
10. Yellowfin Grouper
Beberapa jenis dinoflagellata, terutama yang hidup secara bentik, mampu
menghasilkan senyawa toksik yaitu ciguatoksin yang dapat menyebabkan penyakit
Ciguatera Fish Poisoning (CFP). CFP adalah gejala keracunan yang dialami oleh
manusia maupun hewan mamalia lain, yang umumnya dialami setelah
rnengkonsumsi berbagai macam ikan laut tropis yang berasosiasi dengan terumbu
karang (de Sylva, 1994; Randall, 1958). Gejala dari CFP antara lain mempengaruhi:
sistem gastrointestinal yaitu diare, mual, muntah, dan nyeri perut; sistem syaraf
yaitu inversi panas dingin, sakit otot dan sendi, sensasi seperti tertusuk jarum, mati
rasa pada bibir dan lidah, gatal-gatal, dan hipotensi (Ahmed & Calvert, 1991 dalam
de Sylva, 1994). Ciguatoksin berasal dari jenis-jenis dinoflagellata bentik yaitu
Gambierdiscus toxicus, Ostreopsis lenticularis, O siamesis, Prorocentrum lima, P.
concavum, P. mexicanum, Amphidinium carterae, dan A. klebsii.

Dinoflagellata tersebut tumbuh menempel pada berbagai substrat seperti


makroalga, pecahan karang, dan sedimen (Steidinger & Baden, 1984). Widiarti &
Nirmala (2008, unpublished) pernah menemukan jenis Prorocentrum spp.
menempel pada lamun Enhalus acoroides di perairan Pulau Panggang, Kepulauan
Seribu dengan jumlah individu mencapai 355 sel/10 cm 2 daun lamun. Randall
(1958) menemukan bahwa toksin ciguatera yang diproduksi oleh dinoflagellata
bentik, awalnya dikonsumsi oleh ikan-ikan herbivora atau pemakan detritus yang
kemudian pada akhirnya dikonsumsi oleh ikan karnivora (de Sylva, 1994). Pada
tahun 1991, Ahmed & Calvert juga menyatakan bahwa ikan-ikan yang memakan
makroalga yang ditempeli dinoflagellata tersebut akan menjadi toksik (lihat de
Sylva, 1994).

Toksin torsebut akan terakumulasi dan terbawa melalui rantai makanan, sehingga
ikan predator terbesar dapat menjadi tempat penumpukan toksin terbanyak.
Peningkatan kasus CFP di satu lokasi umumnya dapat disebabkan oleh: peningkatan
suhu permukaan air laut akibat pemanasan global; eutrofikasi oleh aktivitas
rnanusia, perubahan antropogenik seperti pengurukan, pengerukan, dan
pengrusakan terumbu karang (de Sylva, 1994). Kerusakan terumbu karang, yang
sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia (seperti penambatan kapal,
konstruksi, dan pembuangan limbah), berpotensi untuk menyediakan tempat
tumbuh baru bagi bermacam makroalga yang merupakan substrat yeng disukai
oleh dinoflagellata penyebab CFF (de Sylva, 1994). lndonesia terdiri dari ribuan
pulau-pulau kecil yang dikelilingi oleh terumbu karang, seperti halnya Pulau
Belitung. Deerah tersebut telah lama menerima tekanan dari aktivitas manusia,
terutama akibat kegiatan pertambangan dan pariwisata, yang secara langsung
dapat menyebabkan penurunan kondisi terumbu karang di beberapa wilayah
perairan.

Menurut Suharsono (1993), persentase tutupan karang batu di perairan sebelah


barat Pulau Belitung adalah relatif rendah dengan kisaran antara 13 54%. Hal
tersebut menyebabkan timbulnya dugaan bahwa dengan semakin menurunnya
kondisi terumbu karang di perairan Pulau Belitung, maka akan semakin besar
kemungkinan ditemukannya dinoflagellata penyebab CFP di perairan tersebut.
Perairan Pulau Belitung merupakan wilayah perikanan yang potensial. Potensi
sumber daya perikanan laut dengan produksi 5.858 ton per tahun, secara konsisten
menjadi penyumbang ekonomi daerah Belitung (Kantor Statistik Kabupaten
Belitung, 2001). Menurut Adrim dan Yahmantoro (1993), sedikitnya terdapat 29
jenis ikan konsumsi/ pangan yang mendiami perairan karang di Pulau Belitung, yang
didominasi oleh kelompok Lutjanidae, Caesionidae, dan Labridae. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui jenis dan jumlah dinoflagellata bentik penyebab CFP di
perairan Belitung. 18 Widiarti Apabila ditemukan jenis yang berpotensi toksik dalam
jumlah melimpah (blooming), maka ikan-ikan karang di wilayah tersebut perlu
dimonitor dan diwaspadai apakah aman untuk dikonsumsi atau tidak.

Keracunan akibat makan ikan laut kadang muncul di koran Lombok Post ini, salah satunya
diberitakan pada hari Senin 15 Januari 2006 yang lalu. Sebagian korban bahkan meninggal dunia,
dengan puluhan orang harus dirawat. Tetapi penjelasan tentang keracunan ikan ini masih sangat jauh
dari cukup untuk dapat dijadikan pelajaran oleh masyarakat, agar dapat menghindarinya di kemudian
hari. Tulisan ini dimaksudkan untuk menambah penjelasan yang lebih rinci tentang keracunan akibat
mengkonsumsi ikan yang secara ilmiah disebut dengan ciguatera (baca: siguatera).
Ciguatera merupakan kondisi keracunan pada manusia yang diakibatkan oleh konsumsi
hewan laut (ikan). Penyakit ini telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Ciguatera telah sering
terjadi di kawasan tropis dan sub-tropis Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia yang terletak
di antara kedua samudra tersebut merupakan salah satu kawasan yang banyak terjadi ciguatera.
Setiap tahun diperkirakan 10.000-50.000 orang mengalami ciguatera di seluruh dunia. Penyebab
utama ciguatera adalah makanan laut dari ikan bersirip (finfish).

Ikan penyebab ciguatera

Ciguatera sebagian besar diakibatkan oleh senyawa ciguatoxin yang terdapat pada daging
ikan. Ciguatoxin P-CTX-1 merupakan racun yang mematikan. Diperkirakan 90% kematian dari
ciguatera disebabkan racun yang diisolasi dari belut laut (moray eel) ini. Ikan mendapatkan racun
ciguatoxin tersebut dari mikroalga beracun yang dimakan oleh ikan herbivora (pemakan tumbuhan).
Jika ikan herbivora yang tampak sehat ini dimakan oleh ikan karnivora, maka racun ciguatoxin
tersebut terkumpul pada ikan karnivora (pemakan hewan).

Ikan-ikan yang beracun umumnya merupakan ikan-ikan karang yang hidup di dasar, walaupun
ada juga ikan-ikan yang pelagis. Jenis ikan karang yang biasanya tidak beracun, bisa menjadi beracun
setelah terjadinya peledakan populasi alga dinoflagelata. Telah dilaporkan ada 400 jenis ikan yang
potensial dapat berubah menjadi beracun, tetapi angka ini dianggap terlalu berlebihan. Jumlah jenis
ikan beracun dilaporkan sebanyak 10 jenis di Ryuku Island, Jepang. Di Hawaii, dari 172 kasus
ciguatera dalam dua tahun diidentifikasi sebanyak 16 jenis ikan yang beracun.

Ikan belut laut dan kerapu karang (Plectropomus spp.) merupakan jenis ikan yang banyak
terkait dengan ciguatera, terutama di barat daya Samudra Hindia. Di Amerika jenis ikan yang banyak
terkait dengan ciguatera adalah kerapu sunu (Epinephelus spp.). Di Australia, ikan-ikan yang dikenal
dapat beracun meliputi tenggiri (Scomberomorus commersoni), kerapu (Plectropomus dan
Epinephelus), barakuda (Sphyraena jello), kakap merah (Lutjanus sebae), dan kuwe (Caranx spp.).
Tingkat keracunan dari ikan bervariasi dari musim ke musim, dari satu lokasi ke lokasi lain, dan dari
satu spesies ke spesies lainnya. Suatu jenis ikan yang beracun di suatu kawasan, dapat tidak beracun
di kawasan di sebelahnya. Kawasan yang aman dari ciguatera dapat berubah memproduksi ikan-ikan
yang beracun suatu waktu, dan kembali lagi aman pada waktu berikutnya. Ikan yang mengandung
ciguatoxin memiliki ciri fisik, rasa dan bau yang normal, sehingga sulit diidentifikasi. Tetapi jika
konsentrasi racun di dalam ikan terlalu tinggi dapat menyebabkan ikan berperilaku aneh sehingga
mudah ditangkap. Bahkan ciguatoxin di tubuh ikan dapat menyebabkan kematian ikan itu sendiri.
Karena itu, ikan yang sangat mudah tertangkap nelayan, tidak seperti biasanya, perlu dicurigai
sebagai ikan yang mengandung ciguatoxin.
Sumber dari ciguatoxin di daging ikan berasal dari mikroalga yang dimakannya. Sekarang
telah dikenal 30 jenis mikroalga yang menghasilkan senyawa bioaktif, termasuk ciguatoxin. Sebagian
peneliti percaya bahwa ciguatera tidak hanya disebabkan oleh satu racun (toxin) saja, melainkan
kombinasi dari sejumlah toxin dan metabolit lainnya yang dihasilkan oleh satu atau banyak jenis
dinoflagelata. Walaupun demikian, mikroalga Gambierdiscus toxicus yang menghasilkan gambiertoxin
merupakan dinoflagelata yang paling penting.

Tanda-tanda ciguateraSindrom klinis ciguatera bermacam-macam, tergantung jenis dan


jumlah toxin yang terkonsumsi dan kerentanan individu penderita. Waktu terjadinya sakit juga sangat
bervariasi tergantung pada dosis. Walaupun demikian, biasanya keluhan ciguatera terjadi 1-6 jam
setelah masuknya makanan beracun tersebut, 90% kasus terjadi dalam periode 12 jam.
Pada umumnya, penderita ciguatera ditandai dengan muntah yang parah, diare dan sakit perut, dalam
beberapa jam setelah makan ikan beracun. Jika gejala sakit perut (gastrointestinal) ini tidak terjadi,
biasanya gejala yang muncul adalah rasa gatal, gerak yang lamban atau rasa terbakar di kulit. Gejala
yang lebih khusus dari ciguatera adalah rasa gatal yang sakit dan parah, rasa panas atau terbakar,
dan rasa seperti terkena strum listrik. Kadangkala gejala ini disertai dengan rasa sakit di sendi, tangan
dan kaki, serta kram otot. Perasaan kehilangan gigi juga merupakan gejala yang umum terjadi pada
penderita ciguatera. Sejumlah penderita menunjukkan pengindraan suhu yang terbalik, benda panas
terasa dingin sedangkan benda dingin terasa panas.

Gejala yang ditimbulkan ciguatera dapat hilang dalam beberapa hari, dapat juga tetap
terasa hingga berbulan-bulan. Gejala sakit ciguatera dapat muncul kembali jika korban makan ikan
yang mengandung ciguatoxin kembali, atau mengkonsumsi minuman beralkohol. Ikan herbivor yang
beracun biasanya menyebabkan gangguan (sakit) pada system pencernaan dan syaraf. Ikan karnivor
yang beracun dapat menyebabkan sakit yang lebih luas, termasuk gangguan peredaran darah dan
jantung.

Penyebab produksi ciguatoxin Para ahli telah menduga setidaknya tiga faktor sebagai
penyebab diproduksinya ciguatoxin.

a) Pemutihan dan kematian karang.


Sejumlah bukti menunjukkan bahwa permukaan karang yang ditutupi oleh alga filamentous
dan makroalga berkapur merupakan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan mikroalga beracun G.
toxicus. Pemutihan dan kematian karang sekarang terjadi dimana-mana, dan kejadian ciguatera lebih
sering terjadi terutama di kawasan yang terumbu karangnya rusak.
Ikan beracun biasanya ditemukan di kawasan perairan suatu pulau yang menghadap arah
angin.

b) Asosiasi dengan alga merah dan bakteri.


Sejumlah peneliti melaporkan adanya hubungan antara populasi mikroalga beracun G. toxicus dengan
makro alga dan bakteri. Di Hawai, populasi G. toxicus paling banyak ditemukan berasosiasi dengan
alga merah Spyridia filamentosa. disamping itu, G. toxicus juga berasosiasi dengan makro alga lain
yang tidak dimakan manusia, misalnya Turbinaria
dan Sargasum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri mempengaruhi jenis toxin yang
dihasilkan oleh dinoflagellata. Diduga bahwa bakteri menghasilkan nutrien yang diasimilasikan oleh
dinoflagelata untuk memproduksi ciguatoxin.
c) Pengaruh lingkungan.
Jumlah bakteri di air laut banyak dipengaruhi oleh bahan pencemar yang dihasilkan oleh manusia,
misalnya nutrien dari pertanian, banjir sungai, dan limbah kota. Dilaporkan terdapat korelasi yang
signifikan antara jumlah dinoflagelata G. toxicus dengan NO2, NO3,
NH4, PO4 dan total posfat.
Bagaimana cara menghindari ciguatera?
Penyuluhan terhadap masyarakat tentang ciguatera sangat dibutuhkan untuk menghindari terulangnya
keracunan masal karena ciguatera. Masyarakat membutuhkan informasi yang dapat dipercaya dari
lembaga yang memiliki otoritas untuk menjelaskan hal ini, misalnya Dinas Perikanan dan Kelautan dan
Dinas Kesehatan.
Peneliti ciguatera telah membuat daftar cara untuk menghindari ciguatera secara individu yaitu
sebagai berikut:
a) Hindari ikan karang (dasar) di air yang hangat, khususnya yang sudah dikenal pernah beracun, dan
hindari ikan pelagis (atas) yang makan ikan tersebut, terutama di kawasan yang mempunyai sejarah
ciguatera.
b) Hindari semua jenis ikan yang berasal dari lokasi-lokasi yang menjadi sumber ciguatera.
c) Hindari konsumsi belut laut, kecuali yang ditangkap dari lokasi yang tidak memiliki sejarah
ciguatera.
d) Hindari mengkonsumsi ikan, daging dan jerohan dari ikan yang berpotensi menyebabkan ciguatera.
e) Hanya konsumsi sedikit ikan (<50 gram) dalam sekali duduk makan.
Untuk mendukung upaya masyarakat dalam menghindari ciguatera, pemerintah daerah perlu
melakukan penyuluhan pada masyarakat dan pemetaan lokasi-lokasi yang pernah memiliki sejarah
sebagai sumber ciguatera. Peneliti dari universitas atau lembaga penelitian perlu mengkaji pola-pola
kemunculan ciguatera sehingga masyarakat dapat melakukan antisipasi sedini mungkin. Setiap
musibah adalah sebuah pelajaran berharga bagi orangorang
yang mau berfikir.

Anda mungkin juga menyukai