Anda di halaman 1dari 9

REFERENSI ARTIKEL

URETEROLITOTOMI

Oleh:
dr. Riro
PPDS Ilmu Bedah

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Batu Saluran Kemih (BSK) merupakan penyakit pada saluran kemih yang
ditandai adanya massa keras seperti batu yang terdapat pada salurah kemih baik
bagian atas maupun bawah. Di Indonesia jumlah pasien dengan batu saluran kemih
menempati posisi pertama sebagai pasien terbanyak di klinik bedah urologi. Batu
saluran kemih juga merupakan kelainan yang bisa terjadi rekurensi setelah pasien
dinyatakan sembuh (Purnomo, 2003).
Salah satu jenis batu saluran kemih adalah batu pada ureter (ureterolithiasis)
yang merupakan salah satu batu pada saluran kemih bagian atas. Umumnya batu pada
ureter berasal dari ginjal turun ke ureter. Jika batu berukuran kecil, batu dapat turun
hingga kandung kemih atau keluar melalui uretra, namun jika ukurannya lumayan
besar dapat menyumbat ureter dan mengakibatkan berbagai komplikasi (Tracy et al.
2008).
Tatalaksanan ureterolithiasis dapat dilakukan dengan proses pembedahan
untuk mengambil batu dari saluran ureter. Hal ini dilakukan khususnya apabila batu
ureter berukuran besar dan dapat menyebabkan banyak komplikasi. Salah satu teknik
operasi pengambilan batu ureter adalah dengan teknik ureterolitotomi yang
merupakan salah satu operasi terbuka untuk pengambilan batu ureter (Tracy et al.
2008)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Ureterolitotomi merupakan suatu prosedur tindakan operasi terbuka untuk
mengambil batu ureter dengan cara melakukan sayatan di kulit. Lokasi sayatan pada
operasi ini tergantung dari letak batu ureter, di bagian proksimal ataupun distal. Saat
ini prosedur operasi ini mulai ditinggalkan, karena bekas luka sayatan operasi akan
meninggalkan rasa nyeri dan tidak bagus secara kosmetik, namun untuk prosedur
operasi mengambil batu ureter yang cukup besar, prosedur ini masih menjadi pilihan.

Ureterolitotomi bukan merupakan pilihan pertama untuk batu ureter. Di negara-


negara maju sekarang ureterolitotomi mulai ditinggalkan. Prosedur operasi yang
minimal invasif untuk pengambilan batu ureter diantaranya adalah Extracorporeal
Shock Wave Lithotripsy (ESWL), Endoscopic Techniques Such As Ureteroscopy
(URS) dan Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) (Fang et al, 2012).

B. Indikasi dan Kontra indikasi


Prosedur ureterolitotomi dapat dipilih ketika berada dalam kondisi tertentu,
diantaranya:
1. Kemungkinan keberhasilan pengambilan batu yang dilakukan dengan
teknik ESWL atau URS kecil
2. Pilihan kedua setelah prosedur operasi yang minimal infasif gagal dilakukan
3. Tidak adanya peralatan yang memadahi untuk dilakukannya URS maupun
lithotripsi (Rofeim et al., 2001)
Sedangkan kontraindikasi dilakukannya ureterolitotomi adalah pada pasien
yang tidak dapat dilakukan anestesi umum karena sebab-sebab tertentu. (Rofeim et
al., 2001)

C. Jenis Ureterolitotomi
Tujuan ureterolitotomi adalah meniadakan seluruh batu dan memperkecil
risiko komplikasi seperti striktur uretra dan inkontinensia urin. Terapi pembedahan
seperti ini bergantung pada lokasi batu di dalam ureter. Sepertiga atas, sepertiga
tengah, ataupun sepertiga bawah.
Mengetahui lokasi batu sebelum pembedahan penting untuk menghindari
kejadian-kejadian berikut:
1. Batu berpindah karena adanya dilatasi ureter
2. Batu berpindah ke arah distal karena adanya gerak peristaltic
3. Tidak ditemukannya batu saat pembedahan dapat mengganggu fokus operator
dan tidak nyaman bagi pasien
Ureterolitotomi dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu open ureterolitotomi,
ureterotomi laparoskopi, retroperitoneal ureterotomi laparoskopi, dan transperitoneal
ureterotomi. (Ghareeb, 2018)

1. Open Ureterolitotomi
Ureterolitotomi dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan. Untuk
membuka daerah atas ureter, bisa dilakukan insisi lumbotomi. Ekspos ureter
tengah dapat dilakukan dengan insisi otot ekstraperitoneal anterior. Sementara
ureter bagian bawah dapat diakses dengan insisi Gibson, Pfannenstiel, atau
insisi midline suprapubik.
Setelah itu radiografer akan mengambil gambar sehingga dapat
ditentukan posisi batu yang menyumbat. Pada ureterolitotomi atas, fascia
Gerota dibuka dan ureter atas mulai terlihat. Forcep Babcock ditempatkan
pada ureter di atas lokasi batu sebagai traksi dan mencegah terjadinya
pergerakan batu.
Diseksi dilakukan secara menurun untuk memberikan ekspos yang
adekuat, lakukan secara hati-hati supaya tidak melukai ureter ataupun lapisan
otot. Ureterotomi vertikal dibuat di bawah lokasi batu tanpa melukai dinding
uretra posterior. Setelah batu berhasil diekstraksi, ureter diirigasi dan
dimasukkan DJ stent. Insisi ditutup secara longitudinal dengan jahitan 5-0
ditempatkan pada jarak 1-2 mm. Kemudian pada lokasi insisi diletakkan
drain. (Stoller dan Meng, 2007)

2. Ureterotomi Laparoskopi
Untuk melakukan uretrolitotomi laparoskopi, pertama yang harus
disiapkan adalah posisi pasien. Akses pembedahan bisa melalui
transperitoneal atau retroperitoneal. Pada pendekatan transperitoneal, ureter
akan terlihat di atas otot psoas setelah menggeser kolon. Diseksi dengan hati-
hati diperlukan untuk menghindari pemendekan ureter. Jika batu tidak
kunjung terlihat maka batu dapat dilokalisasi dengan sabuk laparoskopi.
(Stoller dan Meng, 2007)
Secara umum, batu ureter atas dan tengah lebih aman jika
menggunakan pendekatan retroperitoneal, sementara batu di ureter bawah
lebih aman dengan pendekatan transperitoneal.
Laparoskopi ureterolitotomi merupakan cara yang tidak begitu
invasive untuk menangani batu kompleks yang tidak bisa dihancurkan dengan
litotripsi ureteroskopik. Kerugiannya adalah kurangnya persepsi taktil,
berpotensi menimbulkan inkontinensia urin, adhesi usus. Faktor-faktor ini

harus difiksasi sebelum tindakan pembedahan.

Gambar 1. Foto pre-operatif (Sahin dkk, 2016)


Gambar 2. (A) Foto pre-operatif, (B) Sistoskopi fleksibel melalui port yang telah
terpasang, (C) Batu diambil (Sahin dkk, 2016)

3. Retroperitoneal Ureterotomi Laparoskopi


Langkah-langkah tatalaksananya adalah:
a. Port dengan diameter 10 – 12 mm dijadikan port kamera dan dapat
ditempatkan dengan insisi pada costae 12
b. Buat ruang pada retroperitoneum dengan jari, diikuti balon
c. Port kedua yang juga berukuran diameter 10 – 12 mm diletakkan pada
linea axillaris posterior pada cekungan costae dan otot erektor spinalis
d. Port ketiga diletakkan pada linea axillaris anterior dengan jarak 5 cm
medial dari port pertama
e. Port ke-4 (5mm) diletakkan dua jari ke spina iliaka anterior superior
(SIAS)
f. Ruang retroperitoneal is freed dengan menghilangkan laposan lemak
flank.
g. Fascia Gerota dibuka sepanjang garis penghubungnya dengan batas psoas
h. Mulai diseksi
i. Diseksi ureter menuju kaudal dan lokalisasi batu dengan menggunakan
kait uretra.
j. Tampilkan ureterotomi longitudinal dengan scalpel laparoskopi dan
perluas itu dengan gunting.
k. Keluarkan batu dengan sabuk laparoskopi
l. Luka insisi bisa dijahit ataupun tidak
m. Tutup lapisan peritoneum
n. Masukkan selang drain pada lokasi ureterolitotomi
o. Setelah operasi, kateter ureteral dibiarkan selama 5 hari. Lepaskan drain
jika outputya kurang dari 5ml/hari. Setelah 3 bulan pasca operasi harus
dilakukan pengecekan urinalisis, ultrasonografi, dan urografi IV.
(Ghareeb, 2018)

4. Transperitoneal Ureterolitotomi Laparoskopi


a. Port dengan diameter 10 – 12 mm dijadikan port kamera dan dapat
ditempatkan dengan insisi pada costae 12
b. Port kedua yang juga berukuran diameter 10 – 12 mm diletakkan pada linea
axillaris posterior pada cekungan costae dan otot erektor spinalis
c. Port ketiga (5mm) diletakkan sepanjang linea midclavicularis pada fossa
iliaca yang ipsilateral
d. Fascia Gerota dibuka sepanjang garis penghubungnya dengan batas psoas.
e. Mulai diseksi.
f. Diseksi ureter menuju kaudal dan lokalisasi batu dengan menggunakan kait
uretra.
g. Tampilkan ureterotomi longitudinal dengan scalpel laparoskopi dan perluas
itu dengan gunting.
h. Keluarkan batu dengan sabuk laparoskopi.
i. Naikkan kateter uretra ke arah proksimal.
j. Jahit lokasi insisi ureterotomi, tutup.
k. Pasang drain. (Ghareeb, 2018)

C. Follow up Post-operasi
CT urogram dapat dilakuakan 3-6 bulan post operasi. CT urogram berguna
untuk melihat striktur, batu residu ataupun rekurensi pada batu ureter. Selain itu
pemeriksaan USG juga dapat dilakukan untuk melihat adanya hidronefrosis. Faktor
resiko seperti resiko metabolik pada pasien untuk terjadi batu ureter juga perlu
dikontrol.

D. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat prosedur ureterolitotomi adalah:
1. Perdarahan karena perlukaan yang tidak disadari pada pembuluh darah atau
vena cava inferior yang dapat mengakibatkan hematoma retroperitoneal
2. Kebocoran urin
3. Srtiktur ureter
4. Adesi ureter
5. Residu batu yang tertinggal (Singh et. al, 2013)

BAB III
PENUTUP

Ureterolitotomi merupakan suatu prosedur tindakan operasi terbuka untuk


mengambil batu ureter dengan cara melakukan sayatan di kulit. Seiiring dengan
perkembangan tehnologi ureterolitotomi mulai ditinggalkan dan diganti dengan
prosedur yang lebih tidak invasif. Namun, ureterolitotomi masih bisa menjadi opsi
untuk dilakukan pada rumah sakit yang memiliki keterbatasan sarana dan prasarana.
DAFTAR PUSTAKA

Purnomo BB. 2007. Dasar-Dasar Urologi. Malang: CV. Infomedika.


Tracy CR, Raman JD, Cadeddu JA, Rane A. 2008). Laparoendoscopic single-site
surgery in urology: where have we been and where are we heading?. Nat Clin
Pract Urol. 5(10):561-8.
Fang YQ, Qiu JG, Wang DJ, Zhan HL, Situ J. 2012. Comparative study on
ureteroscopic lithotripsy and laparoscopic ureterolithotomy for treatment of
unilateral upper ureteral stones. Acta Cir Bras.27(3):266-70.
Rofeim O, Yohannes P, Badlani GH. 2001. Does laparoscopic ureterolithotomy
replace shock-wave lithotripsy or ureteroscopy for ureteral stones?. Curr Opin
Urol.11(3):287-91.
Singh V, Sinha RJ, Gupta DK, Kumar M, Akhtar A. 2013. Transperitoneal versus
retroperitoneal laparoscopic ureterolithotomy: a prospective randomized
comparison study. J Urol. 189(3):940-5.
Ghareeb, GM. 2018. Ureterolithotomy. Medscape.
Sahin S, Aras B, Eksi M, Sener NC, Tugcu V. 2016. Laparoscopic Ureterolithotomy.
JSLS 20:1. Pp. 1-2
Stoller ML dan Meng MV. 2007. Urinary Stone Disease: The Practical Guide to
Medical and Surgical Management. Humana Press: Totowa New Jersey. Pp.
646 – 657.

Anda mungkin juga menyukai