Anda di halaman 1dari 113

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/323376284

PENGOLAHAN CITRA FUNDUS DIABETIK RETINOPATI

Book · February 2018

CITATIONS READS
0 939

1 author:

Sarifuddin Madenda
Universitas Gunadarma
103 PUBLICATIONS   238 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

CORIMEDIA View project

Books: Image and Video Processing View project

All content following this page was uploaded by Sarifuddin Madenda on 24 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENGOLAHAN CITRA FUNDUS
DIABETIK RETINOPATI
EDISI 1

Tim Penyusun
Diana Tri Susetianingtias
PENERBIT GUNADARMA Sarifuddin Madenda
2017 Rodiah
Fitrianingsih
PENGOLAHAN CITRA FUNDUS
DIABETIK RETINOPATI
EDISI 1

Tim Penyusun
Diana Tri Susetianigtias
Sarifuddin Madenda
Rodiah
Fitrianingsih

PENERBIT GUNADARMA
2017
Judul buku : Pengolahan Citra Fundus Diabetik Retinopati
Edisi 1
Oleh : Tim Penelitian
Gambar Sampul : Rodiah
Design dan Layout : Rodiah
Diterbitkan pertama kali oleh : Penerbit Gunadarma
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Jakarta 2017
ISBN :

ii
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu’alaikum Warrahmatullaahi Wabarokaatuh

Alhamdulillahi Rabbil’aalamiin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan


semesta alam, atas berkat rahmat, karunia, bimbingan, pertolongan, petunjuk,
ilmu, dan pertolongan-NYA, Penulis dapat menyelesaikan penyusunan Buku ini
dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Sepanjang proses penyusunan buku ini, banyak pihak yang telah turut
berkontribusi, baik secara moril maupun materiil. Tanpa bantuan mereka, dalam
penyelesaian buku ini, Penulis tidak akan dapat menyelesaikannya dengan baik.
Untuk itu, dengan kerendahan hati, perkenankan penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua Pihak antara lain : DP2M RistekDikti, Lembaga Penelitian
Universitas Gunadarma dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
per satu yang telah turut memberikan bantuan dan peran serta dalam penyelesaian
buku ini.
Semoga Allah SWT membalas semua keikhlasan, perhatian dan bantuan
yang Bapak, Ibu, dan Rekan berikan kepada penulis karena hanya DIA-lah yang
mampu dan kuasa membalasnya.

iii Kata Pengantar


Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan pada masa
yang akan datang. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata, sedangkan
kekurangan serta kekhilafan ada pada diri Penulis.

Wassalamu’alaikum warrahmatullaahi Wa barakaatuh


Jakarta, September 2017

Tim Penulis

Kata Pengantar | iv
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI v
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Pengolahan Citra 1
1.2. Operasi Pengolahan Citra 1
1.3. Ruang Warna 3
1.4. Pengenalan Citra Medis 3
1.5. Diabetik Retinopati 4

BAB 2 PENGOLAHAN CITRA


2.1. Citra Digital 7
2.2. Thresholding 7
2.3. Jarak Eucledian 8
2.4. Morfologi Citra 8
2.5. Skeleton 10
2.6. Transformasi Top Hat 11
2.7. Transformasi Bottom Hat 12
2.8. Ekstraksi Fitur Bentuk 12
2.9. Matriks Hesian 13
2.10. Vektor Nilai Eigen 14
2.11. Klasifikasi Citra Digital 15
2.12. Deteksi Tepi pada Citra 17

BAB 3 RUANG WARNA


3.1. Ruang Warna RGB 21
3.2. Ruang Warna HSL 22
3.3.Ruang Warna HSV 24

v Daftar Isi
3.4.Ruang Warna HSI 25
3.5. Ruang Warna CMY/ CMYK 26
3.6. Ruang Warna YUV 27
3.7. Ruang Warna Luminance In-phase Quadrature (YIQ) 28
3.8. Ruang Warna YCbCr 28
3.9. Ruang Warna CIELAB 29

BAB 4 CITRA MEDIS


4.1. Magnetic Resonance Imaging (MRI) 30
4.2. X-Ray 31
4.3. Ultrasonography (USG) 31
4.3.1.Peralatan Yang digunakan dalam USG 32
4.3.2.Manfaat Alat USG 34
4.3.3.Jenis-jenis USG 35
4.4. Funduscopy 35
4.1.1. Pemeriksaan opthamoloscope 36
4.1.2. Cara Pemeriksaan opthamoloscope 37
4.5. Endoscopy 39
4.6. Computed Tomography (CT-Scan) 41
4.7. Nuclear Medicine 43
BAB 5 ANATOMI MATA DAN RETINA
5.1. Anatomi Mata 45
5.2. Retina 46
5.3. Anatomi Retina 47
5.4. Pembuluh Darah Retina 50

BAB 6 DIABETIK RETINOPATI


6.1. Klasifikasi Diabetik Retinopati 53
6.2. Gejala Diabetik Retinopati 55
6.3. Karakteristik Diabetik Retinopati 57

Daftar Isi | vi
6.4. Kudran dalam Diabetik Retinopati 59

BAB 7 MICROANEURSYM
7.1. Microaneursym 66
7.2. Segmentasi Kandidat Microaneursym 69
7.2.1. Pendekatan Berbasis Maximally Stable External 69
Region (MSER)
7.2.2. Hasil Segmentasi Kandidat Microaneursym dengan 75
Pendekatan Berbasis Maximally Stable External
Region (MSER)

BAB 8 EXUDATES
8.1. Exudates 79
8.2. Preprocessing Algoritma Warna Referensi 80
8.3. Segmentasi Exudates dengan Warna Referensi 81
8.4. . Hasil Segmentasi Exudates dengan Warna Referensi 89

DAFTAR PUSTAKA 99

vii Daftar Isi


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Pengolahan Citra


Pengolahan Citra merupakan proses memperbaiki kualitas citra agar
mudah diinterpretasikan oleh manusia atau komputer yang merupakan proses
awal dari Komputer visi. Citra/ Gambar adalah informasi yang berbentuk visual.
Citra merupakan fungsi intensitas 2 dimensi yaitu f(x,y), dimana x dan y adalah
koordinat spasial dan f pada titik (x, y) adalah tingkat kecerahan (brightness) citra
pada suatu titik. Citra f(x,y) yang telah dilakukan digitalisasi (secara koordinat
area atau tingkat kecerahan) maka nilai f di koordinat (x, y) menunjukan tingkat
kecerahan (grayness) level dari citra pada titik tersebut dinamakan citra digital
(Gonzalez and Woods, 2008). Citra digital dapat didefinisikan sebagai
representasi dari sebuah citra/ gambar dua dimensi sebagai sebuah kumpulan nilai
digital (elemen gambar atau piksel).
Bagian terkecil yang menyusun citra dan mengandung nilai yang mewakili
kecerahan dari sebuah warna pada titik tertentu dinamakan dengan piksel.
Biasanya bentuk citra digital adalah persegi panjang atau bujur sangkar yang
memiliki lebar dan tinggi tertentu sehingga ukuran citranya selalu bernilai bulat.
Setiap piksel memiliki koordinat sesuai posisinya dalam citra yang dinyatakan
dalam bilangan bulat positif, dimulai dari niai 0 atau nilai 1 tergantung pada
sistem yang digunakan. Setiap piksel juga memiliki nilai berupa angka digital
yang merepresentasikan informasi yang diwakili oleh piksel tersebut (Gonzalez
and Woods, 2008).

1.2. Operasi Pengolahan Citra


Pada Pengolahan Citra terdapat beberapa operasi diantaranya adalah: (a).
Perbaikan kualitas citra (image enhacement) yaitu memperbaiki kualitas citra
dengan memanipulasi parameter-parameter citra. Operasi perbaikan citra terdiri
dari: perbaikan kontras gelap /terang dan tepian objek (edge enhancement),
penajaman (sharpening), pemberian warna semu (pseudocoloring), dan
Bab 1: Pendahuluan 1
penapisan derau (noise filtering). (b). Pemugaran citra (image restoration) yaitu
menghilangkan cacat pada citra. Operasi Pemugaran citra yang dimaksud adalah
dengan menghilangan kesamaran (deblurring) dan menghilangan derau (noise).
(c). Pemampatan citra (image compression) yaitu: citra direpresentasikan
dalam bentuk lebih kompak, sehingga keperluan memori lebih sedikit dan tetap
mempertahankan kualitas gambar (contoh dari file citra dengan ektension .BMP
menjadi file citra dengan ekstension .JPG). (d). Segmentasi citra (image
segmentation) dilakukan dengan tujuan agar dapat memecah suatu citra ke
dalam beberapa segmen dengan suatu kriteria tertentu. (e). Pengorakan citra
(image analysis) yaitu menghitung besaran kuantitatif dari suatu citra agar
menghasilkan deskripsinya. Hal ini sangat diperlukan untuk melokalisasi objek
yang diinginkan dari sekelilingnya. Beberapa operasi image analysis adalah
pendeteksian tepi objek (edge detection), ekstraksi batas (boundary) dan
represenasi daerah (region). (f). Rekonstruksi citra (Image recontruction) yaitu
membentuk ulang objek dari beberapa citra hasil proyeksi (Munir, 2004).
Beberapa aplikasi pengolahan Citra yang dapat dilakukan dalam beberapa bidang
diantaranya adalah:
1. Bidang perdagangan. Salah satu contohnya adalah dengan pembacaan bar
code pada barang di supermarket dan pengenalan huruf/angka pada
formulir secara otomatis.
2. Bidang Militer. Contoh: dengan mengenali peluru kendali melalui sensor
visual, dan mengidentifikasi jenis pesawat musuh.
3. Bidang Kedokteran. Contoh: Deteksi kanker dengan sinar X,
Rekonstruksi foto janin hasil USG dan pemeriksaan mata yang
mengunakan kamera fundus
4. Bidang Biologi. Contoh: Pengenalan kromosom melalui gambar
mikroskopik.
5. Komunikasi Data. Contoh: Pemampatan citra transmisi.
6. Hiburan. Contoh: Pemampatan video MPEG.
7. Robotika. Contoh: Visual guided autonomous navigation.
8. Pemetaan. Contoh: Klasifikasi penggunaan tanah melalui foto udara.
2 Bab : 1 Pendahuluan
9. Bidang Geologi. Contoh: Mengenali jenis bebatuan melalui foto udara.
10. Bidang Hukum. Contoh: Pengenalan sidik jari, pengenalan foto narapidana
dengan face recognition dan pengenalan tanda tangan.

1.3. Ruang Warna

Gelombang cahaya yang nampak tertangkap oleh sel-sel cone dan rod
dalam retina mata diteruskan ke syaraf visual otak dan membangkitkan berbagai
sensasi warna. Tujuan dikembangkannya ruang warna adalah untuk memodelkan,
menghitung dan memvisualisasikan untuk mendapatkan informasi warna sehingga
dapat memudahkan komputer atau sistem digital lainnya memproses informasi
warna dan membedakan warna seperti halnya sistem visual manusia (Madenda,
2015). Ruang warna terdiri dari beberapa model, diantaranya adalah Sistem
Warna Munsell, Ruang warna RGB, Ruang warna HSL, Ruang Warna HSV,
Ruang Warna L*a*b* dan L*C*H*, Ruang WarnaYUV, YCbCr dan YPbPr
(Madenda, 2015).

1.4. Pengenalan Citra Medis

Citra medis (medical image) merupakan teknik dan proses yang digunakan
untuk dapat membuat gambar dari tubuh manusia (atau bagian-bagian dan fungsi
daripadanya) dengan tujuan klinis seperti prosedur medis untuk mengungkapkan,
mendiagnosis atau memeriksa penyakit atau ilmu kedokteran. Ada 5 (Lima) faktor
penentu dalam jaminan mutu citra radiografi sehingga mutu cira dan penampakan
struktur anatomi bagian dalam dapat terlihat dengan jelas. Ke lima faktor tersebut
adalah sensitivitas kontras (contrast sensitivity), kekaburan (blurring), derau
visual, artefak, spatial/geometric characteristic. Pada proses pengolahan citra
medis tahapan algoritma terdiri atas 8 bagian yaitu perbaikan, segmentasi,
kuantifikasi, registrasi, visualisasi dan bagian akhir yang mencakup kompresi,
penyimpanan, dan komunikasi. Beberapa jenis citra medis diperoleh dari beberapa
alat pemeriksaan digital seperti Funduscopy dengan mengunakan kamera fundus
untuk pemeriksaan mata, sinar infrared, ultraviolet, X-ray, CT, MRI, ultrasound,

Bab 1: Pendahuluan 3
hasilnya dapat berupa binary image, gray level image, coloring image dan false
color image dengan dimensi visual yang diperoleh dapat berupa citra 2D, 3D, dan
4D (3D + waktu) dalam bentuk lembaran film radiografi ataupun citra digital
dengan format raw data, Analis, DICOM, dan dengan format standar (ppm, dcm
TIFF, PNG dan lain-lain).

1.5. Diabetik Retinopati

Diabetik Retinopati merupakan penyakit lanjutan dari diabetes melitus


(DM) yang memiliki kasus cukup tinggi yaitu mencapai 40-50% penderita
diabetes (Ilyas, 2003). Penyakit ini merupakan penyebab kebutaan paling sering
ditemukan pada usia dewasa (penderita diabetes melitus) antara 20 sampai 74
tahun. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kali rentan mengalami kebutaan
dibanding dengan penderita non-diabetes. Hampir semua penyandang DM tipe 1
akan mengalami Diabetik Retinopati dengan berbagai derajat setelah 20 tahun dan
60% pada Diabetes Melitus tipe 2 (Nasution, 2011). Kerusakan pada lapisan saraf
mata sampai pada kebocoran retina akibat Diabetik Retinopati akan
mengakibatkan penglihatan menjadi buram sampai pada kebutaan. Penderita
Diabetik Retinopati dapat menjadi buta secara permanen. Beberapa rumah sakit
seperti RS Indera Denpasar dan RS. Sanglah mencatat ada sekitar 123 pasien
Diabetes Melitus yang terdiri dari 57 perempuan dan yang terdiri dari 66 laki-laki
mulai dari periode Oktober 2014 sampai dengan Januari 2015. Dari jumlah
tersebut, sekitar 60,16% pasien mengidap Diabetik Retinopati (Ni Made Ari S, I
Putu B, I Wayan Gede J, I Gede Raka, 2015). Di dunia terdapat sekitar 10%
persen penduduk yang mengalami kebutaan akibat Diabetik Retinopati. Penyakit
Diabetik Retinopati merupakan penyakit penyebab kebutaan paling tinggi yang
menempati posisi keempat setelah katarak, glaukoma, dan degenerasi makula
(Andi Arus Victor, 2008).
Diabetik Retinopati terbagi ke dalam dua jenis yaitu Non Proliferasi
Diabetik Retinopati (NPDR) dan Proliferasi Diabetik Retinopati (PDR). Pada
Diabetik Retinopati dengan tipe NPDR terjadi kelemahan pada pembuluh darah

4 Bab : 1 Pendahuluan
retina. Pada beberapa kasus, terdapat cairan dan darah bocor pada retina. Diameter
pembuluh darah menjadi membesar dengan bentuk tepi pembuluh tidak beraturan.
Jenis Diabetik Retinopati dengan tipe NPDR dapat menjadi tipe Proliferasi
Diabetik Retinopati (PDR) pada stadium parah. Kerusakan pembuluh darah pada
tipe PDR, berakibat pertumbuhan pembuluh darah baru yang tidak normal pada
retina sehingga mengakibatkan terganggunya aliran cairan normal pada mata.
Bola mata akan mendapatkan tekanan yang cukup tinggi. Salah satu cara untuk
mengetahui seseorang menderita Diabetik Retinopati pada tipe NPDR dapat
dilihat dari adanya kemunculan beberapa gejala antara lain Exudates (Soft
Exudates seperti Cotton Wool dan Hard Exudates), Intra Retinal Mikrovaskuler
Abnormalities (IRMAs) yang mengakibatkan penggelembungan vaskuler (Venous
Beading) serta perdarahan titik dan bercak (Dot and blot intraretinal
hemorrhages) (Bowling, 2016).
Klasifikasi NPDR berdasarkan ETDRS (Khurana, 2007) dengan melihat
keberadaan beberapa kelainan pada kuadran citra retina. Pembagian empat
kuadran pada citra fundus dilakukan dengan aproksimasi sudut pengambilan
Optic Disc (Field Of View). Kebocoran lemak pada vascular retina akan
mengakibatkan exudates, Venous Beading pada dua kuadran dan Intra Retinal
Mikrovaskuler Abnormalities pada satu kuadran merupakan dua diantara gejala
klinis sebagai gejala Diabetik Retinopati. Pembuluh darah yang berkelok-kelok
merupakan gejala awal dari Venous Beading sehingga mengakibatkan dinding
pembuluh darah menjadi bocor. Microaneurysms merupakan pelebaran titik fokus
dari pembuluh kapiler retina yang muncul sebagai titik-titik bulat kecil merah
gelap mengakibatkan Haemorrhages. Keberadaan exudates, venous beading yang
terdeteksi, microaneurysms dan haemorrhages pada citra retina menunjukkan
derajat penyakit (stadium) Diabetik Retinopati. Evaluasi klinis yang dilakukan
untuk mendeteksi NPDR adalah dengan melakukan pemeriksaan melalui kamera
fundus atau pemeriksaan langsung melalui ophthalmoscope (Chakrabarti, Harper
and Keeffe, 2012).
Berdasarkan pengamatan visual seorang dokter spesialis mata
(ophthalmologist) vitreo-retina, exudates muncul dalam warna putih kekuning-
Bab 1: Pendahuluan 5
kuningan atau dengan berbagai ukuran, bentuk dan lokasi. Pada beberapa citra,
exudates juga berwarna nampak kehijauan. Exudates kadang terlihat secara
individual, atau dalam bentuk klaster. Exudates memiliki intensitas warna yang
hampir sama dengan optic disc (titik buta pada retina). Ukuran dari exudates
sangat bervariatif, dapat berukuran lebih kecil atau lebih besar dari optic disc.
Kesulitan melihat exudates diakibatkan komposisi warna pada exudates hampir
sama dengan warna pada objek optic disc citra retina. Kelainan lain pada citra
fundus yang juga sulit untuk dilihat secara visual adalah venous beading yaitu
terjadinya penggelembungan pada pembuluh vena retina (Bowling, 2016).
Penderita Diabetik Retinopati biasanya tidak menyadari kelainan yang
terjadi pada retinanya sampai muncul keluhan seperti melihat bayangan benda
hitam melayang mengikuti pergerakan mata atau lebih dikenal dengan istilah
floaters. Pasien Diabetik Retinopati akan mengeluhkan penglihatannya terhalang
secara mendadak (Andi Arus Victor, 2008). Pencegahan kebutaan akibat Diabetik
Retinopati dapat dikurangi jika dilakukan pendeteksian secara dini terhadap
beberapa gejala penyebab Diabetik Retinopati.

6 Bab : 1 Pendahuluan
BAB 2
PENGOLAHAN CITRA

2.1. Citra Digital

Citra digital adalah representasi dari sebuah citra/ gambar dua dimensi
sebagai sebuah kumpulan nilai digiital yang disebut elemen gambar atau piksel.
Piksel merupakan elemen terkecil yang menyusun citra dan mengandung nilai
yang mewakili kecerahan dari sebuah warna pada titik tertentu. Umumnya citra
digital berbenutk persegi panjang atau bujur sangkar yang memiliki lebar dan
tinggi tertentu sehingga ukuran citra selalu bernilai bulat. Setiap piksel memiliki
kordinat sesuai posisinya dalam citra. Koordinat ini biasanya dinyatakan dalam
bilangan bulat positif, yang dapat dimulai dari 0 atau 1 tergantung pada sistem
yang digunakan. Setiap piksel juga memiliki nilai berupa angka digital yang
merepresentasikan informasi yang diwakili oleh piksel tersebut (Gonzalez and
Woods, 2008).

2.2. Thresholding

Suatu proses yang digunakan untk menghasilkan citra biner disebut


Thresholding (T). Citra biner adalah cirtra yang memiliki dua tingkat keabuan
(hitam dan putih), tergantung apakah nilai piksel tersebut lebih bessar atau lebih
kecil dari T. Jika nilai tingkat keabuanya lebih besar dari nilai T maka piksel akan
diubah menjadi putih dan jika nilai tingkat keabuannya lebih kecil atau sama
dengan T maka piksel akan diubah menjadi hitam (Gonzalez and Woods, 2008).

g  T ( f ) .............................................................……………...(2.3)

Dimana:
Bab : 2 Pengolahan Citra 7
g= citra biner
f = citra grayscale
T = nilai ambang di antara derajat keabuan

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk thresholding adalah metode Otsu.
Metode Otsu melakukan analisis diskriminan dengan mementukan suatu variabel
yang dapat membedakan antara dua atau lebih kelompok yang muncul secara
alami. Analisis ini akan memaksimumkan variabel tersebut agar dapat
memisahkan objek dengan latar belakang (Gonzalez and Woods, 2008).
Pengamatan histrogram dari sebuah citra menghasilkan dua infomasi sekaligus
yakni jumlah level intesitas yang berbeda (disimbolkan dengan L) dan jumlah
piksel-piksel untuk tiap-tiap level intensiitas tersebut (yang disimbolkan dengan
n(k) dengan k=0...255) (Gonzalez and Woods, 2008).

2.3. Jarak Euclidean (Euclidian Distance)

Jarak Euclidean adalah besarnya jarak suatu garis lurus yang


menghubungkan antar objek. Contohnya untuk mengukur jarak antara dua objek
yaitu A dengan koordinat (x1, y1) dan B dengan koordinat (x2, y2) dapat
dilakukan dengan rumus:

x1  x22   y 2  y12 ..............………………………...(2.4)

2.4. Morfologi Citra

Penelitian pada objek citra medis (medical image) dilakukan sebagai


bantuan awal dalam melakukan analisis terhadap citra medis. Salah satunya
dilakukan untuk mengetahui bentuk suatu objek yang berada pada citra medis
berdasarkan pendekatan morfologi. Pemrosesan citra secara morfologi biasanya
dilakukan terhadap citra biner (hanya terdiri dari 0 dan 1), walaupun tidak
menutup kemungkinan dilakukan terhadap citra dengan skala keabuan 0-255.
8 Bab : 2 Pengolahan Citra
Morfologi citra merupakan fungsi matematika yang digunakan untuk
mengekstraksi dan mendeskripsikan struktur geometris objek dalam citra.
Morfologi mempunyai dua operator dasar, yaitu dilasi (dilation) dan erosi
(erosion) yang biasa digunakan untuk mengekstraksi komponen yang diinginkan
dalam sebuah citra.

Operasi dilasi D(A,B) merupakan proses penggabungan titik-titik latar (0) menjadi
bagian dari objek (1) berdasarkan structuring element yang digunakan. Variabel A
adalah citra input, dan B adalah structuring element, sehingga operator  pada
proses dilasi akan digunakan untuk memperbesar komponen yang diinginkan
dengan cara menambahkan seluruh tepinya dengan elemen penyusun B seperti
pada persamaan 2.4 (Soille, 2003).

D( A, B)  A  B (2.4)

Operasi erosi E(A,B) adalah kebalikan dari operasi dilasi. Pada operasi ini, ukuran
objek diperkecil dengan mengikis sekeliling objek. Operator  akan mengubah
semua titik batas menjadi titik latar dari citra input A berdasarkan structuring
element B. Cara lain untuk proses erosi dapat dilakukan dengan membuat semua
titik di sekeliling titik latar menjadi titik latar seperti pada persamaan 2.5 (Soille,
2003).

E ( A, B)  AB (2.5)

Berdasarkan dua operator tersebut, dapat diturunkan dua operator lainnya yang
berguna untuk menghaluskan batas komponen yang terhadap citra telah
diekstraksi, yaitu pembukaan (opening) dan penutupan (closing) (Soille, 2003).

Operasi opening A°B dilakukan dengan menghilangkan bagian-bagian kecil yang


terlihat terang (bintik-bintik putih atau noise) melalui proses erosi AB diikuti
operator  untuk dilasi berdasarkan structuring element B seperti pada persamaan
2.6. Structuring element dapat berukuran sembarang. Structuring element juga
memiliki titik poros (disebut juga titik origin/ titik asal/titik acuan). Opening

Bab : 2 Pengolahan Citra 9


dilakukan sehingga citra tampak lebih halus. Operasi opening ini sering
diidentikkan dengan operasi smoothing (Soille, 2003).

AB  ( AB)  B (2.6)

Operasi closing AB digunakan untuk menghilangkan bagian detail yang terlihat
gelap dan menyisakan bagian terang yang tidak mengganggu. Closing merupakan
operasi rangkap dari opening yang dihasilkan dari dilasi AB diikuti operator 
untuk erosi B melalui persamaan 2.7 (Soille, 2003).

A  B  ( A  B)B (2.7)
Gambar 2.1 adalah contoh citra hasil penerapan morfologi matematika masing-
masing untuk hasil operasi dilasi, erosi, opening dan closing. (Gonzalez et al,
2009).

Gambar 2.1. Contoh Citra Hasil Penerapan Morfologi Matematika


(Gonzalez et al, 2009)

2.5. Skeleton

Proses mengubah bentuk dari citra hasil restorasi yang berbentuk citra
biner menjadi citra yang menampilkan batas-batas objek yang hanya setebal satu
piksel disebut skeletonisasi. Proses skeletoniisasi mempergunakan algoritma
thinning yang secara iteratif menghapus piksel-piksel pada citra biner, transisi dari
0 ke 1 (atau dari 1 ke 0 pada konversi lain) terjadi sampai dengan terpenuhi suatu

10 Bab : 2 Pengolahan Citra


keadaan dimana satu himpunan dari lebar per unit (satu piksel) terhubung menjadi
suatu garis. Tujuan thining dalam skeletonisasi adalah untuk menghilangkan
piksel-piksel yang berada di dalam obyek depan (foreground object) pada citra
biner. Setiap iterasinya pada Algoritma Thinning Zhang suen terdiri dari dua sub-
iterasi yang berurutan. Iterasi dilakukan terhadap contour points dari wilayah
citra. Contour point adalah setiap piksel dengan nilai 1 dan memiliki setidaknya
satu 8-neighbor yang memiliki nilai 0. Langkah pertama dilakukan terhadap
semua border piksel di citra. Jika salah satu dari keempat kondisi di atas tidak
dipenuhi maka nilai piksel yang bersangkutan tidak diubah. Sebaliiknya jika
semua kondisi tersebut dipenuhi maka piksel tersebut ditandai untuk
penghapusan. Piksel yang telah ditandai tidak akan diihapus sebelum semua
border points selesai diproses. Setelah langkah pertama selesai dilakukan unutk
semua border point maka dilakukan penghapusan untuk titik yang telah ditandai
(diubah menjadi 0) (Gonzalez and Woods, 2008).

2.6. Transformasi Top Hat

Tranformasi Top Hat adalah perbedaan antara citra dan citra setelah
mengalami operasi opening seperti dapat dilihat pada rumus 2.7. (Solomon and
Breckon, 2011).
TTH ( A, B)  A  ( A  g.B) .................................…………...…….(2.7)
Dimana:
A = Citra Asal
B = Elemen penstruktrur
g = operasi berlaku untuk citra beraras keabuan

Transformasi Top Hat berguna untuk mendapatkan bentuk global suatu objek
yang mempunyai intensitas yang bervariasi (A. Kadir, 2013).

2.7. Transformasi Bottom Hat

Bab : 2 Pengolahan Citra 11


Operasi Bottom Hat merupakan operasi yang melakukan dilasi dengan
memperbesar warna putih kemudian melakukan erosi denagan pengecilan warna
putih dan dikurangi dengan citra asal. Dilasi yang diikuti erosi memberikan efek
berupa objek-objek yang berdekatan menjadi semakin dekat. Pengurangan oleh
citra asal membuat penghubung antar objek menjadi hasil tersisa atau piksel –
piksel yang digunakan untuk mengisi lubang (penghubung objek) (Kadir, 2013).
Transformasi Bottom Hat didefinisikan pada rumus 2.8 :
TBH ( A, B)  ( A  gB)  A ..................................................................(2.8)

2.8. Ekstraksi Fitur Bentuk

Ekstraksi fitur merupakan suatu pengambilan ciri/ feature dari suatu


bentuk yang nantinya nilai yang didapatkan akan dianalisis untuk proses
selanjutnya. Ektraksi fitur dilakukan dengan cara menghitung jumlah titik atau
piksel yang ditemui dalam setiap pengecekan. Pengecekan dilakukan dalam
berbagai arah tracing pada koordinat kartesian dari citra digital yang dianalisis,
yaitu vertikal, horizontal, diagonal kanan, dan diagonal kiri. Fitur merupakan
karakteristik unik dari suatu objek yang dibedakan menjadi dua yaitu fitur alami
yang merupakan bagian dari gambar (contohnya kecerahan dan tepi objek) dan
fitur buatan yang merupakan fitur yang diperoleh dengan operasi tertentu pada
gambar (contohnya histogram tingkat keabuan) (Gonzalez and Woods, 2008).
Ekstraksi fitur adalah proses untuk mendapatkan ciri-ciri pembeda yang
menbedakan suatu objek dari objek yang lain (Putra, 2010). Salah satu ekstraksi
fitur adalah ekstraksi fitur bentuk. Bentuk dari suatu objek adalah karakter
konfigurasi permuukaan yang diwakili oleh garris dan kontur.
Dua kategori dari Fitur bentuk yaitu berdasarkan batas (boundary-based)
dan daerah (region-based) tergantung pada teknik yang digunakan. Teknk
berdasarkan batas (boundary-based) mengambarkan bentuk daerah dengan
menggunakan karakteritik eksternal, contohnya adalah piksel sepanjang batas
objek. Sedangkan teknik berdasarkan daerah (region-based) menggambarkan
bentuk wilayah dengan menggunakan karakteristik internal, contohnya adalah
12 Bab : 2 Pengolahan Citra
piksel yang berada dalm suatu wilayah. Fitur bentuk yang biasa digunakan adalah
wilayah (area) yang merupakan jumlah piksel dalam wilayah digambarkan
oleh bentuk (foreground), lingkar (perimeter) adalah jumlah dari piksel yang
berada pada batas dari bentuk. Perimeter didapatkan dari hasil deteksi tepi,
kekompakan (compactnss), dan Euler number atau faktor E adalah perbedaan
antara jumlah dari connected component (C) dan jumlah lubang (H) pada citra.

2.9. Matriks Hessian

Matriks adalah susunan bilangan yang diatur berdasarkan baris dan


kolom. Bilangan-bilangan tersebut dinamakan entri dalam matriks disebut juga
elemen (unsur). Matriks Hessian adalah matriks yang setiap elemennya
dibentuk dari turunnan partial kedua dari suatu fungsi. Misalkan f(x) fungsi
dengan n variabel yang memiliiki turunan parsial kedua dan turunannya kontinu,
matriks Hessian f(x) dengan rumus :
 2 f 2 f 2 f 
 
 x2 1
2
x1  2 x1  n 
 f 2 f 2 f 
H   x 2  1 x 22 x 2  n  ..............................................................(2.9)
 
 ... 
 2 f 2 f 2 f 
 x  x n  2 
 n 1 x n2 

Untuk melakukan uji turunan kedua fungsi lebih dari satu variabel,
digunakan Matriks Hessian yaitu untuk mengidentifikasi optimum relatif dari
nilai fungsi tersebut. Penggolongan titik stassioner fungsi dua variabel
dengan mengunakan matriks Hessian misalkan f(x) = F(x1, …, xn) adalah fungsi
bernilai real dengan semua turunan parsialnya kontinu. Misalnya x0 adalah titik
stasioneer dari F dan didefinisikan H = H(x0) dengan persamaan Hij = Fxi, yj (x0).
H (x0) adalah Hessian dari F pada x0 (Magnus, 2007).
Titik stasioner dapat digolongkan sebagai berikut :
1. x0, adalah suatu minimuum relatif dari F jika jika H(x0.) definite positif

Bab : 2 Pengolahan Citra 13


2. x0, adalah suatu maksimum relatif dari F jika H(x0.) definiet negatif
3. x0, adalah suatu titik pelana dari F jika H(x0.) tidak terdefinisi.

2.10. Vektor Nilai Eigen


Sebuah matriks bujur sangkar dengan orde n x n, misalkan A dan sebuah
vektor kolom X. Vektor X adalah vecktor dalam ruang Euclidian R n yang
dihubungkan dengan sebuah persamaan :

AX  X ……………....................................................……..(2.10)
Dimana :
 = skalar
X = vector yaang bukan nol Skalar
 = nilai Eigen dari matriks A .

Nilai eigen adalah nilai karakteristik dari suatu matriks bujur sangkar. Vektor X
dalam persamaan (2.10) adalah suatu vektor yang tidak nol yang memenuhi
persamaan (2.11) untuk nilai eigen yang sesuai dan disebut dengan vektor eigen.
Jadi vektor X mempunyai nilai tertentu untuk nilai eigen tertentu (Gaidhane,
Hote, Singh, 2011). Persamaan AX  X dimana A adalah matrik bujur sangkar
dan X adalah vektor bukan nol yang memenuhi perssamaan tersebut. Contoh
sebuah matrik bujur sangkar orde 2x2 :
a a12 
A =  11  ................................................................(2.11)
a 21 a 22 

2.11. Klasifikasi Citra Digital

Berdasarkan warna-warna penyusunnya klasifikasi citra digital terdiri atas :

1. Citra biner

14 Bab : 2 Pengolahan Citra


Citra biner adalah citra yang mana setiap pixel hanya memiliki dua level
nilai keabuan, yaitu hitam dan putih. Nilai biner ini direpresentasikan dengan 1 bit
seperti terlihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. Representasi Citra Biner (Gonzalez et al, 2009)

2. Citra Skala Keabuan (Grayscale)

Citra yang tidak berwarna atau hitam putih dikenal sebagai citra dengan
derajat abu-abu (citra graylevel/ grayscale). Derajat abu-abu yang dimiliki
beragam, mulai dari 2 derajat abu-abu (yaitu 0 dan 1) yang dikenal juga sebagai
citra monochrome, 16 derajat keabuan dan 256 derajat keabuan.
Dalam sebuah citra monochrome, sebuah piksel diwakili oleh 1 bit data
yang berisikan data tentang derajat keabuan yang dimiliki piksel tersebut. Data
akan berisi 0 bila piksel berwarna hitam dan 1 bila piksel berwarna putih. Citra
yang memiliki 16 derajat keabuan (mulai dari 0 yang mewakili warna hitam
sampai dengan 15 yang mewakili warna putih) direpresentasikan oleh 4 bit data,
sedangkan citra dengan 256 derajat keabuan (nilai dari 0 yang mewakili warna
hitam sampai dengan 255 yang mewakili warna putih) direpresentasikan oleh 8 bit
data.
Citra skala keabuan memberi kemungkinan warna yang lebih banyak
daripada citra biner, karena ada nilai-nilai lain di antara nilai minimum (0) dan
nilai maksimumnya (1). Banyaknya kemungkinan nilai dan nilai maksimumnya
bergantung pada jumlah bit yang digunakan. Contohnya untuk skala keabuan 4

Bab : 2 Pengolahan Citra 15


bit, maka jumlah kemungkinan nilainya 24 = 16, dan nilai maksimumnya adalah
24 – 1 =15. Untuk skala keabuan 8 bit, maka jumlah kemungkinan nilainya adalah
28 = 256 dam nilai maksimumnya 28 – 1 = 255. Format citra ini disebut skala
keabuan karena pada umumnya warna yang dipakai adalah antara hitam sebagai
warna minimal dan warna putih sebagai warna maksimalnya, sehingga warna di
antara keduanya adalah warna abu-abu. Pada umumnya citra skala keabuan
menggunakan jumlah bit 8 sesuai dengan satuan memori komputer (byte), tetapi
terdapat juga citra skala keabuan yang kedalaman pikselnya bukan 8 bit, misalnya
16 bit untuk penggunaan yang memerlukan ketelitian tinggi seperti pada citra
medis CT scan paru gambar 2.3.

Gambar 2.3. Citra Grayscale CT scan Paru (sumber : RSCM, 2011)

2.12. Deteksi Tepi pada Citra

Salah satu cara untuk menyederhanakan bentuk citra pada proses analisis
citra medis yaitu dengan melakukan pendeteksian tepi (edge detection). Tepi

16 Bab : 2 Pengolahan Citra


merupakan sederetan piksel yang mempunyai intensitas antara piksel permulaan
dan piksel akhir. Jarak antara titik-titik yang sangat berdekatan akan membentuk
tepi dalam suatu objek. Tepi merupakan batasan-batasan antar daerah dengan
tingkat keabuan yang nyata, yang berfungsi untuk (Nixon and Aguado, 2002) :

1. Memberikan tanda pada bagian yang menjadi detail citra


2. Memperbaiki detail dari citra yang kabur, yang diakibatkan karena error
atau adanya efek dari proses akuisisi citra

Suatu titik (x,y) dikatakan sebagai tepi dari suatu citra bila titik tersebut
mempunyai perbedaan yang tinggi dengan tetangganya. Gambar 2.6 berikut ini
menggambarkan bagaimana tepi suatu citra diperoleh. Dari suatu citra input f(x,y),
akan ditentukan penelusuran arah vertikal dengan differensial arah F/x dan
penelusuran arah horizontal dengan differensial arah F/y untuk didapatkan citra
yang merupakan hasil penelusuran gabungan antara F/x dan F/y

Gambar 2.4. Proses Deteksi Tepi Citra (Nixon and Aguado, 2002)

Pada prosesnya, tepi citra yang dideteksi sering mempunyai intensitas yang lebih
kecil sehingga terkadang tepi citra yang dianalisis tersebut tidak dapat dikenali.
Tepi citra sering tidak lengkap, hal ini dikarenakan warna background hampir
seperti warna foreground. Tepi citra yang ditemukan pendek dan tidak terhubung

Bab : 2 Pengolahan Citra 17


saat dilakukan penelusuran. Beberapa metode pendeteksian tepi antara lain
(Gonzalez et al, 2009) :

1. Metode Robert

Metode Robert adalah nama lain dari teknik differensial pada arah
horizontal dan differensial pada arah vertikal, dengan ditambahkan proses
konversi biner setelah dilakukan differensial. Teknik konversi biner yang
disarankan adalah konversi biner dengan meratakan distribusi warna hitam
dan putih.

2. Metode Prewitt

Metode Prewitt merupakan pengembangan metode Robert dengan


menggunakan filter High Pass Filter (HPF) yang diberi satu angka nol
penyangga. Metode ini mengambil prinsip dari fungsi laplacian yang dikenal
sebagai fungsi untuk membangkitkan HPF (Gonzalez et al, 2009).

3. Metode Sobel

Metode Sobel merupakan pengembangan metode Robert dengan


menggunakan filter HPF yang diberi satu angka nol penyangga. Metode ini
mengambil prinsip dari fungsi Laplacian dan Gaussian yang dikenal sebagai
fungsi untuk membangkitkan HPF. Kelebihan dari metode Sobel ini adalah
kemampuan untuk mengurangi noise sebelum melakukan perhitungan deteksi
tepi (Gonzalez et al, 2009).

4. Canny

Salah satu metode yang dikenal secara luas adalah deteksi tepi metode
Canny yang memiliki kriteria deteksi tepi optimal tanpa adanya kesalahan
deteksi, lokalisir yang baik dengan jarak minimal antara tepi terdeteksi dengan
posisi tepi sebenarnya, dan respon tunggal terhadap tepi. Untuk
mengakomodasi kriteria-kriteria tersebut, operator Canny menambahkan
prosedur-prosedur perbaikan sebelum dan sesudah pendeteksian tepi (pre dan

18 Bab : 2 Pengolahan Citra


post processing) agar hasil deteksi tepi yang diperoleh menjadi lebih baik
(Nixon and Aguado, 2002).

Pre dan post processing yang dilakukan pada deteksi tepi metode Canny
antara lain (Nixon and Aguado, 2002) :
a) Smoothing (preprocessing)
Proses smoothing dilakukan untuk menghilangkan noise dan menurunkan
pengaruh tekstur pada citra sehingga diperoleh hasil deteksi yang lebih
baik. Pada metode Canny, digunakan filter Gaussian dalam bentuk matriks
template yang merupakan bobot (weight) dalam perhitungan nilai rata-rata
suatu kelompok piksel pada citra input.

b) Non maximum suppresion (post-processing)


Proses Non Maximum Suppression yang mirip dengan proses thinning
(perampingan) dilakukan untuk menentukan piksel tepi dengan posisi
paling mendekati lokasi terjadinya perubahan nilai piksel di antara
banyaknya piksel tepi yang terdeteksi. Pada umumnya, perubahan nilai
piksel berada pada pusat kumpulan piksel tepi. Penentuan pusat kumpulan
piksel tepi di antaranya dengan penghitungan jarak euclidean antara setiap
piksel tepi p(x, y) ke piksel bukan tepi q(s, t), dimana piksel pada pusat
suatu kumpulan piksel akan memiliki jarak ke piksel tepi terjauh.

c) Hysteresis thresholding (post-processing)

Berbeda dengan metode thinning, pada proses Non Maximum suppresion,


pengubahan menjadi citra biner tersebut menggunakan dua nilai threshold
T1 dan T2 dimana T1 > T2 yang sering disebut juga hysteresis thresholding.
Setiap piksel tepi dengan nilai lebih besar dari T1 dipertahankan sebagai
piksel tepi.

Piksel tepi di sekitar piksel tepi yang nilainya lebih besar dari nilai
threshold T1 di atas juga dipertahankan sebagai piksel tepi jika nilainya

Bab : 2 Pengolahan Citra 19


masih lebih besar dari T2. Hasil dari rangkaian proses deteksi tepi dengan
metode Canny pada citra CT scan paru dapat dilihat pada gambar 2.5.

Citra input

Tepi citra paru

Citra Hasil

Nodul paru

Gambar 2.5 (a) Citra CT Scan Paru


(b) Citra Hasil Dengan Operator Canny

20 Bab : 2 Pengolahan Citra


BAB 3
RUANG WARNA

Gelombang cahaya yang nampak tertangkap oleh sel-sel cone dan rod
dalam retina mata diteruskan ke syaraf visual otak dan membangkitkan berbagai
sensasi warna. Tujuan dikembangkannya ruang warna adalah untuk memodelkan,
menghitung dan memvisualisasikan untuk mendapatkan informasi warna sehingga
dapat memudahkan komputer atau sistem digital lainnya memproses informasi
warna dan membedakan warna seperti halnya sistem visual manusia (Madenda,
2015). Beberapa ruang warna tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. RGB(Red Green Blue)
2. HSL (Hue Saturation Lightness), HSV (Hue Saturation Value), HSI (Hue
3. Saturation Intensity), dan HCL (Hue Chroma Lightness)
4. YUV, YDbDr, YIQ dan YCbCr (Luminance – Chrominance)

3.1. Ruang Warna RGB

Ruang warrna RGB adalah ruaang warna berdasarkan konsep


penammbahan kuat cahaya primer yaitu Red, Green dan Blue. Ruamg yang gelap
total berarti tidak ada sinyal gelombamg cahaya yang diserap oleh mata atau RGB
(0,0,0). Bila ditambahkan cahaaya merah maka ruangan akan berubah menjadi
merah dan semua benda memjadi berwarna merah, misalnya RGB (255,0,0).
Ruang warna standar yang didasarkan pada hasil akuisisi frekuensi warna oleh
sensor elektronik yang bentuk keluarannya berupa sinyal analog adalah Ruang
warna RGB (Red, Green, Blue), yang amplitudonya di digitalisasikan dan
dikodekan dalam 8 bit untuk setiap warnanya. RGB adalah ruang warna aditif
yang bermakna bahwa semua warna dimulai dari hitam dan dibentuk dengan
menambah R, G dan B. Setiap warna yang tampak merupakan kombiinasi dari
tiga komponen R, G dan B. Gabungan dari tga warna ini akan membentuk warna
lain seperti Gambar 3.1. Pada gambar ini, ketiga warna dasar ini memiliki
intensitas yang sama (Madenda, 2015).

Bab : 3 Ruang Warna 21


Gambar 3.1. Ruang warna RGB (Madenda, 2015)

3.2. Ruang Warna HSL

Tiga konponen warna yang merepresntasikan ruang warna HSL adalah


hue, saturation, dan lightness. Ruamg Warna HSL secara konseptual berbentuk
kerucut berganda atau lingkaran dengan pucuknya berwarna putih, dan sudut
dasarnya berwarna hitam, dan warna sangat gelap pada sekeliling sisi lingkar
horizontal serta pada bagian tengah warna abu-abu sedang. Hue merupakan
kedalaman warna berdasarkan cahaya yang dipantulkan oleh objek. Kedalaman
warna tersebut memiliki tingkatan 0 sampai 359. Contohnya warna Merah berada
pada tingkat 0, warna Kuning 60, warna Hijau pada tingkat 120 dan warna Cyan
pada tingkat 180. Untuk tingkat 240 merupakkan warna Biru, serta 300 adalah
warna Magenta. Saturatin/ Chroma adalah tingkatan warna berdasarkan
ketajamannya berfungsi untuk mendefinisikan apakah warna suatu objek
cenderung murni atau cenderung kotor (gray). Saturation memiliki presentase
yang berkisar antara 0% sampai 100% sebagai warna paling tajam. Lightnes
adalah tingkatan warna berdasarkan pencampuran dengan unsur warna Putih
sebagai unsur warna yang memunculkan kesan warna terang atau gelap. Nilai

22 Bab : 3 Ruang Warna


tingkatan warna pada Lightness berkisar antara 0 untuk warna paling gelap dan
100 untuk warna paling terang.
Perubahan bentuk geometri kubik warna RGB dalam bentuk silinder
menciptakan Ruang Warna HSL (Hue, Saturation and Lightnes/ Luminance),
sehingga lebih mendekati intuisi dan persepsi visual manusia. Perubahan dari
Ruang warna RGB ke Ruang warna HSL dapat dilihat pada persamaan 3.1.

 TidakTerdefinisi , Jika max  min 


 
 
  G  B   60 , Jika max  G 
  max  min  
 
  (3.1)
h(hue)  
 B  R  , Jika max  B 
  2   60 
 max  min  
 
 
 R  G  4   60 , Jika max  B 
 max  min 
 

Dimana :
 
 
 0 , Jika max  min 
 max  min 
s( saturation )   , Jika L  127 
 (21 / 255) 
 max  min 
 2  (2 L / 255) , Jika L  127 
 

max min
L
2

Pada Persamaan 2.1, Max = max (R, G, B), Min = min (R, G, B). Intensitas warna
R,G dan B bervariasi dari 0 hingga 255 akan menghasilkan nilai H (Hue) dalam
radian yang bervariasi mulai dari –п/3 hingga +5п/3. Nilai S (Saturation) dan
nilai L (Lightness) masing-masing bervariasi dari 0 sampai 255 (Madenda, 2015).

Bab : 3 Ruang Warna 23


3.3. Ruang Warna HSV

Ruang warna HSV mendefinisikan warana dalam terminologi Hue,


Saturation dan Value. Hue menyatakan warna sebenarnya yang digunakan untuk
membedakan waarna-warna dan menentukan kemerahan (redness), kehijauan
(greenness) dan bentuk warna lainnya dari cahaya. Hue berasosiaasi degan
panjang gelombang cahaya. Saturation menyaatakan tingkat kemurnian suatu
warna, yaitu mengindikasikan seberapa banyak warna putih diberikan pada warna.
Value (luminance) adalah empat atribut yang menyatakan banyaknya cahaya yang
diterima oleh mata tanpa memperdulikan warna.
Ruang warna HSV hampir sama dengan ruang warna HSL yaitu
merepresentasikan nuansa warna dalam koordinat silindris 3-D. Ruang warna
HSV disebut juga dengan hexcone model (Hue, Saturation dan Value). Konversi
dari ruang warna RGB ke HSV mirip dengan persamaan ruang HSL (Madenda,
2015) seperti dapat dilihat pada persamaan 2.2

 
 TidakTerdefinisi , Jika max  min 
 
  GB  
h(hue)     , Jika max  R  (2.2)
  max  min  
 B  R  

 max  min  2   A , Jika max  G 
  
Dimana:

 0 , Jika max  min 


s( saturation )   
max  min , Jika lainnya 
V (value)  max

Pada Persamaan 2.2, Max = max (R, G, B), Min = min (R, G, B). A = п/3
bila H dalam radian atau A = 60o bila H dalam derajat. Nilai komponen H (Hue)
jika dinyatakan dalam radian memiliki nilai yang bervariasi mulai dari –п/3
hingga +5п/3 atau jika dinyatakan dalam derajat memiliki nilai yang bervariasi

24 Bab : 3 Ruang Warna


mulai dari -60o hingga 300o. Nilai S (Saturation) dan nilai V (Value atau
Luminance) masing-masing bervariasi dari 0 sampai 255 (Madenda, 2015).

3.4. Ruang Warna HSI

Warna juga dapat dispesifikasikan oleh tiga kuantisasi hue, saturation,


intensity (disebut model HSI) seperti pada gambar diabawah. Pada gambar
sebelah kiri merupakan bentuk solid HSI dan sebelah kanan adalah model segitiga
HSI yang merupakan bidang datar dari pemotongan model solid HSI secara
horisontal pada tingkat intensitas tertentu. Hue ditentukan dari warna merah,
saturation ditentukan berdasarkan jarak dari sumbu. Warna pada permukaan
model solid dibentuk dari saturasi penuh, yaitu warna murni, dan spektrum tingkat
keabuan,

Gambar 3.2. Ruang warna HSI (…)

Konversi nilai antar model RGB dan HSI adalah sebagai berikut:

Bab : 3 Ruang Warna 25


dimana kuantitas R, G, dan B adalah jumlah komponen warna merah, hijau, biru
dan dinormilisasi ke [0,1]. Intensitas adalah nilai rata-rata komponen merah, hijau
dan biru. Nilai saturation ditentukan sebagai:

3.5. Ruang Warna CMY/ CMYK

CMYK (cyan, magenta, yellow-kuning), dan warna utamanya (black-


hitam), dan sering dijadikan referensi sebagai suatu proses pewarnaan dengan
mempergunakan empat warna) adalah bagian dari model pewarnaan yang sering
dipergunakan dalam pencetakan berwarna. Namun ia juga dipergunakan untuk
menjelaskan proses pewarnaan itu sendiri. Meskipun berbeda-beda dari setiap
tempat pencetakan, operator surat kabar, pabrik surat kabar dan pihak-pihak yang
terkait, tinta untuk proses ini biasanya, diatur berdasarkan urutan dari singkatan
tersebut. Model ini, baik sebagian ataupun keseluruhan, biasanya ditimpakan
dalam gambar dengan warna latar putih (warna ini dipilih, dikarenakan dia dapat
menyerap panjang struktur cahaya tertentu). Model seperti ini sering dikenal
dengan nama "subtractive", karena warna-warnanya mengurangi warna terang
dari warna putih.
Dalam model yang lain "additive color", seperti halnya RGB (Red-Merah,
Green-Hijau, Blue-Biru), warna putih menjadi warna tambahan dari kombinasi
warna-warna utama, sedangkan warna hitam dapat terjadi tanpa adanya suatu
cahaya. Dalam model CMYK, berlaku sebaliknya, warna putih menjadi warna
natural dari kertas atau warna latar, sedangkan warna hitam adalah warna
kombinasi dari warna-warna utama. Untuk menghemat biaya untuk membeli tinta,
dan untuk menghasilkan warna hitam yang lebih gelap, dibuatlah satu warna
hitam khusus yang menggantikan warna kombinasi dari cyan, magenta dan
kuning.

26 Bab : 3 Ruang Warna


Gambar 3.2. Ruang warna CYMK (Madenda, 2015).

3.6. Ruang Warna YUV

Ruang Warna YUV adalah pemisahan komponen kecerahan (luminance)


dan komponen warna (crominanc). Pemisahan komponen tidak hanya dilakukan
dengan pemisahan warna, namun dapat juga dilakukan dengan memisahkan
komponen kecerahan (luminance) dan komponen warna (crominance). Pada
format PAL, sinyal kecerahan dinyatakan dengan Y, sedangkan dua signal warna
dinyatakan dengan U dan V

Masing-masing komponen tersebut diperoleh dengan mentransformasikan


RGB dengan rumus :

Y=0,299 R + 0,587 G + 0,114 B

U=(B-Y) x 0,493

V=(R-Y) x 0,877

Bab : 3 Ruang Warna 27


3.7. Ruang Warna Luminance In-phase Quadrature (YIQ)

Luminance in-phase quadrature (YIQ) adalah pemisahan sinyal video


menjadi komponen kecerahan dan komponen warna, dapat dilakukan juga sesuai
dengan format NTSC, komponen kecerahan dinyatakan dengan Y, dan dua
komponen warna dinyatakan dengan I dan Q.

Masing-masing komponen tersebut diperoleh dengan mentransformasikan RGB


dengan rumus :

Y=0,299 R + 0,587 G + 0,114 B

I=0,587R-0,275G-0,321B

Q=0,212R-0,523G-0,321B

3.8. Ruang Warna YCbCr

Ruang warna YCbCr biasa digunakan pada video digital. Pada ruang
warna ini, komponen Y menyatakan intensitas, sedangkan Cb dan Cr menyatakan
informasi warna. Proses konversi dari RGB dilakukan dengan beberapa cara.
Contoh berikut didasarkan pada rekomendasi CCIR 601-1 (Crane, 1997)

Gambar 3.3. Ruang warna YCbCr (Crane, 1997).

28 Bab : 3 Ruang Warna


3.9. Ruang Warna CIELAB

CIELAB adalah nama lain dari CIE L*a*b*. Diagram kromasitas CIE
(Commission Internatiole de L’Eclairage) ditunjukkan pada Gambar 3.4. Pada
diagram tersebut, setiap perpaduan x dan y menyatakan suatu warna. Namun,
hanya warna yang berada dalam area ladam (tapal kuda) yang bisa terlihat.
Angka yang berada di tepi menyatakan panjang gelombang cahaya. Warna yang
terletak di dalam segitiga menyatakan warna-warna umum di monitor CRT, yang
dapat dihasilkan oleh komponen warna merah, hijau, dan biru.

Gambar 3.4. Diagram kromasitas CIE (Sumber: Russ, 2011)

Bab : 3 Ruang Warna 29


BAB 4
CITRA MEDIS

Pencitraan medis adalah visualisasi bagian tubuh, jaringan, atau organ


tubuh, untuk digunakan dalam diagnosis klinis, pemantauan pengobatan dan
penyakit. Teknik pencitraan mencakup bidang radiologi, kedokteran nuklir dan
pencitraan optik dan intervensi yang dipandu citra. Citra medis saat ini telah
dimanfaatkan untuk beberapa keperluan seperti Magnetic Resonance Imaging
(MRI), X-Ray, Ultrasonography, Funduscopy, Endoscopy, Computed
Tomography (CT-Scan), dan Nuclear Medicine.

4.1. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat untuk mendiagnosa
penyakit pada pasien untuk memeriksa dan mendeteksi tubuh dengan
menggunakan medan magnet yang besar dengan menggunakan frekuensi radio
tanpa operasi, penggunaan sinar X atau pengunaan bahan radio aktif yang
hasilnya berupa rekaman gambar potongan penampang tubuh / organ manusia
dengan menggunakan medan magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla (1 tesla
= 1000 Gauss).

Gambar 4.1.Magnetic Resonance Imaging (MRI)


(sumber: https://medlineplus.gov)

Bab 4: Citra Medis 30


Teknik penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang
dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Kualitas gambaran detil tubuh
manusia akan tampak jelas bila pemilihan parameternya tepat, sehingga anatomi
dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti dan tepat. Maka untuk
itu perlu dipahami hal-hal yang berkaitan dengan prosedur tehnik MRI dan
tindakan penyelamatan bila terjadi dalam keadaan darurat. Beberapa faktor
kelebihan yang dimilikinya adalah terutama kemampuan membuat potongan
koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh pasien
sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak.
Macam – macam MRI bila ditinjau dari kekuatan magnetnya terdiri dari :
1. MRI Tesla tinggi ( High Field Tesla ) memiliki kekuatan di atas 1 – 1,5 T .
2. MRI Tesla sedang (Medium Field Tesla) memiliki kekuatan 0,5 – T
3. MRI Tesla rendah (Low Field Tesla) memiliki kekuatan di bawah 0,5 T

4.2. X-Ray
Sinar X-Ray telah dimanfaatkan dibidang kedokteran, salah satunya adalah
dengan menggunakan sinar X-ray mulai dari radasi untuk diagnostic,
pemeriksaan Sinar-X gigi dan penggunaan radiasi Sinar-X untuk terapi.
Radioterapi atau terapi Radiasi adalah salah satu pengobatan dengan
menggunakan sinar sebagai energy intensif membunuh sel kanker. Alat
diagnosis yang banyak digunakan di daerah adalah pesawat sinar-X (photo
Rontgen) yang berfungsi untuk photo thorax, tulang tangan,kaki dan organ tubuh
yang lainnya. Alat terapi banyak terdapat di rumah sakit-rumah sakit perkotaan
karena membutuhkan daya listrik yang cukup besar. Di negara maju, fasilitas
kesehatan yang menggunakan radiasi sinar-X telah sangat umum dan sering
digunakan.

4.3. Ultrasonography (USG)

Ultrasonography (USG) merupakan salah satu Citra diagnostik untuk


memeriksa alat dalam tubuh manusia sehingga kita dapat mempelajari bentuk,

31 Bab : 4 Citra Medis


ukuran anatomis, gerakan serta hubungan dengan jaringan sekitarnya.
Pemeriksaan ini bersifat non-invasif yaitu pemeriksaan yang tidak
menimbulkan rasa sakit pada penderita. Sehingga dapat dilakukan dengan
cepat, aman dan data yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik yang
tinggi. Pemeriksaan ini juga tidak ada kontra indikasinya, karena pemeriksaan
ini tidak akan memperburuk penyakit penderita. Saat ini diagnostik ultrasonik
berkembang dengan pesatnya, sehingga saat ini USG mempunyai peranan
penting untuk menentukan kelainan berbagai organ tubuh.

Ultrasonik adalah gelombang suara dengan frekwensi lebih tinggi


daripada kemampuan pendengaran telinga manusia, sehingga manusia tidak
bisa mendengarnya sama sekali. Suara yang dapat didengar manusia
mempunyai frekwensi antara 20 – 20.000 Cpd (Cicles per detik- Hertz).
Dalam pemeriksaan USG ini menggunakan frekwensi 1-10 MHz (1-10 juta
Hz). Gelombang suara frekwensi tinggi tersebut dihasilkan dari kristal-kristal
yang terdapat dalam suatu alat yang disebut transducer. Perubahan bentuk
akibat gaya mekanis pada kristal, akan menimbulkan tegangan listrik.
Fenomena ini disebut efek Piezo-electric, yang merupakan dasar
perkembangan USG selanjutnya. Bentuk kristal juga akan berubah bila
dipengaruhi oleh medan listrik. Sesuai dengan polaritas medan listrik yang
melaluinya, kristal akan mengembang dan mengkerut, maka akan dihasilkan
gelombang suara frekwensi tinggi.

4.3.1. Peralatan Yang digunakan dalam USG


Peralatan yang digunakan dalam Ultrasonography (USG) adalah :
1. Transduser; yaitu Transduser adalah komponen USG yang
ditempelkan pada bagian tubuh yang akan diperiksa, seperti
dinding perut atau dinding poros usus besar pada pemeriksaan
prostat. Di dalam transduser terdapat kristal yang digunakan untuk
menangkap pantulan gelombang yang disalurkan oleh
transduser. Gelombang yang diterima masih dalam bentuk

Bab 4: Citra Medis 32


gelombang akusitik (gelombang pantulan) sehingga fungsi kristal
disini adalah untuk mengubah gelombang tersebut menjadi
gelombang elektronik yang dapat dibaca oleh komputer sehingga
dapat diterjemahkan dalam bentuk gambar.
2. Monitor yang digunakan dalam USG; Monitor ini digunkan untuk
menampilkan hasil dari pemeriksaan yang mengunakan USG.
3. Mesin USG; berfungsi untuk mengolah data yang diterima dalam
bentuk gelombang. Mesin USG ini merupan CPUnya mesin USG.
Contoh penggunaan alat USG dapat dilihat pada gambar 4.2.

Gambar 4.2. Hasil Pemeriksaan Ibu Hamil dengan USG


(sumber: https://ibu-hamil.web.id)

33 Bab : 4 Citra Medis


Gambar 4.3. Sonograf Alat untuk USG
(sumber: https://ibu-hamil.web.id)

4.3.2. Manfaat Alat USG

Manfaat dan fungsi USG antara lain adalah :


1. Menemukan dan menentukan letak massa rongga perut dan pelvis.
2. Membedakan kista dengan massa yang solid.
3. Mempelajari pergerakan organ (jantung, aorta, vena kafa), maupun
pergerakan janin dan jantungnya.
4. Pengukuran dan penentuan volum. Pengukuran aneurisma arterial,
fetalsefalometri, menentukan kedalaman dan letak suatu massa untuk
bioksi. Menentukan volum massa ataupun organ tubuh tertentu
(misalnya buli-buli, ginjal, kandung empedu, ovarium, uterus, dan
lain-lain).
5. Menentukan perencanaan dalam suatu radioterapi. Berdasarkan
besar tumor dan posisinya, dosis radioterapi dapat dihitung dengan
cepat. Selain itu setelah radioterapi, besar dan posisi tumor dapat pula
diikuti.
Bab 4: Citra Medis 34
4.3.3. Jenis-jenis USG
Jenis – jenis pemeriksaan USG yaitu :
1. USG 2 Dimensi; menampilkan gambar dua bidang (memanjang
dan melintang). Kualitas gambar yang baik sebagian besar keadaan
janin dapat ditampilkan.
2. USG 3 Dimensi; alat USG 3 dimensi ada tambahan 1 bidang gambar
lagi yang disebut koronal. Gambar yang tampil mirip seperti aslinya.
Permukaan suatu benda (dalam hal ini tubuh janin) dapat dilihat
dengan jelas. Begitupun keadaan janin dari posisi yang berbeda. Ini
dimungkinkan karena gambarnya dapat diputar (bukan janinnya yang
diputar).
3. USG 4 Dimensi; USG 4 Dimensi merupakan USG 3 dimensi yang
dapat bergerak (live 3D). Pada USG 4 Dimensi, gambar janinnya
dapat “bergerak”. Jadi pasien dapat melihat lebih jelas dan
membayangkan keadaan janin di dalam rahim.

4. USG Doppler; Pemeriksaan USG ini mengutamakan pengukuran


aliran darah terutama aliran tali pusat. Alat ini digunakan untuk
menilai keadaan/kesejahteraan janin. Penilaian kesejahteraan janin ini
meliputi: Gerak napas janin (minimal 2x/10 menit), Tonus (gerak
janin), Indeks cairan ketuban (normalnya 10-20 cm), Doppler arteri
umbilikalis dan Reaktivitas denyut jantung janin.

4.4. Funduscopy
Funduscopy merupakan satu pemeriksaan mata untuk melihat
bahagian fundus mata dengan menggunakan Opthamoloscope/Fundus
photography. Pemeriksaan yang dilakukan pada struktur belakang mata,
termasuk retina, untuk memeriksa kemungkinan penyakit mata. Fundus
photography memanfaatkan pantulan sinar cahaya pada gelombang
tertentu yang dipancarkan ke pupil mata. Citra yang didapat dari fundus
photography memberikan informasi tentang keadaan retina seperti
microaneursym, exudates, pendarahan, dan pembuluh darah. Contoh alat
35 Bab : 4 Citra Medis
pemeriksaan Opthamoloscope (Funduskopi) dapat dilihat pada Gambar
4.4.

Gambar 4.4. Contoh Opthamoloscope


(sumber : www.welchallyn.com)

4.4.1. Pemeriksaan opthamoloscope


Salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
Diabetik Retinopati adalah pemeriksaan opthamoloscope yang menghasilkan citra
fundus. Pemeriksaan ini memanfaatkan pantulan sinar cahaya pada gelombang
tertentu yang dipancarkan ke pupil mata. Citra yang didapat dari opthamoloscope
memberikan informasi tentang keadaan retina seperti microaneursym, exudates,
pendarahan, dan pembuluh darah. Jakarta Eye Center sebagai tempat penelitian
menggunakan Non Mydriatic Fundus Camera dengan sudut pengambilan (field of
view) 450 yang berpusat di optic disc (Bowling. 2016). Kamera fundus non-
mydriatic tidak memerlukan penggunaan agen mydriatic untuk melebarkan pupil
pasien. Kamera fundus non mydriatic biasanya membutuhkan pelebaran alami 4
mm.Hal ini menjadi pembatas faktor pada pasien yang berusia lebih dari 60 tahun
yang biasanya tidak secara alami membesar dengan baik. Tabel 4.1 merupakan
jenis kamera yang biasa digunakan dalam pemeriksaan opthamoloscope.

Bab 4: Citra Medis 36


Tabel 4.1. Resolusi Kamera Fundus

Jenis Kamera Ukuran Citra FOV Resolusi


TopCon (STARE Dataset) 700 x 605 35 300 dpi
TopCon TRC 50EX 700 x 605 45 300 dpi
Canon CR5 768 x 584 45 300 dpi
Canon EOS 2OD (HRF
3564 x 2336 45 72 pi
Dataset)

4.4.2. Cara Pemeriksaan Opthamoloscope

Pemeriksaan opthamoloscope langsung yang menghasilkan citra fundus


dilakukan dengan alat oftalmoskop direk. Opthamologist akan mengatur agar
ruang pemeriksaan cukup gelap sehingga pupil mata pasien cukup lebar untuk
memudahkan pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan pasien duduk
(sumber : dr. Rakhma Indria Hapsari, SpM, Mkes - Omni Hospital Cikarang).
Pemeriksaan mata pasien dilakukan dengan langkah berikut :

1. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan/ kiri pasien


2. Oftalmoskop dipegang menggunakan tangan kanan/ kiri
3. Jari telunjuk berada pada pemutar lensa untuk memfokuskan obyek yang
dilihat
4. Pemeriksaan dilakukan menggunakan mata kanan/ kiri pemeriksa

Langkah-langkah pemeriksaan funduskopi :

1. Tempelkan opthamoloscope pada mata pemeriksa


2. Pertama kali perhatikan reflek fundus dilihat melalui pupil pasien dengan
jarak pemeriksaan 30 cm
3. Bila media refraksi jernih akan terlihat reflek fundus berwarna merah
kekuningan pada seluruh lingkaran pupil
4. Bila media refraksi keruh akan terlihat adanya bercak hitam di depan latar
belakang yang merah kekuningan

37 Bab : 4 Citra Medis


5. Untuk melihat retina dan papil saraf optik, opthamoloscope diarahkan 45o
dari lateral pasien, kemudian opthamoloscope didekatkan sedekat mungkin
ke mata pasien. Contoh alat pengambilan citra fundus pada penelitian ini
dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 4.5. Contoh Alat Opthamoloscope yang Digunakan


(sumber : Jakarta Eye center, 2016)

6. Pertama–tama mencari pembuluh darah retina, kemudian ikuti arah


pembuluh darah tersebut hingga mengumpul di papil saraf optik.
Perhatikan pada gambaran papil saraf optik dalam hal bentuk, warna, batas
dan ada tidaknya kelainan lain di sekitar papil saraf optik seperti
perdarahan, exudates, microaneursym, dan lain sebagainya.
7. Selanjutnya memeriksa retina secara keseluruhan (4 kuadran) seperti dapat
dilihat pada gambar 4.6. Mengenali kelainan-kelainan yang mungkin
didapati, seperti perdarahan, exudates, cotton woll spot, microaneursym,
Venous Beading, dan lain sebagainya.

Bab 4: Citra Medis 38


Pemeriksaan opthamoloscope yang menghasilkan citra fundus retina dapat dilihat
pada gambar 4.6.

Gambar 4.6. Contoh Pemeriksaan Opthamoloscope


(sumber : dr. Rakhma Indria Hapsari, SpM, Mkes - Omni Hospital Cikarang)

4.5. Endoscopy

Endoscopy (Endoskopi) adalah alat medis yang berguna untuk


melihat rongga-rongga dalam tubuh dengan memasukan alat berupa selang
panjang yang fleksibel yang ujungnya diberi kamera dan alat-alat medis
lainnya yang kemudian selang tersebut akan dimasukkan tubuh kita. Cara
memasukkannya selang tersebut tergantung dari organ mana yang ingin
diperiksa. Alat ini tidak hanya dapat melihat organ dalam tubuh secara
langsung tetapi dapat juga sebagai alat tindakan untuk melakukan biopsi,
mengambil benda asing.
Alat yang digunakan dalam endoskopi dinamakan endoskop, yang
berbentuk pipa kecil panjang yang dapat dimasukan kedalam tubuh, seperti
lambung, sendi atau rongga tubuh lainnya. Di dalam pipa tersebut terdapat
dua buah serat optik yaitu serat optik yang satu untuk menghasilkan cahaya
agar bagian tubuh di depan ujung endoskop terlihat jelas, sedangkan serat
optik yang lain berfungsi sebagai penghantar gambar yang ditangkap oleh
kamera. Selain kedua serat optik tersebut, terdapat satu buah bagian lagi

39 Bab : 4 Citra Medis


yang bisa digunakan sebagai saluran untuk pemberian obat dan untuk
memasukkan atau mengisap cairan dan bagian tersebut juga dapat dipasangi
alat-alat medis seperti gunting kecil, sikat kecil, dan lain-lain. Dibawah ini
merupakan contoh alat edoskopi dapat dilihat pada gambar 4.7.

Gambar 4.7. Contoh Alat pemeriksaan Endoskopi


(sumber : http://www.rs-antonius.com/endoskopi.php)

Manfaat dari Endoskopi antara lain adalah untuk mengetahui bagaimana


keadaan bagian dalam saluran cerna (apakah ada luka, dagimg tumbuh atau
kelainan bentuk saluran cerna, dan lain-lain) dan dapat digunakan untuk
mengambil contoh jaringan bagian dalam (biopsi) untuk pemeriksaan.

Bab 4: Citra Medis 40


Beberapa jenis gangguan yang dapat dilihat dengan endoskopi antara lain
adalah abses, sirosis biliaris, perdarahan, bronkhitis, kanker, kista, batu empedu,
tumor, polip, tukak, dan lain-lain. Prosedur medis yang menggunakan endoskopi
mempunyai berbagai macam nama, tergantung jenis dan organ yang diperiksa.
Berikut beberapa contoh pengunaan endoskopi adalah:
1. Thorakoskopi, pemeriksaan pleura, rongga pleura, mediastinum
dan perikardium (bagian-bagian paru-paru dan jantung).
2. Proktoskopi (sigmoidoskopi dan proktosigmoidoskopi), pemeriksaan
rektum dan kolon sigmoid.
3. Laringoskopi, pemeriksaan laring (bagian saluran napas ).
4. Laparoskopi, untuk melihat lambung, hati, dan organ-organ lain di
dalam rongga perut.
5. Gastroskopi, untuk melihat dinding dalam esofagus, lambung, dan usus
halus.
6. Sistoskopi, untuk melihat saluran kencing, kandung kencing dan prostat.
7. Kolposkopi, untuk memeriksa vagina dan mulut rahim.
8. Kolonoskopi, untuk memeriksa usus besar.
9. Bronkhoskopi, untuk melihat trachea dan cabang-cabang bronkhus
(bagian dari saluran napas).
10. Arthroskopi, untuk melihat sendi.

4.6. Computed Tomography (CT-Scan)

Computed Tomography (CT) scan atau tomografi terkomputerisasi


aksial (CAT) adalah prosedur pencitraan medis yang menggunakan x-ray untuk
melihat gambar penampang tubuh. Sebuah sistem pencitraan CT menghasilkan
gambar penampang atau “irisan” dari area tubuh. CT scan menggunakan
beberapa khusus sinar-X untuk melihat area tubuh dari sudut yang berbeda dan
kemudian memberikan beberapa gambar penampang dari tubuh. Keuntungan
visualisasi yang lebih baik yang ditawarkan oleh CT dibandingkan X-ray
diimbangi dengan risiko paparan radiasi yang lebih besar, penambahan biaya dan

41 Bab : 4 Citra Medis


waktu. Dibawah ini adalah salah satu contoh pemeriksaan CT Scan dapat dilihat
pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8. Contoh Pemeriksaan menggunakan CT-Scan


(sumber : https://www.radiologyinfo.org)

Kegunaan Computed Tomography (CT) scan atau tomografi adalah:


1. Mendiagnosis penyakit, trauma, atau kelainan.
2. Perencanaan, membimbing, dan pemantauan terapi.
3. Untuk diagnosis untuk menunjukkan detail dari bagian
dalam tubuh Anda, seperti paru-paru, otak, organ-organ perut,
tulang dan pembuluh darah.
4. Untuk melihat bagian dalam tubuh Anda daripada
menggunakan operasi.
5. Tidak ada radiasi yang tersisa dalam tubuh setelah scan selesai
dilakukan walaupun CT-Scan mengunakan radiasi.
6. Tidak menimbulkan rasa sakit, akurat dan cepat

Bab 4: Citra Medis 42


Contoh area kerusakan otak dari hasil pemeriksaan CT-Scan dapat dilihat pada
Gambar 4.9. Infark serebal adalah kerusakan otak akibat berkurangnya suplai
darah ke area tertentu di otak.

Gambar 4.9. Hasil pemeriksaan CT-Scan


(sumber : https://petunjuksehat.com/serangan-stroke/)

4.7. Nuclear Medicine


Nuclear Medicine atau Kedokteran nuklir merupakan ilmu kedokteran
yang dalam kegiatannya menggunakan radioaktif terbuka, baik untuk diagnosis
maupun dalam pengobatan penyakit, atau dalam penelitian. Nuclear Medicine
atau Kedokteran nuklir sudah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1960-an
(sumber:http://lifestyle.kompas.com). Dalam mendiagnosis penyakit seseorang
sangat dibutuhkan fasilitas penunjang yang baik dengan akurasi tinggi. Tujuannya
adalah agar pasien mendapat penanganan terbaik, cepat dan tepat sehingga waktu
perawatan lebih cepat, penderitaan pasien berkurang, serta biaya perawatan lebih
hemat.
Teknik diangostik dengan kedokteran nuklir yang banyak dipakai dalam
dunia kedokteran antara lain pencitraan medis PET (positron emission
tomography), MRI (magnetic resonance imaging), CT-Scan (computed
tomography), dan masih banyak lagi. Saat ini yang sedang dikembangkan adalah
nano scan-PET.
43 Bab : 4 Citra Medis
Dengan mengunakan teknologi kedokteran nuklir ini, dapat mendeteksi
berbagai jenis kanker serta gangguan jantung dan pembuluh darah bisa dideteksi
lokasinya secara lebih tepat sehingga pengobatannya pun lebih efektif. Dalam
penyakit kanker, prosedur diagnosis kanker bertujuan untuk mengidentifikasi
jenis dan lokasi kanker. Setiap jenis kanker memiliki kecepatan laju pertumbuhan
sendiri-sendiri, kecenderungan perkembangan, maupun jenis organ tubuh tertentu
yang mudah terkena penyebarannya. Salah satu contoh instalasi kedokteran nuklir
yang terdapat di salah satu rumah sakit di Indonesia dapat dilihat pada Gambar
4.10.

Gambar 4.10. Instalasi Kedokteran Nuklir


(sumber : http://www.rspp.co.id/penunjang.html)

Bab 4: Citra Medis 44


BAB 5
ANATOMI MATA DAN RETINA

Mata adalah organ dari sistem visual yang bereaksi terhadap cahaya dan
memiliki dan memiliki beberapa fungsi. Mata mendeteksi cahaya dan
mengubahnya menjadi impuls elektro kimia di neuron.

5.1. Anatomi Mata


Organ penglihatan yang terletak dalam rongga orbita dengan struktur
sferis berdiameter 2,5 cm disebut Mata. Mata dilapisi oleh tiga lapisan yang
membungkus cairan seperti dapat dilihat pada gambar 5.1. Ketiga Lapisan
tersebut adalah sklera/ kornea, koroid (iris/ badan siliaris) dan retina.
Sklera/ kornea adalah tempat lewatnya berkas-berkas cahaya ke interior
cahaya, Sklera/ kornea merupakan jaringan transparan yang ukuran dan
strukturnya sebanding dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea dewasa
rata-rata mempuyai tebal rata – rata 550 m dipusatnya tergantung dari variasi
rasnya.
Koroid (iris/ badan siliaris) adalah segmen posteoror uvea, yang
mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk memberikan makan retina. Iris
mata memberikan warna mata, dan mengatur perbesaran pupil (kondisi ini
dilakukan untuk membatasi banyak nya jumlah cahaya yang dapat masuk ke iris).
Pola iris mata mulai terbentuk sejak bulan ke-3 kehamilan melalui proses yang
dikenal dengan kekacauan morfogenesis (chaotic morphogenesis) yaitu
perkembangan dan reaksi jaringan secara random terhadap kondisi-kondisi
lingkungan yang berubah. Setelah bayi berusia 1 tahun, pola iris tidak akan
berubah sepanjang hidup. Tidak ada dua iris mata yang persis sama, bahkan iris
mata kanan dan kiri dari orang yang sama pun berbeda dan bersifat unik. Anak
kembar yang identik memiliki pola DNA yang sama tetapi mempunyai pola iris
mata yang berbeda dan benar-benar unik. Contoh iris mata dapat dilihat pada
Gambar 5.1.

Bab 5: Anatomi dan Retina Mata 45


Gambar 5.1. Contoh Iris Mata

Retina terdiri dari lapisan yang sangat berpigmen di sebelah luar dan
sebuah lapisan saraf di dalam. Lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan
semi tranparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola
mata dinamakan retina. (Vaughan, 2014).

Gambar 5.2. Anatomi Bola Mata (Vaughan, 2014)

5.2. Retina
Retina sebagai salah satu bagian penting dari organ mata digunakan untuk
menangkap cahaya. Retina bergerak berdasarkan sinyal visual dari otak kiri untuk
memutuskan penglihatan terhadap suatu gambar. Retina memiliki bagian berupa

46 Bab 5: Anatomi dan Retina Mata


sel yang terdiri dari sel rod dan sel cone. Sel ini berfungsi untuk mengubah
intensitas cahaya menjadi sinyal cahaya. Sinyal cahaya ini dikirimkan ke otak
melalui saraf optik (Bowling, 2016).
Retina manusia merupakan jaringan mata yang paling komplek. Mata
transduser yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut dilapisan fotoreseptor
mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf. Lapisan saraf pada
retina memiliki 2 jenis sel fotoreseptor yaitu sel batang yang digunakan untuk
melihat cahaya dengan intensitas rendah dan orientasi ruangan dan sel kerucut
yang digunakan untuk melihat warna degan cahaya dengan intensitas tinggi dan
penglihatan sentral (Vaughan, 2014).

5.3. Anatomi Retina


Bola mata ornag dewasa memiliki diameter sekitar 22mm – 24.2mm
(diameter dari depan ke belakang) sedangkan berdiameter 16.5mm untuk bola
mata anak ketika lahir kemudian mencapai pertumbuhan secara maksimal sampai
umur 7-8 tahun. Dalam bola mata, retina menempati dua pertiga sampai tiga
perempat bagian posterior dengan total area 1.100 mm2. Retina melapisi bagian
posterior mata, dengan pengecualian bagian nervus optikus, dan memanjang
secara sirkumfrensial anterior 360 derajat pada ora serrata. Tebal retina rata-rata
250 µm, paling tebal pada area makula dengan ketebalan 400 µm, menipis pada
fovea dengan ukuran 150 µm, dan lebih tipis lagi pada ora serrata dengan
ketebalan 80 µm (Vaughan, 2014). Retina memiliki banyak pembuluh darah yang
mensuplai nutrisi dan oksigen pada sel retina (Joussen, 2007) (Vaughan, 2014).
Contoh citra fundus retina normal dapat dilihat pada gambar 5.2.

Bab 5: Anatomi dan Retina Mata 47


Gambar 5.3. Citra Fundus Retina Normal. Makula lutea terletak 3-4 mm ke arah
temporal dan sedikit di bawah disk optik, Diameter vena ±2 kali lebih besar dari
arteri (Vaughan, 2014)

Dari gambar 5.3 dapat terlihat, Optic Nerve adalah saraf mata yang
memasuki sel tali dan keruucut dalam retina dan untuk menghantarkan sinar ke
otak yang menerjemahkan penglihatan yang dilihat pada saat ini. Daerah kecil
yang berbentuk bulat dan terletak di bagian belakang retina dengan jarak sejauh 3
- 4 mm dari temporal serta 0,5 mm lebih kecil terhadap diskus disebut Makula.
Makula terlihat jelas karena bebas dari pembuluh darah retina. Fovea adalah
lekukan di pusat makula. Dari gambar 5.4 dapat dilihat diameter vena berukuran
dua kali lebih besar dari arteri.

48 Bab 5: Anatomi dan Retina Mata


Gambar 5.4. Pembuluh Darah Retina (Bowling, 2016)

Bagian tengah retina makula berpigmen sangat padat kurang lebih 1,5 mm. Di
tengahnnya terdapat fovea (daerah berbentuk lonjong dan avaskuler). Pusat fovea
yang bergaung disebut Foveola. Bagian tengah retina ini terletak tepat pada
sumbu penglihatan (Bowling, 2016). Bagian Retina yang penting adalah “Makula
Lutea” (penglihatan disini adalah penglihatan yang paling tajam) dan papil optik
yang terdapat di sudut nasal. Bagian tengah retina makula ber pigmen sangat
padat kuranglebih 1,5mm. Ditengahnya terdapat fovea (daerah yang berbentuk
lonjong dan avaskuler). Pusat fovea yang bergaung disebut Foveola. Makula
memiliki 2 reflek antara lain (Brad Bowling. 2016).
1. Reflek cincin / reflek tepi (terdapat di pinggir)
2. Reflek sentral terdapat di bagian tengah

Warna Makula kuning muda karena adanya pigmen xantofil karotenoid. Pigmen
ini berperan melindungi kerucut makula terhadap cahaya yang
menyilaukan,walaupun pupil telah menciut maksimal. Bagian tengah retina ini
teletak tepat pada sumbu penglihatan, hanya berisi kerucut dan sebagian besar dari
6,5 juta kerucut retina memadati tempat yang sempit ini. Syaraf retina menyerap
dan meneruskan menyebarkan impuls cahaya yang mencapai retina. Impuls
cahaya berjalan melalui syaraf optik menuju visual korteks yang mana di
interprestasikan sebagai penglihatan. Cahaya yang berjalan dalam garis lurus akan
jatuh secara diagonal berlawanan dalam area di retina yang menjadi obyek

Bab 5: Anatomi dan Retina Mata 49


penglihatan. Misalnya cahaya dari obyek yang dilihat secara superior akan
jatuhpada bagian inferior di retina. Hal yang sama akan terjadi pada garis
horisontal. Otak mengubah persepsi sehingga tampil secara tepat.

5.4. Pembuluh Darah Retina

Sistem Pembuluh darah terdiri dari dua bagian yaitu arteri dan vena. Arteri
sentral sebagai pemasok dan vena sentral yang mengaliri retina berjalan melalui
pusat saraf optik. Arteri retina berwarna meerah terang membawa darah yang
mengandung oksigen, dan lapisan media mereka yang merefleksikan sinar,
menghasilkan reflek cahaya yang berjalan sejajar dengan aksis arteri. Pembuluh
darah vena retina lebih gelap dan lebih lebar dibandingkan pembuluh darah arteri
retina (A/ V ratio 2 : 3). Pembuluh darah retina dinilai ukuran, bentuk, kaliber
(contohnya: penyempitan, kompresi, sumbatan), kontur, pulsasi, dan kelokan,
serta diperhatikan pula adanya anerisma, perdarahan, dan exudates. Arteri tampak
berwarna merah, lebih sempit dibanding vena dengan rasio dua. Pembuluh vena
lebih lebar dan gelap (Nema, 2009). Rata-rata diameter dari arteri sentral retinal
adalah 163 ± 17 m (Guido, 2002). Pada citra fundus retina dibagi menjadi empat
segmen (kuadran) yang berpusat di optic disc yaitu Upper Temporal, Upper
Nasal, Lower Temporal dan Lower nasal seperti dapat dilihat pada ganbar 5.5.
(Bowling, 2016).

50 Bab 5: Anatomi dan Retina Mata


Gambar 5.5. Kuadran Pada Retina Fundus
(Bowling, 2016)

Vena retina merupakan pembuluh darah utama yang membawa darah dari retina.
Penyumbatan pada vena retina menyebabkan vena membengkak dan berkelok-
kelok (tortuosity), sehingga pemukaan vena menjadi bengkak dan darah bisa
merembes ke dalam retina seperti dapat dilihat pada ganbar 5.6.

Gambar 5.6. Contoh Citra Fundus dengan Turtuosity

Bab 5: Anatomi dan Retina Mata 51


BAB 6
DIABETIK RETINOPATI

Diabetik Retinopati adalah penyakit mata yang disebabkan oleh diabetes.


Kondisi kelainan pada kemampuan tubuh dalam menyimpan dan memproses gula
dalam tubuh disebut dengan diabetes. Pada umumnya orang yang menderita
diabetes menpunyai kadar gula yang tinggi sehingga aliran darah yang berkadar
gula tinggi dapat menyebabkan kerusakan penglihatan. Lamanya seseorang
menderita diabetes melitus membuat semakin besar resiko terkena Diabetik
Retinopati. Penderita diabetes melitus tipe 2 lebih beresiko terkena Diabetik
Retinopati jika dibandingkan dengan penderita diabetes melitus tipe 1 dan
penderita diabetes melitus yang memiliki tekanan darah yang tinggi lebih beresiko
terkena Diabetik Retinopati (hipertensi). Kehamilan pada wanita yang menderita
Diabetes Melitus memiliki resiko yang lebih besar terkena Diabetik Retinopati
dibandingkan wanita yang tidak hamil. Usia penderita diabetes melitus berusia 13
hingga 50 tahun lebih beresiko terkena diabetik retinopati. Perbedaan penglihatan
orang normal dan penderita Diabetik Retinopati ditunjukkan pada gambar 6.1.

(a) Normal (b) Diabetik Retinopati


Gambar 6.1. Jenis Penglihatan (NEI, 2016)

Diabetik Retinopati merupakan kelainan retina (retinopati) yang dapat


ditemukan pada penderita diabetes melitus yang menderita selama 5 hingga 15

Bab 6: Diabetik Retinopati 52


tahun dan merupakan penyakit lanjutan dari diabetes melitus (DM) yang memiliki
kasus cukup tinggi yaitu mencapai 40-50% penderita diabetes (Ilyas, 2003).
Penyakit ini merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia
dewasa (penderita diabetes melitus) antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes
memiliki risiko 25 kali rentan mengalami kebutaan dibanding dengan penderita
non-diabetes. Hampir semua penyandang DM tipe 1 akan mengalami Diabetik
Retinopati dengan berbagai derajat setelah 20 tahun dan 60% pada Diabetes
Melitus tipe 2 (Nasution, 2011). Kerusakan pada lapisan saraf mata sampai pada
kebocoran retina akibat Diabetik Retinopati akan mengakibatkan penglihatan
menjadi buram sampai pada kebutaan. Penderita Diabetik Retinopati dapat
menjadi buta secara permanen. Beberapa rumah sakit seperti RS Indera Denpasar
dan RS. Sanglah mencatat ada sekitar 123 pasien Diabetes Melitus yang terdiri
dari 57 perempuan dan yang terdiri dari 66 laki-laki mulai dari periode Oktober
2014 sampai dengan Januari 2015. Dari jumlah tersebut, sekitar 60,16% pasien
mengidap Diabetik Retinopati (Ni Made Ari S, I Putu B, I Wayan Gede J, I Gede
Raka, 2015). Di dunia terdapat sekitar 10% persen penduduk yang mengalami
kebutaan akibat Diabetik Retinopati. Penyakit Diabetik Retinopati merupakan
penyakit penyebab kebutaan paling tinggi yang menempati posisi keempat setelah
katarak, glaukoma, dan degenerasi makula (Andi Arus Victor, 2008).

6.1 Klasifikasi Diabetik Retinopati


Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai
oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh–pembuluh kecil (Vaughan,2007).
Kelainan patologik yang paling dini adalah penebalan membrane basal endotel
kapiler dan berkurangnya jumlah perisit. Kapiler membentuk kantung-kantung
kecil menonjol seperti titik-titik yang disebut dengan microaneursym.
Diabetik Retinopati ada dua jenis yaitu Non Proliferasi Diabetik
Retinopati (NPDR) dan Proliferasi Diabetik Retinopati (PDR). Pada Diabetik
Retinopati dengan tipe NPDR terjadi kelemahan pada pembuluh darah retina.
Pada beberapa kasus, Kapiler membentuk kanterdapat cairan dan darah bocor
pada retina. Diameter pembuluh darah menjadi membesar dengan bentuk tepi
53 Bab : 6 Diabetik Retinopati
pembuluh tidak beraturan. Jenis Diabetik Retinopati dengan tipe NPDR dapat
menjadi tipe Proliferasi Diabetik Retinopati (PDR) pada stadium parah.
Kerusakan pembuluh darah pada tipe PDR, berakibat pertumbuhan pembuluh
darah baru yang tidak normal pada retina sehingga mengakibatkan terganggunya
aliran cairan normal pada mata. Bola mata akan mendapatkan tekanan yang cukup
tinggi. Salah satu cara untuk mengetahui seseorang menderita Diabetik Retinopati
pada tipe NPDR dapat dilihat dari adanya kemunculan antara lain Exudates (Soft
Exudates seperti Cotton Wool dan Hard Exudates), Intra Retinal Mikrovaskuler
Abnormalities (IRMAs) yang mengakibatkan penggelembungan vaskuler (Venous
Beading) serta perdarahan titikan bercak (Dot and blot intraretinal hemorrhages)
(Bowling, 2016). Salah satu contoh citra fundus tipe NPDR dapat dilihat pada
Gambar 6.2.dan Gambar 6.3.

Gambar 6.2. Contoh Citra Fundus NPDR


(source: http://www.retinaeye.com/nonprodiabeticretinopathy.html)

Bab 6: Diabetik Retinopati 54


Gambar 6.3. Contoh Citra Fundus NPDR
(source: http://www.retinaeye.com/prodiabeticretinopathy.html)

6.2 Gejala Diabetik Retinopati


Diabetik Retinopati tidak memiliki gejala yang signifikan hingga
kerusakan terjadi pada retina. Beberapa gejala yang muncul adalah sebagai
berikut:

1. Penglihatan menjadi kabur.


2. Muncul objek-objek hitam yang menghalangi penglihatan.
3. Kehilangan sebagian atau keseluruhan fungsi penglihatan.
4. Sakit pada area mata.

55 Bab : 6 Diabetik Retinopati


Pemeriksaan Diabetik Retinopati dapat dilakukan dengan berbagai cara,
yaitu (NEI, 2016) :

1. Visual acuity test. Pengukuran kemampuan penglihatan standar


menggunakan eye chart
2. Tonometry. Pengukuran tekanan pada bagian dalam mata
3. Dilated eye exam. Pemeriksaan yang memberikan cairan ke mata untuk
memperbesar pupil
4. Opthamoloscope/Fundus photography. Fundus photography
memanfaatkan pantulan sinar cahaya pada gelombang tertentu yang
dipancarkan ke pupil mata. Citra yang didapat dari fundus photography
memberikan informasi tentang keadaan retina seperti microaneursym,
exudates, pendarahan, dan pembuluh darah. Contoh alat pemeriksaan
Opthamoloscope (Funduskopi) dapat dilihat pada Gambar 6.4.

Gambar 6.4. Contoh Opthamoloscope


(sumber : www.welchallyn.com)

5. Fluorescein angiography

Citra fluorescein angiography terbentuk dari sejumlah foton yang


dipancarkan dari zat pewarna fluorescein. Sebelum angiography dilakukan, zat
pewarna fluorescein disuntikkan kepada penderita terlebih dahulu. Zat pewarna
fluorescein akan beredar ke seluruh tubuh, termasuk retina. Ketika zat pewarna
Bab 6: Diabetik Retinopati 56
fluorescein berada di retina, maka proses angiography dilakukan. Citra fluorescein
angiography dapat memberikan informasi tentang pembuluh darah,
mikroaneurisma, makula, dan pendarahan pada retina secara lebih jelas jika
dibandingkan dengan citra hasil fundus phoography. Citra fluorescein
angiography ditunjukkan pada Gambar 6.5 (NEI, 2016) .

Gambar 6.5. Citra Fluorescein angiography (NEI, 2006)

6. Optical Coherence Tomography (OCT) (Mahesh, 2013). Metode yang


digunakan untuk menghitung ketebalan jaringan dengan cara mengukur
waktu pembiasan dari satu lapisan jaringan ke lapisan jaringan berikutnya.
OCT dapat dianalogikan sebagai ultrasonography yang menggunakan
sinar cahaya, bukannya gelombang suara. Citra yang didapat dari OCT
memberikan informasi mengenai saraf optik dan struktur retina. Citra OCT
dapat digunakan untuk melihat lapisan retina, pembengkakan makula,
kerusakan saraf optik, dan pembengkakan saraf optik.

6.3 Karakteristik Diabetik Retinopati


Epedemiologi Diabetik Retinopati terjadi kira-kira pada 1 dari 900 orang
berusia 25 tahun mengidap diabetes dan kira-kira 1 dari 25 orang berusia 60 tahun
adalah penyandang diabetes. Diabetik Retinopati diabetik jarang ditemukan pada
anak-anak dibawah umur 10 tahun tanpa memperhatikan lamanya diabetes dengan
57 Bab : 6 Diabetik Retinopati
resiko berkembangnya retinopati meningkat setelah pubertas. Berikut adalah
karakteristik simptomp yang ditemukan pada Non-Proliferative Diabetik
Retinopati (NPDR) (Brad Bowling. 2016)

1. Perdarahan titik dan bercak (Dot and blot intraretinal hemorrhages).


Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyala api
karena lokasinya didalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal,
sedangkan perdarahan bentuk titik-titik atau bercak terletak di lapisan retina
yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertikal seperti dapat
dilihat pada Gambar 6.6.

Gambar 6.6. Contoh Citra Fundus dengan Dot and blot intraretinal hemorrhages
(Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. 2007)

2. Microaneursym. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol


seperti titik-titik yang disebut mikroaneurisme, sedangkan vena-vena
mengalami dilatasi dan berkelok-kelok (Brad Bowling. 2016)

Bab 6: Diabetik Retinopati 58


Gambar 6.7. Contoh Citra Fundus dengan Microaneursym
(Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. 2007)

3. Exudates. Merupakan sesuatu yang keluar dari luka, cairan luka, drainase
luka dan kelebihan cairan normal tubuh. Produksi exudates dimulai sesaat
setelah luka terjadi sebagai akibat adanya vasodilatasi pada fase inflamasi
yang difasilitasi oleh mediator infalamasi seperti histamine dan bradikinin.
Untuk mengetahui volume exudates maka salah satu tools yang dapat
digunakan adalah wound exudates continuum yang dikembangkan oleh
(Gray, 2005). Parameter tools ini adalah volume dan vikositas exudates
yang dapat mengindikasikan proses penyembuhan berlangsung normal
atau tidak.

6.4 Kudran dalam Diabetik Retinopati


Klasifikasi NPDR berdasarkan ETDRS (Khurana, 2007) dengan melihat
keberadaan beberapa kelainan pada kuadran citra retina. Pembagian empat
kuadran pada citra fundus dilakukan dengan aproksimasi sudut pengambilan
Optic Disc (Field Of View). Kebocoran lemak pada vascular retina akan

59 Bab : 6 Diabetik Retinopati


mengakibatkan exudates, Venous Beading pada dua kuadran dan Intra Retinal
Mikrovaskuler Abnormalities pada satu kuadran merupakan dua diantara gejala
klinis pada Diabetik Retinopati. Venous Beading pada citra retina mengakibatkan
pembuluh darah menjadi berkelok-kelok. Hal ini mengakibatkan dinding
pembuluh darah menjadi bocor. Microaneurysms merupakan pelebaran titik fokus
dari pembuluh kapiler retina yang muncul sebagai titik-titik bulat kecil merah
gelap mengakibatkan Haemorrhages. Keberadaan exudates, venous beading yang
terdeteksi, microaneurysms dan haemorrhages pada citra retina menunjukkan
derajat penyakit (stadium) Diabetik Retinopati. Evaluasi klinis yang dilakukan
untuk mendeteksi NPDR adalah dengan melakukan pemeriksaan melalui kamera
fundus atau pemeriksaan langsung melalui ophthalmoscope (Chakrabarti, Harper
and Keeffe, 2012).
Berdasarkan pengamatan visual seorang dokter spesialis mata
(ophthalmologist) vitreo-retina, exudates muncul dalam warna putih kekuning-
kuningan atau dengan berbagai ukuran, bentuk dan lokasi. Pada beberapa citra,
exudates juga berwarna nampak kehijauan. Exudates kadang terlihat secara
individual, atau dalam bentuk klaster. Exudates memiliki intensitas warna yang
hampir sama dengan optic disc (titik buta pada retina). Ukuran dari exudates
sangat bervariatif, dapat berukuran lebih kecil atau lebih besar dari optic disc.
Kesulitan melihat exudates diakibatkan komposisi warna pada exudates mirip
dengan warna pada objek optic disc citra retina. Kelainan lain pada citra fundus
yang juga sulit untuk dilihat secara visual adalah venous beading yaitu terjadinya
penggelembungan pada pembuluh vena retina (Bowling, 2016).
Penderita Diabetik Retinopati biasanya tidak menyadari kelainan yang
terjadi pada retina sampai muncul keluhan seperti melihat bayangan benda hitam
melayang mengikuti pergerakan mata atau lebih dikenal dengan istilah floaters.
Pasien Diabetik Retinopati akan mengeluhkan penglihatannya terhalang secara
mendadak (Andi Arus Victor, 2008).

Bab 6: Diabetik Retinopati 60


Pencegahan kebutaan akibat Diabetik Retinopati dapat dikurangi jika dilakukan
pendeteksian secara dini terhadap beberapa penyebab Diabetik Retinopati.
Penentuan Kuadran Citra Fundus pada diabetik retinopati dapat dilihat pada
Gambar 6.8.

5.
6.
7.
8. Gambar 6.8. Penentuan Kuadran Citra Fundus

Gambar 6.8 Penentuan Kuadran Citra Fundus

Tabel 6.1. Viskositas Exudates (Gray, 2005)

61 Bab : 6 Diabetik Retinopati


Apabila pada hari pertama didapatkan volume skor 3 (medium) dan vikositas
1 (low) maka total skor exudates 4. Pada hari ketiga didapatkan volume
skor 5 (high) dan vikositasnya skor 3 (medium) sehingga total skor menjadi 8.
Hal ini menunjukkan luka bertambah buruk dan memerlukan re-evaluasi
termasuk penentuan dressing yang tepat (Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P.
2007). Exudates dibagi menjadi 2 :

1. Soft Exudates. Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches
merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan Optlamoskopi akan terlihat
bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya
terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia
retina. Contoh citra fundus dengan soft exudates dapat dilihat pada
Gambar 6.9.

Gambar 6.9. Citra Fundus dengan Cotton Wool Spot


(Brad Bowling. 2016)

Bab 6: Diabetik Retinopati 62


2. Retinal edema (Hard exudates)

Gambar 6.10. Citra Fundus dengan Hard Exudates


(Brad Bowling. 2016)

Intraretinal Mikrovaskuler Abnormalities (IRMA). Berlokasi di retina


superficial berdekatan dengan area non perfusi mengakibatkan venous
beading seperti dapat dilihat pada Gambar 6.11.

63 Bab : 6 Diabetik Retinopati


Gambar 6.11. Contoh Venous Beading
(Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. 2007)

Penentuan Stadium Diabetik Retinopati dapat dilihat pada Tabel 6.2.

Tabel 6.2. Klasifikasi Retinopati Diabetik berdasarkan Early Treatment Diabetik


Retinopathy Study Research Group (ETDRS) (Brad Bowling. 2016)

Non Proliferatif Diabetik Retinopati


Proliferatif Diabetik Retinopati

Mild - Terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi


vena
- Mikroaneurisma
- Dot and blot intraretinal hemorrhages
- Soft exudates / cotton wool patches
(optional)
Moderate - Terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi

Bab 6: Diabetik Retinopati 64


Non Proliferatif Diabetik Retinopati
Proliferatif Diabetik Retinopati

vena derajat ringan,


- Dot and blot intraretinal hemorrhages
- Intraretinal Mikrovaskuler
Abnormalities (IRMA)
- Soft / Hard Exudates (Optional)
Severe 20 hemorrhages pada tiap kuadran atau
terdapat veneous beading pada minimal
dua kuadran atau terdapat intraretinal
microvaskular abnormalities (IRMA)
pada salah satu kuadran.

Sangat Berat Ditemukan ≥ 2 tanda pada retinopati


non proliferative berat

65 Bab : 6 Diabetik Retinopati


BAB 7
MICROANEURSYM

7.1 Microaneursym
Microaneursym atau mikroanurism adalah kapiler yang membentuk kantung-
kantung kecil yang menonjol seperti titik-titik. Pada peringkat awal retinopati
tanpa proliferasi, saluran darah menjadi lemah dan mudah bocor menyebabkan
titik-titik pendarahan yang disebut dengan mikroanurism yang menandakan
pengembangan yang tidak normal pada salur darah retina. Di peringkat ini
mikroanurism dapat dilihat pada Gambar 7.1 di satu bagian retina.

Gambar 7.1. Microaneursym

Peringkat pertengahan retinopati tanpa proliferasi; terdapat lebih banyak


Mikroanurism dan dapat dilihat pada lebih dari satu bagian retina, pendarahan
dalam lapisan retina, kebocoran dan penyempitan salur darah dapat dilihat pada
Gambar 7.2.

Bab 7: Microaneursym 66
Gambar 7.2. Mikroanurism lebih dari satu bagian retina

Peringkat tengah retinopati tanpa proliferasi; terdapat lebih banyak


Mikroanurism di keempat bahagian retina, pendarahan dalam lapisan retina
(IRMA) dan penyempitan saluran darah yang menyebabkan kekurangan oksigen
pada retina dapat dilihat pada Gambar 7.3.

Gambar 7.3. Mikroanurism terdapat di keempat bagian retina

67 Bab : 7 Microaneursym
Peringkat Retinopati proliferasi; di peringkat ini terjadi pertumbuhan salur
darah yang tidak normal akibat dari kekurangan oksigen. Pembuluh darah sangat
halus dan mudah pecah, mengakibatkan berlakunya pendarahan dalam mata.
Kesan pendarahan boleh menyebabkan parut pada retina dapat dulihat pada
Gambar 7.4.

Gambar 7.4. Mikroanurism pada PDR

Bab 7: Microaneursym 68
7.2 Segmentasi Kandidat Microaneursym
7.2.1 Pendekatan Berbasis Maximally Stable External Region (MSER)
Proses segmentasi berikutnya yang dilakukan peneliti adalah melakukan
segmentasi terhadap microaneursym. Microaneursym merupakan salah satu
karakteristik awal yang menandakan Diabetik Retinopati (Singh, 2008).
Microaneursym merupakan area berbentuk kantung-kantung kecil menonjol pada
pembuluh darah di retina, karena berukuran kecil, mikroaneurisma sulit untuk
dilihat secara langsung. Pertumbuhan microaneursym yang terjadi secara terus
menerus menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah yang memberi nutrisi
ke retina. Sebagian pembuluh darah yang tersumbat pecah sehingga
mengakibatkan munculnya karakteristik lain yaitu dot and blot haemorhages (titik
atau bercak pendarahan pada retina).

Berikut algoritma yang dilakukan peneliti untuk mendeteksi microaneursym citra


fundus retina :
1. Baca citra input
2. Lakukan grayscale citra. Citra fundus merupakan citra berwarna, maka
untuk proses pendeteksian microaneursym dilakukan proses grayscale
untuk mendapatkan citra level keabuan I(x,y) dengan membagi kedalam
komponen R(Red), G(Green) dan B (Blue) melalui persamaan :

RG B
i. I ( x, y )  (7.1)
3

3. Lakukan Filterisasi. Proses ini dilakukan menghindari noise pada proses


perataan histogram, maka dilakukan proses filterisasi. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan Gaussian Filter menggunakan Persamaan (7.2)
1
i. G( x, y)  exp( ( x 2  y 2 ) / 2 2 ) (7.2)
2 2

b. Dimana :

69 Bab : 7 Microaneursym
c.  = standar deviasi distribusi fungsi pada persamaan 7.2,
dimana pusat distribusi berada pada garis x =0 (mean=0)
4. Ekualisasi Histogram. Histogram Equalization dilakukan, agar citra
mempunyai histogram dengan sebaran tingkat keabuan citra yang merata.
Untuk penyebaran tingkat keabuan citra terhadap histogram awal
dilakukan dengan memetakan setiap nilai piksel pada histogram awal
menjadi nilai piksel baru ( Gonzalez and woods. 2006). Distribusi ulang
dapat ditulis dengan persamaan seperti pada Persamaan 7.3.

(7.3)
Dimana :
nk adalah nilai piksel pada derajat keabuan k,
n adalah jumlah seluruh piksel pada citra.

Seperti terlihat pada Gambar 7.5. komponen histogram citra terang terkonsentrasi
pada sisi sebelah kanan (tingkat keabuan yang tinggi), sedangkan pada citra gelap
komponen histogram terkonsentrasi disebelah kiri (tingkat keabuan rendah).
Sebuah citra dengan kontras yang rendah memilki komponen histogram yang
sempit dan berada di tengah tingkat keabuan, untuk citra grayscale rendahnya
kontras mengakibatkan obyek pada citra terlihat memudar. Sebaliknya untuk citra
dengan kontras yang tinggi komponen histogram tersebar merata di sepanjang
jangkauan tingkat keabuan. Dapat dilihat sebuah citra yang memiliki piksel-piksel
yang menempati hampir semua kemungkinan tingkat keabuan yang ada, dan
sebagai tambahan bahwa piksel-piksel tersebut terdistribusi secara merata,
cenderung memiliki kontras yang tinggi, memiliki tingkat keabuan yang lebih
detil dan memiliki jangkauan dinamis yang lebar. Sifat-sifat citra seperti ini akan
memudahkan dalam proses interpretasi.

Bab 7: Microaneursym 70
Gambar 7.5. Proses Histogram Equalization

Ekualisasi histogram merupakan teknik penyesuaian nilai piksel sehingga


menghasilkan citra dengan kontras yang lebih baik. Teknik ini sepenuhnya
bergantung pada histogram. Histogram dapat berupa fungsi yang kontinyu,
dengan r adalah variabel yang menyatakan tingkat keabuan citra dan telah
ternormalisasi pada interval [0,1]. Dengan r = 0 merupakan warna hitam dan r =
1 merupakan warna putih. Pada akhirnya akan dicari sebuah fungsi histogram
yang diskrit dan nilai piksel akan jatuh pada interval [0-L-1], L merupakan jumlah
kemungkinan intensitas yang ada, untuk citra 8 bit grey scale L = 28 = 256. Untuk
semua r yang memenuhi syarat diatas, dapat dicari sebuah transformasi s seperti

71 Bab : 7 Microaneursym
pada persamaan dibawah untuk menghasilkan histogram yang telah disama-
ratakan (equalize) dengan syarat batas 0 ≤ r ≤ 1 .

5. Lakukan binerisasi
Proses selanjutnya setelah dilakukan ekualisasi histogram terhadap citra
fundus adalah bagaimana mengetahui adanya microaneursym sebagai salah satu
karakteristik Diabetik Retinopati. Untuk menjawab masalah tersebut, maka perlu
dilihat kembali hasil pada citra fundus asli Gambar 7.6.

Gambar 7.6. Citra Fundus Hasil Ekualisasi Histogram

Pada citra fundus 7.6 terlihat bahwa microaneursym memiliki intensitas sangat
rendah atau berwarna hitam, sedangkan objek-objek yang berada dalam citra
fundus memiliki intensitas yang lebih tinggi dari microaneursym. Hal ini
menunjukkan bahwa operasi binerisasi citra dapat diterapkan. Algoritma
Bab 7: Microaneursym 72
binerisasi untuk citra fundus hasil proses ekualisasi histogram dilakukan dengan
:

1. Menentukan nilai batas ambang T yang dapat digunakan untuk


membedakan antara intensitas objek microaneursym dan objek lainnya.

2. Melakukan proses binerisasi untuk mengubah nilai piksel citra grayscale


menjadi citra dengan piksel bernilai logika ‘1’ (putih) atau ‘0’ (hitam).
Proses binerisasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan 7.4
berikut. Dalam kasus citra yang digunakan dalam penelitian ini, nilai T
diambil sesuai dengan nilai intensitas maksimum dari microaneursym
yaitu T = 3.

0  f ( x, y )  T 
g ( x, y )   
(7.4)
1  f ( x, y )  T 

Gambar 3.7. merupakan diagram alur proses binerisasi citra hasil ekualisasi
histogram yang dilakukan untuk mengubah nilai piksel citra menjadi bernilai
biner (0 dan 1).

73 Bab : 7 Microaneursym
start

Citra Input (J)

[N,M]=size(J)

For n=1 to N

For m=1 to M

J(n,m) >= T ? Y

N
N
N J(n,m)=1
J(n,m)=0

Next m
m>M?

Next n
n>N?

end

Gambar 6.7. Flowchart Binerisasi Citra Fundus

6. Deteksi Fitur Microaneursym dengan Maximally Stable External Region


(MSER). Pendeteksian microaneursym penelitian ini dilakukan dengan

Bab 7: Microaneursym 74
algoritma MSER dimana algoritma ini merupakan kumpulan dari region yang
berbeda yang dideteksi dari citra grayscale. Semua wilayah pada citra fundus
akan didefinisikan sebagai external property dari fungsi intensitas dalam
region dan diatas batas luarnya. Proses segmentasi microaneursym secara
umum dapat dilihat pada Gambar 3.14. Algoritma ini akan melakukan deteksi
secara lokal dalam transformasi geometri kontinu dan invariant terhadap
perubahan intensitas piksel dalam citra fundus (Matas, O.C. 2002) dengan
algoritma sebagai berikut :
1. Urutkan piksel berdasarkan intensitas
2. Tempatkan piksel pada citra
3. Perbaharui struktur komponen yang saling berhubungan
4. Perbaharui area untuk komponen terkoneksi yang saling terjadi
5. Untuk semua komponen terkoneksi maka hitung minima lokal dari tingkat
perubahan dari Threshold stabil area microaneursym yang terdeteksi.

Citra Asli Deteksi Microaneusym Microaneursym

Gambar 3.14. Proses Segmentasi Microaneursym

7.2.2. Hasil Segmentasi Kandidat Microaneursym dengan Pendekatan


Berbasis Maximally Stable External Region (MSER)

75 Bab : 7 Microaneursym
Hasil segmentasi dibandingkan dengan hasil pengamatan dokter antara
citra retina yang asli dengan citra retina yang telah disegmentasi, kemudian
dihitung secara manual kandidat mikroaneurisma pada citra asli dan dilakukan
pengecekan pada citra asli yang telah disegmentasi. Analisis citra fundus retina
secara konvensional dibantu oleh dr. Rakhma Indria Hapsari. Spm
(Opthamologist RS. JEC). Tabel 7.1 Merupakan Hasil segmentasi Microaneursym
dengan MSER yang telah dilakukan peneliti.

Tabel 7.1. Hasil Segmentasi Microaneursym dengan MSER

Nama Citra MikroAneursym Hasil Segmentasi


Terdeteksi

im0001.ppm

im0009.ppm

im0013.ppm

Bab 7: Microaneursym 76
Nama Citra MikroAneursym Hasil Segmentasi
Terdeteksi

im0016.ppm

im0031.ppm

im0038.ppm

im0050.ppm

77 Bab : 7 Microaneursym
Nama Citra MikroAneursym Hasil Segmentasi
Terdeteksi
im0051.ppm

im0058.ppm

im0094.ppm

Bab 7: Microaneursym 78
BAB 8
EXUDATES

Exudates merupakan sesuatu yang keluar dari luka, cairan luka, drainase
luka dan kelebihan cairan normal tubuh. Produksi exudates dimulai sesaat setelah
luka terjadi sebagai akibat adanya vasodilatasi pada fase inflamasi yang
difasilitasi oleh mediator infalamasi seperti histamine dan bradikinin.

8.1 Exudates
Berdasarkan pengamatan visual seorang ophthalmologist, exudates
muncul dalam warna putih kekuning-kuningan, pada beberapa citra terdapat
exudates berwarna kehijauan dengan berbagai bentuk dan lokasi exudates. Seperti
dapat dilihat pada gambar 8.1, area exudates terkadang terlihat pada satu lokasi,
atau dalam bentuk klaster seperti cotton wool).

Hard Exudates Cotton wool spot

(a) Retinal Hard Exudates (b) Retinal Soft Exudates (Cotton Wool)
Gambar 8.1. Citra Fundus Retina Kasus Exudates

Kesulitan dalam pendeteksian exudates adalah similaritas intensitas warna


exudates yang hampir sama dengan optic disc sebagai bagian dari objek pada citra
retina. Piksel-piksel yang merupakan bagian dari optic disc tidak dibutuhkan
dalam proses penelitian dan dapat dianggap sebagai noise sehingga harus
dihilangkan.

Bab : 8 Exudates 79
Peneliti mengusulkan pengembangan algoritma pendeteksian exudates
melalui proses segmentasi berbasis warna referensi. Secara umum, segmentasi
berbasis warna referensi yang dikembangkan peneliti dilakukan dengan beberapa
tahapan proses. Mulai dari preprocessing dengan melokalisasi keberadaan optic
disc, dengan menghitung jarak antara warna setiap piksel dan warna referensi
exudates menggunakan ruang warna RGB, HSV dan HCL (Diana Tri, Madenda,
Rodiah, 2016).

8.2 Preprocessing Algoritma Warna Referensi


Tahap awal sebelum melakukan segmentasi terhadap exudates adalah
dengan melakukan estimasi posisi optic disc. Tahap ini dilakukan untuk
menghindari terjadinya kesalahan segmentasi exudates yang memiliki similaritas
warna dan bentuk dengan exudates. Pada tahapan ini Peneliti mencocokkan pola
optic disk pada citra fundus yang paling mendekati dengan matriks vektor yang
telah ditetapkan. Jika sebuah template ditemukan sesuai pola optic disk, maka
interpretasi terhadap lokasi optik disk dapat dilakukan kemudian menghitung
jarak piksel optic disc dan melakukan cropping pada jarak yang optic disc yang
sudah ditentukan dan memasukkan hasilnya kedalam sebuah template matriks
yang berisi piksel optic disc. Penentuan posisi optic disc dilakukan dengan tujuan
agar pada optic disc tidak ikut terekstraksi sebagai bagian dari citra exudates pada
saat proses segmentasi dilakukan seperti pada gambar 8.2.

80 Bab : 8 Exudates
Jarak piksel Citra optic Disc Simpan dalam matriks template
Optic Disc

Gambar 8.2. Proses Estimasi Posisi Optic Disc

8.3 Segmentasi Exudates dengan Warna Referensi


Tahapan selanjutnya, setelah posisi optic disc berhasil ditentukan, adalah
segmentasi area exudates berbasis warna referensi. Warna referensi yang
dimaksud adalah warna piksel yang merupakan bagian dari area exudates. Untuk
proses segmentasi warna dilakukan uji-coba terhadap tiga ruang warna yang
sering digunakan dalam analisis warna citra yaitu RGB, HSV dan HCL.
Segmentasi area exudates pada citra fundus dilakukan dengan menggunakan
algoritma sebagai berikut (Diana Tri et al, 2016) :

1. Baca citra fundus


2. Tentukan warna piksel dari area object of interest (exudates) sebagai
warna referensi exudates seperti yang diperlihatkan pada gambar 8.3.

Bab : 8 Exudates 81
Warna referensi

Gambar 8.3. Penentuan Warna Referensi Area Exudates

3. Tentukan jarak antara sebuah warna dengan warna referensi (distance


threshold). Bila warna referensi dinyatakan dalam ruang warna RGB
dengan nilai setiap elemen warna dinyatakan dalam R1 , G1 , B1 , maka
komponen warna setiap piksel dinyatakan dalam R2 , G2 , B2 . Peneliti
menggunakan rumus jarak euclidian untuk menghitung jarak warna
dengan rumus :

E  ( R1  R2 ) 2 (G1  G2 ) 2 ( B1  B2 ) 2 …………………...(8.1)

Penentuan warna referensi dapat dilihat pada potongan pseudocode berikut

dR =(R1 – R2)^2;
dG =(G1 – G2)^2;
dB =(B1 – B2)^2;
dE = (dR + dG + dB)^0.5;

82 Bab : 8 Exudates
Nilai threshold ditentukan dengan besarnya jarak warna maksimum dari
sebuah warna dan warna referensi. Penentuan threshold berada pada
rentang nilai 0-100. Penentuan threshold tergantung pada sebaran area
exudates.

4. Jika jarak warna E lebih kecil dari nilai threshold, piksel merupakan
bagian dari area exudates yang disegmentasi. Bila tidak, piksel bukan
bagian dari area segmentasi, maka area tersebut dihilangkan dengan
pseudocode berikut :

if dE<=Th
cit_hasilRGB(i,j,:)= img(i,j,:);
else
cit_hasilRGB(i,j,:)= 0;

Bagan proses segmentasi area exudates berbasis warna referensi menggunakan


ruang warna RGB pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 8.4.

Bab : 8 Exudates 83
Mulai

Baca Citra Input

Estimasi Posisi OD

Lokasi OD

Tentukan Warna Referensi

Hitung Jarak Warna Referensi


ΔE

ΔE Area Non
N
< Th? Exudates

Hilangkan Area
Area Exudates
Non Exudates

Segmentasi
Exudates

Selesai

Gambar 8.4. Flowchart Segmentasi Exudates Berbasis Ruang Warna RGB\

84 Bab : 8 Exudates
Proses segmentasi dengan menggunakan ruang warna HSV dan HCL mirip
dengan proses segementasi pada ruang warna RGB. Perbedaannya adalah diawal
perlu dilakukan proses transformasi warna dari ruang warna RGB ke ruang warna
HSV dan dan ruang warna HCL, serta rumus jarak yang digunakan adalah rumus
jarak cylindric sesuai dengan bentuk ruang warnanya. Algorima segmentasi
exudates warna referensi menggunakan ruang warna HSV dan HCL adalah
sebagai berikut (Diana Tri et al, 2016) :
1. Baca citra fundus
2. Konversi ruang warna RGB ke ruang warna HSV dan HCL
3. Tentukan warna piksel dari area exudates sebagai warna referensi exudates
4. Tentukan nilai distance threshold sebagai batas jarak maksimum warna
piksel terhadap warna referensi. Warna referensi exudates dinyatakan
dalam ruang warna HSL dengan nilai setiap elemen warnanya adalah H 1,
S1, L1, dan komponen warna setiap piksel dinyatakan dalam H2, S2, L2.
5. Hitung jarak warna antara warna piksel dan warna referensi dengan
menggunakan rumus jarak Dcyl :

Dcyl  (V1 V 2) 2  (S1 ) 2  (S2 ) 2  2S1S2 cos( H1  H 2 ) …………........(8.2)

Berikut pseudocode dalam menghitung jarak warna HSV


dH= H1-H2;
dV=(V1-V2)^2;
Dcyl=sqrt(dV + S1^2+S2^2 - 2*S1*S2*cos(dH));

Warna referensi exudates dinyatakan dalam ruang warna HCL dengan


nilai setiap elemen warnanya adalah H1, C1, L1, dan komponen warna
setiap piksel dinyatakan dalam H2, C2, L2.
6. Hitung jarak warna antara warna piksel dan warna referensi dengan
menggunakan rumus jarak DHCL :

DHCL  AL ( L1  L 2 ) 2  ACH (C12  C22 )  2C1C2 cos( H1  H 2 )) .…................…(8.3)

Bab : 8 Exudates 85
AL  1,4456
Dimana : ACH  H  0,16 bila nilai H = H1  H 2 dalam satuan derajat.
0,16 pi
ACH  H 
180

Berikut diberikan jarak warna antara warna piksel dan warna referensi
menggunakan rumus jarak DHCL :
dL = 1.4456 *(L1 - L1)^2;
dH = H1 – H2
ACH = abs(dH) + (0.16*pi/180);
dC = ACH(C1^2+C2^2);
Dhcl = dL + dC - 2*C1*C2*cos(dH);

7. Jika jarak warna Dcyl lebih kecil atau sama dengan nilai Th, maka warna
piksel similar dengan warna referensi, maka piksel tersebut merupakan
area exudates. Sebaliknya bila jarak warna Dcyl lebih besar dari nilai Th,
maka warna piksel tidak similar dengan warna referensi, maka piksel
tersebut bukan merupakan bagian dari area exudates dan dihilangkan.

Berikut diberikan pseudocode penghitungan similaritas warna baik


menggunakan ruang warna HSV maupun ruang warna HCL :

if Dcyl <=Th
cit_hasilHSV(i,j,:)= img(i,j,:);
else
cit_hasilHSV(i,j,:)= 0;

if Dhcl <=Th
cit_hasilHCL(i,j,:)= img(i,j,:);
else
cit_hasilHCL(i,j,:)= 0;

Secara umum, algoritma segmentasi terhadap area exudates menggunakan ruang


warna HSV dan HCL dapat dilihat pada gambar bagan 8.5.

86 Bab : 8 Exudates
Mulai

Baca Citra Input

Konversi Ruang Warna


RGBàHSV
RGBàHCL

Tentukan Warna Referensi

A
Hitung Jarak Warna Referensi

Hitung Jarak Hilangkan Area Area Non


HSV? Y < Th? T
Warna Non Exudates Exudates

Hitung Jarak
HCL? Y < Th? T
Warna

A Area Exudates

Segmentasi
Exudates

T
Selesai

Gambar 8.5. Segmentasi Exudates Menggunakan Ruang Warna HSV dan HCL

Bab : 8 Exudates 87
Gambar 8.6 memperlihatkan hasil segmentasi area exudates berbasis warna
referensi dan dengan menggunakan tiga ruang warna RGB (gambar 8.6-a), HSV
(gambar 8.6-b) dan HCL (gambar 8.6-c). Hasil ini menunjukkan bahwa
segmentasi dengan menggunakan ruang warna RGB memberikan hasil yang
terbaik. Pada hasil ruang warna HSV banyak area exudates yang tidak
tersegmentasi. Sementara pada hasil ruang warna HCL, area exudates
tersegmentasi dengan baik, namun area yang bukan bagian dari exudates ikut
tersegmentasi. Mengacu pada hasil ini maka selanjutnya akan digunakan ruang
warna RGB untuk proses segmentasi area exudates (gambar 8.6-d).

(a)RGB (b)HSV (c) HCL

warna referensi
Citra Input (Exudates)

Exudates Terdeteksi

(d)
Gambar 8.6. Contoh Hasil Proses Segmentasi Exudates Berbasis Warna
Referensi.

88 Bab : 8 Exudates
8.4 Hasil Segmentasi Exudates dengan Ruang Warna Referensi
Segmentasi area citra exudates secara otomatis dapat dilakukan melalui
tahap pembentukan peta warna exudates (kekuningan terang berbentuk tegas) dan
penentuan batas dua area yang memiliki palet warna yang berbeda (exudates dan
optic disc). Batas dua area tersebut dapat ditentukan dengan menghitung jarak
warna antara piksel-piksel yang berdampingan sehingga menghasilkan exudates
tersegmentasi dengan tepat. Seperti dapat dilihat pada Tabel 8.1, keseluruhan
exudates yang terdeteksi pada citra fundus berhasil diekstraksi dengan baik tanpa
optic disc ikut terekstraksi sebagai bagian dari exudates. Warna referensi berhasil
mengekstraksi exudates dengan jenis cotton wool seperti pada gambar 8.7.

Optic Disc
Exudates Tersegmentasi

Gambar 8.7. Hasil Deteksi Cotton Wool

Untuk melakukan segmentasi exudates, peneliti menggunakan nilai Threshold


bervariatif yang merupakan penentu batas similiritas warna exudates yang paling
baik untuk melakukan segmentasi sesuai warna tersebut. Nilai T ini dapat
disesuaikan dengan tingkat presisi similaritas yang diinginkan sehingga
pendekatan berbasis warna referensi dapat mendeteksi exudates baik cotton wool
dan hard exudates seperti dapat dilihat pada gambar 8.8.

Bab : 8 Exudates 89
Gambar 8.8. Hasil Segmentasi Hard Exudates

Hasil ujicoba 30 citra uji dari total 100 citra uji, dapat dilihat pada tabel 8.1. Objek
optic disc pada citra retina yang memiliki similaritas warna dengan exudates
berhasil dieliminasi sehingga didapatkan hanya objek exudates terekstraksi.

Tabel 8.1. Hasil Segmentasi Ruang Warna


Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra1

Citra2

90 Bab : 8 Exudates
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra3

Citra4

Citra5

Citra6

Bab : 8 Exudates 91
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra7

Citra8

Citra9

Citra10

92 Bab : 8 Exudates
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra11

Citra12

Citra13

Citra14

Bab : 8 Exudates 93
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra15

Citra16

Citra17

Citra18

94 Bab : 8 Exudates
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra19

Citra20

Citra21

Citra22

Bab : 8 Exudates 95
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra23

Citra24

Citra25

Citra26

96 Bab : 8 Exudates
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra27

Citra28

Citra29

Citra30

Seperti dapat dilihat pada tabel 8.1 hasil segmentasi exudates berbasis ruang
warna referensi menggunakan ruang warna RGB berhasil melakukan segmentasi
baik pada hard exudates seperti pada citra ke-1, citra ke-4 dengan hard exudates

Bab : 8 Exudates 97
bentuk yang kecil, citra ke-5, citra ke-6, citra ke-7 citra ke-10, citra ke-15 dengan
area hard exudates menyebar, citra ke-16, citra ke 19 dalam bentuk sangat kecil,
citra ke-21 dan citra ke 30. Algoritma segmentasi yang diusulkan peneliti juga
berhasil melakukan segmentasi exudates berbentuk cotton wool spot (CWS)
seperti pada citra ke-2, citra ke-3, citra ke-8, citra ke-10, citra ke-13, citra ke-14
dan citra ke-21. Pada citra non exudates, hasil segmentasi menunjukkan
background dengan warna piksel hitam secara keseluruhan pada citra ke-9, citra
ke-10, citra ke-11, citra ke-12, citra ke-17, citra ke-18, citra ke-20, citra ke-22,
citra ke-23, citra ke-24, citra ke-25, citra ke-26, citra ke-27, citra ke-28 dan citra
ke-29. Citra tersebut tidak menunjukkan adanya exudates sehingga menghasilkan
segmentasi berupa background dengan piksel hitam.Segala bentuk exudates, baik
hard exudates dengan warna kuning tegas berbentuk tegas, hard exudates dalam
bentuk kecil, cotton wool spot dengan area terjadinya exudates bervariasi berhasil
disegmentasi menggunakan ruang warna RGB sebagai ruang warna referensi
exudates.

98 Bab : 8 Exudates
DAFTAR PUSTAKA

Aagi, Radhakrishnan, Extraction of Retinal Blood Vessels from Color Fundus.


International Journal of Engineering Research and General Science Vol.3,
Issue 4, Part 2, July-August, 2015.

Abbadi and Saadi, Automatic Detection of Vascular Bifurcations and Crossovers


in Retinal Fundus Image, IJCSI International Journal of Computer Science
Issues, Vol. 10, Issue 6, No 1, November 2013.

A. Kadir, Teori Aplikasi Pengolahan Citra, Andi Yogyakarta, 2013.

Andi Arus Victor, Retinopati Diabetik Penyebab Utama Kebutaan Diabetes,


Artikel Kesehatan. eHealth Kompas. 2008.
Azzopardi, Nicolai Petkov, Automatic Detection of Vascular Bifurcations in
Segmented Retinal Images Using Trainable COSFIRE Filters, Pattern
Recognition Letters 34 (8), 922-933, 2012.
Bankhead, Norman Scholfield, McGeown, Tim M. Curtis, Fast Retinal Vessel
Detection and Measurement Using Wavelets and Edge Location
Refinement. PLoS ONE 7(3): e32435. DOI:
10.1371/journal.pone.0032435., 2012.

Bhargavi dan Rajesh, Detection and Feature Extraction Using Active Contour
Model and Sift in Color Fundus Images. ARPN Journal of Engineering
and Applied Sciences. Vol. 10, No. 6, 2015.

Bowling, Kanskis's Clinical Ophthalmology A Systematic Approach, Eighth


Edition, ISBN: 978-0-7020-5572-0, Elsevier, Sydney, New South Wales,
Australia, 2016.

Chew EY, Ferris FL III, Nonproliferative Diabetic Retinopathy, In : Ryan SJ,


Hinton DR, Schachat AP (eds) Retina, Vol. 2, Medical Retina, Mosby. St.
Louis, 2001.

Chakraborty, Harper dan Jill Elizabeth Keeffe, Diabetic Retinopathy Management

Daftar Pustaka 99
Guidelines, Expert Rev. Ophtalmol, 7(5), 417-439, 2012.

Courtney Tizon, Blood Vessel Diameter Estimation System Using Active


Contours, Biomedical Devices and Assistive Technology Research Group,
2011.
Dataset Messidor, http://www.adcis.net/messidor dataset, 2016.

Diana Tri Susetianingtias, Sarifuddin Madenda, Rodiah, An Approach to Exudates


Detection using Color Reference Segmentation in Retinal Fundus Image,
International Journal of Computer Applications (0975 – 8887) Volume
146 – No.2, July 2016.
Diana Tri Susetianingtias, Sarifuddin Madenda, Dewi Agushinta Rahayu.,
Rodiah, Retinal Microaneursym Detection using Maximally Stable
External Region Algorithm, International Journal on Advanced Science,
Engineering and Information Technology, Vol 6(2016) No.5, Pages 644-
648
Divya, Detection of Diabetic Retinopathy using Kirsch Edge Detection and
Watershed Transformation Algorithm, International Journal of Advance
Research, Ideas and Innovations in Technology, Volume 1, Issue 2, ISSN :
2454-132X, 2015.

Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) Research Group, Fundus


Photographic Risk Factors for Progression of Diabetic Retinopathy:
Report Number 12. Ophthalmology, 98:823-33, 1991.

Frangi, Niessen, Vincken, Viergever, Multiscale Vessel Enhancement Filtering,


Cambridge, Massachussets. Berlin (DE): Springer, 1998.

Fatepuria, Singhania, Shah, Singh, Dutta Roy, Detection Of Crossover &


Bifurcation Points on A Retinal Fundus Image By Analyzing Neighborhood
Connectivity Of Non-Vascular Regions Around A Junction Point,
International Journal of Research in Engineering and Technology, eISSN:
2319-1163 | pISSN: 2321-7308, 2014.
Guido, Polska, Garhofer, Zawinka, Frank dan Schmetterer. Calculation of The

100 Daftar Pustaka


Diameter of The Central Retinal artery from Noninvansive Measurement
in Humans. Current Eye Research. Vol 25 No. 6. pp. 341-345., 2002.

Gonzales, Raffael C dan Woods., Digital Image Processing Third Edition, Pearson
Prentice Hall, 2008.

Gray. Exudate Management Made Easy, Wound International. Available at :


http://www.woundsinternational.com/media/issues/272/files/content_8812
.pdf., 2005.

Ilyas, Sidarta, Dasar-Dasar Pemeriksaan Mata dan Penyakit Mata, Edisi Pertama,
Jakarta : Balai Penerbit FKUI., 34-39., 2003.

Jadhav dan Patil, Classification of Diabetes Retina Images Using Blood Vessel
Area, International Journal on Cybernetics and Informatics (IJCI), Vol 4
No. 2, 2015.

Joussen A.M., Retinal Vascular Diseease, New York: Springer, p. 3-5, 66-70,
129-132, ,228-31, 309, 291-331, 2007.

Kekre, Bharadi, Ghosalkar, Vora, Blood Vessel Structure Segmentation from


Retinal Scan Image Using Kekre’s Fast Codebook Generation
Algorithm. ICWET'11 International Conference & Workshop on Emerging
Trends in Technology. DOI: 10.1145/1980022.1980025, 2011.

Kroon, Numerical Optimization of Kernel Based Image Derivatives, Short Paper


Universy Twente, 2009.

Levin LA dan Albert DM, Ocular Diseases: Mechanisms and Management, Eds:
687, Hardcover ISBN: 978-0-7020-2983-7, Saunders Elsevier, 2010.

Luangruangrong, Kulkasem, Rasmequan, Rodtook, Chinnasarn. Automatic


Exudates Detection in Retinal Images Using Efficient Integrated
Approaches., Proceeding Asia-Pacific Signal and Information Processing
Association (APSIPA), 2014.

Lang G., Ophthalmology a Short Textbook : Vascular Disorder, New York :

Daftar Pustaka 101


Thieme, p. 299-301, 314-318, 2000.

Madenda, Pengolahan Citra & Video Digital: Teori, Aplikasi dan Pemrograman
Mengunakan MATLAB, Penerbit Erlangga, 2015.

Magnus Jan R, Matrix Differential Calculus With Applications In Statistics And


Econometrics, Third Edition, John Wiley & Sons, 2007.
Matas, O.C., Robust Wide Baseline Stereo from Maximally Stable External
Regions. Proc of British Machine Vision Conference, 384 – 396, 2002.

Mitchell P., Guidelines for the Management of Diabetic Retinopathy : Diabetic


Retinopathy, Australia : National Health and Medical Research Council,
pp. 26-31, 44-47, 96-104, 2008.

Maheswari dan Anandhi, Classification of Retinal Vessel into Arteries and Veins
– A Survey, International Journal on Computational Sciences and
Application (IJCSA), Vol. 4, No. 6, 69-78, 2014.

Nasution, Retinopati Diabetik, Jurnal Indon Med Assoc, Volum: 61 Nomor: 8,


Agustus 2011.
Nema dan Nitin Nema, Diagnostic Procedure in Ophthalmology, second Edition,
HV, 2009.

Netter FH, Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. Comtan: U.S.A. P. 82,


2002.

Paulus YM, Gariano RF, Diabetik retinophaty: A Growing Concern in an Aging


Population, Geriatic, 64(2):16-20, 2009.

Patwari, Manza, Saswade dan Deshpande, Automatic Detection of Retinal Venous


Beading and Tortuosity by using Image processing Technique., IJCA
Proceedings on National Conference on Recent Advances in Information
Technology, 2014.

Prashant L. Kolase dan Subhash S. Patil, Overview of Artery and Vein


Classification in Retinal Images Using Graph Based Approach,
International Journal of Innovation in Engineering Research and

102 Daftar Pustaka


technology (IJIERT), ISSN: 2394-3696, Vol. 3, Issue 6, 87-95, 2016.

Putra, Darma, Pengolahan Citra Digital, Penerbit Andi,Yogyakarta, 2010.


Ramasubramanian dan Mahendran. An Efficient Integrated Approach for the
Detection of Exudates and Diabetic Maculopathy in Colour Fundus
Images, Advanced Computing: An International Journal (ACIJ), Vol. 3,
No. 5, 2012.
Relan, MacGillivray, L. Ballerini dan E. Trucco, Retinal Vessel Classification:
Sorting Arteries and Veins, 35th Annual International Conference of the
IEEE EMBS Osaka, Japan, 7396-7399, 2013.

Rokade, Manza. Automatic Detection of Hard Exudates in Retinal Image Using


Haar Wavelet Transform, International Journal of Application on
Innovation in Engineering & Management (IJAEIM), Vol. 4, Issue 5,
2015.

Saleh, Eswaran dan Mueen, An Automated Blood Vessel Segmentation Algorithm


Using Histogram Equalization and Automatic Threshold Selection, Journal
of Digital Imaging, DOI: 10.1007/s10278-010=9302-9, 2011.

Sharmila, Rajini, Gourav Dey, Artery/ Vein Classification in Retina Images Using
Automatic Graph Method, Asian Journal of Applied Sciences (ISSN :
2321-0893), Vol.03, Issue 04, 692-698, 2015.

Sadhu Sigh, Handbook of Mechanical Engineering, 2008.

Skuta, Cantor, Weiss, Retina and Vitreous. American Acedemic of


Ophthalmology, Basic and Clinical Science Course, 2008.

Sukanya, Abinaya dan Tamilselvi, Detection of Blood Vessels and Measurement


of Vessel Width For Diabetic Retinopathy, Computer Science and
Information Technology (CS & IT), pp. 233–246, 2014.

Sopharak, Uyyanonvara, Sarah Barman, Automatic Exudate Detection from Non-


dilated Diabetic Retinopathy Retinal Images Using Fuzzy C-Means
Clustering, Sensors Journal, ISSN 1424-8220, 2009.

Daftar Pustaka 103


Vaughan DG, Asbury T, Paul Riordan Eva dan John P. Whitcher, Oftalmologi
Umum, Edisi 17, Penerbit Buku Kedokteran, 2014.

www.nei.nih.gov/health/diabetic/retinopathy, 2016.

http://www.rs-antonius.com/endoskopi.php

https://www.radiologyinfo.org

https://medlineplus.gov)

https://ibu-hamil.web.id)
https://www.dotmed.com, 2016.

https://www.neovisioneyecenters.com, 2016.

https://petunjuksehat.com/serangan-stroke/

http://www.rspp.co.id/penunjang.html

104 Daftar Pustaka

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai