SEPTIANA WULANDARI
0906564252
SEPTIANA WULANDARI
0906564252
Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini tepat pada
waktunya. Karya tulis ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
ners Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Karya tulis ini dapat saya selesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak yang telah
memberikan bantuan, bimbingan dan dorongan semangat yang tak terhingga.
Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
iv
Septiana Wulandari
Perkotaan menjadi daya tarik masyarakat desa untuk melakukan urbanisasi. Hal
ini menyebabkan masyarakat desa terutama lansia datang ke kota untuk tinggal
dan bekerja. Hal ini menyebabkan banyaknya pengangguran dan tunawisma
sehingga adanya panti sosial di perkotaan, seperti Panti Sosial Tresna Werdha
(PSTW) Budi Mulya 1 menjadi solusi dan alternatif hunian bagi lansia. Metode
dalam karya ilmiah yakni analisis praktik KKMP di PSTW Budi Mulya 1. Lansia
kelolaan adalah Ibu R berusia 80 tahun dengan diagnosa konstipasi dan intervensi
utama yakni masase abdomen. Hasil implementasi masase abdomen menunjukkan
terjadi peningkatan pola buang air besar dan bising usus. Penulis
merekomendasikan perawat sebagai penanggung jawab wisma meneruskan
impelemntasi masase abdomen minimal dua kali dalam seminggu dengan durasi
minimal 30 menit.
Urban area becomes attractiveness for rural people to urbanization. This led to
villagers, especially the elderly come to the city to live and work. This led to
unemployment and homelessness so that the presence of social institutions in
urban areas, such as Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulya 1 become
solution and alternative housing for the elderly. This scientific work’s method is
analysis of practice in PSTW Budi Mulya 1. The elderly people who managed is
Mrs. R (80 years old) with diagnosis of constipation and abdominal massage
which is a major intervention. The results implementation of abdominal massage
have shown increased defecation pattern and bowel sound. Authors suggested to
nurse in charge guesthouse can continue nursing care abdominal massage at least
twice a week with a duration of at least 30 minutes.
ix Universitas Indonesia
x Universitas Indonesia
LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
xi Universitas Indonesia
Jumlah lansia di Indonesia meningkat terus menerus setiap tahunnya dan masuk
dalam lima besar negara dengan jumlah lansia terbanyak di dunia yakni mencapai
18,1 juta jiwa pada tahun 2010 atau 9,6 persen dari jumlah penduduk. Jumlah
lansia di Indonesia merupakan urutan keempat dunia setelah Cina, India, dan
Amerika (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Peningkatan jumlah lansia tersebut
disebabkan karena meningkatnya Usia Harapan Hidup (UHH) seseorang.
1 Universitas Indonesia
kemudian tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,9%) dengan UHH meningkat
menjadi 66,2 tahun. Pada tahun 2010 penduduk lansia di Indonesia mencapai 23,9
juta (9,77%) dengan UHH sekitar 67,4% dan sepuluh tahun kemudian yakni tahun
2020 diperkirakan penduduk lansia Indonesia akan mencapai 28,8 juta (11,34%)
dengan UHH sekitar 71,1 tahun (Kementerian Sosial, 2007).
Proses menua merupakan proses alamiah yang dialami seseorang yang tidak dapat
dihindari. Proses menua adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki, mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya (Nugroho, 2000). Seseorang yang memasuki proses menua akan
mengalami perubahan pada tubuhnya baik perubahan struktur dan fungsi tubuh,
kemampuan kognitif maupun perubahan status mental. Perubahan struktur dan
fungsi tubuh tersebut terjadi hampir pada semua sistem tubuh mulai dari sistem
saraf, pernapasan, endoktrin, kardiovaskuler, muskuloskeletal dan juga
gastrointestinal (Miller, 2004).
Perubahan pada sistem gastrointestinal terjadi pada seluruh organ yang terlibat
dalam sistem pencernaan mulai mulut hingga anus. Salah satu organ yang
mengalami perubahan yakni usus besar (kolon). Perubahan usus besar yang terjadi
pada lansia diantaranya adalah menurunnya sekresi mukus, elastisitas dinding
rektum serta persepsi distensi dinding rektum (Prather, 2000 dalam Miller, 2004).
Selain itu pada usus besar lansia, kelokan pembuluh darah meningkat sehingga
motilitas kolon berkurang. Hal tersebut akan menyebabkan absorbsi air dan
Universitas Indonesia
elektrolit meningkat dan feses menjadi lebih keras sehingga menimbulkan keluhan
sulit buang air besar atau terjadinya konstipasi (Stockslager, 2007).
Konstipasi tidak hanya terjadi sebagai konsekuensi fisiologis dari penuaan normal
tetapi hal ini juga terjadi karena adanya kombinasi beberapa faktor risiko. Faktor
risiko tersebut yakni penurunan aktivitas fisik akibat penyakit kronis, gangguan
mobilitas, asupan makanan berserat yang berkurang, serta penggunaan obat-
obatan (Bosshard, Dreher, Schnegg, & Bula, 2004). Konstipasi pada lanjut usia
lebih sering terjadi pada lansia usia 60 tahun. Sebagian besar konstipasi pada
lanjut usia berhubungan dengan penurunan motilitas kolon, berkurangnya
mobilitas aktivitas fisik, dan rendahnya asupan serat dan cairan pada lanjut usia
(Purba, 2003).
Menurut Locke, Pemberton, dan Philips (2000), angka kejadian konstipasi pada
masyarakat umum yakni sekitar 12-19%. Di Inggris prevalensi lansia yang
mengalami konstipasi yakni 21-25% dengan perbandingan perempuan lebih
banyak dibandingkan laki-laki (23% pada perempuan dan 14% pada laki-laki)
sementara itu di New Zealand angka kejadiannya sekitar 22% pada lansia di
komunitas (Tariq, 2007). Menurut Kasthuri, dkk (2013), pada lansia di India
angka kejadian konstipasi yakni sebanyak 74,9%. Sementara itu di Indonesia
dalam penelitian yang dilakukan oleh Fitriani (2010) menunjukkan bahwa 37
responden (37,4%) lansia di Panti Sosial Sabai nan Aluih Sicincin Kota Padang
mengalami konstipasi.
Angka kejadian konstipasi akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan
perbandingannya lebih banyak terjadi pada lansia perempuan (Gallagher &
O’Mahony, 2009 dan Higgins & Johanson, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh
Higgins dan Johanson (2004) di Amerika Utara menunjukkan bahwa pada lansia
yang berusia 65 tahun atau lebih prevalensi terjadinya konstipasi yakni 26%
terjadi pada perempuan dan 16% terjadi pada laki-laki, sementara itu pada lansia
usia 84 tahun atau lebih prevalensi terjadinya yakni 34% pada perempuan dan
26% pada laki-laki.
Universitas Indonesia
Masalah konstipasi pada lansia tidak hanya menjadi perhatian bagi pemberi
pelayanan kesehatan di rumah sakit ataupun klinik, tetapi juga pada lansia di
komunitas dan juga panti jompo. Pada lansia di komunitas prevalensi terjadinya
konstipasi sekitar 15-20% dengan perbandingan lansia perempuan dua hingga tiga
kali lebih banyak dibandingkan laki-laki. Sementara itu pada lansia di panti jompo
prevalensinya lebih besar yakni lebih dari 50% mengalami konstipasi dengan 50-
74% lansia menggunakan laksatif setiap harinya (Gallagher, O’Mahony, &
Quigley, 2008).
Salah satu penyebab konstipasi terjadi karena rendahnya konsumsi serat. Hal ini
terlihat bahwa perkembangan masyarakat Indonesia terutama di perkotaan saat ini
mengalami pergeseran pola konsumsi pangan. Seiring dengan perkembangan
zaman dan adanya perbaikan sosial ekonomi masyarakat, maka terjadi pula
perubahan kebiasaan makan yang cenderung ke barat-baratan. Makanan jadi dan
makanan siap jadi banyak dipilih masyarakat saat ini. Banyak komponen-
komponen esensial khususnya serat yang hilang pada makanan-makanan tersebut.
Akibat asupan serat yang terlampau rendah pada makanan tersebut dalam kurun
waktu lama maka dapat menyebabkan terjadinya masalah konstipasi (Soelistijani,
2000). Hal tersebut karena serat dapat membantu menambah massa feses dan
melunakkan feses sehingga mempercepat pasase intestinal. Selain itu serat juga
dapat menahan air sehingga tinja menjadi lebih banyak dan berair dan akibatnya
terjadi stimulasi gerakan peristaltik, mempercepat waktu transit kolon,
meningkatnya frekuensi defekasi dan penurunan tekanan di kolon (Wirakusumah,
2008)
Universitas Indonesia
memegang fungsi penting dalam pengolahan makanan dalam usus yakni tanpa
adanya cairan yang cukup maka usus tidak dapat bekerja secara maksimal dan
mengakibatkan terjadinya konstipasi.
Panti werdha merupakan tempat pelayanan khusus untuk lansia. Ada banyak
sekali panti werdha di Indonesia dan salah satunya adalah Panti Sosial Tresna
Werda (PSTW) Budi Mulya 1. PSTW Budi Mulya 1 merupakan panti werda yang
berada dikelola oleh Pemda DKI Jakarta dan terletak di wilayah Jakarta Timur.
Panti ini terdiri dari tujuh buah wisma dengan lansia laki-laki dan perempuan
yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Lansia yang berada di panti ini
mendapat pelayanan makan tiga kali sehari. Selain itu pihak panti juga
mengadakan berbagai kegiatan setiap harinya seperti setiap hari Senin dan Kamis
diadakan kegiatan pengajian, hari Rabu diadakan panggung gembira serta hari
Selasa dan Jumat diadakan kegiatan senam pagi bersama (Menurut data, n.d).
Hasil observasi yang dilakukan di PSTW ini didapatkan hasil bahwa makanan
yang diberikan untuk lansia secara umum komposisinya seperti karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral sudah ada. Namun, makanan tersebut belum
disesuaikan dengan diet penyakit lansia, struktur nasinya juga keras dan potongan
beberapa sayurannya cukup besar-besar. Pemberian makanan pada lansia di panti
belum disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing lansia. Selain itu,
pemantauan intake cairan pada lansia di PSTW ini juga belum ada sehingga tidak
dapat diketahui lansia yang mengalami kekurangan cairan. Walaupun setiap hari
Selasa dan Jumat diadakan senam pagi di panti, tetapi tidak semua lansia yang
Universitas Indonesia
PSTW Budi Mulya 1 terdiri dari tujuh wisma dan salah satunya adalah wisma
Cempaka. Wisma ini merupakan wisma untuk lansia perempuan dengan tingkat
ketergantungan total. Jumlah lansia di wisma ini yakni 29 orang. Berdasarkan
hasil pengkajian di wisma ini didapatkan data bahwa sebanyak empat orang lansia
di wisma ini mengeluh susah buang air besar. Jika ada lansia yang mengalami
konstipasi biasanya tidak langsung diberi laksatif tetapi dengan menambah buah
dan sayur pada menu makanannya (Menurut Data, n.d).
Ibu R (80 tahun) adalah salah satu lansia yang ada di wisma cempaka yang
mengeluhkan sulit buang air besar. Ibu R mengatakan pola defekasi biasanya
seminggu dua kali, feses keras dan mengejan saat defekasi. Saat dilakukan
pengkajian teraba keras pada perut bagian kiri, bising usus 2 x/ menit, dan Ibu R
mengatakan belum BAB sejak 1 minggu yang lalu. Aktivitas Ibu R sehari-hari
tiduran atau duduk-duduk di teras ataupun di tempat tidur ataupun mengikuti
kegiatan panggung gembira. Ibu R mengatakan hanya minum ketika haus saja dan
dalam sehari biasanya hanya minum kurang lebih 500 ml. Salah satu cara yang
dilakukan dalam mengatasi masalah konstipasi pada Ibu R yakni dengan masase
abdomen, latihan mengayuh sepeda dan peningkatan asupan cairan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
STUDI LITERATUR
pelindung. Namun ada beberapa radikal bebas yang berhasil lolos dari proses
perusakan dan berakumulasi di dalam struktur biologis sehingga kerusakan organ
pun terjadi (Stanley & Beare, 2006).
Begitupula menurut Carlson (2009) dalam teori wear and tear secara langsung
disebutkan bahwa proses metabolisme berjalan terus menerus sepanjang hidup
seseorang dan akan menghasilkan akumulasi radikal bebas yang menyebabkan
organ mengalami penurunan fungsi. Hal tersebut terjadi karena radikal bebas
dapat merusak DNA. Penumpukan sampah metabolisme dan DNA yang rusak
dapat menghambat nutrisi menuju sel sehingga mengakibatkan malfungsi organ
dan sebagai contohnya muncul berbagai penyakit akibat penuaan (Carlson, 2009).
Sementara itu menurut Mauk (2010), teori wear and tear menjelaskan bahwa
perubahan kumulatif mengakibatkan perubahan pada usia sel dan kerusakan
metabolisme seluler. Seperti contoh, ketidakmampuan sel untuk memperbaiki
DNA yang mengalami kerusakan, seperti sel yang mengalami penuaan (aging
cell). Hal ini juga diketahui terjadi pada sel di otot jantung, neuron, striated
muscle, dan otak tidak dapat berganti dengan sendirinya setelah rusak akibat
digunakan dan dirusak (wear and tear) (Mauk, 2010).
Konsumsi yang berlebihan dari lemak, gula, kopi, alkohol, rokok, sinar ultraviolet
matahari ditambah stres fisik dan psikis akan merusak organ dan tubuh dan
bahkan tanpa pernah merokok, minum alkohol, menghindari sinar matahari pun,
tubuh akan menua, karena digunakan setiap hari. Pada waktu kita muda,
kemampuan tubuh untuk mempertahankan sistem reparasinya cukup baik, tetapi
dengan bertambahnya usia kemampuan tubuh untuk memperbaiki sel-sel tubuh
yang rusak menjadi berkurang (Miller, 2004). Selain itu, teori wear and tear juga
menyakini bahwa organ atau jaringan memiliki sejumlah energi yang tersedia dan
akan digunakan hingga energi tersebut habis serta mengarah kepada kematian
organisme tersebut (Lueckenotte, 2000).
Universitas Indonesia
Beberapa spekulasi pun muncul terkait peningkatan wear and tear. Spekulasi
menyatakan bahwa peningkatan wear and tear disebabkan oleh adanya aktivitas
yang mungkin mengakselerasi penuaan oleh peningkatan produksi radikal bebas
(Mauk, 2010). Contohnya yakni faktor stresor berbahaya yang meliputi merokok,
diet buruk, maupun alkohol yang dapat mengeksaserbasi proses wear-out (Miller,
2004). Spekulasi ini pun mendukung bahwa penuaan bukan hanya disebabkan
oleh satu faktor saja, melainkan sebagai kombinasi faktor lainnya. Hal ini juga
dapat dikatakan penuaan dapat dilihat sebagai proses fisiologis jumlah wear-tear
yang terpapar oleh individu tersebut (Lueckenotte, 2000).
Universitas Indonesia
yakni usia 45-59 tahun, usia lanjut (presenium) yakni usia 60 tahun atau lebih, dan
usia lanjut risiko tinggi yakni usia 70 tahun atau lebih.
Jumlah lansia di Indonesia meningkat terus menerus setiap tahunnya dan masuk
dalam lima besar negara dengan jumlah lansia terbanyak di dunia yakni mencapai
18,1 juta jiwa pada tahun 2010 atau 9,6 persen dari jumlah penduduk. Jumlah
lansia di Indonesia merupakan urutan keempat dunia setelah Cina, India, dan
Amerika. Dari hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) menunjukkan
pada tahun 2005 jumlah penduduk lansia sebesar 16,8 juta jiwa dan angka tersebut
meningkat menjadi 18,96 juta jiwa pada tahun 2007, serta pada tahun 2009
Universitas Indonesia
mengalami peningkatan kembali menjadi 19,32 juta jiwa (Komisi Nasional Lanjut
Usia, 2010). Peningkatan jumlah lansia tersebut disebabkan karena meningkatnya
Usia Harapan Hidup (UHH) seseorang.
Menurut Eliopoulus (2005), lanjut usia yang berusia diatas 75 tahun sebanyak
75% membutuhkan bantuan orang lain dalam membantu aktivitas sehari-hari dan
Universitas Indonesia
tidak dapat hidup seorang diri. Pelayanan kesehatan yang berfokus pada lanjut
usia diperlukan untuk mengatasi peningkatan jumlah lanjut usia di atas 65 tahun
di seluruh dunia. Menurut Maurer & Smith (2005), pelayanan kesehatan lanjut
usia yang diperlukan di seluruh dunia tersebut yakni pelayanan yang memiliki
sarana, prasarana, dan tenaga kesehatan yang memiliki kualitas, pengetahuan,
serta keahlian khusus di bidang gerontologi. Pelayanan kesehatan tersebut
terutama diperlukan di daerah-daerah perkotaan. Hal ini karena perkembangan
saat ini terjadi kecenderungan orang tua tidak hidup bersama dengan anaknya
yang sudah berkeluarga, khususnya pada lingkungan masyarakat perkotaan. Jika
semula nilai yang berkembang menempatkan orang tua sebagai suatu kehormatan,
maka saat ini telah bergeser dengan menjadikan hal tersebut menjadi masalah
keluarga sehingga banyak berkembangnya panti werdha.
Universitas Indonesia
Assisted living facilities merupakan tempat tinggal khusus lansia dimana lansia
tinggal bersama dengan lansia lainnya dan biasanya cocok untuk lansia yang
membutuhkan bantuan minimal atau tidak memerlukan bantuan sama sekali.
Lansia yang tinggal di sini masing-masing disediakan kamar dan juga sudah
disediakan alat untuk memberi isyarat apabila lansia tersebut membutuhkan
bantuan atau mengalami keadaan gawat darurat (emergency). Tempat tinggal jenis
ini biasanya difasilitasi dengan ruang tamu, ruang makan, laundry, transportasi,
rekreasi bersama, serta pelayanan keamanan (Family Care America, 2013).
Residential care fasilities merupakan jenis tempat tinggal bagi lansia yang
membutuhkan perawatan khusus. Selain difasilitasi dengan tempat tinggal,
ditempat ini juga disediakan caregiver serta tenaga medis. Tempat tinggal ini
bisanya berupa asrama dan dijaga oleh petugas keamanan. Syarat lansia yang
tinggal di hunian ini yakni lansia yang sehat mental, masih mampu berpakaian,
makan, dan toileting. Selain itu lansia yang tinggal di tempat ini juga
mendapatkan makanan, kegiatan aktivitas sosial, tempat mencuci pakaian, serta
pelayanan peralatan rumah tangga. Lansia yang menggunakan kursi roda atau
walker biasanya masih diperbolehkan (Family Care America, 2013). Menurut
Arenson (2009), assisted living fasilities (ALFs) dan adult board and care homes
merupakan contoh dari RCFs.
Universitas Indonesia
Nursing homes atau rumah perawatan lansia merupakan jenis pelayanan lansia
yang dikhususkan untuk lansia yang sakit dan membutuhkan perawatan dari
tenaga kesehatan baik doketr maupun perawat selama 24 jam. Tempat pelayanan
ini menyediakan asuhan keperawatan bagi lansia, program rehabilitasi, dan
aktivitas sosial lainnya. Tenaga kesehatan yang disediakan merupakan tenaga
professional. Lansia biasanya dirawat oleh perawat selama 24 jam dengan
pengawasan dari tenaga medis, fisioterapi, dan ahli kesehatan lainnya. Lansia
yang sudah mengalami demensia atau menderita alzeimer cocok dirawat di
pelayanan ini (Family Care America, 2013).
Perubahan yang terjadi pada mukosa mulut lansia yakni tampak merah dan
berkilat karena adanya atrofi. Bibir dan gusi juga tampak tipis karena epitelium
mengalami penyusutan dan menjadi lebih banyak mengandung keratin. Selain itu
Universitas Indonesia
juga terjadi penurunan vaskularitas mukosa mulut dan suplai darah ke gusi
sehingga tampak pucat (Stanley & Beare, 2006). Produksi saliva secara signifikan
tidak berkurang pada lansia sehat tetapi sekitar 30% lansia akan mengalami
xerostomia (mulut kering) akibat obat-obatan ataupun proses pennyakit (Miller,
2004).
Indera pengecap juga mengalami penurunan pada lansia. Lansia sulit untuk
membedakan rasa, terutama rasa manis dan asin. Rasa manis yang berada di ujung
lidah cenderung hilang lebih besar dibandingkan rasa pahit, asin, dan asam
(Eliopoulus, 2005). Hal tersebut dapat mempengaruhi keinginan lansia untuk
makan sehingga kebanyakan lansia cenderung sulit untuk makan dan mengalami
masalah kekurangan nutrisi.
2.4.2. Esofagus
Perubahan pada esophagus lansia yakni perubahan pola motilitas esophagus. Pola
motilitas pada lansia tetap normal tetapi sedikit mengalami dilatasi seiring
penuaan. Pada lansia relaksasi menjadi lebih meningkat sehingga pola kontraksi
menjadi kacau. Hal tersebut dapat menyebabkan lansia mengalami disfagia
(kesulitan menelan), dada sesak, dan rasa ingin muntah. Perubahan ini memicu
terjadinya kekurangan nutrisi, dehidrasi, dan penurunan masukan makanan
(Meiner, 2006). Selain itu akibat sfingter esophagus bagian bawah yang
kehilangan tonusnya dan reflex muntah pada lansia yang melemah maka risiko
terjadi nya aspirasi pada lansia meningkat (Stanley & Beare, 2006).
2.4.3. Lambung
Perubahan lambung pada lansia yakni terjadinya degenarasi mukosa lambung,
penurunan sekresi asam lambung dan enzim pencernaan, serta penurunan
motilitas lambung (Meiner, 2006). Selain itu juga terjadi atrofi mukosa lambung
akibat penurunan sekresi asam hidroklonik dengan pengurangan absorpsi zat besi,
kalsium, dan vitamin B12. Hal tersebut menyebabkan lansia mengalami kesulitan
mencerna makanan (Stanley & Beare, 2006). Selain itu lansia juga dapat
mengalami iritasi lambung akibat peningkatan pH. Pada lansia juga akan terjadi
Universitas Indonesia
Fungsi pencernaaan utama pankreas adalah mensekresi enzim yang penting untuk
menetralisasi asam pada kimus memecah lemak, protein, dan karbohidrat di usus
halus. Pankreas juga berfungsi sebagai kelenjar endokrin serta memproduksi
insulin dan glikogen yang penting dalam metabolisme glukosa. Perubahan terkait
usia pada pankreas mencakup penurunan berat, hiperplasia saluran, fibrosis pada
lobus, deposit asam lemak, atrofi, dan penurunan kemampuan reaksi sel B
pankreas terhadap glukosa. Penurunan sekresi insulin menyebabkan
Universitas Indonesia
Perubahan terkait usia yang mempengaruhi kantong empedu dan sistem biliary
mencakup menurunnya sintesis asam empedu, melebarnya saluran empedu, dan
peningkatan sekresi kolesistokinin, hormon peptida yang mengkontraksi kantong
empedu dan merelaksasi sfingter biliary. Efek pada perubahan terkait usia ini
mencakup statis biliary, peningkatan flora bakterial biliary, dan peningkatan
insiden kolelitiasis (batu empedu) pada lansia (Miller, 2004). Peningkatan level
kolesistokinin yang terjadi pada lansia dapat menekan atau mensupresi nafsu
makan dan menurunkan intake atau masukan makanan (Miller, 2004).
2.5 Konstipasi
2.5.1. Pengertian Konstipasi
Konstipasi secara luas didefinisikan sebagai frekuensi jarang BAB atau kesulitan
pergerakan feses dan feses kering (Leueckenotte, 2000). Sementara itu menurut
Stanley (2007), konstipasi adalah penurunan frekuensi pergerakan usus yang
disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses. Menurut
Universitas Indonesia
Komite Konsensus Internasional tahun 1999 telah membuat suatu pedoman untuk
membuat diagnosis konstipasi. Diagnosis dibuat berdasarkan adanya keluhan
paling sedikit dua dari beberapa keluhan. Keluhan tersebut diantaranya adalah (1)
defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan berlebihan minimal 25 % selama
defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi, (4)
tinja yang keras minmal 25 %, (5) perasaan defekasi yang terhalang, dan (6)
penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja (McCrea, 2008). Sementara itu
menurut NANDA (2012), batasan karakteristik konstipasi diantaranya adalah
adanya nyeri abdomen, darah merah pada feses, perubahan pola defekasi,
penurunan frekuensi dan volume feses, distensi abdomen, feses keras dan
berbentuk, bising usus hipoaktif atau hiperaktif, nyeri saat defekasi, massa
abdomen yang dapat diraba, mengeja saat BAB, sering flatus, dan juga suara
pekak saat dilakukan perkusi abdomen
Universitas Indonesia
itu menurut Sinclair (2012), perubahan fungsi dasar pelvis, penggunaan obat atau
penyakit yang sedang dideritanya, seperti diabetes melitus, penyakit parkinson,
dan stroke juga dapat menyebabkan konstipasi. Beberapa obat-obatan yang dapat
menjadi faktor risiko konstipasi yakni obat-obatan golongan antikolinergik,
narkotik, analgetik, diuretik, dan juga antasida alumunium serta penyalahgunaan
pencahar.
Konsumsi serat khususnya serat tidak larut (tidak dapat dicerna dan tidak dapat
larut air panas) dapat membantu menambah massa feses dan melunakkan feses
sehingga mempercepat pasase intestinal. Insoluble fibre bersifat menahan air
pada fragmen serat sehingga menghasilkan tinja yang lebih banyak dan berair.
Akibatnya akan terjadi stimulasi gerakan peristaltik, mempercepat waktu transit
kolon, peningkatan frekuensi defekasi, dan penurunan tekanan di dalam kolon
(Wirakusumah, 2008). Namun, jika konsumsi serat menurun maka dapat
menyebabkan terjadinya konstipasi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
tidak sadar akan kebutuhan melakukan defekasi. Selain itu konstipasi juga dapat
mengakibatkan kehilangan nafsu makan akibat terjadinya distensi, perasaan begah
pada perut.
Selain pengkajian riwayat defakasi, pengkajian penting yang juga perlu dilakukan
adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mengetahui
penyebab konstipasi secara sistematis, seperti penyakit neurologi, endokrin dan
metabolik. Gejala yang mungkin ditunjukkan ketika individu mengalami
konstipasi yakni pada sistem gastrointestinal dapat terjadi nyeri abdomen, mual,
muntah, penurunan berat badan, melena, perdarahan rektum, dan demam (Touhy
& Jett, 2010). Pemeriksaan fisik yang dilakukan seperti pemeriksaan abdomen
dan rektum. Pada abdomen pemeriksaan fisik yang dilakukan yakni pemeriksaan
fisik lengkap mulai dari inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk melihat adanya massa pada kolon, kelembutan, distensi abdomen,
peningkatan atau penurunan bising usus. Sementara itu pemeriksaan rektum yang
dilakukan yakni pengkajian adanya nyeri pada rektum yang dapat
mengindikasikan adanya masalah speerti hemoroid yang dapat mempengaruhi
evakuasi pengeluaran feses dan untuk mengevaluasi kekuatan sfingter, adanya
prolapse rektum dan juga refleks anal (Touhy & Jett, 2010).
Universitas Indonesia
Pengaturan pola makan bagi lansia yang mengalami konstipasi yakni dengan
penambahan asupan cairan dan makan-makanan tinggi serat (Ebersole, 2009).
Masukan cairan sangat penting bagi lansia sehingga monitor masukan cairan
secara reguler perlu dilakukan. Cairan terutama air bening merupakan pelembut
feses yang alami, sehingga meminum air putih sebanyak dua liter atau delapan
gelas per hari dapat mencegah konstipasi. Akan tetapi konsumsi kopi, teh, dan jus
bekerja sebagai diuretik, jenis minuman tersebut dapat menarik air dari usus
sehingga menghasilkan feses yang keras. Bagi lansia yang tidak memiliki
penyakit berat asupan cairan yang dianjurkan yakni 30-35 ml/ kg. Minimal air
yang dibutuhkan yakni 1500-2500 ml sehari untuk mengganti kehilangan air
melalui urin, feses dan keringat (Folden, 2002).
Universitas Indonesia
Intervensi lain yang dapat dilakukan dalam menangani masalah konstipasi yakni
massase abdomen. Menurut Touhy & Jett (2010), massase abdomen dapat
menstimulasi defekasi. Massase abdomen dan latihan peningkatan tekanan pada
abdomen dapat mencegah konstipasi karena dapat menstimulasi usus untuk
meningkatkan peristaltik sehingga dapat mempercepat gerakan makanan dan
cairan melewati usus dengan lancar (Fawlkes, 2012). Penelitian yang dilakukan
oleh Lamas (2011) pada 60 orang dengan masalah konstipasi menunjukkan bahwa
30 orang yang mendapatkan intervensi massase abdomen mengalami peningkatan
gerakan usus. Massase abdomen dapat digunakan untuk menangani masalah
konstipasi sehingga tidak perlu menggunakan laksatif.
Dalam melakukan masase abdomen ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama yakni masase abdomen tidak dapat dilakukan pada semua lansia atau
kontraindikasi pada lansia yang mengalami obstruksi abdomen, ulkus lambung
dan usus halus, adanya massa di abdomen, perdarahan intestinal, hernia, dan juga
inflamasi pada kandung kemih. Kedua yakni masase abdomen seharusnya tidak
dilakukan sebelum makan tetapi sekitar dua sampai tiga jam setelah makan.
Ketiga yakni sebelum dilakukan masase, kandung kemih harus dikosongkan
terlebih dahulu (McClurg, 2011).
Universitas Indonesia
Exercise atau latihan mengayuh sepeda adalah intervensi yang dapat menstimulasi
motilitas usus dan evakuasi saat defekasi. Latihan mengayuh sepeda dapat
mempercepat waktu transit feses saat melewati sistem gastrointestinal sehingga
mempercepat pengeluaran feses. Penurunan kekuatan otot akibat dari penurunan
aktivitas dapat mempengaruhi kekuatan otot abdomen dan pelvis saat melakukan
evakuasi sehingga dibutuhkan latihan yang dapat meningkatkan kekuatan otot
khususnya abdomen dan pelvis yang berperan dalam proses defekasi seperti
latihan mengayuh sepeda, berjalan atau latihan lainnya (Folden, 2012). Selain itu
Universitas Indonesia
menurut Ramus (2011), latihan mengayuh sepeda juga dapat menguatkan otot
pelvis sehingga dengan adanya peningkatan kekuatan otot pelvis maka masalah
konstipasi dapat dicegah. Latihan mengayuh sepeda efektif dilakukan selama 30
sampai 60 menit atau sebanyak tiga sampai empat kali dalam seminggu untuk
mencegah konstipasi (Griffin, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Oktariyani (2013) pada lansia di STW Karya Bakti Ria Pembangunan
menunjukkan bahwa setelah lansia diberikan latihan mengayuh sepeda selama 30
menit secara rutin setiap hari, buang air besarnya lancar dan juga tidak keras.
Terapi non-farmakologis lainnya selain perubahan gaya hidup, aktivitas fisik, dan
juga masase abdomen intervensi lain yang dapat dilakukan yakni dengan bowel
training. Menurut Kurniawan & Simadibrata (2011) dan Rao & Go (2010),
seseorang yang memiliki pola usus normal, gerakan peristaltik biasanya akan
terjadi pada waktu yang sama setiap harinya dan defekasi merupakan bagian dari
kondisi refleks. Selain itu gerakan motorik kolon akan meningkat setelah bangun
tidur dan setelah makan. Hal ini menunjukkan bahwa klien yang mengalami
konstipasi dapat membentuk pola buang air besar yang teratur dengan melakukan
kebiasaan buang air besar mengambil keuntungan dari stimulasi fisiologis normal
ini (Rao & Go, 2010). Dengan menggunakan prinsip tersebut lansia dimotivasi
untuk buang air besar pada waktu yang sama secara teratur, terutama di pagi hari
atau 30 menit setelah makan. Selain itu menurut Kurniawan & Simadibrata
(2011), bowel training juga bermanfaat mencegah feses yang keras dan juga
faktor predisposisi konstipasi terutama pada lansia.
Universitas Indonesia
penggembur, pelunak feses, laksatif osmotik, laksatif stimulan dan juga laksatif
salin (Touhy & Jett, 2010).
Bulking agent atau penggembur serta pelunak feses terutama digunakan untuk
mengatasi masalah konstipasi ringan sampai dengan sedang. Bulking agent atau
penggembur feses dikonsumsi secara oral. Efek samping dari bulking agent
diantaranya adalah kram abdomen, distensi abdomen, dan juga flatus yang sering.
Saat mengkonsumsi obat ini perlu pemasukan cairan perlu diperhatikan yakni
perlu cairan yang baik dan setiap dosisnya diminum dengan segelas air penuh.
Terapi obat ini bekerja satu sampai dengan tiga hari. Bulking agent
dikontraindikasikan pada klien dengan pre-existing impaksi fekal, obtruksi
intestinal, atau atoni kolonik. Sementara itu pelunak feses atau stoll softeners
bekerja seperti lubrikan atau pelumas. Obat ini membantu untuk menghancurkan
feses, lalu memperlembut, sehingga defekasi lebih mudah. Kemungkinan efek
samping dari penggunaan obat ini adalah diare, muntah, dan keram abdomen.
Terapi ini bekerja satu sampai lima hari (Woodward, 2002).
Laksatif osmotik dapat dikonsumsi secara oral ataupun melalui rektal. Contoh
laksatif osmotic yang dikonsumsi oral yakni Lactulose Solution, Magnesium
Sulphate, Sodium Picosulphate (Stimulan) + Magnesium citrate (osmotik), dan
Sorbitol. Sedangkan contoh obat yang dimasukkan via rektal yaitu Microlax-
Enema (Sodium Lauryl Sulphoacetate, Sodium Citrate, Sorbitol, Sorbid Acid) dan
Fleet ready-to-Use Enema (Sodium Phosphate). Efek samping dari laksatif jenis
ini adalah flatus yang terus menerus, kram intestinal dan juga diare. Efektivitas
pemasukan lewat oral akan cepat jika meminum obat ini pada perut kosong. Obat-
obatan osmotik laksatif akan bekerja hingga lebih dari 48 jam. Dalam penggunaan
osmotik laksatif harus diperhatikan pemasukan cairan yang adekuat selama terapi
ini untuk mencegah dehidrasi (Woodward, 2002).
Laksatif stimulan juga dapat dikonsumsi secara oral dan melalui rektal. Beberapa
contoh laksatif stimulant yang dikonsumsi oral yakni Bisacodyl Tablet (Dulcolax,
Bisalax), Senna, Sennosides + Ducosate Sodium. Sedangkan obat-obat yang
Universitas Indonesia
Selain laksatif berupa obat-obatan, laksatif alami juga dapat dikonsumsi pada
lansia yang mengalami konstipasi serta lebih aman bagi tubuh. Contoh resep
laksatif alami tersebut dapat dibuat dari kismis, kurma, prune, dan juga buah ara.
Semua buah-buahan tersebut dihancurkan dan dicampur menjadi satu kemudian
dapat disimpan dalam lemari pendingin. Campuran buah-buahan tersebut dapat
langsung dimakan ataupun dicampur dengan beberapa buah kering lainnya. Jenis
laksatif alami ini dapat menjadi alternatif laksatif tanpa perlu menggunakan bahan
kimia sehingga lebih aman bagi tubuh lansia. Selain dengan buah-buahan tersebut,
laksatif ini dapat dibuat dari jenis buah yang lain seperti apel dan jus prune yang
dicampur menjadi satu dan disimpan dalam lemari pendingin serta dapat
dikonsumsi setiap hari (Ebersole, 2009).
Universitas Indonesia
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1 Pengkajian
Hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 12 Mei 2014 didapatkan data
bahwa Ibu R berusia 80 tahun, beragama Islam dan status perkawinan janda
dengan delapan orang anak tetapi empat dari delapan orang anaknya meninggal.
Pendidikan terakhir Ibu R yakni tidak sekolah dan selama ini tidak bekerja.
Sebelumnya Ibu R tinggal di daerah Cawang, tetapi pada tahun 2005 Ibu R tinggal
di PSTW Budi Mulya 1. Ibu R dibawa ke panti ini oleh masyarakat karena
keempat anaknya tidak mampu merawat klien. Keempat anak klien kondisi
ekonominya tidak mampu serta tidak memiliki pekerjaan tetap.
Universitas Indonesia
WIB. Menu makan pagi yang disediakan di panti yakni nasi dengan lauk seperti
tahu ataupun tempe serta sayur, menu makan siang yakni nasi, lauk seperti ikan,
tempe, ataupun daging, sayur dan buah, dan menu makan sore yakni nasi, lauk,
sayur dan buah. Selain makanan utama, ada juga snack yang diberikan, seperti roti
ataupun biskuit setiap seminggu dua kali.
Makanan yang diberikan di panti selalu dihabiskan oleh Ibu R. Ibu R tidak
memiliki pantangan makanan dan semua makanan disukai terutama tempe dan
tahu. Sayur dan buah yang diberikan juga selalu dihabiskan oleh Ibu R. Makanan
yang dimakan Ibu R sehari-hari berasal dari panti dan tidak pernah dibeli di luar
panti. Menurut Ibu R beliau memiliki sedikit masalah mengunyah terutama
makanan-makanan yang keras karena gigi Ibu R sebagian besar sudah tanggal dan
jumlah gigi empat buah. Untuk minuman sehari-hari, Ibu R lebih sering minum
air putih dan jarang minum kopi ataupun teh. Menurut Ibu R, asupan cairan yang
dikonsumsinya dalam sehari yakni sebanyak dua gelas besar air putih atau 900 cc.
Menurut Ibu R, beliau hanya minum sedikit karena merasa tidak haus dan jika
minum banyak akan lebih sering buang air kecil.
Hasil pengkajian pola tidur Ibu R didapatkan data bahwa saat malam hari Ibu R
biasanya tidur jam 22.00 dan bangun pukul 03.00 WIB sedangkan tidur siang
yakni dari jam 13.00 sampai dengan jam 15.00 WIB. Menurut Ibu R, saat malam
hari sering sulit tidur dan tidurnya juga tidak nyenyak. Selain itu saat tidur malam
Ibu R juga sering terbangun untuk buang air kecil yakni sebanyak dua sampai tiga
kali sehingga pada pagi hari sering mengantuk. Hasil pengkajian yang dilakukan
juga terlihat wajah Ibu R terlihat tidak bersemangat dan mengantuk pada pagi hari
serta sering terlihat tertidur di bangku depan wisma.
Menurut Ibu R, tidak ada masalah dalam buang air kecil yang dirasakan dan
dalam sehari Ibu R miksi kurang lebih enam kali. Namun saat malam, Ibu R
buang air kecil dua sampai tiga kali sehingga saat tidur sering terbangun dan
tidurnya terganggu. Sementara itu untuk defekasi, Ibu R mengeluhkan buang air
besarnya tidak teratur. Pola defekasinya besarnya biasanya dua hari sekali, namun
Universitas Indonesia
saat dilakukan pengkajian Ibu R sudah tiga hari belum defekasi. Menurut Ibu R
saat defekasi fesesnya keras sehingga perlu mengejan.
Hasil pengkajian aktivitas sehari-hari didapatkan data bahwa aktivitas Ibu R yakni
duduk-duduk di tempat tidur, di bangku depan wisma ataupun berbincang-bincang
dengan teman sekamarnya ataupun penulis. Ibu R jarang terlihat mengikuti
kegiatan yang diselenggarakan panti, seperti senam, main angklung, ataupun
pengajian. Namun, Ibu R beberapa kali terlihat mengikuti kegiatan panggung
gembira. Menurut Ibu R, beliau senang dan selalu mengikuti kegiatan terapi
aktivitas kelompok yang diselenggarakan penulis. Sementara itu untuk aktivitas
sehari-hari, seperti mandi, makan, dan berpakaian, Ibu R dapat melakukannya
secara mandiri.
Pelaksanaan ibadah masih tetap dilakukan Ibu R untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Ibu R beragama Islam dan kegiatan keagamaan yang masih dapat
dilakukan oleh Ibu R yakni solat lima waktu. Menurut Ibu R apabila kuat dan
badannya sehat, beliau juga puasa di bulan Ramadhan. Sementara itu untuk
kegiatan pengajian Ibu R tidak pernah mengikuti karena tidak ada temannya.
Menurut Ibu R solat beliau masih bolong-bolong dan sering lupa solat dzuhur
ataupun azhar. Kegiatan solat tidak dilakukan secara berjamaah di masjid tetapi
dilakukan sendiri atas tempat tidurnya.
Sementara itu dari keadaan psikologis Ibu R jika dilihat dari keadaan emosinya
relatif stabil dan tenang. Selama proses interaksi Ibu R juga sangat kooperatif dan
bersedia menjawab pertanyaan yang ditanyakan kepada beliau. Hubungan sosial
Ibu R di panti juga cukup baik. Selain itu hubungan klien dengan penghuni panti
lainnya dan petugas panti juga baik serta klien tidak pernah terlihat bertengkar
dengan penghuni panti ataupun petugas panti. Klien menyatakan tidak mengenal
seluruh lansia di wisma Cempaka tetapi hanya beberapa orang saja yakni Ibu T,
Ibu M dan Ibu A. Klien sering terlihat mengobrol dengan teman disamping di
tempat tidurnya yakni Ibu T. Menurut Ibu R keluarganya jarang menjenguknya di
Universitas Indonesia
panti dan selama klien tinggal di panti anggota keluarganya baru dua kali datang.
Keluarga Ibu R terakhir kali datang pada tahun 2010 lalu.
Pemeriksaan fisik pada Ibu R dilakukan mulai dari kepala hingga kaki. Hasil
pemeriksaan kepala menunjukkan bentuk kepala klien normal, tidak ada lesi,
rambut klien sudah beruban, bersih, tidak ada kutu dan ketombe, rambut
terdistribusi merata, rambut lurus pendek, dan juga tidak mudah dicabut. Hasil
pemeriksaan mata yang dilakukan menunjukkan tidak ada keluhan gangguan
penglihatan, konjungtiva Ibu R tidak anemis, dan sklera juga tidak ikterik.
Sementara itu keadaan indera lainnya juga tidak mengalami masalah. Pada hidung
tampak simetris antara kiri dan kanan, tidak ada polip, bersih, dan tidak ada
sekret. Pada mulut tampak jumlah gigi empat buah, tidak ada halitosis, tidak ada
sariawan, mukosa lembab. Pada telinga tampak bersih, simetris antara kiri dan
kanan, tidak ada gangguan pendengaran, serta tidak ada serumen. Sementara itu
hasil pemeriksaan leher yang dilakukan didapatkan data tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening atau vena jugularis, tidak ada massa, dan juga tidak ada
gangguan menelan.
Pada pemeriksaan dada saat dilakukan inspeksi terlihat pergerakan dada kiri dan
kanan simetris, tidak ada kelainan bentuk dada, saat diauskultasi terdengar bunyi
jantung normal S1 dan S2, bunyi paru vesikuler, tidak terdengar wheezing
ataupun ronki. Sementara itu dari hasil palpasi dan perkusi pernapasan dan
Universitas Indonesia
kardiovaskuler saat dilakukan palpasi tidak terasa pulsasi pada intercostal ke-2
sinistra, intercostal ke-3 sinistra sedikit terasa, apeks terasa kuat pulsasinya dan
taktil fremitus antara toraks posterior dan anterior sama serta saat dilakukan
perkusi terdengar bunyi resonan pada area jantung dan paru.
Pada daerah abdomen saat dilakukan inspeksi tampak terjadi distensi abdomen,
teraba keras khususnya di kuadran empat, umbilikus bersih, saat dilakukan
auskultasi terdengar suara bising usus 2x/ menit, saat diperkusi terdengar dullness
dan saat dilakukan palpasi klien mengatakan nyeri pada perutnya, serta tidak
teraba terjadi hepatomegali. Hasil pemeriksaan ekstremitas terlihat klien berjalan
lambat dengan postur sedikit membungkuk, klien mengatakan terasa nyeri pada
lutut kaki bagian dekstra, skala nyeri 2, nyeri dirasakan saat berjalan ataupun
duduk, kulit klien tidak pucat, turgor kulit elastis, dan capillary refill time (CRT)
kurang dari dua detik. Kekuatan otot di kedua ekstremitas atas mulai dari otot
deltoid, bisep, brachii, trisep trachii dan otot interossei menunjukkan klien dapat
melakukan pergerakan aktif melawan gravitasi dan tahanan maksimal sehingga
diberi skor 5. Kekuatan otot di kedua ekstremitas bawah pada otot hamstring
diberi skor 4 karena klien dapat melakukan pergerakan aktif melawan gravitasi
namun dengan tahanan ringan sedangkan pada otot quadrisep, tibialis anterior dan
trisep diberi skor 5 karena klien dapat melakukan pergerakan aktif melawan
gravitasi dan tahanan maksimal.
Universitas Indonesia
lututnya, tidak ada kemerahan dan bengkak pada lutut kanannya, serta TD 110/70
mmHg, nadi 90 kali/ menit, RR 22 kali/ menit
Diagnosa keperawatan kedua yang diangkat pada Ibu R yakni konstipasi. Data
subjektif yang mendukung diagnosa ini yakni keluhkan sulit buang air besar,
defekasi Ibu R tidak teratur belakangan ini dan biasanya Ibu R defekasi dua hari
sekali, Ibu R belum defekasi sejak tiga hari, defekasi terakhir yakni tanggal 8 Mei
2014, serta saat defekasi mengejan dan fesesnya keras. Selain itu Ibu R juga lebih
sering minum air putih dan jarang minum kopi atau teh serta biasanya minum
kurang lebih 900 ml air putih. Sementara data objektif yang mendukung diagnosa
konstipasi diantaranya dari hasil inspeksi terlihat perut agak membuncit, abdomen
teraba keras khususnya di kuadran empat, saat diauskultasi suara bising usus dua
kali per menit, saat diperkusi terdengar dullness. Selain itu juga terlihat aktivitas
Ibu R kurang, kegiatan sehari-hari Ibu R hanya duduk di teras atau tempat tidur,
dan Ibu R juga mengkonsumsi obat golongan antikolinergik yakni THP
Diagnosa keperawatan ketiga yang diangkat pada Ibu R yakni gangguan pola
tidur. Penulis mengangkat diagnosa gangguan pola tidur berdasarkan data
subjektif yakni saat malam hari Ibu R sulit tidur, tidurnya tidak nyenyak, sering
terbangun malam hari untuk miksi yakni dua sampai tiga kali, dan sering
mengantuk di pagi hari. Sementara itu data objektif yang mendukung diagnosa
gangguan pola tidur adalah wajah Ibu R terlihat tidak bersemangat dan mengantuk
pada pagi hari serta sering terlihat tertidur di bangku depan wisma.
Universitas Indonesia
seperti klien mengatakan pola buang air besarnya teratur satu sampai dengan dua
hari sekali, buang air besarnya tidak sulit dan tidak mengejan, fesesnya tidak
keras, serta abdomen datar, lemas, tidak teraba massa, dan bising usus lima kali
per menit.
Rencana intervensi kelima yakni ajarkan dan latih klien melakukan masase
abdomen atau pijat I Love U karena masase abdomen dapat meningkatkan
peristaltik usus dan memperlancar defekasi. Rencana intervensi keenam yakni
ajarkan dan latih gerakan mengayuh sepeda secara rutin 10 sampai dengan 30
menit setiap hari untuk membantu dalam pengeluaran feses serta meningkatkan
peristaltik usus. Rencana intervensi ketujuh adalah berikan enema jika diperlukan
untuk membantu dalam pengeluaran feses. Selain rencana intervensi mandiri
terdapat juga intervensi kolaborasi yakni kolaborasi dengan dokter terkait
pemberian obat pencahar jika konstipasi tidak teratasi. Hal ini dilakukan untuk
membantu pengeluaran feses serta merangsang peristlatik usus.
Universitas Indonesia
3.4 Implementasi
Implementasi masalah konstipasi pada Ibu R dilakukan sesuai dengan rencana
intervensi keperawatan yang telah disusun sebelumnya. Implementasi ini
dilakukan selama lima minggu dengan tiga sampai empat kali dalam satu minggu.
Setiap kali melakukan implementasi, klien dan penulis melakukan kontrak selama
satu jam. Implementasi dilaksanakan selama 45 menit sampai dengan satu jam.
Penulis juga melakukan diskusi dengan Ibu R terkait dengan asupan cairan dan
serat. Ibu R dimotivasi untuk meningkatkan asupan cairan dan seratnya yakni
1300 sampai dengan 1500 cc air putih atau tiga sampai dengan empat gelas besar
serta menghabiskan buah dan sayur yang diberikan. Ibu R diberikan penjelasan
untuk minum maksimal sampai dengan pukul 18.00 WIB agar saat tidur malam
Ibu R tidak terbangun untuk buang air kecil. Penulis juga bekerja sama dengan
petugas wisma untuk menambahkan porsi sayur untuk klien saat makan. Selain itu
Ibu R juga diajarkan untuk melakukan gerakan mengayuh sepeda dengan
Universitas Indonesia
3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan hasil respon dari klien terhadap implementasi yang
dilakukan. Evaluasi dibagi menjadi empat bagian yakni subjektif yang berisikan
data-data yang dipaparkan oleh klien, sedangkan data objektif adalah data yang
ditunjukkan dengan tindakan atau perilakuk klien, data analisa yakni analisis
terhadap data subjektif, objektif dan implementasi yang dilakukan. Sedangkan
perencanaan adalah tindak lanjut kegiatan yang akan dilakukan oleh klien.
Evaluasi pada minggu pertama yakni dari data subjektif Ibu R mengatakan senang
menjadi kelolaan penulis, Ibu R sudah buang air besar yakni pada hari Kamis
tanggal 17 Mei 2014 tetapi masih mengedan saat buang air besar, fesesnya juga
masih keras, Ibu R juga mengeluhkan agak lelah saat melakukan latihan
mengayuh sepeda. Selain itu Ibu R juga mengatakan minumnya dalam sehari baru
dua gelas besar air putih, dan saat makan sayur dan buahnya sudah dihabiskan.
Data objektif dari implementasi yang dilakukan adalah klien kooperatif, perut
Universitas Indonesia
klien masih membuncit, bising usus dua kali per menit, klien hanya dapat
melakukan latihan mengayuh sepeda selama 15 menit, tampak lelah ketika
melakukan latihan mengayuh sepeda, tidak ada nyeri saat dilakukan masase
abdomen, masih teraba massa feses di kuadran empat. Analisis setelah diberikan
intervensi selama empat hari yakni klien sudah dapat buang air besar tetapi
fesesnya masih keras dan masih mengedan, belum ada peningkatan bising usus,
perut masih agak membuncit, dan masih teraba massa feses di abdomen.
Perencanaan yang akan dilakukan yakni lakukan pengkajian defekasi klien,
lakukan dan latih gerakan mengayuh sepeda, lakukan masase abdomen serta
motivasi ulang klien untuk meningkatkan asupan cairan dan serat.
Evaluasi pada minggu kedua yakni data subjektif Ibu R mengatakan baru satu kali
buang air besar dalam seminggu yakni pada tanggal 22 Mei 2014, buang air
besarnya masih keras dan masih mengedan, Ibu R mengatakan minumnya dalam
sehari dua gelas lebih air putih. Data objektif dari implementasi yang dilakukan
yakni Ibu R kooperatif, perut Ibu R masih tampak membuncit, bising usus dua
kali per menit, Ibu R dapat melakukan latihan mengayuh sepeda selama 20 menit,
tidak ada nyeri saat dilakukan masase abdomen, dan tidak teraba massa feses pada
abdomen. Analisa setelah dilakukan tindakan selama empat hari yakni klien sudah
dapat buang air besar tetapi defekasinya masih keras dan masih mengedan, dan
belum terjadi peningkatan bising usus. Perencanaan yang akan dilakukan yakni
lakukan masase abdomen, latih gerakan mengayuh sepeda, serta motivasi ulang
untuk meningkatkan asupan cairan dan serat.
Evaluasi pada minggu ketiga yakni data subjektif Ibu R mengatakan sudah dua
kali buang air besar dalam seminggu, buang air besar masih keras, dan masih
mengedan saat defekasi, dan dalam sehari Ibu R minum tiga gelas air putih. Data
objektif dari implementasi yang dilakukan yakni Ibu R kooperatif, perut tidak
membuncit, bising usus tiga kali per menit, Ibu R dapat melakukan latihan
mengayuh sepeda selama 30 menit, tidak ada nyeri saat dilakukan masase
abdomen, dan tidak teraba massa feses pada abdomen. Analisa setelah dilakukan
tindakan selama empat hari yakni sudah terjadi peningkatan buang air besar pada
Universitas Indonesia
klien yang ditandai dengan terjadi peningkatan bising usus, tetapi feses masih
keras dan usaha mengedan saat defekasi. Perencanaan yang akan dilakukan yakni
lakukan masase abdomen, latih gerakan mengayuh sepeda, serta motivasi ulang
untuk meningkatkan asupan cairan dan serat.
Evaluasi pada minggu keempat yakni data subjektif Ibu R mengatakan buang air
besarnya dua hari sekali, buang air besar sudah tidak keras, dan tidak mengedan
saat defekasi, dan dalam sehari Ibu R minum tiga gelas air putih. Data objektif
dari implementasi yang telah dilakukan yakni Ibu R kooperatif, perut tidak
membuncit, bising usus tiga kali per menit, Ibu R dapat melakukan latihan
mengayuh sepeda selama 30 menit, tidak ada nyeri saat dilakukan masase
abdomen, dan tidak teraba massa feses pada abdomen. Analisa setelah dilakukan
tindakan selama empat hari yakni sudah terjadi peningkatan buang air besar pada
klien yang ditandai dengan terjadi peningkatan bising usus, feses tidak keras dan
sudah tidak ada usaha mengedan saat defekasi. Perencanaan yang akan dilakukan
yakni latih gerakan mengayuh sepeda, serta motivasi untuk tetap meningkatkan
asupan cairan dan serat.
Evaluasi pada minggu keempat yakni data subjektif Ibu R mengatakan saat ini
buang air besarnya sudah dua hari sekali, fesesnya lunak, dan sudah tidak
mengedan lagi saat defekasi. Ibu R juga mengatakan dalam sehari minum tiga
gelas air putih. Data objektif dari implementasi yang telah dilakukan yakni Ibu R
terlihat kooperatif, perut sudah tidak membuncit, bising usus empat kali per
menit, Ibu R dapat melakukan latihan mengayuh sepeda selama 30 menit, dan
tidak teraba massa feses pada abdomen. Analisa setelah dilakukan tindakan
selama tiga hari yakni pola buang besar klien sudah kembali normal ditandai
dengan defekasi dua hari sekali, feses tidak keras dan tidak mengedan, serta
terjadi peningkatan bising usus, Perencanaan yang akan dilakukan yakni motivasi
klien untuk tetap melakukan latihan mengayuh sepeda dan asupan cairan serta
serat.
Universitas Indonesia
4.1 Analisis Profil Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulya 1 Cipayung
Kota memiliki peranan penting sebagai tempat penyedia lapangan pekerjaan,
fasilitas-fasilitas penunjang dan juga tempat tinggal. Hal tersebut menyebabkan
banyak penduduk dari pedesaan yang berdatangan dan bermukin di perkotaan.
Selain karena fasilitas di perkotaan yang lebih baik, pendapatan per bulan yang
jauh lebih besar juga menjadi daya tarik banyak orang melakukan perpindahan ke
perkotaan atau urbanisasi (Nies & McEwen, 2007). Selain peningkatan jumlah
penduduk di perkotaan secara umum terjadi pula peningkatan jumlah lansia di
seluruh dunia termasuk lansia di Indonesia.
Jumlah lanjut usia di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan
tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Jumlah penduduk lansia di Indonesia
menempati ututan ke empat terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Dari hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) menunjukkan pada tahun
2005 jumlah penduduk lansia sebesar 16,8 juta jiwa dan angka tersebut meningkat
menjadi 18,96 juta jiwa pada tahun 2007, serta pada tahun 2009 mengalami
peningkatan kembali menjadi 19,32 juta jiwa (Komisi Nasional Lansia, 2010).
43 Universitas Indonesia
Menurut Maurer & Smith (2005), pelayanan kesehatan lanjut usia yang diperlukan
di seluruh dunia tersebut yakni pelayanan yang memiliki sarana, prasarana, dan
tenaga kesehatan yang memiliki kualitas, pengetahuan, serta keahlian khusus di
bidang gerontologi. Hal ini sesuai dengan pendapat Eliopoulus tahun 2005 bahwa
lanjut usia yang berusia diatas 75 tahun sebanyak 75% membutuhkan bantuan
orang lain dalam membantu aktivitas sehari-hari dan tidak dapat hidup seorang
diri, sehingga pelayanan kesehatan yang berfokus pada lanjut usia diperlukan
untuk mengatasi peningkatan jumlah lanjut usia di atas 65 tahun di seluruh dunia.
Selain itu jika semula nilai yang berkembang menempatkan orang tua sebagai
suatu kehormatan, maka saat ini telah bergeser dengan menjadikan hal tersebut
menjadi masalah keluarga sehingga banyak berkembangnya panti werdha. Adanya
panti werdha seperti Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulya 1 Cipayung
di daerah perkotaan menjadi solusi dan salah satu alternatif hunian bagi lansia di
perkotaan untuk membantu kehidupan lansia menjadi lebih berkualitas dan
bahagia.
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulya 1 Cipayung merupakan hunian
untuk lansia milik pemerintah yang dikelola oleh Dinas Sosial Provinsi DKI
Jakart. PSTW ini terletak di Jalan Raya Bina Marga RT 007/ 06 No. 58
Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung Jakarta Timur. Panti ini dibangun
pada tahun 1968 dengan luas areal 8.8832 m2 dengan dahulu bernama Panti
Werdha 1 Cipayung serta dikukuhkan oleh SK Gubernur DKI Jakarta No. Ca
Universitas Indonesia
PSTW Budi Mulya 1 Cipayung memiliki visi mengangkat harkat, martabat lansia
terlantar menuju kehidupan layak, sehat, normatif dan manusiawi. Adapun
misinya adalah (1) menyelenggarakan penampungan lanjut usia terlantar dalam
rangka perlindungan sosial, (2) menyelenggarakan pelayanan sosial, psikologis,
perawatan medis, bimbingan fisik, mental spiritual, dan bimbingan pemanfaatan
waktu luang, (3) menyelenggarakan penyaluran bina lanjut dan pemulasaran
jenazah, (4) menjalin keterpaduan dan kerjasama lintas sosial, serta (5)
menggalang peran serta sosial masyarakat dan dunia usaha (Menurut data, n.d).
Sasaran penghuni di PSTW Budi Mulya 1 antara lain lanjut usia terlantar yang
berusia minimum 60 tahun, tidak mempunyai penghasilan atau berdaya guna
mencari nafkah untuk kehidupannya, tidak ada keluarga atau orang lain ataupun
lingkungan yang dapat memberikan bantuan penghidupannya dan keluarga yang
benar-benar tidak mampu. Lansia yang tinggal di PSTW ini sebagian besar
merupakan lansia terlantar ataupun lansia yang dibawa oleh masyarakat,
kepolisian, hasil penertiban, ataupun dari Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta
(Menurut data, n.d).
Selain itu lansia yang tinggal di PSTW ini harus memenuhi persyaratan seperti
berusia 60 tahun ke atas, terlantar karena tidak ada atau tidak diurus oleh
keluarganya, tidak mampu yang disertai dengan surat keterangan dari RT, RW
dan lurah, atau rekomendasi dari Dinas Sosial dan Suku Dinas Sosial Setempat
(Menurut data, n.d). Rentang usia lansia yang tinggal di PSTW yakni antara 45
sampai dengan 90 tahun. Jika dilihat dari pengertian lansia menurut Undang-
Undang No 13 tahun 1998, masih ada penghuni PSTW yang belum memenuhi
syarat lansia yakni berusia 60 tahun. Sementara itu jika dilihat dari kategori lansia
menurut WHO dan juga Depkes RI, usia penghuni di PSTW Budi Mulya 1
Universitas Indonesia
bervariasi yakni mulai dari kelompok usia pertengahan atau menjelang lanjut
usia), usia lanjut, usia tua dan usia sangat tua (Mubarok dkk, 2006; Maryam dkk,
2008).
Lansia yang tinggal di PSTW Budi Mulya 1 selain mendapatkan jasa pengobatan
biasanya juga diberikan pelayanan fisioterapi, aktivitas sosial, dan pembinaan
mental spiritual sesuai keyakinan. Jika ada lansia yang mengalami kondisi
kegawatdaruratan, lansia biasanya akan dirujuk ke rumah sakit yang bekerja sama
dengan panti dengan menggunakan ambulance yang disediakan oleh PSTW atau
dari rumah sakit. Rumah sakit yang menjadi rujukan yakni Rumah Sakit Budi
Asih dan Rumah Sakit Duren Sawit. Setiap wisma biasanya memiliki caregiver
yang membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, seperti makan,
toileting, berpakaian, dan juga berdandan (Menurut data, n.d).
Universitas Indonesia
untuk para lansia (Menurut data, n.d). PSTW Budi Mulya 1 juga termasuk tipe
continuing care communities. Berdasarkan konsep continuing care communities,
lansia diberikan aktivitas yang disukainya seperti berkebun, olahraga, belajar, dan
lainnya (Family Care America, 2013). Begitupula dengan lansia di PSTW Budi
Mulya 1 juga diberikan aktivitas sesuai hobinya dan bimbingan keterampilan,
seperti menjahit, menyulam, beternak, berkebun, serta membuat hiasan dari kain
perca.
Jika dilihat dari kriteria residential care wisma di PSTW ini belum semua sesuai
dengan kriteria. Menurut Family Care America (2013), syarat lansia yang tinggal
di residential care adalah lansia yang sehat mental, masih mampu berpakaian,
makan, dan juga toileting. Namun, tiga wisma di PSTW Budi Mulya yakni wisma
Dahlia, Cempaka, dan Edelweis memiliki lansia yang membutuhkan perawatan
total dan pengawasan caregiver selama 24 jam serta lansia yang mengalami
demensia. Sementara itu konsep pelayanan kesehatan lansia yang memenuhi
kategori lansia seluruh wisma di PSTW Budi Mulya 1 yakni Continuing care
communities. Continuing care communities merupakan jenis kediaman lansia
yang menyediakan beberapa fasilitas asuhan keperawatan sesuai dengan tingkat
ketergantungan lansia (Family Care America, 2013). Selain pelayanan kesehatan
Universitas Indonesia
Saat dilakukan pengkajian pada Ibu R diperoleh data-data abnormal pada sistem
pencernaan seperti Ibu R mengatakan biasanya BAB dua hari sekali tetapi sudah
empat hari belum buang air besar, buang air besarnya sulit, fesesnya keras, dan
saat defekasi perlu usaha mengedan. Selain itu juga tampak adanya distensi
abdomen, terabanya massa feses pada abdomen, bunyi dullness saat dilakukan
perkusi pada abdomen, dan bising usus dua kali per menit. Data-data tersebut
sesuai dengan definisi dan batasan karakteristik konstipasi menurut NANDA.
Universitas Indonesia
hanya terdapat karateristik saja yang tidak ada pada Ibu R seperti darah merah
pada feses, mual dan muntah.
Masalah konstipasi yang terjadi pada Ibu R tidak hanya disebabkan adanya
perubahan pada sistem pencernaan tetapi juga disebabkan beberapa hal seperti
kurangnya asupan cairan dan serat, serta kurangnya aktivitas. Hal tersebut sesuai
dengan yang dijelaskan oleh Stanley (2006) dan Ebersole (2005) bahwa konstipasi
dapat terjadi karena penurunan motilitas usus, kurang aktivitas, penurunan
kekuatan dan tonus otot panggul dan abdomen, pola makan yang buruk, dan juga
kurangnya asupan cairan dan serat.
Asupan makanan klien seluruhnya berasal dari panti termasuk asupan serat.
Secara umum asupan serat pada makanan yang diberikan untuk lansia di panti
sudah baik. Menurut Folden (2002), kebutuhan asupan serat dalam sehari untuk
lansia yakni 20-35 gram untuk menjaga pola normal defekasi. Pada menu makan
pagi makanan yang diberikan, yakni nasi, lauk berupa tempe atau tahu dan juga
sayur, sedangkan pada menu makan siang dan sore, yakni nasi, lauk, sayur dan
juga buah. Pemberian makanan untuk Ibu R belum disesuaikan dengan kebutuhan
asupan klien tetapi berdasarkan keinginan klien. Jika kebutuhan asupan serat
kurang maka akan menyebabkan waktu transfer feses dalam usus lama,
menurunnya motilitas usus serta penurunan produksi bulk sehingga menyebabkan
terjadinya konstipasi. Menurut Touhy dan Jett (2010), serat mencegah mencegah
atau mengurangi insiden konstipasi dengan membantu meningkatkan berat feses
serta memperpendek waktu transit feses dalam usus. Hal tersebut ditambah lagi
dengan terjadinya penurunan fungsi sistem pencernaan lansia salah satunya yakni
usus besar dan rektum yang mengalami penurunan elastisitas dan persepsi distensi
dinding rektum sehingga mempengaruhi motilitas usus (Miller, 2004).
Selain karena kurangnya asupan serat, aktivitas klien yang mengalami penurunan
juga menjadi penyebab konstipasi pada klien. Aktivitas klien sebagian besar
dilakukan di teras wisma ataupun tempat tidurnya seperti duduk-duduk ataupun
berbincang-bincang dengan penghuni panti yang lain. Klien juga jarang mengikuti
Universitas Indonesia
Kurangnya asupan cairan dan juga obat-obatan yang dikonsumsi klien menjadi
faktor risiko terjadinya konstipasi. Saat ini klien mengkonsumsi obat THP
(Trihexyphenidyl) yakni salah satu jenis obat antikolinergik yang merupakan
salah satu jenis obat yang dapat menyebabkan konstipasi. Asupan cairan klien
dalam sehari yakni dua gelas air putih atau kurang lebih 900 cc. Jumlah cairan
tersebut masih kurang dari kebutuhan minimal cairan lansia yakni 30-35 ml/kg
BB (National Collaborating Center for Acute Care, 2006) atau 1260-1470 ml
cairan dalam sehari untuk klien. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriani
(2011) pada lansia di Panti Sosial Sabai Nan Aluih, Padang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara intake cairan dengan terjadinya
konstipasi.
Konstipasi yang terjadi pada Ibu R jika dilihat dari patofisiologi terjadinya
termasuk kategori Normal Transit Constipation (NTC). Menurut Toner dan
Universitas Indonesia
Latihan mengayuh sepeda merupakan salah satu yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan fungsi defekasi (Folden, 2012). Selain itu latihan mengayuh sepeda
juga dapat menguatkan otot pelvis sehingga dengan adanya peningkatan kekuatan
otot pelvis maka masalah konstipasi dapat dicegah (Ramus, 2011). Latihan
mengayuh sepeda efektif dilakukan selama 30 sampai 60 menit atau sebanyak tiga
sampai empat kali dalam seminggu untuk mencegah konstipasi (Griffin, 2010).
Universitas Indonesia
hari dan hasilnya setelah dilakukan implementasi selama lima minggu pola buang
air besar klien kembali normal yakni dua hari sekali, fesesnya tidak keras dan
tidak mengedan saat buang air besar. Selain itu juga terjadi peningkatan bising
usus. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktariyani (2013) yang
menunjukkan bahwa setelah lansia diberikan latihan mengayuh sepeda selama 30
menit secara rutin setiap hari, buang air besarnya lancar dan juga tidak keras.
Asupan cairan dan juga serat memiliki peran penting dalam mengatasi masalah
kontipasi. Selama lima minggu dilakukan implementasi peningkatan asupan
cairan dan juga serat sesuai dengan kebutuhannya klien. Pada klien tidak ada
kondisi khusus yang menyebabkan asupan cairannya harus dibatasi sehingga
kebutuhan cairan klien dalam sehari yakni 30-35 ml/ kg BB atau 1260-1470 ml air
putih. Selain itu penulis juga menganjurkan klien untuk menghindari minuman
yang memiliki efek diuretik, seperti kopi dan juga teh karena jenis minuman ini
dapat mengakibatkan konstipasi pada lansia (Vasanwala, 2009). Sementara itu,
asupan serat yang dianjurkan untuk klien yakni 20-35 gram sehari.
Setelah dilakukan implementasi peningkatan asupan cairan dan serat selama lima
minggu, hasilnya mulai dari minggu ketiga hingga minggu kelima frekuensi
buang air besar klien meningkat menjadi dua hari sekali. Selain itu konsistensi
feses sudah lunak, tidak ada nyeri saat buang air besar, serta sudah tidak ada usaha
mengedan saat BAB. Menurut Parrish (2008), gejala-gejala konstipasi akan
membaik setelah satu sampai dua minggu diberikan implementasi asupan serat
dan cairan serta akan mencapai efek maksimal setelah implementasi tersebut
dilanjutkan setidaknya empat sampai dengan enam minggu.
Universitas Indonesia
Sebelum penulis melakukan masase abdomen ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan seperti kontraindikasi masase abdomen, waktu pelaksanaan, serta
persiapan sebelum dilakukan masase. Masase abdomen tidak dapat dilakukan
pada semua lansia atau kontraindikasi pada lansia yang mengalami obstruksi
abdomen, ulkus lambung dan usus halus, adanya massa di abdomen, perdarahan
intestinal, hernia, dan juga inflamasi pada kandung kemih. Masase abdomen
seharusnya tidak dilakukan sebelum makan tetapi sekitar dua sampai tiga jam
setelah makan. Selain itu sebelum dilakukan masase, kandung kemih harus
dikosongkan terlebih dahulu (McClurg, 2011).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Bulking agent atau penggembur serta pelunak feses digunakan untuk mengatasi
masalah konstipasi ringan maupun sedang. Obat-obatan jenis ini dikonsumsi
secara oral. Sementara itu laksatif osmotik dan stimulan selain dapat dikonsumsi
secara oral dapat juga diberikan melalui rektal. Selain itu pemberian enema juga
dapat dilakukan untuk mengatasi masalah impaksi fekal. Enema dapat
menginduksi evakuasi feses sebagai respon terhadap distensi kolon (Gallagher,
Mahony, & Quigley, 2008). Namun, masing-masing obat-obatan tersebut
memiliki efek dan dampak negatif sehingga untuk menghindari hal tersebut
pelaksanaan terapi alternatif harus dilakukan secara konstisten. Selain dengan
masase abdomen, latihan mengayuh sepeda, serta peningkatan asupan serat dan
cairan terdapat beberapa terapi alternative non-farmakologis sebagai pemecahan
masalah konstipasi, seperti bowel training dan juga pemberian laksatif alami.
Menurut Kurniawan & Simadibrata (2011) dan Rao & Go (2010), bowel training
dapat menjadi salah satu penatalaksaan masalah konstipasi pada lansia. Seseorang
yang memiliki pola usus normal, gerakan peristaltik biasanya akan terjadi pada
waktu yang sama setiap harinya dan defekasi merupakan bagian dari kondisi
refleks. Selain itu gerakan motorik kolon akan meningkat setelah bangun tidur dan
setelah makan. Hal ini menunjukkan bahwa klien yang mengalami konstipasi
dapat membentuk pola buang air besar yang teratur dengan melakukan kebiasaan
buang air besar mengambil keuntungan dari stimulasi fisiologis normal ini (Rao &
Go, 2010). Dengan menggunakan prinsip tersebut lansia dimotivasi untuk buang
air besar pada waktu yang sama secara teratur, terutama di pagi hari atau 30 menit
setelah makan. Selain itu menurut Kurniawan & Simadibrata (2011), bowel
training juga bermanfaat mencegah feses yang keras dan juga faktor predisposisi
konstipasi terutama pada lansia.
Universitas Indonesia
Pemberian laksatif alami juga dapat dikonsumsi oleh lansia yang mengalami
konstipasi. Laksatif ini lebih aman bagi tubuh karena tidak menggunakan bahan
kimia seperti jenis laksatif pada umumnya. Contoh resep laksatif alami tersebut
dapat dibuat dari kismis, kurma, prune, dan juga buah ara. Semua buah-buahan
tersebut dihancurkan dan dicampur menjadi satu kemudian dapat disimpan dalam
lemari pendingin. Campuran buah-buahan tersebut dapat langsung dimakan
ataupun dicampur dengan beberapa buah kering lainnya. Jenis laksatif alami ini
dapat menjadi alternatif laksatif tanpa perlu menggunakan bahan kimia sehingga
lebih aman bagi tubuh lansia. Selain dengan buah-buahan tersebut, laksatif ini
dapat dibuat dari jenis buah yang lain seperti apel dan jus prune yang dicampur
menjadi satu dan disimpan dalam lemari pendingin serta dapat dikonsumsi setiap
hari (Ebersole, 2009).
Universitas Indonesia
5.1 Kesimpulan
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulya 1 Cipayung merupakan salah
satu bentuk pelayanan perawatan kesehatan lansia yang berada di perkotaan. Panti
ini merupakan gabungan tipe residential care dan juga continuing care
communities. Jika dilihat dari fasilitas yang dimiliki, panti ini termasuk tipe
residential care karena selain memiliki tempat tinggal juga disediakan caregiver
dan tenaga medis. PSTW Budi Mulya 1 memiliki tujuh buah wisma (Asoka,
Bougenvile, Cempaka, Catelya, Dahlia, Edelweis, dan Flamboyan) sebagai
hunian untuk lansia dengan penempatan lansia di masing-masing wisma tersebut
berdasarkan jenis kelamin serta ketergantungannya, total care ataupun mandiri.
Sementara itu jika dilihat dari kriteria residential care wisma di PSTW belum
seluruhnya memenuhi kriteria tersebut karena masih terdapat lansia yang
membutuhkan perawatan total, pemantauan caregiver 24 jam, serta lansia yang
mengalami demensia. Jika dilihat dari kategori lansia berdasarkan
ketergantungannya, PSTW ini termasuk tipe continuing care communities. PSTW
ini menyediakan pelayanan asuhan keperawatan bagi lansia yang memerlukan
asuhan keperawatan secara kontinu, lansia mandiri, dan juga lansia yang
membutuhkan bantuan aktivitas sehari-hari. PSTW Budi Mulya 1 memiliki
berbagai jenis pelayanan untuk meningkatkan derajat kesehatan serta kualitas
hidup lansia, seperti pengobatan, fisioterapi, aktivitas sosial, pembinaan mental
spiritual sesuai keyakinan, dan juga rujukan rumah sakit. Meskipun demikian,
masalah kesehatan pada lansia masih tetap terjadi akibat adanya penurunan fungsi
sistem ataupun organ tubuh yang secara alamiah mengalami penuaan. Untuk itu
pelayanan kesehatan lansia di panti perlu diperhatikan dan ditingkatkan
pelayanannya sehingga kesehatan dan kesejahteraan lansia meningkat.
Ibu R merupakan salah satu lansia di PSTW Budi Mulya 1. Ibu R berusia 80 tahun
dengan keluhan sudah empat hari belum defekasi, feses keras dan mengejan saat
61 Universitas Indonesia
defekasi dan biasanya pola defekasinya dua hari sekali. Dari hasil pengkajian
juga didapatkan data teraba keras pada kuadran empat, bising usus dua kali per
menit. Berdasarkan hasil pengkajian tersebut, masalah keperawatan yang dialami
oleh Ibu R adalah konstipasi. Konstipasi merupakan masalah kesehatan yang
sering terjadi pada lansia. Selain sebagai konsekuensi fisiologis normal perubahan
pada sistem gastrointestinal akibat penuaan juga terjadi karena kombinasi
beberapa faktor risiko. Faktor risiko tersebut seperti penurunan aktivitas fisik,
kurangnya asupan cairan dan serat, penggunaan obat-obatan dan juga faktor
psikologis seperti cemas dan stres.
Masalah konstipasi yang dialami Ibu R disebabkan karena beberapa faktor risiko
seperti kurangnya asupan serat dan cairan, kurangnya aktivitas, serta adanya
faktor risiko dari obat-obatan yang dikonsumi klien setiap hari. Ibu R
mengkonsumsi air putih setiap hari, namun jumlahnya masih kurang dari
kebutuhan. Begitupula dengan asupan serat Ibu R. Selain itu aktivitas Ibu R
mengalami penurunan, Ibu R lebih banyak menghabiskan waktu di dalam wisma
dengan duduk-duduk ataupun berbincang-bincang dengan penghuni panti lain. Ibu
R juga jarang mengikuti kegiatan yang ada di panti seperti senam. Sebelum
menetapkan individu mengalami masalah konstipasi pengkajian sistem
gastrointestinal dan juga keluhan defekasi perlu dilakukan secara lengkap. Lansia
akan mengalami perubahan bising usus sehingga untuk menetapkan lansia
mengalami konstipasi atau tidak, pemeriksaan bising usus perlu dilakukan secara
teratur setiap hari.
Berdasarkan data subjektif dan objektif hasil pengkajian pada Ibu R, kriteria
diagnosa konstipasi yang sesuai dengan NANDA yakni perubahan pola buang air
besar, sulit buang air besar, feses keras, mengejan saat defekasi, tampak distensi
abdomen da nada nyeri abdomen, teraba massa feses pada abdomen, bunyi
dullness saat diperkusi. Sementara itu kriteria NANDA yang tidak terdapat pada
Ibu R adalah ada darah merah pada feses saat defekasi, muntah, mual, dan adanya
rembesan feses cair. Untuk menentukan individu mengalami konstipasi maka data
hasil pengkajian harus sesuai dengan kriteria pada NANDA terutama data tentang
Universitas Indonesia
penurunan frekuensi normal defekasi, feses yang keras dan juga ada usaha
mengedan saat defekasi. Jika tidak ada data-data tersebut diagnosa masalah
konstipasi tidak dapat ditegakkan.
Universitas Indonesia
5.2 Saran
Penulis menyarankan kompetensi intervensi masase abdomen dapat dimiliki
semua mahasiswa keperawatan yang akan melakukan praktik di lapangan
terutama di panti sosial tresna werda. Dalam mewujudkan hal tersebut, penulis
menyarankan institusi pendidikan keperawatan untuk memasukkan dan
mengajarkan kompetensi masase abdomen ini dalam mata kuliah di kampus
khususnya mata kuliah keperawatan gerontik. Selain itu petugas dan perawat di
panti diharapkan dapat melakukan pemantauan asupan serat dan cairan lansia
serta dapat melakukan latihan masase abdomen sehingga masalah konstipasi dapat
dicegah dan diatasi. Dalam mewujudkan hal tersebut penulis menyarankan pihak
panti bekerjasama dengan mahasiswa dapat mengajarkan petugas panti ataupun
perawat tentang latihan masase abdomen. Selain itu mahasiswa juga dapat
melibatkan petugas maupun perawat panti setiap melakukan latihan masase
abdomen kepada lansia dengan masalah konstipasi. Sementara itu untuk penelitian
keperawatan selanjutnya, penulis menyarankan untuk mencoba atau mencari
intervensi lain dalam menangani masalah konstipasi.
Universitas Indonesia
Annete, G. L. (2006). Gerontologic nursing. 3rd ed. St. Louis, Missouri: Mosby,
Inc.
Asmadi. (2008). Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC
Bennett, K. J., Olatosi, B., & Probst, J. C. (2008). Health disparities: A rural-
urban chartbook. http://ruralhealthresearch.org. (Diakses pada 11 Juli 2014,
pukul 18.00 WIB).
Bosshard, W., Dreher, R., Schnegg, J. F., & Bula, C.J. (2004). The treatment of
chronic constipation in elderly people: an update. Drugs Aging, 21(14),
911-930.
Ebersole, P., Hess, P., Touhy, T., & Jett, K. (2005). Gerontological nursing &
healthy aging. 2nd ed. St. Louis, Missouri: Mosby, Inc.
Family Care America. (2013). Type of care facilities. Style sheet:
http://www.caregiverslibrary.org/caregivers-resources/grp-care-
facilities/types-of-care-facilities-article.aspx. Diunduh pada 8 Juli 2014
Fawlkes, F. G. (2012). Preventing constipation by doing abdominal massage and
increasing abdominal preeure exercise. http://amzn.to/14fPML3.
(Diunduh pada 27 Juni 2014, pukul 20.10 WIB)
Fitriani, I. (2011). Hubungan asupan serat dan cairan dengan kejadian
konstipasi pada lanjut usia di Panti Sosial Sabai Nan Aluih Sicincin
Tahun 2010. Universitas Andalas: Penelitian Keperawatan Gerontik
Folden, S. I., et al. (2002). Practice guidelines for the management of constipation
in adults. Rehabilitation nursing foundation.
Eliopoulus, C. (2005). Gerontological nursing, 6th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Walkins.
Gallagher, P., O’Mahony, D., & Quigley, E. M. M. (2008). Management of
chronic constipation in the elderly. Drugs & Aging, 25(10), 807-821.
Gallagher, P., & O’Mahony, D. (2009). Constipation in old age. 875-887.
Griffin, S. (2010). Constipation and bicycling exercise.
http://www.livestrong.com/atricle/339069-constipation-bicycle-
exercise/com. (Diunduh pada 8 Juli 2014, pukul 19.00 WIB)
61 Universitas Indonesia
Guyton, A.C., & Hall, J. E. (2004). Textbook of medical physiology. 10th Edition.
Philadelphia: Elsevier Sauders.
Kementerian Sosial RI. (2007). Penduduk lanjut usia di Indonesia dan masalah
kesejahteraannya.
http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=52
2. (Diakses pada 12 Juli 2014, pukul 20.00 WIB)
Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lanjut
usia 2009.
http://www.komnaslansia.or.id/downloads/profil/Profile_Penduduk_Lanjut
_Usia_2009.pdf. (Diunduh pada 8 Juli.2014, pukul 19.00 WIB).
Kurniawan, I., & Simadibrata, M. (2011). Management of chronic constipation in
elderly. Acta Med Indones-Indones J Intern Med, 43(3): 195-203.
Lamas, K. (2011). Using massage to ease constipation. Nursing Times, 107(4):
26-27
Lueckenotte, G. A. (2000). Gerontologic nursing. USA: Mosby
Maryam, S. R., dkk. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika .
Mauk, K. L. (2010). Gerontological nursing: Competencies for care. 2nd ed. USA:
Jones & Bartlett Publishers
Maurer, F. A., & Smith, C. M. 2005. Community public health nursing practice:
Health for families and populations. Elsevier Saunders. St. Louis
McCrea, G. L., et al. (2008). Pathophysiology of constipation in older adult.
World Journal of Gastroenterol.
McClurg, D, et al. (2011) Abdominal massage for the alleviation of constipation
symptoms in people with multiple sclerosis: a randomized controlled
feasibility study. Multiple Sclerosis Journal, 17 (2): 223-233
Meiner, S. E., & Annette, G. L. (2006). Gerontologic nursing. St. Louis, Missouri:
Mosby Elsevier
Miller, C. A. (2004). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Mubarok, (2006). Ilmu keperawatan Komunitas: Konsep dan aplikasi. Jakarta:
Salemba Medika
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Septiana Wulandari, FIK UI, 2014
65
PENGKAJIAN INDIVIDU
I. IDENTITAS
A. Nama : Nenek R
B. Jenis kelamin : Perempuan
C. Umur : 80 tahun
D. Agama : Islam
E. Status perkawinan : janda
F. Pendidikan terakhir : tidak sekolah
G. Pekerjaan terakhir : tidak bekerja
H. Alamat rumah : Taman Harapan RT 04 RW 03, Cawang-Jakarta Timur
II. ALASAN BERADA DI PANTI/ SASANA: Klien dibawa ke panti oleh masyarakat
karena keempat anaknya tidak mampu merawat klien. Keempat anak klien kondisi
ekonominya tidak mampu serta tidak memiliki pekerjaan tetap
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Septiana Wulandari, FIK UI, 2014
66
dahulu ketika BAB dan fesesnya keras. Ibu R mengatakan saat malam hari
sering terbangun untuk BAK yakni dua sampai tiga kali.
B. Masalah kesehatan keluarga/ keturunan: Ibu R mengatakan orang tuanya sudah
lama meninggal dan keduanya tidak memiliki penyakit hipertensi, jantung atau
penyakit lainnya
2. Pola Minum: Ibu R mengatakan lebih sering minum air putih dan jarang
minum kopi atau pun teh. Ibu R mengatakan dalam sehari minum dua gelas
besar air putih atau kurang lebih 900 cc air putih. Ibu R mengatakan hanya
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Septiana Wulandari, FIK UI, 2014
67
minum sedikit karena merasa tidak haus dan jika minum banyak akan sering
buang air kecil.
3. Pola tidur: Pada malam hari Ibu R biasanya tidur jam 22.00 sampai dengan
jam 03.00 WIB dan tidur siang jam 13.00 sampai dengan jam 15.00 WIB.
Ibu R mengeluhkan saat malam sering sulit tidur dan tidurnya tidak nyenyak.
Ibu R juga mengeluhkan saat tidur malam sering terbangun untuk buang air
kecil yakni dua sampai tiga kali sehingga pada pagi hari sering mengeluhkan
ngantuk. Hasil pengkajian yang dilakukan juga terlihat wajah Ibu R terlihat
tidak bersemangat dan mengantuk pada pagi hari. Ibu R juga sering terlihat
tertidur di bangku depan wisma.
4. Pola Eliminasi: Ibu R buang air kecil kurang lebih enam kali dalam sehari.
Klien mengatakan tidak ada masalah dalam buang air kecil, tidak ada nyeri
saat buang air kecil. Saat malam hari klien terkadang buang air kecil dua
sampai tiga kali sehingga mengganggu tidurnya. Klien mengatakan buang air
besarnya tidak teratur. Menurut klien pola buang air besarnya dua hari
sekali, namun saat dilakukan pengkajian klien mengatakan sudah tiga hari
belum buang air besar. Klien mengatakan fesesnya keras sehingga perlu
mengejan untuk mengeluarkannya.
5. Kebersihan Diri: Ibu R mandi secara mandiri dan beliau mandi satu kali
sehari yakni pada pagi hari. Ibu R menggunakan baju bersih dan rambut juga
rapi.
B. PSIKOLOGIS
Keadaan emosi: Keadaan emosi Ibu R stabil dan tenang. Selama proses interaksi
Ibu R sangat kooperatif dan bersedia menjawab pertanyaan yang ditanyakan
kepada beliau.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Septiana Wulandari, FIK UI, 2014
68
C. SOSIAL
1. Dukungan Keluarga: Keluarga Ibu R baru dua kali datang selama klien
berada di panti. Keluarga Ibu R terakhir mengunjungi beliau yakni pada
tahun 2010.
2. Hubungan Antar Penghuni: Secara umum hubungan klien dengan penghuni
lainnya baik. Klien tidak pernah terlihat bertengkar dengan penghuni panti
yang lain. Menurut Ibu R beliau tidak mengenal semua penghuni di wisma
Cempaka tetapi hanya beberapa orang saja. Ibu R sering terlihat mengobrol
dengan teman disamping di tempat tidurnya yakni Ibu T.
3. Hubungan Dengan Orang Lain: Hubungan klien dengan petugas wisma
terjalin baik. Klien jarang terlihat bertengkar dengan petugas wisma.
D. SPIRITUAL
1. Pelaksanaan Ibadah: Ibu R beragama Islam dan kegiatan keagamaan yang
masih beliau lakukan yakni solat lima waktu. Ibu R mengatakan bahwa
apabila kuat dan badannya sehat beliau juga puasa di bulan Ramadhan. Ibu R
tidak pernah mengikuti kegiatan pengajian karena tidak ada temannya.
Menurut Ibu R solat beliau masih bolong-bolong dan sering lupa solat
dzuhur ataupun azhar. Ibu R solat di atas tempat tidurnya dan tidak pernah
ikut solat jamaah di masjid.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Septiana Wulandari, FIK UI, 2014
69
Ibu R kurang karena sebagian besar kegiatannya hanya duduk-duduk dan jarang
berjalan-jalan.
G. PEMERIKSAAN FISIK
1. Tanda Vital
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Suhu : 36,3 ᴼC
Nadi : 90 x/ menit
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Pernapasan : 22 x/ menit
Tinggi lutut : 46,5 cm
Tinggi badan : 145 cm
Berat badan : 42 kg
Lingkar Lengan Atas : 20 cm
2. Kebersihan Perorangan
a Kepala
Kepala : bentuk kepala normal, bulat, simetris, tidak ada lesi
Rambut : beruban, bersih, tidak ada kutu dan ketombe, rambut
terdistribusi merata, rambut lurus pendek, dan tidak mudah dicabut
Mata : tidak ada keluhan gangguan penglihatan, konjungtiva
merah muda (tidak anemis), dan sclera tidak ikterik, bersih
Hidung : simetris antara kiri dan kanan, tidak ada polip, bersih,
dan tidak ada sekret
Mulut : jumlah gigi empat buah, tidak tercium bau mulut, tidak
ada sariawan, mukosa lembab, lidah bersih
b Telinga : bersih, simetris antara kiri dan kanan, tidak ada
gangguan pendengaran dan tidak ada serumen, tidak ada nyeri
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Septiana Wulandari, FIK UI, 2014
70
V. INFORMASI PENUNJANG
Diagnosa Medis :-
Laboratorium :-
Terapi Medis : THP 2x2 mg dan risperidone 2x1/2 tablet
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Septiana Wulandari, FIK UI, 2014
71
ANALISA DATA
DO:
- Hasil inspeksi tampak adanya distensi abdomen
- Abdomen teraba keras khususnya dikuadran
empat
- Bising usus 2 kali/ menit
- Pada abdomen terdengar bunyi dullness saat
diperkusi
- Ibu R mengkonsumsi obat THP
- Mobilitas dan aktivitas Ibu R kurang, kegiatan
sehari-hari hanya duduk di teras atau tempat
tidur
DO:
- Wajah tampak tegang
- Ibu R tampak memegangi lutut kakinya
- Pada lutut klien tidak ada kemerahan dan
bengkak
- TD 110/70 mmHg, nadi 90x/ menit
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Septiana Wulandari, FIK UI, 2014
72
DO:
- Ibu R terlihat tidak bersemangat dan mengantuk
pada pagi hari
- Ibu R sering terlihat tertidur di bangku depan
wisma
- Nyeri akut
- Konstipasi
- Gangguan pola tidur
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Septiana Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2 Rencana Asuhan Keperawatan
Nama : Ibu R
Usia : 80 tahun
Wisma : Cempaka