PENDAHULUAN
Kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus. Serviks
uterus adalah suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu
masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dan liang senggama
(vagina). Lokasi spesifik dari kanker leher rahim ini ada pada daerah perubahan
epitel skuamous menjadi epitel kolumnar atau squamous columnar junction dari
leher rahim. (Gondhowiarjo dan Sekarutami, 2004).
Secara global, setiap tahun diperkirakan terjadi kasus baru penderita
kanker leher rahim sebanyak 493.243 jiwa dan kematian karena kanker ini
sebanyak 273.505 jiwa per tahun. Di Indonesia, kanker leher rahim menempati
urutan pertama dari seluruh penyakit karena kanker, kurang lebih sebanyak 36%.
Komite Penanggulangan Kanker Nasional memperkirakan insiden minimum
kanker di Indonesia sebesar 52 juta perempuan yang terancam dengan kanker
leher rahim dari total 220 juta penduduk Indonesia saat ini. Masalahnya adalah
penduduk yang beresiko menderita kanker leher rahim karena kontak seksual
yang dini dan berganti-ganti pasangan seksual serta hygiene organ genitalia
yang rendah dapat meningkatkan kejadian kanker leher rahim sejalan dengan
bertambahnya jumlah penduduk, sedangkan anggaran pemerintah yang tersedia
untuk penderita kanker leher rahim hanya sekitar 5 persen dari seluruh
sumberdana yang digunakan untuk penyakit kanker secara global. Penyakit ini
biasanya terdiagnosa sangat terlambat dan terapi pilihan terbaru berupa operasi,
radiasi dan kemoterapi atau kombinasi dari modalitas terapi ini yang terbatas
pada rumah sakit tertentu, sehingga mengakibatkan kematian yang
meninggalkan dampak ekonomi dan sosial bagi keluarga pasien. (Wilopo,
2010; WHO, 2007).
Infeksi persisten HPV (Human Papilloma Virus) bertanggung jawab
terhadap terjadinya kanker leher rahim dan berbagai kanker lainnya, seperti
penis, anal, dan saluran pernafasan. Infeksi HPV tidak mudah diobati, akan
tetapi infeksi HPV biasanya sebagian besar akan menghilang dengan sendirinya.
Meskipun HPV memiliki berbagai jenis, namun tipe HPV-16 dan HPV-18
mendominasi penyebab kanker leher rahim, yaitu bertanggung jawab lebih dari
1
2
Gambar 1. Struktur molekur dari lendir serviks. I, ionic bond;P, peptide bond;H,
hydrogen bonding;D, disulfide linkage; V, van der Waals bonding; E,
entanglement of mucus molecules.
Ikatan peptida ini menghubungkan molekul musin melalui jembatan-
jembatan disulfida (S-S), lalu membentuk misel-misel musin dari 100 hingga
1.000 rantai glikoprotein. Pengaruh Estrogen dan Progesteron ikatan antar
molekul sehingga dapat juga mempengaruhi berat molekul lendir serviks
pada masing-masing fase dalam siklus menstruasi
3
4
Gambar 2. Gambar skematik struktur gel untuk beberapa tipe lendir serviks. Pada tipe
E, makromolekul berbentuk benang tersusun bersamaan dalam serabut
paralel yang panjang, atau misel, dengan ruang di antara mereka yang
terisi dengan plasma servikal. Spermatozoa dapat dengan mudah
berenang di antara ruang-ruang ini. Pada tipe H, misel menjadi lebih
pendek, dan hubungan antara misel satu dengan yang lain rusak sehingga
tak terdapat susunan yang paralel lagi. Pada tipe G, tidak terdapat formasi
misel, tetapi makromolekul panjang membentuk jaringan yang besar, tiga
dimensi, irreguler, dan padat (dengan rata-rata lubang 0,3 µm) yang tidak
memungkinkan spermatozoa untuk melewatinya. Pada tipe R, juga
terdapat jaringan yang irreguler tetapi dengan ukuran lubang yang lebih
besar (dengan rata-rata lubang 0,5 µm), namun, cukup sempit untuk
mencegah pergerakan sperma. Dari Odeblad dan Rudolfson-Asberg
(1973)
6
berisi berbagai jumlah debris sel dari mukosa serviks dan kadang-kadang
campuran sekresi endometrial. Kadang tidak mungkin untuk menentukan
dengan pasti asal dari bahan kimia yang ada di lendir. Hal ini terutama terjadi
pada kasus dimana bahan-bahannya tidak teratur dan atau hanya jumlah kecil.
(Werner, 1953; Moghissi,1962).
Bahan-bahan penyusun yang diketahui antara lain:
1. Air: sekresi lendir umumnya berisi lebih dari 90% air.
2. Garam inorganik, sekitar 1%. Hampir semuanya natrium klorida tapi ion-
ion lain seperti kalsium, fosfat, sulfat dalam jumlah “traces” dapat
ditemukan.
3. Sejumlah kecil bahan-bahan organik molekul rendah seperti asam amino
bebas, glukosa, dan maltose, serta beberapa material lemak.
4. Substansi organik molekul tinggi: kadang didapatkan sejumlah kecil
glikogen. Sejumlah protein “biasa” selalu muncul, biasanya 0,5-3% dan
terutama dari tipe albumin. Bagian terbesar dari material padat, akan
tetapi, dibentuk oleh glikoprotein, normalnya 1-6%. Karakter sekresi lendir
spesifik terutama karena glikoprotein ini (Werner, 1953; Moghisi, 1962).
Tabel 1. Komposisi dalam Lendir Serviks yang Diekstrak dari Lemak Secara Non
Dialyzable (Werner, 1953)
glukosa, dan protein yang solubel. Fase gel terdiri dari jaringan glikoprotein
makromolekuler yang dinamakan musin. Musin yang sangat besar dengan
kandungan karbohidrat yang tinggi bertanggung jawab terhadap tingginya
viskositas lendir serviks. (Schumacher, 1977).
Lendir serviks terdiri lebih kurang 90% air. pada fase pre dan post
ovulatori, lendir serviks normalnya mengandung sekitar 93%, sementara pada
pertengahan siklus dapat meningkat setinggi 98%. Tergantung pada viskositas
dan kandungan air, lendir serviks berfungsi sebagai barrier atau bahkan medium
transportasi spermatozoa. Abnormalitas kandungan lendir dapat menyebabkan
subfertility (dinamakan faktor servikal). (Schumacher, 1977).
2.2.1.1 Musin
Dalam sebuah studi tentang komposisi dan kandungan lendir serviks
menggunakan elektroforesa gel agar, Moghissi dkk. (1962) berhasil
mengidentifikasi pita-pita protein dan zona yang tidak dilewati migrasi sperma.
Zona yang tidak dilewati dalam migrasi sperma ini diperkirakan mencapai 43%
dari keseluruhan material yang terwarnai. Jordan (2006) mengemukakan bahwa
area ini, dapat diwarnai dengan pewarnaan PAS (Periodic Acid-Schiff), mungkin
faktor yang kaya dengan karbohidrat, musin, yang memberikan ciri khas pada
lendir serviks. Lebih jauh, Neuhaus dan Moghissi (1962), pada studi
pendahuluan komponen mukoid pada lendir serviks, mengamati efek tripsin dan
kemotripsin pada keseluruhan lendir serviks dan pada material yang tidak dapat
dilewati sperma yaitu yang PAS positif. Proteolisis menyebabkan pembentukan
komponen migrasi PAS positif, menghilangnya elastisitas dan kelengketan dan
eliminasi kemampuan presipitasi dengan cetyltrimethylammonium bromide.
Perbandingan dari saliva, lendir saliva yang telah dimurnikan, orosomukoid,
cairan sendi dan kondroitin sulfat. Jordan (2006) menyimpulkan bahwa
komponen yang kaya dengan karbohidrat, yang berikutnya disebut dengan
musin, dari lendir serviks merupakan sebuah glikoprotein, atau mukoid, dan
bukan mukopolisakarida. Hal yang sama juga dikemukakan lebih dulu oleh
Werner (1953), yang juga mengemukakan bahwa glikoprotein merupakan tipe
fukose dan asam sialat dan bertanggung jawab untuk memberikan suatu ciri
tertentu.
10
Kuantifikasi musin
Analisa dari musin monyet menunjukkan perubahan dalam struktur
oligosakarida bergantung dari fase siklus menstruasi. Selama beberapa dekade,
asam sialat yang mengandung musin servikal manusia telah banyak dipelajari.
Laporan-laporannya berkaitan dengan keragaman asam sialat atau karbohidrat
lainnya selama siklus menstruasi kadang-kadang saling berlawanan (Van Kooji
dkk, 1980; Meyer dkk, 1975; Moghissi dan Syner, 1976; Guslandi, 1981;
Chantler, 1982). Fleetwood dkk (1986) mengemukakan bahwa pertentangan itu
mungkin dikarenakan tidak adanya penghitungan perubahan konsentrasi seperti
jumlah keseluruhan. Dalam sebuah analisa yang melibatkan kuantifikasi musin
servikal manusia selama beberapa hari yang berurutan dan per jam dalam 1 hari
pada pertengahan siklus, Fleetwood dkk (1986) menunjukkan bahwa
konsentrasi musin sangat bervariasi selama pertengahan siklus. Penurunannya
dikaitkan dengan LH (Luteinizing Hormone) yang kadarnya mencapai puncak
diikuti dengan peningkatan pada akhir pertengahan siklus. Penurunan musin
dikaitkan dengan mungkin: (1) peningkatan air; (2) penurunan jumlah musin; atau
(3) peningkatan baik air maupun musin namun dengan peningkatan air yang
lebih menonjol. Dengan demikian, hubungan antara kadar serum estradiol dan
jumlah musin yang disekresikan pada hari siklus LH-1 (hari LH mencapai
puncak) setuju dengan konsep bahwa estradiol menstimulasi sekresi musin.
Pada studi yang sama, ditunjukkan bahwa sampling lendir berulang-ulang
menyebabkan penurunan signifikan jumlah keseluruhan musin pulih selama
pengumpulan sampel berulang. Konsentrasi musin tidak dipengaruhi, seperti
musin dan air yang dibuang dengan jumlah yang sama.
10 µmol. Morales dkk (1993) telah mempelajari konsentrasi protein lendir dan
kemampuannya untuk mendukung migrasi sperma. Saat pre-ovulatori dan 60
hari post partum lendir menunjukkan konsentrasi protein yang rendah yang
dinyatakan dengan SDS-PAGE (sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel
electrophoresis). Data menunjukkan terdapat hubungan terbalik yang sangat
signifikan antara konsentrasi protein dalam lendir dengan kemampuannya untuk
mendukung migrasi sperma. Banyak protein yang dapat larut menunjukkan
konsentrasi terendahnya selama siklus subur, yaitu ketika lendir serviks paling
dapat menerima penetrasi sperma. Studi yang lebih dulu yang dilakukan oleh
Moghissi dkk (1962) pada protein-protein servikal menggunakan pemisahan
elektroforesa dengan agar terdilusi untuk menunjukkan perubahan siklis selama
siklus menstruasi. Albumin, globulin dan mukoid yang non-migrasi ditemukan
dalam lendir serviks pada empat wanita subur yang sehat melalui satu siklus
menstruasi. Penurunan albumin dan peningkatan komponen mukoid sebelum
dan pada saat ovulasi, dan perubahan-perubahan ini akan terbalik segera
setelah ovulasi. Konsentrasi globulin tidak berubah secara bermakna selama
siklus menstruasi. (Moghissi, 1962).
Kuantifikasi imunoglobulin
Kutteh dan Franklin (2001), dengan menggunakan ELISA (Enzyme-
Linked Immunosorbent Assay), menghitung imunoglobulin dan sitokin-sitokin
dalam lendir serviks manusia pada masing-masing trimester kehamilan. Jordan
15
(2006) menunjukkan bahwa kadar IgG pada lendir serviks lebih tinggi daripada
kadar IgA selama masing-masing trimester. Kadar IgA pada lendir serviks tetap
tinggi dan konstan selama kehamilan. Kadar puncak IgA dan IgG pada semua
trimester kehamilan signifikan melebihi kadarnya pada waktu fase ovulatori dan
post ovulatori pada siklus menstruasi. Mereka menduga bahwa peningkatan IgA
dan IgG pada wanita selama kehamilannya mungkin sebagai akibat dari
peningkatan kadar estrogen dan progesteron yang diproduksi dalam jumlah
besar dan berperan dalam mempertahankan kehamilan. Peningkatan produksi
faktor-faktor imunologis ini dapat menyebabkan peningkatan imunitas dan
meningkatkan perlindungan terhadap patogen-patogen yang menginvasi.
Laporan penelitian terdahulu oleh kelompok peneliti yang sama menunjukkan
bahwa peningkatan konsentrasi IgA dan IgG lendir serviks berhubungan dengan
peningkatan komponen progestin yang didapat dari kontrasepsi oral. Kadar
puncak IgA dan IgG dalam lendir serviks dari wanita yang mengkonsumsi
kontrasepsi oral meningkat secara signifikan melebihi kadarnya pada lendir
serviks wanita selama fase ovulasi dan post-ovulasi dalam siklus menstruasi.
Perubahan-perubahan terkait dengan hormon pada kadar imunoglobulin dan
sitokin dihubungkan juga dengan adanya komponen progestin pada pil
kontrasepsi. Mereka mengemukakan bahwa mungkin terdapat efek regulasi
kompleks baik dari estrogen maupun progesteron dalam ekspresi imunoglobulin
pada lendir serviks. Peningkatan IL-1β sesuai dengan peningkatan IgA. Begitu
pula ketika kadar IL-1β rendah (< 500 pg/mL), kadar IgA dan IgG < 10 mg/dL.
Ketika kadar IL-1β meningkat, diamati hubungannya dengan peningkatan kadar
IgG dan IgA pada lendir serviks selama kehamilan dan selama penggunaan
kontrasepsi oral. Sebagai tambahan, jumlah IL-1β pada lendir serviks selama
kehamilan dan penggunaan kontrasepsi oral mendekati sepuluh kali lipat lebih
besar daripada jumlahnya pada lendir serviks dalam siklus wanita normal.
(Coghlan dan Skinner,1977).
Peningkatan kadar IgA dan IgG pada lendir serviks telah dilaporkan
terjadi pada wanita dengan gonorrhoea, trichomoniasis, candidosis, dan herpes
genital sebagai bandingannya dengan kelompok kontrol yaitu wanita yang tidak
terinfeksi. Data tersebut mengindikasikan peningkatan bermakna dari faktor-
faktor imun ketika terdapat penyakit lokal dan memberi kesan terhadap proses
induksi terjadinya respon imun lokal. (Coghlan dan Skinner,1977).
16
dengan mikroba dengan lingkungan internal yang steril (kavum uteri dan paru-
paru). Peneliti sebelumnya telah menunjukkan bahwa zat-zat yang terdapat
dalam cairan nasal berinteraksi secara aditif dan sinergis dalam membunuh
mikroba (Travis dkk, 1999). Oleh karena itu, dengan komposisi yang mirip, hal
yang sama juga diharapkan terjadi pada plug lendir serviks.Hein dkk (2002)
menduga bahwa perbedaan fisika dan biokimia antara plug servikal dan lendir
serviks mencerminkan perlunya evolusi penetrasi sperma melalui lendir serviks,
suatu keharusan yang tidak berlaku pada plug-plug. Konsentrasi lisosim yang
lebih tinggi dalam plug-plug servikal dibandingkan dengan lendir serviks mungkin
diakibatkan karena konsentrasi satu atau lebih protein-protein antimikroba yang
lebih tinggi dalam materi asal dan atau terjadi perubahan yang diinduksi hormon
dari sekresi-sekresi kelenjar servikal dalam kehamilan. (Jordan, 2006).
membentuk jala yang tebal sehingga tidak dapat dilalui oleh sperma.
(Odeblad,1994; shewood,1989).
Progesteron menyebabkan lendir serviks menjadi kental, kemampuan
spinnbarkeit menurun, kadar air yang semula 98 % dapat berkurang menjadi 92-
94% dan kristalisasinya pun akan berkurang. Jumlah sel akan meningkat ,namun
mekanisme pasti penyebabnya masih diteliti lebih lanjut. (Odeblad,1994;
shewood,1989).
Gambar 3. Di dalam kanalis servikalis, terdapat lendir tipe estrogenik yang jernih, berair,
dan tipis
22
Gambar 4. Di dalam endoserviks, tampak lendir opak, khas tampak pada fase luteal
normal atau pada wanita yang menggunakan kontraspsi oral steroid.
Dua tipe struktur fibrous telah ditunjukkan pada lendir serviks pada
pertengahan siklus: (1) serat yang panjang dan tebal yang bervariasi
diameternya dari 0,5 hingga 5 µm dan tersusun paralel satu sama lain; dan (2)
serabut mikro yang diameternya berkisar antara 500 hingga 1.500 Å (Zeneveld
dkk, 1975). Peneliti-peneliti ini berspekulasi bahwa serat-serat kebanyakan
mungkin mewakili misel yang membuat spermatozoa mempunyai arah untuk
mendekati serviks. Dengan menggunakan analisa NMR (resonansi magnetik
nuklir) untuk melihat isi dari salah satu kripte dan membandingkan hal ini dengan
migrasi sperma pada lendir yang telah diawetkan, Odeblad (1976) menyatakan
bahwa fungsi biologis dari dua tipe estrogen sekresi lendir serviks tipe E, dinamai
sebagai Es dan El (s untuk string = benang, l untuk loaf = papan). (Jordan, 2006).
NMR menyatakan secara tidak langsung penyerapan frekuensi radiologis
pada nukleus atomik pada lapangan homogen. Hal ini membuat studi non
destruktif dari lendir serviks. Lendir Es membawa spermatozoa dari kolam
vaginal, tetapi tipe El memiliki peran terbatas dalam hal ini. Sistem Es - El
merupakan sistem yang dinamik. Lendir ovulatori mengandung 20% - 25% tipe
Es, 72% - 77% tipe El dan 3% tipe G. Lebih lanjut, Es dan El memiliki perbedaan
dalam kandungan protein. Pada ruang anatar misel lendir Es memiliki protein
yang rendah. Viskositas cairan antar misel pada lendir E s yang sangat rendah
memungkinkan migrasi sperma yang sangat cepat. Sekresi tipe E s memiliki ciri-
ciri arsitektur molekuler. Musin mengandung makromolekul, yang merupakan
23
Tipe lain dari sekresi lendir serviks telah diketahui. Sekresi yang dikaitkan
dengan servisitis kronik yaitu tipe Q. Komposisi lendir serviks beragam
bergantung pada tipenya, derajat dan durasi keadaan inflamasi. Kripte (Gambar
5) melepaskan sekresi tipe ini memiliki respon terbatas terhadap stimulasi
hormonal. Odeblad (1969) juga menggambarkan kelenjar tunggal di dalam zona
24
25
26
3.2 Imunologis
Peran mukosa serviks secara fisiologis dikatakan berfungsi melindungi
barrier pada interior cavum uteri. Lendir mukosa tidak berubah dengan pH 5,5
dan 10. Ini tidak diturunkan dari hialuronidase pada binatang atau bakteri.
Banyak juga penghambat aktivitas virus (Odin and Neumuller, personal
communication). Diserang dari beberapa enzim proteolitik dan terutama pada
27
pencernaan dengan menurunnya tripsin secara cepat pada mukosa serviks. Tipe
mukosa ini harus membentuk barrier yang effektif pada agen dan juga pada
bagian yang tidak dapat dilalui spermatozoa, dikenal tidak mempunyai aktivitas
mukolitik. Sekresi cairan pada fase ovulatori memberikan perubahan kodisi total
untuk spermatozoa. Pada viskositas yang tinggi pada jalur tertentu resisten
meningkat pada spermigasi, tapi juga memberi perlindungan dari gangguan,
difusi dan penetrasi pasif organisme. Isotop juga dapat membantu kondisi
optimal untuk spermatozoa. (Jordan, 2006; Werner, 1953).
Lendir serviks mengandung antibodi-antibodi, khususnya, IgA sekretori,
yang mempunyai sifat bakterisidal jika terdapat lisosim dan komplemen dan
dapat mengaglutinasi bakteri dan mengopsonisasi bakteri untuk kemudian
difagositosis. Antibodi-antibodi yang beredar terhadap mikroorganisme-
mikroorganisme spesifik dapat diartikan sebagai akibat dari adanya infeksi
genital yang banyak, tetapi hanya terdapat bukti-bukti yang sedikit mengenai
efek-efek proteksi. Sebagai contoh, episode berulang infeksi klamidia, herpes
genital, trikomoniasis, dan gonorrhoea dapat terjadi walaupun terdapat jumlah
titer yang tinggi dari antibodi-antibode yang beredar di tubuh. Dengan demikian,
berbagai mekanisme imun bekerja di atas atau di dalam kulit vulva, tetapi peran
mereka pada populasi mikroba masih belum diketahui secara jelas. (Jordan,
2006; Miranda, 2006).
Infiltrasi sel imun vulva paling jelas selama tahun-tahun reproduktif. Sel-
sel langerhans merupakan sel imun yang paling sering ditemui di vulva;
sedangkan limfosit intraepithel dan perivaskuler jarang ditemui. Gradien
kepadatan sel langerhans terdapat di sepanjang traktus genitalis wanita bagian
bawah. Pada macaque rhesus, contohnya, kepadatan sel langerhans paling
sedikit pada forniks vagina dan paling banyak pada introitus. Studi pada manusia
menunjukkan kepadatan yang lebih banyak pada vulva daripada vagina, tanpa
adanya perbedaan baik pada daerah terkeratinisasi maupun yang tidak
terkeratinisasi. Kepadatan sel langerhans diperkirakan sebesar 19 per 100 sel
basal pada epithel vulva, 13 per 100 sel basal pada serviks, dan 6 per 100 sel
basal pada vagina. (Jordan, 2006; Miranda, 2006).
Sebaliknya, limfosit lebih banyak pada vagina: subtipe CD8 þ, yang
banyak terdapat di epithel mukosa manusia, merupakan sel imun vagina yang
paling sering ditemui. Subtype CD4 þ merupakan populasi terbesar kedua dari
28
sel imun vagina dan makrofag jaringan menduduki tempat ke tiga. (Jordan, 2006;
Miranda, 2006).
Fakta-fakta yang berkembang mengesankan bahwa respon imun
dimodulasi secara berbeda di sepanjang saluran reproduksi. Studi transplantasi
mengesankan bahwa serviks istimewa secara imunologis untuk melindungi fetus
dari ancaman terjadinya allorespon maternal terhadap antigen dalam cairan
ejakulat. Lendir serviks, yang melindungi jalan masuk uterus, mengandung
antibodi sekretori, khususnya IgA. Antibodi-antibodi sekretori ini menon-aktifkan
antigen dengan membentuk kompleks yang tidak dapat diserap. Mereka bersifat
bakterisidal jika terdapat lisosim dan komplemen, dan dapat mengaglutinasi
bakteri dan mengopsonisasi mereka untuk kemudian dilakukan fagositosis oleh
makrofag. (Miranda, 2006).
Sel-sel langerhans, yang mana konsentrasinya bervariasi pada daerah
yang berbeda-beda pada saluran genital, merupakan bagian dari system sel
dendritik. Mereka berperan sebagai penjaga, menyampel antigen pada
permukaan epithel, kemudian memindahkan dan menyajikannya dalam bentuk
imunogenik yang berespon terhadap limfosit T pada nodus limfatikus regional.
Kurangnya sel-sel langerhans vagina relative terhadap konsentrasinya di vulva
mungkin merupakan satu dari beberapa adaptasi terhadap tantangan antigen
yang terdapat pada mikroflora vagina dan protein asing yang terdapat selama
hubungan seksual. Cairan seminal juga mengandung berbagai inhibitor yang
menekan fungsi imun pada vagina dan serviks. (Miranda, 2006).
Daerah yang berbeda pada saluran genital menunjukkan respon-respon
yang berbeda-beda terhadap antigen. Penempelan antigen pada kulit vulva
dapat menyebabkan sensitisasi; tentunya, dermatitis kontak alergika terhadap
agen topikal merupakan penyumbang utama terjadinya ketidaknyamanan vulva
yang persisten. Sebaliknya, penempelan antigen ke mukosa yang tidak
terkeratinisasi dapat menginduksi terjadinya toleransi. Fenomena ini, paling jelas
ditunjukkan pada mukosa oral, yang bukan disebabkan karena fenotipe sel-sel
langerhans di tempat tersebut, melainkan merupakan sebab dari perubahan
respon setinggi nodus limfatikus drainase pada tempat tersebut. (Miranda, 2006).
Studi pada model binatang menunjukkan bahwa induksi toleransi juga
terjadi pada vagina, di mana fenomena tersebut diregulasi secara hormonal.
Pada tikus, toleransi yang diinduksi pada vagina terjadi hanya selama fase yang
29
dominan estrogen pada siklus estrus ketika pajanan sperma dapat terjadi.
(Miranda, 2006).
Lendir serviks adalah zat seperti jelly yang memiliki struktur kompleks dan
heterogen yang diproduksi oleh kelenjar kecil di leher rahim yang disebut sebagai
crypts serviks yang memiliki fungsi sebagai zat pelindung dan dapat mencegah
bakteri masuk ke rongga rahim.
Lendir serviks mengandung kurang lebih 90% air. Tergantung dari
kandungan airnya, yang mana bervariasi selama siklus menstruasi, fungsi lendir
sebagai barrier atau medium transpor spermatozoa. Komponen glikoprotein
makromolekuler (musin) yang bertanggung jawab terhadap karakteristik khas
dari lendir konsentrasinya bervariasi selama fase-fase siklus menstruasi, paling
rendah pada periode fertil (pertengahan siklus). Jembatan-jembatan disulfida dari
jaringan musin mudah hancur, membuat lendir serviks menjadi lebih encer.
Adanya kelompok-kelompok muatan negatif pada rantai-rantai sisi oligosakarida
dari molekul-molekul glikoprotein dikaitkan dengan integritas struktur musin
servikal. Kadar protein servikal bervariasi selama siklus menstruasi, paling
rendah pada saat ovulasi. Terdapat hubungan yang terbalik antara konsentrasi
protein dalam lendir dan kemampuannya untuk mendukung migrasi sperma.
Lendir serviks menyediakan imunitas lokal melalui interaksi khas imunoglobulin,
sitokin, dan hormon-hormon reproduksi. Prostaglandin dan trace elemen juga
menunjukkan variasi siklik yang tergantung pada hormon. Peningkatan kadar
tembaga, besi, dan selenium dikaitkan dengan infertilitas baik yang primer
maupun yang sekunder.
Perubahan fungsi dari lendir serviks pada keadaan endokrin yang
berbeda sesuai dengan konsep biologis dan molekulernya. Lendir serviks terdiri
dari hidrogel mukoid dan plasma servikal. Hidrogel mukoid (fase solid
glikoprotein) terbentuk sebagai jaringan fibril yang terikat bersama oleh ikatan
oblik dan transversal. Jaring ini dipisahkan oleh plasma servikal. Misel fibriler
memiliki keragaman dalam kepadatan selama fase-fase yang berbeda dari siklus
menstruasi, memberi kesan ada pengaruh hormonal, dan hal ini muncul untuk
mengatur migrasi sperma melalui lendir serviks. Dua tipe sekresi pada lendir
serviks normal berada di bawah kendali hormonal. Tipe E, terutama diproduksi
30
31
ketika terjadi dominansi estrogen, merupakan lapisan yang tipis dan berair.
Mikrofibril-mikrofibrilnya membuat spermatozoa dapat mendekati serviks. Sekresi
tipe G yang kental dan lengket diproduksi ketika terjadi dominansi progesteron.
Hal ini tidak mendukung migrasi sperma. Tipe lain dari sekresi servikal diproduksi
pada keadaan patologis. Secara umum, lendir serviks merupakan campuran
heterogen dengan satu atau lebih tipe sekresi yang menonjol; hal ini
menyebabkan rheologi kompleks lendir dan kandungan biologisnya.
Lendir serviks mengandung antibodi-antibodi, khususnya, IgA sekretori,
yang mempunyai sifat bakterisidal jika terdapat lisosim dan komplemen dan
dapat mengaglutinasi bakteri dan mengopsonisasi bakteri untuk kemudian
difagositosis. Antibodi-antibodi yang beredar terhadap mikroorganisme-
mikroorganisme spesifik dapat diartikan sebagai akibat dari adanya infeksi
genital yang banyak, tetapi hanya terdapat bukti-bukti yang sedikit mengenai
efek-efek proteksi. Dengan demikian, berbagai mekanisme imun bekerja di atas
atau di dalam kulit vulva, tetapi peran mereka pada populasi mikroba masih
belum diketahui secara jelas.
32
DAFTAR PUSTAKA
Beeson MF, Parish GR, James SL et al. (1982) A scanning electron microscopic
study of human cervical mucus. Advances in Experimental Medicine and
Biology 144: 293–296.
Chantler E (1982) Structure and function of cervical mucus. In: Chantler E, Elder
JB, Elstein M (eds) Mucus in Health and Disease, Vol. 144. New York:
Plenum, 251–263.
Jordan Joseph A, Singer Albert. (2006) The Cervix. Second edition. Blackwell
Publishing Ltd. P 157-168.
Litt M, Khan MA, Wolf DP (1976) Mucus rheology: relation to structure and
function. Biorheology 13: 37–48.
33
Odeblad E (1976) The biophysical aspects of cervical mucus. In: Jordan J, Singer
A (eds) The Serviks, 1st edn. London: Saunders, 156–163.
Odeblad E (1994) The Discovery of Differentia Types of Cervical Mucus and the
Billing Ovulation Method: Bulletin of the Ovulation Method Research and
Reference Centre of Australia : Volume 21: Number 3: 3-35
Schumacher GFB (1977) The uterine serviks. In: Reproduction. Stuttgart: Georg
Thieme, 101–107.
WHO (2007) Global strategy for the prevention and control of sexually
transmitted infections : 2006 - 2015 : breaking the chain of transmission.
WHO Library Cataloguing-in-Publication Data
Yang SL, Schumacher GFB (1979) Immune response after vaginal application of
antigens in the rhesus monkeys. Fertility and Sterility 32: 588–598.
Zeneveld DVM, Tauber RF, Port C et al. (1975) Structural aspects of human
cervical mucus. American Journal of Obstetrics and Gynecology 122:
650–654.