net/publication/323376284
CITATIONS READS
0 939
1 author:
Sarifuddin Madenda
Universitas Gunadarma
103 PUBLICATIONS 238 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Sarifuddin Madenda on 24 February 2018.
Tim Penyusun
Diana Tri Susetianingtias
PENERBIT GUNADARMA Sarifuddin Madenda
2017 Rodiah
Fitrianingsih
PENGOLAHAN CITRA FUNDUS
DIABETIK RETINOPATI
EDISI 1
Tim Penyusun
Diana Tri Susetianigtias
Sarifuddin Madenda
Rodiah
Fitrianingsih
PENERBIT GUNADARMA
2017
Judul buku : Pengolahan Citra Fundus Diabetik Retinopati
Edisi 1
Oleh : Tim Penelitian
Gambar Sampul : Rodiah
Design dan Layout : Rodiah
Diterbitkan pertama kali oleh : Penerbit Gunadarma
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Jakarta 2017
ISBN :
ii
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu’alaikum Warrahmatullaahi Wabarokaatuh
Tim Penulis
Kata Pengantar | iv
DAFTAR ISI
Halaman
v Daftar Isi
3.4.Ruang Warna HSI 25
3.5. Ruang Warna CMY/ CMYK 26
3.6. Ruang Warna YUV 27
3.7. Ruang Warna Luminance In-phase Quadrature (YIQ) 28
3.8. Ruang Warna YCbCr 28
3.9. Ruang Warna CIELAB 29
Daftar Isi | vi
6.4. Kudran dalam Diabetik Retinopati 59
BAB 7 MICROANEURSYM
7.1. Microaneursym 66
7.2. Segmentasi Kandidat Microaneursym 69
7.2.1. Pendekatan Berbasis Maximally Stable External 69
Region (MSER)
7.2.2. Hasil Segmentasi Kandidat Microaneursym dengan 75
Pendekatan Berbasis Maximally Stable External
Region (MSER)
BAB 8 EXUDATES
8.1. Exudates 79
8.2. Preprocessing Algoritma Warna Referensi 80
8.3. Segmentasi Exudates dengan Warna Referensi 81
8.4. . Hasil Segmentasi Exudates dengan Warna Referensi 89
DAFTAR PUSTAKA 99
Gelombang cahaya yang nampak tertangkap oleh sel-sel cone dan rod
dalam retina mata diteruskan ke syaraf visual otak dan membangkitkan berbagai
sensasi warna. Tujuan dikembangkannya ruang warna adalah untuk memodelkan,
menghitung dan memvisualisasikan untuk mendapatkan informasi warna sehingga
dapat memudahkan komputer atau sistem digital lainnya memproses informasi
warna dan membedakan warna seperti halnya sistem visual manusia (Madenda,
2015). Ruang warna terdiri dari beberapa model, diantaranya adalah Sistem
Warna Munsell, Ruang warna RGB, Ruang warna HSL, Ruang Warna HSV,
Ruang Warna L*a*b* dan L*C*H*, Ruang WarnaYUV, YCbCr dan YPbPr
(Madenda, 2015).
Citra medis (medical image) merupakan teknik dan proses yang digunakan
untuk dapat membuat gambar dari tubuh manusia (atau bagian-bagian dan fungsi
daripadanya) dengan tujuan klinis seperti prosedur medis untuk mengungkapkan,
mendiagnosis atau memeriksa penyakit atau ilmu kedokteran. Ada 5 (Lima) faktor
penentu dalam jaminan mutu citra radiografi sehingga mutu cira dan penampakan
struktur anatomi bagian dalam dapat terlihat dengan jelas. Ke lima faktor tersebut
adalah sensitivitas kontras (contrast sensitivity), kekaburan (blurring), derau
visual, artefak, spatial/geometric characteristic. Pada proses pengolahan citra
medis tahapan algoritma terdiri atas 8 bagian yaitu perbaikan, segmentasi,
kuantifikasi, registrasi, visualisasi dan bagian akhir yang mencakup kompresi,
penyimpanan, dan komunikasi. Beberapa jenis citra medis diperoleh dari beberapa
alat pemeriksaan digital seperti Funduscopy dengan mengunakan kamera fundus
untuk pemeriksaan mata, sinar infrared, ultraviolet, X-ray, CT, MRI, ultrasound,
Bab 1: Pendahuluan 3
hasilnya dapat berupa binary image, gray level image, coloring image dan false
color image dengan dimensi visual yang diperoleh dapat berupa citra 2D, 3D, dan
4D (3D + waktu) dalam bentuk lembaran film radiografi ataupun citra digital
dengan format raw data, Analis, DICOM, dan dengan format standar (ppm, dcm
TIFF, PNG dan lain-lain).
4 Bab : 1 Pendahuluan
retina. Pada beberapa kasus, terdapat cairan dan darah bocor pada retina. Diameter
pembuluh darah menjadi membesar dengan bentuk tepi pembuluh tidak beraturan.
Jenis Diabetik Retinopati dengan tipe NPDR dapat menjadi tipe Proliferasi
Diabetik Retinopati (PDR) pada stadium parah. Kerusakan pembuluh darah pada
tipe PDR, berakibat pertumbuhan pembuluh darah baru yang tidak normal pada
retina sehingga mengakibatkan terganggunya aliran cairan normal pada mata.
Bola mata akan mendapatkan tekanan yang cukup tinggi. Salah satu cara untuk
mengetahui seseorang menderita Diabetik Retinopati pada tipe NPDR dapat
dilihat dari adanya kemunculan beberapa gejala antara lain Exudates (Soft
Exudates seperti Cotton Wool dan Hard Exudates), Intra Retinal Mikrovaskuler
Abnormalities (IRMAs) yang mengakibatkan penggelembungan vaskuler (Venous
Beading) serta perdarahan titik dan bercak (Dot and blot intraretinal
hemorrhages) (Bowling, 2016).
Klasifikasi NPDR berdasarkan ETDRS (Khurana, 2007) dengan melihat
keberadaan beberapa kelainan pada kuadran citra retina. Pembagian empat
kuadran pada citra fundus dilakukan dengan aproksimasi sudut pengambilan
Optic Disc (Field Of View). Kebocoran lemak pada vascular retina akan
mengakibatkan exudates, Venous Beading pada dua kuadran dan Intra Retinal
Mikrovaskuler Abnormalities pada satu kuadran merupakan dua diantara gejala
klinis sebagai gejala Diabetik Retinopati. Pembuluh darah yang berkelok-kelok
merupakan gejala awal dari Venous Beading sehingga mengakibatkan dinding
pembuluh darah menjadi bocor. Microaneurysms merupakan pelebaran titik fokus
dari pembuluh kapiler retina yang muncul sebagai titik-titik bulat kecil merah
gelap mengakibatkan Haemorrhages. Keberadaan exudates, venous beading yang
terdeteksi, microaneurysms dan haemorrhages pada citra retina menunjukkan
derajat penyakit (stadium) Diabetik Retinopati. Evaluasi klinis yang dilakukan
untuk mendeteksi NPDR adalah dengan melakukan pemeriksaan melalui kamera
fundus atau pemeriksaan langsung melalui ophthalmoscope (Chakrabarti, Harper
and Keeffe, 2012).
Berdasarkan pengamatan visual seorang dokter spesialis mata
(ophthalmologist) vitreo-retina, exudates muncul dalam warna putih kekuning-
Bab 1: Pendahuluan 5
kuningan atau dengan berbagai ukuran, bentuk dan lokasi. Pada beberapa citra,
exudates juga berwarna nampak kehijauan. Exudates kadang terlihat secara
individual, atau dalam bentuk klaster. Exudates memiliki intensitas warna yang
hampir sama dengan optic disc (titik buta pada retina). Ukuran dari exudates
sangat bervariatif, dapat berukuran lebih kecil atau lebih besar dari optic disc.
Kesulitan melihat exudates diakibatkan komposisi warna pada exudates hampir
sama dengan warna pada objek optic disc citra retina. Kelainan lain pada citra
fundus yang juga sulit untuk dilihat secara visual adalah venous beading yaitu
terjadinya penggelembungan pada pembuluh vena retina (Bowling, 2016).
Penderita Diabetik Retinopati biasanya tidak menyadari kelainan yang
terjadi pada retinanya sampai muncul keluhan seperti melihat bayangan benda
hitam melayang mengikuti pergerakan mata atau lebih dikenal dengan istilah
floaters. Pasien Diabetik Retinopati akan mengeluhkan penglihatannya terhalang
secara mendadak (Andi Arus Victor, 2008). Pencegahan kebutaan akibat Diabetik
Retinopati dapat dikurangi jika dilakukan pendeteksian secara dini terhadap
beberapa gejala penyebab Diabetik Retinopati.
6 Bab : 1 Pendahuluan
BAB 2
PENGOLAHAN CITRA
Citra digital adalah representasi dari sebuah citra/ gambar dua dimensi
sebagai sebuah kumpulan nilai digiital yang disebut elemen gambar atau piksel.
Piksel merupakan elemen terkecil yang menyusun citra dan mengandung nilai
yang mewakili kecerahan dari sebuah warna pada titik tertentu. Umumnya citra
digital berbenutk persegi panjang atau bujur sangkar yang memiliki lebar dan
tinggi tertentu sehingga ukuran citra selalu bernilai bulat. Setiap piksel memiliki
kordinat sesuai posisinya dalam citra. Koordinat ini biasanya dinyatakan dalam
bilangan bulat positif, yang dapat dimulai dari 0 atau 1 tergantung pada sistem
yang digunakan. Setiap piksel juga memiliki nilai berupa angka digital yang
merepresentasikan informasi yang diwakili oleh piksel tersebut (Gonzalez and
Woods, 2008).
2.2. Thresholding
g T ( f ) .............................................................……………...(2.3)
Dimana:
Bab : 2 Pengolahan Citra 7
g= citra biner
f = citra grayscale
T = nilai ambang di antara derajat keabuan
Salah satu pendekatan yang digunakan untuk thresholding adalah metode Otsu.
Metode Otsu melakukan analisis diskriminan dengan mementukan suatu variabel
yang dapat membedakan antara dua atau lebih kelompok yang muncul secara
alami. Analisis ini akan memaksimumkan variabel tersebut agar dapat
memisahkan objek dengan latar belakang (Gonzalez and Woods, 2008).
Pengamatan histrogram dari sebuah citra menghasilkan dua infomasi sekaligus
yakni jumlah level intesitas yang berbeda (disimbolkan dengan L) dan jumlah
piksel-piksel untuk tiap-tiap level intensiitas tersebut (yang disimbolkan dengan
n(k) dengan k=0...255) (Gonzalez and Woods, 2008).
Operasi dilasi D(A,B) merupakan proses penggabungan titik-titik latar (0) menjadi
bagian dari objek (1) berdasarkan structuring element yang digunakan. Variabel A
adalah citra input, dan B adalah structuring element, sehingga operator pada
proses dilasi akan digunakan untuk memperbesar komponen yang diinginkan
dengan cara menambahkan seluruh tepinya dengan elemen penyusun B seperti
pada persamaan 2.4 (Soille, 2003).
D( A, B) A B (2.4)
Operasi erosi E(A,B) adalah kebalikan dari operasi dilasi. Pada operasi ini, ukuran
objek diperkecil dengan mengikis sekeliling objek. Operator akan mengubah
semua titik batas menjadi titik latar dari citra input A berdasarkan structuring
element B. Cara lain untuk proses erosi dapat dilakukan dengan membuat semua
titik di sekeliling titik latar menjadi titik latar seperti pada persamaan 2.5 (Soille,
2003).
E ( A, B) AB (2.5)
Berdasarkan dua operator tersebut, dapat diturunkan dua operator lainnya yang
berguna untuk menghaluskan batas komponen yang terhadap citra telah
diekstraksi, yaitu pembukaan (opening) dan penutupan (closing) (Soille, 2003).
Operasi closing AB digunakan untuk menghilangkan bagian detail yang terlihat
gelap dan menyisakan bagian terang yang tidak mengganggu. Closing merupakan
operasi rangkap dari opening yang dihasilkan dari dilasi AB diikuti operator
untuk erosi B melalui persamaan 2.7 (Soille, 2003).
A B ( A B)B (2.7)
Gambar 2.1 adalah contoh citra hasil penerapan morfologi matematika masing-
masing untuk hasil operasi dilasi, erosi, opening dan closing. (Gonzalez et al,
2009).
2.5. Skeleton
Proses mengubah bentuk dari citra hasil restorasi yang berbentuk citra
biner menjadi citra yang menampilkan batas-batas objek yang hanya setebal satu
piksel disebut skeletonisasi. Proses skeletoniisasi mempergunakan algoritma
thinning yang secara iteratif menghapus piksel-piksel pada citra biner, transisi dari
0 ke 1 (atau dari 1 ke 0 pada konversi lain) terjadi sampai dengan terpenuhi suatu
Tranformasi Top Hat adalah perbedaan antara citra dan citra setelah
mengalami operasi opening seperti dapat dilihat pada rumus 2.7. (Solomon and
Breckon, 2011).
TTH ( A, B) A ( A g.B) .................................…………...…….(2.7)
Dimana:
A = Citra Asal
B = Elemen penstruktrur
g = operasi berlaku untuk citra beraras keabuan
Transformasi Top Hat berguna untuk mendapatkan bentuk global suatu objek
yang mempunyai intensitas yang bervariasi (A. Kadir, 2013).
Untuk melakukan uji turunan kedua fungsi lebih dari satu variabel,
digunakan Matriks Hessian yaitu untuk mengidentifikasi optimum relatif dari
nilai fungsi tersebut. Penggolongan titik stassioner fungsi dua variabel
dengan mengunakan matriks Hessian misalkan f(x) = F(x1, …, xn) adalah fungsi
bernilai real dengan semua turunan parsialnya kontinu. Misalnya x0 adalah titik
stasioneer dari F dan didefinisikan H = H(x0) dengan persamaan Hij = Fxi, yj (x0).
H (x0) adalah Hessian dari F pada x0 (Magnus, 2007).
Titik stasioner dapat digolongkan sebagai berikut :
1. x0, adalah suatu minimuum relatif dari F jika jika H(x0.) definite positif
AX X ……………....................................................……..(2.10)
Dimana :
= skalar
X = vector yaang bukan nol Skalar
= nilai Eigen dari matriks A .
Nilai eigen adalah nilai karakteristik dari suatu matriks bujur sangkar. Vektor X
dalam persamaan (2.10) adalah suatu vektor yang tidak nol yang memenuhi
persamaan (2.11) untuk nilai eigen yang sesuai dan disebut dengan vektor eigen.
Jadi vektor X mempunyai nilai tertentu untuk nilai eigen tertentu (Gaidhane,
Hote, Singh, 2011). Persamaan AX X dimana A adalah matrik bujur sangkar
dan X adalah vektor bukan nol yang memenuhi perssamaan tersebut. Contoh
sebuah matrik bujur sangkar orde 2x2 :
a a12
A = 11 ................................................................(2.11)
a 21 a 22
1. Citra biner
Citra yang tidak berwarna atau hitam putih dikenal sebagai citra dengan
derajat abu-abu (citra graylevel/ grayscale). Derajat abu-abu yang dimiliki
beragam, mulai dari 2 derajat abu-abu (yaitu 0 dan 1) yang dikenal juga sebagai
citra monochrome, 16 derajat keabuan dan 256 derajat keabuan.
Dalam sebuah citra monochrome, sebuah piksel diwakili oleh 1 bit data
yang berisikan data tentang derajat keabuan yang dimiliki piksel tersebut. Data
akan berisi 0 bila piksel berwarna hitam dan 1 bila piksel berwarna putih. Citra
yang memiliki 16 derajat keabuan (mulai dari 0 yang mewakili warna hitam
sampai dengan 15 yang mewakili warna putih) direpresentasikan oleh 4 bit data,
sedangkan citra dengan 256 derajat keabuan (nilai dari 0 yang mewakili warna
hitam sampai dengan 255 yang mewakili warna putih) direpresentasikan oleh 8 bit
data.
Citra skala keabuan memberi kemungkinan warna yang lebih banyak
daripada citra biner, karena ada nilai-nilai lain di antara nilai minimum (0) dan
nilai maksimumnya (1). Banyaknya kemungkinan nilai dan nilai maksimumnya
bergantung pada jumlah bit yang digunakan. Contohnya untuk skala keabuan 4
Salah satu cara untuk menyederhanakan bentuk citra pada proses analisis
citra medis yaitu dengan melakukan pendeteksian tepi (edge detection). Tepi
Suatu titik (x,y) dikatakan sebagai tepi dari suatu citra bila titik tersebut
mempunyai perbedaan yang tinggi dengan tetangganya. Gambar 2.6 berikut ini
menggambarkan bagaimana tepi suatu citra diperoleh. Dari suatu citra input f(x,y),
akan ditentukan penelusuran arah vertikal dengan differensial arah F/x dan
penelusuran arah horizontal dengan differensial arah F/y untuk didapatkan citra
yang merupakan hasil penelusuran gabungan antara F/x dan F/y
Gambar 2.4. Proses Deteksi Tepi Citra (Nixon and Aguado, 2002)
Pada prosesnya, tepi citra yang dideteksi sering mempunyai intensitas yang lebih
kecil sehingga terkadang tepi citra yang dianalisis tersebut tidak dapat dikenali.
Tepi citra sering tidak lengkap, hal ini dikarenakan warna background hampir
seperti warna foreground. Tepi citra yang ditemukan pendek dan tidak terhubung
1. Metode Robert
Metode Robert adalah nama lain dari teknik differensial pada arah
horizontal dan differensial pada arah vertikal, dengan ditambahkan proses
konversi biner setelah dilakukan differensial. Teknik konversi biner yang
disarankan adalah konversi biner dengan meratakan distribusi warna hitam
dan putih.
2. Metode Prewitt
3. Metode Sobel
4. Canny
Salah satu metode yang dikenal secara luas adalah deteksi tepi metode
Canny yang memiliki kriteria deteksi tepi optimal tanpa adanya kesalahan
deteksi, lokalisir yang baik dengan jarak minimal antara tepi terdeteksi dengan
posisi tepi sebenarnya, dan respon tunggal terhadap tepi. Untuk
mengakomodasi kriteria-kriteria tersebut, operator Canny menambahkan
prosedur-prosedur perbaikan sebelum dan sesudah pendeteksian tepi (pre dan
Pre dan post processing yang dilakukan pada deteksi tepi metode Canny
antara lain (Nixon and Aguado, 2002) :
a) Smoothing (preprocessing)
Proses smoothing dilakukan untuk menghilangkan noise dan menurunkan
pengaruh tekstur pada citra sehingga diperoleh hasil deteksi yang lebih
baik. Pada metode Canny, digunakan filter Gaussian dalam bentuk matriks
template yang merupakan bobot (weight) dalam perhitungan nilai rata-rata
suatu kelompok piksel pada citra input.
Piksel tepi di sekitar piksel tepi yang nilainya lebih besar dari nilai
threshold T1 di atas juga dipertahankan sebagai piksel tepi jika nilainya
Citra input
Citra Hasil
Nodul paru
Gelombang cahaya yang nampak tertangkap oleh sel-sel cone dan rod
dalam retina mata diteruskan ke syaraf visual otak dan membangkitkan berbagai
sensasi warna. Tujuan dikembangkannya ruang warna adalah untuk memodelkan,
menghitung dan memvisualisasikan untuk mendapatkan informasi warna sehingga
dapat memudahkan komputer atau sistem digital lainnya memproses informasi
warna dan membedakan warna seperti halnya sistem visual manusia (Madenda,
2015). Beberapa ruang warna tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. RGB(Red Green Blue)
2. HSL (Hue Saturation Lightness), HSV (Hue Saturation Value), HSI (Hue
3. Saturation Intensity), dan HCL (Hue Chroma Lightness)
4. YUV, YDbDr, YIQ dan YCbCr (Luminance – Chrominance)
Dimana :
0 , Jika max min
max min
s( saturation ) , Jika L 127
(21 / 255)
max min
2 (2 L / 255) , Jika L 127
max min
L
2
Pada Persamaan 2.1, Max = max (R, G, B), Min = min (R, G, B). Intensitas warna
R,G dan B bervariasi dari 0 hingga 255 akan menghasilkan nilai H (Hue) dalam
radian yang bervariasi mulai dari –п/3 hingga +5п/3. Nilai S (Saturation) dan
nilai L (Lightness) masing-masing bervariasi dari 0 sampai 255 (Madenda, 2015).
TidakTerdefinisi , Jika max min
GB
h(hue) , Jika max R (2.2)
max min
B R
max min 2 A , Jika max G
Dimana:
Pada Persamaan 2.2, Max = max (R, G, B), Min = min (R, G, B). A = п/3
bila H dalam radian atau A = 60o bila H dalam derajat. Nilai komponen H (Hue)
jika dinyatakan dalam radian memiliki nilai yang bervariasi mulai dari –п/3
hingga +5п/3 atau jika dinyatakan dalam derajat memiliki nilai yang bervariasi
Konversi nilai antar model RGB dan HSI adalah sebagai berikut:
U=(B-Y) x 0,493
V=(R-Y) x 0,877
I=0,587R-0,275G-0,321B
Q=0,212R-0,523G-0,321B
Ruang warna YCbCr biasa digunakan pada video digital. Pada ruang
warna ini, komponen Y menyatakan intensitas, sedangkan Cb dan Cr menyatakan
informasi warna. Proses konversi dari RGB dilakukan dengan beberapa cara.
Contoh berikut didasarkan pada rekomendasi CCIR 601-1 (Crane, 1997)
CIELAB adalah nama lain dari CIE L*a*b*. Diagram kromasitas CIE
(Commission Internatiole de L’Eclairage) ditunjukkan pada Gambar 3.4. Pada
diagram tersebut, setiap perpaduan x dan y menyatakan suatu warna. Namun,
hanya warna yang berada dalam area ladam (tapal kuda) yang bisa terlihat.
Angka yang berada di tepi menyatakan panjang gelombang cahaya. Warna yang
terletak di dalam segitiga menyatakan warna-warna umum di monitor CRT, yang
dapat dihasilkan oleh komponen warna merah, hijau, dan biru.
4.2. X-Ray
Sinar X-Ray telah dimanfaatkan dibidang kedokteran, salah satunya adalah
dengan menggunakan sinar X-ray mulai dari radasi untuk diagnostic,
pemeriksaan Sinar-X gigi dan penggunaan radiasi Sinar-X untuk terapi.
Radioterapi atau terapi Radiasi adalah salah satu pengobatan dengan
menggunakan sinar sebagai energy intensif membunuh sel kanker. Alat
diagnosis yang banyak digunakan di daerah adalah pesawat sinar-X (photo
Rontgen) yang berfungsi untuk photo thorax, tulang tangan,kaki dan organ tubuh
yang lainnya. Alat terapi banyak terdapat di rumah sakit-rumah sakit perkotaan
karena membutuhkan daya listrik yang cukup besar. Di negara maju, fasilitas
kesehatan yang menggunakan radiasi sinar-X telah sangat umum dan sering
digunakan.
4.4. Funduscopy
Funduscopy merupakan satu pemeriksaan mata untuk melihat
bahagian fundus mata dengan menggunakan Opthamoloscope/Fundus
photography. Pemeriksaan yang dilakukan pada struktur belakang mata,
termasuk retina, untuk memeriksa kemungkinan penyakit mata. Fundus
photography memanfaatkan pantulan sinar cahaya pada gelombang
tertentu yang dipancarkan ke pupil mata. Citra yang didapat dari fundus
photography memberikan informasi tentang keadaan retina seperti
microaneursym, exudates, pendarahan, dan pembuluh darah. Contoh alat
35 Bab : 4 Citra Medis
pemeriksaan Opthamoloscope (Funduskopi) dapat dilihat pada Gambar
4.4.
4.5. Endoscopy
Mata adalah organ dari sistem visual yang bereaksi terhadap cahaya dan
memiliki dan memiliki beberapa fungsi. Mata mendeteksi cahaya dan
mengubahnya menjadi impuls elektro kimia di neuron.
Retina terdiri dari lapisan yang sangat berpigmen di sebelah luar dan
sebuah lapisan saraf di dalam. Lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan
semi tranparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola
mata dinamakan retina. (Vaughan, 2014).
5.2. Retina
Retina sebagai salah satu bagian penting dari organ mata digunakan untuk
menangkap cahaya. Retina bergerak berdasarkan sinyal visual dari otak kiri untuk
memutuskan penglihatan terhadap suatu gambar. Retina memiliki bagian berupa
Dari gambar 5.3 dapat terlihat, Optic Nerve adalah saraf mata yang
memasuki sel tali dan keruucut dalam retina dan untuk menghantarkan sinar ke
otak yang menerjemahkan penglihatan yang dilihat pada saat ini. Daerah kecil
yang berbentuk bulat dan terletak di bagian belakang retina dengan jarak sejauh 3
- 4 mm dari temporal serta 0,5 mm lebih kecil terhadap diskus disebut Makula.
Makula terlihat jelas karena bebas dari pembuluh darah retina. Fovea adalah
lekukan di pusat makula. Dari gambar 5.4 dapat dilihat diameter vena berukuran
dua kali lebih besar dari arteri.
Bagian tengah retina makula berpigmen sangat padat kurang lebih 1,5 mm. Di
tengahnnya terdapat fovea (daerah berbentuk lonjong dan avaskuler). Pusat fovea
yang bergaung disebut Foveola. Bagian tengah retina ini terletak tepat pada
sumbu penglihatan (Bowling, 2016). Bagian Retina yang penting adalah “Makula
Lutea” (penglihatan disini adalah penglihatan yang paling tajam) dan papil optik
yang terdapat di sudut nasal. Bagian tengah retina makula ber pigmen sangat
padat kuranglebih 1,5mm. Ditengahnya terdapat fovea (daerah yang berbentuk
lonjong dan avaskuler). Pusat fovea yang bergaung disebut Foveola. Makula
memiliki 2 reflek antara lain (Brad Bowling. 2016).
1. Reflek cincin / reflek tepi (terdapat di pinggir)
2. Reflek sentral terdapat di bagian tengah
Warna Makula kuning muda karena adanya pigmen xantofil karotenoid. Pigmen
ini berperan melindungi kerucut makula terhadap cahaya yang
menyilaukan,walaupun pupil telah menciut maksimal. Bagian tengah retina ini
teletak tepat pada sumbu penglihatan, hanya berisi kerucut dan sebagian besar dari
6,5 juta kerucut retina memadati tempat yang sempit ini. Syaraf retina menyerap
dan meneruskan menyebarkan impuls cahaya yang mencapai retina. Impuls
cahaya berjalan melalui syaraf optik menuju visual korteks yang mana di
interprestasikan sebagai penglihatan. Cahaya yang berjalan dalam garis lurus akan
jatuh secara diagonal berlawanan dalam area di retina yang menjadi obyek
Sistem Pembuluh darah terdiri dari dua bagian yaitu arteri dan vena. Arteri
sentral sebagai pemasok dan vena sentral yang mengaliri retina berjalan melalui
pusat saraf optik. Arteri retina berwarna meerah terang membawa darah yang
mengandung oksigen, dan lapisan media mereka yang merefleksikan sinar,
menghasilkan reflek cahaya yang berjalan sejajar dengan aksis arteri. Pembuluh
darah vena retina lebih gelap dan lebih lebar dibandingkan pembuluh darah arteri
retina (A/ V ratio 2 : 3). Pembuluh darah retina dinilai ukuran, bentuk, kaliber
(contohnya: penyempitan, kompresi, sumbatan), kontur, pulsasi, dan kelokan,
serta diperhatikan pula adanya anerisma, perdarahan, dan exudates. Arteri tampak
berwarna merah, lebih sempit dibanding vena dengan rasio dua. Pembuluh vena
lebih lebar dan gelap (Nema, 2009). Rata-rata diameter dari arteri sentral retinal
adalah 163 ± 17 m (Guido, 2002). Pada citra fundus retina dibagi menjadi empat
segmen (kuadran) yang berpusat di optic disc yaitu Upper Temporal, Upper
Nasal, Lower Temporal dan Lower nasal seperti dapat dilihat pada ganbar 5.5.
(Bowling, 2016).
Vena retina merupakan pembuluh darah utama yang membawa darah dari retina.
Penyumbatan pada vena retina menyebabkan vena membengkak dan berkelok-
kelok (tortuosity), sehingga pemukaan vena menjadi bengkak dan darah bisa
merembes ke dalam retina seperti dapat dilihat pada ganbar 5.6.
5. Fluorescein angiography
Gambar 6.6. Contoh Citra Fundus dengan Dot and blot intraretinal hemorrhages
(Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. 2007)
3. Exudates. Merupakan sesuatu yang keluar dari luka, cairan luka, drainase
luka dan kelebihan cairan normal tubuh. Produksi exudates dimulai sesaat
setelah luka terjadi sebagai akibat adanya vasodilatasi pada fase inflamasi
yang difasilitasi oleh mediator infalamasi seperti histamine dan bradikinin.
Untuk mengetahui volume exudates maka salah satu tools yang dapat
digunakan adalah wound exudates continuum yang dikembangkan oleh
(Gray, 2005). Parameter tools ini adalah volume dan vikositas exudates
yang dapat mengindikasikan proses penyembuhan berlangsung normal
atau tidak.
5.
6.
7.
8. Gambar 6.8. Penentuan Kuadran Citra Fundus
1. Soft Exudates. Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches
merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan Optlamoskopi akan terlihat
bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya
terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia
retina. Contoh citra fundus dengan soft exudates dapat dilihat pada
Gambar 6.9.
7.1 Microaneursym
Microaneursym atau mikroanurism adalah kapiler yang membentuk kantung-
kantung kecil yang menonjol seperti titik-titik. Pada peringkat awal retinopati
tanpa proliferasi, saluran darah menjadi lemah dan mudah bocor menyebabkan
titik-titik pendarahan yang disebut dengan mikroanurism yang menandakan
pengembangan yang tidak normal pada salur darah retina. Di peringkat ini
mikroanurism dapat dilihat pada Gambar 7.1 di satu bagian retina.
Bab 7: Microaneursym 66
Gambar 7.2. Mikroanurism lebih dari satu bagian retina
67 Bab : 7 Microaneursym
Peringkat Retinopati proliferasi; di peringkat ini terjadi pertumbuhan salur
darah yang tidak normal akibat dari kekurangan oksigen. Pembuluh darah sangat
halus dan mudah pecah, mengakibatkan berlakunya pendarahan dalam mata.
Kesan pendarahan boleh menyebabkan parut pada retina dapat dulihat pada
Gambar 7.4.
Bab 7: Microaneursym 68
7.2 Segmentasi Kandidat Microaneursym
7.2.1 Pendekatan Berbasis Maximally Stable External Region (MSER)
Proses segmentasi berikutnya yang dilakukan peneliti adalah melakukan
segmentasi terhadap microaneursym. Microaneursym merupakan salah satu
karakteristik awal yang menandakan Diabetik Retinopati (Singh, 2008).
Microaneursym merupakan area berbentuk kantung-kantung kecil menonjol pada
pembuluh darah di retina, karena berukuran kecil, mikroaneurisma sulit untuk
dilihat secara langsung. Pertumbuhan microaneursym yang terjadi secara terus
menerus menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah yang memberi nutrisi
ke retina. Sebagian pembuluh darah yang tersumbat pecah sehingga
mengakibatkan munculnya karakteristik lain yaitu dot and blot haemorhages (titik
atau bercak pendarahan pada retina).
RG B
i. I ( x, y ) (7.1)
3
b. Dimana :
69 Bab : 7 Microaneursym
c. = standar deviasi distribusi fungsi pada persamaan 7.2,
dimana pusat distribusi berada pada garis x =0 (mean=0)
4. Ekualisasi Histogram. Histogram Equalization dilakukan, agar citra
mempunyai histogram dengan sebaran tingkat keabuan citra yang merata.
Untuk penyebaran tingkat keabuan citra terhadap histogram awal
dilakukan dengan memetakan setiap nilai piksel pada histogram awal
menjadi nilai piksel baru ( Gonzalez and woods. 2006). Distribusi ulang
dapat ditulis dengan persamaan seperti pada Persamaan 7.3.
(7.3)
Dimana :
nk adalah nilai piksel pada derajat keabuan k,
n adalah jumlah seluruh piksel pada citra.
Seperti terlihat pada Gambar 7.5. komponen histogram citra terang terkonsentrasi
pada sisi sebelah kanan (tingkat keabuan yang tinggi), sedangkan pada citra gelap
komponen histogram terkonsentrasi disebelah kiri (tingkat keabuan rendah).
Sebuah citra dengan kontras yang rendah memilki komponen histogram yang
sempit dan berada di tengah tingkat keabuan, untuk citra grayscale rendahnya
kontras mengakibatkan obyek pada citra terlihat memudar. Sebaliknya untuk citra
dengan kontras yang tinggi komponen histogram tersebar merata di sepanjang
jangkauan tingkat keabuan. Dapat dilihat sebuah citra yang memiliki piksel-piksel
yang menempati hampir semua kemungkinan tingkat keabuan yang ada, dan
sebagai tambahan bahwa piksel-piksel tersebut terdistribusi secara merata,
cenderung memiliki kontras yang tinggi, memiliki tingkat keabuan yang lebih
detil dan memiliki jangkauan dinamis yang lebar. Sifat-sifat citra seperti ini akan
memudahkan dalam proses interpretasi.
Bab 7: Microaneursym 70
Gambar 7.5. Proses Histogram Equalization
71 Bab : 7 Microaneursym
pada persamaan dibawah untuk menghasilkan histogram yang telah disama-
ratakan (equalize) dengan syarat batas 0 ≤ r ≤ 1 .
5. Lakukan binerisasi
Proses selanjutnya setelah dilakukan ekualisasi histogram terhadap citra
fundus adalah bagaimana mengetahui adanya microaneursym sebagai salah satu
karakteristik Diabetik Retinopati. Untuk menjawab masalah tersebut, maka perlu
dilihat kembali hasil pada citra fundus asli Gambar 7.6.
Pada citra fundus 7.6 terlihat bahwa microaneursym memiliki intensitas sangat
rendah atau berwarna hitam, sedangkan objek-objek yang berada dalam citra
fundus memiliki intensitas yang lebih tinggi dari microaneursym. Hal ini
menunjukkan bahwa operasi binerisasi citra dapat diterapkan. Algoritma
Bab 7: Microaneursym 72
binerisasi untuk citra fundus hasil proses ekualisasi histogram dilakukan dengan
:
0 f ( x, y ) T
g ( x, y )
(7.4)
1 f ( x, y ) T
Gambar 3.7. merupakan diagram alur proses binerisasi citra hasil ekualisasi
histogram yang dilakukan untuk mengubah nilai piksel citra menjadi bernilai
biner (0 dan 1).
73 Bab : 7 Microaneursym
start
[N,M]=size(J)
For n=1 to N
For m=1 to M
J(n,m) >= T ? Y
N
N
N J(n,m)=1
J(n,m)=0
Next m
m>M?
Next n
n>N?
end
Bab 7: Microaneursym 74
algoritma MSER dimana algoritma ini merupakan kumpulan dari region yang
berbeda yang dideteksi dari citra grayscale. Semua wilayah pada citra fundus
akan didefinisikan sebagai external property dari fungsi intensitas dalam
region dan diatas batas luarnya. Proses segmentasi microaneursym secara
umum dapat dilihat pada Gambar 3.14. Algoritma ini akan melakukan deteksi
secara lokal dalam transformasi geometri kontinu dan invariant terhadap
perubahan intensitas piksel dalam citra fundus (Matas, O.C. 2002) dengan
algoritma sebagai berikut :
1. Urutkan piksel berdasarkan intensitas
2. Tempatkan piksel pada citra
3. Perbaharui struktur komponen yang saling berhubungan
4. Perbaharui area untuk komponen terkoneksi yang saling terjadi
5. Untuk semua komponen terkoneksi maka hitung minima lokal dari tingkat
perubahan dari Threshold stabil area microaneursym yang terdeteksi.
75 Bab : 7 Microaneursym
Hasil segmentasi dibandingkan dengan hasil pengamatan dokter antara
citra retina yang asli dengan citra retina yang telah disegmentasi, kemudian
dihitung secara manual kandidat mikroaneurisma pada citra asli dan dilakukan
pengecekan pada citra asli yang telah disegmentasi. Analisis citra fundus retina
secara konvensional dibantu oleh dr. Rakhma Indria Hapsari. Spm
(Opthamologist RS. JEC). Tabel 7.1 Merupakan Hasil segmentasi Microaneursym
dengan MSER yang telah dilakukan peneliti.
im0001.ppm
im0009.ppm
im0013.ppm
Bab 7: Microaneursym 76
Nama Citra MikroAneursym Hasil Segmentasi
Terdeteksi
im0016.ppm
im0031.ppm
im0038.ppm
im0050.ppm
77 Bab : 7 Microaneursym
Nama Citra MikroAneursym Hasil Segmentasi
Terdeteksi
im0051.ppm
im0058.ppm
im0094.ppm
Bab 7: Microaneursym 78
BAB 8
EXUDATES
Exudates merupakan sesuatu yang keluar dari luka, cairan luka, drainase
luka dan kelebihan cairan normal tubuh. Produksi exudates dimulai sesaat setelah
luka terjadi sebagai akibat adanya vasodilatasi pada fase inflamasi yang
difasilitasi oleh mediator infalamasi seperti histamine dan bradikinin.
8.1 Exudates
Berdasarkan pengamatan visual seorang ophthalmologist, exudates
muncul dalam warna putih kekuning-kuningan, pada beberapa citra terdapat
exudates berwarna kehijauan dengan berbagai bentuk dan lokasi exudates. Seperti
dapat dilihat pada gambar 8.1, area exudates terkadang terlihat pada satu lokasi,
atau dalam bentuk klaster seperti cotton wool).
(a) Retinal Hard Exudates (b) Retinal Soft Exudates (Cotton Wool)
Gambar 8.1. Citra Fundus Retina Kasus Exudates
Bab : 8 Exudates 79
Peneliti mengusulkan pengembangan algoritma pendeteksian exudates
melalui proses segmentasi berbasis warna referensi. Secara umum, segmentasi
berbasis warna referensi yang dikembangkan peneliti dilakukan dengan beberapa
tahapan proses. Mulai dari preprocessing dengan melokalisasi keberadaan optic
disc, dengan menghitung jarak antara warna setiap piksel dan warna referensi
exudates menggunakan ruang warna RGB, HSV dan HCL (Diana Tri, Madenda,
Rodiah, 2016).
80 Bab : 8 Exudates
Jarak piksel Citra optic Disc Simpan dalam matriks template
Optic Disc
Bab : 8 Exudates 81
Warna referensi
E ( R1 R2 ) 2 (G1 G2 ) 2 ( B1 B2 ) 2 …………………...(8.1)
dR =(R1 – R2)^2;
dG =(G1 – G2)^2;
dB =(B1 – B2)^2;
dE = (dR + dG + dB)^0.5;
82 Bab : 8 Exudates
Nilai threshold ditentukan dengan besarnya jarak warna maksimum dari
sebuah warna dan warna referensi. Penentuan threshold berada pada
rentang nilai 0-100. Penentuan threshold tergantung pada sebaran area
exudates.
4. Jika jarak warna E lebih kecil dari nilai threshold, piksel merupakan
bagian dari area exudates yang disegmentasi. Bila tidak, piksel bukan
bagian dari area segmentasi, maka area tersebut dihilangkan dengan
pseudocode berikut :
if dE<=Th
cit_hasilRGB(i,j,:)= img(i,j,:);
else
cit_hasilRGB(i,j,:)= 0;
Bab : 8 Exudates 83
Mulai
Estimasi Posisi OD
Lokasi OD
ΔE Area Non
N
< Th? Exudates
Hilangkan Area
Area Exudates
Non Exudates
Segmentasi
Exudates
Selesai
84 Bab : 8 Exudates
Proses segmentasi dengan menggunakan ruang warna HSV dan HCL mirip
dengan proses segementasi pada ruang warna RGB. Perbedaannya adalah diawal
perlu dilakukan proses transformasi warna dari ruang warna RGB ke ruang warna
HSV dan dan ruang warna HCL, serta rumus jarak yang digunakan adalah rumus
jarak cylindric sesuai dengan bentuk ruang warnanya. Algorima segmentasi
exudates warna referensi menggunakan ruang warna HSV dan HCL adalah
sebagai berikut (Diana Tri et al, 2016) :
1. Baca citra fundus
2. Konversi ruang warna RGB ke ruang warna HSV dan HCL
3. Tentukan warna piksel dari area exudates sebagai warna referensi exudates
4. Tentukan nilai distance threshold sebagai batas jarak maksimum warna
piksel terhadap warna referensi. Warna referensi exudates dinyatakan
dalam ruang warna HSL dengan nilai setiap elemen warnanya adalah H 1,
S1, L1, dan komponen warna setiap piksel dinyatakan dalam H2, S2, L2.
5. Hitung jarak warna antara warna piksel dan warna referensi dengan
menggunakan rumus jarak Dcyl :
Bab : 8 Exudates 85
AL 1,4456
Dimana : ACH H 0,16 bila nilai H = H1 H 2 dalam satuan derajat.
0,16 pi
ACH H
180
Berikut diberikan jarak warna antara warna piksel dan warna referensi
menggunakan rumus jarak DHCL :
dL = 1.4456 *(L1 - L1)^2;
dH = H1 – H2
ACH = abs(dH) + (0.16*pi/180);
dC = ACH(C1^2+C2^2);
Dhcl = dL + dC - 2*C1*C2*cos(dH);
7. Jika jarak warna Dcyl lebih kecil atau sama dengan nilai Th, maka warna
piksel similar dengan warna referensi, maka piksel tersebut merupakan
area exudates. Sebaliknya bila jarak warna Dcyl lebih besar dari nilai Th,
maka warna piksel tidak similar dengan warna referensi, maka piksel
tersebut bukan merupakan bagian dari area exudates dan dihilangkan.
if Dcyl <=Th
cit_hasilHSV(i,j,:)= img(i,j,:);
else
cit_hasilHSV(i,j,:)= 0;
if Dhcl <=Th
cit_hasilHCL(i,j,:)= img(i,j,:);
else
cit_hasilHCL(i,j,:)= 0;
86 Bab : 8 Exudates
Mulai
A
Hitung Jarak Warna Referensi
Hitung Jarak
HCL? Y < Th? T
Warna
A Area Exudates
Segmentasi
Exudates
T
Selesai
Gambar 8.5. Segmentasi Exudates Menggunakan Ruang Warna HSV dan HCL
Bab : 8 Exudates 87
Gambar 8.6 memperlihatkan hasil segmentasi area exudates berbasis warna
referensi dan dengan menggunakan tiga ruang warna RGB (gambar 8.6-a), HSV
(gambar 8.6-b) dan HCL (gambar 8.6-c). Hasil ini menunjukkan bahwa
segmentasi dengan menggunakan ruang warna RGB memberikan hasil yang
terbaik. Pada hasil ruang warna HSV banyak area exudates yang tidak
tersegmentasi. Sementara pada hasil ruang warna HCL, area exudates
tersegmentasi dengan baik, namun area yang bukan bagian dari exudates ikut
tersegmentasi. Mengacu pada hasil ini maka selanjutnya akan digunakan ruang
warna RGB untuk proses segmentasi area exudates (gambar 8.6-d).
warna referensi
Citra Input (Exudates)
Exudates Terdeteksi
(d)
Gambar 8.6. Contoh Hasil Proses Segmentasi Exudates Berbasis Warna
Referensi.
88 Bab : 8 Exudates
8.4 Hasil Segmentasi Exudates dengan Ruang Warna Referensi
Segmentasi area citra exudates secara otomatis dapat dilakukan melalui
tahap pembentukan peta warna exudates (kekuningan terang berbentuk tegas) dan
penentuan batas dua area yang memiliki palet warna yang berbeda (exudates dan
optic disc). Batas dua area tersebut dapat ditentukan dengan menghitung jarak
warna antara piksel-piksel yang berdampingan sehingga menghasilkan exudates
tersegmentasi dengan tepat. Seperti dapat dilihat pada Tabel 8.1, keseluruhan
exudates yang terdeteksi pada citra fundus berhasil diekstraksi dengan baik tanpa
optic disc ikut terekstraksi sebagai bagian dari exudates. Warna referensi berhasil
mengekstraksi exudates dengan jenis cotton wool seperti pada gambar 8.7.
Optic Disc
Exudates Tersegmentasi
Bab : 8 Exudates 89
Gambar 8.8. Hasil Segmentasi Hard Exudates
Hasil ujicoba 30 citra uji dari total 100 citra uji, dapat dilihat pada tabel 8.1. Objek
optic disc pada citra retina yang memiliki similaritas warna dengan exudates
berhasil dieliminasi sehingga didapatkan hanya objek exudates terekstraksi.
Citra2
90 Bab : 8 Exudates
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra3
Citra4
Citra5
Citra6
Bab : 8 Exudates 91
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra7
Citra8
Citra9
Citra10
92 Bab : 8 Exudates
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra11
Citra12
Citra13
Citra14
Bab : 8 Exudates 93
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra15
Citra16
Citra17
Citra18
94 Bab : 8 Exudates
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra19
Citra20
Citra21
Citra22
Bab : 8 Exudates 95
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra23
Citra24
Citra25
Citra26
96 Bab : 8 Exudates
Citra Citra Asli Hasil Segmentasi
Asli
Citra27
Citra28
Citra29
Citra30
Seperti dapat dilihat pada tabel 8.1 hasil segmentasi exudates berbasis ruang
warna referensi menggunakan ruang warna RGB berhasil melakukan segmentasi
baik pada hard exudates seperti pada citra ke-1, citra ke-4 dengan hard exudates
Bab : 8 Exudates 97
bentuk yang kecil, citra ke-5, citra ke-6, citra ke-7 citra ke-10, citra ke-15 dengan
area hard exudates menyebar, citra ke-16, citra ke 19 dalam bentuk sangat kecil,
citra ke-21 dan citra ke 30. Algoritma segmentasi yang diusulkan peneliti juga
berhasil melakukan segmentasi exudates berbentuk cotton wool spot (CWS)
seperti pada citra ke-2, citra ke-3, citra ke-8, citra ke-10, citra ke-13, citra ke-14
dan citra ke-21. Pada citra non exudates, hasil segmentasi menunjukkan
background dengan warna piksel hitam secara keseluruhan pada citra ke-9, citra
ke-10, citra ke-11, citra ke-12, citra ke-17, citra ke-18, citra ke-20, citra ke-22,
citra ke-23, citra ke-24, citra ke-25, citra ke-26, citra ke-27, citra ke-28 dan citra
ke-29. Citra tersebut tidak menunjukkan adanya exudates sehingga menghasilkan
segmentasi berupa background dengan piksel hitam.Segala bentuk exudates, baik
hard exudates dengan warna kuning tegas berbentuk tegas, hard exudates dalam
bentuk kecil, cotton wool spot dengan area terjadinya exudates bervariasi berhasil
disegmentasi menggunakan ruang warna RGB sebagai ruang warna referensi
exudates.
98 Bab : 8 Exudates
DAFTAR PUSTAKA
Bhargavi dan Rajesh, Detection and Feature Extraction Using Active Contour
Model and Sift in Color Fundus Images. ARPN Journal of Engineering
and Applied Sciences. Vol. 10, No. 6, 2015.
Daftar Pustaka 99
Guidelines, Expert Rev. Ophtalmol, 7(5), 417-439, 2012.
Gonzales, Raffael C dan Woods., Digital Image Processing Third Edition, Pearson
Prentice Hall, 2008.
Ilyas, Sidarta, Dasar-Dasar Pemeriksaan Mata dan Penyakit Mata, Edisi Pertama,
Jakarta : Balai Penerbit FKUI., 34-39., 2003.
Jadhav dan Patil, Classification of Diabetes Retina Images Using Blood Vessel
Area, International Journal on Cybernetics and Informatics (IJCI), Vol 4
No. 2, 2015.
Joussen A.M., Retinal Vascular Diseease, New York: Springer, p. 3-5, 66-70,
129-132, ,228-31, 309, 291-331, 2007.
Levin LA dan Albert DM, Ocular Diseases: Mechanisms and Management, Eds:
687, Hardcover ISBN: 978-0-7020-2983-7, Saunders Elsevier, 2010.
Madenda, Pengolahan Citra & Video Digital: Teori, Aplikasi dan Pemrograman
Mengunakan MATLAB, Penerbit Erlangga, 2015.
Maheswari dan Anandhi, Classification of Retinal Vessel into Arteries and Veins
– A Survey, International Journal on Computational Sciences and
Application (IJCSA), Vol. 4, No. 6, 69-78, 2014.
Sharmila, Rajini, Gourav Dey, Artery/ Vein Classification in Retina Images Using
Automatic Graph Method, Asian Journal of Applied Sciences (ISSN :
2321-0893), Vol.03, Issue 04, 692-698, 2015.
www.nei.nih.gov/health/diabetic/retinopathy, 2016.
http://www.rs-antonius.com/endoskopi.php
https://www.radiologyinfo.org
https://medlineplus.gov)
https://ibu-hamil.web.id)
https://www.dotmed.com, 2016.
https://www.neovisioneyecenters.com, 2016.
https://petunjuksehat.com/serangan-stroke/
http://www.rspp.co.id/penunjang.html