Oleh: Kelompok 4
Sella Dwi Astia Ningrum (2018-01-036)
Suci Rahayu (2018-01-038)
Tati Hidayati (2018-01-039)
Tri Mulyati (2018-01-040)
Vera Rodessa Siregar (2018-01-041)
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya
karena penulis dapat menyelesaikan penugasan Mata Kuliah Manajemen Mutu Keperawatan.
Penugasan ini berisikan tentang Analisa Jurnal Mutu dengan PICOT dalam Peningkatan
Mutu Keperawatan di Rumah Sakit.
Pembuatan makalah ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan, baik materi
maupun moral dari pihak-pihak tertentu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Asnet
Leo Bunga, SKp. MKes. selaku dosen STIK Sint Carolus dan koordinator Mata Kuliah
Manajemen Mutu Keperawatan.
Penulis menyadari bahwa penugasan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat untuk semua pembaca.
Hormat kami,
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................... i
Daftar isi.............................................................................................................................. ii
Bab I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Tujuan...................................................................................................................... 1
BAB IV PENUTUP.............................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang baru
dalam perkembangan sejarah terbentuknya jasa. Pada tahun 1820 – 1910, Florence
Nighangela, seorang perawat dari inggris menekankan pada aspek – aspek
keperawatan pada konsep peningkatan mutu pelayanan . Salah satu ajarannya yang
terkenal adalah sampai dekade ini adalah “Hospital Should Do The Patient No Harm”
(Rumah Sakit Jangan Sampai Merugikan atau Mencelakakan Pasien).
Sejarah dimulainya upaya peningkatan mutu ini dimulai di Amerika Serikat oleh ahli
bedah Dr. E.A. Codman dari Boston dalam tahun 1917 yang ditemani oleh ahli bedah
lainnya, merasa kecewa dengan hasil operasi yang sering buruk karena sering
terjadinya penyulit. Mereka berkesimpulan bahwa penyulit itu terjadi karena kondisi
yang tidak memenuhi syarat di rumah sakit sehingga menurut pandangan mereka
diperlukan adanya upaya penilaian dan penyempurnaan tentang segala sesuatu yang
terkait dengan pembedahan. Ini adalah upaya yang berusaha mengidentifikasikan
masalah klinis dan kemudian mencari jalan keluarnya. Sebagai upaya tindak lanjut,
pada tahun 1918 The America Collage Of Surgeons (ACS) menyusun suatu Hospital
Standarization Programme, dimana program stabdarisasi ini adalah upaya pertama
yang terorganisasi dengan tujuan peningkatan mutu pelayanan dan ternyata program
ini mendapatkan dukungan luas.
Di Indonesia, langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah dilakukan
Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu penetapan kelas
Rumah Sakit Pemerintah melalui SK Menkes No. 033/Birhup/1972 yang secara
umum telah ditetapkan kriteria-kriteria tertentu meliputi : RS type A, B, C, dan D.
Kemudian berturut-turut masing-masing kriteria yang ada berkembang menjadi
standar-standar menyangkut pelayanan, keterangan, sarana dan prasarana pedoman
dalam rangka peningkatan penampilan pelayanan rumah sakit.
Sejak tahun 1984, Depkes telah mengembangkan berbagai indikator untuk mengukur
dan mengevaluasi penampilan (performance) Rumah sakit pemerintah dan Rumah
Sakit swasta setara yaitu dalam rangka hari kesehatan nasional. Indikator ini setiap 2
tahun (dua) tahun ditinjau kembali dan disempurnakan. Terdapat banyak sekali
metologi dalam upaya peningkatan mutu rumah sakit selain CQL, yaitu Total Quality
Control (TQC), pengendalian Mutu Terpadu : “Quality Control Circle (QCC)” /
Gugus Kendali Mutu, dan lain sebagaimana yang secara keseluruhan adalah sebagai
bagian dari upaya keterlibatan berbagai kepentingan yang ada dalam sumber daya
potensial rumah sakit dalam upaya peningkatan mutu guna mewujudkan tujuan
pembangunan kesehatan, yaitu tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal,
sebagai salah satu unsur kesejahteraan dari tujuh pembangunan nasioanal.
Peningkatan kualitas sekarang menjadi tujuan abadi banyak organisasi termasuk yang
terlibat dalam pengiriman perawatan medis. peningkatan kualitas pada dasarnya
adalah upaya organisasi untuk meningkatkan produk dan proses dalam hal memenuhi
harapan pelanggan. Salah satu aspek inisiatif peningkatan kualitas melibatkan
kepuasan pelanggan. Dalam kasus organisasi perawatan kesehatan, kepuasan
pelanggan meluas ke pasien serta berbagai staf medis seperti dokter, perawat dan
teknisi medis. Pandangan dan persepsi pelanggan ini berdampak pada keberhasilan
keseluruhan organisasi perawatan kesehatan, dan baru-baru ini datang lebih ke
menonjol, karena digunakan sebagai indikator yang diakui oleh manajer untuk
membuat perubahan organisasi dan peningkatan kinerja. Mengumpulkan pandangan
pengguna layanan adalah fitur kunci dari perkembangan baru-baru ini di masyarakat
dan sektor perawatan kesehatan telah mengidentifikasi metode untuk menilai
pandangan pasien, terutama dalam dekade terakhir (Wensing dan Elwyn, 2002).
Dalam melaksanakan inisiatif peningkatan mutu untuk memenuhi dan melampaui
harapan pasien, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan sebagai organisasi
perawatan kesehatan. Pendekatan dan keberhasilan setiap program peningkatan
kualitas ditentukan oleh filosofi perusahaan, dan inisiasi, keterlibatan dan dukungan
manajemen tingkat senior. Untuk setiap upaya peningkatan kualitas untuk menjadi
efektif, sangat penting untuk memiliki dukungan dari semua personil manajemen atas
organisasi. Dengan dukungan tersebut, akan lebih mudah untuk mengelola resistensi
karyawan untuk berubah ketika upaya peningkatan kualitas memang memerlukan
perubahan.
Dalam jurnal dengan judul “A problem-solving routine for improving hospital
operations” penelitian yang dilakukan Montana State University, Bozeman, Montana,
USA oleh (Manimay Ghosh Department of Operations Management and Decision
Sciences, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar, India, and Durward K.
Sobek II Department of Mechanical and Industrial Engineering). Dalam jurnal
tersebut dikatakan bagaimana menangani masalah terkait proses dan produksi
berkelanjutan perbaikan terus menantang para peneliti organisasi. Beberapa sarjana
menegaskan bahwa, ketika dihadapkan dengan kegagalan proses, organisasi harus
memberlakukan jangka pendek langkah-langkah untuk mengatasi krisis langsung,
tetapi kemudian terus menyelidiki proses secara kritis dan kolaboratif untuk
menentukan akar penyebab kegagalan dan mengimplementasikan perbaikan yang
mencegah terulangnya masalah itu (Hayes et al.,1988). Namun, Feigenbaum (1991)
melaporkan kelangkaan dalam menerapkan langkah kedua, dan ituTampaknya tren ini
masih berlanjut hingga hari ini (Tucker, 2007; Lee, 2010; Edmondson,2011).
Organisasi, oleh karena itu, terus menemukan bahwa mempertahankan perubahan
dalam pekerjaansistem tantangan yang signifikan
Dalam jurnal lainnya yaitu Implementation of total quality management in hospitals
penelitian yang dilakukan oleh Emad A. Al-Shdaifat, PhD College of Nursing,
University of Dammam, Dammam, KSA, Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
70% dari varians dalam menerapkan TQM dapat dicapai oleh mengikuti prinsip-
prinsip TQM. Prinsip-prinsip ini termasukperbaikan berkelanjutan, kerja tim,
pelatihan, manajemen puncak komitmen dan fokus pelanggan. Kontinu perbaikan
adalah faktor yang paling signifikan dalam menjelaskan varians dalam menerapkan
prinsip-prinsip TQM. TQM tadinya diimplementasikan di rumah sakit Yordania pada
tingkat sekitar kurang dari 60%. Prinsip yang paling diterapkan adalah fokus
pelanggan, dan yang paling tidak diterapkan adalah perbaikan terus-menerus. Sektor
swasta diimplementasikan kelima prinsip ini lebih dari sektor lainnya melakukan.
B. TUJUAN
1. Tujuan umum
Mampu menganalisis jurnal quality improvement keperawatan di Rumah Sakit
dengan menggunakan PICOT (Problem Intervention Comparations Outcome
Time)
2. Tujuan khusus
a. Mampu menguraikan jurnal quality improvement keperawatan di suatu Rumah
Sakit dengan menggunakan PICOT (Problem Intervention Comparations
Outcome Time)
b. Mampu menganalisa jurnal quality improvement keperawatan di suatu Rumah
Sakit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Mutu adalah faktor yang mendasar dari pelanggan. Mutu adalah penentuan pelanggan,
bukan ketetapan pasar atau ketetapan manajemen, berdasarkan atas pengalaman nyata
pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya,
dijanjikan atau tidak sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif
sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang
kompetitif (Wiyono,1999). Perawatan kesehatan adalah unik dari jenis lain dari
industri dalam bahwa profesional perawatan kesehatan sangat tergantung pada satu
sama lain untuk menyediakan dan mengkoordinasikan layanan nilai tinggi bagi
manusia. Hal ini sangat menantang bagi manajer perawatan kesehatan yang
bertanggung jawab untuk mengelola organisasi perawatan kesehatan (Shortell dan
Kaluzny, 2000). Karena salah satu tujuan utama dari setiap organisasi perawatan
kesehatan tidak hanya untuk bertemu, tetapi juga untuk melebihi harapan pasien,
meningkatkan tingkat kepuasan pasien sangat penting untuk keberhasilan jangka
panjang mereka. Inisiatif peningkatan kualitas dapat berperan dalam mencapai tujuan
ini. Memang, satu fokus penting peningkatan kualitas dalam organisasi perawatan
kesehatan melibatkan pasien. Secara khusus, menggunakan teknik peningkatan
kualitas, manajer berusaha untuk meningkatkan kinerja dalam proses kunci sehingga
tingkat kepuasan pasien yang tinggi tercapai
Bebarapa pendapat tentang mutu :
1. Mutu adalah gambaran total sifat dari suatu produk atau jasa pelayanan yang
berhubungan dengan kemampuannya untuk memberikan kebutuhan kepuasan (American
Society for Quality Control)
2. Mutu adalah “Fitness For Use“, atas kemampuan kecocokan pengguna (J.M.Juran)
3. Mutu adalah kesesuaian terhadap permintaan persyaratan (The Conformance of
requirements-Philip B. Crosby)
Menurut Philips B. Crosby, ada “empat hal yang mutlak (absolut)” menjadi bagian
integral dari manajemen mutu, yaitu bahwa :
a) Difinisi mutu adalah kesesuaian terhdapa persyaratan (The Definition of quality is
conformance to requirements).
b) Sistem mutu dan pencegahan ( The System of Quality si Prevention).
c) Standar penampilan adalah tanpa cacat (The performance standard is Zero Defects)
d) Ukuran mutu adalah harga ketidaksesuaian (The measurement of quality is the price
of nonconformance)
3. Output/ Outcome
Tentang output/outcome, memberikan penjelasan bahwa outcome secar tidak langsung
dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menilai pelayanan kesehatan. Dalam menilai
apakah hasilnya bermutu atau tidak, diukur dengan standar hasil (yang diharapkan) dari
pelayanan medis yang telah dikerjakan.
4. Mengukur mutu pelayanan kesehatan
Mengkukur mutu pelayanan kesehatan yang dimaksudkan untuk dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
a. Dapatkah mutu jasa pelayanan dapat diukur
b. Apa yang diukur
c. Bagaimana mutu jasa pelayanan diukur
Untuk dapat memahami hal tersebut diatas perlu diketahui tentang pengertian, indikator,
kriteria dan standar.
a. Indikator
Indikator adalah penunjuk atau tolak ukur, contoh : petunjuk indikator atau tolak ukur
status kesehatan antara lain adalah angka kematian ibu, angka kematian bayi, status
gizi. Petunjuk atau indikator ini (angka kematian ibu) dapat diukur jadi indikator
adalah fenomena yang dapat diukur. Indikator mutu asuhan kesehatan atau pelayanan
kesehatan dapat mengacu pada indikator yang relevan berkaitan dengan struktur,
proses dan outcomes, sebagai berikut :
b. Indikator Struktur
1) Tenaga kesehatan profesional (Dokter, paramedis, dan sebagainya)
2) Anggaran biaya yang tersedia untuk operasional dan lain-lain
3) Perlengkapan dan peralatan kedokteran termasuk obat-obatan
4) Metode : adanya standar operasional prosedur masing-masing unit, dan
sebagainya.
c. Indikator Proses
Memberi petunjuk tentang pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, prosedur
asuhan yang ditempuh oleh tenaga kesehatan, prosedur asuhan yang ditempuh oleh
tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya. Apakah telah sebagimana mestinya
sesuai dengan prosedur, diagnosa, pengobatan, dan penanganan seperti yang
seharusnya sesuai standar.
d. Indikator Outcomes
Merupakan indikator hasil dari pada keadaan sebelumnya yaitu input dan proses
seperti BOR, LOS, TOI, dan indikator klinis lain seperti : angka kesembuhan
penyakit, angka kematian 48 jam, angka infeksi nosokomial, komplikasi perawatan
dan sebagainya.
e. Kriteria
Indikator di spesifikasikan dalam berbagai kriteria sebagai contoh: indikator status
gizi dapat lebih di spesifikasikan lagi menjadi kriteria tinggi badan, berat badan, berat
badan anak, untuk pelayanan kesehatan kriteria ini adalah fenomena yang dapat di
hitung.
f. Standar
Selanjutnya setelah kriteria ditentukan dibuat standar-standar yang eksak dan dapat
dihitung kuantitatif yang biasanya mencakup hal-hal yang standar baik. Mutu asuhan
kesehatan suatu organisasi pelayanan kesehatan dapat diukur dengan memperhatikan
atau memantau dan menilai indikator, kriteria, dan standar yang relevan diasumsikan
relevan dan berlaku sesuai dengan aspek-aspek struktur, proses, dan outcome dari
organisai pelayanan kesehatan tersebut.
2. Curah pendapat
Curah pendapat merupakan alat yang paling banyak digunakan dalam dinamika
pendekatan masalah karena bermanfaat untuk menghasilkan banyak gagasan-gagasan
baru untuk menghasilkan banyak gagasan gagasan baru untuk menyelesaikna
masalah-masalah yang rumit ataupun yang belum pernah terjadi. Prinsip dasar dalam
pelaksanaan curah pendapat: tidak mengkritik, berpikir bebas, dan penggabungan
pendapat yang sama.
Pedoman proses curah pendapat adalah seperti pada bagian dibawah :
Prinsip dasar dalam proses penyusunan menu diagram fish bone adalah sedapat
mungkin identifikasi masalah bukan hanya gejala-gejala yang menunjukkan masalah
tersebut. Selain itu, fasilitator harus mengarahkan pada produk-produk yang ingin
dicapai sehingga proses ini tidak menjadi arena untuk pointing the blame (mencari
titik kesalahan). Contoh diagram tulang ikan sebagai berikut :
Peralatan Manusia
6. Diagram Pareto
Prinsip dasar dala penyusunan pareto, harus digunakan unit pengukuran yang sama,
dan tuliskan unit tersebut pada diagram. Apabila ada penyebab sama, dan tuliskan unit
tersebut pada diagram. Apabila ada kategori penyebab masalah yang melampaui 25%
pertimbangan untuk merinci kategori tersebut. Prinsip yang sedikit tetapi besar
pengaruhnya adalah penting, sedangkan yang banyak tetapi sedikit pengaruh nya
adalah kurang penting.
Secara umum diagram pareto bermanfaat sebagai berikut :
a. Memisahkan masalah-masalah utama dengan masalah lain yang mungkin
menjadi penyebab, sehingga peningkatan mutu dapat lebih fokus.
b. Mengelompokkan penyebab- penyebab prioritas.
c. Menetapkan penyebab yang paling penting berdasarkan fakta.
d. Membandingkan perubahan data menurut waktu.
7. Run Chart
Run chart sering disebut juga sebagai trend – chart atau diagram kecenderungan.
Diagram ini merupakan gambaran dasar yang menunjukkan perkembangan suatu
kejadian dari waktu ke waktu sehingga prinsip dasar dari run chart adalah tidak dapat
digunakan apabila data yang di kumpulkan tidak berkaitan dengan variabel waktu.
Manfaat run Chart adalah untuk memantau variasi suatu proses menurut waktu
sehingga memungkinkan manajemen untuk menghentikan suatu masalah sebelum
berkembang lebih lanjut.
8. Check Sheet (Lembar Perilaku)
Check sheet merupakan alat bantu untuk menunjukkan frekuensi terjadinya suatu
kejadian (dapat berupa masalah, misalnya beberapa kali timbul kejadian operasi
ditunda, atau penyebab masalah, misalnya beberapa kali timbul kejadian hasil
laboratorium tidak normal mengakibatkan pelaksanaan operasi di tunda, berapa kali
timbul kejadian hasil lab terlambat yang mengakibatkan operasi ditunda). Tiap
kejadian yang ditemukan dilakukan penghitungan dengan tally (melidi) dalam format
tabulasi.
Lembar periksa hanya digunakan apabila telah diprediksi masalah atau penyebab yang
mendasar. Disamping itu, jangan terjebak pada keinginan untuk mengumpulkan data
sebanyak mungkin, oleh karena proses pengumpulan datanya dapat lebih lama dari
pada waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan masalahnya itu sendiri
F. Manajemen Risiko
Alat – alat manajemen risiko yang digunakan di Rumah Sakit antara lain :
a. Non statistical tools : untuk mengembangkan ide, mengelompokkan, memprioritaskan
dan memberikan arah dalam pengambilan keputusan. Alat - alat tersebut meliputi Fish
Bone, bagan, Alir, RCA, FMEA.
b. Statistical tools seperti Diagram pareto, lembar periksa (check sheet)
Meningkatkan dan mempertahankan Mutu dan Keselamatan Pasien dilakukan dengan
menggunakan pendekatan proaktif dalam melaksanakan manajemen risiko di semua
unit / bagian Rumah Sakit dan merupkan proses untuk mengenali bahaya (hazard)
yang mungkin terjadi dan bagaimana potensi kegawatan dari bahaya tersebut.
Langkah-langkah manajemen risiko :
a. Identifikasi risiko
b. Menetapkan prioritas risiko
c. Analisis risiko pengelola risiko
d. Evaluasi
1. Root Cause Analysis (RCA)
Langkah – langkah melakukan RCA :
a) Identifikasi Kejadian / Insiden
b) Pembentukan Tim C
c) Pengumpulan Data D
d) Pemesanan Data :
1) Kronologi / Narasi
2) Tabular Timeline
3) Time Person Grid
e) Identifikasi masalah/care manajemen problem (CMP)
Ada beberapa teknik / instrumen untuk mengungkap CMP, adalah :
1) Brainstroming
2) Brainwaiting
3) Nominal Group Teknique (NGT).
f) Analisa informasi
g) Analisa Perubahan
h) Barrier Analysis
i) Fishbone
j) Rekomendasi dan Solusi
G. Pengendalian
Pengendalian adalah keseluruhan fungsi atau kegiatan yang harus di lakukan untuk
menjamin tercapainya sasaran perusahaan dalam hal kualitas produk dan jasa
pelayanan yang di produksi. Pengendalian Mutu pelayanan pada dasarnya adalah
pengendalian kualitas kerja dan proses kegiatan untuk menciptakan kepuasaan
pelanggan (quality os customer satisfaction) yang dilakukan oleh setiap orang dari
bagian di Rumah Sakit.
1. PDCA
Pengertian pengendalian (control cycle) dengan memutar siklus “Plan-Do-Check-
Action” (P-D-C-A) = relaksasi (rencana – laksanakan – periksa – aksi). Pola P-D-
C-A ini dikenal sebagai “siklus shewart” karena pertama kali dikemukakan oleh
Walher Shewart beberapa puluh tahun yang lalu. Namun dalam perkembangannya,
metodologi analisis P-D-C-A lebih sering disebut “Siklus Deming”. Hal ini karena
Deming adalah orang yang mempopulerkan penggunaannya dan memperluas
penerapannya, dengan nama apapun itu disebut P-D-C-A adalah alat yang
bermanfaat untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus (continous
improvement) tanpa berhenti, konsep P-D-C-A tersebut merupakan panduan bagi
setiap manajer untuk proses perbaikan kualitas (quality improvement) secara terus
menerus tanpa berhenti telaah meningkat ke keadaan yang lebih baik dan
dijalankan di seluruh bagian organisasi, seperti tampak pada gambar :
a. Dalam gambar 1 tersebut, pengidentifikasian masalah yang akan dipecahkan
dan pencarian sebab – sebabnya serta penentuan tindakan koreksinya, harus
selalu didasarkan pada fakta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adana
unsur subyektivitas dan pengambilan keputusan yang terlalu cepat serta
keputusan yang bersifat emosional. Selain itu untuk memudahkan identifikasi
masalah yang akan dipecahkan dan sebagai patokan perbaikan selanjutnya
perusahaan harus menetapkan standar pelayanan.
b. Hubungan pengendalian kualitas pelayanan dengan peningkatan perbaikan
berdasarkan siklus P-D-A-C (Relationship between Control and Improvement
under P-D-A-C Cycle) diperlihatkan dalam gambar 2. Pengendalian kualitas
berdasarkan siklus P-D-A-C hanya dapat berfungsi jika sistem informasi
berjalan dengan baik dan siklus tersebut dapat dijabarkan dalam enam langkah
seperti diperlihatkan dalam gambar 3.
a. Plan
Langkah I
Menentukan tujuan sasaran
Tujuan dan sasaran yang akan dicapai didasarkan pada kebijakan yang di tetapkan
penetapan sasaran tersebut oleh direktur Rumah Sakit atau Kepala Bidang /
Kepala Unit Kerja. Penetapan Sasaran didasarkan pada data pendukung dan
analisis informasi. Sasaran ditetapkan secara konkret dalam bentuk angka, harus
pula di ungkapkan dengan maksud tertentu dan disebarkan kepada semua
karyawan sehingga semakin rendah. Tingkat karyawan yang hendak dicapai oleh
penyebaran kebijakan dan tujuan, maka semakin minim rinci informasi yang ada.
Untuk mencapai data pendukung dan analisis informasi yang dimaksud, maka
diperlukan upaya pengindentifikasi masalah yang dimaksud, maka diperlukan
upaya pengidentifikasi masalah yang akan dipecahkan dan pencarian sebabnya
serta penentuan tindakan koreksinya fakta dan data objektif. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari adanya unsur subyektifitas dan pengambilan keputusan yang
terlalu cepat serta keputusan serta keputusan yang bersifat emosional. Lebih lanjut
data obyejtif dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi masalah yang akan
dipecahkan dan sebagai patokan perbaikan selanjutnya untuk disusun standar
pelayanan yang ada dikemudian hari.
Langkah 2
Menetukan metode untuk mencapai tujuan
Penetapan tujuan dan sasaran dengan tepat belum tentu akan berhasil dicapai
disertai metode yang tepat untuk mencapainya. Metode yang ditetapkan harus
rasional, berlaku untuk semua karyawan dan tidak menyulitkan karyawan untuk
menggunakan dalam aplikasi. Oleh karena itu dalam menetapkan metode yang
akan digunakan perlu pula di ikuti dengan penetapan standar kerja yang dapat
diterima dan dimengerti oleh semua karyawan.
b. Do
Langkah 3
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
Metode untuk mencapai tujuan yang dibuat dalam bentuk standar kerja agar dapat
dipahami oleh petugas terkait, maka perlu dilakukan program pendidikan dan
pelatihan berkala, baik in – house, untuk memahami standar kerja dan program
yang telah ditetapkan.
Langkah 4
Melaksanakan Pekerjaan
Dalam pelaksana pekerja, selalu terkait dengan kondisi yang dihadapi dan standar
kerja mungkin tidak dapat mengikuti kondisi yang selalu berubah dalam
penatalaksanaannya. Oleh karena itu, keterampilan dan pengalaman para
karyawan dapat dijadikan modal dasar untuk mengatasi masalah yang timbul
dalam penatalaksanaan pekerjaan karena ketidaksempurnaan standar kerja yang
telah disusun dan ditetapkan.
c. Check
Langkah 5
Memeriksa akibat pelaksanaan
Direktur dan atau Ketua Komite Risiko Mutu dan Keselamatan Pasien perlu
memeriksa apakah pekerjaan dilaksanakan dengan baik atau tidak. Jika segala
sesuatu telah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan mengikuti standar
kerja yang baik, namun tidak berarti pemeriksaan terhadap hasil pelaksanaan
dapat diabaikan begitu saja. Hal yang harus disampaikan kepada karyawan adalah
atas dasar apa pemeriksaan itu dilakukan agar kiranya dapat dibedakan manakah
penyimpangan dan mana yang bukan penyimpangan, maka kebijakan dasar,
tujuan, metode standar (standar kerja) dan pendidikan harus dipahami dengan
jelas dan baik oleh masing-masing karyawan dan atau atasan bersangkutan.
Untuk mengetahui penyimpangan, dapat dilihat dari akibat yang timbul dari
pelaksanaan pekerjaan dan setelah itu dapat dilihat dari penyebabnya.
d. Action
Langkah 6
Mengambi tindakan yang tepat
Pemeriksaan melalui akibat yang ditimbulkan bertujuan untuk menemukan
penyimpangan. Jika penyimpangan telah ditemukan, maka penyebab timbulnya
penyimpangan harus ditemukan untuk mengambil tindakan yang tepat agar tidak
terulang kembali kemungkinan penyimpangan di masa yang akan datang.
Menyingkirkan faktor-faktor penyebab yang telah mengakibatkan penyimpangan
merupakan konsepsi yang penting dalam pengendalian kualitas pelayanan.
Konsep PDCA dengan keenam langkah tersebut merupakan sistem yang efektif
untuk meningkatkan kualitas pelayanan dengan partisipasi dan koordinasi semua
pihak, mulai dari bawahan sampai dengan atasan di semua bagian dan semua
proses. Partisipasi semua pihak dalam pengendalian kualitas pelayanan mencakup
semua jenis kelompok karyawan yang secara bersama-sama merasa bertanggung
jawab atas kualitas pelayanan dalam kelompoknya. Partisipasi semua proses
dalam penegndalian kualitas dimaksudkan adalah pengendalian tidak hanya
terhadap output, tetapi terhadap hasil setiap proses yang ada.
Proses pelayanan akan menghasilkan suatu pelayanan berkualitas tinggi, hanya
mungkin dapat dicapai jikalau terdapat pengendalian kualitas dalam setiap
tahapan dari proses, dimana dalam setiap tahapan proses dijamin adanya
keterpaduan, kerjasama yang baik antara kelompok karyawan dengan manajemen
sebagai tanggung jawab bersama untuk menghasilkan kualitas kerja dari
kelompok sebagai mata rantai dari suatu proses.
2. SIX SIGMA
Six Sigma dimulai pada tahun 1980-an sebagai rencana peningkatan kualitas untuk
Motorola. Pendekatan ini sejak tumbuh menjadi upaya yang diadopsi oleh
perusahaan. Sebagai metodologi dan pengukuran, Six Sigma mengevaluasi
kemampuan proses untuk melakukan cacat bebas, di mana cacat didefinisikan
sebagai sesuatu yang menghasilkan ketidakpuasan pelanggan. Inovasi Six Sigma
adalah menggabungkan metode yang lebih baik dengan filosofi manajemen baru
untuk mengurangi cacat secara signifikan, sehingga memperkuat posisi pasar
perusahaan dan meningkatkan garis keuntungan (Harry dan Schroeder, 2000).
Six Sigma adalah proses yang dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan dan
harapan pelanggan dalam organisasi perawatan kesehatan bersama dengan
peningkatan profitabilitas dan arus kas (Samuels dan Adomitis, 2003). Secara
khusus, ia berusaha untuk mengidentifikasi, mengukur dan menghilangkan
kesalahan dalam proses bisnis (Gale, 2003). Six Sigma juga diidentifikasi sebagai
kritis terhadap kualitas (CTQ) cacat menggunakan langkah-langkah yang
menunjukkan efektivitas proses tertentu (Samuels dan Adomitis, 2003). Yang
pertama dari tindakan ini adalah cacat per juta peluang (DPMOS): jumlah faktor
CTQ yang rusak per 1 juta peluang untuk cacat terjadi. Kedua, hasil bebas kesalahan
(EFY) adalah persen dari proses tanpa cacat. Akhirnya, tingkat sigma mirip dengan
konsep standar deviasi: karena tingkat sigma meningkat, jumlah cacat menurun.
Untuk titik referensi, industri rata-rata berjalan pada tingkat sigma 4.0; sedangkan
sempurna, proses bebas cacat akan memiliki tingkat sigma 6.0. Menurut Samuels
dan Adomitis (2003), dalam melaksanakan Six Sigma, manajer harus menjalankan
proses berikut:
a. Menentukan tujuan dan ruang lingkup proyek;
b. Membuat dasar kinerja untuk membandingkan data membuktikan kesalahan;
c. Menganalisis akar penyebab dikuantifikasi oleh data aktual;
d. Menerapkan prosedur untuk menghapus akar penyebab kesalahan dan
meningkatkan kinerja; dan
e. Mengevaluasi kinerja proses sebelum dan sesudah untuk melakukan upaya
perbaikan.
Memanfaatkan proses ini dapat menjadi efektif dalam memberikan kepuasan
pelanggan yang lebih baik, serta mengurangi biaya dan meningkatkan profitabilitas
(Samuels dan Adomitis, 2003). Misalnya, jika tujuan rumah sakit adalah untuk
meningkatkan kepuasan pasien, manajemen akan ingin menggunakan indikator
kuantitatif kepuasan pasien terhadap kinerja yang dapat diukur. Data kemudian akan
dikumpulkan untuk menganalisis akar penyebab ketidakpuasan pasien. Kemudian,
prosedur akan dilaksanakan untuk menghilangkan penyebab ketidakpuasan pasien
yang teridentifikasi. Akhirnya, dampak dari prosedur dapat diperoleh mengevaluasi
tingkat kepuasan pasien sebelum dan sesudah pelaksanaan Six Sigma.
Pada tahun 2000, Mount Carmel Health System di Columbus, Ohio menunjukkan
bahwa program Six Sigma dapat efektif untuk organisasi perawatan kesehatan (Gale,
2003). Secara khusus, dengan menerapkan program ini, Mount Carmel berhasil
memangkas biaya dan menghemat beberapa juta dolar dalam biaya operasional
setiap tahun sejak program dimulai (Gale, 2003). Jika organisasi perawatan
kesehatan lainnya dapat mencapai hasil seperti ini, maka mereka dapat menghindari
tindakan negatif seperti PHK karyawan dan pemotongan pengeluaran di arena
layanan pelanggan/pasien. Akibatnya, fokus organisasi dapat tetap berada di tempat
yang seharusnya: memenuhi dan melebihi kebutuhan dan harapan pasien.
Revere and Black (2003) memeriksa penggunaan Six Sigma untuk tujuan
mengurangi kesalahan medis dan meningkatkan profitabilitas. Mereka menyarankan
bahwa Six Sigma lebih efektif daripada metode manajemen kualitas total tradisional,
karena menawarkan pengukuran kuantitatif yang lebih tepat. Selain itu, mereka
merekomendasikan bahwa Six Sigma dapat berhasil ketika digunakan sebagai alat
manajerial untuk mengurangi kesalahan obat karena fokus pada mengidentifikasi,
menganalisis, dan memantau kesalahan. Namun, kuncinya terletak pada pelatihan
ekstensif dan fokus pada filosofi organisasi perawatan kesehatan yang
mempromosikan peningkatan kualitas.
Selain itu six sigma juga memberikan nilai filosofi yang bertumpu pada beberapa
konsep penting (Evans, 2007: 4):
1. Selalu berpikir dalam kerangka proses bisnis utama serta kebutuhan pelanggan
dengan tetap berfokus pada tujuan strategis perusahaan
Gambar 2.1. six sigma dan perbaikan proses (Evans, 2007: 4)
BAB III
PEMBAHASAN
Outcome: Dari hasil penelitian ini didapatkan pandangan bahwa upaya harus
difokuskan pada membangun sebuah dasar yang dapat memeriksa dan mengakreditasi
kualitas dari sistem kesehatan. Lima prinsip TQM yang perlu diimplementasikan di
umah sakit adalah perbaikan terus-menerus, kerja sama tim, pelatihan, komitmen
manajemen puncak dan fokus pelanggan. Prinsip-prinsip TQM yang buruk
diimplementasikan di rumah sakit Yordania. Fokus pada pelanggan adalah prinsip
yang paling banyak diterapkan. Sektor swasta memiliki paling banyak
mengimplementasikan prinsip-prinsip dari TQM bila dibandingkan dengan sektor
publik. Studi ini juga menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan terkait dengan
sosio-demografis variabel (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pengalaman,
departemen pekerjaan, dan jumlah pasien disajikan setiap hari) di rumah sakit yang
tidak memiliki departemen Mutu. Tingkat implementasi TQM meningkat dengan
ketersediaan departemen Mutu.