Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH PATOLOGI VETERINER UMUM

( Resistensi Domba Ekor Tipis Terhadap Fasciola Gigantica )

Oleh :

PUTU TESSA HARIYS SEPTIANDA TEJA

1709511039

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang Resistensi Domba
Ekor Tipis Terhadap Fasciola Gigantica.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
bagi pemabaca, untuk kedepannya semoga dapat diperbaiki maupun menambah isi agar
menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan dan kurangnya pengalan kami, sehingga adanya kekurangan


dalam makalah ini kami mohon kritik dan sarannya bagi para pembaca agar makalah ini
dapat menjadi lebih baik.

Denpasar, 5 Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 2

1.3 Tujuan .................................................................................................... 2

1.4 Manfaat .................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3

2.1 Pengertian Resistensi ............................................................................. 3

2.2 Resistensi Domba Ekor Tipis Terhadap Fasciolas Gigantica .................. 4

BAB III PENUTUP ................................................................................................. 7

3.1 Kesimpulan............................................................................................. 7

3.2 Saran ..................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Parasit adalah istilah yang digunakan untuk menyebut makhluk hidup yang hidupnya
tergantung pada makhluk hidup lainnya. Kata parasit berasal dari bahasa Yunani
‘Parasitos’ yang artinya di samping makanan (para=di samping/di sisi, dan
sitos=makanan). Parasit hidup dengan menempel dan menghisap nutrisi dari makhluk
hidup yang di tempelinya. Makhluk hidup yang di tempeli oleh parasit disebut dengan
istilah inang. Secara umum, keberadaan parasit pada suatu inang akan merugikan dan
menurunkan produktivitas inang. Karena selain menumpang tempat tinggal, parasit juga
mendapatkan nutrisi dan sari makanan dari tubuh inang. Hal seperti ini akan
menyebabkan tubuh inang mengalami malnutrisi yang akan mempengaruhi metabolisme
tubuhnya. Dalam ilmu kesehatan, parasit identik dengan organisme penyebab penyakit.
Sebagian besar penyakit yang menyerang manusia di sebabkan oleh parasit yang hidup
dan berkembang biak dalam tubuhnya.
Suatu parasit merupakan organisme yang hidup pada permukaan atau dalam suatu
organisme kedua, yang disebut inang. Interaksi yang membentuk hubungan inang-inang
parasit adalah kompleks. Ketika suatu parasit mencoba untuk menyebabkan infeksi, inang
merespon dengan menggerakan suatu kesatuan tempur dari mekanisme pertahan.
Kemampuan mencegah penyakit yang akan memasuki mekanisme pertahanan disebut
resistensi (kekebalan). Tanpa resistensi disebut kerentanan.
Resistensi inang terhadap masuknya parasit dipisahkan menjadi dua tipe : resistensi non-
spesifik dan resistensi spesifik. Resistensi nonspesifik, atau alami, resistensi yang termasuk
mekanisme pertahanan alami yang melindungi inang dari bermacam parasit tanpa
menghiraukan apakah tubuh menghadapi tipe parasit sebelumnya atau tidak. Resistensi
spesifik, atau immunitas, merupakan mekanisme pertahan yang telah dikembangkan untuk
merespon suatu parasit tertentu, atau spesifik. Mekanisme pertahanan imun spesifik demikian
didapatkan inang sebagai suatu akibat dari permulaan adanya parasit. Dalam dunia
organisme, resistensi nonspesifik merupakan hal paling umum dan mendasar untuk
pencagahan penyakit. Tumbuhan dan sebagian besar hewan bertahan hanya dengan resistensi
nonspesifik terhadap dunia patogen potensial. Hanya hewan vertebrata yang memiliki
resistensi spesifik atau mendapatkan suatu respon immun spesifik. Oleh karena itu mereka
lebih efisien dalam melawan infeksi.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya pada makalah ini yaitu :
1.2.1. Apa pengertian dari resistensi ?
1.2.2. Mengapa domba ekor tipis resisten terhadap fasciola gigantica ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan makalah ini berdasarkan rumusan masalah yang ada yaitu :
1.3.1. Mengetahu pengertian dari resistensi.
1.3.2. Mengetahui resistensi domba ekor tipis terhadap fasciola gigantica.

1.4 Manfaat
Agar pembaca lebih mengenal dan mengetahui lebih dalam mengenai resistensi dan
memahami mengapa domba ekor tipis resisten terhadap fasciola gigantica.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Resistensi


Resistensi adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroorganisme oleh
antibiotika. Resistensi atau kepekaan sebenarnya bukanlah sifat yang mutlak tetapi bisa
juga perubahan pada penggunaan konsentrasi antibiotika. Sifat ini merupakan
mekanisme yang alamiah untuk bertahan hidup. Sifat resistensi bakteri terhadap
antibiotika yang terdapat pada gen maka dikenal dengan resistensi yang disebabkan non-
genetik atau disebabkan genetik.

Penyebab Resistensi secara umum :

1. Non Genetik
2. Genetik
 Resistensi alamiah
 Resistensi diperoleh
a. Akibat Induksi
b. Mutasi Spontan
c. Resistensi Dipindahkan

Penyebab Non Genetik

Resistensi non-genetik adalah suatu keadaan bakteri pada stadium istirahat, sehingga
bakteri tidak peka terhadap antibiotik. Atau dengan kata lain, antibiotik yang bekerja
untuk membunuh bakteri pada saat aktif pembelahan maka populasi bakteri yang tidak
berada pada fase pembelahan akan relatif resisten terhadap antibiotik tersebut. Resistensi
non-genetik umumnya terjadi karena perubahan pada pertahanan tubuh bakteri itu sendiri
atau perubahan struktur bakteri sehingga tidak sesuai lagi sebagai target.

Contoh :

Bakteri Tuberkulosis yang menginfeksi di dalam jaringan yang tidak membelah aktif
pada saat pemberian antibiotik sehingga terjadi mekanisme pertahanan tubuh bakteri
maka akan resisten terhadap antibiotik tersebut. Lalu karena suatu hal maka diberikan
kortikosteroid yang menyebabkan daya tahan bakteri menurun sehingga bakteri yang tadi

3
belum membelah aktif lalu akan membelah lagi sehingga antibiotic tidak dapat bekerja
baik atau tidak dapat membunuh tuberculosis.

Penyebab Genetik

Resistensi genetik yaitu suatu keadaan mikroorganisme yang semula peka terhadap suatu
antibiotik pada suatu saat dapat berubah sifat genetiknya menjadi tidak peka atau
memerlukan konsentrasi yang lebih besar. Perubahan ini karena gen bakteri
mendapatkan elemen genetik yang terbawa sifat resistensi. Yaitu resistensi bakteri yang
terjadi karena perubahan genetik meliputi kromosom maupun ekstra kromosom.
Perubahan genetik dapat ditransfer atau dipindahkan dari satu spesies bakteri ke spesies
lainnya melalui berbagai mekanisme. Perubahan genetic dapat bersifat kromosomal
maupun extrakromosomal.

2.2 Resistensi Domba Ekor Tipis Terhadap Fasciolas Gigantica


Hasil penghitungan jumlah cacing F. gigantica di organ hati dalam penelitian ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa domba ET lebih resisten
daripada domba Merino (Wiedosari dan Copeman, 1990; Spithill et al. 1999). Resistensi
ini ditunjukkan juga oleh hasil uji aktivitas enzim GLDH. Aktivitas enzim ini akan
meningkat di dalam darah apabila ada kerusakan sel hati, karena enzim ini
konsentrasinya sangat tinggi di dalam sel hati sehingga sering dimanfaatkan sebagai
indicator adanya kerusakan sel hati akibat migrasi larva atau cacing muda di dalam
parenkhim hati (Wiedosari dan Copeman, 1990). Selain itu menurut Clery dan Mulcahy
(1998) terdapat korelasi yang positip antara tingkat kerusakan hati dengan jumlah enzim
GLDH yang dideteksi dalam darah. Perbedaan aktivitas enzim ini ternyata ada
hubungannya dengan jumlah rataan cacing yang dipanen kembali dari hati pada saat
nekropsi yaitu lebih sedikit pada domba ET daripada domba Merino. Peningkatan jumlah
eosinofil (eosinofilia) pada awal infeksi dalam penelitian ini ada kemungkinan turut
berperan aktif dalam meningkatkan mekanisme respon kebal protektif domba ET
terhadap infeksi cacing F.gigantica. Enam minggu pascainfeksi jumlah eosinophil pada
domba ET mulai menurun. Diduga ada hubungannya dengan terbunuhnya larva cacing
F.gigantica, sehingga secara imunologi tubuh hewan tersebut akan mengurangi
mobilisasi eosinofil atau dengan kata lain tidak ada aktivasi lagi terhadap sel pertahanan
tubuh. Menurut Van Milligen et al. (1999), eosinofil paling efektif membunuh parasit
cacing pada tahap larva. Pada minggu ke-2 pascainfeksi cacing F.gigantica yang berada

4
dalam tubuh domba diduga masih pada tahap larva yaitu setelah menembus dinding usus
dan berada dalam rongga peritoneum dalam perjalanannya menuju organ hati.
Keberadaan larva cacing F.gigantica di dalam rongga peritoneum ini secara imunologi
akan memobilisasi sel-sel pertahanan tubuh terhadap infeksi parasit yaitu eosinofil untuk
membunuh larva cacing tersebut.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa eosinophilia kemungkinan dapat bertindak
sebagai salah satu faktor terjadinya resistensi akibat fasciolosis adalah hasil penelitian
secara in vitro Duffus ef al. (1980) yang mengisolasi bovine major basic protein dari
eosinofil. Ternyata dalam konsentrasi yang sangat rendah yaitu lxl0M, protein ini dapat
menimbulkan kerusakan dan kematian cacing F. hepatica. Degranulasi dari eosinophil
pada tegumen atau permukaan tubuh cacing menimbulkan vakuolisasi pada daerah
tersebut, yang selanjutnya akan mengakibatkan kematian cacing Davies dan Goose
(1981).
Stear dan Murray (1994) menyatakan bahwa jumlah eosinofil yang dihasilkan oleh
tubuh hewan dapat menentukan tingkat resistensi hewan tersebut terhadap infeksi
parasiter. Dalam penelitian ini terlihat bahwa jumlah eosinofil pada domba ET jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan pada domba Merino. Pada akhir penelitian yaitu 10 minggu
pascainfeksi, terbukti bahwa jumlah cacing F.gigantica pada domba ET relatif lebih
sedikit dibandingkan dengan domba Merino.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rothwell et al. (1993) menunjukkan bahwa level
eosinophil dalam sirkulasi darah perifer berkaitan dengan tingkat resistensi domba yang
diinfeksi Trichostrongylus colubriformis. Pendapat ini didukung oleh Buddie et al.
(1992) yang menyatakan bahwa level eosinofil di dalam darah perifer berbanding
terbalik dengan jumlah telur cacing dalam tinja domba NZ Ramney yang diinfeksi T.
colubriformis. Fenomena yang sama ditemukan pada infeksi Ostertagia circumcincta
yaitu bahwa respon eosinofil yang tinggi berkaitan dengan resistensi alam pada domba
Red Maasai dan Scottish Blackface (Stear et al, 1995).
Selama ini sel eosinofil yang merupakan salah satu sel fagosit diduga sebagai sel
efektor yang paling efektif dalam membunuh larva cacing. Menurut Tizard (2000)
mekanisme respon kebal yang mendasari kejadian ini adalah sebagai berikut, sel
eosinophil melalui reseptor Fc berikatan pada kompleks antibodi yang bertindak sebagai
opsonin melekat pada permukaan sel sasaran yang terinfeksi. Pengikatan antibodi pada
reseptor Fc merangsang fagosit untuk memproduksi lebih banyak leukotrien dan
prostaglandin, yang merupakan molekul-molekul yang berperan pada respons inflamasi.

5
Sel efektor yang telah terikat kuat pada membran sel sasaran menjadi teraktivasi dan
akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran. Sebagian besar kuman patogen difagositosis
dan dibunuh intralisosom, ditambah kemampuan eosinofil untuk memproduksi ROI
(reactive oxygen intermediates) misalnya superoksida.
Dalam penelitian ini, dua minggu setelah infeksi terjadi peningkatan produksi IgGl
pada domba ET namun hal ini tidak terjadi pada domba Merino. Respon kebal yang
diperantarai IgGl dan sel eosinofil sangat bergantung pada aktivasi sekelompok sel yang
disebut sel T helper! (Th2). Hasil penelitian Brown et al. (1999) menunjukkan bahwa
klon sel Th2 spesifik Fasciola hepatica sangat dominan dalam menstimulasi produksi
IgGl secara in vitro. Dalam penelitian ini terbukti domba ET mengandung lebih banyak
sel Th2 yang diekspresikan melalui produksi lebih banyak Interlukin-4 (IL-4) dibanding
domba Merino (Wiedosari et al. 2006). Sel Th2 mensekresi IL-4 yang memegang peran
penting dalam isotype switching IgGl dan rekruitmen sel eosinofil. Sel Th2 juga
mensekresi IL-5 yang mengaktifkan sel eosinofil (Estes dan Brown, 2002). Kemampuan
IgGl untuk menimbulkan respon kebal yang protektif terhadap Schistosoma mansoni
dibuktikan oleh Khalife et al. (1989). Delgado dan Laren (1990) menyatakan bahwa
isotipe antibodi IgGl pada manusia berpartisipasi sebagai mediator sel eosinophil dalam
membunuh S. mansoni. Selanjutnya dikatakan bahwa transfer pasif anti- S. mansoni
spesifik terhadap IgG 1 mampu mempertahankan mencit dari infeksi kedua.
Pada dasarnya antibodi IgG pada domba terdiri dari 2 subkelas yaitu IgGl dan IgG2.
Penelitian oleh Stevens et al. (1988) secara in vitro tentang regulasi sel Thl dan Th2
terhadap subkelas IgG menunjukkan bahwa sel Thl secara spesifik menginduksi produksi
IgG2, sebaliknya sel Th2 secara spesifik menginduksi produksi IgGl. Sekresi antibodi ini
terjadi karena dua sebab, yaitu pertama adanya interaksi antara sel TCD4+ dengan sel B
melalui reseptor dan molekul kostimulator, kedua adanya pengaruh sitokin yang
dihasilkan sel T menginduksi proliferasi dan diferensiasi sel B. Setiap sel B dapat
merubah (switch) kelas imunoglobulin yang diproduksinya. Class switching ini bukan
merupakan suatu proses yang random, tetapi dikendalikan oleh sel Th dan berbagai
sitokin yang diproduksinya. Diantara sitokin yang diproduksi sel Th2 dan berperan pada
sintesis IgGl adalah IL-4, sedangkan sitokin Interferon/IFNY yang diproduksi sel Th 1
secara selektif menginduksi switching imunoglobulin menjadi IgG2.

6
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Resistensi adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroorganisme oleh
antibiotika. Resistensi atau kepekaan sebenarnya bukanlah sifat yang mutlak tetapi bisa
juga perubahan pada penggunaan konsentrasi antibiotika.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa resistensi terhadap F. gigantica pada
domba ET terjadi karena adanya peningkatan aktivasi sel eosinofil dan produksi antibodi
IgGl yang lebih tinggi disbanding domba Merino pada minggu ke2-6 setelah infeksi.
Dengan hasil penelitian ini maka dapat dirancang vaksin untuk fasciolosis secara lebih
rasional.

3.2 Saran
Pembaca diharapkan dapat mencari referensi lain mengenai resistensi domba ekor
tipis terhadapa fasciola gigantica, agar ilmu dan wawasan yang didapatkan dapat
bertambah.

7
DAFTAR PUSTAKA
Wiedosari Ening. 2006. Mekanisme Imunologi Dari Resistensi Domba Ekor Tipis Terhadap
Infeksi Fasciola Gigantica. Berita Biologi. 8(2).

Anda mungkin juga menyukai