Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus. Serviks
uterus adalah suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu
masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dan liang senggama
(vagina). Lokasi spesifik dari kanker leher rahim ini ada pada daerah perubahan
epitel skuamous menjadi epitel kolumnar atau squamous columnar junction dari
leher rahim. (Gondhowiarjo dan Sekarutami, 2004).
Secara global, setiap tahun diperkirakan terjadi kasus baru penderita
kanker leher rahim sebanyak 493.243 jiwa dan kematian karena kanker ini
sebanyak 273.505 jiwa per tahun. Di Indonesia, kanker leher rahim menempati
urutan pertama dari seluruh penyakit karena kanker, kurang lebih sebanyak 36%.
Komite Penanggulangan Kanker Nasional memperkirakan insiden minimum
kanker di Indonesia sebesar 52 juta perempuan yang terancam dengan kanker
leher rahim dari total 220 juta penduduk Indonesia saat ini. Masalahnya adalah
penduduk yang beresiko menderita kanker leher rahim karena kontak seksual
yang dini dan berganti-ganti pasangan seksual serta hygiene organ genitalia
yang rendah dapat meningkatkan kejadian kanker leher rahim sejalan dengan
bertambahnya jumlah penduduk, sedangkan anggaran pemerintah yang tersedia
untuk penderita kanker leher rahim hanya sekitar 5 persen dari seluruh
sumberdana yang digunakan untuk penyakit kanker secara global. Penyakit ini
biasanya terdiagnosa sangat terlambat dan terapi pilihan terbaru berupa operasi,
radiasi dan kemoterapi atau kombinasi dari modalitas terapi ini yang terbatas
pada rumah sakit tertentu, sehingga mengakibatkan kematian yang
meninggalkan dampak ekonomi dan sosial bagi keluarga pasien. (Wilopo,
2010; WHO, 2007).
Infeksi persisten HPV (Human Papilloma Virus) bertanggung jawab
terhadap terjadinya kanker leher rahim dan berbagai kanker lainnya, seperti
penis, anal, dan saluran pernafasan. Infeksi HPV tidak mudah diobati, akan
tetapi infeksi HPV biasanya sebagian besar akan menghilang dengan sendirinya.
Meskipun HPV memiliki berbagai jenis, namun tipe HPV-16 dan HPV-18
mendominasi penyebab kanker leher rahim, yaitu bertanggung jawab lebih dari

1
2

70 persen dari seluruh kasus. (Wilopo, 2010; Sperof, 2005)


Infeksi HPV ini akan mengaktifkan sistem imun yang ada pada lendir
serviks yang mengandung imunoglobulin dan merupakan bagian dari mekanisme
pertahanan imun lokal. Imunoglobulin servikal (Ig) merupakan kombinasi
transudat dan produksi jaringan setempat. IgA merupakan imunoglobulin utama
yang terdapat dalam sekresi lendir serviks. IgA sekretori merupakan produk dari
dua sel yang berbeda yaitu sel plasma dan sel epitelial. Apabila ada kerusakan
pada mukosa serviks akan menyebabkan kadar IgA dalam lendir serviks
menurun, sehingga imunitas saluran reproduksi akan menurun dan menjadi
rentan terhadap infeksi. Sedangkan menurut Saltzman dkk (1994) Adanya
kerusakan pada mukosa lendir serviks akan meningkatkan produksi antibodi
sebagai mekanisme pertahanan lokal untuk menghalangi masuknya kuman
dalam organ genitalia interna sehingga kadar Ig A dalam lendir serviks
meningkat. (Wang dkk, 1996; Saltzman dkk, 1994). Lendir ini mengandung
antibodi yang disekresikan oleh sel-sel epithelial pada serviks. Antibodi ini
berfungsi sebagai zat pelindung terhadap infeksi yang spesifik dengan cara
menjebak dan membuat zat patogen menjadi tidak bergerak dalam kanalis
servikalis serta menghambat kemampuan patogenitas agen infeksi untuk
merusak sel target. (Saltzman dkk, 1994; Lehtinen dkk,1992).
Peranan imunologi dari lendir serviks sangat menentukan prognosa dari
kanker leher rahim. Adanya peningkatan insiden, angka morbiditas, dan
mortalitas yang disebabkan oleh kanker leher rahim serta berbagai macam
pendapat yang saling bertentangan terhadap peranan imunologi lendir serviks
terhadap kejadian kanker leher rahim menyebabkan penulis tertarik untuk
membahas tinjauan pustaka tentang fisiologi lendir serviks lebih lanjut.
Adapun tujuan dari penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk
meningkatkan pengetahuan tentang fisiologi lendir serviks sehingga dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penatalaksanaan kasus infeksi,
onkologi dan reproduksi pada genitalia wanita terutama dalam lingkup obstetrik
ginekologi.
BAB II
FISIOLOGI LENDIR SERVIKS

2.1 Definisi Lendir Serviks


Lendir serviks adalah zat seperti jelly yang memiliki struktur kompleks dan
heterogen. Lendir serviks diproduksi oleh kelenjar kecil di serviks yang disebut
sebagai crypts serviks yang dapat mencegah bakteri masuk ke rongga rahim.
(Odeblad, 1994 ; Speroff, 2005)

Gambar 1. Struktur molekur dari lendir serviks. I, ionic bond;P, peptide bond;H,
hydrogen bonding;D, disulfide linkage; V, van der Waals bonding; E,
entanglement of mucus molecules.
Ikatan peptida ini menghubungkan molekul musin melalui jembatan-
jembatan disulfida (S-S), lalu membentuk misel-misel musin dari 100 hingga
1.000 rantai glikoprotein. Pengaruh Estrogen dan Progesteron ikatan antar
molekul sehingga dapat juga mempengaruhi berat molekul lendir serviks
pada masing-masing fase dalam siklus menstruasi

Lendir servikal diproduksi oleh aktivitas biosintesis sel-sel sekretori


serviks dan mengandung tiga komponen penting: (1) molekul mukus; (2) air; (3)
senyawa kimia dan biokimia (NaCl, rantai protein, enzim, dsb) seperti pada
Gambar 1. Molekul-molekul mukus memiliki dua sifat penting yaitu: (a) mereka
dapat berikatan bersamaan untuk membuat polimer atau jaringan tiga dimensi
yang lebih besar (contohnya: gel); (b) karena mereka terdapat glikoprotein maka

3
4

kandungan mereka dapat sangat beragam. Dengan demikian tipe-tipe mukus


yang berbeda dihasilkan, sebagai contohnya: G, L, S, P, dan F, yang membentuk
jaringan yang berbeda atau gel. Juga, substansi-substansi lainnya, ion-ion, rantai
protein, dan enzim-enzim dapat merubah interaksi molekul mukus dan, sebagai
konsekuensinya, dapat merubah juga sifat biofisikanya. Berat molekuler dari
mukus sekitar 70.000 dalton, dan dipercaya bahwa berat molekul gel dapat
mencapai beberapa juta dalton. Struktur umum gel ditampilkan pada Gambar 2.
Karena struktur-struktur ini mukus bukan merupakan cairan yang normal dan
viskositasnya tidak dapat diukur dengan menggunakan teknik aliran cairan, maka
diperlukan metode pengukuran lainnya, mungkin dapat menggunakan teknik
NMR (Nuclear Magnetic Resonance) yang tidak melibatkan aliran, tetapi
memakai pergerakan suhu molekul dalam cairan. (Odeblad, 1994).
Seperti layaknya glikoprotein yang disekresikan, sel-sel memproduksi
glikoprotein membranous yang terikat dengan membran sel. Glikoprotein ini
memungkinkan untuk identifikasi imunologis pada sel. Produk serupa adalah
substansi yang terletak pada membran basal yang mungkin disekresikan oleh
sel-sel membran mukus, juga molekul-molekul adhesi sel. Terdapat tiga
kelompok sel pada membran mukus serviks: (1) sel sekretori silindris (mayoritas);
(2) sel-sel bersilia silindris; (3) sel-sel “reserve”. Asal sel-sel sekretori diketahui
tapi cara perkembangan dari dua kelompok sel lainnya masih belum diketahui.
Sel-sel membran mukus lepas secara perlahan dan digantikan dengan mukus.
Sel-sel baru dibentuk untuk menggantikan mereka. (Odeblad, 1994).
Kelenjar endoserviks berbentuk seperti celah yang merupakan invaginasi
yang dalam dari epitel permukaan dengan akhiran tubulus yang keluar dari
celah-celah. Sel-sel epitel yang membentuk kelenjar-kelenjar ini memproduksi
lendir. Terdapat beberapa ratus unit pembentuk lendir dalam kanalis serviks.
Produksi harian bervariasi dan berhubungan dengan perubahan siklus
menstruasi, bervariasi antara 600 ml pada waktu pertengahan siklus hingga 20-
60 ml selama periode lain dalam siklus menstruasi. (Odeblad, 1994).
Lendir serviks merupakan sekresi campuran heterogen yang memiliki
tingkat produksi bergantung pada beberapa faktor. Termasuk di dalamnya adalah
jumlah unit pembentuk lendir dalam sebuah kanalis serviks, persentase sel
pembentuk lendir per unit dan aktivitas sekretori dan respon sel terhadap
hormon-hormon yang bersirkulasi. (Odeblad, 1994).
5

Berdasarkan studi resonansi magnetik nuklir, Odeblad (1968a) (Gambar


2) mengemukakan model teori organisasi ruang infrastruktur lendir serviks. Dia
melaporkan bahwa fase glikoprotein solid terbentuk sebagai jaringan fibril yang
saling terhubung dengan ikatan yang oblique atau melintang, dalam sebuah
‘sususan makromolekular menyerupai tricot’. Pada pertengahan siklus, rantai
glukoprotein yang membentuk kerangka hidrogel mukoid membuat dirinya
membentuk fibril-fibril yang berupa jaring-jaring, dengan lubang sekitar 3 µm,
yang cukup besar untuk dilalui spermatozoa. Fase akueous viskositas rendah
atau plasma servikal menempati ruang antar struktur misel. Namun, di luar
pertengahan siklus, misel fibriler jarang terdapat, dan dengan demikian
susunannya lebih bersifat padat, dengan lubang sekitar 0,3 µm, membuat hal ini
menjadi barrier yang efektif terhadap spermatozoa, karena diameter kepala
sperma berkisar 2,5 µm. Model teori ini membenarkan beberapa penelitian yang
menggunakan scanning mikroskop elektron ataupun teknik rheologi. Perubahan
alami siklik ini mengesankan bahwa mereka di bawah pengaruh hormonal, dan
tampaknya berpengaruh terhadap penerimaan dan penolakan lendir terhadap
sperma pada berbagai fase dalam siklus menstruasi. (Jordan, 2006)

Gambar 2. Gambar skematik struktur gel untuk beberapa tipe lendir serviks. Pada tipe
E, makromolekul berbentuk benang tersusun bersamaan dalam serabut
paralel yang panjang, atau misel, dengan ruang di antara mereka yang
terisi dengan plasma servikal. Spermatozoa dapat dengan mudah
berenang di antara ruang-ruang ini. Pada tipe H, misel menjadi lebih
pendek, dan hubungan antara misel satu dengan yang lain rusak sehingga
tak terdapat susunan yang paralel lagi. Pada tipe G, tidak terdapat formasi
misel, tetapi makromolekul panjang membentuk jaringan yang besar, tiga
dimensi, irreguler, dan padat (dengan rata-rata lubang 0,3 µm) yang tidak
memungkinkan spermatozoa untuk melewatinya. Pada tipe R, juga
terdapat jaringan yang irreguler tetapi dengan ukuran lubang yang lebih
besar (dengan rata-rata lubang 0,5 µm), namun, cukup sempit untuk
mencegah pergerakan sperma. Dari Odeblad dan Rudolfson-Asberg
(1973)
6

Di lain pihak, Lee dkk (1997) menyangkal model teori di atas


berdasarkan studi lendir serviks dengan menggunakan teknik penyebaran sinar
laser. Jordan (2006) mengemukakan model lendir serviks yang terdiri dari
‘bentukan makromolekul yang berbentuk gulungan yang kusut’ daripada jaringan
makromolekuler fibriler. Sebagai tambahan, ia juga meragukan validitas data
yang dihasilkan oleh resonansi magnetik nuklir atau scanning dengan
menggunakan mikroskop elektron, yang dianggap banyak terdapat artifaknya.
Data-data mereka berlawanan dengan hasil sebenarnya yang diperoleh dari
hidrogel dan makromolekul yang berbentuk benang-benang kusut (De Gennes,
1976; Gould dkk, 1976; Adam dan Delsanti, 1977a,b). Ketidaksesuaian ini
membuat pentingnya studi sistematik lendir serviks manusia oleh Volochine dkk
(1988). Menggunakan analisa korelasi dan spektrum penyebaran sinar laser
proton, telah dapat ditunjukkan bahwa lendir serviks merupakan hidrogel non-
Newtonian dengan jaring-jaring yang berlubang dengan ukuran yang besar
(~5µm), dengan demikian membenarkan model teori struktur hidrogel. Mereka
juga setuju dengan studi-studi mekanik luas yang sudah ada sebelumnya
tentang lendir serviks yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya (Litt dkk,
1976).
Hubungan cabang dan hubungan silang antara misel terjadi dan
membuat formasi struktur gel jaringan. Ruang antar misel mempunyai peran
penting dalam migrasi sperma. Saluran atau ruang tersebut digolongkan ke
dalam tiga tipe. Tipe-tipe tersebut adalah: (1) DT, langsung, ruang penghantar
sperma, dengan lebar 2-5 µm (biasanya lendir tipe E s; lihat di bawah); (2) DN,
langsung tapi bukan ruang penghantar sperma, dengan lebar 1-2 µm (biasanya
lendir tipe Ei); dan (3) NO, ruang tanpa arah dan tanpa kemampuan untuk
menghantarkan sperma, ruang ini memiliki lebar 0,3-1 µm (lendir tipe G). penting
untuk diketahui bahwa molekuler yang merangkai seperti misel merupakan
struktur yang dinamik, bergetar, dan mempunyai bentuk yang bervariasi. Sebagai
akibatnya, ruang antar misel juga memiliki ukuran yang beragam.(Litt dkk,1976 ;
Jordan, 2006)

2.2 Komposisi Lendir Serviks


Lendir yang ditemukan pada serviks uterus pada dasarnya terdiri dari
sekresi membran lendir serviks dan kelenjar serviks. Selain itu lendir ini juga
7

berisi berbagai jumlah debris sel dari mukosa serviks dan kadang-kadang
campuran sekresi endometrial. Kadang tidak mungkin untuk menentukan
dengan pasti asal dari bahan kimia yang ada di lendir. Hal ini terutama terjadi
pada kasus dimana bahan-bahannya tidak teratur dan atau hanya jumlah kecil.
(Werner, 1953; Moghissi,1962).
Bahan-bahan penyusun yang diketahui antara lain:
1. Air: sekresi lendir umumnya berisi lebih dari 90% air.
2. Garam inorganik, sekitar 1%. Hampir semuanya natrium klorida tapi ion-
ion lain seperti kalsium, fosfat, sulfat dalam jumlah “traces” dapat
ditemukan.
3. Sejumlah kecil bahan-bahan organik molekul rendah seperti asam amino
bebas, glukosa, dan maltose, serta beberapa material lemak.
4. Substansi organik molekul tinggi: kadang didapatkan sejumlah kecil
glikogen. Sejumlah protein “biasa” selalu muncul, biasanya 0,5-3% dan
terutama dari tipe albumin. Bagian terbesar dari material padat, akan
tetapi, dibentuk oleh glikoprotein, normalnya 1-6%. Karakter sekresi lendir
spesifik terutama karena glikoprotein ini (Werner, 1953; Moghisi, 1962).

Glikoprotein yang didapatkan pada sekresi serviks sama jenisnya dengan


yang ditemukan di lendir epitelial yang berasal dari tempat lain, misalnya tipe
predominan adalah fucomucin dan sialomucin. Bahan-bahan ini sering memiliki
berat molekul lebih dari 1.000.000 dan juga membentuk solusi viskous yang
tinggi atau jel semisolid. Fucomucin, yang merupakan antigen grup darah,
memiliki tanda khas yaitu berisi bagian prostetik hexosamine, D-galactose dan L-
fucose. Sialomucin berisi hexosamine dan sialic acid. Hexosamine dapat dalam
tipe bahan glucosamine (2-amino-D-glucose) atau chondrosamine (2-amino-D-
galactose) atau keduanya. Karbohidrat-karbohidrat ini ditemukan secara
bervariasi ditemukan di hidrolisat lendir serviks, biasanya kira-kira dalam proporsi
hexoamine 3,5, sialic acid 2, galaktosa 2, dan fucose 1 (Tabel 1). Mannose
dalam jumlah “trace” juga ditemukan, mungkin diturunkan dari protein “biasa”
yang disebutkan di atas. Sebagai tambahan dari gula dan turunan gula juga ada
bagian peptida berisi semua asam amino yang biasa (Werner, 1953;
Moghisi,1962).
8

Tabel 1. Komposisi dalam Lendir Serviks yang Diekstrak dari Lemak Secara Non
Dialyzable (Werner, 1953)

Contents in per cent of dry weight


Material Nitroge Hexosamin Sialic
Fucose Galactose
n e cid
Non-pregnant
12,1 5,8 1,5 4,2 3,7
cervical mucus
Mucus plugs of
8,6 17,2 4,8 10,5 10,5
pregnancy

Penelitian autoradiografi pada hewan dengan sulfat berlabel S35


menunjukkan bahwa ada konsentrasi sulfat di epitel serviks dan mucus. Sisa
sulfat tidak dapat dideteksi dengan metode kimia. Meskipun akhirnya ini tidak
terbukti ada pada asam uronic. Hal itu tidak dapat di benarkan ada pada asam
mucoitinsulpuric. Jika kelompok sulfat terikat pada karbohidrat, tidak dapat
dibuktikan, nampak lebih banyak berasal dari kerato sulfat dalam jumlah kecil,
yaitu suatu polisakarida sulfat yang disusun oleh galaktosa dan glukosamin.
(Werner, 1953).
Sementara komposisi kualitatif pada sekresi servikal pada dasarnya
tetap, banyak terdapat variasi kuantitatif pada produksi lendir serviks. Dalam
siklus ovulasi fase sekresi (estrogen) terdapat suatu larutan yang sangat kental
dengan berat kering kurang dari 5 persen. Konsentrasi sodium klorida secara
kasarnya isotonik dengan darah dan semen serta mengalami fase sekresi yang
maksimal. Jumlah glikogen juga tinggi dalam fase ini. (Werner, 1953).
Pada fase anovulatori (progesteron) nilai sekresi sangat rendah. Disini
mukosa membentuk suatu gumpalan semifluid suspensi dalam gel yang merekat.
Sifat cairan sering tidak jelas dan sekresi memberi pengaruh pada plug, disebut
dengan Kristeller’s plug. Konsentrasi sodium klorida biasanya nilainya meningkat
1,10-1,20 persen dan pada sekresi ini bersifat hipertonik pada darah dan semen.
(Werner, 1953).

2.2.1 Unsur Pokok Lendir Serviks


Lendir serviks merupakan hidrogel yang terdiri dari komponen dengan
berat molekul rendah (plasma servikal) dan komponen dengan berat molekul
tinggi (fase gel). Komponen dengan viskositas rendah terutama terdiri dari
elektrolit, komponen organik dari berat molekul rendah seperti asam amino dan
9

glukosa, dan protein yang solubel. Fase gel terdiri dari jaringan glikoprotein
makromolekuler yang dinamakan musin. Musin yang sangat besar dengan
kandungan karbohidrat yang tinggi bertanggung jawab terhadap tingginya
viskositas lendir serviks. (Schumacher, 1977).
Lendir serviks terdiri lebih kurang 90% air. pada fase pre dan post
ovulatori, lendir serviks normalnya mengandung sekitar 93%, sementara pada
pertengahan siklus dapat meningkat setinggi 98%. Tergantung pada viskositas
dan kandungan air, lendir serviks berfungsi sebagai barrier atau bahkan medium
transportasi spermatozoa. Abnormalitas kandungan lendir dapat menyebabkan
subfertility (dinamakan faktor servikal). (Schumacher, 1977).

2.2.1.1 Musin
Dalam sebuah studi tentang komposisi dan kandungan lendir serviks
menggunakan elektroforesa gel agar, Moghissi dkk. (1962) berhasil
mengidentifikasi pita-pita protein dan zona yang tidak dilewati migrasi sperma.
Zona yang tidak dilewati dalam migrasi sperma ini diperkirakan mencapai 43%
dari keseluruhan material yang terwarnai. Jordan (2006) mengemukakan bahwa
area ini, dapat diwarnai dengan pewarnaan PAS (Periodic Acid-Schiff), mungkin
faktor yang kaya dengan karbohidrat, musin, yang memberikan ciri khas pada
lendir serviks. Lebih jauh, Neuhaus dan Moghissi (1962), pada studi
pendahuluan komponen mukoid pada lendir serviks, mengamati efek tripsin dan
kemotripsin pada keseluruhan lendir serviks dan pada material yang tidak dapat
dilewati sperma yaitu yang PAS positif. Proteolisis menyebabkan pembentukan
komponen migrasi PAS positif, menghilangnya elastisitas dan kelengketan dan
eliminasi kemampuan presipitasi dengan cetyltrimethylammonium bromide.
Perbandingan dari saliva, lendir saliva yang telah dimurnikan, orosomukoid,
cairan sendi dan kondroitin sulfat. Jordan (2006) menyimpulkan bahwa
komponen yang kaya dengan karbohidrat, yang berikutnya disebut dengan
musin, dari lendir serviks merupakan sebuah glikoprotein, atau mukoid, dan
bukan mukopolisakarida. Hal yang sama juga dikemukakan lebih dulu oleh
Werner (1953), yang juga mengemukakan bahwa glikoprotein merupakan tipe
fukose dan asam sialat dan bertanggung jawab untuk memberikan suatu ciri
tertentu.
10

Unsur dasar dan kandungan biokimia dari musin


Telah dipercaya luas bahwa kandungan biologis dan rheologis dari gel
lendir serviks tergantung dari glikoprotein lendir serviks yaitu musin. Keragaman
dari rheologi lendir serviks dapat diamati selama siklus menstruasi normal.
Estrogen menstimulasi produksi lendir isotonik dan tipis yang mengandung
glikoprotein dengan berat molekul tinggi yang jumlahnya meningkat (yang mana
paling tinggi pada pertengahan siklus), sementara dominansi progesteron akan
menyebabkan lendir yang kental dan relatif kering. Dengan demikian, kandungan
fisika dan fisiologis dari lendir serviks merefleksikan perubahan komposisi
makromolekuler atau konsentrasi komponen-komponennya selama siklus
menstruasi. Peneliti yang berlainan telah mengemukakan bahwa jaringan musin
dipertahankan oleh peptida dengan berat ~30 kDa. Peptida ini menghubungkan
molekul musin melalui jembatan-jembatan disulfida (S-S), lalu membentuk misel-
misel musin dari 100 hingga 1.000 rantai glikoprotein. Hubungan micro-appears
ini relatif mudah hancur karena kemampuannya diganggu oleh sifat fisikanya
yang viskositasnya yang rendah. Struktur yang berbentuk seperti kawat dari
musin dikatakan dihasilkan oleh sifat fisika seperti bentukan spinnbarkeit dan
birefringence ketika lendir serviks diregangkan. Di antara jaringan musin terdapat
plasma serviks, yang terdiri dari senyawa organik dan protein yang dapat dapat
larut. Jarak antara kedua glikoprotein bervariasi tergantung dari fase dalam siklus
menstruasinya. (Moghissi dkk, 1962).
Adanya kelompok yang sangat berbeban negatif pada rantai-rantai sisi
oligosakarida dari molekul-molekul glikoprotein, seperti asam sialat terminal,
mungkin berkaitan dalam integritas struktur musin. Daunter dkk (1977)
menunjukkan bahwa 90% tembaga terdapat pada lendir serviks berkaitan
dengan musin. Pigman dan Horton (1970) melaporkan bahwa asam sialat
separuh dari glikoprotein-glikoprotein mungkin berikatan dengan tembaga
dengan cara yang mirip dengan kalsium oleh asam sialat separuh dari musin
saliva. Dengan demikian, prosesnya mungkin menghubungkan glikoprotein yang
satu dengan lainnya melalui kelompok asam karboksilat dari asam sialat (COO —
Cu2+--OOC) untuk membentuk ‘serat’, yang kemudian berasosiasi dengan ikatan
hidrogen untuk membentuk musin. (Jordan, 2006).
11

Kuantifikasi musin
Analisa dari musin monyet menunjukkan perubahan dalam struktur
oligosakarida bergantung dari fase siklus menstruasi. Selama beberapa dekade,
asam sialat yang mengandung musin servikal manusia telah banyak dipelajari.
Laporan-laporannya berkaitan dengan keragaman asam sialat atau karbohidrat
lainnya selama siklus menstruasi kadang-kadang saling berlawanan (Van Kooji
dkk, 1980; Meyer dkk, 1975; Moghissi dan Syner, 1976; Guslandi, 1981;
Chantler, 1982). Fleetwood dkk (1986) mengemukakan bahwa pertentangan itu
mungkin dikarenakan tidak adanya penghitungan perubahan konsentrasi seperti
jumlah keseluruhan. Dalam sebuah analisa yang melibatkan kuantifikasi musin
servikal manusia selama beberapa hari yang berurutan dan per jam dalam 1 hari
pada pertengahan siklus, Fleetwood dkk (1986) menunjukkan bahwa
konsentrasi musin sangat bervariasi selama pertengahan siklus. Penurunannya
dikaitkan dengan LH (Luteinizing Hormone) yang kadarnya mencapai puncak
diikuti dengan peningkatan pada akhir pertengahan siklus. Penurunan musin
dikaitkan dengan mungkin: (1) peningkatan air; (2) penurunan jumlah musin; atau
(3) peningkatan baik air maupun musin namun dengan peningkatan air yang
lebih menonjol. Dengan demikian, hubungan antara kadar serum estradiol dan
jumlah musin yang disekresikan pada hari siklus LH-1 (hari LH mencapai
puncak) setuju dengan konsep bahwa estradiol menstimulasi sekresi musin.
Pada studi yang sama, ditunjukkan bahwa sampling lendir berulang-ulang
menyebabkan penurunan signifikan jumlah keseluruhan musin pulih selama
pengumpulan sampel berulang. Konsentrasi musin tidak dipengaruhi, seperti
musin dan air yang dibuang dengan jumlah yang sama.

2.2.1.2 Plasma servikal


Komponen dengan berat molekul rendah (plasma servikal) merupakan
komponen lendir serviks yang dapat larut. Plasma servikal terdiri dari garam
anorganik, trace element, senyawa organik dengan berat molekul rendah dan
protein yang dapat larut. Kandungan protein lendir serviks diperkirakan 0,5%
hingga 3%, dengan kandungan nitrogen keseluruhan mencapai sekitar 12%.
Protein yang dapat larut merupakan sekitar 30% material yang tidak dapat
didialisis yang beredar selama fase aqueous gel lendir serviks. Produksi jaringan
lokal dan serum merupakan sumber protein yang dapat larut. (Moghissi, 1962).
12

Protein serum terdapat pada lendir serviks mungkin merupakan akibat


dari permeabilitas kapiler. Dalam sebuah naskah dari pemeriksaan elektroforesa
lendir serviks yang normal, hamil, dan pasien kanker, Spencer dkk (1957)
menemukan dua pita utama, yaitu yang tidak dapat dilewati sperma dan yang
difus. Pita yang tidak dapat dilalui sperma diidentifikasi terdiri dari polisakarida
yang tidak dapat larut dan debris-debris sel, dan albumin disertai dengan
globulin. Tidak ada ujung yang diidentifikasi dengan protein serum yang
biasanya. Jordan (2006) menduga bahwa keberadaan albumin dapat
mengindikasikan beberapa keadaan patologis pada saluran genital. Namun, sifat
kental dari lendir serviks membuat pertanyaan dari studi dengan elektroforesa.
Naskah selanjutnya oleh Moghissi dkk (1962) menggunakan studi
imunoelektroforesa untuk menunjukkan keberadaan albumin, gamma-globulin,
dan zona yang dapat dilewati migrasi sperma (mirip dengan alfa dan beta
globulin) dan zona yang tidak dapat dilalui migrasi sperna. Zona yang tidak dapat
dilewati migrasi sperma merupakan 43% dari keseluruhan material yang dapat
diwarnai. Tidak terdapat konsentrasi yang tinggi dari material aktif secara
imunologis serupa dengan yang dikatakan sebagai fraksi yang non-migrasi. Oleh
karena itu, diduga bahwa fraksi non-migrasi bukan merupakan fraksi protein yang
berasal dari serum. Lebih lanjut, fakta bahwa fraksi non-migrasi dapat diwarnai
dengan PAS (PAS positif) mungkin merupakan faktor yang mengandung
karbohidrat, musin, yang membuat sifat khas dari lendir serviks. (Moghissi dkk,
1962).

Protein lendir serviks manusia


Rohr dkk (1999) pertama kali melakukan evaluasi komprehensif inisial
dari molekul-molekul yang lebih kecil dari lendir dalam keadaan aslinya
menggunakan spektroskopi resonansi magnetik nuklir resolusi tinggi. Terbukti
bahwa metode ini merupakan metode baru yang berharga untuk analisa biokimia
lendir serviks manusia. Akhir-akhir ini, Sahrbacher dkk (2002) menggunakan
spektroskopi resonansi magnetik proton resolusi tinggi untuk mempelajari lendir
serviks fase folikuler akhir dari sekelompok wanita infertil yang diterapi dengan
estrogen oral untuk mengukur pengaruh hormonal pada kandungan lendir. Dari
20 asam amino yang dikenal, 13 di antaranya diamati. Diduga bahwa 7 asam
amino lainnya mungkin terdapat pada konsentrasi di bawah batas deteksi sekitar
13

10 µmol. Morales dkk (1993) telah mempelajari konsentrasi protein lendir dan
kemampuannya untuk mendukung migrasi sperma. Saat pre-ovulatori dan 60
hari post partum lendir menunjukkan konsentrasi protein yang rendah yang
dinyatakan dengan SDS-PAGE (sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel
electrophoresis). Data menunjukkan terdapat hubungan terbalik yang sangat
signifikan antara konsentrasi protein dalam lendir dengan kemampuannya untuk
mendukung migrasi sperma. Banyak protein yang dapat larut menunjukkan
konsentrasi terendahnya selama siklus subur, yaitu ketika lendir serviks paling
dapat menerima penetrasi sperma. Studi yang lebih dulu yang dilakukan oleh
Moghissi dkk (1962) pada protein-protein servikal menggunakan pemisahan
elektroforesa dengan agar terdilusi untuk menunjukkan perubahan siklis selama
siklus menstruasi. Albumin, globulin dan mukoid yang non-migrasi ditemukan
dalam lendir serviks pada empat wanita subur yang sehat melalui satu siklus
menstruasi. Penurunan albumin dan peningkatan komponen mukoid sebelum
dan pada saat ovulasi, dan perubahan-perubahan ini akan terbalik segera
setelah ovulasi. Konsentrasi globulin tidak berubah secara bermakna selama
siklus menstruasi. (Moghissi, 1962).

2.2.1.3 Imunoglobulin servikal


Lendir serviks mengandung imunoglobulin yang merupakan bagian dari
mekanisme pertahanan imun lokal. Imunoglobulin (Ig) servikal merupakan
kombinasi transudat dan produksi jaringan setempat. IgA merupakan
imunoglobulin utama yang terdapat dalam sekresi eksternal. IgA sekretori
merupakan produk dari dua sel yang berbeda: sel plasma dan sel epitelial. Sel-
sel epitelial memproduksi komponen sekretori (SC), yang berperan sebagai
protein pengatur transpor. Asam amino yang telah diberi label telah disatukan ke
dalam IgA dan IgG pada kultur jaringan servikal manusia. Biasanya, lebih banyak
IgA daripada IgG yang ditemukan dalam cairan kultur. Juga, sel-sel plasma yang
memproduksi IgA dan IgG telah ditunjukkan dalam jaringan biopsi servikal,
meskipun jumlahnya bervariasi dari satu lokasi biopsi ke lokasi biopsi lainnya.
Mason dan Ferin (1969) menunjukkan relatif pada sejumlah sel-sel yang
memproduksi IgA. Tikus-tikus yang telah diovorektomi menunjukkan bahwa
steroid seks mempengaruhi kadar keseluruhan IgA, IgG, dan SC dalam sekresi
saluran reproduksi. Administrasi estradiol menyebabkan penurunan jumlah IgA,
14

IgG, dan SC dalam servikal dan vaginal. Sebaliknya, estradiol menstimulasi


peningkatan IgA jaringan dalam uterus dan menginduksi peningkatan produksi
SC. Penambahan progesteron menghambat respon-respon ini. Efek kebalikan
estrogen pada sekresi imunoglobulin oleh uterus dan serviks menunjukkan
repson berbeda pada masing-masing bagian dari saluran reproduksi wanita
terhadap stimulus hormonal. (Behrman, 1973).
Kadar IgA dan IgG dalam lendir serviks sangat beragam selama siklus;
fase proliferatif awal dicirikan dengan kadar IgG yang tinggi (100-300 mg/dL) dan
kadar IgA yang tinggi pula (20-70 mg/dL). Konsentrasi-konsentrasi ini menurun
pada pertengahan siklus menjadi sekitar 4 mg/dL untuk IgA dan 10 mg/dL untuk
IgG. Telah diidentifikasi pada lendir serviks manusia bahwa antibodi-antibodi
spesifik melawan beberapa mikroorganisme. Perubahan siklis dalam titer
antibodi spesifik dalam sekresi servikal didapati pada monyet percobaan yang
telah diimunisasi dengan kolifase T4. Serviks merupakan organ dengan peran
utama dalam imunitas lokal saluran reproduksi wanita karena sel-sel produsen
imunoglobulinnya yang banyak. Saluran reproduksi wanita memiliki mekanisme
pertahanan berganda dalam melawan patogen-patogen yang menginvasi,
pertahanan itu seperti epitel non-spesifik dan barrier mukosa. Perlindungan
dalam lokasi ini melibatkan interaksi unik dari IgA sekretori, sitokin-sitokin dan
hormon-hormon reproduksi. (Brandtzaeg, 1997).
Seperti yang tertulis di atas, imunitas saluran reproduksi wanita beragam
dengan fase dari siklus reproduksi. Baik estrogen maupun progesteron mengatur
imunitas saluran genital dan dapat mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi
saluran reproduksi wanita. Keberadaan dan efek stimulasi dari sitokin-sitokin
pada sistem imun mukosa telah dilaporkan baik pada subjek penelitian manusia
maupun pada subjek penelitian roden melaporkan efek multi pengaturan dari
sitokin-sitokin seperti interleukin 1β (IL-1β), IL-6, dan IL-10 dalam maturasi
limfosit B menjadi sel-sel plasma yang memproduksi imunoglobulin. (Brandtzaeg,
1997).

Kuantifikasi imunoglobulin
Kutteh dan Franklin (2001), dengan menggunakan ELISA (Enzyme-
Linked Immunosorbent Assay), menghitung imunoglobulin dan sitokin-sitokin
dalam lendir serviks manusia pada masing-masing trimester kehamilan. Jordan
15

(2006) menunjukkan bahwa kadar IgG pada lendir serviks lebih tinggi daripada
kadar IgA selama masing-masing trimester. Kadar IgA pada lendir serviks tetap
tinggi dan konstan selama kehamilan. Kadar puncak IgA dan IgG pada semua
trimester kehamilan signifikan melebihi kadarnya pada waktu fase ovulatori dan
post ovulatori pada siklus menstruasi. Mereka menduga bahwa peningkatan IgA
dan IgG pada wanita selama kehamilannya mungkin sebagai akibat dari
peningkatan kadar estrogen dan progesteron yang diproduksi dalam jumlah
besar dan berperan dalam mempertahankan kehamilan. Peningkatan produksi
faktor-faktor imunologis ini dapat menyebabkan peningkatan imunitas dan
meningkatkan perlindungan terhadap patogen-patogen yang menginvasi.
Laporan penelitian terdahulu oleh kelompok peneliti yang sama menunjukkan
bahwa peningkatan konsentrasi IgA dan IgG lendir serviks berhubungan dengan
peningkatan komponen progestin yang didapat dari kontrasepsi oral. Kadar
puncak IgA dan IgG dalam lendir serviks dari wanita yang mengkonsumsi
kontrasepsi oral meningkat secara signifikan melebihi kadarnya pada lendir
serviks wanita selama fase ovulasi dan post-ovulasi dalam siklus menstruasi.
Perubahan-perubahan terkait dengan hormon pada kadar imunoglobulin dan
sitokin dihubungkan juga dengan adanya komponen progestin pada pil
kontrasepsi. Mereka mengemukakan bahwa mungkin terdapat efek regulasi
kompleks baik dari estrogen maupun progesteron dalam ekspresi imunoglobulin
pada lendir serviks. Peningkatan IL-1β sesuai dengan peningkatan IgA. Begitu
pula ketika kadar IL-1β rendah (< 500 pg/mL), kadar IgA dan IgG < 10 mg/dL.
Ketika kadar IL-1β meningkat, diamati hubungannya dengan peningkatan kadar
IgG dan IgA pada lendir serviks selama kehamilan dan selama penggunaan
kontrasepsi oral. Sebagai tambahan, jumlah IL-1β pada lendir serviks selama
kehamilan dan penggunaan kontrasepsi oral mendekati sepuluh kali lipat lebih
besar daripada jumlahnya pada lendir serviks dalam siklus wanita normal.
(Coghlan dan Skinner,1977).
Peningkatan kadar IgA dan IgG pada lendir serviks telah dilaporkan
terjadi pada wanita dengan gonorrhoea, trichomoniasis, candidosis, dan herpes
genital sebagai bandingannya dengan kelompok kontrol yaitu wanita yang tidak
terinfeksi. Data tersebut mengindikasikan peningkatan bermakna dari faktor-
faktor imun ketika terdapat penyakit lokal dan memberi kesan terhadap proses
induksi terjadinya respon imun lokal. (Coghlan dan Skinner,1977).
16

2.2.1.4 Komponen antimikroba lainnya pada lendir serviks


Infeksi saluran kemih yang ascending diketahui sebagai akibat infeksi
intrauterin dengan akibat seperti kelahiran preterm dan masalah-masalah yang
terkait dengan infeksi neonatus, kematian neonatus, gangguan neurologis dan
keterlambatan perkembangan. (Jordan, 2006).
Hein dkk (2002) menganalisa komposisi dan aktivitas antimikroba dari
lendir serviks wanita hamil dengan menggunakan teknik Western blot dan
pengecetan imunologis (Immunostaining). Plug lendir serviks terbukti sebagai
sumber yang kaya protein dan peptida antimikroba, termasuk SLPI (Secretory
Leucocyte Protease Inhibitor), lisosim, kalprotektin, laktoferin, neutrofil defensin
(peptida neutrofil manusia 1 sampai 3; HNP1-3) dan HBD-1 (Human Beta-
Defensin epithelial). Kelompok peneliti yang sama dan Ganz (2001) melaporkan
lebih dulu temuan yang mirip dan aktivitas-aktivitas antimikroba. Pengamatan
oleh Hein dan rekan-rekannya terhadap SLPI konsentrasi sangat tinggi pada
lendir serviks memperkuat laporan sebelumnya dan meningkatkan kemungkinan
bahwa SLPI dalam sekresi pertahanan host dapat melindungi polipeptida
antimikroba terhadap proteolisis yang berlebihan dan inaktivasi oleh protease-
protease inflamasi. Aktivitas antimikroba SLPI berkaitan dengan lisosim.
Konsentrasi lisosim dalam plug-plug lendir serviks kurang lebih dua kali lipat
daripada konsentrasinya pada lendir serviks secara keseluruhan dan begitu pula
aktivitas antimikrobanya. Lebih lanjut, Thompson dkk (1991) mengajukan
bahwa leukosit, terutama neutrofil, memainkan peranan penting baik dalam
pertahanan seluler serviks maupun dalam mekanisme-mekanisme ‘selektif’
(fagositosis spermatozoa yang abnormal) transpor spermatozoa melalui serviks.
Jordan (2006) menyimpulkan bahwa leukosit cairan semen bukan merupakan
penyumbang signifikan terhadap peningkatan kadar leukosit yang dideteksi pada
sampel lendir serviks post-inseminasi dan melaporkan juga bahwa reaksi leukosit
merupakan respon servikal terhadap sampel cairan semen.
Kalprotektin merupakan protein yang kompleks dengan aktivitas
fungistatik. Secara umum, polipeptida antimikroba utama dalam plug-plug lendir
serviks benar-benar mirip dengan sekresi nasal kecuali konsentrasi SLPI dan
HBD-1 yang lebih tinggi pada plug-plug lendir serviks. Tidak mengherankan bila
seseorang mengambil kesimpulan bahwa baik plug lendir serviks maupun cairan
nasal mengisi ruangan yang memisahkan lingkungan eksternal yang kaya
17

dengan mikroba dengan lingkungan internal yang steril (kavum uteri dan paru-
paru). Peneliti sebelumnya telah menunjukkan bahwa zat-zat yang terdapat
dalam cairan nasal berinteraksi secara aditif dan sinergis dalam membunuh
mikroba (Travis dkk, 1999). Oleh karena itu, dengan komposisi yang mirip, hal
yang sama juga diharapkan terjadi pada plug lendir serviks.Hein dkk (2002)
menduga bahwa perbedaan fisika dan biokimia antara plug servikal dan lendir
serviks mencerminkan perlunya evolusi penetrasi sperma melalui lendir serviks,
suatu keharusan yang tidak berlaku pada plug-plug. Konsentrasi lisosim yang
lebih tinggi dalam plug-plug servikal dibandingkan dengan lendir serviks mungkin
diakibatkan karena konsentrasi satu atau lebih protein-protein antimikroba yang
lebih tinggi dalam materi asal dan atau terjadi perubahan yang diinduksi hormon
dari sekresi-sekresi kelenjar servikal dalam kehamilan. (Jordan, 2006).

Trace elemen lendir serviks


Zinc, tembaga, besi, mangan, dan selenium merupakan trace elemen
yang diketahui terdapat dalam lendir serviks. Variasi sikliknya yang tergantung
hormon selama fase-fase yang berbeda dalam siklus menstruasi telah dapat
ditunjukkan. Konsentrasi tembaga dan besi yang rendah telah dikaitkan dengan
lendir serviks ovulatori. Zipper dkk pada tahun 1969 melaporkan bahwa ion
tembaga dan besi yang berlebih pada lendir ovulatori tidak mendukung untuk
penetrasi sperma (Pandey dkk, 1986).
Pandey dkk (1986) memperkirakan trace elemen dalam lendir serviks
dari subjek yang infertil dan yang fertil dan melaporkan konsentrasi zinc,
tembaga, besi dalam lendir serviks untuk kedua kelompok pada saat fase pre
ovulasi, ovulasi, dan post ovulasi. Jordan (2006) menemukan bahwa konsentrasi
trace elemen ini signifikan lebih tinggi daripada konsentrasi mangan dan
selenium. Pada kedua kelompok, ion-ion besi dicatat menurun drastis dari fase
pre ovulasi ke ovulasi ke post ovulasi, sementara kadar tembaga pada fase
ovulasi dan post ovulasi lebih tinggi atau lebih rendah daripada fase pre ovulasi.
Kebalikannya, kadar mangan meningkat dari fase pre ovulasi ke fase ovulasi dan
post ovulasi. Pada infertilitas baik yang primer maupun yang sekunder, kadar
tembaga, besi, dan selenium pada lendir serviks meningkat jika dibandingkan
dengan kadarnya pada wanita yang fertil. Kandungan zinc berkurang, sementara
kadar mangan tetap tidak berubah. Jordan (2006) menduga bahwa pada
18

konsentrasi tertentu, elemen-elemen penting dalam lendir serviks ini penting


dalam kesuburan normal. Efek spermatotoksik dan perubahan daya penerimaan
pada lendir serviks terhadap tembaga telah ditunjukkan oleh beberapa peneliti
berbeda. (Pandey dkk, 1986).
Variasi hormonal siklik dalam konsentrasi ion natrium dan klorida telah
ditunjukkan, mencapai kadar puncak pada periode dekat pre ovulasi. Kadar
natrium menurun ketika terdapat progesteron. Ion kalium tidak menunjukkan
variasi siklik. (Pandey dkk, 1986).

2.2.2 Unsur-unsur lain dari lendir serviks manusia


Lipid lendir serviks manusia mengandung 10,5% asam lemak bebas dari
keseluruhan kesatuan siklus. Variasi jumlah secara siklik telah dicatat dalam
penelitian mengambil kesimpulan dari pengaruh hormonal pada fase-fase yang
berbeda dari siklus. Kadarnya meningkat pada fase estrogenik dan menurun
pada fase progesteronik. Asam lemak yang paling banyak adalah miristat,
palmiat, stearat, oleat, dan linoleat. Penggunaan kontrasepsi oral merubah
komposisi asam lemak bebas, yang mana menjadi lebih jenuh, tetapi hanya
terjadi perubahan minimal dalam jumlah keseluruhannya. (Pandey dkk, 1986 ;
Charbonnel dkk, 1982).
Lendir serviks mengandung prostaglandin (PGE1, PGE2, PGD2, PGF1α,
dan PGF2α). Kandungan prostaglandin meningkat pada lendir pre ovulasi.
Sumber prostaglandin diduga dari sel-sel sekretori di kripte-kripte. Kepentingan
biologis prostaglandin lendir serviks dikaitkan dengan meningkatnya motilitas,
penetrasi spermatozoa, mempertahankan milieu lingkungan yang kaya
prostaglandin secara terus menerus, plasma seminal, membuat lingkungan lain
yang kaya prostaglandin, lendir serviks. Semua efek-efek ini menyebabkan
fertilitas yang lebih baik. (Charbonnel dkk, 1982).
Berbagai enzim telah dikenali dalam lendir serviks manusia, sementara
amilase serviks ditunjukkan meningkat pada fase sekretori. Aktivitas fosfatase
asam dan basa tidak menyebabkan perubahan siklik dalam siklik alami, tetapi
progesteron meningkatkan aktivitas enzim secara signifikan. Juga, peroksidase
diduga sebagai penanda periode subur pada wanita. (Tsibris dkk, 1989).
Beller dan Weiss (1966) menyatakan sebuah sistem enzim fibrinolitik
dalam lendir serviks manusia. Aktivator sistem ini tampaknya memiliki hubungan
19

terbalik terhadap aktivitas estrogen endogen, paling rendah pada pertengahan


siklus dan paling tinggi pada sebelum dan sesudah menstruasi. (Jordan, 2006).

2.3 Peran Estrogen dan Progesteron terhadap Sekresi Lendir serviks


Biosintesa Lendir serviks merupakan proses yang rumit. Sel-sel epithelial
distimulasi oleh estrogen (sel S, L, atau P) atau oleh progesteron (sel G).
Hormon berikatan dengan reseptor pada sitoplasma, dan kemudian ditranspor
menuju inti sel. Kompleks reseptor + hormon kemudian mengaktifkan bagian
tertentu dari material genetik (DNA) yang dijelaskan ke tipe lain dari material
genetik lainnya (RNA) yang, pada gilirannya, membawa pesan genetik ke tempat
di dalam sel di mana asam amino tersusun dalam urutan yang benar untuk
membentuk inti protein molekul. Molekul karbohidrat kemudian berikatan oleh
enzim menuju inti protein. Instruksi terhadap sel untuk bagaimana hal ini harus
terjadi mungkin berbeda pada sel tipe S, L, P, dan G oleh informasi yang terdapat
di dalam sel-sel yang sudah ada selama perkembangan embrioniknya.
(Odeblad,1994).
Respon sel terhadap stimulus estrogen atau progesteron dibandingkan
secara perlahan (dari satu hingga beberapa jam). Sel S dan P juga tampaknya
memiliki akses untuk terjadinya mekanisme respon yang lebih cepat, stimulasi
oleh noradrenalin yang bekerja pada reseptor beta yang terdapat pada membran
sel. Respon ini terjadi mungkin dalam beberapa menit dan mungkin bertanggung
jawab terhadap pengeluaran discharge spontan yang dialami oleh beberapa
wanita dengan stress akut, seperti pada ketakutan yang berlebihan atau
kemarahan sangat yang mendadak. (Odeblad,1994).
Lendir serviks dibentuk oleh mukosa kanalis cervikalis. Mukosa kanalis
cervikalis terbentuk dari epithel kolumnar yang berkelompok berlekuk-lekuk
sebagai kripta membentuk seperti kantong sehingga mirip dengan kelenjar.
Hormon estrogen akan merangsang produksi lendir yang encer dan melimpah
sedangkan hormon progesteron akan menghambat sekresinya sehingga terjadi
penurunan kwantitas, pH, spinnbarkeit, kemampuan untuk membuat bentukan
daun pakis, penetrasi sperma dan meningkatnya selularitas .Biasanya lendir
serviks dapat ditembus oleh sperma mulai hari kesembilan siklus menstruasi
,puncaknya pada saat ovulasi lalu kemudian menurun. (Odeblad,1994;
shewood,1989).
20

Lendir serviks dapat menunjukkan aktifitas mukosa serviks dan kondisi


hormonal seorang wanita. Sehingga pemeriksaan lendir serviks cukup penting
sebagai salah satu pemeriksaan laboratorium untuk kasus infertilitas. Pada saat
ovulasi lendir serviks terdiri dari 90% air atau ada yang menyebut 95-98% air
yang terikat pada mucin. Didalamnya juga terdapat cairan endometrium, cairan
folikel, sel debris uterus, epithel serviks, dan leukosit. (Odeblad,1994;
shewood,1989).
Estrogen menyebabkan makin encer sehingga memungkinkan sperma
untuk mengadakan penetrasi. Estrogen mencapai kadar puncaknya bersamaan
dengan terjadinya ovulasi yaitu pada pertengahan siklus haid,sehingga pengaruh
estrogen tersebut dapat digunakan untuk melacak adanya ovulasi. Akibat adanya
estrogen menyebabkan lendir serviks bersifat encer dan mengandung fibrin dari
glikoprotein yang terpolimerisasi. Glikoprotein tersebut berbentuk jala dan
dikelilingi oleh cairan kuning .Bentukan jala tersebut mempunyai celah yang
memungkinkan sperma untuk melewatinya. (Jordan, 2006; Odeblad, 1994)
Akibat pengaruh estrogen maka kandungan air dari lendir serviks sangat
tinggi, hal ini berkaitan dengan sifatnya yang encer. Kadar garamnya tinggi,
sehingga tes ferning akan memberikan skor yang tinggi akibat kristalisasi
NaCl .Dalam praktik klinis tes ferning ini dapat digunakan sebagai media
diagnostik sederhana untuk menunjukkan adanya pengaruh estrogen.
(Odeblad,1994; shewood,1989).
Estrogen juga mengurangi kepekatan dari lendir serviks sehingga
elastisitasnya akan meningkat. Skor spinnbarkeitnya akan tinggi. Dengan kondisi
ini maka lendir serviks merupakan tempat yang sesuai bagi sperma dimana
kadar glukosa dan tekanan osmotiknya mirip dengan semen. (Odeblad,1994;
shewood,1989).
Berlawanan dengan estrogen, progesteron memberikan pengaruh yang
berbeda. Setelah ovulasi, dibawah pengaruh progesteron dari corpus luteum
lendir akan menjadi lebih tebal dan lengket sehingga membentuk semacam
rintangan pada serviks. Hal ini juga merupakan suatu mekanisme pertahanan
yang penting dalam mencegah masuknya bakteri di vagina kedalam uterus
sehingga dapat mengancam proses kehamilan ketika terjadi konsepsi. Adanya
progesteron menyebabkan jumlah dan produksi lendir serviks sangat berkurang.
Di dalam lendir serviks terdapat molekul-molekul dalam ukuran yang besar
21

membentuk jala yang tebal sehingga tidak dapat dilalui oleh sperma.
(Odeblad,1994; shewood,1989).
Progesteron menyebabkan lendir serviks menjadi kental, kemampuan
spinnbarkeit menurun, kadar air yang semula 98 % dapat berkurang menjadi 92-
94% dan kristalisasinya pun akan berkurang. Jumlah sel akan meningkat ,namun
mekanisme pasti penyebabnya masih diteliti lebih lanjut. (Odeblad,1994;
shewood,1989).

2.4 Macam-macam Lendir serviks


Odeblad (1969) menggolongkan dua tipe utama sekresi pada lendir
normal. Dia menyebut mereka sebagai tipe E (estrogenik) dan tipe G
(progesteronik) (Tabel 2). Selama siklus menstruasi, kedua tipe selalu bercampur
bersama dalam perbandingan yang berbeda. Tipe E di bawah pengaruh
dominansi estrogen dan dicirikan sebagai lendir cair dan tipis (Gambar 3). Tipe G
di bawah pengaruh dominansi progesteron, dicirikan sebagai lendir yang lengket
dan kental. Dengan demikian, tipe E menonjol pada waktu ovulasi (sekitar 97%
tipe E dan 3% tipe G). tipe G menonjol selama fase luteal normal atau ketika
menggunakan pil kontrasepsi oral kombinasi (Gambar 4). (Jordan, 2006).

Gambar 3. Di dalam kanalis servikalis, terdapat lendir tipe estrogenik yang jernih, berair,
dan tipis
22

Gambar 4. Di dalam endoserviks, tampak lendir opak, khas tampak pada fase luteal
normal atau pada wanita yang menggunakan kontraspsi oral steroid.

Dua tipe struktur fibrous telah ditunjukkan pada lendir serviks pada
pertengahan siklus: (1) serat yang panjang dan tebal yang bervariasi
diameternya dari 0,5 hingga 5 µm dan tersusun paralel satu sama lain; dan (2)
serabut mikro yang diameternya berkisar antara 500 hingga 1.500 Å (Zeneveld
dkk, 1975). Peneliti-peneliti ini berspekulasi bahwa serat-serat kebanyakan
mungkin mewakili misel yang membuat spermatozoa mempunyai arah untuk
mendekati serviks. Dengan menggunakan analisa NMR (resonansi magnetik
nuklir) untuk melihat isi dari salah satu kripte dan membandingkan hal ini dengan
migrasi sperma pada lendir yang telah diawetkan, Odeblad (1976) menyatakan
bahwa fungsi biologis dari dua tipe estrogen sekresi lendir serviks tipe E, dinamai
sebagai Es dan El (s untuk string = benang, l untuk loaf = papan). (Jordan, 2006).
NMR menyatakan secara tidak langsung penyerapan frekuensi radiologis
pada nukleus atomik pada lapangan homogen. Hal ini membuat studi non
destruktif dari lendir serviks. Lendir Es membawa spermatozoa dari kolam
vaginal, tetapi tipe El memiliki peran terbatas dalam hal ini. Sistem Es - El
merupakan sistem yang dinamik. Lendir ovulatori mengandung 20% - 25% tipe
Es, 72% - 77% tipe El dan 3% tipe G. Lebih lanjut, Es dan El memiliki perbedaan
dalam kandungan protein. Pada ruang anatar misel lendir Es memiliki protein
yang rendah. Viskositas cairan antar misel pada lendir E s yang sangat rendah
memungkinkan migrasi sperma yang sangat cepat. Sekresi tipe E s memiliki ciri-
ciri arsitektur molekuler. Musin mengandung makromolekul, yang merupakan
23

peptida dengan karbohidrat dan kelompok sisi lainnya mengambil poin-poin


tertentu untuk rantai peptida. Makromolekul musin menyerupai benang dan
tersusun secara hampir paralel. Rangkaiannya, yang bervariasi diameternya dan
susunannya, disebut sebagai misel. (Jordan, 2006).

Tabel 2 Komposisi Biologis Beberapa Tipe Lendir Serviks

Tipe lain dari sekresi lendir serviks telah diketahui. Sekresi yang dikaitkan
dengan servisitis kronik yaitu tipe Q. Komposisi lendir serviks beragam
bergantung pada tipenya, derajat dan durasi keadaan inflamasi. Kripte (Gambar
5) melepaskan sekresi tipe ini memiliki respon terbatas terhadap stimulasi
hormonal. Odeblad (1969) juga menggambarkan kelenjar tunggal di dalam zona
24

transformasi dengan karakteristik ini. Unit sekretori tertentu telah didesain


sebagai kelenjar isomucorrhoeic, kelenjar isoglands atau kelenjar isounits. Isounit
juga terbentuk pada keadaan inflamasi akut dan menghasilkan sekresi tipe
serous dengan viskositas rendah dan kandungan leukosit yang tinggi, yaitu tipe
V. Pada kebanyakan kasus, sekresi pada waktu inflamasi merupakan tipe
campuran, yang mengandung berbagai tipe, E, G, Q, dan V, pada perbandingan
yang berbeda dari kasus ke kasus dan selama perjalanan suatu penyakit.
Dengan demikian, lendir serviks merupakan campuran heterogen dengan satu
atau lebih tipe sekresi yang menonjol. Hal ini membuat rheologi kompleks lendir
(aliran dan perubahan bentuk) dan kandungan biologis. (Odeblad, 1969).

Gambar 5. Colpophotograph menunjukkan zona transformasi dengan kelenjar tunggal


(panah), diajukan oleh Odeblad (1969) untuk mensekresi lendir hanya
secara otonomik dengan sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali
respon terhadap stimulasi steroid. Kelenjar-kelenjar ini dinamakan sebagai
isomucorrhoeic atau isoglands, dan Odeblad menunjukkan lendir ini
sebagai isosecretions dan menunjukkan bahwa ini adalah tipe D (D untuk
destroyed = penghancuran respon normal). Pada foto ini, epitel kolumner
asal adalah pada (1), dan junction skuamokolumner yang baru adalah
pada (2) dan, di antara ini dan junction asal (garis putus-putus) merupakan
epitel skuamous yang mengalami metaplasi.
BAB III
PERANAN KLINIS LENDIR SERVIKS

3.1 Peran Reproduksi


Fungsi lendir serviks sangat penting, terutama berkaitan dengan fertilitas
seseorang, para ahli menyimpulkan bahwa fungsinya adalah
a. Penerima atau penangkap sperma pada saat ejakulasi juga dianggap
sebagai mekanisme transport cepat sperma untuk terjadinya konsepsi.
b. Pelindung sperma dari fagosit dan lingkungan vagina yang kurang
menguntungkan.
c. Menyediakan energi untuk sperma setelah lepas dari semen. Energi ini
berupa glukosa dan diperlukan untuk pergerakan sperma tersebut.
d. Penyaring sperma yang kurang baik maupun mikroorganisme yang
merugikan.
e. Kripta pada kanalis cervikalis bertindak sebagai reservoir sperma
sehingga motilitasnya dapat bertahan 72 jam post coital bahkan 8 ½ hari.
f. Sebagai tempat kapasitasi sperma.
Evaluasi yang penting untuk mengetahui fungsi tersebut adalah reologi lendir
serviks, tes postcoital dan interaksi sperma dengan lendir serviks (Shewood,
1989; Speroff,2005).
Peran reproduksi lainnya yaitu dalam proses transport dan kapasitasi
sperma. Semen membentuk jel segera setelah ejakulasi terjadi, tapi kemudian
mencair dalam 20-30 menit oleh enzim yang diproduksi oleh kelenjar prostat. PH
yang alkali dari semen memberikan perlindungan untuk sperma dari lingkungan
yang asam di vagina . Perlindungan ini bersifat sementara dan sebagian besar
sperma yang tertinggal di vagina tidak bergerak dalam 2 jam. Sedangkan sperma
yang beruntung ,dengan gerakan mereka sendiri dapat mencapai lidah lendir
serviks yang melapisi ektoserviks. Sperma inilah yang kemudian memasuki
uterus ,sedangkan plasma seminalis tertinggal di vagina. Masuknya sperma ini
berlangsung cepat, dalam 90 detik setelah ejakulasi sudah dapat ditemukan
dalam lendir serviks.( Jordan, 2006; Speroff,2005)
Sperma berenang dan bergerak melalui lubang-lubang pada mikrostruktur
lendir serviks yang ukurannya lebih kecil daripada kepala sperma. Secara aktif
sperma mendorong jalannya dalam lendir serviks. Salah satu penyebab
infertilitas mungkin adalah kelainan gerakan sperma sehingga tidak bisa

25
26

menembus lendir serviks. Pergerakannya mungkin dipengaruhi oleh interaksi


antara lendir serviks dengan kepala sperma, sebagai contoh jika terdapat sperma
antibodi yang menempel pada kepala sperma maka hal tersebut akan
menghambat gerak sperma dalam lendir serviks. Kelainan bentuk kepala sperma
biasanya berhubungan dengan kelainan fungsi flagella, walaupun kelainan
bentuk kepala saja sudah dapat menyebabkan rendahnya penetrasi pada lendir
serviks. Secara umum dipercayai bahwa lendir serviks mempunyai kemampuan
untuk menyaring, sperma yang abnormal dan berkemampuan rendah akan
kesulitan dalam menembusnya. (Jordan, 2006; Speroff, 2005)
Kapasitasi merupakan proses dimana sperma mengalami transformasi
sehingga memungkinkan terjadinya fertilisasi. Pertamakali ditemukan pada
sperma kelinci dan tikus yang harus menghabiskan beberapa jam di traktus
genetalis betina sebelum mepunyai kemampuan untuk menembus ovum pada
tahun 1951. Kapasitasi ditandai oleh tiga kejadian utama yaitu :
a. Kemampuan untuk mengalami reaksi akrosom
b. Kemampuan untuk berikatan dengan zona pellucida
c. Mengalami hipermotilitas
Kapasitasi mengubah sifat permukaan sperma dengan membuang faktor plasma
seminalis yang membungkus permukaan sperma tersebut. Hal ini berkaitan
dengan modifikasi membrane sel sperma yaitu sterol, lemak, dan glikoprotein
yang menyebabkan penurunan stabilitas membrane sel sperma dan membrane
akrosom luar. Rusak dan kemudian bergabungnya membran plasma dan
membran akrosom luar disebut sebagai proses reaksi akrosom. Ini menyebabkan
dapat lepasnya enzim dan perubahan membrane akrosom dalam yang
memungkinkan fusi dengan membrane sel oosit. Proses tersebut baru dapat
berlangsung jika lingkungan memungkinkan yaitu keberadaan lendir serviks.
(Jordan, 2006; Speroff, 2005)

3.2 Imunologis
Peran mukosa serviks secara fisiologis dikatakan berfungsi melindungi
barrier pada interior cavum uteri. Lendir mukosa tidak berubah dengan pH 5,5
dan 10. Ini tidak diturunkan dari hialuronidase pada binatang atau bakteri.
Banyak juga penghambat aktivitas virus (Odin and Neumuller, personal
communication). Diserang dari beberapa enzim proteolitik dan terutama pada
27

pencernaan dengan menurunnya tripsin secara cepat pada mukosa serviks. Tipe
mukosa ini harus membentuk barrier yang effektif pada agen dan juga pada
bagian yang tidak dapat dilalui spermatozoa, dikenal tidak mempunyai aktivitas
mukolitik. Sekresi cairan pada fase ovulatori memberikan perubahan kodisi total
untuk spermatozoa. Pada viskositas yang tinggi pada jalur tertentu resisten
meningkat pada spermigasi, tapi juga memberi perlindungan dari gangguan,
difusi dan penetrasi pasif organisme. Isotop juga dapat membantu kondisi
optimal untuk spermatozoa. (Jordan, 2006; Werner, 1953).
Lendir serviks mengandung antibodi-antibodi, khususnya, IgA sekretori,
yang mempunyai sifat bakterisidal jika terdapat lisosim dan komplemen dan
dapat mengaglutinasi bakteri dan mengopsonisasi bakteri untuk kemudian
difagositosis. Antibodi-antibodi yang beredar terhadap mikroorganisme-
mikroorganisme spesifik dapat diartikan sebagai akibat dari adanya infeksi
genital yang banyak, tetapi hanya terdapat bukti-bukti yang sedikit mengenai
efek-efek proteksi. Sebagai contoh, episode berulang infeksi klamidia, herpes
genital, trikomoniasis, dan gonorrhoea dapat terjadi walaupun terdapat jumlah
titer yang tinggi dari antibodi-antibode yang beredar di tubuh. Dengan demikian,
berbagai mekanisme imun bekerja di atas atau di dalam kulit vulva, tetapi peran
mereka pada populasi mikroba masih belum diketahui secara jelas. (Jordan,
2006; Miranda, 2006).
Infiltrasi sel imun vulva paling jelas selama tahun-tahun reproduktif. Sel-
sel langerhans merupakan sel imun yang paling sering ditemui di vulva;
sedangkan limfosit intraepithel dan perivaskuler jarang ditemui. Gradien
kepadatan sel langerhans terdapat di sepanjang traktus genitalis wanita bagian
bawah. Pada macaque rhesus, contohnya, kepadatan sel langerhans paling
sedikit pada forniks vagina dan paling banyak pada introitus. Studi pada manusia
menunjukkan kepadatan yang lebih banyak pada vulva daripada vagina, tanpa
adanya perbedaan baik pada daerah terkeratinisasi maupun yang tidak
terkeratinisasi. Kepadatan sel langerhans diperkirakan sebesar 19 per 100 sel
basal pada epithel vulva, 13 per 100 sel basal pada serviks, dan 6 per 100 sel
basal pada vagina. (Jordan, 2006; Miranda, 2006).
Sebaliknya, limfosit lebih banyak pada vagina: subtipe CD8 þ, yang
banyak terdapat di epithel mukosa manusia, merupakan sel imun vagina yang
paling sering ditemui. Subtype CD4 þ merupakan populasi terbesar kedua dari
28

sel imun vagina dan makrofag jaringan menduduki tempat ke tiga. (Jordan, 2006;
Miranda, 2006).
Fakta-fakta yang berkembang mengesankan bahwa respon imun
dimodulasi secara berbeda di sepanjang saluran reproduksi. Studi transplantasi
mengesankan bahwa serviks istimewa secara imunologis untuk melindungi fetus
dari ancaman terjadinya allorespon maternal terhadap antigen dalam cairan
ejakulat. Lendir serviks, yang melindungi jalan masuk uterus, mengandung
antibodi sekretori, khususnya IgA. Antibodi-antibodi sekretori ini menon-aktifkan
antigen dengan membentuk kompleks yang tidak dapat diserap. Mereka bersifat
bakterisidal jika terdapat lisosim dan komplemen, dan dapat mengaglutinasi
bakteri dan mengopsonisasi mereka untuk kemudian dilakukan fagositosis oleh
makrofag. (Miranda, 2006).
Sel-sel langerhans, yang mana konsentrasinya bervariasi pada daerah
yang berbeda-beda pada saluran genital, merupakan bagian dari system sel
dendritik. Mereka berperan sebagai penjaga, menyampel antigen pada
permukaan epithel, kemudian memindahkan dan menyajikannya dalam bentuk
imunogenik yang berespon terhadap limfosit T pada nodus limfatikus regional.
Kurangnya sel-sel langerhans vagina relative terhadap konsentrasinya di vulva
mungkin merupakan satu dari beberapa adaptasi terhadap tantangan antigen
yang terdapat pada mikroflora vagina dan protein asing yang terdapat selama
hubungan seksual. Cairan seminal juga mengandung berbagai inhibitor yang
menekan fungsi imun pada vagina dan serviks. (Miranda, 2006).
Daerah yang berbeda pada saluran genital menunjukkan respon-respon
yang berbeda-beda terhadap antigen. Penempelan antigen pada kulit vulva
dapat menyebabkan sensitisasi; tentunya, dermatitis kontak alergika terhadap
agen topikal merupakan penyumbang utama terjadinya ketidaknyamanan vulva
yang persisten. Sebaliknya, penempelan antigen ke mukosa yang tidak
terkeratinisasi dapat menginduksi terjadinya toleransi. Fenomena ini, paling jelas
ditunjukkan pada mukosa oral, yang bukan disebabkan karena fenotipe sel-sel
langerhans di tempat tersebut, melainkan merupakan sebab dari perubahan
respon setinggi nodus limfatikus drainase pada tempat tersebut. (Miranda, 2006).
Studi pada model binatang menunjukkan bahwa induksi toleransi juga
terjadi pada vagina, di mana fenomena tersebut diregulasi secara hormonal.
Pada tikus, toleransi yang diinduksi pada vagina terjadi hanya selama fase yang
29

dominan estrogen pada siklus estrus ketika pajanan sperma dapat terjadi.
(Miranda, 2006).

Data yang berlawanan terdapat pada modulasi hormonal dari kepadatan


sel imun pada epithel vagina manusia. Kepadatan sel-sel langerhans merupakan
hal yang menarik, karena sel-sel ini terlibat dalam mekanisme sensitisasi dan
toleransi dan mengesankan merupakan target utama pada infeksi HIV yang
ditransmisikan melalui vagina pada wanita. Beberapa peneliti melaporkan jumlah
dan distribusi sel-sel imun vagina yang tetap selama siklus menstruasi. Salah
satu studi menunjukkan peningkatan dalam kepadatan sel-sel langerhans vagina
sebagai respon terhadap penggunaan progesteron yang dimasukkan lewat
vagina. Namun, tidak ditemukan efek serupa pada wanita yang menggunakan
kontrasepsi jangka lama dan sintetis DMPA (depot medroxyprogesterone
acetate) atau levonorgestrel. DMPA menyebabkan peningkatan selektif limfosit T
CD8 þ, levonorgestrel meningkatkan rasio CD4 þ: CD8 þ, dan kontrasepsi oral
kombinasi tidak menyebabkan perubahan populasi sel. Penelitian yang lebih
lanjut diperlukan untuk menjelaskan mekanisme apa yang siklus hormonal dapat
memodulasi respon imun dari saluran genital bagian bawah.(Miranda, 2006).
BAB IV
RINGKASAN

Lendir serviks adalah zat seperti jelly yang memiliki struktur kompleks dan
heterogen yang diproduksi oleh kelenjar kecil di leher rahim yang disebut sebagai
crypts serviks yang memiliki fungsi sebagai zat pelindung dan dapat mencegah
bakteri masuk ke rongga rahim.
Lendir serviks mengandung kurang lebih 90% air. Tergantung dari
kandungan airnya, yang mana bervariasi selama siklus menstruasi, fungsi lendir
sebagai barrier atau medium transpor spermatozoa. Komponen glikoprotein
makromolekuler (musin) yang bertanggung jawab terhadap karakteristik khas
dari lendir konsentrasinya bervariasi selama fase-fase siklus menstruasi, paling
rendah pada periode fertil (pertengahan siklus). Jembatan-jembatan disulfida dari
jaringan musin mudah hancur, membuat lendir serviks menjadi lebih encer.
Adanya kelompok-kelompok muatan negatif pada rantai-rantai sisi oligosakarida
dari molekul-molekul glikoprotein dikaitkan dengan integritas struktur musin
servikal. Kadar protein servikal bervariasi selama siklus menstruasi, paling
rendah pada saat ovulasi. Terdapat hubungan yang terbalik antara konsentrasi
protein dalam lendir dan kemampuannya untuk mendukung migrasi sperma.
Lendir serviks menyediakan imunitas lokal melalui interaksi khas imunoglobulin,
sitokin, dan hormon-hormon reproduksi. Prostaglandin dan trace elemen juga
menunjukkan variasi siklik yang tergantung pada hormon. Peningkatan kadar
tembaga, besi, dan selenium dikaitkan dengan infertilitas baik yang primer
maupun yang sekunder.
Perubahan fungsi dari lendir serviks pada keadaan endokrin yang
berbeda sesuai dengan konsep biologis dan molekulernya. Lendir serviks terdiri
dari hidrogel mukoid dan plasma servikal. Hidrogel mukoid (fase solid
glikoprotein) terbentuk sebagai jaringan fibril yang terikat bersama oleh ikatan
oblik dan transversal. Jaring ini dipisahkan oleh plasma servikal. Misel fibriler
memiliki keragaman dalam kepadatan selama fase-fase yang berbeda dari siklus
menstruasi, memberi kesan ada pengaruh hormonal, dan hal ini muncul untuk
mengatur migrasi sperma melalui lendir serviks. Dua tipe sekresi pada lendir
serviks normal berada di bawah kendali hormonal. Tipe E, terutama diproduksi

30
31

ketika terjadi dominansi estrogen, merupakan lapisan yang tipis dan berair.
Mikrofibril-mikrofibrilnya membuat spermatozoa dapat mendekati serviks. Sekresi
tipe G yang kental dan lengket diproduksi ketika terjadi dominansi progesteron.
Hal ini tidak mendukung migrasi sperma. Tipe lain dari sekresi servikal diproduksi
pada keadaan patologis. Secara umum, lendir serviks merupakan campuran
heterogen dengan satu atau lebih tipe sekresi yang menonjol; hal ini
menyebabkan rheologi kompleks lendir dan kandungan biologisnya.
Lendir serviks mengandung antibodi-antibodi, khususnya, IgA sekretori,
yang mempunyai sifat bakterisidal jika terdapat lisosim dan komplemen dan
dapat mengaglutinasi bakteri dan mengopsonisasi bakteri untuk kemudian
difagositosis. Antibodi-antibodi yang beredar terhadap mikroorganisme-
mikroorganisme spesifik dapat diartikan sebagai akibat dari adanya infeksi
genital yang banyak, tetapi hanya terdapat bukti-bukti yang sedikit mengenai
efek-efek proteksi. Dengan demikian, berbagai mekanisme imun bekerja di atas
atau di dalam kulit vulva, tetapi peran mereka pada populasi mikroba masih
belum diketahui secara jelas.
32

DAFTAR PUSTAKA

Beeson MF, Parish GR, James SL et al. (1982) A scanning electron microscopic
study of human cervical mucus. Advances in Experimental Medicine and
Biology 144: 293–296.

Behrman SJ (1973). Biosynthesis of immunoglobulins by the cervix. In: Blandau


RJ, Moghissi KS (eds) The Biology of the Serviks. Chicago: University of
Chicago Press, Ch. 12, 237–249.

Brandtzaeg P (1997) Mucosal immunity in the female genital tract. Journal of


Reproductive Immunology 36: 23–50.

Charbonnel B, Kremer M, Gerozissis K et al. (1982) Human cervical mucus


contains a large amount of prostaglandins. Fertility and Sterility 38: 109–
111.

Chantler E (1982) Structure and function of cervical mucus. In: Chantler E, Elder
JB, Elstein M (eds) Mucus in Health and Disease, Vol. 144. New York:
Plenum, 251–263.

Coughlan BM, Skinner GA (1977) Immunoglobulin concentrations in cervical


mucus in patients with normal and abnormal cervical cytology. British
Journal of Obstetrics and Gynaecology 84: 129–134.

Ganz T (2001) Antimicrobial proteins and peptides in host defense. Seminars in


Respiratory Infection 16: 4–10.

Gondhowiarjo, S., Sekarutami, SM. 2004. Radiotheraphy in Breast Cancer


Treatment. Medical J 1(1): 37-39.

Hein M, Helmig RB, Schonheyder HC et al. (2001) An in vivo study of


antibacterial properties of cervical mucus plug in pregnancy. American
Journal of Obstetrics and Gynecology 185: 586–592.

Jordan Joseph A, Singer Albert. (2006) The Cervix. Second edition. Blackwell
Publishing Ltd. P 157-168.

Kutteh WH, Franklin RD (2001) Quantification of immunoglobulins and cytokines


in human cervical mucus during each trimester of pregnancy. American
Journal of Obstetrics and Gynecology 5: 865–874.

Lee WI, Verdugo P, Blandan RJ et al. (1997) Molecular arrangement of cervical


mucus: a re-evaluation based on laser light-scattering spectroscopy.
Gynecological Investigations 8: 154–166.

Lehtinen, A Leminen, J Paavonen, et al.(1992) Predominance of serum


antibodies to synthetic
peptide stemming from HPV 18 open reading frame E2 in cervical
adenocarcinoma. Journal of Clinical Pathology 45: 494-497

Litt M, Khan MA, Wolf DP (1976) Mucus rheology: relation to structure and
function. Biorheology 13: 37–48.
33

Miranda A. Farage,Howard I. Maibach.(2006) The vulva : anatomy, physiology,


and pathology : Informa Healthcare USA, Inc : 9-22.

Moghissi K, Neuhaus OW (1962) Composition and properties of human cervical


mucus. Immunoelectrophoretic studies of the proteins. American Journal
of Obstetrics and Gynecology 83: 149.

Morales P, Roco M, Vigil P (1993) Human cervical mucus: relationship between


biochemical characteristics and ability to allow migration of
spermatozoa. Human Reproduction 8: 78–83.

Odeblad E (1968a) The functional structure of human cervical mucus. Acta


Obstetrica et Gynecologica Scandinavica 47 (Suppl. 1): 59–79.

Odeblad E (1976) The biophysical aspects of cervical mucus. In: Jordan J, Singer
A (eds) The Serviks, 1st edn. London: Saunders, 156–163.

Odeblad E (1994) The Discovery of Differentia Types of Cervical Mucus and the
Billing Ovulation Method: Bulletin of the Ovulation Method Research and
Reference Centre of Australia : Volume 21: Number 3: 3-35

Pandey S, Chuwdhury AR, Tewari SR et al. (1986) Trace elements in cervical


mucus of infertile women. Indian Journal of Medical Research 84: 163–
166.

Rohr G, Eggert-Kruise W, Pehlke A et al. (1992) Biochemical analysis of cervical


mucus by nuclear magnetic resonance spectroscopy. Human
Reproduction 7: 915–917.

Saltzman W. Mark, Michael L. Radomsky, Kevin J. Whaley et al. (1994) Antibody


Diffusion in Human Cervical Mucus.   Biophysical Journal: Volume 66:
508-515

Sahrbacher U, Pehlke-Rimpf A, Rohr G et al. (2002) High resolution proton


magnetic resonance spectroscopy of human cervical mucus. Journal of
Pharmacology and Biomedical Analysis 28: 827–840.

Schumacher GFB (1977) The uterine serviks. In: Reproduction. Stuttgart: Georg
Thieme, 101–107.

Shewood Lauralee (1989) Human physiology from cells to system: West


Publishing Company: 710-760

Spencer B, Sunseri LZ, Sunseri SG (1957) Electrophoretic examination of human


cervical mucus from normal, pregnant and carcinomatous patients.
Clinica et Chimica Acta 2: 485.

Speroff L, Fritz MA (2005) Clinical Gynecological Endocrinology and Infertility 7 th


Ed, Lippincot Williams & Wilkins ;290-307

Thompson LA, Tomlinson MJ, Barratt CLR et al. (1991) Positive


immunoselection. A method of isolating leucocytes from leukocytic
reacted human cervical mucus samples. American Journal of
Reproductive Immunology 26: 58–61.
34

Tsibris JCM, Lewis V, Langenberg PW et al. (1989) Cervical mucus enzymes as


markers for the woman’s fertile period. International Journal of
Gynecology and Obstetrics Suppl. 1: 73–82.

Wang Zhaohui, Bengoran Hansson, Ola Forslund et al . (1996) Cervical Mucus


Antibodies against Human Papillomavirus Type 16, 18, and 33 Capsids
in Relation to Presence of Viral DNA. Journal of Clinical Microbiology,
Vol. 34, No. 12; 3056–3062

Werner I (1953) Studies on glycoproteins from mucus epithelium and epithelia


secretions. Acta Societa Medica Upsaliensis 58: 1.

WHO (2007) Global strategy for the prevention and control of sexually
transmitted infections : 2006 - 2015 : breaking the chain of transmission.
WHO Library Cataloguing-in-Publication Data

Wilopo SA (2010) Epidemiologi dan Pencegahan Kanker Leher Rahim. Seminar


Dies Natalis FK-UGM ke 64 tahun 2010

Yang SL, Schumacher GFB (1979) Immune response after vaginal application of
antigens in the rhesus monkeys. Fertility and Sterility 32: 588–598.

Zeneveld DVM, Tauber RF, Port C et al. (1975) Structural aspects of human
cervical mucus. American Journal of Obstetrics and Gynecology 122:
650–654.

Anda mungkin juga menyukai