Anda di halaman 1dari 86

MAKALAH OBAT GANGGUAN ENDOKRIN DAN SALURAN CERNA

SISTEM REPRODUKSI PRIA

Disusun oleh:

Kelas B - Kelompok 4

Aditia Budiman 1706034275 Puteri Almadhiya S. N. 1706034426

Anggi Maulida Dewi 1706034193 Putu Fancia Utari Sunny 1706034552

An’nisa Safitri 1706078655 Puji Fitria Noviyani 1706078535

Dinda Restu Anggita 1706974372 Raihani Putri Dayati 1706033966

Disqi Fahira Maharani 1706078522 Siska Silvany 1706034382

Hariman Aji Ariyanto 1706034703 Savira Rahmadanty 1706034432

Michael Berintan 1706034792 Navany Bilqisthy 1706974542

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, OKTOBER 2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Obat Gangguan
Endokrin dan Saluran Cerna serta untuk memberikan informasi dan penjelasan mengenai
penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kelenjar gonad pada pria dan terapi pengobatan
penyakit tersebut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Obat Gangguan
Endokrin dan Saluran Cerna, Dr. Anton Bahtiar S.Si., M.Biomed., yang telah memberikan
bimbingan sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tidak lupa pula penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah
ini.

Penulis berharap agar makalah ini bisa memberikan informasi serta pemahaman kepada
pembaca terkait mata kuliah Obat Gangguan Endokrin dan Saluran Cerna khususnya
mengenai penyakit terkait kelenjar gonad pada pria dan terapinya. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis meminta maaf
atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.

Depok, Oktober 2019

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………….. i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………....... ii

BAB I : PENDAHULAN…………………………………………………………….... 1

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...... 1

1.2 Rumusan Masalah.………………………………………………………………….2

1.3 Tujuan.…………………………………………………………………………….. 2

BAB II : PEMBAHASAN……………………………………………………………...3

2.1 Organogenesis Sistem Reproduksi Pria...……………………………………….......3

2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi Pria………………………….…….. ... 20

2.3 Regulasi Hormon dan Spermatogenesis……………….…………………………...24

2.4 Mekanisme Ereksi .……………………………….……………………………….. 27

2.5 Mekanisme Ejakulasi ………...…………………………………………………....30

2.6 Disfungsi Ereksi……....…………………………………………………………... 39

2.7 Ejakulasi Dini.………………………………………………………………….... .48

2.8 Infertilitas Pada Pria………………………………………………..……………...57

2.9 Terapi Non-Farmakologis…………………….…………………..………………...61

2.10 Terapi Farmakologis ……………………………………………...………………66

ii
BAB III : PENUTUP.……………………………………………………………..... 75

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….... 75

3.2 Saran……………………………………………………………………………... 75

DAFTAR PUSTAKA..…………………………………………………………….... 76

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Reproduksi adalah kemampuan makhluk hidup untuk menghasilkan keturunan


yang baru. Sistem reproduksi tetap merupakan hal yang esensial dan penting dalam
kehidupan seseorang. Pada makalah kelompok sebelumnya, telah dijelaskan mengenai
sistem reproduksi wanita, maka pada makalah kali ini pembahasan akan lebih terfokus pada
sistem reproduksi pria.

Sistem reproduksi pria terdiri dari organ utama, yakni testis; saluran reproduksi,
yakni epididimis, duktus deferens, dan duktus ejakulatorius; kelenjar seks tambahan, yakni
vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar bolbouretra; dan beberapa struktur
pendukung lainnya, yakni skrotum dan penis. Setelah mengetahui sistem reproduksi pria,
kita dapat memahami spermatogenesis, yaitu sebuah proses kompleks dimana sel
germinativum primordial yang relatif belum berdiferensiasi, spermatogonia berproliferasi
dan diubah menjadi spermatozoa (sperma). Spermatogenesis terdiri dari 3 tahap, yakni
proliferasi mitotik, meiosis, dan pengemasan. Selain hal tersebut, sistem reproduksi pria
juga didukung oleh beberapa hormon, yakni GnRh, FSH, LH, dan testosteron.

Melihat beberapa fungsi dan peran yang esensial dari sistem reproduksi pria ini,
berbagai kondisi seperti adanya gangguan vaskular, saraf, atau hormon dapat
mengakibatkan terciptanya suatu kondisi patologis pada kelenjar gonad pria, seperti
disfungsi ereksi, ejakulasi dini, dan infertilitas. Demi mengatasi permasalahan tersebut,
penting sekali untuk melakukan terapi yang tepat dan sesuai dengan gejala dan kondsi
penyakit gonad yang dialami. Tujuan dari dilakukannya terapi ini diharapkan mampu
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi fisiologis pada sistem reproduksi pria?


2. Bagaimana mekanisme dari proses ereksi? 1
3. Bagaimana mekanisme dari proses ejakulasi?
4. Bagaimana kondisi patofisiologis pada gangguan kelenjar gonad pria (disfungsi
ereksi, ejakulasi dini, dan infertilitas)
5. Bagaimana obat dapat digunakan untuk mengatasi disfungsi ereksi, ejakulasi dini
dan infertilitas pria?

1.3 Tujuan

Melalui rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan dari pembuatan makalah
ini, yaitu :

1. Mengetahui kondisi fisiologis sistem reproduksi pria.


2. Mengetahui patofisiologis gangguan pada sistem reproduksi pria.
3. Mengetahui obat yang digunakan untuk mengatasi gangguan pada
sistem reproduksi pria.

2
BAB II
ISI

2.1 Organogenesis Sistem Reproduksi Pria

Menurut Gilbert (2006) organogenesis adalah proses pembentukan organ


atau alat tubuh. Berawal dari bentuk primitif yang mengalami transformasi dan
diferensiasi menjadi bentuk definitif dengan ciri individu. Pada manusia,
organogenesis atau diferensiasi sistem reproduksi dapat dibagi dalam tiga tahap:

1. Fase sebelum diferensiasi, dicirikan oleh pembentukan gonadal ridge dan


genital primordia yang identik pada embrio XX dan XY
2. Diferensiasi gonad, di mana gonad yang belum berdiferensiasi membentuk
testis atau ovarium
3. Diferensiasi genitalia internal dan eksternal

Gambar 1. Tahap diferensiasi seksual fetus

2.1.1. Fase sebelum Diferensiasi

Antara minggu keempat dan keenam perkembangan embrio,


terbentuk gonad dan duktus reproduktif primordia dari mesoderm
intermediet dan lateral. Lapisan endoderm akan membentuk kloaka dan
ektoderm akan membentuk struktur genitalia eksternal.

A. Awal Pembentukan Urogenital Ridge


Saat minggu keempat dan kelima, mesoderm intermediet menebal dan
membentuk coelomic cavity (yang nantinya membentuk rongga abdomen)
untuk membentuk urogenital ridge. Urogenital ridge lalu memisah
membentuk medial gonadal ridge dan lateral urinary ridge. Urinary ridge
dapat dibagi menjadi tiba bagian:

1. Pada ujung sefalik, pronefron secara cepat mengalami regresi


2. Pada ujung caudal dekat kloaka, metanefron membentuk sebagian
besar ginjal
3. Di antaranya terdapat mesonefron yang menyediakan komponen
mesenkim pembentuk gonadal ridge dan pembentukan duktus
Wolffian

Proses ini diatur oleh ekspresi faktor seperti LHX1, EMX2 atau PAX3, dan
WT1 yang berperan dalam stabilisasi mesoderm intermediet untuk
perkembangan urogenital ridge.

B. Gonad Bipotensial

Gonad dan korteks adrenal mengalami diferensiasi dari adreno-gonadal


primordia, bagian medial dari urogenigal ridge. Perkembangan adreno-
gonadal primordia dipengaruhi oleh faktor SF1 dan DAX1 yang dikode oleh
gen NR5A1 dan NR0B1, CBX2, LHX9, GATA4, dan SIX1/4, serta sel dari
epitel coelomic dan mesoderm mesonefrik.

Pada minggu kelima perkembangan embrio, sel adreno-gonadal


primordia memisah membentuk adrenal primordia dan gonadal blastema.
Gonadal blastema lalu dikolonisasi oleh sel germinasi primordia. Sel
germinasi primordia berasal dari epiblas dan faktor yang berperan, yaitu
BMP2, BMP4, BMP8B, OCT3/4 (dikode oleh POU5FI), NANOG, SOX2,
PRDM1, dan PRDM14. Pada tahap paling awal kehidupan embrio, sel
germinasi primordia berpindah melewati daerah ekstra-embrionik ke dasar
allantois. Pada minggu keempat, sel-sel tersebut dapat diidentifikasi di
dalam yolk sac melalui ekspresi PRDM1 (PR Domain Zinc Finger Protein),
alkalin fosfatase, OCT3/4, dan reseptor tirosin kinase C-KIT. Nantinya, sel
germinasi primordia menempel pada dinding hindgut dan bermigrasi ke
gonadal ridge melalui mesenteri dorsal.
Hingga akhir minggu kelima, gonad XX dan XY bersifat bipotensial.
Bahkan faktor penentu, seperti SOX9 dan FGF9 (testis) dan DAX1, WNT4,
dan RSPO1 (ovarium) juga diekspresikan dalam kadar yang sama.

C. Duktus Internal Unipotensial

Saluran reproduksi pada fetus XX dan XY masih mirip hingga akhir


minggu keenam dan pada setiap sisi terdiri dari dua saluran unipotensial,
yaitu duktus Wolffian (mesonefrik) dan duktus Mullerian (paramesonefrik).

Gambar 2. Eksperimen Jost mengenai diferensiasi seksual fetus

● Duktus Wolffian

Duktus Wolffian berasal dari mesoderm intermediet, berkembang


selama minggu kelima perkembangan fetus. Kuncup ureter tunggal
mengalami evaginasi dari ductus wolffian dan tumbuh secara dorsal akibat
induksi dari mesenkim metanefrik. Faktor yang berperan dalam
pembentukan ductus wolffian, yaitu PAX family, WT1, EMX2, LIM1, dan
SIX1 berperan pada stabilisasi mesoderm intermediet. VANGL2, WNT5A,
dan PKD1 berperan dalam elongasi ductus. Sedangkan PTEN, LGR 4, dan
DICER berperan dalam diferensiasi sel ductus wolffian.

Antara minggu kesembilan dan ketigabelas, bagian atas duktus


Wolffian berdiferensiasi menjadi epididimis. Di bawahnya, terbentuk vas
deferens. Vesikel semen terbentuk pada minggu keduabelas dari dilatasi
bagian terminal vas deferens.

● Duktus Mullerian
Duktus Mullerian juga muncul pada minggu kelima perkembangan fetus
sebagai invaginasi epitel coelomic, lateral terhadap gonadal ridge.
Perkembangan duktus mullerian terdiri dari tiga tahap:

1. Inisiasi

Epitel coelomic yang spesifik untuk pembentukan ductus Mullerian


mengalami penebalan dan mengekspresikan LHX1, DACH1 dan
DACH2, dan AMHR2 (anti-Mullerian hormon receptor type 2) setelah
induksi dari WNT7A.

2. Invaginasi

Sel pembentuk ductus Mullerian lalu memanjang ke arah ductus


wolffian. Invaginasi dimulasi setelah ada ekspresi dari WNT4 pada
mesenkim mesonefron. Kontak ductus Mullerian dengan duktus wolffian
diperlukan karena duktus wolffian mensuplai faktor WNT9B yang
berperan dalam elongasi ductus Mullerian.

3. Elongasi

Sel pembentuk ductus Mullerian berproliferasi. Pada minggu kedelapan,


ujung duktus Mullerian bersilangan dengan duktus Wolffian, mengalami
fusi, dan membentuk kanal uterovaginal.

D. Sinus Urogenital dan Genitalia Eksternal Bipotensial

Pada minggu kelima perkembangan embrio, septum urorektal


membagi kloaka menjadi rektum secara dorsal dan sinus urogenital secara
ventral. Terjadi dua pembengkakan mesoderm di bawah ektoderm membran
genital, lipatan uretra, dan labioscrotal swellling, sedangkan tuberkel
genital muncul dari pembengkakan ventral dan medial. Pembentukan
tuberkel genital dipengaruhi oleh gen BMP, FGF, dan HOX. Pada minggu
kesepuluh, terbentuk vagina primordia pada fetus XX dan XY.

2.1.2. Diferensiasi Gonad


Gambar 3. Diferensiasi gonad dan saluran genital

Diferensiasi testis terjadi pada akhir minggu keenam perkembangan embrio.


Proses ini dimulai saat terbentuknya coelomic vessel XY gonadal ridge pada
tepi antimesonefrik di bawah epitel coelomic. Pembentukan cord terjadi saat sel
endotel bermigrasi dari mesonefron ke zona coelomic pada gonad yang
berdiferensiasi. Sel somatik dari epitel coelomic berdiferensiasi menjadi sel
sertoli, membentuk agregat di dalam gonad yang sedang berkembang dan
melingkupi sel germinasi membentuk testicular cord yang merupakan
prekursor dari tubulus seminiferus. Segera setelah bersiferensiasi, sel sertoli
mensekresikan anti-Mullerian hormone (AMH), yang terjadi pada awal minggu
ketujuh. Selanjutnya, sel germinal primordia berdiferensiasi menjadi genosit
lalu berproliferasi secara mitosis menjadi spermatogonia, tetapi tidak memasuki
tahap meiosis hingga pubertas. Hal ini karena CYP26B1 yang diekspresikan
oleh sel sertoli dan sel Leydig dan sel Sertoli untuk mendegradasi asam retinoat
dan menghentikan ekspresi STRA8 yang berperan dalam diferensiasi seksual
wanita. Komponen matriks ekstraseluler dan sel mesenkim mesonefrik akan
mengisi ruang interstitial antara seminiferous cord dan selanjutnya terjadi
pembentukan pembuluh darah dan diferensiasi sel Leydig yang berperan
mensekresikan testosteron pada awal minggu kedelapan.
Testis akan bermigrasi menuju skrotum. Proses pemosisian testis pada
tempatnya ini terbagi dalam dua tahap. Pertama, bagian atas dari testis akan
terhubung dengan dinding abdominal posterior melalui ligamen suspensor
kranial, sedangkan gubernakulum primitif akan memanjang dari bagian caudal
hingga inner inguinal ring. Antara minggu kesepuluh dan kelimabelas, ligamen
suspensor kranial akan menghilang dan gubernakulum testis mengembang dan
menarik testis ke arah inguinal ring. Tahap ini dipengaruhi oleh androgen dan
INSL3. Tahap inguinoskrotal terjadi antara minggu ke-27 dan 35 dan
dipengaruhi oleh hormon androgen.

2.1.3. Diferensiasi Genitalia Internal dan Eksternal

A. Diferensiasi Genitalia Internal

Sinus urogenital merupakan asal dari kantung kemih, prostat, dan uretra
pada pria. Diferensiasinya berdasarkan konversi testosteron menjadi DHT.
Kuncup prostat muncul sekitar minggu kesepuluh pada tuberkulus Mullerian
dan membentuk cabang cord yang solid. Pematangan kelenjar prostat diikuti
oleh perkembangan utrikel prostat. Dua kuncup sel epitel yang disebut bulbus
sinoutrikular pada pria terbentuk dari sinus urogenital dekat ujung duktus
Wolffian dan tumbuh ke dalam, menyatu dengan tuberkulus Mullerian medial
membentuk sinoutricular cord dalam kelenjar prostat, lalu membentuk kanal
utrikel prostat.

B. Diferensiasi Genitalia Eksternal

Gambar 4. Diferensiasi genitalia internal (kiri) dan eksternal (kanan)


Maskulinisasi genitalia eksternal dimulai saat minggu kesembilan
perkembangan fetus sebagai respon terhadap DHT dan dicirikan oleh
pemanjangan anogenital. Lipatan labioscrotal menyatu pada bagian dorsal
hingga ventral. Terdapat beberapa teori mengenai perkembangan penil uretra.
Pertama, uretra proksima terbentuk dari fusi lipatan uretra pada daerah plat
uretra dan uretra distal muncul dari proses invaginasi ektoderm apikal.
Sedangkan teori yang lain menyatakan seluruh uretra pada pria terbentuk dari
plat uretra secara dorsal dan menyatu dengan lipatan uretra secara ventral.

Penis dan corpora cavernosa terbentuk dari tuberkulus genital. Tidak


terdapat perbedaan ukuran antara penis dan klitoris hingga minggu
keempatbelas. Organogenesis uretra selesai pada minggu keempatbelas.
Pertumbuhan maksimal penis pada fetus terjadi pada semester ketiga dan
pemanjangannya terjadi hingga bulan keenam.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi Pria

Organ sistem reproduksi laki-laki termasuk testis, sistem duktus (termasuk


epididimis, duktus deferens, saluran ejakulasi, dan uretra), kelenjar seks
aksesori (vesikula seminalis, prostat, dan kelenjar bulbourethral), dan beberapa
struktur pendukung, termasuk skrotum dan penis. Testis (gonad) menghasilkan
sperma dan mengeluarkan hormon. Sistem duktusmentranspor dan menyimpan
sperma, membantu pematangannya, dan menyampaikannya ke bagian luarnya.
Semen mengandung sperma ditambah sekresi yang dikeluarkan oleh kelenjar
seks aksesori. Penis memberikan sperma ke dalam saluran reproduksi wanita
dan skrotum mendukung testis.
Gambar 1. Anatomi Organ Reproduksi Pria

Gambar 2. Anatomi Penis

Skrotum merupakan struktur pendukung untuk testis, terdiri dari kulit longgar dan
lapisan subkutan yang menggantung dari pangkal penis. Secara eksternal, skrotum itu
tampak seperti satu kantong kulit yang dipisahkan ke bagian lateral oleh punggungan
median yang disebut raphe. Secara internal, skrotum terbagi menjadi dua kantung oleh
septum, masing-masing berisi satu testis. Septum terdiri dari lapisan subkutan dan jaringan
otot yang disebut otot dartos, yang terdiri dari kumpulan serat otot polos. Otot dartos juga
ditemukan di lapisan subkutan dari skrotum. Otot kremaster merupakan serangkaian pita
kecil otot rangka yang turun sebagai perpanjangan otot oblik internal melalui spermatic
cord untuk mengelilingi testis.

Gambar 3. Anatomi Organ Reproduksi Pria

Tabel 1. Organ reproduksi pria

Komponen Lokasi dan Jumlah Fungsi

Testis Sepasang; terletak didalam Menghasilkan sperma


skrotum, suatu kantung
Mengeluarkan testoteron
terbungkus kulityang
tergantung di sudut antara
kedua kaki

Epididemis Sepasang, satu epididemis Tempat pematangan sperma


melekat ke bagian untuk motilitas dan kesuburan
belakang masing-masing
testis
Vas deferens Satu; berjalan dari masing- Rute keluar sperma dari testis
masing epididemis naik
dari kantung skrotum
melalui kanalis inguinalis
dan bermuara kedalam
uretra didalam kandung
kemih

Vesikula seminalis Sepasang, keduanya Memekatkan dan menyimpan


bermuara ke dalam bagian sperma menghasilkan fruktosa
terakhir vas deferens, satu untuk memberi makan sperma
di masing-masing sisi yang diejakulasikan.

Mengeluarkan prostaglandin
yang merangsang motilitas untuk
membantu transpor sperma di
dalam saluran reproduksi.

Membentuk sebagian besar


semen

Kelenjar prostat Tunggal, mengelilingi Menghasilkan prekursor


secara lengkap uretra di pembentukan semen
leher kandung kemih
Mengeluarkan cairan basa, yang
menetralkan sekresi vagina yang
asam

Kelenjar bolbouretra Sepasang; keduanya Memicu pembekuan semen agar


bermuara kedalam sperma tetap berada dalam
uretra,satu masing-masing vagina ketika penis dikeluarkan
sisi, tepat sebelum uretra
Mengeluarkan mukus untuk
masuk kedalam penis
pelumas
2.3 Regulasi Hormon dan Spermatogenesis

2.3.1 Regulasi Hormon

Regulasi hormone pada reproduksi pria diawali dari hipotalamus yang


mensekresi gonadotropin releasing hormone (GnRH). GnRH dilepaskan secara
pulsatile yaitu sekali setiap 1 – 3 jam. GnRH yang disekresi kemudian ditransport
menuju kelenjar hipofisis anterior dalam darah portal hipofisial dan menstimulasi
pelepasan dua gonadotropin, yaitu Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle
Stimulating Hormone (FSH). Kedua hormone tersebut melalui pembuluh darah
menuju targetnya yang berada di testis. Target dari LH adalah sel interstisial atau
sel Leydig. LH akan berikatan dengan reseptornya dan akan menstimulasi
pembentukan hormone testosterone. Hormon testosterone ini memiliki fungsi
perifer yaitu dalam perkembangan ciri sekunder seks pada pria. Sedangkan FSH
targetnya adalah sel Sertoli. FSH pada sel Sertoli ini menstimulasi pembentukan
dari Androgen-binding protein (ABP) dan hormone inhibin. Testosteron dan FSH
secara tidak langsung juga akan menginisiasi proses spermatogenesis. ABP yang
terbentuk tadi apabila berikatan dengan testosterone akan membantu proses
spermatogenesis dengan menjaga konsentrasi testosterone dalam lumen. Apabila
terjadi produksi berlebih pada testosterone, akan otomatis terjadi negative feedback
yaitu dapat langsung menghambat pada hipofisis anterior dalam produksi LH atau
dapat dengan menghambat hipotalamus dalam memproduksi GnRH yang nantinya
juga akan menurunkan produksi dari LH. Kemudian, hormone inhibin yang
dihasilkan sel Sertoli juga akan memberikan negative feedback untuk mengontrol
spermatogenesis yaitu dengan menghambat hipofisis anterior dalam memproduksi
FSH.
Gambar … Regulasi hormon pada reproduksi pria.

Sumber: Silverthorn, Dee Unglaub. (2016). Human Physiology An


Integrated Approach 7th edition. UK: Pearson Education.

a. Biosintesis Testosteron

Hormon testosterone merupakan hormone steroid yang disintesi dari


kolesterol. Biosintesis testosterone terjadi di sel Leydig dengan adanya
inisiasi terlebih dahulu dari LH. LH akan mengikat reseptornya di sel
Leydig yang merupakan Gs protein-coupled sehingga menyebabkan
aktivasi enzim adenilat siklase. Aktivasi dari enzim adenilat siklasi akan
meningkatkan cAMP dan mengaktivasi protein kinase A. Stimulasi dari
protein kinase A ini akan meningkatkan pengantaran kolestrol (LDL) ke
mitokondria sel Leydig melalui kompleks multi-protein yaitu protein
regulasi steroidogenik akut (StAR). Kolestrol akan diputuskan rantai
sampingnya oleh enzim P450 SCC/ CYP11A1 menjadi pregnonelone.
Kemudian pregnonelone yang terbentuk berdifusi ke dalam retikulum
endoplasma tempat biosintesis testosteron berlangsung. Dalam jalur Δ4,
pregnenolon dikonversi menjadi progesteron oleh 3β-hydroxysteroid
dehydrogenase (HSD3β). CYP17A1 mengubah progesteron menjadi 17a-
hidroksiprogesteron melalui reaksi hidroksilasi dan kemudian menjadi
androstenedion melalui reaksi lisis. Testosteron dibentuk oleh 17β-
hydroxysteroid dehydrogenase 3 (HSD17β3). Di jalur Δ5, CYP17A1
mengkonversi pregnenolon (melalui reaksi hidroksilasi) menjadi 17α-
hydroxypregnenolone diikuti oleh reaksi lisis untuk menghasilkan
dehydroepiandrosterone (DHEA). DHEA kemudian dikonversi menjadi
androstenedion oleh HSD3β. Dalam langkah terakhir, HSD17β3 mengubah
androstenedione menjadi testosteron. DHEA juga dapat dikonversi menjadi
androstenediol oleh HSD17β3 dan kemudian dikonversi menjadi testosteron
oleh HSD3β. Testosteron yang terbentuk akan diedarkan ke sirkulasi
menuju reseptornya.

Gambar … Proses biosintesis testosterone

Sumber: Ayaz, Omar., & Howlett, Susan E. (2015). Testosteron modulates


cardiac contraction and calcium homeostasis: cellular and mollecular
mechanisms. Canada: BioMed Central.

Testosterone ini diproduksi dan disekresi dengan konsentrasi yang


berbeda-beda tiap dalam tahap kehidupan. Seperti yang ditunjukan dalam
skema berikut. Jadi, Pada trimester pertama dalam rahim, testis janin mulai
mengeluarkan testosteron, yang merupakan faktor utama dalam diferensiasi
seksual pria, yang dirangsang oleh human chorionic gonadotropin (hCG)
dari plasenta ibu. Pada awal trimester kedua, konsentrasi testosteron serum
dekat dengan pertengahan pubertas, 250 ng / dL. Produksi testosteron
kemudian turun pada akhir trimester kedua, tetapi saat lahir nilainya kembali
250 ng / dL. mungkin karena stimulasi sel Leydig janin dengan hormon
luteinizing (LH) dari kelenjar hipofisis janin. Nilai testosteron turun lagi
dalam beberapa hari pertama setelah kelahiran mungkin disebabkan oleh
adanya negative feedback dari plasenta ibu. Namun naik dan memuncak lagi
pada 250 ng / dL pada 2-3 bulan setelah kelahiran, efek dari naiknya
konsentrasi pada masa postnatal ini masih belum ditemukan pasti tetapi dari
beberapa penelitian testosteron selama pubertas-mini mempengaruhi
perkembangan alat kelamin pria dan fungsi reproduksi dan berkontribusi
untuk perilaku gender serta pada beberapa aspek perkembangan verbal.
Kemudian akan turun menjadi <50 ng / dL pada 6 bulan, di mana ia tetap
hingga pubertas. Selama masa pubertas, dari -12 hingga 17 tahun,
konsentrasi testosteron serum pada pria meningkat ke tingkat yang jauh
lebih besar daripada pada wanita, sehingga pada awal usia dewasa
konsentrasi testosteron serum adalah 500 ng / dL hingga 700 ng / dL pada
pria, dibandingkan dengan 30 ng / dL hingga 50 ng / dL pada wanita.
Besarnya konsentrasi testosteron pada pria bertanggung jawab atas
perubahan pubertas yang semakin membedakan pria dari wanita.
Konsentrasi testosteron akan secara bertahap menurun yang mungkin
berkontribusi terhadap efek penuaan lainnya pada pria.

Gambar … Konsentrasi testosteron dari masa kehamilan hingga dewasa.

Sumber: Brunton, Laurence L., et al. 2011. Goodman & Gilman's The
Pharmacological Basis of Therapeutics 12th ed. USA: McGraw-Hill
Companies.

b. Metabolisme Testosteron
Testosteron juga dapat memberikan efek pada bentuk metabolit
aktifnya yaitu dehidrotestosteron (DHT) dan estradiol. Metabolisme
testosterone menjadi dehidrotestosteron dikatalisis oleh enzim 5a-reduktase
dan metabolism menjadi estradiol oleh enzim aromatase.
Dehidrotestosteron dan testosterone memiliki reseptor yang sama yaitu
androgen reseptor. Untuk dehidrotestosteron apabila berikatan dengan
reseptornya akan memberikan efek yaitu pada daerah genitalia eksternal,
menyebabkan perkembangan genitalia eksterna pria seperti penis, skrotum,
dan prostat. Lalu perkembangan folikel rambut seperti di wajah, dada, dan
sebagainya. Dan berperan dalam penyakit prostat yang terjadi pada masa
dewasa.

Gambar … Metabolisme testosteron.

Sumber: Brunton, Laurence L., et al. 2011. Goodman & Gilman's


The Pharmacological Basis of Therapeutics 12th ed. USA: McGraw-Hill
Companies.

Testosterone sendiri juga dapat langsung berikatan dengan reseptor


dan memberikan efek seperti testosteron di sekitar testis merangsang saluran
Wolffian terdekat untuk berdiferensiasi menjadi genitalia internal pria
seperti epididimis, vas deferens, dan vesikula seminalis. Kemudian
meningkatkan massa dan kekuatan otot, lalu juga meningkatkan eritropoesis
serta pertumbuhan tulang. Sedangkan estradiol dia akan berikatan dengan
estrogen reseptor dan memberikan efek pada tulang juga dengan
meningkatkan kepadatan pada epifisis dan mengatur libido atau gairah
seksual pada pria.

2.3.2 Spermatogenesis

Spermatogenesis adalah proses perkembangan spermatosit sampai menjadi sperma.


Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus ditunjang oleh nurse cell. Spermatogenesis
berlangsung dari usia pubertas sampai 65-70 tahun.

Gambar …

Proses yang terjadi dalam spermatogenesis antara lain :

● Mitosis

Pada proses ini, sel spermatogonium pada membran basal akan membelah menjadi
dua sel diploid, dan salah satu sel bergerak ke arah lumen sementara yang lainnya
akan tetap berada di membran basal.

● Meiosis 1

Pada proses ini, sel hasil belahan spermatogonium (sekarang disebut spermatosit
primer) membelah menjadi dua sel diploid yang masih terhubung, disebut
spermatosit sekunder.

● Meiosis 2
Pada proses ini, spermatosit sekunder keduanya membelah menjadi empat sel
haploid, yang masih terhubung.

● Spermiogenesis

Keempat sel haploid mulai memisah sendiri dan berkembang menjadi spermatid,
dan menjadi sperma.

● Spermiasi

Merupakan proses pelepasan sperma dari nurse cell.

Peran nurse cell dalam spermatogenesis:

● Maintenance blood-testis-barrier, untuk menjaga agar sperma tidak dianggap


sebagai sel asing oleh leukosit
● Sekresi luminal fluid, terdiri dari androgen, estrogen, potassium, dan asam amino
● Dukungan mitosis dan meiosis, melalui sekresi FSH dan Laktat
● Dukungan spermiogenesis dengan mendorong spermatid keluar
● Sekresi inhibin sebagai negative-feedback spermatogenesis
● Sekresi androgen-binding-protein untuk menjaga kadar androgen pada tubulus
seminiferus
● Fagositosis sel gagal dan sitoplasma yang dilepaskan dalam perkembangan sperma.

Penyimpanan sperma

Setelah dilepaskan dari tubulus seminiferus, sperma akan bergerak ke epididimis,


di mana sperma mengalami pemekatan hingga 10 kali lipat. Setelah dipekatkan, sperma
akan disimpan di duktus vas deferens. Karena konsentrasinya tinggi, pergerakan sperma
minimal, sehingga tidak memerlukan banyak energi. Sperma dapat disimpan di duktus vas
deferens selama sekitar dua bulan, dan selanjutnya akan diserap kembali sebagai nutrisi.

Kapasitasi sperma

Kapasitasi sperma adalah proses yang memberikan sperma kemampuan untuk


bergerak dan menembus sel telur. Kapasitasi sperma terjadi di epididimis dan saluran
reproduksi wanita, namun utamanya terjadi di saluran reproduksi wanita. Kapasitasi
dimulai dengan effluks kolesterol dan influks 𝐻𝐻𝐻− +
3 dan 𝐻𝐻2 , yang mengaktivasi

ADCY10, menimbulkan kenaikan konsentrasi cAMP. Kenaikan konsentrasi cAMP


mengaktivasi pathway cAMP/PKA, menimbulkan fosforilasi protein tirosin dan berakhir
dengan alkalinasi dan hiperpolarisasi sperma.

Sperma

Gambar ...

Sperma memiliki panjang sekitar 60𝜇m, terdiri dari bagian kepala dan ekor yang
dihubungkan oleh leher. Bagian kepala terdiri dari nukleus dan akrosom yang mengandung
enzim untuk melewati bagian luar sel telur, seperti protease dan hialuronidase. Bagian leher
terdiri atas sentriol yang memanjang untuk menghubungkan bagian leher sampai ekor. Pada
bagian middle piece, terdapat mitokondria dalam susunan spiral sebagai sumber ATP
sperma. Sperma tidak dapat memproduksi makanan sendiri, dan bergantung kepada gizi
dari cairan sekitarnya, yaitu fruktosa. Sperma dapat bertahan pada organ reproduksi wanita
sekitar 48 jam.

2.4 Mekanisme Ereksi

Ereksi adalah peristiwa dimana penis mengeras dengan tujuan mempermudah


penetrasi penis ke dalam vagina. Penegangan dan pengerasan penis ini terjadi akibat
vasokongesti penis. Ereksi terjadi akibat adanya stimulasi seksual (dapat berupa visual,
pendengaran, penciuman, sentuhan, dan imajinasi).

Ada 4 fase siklus respon seksual pada pria yaitu fase eksitasi, plato, orgasme, dan
resolusi.

1. Fase eksitasi : mencakup ereksi dan peningkatan perasaan seksual.


2. Fse plato : terjadi intensifikasi respon-respon seperti peningkatan denyut
jantung, tekanan darah, laju pernapasan dan ketegangan otot.
3. Fase orgasme : mencakup ejakulasi dan kenikmatan fisik yang intens
4. Fse resolusi : fase dimana kembalinya genitalia dan sistem tubuh ke keadaan
normalnya.

Sebagian besar jaringan penyusun penis adalah jaringan erektil. Pada kondisi
normal,, jaringan erektil hanya mengandung sedikit darah karena arteriol yang mensuplai
ruang vascular jaringan erektil mengalami vasokonstriksi. Akibatnya, penis tetap dalam
kondisi mengecil. Ketika ada rangsangan, saraf parasimpatis memproduksi dan melepaskan
nitritoksida (NO). NO menyebabkan dinding arteriol berelaksasi, sehingga pembuluh darah
berdilatasi dan darah dalam jumlah besar dapat masuk. Selain itu, pembuluh darah yang
mendarahi jaringan erektil tertekan secara mekanis akibat pembengkakan dan ekspansi
ruang vaskular, sehingga menghambat aliran darah keluar. Hal ini menyebabkan penis
membesar dan tegang, serta mampu bertahan dalam kondisi ereksi selama selang waktu
tertentu.

Gambar : Perbandingan Penis Dalam Kondisi Flaccid dan Erect

Saat otot polos kavernosal mengalami relaksasi, aliran darah ke penis meningkat
sehingga darah terkumpul di ruang kavernosus. Hal ini menyebabkan pada pembengkakan
penis. Corpora cavernosa yang mengembang menekan venula terhadap tunica albuginea
yang kaku, membatasi aliran keluar vena dari ruang kavernosal. Hal ini menyebabkan
darah terjerat pada sinus kavernosal sehingga dapat memberikan kekakuan pada penis yang
ereksi.Selama ereksi, relaksasi otot polos trabekuler dan peningkatan aliran darah
menyebabkan pembengkakan ruang sinusoidal di korpora cavernosa. Sinusoids akan
mengembang dan mengalami ekspansi ke tunica albuginea sehingga dapat menekan aliran
balik vena sehingga darah yang keluar dari pembuluh vena akan berkurang. Peningkatan
tekanan parsial oksigen pembuluh (PO2) (dari mulanya 35 mmHg hingga sekitar 90 mmHg)
dan tekanan intrakavernosa (sekitar 100 mmHg), peningkatan tekanan ini menyebabkan
penis terangkat dari posisi tergantung menjadi keadaan ereksi (full-erection phase).
Peningkatan tekanan lebih lanjut (mencapai beberapa ratus mmHg) mengakibatkan
kontraksi otot ischioca vernosus (rigid-erection phase).

Gambar. Mekanisme Terjadinya Ereksi

Ereksi melalui dua jalur, yakni dengan mestimulasi saraf parasimpatis (di
reseptor M3) atau menginhibisi kerja saraf simpatis (di reseptorα1). Saraf parasimpatis
adalah saraf yang berperan dalam proses vasodilatasi sementara saraf simpatis adalah
sebaliknya. Stimulus yang berasal dari otak (non fisik) akan menstimulasi saraf
parasimpatis, sementara stimulus berupa sentuhan pada bagian glans penis yang memiliki
banyak mekanoreseptor sensitive akan menyebabkan stimulasi saraf parasimpatis dan
inhibisi saraf simpatis. Kedua jalur stimulus ini akan mengakibatkan vasodilatasi arteriol,
menyebabkan penis ereksi, lalu ereksi akan menekan pembuluh vena di sekitarnya sehingga
aliran darah terhambat dan ereksi dapat bertahan lebih lama.

Penjelasan terkait mekanisme ereksi juga dapat ditinjau dari sisi biomolekulernya.
Saraf parasimpatis (kolinergik) menghasilkan asetilkolin yang berikatan dengan reseptor
dalam selendotel yang memicu peningkatan konsentrasi inositol trifosfat dan menyebabkan
konsentrasi Ca2+ meningkat. Ca2+ menstimulasi aktivasi endothelial nitric oxide synthase
(eNOS) yang berperan dalam proses sintesis nitric oxide (NO) dari prekursor L-Arginine
dan O2. NO yang telah disintesis masuk ke dalam sel otot polos pada pembuluh darah penis
dan menstimulasi aktivasi guanylyl cyclase untuk mengubah GTP menjadi cGMP. cGMP
teraktifasi lebih lanjut menjadi cGMP specific protein kinase yang mengakibatkan
terjadinya pembukaan kanal kalium, inhibisi kanal kalsium, dan peningkatan penyerapan
kalsium intraseluler oleh reticulum endoplasma. Asetilkolin juga akan menempel di
resepttor pada otot polos sehingga akan memicu teraktivasiny adenilil siklase. Adenilil
siklase yang teraktivasi akan mengubah ATP menjadi cAMP sehingga terjadi aktivasi
cAMP spesifik protein kinase yang mengakibatkan terjadinya pembukaan kanal kalium,
inhibisi kanal kalsium, dan peningkatan penyerapan kalsium intraseluler oleh reticulum
endoplasma.. Penurunan kadar kalsium menyebabkan kepala miosin terlepas dari aktin.
Lepasnya kepala miosin dari aktin menyebabkan relaksasi otot polos mengakibatkan
pembuluh mengalami vasodilatasi dan terjadi

Ada 3 saraf yang berperan dalam mekanisme molekular relaksasi otot polos pada
penis yaitu saraf parasimpatis, saraf simpatis dan saraf nonadrenergik nonkolinergik. Saraf
parasimpatis yang akan teraktivasi hingga menyebabkan relaksasi oto polas, saraf simpatis
akan diinhibisi sehingga tidak terjadi kontraksi smooth muscle cell, dan saraf
nonadrenergik nonkolinergik akan melepas neurotransmitternya ke sinaps hingga
menyebabkan NO keluar. NO ini yang akan masuk ke sel otot polos dan mengaktivasi
guanilil siklase dan adenilil siklase sehingga menyebabkan vasodilatasi.

Gambar Mekanisme Molekuler Relaksasi Otot Polos


2.5 Mekanisme Ejakulasi

Ejakulasi merupakan peristiwa ekspulsi semen dari penis ke lingkungan luar tubih. Respon
ejakulasi dipicu oleh stimulus yang juga memicu resoon ereksi. Apabila stimilus ini
tellhmelewari suatu treshold maka respon ejakualsi akan terjadi. Respon ejakualsi terdirj
dari 2 fase :

A. Fase emisi

Pada fase inj terjadi kkntraksi otot polos pada prostat, duktus reproduksi dan vesikula
seminalis. Kontraksi ini memicu ejeksi daei sekret prostatik, serta cairan vesikula seminalis
dari vas deferene menuju urertra. Sekret prostatik mengandung spertamozoa, fosfatase, zn,
serra asam sitrat. Cairan vesijula seminalis emngandung prostaglandin dan fruktosa.
Bersama-sama xairan inj disebut semen. Selama proses jnj sfingter pada kantung kemih
terrutup untuk mencegah masuknya semen menuju kantung kemih. Fasw ini diinedvasi
oleh saraf simpatis parasimpatis, dari plexus pelvis.

B. Fase ekspulsi

Pada fase ini terjadi ekspulsi semen dari uretra meuju lingkungan luar tubuh. Hal Ini dipicu
oleh kontraksi ritmikal daei otot bulbospongiosa dan ischeocavernosa serta pelvic floor
muscle. Kontraksi selama 0,8 s menyebabkan peningkatan tekanan di dalam penis, pada
saat yang bersamaan sfingter uretra tebuka, semen mengalami ekspulsi dari dalam uretra.

Ejakulasi pada pria erst dikaitkan dengan orgasme yaitu respon sistemik yang menandakan
kepuasan seksual. Respon ditandai dengan ciri-ciri seperti peni gkatam detak jantung,
pernafasan yang berat, serta kontraksi otot skeletal.

Neural control of ejaculation

Respon ejakulasi dikoordinasi oleh area sensori pada organ yang berkaitan serta divisi
simpatis, parasjmpatis dan motorik dari tulang belakang. Regulasi respon ini diatur pada
tulang belakang dan otak. Perhatikan ilustrais berikut :
A. Spinal network

Segmen sakral, torakal, serta lumbar pada tulang belakang memaikan peranan yang penting
dalam pengaturan repson ejakualsi. Segmen ini menerima jnput sensorik dari genital,
mwngintehrsasilannya, meneruskan ke otak, serta mwngubahnnya menjadi output yang
diinginkan. Beeikut emeupakan pathway pengaturan pada tulang belakang :

1. Afferent pathway

Pada penis, dan testis terdpat reseptor krause finger corpsucle yang
merupakan reseptor mekanis. Reseptor ini mendeteki stimulus fisik dan
taktikal. Input kemudian akan dibawa oleh saraf pudendal menuju swgmen
sakral dan lumbar dari tulang belakang. Jalur afferent lain adalah melalui
saraf sensorik dari plexus hipogastrik menuju segmen thoracolumbar dari
tulang belakng. Saraf sensori akan diterminasi pada bagian medial dorsal
horn dan dorsal grey commisure pada tulang belakang.

2. Efferent pathway

Input sensorik yang direrima kemudian akan diintegrasikam menjadi output


motorik maupun sekrerotori oleh sel Lst ( lumbarspinothalamik ) pada
segmen lumbar tulang belakang. Lst akan membentuk sipnaps dengan pusat
simpatis, parasimpatis, serta nukleus onuf pada tulang belakang. Selain itu
Lst juga membentuk projeksi ke bagian thalamus dari otak.
Nukleus onuf kemudian akan menginvervasj otot-otot yang terlibat apda
proses ejakualsi via saraf pudendal. Pusat sjmpatis dan parasjmpatis akan
menginervasi struktur-struktur yang terlibat dalam proses ejakulas melalui
major pelvic gabglion . Perhayikan ilustrasi berikut :

B. Brain network

Terdapat area-area tertentu pada otak yang menjadi lebih aktif pada saat aktivitas wjakulasi
maupun ejakulasi. Area-area rersebut adalah thalamus, hopothalamus, midbeain beserta
pons. Penelitian relah mwnunjukkan adanya pwninglatam aliran darah pada area-area
tersebut pada saat aktivitas seksual. Hal ini disebabkan karena adanya strujktur pada area
tersebut yang berperan mengatur respon ejakulasi. Struktur-struktur tersebut adalah :

1. SPFp ( subparafasicular thalamus )

2. BNSTpm ( posteromddial bed nucles of stria terminal )

3. MPOA ( Medial preoptic Area )

4. PVN ( paraventricullar thalamic nucleus )

5. PAG ( periaqueddctal grey )

6. nPGI ( nucleus of paragigantocellular )


Perharikan ilustrasi berikut :
Dapat dilihat bahwa sel Lst akan membentuk projeksi dengan SPFp pada thalamus.
Bagian jnj kemudian akan membentuk projeksi dengan MPOA yang merupakan
pusat pengaturan seks pada otak. Bagian ini kemudian area inj kemudian
membentuk projeksi dengan PAG, nPGI serta PVN. Aktivasj neuron dari PAG
sertaPVN akan emmberikan respon proejakulatori. Aktivasi neuron daei nPGI akan
memberikan efek injibisi ejakualsi. nPGI akan membentuk projeksi dengan
interneuron pada sehgmen ljmbosakral, PVN akan mwmbentuk projeksi dengan
neuron preganglionik dan saraf pudendal pada segmwn lumbosakdal tulang
belakang.

Hormone & molecular control of ejaculation

Terdapat banyak neurotransmitter yang teelibat dalam oroses ejakulasi, diantatanya ada
oksitosin, GABA, asetilkolin, adrenalin, NO, dopamine, serta serotonin. Berbagai studj
telah menunjukkan abhwa 2 hormon terakhir memainkan peranan yang besar dalam respon
ejakulasi. Berikut epmbahasannya :

A. Serotonin

Serotonin merupakan mneurotransmitter yang disintesis dari aaama mino triptofan


mpdengam banruan enzimTph2 ( triptofan hidrolase 2 ). Serotonin kemudian akan
disimpan dalam vesikel.npe,epasannya dipicu oleh peningkatan kadar Ca intrasellular.
Penelitian telah menunjukkan bahwa efek utama serotonin terhadap ejakulasi adalah
inhibitori.

Serotonjn banyak ditemukan pada area otak Terutama apda area hipoothalamus dan
bainstem yang mwngatur espon ejakualsi. Serotonjn juga disekresikan apda tulang
belakang serotoni banyak disekresikan apda dorsal horn, dan bentral horn.

Terdapat 3 subfamili dari reseptor serotonin yang terlibat dalam respon ejakulasi. Ketiga
jenus reseptor ini tersebar pada somatodentdriktik, pre maupun post sinaps dari neuron
serotogenik pada sistem saraf. Berikut opembahasannya:

1. Reseptor 5-HT1A

Reseptor ini banyak ditemukan pada median raphe nucleus pada otak dan pada
dorsal horn tulang belakang. Aktivasi reseptor inj menyebabkan penurunan
firing dari neuron serotogenik, dengan begitu lebih ssdikit serotonin yang
dilepaskan, hal ijj menyebabkan efek proejakukatori.

2. Reseptor 5-HT1B

Reseptor 5-HT1B banyak ditemukan pada hipothalamus dan segmen


lumbosakral tulang belakang. Aktivasi reseptor inj memberikan efek inhibitori
terhadap respkn ejakulatori.

3. Reseptor 5-HT2C

Sama seperti reseptor dia tas aktivasi reseptor ini memberikan efek inhibitpri
terhadap respon ejakulasi. Reseptor inj banyam terdapat apda area hipothalamus
dan lumbosakral.
Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat reseptor seritonjn oada area perifer
seperti pada prostat, vesikula seminalis, serta vas deferens . Akan tetapi hal inj oerlu diteliti
lebih lanjut.

Ketiga reseptor di atas masuk dalam keluarga GCPR ( G coupled protein receptor
). Reseptor 5-HT1A-F bekerja dengan rute inhjbisi adenilil siklse, dengan begitu
terjadi inhibisj response selular yang trrkait dengan aktuvasi PKA dan Epac.
Reseptor 5-HT2C bekerja dengan rute aktuvasi PLA2, dengan begitu meningktatkan
kadar asam arachidonat intraselular. Selain itu juga terjadi aktivasi jalur PLC yang
kemudian meningkatkan kadar PKC kan ikn Ca2+ .

Namun perlu dikatahui bahwa ksdua reseptor tersebut memiliki fungsi sekunder
yaotu sebagai autoregulator sekresi serotnin, agar tidak terjadi overaktivitas
reseptor serotonin. Aktivasi 5-HT1A juga mengaktivasi kanal io kalium GIRK yang
menyebabkan destabilisasi membran dengan begitu firing akan terhambat dan tidak
terjaid pelepasan neurotransmittrr pada sinaps neuron presj aptik. Selain itu juga
terdapat SERT yang akan mereuptake serotonin daei sinaps agar tidak terjadi
overstimulasi. Perhatikan ilustrasi berikut :
B. Dopamine

Dopamine merupakan neurotransmitter yang disintesis dari asam amino tirosine. Tirosin
pertama-tama akan dihidroksilasi menjadi L-DOPA oleh tirosin hidroksilase. L-DOPA
kemudian akan dikonversi emnjadi dopamine dengan enzim L-aromaric amink acid
ddcarboxylase . Dopamine kemudian akan disimpan dalam vesikel pada neuron
dopaminergik. Pelepasannya kemudian dopicu oleh peningkatan kadar ion Ca2

Telah diketahui bahwa dopamine memberikan efek proejakulasi. Hal inj terlihat dri efdk
afrodisiak yang timbul pada pasien parkinson yang diobari dengan DOPA.

Reseptor daei dopamjne merupakan subfamilia dari gllongan GCPR. Berikut merupakan
be erapa subgsmili darj reseptor dopamjne :

1. Reseptor D1

Reseptor jni vanyak terdapat pada sistem limbik, thalamus ( area PAG,PVN ) ,
serta hipothalamus. Hipotesis menunjukkan bahwa reseptor inj juga mengatur
emisi seminal. Reseptor ini memberikan efek proejakulasi.

2. Reseptor D2
Reseptor inj banyak diekspresjkan pada hipthalamus ( MPOA ), nucleus
accumbene, dsb. Reseptor inj juga banyak ditemukan pada pusat-pusat
ejakulatori seperti MPOA, BNST, dan PAG. Akrivasi reseptor jnj memberikan
efek proejakulatori.

3. Reseptor D3

Reseptor inj banyak diekspresikan pada ousat-pusat ejakulatori seperti MPOA,


BNST, PAG, dan PVN. Aktivasi reseptor inj memberikan efek proejakulstori

Juga terdapat reseptor D4, tetapi beluma da data yang mengkaitkan hubungan
reseptor ini dengan respon ejakulatori. Reseptor D1 dan D2 juga dihipotesiskan
berada di vesijula seminalis manusia dan tikus, tetapi hal inj amsih perlu
dikonfirmasi.

Selain dopamine dan serotonin juga teddapat beberapa neurotransmitter dan


hormon yang mempengaruhi respon ejakulasi :

A. NO

Neurotransmitter ini memberikan efek efek proejakulatori. Hal ini dibultikan


dengan peningkatan latensi ejakulasi setelah diadministrasikan PDE-5 inhjbitor
( PDE 5 merupakan enzim yanb menginhibisi NO ). Diduga NO menurunkan
aktivitas MPOA yang merupakan pusat seksual pasa otak.

B. Oxitocin

Oxitocin merupakan hormon yang disintesis pada kelenjar hipofisis posterior.


Kadar hormon inj menjngkat 20-360 % ketika terhadi aktivitas seksual. Hormon
ini memberikan efek proejakulatori dengan meningkatkan kkntraksi epididimis
dan motilitas sperma.

C. Prolaktin

Hormon inj memberilan efek inhibitori oada respon ejakualsi. Hal ini
ditunjukkan menurunnya gairah seksual psda pasien yang mengalami
hirprolaktenimia, hal ini kemjngkjnan lkarena prolaktinmenginhibisi sintesis
dopamine. Tetapi hal ini perlu diteliti lagi

D. Hormon tiroid
Hormon thyroxin diketahui memberikan efek proejakulatori. Hormon inj
menjngkatkan kontraksi daei otot bulbospongiosus dan vesikula seminalis.

E. Estrogen

Estrogen terutam estradiol memainkan pernan yang pentjng dalam proses


ejakulasi. Diketahuk hormon inm mengatur kkntraktilititas epididimis dan
reabsorbsi cairan seminal.

F. Testosteron

Testosteron memberikan efek projekualsi. Hali jni ditunjukkan dari penundaan


ejakualsi pada pasien dengan hormon testosteron yang rendah.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaran di atas maka dapat disimpulkan refleks ejakulasi :

1. Rangsangan taktiakl akan disdeteksi oleh reseptor krause finger corpsucle


menuju segmen sakral, lumbar, dan torakal dari tulang belakang.

2. Impuls kemudian dapat diteruskan menuju otak ataupun menuju jalur


efferennya yakni saraf simpatis, parasimpatis dan nsaraf motorik

3. Impuls kemudian akan dijntegrasikn pada pusat pengaturannya di otak yaitu


pada daerah thalamus, midbeain, dan pons. Apabila neuron dopaminergik
yang menjdi lebih aktif maka akan timbul suatu efek proejakulasi, apabila
neuron serotogenik yang teraktibasi maka akan timbul suatj efek inhibitori
ejakulasi

4. Impuls dari otak kemudian akan dibawa meuju tulang belakang dan
diterusnya oleh saraf efferennya. Hal ini kemudian akan meicu klnrraksi dari
struktir-struktur yang terljabt dalam proses ejkulasi seperti prostat, vesikel
seminal, cas deferensm, dll.
2.6 Disfungsi Ereksi

Disfungsi ereksi merupakan kegagalan untuk mencapai atau


mempertahankan ereksi penis yang berperan dalam hubungan seksual. Disfungsi
ereksi dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu Disfungsi Ereksi Organik dan Disfungsi
Ereksi Psikogenik. Disfungsi Ereksi Organik disebabkan oleh : aliran vaskular ke
korpora cavernosum (misalnya, penyakit pembuluh darah perifer, arteriosklerosis,
hipertensi esensial), gangguan konduksi saraf ke otak (misalnya Cedera medulla
spinal, stroke), dan berhubungan dengan hipogonadisme (misalnya kanker prostat
atau testis, gangguan hipotalamus atau hipofisis). Sedangkan disfungsi Ereksi
Psikogenik disebabkan oleh malaise, depresi reaktif atau kecemasan kinerja, sedasi,
penyakit Alzheimer, hipotiroidisme, dan gangguan mental (Wells, 2009).
Gambar . Anatomi Korpora Kavernosa

Korpora Cavernosa mengandung jaringan sel-sel otot polos dan sel-sel endotelial
yang dikelilingi dengan expansible tunika albuginea. Rongga sinusoid bervolume
kecil saat istirahat karena sel-sel otot polos berkontraksi secara tonik. hal tersebut
ditunjukkan pada Panel A. Dengan adanya stimulasi, sel otot (smooth muscle cell)
menjadi rileks, yang memungkinkan sinusoid untuk engorge atau membengkak
dengan adanya darah sehingga menyebabkan penis menjadi tumesent
(membengkak). ketika sinusoid mengembang, lalu menekan pleksus vena subtunis,
hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya ereksi yang ditunjukkan pada panel B.
Jika relaksasi dari smooth muscle cell tidak tercukupi (misalkan akibat kurangnya
Nitrite Oxide endogen yang berkaitan dengan penyakit-penyakit endotelium) dan
menyebabkan menurunnya pemenuhan sinusoid, jumlah sel otot polos yang tidak
memadai (akibat dari apoptosis sel dari diabetes atau neuropati), atau degenerasi
tunikal, lali kompresi yang tidak memadai dari vena subtunis, dapat menyebabkan
disfungsi ereksi (Panel 3).

1. Disfungsi Ereksi Organik


a. Disfungsi Ereksi Vaskulogenik

Disfungsi ereksi vaskulogenik ini disebabkan oleh penyakit vaskular


dan disfungsi endotelial melalui, insufisiensi arteri, venous leakage, fibrosis
otot intrakavernosal, kegagalan neurotransmisi intracavernosal.

1) Insufisiensi Arterial
Dalam kasus ini, untuk mempertahankan rigiditas ereksi,
bergantung pada tekanan intrakavernosal yang tinggi, maka
gangguan yang memengaruhi aliran darah berkaitan dengan
terjadinya disfungsi ereksi. Adangan penyumbatan/penyempitan
arteri pudenda interna dapat mengurangi perfusi aliran darah ke
korpora yang akan mengakibatkan kegagalan untuk mencapai
rigiditas dalam ereksi.

2) Venous leakage

Dalam aliran darah arteri normal, mekanisme veno-oklusif


normal harus memperlambat jalan keluarnya darah kembali dari
korpora kavernosa selama terjadinya ereksi penuh. kegagalan
menyebabkan flaccid ereksi dan kebocoran darah (dalam vena dorsal
bagian dalam atau sistem vena kavernosal).

3) Fibrosis otot Intrakavernosal

Ereksi penuh bergantung pada tercapainya vasodilatasi


intrakorporeal secara penuh dimana hal tersebut berlangsung saat
smooth muscle cell berfungsi dengan normal. Faktor-faktor risiko
lain seperti Aging (penuaan) dan iskhemia dapat menyebabkan
degeerasi otot polos sehingga hal tersebut dapat mengganggi
kemampuan untuk merespon sinyal untuk vasodilator. Selama
flacciditas, saturasi oksigen dalam lakunar rendah (40 mmHg)
namun saat ereksi tercatat bahwa saturasi oksigen dalam lacunar
tinggi (>90 mmHg). Oksigen yang jumlahnya rendah atau dalam
keadaan hipoksia mendorong produksi TGF-B1 yang akan berikatan
dengan TGF-B1 reseptor untuk menstimulasi produksi colagen-
inducing fibrosis.

4) Kegagalan Neurotransmisi Intrakavernosal


Kegagalan dari produksi NO dikarenakan kurangnya sintesis NO
serta abnormalitas reseptor atau fungsi dari second messenger dapat
memengaruhi disfungsi ereksi secara neural. Relaksasi otot polos
selama ereksi tergantung pada promosi Ca2 + efflux dari sel otot
polos, serta sekuestrasi kalsium intraseluler dalam retikulum
sarkoplasma. Relaksasi otot polos penis dimediasi terutama oleh
nitrat oksida, yang mengaktifkan enzim guanylate cyclase. Enzim
sitoplasma ini meningkatkan pembentukan messenger kedua,
cGMP. Peningkatan level cGMP perifer pada gilirannya
mempromosikan efisiensi ion Ca2 + dari sel otot polos kavernosal.
Ini menginduksi relaksasi otot, memfasilitasi darah ke dalam
corpora cavernosa, dan dengan demikian membantu untuk
mendapatkan dan mempertahankan ereksi penis.

Enzim phosphodiesterase-5 menurunkan cGMP, menyebabkan


kontraksi otot polos penis dan detumescence. Penghambatan enzim
ini meningkatkan kadar oksida nitrat dan memfasilitasi ereksi.
Peningkatan level cAMP juga erektogenik. Beberapa
neurotransmiter, termasuk VIP dan PG, merangsang pembentukan
cAMP dan mengendurkan otot polos penis.

Selama detumescence, peningkatan drainase melalui saluran vena -


cara mengurangi tekanan intracavernosal. Keadaan yang tidak tepat
dari penis dipertahankan oleh kontraksi otot polos penis yang
disebabkan oleh akumulasi ion Ca2 + intraseluler, yang dipengaruhi
terutama oleh stimulasi reseptor a-adrenergik oleh noradrenalin.

Meskipun detumescence penis tergantung pada stimulasi a1-


adrenergik, peran mekanisme ini dalam mempertahankan keasaman
tidak jelas, dengan endothelin, PGF2a dan tromboksan A2 yang
mungkin terlibat dalam pemeliharaan keadaan αid. Ketiga mediator
ini semuanya disintesis dalam jaringan kavernosa dan telah
ditunjukkan secara in vitro bahwa endotelin mempotensiasi efek
konstriktor katekolamin pada otot polos trabekuler sementara
PGF2a dan tromboksan A2 bertanggung jawab atas otot trabekuler
terisolasi

Gangguan oklusif arterial aterosklerotik atau traumatik dari


percabangan arteri hipogastrik-kavernosa-helisin dapat mengurangi perfusi
dan aliran arterial menuju ruang-ruang sinusoid, sehingga meningkatkan
waktu tercapainya ereksi maksimal dan mengurangi rigiditas penis yang
sedang berada dalam kondisi ereksi. Faktor risiko umum yang berkaitan
dengan insufisiensi arterial yaitu aterosklerosis, hipertensi, hiperlipidemia,
merokok.

b. Disfungsi Ereksi Neurogenik

Disfungsi ereksi neurogenik disebabkan oleh defisiensi pada signalling


menuju corpora cavernosa. Area medial preoptik, nukleus praventrikular,
dan hipokampus merupakan pusat integrasi yang penting untuk hasrat
seksual dan ereksi penis. Kondisi patologis dalam area tersebut, seperti
parkinson, epilepsi lobus temporal, ensepalitis, stroke, penyakit Alzheimer,
dan cedera sumsum tulang belakang sering dikaitkan dengan ED. Pasien
yang menjalani operasi panggul radikal (misalnya, ektomi prostat radikal)
memiliki risiko sangat tinggi untuk mengalami cedera saraf kavernosa dan
diikuti dengan disfungsi ereksi neurogenik.
Gambar diatas merupakan gambar persarafan yang penting dalam
mekanisme kontrol ereksi. secara umum, aktivasi dari saraf parasimpatis
menginduksi terjadinya ereksi. sedangkan saraf simpatis menginduksi penis
detumesen atau menghentikan ereksi. Area persarafan spesifik dalam
medula spinalis diantaranya sebagai berikut.

1) Thoracolumbar spinal erection center

Bagian dari persarafan ini meliputi segmen T11-L2 yang


menimbulkan jalur simpatis hingga diteruskan ke saluran urogenital
melalui saraf kavernosal.

2) Sacral spinal erection center

Bagian dari persarafan ini meliputi segmen S2-S4 yang


menimbulkan jalur otonom bersifat parasimpatis diteruskan ke penis
melalui saraf pelvis dan saraf kavernosal melalui pudendal. Neuron
parasimpatis memiliki peran penting dalam ereksi refleksogenik
yang disebabkan oleh rangsangan sentuhan pada organ genital.

Lesi upper motor neuron (diatas saraf spinal T10) tidak


mengakibatkan perubahan lokal pada penis, namun dapat menghambat SSP
yang dimediasi untuk mengontrol ereksi. Namun lesi sakral (S2-S4) yang
bertanggung jawab untuk ereksi refleksogenik dapat menyebabkan
perubahan fungsional dan struktural. perubahan secara fungsional yaitu
menurunnya NO yang tersedia untuk smooth muscle cell relaksasi.
Perubahan secara Strukturalnya adalah apoptosis otot polos dan sel endotel
pembuluh darah dimana perubahan tersebut menyebabkan disfungsi veno-
oklusif.

c. Disfungsi Ereksi Endokrinologik

Androgen memiliki peran penting dalam meningkatkan gairah


seksual dan mempertahankan ereksi. Selain itu, testosteron penting dalam
regulasi ekspresi NO synthase (NOS) dan PDE5 di dalam penis. Defisiensi
testosteron atau hipogonadisme juga dikaitkan dengan disfungsi ereksi.
Hiperprolaktinaemia dapat menjadi pemicu disfungsi seksual dikarenakan
rendahnya konsentrasi testosterone. Peningkatan konsentrasi prolaktin
menyebabkan penghambatan hormon pelepas gonadotropin, yang, pada
gilirannya, menurunkan sekresi hormon lutein, yang bertanggung jawab
untuk sekresi testosteron.
Testosteron yang dikeluarkan dari sel Leydig testis di bawah pengaruh
hormon luteinizing (LH) diperlukan untuk seksualitas pria normal dan
fungsi seksual. Obat-obatan seperti agonis luteinizing hormone-releasing
hormone (LHRH) atau stilbestrol, yang menurunkan testosteron yang
bersirkulasi, mengakibatkan hilangnya libido dan disfungsi ereksi. Pasien
yang hipogonadik akibat disfungsi pituitari atau testis sering menderita
disfungsi ereksi, yang merespons pengobatan dengan androgen eksogen.
Adanya aanggapan bahwa memudarnya kadar testosteron pada pria usia
paruh baya yang disebut 'menopause pria', sering menjadi penyebab
disfungsi ereksi dan, karenanya, meningkatkan kadar testosteron serum
memiliki manfaat terapeutik. Namun, ada beberapa bukti dari model hewan
percobaan bahwa androgen diperlukan untuk mendukung fungsi otot polos
intracavernosal dan pemeliharaan kadar NO sintase. Androgen eksogen
tentu mampu meningkatkan libido, yang merupakan komponen penting dari
seksualitas.

Dihydrotestosterone (DHT), metabolit androgenik kuat dari


testosteron yang diproduksi oleh enzim 5α-reductase, sangat penting untuk
perkembangan normal genitalia eksterna pria, vesikula seminalis dan
prostat, tetapi tidak esensial untuk fungsi libido atau ereksi. Senyawa seperti
finasteride, yang menghambat aktivitas 5α-reductase tipe II, menghasilkan
penyusutan prostat sebesar 20-30%, tetapi telah dilaporkan menyebabkan
disfungsi ereksi hanya pada sekitar 3-5% pasien. Namun, dalam studi
finasteride terkontrol plasebo selama 4 tahun, hampir 14% pasien yang
menggunakan obat aktif mengalami beberapa bentuk disfungsi seksual.

Prolaktin, yang dilepaskan dari kelenjar hipofisis, bertindak sebagai


faktor penghambat dalam fungsi seksual pria. Hiperprolaktinemia, baik
idiopatik atau, lebih jarang, akibat dari tumor seperti prolaktinoma hipofisis,
dikaitkan dengan disfungsi ereksi, seperti halnya entitas hiperprolaktinemia
idiopatik yang lebih umum. Koreksi peningkatan kadar prolaktin
menggunakan bromocriptine kadang-kadang dapat mengembalikan potensi
pada pasien tersebut.

2. Disfungsi Ereksi Psikogenik


Disfungsi ereksi psikogenik disebabkan oleh depresi, rasa cemas yang
berlebihan mengenai kemampuannya untuk melakukan hubungan seksual, dan
hipotiroidisme (Wells, et al., 2009). Mekanisme inhibisi ereksi pada disfungsi
psikogenik: terjadinya inhibisi pusat ereksi pada saraf tulang belakang secara
langsung akibat inhibisi suprasakral yang berlebihan dan aktivitas simpatis yang
berlebihan atau kadar katekolamin yang meningkat, yang dapat meningkatkan tonus
otot polos pada penis, sehingga mencegah terjadinya relaksasi otot polos yang
diperlukan untuk ereksi (Dean dan Lue, 2005).

Penyebab psikologis secara luas dianggap sebagai penyebab utama disfungsi


ereksi. Disfungsi ereksi psikogenik biasanya terjadi pada pria yang lebih muda, dan
bervariasi dan sering dikaitkan dengan kecemasan kinerja. Peningkatan nada
vasokonstriktor simpatis dan peningkatan kadar norepinefrin yang bersirkulasi
kemungkinan besar terlibat. Faktor-faktor psikogenik juga berperan dalam bentuk
lain dari disfungsi ereksi, karena kegagalan ereksi itu sendiri menyebabkan
kecemasan, kehilangan kepercayaan diri dan kadang-kadang kesulitan hubungan.

Gambar x. Faktor Risiko lain pemicu Disfungsi Ereksi

2.7 Ejakulasi Dini

Terdapat berbagai definisi mengenai ejakulasi dini, diantaranya yaitu :

1. Menurut Diagnostic and Stactistical Manual of Mental Disorders IV-Text


Revision (DSM-IV-TR), ejakulasi dini adalah ejakulasi yang terjadi
secara berulang dengan sedikit rangsangan seks sebelumnya atau terjadi
segera setelah penetrasi, lebih cepat dari yang diinginkan.
Pertimbangannya dilibatkan adalah ketika individu tersebut merasa
tidak puas atau kesulitan.
2. Menurut WHO dalam International Classification Of Disease (ICD-10),
ejakulasi dini adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan ejakulasi
yang terjadi sebelum atau segera setelah penetrasi dalam rentang waktu 15
menit setelah intromisi ke vagina. Fokus disini adalah waktu ketika
terjadinya ejakulasi.
3. Menurut The International Society for Sexual Medicine (ISSM) ejakulasi
dini adalah disfungsi seksual pada laki-laki yang memiliki karateristik yaitu,
ejakulasi terjadi sebelum atau segera setelah penetrasi; ketidakmampuan
untuk menahan ejakulasi sebelum penetrasi; timbul efek negatif seperti
menderita, merasa terganggu, frustasi, dan menghindari melakukan seks

Salah satu faktor yang dapat menentukan terjadinya ejakulasi dini adalah
Intravaginal Ejaculatory Latency Time (IELT) yang merupakan ukuran lamanya
waktu dari penetrasi hingga terjadinya ejakulasi. Pada IELT, tidak ada standar
waktu pastinya karena tidak ada definisi ejakulasi dini yang didasarkan pada data
normatif, sehingga masih berupa rentang, yaitu sekitar 1-7 menit. Menurut
Gebhard, rata – rata waktu ejakulasi normal berkisar antara 4-7 menit. Apabila
kurang dari 4 menit, dapat dianggap mengalami ejakulasi dini.

2.7.1 Klasifikasi Ejakulasi Dini


Gambar 1. Klasifikasi Ejakulasi Dini (Waldinger, M. (2007). Premature
ejaculation. London: Routledge.)

2.7.1.1 Lifelong Premature Ejaculation

Gangguan ini muncul sejak pengalaman seksual pertama dan


merupakan sindrom yang terjadi pada 2,3 – 3,2% populasi dan dapat
dikarakterisasi oleh beberapa gejala berikut, yaitu ejakulasi terjadi terlalu
dini pada hampir setiap hubungan seksual; dengan hamper semua wanita;
dari hubungan seksual pertama hingga yang kemudian; pada 80% kasus
terjadi selama 30-60 detik atau antara 1-2 menit pada 20% kasus. Lifelong
premature ejaculation terjadi akibat adanya gangguan pada fungsi biologis.
Pada beberapa pria, ejakulasi terjadi selama foreplay, sebelum penetrasi,
atau sesaat setelah penis menyentuh vagina. Lifelong PE dapat dianggap
sebagai disfungsi ejakulasi kronis.

2.7.1.2 Acquired Premature Ejaculation

Gangguan ini muncul merupakan ejakulasi dini yang terjadi pada


3,9-4,8% populasi dan terjadi suatu waktu dalam hidup pria. Sebelumnya
pria ini mengalami ejakulasi normal sebelum mengalami ejakulasi dini.
Onset dapat terjadi secara tiba – tiba atau gradual. Disfungsi ini dapat terjadi
akibat dari disfungsi urologis, contohnya disfungsi ereksi dan prostatitis;
disfungsi tiroid; masalah psikologis atau dalam hubungan.

2.7.1.3 Natural Variable Premature Ejaculation

Gangguan ini terjadi pada 8,5-11,4% populasi dan hanya terjadi


pada situasi atau kondisi tertentu pada pria. Tipe PE ini tidak boleh dianggap
sebagai gejala atau manifestasi dari patologis sebenarnya, tetapi merupakan
variasi normal pada aktivitas seksual. Ejakulasi dini terjadi secara tidak
konsisten dan irregular dan biasanya terjadi setelah 1,5 menit.

2.7.1.4 Premature-like Ejaculatory Dysfunction

Gangguan ini disebut juga Subjective Premature Ejaculation. Pria


yang mengalami hal ini merasa bahwa ia mengalami ejakulasi dini, padahal
sebenarnya ejakulasinya normal, yakni sekitar 3-6 menit, bahkan bias terjadi
lebih lama, yaitu sekitar 5-25 menit. Tipe PE ini tidak dianggap sebagai
gejala manifestasi dari kondisi patologis sebenarnya. Sindrom ini dapat
terjadi karena kondisi psikologis dan kultural.

2.7.2 Tingkat Keparahan

Gangguan ejakulasi dini memiliki tiga tingkat keparahan diantaranya yaitu


:

1. Ringan → Terjadi dalam waktu kurang lebih 30 detik sampai 1 menit


saat penetrasi ke vagina.
2. Moderat → Terjadi dalam waktu kurang lebih 15 - 30 detik saat
penetrasi ke vagina.
3. Parah → Terjadi sebelum aktivitas seksual pada awal aktivitas
seksual atau dalam waktu kurang lebih 15 detik penetrasi ke vagina.

2.7.3 Patofisiologi Ejakulasi Dini

Patofisiologi ini dibagi menjadi dua teori yaitu :

1. Teori yang pertama adalah teori psikologis yang menganggap bahwa


ejakulasi dini terjadi akibat efek dari pengalaman sebelumnya
(pengalaman seksual pertama) dan kondisi seksual, kegelisahan (terburu –
buru ingin mencapai klimaks atau orgasme), teknik berhubungan seksual
yang kurang tepat, dan frekeunsi aktivitas seksual.
2. Teori biologis, yakni hipersensitivitas penis (dengan sedikit rangsangan
sudah mengalami ejakulasi), ketidaknormalan kadar neurotransmitter pusat
dan kadar dari hormone seks, sensitivitas reseptor, tingkat gairah, dan
kecepatan terjadinya reflex ejakulasi.
Gambar 2. Patofisiologi Ejakulasi Dini (Buvat, J. (2011).
Pathophysiology of Premature Ejaculation. The Journal Of Sexual
Medicine, 8, 316-327. doi: 10.1111/j.1743-6109.2011.02384.x)

2.7.3.1 Psychorelational

Beberapa hal yang terkait dengan factor psychorelational adalah


kegelisahan (anxiety) dan masalah dalam hubungan. sehingga fase emisi
terjadi lebih cepat. Kegelisahan ini terjadi akibat pria terlalu memikirkan
peformanya, sehingga lupa mengontrol tingkat gairah dan melupakan
sensasi sebelum terjadinya ejakulasi.

2.7.3.2 Endokrin

Penelitian menunjukkan pasien hipertiroid juga mengalami


Acquired Premature Ejaculation, sedangkan pada pasien yang mengalami
hipotiroid biasanya mengalami delayed ejaculation. Mekanisme pasti yang
menjelaskan hubungan antara hormon tiroid dengan ejakulasi masih belum
diketahui, sehingga terdapat tiga kemungkinan sites of action, yaitu sistem
saraf simpatik, jalur serotoninergic, dan sistem endokrin atau parakrin.

a. Sistem saraf simpatik

Ejakulasi sangat dipengaruhi oleh saraf simpatik dan


parasimpatik. Hormon tiroid meningkatkan sensitivitas terhadap
agonis adrenergic dengan cara meningkatkan densitas
adrenoreseptor dan ratio Gs/Gi melalui aktivasi berlebih pada
adenilatsiklase. Hal ini menyebabkan peningkatan pada aktivitas
simpatetik. Pada pasien yang mengalami hipertiorid, peningkatan
adrenergic dapat memicu terjadinya ejakulasi dini dan delayed
ejaculation yang berpengaruh secara langsung pada otot polos
(kontraksi/relaksasi) atau secara tidak langsung (anxiety dan
irritability).

b. Jalur serotoninergic

Hormon tiroid sangat terdistribusi luas pada reseptor di otak,


sehingga dapat diperkirakan bahwa iodothyronines dapat secara
spesifik mempengaruhi jalur serotoninergic yang berakibat pada
berkurangnya kontrol terhadap ejakulasi. Penggantian hormon tiroid
dapat meningkatkan serotonin, terutama 5-HT1A 5-hidroksitriptamin
sehingga dapat memicu terjadinya ejakulasi dini karena pada
dasarnya ejakulasi dini dapat terjadi apabila adanya hiperaktivasi
pada 5-HT1A (mempersingkat latency time) dan hipoaktivasi
terhadap 5-HT2C (meningkatkan latency time).

c. Parakrin

Hipertiroidis memeningkatkan kadar hormon seks yang


berikatan dengan globulin (SHBG), yakni hormon yang mengikat
androgen dengan afinitas yang lebih tinggi dari pada oestrogen, yang
menyebabkan terjadinya hiperoestrogenisme. Oestrogen ini dapat
memulihkan kontrak tilitasepididimis yang diinduksi oleh
oksitoksin dan meningkatkan regulasi reseptor gen oksitoksin, dan
ekspresi protein. Oksitoksin ini terlibat dalam mekanisme ejakulasi
secara pusat dan peripheral. Hal ini dapat menunjukkan korelasi
antara hipertiroidisme dan ejakulasi dini.

2.7.3.3 Urologis

Kondisi urologis yang mempengaruhi terjadinya ejakulasi dini


adalah inflamasi atau infeksi pada prostat. Hubungan ini harus ditinjau juga
dari durasi terjadinya gejala dan tingkat inflamasi yang terjadi. Walaupun
hubungan antara inflamasi pada prostat dan patofisiologis terhadap reflex
ejakulasi sudah dipastikan ada, namun penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk menentukan mekanisme pastinya.

` 2.7.3.4 Disfungsi Ereksi

Disfungsi ereksi dan ejakulasi dini saling berhubungan. Para pasien


penderita disfungsi ereksi membutuhkan stimulasi tingkat tinggi untuk
mencapai ereksi atau dapat pula memicu ereksi dengan cara mempercepat
terjadinya intercourse untuk mencegah terjadinya detumescence dini,
sehingga ejakulasi terjadi dengan latency yang singkat. Di sisi lain, ejakulasi
dini juga dapat menyebabkan disfungsi ereksi. Pasien yang dengan sadar
berusaha memperlama ejakulasi dengan cara menurunkan tingkat
kesenangan dapat menyebabkan hilangnya kemungkinan penis untuk ereksi.

2.7.4 Dampak Terhadap Kualitas Hidup

Pria dengan PE banyak dilaporkan mengalami:

a. Rendahnya kepuasan ketika berhubungan seks;


b. Sulit relax selama berhubungan;
c. Frekuensi hubungan yang lebih rendah.

Efek lain pada penderita PE yaitu :

a. Kepercayaan diri
b. Hubungan terhadap pasangan
c. Kesehatan mental (kecemasan, perasaan malu, dan depresi)

2.8 Infertilitas pada Pria

Menurut World Health Organization (WHO), infertilitas adalah


ketidakmampuan terjadinya kehamilan pada pasangan yang melakukan hubungan
intim tanpa kontrasepsi secara teratur sekurang-kurangnya dalam satu tahun. Secara
umum, infertilitas yang terjadi pada pria disebabkan karena adanya kelainan dalam
memproduksi sperma atau pada pergerakan sperma menuju ovum. Namun, tidak
hanya itu, banyak faktor lain yang dapat mendukung terjadinya infertilitas pada pria
sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab infertilitas pada pria
diantaranya, yaitu ;

A. Abnormalitas Sperma

Yang dapat menyebabkan infertilitas pada pria pada umumnya


terjadi pada kelainan kualitas maupun kuantitas sperma dimana kuantitas
mencakup jumlah sperma yang dihasilkan sedangkan kualitas mencakup
motilitas dan morfologi sperma. Normalnya dalam sekali melakukan
ejakulasi, seorang pria menghasilkan semen dengan volume rata-rata adalah
2,75 mL, atau berkisar antara 2-6 mL. Jumlah sperma normal yang
dihasilkan 180 juta sperma (66 juta/ml) dan beberapa yang ejakulasi
menghasilkan sebanyak 400 juta sperma. (Sherwood, 2010) Abnormalitas
sperma yang terjadi pada pria terbagi menjadi beberapa jenis, diantaranya
adalah ;

● Oligospermia

Kondisi dimana jumlah sperma yang dihasilkan kurang dari


20 juta/mL sedangkan pada pria normal dihasilkan dengan jumlah
sperma rata-rata 66 juta/mL. Diakibatkan karena retrogade
ejaculation partial, kekurangan androgen, dan tidak adanya atau
penyumbatan pada vesikula seminalis. (Samplaski and Sabanegh.,
2013) Retrogade ejaculation adalah kondisi dimana semen yang
tidak bergerak melalui penis ketika orgasme melainkan masuk ke
dalam kandung kemih. Kondisi ini menyebabkan si penderita dapat
mencapai orgasme namun mengalami ejakulasi yang menghasilkan
semen yang sedikit atau tidak ada semen sama sekali (biasa disebut
orgasme kering). Hal ini terjadi karena karena otot sfingter atau otot
leher kandung kemih tidak berfungsi dengan baik sehingga
mengakibatkan pergerakan mundur ke kandung kemih. (Parnham
and Serefoglu., 2016)

Gambar 2… Perbedaan proses aliran ejakulasi normal (atas) dan aliran


ejakulasi pada
penderita retrogade
ejaculation (bawah)

● Azoospermia

Tidak ditemukannya sperma di dalam cairan semen saat


ejakulasi. Diakibatkan karena retrogade ejaculation, tidak
memproduksi sperma dan penyumbatan saluran reproduksi.
(Samplaski and Sabanegh., 2013) Hal ini tentu sangat
mempengaruhi terjadinya pembuahan, mengingat untuk mencapai
ovum sperma harus melalui perjalanan yang tidaklah mudah, jadi
apabila jumlah sperma yang dikeluarkan seorang pria sedikit, maka
ditakutkan sperma yang dikeluarkan tersebut tidak ada/sedikit yang
mampu mencapai ovum untuk melakukan pembuahan, karena telah
mati diperjalanan sebelum bertemu ovum.
● Asthenospermia

Kemampuan pergerakan sperma lambat atau tidak lurus


sehingga sperma kesulitan dalam menembus mukus serviks atau
penetrasi pada barrier sel telur. Dikatakan abnormal bila kurang dari
40% sperma dapat bergerak lurus. Sedangkan, pergerakan sperma
yang lambat dapat disebabkan karena kelainan genetik, trauma
testis, malnutrisi atau defisiensi nutrisi, suhu terlalu tinggi di testis,
atau kebiasaan merokok. (Samplaski and Sabanegh., 2013)

● Teratospermia

Bentuk dan struktur sperma yang tidak normal. Struktur


sperma yang normal dengan bentuk kepala yang oval dan ekor yang
panjang. Disebabkan karena disfungsinya epididimis serta seringnya
melakukan ejakulasi. (Samplaski and Sabanegh., 2013) Dalam
penilaian potensi fertilitas suatu sampel sperma, kualitas sperma
juga harus diperhitungkan. Adanya sperma dalam jumlah bermakna
dengan kelainan motilitas atau struktur seperti sperma dengan ekor
abnormal, dapat menurunkan kemungkinan fertilisasi. Bentuk
sperma yang normal terdiri atas 4 bagian yakni kepala,akrosom,
bagian tengah dan ekor. Kepala terutama terdiri atas nukleus, yang
mengandung informasi genetik sperma. Kepala sperma berbentuk
oval dan mulus, dengan panjang 5-6 mikrometer dan lebar 2,5-3,5
mikrometer. Akrosom suatu vesikel berisi enzim diujung kepala
digunakan sebagai “bor enzimatik” untuk menembus ovum. Pada
sperma dengan bentuk normal, akrosom menyelubungi 40% hingga
70% bagian kepala sperma. Akrosom itu sendiri dibentuk dari
agregasi vesikel-vesikel yang dihasilkan oleh kompleks
golgi/retikulum endoplasma sebelum organel ini dibuang. Mobilitas
spermatozoa dihasilkan oleh ekor yang panjang dan berbentuk
seperti pecut yang keluar dari salah satu sentriol. Pergerakan ekor
terjadi akibat pergeseran relatif mikrotubulus-mikrotubulus
konstituennya,dijalankan oleh energi (ATP) yang dihasilkan oleh
mitokondria yang terkonsentrasi di bagian tengah (Sherwood, 2010).

Bentuk morfologi sperma juga penting dalam proses


fertilisasi. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa ovum
terlindungi oleh sebuah zona pellucida, dimana sperma harus
mampu menembus zona tersebut terlebih dahulu untuk dapat masuk
kedalam ovum. Hanya sperma dengan bentuk normal yang dapat
menembus zona ini. Apabila kepala sperma terlalu besar, terlalu
kecil, terlalu lonjong, terlalu bulat atau dengan kata lain tidak
simetris maka akan menghambat proses penembusan sperma
menuju zona pellucida. Maka dari itu, untuk dapat membuahi ovum,
sperma harus memiliki bentuk yang sempurna, setidaknya 60% dari
sperma yang diejakulasikan harus memiliki bentuk yang sempurna.
Berkurangnya jumlah sperma dengan bentuk yang normal yang
dihasilkan oleh seorang pria, maka berkurang pula kemampuannya
untuk fertilitas. (North Hudson IVF)

Gambar 2… Perbandingan bentuk sperma normal (A) dengan bentuk sperma


yang infertil (B-G)

Di bawah ini terdapat tabel mengenai parameter untuk semen pada


pria yang normal.

Volume 2-4 mL
pH 7,2 – 7,8

Konsentrasi Sperma 20-250 juta spermatozoa/mL

Morfologi Bentuk kepala oval ; adanya


akrosom dibagian anterior
kepala ; adanya leher
berbentuk ramping yang
sejajar dengan kepala ;
panjang flagella antara 40-
50 μm dengan bentuk yang
lurus

Vitality ≥ 58% spermatozoa

hidup

Motility ≥ 32%

Tabel … Parameter semen pada pria yang normal

B. Varicocele

Kondisi patofisiologis dimana penderita mengalami pembesaran abnormal


pembuluh darah vena di skrotum akibat darah yang menumpuk sehingga
suhu di area lebih panas yang kurang baik dalam pembentukan sperma, baik
secara kualitas terkait dengan morfologi dan motilitas sperma serta kuantitas
terkait dengan jumlah sperma yang dihasilkan. (Simon et al., 2012)
Posisi skrotum yang berada di luar tubuh akan menjaga lingkungan
sekitar testis tetap dingin sehingga dapat memproduksi sperma dengan baik.
Berdasarkan anatominya, tiap testis menggantung di dalam skrotum karena
adanya struktur organ yang disebut spermatic cord yang mana di dalamnya
terdapat pembuluh darah, vas deferens yang berfungsi sebagai saluran
tempat keluarnya sperma serta testicular artery, yaitu pembuluh darah yang
membawa sebagian besar darah menuju testis. Sebagian besar darah
meninggalkan testis melalui vena yang disebut pampiniform plexus namun
ada juga yang keluar lewat vena yang lebih kecil yang posisinya di sebelah
vas deferens, yaitu vena vas deferens. Dari pampiniform plexus, darah
mengalir menuju testicular veins. Di dalam testicula veins, terdapat
rangkaian katup di yang bekerja satu arah dan berfungsi mencegah darah
mengalir kembali menuju testis. Varicocele ini terjadi akibat dari katup vena
testis yang tidak bekerja dengan baik atau tidak tertutup dengan baik
sehingga darah mengalir kembali ke testis

Struktur testicular vein yang kiri lebih lurus dan lebih panjang maka
tekanan darah ke bawahnya lebih kuat. Testicular vein yang kiri terhubung
dengan vena ginjal yang kiri sehingga arteri menuju usus akan meremas
renal vein yang kiri menyebabkan darah mundur kembali di vena testicular
yang kiri. Keadaan ini disebut nutcracker syndrome. Maka, varicocel akan
terbentuk di pampiniform plexus kiri sehingga darah berkumpul di sana dan
mengakibatkan jadi bengkak. Darah yang berkumpul di pampiniform plexus
kiri akan meningkatkan suhu disekitar testis sehingga menurunkan produksi
sperma dan testosteron di testis.

Gambar … Patofisiologi yang terjadi pada penderita


varikokel

C. Terpajannya Testis ke Lingkungan Panas

Pada umumnya, skrotum menjaga temperature di sekitar testis


kisaran di bawah 2-4oC dari suhu tubuh. Dibutuhkan waktu 70 hari untuk
pertumbuhan sperma namun membutuhkan waktu beberapa bulan untuk
menjaga testis lebih dingin untuk meningkatkan produksi sperma. Pada
kondisi dingin biasanya testis dalam scrotum akan naik mendekati tubuh
yang ditujukan untuk menghangatkan. Sebaliknya apabila suhu panas akan
menyebabkan scrotum turun menjauhi suhu tubuh. Bila suhu meningkat
pada testis akan terjadi degenerasi sebagian besar sel tubulus seminefirus.
(Andrology Australia, 2018)

D. Kelainan dalam Regulasi Hormon

Pada pria penderita infertilitas, umumnya disebabkan karena adanya


gangguan dalam memproduksi sperma sehingga sperma yang dihasilkan
dapat kurang dari parameter semen pada pria normal atau tidak ada sama
sekali. Salah satu hal yang menjadi penyebabnya karena kelainan dalam
regulasi hormon yang berperan untuk proses spermatogenesis. Kondisi pada
seorang penderita ini dikarenakan tidak dapat cukup memproduksi hormon
testosteron yang berperan dalam proses spermatogenesis yang disebut
hypogonadism. Selain itu, juga mengakibatkan ukuran penis dan testis
kecil, penurunan testis tidak benar, rendahnya jumlah sperma.
Hypogonadism terdiri dari dua jenis berdasarkan penyebabnya, yaitu ;
(Sabanegh dan Agarwal., 2012)

● Primary Hypogonadism

Kondisi dimana ketika otak mengirimkan sinyal pada testis untuk


membentuk testosteron dan sperma namun testis tidak dapat
merespons dengan tepat karena adanya kelainan pada testis tersebut.
Maka, otak akan meningkatkan jumlah sinyal gonadotropin
sehingga mengakibatkan tingginya sinyal gonadotropin dalam darah
dari normalnya. Terjadi pada penderita klinefelter’s syndrome.
Penderita klinefelter’s syndrome ini memiliki extra kromosom X
yang dapat mengganggu fungsi normal dari sel leydig dan sel sertoli
sehingga sel leydig tidak dapat merespons sinyal dari otak yang
berdampak dalam memproduksi testosteron begitu juga dengan sel
sertoli yang tidak dapat memproduksi inhibin mengakibatkan
tingginya produksi FSH dan LH. (Sabanegh dan Agarwal., 2012)

● Secondary Hypogonadism

Terjadi ketika otak gagal memberikan sinyal ke testis dengan


baik sehingga jumlah testosteron yang dihasilkan sangat rendah dan
biasanya tidak adanya sperma dalam semen. Dan penderita gagal
mengalami masa pubertas. Terjadi pada kallman’s syndrome.
(Sabanegh dan Agarwal., 2012)

Normalnya, selama perkembangan janin, terdapat daerah di


otak disebut olfactory placode mengandung dua grup neuron yang
muncul dari daerah tersebut, yaitu olfactory neuron yang berperan
untuk membantu dalam mencium bau. Neuron ini akan berpindah
dan tertanam pada daerah cribriform lalu membentuk olfactory bulb.
Yang kedua adalah neuron yang menghasilkan GnRH yang akan
berpindah melalui cribriform dan menetap di hypothalamus.
Testosteron berperan dalam perkembangan genital dan menurunnya
testis dari abdomen ke dalam scrotum. Pada masa pubertas sel leydig
karena respon LH itu akan mengubah kolesterol menjadi testosteron
untuk perkembangan testis dan penis. FSH merangsang sel sertoli
untuk memperbanyak sperma.

Pada penderita kallman’s syndrome, terjadi kelainan pada


perpindahan neuron yang berasal dari olfactory placode sehingga
mengurangi proses pelepesan GnRH yang mengakibatkan
konsentrasi hormon gonadotropin menurun (LH dan FSH). Karena
hal ini, terjadi penurunan jumlah testosteron. Karena disebabkan
kelainan pada olfactory placode maka juga berdampak pada
olfactory neuron yang mengakibatkan hyposmia, yaitu kondisi
berkurangnya dalam merangsang mencium bau atau bahkan
anosmia dimana si penderita kehilangan kemampuan mencium bau.

Gambar … Patofisiologi dari penderita kallman’s syndrome

E. Kelainan Kongenital

1. Hipospadia

Hipospadia merupakan cacat lahir paling umum dimana pembukaan uretra


bukan terletak di ujung glans penis namun terbuka di sepanjang penis bagian ventral
atau wilayah skrotum. Keadaan ini akan menyulitkan proses berjalannya sperma
menuju ovum. Indikator hipospadia pada neonatus adalah kulup abnormal dan
chordae/pembengkakan penis.
Gambar … Perbandingan Penis Normal dan Hypospadias

Sebagian besar kasus hipospadia adalah hipospadia distal (dengan


pembukaan uretra di sekitar glans penis) yang merupakan tingkat pertama
hipospadia dan terdapat 50-70% kasus. Ketika lubang uretra terletak pada batang
penis, maka disebut hipospadia tingkat kedua dan jika lubang uretra berada di
bawah skrotum atau di perineum maka disebut hipospadia tingkat ketiga. Pada kasus
pembengkokan penis aliran urin menyimpang dan pasien biasanya menderita
infertilitas atau masalah berat lain dalam hubungan seksual.

Gambar ... Jenis Hipospadia

Pada beberapa kasus, penyebab hipospadia ini belum sepenuhnya diketahui.


Pengobatan dengan hormon progesteron selama kehamilan dapat meningkatkan
risiko hipospadia. Fluktuasi hormon tertentu, seperti kegagalan testis janin untuk
menghasilkan cukup testosteron atau kegagalan tubuh untuk merespon testosteron,
meningkatkan risiko hipospadia dan masalah genetik lainnya. Hipospadia juga
terkadang diwariskan. Peningkatan risiko hipospadia juga terjadi pada bayi yang
dikandung dengan fertilisasi in vitro (IVF). Hal ini kemungkinan karena adanya
paparan ibu terhadap progesteron atau progestin yang diberikan selama proses IVF.
2. Burried penis

Burried penis merupakan kelainan yang sering ditemukan pada neonatus


atau anak laki-laki prapubertas yang obesitas. Kelainan ini berupa batang penis yang
terkubur di bawah permukaan kulit prepubic yang menutupi sebagian atau seluruh
penis. Burried penis dapat disebabkan oleh obesitas atau sunat yang ekstrem.

Burried penis termasuk dalam anomali kongenital langka yang memiliki dua
komponen penyebab yaitu penebalan abnormal lemak prepubic dan disgenetik
dartos fascia yang menambatkan penis dan menariknya ke dalam. Orang dewasa
dengan buried penis umumnya mengalami obesitas dan memiliki riwayat trauma
atau operasi. Terdapat hubungan yang diamati dengan diabetes mellitus, yang dapat
memperburuk proses patologis.

Gambar ... Burried penis

3. Mikropenis

Mikropenis merupakan penis normal dalam segi anatomi tapi memiliki


ukuran yang lebih kecil dari ukuran penis rata-rata orang dewasa (7 cm (keadaan
biasa) dan 12,5 cm (keadaan ereksi)). Sebagian besar penyebab mikropenis adalah
karena kekurangan testosteron janin. Mikropenis juga dapat disebabkan karena
kekurangan hormon pertumbuhan. Hal ini dapat terjadi sebagai anomali struktur
idiopatik utama atau terkait dengan sindrom genetik. Penyebab paling umum dari
mikropenis adalah fungsi hipotalamus atau hipofisis yang abnormal yang mengarah
ke hipogonadisme hipogonadotropik.

Gambar ... Mikropenis

4. Fimosis
Fimosis didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk menarik kembali kulit
(kulup) yang menutupi kepala (glands penis). Fimosis muncul seperti cincin yang
ketat atau seperti karet gelang kulup disekitar ujung penis sehingga menghambat
retraksi secara penuh.

Fimosis dapat terjadi secara fisiologis dimana anak-anak dilahirkan dengan


kulup ketat saat lahir dan pemisahan terjadi secara alami dari waktu ke waktu.
Sehingga fimosis fisiologis dapat sembuh dengan pertambahan usia. Fimosis dapat
pula hadir sebagai kondisi patofisiologis dimana terjadi karena jaringan parut,
infeksi atau peradangan. Kuatnya kulup retraksi dapat menyebabkan perdarahan,
jaringan parut, dan trauma psikologis bagi anak dan orang tua. Pada orang tua
fimosis dapat muncul akibat hilangnya elastisitas kulit dan jarangnya ereksi. dibagi
menjadi 2 kondisi:

a. Fisiologis

Anak-anak dilahirkan dengan kulup ketat saat lahir dan pemisahan terjadi
secara alami dari waktu ke waktu. Sehingga fimosis fisiologis dapat sembuh
dengan pertambahan usia.

b. Patofisiologis

Fimosis yang terjadi karena jaringan parut, infeksi atau peradangan. Kuatnya
kulup retraksi dapat menyebabkan perdarahan, jaringan parut, dan trauma
psikologis bagi anak dan orang tua. Jika terdapat balon pada kulup saat buang
air kecil, kesulitan dengan buang air kecil, atau infeksi, maka harus segera
mendapatkan pengobatan. Kebersihan yang buruk dan episode berulang dari
balanitis menyebabkan munculnya jaringan parut dari lubang preputia, dan
menyebabkan fimosis patofisiologis. Pada orang tua fimosis dapat muncul
akibat hilangnya elastisitas kulit dan jarangnya ereksi.

5. Parafimosis

Parafimosis merupakan keadaan kulup yang ditarik ke belakang glans penis


tidak dapat dikembalikan ke posisi normal sehingga menjadi ketat dan membentuk
konstriksi cincin di sekitar glans penis, ini menyebabkan glans mengalami
eritematosa dan edematous lama- kelamaan. Glans penis yang awalnya berwarna
merah muda, akan berubah menjadi biru atau hitam seiring meningkatnya nekrosis.
Parafimosis biasa ditemukan pada anak-anak yang secara paksa menarik
kulupnya dan atau yang lupa untuk mengembalikan kulupnya setelah berkemih, pria
penderita balanoposthitis/peradangan glans penis, dan pasien yang menggunakan
kateter dan pengasuhnya lupa untuk mengembalikan kulup setelah kateterisasi atau
pembersihan.

Gambar ... Fimosis dan Parafimosis

6. Hernia Inguinalis

Hernia inguinalis merupakan gangguan pada perkembangan testis ataupun


cedera berat. Pada gangguan perkembangan, testis yang berkembang dari gonadal
ridge yang terletak di belakang rongga abdomen, pada bulan terakhir janin, akan
turun melalui kanalis inguinalis ke dalam skrotum. Saat testis turun penutupan
kembali rongga abdomen tak sempurna atau ruptur sehingga visera abdomen masuk
ke dalam kanalis inguinalis. Pada cedera berat, masuknya visera abdomen pada
kanalis inguinalis dapat disebabkan oleh kerja berat dan kecelakaan sehingga
terbentuk rongga pada abdomen dengan jalur kanalis inguinalis.

Gambar ... Hernia Inguinalis

2.9 Terapi Non farmakologi

2.9.1 Ejakulasi Dini


1. Squeeze Technique

Seks terapi yang digunakan untuk ejakulasi dini meliputi behavioral program yang
didesain untuk meningkatkan kontrol diri. Langkah awal yang biasanya digunakan adalah
edukasi dimana penting bagi para pasangan untuk mengetahui akar permasalah, daripada
asalnya, serta prognosis sehingga didapatkan solusi yang memuaskan. Teknik pendekatan
tingkah laku yang paling umum adalah squeeze technique yang dikenal dengan start and
stop. Teknik ini membutuhkan kesabaran serta komitmen untuk menyelesaikan masalah.
Dengan adanya instruksi dari terapis, pasien dapat memulai latihan masturbasi untuk
mengetahui pola ejakulasi dan mendapatkan kontrol.

Langkah kerja dari squeeze technique ini menekan batang penis di antara jari jempol
dan dua jari. Pria atau pasangannya dapat mengaplikasikan tekanan lembut di bawah kepala
penis selama 20 detik lalu hubungan seksual dapat dilanjutkan. Teknik ini dapat diulang
sesering mungkin jika penting. Jika teknik ini sukses, hal ini memungkinkan pria untuk
mendapatkan kontrol ejakulasi tanpa penekanan. Terapi tingkah laku dapat membantu pria
yang menderita ejakulasi dini sebanyak 60-90%.

2. Yoga dan Meditasi

Stresss tidak identic dengan ansietas. Adanya kerusakan pada hypothalamus pituitary
adrenal (HPA)-axis dengan kenaikan level dari kortisol pada pria dengan PE belum
dipublikasikan, tetapi ada indikasi bahwa pria dengan PE, memiliki penurunan volume dari
hipokampus. Pengobatan dari PE untuk area otak belum diketahui dan akan diteliti lebih
lanjut. Adanya asosiasi dari neurobiological dari PE dengan stress, meditasi, proses
kognitif, dan antidepresan harus diteliti lebih lanjut.

Yoga memiliki efek yang baik untuk fungsi reproduksi karena menurut Schimid et al,
terdapat reduksi ekskresi urin dari adrenalin, noradrenalin, dopamine, dan aldosterone,
yang dapat menurunkan level hormone testosterone dan LH dan meningkatkan sekresi
kortisol yang dapat menyebabkan perubahan pada hormone. Kamei et al, menyebutkan
bahwa terjadi perubahan pada gelompang otak selama melakukan yoga dan terjadi
peningkatan gelombang alfa dan penurunan serum kortisol.

Karena penderita penderita diabetes serta hipertensi memiliki prevalensi yang tinggi,
maka kita juga perlu melakukan intervensi kepada 2 penyakit tersebut melalui yoga dengan
mekanisme :
a. Untuk penderita hipertensi → adanya efek yang menguntungkan pada fungsi
neurological otonom, karena kerusakan pada sensitivitas barorefleks dapat menjadi
faktor utama penyebab hipertensi. Mempraktikan yoga dipercaya mampu
merestorasi sensitivitas dari baroreseptor sehingga dapat menyebabkan penurunan
darah pada pasien yang berpartisipasi dalam yoga.
b. Untuk penderita Diabetes Mellitus à Yoga dapat digunakan untuk pasien yang
menderita NIDDM (Non Insulin Dependant Diabetes Mellitus). Pada pasien yang
melaksanakan yoga, terjadi penurunan hiperglikemia melalui tes toleransi fluktosa.
Tetapi, mekanisme dari anti-glikemia belum dideskripsikan secara pasti.
Mekanisme yang mungkin terjadi adalah adanya modulasi neurohormonal pada
insulin dan glukagon.

3. Kondom

Dapat menunda ejakulasi dengan cara menurunkan sensitivitas penis. Beberapa


kondom kontrol klimaks mengandung agen mati rasa seperti benzokain atau lidokain yang
terbuat dari lateks yang lebih tebal sehingga mampu menunda ejakulasi. Beberapa
contohnya seperti Trojan extended dan durex performance intense

4. Terapi komplementer alternatif → Penggunaan akupuntur namun tidak


direkomendasikan untuk ejakulasi dini

2.9.2 Disfungsi Ereksi

1. Vacuum Constriction Device

Menggunakan vacuum constriction device. Alat ini bertujuan untuk membantu dan
mempertahankan ereksi dengan cara mengisap udara melalui tabung yang dipasang untuk
menarik darah ke penis. Alat ini dapat digunakan apabila Viagra tidak bisa berfungsi lagi
(American Urogical Association).
Gambar 1. Vacuum Constriction Device

3 Bagian dari alat ini terdiri atas tabung plastik, pompa, serta cincin penyempit.
Tabung plastik dapat diletakkan di penis. Pada bagian ujung tabung ditempeli oleh pompa
yang dilengkapi oleh tenaga baterai, selain tenaga baterai, dapat pula digunakan tenaga
manual. Cincin penyempit digunakan di pangkal penis yang ereksi. Vacuum Constriction
Device dapat digunakan dengan cara : mengoleskan gel larut air ke batang penis.
Pengolesan gel ini bertujuan agar tabung kedap air. Lalu tempatkan penis ke dalam tabung.
Lakukan Pemompaan agar penis menegang dan terisi dengan darah. Adanya pompa ini
dapat memproduksi vacuum pressure yang membawa darah arteriolar ke copora cavernosa.
Biasanya dibutuhkan 10-20 menit agar ereksi sempurna. Lakukan penempatan cincin di
pangkal penis untuk mempertahakan ereksi melalui mekanisme penjagaan darah arteriolar
dengan cara mengurangi aliran vena ke penis. Setelah cincin terpasang, pengguna bisa
mencopot pompa dan memulai aktivitas seksual dengan pasangan
2. Penis Bionik

Gambar 2. Terapi farmakologi dan nonfarmakologi untuk disfungsi ereksi. Terapi


nonfarmakologi meliputi vacuum constriction device dan Penile implant

Terdapat dua tipe dari peile prosthesis, yaitu : noninflatable semirigid devices dan
inflatable devices. Noninflatable semirigid devices terdiri atas batang yang ditanamkan ke
dalam erection chambers dari penis dan dapat dibengkokkan berdasarkan kebutuhan
penetrasi seksual. Tipe penis ini sulit untuk disembunyikan. Alat ini mengandung tabung
inflatable yang diletakkan pada ruang ereksi penis, pompanya diletakkan di skrotum untuk
patient-actived inflation/deflation. Alat ini ditingkatkan dengan cara menekan pompa
beberapa kali untuk mengirimkan cairan dari reservoir ke ruang penis. Setelah melakukan
hubungan seksual, katup yang ada disebelah pompa dioperasikan secara manual, sehingga
memungkinkan pelepasan cairan dari penis sehingga menyebabkan penis kembali ke
kondisi semula.

3. Low Intensity Shock Wave Therapy


Pengobatan disfungsi ereksi vaskulogenik dengan menggunakan Li-ESWT
didasarkan karena adanya indikasi dari aliran darah arteri oleh color Doppler
ultrasonography dan bergantung pada respon dari agen vasoaktif yang disuntikkan. Sampai
saat ini, belum ada parameter fisiologis objektif yang mampu mengevaluasi efektivitas
terapi shockwave (SWT) pada disfungsi ereksi di dunia.

Nilai yang didapat dari IIEF-EF adalah indikator yang subjektif. Studi sebelumnya
mengungkapkan bahwa Li-ESWT dapat meningkatkan suplai darah, namun mekanisme
yang mendasari hal tersebut masih belum jelas walaupun pada studi in vitro dan hewan,
dapat diidentifikasikan bahwa SWT dapat mempromosikan formasi dari neovaskular pada
jaringan. Dengan adanya peningkatan biomarker angiogenesis, jaringan dapat mengalami
distribusi kembali. Bahkan, studi mengungkapkan bahwa efek ini berkaitan dengan
proliferasi sel, regenerasi jaringan, dan angiogenesis.

2.9.3 Infertilitas

1. Sperm Extraction Procedure


a. Vasal aspiration

Kriteria pasien yang dapat obstruksi kongential, sudah vasektomi <5 tahun
sebelumnya. Metode vasal aspiration merupakan metode paling matang karena
melewati epididimis

b. Epididymal aspiration

Pada metode ini, sperma yang dihasilkan tidak sematang vasal aspiration sehingga
membutuhkan ICSI untuk membuahi telur. Sperma dikumpulkan dari tubulus
epididimis terisolasi tunggal/dengan tusukan jarum seperti prosedur vasal.
c. Testicular Sperm Exctraction

Kriteria pasien untuk metode ini adalah pasien dengan produksi sperma yang
sedikit, pasien yang mengalami penyumbatan epididimis. Metode ini dilakukan
dengan cara mengambil sejumlah kecil testis melalui biopsi. Terdapat beberapa
kelemahan yang dicirikan oleh metode ini yakni diperlukan prosedur berulang.

2.10 Terapi Farmakologi

2.10.1 Terapi Disfungsi Ereksi

Terapi untuk disfungsi ereksi terbagi menjadi tiga, yaitu fosfodiesterase


inhibitor, regimen pengganti testosteron, dan alpostadril. Tujuan terapi disfungsi
ereksi ini adalah peningkatan kuantitas dan kualitas ereksi penis yang sesuai untuk
kepuasan hubungan seksual.

1. Fosfodiesterasi Inhibitor

Fosfodiesterase inhibitor merupakan terapi lini pertama dari disfungsi ereksi karena
efektivitas, rute administrasi yang nyaman, dan efek samping yang rendah. Terapi
ini tidak diindikasikan bagi yang memiliki fungsi ereksi normal. Mekanisme kerja
dari obat ini adalah dengan menghambat fosfodiesterase 5 (PDE5) sehingga dapat
mengurangi katabolisme cGMP. Dengan terhambatnya katabolisme cGMP ini
maka protein kinase akan teraktivasi dan terjadi relaksasi otot polos.

Contoh obat golongan ini adalah sildenafil, tadalafil, dan vardenafil. Obat-obat ini
juga memiliki efek samping secara umum antaralain sakit kepala, kemerahan akibat
efek vasodilatasi, hidung tersumbat, dispepsia (gangguan pencernaan), hidung
tersumbat. dan pusing. Selain itu, obat-obat ini memberikan efek samping karena
berikatan dengan fosfodiesterase lain.

Obat Efek Samping Penyebab

Sildenafil dan Vardenafil Sensitivitas terhadap Inhibisi PDE6 di sel


cahaya meiningkat, fotoreseptor mata
penglihatan buram

Tadalafil Nyeri otot Inhibisi PDE11 di otot


rangka

Obat-obat ini juga memiliki interaksi dengan obat lain, yaitu pemakaian
bersamaan dengan obat nitrat dapat menyebabkan hipotensi yang parah. Karena
organic nitrat merupakan produk penyebab hipotensi dan nitrat oksida merupakan
donor nitrat oksida yang dapat menstimulasi aktivitas guanil atsiklasi dan
meningkatkan kadar cMP dalam plasma dan menyebabkan vasodilatasi. Oleh
karena itu, untuk menghindari efek samping, penggunaan organic nitrat harus
ditahan 24 jam setelah pemakaian sildenafil/vardenafil dan 48 jam setelah
pemakaian tadalafil. Selain interaksi dengan obat, interaksi dengan lemak pada
makanan juga mempengaruhi sildenafil dan vardenafil dimana dapat menurunkan
laju absorpsi obat. Maka dari itu, sildenafil dan vardenafil baik digunakan sebelum
makan (saat perut kosong).

Viagra merupakan nama dagang dari sildenafil. Dosis penggunaan obat ini
yaitu 25-100 mg dengan onset aksi mencapai 0,5-1 jam sehingga penggunaannya
sekitar satu jam sebelum hubungan seksual.

2. Regimen Pengganti Testosteron


Terapi ini diindikasikan untuk pasien hipogonadisme. Batas konsentrasi serum
normal testosteron adalah 300-1.100 ng/dL. Pasien dengan hipogonadisme
memiliki konsentrasi serum lebih rendah dari batas normal. Mekanisme testosteron
itu sendiri secara langsung merangsang reseptor androgen di sistem saraf pusat dan
mempertahankan dorongan seksual. Regimen pengganti testosteron ini
dimaksudkan untuk mengembalikan konsentrasi serum testosteron menjadi normal
pada pasien hipogonadisme sehingga dapat mempertahankan dorongan seksual.

Regimen pengganti testosteron dapat menyebabkan retensi natrium, yang


dapat menyebabkan penambahan berat badan, atau memperburuk hipertensi, gagal
jantung kongestif, dan edema. Ginekomastia dapat terjadi akibat konversi
testosteron menjadi estrogen di jaringan perifer. Hal ini paling sering terjadi pada
pasien dengan sirosis hati.

Regimen pengganti testosteron ini memiliki banyak bentuk sediaan dari


tablet, gel topikal, patch, injeksi intramuscular, sampai implan subkutan. Berikut
adalah salah satu contoh sediaan tablet fluoxymesterone.
Dosis obat ini yaitu 2.5-5 mg per hari. Penggunaan obat ini yaitu dengan
menempelkan pada tangan, punggung, abdomen, atau paha. Efek samping dari
androderm patch ini yaitu dermatitis.

3. Alprostadril

Mekanisme obat ini adalah dengan menstimulasi adenyl cyclase menghasilkan


peningkatan produksi cAMP yaitu messenger sekunder yang menyebabkan
relaksasi otot polos pembuluh darah arteri dan jaringan sinusoidal di korpora
sehingga terjadi peningkatan aliran darah, dan mengisi darah korpora

a. Alprostadril Intracarvenosal

Obat ini digunakan dengan dosis 10-20 mcg dan dosis maksimal 60
mcg. Penggunaannya yaitu sehari sekali tidak lebih dari 3 kali seminggu,
diinjeksikan ke dalam cavernosal 5-10 menit sebelum berhubungan. Efek
samping dari obat ini adalah sakit pada penis, priapisme, hematoma, dan
memar pada lokasi injeksi.

b. Alprostadril Intraurethral
Obat alprostadril digunakan dengan dosis 125-1000 mcg.
Penggunaan obat ini tidak lebih dari 2 kali sehari; 5-10 menit sebelum
berhubungan. Efek samping yang terjadi yaitu sakit pada uretra, priapisme,
dan kehilangan kesadaran (syncope). Pada pasangan wanita mungkin akan
mengalami rasa terbakar, gatal, atau nyeri pada vagina.

2.10.2 Terapi farmakologi ejakulasi dini

Terapi farmakologi untuk ejakulasi dini dibagi menjadi tiga yaitu anastesi
lokal, Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), dan antidepresan trisiklik.

1. Anestesi Lokal

Terapi ini merupakan terapi dengan resiko terendah, bekerja cepat dan tidak
memiliki kontraindikasi yang berarti dalam penggunaan tersendiri atau dikombinasi
dengan obat lain. Anestesi lokal dapat mengurangi sensitivitas penis sehingga
mengurangi kepekaan terhadap rangsangan dan menunda ejakulasi.

Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat/ blocker pada kanal ion


Na+, sehingga muatan permukaan sel yang normalnya lebih positif (depolarisasi),
dengan masuknya ion Na= dan keluarnya ion K+, menjadi bermuatan lebih negatif
karena Na+ nya tidak bisa masuk dan K+ keluar secara normal (hiperpolarisasi).
Hal tersebut menyebabkan tidak terbentuknya aksi potensial sehingga
rangsangan/impuls tidak dapat diteruskan.
Gambar 40. Mekanisme kerja obat anestesi lokal

Contoh dari obat anestesi lokal pada umumnya adalah Lidokain 2,5% dan
Prilokain 2,5% dengan dosis sebesar 0,2 gram (gel). Namun obat anestesi juga
sedng berkembang dalam bentuk sediaan spray anestesi dan kondom. Efek samping
dari obat ini adalah mati rasa pada penis/ vagina (dapat dicegah dengan penggunaan
kondom), iritasilokal, dan disfungsi ereksi sementara.

2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)

SSRI merupakan golongan obat antidepresan yang bekerja dengan


menghambat reuptake serotonin (5-HT / 5-hydroxytryptophan) sehingga kadar 5-
HT pada post sinaps tinggi sehingga member efek penundaan ejakulasi. Efek
ejakulasi dini sebenarnya merupakan efek samping dari obat antidepresan ini. Obat
ini bekerja dengan memblok reabsorpsi serotonin sehingga serotonin banyak
terdapat pada synaptic cleft sehingga efeknya menghambat ejakulasi. Saat proses
penghambatan reseptor, terjadi hiposensitivitas reseptor 5-HT1A (efek merangsang
ejakulasi) pada presinaps dan hipersensitivitas reseptor 5-HT2C (efek penundaan
ejakulasi) pada postsinaps (Wang. 2007. Selective serotonin reuptake inhibitors in
the treatment of premature ejaculation. pubmed.gov)

Gambar 41. Mekanisme kerja SSRI

Contoh golongan obat SSRI:

1. Paroxetine (Paxil) - dosis 20-40mg


2. Fluoxetine (Prozac) - dosis 20-40mg
3. Setraline (Lustral) - dosis 50-100mg
4. Citalopram (Cipramil) - dosis 20-40mg
5. Dapoxetine (Priligy) - obat SSRI generasi baru

SSRI generasi lama akan memberikan efek nyata setelah dikonsumsi 20 hari
(3 minggu), bila digunakan sesaat sebelum aktivitas seksual efeknya kurang terasa
sedangkan SSRI generasi baru, dapoxetine, dapat memberikan efek nyata setelah
dikonsumsi 1-3 jam. Perbedaan waktu mencapai efek nyata ini salah satunya
disebabkan oleh laju absorpsi dan eliminasi dapoxetin yang cepat.

3. Antidepresan Trisiklik
Antidepresan Trisklik merupakan golongan obat antidepresan, memiliki
aktivitas seperti SSRI, namun tidak selektif menghambat reuptake 5HT saja, tetapi
juga menghambat reuptake Norepinefrin (NE) sehingga kerjanya lebih efek tidi
banding SSRI, contoh: Clomipramine (Anafranil).

2.10.3 Terapi Infertilitas

Terapi infertilitas umumnya sama, yaitu dengan terapi hormon, baik dengan
pemberian GnRH atau dengan pemberian obat terapi hormon bentuk lain. Penyakit
penyebab infertilitas pada pria paling utama adalah hypogonadotropic
hypogonadism.

1. Hypogonadotropic hypogonadism

Hypogonadotropic hypogonadism adalah suatu sindrom klinis sebagai


akibat dari kegagalan gonad yang disebabkan oleh kadar gonadotropin yang
abnormal. () HH dapat dibagi menjadi dua, yaitu HH primer dan sekunder.
HH primer disebabkan oleh testis yang tidak mampu memberikan respon
dengan tepat, sementara HH sekunder disebabkan oleh produksi jumlah
testosteron tidak mencukupi kebutuhan untuk spermatogenesis, sehingga
testis tidak mampu menghasilkan sperma yang cukup.

Pengobatan HH ini bisa dengan pemberian hCG (human chorionic


gonadotropin) atau hMG (human menopausal gonadotropin) yang
dikombinasikan dengan FSH dan LH. hCG mempunyai aktivitas yang mirip
dengan LH dan berikatan dengan reseptor LH, sementara hMG mengandung
FSH dan LH. FSH dan LH dibutuhkan untuk proses spermatogenesis; FSH
untuk perangsangan spermatogenesis dan mempertahankan jumlah sperma
yang cukup, LH untuk stimulasi produksi testosteron.

Salah satu bentuk dari HH yang mampu menyebabkan infertilitas adalah


hyperprolactinemia. Hyperprolactinemia merupakan kondisi dimana jumlah
prolaktin yang disekresikan terlampau banyak. Prolaktin menginhibisi
sekresi GnRH sehingga produksi FSH dan LH menurun. Turunnya jumlah
FSH dan LH menyebabkan turunnya hormon testosteron sehingga proses
spermatogenesis yang terjadi tidak mampu memproduksi sperma yang
cukup.
Efek prolaktin terhadap sekresi GnRH.

Hyperprolactinemia dapat diatasi dengan bromocriptine dan cabergoline.


Bromocriptine dan cabergoline merupakan derivat dari ergot, yang dua-
duanya bekerja dengan cara menginhibisi sekresi prolaktin tanpa
mengurangi jumlah prolaktin dalam tubuh. Cabergoline merupakan obat
yang lebih baru dan lebih poten dalam mengatasi hyperprolactinemia.

Penyebab lain dari infertilitas pada umumya dapat diatasi dengan terapi hormon,
yaitu dengan pemberian GnRH dalam bentuk injeksi maupun oral, obat-obatan
bersifat SERM (selective estrogen receptor modulator), dan aromatase inhibitor.

1. terapi GnRH

terapi ini bekerja dengan cara menstimulasi kelenjar pituitary sehingga


menghasilkan GnRH untuk merangsang sekresi FSH dan LH. Tujuan dari
terapi ini adalah spermatogenesis yang dapat menghasilkan sperma dengan
kuantitas dan kualitas yang baik.
Penggunaan GnRH agonist sebagai terapi hormon

Obat yang diberikan berupa GnRH agonist. Obat berikatan dengan reseptor
GnRH yang terletak pada bagian anterior pituitary, menyebabkan
pelepassan FSH dan LH. Akibatnya, produksi testosteron meningkat,
spermatogenesis meningkat dan produksi sperma tercukupi. Namun,
penggunaan jangka panjang dapat menekan produksi LH. Contoh dari obat
ini adalah leuprolide.

2. SERM dan Aromatase Inhibitor

Selective estrogen receptor modulator merupakan obat yang beraksi pada


reseptor estrogen, baik sebagai agonis maupun antagonis. SERM bekerja
dengan cara menginhibisi reseptor estrogen di hipotalamus, yang
mengakibatkan kenaikan pelepasan gonadotropin dan peningkatan produksi
testosteron.
Pengobatan dengan cara pemberian SERM dan AI

Aromatase merupakan suatu enzim yang, dalam kondisi normal,


mengkonversikan androgen (estradiol) menjadi estrogen. Aromatase bisa
juga disebut sebagai estrogen synthetase. Namun, konversi androgen
menjadi estrogen yang melampaui batas dapat menyebabkan
ketidakseimbangan jumlah estrogen dan testosteron, yang akan berdampak
pada spermatogenesis. Aromatase inhibitor diberikan dengan tujuan
menyeimbangkan jumlah estrogen dan testosteron dengan cara menurunkan
jumlah estradiol. Dengan begitu, jumlah testosteron dan estrogen seimbang
dan spermatogenesis dapat berjalan. Contoh dari obat ini adalah anastrozole
dan letrozole.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

pada dasarnya terdapat beberapa gangguan pada sistem endokrin pada pria,
diantaranya adalah disfungsi ereksi, ejakulasi dini dan infertilitas. kemungkinan besar
gangguan tersebut adalah berupa penurunan hormonal sehingga bukan suatu masalah
apabila gangguan tersebut berupa kenaikan hormonal. Namun pada kasus tertentu sistem
saraf dan peredaran darah memiliki peran yang penting dalam sistem reproduksi pria.
Disfungsi ereksi merupakan ketidakmampuan pria untuk mencapai atau mempertahankan
ereksi, ejakulasi dini adalah hipersensitivitas terhadap rangsangan yang menyebabkan
ejakulasi sedangkan infertilitas adalah ketidakmampuan atau penurunan kemampuan
menghasilkan keturunan. Untuk mengatasi masalah ini, tersedia berbagai terapi
farmakologis dan nonfarmakologis yang dapat menjadi pilihan yang disesuaikan dengan
gejala dan kondisi yang dimiliki oleh pasien. Tujuan dari terapi ini adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan tercapainya hubungan yang memuaskan.

3.2 Saran

Dalam penyusunan makalah ini, para penulis memiliki banyak kekurangan dalam
kelengkapan materi. Kami menyarankan agar di masa depan dalam penulisan kami dapat
melengkapi makalah yang kami buat dengan lebih baik dan memuaskan bagi
pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulmaged M. Traish, Irwin Goldstein, Noel N. Kim. (2007). Testosterone and


Erectile Function: From Basic Research to a New Clinical Paradigm for Managing Men
with Androgen Insufficiency and Erectile Dysfunction.
Andrology Australia. (2018). Male Infertility, 5th Edition. Australia: School of
Public Health & Preventive Medicine, Monash University

Ayaz, Omar., & Howlett, Susan E. (2015). Testosterone modulates cardiac


contraction and calcium homeostasis: cellular and molecular mechanisms. Canada:
BioMed Central.

Behre, H. M. (2019). Clinical Use of FSH in Male Infertility. Frontiers in


Endocrinology, 10. doi: 10.3389/fendo.2019.00322

Brunton, Laurence L., et al. 2011. Goodman & Gilman's The Pharmacological
Basis of Therapeutics 12th ed. USA: McGraw-Hill Companies.

Cahn, B.Rael, Polish, Jone. (2006). Meditation States and Traits: EEG, ERP, and
Neuroimaging Studies. Psychological Bulletin : San Diego.

Dabaja, A. A., & Schlegel, P. N. (2014). Medical treatment of male infertility.


Translational Andrology and Urology, 3(1). doi: 10.3978/j.issn.2223-4683.2014.01.06

Dabbous, Z., & Atkin, S. L. (2018). Hyperprolactinaemia in male infertility:


Clinical case scenarios. Arab Journal of Urology, 16(1), 44–52. doi:
10.1016/j.aju.2017.10.002

Di Piro, Joseph T. et al. (2008). Pharmacoteraphy A Pathophysiologic Approach 7th


Edition. USA : McGraw Hill Companies.

Gardner, D. G., Shoback, D. M., & Greenspan, F. S. (2007). Greenspan's basic &
clinical endocrinology. New York: McGraw-Hill Medica

Garner, C. (1994). Uses of GnRH Agonists. Journal of Obstetric, Gynecologic &


Neonatal Nursing, 23(7), 563–570. doi: 10.1111/j.1552-6909.1994.tb01922.x

Hines, M., et al. (2016). The early postnatal period, mini-puberty, provides a
window on the role of testosterone in human neurobehavioural development. Current
Opinion in Neurobiology, 38, 69–73. doi:10.1016/j.conb.2016.02.008.
Holfeld J., Zimpfer D., Albrecht-Schgoer K., Stojadinovic A., Paulus P., Dumfarth
J., … Grimm M. (2016). Epicardial shock-wave therapy improves ventricular function in a
porcine model of ischaemic heart disease. Journal of Tissue Engineering and Regenerative
Medicine, 10(12), 1057–1064. doi:10.1002/term.1890

Kalyvianakis D., Hatzichristou D. (2017). Low-Intensity shockwave therapy


improves hemodynamic parameters in patients with vasculogenic erectile dysfunction: A
triplex ultrasonography-based sham-controlled trial. The Journal of Sexual Medicine,
14(7), 891–897. doi:10.1016/j.jsxm.2017.05.012

Kamei T, Toriumi Y, Kimura H, Ohno S, Kumano H, Kimura K. Decrease in serum


cortisol during yoga exercise is correlated with alpha wave activation. Percept Mot Skills.
2000;90:1027–32.

Kathrins, M., & Niederberger, C. (2016). Diagnosis and treatment of infertility-


related male hormonal dysfunction. Nature Reviews Urology, 13(6), 309–323. doi:
10.1038/nrurol.2016.62

Magheli, A., & Burnett, A. L. (2009). Erectile dysfunction following prostatectomy:


prevention and treatment. Nature Reviews Urology, 6(8), 415–427. doi:10.1038/nrurol.2009.126

Manjunatha S, Vempati RP, Ghosh D, Bijlani RL. An investigation into the acute
and long-term effects of selected yogic postures on fasting and postprandial glycemia and
insulinemia in healthy young subjects. Indian J Physiol Pharmacol. 2005;49:319–

Sabanegh Jr, Edmund, and Agarwal, Ashok. (2012) "Male Infertility." Campbell-
Walsh Urology. 10th ed. Saunders Elsevier; Philadelphia
Samplaski, M., & Sabanegh, E. (2013). The semen analysis. In L. Applegarth, R. Oates, &
P. Schlegel (Authors) & J. Mulhall (Ed.), Fertility Preservation in Male Cancer Patients
(pp. 23-34). Cambridge: Cambridge University Press.
doi:10.1017/CBO9780511997761.003

Schmidt T, Wijga A, Von Zur Muhlen A, Brabant G, Wagner TO. Changes in


Cardiovascular risk factors and hormones during a comprehensive residential three month
kriya yoga training and vegetarian nutrition. Acta Phys Scand Suppl. 1997;161:158–62.

Scott B, Bradley W, Timm G. "Management of erectile impotence: use of inflatable


prosthesis". Urol 1973; 2: 80-82.
Sherwood, Lauralee. (2010). Human Physiology From Cells to Systems.
Brooks/Cole : USA
Simon, Harvey., Zieve, David. (2012). Infertility in Men. University of Maryland Medical
Center (UMMC)

Silveira, L., & Latronico, A. (2013). Approach to the Patient With


Hypogonadotropic Hypogonadism. The Journal Of Clinical Endocrinology & Metabolism,
98(5), 1781-1788. doi: 10.1210/jc.2012-3550

Silverthorn, Dee Unglaub. (2016). Human Physiology An Integrated Approach 7th


edition. UK: Pearson Education.

Rey, R. A. (2014). Mini-puberty and true puberty: Differences in testicular


function. Annales d’Endocrinologie, 75(2), 58–63. doi:10.1016/j.ando.2014.03.001.

Anda mungkin juga menyukai