Disusun oleh:
Kelas B - Kelompok 4
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Obat Gangguan
Endokrin dan Saluran Cerna serta untuk memberikan informasi dan penjelasan mengenai
penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kelenjar gonad pada pria dan terapi pengobatan
penyakit tersebut.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Obat Gangguan
Endokrin dan Saluran Cerna, Dr. Anton Bahtiar S.Si., M.Biomed., yang telah memberikan
bimbingan sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tidak lupa pula penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah
ini.
Penulis berharap agar makalah ini bisa memberikan informasi serta pemahaman kepada
pembaca terkait mata kuliah Obat Gangguan Endokrin dan Saluran Cerna khususnya
mengenai penyakit terkait kelenjar gonad pada pria dan terapinya. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis meminta maaf
atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………....... ii
BAB I : PENDAHULAN…………………………………………………………….... 1
1.3 Tujuan.…………………………………………………………………………….. 2
BAB II : PEMBAHASAN……………………………………………………………...3
ii
BAB III : PENUTUP.……………………………………………………………..... 75
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….... 75
3.2 Saran……………………………………………………………………………... 75
DAFTAR PUSTAKA..…………………………………………………………….... 76
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem reproduksi pria terdiri dari organ utama, yakni testis; saluran reproduksi,
yakni epididimis, duktus deferens, dan duktus ejakulatorius; kelenjar seks tambahan, yakni
vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar bolbouretra; dan beberapa struktur
pendukung lainnya, yakni skrotum dan penis. Setelah mengetahui sistem reproduksi pria,
kita dapat memahami spermatogenesis, yaitu sebuah proses kompleks dimana sel
germinativum primordial yang relatif belum berdiferensiasi, spermatogonia berproliferasi
dan diubah menjadi spermatozoa (sperma). Spermatogenesis terdiri dari 3 tahap, yakni
proliferasi mitotik, meiosis, dan pengemasan. Selain hal tersebut, sistem reproduksi pria
juga didukung oleh beberapa hormon, yakni GnRh, FSH, LH, dan testosteron.
Melihat beberapa fungsi dan peran yang esensial dari sistem reproduksi pria ini,
berbagai kondisi seperti adanya gangguan vaskular, saraf, atau hormon dapat
mengakibatkan terciptanya suatu kondisi patologis pada kelenjar gonad pria, seperti
disfungsi ereksi, ejakulasi dini, dan infertilitas. Demi mengatasi permasalahan tersebut,
penting sekali untuk melakukan terapi yang tepat dan sesuai dengan gejala dan kondsi
penyakit gonad yang dialami. Tujuan dari dilakukannya terapi ini diharapkan mampu
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
1.3 Tujuan
Melalui rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan dari pembuatan makalah
ini, yaitu :
2
BAB II
ISI
Proses ini diatur oleh ekspresi faktor seperti LHX1, EMX2 atau PAX3, dan
WT1 yang berperan dalam stabilisasi mesoderm intermediet untuk
perkembangan urogenital ridge.
B. Gonad Bipotensial
● Duktus Wolffian
● Duktus Mullerian
Duktus Mullerian juga muncul pada minggu kelima perkembangan fetus
sebagai invaginasi epitel coelomic, lateral terhadap gonadal ridge.
Perkembangan duktus mullerian terdiri dari tiga tahap:
1. Inisiasi
2. Invaginasi
3. Elongasi
Sinus urogenital merupakan asal dari kantung kemih, prostat, dan uretra
pada pria. Diferensiasinya berdasarkan konversi testosteron menjadi DHT.
Kuncup prostat muncul sekitar minggu kesepuluh pada tuberkulus Mullerian
dan membentuk cabang cord yang solid. Pematangan kelenjar prostat diikuti
oleh perkembangan utrikel prostat. Dua kuncup sel epitel yang disebut bulbus
sinoutrikular pada pria terbentuk dari sinus urogenital dekat ujung duktus
Wolffian dan tumbuh ke dalam, menyatu dengan tuberkulus Mullerian medial
membentuk sinoutricular cord dalam kelenjar prostat, lalu membentuk kanal
utrikel prostat.
Skrotum merupakan struktur pendukung untuk testis, terdiri dari kulit longgar dan
lapisan subkutan yang menggantung dari pangkal penis. Secara eksternal, skrotum itu
tampak seperti satu kantong kulit yang dipisahkan ke bagian lateral oleh punggungan
median yang disebut raphe. Secara internal, skrotum terbagi menjadi dua kantung oleh
septum, masing-masing berisi satu testis. Septum terdiri dari lapisan subkutan dan jaringan
otot yang disebut otot dartos, yang terdiri dari kumpulan serat otot polos. Otot dartos juga
ditemukan di lapisan subkutan dari skrotum. Otot kremaster merupakan serangkaian pita
kecil otot rangka yang turun sebagai perpanjangan otot oblik internal melalui spermatic
cord untuk mengelilingi testis.
Mengeluarkan prostaglandin
yang merangsang motilitas untuk
membantu transpor sperma di
dalam saluran reproduksi.
a. Biosintesis Testosteron
Sumber: Brunton, Laurence L., et al. 2011. Goodman & Gilman's The
Pharmacological Basis of Therapeutics 12th ed. USA: McGraw-Hill
Companies.
b. Metabolisme Testosteron
Testosteron juga dapat memberikan efek pada bentuk metabolit
aktifnya yaitu dehidrotestosteron (DHT) dan estradiol. Metabolisme
testosterone menjadi dehidrotestosteron dikatalisis oleh enzim 5a-reduktase
dan metabolism menjadi estradiol oleh enzim aromatase.
Dehidrotestosteron dan testosterone memiliki reseptor yang sama yaitu
androgen reseptor. Untuk dehidrotestosteron apabila berikatan dengan
reseptornya akan memberikan efek yaitu pada daerah genitalia eksternal,
menyebabkan perkembangan genitalia eksterna pria seperti penis, skrotum,
dan prostat. Lalu perkembangan folikel rambut seperti di wajah, dada, dan
sebagainya. Dan berperan dalam penyakit prostat yang terjadi pada masa
dewasa.
2.3.2 Spermatogenesis
Gambar …
● Mitosis
Pada proses ini, sel spermatogonium pada membran basal akan membelah menjadi
dua sel diploid, dan salah satu sel bergerak ke arah lumen sementara yang lainnya
akan tetap berada di membran basal.
● Meiosis 1
Pada proses ini, sel hasil belahan spermatogonium (sekarang disebut spermatosit
primer) membelah menjadi dua sel diploid yang masih terhubung, disebut
spermatosit sekunder.
● Meiosis 2
Pada proses ini, spermatosit sekunder keduanya membelah menjadi empat sel
haploid, yang masih terhubung.
● Spermiogenesis
Keempat sel haploid mulai memisah sendiri dan berkembang menjadi spermatid,
dan menjadi sperma.
● Spermiasi
Penyimpanan sperma
Kapasitasi sperma
Sperma
Gambar ...
Sperma memiliki panjang sekitar 60𝜇m, terdiri dari bagian kepala dan ekor yang
dihubungkan oleh leher. Bagian kepala terdiri dari nukleus dan akrosom yang mengandung
enzim untuk melewati bagian luar sel telur, seperti protease dan hialuronidase. Bagian leher
terdiri atas sentriol yang memanjang untuk menghubungkan bagian leher sampai ekor. Pada
bagian middle piece, terdapat mitokondria dalam susunan spiral sebagai sumber ATP
sperma. Sperma tidak dapat memproduksi makanan sendiri, dan bergantung kepada gizi
dari cairan sekitarnya, yaitu fruktosa. Sperma dapat bertahan pada organ reproduksi wanita
sekitar 48 jam.
Ada 4 fase siklus respon seksual pada pria yaitu fase eksitasi, plato, orgasme, dan
resolusi.
Sebagian besar jaringan penyusun penis adalah jaringan erektil. Pada kondisi
normal,, jaringan erektil hanya mengandung sedikit darah karena arteriol yang mensuplai
ruang vascular jaringan erektil mengalami vasokonstriksi. Akibatnya, penis tetap dalam
kondisi mengecil. Ketika ada rangsangan, saraf parasimpatis memproduksi dan melepaskan
nitritoksida (NO). NO menyebabkan dinding arteriol berelaksasi, sehingga pembuluh darah
berdilatasi dan darah dalam jumlah besar dapat masuk. Selain itu, pembuluh darah yang
mendarahi jaringan erektil tertekan secara mekanis akibat pembengkakan dan ekspansi
ruang vaskular, sehingga menghambat aliran darah keluar. Hal ini menyebabkan penis
membesar dan tegang, serta mampu bertahan dalam kondisi ereksi selama selang waktu
tertentu.
Saat otot polos kavernosal mengalami relaksasi, aliran darah ke penis meningkat
sehingga darah terkumpul di ruang kavernosus. Hal ini menyebabkan pada pembengkakan
penis. Corpora cavernosa yang mengembang menekan venula terhadap tunica albuginea
yang kaku, membatasi aliran keluar vena dari ruang kavernosal. Hal ini menyebabkan
darah terjerat pada sinus kavernosal sehingga dapat memberikan kekakuan pada penis yang
ereksi.Selama ereksi, relaksasi otot polos trabekuler dan peningkatan aliran darah
menyebabkan pembengkakan ruang sinusoidal di korpora cavernosa. Sinusoids akan
mengembang dan mengalami ekspansi ke tunica albuginea sehingga dapat menekan aliran
balik vena sehingga darah yang keluar dari pembuluh vena akan berkurang. Peningkatan
tekanan parsial oksigen pembuluh (PO2) (dari mulanya 35 mmHg hingga sekitar 90 mmHg)
dan tekanan intrakavernosa (sekitar 100 mmHg), peningkatan tekanan ini menyebabkan
penis terangkat dari posisi tergantung menjadi keadaan ereksi (full-erection phase).
Peningkatan tekanan lebih lanjut (mencapai beberapa ratus mmHg) mengakibatkan
kontraksi otot ischioca vernosus (rigid-erection phase).
Ereksi melalui dua jalur, yakni dengan mestimulasi saraf parasimpatis (di
reseptor M3) atau menginhibisi kerja saraf simpatis (di reseptorα1). Saraf parasimpatis
adalah saraf yang berperan dalam proses vasodilatasi sementara saraf simpatis adalah
sebaliknya. Stimulus yang berasal dari otak (non fisik) akan menstimulasi saraf
parasimpatis, sementara stimulus berupa sentuhan pada bagian glans penis yang memiliki
banyak mekanoreseptor sensitive akan menyebabkan stimulasi saraf parasimpatis dan
inhibisi saraf simpatis. Kedua jalur stimulus ini akan mengakibatkan vasodilatasi arteriol,
menyebabkan penis ereksi, lalu ereksi akan menekan pembuluh vena di sekitarnya sehingga
aliran darah terhambat dan ereksi dapat bertahan lebih lama.
Penjelasan terkait mekanisme ereksi juga dapat ditinjau dari sisi biomolekulernya.
Saraf parasimpatis (kolinergik) menghasilkan asetilkolin yang berikatan dengan reseptor
dalam selendotel yang memicu peningkatan konsentrasi inositol trifosfat dan menyebabkan
konsentrasi Ca2+ meningkat. Ca2+ menstimulasi aktivasi endothelial nitric oxide synthase
(eNOS) yang berperan dalam proses sintesis nitric oxide (NO) dari prekursor L-Arginine
dan O2. NO yang telah disintesis masuk ke dalam sel otot polos pada pembuluh darah penis
dan menstimulasi aktivasi guanylyl cyclase untuk mengubah GTP menjadi cGMP. cGMP
teraktifasi lebih lanjut menjadi cGMP specific protein kinase yang mengakibatkan
terjadinya pembukaan kanal kalium, inhibisi kanal kalsium, dan peningkatan penyerapan
kalsium intraseluler oleh reticulum endoplasma. Asetilkolin juga akan menempel di
resepttor pada otot polos sehingga akan memicu teraktivasiny adenilil siklase. Adenilil
siklase yang teraktivasi akan mengubah ATP menjadi cAMP sehingga terjadi aktivasi
cAMP spesifik protein kinase yang mengakibatkan terjadinya pembukaan kanal kalium,
inhibisi kanal kalsium, dan peningkatan penyerapan kalsium intraseluler oleh reticulum
endoplasma.. Penurunan kadar kalsium menyebabkan kepala miosin terlepas dari aktin.
Lepasnya kepala miosin dari aktin menyebabkan relaksasi otot polos mengakibatkan
pembuluh mengalami vasodilatasi dan terjadi
Ada 3 saraf yang berperan dalam mekanisme molekular relaksasi otot polos pada
penis yaitu saraf parasimpatis, saraf simpatis dan saraf nonadrenergik nonkolinergik. Saraf
parasimpatis yang akan teraktivasi hingga menyebabkan relaksasi oto polas, saraf simpatis
akan diinhibisi sehingga tidak terjadi kontraksi smooth muscle cell, dan saraf
nonadrenergik nonkolinergik akan melepas neurotransmitternya ke sinaps hingga
menyebabkan NO keluar. NO ini yang akan masuk ke sel otot polos dan mengaktivasi
guanilil siklase dan adenilil siklase sehingga menyebabkan vasodilatasi.
Ejakulasi merupakan peristiwa ekspulsi semen dari penis ke lingkungan luar tubih. Respon
ejakulasi dipicu oleh stimulus yang juga memicu resoon ereksi. Apabila stimilus ini
tellhmelewari suatu treshold maka respon ejakualsi akan terjadi. Respon ejakualsi terdirj
dari 2 fase :
A. Fase emisi
Pada fase inj terjadi kkntraksi otot polos pada prostat, duktus reproduksi dan vesikula
seminalis. Kontraksi ini memicu ejeksi daei sekret prostatik, serta cairan vesikula seminalis
dari vas deferene menuju urertra. Sekret prostatik mengandung spertamozoa, fosfatase, zn,
serra asam sitrat. Cairan vesijula seminalis emngandung prostaglandin dan fruktosa.
Bersama-sama xairan inj disebut semen. Selama proses jnj sfingter pada kantung kemih
terrutup untuk mencegah masuknya semen menuju kantung kemih. Fasw ini diinedvasi
oleh saraf simpatis parasimpatis, dari plexus pelvis.
B. Fase ekspulsi
Pada fase ini terjadi ekspulsi semen dari uretra meuju lingkungan luar tubuh. Hal Ini dipicu
oleh kontraksi ritmikal daei otot bulbospongiosa dan ischeocavernosa serta pelvic floor
muscle. Kontraksi selama 0,8 s menyebabkan peningkatan tekanan di dalam penis, pada
saat yang bersamaan sfingter uretra tebuka, semen mengalami ekspulsi dari dalam uretra.
Ejakulasi pada pria erst dikaitkan dengan orgasme yaitu respon sistemik yang menandakan
kepuasan seksual. Respon ditandai dengan ciri-ciri seperti peni gkatam detak jantung,
pernafasan yang berat, serta kontraksi otot skeletal.
Respon ejakulasi dikoordinasi oleh area sensori pada organ yang berkaitan serta divisi
simpatis, parasjmpatis dan motorik dari tulang belakang. Regulasi respon ini diatur pada
tulang belakang dan otak. Perhatikan ilustrais berikut :
A. Spinal network
Segmen sakral, torakal, serta lumbar pada tulang belakang memaikan peranan yang penting
dalam pengaturan repson ejakualsi. Segmen ini menerima jnput sensorik dari genital,
mwngintehrsasilannya, meneruskan ke otak, serta mwngubahnnya menjadi output yang
diinginkan. Beeikut emeupakan pathway pengaturan pada tulang belakang :
1. Afferent pathway
Pada penis, dan testis terdpat reseptor krause finger corpsucle yang
merupakan reseptor mekanis. Reseptor ini mendeteki stimulus fisik dan
taktikal. Input kemudian akan dibawa oleh saraf pudendal menuju swgmen
sakral dan lumbar dari tulang belakang. Jalur afferent lain adalah melalui
saraf sensorik dari plexus hipogastrik menuju segmen thoracolumbar dari
tulang belakng. Saraf sensori akan diterminasi pada bagian medial dorsal
horn dan dorsal grey commisure pada tulang belakang.
2. Efferent pathway
B. Brain network
Terdapat area-area tertentu pada otak yang menjadi lebih aktif pada saat aktivitas wjakulasi
maupun ejakulasi. Area-area rersebut adalah thalamus, hopothalamus, midbeain beserta
pons. Penelitian relah mwnunjukkan adanya pwninglatam aliran darah pada area-area
tersebut pada saat aktivitas seksual. Hal ini disebabkan karena adanya strujktur pada area
tersebut yang berperan mengatur respon ejakulasi. Struktur-struktur tersebut adalah :
Terdapat banyak neurotransmitter yang teelibat dalam oroses ejakulasi, diantatanya ada
oksitosin, GABA, asetilkolin, adrenalin, NO, dopamine, serta serotonin. Berbagai studj
telah menunjukkan abhwa 2 hormon terakhir memainkan peranan yang besar dalam respon
ejakulasi. Berikut epmbahasannya :
A. Serotonin
Serotonjn banyak ditemukan pada area otak Terutama apda area hipoothalamus dan
bainstem yang mwngatur espon ejakualsi. Serotonjn juga disekresikan apda tulang
belakang serotoni banyak disekresikan apda dorsal horn, dan bentral horn.
Terdapat 3 subfamili dari reseptor serotonin yang terlibat dalam respon ejakulasi. Ketiga
jenus reseptor ini tersebar pada somatodentdriktik, pre maupun post sinaps dari neuron
serotogenik pada sistem saraf. Berikut opembahasannya:
1. Reseptor 5-HT1A
Reseptor ini banyak ditemukan pada median raphe nucleus pada otak dan pada
dorsal horn tulang belakang. Aktivasi reseptor inj menyebabkan penurunan
firing dari neuron serotogenik, dengan begitu lebih ssdikit serotonin yang
dilepaskan, hal ijj menyebabkan efek proejakukatori.
2. Reseptor 5-HT1B
3. Reseptor 5-HT2C
Sama seperti reseptor dia tas aktivasi reseptor ini memberikan efek inhibitpri
terhadap respon ejakulasi. Reseptor inj banyam terdapat apda area hipothalamus
dan lumbosakral.
Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat reseptor seritonjn oada area perifer
seperti pada prostat, vesikula seminalis, serta vas deferens . Akan tetapi hal inj oerlu diteliti
lebih lanjut.
Ketiga reseptor di atas masuk dalam keluarga GCPR ( G coupled protein receptor
). Reseptor 5-HT1A-F bekerja dengan rute inhjbisi adenilil siklse, dengan begitu
terjadi inhibisj response selular yang trrkait dengan aktuvasi PKA dan Epac.
Reseptor 5-HT2C bekerja dengan rute aktuvasi PLA2, dengan begitu meningktatkan
kadar asam arachidonat intraselular. Selain itu juga terjadi aktivasi jalur PLC yang
kemudian meningkatkan kadar PKC kan ikn Ca2+ .
Namun perlu dikatahui bahwa ksdua reseptor tersebut memiliki fungsi sekunder
yaotu sebagai autoregulator sekresi serotnin, agar tidak terjadi overaktivitas
reseptor serotonin. Aktivasi 5-HT1A juga mengaktivasi kanal io kalium GIRK yang
menyebabkan destabilisasi membran dengan begitu firing akan terhambat dan tidak
terjaid pelepasan neurotransmittrr pada sinaps neuron presj aptik. Selain itu juga
terdapat SERT yang akan mereuptake serotonin daei sinaps agar tidak terjadi
overstimulasi. Perhatikan ilustrasi berikut :
B. Dopamine
Dopamine merupakan neurotransmitter yang disintesis dari asam amino tirosine. Tirosin
pertama-tama akan dihidroksilasi menjadi L-DOPA oleh tirosin hidroksilase. L-DOPA
kemudian akan dikonversi emnjadi dopamine dengan enzim L-aromaric amink acid
ddcarboxylase . Dopamine kemudian akan disimpan dalam vesikel pada neuron
dopaminergik. Pelepasannya kemudian dopicu oleh peningkatan kadar ion Ca2
Telah diketahui bahwa dopamine memberikan efek proejakulasi. Hal inj terlihat dri efdk
afrodisiak yang timbul pada pasien parkinson yang diobari dengan DOPA.
Reseptor daei dopamjne merupakan subfamilia dari gllongan GCPR. Berikut merupakan
be erapa subgsmili darj reseptor dopamjne :
1. Reseptor D1
Reseptor jni vanyak terdapat pada sistem limbik, thalamus ( area PAG,PVN ) ,
serta hipothalamus. Hipotesis menunjukkan bahwa reseptor inj juga mengatur
emisi seminal. Reseptor ini memberikan efek proejakulasi.
2. Reseptor D2
Reseptor inj banyak diekspresjkan pada hipthalamus ( MPOA ), nucleus
accumbene, dsb. Reseptor inj juga banyak ditemukan pada pusat-pusat
ejakulatori seperti MPOA, BNST, dan PAG. Akrivasi reseptor jnj memberikan
efek proejakulatori.
3. Reseptor D3
Juga terdapat reseptor D4, tetapi beluma da data yang mengkaitkan hubungan
reseptor ini dengan respon ejakulatori. Reseptor D1 dan D2 juga dihipotesiskan
berada di vesijula seminalis manusia dan tikus, tetapi hal inj amsih perlu
dikonfirmasi.
A. NO
B. Oxitocin
C. Prolaktin
Hormon inj memberilan efek inhibitori oada respon ejakualsi. Hal ini
ditunjukkan menurunnya gairah seksual psda pasien yang mengalami
hirprolaktenimia, hal ini kemjngkjnan lkarena prolaktinmenginhibisi sintesis
dopamine. Tetapi hal ini perlu diteliti lagi
D. Hormon tiroid
Hormon thyroxin diketahui memberikan efek proejakulatori. Hormon inj
menjngkatkan kontraksi daei otot bulbospongiosus dan vesikula seminalis.
E. Estrogen
F. Testosteron
Kesimpulan
4. Impuls dari otak kemudian akan dibawa meuju tulang belakang dan
diterusnya oleh saraf efferennya. Hal ini kemudian akan meicu klnrraksi dari
struktir-struktur yang terljabt dalam proses ejkulasi seperti prostat, vesikel
seminal, cas deferensm, dll.
2.6 Disfungsi Ereksi
Korpora Cavernosa mengandung jaringan sel-sel otot polos dan sel-sel endotelial
yang dikelilingi dengan expansible tunika albuginea. Rongga sinusoid bervolume
kecil saat istirahat karena sel-sel otot polos berkontraksi secara tonik. hal tersebut
ditunjukkan pada Panel A. Dengan adanya stimulasi, sel otot (smooth muscle cell)
menjadi rileks, yang memungkinkan sinusoid untuk engorge atau membengkak
dengan adanya darah sehingga menyebabkan penis menjadi tumesent
(membengkak). ketika sinusoid mengembang, lalu menekan pleksus vena subtunis,
hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya ereksi yang ditunjukkan pada panel B.
Jika relaksasi dari smooth muscle cell tidak tercukupi (misalkan akibat kurangnya
Nitrite Oxide endogen yang berkaitan dengan penyakit-penyakit endotelium) dan
menyebabkan menurunnya pemenuhan sinusoid, jumlah sel otot polos yang tidak
memadai (akibat dari apoptosis sel dari diabetes atau neuropati), atau degenerasi
tunikal, lali kompresi yang tidak memadai dari vena subtunis, dapat menyebabkan
disfungsi ereksi (Panel 3).
1) Insufisiensi Arterial
Dalam kasus ini, untuk mempertahankan rigiditas ereksi,
bergantung pada tekanan intrakavernosal yang tinggi, maka
gangguan yang memengaruhi aliran darah berkaitan dengan
terjadinya disfungsi ereksi. Adangan penyumbatan/penyempitan
arteri pudenda interna dapat mengurangi perfusi aliran darah ke
korpora yang akan mengakibatkan kegagalan untuk mencapai
rigiditas dalam ereksi.
2) Venous leakage
Salah satu faktor yang dapat menentukan terjadinya ejakulasi dini adalah
Intravaginal Ejaculatory Latency Time (IELT) yang merupakan ukuran lamanya
waktu dari penetrasi hingga terjadinya ejakulasi. Pada IELT, tidak ada standar
waktu pastinya karena tidak ada definisi ejakulasi dini yang didasarkan pada data
normatif, sehingga masih berupa rentang, yaitu sekitar 1-7 menit. Menurut
Gebhard, rata – rata waktu ejakulasi normal berkisar antara 4-7 menit. Apabila
kurang dari 4 menit, dapat dianggap mengalami ejakulasi dini.
2.7.3.1 Psychorelational
2.7.3.2 Endokrin
b. Jalur serotoninergic
c. Parakrin
2.7.3.3 Urologis
a. Kepercayaan diri
b. Hubungan terhadap pasangan
c. Kesehatan mental (kecemasan, perasaan malu, dan depresi)
A. Abnormalitas Sperma
● Oligospermia
● Azoospermia
● Teratospermia
Volume 2-4 mL
pH 7,2 – 7,8
hidup
Motility ≥ 32%
B. Varicocele
Struktur testicular vein yang kiri lebih lurus dan lebih panjang maka
tekanan darah ke bawahnya lebih kuat. Testicular vein yang kiri terhubung
dengan vena ginjal yang kiri sehingga arteri menuju usus akan meremas
renal vein yang kiri menyebabkan darah mundur kembali di vena testicular
yang kiri. Keadaan ini disebut nutcracker syndrome. Maka, varicocel akan
terbentuk di pampiniform plexus kiri sehingga darah berkumpul di sana dan
mengakibatkan jadi bengkak. Darah yang berkumpul di pampiniform plexus
kiri akan meningkatkan suhu disekitar testis sehingga menurunkan produksi
sperma dan testosteron di testis.
● Primary Hypogonadism
● Secondary Hypogonadism
E. Kelainan Kongenital
1. Hipospadia
Burried penis termasuk dalam anomali kongenital langka yang memiliki dua
komponen penyebab yaitu penebalan abnormal lemak prepubic dan disgenetik
dartos fascia yang menambatkan penis dan menariknya ke dalam. Orang dewasa
dengan buried penis umumnya mengalami obesitas dan memiliki riwayat trauma
atau operasi. Terdapat hubungan yang diamati dengan diabetes mellitus, yang dapat
memperburuk proses patologis.
3. Mikropenis
4. Fimosis
Fimosis didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk menarik kembali kulit
(kulup) yang menutupi kepala (glands penis). Fimosis muncul seperti cincin yang
ketat atau seperti karet gelang kulup disekitar ujung penis sehingga menghambat
retraksi secara penuh.
a. Fisiologis
Anak-anak dilahirkan dengan kulup ketat saat lahir dan pemisahan terjadi
secara alami dari waktu ke waktu. Sehingga fimosis fisiologis dapat sembuh
dengan pertambahan usia.
b. Patofisiologis
Fimosis yang terjadi karena jaringan parut, infeksi atau peradangan. Kuatnya
kulup retraksi dapat menyebabkan perdarahan, jaringan parut, dan trauma
psikologis bagi anak dan orang tua. Jika terdapat balon pada kulup saat buang
air kecil, kesulitan dengan buang air kecil, atau infeksi, maka harus segera
mendapatkan pengobatan. Kebersihan yang buruk dan episode berulang dari
balanitis menyebabkan munculnya jaringan parut dari lubang preputia, dan
menyebabkan fimosis patofisiologis. Pada orang tua fimosis dapat muncul
akibat hilangnya elastisitas kulit dan jarangnya ereksi.
5. Parafimosis
6. Hernia Inguinalis
Seks terapi yang digunakan untuk ejakulasi dini meliputi behavioral program yang
didesain untuk meningkatkan kontrol diri. Langkah awal yang biasanya digunakan adalah
edukasi dimana penting bagi para pasangan untuk mengetahui akar permasalah, daripada
asalnya, serta prognosis sehingga didapatkan solusi yang memuaskan. Teknik pendekatan
tingkah laku yang paling umum adalah squeeze technique yang dikenal dengan start and
stop. Teknik ini membutuhkan kesabaran serta komitmen untuk menyelesaikan masalah.
Dengan adanya instruksi dari terapis, pasien dapat memulai latihan masturbasi untuk
mengetahui pola ejakulasi dan mendapatkan kontrol.
Langkah kerja dari squeeze technique ini menekan batang penis di antara jari jempol
dan dua jari. Pria atau pasangannya dapat mengaplikasikan tekanan lembut di bawah kepala
penis selama 20 detik lalu hubungan seksual dapat dilanjutkan. Teknik ini dapat diulang
sesering mungkin jika penting. Jika teknik ini sukses, hal ini memungkinkan pria untuk
mendapatkan kontrol ejakulasi tanpa penekanan. Terapi tingkah laku dapat membantu pria
yang menderita ejakulasi dini sebanyak 60-90%.
Stresss tidak identic dengan ansietas. Adanya kerusakan pada hypothalamus pituitary
adrenal (HPA)-axis dengan kenaikan level dari kortisol pada pria dengan PE belum
dipublikasikan, tetapi ada indikasi bahwa pria dengan PE, memiliki penurunan volume dari
hipokampus. Pengobatan dari PE untuk area otak belum diketahui dan akan diteliti lebih
lanjut. Adanya asosiasi dari neurobiological dari PE dengan stress, meditasi, proses
kognitif, dan antidepresan harus diteliti lebih lanjut.
Yoga memiliki efek yang baik untuk fungsi reproduksi karena menurut Schimid et al,
terdapat reduksi ekskresi urin dari adrenalin, noradrenalin, dopamine, dan aldosterone,
yang dapat menurunkan level hormone testosterone dan LH dan meningkatkan sekresi
kortisol yang dapat menyebabkan perubahan pada hormone. Kamei et al, menyebutkan
bahwa terjadi perubahan pada gelompang otak selama melakukan yoga dan terjadi
peningkatan gelombang alfa dan penurunan serum kortisol.
Karena penderita penderita diabetes serta hipertensi memiliki prevalensi yang tinggi,
maka kita juga perlu melakukan intervensi kepada 2 penyakit tersebut melalui yoga dengan
mekanisme :
a. Untuk penderita hipertensi → adanya efek yang menguntungkan pada fungsi
neurological otonom, karena kerusakan pada sensitivitas barorefleks dapat menjadi
faktor utama penyebab hipertensi. Mempraktikan yoga dipercaya mampu
merestorasi sensitivitas dari baroreseptor sehingga dapat menyebabkan penurunan
darah pada pasien yang berpartisipasi dalam yoga.
b. Untuk penderita Diabetes Mellitus à Yoga dapat digunakan untuk pasien yang
menderita NIDDM (Non Insulin Dependant Diabetes Mellitus). Pada pasien yang
melaksanakan yoga, terjadi penurunan hiperglikemia melalui tes toleransi fluktosa.
Tetapi, mekanisme dari anti-glikemia belum dideskripsikan secara pasti.
Mekanisme yang mungkin terjadi adalah adanya modulasi neurohormonal pada
insulin dan glukagon.
3. Kondom
Menggunakan vacuum constriction device. Alat ini bertujuan untuk membantu dan
mempertahankan ereksi dengan cara mengisap udara melalui tabung yang dipasang untuk
menarik darah ke penis. Alat ini dapat digunakan apabila Viagra tidak bisa berfungsi lagi
(American Urogical Association).
Gambar 1. Vacuum Constriction Device
3 Bagian dari alat ini terdiri atas tabung plastik, pompa, serta cincin penyempit.
Tabung plastik dapat diletakkan di penis. Pada bagian ujung tabung ditempeli oleh pompa
yang dilengkapi oleh tenaga baterai, selain tenaga baterai, dapat pula digunakan tenaga
manual. Cincin penyempit digunakan di pangkal penis yang ereksi. Vacuum Constriction
Device dapat digunakan dengan cara : mengoleskan gel larut air ke batang penis.
Pengolesan gel ini bertujuan agar tabung kedap air. Lalu tempatkan penis ke dalam tabung.
Lakukan Pemompaan agar penis menegang dan terisi dengan darah. Adanya pompa ini
dapat memproduksi vacuum pressure yang membawa darah arteriolar ke copora cavernosa.
Biasanya dibutuhkan 10-20 menit agar ereksi sempurna. Lakukan penempatan cincin di
pangkal penis untuk mempertahakan ereksi melalui mekanisme penjagaan darah arteriolar
dengan cara mengurangi aliran vena ke penis. Setelah cincin terpasang, pengguna bisa
mencopot pompa dan memulai aktivitas seksual dengan pasangan
2. Penis Bionik
Terdapat dua tipe dari peile prosthesis, yaitu : noninflatable semirigid devices dan
inflatable devices. Noninflatable semirigid devices terdiri atas batang yang ditanamkan ke
dalam erection chambers dari penis dan dapat dibengkokkan berdasarkan kebutuhan
penetrasi seksual. Tipe penis ini sulit untuk disembunyikan. Alat ini mengandung tabung
inflatable yang diletakkan pada ruang ereksi penis, pompanya diletakkan di skrotum untuk
patient-actived inflation/deflation. Alat ini ditingkatkan dengan cara menekan pompa
beberapa kali untuk mengirimkan cairan dari reservoir ke ruang penis. Setelah melakukan
hubungan seksual, katup yang ada disebelah pompa dioperasikan secara manual, sehingga
memungkinkan pelepasan cairan dari penis sehingga menyebabkan penis kembali ke
kondisi semula.
Nilai yang didapat dari IIEF-EF adalah indikator yang subjektif. Studi sebelumnya
mengungkapkan bahwa Li-ESWT dapat meningkatkan suplai darah, namun mekanisme
yang mendasari hal tersebut masih belum jelas walaupun pada studi in vitro dan hewan,
dapat diidentifikasikan bahwa SWT dapat mempromosikan formasi dari neovaskular pada
jaringan. Dengan adanya peningkatan biomarker angiogenesis, jaringan dapat mengalami
distribusi kembali. Bahkan, studi mengungkapkan bahwa efek ini berkaitan dengan
proliferasi sel, regenerasi jaringan, dan angiogenesis.
2.9.3 Infertilitas
Kriteria pasien yang dapat obstruksi kongential, sudah vasektomi <5 tahun
sebelumnya. Metode vasal aspiration merupakan metode paling matang karena
melewati epididimis
b. Epididymal aspiration
Pada metode ini, sperma yang dihasilkan tidak sematang vasal aspiration sehingga
membutuhkan ICSI untuk membuahi telur. Sperma dikumpulkan dari tubulus
epididimis terisolasi tunggal/dengan tusukan jarum seperti prosedur vasal.
c. Testicular Sperm Exctraction
Kriteria pasien untuk metode ini adalah pasien dengan produksi sperma yang
sedikit, pasien yang mengalami penyumbatan epididimis. Metode ini dilakukan
dengan cara mengambil sejumlah kecil testis melalui biopsi. Terdapat beberapa
kelemahan yang dicirikan oleh metode ini yakni diperlukan prosedur berulang.
1. Fosfodiesterasi Inhibitor
Fosfodiesterase inhibitor merupakan terapi lini pertama dari disfungsi ereksi karena
efektivitas, rute administrasi yang nyaman, dan efek samping yang rendah. Terapi
ini tidak diindikasikan bagi yang memiliki fungsi ereksi normal. Mekanisme kerja
dari obat ini adalah dengan menghambat fosfodiesterase 5 (PDE5) sehingga dapat
mengurangi katabolisme cGMP. Dengan terhambatnya katabolisme cGMP ini
maka protein kinase akan teraktivasi dan terjadi relaksasi otot polos.
Contoh obat golongan ini adalah sildenafil, tadalafil, dan vardenafil. Obat-obat ini
juga memiliki efek samping secara umum antaralain sakit kepala, kemerahan akibat
efek vasodilatasi, hidung tersumbat, dispepsia (gangguan pencernaan), hidung
tersumbat. dan pusing. Selain itu, obat-obat ini memberikan efek samping karena
berikatan dengan fosfodiesterase lain.
Obat-obat ini juga memiliki interaksi dengan obat lain, yaitu pemakaian
bersamaan dengan obat nitrat dapat menyebabkan hipotensi yang parah. Karena
organic nitrat merupakan produk penyebab hipotensi dan nitrat oksida merupakan
donor nitrat oksida yang dapat menstimulasi aktivitas guanil atsiklasi dan
meningkatkan kadar cMP dalam plasma dan menyebabkan vasodilatasi. Oleh
karena itu, untuk menghindari efek samping, penggunaan organic nitrat harus
ditahan 24 jam setelah pemakaian sildenafil/vardenafil dan 48 jam setelah
pemakaian tadalafil. Selain interaksi dengan obat, interaksi dengan lemak pada
makanan juga mempengaruhi sildenafil dan vardenafil dimana dapat menurunkan
laju absorpsi obat. Maka dari itu, sildenafil dan vardenafil baik digunakan sebelum
makan (saat perut kosong).
Viagra merupakan nama dagang dari sildenafil. Dosis penggunaan obat ini
yaitu 25-100 mg dengan onset aksi mencapai 0,5-1 jam sehingga penggunaannya
sekitar satu jam sebelum hubungan seksual.
3. Alprostadril
a. Alprostadril Intracarvenosal
Obat ini digunakan dengan dosis 10-20 mcg dan dosis maksimal 60
mcg. Penggunaannya yaitu sehari sekali tidak lebih dari 3 kali seminggu,
diinjeksikan ke dalam cavernosal 5-10 menit sebelum berhubungan. Efek
samping dari obat ini adalah sakit pada penis, priapisme, hematoma, dan
memar pada lokasi injeksi.
b. Alprostadril Intraurethral
Obat alprostadril digunakan dengan dosis 125-1000 mcg.
Penggunaan obat ini tidak lebih dari 2 kali sehari; 5-10 menit sebelum
berhubungan. Efek samping yang terjadi yaitu sakit pada uretra, priapisme,
dan kehilangan kesadaran (syncope). Pada pasangan wanita mungkin akan
mengalami rasa terbakar, gatal, atau nyeri pada vagina.
Terapi farmakologi untuk ejakulasi dini dibagi menjadi tiga yaitu anastesi
lokal, Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), dan antidepresan trisiklik.
1. Anestesi Lokal
Terapi ini merupakan terapi dengan resiko terendah, bekerja cepat dan tidak
memiliki kontraindikasi yang berarti dalam penggunaan tersendiri atau dikombinasi
dengan obat lain. Anestesi lokal dapat mengurangi sensitivitas penis sehingga
mengurangi kepekaan terhadap rangsangan dan menunda ejakulasi.
Contoh dari obat anestesi lokal pada umumnya adalah Lidokain 2,5% dan
Prilokain 2,5% dengan dosis sebesar 0,2 gram (gel). Namun obat anestesi juga
sedng berkembang dalam bentuk sediaan spray anestesi dan kondom. Efek samping
dari obat ini adalah mati rasa pada penis/ vagina (dapat dicegah dengan penggunaan
kondom), iritasilokal, dan disfungsi ereksi sementara.
SSRI generasi lama akan memberikan efek nyata setelah dikonsumsi 20 hari
(3 minggu), bila digunakan sesaat sebelum aktivitas seksual efeknya kurang terasa
sedangkan SSRI generasi baru, dapoxetine, dapat memberikan efek nyata setelah
dikonsumsi 1-3 jam. Perbedaan waktu mencapai efek nyata ini salah satunya
disebabkan oleh laju absorpsi dan eliminasi dapoxetin yang cepat.
3. Antidepresan Trisiklik
Antidepresan Trisklik merupakan golongan obat antidepresan, memiliki
aktivitas seperti SSRI, namun tidak selektif menghambat reuptake 5HT saja, tetapi
juga menghambat reuptake Norepinefrin (NE) sehingga kerjanya lebih efek tidi
banding SSRI, contoh: Clomipramine (Anafranil).
Terapi infertilitas umumnya sama, yaitu dengan terapi hormon, baik dengan
pemberian GnRH atau dengan pemberian obat terapi hormon bentuk lain. Penyakit
penyebab infertilitas pada pria paling utama adalah hypogonadotropic
hypogonadism.
1. Hypogonadotropic hypogonadism
Penyebab lain dari infertilitas pada umumya dapat diatasi dengan terapi hormon,
yaitu dengan pemberian GnRH dalam bentuk injeksi maupun oral, obat-obatan
bersifat SERM (selective estrogen receptor modulator), dan aromatase inhibitor.
1. terapi GnRH
Obat yang diberikan berupa GnRH agonist. Obat berikatan dengan reseptor
GnRH yang terletak pada bagian anterior pituitary, menyebabkan
pelepassan FSH dan LH. Akibatnya, produksi testosteron meningkat,
spermatogenesis meningkat dan produksi sperma tercukupi. Namun,
penggunaan jangka panjang dapat menekan produksi LH. Contoh dari obat
ini adalah leuprolide.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
pada dasarnya terdapat beberapa gangguan pada sistem endokrin pada pria,
diantaranya adalah disfungsi ereksi, ejakulasi dini dan infertilitas. kemungkinan besar
gangguan tersebut adalah berupa penurunan hormonal sehingga bukan suatu masalah
apabila gangguan tersebut berupa kenaikan hormonal. Namun pada kasus tertentu sistem
saraf dan peredaran darah memiliki peran yang penting dalam sistem reproduksi pria.
Disfungsi ereksi merupakan ketidakmampuan pria untuk mencapai atau mempertahankan
ereksi, ejakulasi dini adalah hipersensitivitas terhadap rangsangan yang menyebabkan
ejakulasi sedangkan infertilitas adalah ketidakmampuan atau penurunan kemampuan
menghasilkan keturunan. Untuk mengatasi masalah ini, tersedia berbagai terapi
farmakologis dan nonfarmakologis yang dapat menjadi pilihan yang disesuaikan dengan
gejala dan kondisi yang dimiliki oleh pasien. Tujuan dari terapi ini adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan tercapainya hubungan yang memuaskan.
3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini, para penulis memiliki banyak kekurangan dalam
kelengkapan materi. Kami menyarankan agar di masa depan dalam penulisan kami dapat
melengkapi makalah yang kami buat dengan lebih baik dan memuaskan bagi
pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Brunton, Laurence L., et al. 2011. Goodman & Gilman's The Pharmacological
Basis of Therapeutics 12th ed. USA: McGraw-Hill Companies.
Cahn, B.Rael, Polish, Jone. (2006). Meditation States and Traits: EEG, ERP, and
Neuroimaging Studies. Psychological Bulletin : San Diego.
Gardner, D. G., Shoback, D. M., & Greenspan, F. S. (2007). Greenspan's basic &
clinical endocrinology. New York: McGraw-Hill Medica
Hines, M., et al. (2016). The early postnatal period, mini-puberty, provides a
window on the role of testosterone in human neurobehavioural development. Current
Opinion in Neurobiology, 38, 69–73. doi:10.1016/j.conb.2016.02.008.
Holfeld J., Zimpfer D., Albrecht-Schgoer K., Stojadinovic A., Paulus P., Dumfarth
J., … Grimm M. (2016). Epicardial shock-wave therapy improves ventricular function in a
porcine model of ischaemic heart disease. Journal of Tissue Engineering and Regenerative
Medicine, 10(12), 1057–1064. doi:10.1002/term.1890
Manjunatha S, Vempati RP, Ghosh D, Bijlani RL. An investigation into the acute
and long-term effects of selected yogic postures on fasting and postprandial glycemia and
insulinemia in healthy young subjects. Indian J Physiol Pharmacol. 2005;49:319–
Sabanegh Jr, Edmund, and Agarwal, Ashok. (2012) "Male Infertility." Campbell-
Walsh Urology. 10th ed. Saunders Elsevier; Philadelphia
Samplaski, M., & Sabanegh, E. (2013). The semen analysis. In L. Applegarth, R. Oates, &
P. Schlegel (Authors) & J. Mulhall (Ed.), Fertility Preservation in Male Cancer Patients
(pp. 23-34). Cambridge: Cambridge University Press.
doi:10.1017/CBO9780511997761.003