PENDAHULUAN
Hijauan merupakan salah satu sumber pakan utama bagi ruminansia. Perlu dilakukan
pengolahan untuk meningkatkan kualitas nutrisi dan daya cerna hijauan sebagai sumber.
Pengolahan ini dapat berupa proses fermentasi. Teknologi fermentasi pada pengolahan pakan
yang umum digunakan adalah pembuatan silase baik untuk hijauan rumput-rumputan,
leguminosa atau sumber serat lainnya seperti jerami dan daun sawit.
Pengolahan pada hijauan terdiri dari pengolahan biologis dan kimiawi. Pengolahan
biologis pada hijauan atau sumber serat umumnya dilakukan dengan cara memfermentasikan
bahan tersebut dalam keadaan anaerob pada waktu tertentu. Untuk meningkatkan kualitas
produk hasil fermentasi pada hijauan sering ditambahkan bahan pemicu atau penghambat
fermentasi baik berupa bahan kimia seperti asam dan alkali maupun zat aditif mikrobiologis.
Bahan kimia yang sering digunakan adalah asam format dan NaOH, sedangkan bahan
mikrobiologis umumnya adalah jamur dan bakteri atau enzim yang dihasilkan dari kedua
komponen mikrobiologis tersebut.
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan yaitu untuk mengetahui cara pembuatan silase berbahan
rumput gajah dan konsentrat (jerami, ampas tahu, dedak, dan ransum komplit) serta dengan
penambahan berbagai macam asam (asam format dan propionat), basa (NaOH), enzim
(Hemiselulase padat dan cair), dan urea.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Silase
Silase adalah suatu hasil pengawetan dari suatu bahan dalam suasana asam dalam
kondisi anaerob (Ensminger, 1990). Silase merupakan bahan pakan yang diproduksi secara
fermentasi, yaitu dengan cara pencapaian kondisi anaerob (McDonald et al., 1991). Ensilase
adalah nama dari proses pembuatannya dan silo nama tempat terjadinya (Sapienza dan
Bolsen, 1993). Untuk meningkatkan kualitas silase, ditambahkan bahan aditif yang dibagi
dua yaitu sebagai stimulan fermentasi dan inhibitor fermentasi. Stimulan fermentasi bekerja
membantu pertumbuhan bakteri asam laktat sehingga kondisi asam segera tercapai, contoh
inokulan bakteri yaitu bakteri asam laktat yang berfungsi untuk meningkatkan populasi
bakteri asam laktat dalam bahan pakan, sedangkan inhibitor fermentasi digunakan untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk seperti Clostridia sehingga pakan
bisa awet, sebagai contoh yaitu asam-asam organik seperti asam format, propionate, laktat
(McDonald et al., 1991).
Salah satu penambahan zat aditif sebagai stimulant fermentasi yaitu bakteri asam
laktat seperti Lactobacillus plantarum, Pediococcus pentosamonas, silase tersebut
dinamakan silase laktat. Silase laktat dapat didefinisikan dari karakteristik fermentasinya
yang ditunjukkan dengan pH rendah (mendekati 3,7-4,2), mengandung asam laktat dengan
konsentrasi cukup tinggi (sekitar 8-12%) dan hanya sedikit mengandung asam format, asetat,
propionat dan butirat.
6
2.2 Prinsip Dasar Silase
Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi hijauan
dengan kandungan uap air yang tinggi. Pembuatan silase tidak tergantung kepada musim jika
dibandingkan dengan pembuatan hay yang tergantung pada musim (Sapienza dan Bolsen,
1993).
Proses pembuatan silase secara garis besar terdiri atas empat fase : (1) fase aerob; (2)
fase fermentasi; (3) fase stabil dan (4) fase pengeluaran untuk diberikan kepada ternak. Setiap
fase mempunyai ciri-ciri khas yang sebaiknya diketahui agar kualitas hijauan sejak dipanen,
pengisian ke dalam silo, penyimpanan dan periode pemberian pada ternak dapat dipelihara
dengan baik agar tidak terjadi penurunan kualitas hijauan tersebut (Sapienza dan Bolsen,
1993).
7
Rumput gajah dikenal dengan sebutan rumput Napier atau rumput Uganda yang
memiliki umur panjang, tumbuh tegak membentuk rumpun dan memiliki rhizoma-rhizoma
pendek. Dapat tumbuh pada dataran rendah sampai kepegunungan. Toleransi terhadap tanah
yang cukup luas asalkan tidak mengalami genangan air. Responsif terhadap pemupukan
nitrogen dan membutuhkan pemeliharaan yang cermat. Pemberian pupuk kandang dapat
memperbaiki perkembangan akarnya (Permadi, 2007).
Rumput gajah termasuk tanaman tahunan membentuk rumpun yang terdiri 20-50
batang dengan diameter lebih kurang 2,3 cm. Tumbuh tegak dan lebat, batang diliputi perisai
daun yang berbulu dan perakaran dalam. Tinggi batang mencapai 2-3 m, lebar daun 1,25-
2,50cm serta panjang 60-90cm (vanis, 2007). Tanaman hijauan pakan terutama jenis rumput,
dapat dibudidayakan dengan biji, pols maupun stek. Stek merupakan perbanyakan tanaman
secara vegetatif dengan menggunakan sebagian batang, akar, atau daun yang dapat menjadi
tanaman baru. Stek digunakan karena lebih mudah dan ekonomis, sehingga cara ini dapat
digunakan untuk penanaman rumput gajah dan rumput raja (Mufarihim et al, 2012).
8
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Waktu dan tempat pelaksanaan praktikum ini berlangsung pada :
Bahan
Rumput gajah
Gamal
Tepung jagung
Gaplek
Batang jagung
Gula air
Alat
Sabit
Timbangan
Karung
Kantong plastik
Toples
Lak ban
9
3.3 Langkah Kerja
Potong rumput hijauaan (batang jagung, gamal dan rumput gajah) dengan ukuran 5 Cm
menggunakan sabit. Potongan hijauaan yang kecil bertujuan untuk agar pada saat
dimasukan kedalam silo lebih padat sehingga tidak ada ruang untuk oksigen dan air
yang masuk.
Hijauaan yang telah dicincang dibagi kedalam tiga bagian.
Silase perlakuan A
Komposisi : Gamal + rumput gajah dan gula air. Cara kerjanya : campuran gamal dan
rumput dimasukan kedalam toples sedikit demi sedikit sambil gula air di tuang perlahan
dengan tujuan agar campuran tersebut merata secara keseluruhan.
Silase perlakuan B
Komposisi : gamal + rumput gajah dan tepung jagung. Cara kerjanya : campuran gamal
dan rumput dimasukan kedalam toples sedikit demi sedikit, disamping itu tepung jagung
ditaburi secara merata diatas permukaan hijauaan dalam silo.
Silase perlakuan C
Komposisi : gamal + batang jagung dan gaplek. Cara kerjanya : hijauaan gamal dan
batang jagung dimasukan kedalam toples sedikit demi sedikit sambil taburi gaplek
samapai campuran merata secara sempurna.
Setelah semua perlakuan silase dimasukan kedalam silo, silase tersebut dibiarkan
selama 6 minggu.
10
BAB IV
Bahan
Silase Tekstur Bau Warna Berat(Gram)
Baik Rusak Kualitas(%)
lembut khas hijau kecoklat-
A tidak rapuh asam coklatan 1710 1440 270 84.21
lembut khas hijau kecoklat-
B tidak rapuh asam coklatan 2760 2600 160 94.20
lembut khas hijau kecoklat-
C tidak rapuh asam coklatan 1960 1840 120 93.88
Tabel 4.1 kualitas silase
4.2 Pembahasan
Berdasarkan praktikum pengujian bau diperoleh bau/ wangi hasil silase jerami jagung
seperti bau buah-buahan dan sedikit asam.Hal ini sesuai dengan pendapat Syarifuddin
(2001) yang menyatakan bahwa bau asam dapat dijadikan sebagai indikator untuk melihat
keberhasilan proses ensilase, sebab untuk keberhasilan proses ensilase harus dalam suasana
asam, bau yang sedikit asam dikarenakan pada proses ensilase terdapat sedikit oksigen.
Hasil silase yang buruk atau berkualitas rendah baunya busuk,Bau busuk pada proses
ensilase terjadi karena masih terdapat oksigen saat pemadatan hijauan dalam silo sehinga
dapat mengganggu proses dan hasil yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan pendapat
Reksohadiprodjo (1998) yang menyatakan bahwa oksigen dalam proses ensilase
dapat mempengaruhi proses dan hasil yang diperoleh karena proses respirasi hijaun akan
tetap berlangsung selama masih tersedia oksigen. Respirasi tersebut dapat meningkatkan
kehilangan bahan kering, menganggu proses ensilase, menghilangkan nutrisi dan kestabilan
silase.
11
yang sama dengan bahan asal. Hal ini sesuai dengan pendapat Syarifuddin (2001) yang
menyatakan bahwa silase adalah hasil pengawetan melalui proses pemeraman sehingga silase
yang berhasil harus awet dalam bentuk dan teksturnya. Siregar (1996) menambahkan
bahwa secara umum silase yang baik mempunyai ciri-ciri yaitu tekstur masih jelas seperti
asalnya.
Sedangkan dilihat dari ada atau tidaknya jamur hasil silase ketiganya terdapat sedikit
jamur. Kehadiran jamur pada hasil silase ini disebabkan karena saat memasukan jerami pada
silo tidak padat sehingga udara dapat masuk,sehingga dapat menyebabkan timbulnya
jamur. Hal ini sesuai dengan pendapat Regan (1997) yang menyatakan bahwa kualitas silase
yang baik dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : asal atau jenis hijauan, temperatur
penyimpanan, tingkat pelayuan sebelum pembuatan silase, tingkat kematangan atau fase
pertumbuhan tanaman, bahan pengawet, panjang pemotongan, dan kepadatan hijauan dalam
silo. Melayu (2010) menambahkan bahwa pemberian bahan tambahan (asam-asam organik,
molases, garam, tepung shorgum, onggok) bertujuan untuk mencegah tumbuh jamur dan
bakteri pembusuk, kriteria silase yang baik yaitu tidak terdapat jamur. Maka dilihat dari
teksturnya hasil silase yang kita dapatkan sangat baik dan sangat disukai ternak karena
teksturnya lembut dan sedikit berjamur sehinnga disukai ternak.
12
Secara keseluruhan ke 3 silase yang dibuat dapat dikatakan berhasil setelah dilakukan
pengamatan secara menyeluruh dari warna, bau, keberadaan jamur dan ulat. Setelah itu silase
yang rusak atau terdapat jamur dipisahkan dan ditimbang. Hasilnya ketiga bahan tersebut
memliki presentasi silase baik >80%. Hal ini menunjkan bahwa ke silase tersebut berkualitas
baik dan dapat diberikan kepada ternak.
13
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi hijauan
dengan kandungan uap air yang tinggi. Pembuatan silase tidak tergantung kepada
musim jika dibandingkan dengan pembuatan hay yang tergantung pada musim.
Proses pembuatan silase secara garis besar terdiri atas empat fase : (1) fase aerob; (2)
fase fermentasi; (3) fase stabil dan (4) fase pengeluaran untuk diberikan kepada
ternak.
Kualitas dan nilai nutrisi silase dipengaruhi sejumlah faktor seperti spesies tanaman
yang dibuat silase, fase pertumbuhan dan kandungan bahan kering saat panen,
mikroorganisme yang terlibat dalam proses dan penggunaan bahan tambahan.
Hasil silase yang baik adalah bewarna hijau kekuning-kuningan,teksturnya
yang lembut dan tidak berjamur,baunya yang seperti buah-buahan dan asam ,tidak
ada penggumpalan ,dan pH yang sangat rendah sehingga suasana yang sangat asam.
Hasil silase yang didaptkan sangat berkualitas baik
14
DAFTAR PUSTAKA
Aksi Agraris Kanisius. 1983. Hijauan Makanan Ternak Potong kerja dan perah. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Ciptadi, W dan Z. Nasution. 1985. Padi dan Pngolahannya. Agro Industri Press, Teknologi
Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Doyle, P. T., C. Davendra and G. R. Pearce. 1986. Rice Straw as a Feed for Ruminants.
Internasional Development Program of Australian Universities and Colleges
Limited, Canberra.
Ensminger, M. E., I. E. Oldfield and W. W. Heinemann. 1990. Feeds and Nutrition. 2nd Ed.
The Ensminger Publishing Company, California.
Houston, D. F. 1972. Rice Bran and Rice Polish In Houston D. F. (ed.). Rice Chemistry and
Technology Am Ass of Cereal Chemistry, Inc., St. Paul, Minnesota.
Komar, A. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami sebagai Makanan Ternak. Yayasan Dian
Grahita, Bandung.
Lubis, D.A. 1963. Ilmu makanan ternak. Cetakan ke-2. PT Pembangunan, Jakarta.
15
Mannetje, L. dan R.M. Jones. 1992. Forages. Plants Resources of South East Asia (Prosea).
Bogor.
Melayu, S.R. 2010. Pembuatan Silase Hijauan. Universitas Andalas. Sumatra Barat.
Murni, R., dkk. 2008. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah Untuk Pakan.
Laboratorium Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Jambi.
Neilson, M. J. and B. J. Stone. 1987. Chemical composition of fibrous feeds for ruminants in
relation to digestibility. In: T. F. Reardon, J. L. Adam, A. G. Campbell and R. M.
W. Summer (Eds.). Proceedings of the 4thAAAR Animal Science Congress.
Hamilton. Pp. 63-66.
Phang, L. 2001. Pemanfaatan bekatul, pollard dan jagung pada media tumbuh terhadap
produksi tumbuh buah jamur shitake (Lenitula edodes) di dataran rendah ciomas,
Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prabowo, A., D. Samaih dan M. Rangkuti. 1983. Pemanfaatan ampas tahu sebagai makanan
tambahan dalam usaha penggemukan domba potong. Proceeding Seminar
Pemanfaatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian untuk Makanan Ternak.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung.
16
Reksohadiprodjo, S. 1998. Pakan Ternak Gembala. BPFE, Yogyakarta.
Siregar, M. E. 1996. Produksi dan Nilai Nutrisi Tiga Jenis Rumput Pennisetumdengan
Sistem potong Angkut. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid. I. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Schroeder, J.W. and C.S.Park. 1997. Using a total mixed ration for dairy cows. North
Dakota States University (NDSU). http: //www.ext.nodax.edu/expubs/ansci/dair
y/as769w.htm. [6 Juni 2011].
Slomonski, B. A., D. Boros, L. D. Campbell, W. Guanter, and O. Jones. 2004. Wheat by-
products in poultry nutrition. Part I. Chemical and nutritive composition of wheat
screenings, bakery by-products and wheat mill run. Can. J. Anim. Sci. 84 : 421-
428.
Soemardi. 1975. Pendayagunaan Dedak. Seminar Teknologi Pangan ke II. Balai Penelitian
Kimia. Departemen Perindustrian Bogor.
Sofyan, L.A. 2000. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Sukarsa, D. R., Rudy R. Nitibaskura, Ruddy Suwandi. 1985. Penelitian pengolahan silase
ikan dengan proses biologis. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor .
17
Syarifuddin, N. A. 2001. Karakteristik dan Persentase Keberhasilan Silase Rumput Gajah
pada Berbagai Umur Pemotongan. Fakultas Pertanian Universtas Lambung
Mangkurat. Banjarbaru.
Tangendjaja, B. 1991. Pemanfaatan Limbah Padi Untuk Pakan. Balai Penelitian Ternak
Ciawi. Bogor.
Theander, O. and P. Aman. 1984. Anatomical and chemical characteristic. In: F. Sundstol
and E. Owen (Eds.). Straw and Other Fibrous By-products as Feed.
Developments in Anim. and Vet. Sciences. Elsevier. Amsterdam. Pp. 45-78.
Tillman, A., H. Hartadi, dan S. Reksoadiprodjo. 1997. Tabel Komposisi Bahan Makanan
Ternak untuk Indonesia. Gajah Mada University Press., Yogyakarta.
Wilkins, R.J. 1988. The Preservation of forage In : Feed Science. Oskov (ed). Elsevier
Science Publisher B.V. Amsterdam.
18