Studi Kasus Axeon N V
Studi Kasus Axeon N V
AXEON N.V
Dalam analisis awal, ditemukan terdapat tiga masalah yang cukup kontras dan harus serius
diperhatikan oleh perusahaan Axeon untuk ditangani atau diselesaikan. Masalah tersebut adalah mengenai
optimistis, investasi dan nilai asset.
1. Hal pertama mendasar adalah adanya sebuah skenario dalam perusahan yang terjadi didasarkan
pada sifat optimisme yang tinggi Sifat tersebut akan lebih merujuk pada akibat yang negative;
diantaranya egoistis. Dalam hal ini berdampak pada kinerja yang mengedepankan sifat tersebut
dari pada memperhitungkan terlebih dahulu secara matang, usulan atau kebijakan yang akan
diambil.
2. Masalah Ian Patrick yang mengajukan proposal peminjaman uang untuk investasi pabrik baru di
Inggris. Maka sangat penting adanya analisis dan perhitungan atas pengaruh pengembalian
hutang. Dan mungkin akan lebih baik jika memang investasi tersebut mendatangkan kembali
mobal yang lebih tinggi dalam jangka waktu yang diharapkan. Namun kalau perhitungan tidak
relevan, kemungkinan besar berakibat tebalik dan menurunkan profitabilitas.
3. Masalah perkiraan atau perhitungan nilai asset perusahaan cabang di Inggris, dimana nilai
depresiasi adalah 1400000 dan jumlahnya sama dengan nilai investasi awal. Hal ini tampaknya
tidak masuk akal karena kesamaan nilai penurunan peralatan pabrik tersebut dengan nilai
investasi awal.
A. Pengendalian budaya dan personel dalam perusahaan Axeon sudah sesuai dengan sistem yang
ada.
1. Sistem yang dianut oleh perusahaan Axeon.N.V.
Axeon.N.V. adalah perusahaan yang menekankan sistem desentralisasi. Oleh sebab itu, manajer
cabang memiliki otonomi yang besar untuk memutuskan kelangsungan hidup perusahaan cabang masing-
masing. Desentralisasi adalah pembuatan keputusan tidak hanya dimonopoli oleh pimpinan puncak saja
melainkan dengan cara melibatkan seluruh elemen yang ada dalam organisasi (melibatkan manajer dan
bawahannya sesuai dengan keterkaitannya dengan masalah yang akan diputuskan). Dapat disimpulkan
bahwa Desentralisasi perusahaan adalah Sebuah perusahaan yang terdesentralisasi, yang mana wewenang
pengambilan keputusannya tidak diserahkan pada beberapa orang eksekutif puncak, melainkan
disebarkan diseluruh perusahaan cabang. Di satu sisi ekstrem, perusahaan yang terdesentralisasi secara
kuat adalahperusahaan yang memberikan kebebasan kepada manajer-manajer tingkat yang lebih rendah
ataupun karyawan untuk membuat suatu keputusan.
Pada pengambilan keputusan terdesentralisasi memperkenankan manajer pada jenjang yang lebih
rendah untuk membuat dan mengimplementasikan keputusan-keputusan penting yang berkaitan dengan
wilayah pertanggungjawaban mereka.
2. Pengendalian personel dalam perusahaan Axeon.N.V
Perusahaan Axeon.N.V. dengan sistemnya desentralisasi terbilang sukses dalam menciptakan
suatu pengendalian personel. Hal tersebut tergambarkan pada tercapainnya tiga tujuan dari pengendalian
personel di tengah-tengah sistem tersebut.
Pertama adalah dalam hak otonomi yang diberikan pada perusahaan cabang, beberapa pengendalian
personel membantu mengklarifikasikan harapan. Membantu memastikan bahwa setiap karyawan
memahami apa yang diinginkan perusahaan.
Kedua adalah dengan sistem desentralisasi tersebut juga perusahaan-perusahaan cabang menghasilkan
karyawan-karyawan yang berkualitas. Mempunyai kemampuan seperti kepandaian, pengalaman dalam
menjalakan pekerjaan dalam cabang. Kemampuan terus meningkat akibat dari tanggung jawab yang
dibebani langsung pada cabang untuk mengurusi dirinya sendiri
Ketiga adalah setiap karyawan akan terlibat pada self-monitoring control. Dengan kata lain, sistem
desentralisasi melatih mereka, dan memberikan mereka lingkungan kerja yang baik serta sumber daya
yang dibutuhkan, cenderung dapat meningkatkan kemungkinan akan dilakukannya pekerjaan yang baik.
3. Pengendalian Budaya dalam perusahaan Axeon.N.V.
Pengendalian budaya didesain untuk mendukung pemantauan bersama (mutual monitoring);
sebuah tekanan kuat dari suatu kelompok terhadap individu yang menyimpang dari peraturan dan
nilai perusahaan. Budaya perusahaan relatif tetap dari waktu ke waktu, meski tujuan dan strategi
beradaptasi seperlunya terhadap perubahan kondisi bisnis. Budaya perusahaan dapat dibentuk dalam
banyak cara, baik lewat kata maupun contoh, meliputi kode etik, pengharagaan kelompok, transfer
antarperusahaan, pengaturan fisik dan sosial dan tone at the top. Pada perusahaan Axeon.N.V. sendiri
sangat kental budaya yang terjadi, sehingga kemajuan harapan, kemampuan dan saling memonitoring
antar karyawan sangat terjaga di dalam sistem Desentralisasi ini.
Sebagai peran seorang Direktor Manajemen, Mr Van Leuven adalah seseorang yang memegang
penuh kekuasaan dalam menentukan keputusan yang dilaksanakan oleh perusahaan. dalam kasus proposal
ini, terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan secara serius.
1) Mr Van Leuven harus benar-benar menghitung secara mendetail dan membandingkannya, mana
diantara kedua pilihan tersebut yang dapat mencapai tujuan biaya yang paling efektif sekaligus
efisien waktu.
2) Memimpin otonomi dan moral manajemen anak perusahaan dengan cara yang baik dan bijaksana,
agar tidak melanggar dari sistem yang ada.
Terkait dalam hal yang pertama dan seperti pada pembahasan sebelumnya, keputusan yang terbaik
adalah bahwa Hollandworth tetap membeli produk AR-42 dari belanda daripada investasi pabrik sendiri,
karena tidak efektif dan efisien.
Untuk hal yang kedua, komunikasi yang baik adalah hal penting yang harus dijaga oleh Mr Van
Leuven. Hal ini menjadi satu-satunya cara terbaik untuk meminimalkan dampak negativ dari kasus yang
terjadi. Otonomi yang bermoral sangat penting pula dalam perusahaan cabang dalam mencapai
keuntungan ekobnomi. Komunikasi yang terjaga dari kedua belah pihak sangat diperlukan demi
kepentingan tujuan perusahaan yang lebih baik.
Dengan kata lain, proposal yang diajukan hasilnya adalah negativ atau ditolak. Penolakan tersebut
berdasarkan pertimbangan dan perhitungan yang matang. Agar keputusan ini dapat diterima dengan baik,
komunikasi lah yang juga penting dalam menjaga serta meminimalkan dampak negativ yang dapat terjadi.
STUDI KASUS
CITIBANK INDONESIA