Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN TERNAK PERAH

PEMBUATAN DAN PENILAIAN KUALITAS SILASE

Oleh :

Kelas C

Kelompok 1

Muhammad Makbul Daian 200110160290

Alip Aksi Kotun Ismaya 200110180030

Ade Irawan 200110180040

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat


menyelesaikan Laporan Akhir Manajemen Ternak Perah yang berjudul

“Pembuatan dan Penilaian Kualitas Silase” ini.

Besar harapan penyusun, laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

baik dalam proses pembelajaran maupun sebagai referensi untuk menambah

pengetahuan bagi siapa yang memerlukan informasi dalam laporan praktikum ini.

Penyusun menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan

laporan praktikum ini. Oleh karena itu, penyusun memohon kritik dan saran dari

semua pihak terhadap laporan praktikum ini agar menjadi perbaikan dalam

penyusunan laporan praktikum yang akan datang.

Sumedang, November 2020

Penyusun
I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pada peternakan sapi perah hijauan merupakan pakan yang sangat penting

dan harus tersedia setiap saat. Hal ini menjadi kendala di peternakan sapi perah

Indonesia melihat ketersediaan hijauan berkualitas sangat fluktuatif. Pada musim

kemarau hijauan akan sulit untuk didapatkan dibandingkan pada saat musim hujan

di mana hijauan akan sangat melimpah. Silase merupakan salah satu solusi untuk

mengatasi kurangnya pasokan hijauan di saat musim kemarau.

Silase merupakan metode pengawetan hijauan pakan ternak dalam bentuk

segar yang melalui proses fermentasi anaerob. Pembuatan silase dibagi menjadi

dua periode untuk melihat kandungan pakannya. Dengan metode tersebut,

pemanfaatan hijauan yang ketersediannya berlimpah sepanjang musim dapat di

awetkan dan dapat digunakan pada musim-musim tertentu dengan jangka waktu

penyimpanan yang lama. Selain itu nutrient yang terkandung didalam hijauan

diharapkan dapat dipertahankan melalui proses silase sehingga pada saat musim

kemarau pakan silase hijauan dapat digunakan sebagai hijauan ternak yang

mempunyai kandungan nutrient dengan kualitas baik.

1.2 Maksud dan Tujuan

Mengetahui kualitas silase yang baik dengan cara mengevaluasi data

kelompok yang telah ada.

1
1.3 Kegunan

Agar dapat memberikan informasi mengenai pemanfaatan hijauan sebagai

pakan ternak melalui metode teknologi pengawetan hijauan sebagai silase

sehingga menjadi stategi untuk membentuk sumber cadangan pakan pada musim

tertetu.

1.4 Waktu dan Tempat

Hari/Tanggal : Selasa, 27 Oktober 2020

Waktu : 15.00-17.00

Tempat : Zoom Meeting

2
3

II

TINJAUAN PUSTAKA

Silase adalah pakan yang berbahan baku hijauan, hasil samping pertanian

atau bijian berkadar air tertentu yang telah diawetkan dengan cara disimpan dalam

tempat kedap udara selama kurang lebih tiga minggu. Penyimpanan pada kondisi

kedap udara tersebut menyebabkan terjadinya fermentasi pada bahan silase.

Tempat penyimpanannya disebut silo. Silo bisa berbentuk horizontal ataupun

vertikal. Silo yang digunakan pada peternakan skala besar adalah silo yang

permanen bisa  berbahan logam berbentuk silinder ataupun lubang dalam tanah

(kolam beton). Silo  juga bisa dibuat dari drum atau bahkan dari plastik.

Prinsipnya, silo memungkinkan memungkinkan untuk memberikan kondisi

anaerob pada bahan agar terjadi proses fermentasi. Bahan untuk pembuatan silase

bisa berupa hijauan atau bagianpbagian lain dari tumbuhan yang disukai ternak

ruminansia, seperti rumput, legume, biji bijian, tongkol jagung,pucuk tebu, batang

nanas dan lainplain. Kadar air bahan yang optimal optimal untuk dibuat silase

adalah 65-75%. Kadar air tinggi menyebabkan pembusukan dan kadar air  terlalu

rendah sering menyebabkan terbentuknya jamur. Kadar air yang rendah juga

meningkatkan suhu silo dan meningkatkan resiko kebakaran (Heinritz, 2011).

Teknologi silase adalah suatu proses fermentasi mikroba merubah pakan

menjadi meningkat kandungan nutrisinya (protein dan energi) dan disukai ternak 

karena rasanya relatif manis.Silase merupakan proses mempertahankan kesegaran

bahan pakan dengan kandungan kandungan bahan kering 30-35%dan proses

ensilase ini  biasanya dalam silo atau dalam lobang tanah, atau wadah lain yang

prinsipnya harus pada kondisi anaerob (hampa udara), agar mikroba anaerob dapat

melakukan reaksi fermentasi. Keberhasilan pembuatan silase berarti


4

memaksimalkan kandungan nutrien yang dapat diawetkan.Selain bahan kering,

kandunganm gula bahan juga merupakan faktor penting bagi perkembangan

bakteri pembentuk asam laktat selama  proses fermentasi  (Khan et al., 2004).

Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi hijauan

dengan kandungan uap air yang tinggi.Pembuatan silase tidak tergantung kepada

musim jika dibandingkan dengan pembuatan hay yang tergantung pada musim

(Sapienza dan Bolsen,1993).

Proses pembuatan silase (ensilage) akan berjalan optimal apabila pada saat

proses ensilase diberi penambahan akselerator.Akselerator dapat berupa inokulum

bakteri asam laktat ataupun karbohidrat mudah larut.Fungsi dari penambahan

akselerator adalah untuk menambahkan bahan kering untuk mengurangi kadar air 

silase, membuat suasana asam pada silase, mempercepat proses ensilase,

menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan jamur, merangsang produksi

asam laktat dan untuk meningkatkan kandungan nutrien dari silase (Schroeder,

2004).

Silase yang baik biasanya berasal dari pemotongan hijauan tepat waktu

(menjelang berbunga), pemasukan ke dalam silo dilakukan dengan cepat,

pemotongan  pemotongan hijauan dengan ukuran yang memungkinkannya untuk

dimampatkan, dimampatkan,  penutupan silo secara rapat (tercapainya kondisi

anaerob secepatnya) dan tidak sering dibuka. Silase yang baik beraroma dan

berasa asam, tidak berbau busuk.Silase hijauan yang baik berwarna hijau

kekuning-kuningan, dipegang terasa lembut dan empuk tetapi tidak basah

(berlendir). Silase yang baik juga tidak menggumpal dan tidak berjamur. Kadar

keasamanya (pH) apabila dilakukan analisa lebih lanjut adalah 3,2-4,5. Silase

yang berjamur,warna kehitaman, berair dan aroma tidak sedap adalah silase yang

mempunyai kualitas rendah (Rukmana, 2005).


7

III

ALAT, BAHAN, DAN METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

(1) Bahan pembuatan silase: rumput gajah dan hijauan/tanaman jagung

(2) Bahan imbuhan untuk silase: probiotik (cair dan powder), dedak, molases,

onggok

(3) Bahan konsentrat untuk penyusun completed feed (jika memungkinkan

dengan 2 tingkat kandungan protein yang berbeda, 14% dan 17%protein

kasar)

(4) Tempat untuk pembuatan silase: tong plastik bertutup, lengkap dengan

klem penguncinya

(5) Plastik silo

(6) Alat penghisap udara (vaccuum cleaner)

(7) Parameter uji

3.2 Prosedur Kerja

3.2.1 Pembuatan Silase

(1) Memahami Teori Dasar Pembuatan silase:

Pembuatan silase dilakukan pada temperatrur 27–35 0C dengan kualitas

baik yang diketahui secara organoleptik, yaitu teksturnya segar, kehijau- hijauan,

tidak berbau, tidak berjamur, tidak menggumpal.

Proses Terjadinya Silase

 Fermentasi Aerob, Sel-sel hidup potongan-potongan hijauan melakukan

respirasi dengan menggunakan oksigen, menghasilkan air, CO2, dan

energi (panas). Selain itu oksigen yang tersedia digunakan pulaoleh enzim,
8

bakteri, dan jamur dalam merombak gula menjadi alkohol, H2CO3, asam-

asam organic (asetat, laktat, dan butirat), dan air. Pada saat itu terjadi

perombakan protein menjadi amoniak, amida, asam butirat, CO2, dan air,

yang disebut proteolisis.

 Fermentasi anaerob, Setelah oksigen yang tersedia habis digunakan,

respirasiterhentisehinggasuasanamenjadianaerob.Padakondisiini jamur

tidak dapat tumbuh, namun bakteri pembentuk asam laktat masih aktif

yang kemudian mendominasi bakteri lainnya. Dengan demikian pH

hijauan turun. Bila sudah mencapai pH 4, aktivitas bakteri pembusuk

terhenti maka silase tidak mudah membusuk. Setelah itu, selesailah

prosesensilase.

(2) Melayukan hiajuan minimal 1 hari (kandungan bahan kering kira-kira 60–

65%). Kandungan air pada hijauan dapat diperkirakan sebagai berikut:

(a) daun masih berwarna hijau, jeraminya basah → diperkirakan 65–70%;

(b) daun sudah menguning, jeraminya cukup kering → diperkirakan 40–

50%.

(3) Memotong hijauan hingga 3–5 cm. lalu memasukkan ke dalam plastik silo

dengan membuat lapisan-lapisan. Lalu mencampurkan bahan tambahan

pada setiap lapisan.

(4) Pemberian bahan tambahan harus merata ke seluruh hijauan yang akan

diproses dengan cara: 20 % pada lapisan/ tumpukan pertama, 30 % pada

tumpukan kedua, dan 50 % pada tumpukan ketiga. Tujuan:mempercepat

fermentasi, dan meningkatkan tekanan osmosis sel-sel hijauan sehingga

dapat mencegah tumbuhnya jamur dan bakteri pembusuk.

(5) Memadatkan tumpukan (misal diinjak-injak). Setelah wadah penuh, tutup

serapat-rapatnya jangan sampai masuk udara (dalam keadaan anaerob),


9

untuk menyempurnakan penghilangan udara ini, dapat menggunakan

vaccuum cleaner. Proses silage membutuhkan waktu minimal 21hari.

(6) Setelah hari ke 22, melakukan pemeriksaan hasil pembuatan silase

tersebut. Membuka kemasan dan lihat bentuk, warna, dan bau dari silase.

(7) Melakukan pengujian:

(a) bau dan rasa; sentuhan; warna; cita rasa, lalu nilai berdasarkan

parameter yang telah ditentukan,

(b) uji cobakan dengan diberikan kepada sapi secara in vivo, lihat

palatabiltas dan konsumsinya.

3.2.1 Evaluasi Hasil Pembuatan Silase

(1) Mengambil silase.

(2) Menguji bau dan rasa, sentuhan, warna, cita rasa.

(3) Menilai berdasarkan parameter yang sudah ditentukan.

(4) Melakukan uji palatabilitas pada sapi secara in vivo:

(a) memberikan pada sapi, amati perilaku makan sapi tersebut,

(b) menyajikan hijauan yang biasa diberikan dan sandingkan dengan silase

yang kita buat, mana yang terlebih dahulu dimakan.


10

IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Tabel 1. Hasil penilaian silase


Ba Cit
Kelompo Perlakua u & Sentuha Kadarai Warn a Ras Jumla
k n ras n r a ras a h
a a

I 0 3 5 0 8 7 3 26

G
II Molases 5 5 10 6 15 5 46
1%

G Prob +
III 4 5 10 8 15 3 45
400 cc air

4.2 Pembahasan

Praktikum yang dilakukan pada kali ini yaitu pembuatan silase dengan

bahan hijauan yang digunakan yaitu tebon jagung. Kami kelompok 1 membahas

silase yang diberi perlakuan 0 atau tanpa perlakuan.Dengan keberagaman hijauan

yang digunakan pada pembuatan silase ini akan mempengaruhi kualitas silase dari

segi nutriennya. Tebon jagung (jagung muda umur 60-70 hari termasuk batang,

daun, bunga dan buah) memiliki kandungan bahan kering (BK) sebesar 24,03%,

yang diperoleh setelah tebon jagung mengalami pelayuan sebelum dibuat silase

(Rif’an, 2009). Pada awalnya molases adalah istilah yang digunakan untuk

berbagai produk samping dan berasal dari tanaman yang memiliki kandungan gula

yang tinggi, dan berbentuk cairan kental yang berwarna coklat gelap.

Hal yang dilakukan dalam pembuatan silase ini pertama adalahdengan

mencacah hijauan. Hal ini berfungsi untuk memperlancar proses fermentasi yang
11

terjadi. Setelah dilakukan pencacahan maka dilakukan penimbangan untuk

mengetahui berapa banyak substrat yang dibutuhkan. Dalam pemberian substrat,

substrat yang dipakai adalah karbohidrat siap pakai. Substrat yang biasa

digunakan yaitu dedak dan molases, selain itu juga asam laktat dapat digunakan

untuk membantu proses penguraian. Selanjutnya adalah pencampuran yang

dilakukan sampai homogen. Selanjutnya ada tahap pengemasan. Dimana dalam

tahap pengemasan diawali dengan pencetakan dulu didalam kotak lalu divakum

sampai tidak ada udara didalammnya. Lalu dilakukan pemeraman selama 21 hari

atau 3 minggu. Cara pencetakan silase adalah dengan menggunakan karung yang

dilapisi ke boks pengepak, setelah itu hijauan dipadatkan.

Silase ini harus ditempatkan pada tempat kedap udara supaya terhindar

dari kerusakan. Menurut pendapat Judomidjoyo., et al (1989) silase sebagai

produk akhir proses ensilase pada keadaan silo yang kedap udara, dan dapat

bertahan lebih dari 12 tahun dengan hanya sedikit mengalami perubahan.

Menurut Boslen (1993) tahap ensilase terbagi kedalam empat fase, yaitu :

1. Fase Aerob

Fase ini dimulai sejak hijauan pakan dimasukan kedalam silo terdapat dua

proses didalam fase ini, yaitu proses respirasi dan proteolisis. Proses respirasi

yang secara lengkap menguraikan gula-gula terlarut sehingga menjadi

karbondoksida dan air serta panas. Oksigen umumnya habis dalam waktu 4 − 5

jam dan temperature meningkat sampai 85 − 90°F dalam 15 hari pertama,

kemudian menurun secara bertahap (Mac Donald, dkk, 2001).

2. Fase Fermentasi

Fase ini dimulai ketika ketersediaan oksigen telah habis, dan mikroba an-

aerob mulai berkembangbiak dengan cepat. Pada fase ini juga asam laktat akan

meningkat. Dengan meningkatnya asam laktat ini, maka bakteri pembentuk asam
12

asetat berangsur-angsur menurun yang disebabkan mereka tidak dapat hidup pada

tingkat keasaman yang lebih tinggi.

3. Fase Stabil

Fase ini yaitu dimana masa aktif pertumbuhan bakteri penghasil asam

laktat berakhir serta sedikit sekali aktifitas mikroba akan terjadi pada fase ini.

Selain itu juga dalam fase ini terjadi penguraiaan hemiselulosa yang terjadi secara

kimia serta berlangsung lambat yang akan menghasilkan gula sederhana.

Penurunan pH yang lambat diakibatkan oleh fermentasi aktif yang berakhir karena

kekurangan gula, sehingga asam laktat akan memfermentasikan gula yang berasal

dari perombakan hemiselulosa.

4. Fase Pengeluran Silase

Fase pengeluaran silase dimulai saat silo dibuka serta diberikan pada

ternak. Didalam fase ini oksigen secara bebas akan mengkontaminasi lapisan

permukaan silase yang terbuka sehingga menyebabkan perkembangan mikroba

aerob yang memfermentasi gula, serta hasil-hasil akhir dari fermentasi dan zat

makanan terlarut yang lainya yang ada dalam silase.

Pengujian silase dilakukan dengan 2 metode yaitu uji palatabilitas dan uji

organoleptik terhadap setiap perlakuan yang berbeda. Uji ini merupakan uji yang

menunjukan kesukaan ternak dalam mengkonsumsi pakan. Selain itu juga uji ini

meruupakan uji yang menggunakan parameter yang berkaitan dengan warna,

tekstur, rasa dan aroma. Menurut Christi, R. F. et al, (2019) menerangkan bahwa

uji palatabilitas merupakan pengujian tingkat kesukaan yang ditunjukan oleh

ternak untuk mengkonsumsi suatu bahan pakan yang diberikan dalam periode

tertentu. Selain itu parameter dalam uji organoleptik diantaranya warna, aroma,

rasa dan tekstur karena tingkat kesukaan konsumen terhadap suatu produk
13

dipengaruhi oleh warna, aroma, rasa, dan rangsangan mulut (Laksmi, 2012). oleh

sebab itu terdapat perbedaan level dalam setiap kelompok. Silase yang tidak baik

ditandai dengan rasa yang tidak sedap dan tidak ada dorongan untuk mencoba.

Dari hasil pengamatan menggunakan uji organoleptik silase dapat

diketahui bahwa pada kelompok kami, yaitu kelompok 1 dengan perlakuan 0 atau

tanpa penambahan perlakuan lainnya memiliki kualitas silase level C yaitu cukup.

Karena kualitas silase pada kelompok kami memiliki tekstur sedikit lengket, kadar

air diantara 50%-54%, mempunyai warna hijau kekuningan sedikit coklat,

memiliki rasa manis asam, baunya pun merangsang dan asam tidak segar. Rasa

asam yang ada dalam silase disebabkan oleh faktor bakteri asam laktat (Sayuti,.

dkk 2019).

Sedangkan pada kelompok II dengan perlakuan ditambah G Molasse 1%

memiliki kualitas A yang artinya ekselen. Dimana kualitas hasil silase kelompok

II memiliki warna hijau kuning terang, bau segar, asam wangi serta harum, dan

kering agak lembab dengan kadar air berada diantara 60-64%. Menurut pendapat

Angga (2015) bahwa silase dengan penambahan molases mempunyai warna

coklat, dengan aroma seperti caramel dan memiliki rasa yang manis sehingga

ternak lebih suka dengan silase dengan penambahan molases. Pada kelompok III

dengan perlakuan ditambah G Prob + 400cc air memiliki kualitas A juga. Kualitas

silase pada kelompok III memiliki warna hijau kuning terang, bau segar, asam

wangi dan harum, dan kering agak lembab dan kadar air berada antara 60-64%.

Maka dari ketiga perlakuan yang telah dilakukan dapat dikatakan bahwa

silase masih bisa dikonsumsi oleh hewan ternak. Hal yang nampak dalam

perbedaan yaitu dalam indikator warna. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari

Kushartono dan Nani (2015) menerangkan bahwa silase yang baik apabila warna

daun masih kehijauan dan tercium bau asam. Oleh karena itu, silase yang kurang
14

baik ditandai dengan perubahan warna menjadi hitam atau mendekati warna

kompos. Menurut Reksohadiprodjo (1998) perubahan warna yang terjadi pada

tanaman yang mengalami proses ensilase yang disebabkan oleh perubahan yang

terjadi dalam tanaman karena proses respirasi aerobik yang berlangsung selama

persediaan oksigen masih ada, sampai gula tanaman habis.

Pada indikator penilaian tekstur, silase ini memiliki tekstur kering, akan

tetapi apabiula dipegang akan terasa lembut dan empuk. Kriteria ini sudah cukup

baik, karena silase yang kurang baik ditandai dengan kandungan air yang banyak,

akan terasa becek atau basah sedikit, dan bau yang menempel harus dicuci

menggunakan sabun agar bau nya dapat hilang. Maka berdasarkan perbandingan

tadi silase kelompok II dan III akan lebih disukai oleh hewan ternak

dibandingankan dengan silase Kelompok I, karena silase kelompok II dan III

memiliki nilai A atau yang ekselen. Karena menurut Kartadisastra (1997) bahwa

ternak ruminansia lebih menyukai pakan rasa manis dan hambar daripada asin

atau asam.

Adapun faktor yang mempengaruhi kegagalan dalam pembuatan silase

adalah dengan keadaan yang aerob. Karena hal ini disebabkan oleh udara yang

amsuk kedalam silase dan mengganggu proses silase, molases yang diberikan pun

tidak merata, dan silo yang tidak tertutup rapat. Kegagalan dalam pembuatan

silase dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah proses pembuatan

yang salah, terjadi kebocoran silo yang anaerobik, tidak tersedianya karbohidrat

terlarut (WSC), berat kering (BK) awal yang rendah sehingga silase menjadi

terlalu basah dan memicu pertumbuhan organisme pembusuk yang tidak

diharapkan (Ratnakomala, dkk 2009).


V

KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka kualitas silase pada

kelompok I, II, dan III masih bisa diberikan kepada ternak untuk dikonsumsi.

Dimana perbedaan yang sangat jelas terlihat dari indikator warna yang

menandakan bahwa silase yang dibuat tidak terlalu jauh menyimpang. silase yang

kurang baik ditandai dengan adanya perubahan warna menjadi hitam mendekati

warna kompos yang diakibatkan karena temperatur silase dalam silo terlalu tinggi.

Jadi dapat dikatakan bahwa Kelompok II dan III lebih baik daripada silase

Kelompok I yang tanpa menggunakan bahan tambahan lain.

15
DAFTAR PUSTAKA

Angga Alvianto. 2015. Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis Sumber


Karbohidrat Pada Silase Limbah Sayuran Terhadap Kualitas Fisik Dan
Tingkat Palatabilitas Silase. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(4):
196-200.

Bolsen K.K dan Sapienza. 1993. Teknologi Silase : Penanaman, Pembuatan dan
Pemberiannya pada Ternak. Pioner Seed. Kansas.

Christi Febrianto Raden, Ana Rochana dan Iman Hernaman. 2019. Kualitas Fisik
Dan Palatabilitas Konsentrat Fermentasi Dalam Ransum Kambing Perah
Peranakan Ettawa Physical Quality And Palatability Of Fermented
Concentrates Diets Of Ettawa Cross Goats. Universitas Padjadjaran.
Jatinangor.

Heinritz, S. 2011. Ensiling Suitability of High Protein Tropical Forages and


Their Nutritional value for Feeding Pigs. Diploma Thesis. University of 
Hohenheim, Stutgart.

Judoamidjojo, R.M., Said, G.E. dan Hartoto, L. 1989. Biokonversi.


Dirjend.Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB.

Kartadisastra, H.R. 1997. Penyediaan dan Pengolahan Pakan ternak Ruminansia.


Swadaya. Jakarta.

Kushartono, B., & Nani, I. 2005. Silase Tanaman Jagung Sebagai


Pengembangan Sumber Pakan Ternak. Prosiding, Temu Teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian.

Laksmi, R. (2012). Daya ikat air, pH dan sifat organoleptik chicken nugget yang
disubstitusi telur rebus. Animal Agriculture Journal 1(1): 453-460

McDonald, P. 2001. Animal Nutrition, 2nd. Ed. The English Languange Book
Society and Longman.

Ratnakomala, Shanty. 2009. Menabung Hijauan Pakan Ternak Dalam Bentuk


Silase. Jurnal Biotrend. 4(1).

Reksohadiprodjo, S. 1988. Pakan ternak Gembala. BPFE, Yogyakarta.

Rif’an, M. 2009. Pengaruh Lama Fermentasi Pakan Komplit dan Silase Tebon
Jagung Terhadap Perubahan Ph dan Kandungan Nutrien. Skripsi.
Universitas Brawijaya. Malang.

16
Rukmana, R. 2005. Silase dan Permen Ternak Ruminansia. Kanisius.Yogyakarta.

Sapienza, D.A. and K. K. and Bolsen.1993. Teknologi Silase (Penanaman,


Pembuatan dan Pemberiannya pada Ternak). Penerjemah: Martoyondo
Rini B.S.

Sayuti Muhammad, Fahrul Ilham dan Tri Ananda Erwin Nugroho. 2019.
Pembuatan Silase Berbahan Dasar Biomas Tanaman Jagung Activities Of
Making Silage Using Corn Biomass. Jurnal Pengabdian Dan
Pemberdayaan Masyarakat. 3(2).

Schroeder, J. W. 2004. Silage Fermentation and Preservation.


http://www.ext.nodak.edu/expubs/ansci/dairy/as1254w.btm.pdf.

17

Anda mungkin juga menyukai