Oleh:
Desty Marini 1718012177
Putu Arya Laksmi Amrita Kirana 1718012210
Preceptor:
dr. Mukhlis Imanto, M.Kes.,Sp. THT-KL
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan berkat-
Nya sehingga penulis dapat menyusun laporan kasus dalam rangka memenuhi tugas
dalam kepanitraan klinik pada bagian THT-KL RSUD Dr. H. Abdul Moeloek,
Bandar Lampung.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini. Oleh
karena itu, penulis ingin meminta maaf atas segala kekurangan tersebut, hal ini
disebabkan karena masih terbatasnya pengetahuan, wawasan, dan keterampilan
penulis. Selain itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan guna
kesempurnaan laporan kasus selanjutnya dan sebagai bahan pembelajaran.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa
ilmu pengetahuan untuk kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan
pilar posterior (otot palatofaringeus). Bagian tonsil antara lain: fosa tonsil, kapsul
tonsil, plika triangularis. Tonsil berfungsi sebagai filter atau penyaring organisme
yang berbahaya. Bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus
tersebut maka akan timbul tonsilitis.
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila fausial), tonsila
lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/
Gerlach’s tonsil) (Soepardi, 2012).
Tonsilitis kronis merupakan suatu peradangan tonsil palatina dengan relaps dan remisi
serangan akut atau merupakan bentuk klinik dari infeksi resisten, yang tidak ditangani
dengan baik. Sulit untuk membedakan antara tonsilitis kronis dan tonsilitis rekuren,
karena kedua bentuk penyakit tersebut menggambarkan proses penyakit yang sama.
Jika tonsil pasien secara maksoskopis dan histologis kembali ke bentuk normal di
antara episode serangan, maka dapat dibedakan antara tonsilitis rekuren dengan
tonsilitis kronis. (Ugras & Kutluhan, 2008)
Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA
atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan. Tonsilitis kronis
dalam satu studi dilaporkan di Negara Norwegia, anakanak yang menderita tonsilitis
sekitar 11,7% sedangkan anak-anak yang berada di Negara Turki dilaporkan sekitar
12,1%. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi Indonesia pada
tahun 1994- 1996, prevalensi tonsilitis kronis 4,6% tertinggi setelah nasofaringitis akut
(3,8%) (Srikandi, 2013).
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn, N
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : S1
Suku : Jawa
Alamat : Perum Antasari Permai
Agama : Islam
PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Dilakukan autoanamnesis pada hari Jum’at, 7 september 2018 pukul 11.00 WIB di
ruang anggrek THT-KL RSUD Dr. H. Abdul Moeloek.
Keluhan Utama:
Nyeri menelan sejak 1 mingguyang lalu
Keluhan Tambahan:
Demam, sakit kepala, rasa mengganjal di tenggorokan, nafsu makan berkurang
± 1 minggu yang lalu, pasien merasakan keluhan semakin memberat. Pasien juga
merasakan nyeri tenggorokan saat menelan air liur dan rasa mengganjal di
tenggorokan. Keluhan demam dirasakan 3 hari yang lalu, batuk (-), pilek (-). Pasien
juga mengeluhkan nyeri kepala. Dirasakan adanya cairan yang mengalir di
tenggorokan oleh pasien. Pasien mengatakan tidak ada keluhan nyeri telinga, keluhan
keluar cairan dari telinga disangkal, keluhan telinga penuh di sangkal. Sakit didaerah
wajah disangkal. Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun
obat-obatan. Riwayat penyakit asma tidak ada.
Riwayat Sosial:
Merokok (-) konsumsi alkohol (-), suka makan goreng-gorengan dan meminum es
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-Tanda Vital
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Frekuensi Nafas : 20x/menit
Frekuensi Nadi : 100x/menit
Suhu : 36,5oC
Berat Badan : 50 kg
STATUS GENERALISATA
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik
Leher :Pembesaran KGB leher (-)
Thoraks : Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak tampak deformitas
HIDUNG
KANAN HIDUNG LUAR KIRI
Warna sama dengan sekitarnya Kulit Warna sama dengan sekitarnya
Normal Bentuk Hidung Normal
Luar
Tidak ditemukan Deformitas Tidak ditemukan
Nyeri Tekan
Tidak ada - Dahi Tidak ada
Tidak ada - Pipi Tidak ada
Tidak ditemukan Krepitasi Tidak ditemukan
Tidak ditemukan Tumor, Fistel Tidak ditemukan
RHINOSKOPI ANTERIOR
Kanan Kiri
Hiperemis (-) Mukosa Cavum Hiperemis (-)
Nasi
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak berbau Bau Tidak berbau
Mukosa hiperemis (-), eutrofi Konka inferior Mukosa hiperemis (-), eutrofi
Sulit dinilai Konka media Sulit dinilai
ada deviasi septum nasi Septum nasi Ada deviasai septum
CAVUM ORIS
CAVUM ORIS Hasil Pemeriksaan
Mukosa Tidak hiperemis
Gingiva Ulkus (-), edema (-)
Gigi Karies (-)
Lidah Bentuk normal, Ulkus (-), Plak (-)
Palatum durum Permukaan licin
Palatum mole Permukaan licin, ptechie (-)
Uvula Posisi ditengah
Tumor Tidak ada
FARING
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Edema (-)
Mukosa Tidak hiperemis
Uvula Ditengah
TONSIL
TONSIL Hasil Pemeriksaan
Pembesaran T3-T3
Warna Hiperemis
Kripta Melebar
Detritus (-)
Perlekatan Tidak ada
LARING
Tidak dilakukan pemeriksaan
NERVI KRANIALIS
Tidak dilakukan pemeriksaan
Kesan Pemeriksaan:
- Telinga dalam batas normal.
- Hidung terdapat deviasi septum dan pembesaran adenoid.
- Tonsil tampak membesar (T3-T3), hiperemis, kripta melebar, tidak tampak
detritus.
Pemeriksaan anjuran:
- Endoscopy
- CT-Scan
- Foto polos kepala
RESUME
Pasien perempuan usia 21 tahun datang dengan keluhan nyeri menelan dirasakan sejak
1 minggu yang lalu. Keluhan disertai dengan rasa mengganjal di tenggorokan. Riwayat
demam 3 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala. Keluhan ini diawali
dengan pasien mengalami batuk pilek disertai rasa yang tidak enak pada tenggorokan
kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan batuk pileng sering hilang timbul.
Keluhan batuk pilek menghilang, tetapi rasa nyeri ditenggorokan menetap hingga
pasien mengalami nyeri menelan sehingga pasien tidak nafsu makan. Keluhan semakin
memberat setelah pasien meminum es dan goreng-gorengan. Ibu pasien mengatakan
bahwa saat tidur pasien selalu mengorok.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah : 120/70 mmHg, frekuensi nafas :
20x/menit . frekuensi nadi : 100x/menit, suhu : 36,5oC, berat badan: 50kg. status
generalis dalam batas normal. Telinga dalam batas normal. Hidung terdapat septum
deviasi dan pembesaran adenoid. Tonsil tampak membesar (T3-T3), hiperemis, kripta
melebar, tidak tampak detritus.
DIAGNOSIS
Diagnosis Banding:
1. Tonsilitis kronis eksaserbasi akut
2. Hipertrofi adenoid
3. Tonsilitis hipertrofi
4. Tonsilofaringitis.
Diagnosis Kerja :
Tonsilitis kronis eksaserbasi akut + hipertrofi adenoid
TERAPI
Non Medikamentosa
- Edukasi pasien mengenai tonsilitis kronis
- Edukasi mengenai hipertofi adenoid
- Tidak mengkonsumsi makanan atau minuman dingin, makanan goreng-gorengan/
berminyak, dan yang menyebabkan timbulnya keluhan lainnya.
Medikamentosa
Eritromicin 250 mg X 4
Ibuprofen 500mg tab X 3
Pembedahan
Dilakukan Tonsilektomi dan adenoidektomi
PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga
mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan
dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot
palatofaringeus.Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah yang disebut kriptus.Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel
skuamosa yang juga meliputi kriptus.Didalam kriptus biasanya ditemukan
leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx, sehingga mudah dilakukan diseksi
pada tonsilektomi.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat
ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik
merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista
duktus tiroglosus (Rusmajono, 2007)
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi
membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam
faring.Permukaannnya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam
cryptae tonsillares yang berjumlah 6-20 kripte. Pada bagian atas permukaan
medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla
ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut capsula tonsilla palatina, terletak
berdekatan dengan tonsilla lingualis (Boies, 1997; Rusmajono, 2007)
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
a. Lateral – muskulus konstriktor faring superior
b. Anterior – muskulus palatoglosus
c. Posterior – muskulus palatofaringeus
d. Superior – palatum mole
e. Inferior – tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripte tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan
ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma
jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan
bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh
sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal (Sopeardi, 2012; Adams, 2012).
b. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris
dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri
palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal;
4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh
arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil
diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-
vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan
pleksus faringeal (Adams, 2012).
d. Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerve (Adams,
2012).
e. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada
tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B
berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD),
komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan
tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan
pusat germinal pada folikel ilmfoid.
Tonsilitis kronis merupakan suatu peradangan tonsil palatina dengan relaps dan
remisi serangan akut atau merupakan bentuk klinik dari infeksi resisten, yang
tidak ditangani dengan baik. Sulit untuk membedakan antara tonsilitis kronis dan
tonsilitis rekuren, karena kedua bentuk penyakit tersebut menggambarkan proses
penyakit yang sama. Jika tonsil pasien secara maksoskopis dan histologis
kembali ke bentuk normal di antara episode serangan, maka dapat dibedakan
antara tonsilitis rekuren dengan tonsilitis kronis. (Ugras & Kutluhan, 2008)
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak
jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan
terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior
dan apabila tonsil ditekan keluar detritus. (Soepardi, 2012)
a. Epidemiologi
Peradangan tonsil kronis paling sering menyerang anak-anak pada usia dekade
pertama, namun bisa juga menyerang usia dewasa, diduga disebabkan karena
disfungsi lokal dari struktur epitelial (Mogoanta dkk., 2008).
Faktor risiko yang biasanya ada pada pasien tonsillitis adalah sebagai berikut
(IDI, 2014):
1. Faktor usia, terutama pada anak.
2. Penurunan daya tahan tubuh.
3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.
5. Riwayat alergi
c. Patofisiologi
Tonsil palatina yang sehat merupakan suatu tempat berkelanjutan dari sel
limfoid, dan telah diinterpretassikan sebagai aktivasi permanen. Tonsilitis
dapat terjadi apabila aktivitas dan proliferasi patogen di jaringan limfoid
tonsilar melebihi potensi protektif dari sel yang memproduksi
immunoglobulin dan mengaktivasi limfoid (Mogoanta dkk., 2008).
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga
pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut.
Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar. Secara klinis kripta
ini akan tampak diisi oleh dendritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit
yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning
kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun
(Soepardi, 2012).
Sebagai suatu rute entri patogen, tonsil dikenal sebagai infeksi postviral dengan
bakteri, begitu juga dengan virus Epstein-Barr. Meskipun demikian, sampai
sekarang, tonsilitis juga diketahui memiliki peran penting dalam munculnya
secondary diseases dalam bentuk infeksi fokal seperti IgA nefropati, artropati,
dan aritritis reaktif. Penyakit-penyakit tersebut pada beberapa kasus meningkat
setelah dialkukan tonsilektomi (Mogoanta dkk., 2008).
d. Manifestasi Klinis
Gejala tonsillitis berbeda berdasarkan etiologi yang menyebabkannya. Pada
tonsillitis viral, gejalanya lebih menyerupai common cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan
rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat
nyeri dirasakan pasien. Pada tonsillitis bacterial gejala dan tanda yang sering
ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan
suhu tubuh tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan
rasa nyeri di telinga (otalgia) karena nyeri alih melalui n. glossofaringeus (n.
IX).
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut
yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada
tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang
mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan
berbau.
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis
yang mungkin tampak, yakni:
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang
purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis,
kripta yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen. (Soepardi,
2012)
e. Diagnosis
Diagnosis tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan pada riwayat klinis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesa
Beberapa kriteria klinis untuk diagnosis tonsilitis kronis adalah
sebagai berikut.
Setidaknya terjadi tujuh episode serangan dalam satu tahun
terakhir, meskipun serangan ditangani dengan terapi yang
adekuat.
Setidaknya terjadi lima episode serangan dalam dua tahun
terakhir, meskipun serangan ditangani dengan terapi yang
adekuat.
Setidaknya terjadi tiga episode serangan dalam tiga tahun
terakhir, meskipun serangan ditangani dengan terapi yang
adekuat. (Ugras & Kutluhan, 2008).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi
kadang-kadang atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas.
Didapatkan detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan
dengan spatula lidah. Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak
terdapat nyeri tekan. (Soepardi, 2012; Adams, 2012)
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
Tonsilitis Kronis:
1. Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan
infeksi pada tonsil.Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika
atau penetrasi antibiotika yang inadekuat.Gold standard
pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Kuman
terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus
diukuti Staflokokus aureus. (Hasan & Alatas, 2007)
2. Histopatologi
Diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi
yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya
Ugra’sabses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi
ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya
dapat dengan jelas menegakkan diagnosa tonsilitis kronis
(Ugras & Kutluhan, 2008).
f. Penatalaksanaan
Pengobatan tonsilitis meliputi terapi lokal, medikamentosa dan pembedahan.
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur (Soepardi, 2010).
Penggunaan obat kumur yang mengandung klorheksidin atau benzidamin pada
pasien dewasa maupu nanak dengan tonsillitis yang ditujukan untuk menjaga
higienitas mulutnya, namun pada anak terdapat keterbatasan penggunaan
khususnya pada obat kumur herbal dimana tidak dianjurkan pemakaiannya pada
anak <12 tahun. Hal ini berkaitan dengan kandungan etanol sebagai larutan
pengekstraknya (Sembiring, 2013).
Tabel 1. Pilihan Terapi Antibiotik Tonsilitis dan Faringitis Secara Empirik (Tanto,
2014)
Dewasa Anak
Penisilin V 500 mg per oral selama 10 Penisilin V 25-50 mg/kg/hari per oral
hari selama 10 hari
Benzathine penisilin G 1,2 juta U Benzathine penisilin G 25.000 U/kg
intramuskular sekali suntikan intramuskular
Amoksisilin 2x500-875 mg atau 3x250- Amoksisilin 50 mg/kg/hari dibagi dalam
500 mg per oral selama 10 hari 2/ 3 dosis per oral selama 10 hari
Cefdinir 1x600 mg atau 2x300 mg per Cefdinir 14 mg/kg 1 kali per oral selama
oral selama 10 hari 10 hari
Cefuroxime axetil 1x250 mg per oral Cefuroxime axetil 10 mg/kg per oral
selama 4 hari selama 4-10 hari
Dewasa Anak
g. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke
daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari
tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut:
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding
posterior nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin waldeyer.
Secara fisiologik pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami hipertrofi. Adenoid
ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang sama
sekali pada usia 14 tahun. Apabila sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas,
maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan mengabatkan sumbatan pada koana,
sumbatan tuba eustachius serta gejala umum.
Gejala umum yang ditemukan pada hipertrofi adenoid yaitu gangguan tidur, tidur
ngorok/mendengkur, retardasi mental dan pertumbuhan fisis kurang dan dapat
menyebabkan sumbatan pada jalan napas bagian atas yang dapat mencetuskan kor
pulmonale dimana sukar disembuhkan dengan penggunaan diuretik tetapi memberikan
respon yang cepat terhadap adenoidektomi.
a. Epidemiologi
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta
tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika
serikat. Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun
1996, diperkirakan anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau
tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani
tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren
serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang dewasa berusia 16 tahun
atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada tahun 1990 (2.919
operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996 (3.200 operasi).
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah
operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus
menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati
dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah
operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.
b. Etiologi
Adenoid adalah pembesaran subepitelial dari limfosit pada minggu ke 16
kehamilan. Normalnya, pada saat lahir pada nasofaring dan adenoid banyak di temukan
organisme dan terdapat pada bagian atas saluran pernafasan yang mulai aktif sesaat
setelah lahir. Organisme-organisme tersebut adalah lactobacillus, streptococcus
anaerobik, actynomycosis, lusobacteriurn dan nocardia mulai berkembang. Flora
normal yang ditemukan pada adenoid antara lain alfa-hemolytic streptococcus,
euterococcus, corynebacterium, staphylococcus, neissria, micrococcus dan
stomatococcus.Etiologi pembesaran adenoid dapat di ringkas menjadi dua yaitu secara
fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi pada
masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup membesar
akan menyebabkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang
mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA.
c. anatomi
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang berbentuk corong yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak
terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke VI. Pada bagian atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, pada bagian depan
berhubungan dengan mulut melalui istmus orofaring, sedangkan laring di bawah
berhubungan melalui additus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding laring dibentuk oleh
selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
d. Fisiologi
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi
suara dan untuk artikulasi. Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh, banyak
alergen yang ikut bersama udara yang kita hirup, saat masuk ke dalam hidung alergen
dalam udara tersebut dijebak oleh lapisan permukaan adenoid yang terdiri dari sel-sel
epitel bersilia ditutupi oleh lapisan tipis lendir, yang bergerak konstan seperti
gelombang dan mendorong lendir yang berisi alergen yang telah terperangkap turun ke
faring, kemudian dari titik tersebut lendir terdorong oleh gerakan menelan dari otot
faring dan turun ke lambung yang mana epitelnya lebih resisten terhadap alergen-
alergen tersebut. Adenoid juga merupakan jaringan limfoid bersama dengan struktur
lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian penting system
pertahanan tubuh garis depan dalam memproteksi tubuh dari invasi kuman
mikroorganisme dan molekul asing.
e. Patogenesis
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak
berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid
(pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang memfagosit
kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting
sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun selular, seperti pada
bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu,
hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora normal itu
sendiri dan mikroorganisme patogen.
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan tersumbatnya
jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk
bernapas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid dapat
menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara.
Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius yang akhirnya
menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba
eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan.
f. Gejala klinis
Pembesaran adenoid dapat menimbulkan beberapa gangguan sebagai berikut ini :
a. Obstruksi nasi oleh karena adenoid menyumbat parsial atau total respirasi
hidung sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak-
anak akan terus bernafas melalui mulut. Bernafas melalui mulut juga
menyebabkan udara pernafasan tidak disaring dan kelembabannya kurang,
sehinnga mudah terjadi infeksi saluran pernafasan bagian bawah.
b. Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid
mempunyai tampak muka yang karakteristik yang disebut facies adenoid
yang berupa mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas
yang pendek (namun sering juga muncul pada anak-anak yang minum susu
dengan menghisap dari botol dalam jangka panjang), hidung yang kecil,
maksila tidak berkembang/hipoplastik, sudut alveolar atas lebih sempit,
arkus palatum lebih tinggi
c. Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik
rekuren maupun otitis medis akut residif, otitis media kronik dan terjadi tuli
konduktif. Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaan dalam kualitas
suara.
d. Sleep apnea pada anakyang berupa adanhya episode apnea pada saat tidur
dan hipersomnolen pada siang hari. Sering juga disertai dengan hipoksemia
dan bradikardi. Episode apnea dapat terjadi akibat adanya obstruksi sentral
atau campuran.
g. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisis, yang terbagi dua :
Directa:
- Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring setelah palatum
molle di retraksi.
- Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle waktu
mengucapkan "i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid, hal ini disebut
fenomena palatum molle yang negatif
Indirecta:
- Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah orofaring
dinamakan rhinoskopi posterior.
- Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti scytoskop yang mempunyai
sistem lensa dan prisma dan lampu diujungnya, dimasukkan lewat cavum
nasi, seluruh nasofaring dapat dilihat.
c. Palpasi:
Jari telunjuk yang dimasukkan ke nasofaring dapat meraba adenoid yang
membesar.
d. Pemeriksaan penunjang:
1. Radiologi
Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam
mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena
ruang postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan
pengambilan foto lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat
obstruksi.
Gambar 7: gambaran radiologis adenoid pada foto polos kepala
lateral.
2. Endoskopi
Endoskopi yang flexible membantu dalam mendiagnosis adenoid hipertrofi,
infeksi pada adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), juga dalam
menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal.
i. Komplikasi
Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan
adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan akan terjadi kerusakan dinding
belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan rusak dan
dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan timbul tuli konduktif.
j. Prognosis
Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan
individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna,
kerusakan akibat cor pulmonal tidak menetap dan juga terjadi perubahan terhadap
keluhan-keluhan berikut ini:
- Otitis media persisten kronik
Maw and Speller, Paradise menunjukkan bahwa sekitar 30-50% terjadi
penurunan otitis media setelah dilakukan adenoidectomy.
- Sinusitis kronik
Studi dari Lee and Rosenfeld pada tahun 1997, menunjukkan bahwa
sinusitis kronik tidak berkurang meskipun telah dilakukan pengangkatan
adenoid. Namun penelitian yang lain tetap menunjukkan adanya resolusi
gejala sinusitis setelah pengangkatan adenoid.
- Obstruksi jalan napas
Adenoidektomi menghilangkan obstruksi sehingga gejala-gejala obstruksi
nasal seperti sleep apnea, hiponasal menghilang dengan sendirinya.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan nyeri menelan dirasakan sejak 1 minggu yang lalu.
Keluhan disertai dengan rasa mengganjal di tenggorokan seperti sulit menelan, dan
nyeri kepala. Riwayat demam sejak 3 hari yang lalu. Keluhan ini diawali dengan pasien
mengalami batuk pilek disertai rasa yang tidak enak pada tenggorokan kurang lebih
sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan batuk pileng sering hilang timbul. Keluhan batuk pilek
menghilang, tetapi rasa nyeri ditenggorokan menetap hingga pasien mengalami nyeri
menelan sehingga pasien tidak nafsu makan. Keluhan semakin memberat setelah
pasien meminum es dan goreng-gorengan. Ibu pasien mengatakan bahwa saat tidur
pasien selalu mengorok.
Berdasarkan teori ,pada anamnesis didapatkan penderita sering datang dengan keluhan
rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, rasa mengganjal
di tenggorok, nafas bau malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam. Gejala
pasien menunjukkan kesesuaian dengan teori yang ada. adanya keluhan sistemik
seperti demam menunjukkan bahwa penyakit yang dialami adalah suatu penyakit
infeksi. Pasien mengalami gejala nyeri menelan dan nyeri tenggorokan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil Tonsil tampak membesar (T3-T3), hiperemis,
kripta melebar, tidak tampak detritus. Telinga dalam batas normal. Hidung dalam batas
normal.
Berdasarkan teori pada tonsilitis kronis ditemukan pemeriksaan fisik didapati tonsil
hipertrofi, tetapi kadang-kadang atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas.
Didapatkan detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah.
(Soepardi, 2012; Adams, 2012). Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesesuaian dengan
teori yang ada, hal ini menunjukan bahwa pasien menderita tonsillitis kronik. Pada
umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam
kategori tonsilitis kronik berupa:
a. pembesaran tonsil karena hipertrofi, kripta melebar.
b. Tonsil tetap kecil, biasanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam
dalam tonsilar bed dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar (Nelson
dkk., 2000).
Pada kasus ini pasien diberikan terapi antibiotik eritromicin 250mg sebanyak 4 kali
dalam sehari. Eritromicin merupakan golongan makrolid. Golongan makrolid
merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erythreus. Aktif
terhadap kuman gram positif seperti Str. Pyogenes dan Str. Pneumoniae. Antibiotic ini
bisa digunakan untuk infeksi klamidia, pertussis, difteri, streptokokus, staphylococcus,
camylobacter, sifilis, dan gonore. Eritromicin bekerja dengan menekan sintesis protein
bakteri. Waktu mencapai puncak adalah 6 jam dan lama kerja nya 6 jam. Sehingga
pemberian eritromicin 250mg sebanyak 4 kali dalam sehari terhadap pasien sudah
tepat.
Pemberian analgetik pada pasien diakreanakan terjadinya inflamasi yang masih aktif
ditandai dengan gejala nyeri menelan sehingga tidak nafsu makan. Analgetik yang
dipilih untuk mengurangi inflamasi adalah ibuprofen. Ibuprofen merupakan golongan
obat anti inflamasi non steroid derivate asam propionate yang mempunyai aktivitas
analgetik. Mekanisme ibuprofen adalah menghambat isoenzim sikloosigenase-1 dan
sikloosigenase 2 dengan cara mengganggu perubahan asam arakidonat menjadi
prostaglandin. Efek analgetik obat ini terlihat dengan dosis pemberian 1200-2400 mg
per hari. Obat ini aman untuk anak-anak sehingga pemberian ibuprofen sebagai
analgetik dan anti piretik pada kasus ini sudah tepat.
Adams GL, Boies LR, Higler PA. 2012. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
ECG, 1997. p263-340
Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The
Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58.
KlausS. 2 0 1 4 . Tonsillitis and sore throat in children. GMS Curr Top
Otorhinolaryngol Head Neck Surg.
Mogoanta CA, Ionita E, Prici D, Mitroi M, Anghelina F, Ciolofan S, dkk. 2008.
Chronic tonsilitis histological and immunohistochemical aspects. Romanian
Journal of Morphology and Embriology; 49(3): 381-86.
Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
Ugras S dan Kutluhan A. 2008. Chronic tonsilitis can be diagnosed with
histopathologic findings. Eur J gen Med; 5(2): 95-103.
Tanto C, et al. (Editor). 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi IV. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapius.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Srikandi, et al. 2013. Profil Pembesaran Tonsil Pada Pasien Tonsilitis Kronis Yang
Menjalani Tonsilektomi Di RSUP Sanglah Pada Tahun 2013. Jurnal Universitas
Udayana.
Windfuhr JP, Toepfner N, Steffen G, Waldfahrer F, Berner R. Clinical practice
guideline: tonsillitis I. Diagnostics and nonsurgical management. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2016. 273(4): 973–987.