Anda di halaman 1dari 24

AFRODISIAK DAN ESTROGENIK DARI TANAMAN

DAN PRILAKU REPRODUKSI HEWAN

Penyusun :

RIMBI BRAHMA CARI

3425161050

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Penggunaan tanaman herbal sebagai tanaman obat dalam bidang reproduksi sudah
banyak diteliti dan diminati oleh masyarakat karena mengandung bahan alami. Tanaman
herbal yang menjadi bahan metode penelitian reproduksi adalah tanaman yang
mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik. Pada dasarnya tanaman yang
mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau androgen dipercaya dapat
memperbaiki kinerja reproduksi, seperti Purwoceng (Pimpinella alpina).
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman menahun dengan tinggi antara
50-100 cm. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah pegunungan, seperti daerah
asalnya, yaitu pegunungan Alpen sehingga dikenal dengan nama Pimpinella alpina. Di
Jawa, purwoceng ditemukan tumbuh liar di Pegunungan Dieng dan lereng Gunung Lawu,
Jawa Tengah. Bagian tanaman yang digunakan adalah akar karena diketahui dapat
menggugah hasrat seksual (Gunawan 2002).
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman yang digunakan sebagai obat
herba terutama sebagai ‘viagra’. Seluruh bagian dari purwoceng dapat digunakan sebagai
obat terutama akarnya karena bahan aktif purwoceng terbanyak terletak pada bagian akar.
Secara empiris masyarakat umum lebih mengenal akar purwoceng berkhasiat sebagai
afrodisiak. Akar purwoceng mengandung turunan dari senyawa sterol, saponin, dan
alkaloida. Selain itu, akar purwoceng juga mengandung turunan senyawa kumarin yang
digunakan dalam industri obat modern, tetapi bukan untuk afrodisiak melainkan untuk anti
bakteri, anti fungi dan anti kanker. Di Indonesia tumbuhan atau tanaman obat yang
digunakan sebagai afrosidiak lebih banyak hanya berdasarkan kepercayaan dan
pengalaman (Hernani dan Yuliani 1991).

B. Tinjauan pustaka

TINGKAH LAKU REPRODUKSI HEWAN JANTAN


Salah satu segi terpenting pada makhluk hidup adalah kemampuannya
berkembangbiak (reproduksi). Reproduksi pada makhluk hidup merupakan suatu proses
alam dalam usaha mempertahankan keturunan dan keberadaan jenisnya di alam. Ada dua
cara berbeda pada makhluk hidup dalam membentuk keturunan, yaitu reproduksi secara
seksual dan secara aseksual. Reproduksi seksual terjadi karena bertemunya gamet jantan
(sperma) dengan gamet betina (sel telur) dalam suatu proses pembuahan (fertilisasi),
sedangkan pada reproduksi aseksual, keturunan yang terbentuk tanpa melalui proses
pembuahan (Kimball, 1994).
Hewan jantan pada sebagian spesies berkompetisi untuk mendapatkan pasangan
kawin sedangkan hewan betina pada banyak spesies terlibat dalam penilaian atau
penyeleksian hewan jantan dengan ciri-ciri yang lebih disukai. Yakni secara aktif memilih
pasangan kawin yang potensial berdasarkan pada ciri spesifik jantan. Maka, terdapat dua
dasar ultimat untuk proses pemilihan tersebut. Pertama, jika jenis kelamin yang lain
memberikan pengasuhan anak pada orangtua, adalah menguntungkan memilih pasangan
kawin setangkas mungkin. Sebagai contoh burung tern jantan biasa membawa ikan dan
menunjukkan kepada pasangan kawin potensial sebagai bagian dari ritual dari perkawinan
mereka. Akhirnya, seekor jantan bisa memulai untuk memberikan ikan itu untuk diamakan
oleh burung betina. Perilaku tersebut menunjukkan adanya kemampuan burung jantan
untuk menyediakan makanan bagi anak-anaknya kemudian. Pada beberapa spesie lain
hewan betina lebih menyukai jantan yang dapat melakukan percumbuan yang memiliki
karakteristik jenis kelamin sekunder yang paling baik. Yakni ciri tersebut merupakan
indikator bahwa jantan itu kuat dan dalam kesehatan yang baik Dasar ultimat kedua untuk
pemilihan pasangan kawin adalah kualitas genetik. Berkaitan dengan proses penyeleksian
yang dilakukan oleh hewan betina, ia cenderung mengawini hewan jantan yang memiliki
ciri khas dan memenuhi kekuatan yang tinggi, karena keberhasilan keturunannya akan
bergantung pada gen hewan betina dan juga gen hewan jantan pasangan kawinnya. Suatu
faktor penting dalam kualitas genetik jantan kemungkinan adalah kemampuan untuk
melawan patogen dan parasit (Campbell, 2002).

CIRI-CIRI TINGKAH LAKU KAWIN HEWAN JANTAN


Peristiwa dalam tingkah laku hewan secara berurutan adalah keinginan seksual,
percumbuan, ereksi, menaiki betina, intromisi ( insersi penis), ejakulasi, dan turun dari
punggung betina. Peristiwa ini hanya berlangsung secara singkat pada domba dan sapi.
Pada kuda dan babi, lama percumbuan dan kopulasi diperpanjang, dengan kopulasi sendiri
kira-kira 10-20 menit pada babi. Dalam pola percumbuan dari spesies terdapat beberapa
perbedaan dan persamaan. Vokalisasi terjadi pada kebanyakan spesies, berupa lenguhan
(bellowing) pada sapi, ringkikan (neighing) pada kuda, atau dengkur (grunt) pada babi dan
domba. Membau (sniffing) genital betina dan urinasi terlihat pula. Pada sapi, domba dan
kuda jantan akan menegakkan lehernya dan mencibirkan bibir atasnya. Berbagai
rangsangan taktil termasuk menjilat-jilat dan menggigit merupakan bagian dari pola
percumbuan pada kebanyakan pejantan. Seain itu, hewan jantan akan mencoba melindungi
betinanya, memisahkannya dari jantan dan betina lain. Dengan demikian, jantan yang
dominan mencegah kopulasi jantan yang kurang dominan.

REGULASI TINGKAH LAKU HEWAN


Pengaruh hormon testosteron akan meningkatkan aktivitas seksual sampai suatu
ambang tertentu. Testosteron juga berinteraksi dengan faktor lain dalam memperoleh
respon penuh. Interaksi seksual dan sosial. Pengalaman sosial perkembangan sebelum
mencapai pubertas merupakan hal-hal yang penting untuk memperoleh aktivitas seksual
yang penuh. Jantan-jantan yang dipelihara dalam isolasi yang sempurna tidak pernah
berkembang tingkat aktivitas seksualnya setinggi jantan-jantan yang dipelihara dalm
kelompok sosial.
Indera tertentu sangat penting untuk respon kawin jantan. Indera pembau, peraba,
dan penglihat mungkin paling penting, seperti pada betina. Feromon yang ditemukan
dalam urin betina merupakan rangsangan terhadap hewan jantan. Ereksi dan ejakulasi serta
perawatan libido, kelelahan seksual, dan kejenuhan seksual

FAKTOR –FAKTOR PERILAKU SEKSUAL


1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual sapi jantan, antara lain ; penciuman,
penglihatan, dan pendengaran.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi libido pada sapi jantan, antara lain: Ada tidaknya
betina birahi, Seks rasio, dan Dominan/subordinal
3. Faktor-faktor yang menurunkan libido seksual jantan, antara lain: Gangguan psikologis,
Penyakit, Kekurangan nutrisi, dan Perubahan iklim
CONTOH PERILAKU REPRODUKSI PADA HEWAN
1. Tingkah Laku Reproduksi Pada Rusa Sambar
Rusa Sambar (Cervus unicolor) merupakan populasi rusa terbesar untuk daerah
tropik dengan sebaran di Indonesia mencakup pulau besar dan kecil yaitu pulau Sumatera,
Kalimantan, Irian, Nusa Tenggara Timur dan Barat serta pulau kecil di sekitar Sumatera
(Whitehead, 1994) Warna bulu rusa sambar jantan umumnya coklat dengan variasi agak
kehitaman (gelap) pada yang tua. Ekor rusa sambar agak pendek dan tertutup bulu yang
lebih panjang dibandingkan bulu pada badan rusa. Bulu rusa Sambar kasar dan tidak terlalu
rapat. Pada daerah leher bagian lateral, bulu membentuk suatu surai/malai (mane).
Perubahan warna bulu dari coklat cerah menjadi lebih gelap, khususnya pada yang jantan
dominan, sering terlihat bersamaan dengan masuknya pejantan ke masa aktif reproduksi
(Semiadi, 2004).
Karakteristik reproduksi rusa jantan mempunyai korelasi dengan tahap
pertumbuhan ranggah. English (1992) mengemukakan bahwa pertumbuhan rangggah rusa
jantan yang hidup di daerah tropis sama dengan rusa jantan di daerah empat musim yang
melewati empat tahap pertumbuhan ranggah yaitu: pedicle, velvet, ranggah keras dan lepas
ranggah (casting). Beberapa peneliti juga mengemukakan bahwa aktivitas reproduksi rusa
jantan di daerah empat musim mempunyai siklus yang berhubungan dengan tahap
pertumbuhan ranggah (Mylrea 1992) dan panjang hari (Bubenik et al. 1987). Sedangkan
siklus reproduksi rusa tropis diyakini tidak dipengaruhi oleh panjang hari. Nalley et al.,
(2005) mengemukakan adanya perbedaan aktivitas reproduksi pada tahap ranggah keras
dan velvet pada rusa timor. Dimana aktivitas reproduksi tertinggi terjadi pada tahap
ranggah keras. Diperkuat oleh hasil penelitian Handarini et al., (2005) bahwa kualitas
semen rusa timor lebih tinggi pada tahap ranggah keras dibandingkan ranggah velvet.
Dapat dikatakan untuk rusa tropis aktivitas reproduksi erat kaitannya dengan pertumbuhan
ranggah.
Fungsi ranggah selain sebagai penanda aktifitas reproduksi dengan cara
menggaruk-garukkan ranggah pada batang pohon, membuat tanda teritori yang tidak boleh
dijamah pejantan lain, juga digunakan sebagai alat perlindungan diri pada saat perkelahian
untuk memperebutkan rusa betina.
Pada kelompok rusa ketika memasuki musim kawin, pejantan akan berkompetisi
dengan pejantan lain untuk dapat menguasai kelompok betina yang dapat dikawininya.
Sifat kompetisi ini akan membentuk suatu susunan kekuatan penguasaan yang disebut
hierarki, pejantan yang dapat menguasai kelompok betina disebut pejantan dominan.
Sedangkan sifat mengumpulkan beberapa ekor betina oleh seekor pejantan disebut
pengumpulan harem (Semiadi dan Nugraha, 2004). Beberapa penelitian melaporkan bahwa
pada beberapa spesies rusa tropis pada saat musim kawin mengeluarkan suara yang khas,
lebih ganas, berguling dan berendam dalam lumpur, seperti pada rusa sambar (Schroder,
1976) dan rusa totol (Hadi, 1984).
Penelitian pada kondisi kandang yang berbeda menunjukkan perbedaan tingkah
laku reproduksi rusa jantan. Tingkah laku yang umum tampak di habitat alaminya pada
masa aktif reproduksi rusa jantan akan menunjukkan: rutting (mengasah tanduk), menandai
daerah teritori dengan cara urinasi (urine spray), wallowing (berkubang) bila ada
kubangan, membuat lubang di tanah dengan tanduk, berguling-guling membalut semua
badan dengan lumpur, membuat mahkota diatas ranggah dengan rumput atau serpihan
tanaman tahunan (Asher et al., 1996). Bila dikandangkan dengan fasilitas kubangan dan
lantai semen maka beberapa tingkah laku akan menghilang menyesuaikan dengan kondisi
kandang. Rusa jantan tidak dapat membuat lubang dan mengasah tanduk dilakukan pada
kayu kandang (Toelihere et al., 2005). Menurut Bearden dan Fuguay (1997) tingkah laku
seksual pada hewan jantan lebih, mengarah pada tingkah laku kawin yaitu keinginan untuk
mencari pasangan dan kemampuan untuk kawin (kopulasi).
Tingkah laku reproduksi pada jantan menurut Becker et al. (1992) ada dua yaitu
tingkah laku pre-copulation dan tingkah laku kopulasi. Tingkah laku pre-copulation
penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya disebut dengan tingkah laku courtship
(percumbuan) dengan tidak hanya menerima hewan jantan secara seksual tapi juga
menghasilkan bau yang khas (pheromon), suara dan stimulasi fisik yang menandakan
betina tersebut dalam kondisi estrus. Tingkah laku kopulasi ditandai dengan penerimaan
jantan secara seksual. Performa yang tampak adalah lordosis yang ditandai dengan dengan
tidak bergeraknya tubuh betina, posisi membungkuk dengan kaki depan direndahkan,
kemudian badan membentuk lengkungan

2. Tingkah Laku Reproduksi pada Kelelawar Jantan


Kelelawar berkembang biak sangat lambat, disamping masa bunting yang cukup
lama 5-6 bulan juga jumlah anak per kelahiran sangat sedikit sehingga apabila jumlah
kematian dan perburuan kelelawar lebih besar dari perkembangbiakan, maka populasi
kelelawar akan menurun (Johnson, M and Everitt B. 1988)
Kelelawar mempunyai perbedaan dalam masa estrus atau tingkah laku kawin. Pada
beberapa famili Pteropodidae mengikuti tiga pola musim kawin. 1) Aseasonally polyestrus,
yakni seluruh populasi jantan tetap menunjukan spermatogenesis dan kelenjar kelengkapan
menjadi mengembang atau membesar. 2) Bimmodally seasonally polyestrus, yaitu hewan
jantan barangkali masih mempunyai spermatozoa dalam testes dan pada epididymis
sepanjang tahun. 3) Aseasonally monoestrus, yakni hewan jantan mungkin hanya
mempunyai spermatozoa dalam testes dan epididymis hanya untuk beberapa bulan saja
(Nurulkamilah, 2001)
Hubungan reproduksi terhadap kejadian masa tidak aktif pada kelelawar senantiasa
mengikuti dua pola dasar:
1) Estrus dan perkawinan terjadi di akhir musim panas dan awal musim gugur, setelah
itu kelelawar yang termasuk tipe ini akan segera memasuki masa istirahat
2) Perkawinan merupakan tahap awal aktivitas reproduksi yang terjadi pada musim
gugur, kemudian diikuti dengan ovulasi, konsepsi dan permulaan pembentukan
embrio. Betina memasuki masa tidak aktif dalam keadaan bunting

3. Tingkah Laku Reproduksi pada Gajah Jantan


Menurut Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2007
Gajah dapat mencapai umur 70 tahun dalam pemeliharaan. Selama hidupnya gajah jantan
tidak terikat pada satu ekor betina pasangannya. Gajah betina siap bereproduksi setelah
berumur 8-10 tahun, sementara gajah jantan setelah berumur 12-15 tahun.
Gajah tidak mempunyai musim kawin yang tetap dan bisa melakukan kawin
sepanjang tahun, namun biasanya frekwensinya mencapai puncak bersamaandengan masa
puncak musim hujan di daerah tersebut. Gajah jantan sering berperilaku mengamuk atau
kegilaan yang sering disebut musht dengan tanda adanya sekresi kelenjar temporal yang
meleleh di pipi, antara mata dan telinga, dengan warna hitam dan berbau merangsang.
Perilaku ini terjadi 3-5 bulan sekali selama 1-4 minggu. Perilaku ini sering dihubungkan
dengan musim birahi, walaupun belum ada bukti penunjang yang kuat. (Shoshani,
Eisenberg, 1982)
Gajah jantan sering berperilaku buruk yaitu mengamuk atau kegilaan yang sering
disebut musht dengan tanda adanya sekresi kelenjar temporal yang meleleh di pipi, antara
mata dan telinga, dengan warna hitam dan berbau merangsang. Perilaku ini terjadi 3 – 5
bulan sekali selama 1 – 4 minggu (Shosani dkk., 1982). Masa gestasi gajah berkisar antara
18 – 23 bulan dengan rata-rata sekitar 21 bulan dan jarak antar kehamilan yaitu sekitar 4
tahun (Sukumar, 2003). Gajah tidak memiliki bulan musim kawin yang tetap dan bisa
melakukan kawin sepanjang tahun, tetapi biasanya frekuensi perkawinan gajah dapat
mencapai puncak hanya pada bulan-bulan tertentu, biasanya hal ini bersamaan dengan
musim hujan (Eltringham, 1982).

4. Tingkah Laku Reproduksi pada Kelinci Jantan


Kelinci (Oryctolagus cuniculus) tarmasuk dalam ordo Logomorpha tergolong
hewan herbivora non nimiancia, memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi, cepat
berkembang biak, interval kelahiran yang pendek, prolifrkasi yang tinggi, juga kelinci
mudah dipelihara dan tidak membutuhkan lahan yang luas pada pemelihaman yang banyak
(Templeton,1968).
Kelinci liar yang hidup di alam bebas, ketika melakukan perkawinan akan
mengejar- ngejar kelinci betina, sedangkan kelinci piaraan di dalam kandang tidak dapat
mengejar betina, hanya ekornya ditarik ke atas dan digerak-gerakkan sebagai tanda siap
kawin. Menarik ekor keatas dan menggerak-gerakan adalah perilaku yang biasa dilakukan
jantan ketika hendak melakukan perkawinan. Kelinci mengangkat kedua kaki belakangnya
dan berjalan dengan anggun serta mengangkat ekornya ke atas punggung, untuk menarik
perhatian lawan jenisnya. Beberapa variasi menarik ekor tersebut dilakukan sambil
mengelilingi kandang. Hal ini bertujuan untuk menstulasi daya penglihatan dan penciuman
kelinci jantan pada kelenjar inguinal (Dwiyanto, dkk. 1985).
Kelinci jantan akan mengencingi lawan jenisnya pada saat melakukan
pertunjukan/tarian sebelum kawin. Kelinci jantan akan berjalan mengelilingi kandang
sambil menandai dengan cara mengencinginya. Urine juga akan memancar keluar secara
tiba-tiba pada saat kelinci terkejut atau dikejutkan sesuatu (Hagen, 1974)
Ketika kelinci betina siap kawin, ia akan mengangkat kaki belakangan dan si jantan
akan menaiki kelinci betina serta melakukan kopulasi. Setelah ejakulasi kelinci jantan akan
loncat ke belakang atau ke samping sambil mengeluarkan tarian khas, yang
mengindikasikan kesakitan atau sebagai tanda kepada kelinci lainnya (Short, 1969)
Cairan sperma yang dipancarkan berkisar antara 0,5 – 1,5 mL sedangkan jumlah
sperma sebanyak 0,5 x 108 /mL~3,5 x 108 /mL. Cairan sperma juga mengandung fructose
40~400 mg/100 ml; sedikit glukosa dan glycerylphosphorylcholine 215 ~370 mg/100 ml.
Sperma kelinci tahan terhadap hydrogen proksida (Kozma, 1974).
5. Tingkah laku reproduksi pada mencit
Perilaku kawin pada mencit jantan dapat dibedakan menjadi dua yaitu perilaku
prekopulasi dan perilaku kopulasi. Perilaku prekopulasi adalah tahap percumbuan yang
ditunjukkan dengan mengendus bau yang dikeluarkan oleh betina. Mencit jantan akan
terangsang apabila betina mensekresikan pheromon yang dihasilkan oleh kelenjar preputial
yang diekskresikan melalui urin sehingga dapat menyebabkan jantan memeriksa daerah
genital betina dan jenis yang lain akan merangsang jantan untuk melakukan mount pada
betina (Nainggolan dan Simanjuntak, 2005). Setelah melakukan percumbuan, mencit
memperlihatkan perilaku kopulasi yang terdiri dari beberapa seri ejakulasi. Satu seri
ejakulasi terdiri dari mount, intromission dan ejakulasi.
Mount merupakan perilaku jantan mengambil posisi kopulasi pada punggung
betina dan memegang panggul betina serta melakukan pelvic thrusting. Intromission
merupakan perilaku jantan mengambil posisi kopulasi pada punggung betina dan
memegang panggul betina, pelvic thrusting dan penetrasi betina.

AFRODISIAK
Afrodisiak adalah bahan yang dapat berfungsi sebagai peningkat libido atau
gairah bercinta. Nama ini berasal dari kata “Aphrodite” yang dalam mitologi Yunani
berarti dewi kecantikan dan cinta. Afrodisiak terbagi dalam 2 kelompok yakni kelompok
psikofisiologikal dan kelompok internal yakni makanan, minuman beralkohol, obat sintetik
maupun obat tradisional (berasal dari tanaman, hewan dan mineral).
Tanaman obat afrodisiak merupakan tanaman yang bagian akar, batang, daun
ataupun buahnya mengandung metabolit sekunder berupa bahan bioaktif yang dapat
berfungsi untuk mengatasi disfungsi seksual atau untuk meningkatkan gairah seksual.
Secara umum, kandungan senyawa kimia yang terkandung di dalam tumbuhan yang
memberi efek afrodisiak adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tannin, dan senyawa
lain yang dapat meningkatkan stamina dan melancarkan peredaran darah.
Tumbuhan afrodisiak menunjukkan efek meningkatkan sirkulasi darah pada
genetalia pria dan meningkatkan aktivitas hormon androgenik. Peningkatan sirkulasi darah
akan memperbaiki aktivitas jaringan tubuh sehingga secara tidak langsung akan
memperbaiki fungsi organ.
TANAMAN SEBAGAI AFRODISIAK ALAMI
Beberapa tanaman diyakini dapat berfungsi sebagai bahan afrodisiak dalam meningkatkan
kualitas spermatozoa dan fungsi seksual. Adapun tanaman tersebut Eurycoma longifolia
Jack
a. Rebung Bambu Tabah (Gigantochloa Nigrociliata)
Rebung bambu adalah salah satu bahan sayuran yang mengandung nutrisi tinggi
seperti vitamin, asam amino, dan berbagai mineral (Sujarwo, 2010). Choudhury et al.
(2012) melaporkan adanya berbagai senyawa pada rebung bambu seperti steroid, fitosterol,
flavonoid, dan phenol. Selain sebagai sayuran, rebung bambu telah dimanfaatkan sebagai
bahan obat yang bersifat antiinflamasi, antibakteri (Tanaka et al., 2014), dan aktivitas
antioksidan (Gupta et al., 2012). Bambu tabah (Gigantochloa nigrociliata) termasuk salah
satu jenis bambu asli Indonesia yang banyak tumbuh liar di tepi sungai dan lereng
pegunungan di Pupuan Bali. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah tropis yang lembap
dengan ketinggian ±1000 m di atas permukaan laut, pada tanah tipe latosol. Bambu tabah
yang tumbuh di Jawa disebut sebagai bambu lengka. Kelebihan bambu tabah memiliki
rebung yang tidak pahit dan hambar, berbeda dengan rebung bambu lainnya seperti bambu
betung yang pahit karena memiliki kandungan HCN. Rebung bambu tabah diketahui
memiliki kadar protein dan serat yang lebih tinggi serta kandungan racun HCN yang lebih
rendah daripada rebung bambu yang lain (Sujarwo, 2010). Berdasarkan uji fitokimia
rebung bambu tabah terdiri dari fenol, flavonoid, alkaloid, steroid, dan saponin. Penelitian
oleh Kencana et al. (2014) menunjukkan bahwa rebung bambu tabah mengandung
senyawa pembentuk aroma rebung seperti stigmast-5-en-3-ol, Ethyllinoleat, Hexanoic
meruacid, butanoic acid, acetic acid, dan Trimethyl 1-3, dioxolane. Sekelompok
masyarakat menyatakan bahwa rebung bambu tabah telah digunakan sebagai bahan
afrodisiak alami yakni bahan yang berfungsi dalam meningkatkan potensi seksual.
b. Purwoceng

Gambar 1. Purwoceng (Darwati dan Roostika 2006). a = tanaman, b = bunga kuncup, c =


bunga mekar, d = buah, dan e = akar dari tanaman berumur 6 bulan.

Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Kds) merupakan tanaman obat karena


hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Bagian akar dari tanaman ini
mempunyai sifat diuretika dan digunakan sebagai afrosidiak (Heyne 1987), yaitukhasiat
suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina.
Pada umumnya tumbuhan atau tanaman yang berkhasiat sebagai afrosidiak
mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawasenyawa lain
yang berkhasiat sebagai penguat tubuh serta memperlancar peredaran darah. Di Indonesia
tumbuhan atau tanaman obat yang digunakan sebagai afrosidiak lebih banyak hanya
berdasarkan kepercayaan dan pengalaman (Hernani dan Yuliani 1991).
Penelitian yang mempelajari fitokimia purwoceng sudah cukup banyak. Akar purwoceng
mengandung bergapten, isobergapten, dan sphondin yang semuanya termasuk ke dalam
kelompok furanokumarin. Dalam akar purwoceng mengandung senyawa kumarin, saponin,
sterol, alkaloid, dan beberapa macam senyawa gula (Darwati dan Roostika 2006).
Purwoceng merupakan tanaman afrodisiak asli Indonesia yang hanya hidup di
daerah-daerah tertentu di dataran tinggi Pulau Jawa. Tanaman ini pertamakali ditemukan
sebagai tanaman liar, namun sekarang sudah dibudidayakan oleh masyarakat terutama
masyarakat di Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, tepatnya Desa Sikunang. Selain di Dieng,
tanaman ini juga dapat ditemukan di Jawa Barat seperti Gunung Galunggung dan Gunung
Gede Pangrango. Di daerah Sunda, Purwoceng disebut juga antanan gunung. Sementara di
daerah lain dikenal dengan sebutan suripandak abang, gebangan depok, Purwoceng, dan
rumput dempo ( Jawa )

Dahulu Banyak diburu, Purwoceng sempat berstatus Endangered. Populasi tanaman


Purwoceng di Indonesia sangat sedikit sekali. Tanaman ini banyak diburu orang termasuk
industri jamu dan obat sebagai bahan baku untuk meningkatkan vitalitas pria. Harga
herbanya sangat mahal karena keberadaannya. Berdasarkan erosi genetiknya Purwoceng
termasuk langka bahkan berstatus endangered (hampir punah). Namun, sekarang tanaman
ini telah dibudidayakan dan sangat mudah didapatkan. Bahkan industri jamu ternama di
tanah air memakai nama tanaman ini sebagai merk andalannya.

c. Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.)


Senyawa kimia yang terkandung dalam cabe jawa antara lain : Minyak atsiri,
beberapa jenis alkaloid seperti piperine, piperidin, piperatin, piperlonguminine, sitosterol,
sylvatine, guineensine, filfiline, methyl piperate, n-oktanol, linalool, terpinil asetat,
sitonelil asetat, sitral, alkaloid, saponin, polifenol, dan resin (kavisin). Alkaloid utama yang
terdapat di dalam buah cabe jawa adalah piperin.
Berdasarkan penelitian secara ilmiah, cabe jawa memiliki efek androgenik, untuk
anabolik, dan sebagai antivirus. Kandungan kimia atau senyawa kimia yang berperan
sebagai afrodisiak adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tannin dan senyawa lain yang
dapat melancarkan peredaran darah. Bagian yang dimanfaatkan sebagai afrodisiakan
adalah buahnya dan diduga senyawa aktif yang berkhasiat afrodisiak di dalam buahnya
adalah senyawa piperine. Dapat membant mengatasi disfungsi seksual atau infertilitas pada
pria, sebagai tonik dan meningkatkan produksi testosteron.
BAB II
METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan 24 ekor mencit jantan dan 24 ekor mencit betina
berusia 12 minggu dengan bobot 20-25 g. Mencit jantan dikelompokkan secara acak
menjadi 4 kelompok perlakuan berupa (1) aquadest sebagai kontrol (P0) dan ekstrak
rebung bambu tabah dengan konsentrasi 200 mg/kg bb, terdiri dari ; (2) P1 = ekstrak air,
(3) P2 = ekstrak etanol, dan (4) P3 = ekstrak n-heksan. Perlakuan diberikan secara oral
dengan menggunakan jarum gavage sebanyak 0,2 mL/ekor selama 33 hari.
Sampel rebung bambu tabah dipilih yang berwarna putih didapatkan dari kelompok
dan Koperasi Produsen Tunas Bambu Lestari Kecamatan Pupuan, Tabanan. Sampel
dibersihkan dan ditimbang, dipotong tipis-tipis kemudian dikeringkan dengan pengering
beku. Setelah kering sampel dihaluskan dengan menggunakan blender hingga membentuk
bubuk. Rebung yang telah berbentuk bubuk sebanyak 500 g dimaserasi dalam 5 L pelarut
selama 24 jam. Pelarut berupa air, etanol 96% dan n-heksan. Maserasi dilakukan sebanyak
tiga kali sampai pelarut berwarna bening pada suhu kamar, kemudian disaring dan
dipisahkan ampasnya. Filtrat dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator
hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental dilarutkan dengan menggunakan
carboxymethyl cellulose (CMC) 0,5% dalam aquadest.

Perilaku Kawin Mencit Jantan


Pengamatan perilaku kawin pada mencit jantan dilakukan pada sore hari setiap tiga
hari sekali dengan beberapa tahapan. Sinkronisasi estrus dilakukan untuk mendapatkan
betina dalam tahap estrus (siap kawin) menggunakan hormon estradiol benzoat 10 µg/100
g bobot badan hewan 48 jam sebelum penyatuan jantan dan betina. Pemberian progesteron
0,5 mg/100 g bb selama empat jam sebelum penyatuan jantan dan betina (Yakubu dan
Akanji, 2011). Betina estrus ditandai dengan ciri epitel menanduk pada apusan vagina.
Vulva vagina menun-jukkan pembengkakan dan perubahan warna menjadi lebih merah
dari sebelumnya. Selanjutnya dilakukan aklimatisasi jantan dalam kandang kaca selama
kurang-lebih 20 menit dan betina dalam tahap estrus dimasukkan ke dalam kotak kaca.
Penyatuan jantan dan betina dilakukan selama 30 menit dan dilakukan pengamatan
perilaku kawin. Pengamatan dilakukan dengan menghitung waktu mount dan intromission
serta jumlah mount dan jumlah intromission pada mencit jantan (Dabhadkar dan Varsha,
2013).

Kualitas Spermatozoa
Pada hari ke-34, dilakukan pembedahan mencit jantan pada masing-masing
kelompok dikorbankan nyawanya dengan cara dislokasi leher. Epididimis bagian cauda
dikoleksi untuk pemeriksaan kualitas sperma-tozoa yang meliputi jumlah, motilitas, dan
viabilitas spermatozoa. Koleksi epididimis dilakukan dengan terlebih dahulu member-
sihkan dan mencuci sisa darah ataupun lemak yang menempel dan dicuci dengan NaCl.
Epididimis bagian cauda kiri dimasukkan ke dalam gelas arloji yang berisi 1 mL larutan
fisiologis (NaCl 0,9%), dicacah sehingga membentuk suspensi dan diaduk dengan batang
gelas pengaduk agar spermatozoa menjadi homogen. Suspensi ini digunakan untuk meng-
hitung viabilitas dan motilitas spermatozoa. Epididimis kanan dicacah diambil sebanyak 10
µL ditambahkan 90 µL dan diaduk sehingga menjadi homogen. Suspensi epididimis kanan
digunakan untuk menghitung jumlah spermatozoa.
Pengamatan viabilitas spermatozoa dilakukan dengan membuat preparat hapusan.
Sebanyak 10 µL suspensi spermatozoa diteteskan pada gelas objek dan ditambahkan 5 µL
eosin 0,5%. Setelah tercampur ditutup dengan gelas penutup, didiamkan selama 1 menit
(Wibisono, 2010). Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya (400
kali). Spermatozoa yang mati mengalami kerusakan membran plasma sehingga zat warna
terserap pada bagian kepala. Spermatozoa hidup tidak menyerap warna (Kermani et al.,
2010). Penentuan motilitas spermatozoa dilakukan dengan meneteskan suspensi
spermatozoa sebanyak 15 µL pada glass object dan ditutup dengan cover glass. Preparat
basah ini dibiarkan selama satu menit. Penilaian motilitas dilakukan pada beberapa lapang
pandang dengan kriteria sebagai berikut: Gerak spermatozoa (a) adalah gerakan yang
progresif spermatozoa maju ke depan dan lurus, gerakan spermatozoa (b) adalah gerakan
spermatozoa berputar, dan bergetar di tempat dan gerak spermatozoa (c) menunjukkan
spermatozoa yang tidak bergerak (Wibisono, 2010). Konsentrasi spermatozoa dihitung
dengan menggunakan hemositometer Improved Neubauer. Sebanyak 10 µL suspensi
sperma disisipkan secara perlahan ke dalam kamar hitung hemositometer. Penghitungan
jumlah sperma dengan menggunakan mikroskop perbesaran 200x dilakukan setelah
hemositometer dibiarkan selama 10-15 menit agar sperma tersebar merata dan menetap
pada kamar hitung.
Kadar Hormon Testosteron
Darah diambil dari aorta jantung dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang
telah diisi antikoagulan berupa heparin. Darah disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
selama 15 menit. Kadar hormon testosteron serum dianalisis dengan metode ELISA pada
panjang gelombang 450 nm.

Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan uji One Way Anova untuk mengetahui
perbedaan antar kelompok kontrol dan perlakuan. Bila terdapat perbedaan bermakna
dilanjutkan dengan uji LSD melalui Post Hoc Test untuk mengetahui perbedaan antara
kelompok perlakuan
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, terjadi perbedaan kadar hormon testosteron pada kelompok
hewan yang diberi perlakuan ekstrak rebung bambu dibandingkan dengan hewan pada
kelompok kontrol (P0) (Tabel 1). Kadar hormon testosteron tertinggi dengan perbedaan
yang signifikan terjadi pada kelompok hewan yang diberikan ekstrak etanol rebung (P2),
sedangkan kelompok hewan kontrol (P) dan ekstrak air (P1) tidak menunjukkan perbedaan
hormon secara signifikan. Kadar hormon testosteron terendah secara signifikan
ditunjukkan pada kelompok hewan dengan perlakuan ekstrak n-heksan (P3). Berdasarkan
uji fitokimia rebung bambu diketahui mengandung senyawa fitosterol (Chongtham et al.,
2011), fenol, flavonoid, asam amino (Sonar et al., 2015), alkaloid, steroid dan saponin
yang dapat berfungsi sebagai bahan afrodisiak (Srivastava, 1990). Rebung bambu juga
mengandung berbagai mineral seperti Zn, Mn, Ni, Mg, Cu, dan Co (Sujarwo, 2010).
Stigmost-5-en-3-ol yang ditemukan pada rebung bambu tabah (Kencana et al.,
2014) tergolong sebagai salah satu jenis fitosterol. Fitosterol bersifat sebagai prekursor
hormon steroid pada tumbuhan (Xinmei et al., 2015). Senyawa ini memiliki kemiripan
struktur dengan kolesterol yang masing-masing memiliki satu gugus OH. Kolesterol
merupakan bahan pembentuk hormon steroid. Testosteron merupakan salah satu hormon
steroid yang berperan penting dalam kopulasi dan menginduksi mount, intromission dan
ejakulasi (Shulman dan Spritzer, 2014). Bersama dengan follicle stimulating hormone
(FSH), dan luteineizing hormone (LH), testosteron berfungsi dalam proses
spermatogenesis, maturasi sperma dan peningkatan ekskresi fruktosa oleh vesikula
seminalis sebagai nutrisi utama dari sperma (Jahromy dan Moghadam, 2014).

Tabel 1. Hasil analisis perbedaan rataan kadar hormone testosterone serum


Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P

Tabel 2. Hasil analisis perbedaan rataan waktu perilaku kawin mencit


jantan setelah konsumsi ekstrak rebung bambu

Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan perbedaan yang signifikan
(P<0,05).
Pada penelitian ini kelompok hewan betina yang telah mengalami sinkronisasi
estrus dan disatukan dengan hewan jantan, menunjukkan adanya perkawinan. Perilaku
kawin yang diamati berupa mount dan intromission (Gambar 1).

Gambar 1. Sel epitel menanduk yang menunjukkan mencit betina siap kawin dalam
keadaan estrus setelah mengalami sinkronisasi estrus.

Berdasarkan hasil analisis data, perbedaan secara signifikan terjadi pada jumlah
mount dan intromission (Tabel 2) serta waktu terjadinya mount dan intromission pada
kelompok hewan yang diberikan ekstrak rebung bambu tabah dibandingkan dengan
kelompok hewan kontrol yang hanya diberikan air (Tabel 3). Kelompok hewan yang
diberikan ekstrak etanol (P2) menunjukkan waktu terjadinya mount (79 detik) dan
intromission (98,70 detik) yang paling singkat, serta jumlah mount (9,167) dan jumlah
intromission (6,69) tertinggi secara signifikan dibandingkan kelompok hewan yang
diberikan ekstrak air (P1) ataupun n-heksan (P3). Kelompok hewan (P0) menunjukkan
waktu terjadinya mount (103,58) dan intromission (150,65) yang paling lambat. Kelompok
hewan (P0) juga menunjukkan jumlah mount (2,83) dan jumlah intromission (2,94)
terendah.

Tabel 3. Hasil analisis perbedaan rerata jumlah perilaku kawin mencit jantan setelah
konsumsi ekstrak rebung bambu

Dalam penelitian ini peningkatan jumlah mount dan peningkatan jumlah


intromission setelah pemberian ekstrak rebung bambu tabah menunjukkan adanya
peningkatan libido. Waktu mount dan waktu intromission juga dapat dikaitkan dengan
motivasi seksual. Ekstrak rebung bambu tabah dapat mempersingkat waktu mount dan
waktu intromission. Hal ini sesuai dengan penelitian mengenai bahan afrodisiak dari
Psoralea corylifolia dapat mempersingkat waktu mount, intromission dan memperlambat
waktu ejakulasi (Dabhadkar dan Varsha, 2013). Perilaku mount dan perilaku intromission
oleh mencit jantan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Perilaku mount (A), Perilaku intromission (B) oleh mencit jantan
Padmiswari et al. (2015) melaporkan bahwa ekstrak rebung bambu tabah
meningkatkan jumlah mount. Penelitian Yakubu dan Akanji (2011) bahwa ekstrak M.
acuminate menyebabkan semakin singkatnya waktu mount, dan intromission, tetapi
semakin lambatnya waktu ejakulasi serta peningkatan frekuensi mount dan intromission.
Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tanaman M. acuminate berpotensi sebagai bahan
afrodisiak yakni suatu bahan yang bersifat dapat meningkatkan gairah seksual. Perilaku
kawin pada hewan berupa jumlah atau frekuensi mount dan intromission dapat
diasumsikan sebagai potensi libido dan gairah seksual. Frekuensi mount dapat
merefleksikan motivasi seksual, sedangkan frekuensi intromission sebagai daya tahan
ereksi penis.
Pengaturan perilaku dan gairah seksual pada mencit jantan melalui dua sistem
meliputi sistem hormon yang terdiri dari hipotalamus, hipofisis dan testis (Piekarski et al.,
2010) dan sistem saraf. Mekanisme senyawa kimia berupa steroid, alkaloid dan flavonoid
sebagai bahan afrodisiak terjadi melalui vasodilatasi, pembentukan nitric oxide,
peningkatan level testosteron dan gonadotropin. Pada P. ginseng saponin merangsang
relaksasi otot polos korpus kavernosum melalui L-arginine/nitric oxide pathway. Alkaloid
pada Microdesmis keayana menginduksi produk nitric oxide yang berhubungan dengan
relaksasi korpus kavernosum, dilatasi pembuluh darah organ seksual, serta meningkatkan
steroidogenesis, dehidroepiandosterone dan peningkatan perilaku kawin. Steroid
meningkatkan LH, FSH dan testosterone (Yakubu dan Akanji, 2011). Pada penelitian ini
kelompok hewan dengan ekstrak etanol yang memiliki kadar hormon tertinggi
menunjukkan jumlah mount dan jumlah intromission yang tertinggi, serta waktu mount
dan waktu intromission yang lebih singkat dibandingkan dengan kelompok hewan dengan
perlakuan ekstrak yang lain. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian mengenai
penggunaan bahan tanaman sebagai bahan afrodisiak yakni suatu bahan yang bersifat dapat
meningkatkan gairah seksual. Perilaku kawin pada hewan berupa jumlah atau frekuensi
mount dan intromission dapat diasumsikan sebagai potensi libido dan gairah seksual.
Frekuensi mount dapat merefleksikan motivasi seksual, sedangkan frekuensi intromission
sebagai ereksi penis.
Chan et al. (2009) menyatakan motivasi seksual merupakan kecenderungan jantan
untuk mencari dan mendapatkan betina yang akan diajak kawin. Derajat motivasi seksual
berhubungan dengan mount dan intromission. Semakin tinggi motivasi seksual akan
ditunjukkan dengan waktu mount dan intromission yang semakin singkat dan
meningkatnya jumlah mount, intromission dan kissing vagina. Perilaku kawin pada tikus
ataupun mencit dapat digunakan untuk memprediksi atau menduga perilaku seksual pada
manusia.
Penelitian yang dilakukan oleh Padmiswari et al. (2015) bahwa ekstrak rebung
bambu tabah meningkatkan jumlah mount. Penelitian Yakubu dan Akanji (2011) bahwa
ekstrak M. acuminate menyebabkan semakin singkatnya waktu mount dan intromission,
tetapi semakin lambatnya waktu ejakulasi serta peningkatan frekuensi mount dan
intromission. Psoralea corylifolia juga dapat mempersingkat waktu mount, intromission
dan memperlambat waktu ejakulasi (Dabhadkar dan Varsha, 2013). Perilaku mount dan
perilaku intromission oleh mencit jantan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 3. Motilitas spermatozoa (a) adalah spermatozoa yang bergerak progresif pada
gambar ad, motilitas spermatozoa (b) adalah spermatozoa yang bergerak atau
berputar di tempat pada gambar e-h, dan motilitas spermatozoa (c) adalah
spermatozoa yang tidak bergerak pada i-l.

Pengamatan terhadap kualitas spermatozoa pada penelitian ini ditampilkan pada


Tabel 4. Pada penelitian ini, ekstrak air dan etanol rebung bambu menyebabkan terjadinya
peningkatan motilitas spermatozoa tipe (a) secara signifikan dan terjadi penurunan
motilitas spermatozoa tipe (c) secara signifikan juga pada hewan yang diberikan perlakuan
berupa ekstrak n-heksan. Perbedaan motilitas spermatozoa (a), motilitas spermatozoa (b),
dan motilitas spermatozoa (c) ditunjukkan pada Gambar 3. Rataan viabilitas spermatozoa
tidak menunjukkan adanya perbedaan secara signifikan dibandingkan dengan kelompok
hewan kontrol ataupun di antara kelompok perlakuan. Viabilitas spermatozoa mencit
jantan hasil percobaan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Viabilitas spermatozoa. Kepala spermatozoa berwarna menunjukkan


spermatozoa yang mati. Kepala spermatozoa tidak berwarna menunjukkan
spermatozoa yang hidup.

Berdasarkan hasil analisis perbedaan rataan jumlah spermatozoa menunjukkan


adanya peningkatan jumlah spermatozoa secara signifikan pada kelompok hewan yang
diberikan ekstrak etanol rebung. Pengaturan sistem reproduksi pada jantan selain
dipengaruhi hormon reproduksi juga ditentukan oleh mineral di dalam tubuh. Mineral
seperti Kalsium, Natrium, Chlor, Seng dan Fosfat yang tekandung dalam cairan elektrolit
epididimis berperan dalam pematangan spermatozoa (Egwurugwu et al., 2013). Kalsium
dan magnesium mengaktifkan enzim ATP-ase yang berfungsi sebagai katalis selama
proses kontraksi dan relaksasi protein kontraktil dinein aksonema flagella spermatozoa.
Aktivitas membran spermatozoa yang normal membutuhkan fosfat (Tvrdá et al., 2013).
Dissanayake et al. (2012) melaporkan bahwa defisiensi Zn menyebabkan penurunan
jumlah spermatozoa dan hormone testosteron. Kandungan mineral Ca, P, Na, K, Mg dan
Zn pada rebung bambu tabah serta peningkatan hormon testosteron pada kelompok hewan
yang diberi ekstrak etanol rebung diduga berperan dalam meningkatkan jumlah
spermatozoa dan persentase motilitas spermatozoa tipe (a).
Tabel 3. Hasil analisis perbedaan rerata jumlah perilaku kawin mencit jantan setelah
konsumsi ekstrak rebung bambu

Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan perbedaan yang signifikan
(P<0,05)

Tabel 4. Hasil analisis perbedaan rataan analisis spermatozoa mencit jantan setelah
mengkonsumsi ekstrak rebung bambu
BAB IV
KESIMPULAN
Pada penelitian ini rebung bambu tabah berpotensi menjadi bahan afrodisiak jantan.
Ekstrak rebung bambu tabah meningkatkan kadar hormone testosteron. Hormon ini
merupakan salah satu faktor yang meningkatkan motivasi seksual yakni meningkatkan
jumlah mount dan intromission, serta memperlambat waktu mount dan intromission. Selain
meningkatkan motivasi seksual, penggunaan bahan ini sebagai bahan afrodisiak
menunjukkan adannya peningkatan motilitas spermatozoa (a) dan konsentrasi spermatozoa
setelah pemberian ekstrak etanol rebung bambu tabah.

DAFTAR PUSTAKA

Chan JSW, Kim DJ, Ahn CH, Oosting RS, Olivier B. 2009. Clavulanic acidstimulates
sexual behaviour in male rats. European Journal of Pharmacology 1; 609 (1-3):
69- 73.

Dabhadkar D, Varsha Z. 2013. Evaluation of the potential aphrodisiac activity of Psoralea


corylifolia in male albino rats. Asian Journal of Biomedical and
Pharmaceutical Sciences 3(22): 18-27.

Egwurugwu JN, Ifedi CU, Uchefuna RC, Ezeokafor EN, Alagwu EA. 2013. Effects of zinc
on male sex hormones and semen quality in rats. Niger. J Physiol Sci 28: 17-
22.

Padmiswari AAIM, Sukmaningsih A, Astiti NPA. 2015. Uji Aktivitas Ekstrak Rebung
Bambu Tabah (Gigantochloa nigrociliata BUSE-KURZ) terhadap Perilaku
Kawin Mencit Jantan (Mus musculus L.). Jurnal Biologi 19(1): 25-29.

Shulman LM, Spritzer MD. 2014. Changes in the sexual behavior and testosterone levels
of male rats in response to daily interactions with estrus females. Physiol
Behav 22(133): 8-13.
Soal
1. Faktor-faktor yang menurunkan libido seksual jantan, kecuali...
a. Gangguan psikologis
b. Penyakit
c. Kekurangan nutrisi
d. Perubahan iklim
e. Kualitas habitat
2. Kandungan kimia atau senyawa kimia yang berperan sebagai afrodisiak, kecuali
a. Steroid
b. Betakaroten
c. Saponin
d. Alkaloid
e. Tannin
3. Bahan yang dapat berfungsi sebagai peningkat libido atau gairah bercinta disebut....
a. Birahi
b. Estrogenik
c. Hormon
d. Afrodisiak
e. Estrus
4. Tumbuhan afrodisiak menunjukkan efek meningkatkan sirkulasi darah pada genetalia
pria dan meningkatkan aktivitas hormon
a. androgenik
b. FSH
c. LH
d. Prolaktin
e. Estrogen
5. Perilaku reproduksi pada hewan tahap percumbuan yang ditunjukkan dengan
mengendus bau yang dikeluarkan oleh betina disebut tahap....
a. Kopulasi
b. Estrus
c. Menstruasi
d. Mount
e. Pre-kopulasi

Anda mungkin juga menyukai