Anda di halaman 1dari 27

Peran disfungsi mitokondria dalam penyakit terkait usia

Abstrak
Proses penuaan disertai dengan timbulnya penyakit dan penurunan kesehatan secara
umum. Pengetahuan dalam proses penuaan telah mengungkapkan sejumlah penanda selular
dari penuaan, diantara perubahan epigenetic tersebut, kehilangan proteostasis, disfungsi
mitokondria, penuaan seluler, dan kelelahan sel punca. Disfungsi mitokondria semakin menjadi
factor tersering yang menghubungkan berbagai penanda ini, mendorong proses penuaan dan
mempengaruhi jaringan diseluruh tubuh. Penelitian terbaru telah mengungkapkan keterlibatan
mitokondria yang jauh lebih kompleks dalam sel daripada pemahanam sebelumnya dan
mengungkapkan cara-cara baru dimana kecacatan mitokondria berpengaruh dalam patologi
penyakit. Pada review ini kami mengevaluasi cara-cara dimana masalah dalam mitokondria
berkontribusi terhadap penyakit diluar mekanisne stress oksidatif dan deficit bioenergi yang telah
diketahui secara baik, dan kami memperkirakan arah yang akan diambil oleh penelitian penyakit
mitokondria di tahun-tahun mendatang.
1. Pendahuluan
Mitokondria memburuk seiring bertambahnya usia, kehilangan aktivitas respirasi,
akumulasi kerusakan pada DNA mereka (mtDNA), dan menghasilkan jenis-jenis oksigen
reactive ( ROS) dengan jumlah berlebihan. Sementara selama beberapa dekade dipercayai bahwa
ROS adalah molekul toksik yang secara khusus menyebabkan kerusakan, pada saat ini diterima
bahwa level rendah dari beberapa jenis ROS yang memiliki peran pensinyalan. Meskipun begitu,
Kelebihan dan penyimpangan generasi ROS, salah satu konsekuensi mayor dari disfungsi
mitokondria. Mitokondria adalah sumber utama ROS didalam sel, dengan sebagian besar berasal
dari kompleks I dan III dari rantai transport electron (ETC). electron yang lepas pada titik-titik
ini merupakan produk samping dari respirasi oksidatif dan pada gilirannya mengurangi oksigen,
menghasilkan superoksida. ROS mengerahkan banyak efek merugikan dalam sel dengan
menyebabkan kerusakan oksidatif pada asam nukleat, protein, dan lipid. Teori radikal bebas
mitokondria dari proses penuaan mendalilkan bahwa kerusakan disebabkan oleh akumulasi ROS
yang diproduksi oleh mitokondria adalah kekuatan pendorong dibelakang proses penuaan. Teori
ini dikuatkan sampai batas tertentu oleh korelasi terbalik antara produksi ROS oleh mitokondria
dan masa hidup pada mamalia. Lebih lanjut, catalase mitokondria target telah ditemukan
memiliki efek perlindungan terhadap penyakit jantung, kanker, dan insulin resisten pada tikus.
ROS bukan satu-satunya aspek cacat mitokondria yang berkontribusi terhadap penurunan
kesehatan: cadangan ATP, mutasi pada mtDNA, pembukaan pori transisi permeabilitas
mitokondria (mPTP), apoptosis, deregulasi CA2+, inflamasi, dan dinamika fusi/ fisi yang berubah
adalah semua factor dari mitokondria yang berpengaruh, walaupun tidak harus bertindak secara
indipenden, menjadi terganggu pada banyak penyakit.
Penelitian pada pembatasan kalori, salah satu alat yang paling konsisten dan kuat untuk
meningkatkan masa hidup dan kesehatan di berbagai organisme, memberikan dukungan lebih
lanjut untuk teori penuaan yang berpusat di sekitar mitokondria melalui temuan bahwa manfaat
kesehatan dari metode ini dapat berasal dari mitokondria. Genotype telah dilaporkan sebagai
penentu penting dari respon individu terhadap pembatasan diet, terutama ketika menyangkut gen
yang berkaitan dengan mitokondria. Selain itu, potensial membran mitokondria telah ditemukan
menjadi penanda prediktif dari replikasi masa hidup pada ragi yang ditanam pada media dengan
pengurangan glukosa. Mitokondria juga tampaknya menjadi pusat pensinyalan utama yang
sebagian mengatur perubahan molekul yang disebabkan oleh pembatasan diet.
Bukti saat ini menunjukkan disfungsi mitokondria sebagai mekanisme menyeluruh dari
penuaan dan penyakit terkait usia. Keadaan ini terlibat dalam daftar panjang dari patologi
penuaan seperti kanker, disfungsi intestinal barrier, depresi, penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK), diabetes, dan lain-lain. Disini kami meneliti peran dari disfungsi mitokondria pada
penyakit yang sering tetapi tidak khas berkaitan dengan disfungsi mitokondira atau memiliki
lebih banyak keterlibatan mitokondria daripada yang biasanya seperti penyakit pembuluh darah (
atherosclerosis), penyakit neurodegenerative mayor ( alzheimer’s, Huntington’s, dan
parkinson’s), dan osteoporosis. Kami juga memperhatikan penyakit yang kami perkirakan dapat
berpotensi menjadi lebih menonjol di masyarakat saat kami mengatasi penyakit yang umum
sekarang dan memperpanjang masa hidup kita contohnya disfungsi stem sel dan infeksi. Terakhir
kami mereview/ulas bukti yang menghubungkan perubahan dalam proteome dan metabolome
mitokondria dengan dimulainya berbagai masalah yang berkaitan denga usia.

2. Disfungsi mitokondria pada penyakit umum


2.1 Atherosclerosis
Atherosclerosis adalah penyakit yang biasanya dianggap berkaitan dengan diet tinggi
lemak dan kolesterol. Namun, banyak penemuan terbaru menunjukkan bahwa disfungsi
mitokondria mungkin sebenarnya memainkan peran yang lebih integral daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Kebocoran dalam rantai respirasi menciptakan ROS yang
memicu reaksi berantai yang memberi jalan untuk terjadinya atherosclerosis dengan
berbagai jalur. ROS mengoksidasi low density lipoprotein (LDL), yang terakumulasi di
dinding arteri, yang memicu pembentukan plak atherosclerosis. ROS juga menginduksi
inflamasi dengan menyebabkan kerusakan mtDNA. Dengan mekanisme yang lebih
komplek, modifikasi oksidatif cardiolipin mitokondria yang dapat berkontribusi terhadap
progresi/perkembangan dari penyakit kardiovaskular.
2.1.1 Ox-LDL
LDL berfungsi untuk mengirimkan kolesterol ke sel-sel diseluruh tubuh melalui
aliran darah. Namun, ketika partikel LDL meninggalkan pembuluh darah dan memasuki
intima arteri, mereka dapat terekspos ke ROS yang dihasilkan oleh sel-sel endotel. ROS
ini mengubah LDL menjadi bentuk terokasidanya, ox-LDL yang berikatan dengan
matrik ektraselular (ECM) sel endotel lebih mudah daripada LDL. Adhesi ox-LDL ke
ECM memicu perekrutan monosit, yang mana menjadi makrofag untuk mengambil
lipoprotein yang terakumulasi dan mengubahnya menjadi sel-sel busa/ foam cells. Sel
busa mengeluarkan apolipoprotein E (apoE) yang membantu high density lipoprotein
(HDL) menghilangkan lemak dan kolesterol dari sel-sel di konjungsi dengan berbagai
komponen dari molekul HDL. HDL kemudian dapat mengangkut lemak dan kolesterol
kembali ke hati untuk diproses. Namun, jika ratio LDL/HDL terlalu tinggi, sel-sel busa
berakumulasi dan mati. Debris-debrisnya menarik lebih banyak monosit,
mempertahankan siklus sampai terbentuk plak yang terdiri dari monosit, kolesterol, dan
lemak. Perkembangan ini dikenal sebagai atherogenesis.
Oksidasi dari LDL telah lama diketahui untuk inisiasi serangkaian peristiwa
yang mengarah ke atherosclerosis karena telah diamati bahwa thiol-dependent
oxidation LDL memiliki sifat atherogenic. Subjek yang menarik sejak itu bergeser ke
ROS dan mitokondria. ROS yang dihasilkan oleh sel-sel endothelial yang dianggap
memiliki kegunaan fisiologis yang penting contohnya berperan dalam merasakan
konsentrasi oksigen, dan regulasi tonus pembuluh darah, pertumbuhan sel, dan
kelangsungan hidup. Namun, produksi ROS yang tidak terkontrol memiliki efek
merusak. Pada salah satu penelitian, ditemukan bahwa penurunan kadar enzim
antioksidan superoksida mitokondria dismutase 2 (SOD2) mengeksaserbasi stress
oksidatif dan atheroscelorosis pada tikus jantan apoE yang diberi makanan normal.
Ketika dibandingkan terhadap tikus control (apoE(-/-), SOD2(+/+)) diberi makan dengan
diet yang sama, ditemukan bahwa pembentukan lesi tidak tergantung pada kadar
kolesterol. Kolesterol biasanya difokuskan sebagai komponen sentral pada penyakit
kardiovaskular, tetapi temuan ini menyiratkan bahwa konsentrasi ROS lebih tinggi
memiliki kapasitas untuk mendorong perkembangan atherosclerosis. Hasilnya sama
diantara pada tikus heterozigot untuk SOD2 dan dalam penelitian model in vitro sel
endotel pembuluh darah manusia dimana siRNA digunakan untuk menurunkan kadar
SOD2. Penelitian lainnya menguji efek dari defisiensi enzim antioksidan peroksidase 1
(prdx1) pada apoE(-/-) pada tikus yang diberi makanan normal. Sekali lagi, lesi yang
lebih luas diamati pada tikus prdx1 tanpa perbedaan pada kolesterol
2.1.2 mtDNA
Terdapat berbagai enzim dalam sel seperti superoksida dismutase, catalase, dan
glutathione peroksidase yang menawarkan perlindungan terhadap kerusakan oksidatif.
Konsentrasi seimbang dari superoksidase dalam matrik mitokondria diperkirakan dari
10-200 pM ini sulit dihitung karena konversi superoksidase yang cepat untuk menjadi
hydrogen peroksidase oleh SOD. Meskipun demikian, menjadi pusat dari generasi ROS,
mitokondria sering tidak tahan terhadap stress oksidatif. Sangat relevan bahwa
atherosclerosis adalah akibat kerusakan mtDNA. Kerusakan mtDNA telah diketahui
berkorelasi dengan kejadian lesi atherosclerotic. Salah satu kemungkinan dan
mekanisme yang tak terduga dimana hal ini dapat terjadi melalui inflamasi yang
diinduksi kerusakaan mtDNA. Sementara mitokondria yang rusak terdegradasi oleh
autofagi, beberapa mtDNA dapat lolos. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa
mtDNA yang rusak yang menghindari autofagi menyebabkan respon inflamasi.
Makrofag THP-1 yang diobati dengan siRNA menyerang DNAse II, enzim yang
bertanggungjawab untuk degradasi kerusakan mtDNA. Dengan meningkatnya mtDNA
yang rusak, diamati peningkatan aktivasi pada NOD –like receptor pyrin domain
containing 3(NLRP3) inflammasome . penelitian itu juga menunjukkan bahwa
penghambatan ROS mengurangi aktivasi NLRP3. Secara kolektif, penelitian ini
menyarankan sebuah model dimana ROS menyebabkan kerusakan mtDNA yang pada
gilirannya menyebabkan peradangan, memperparah perkembangan penyakit
atherosclerosis.
2.1.3 Cardiolipin Oxidation
Oksidasi cardiolipin mitokondria ( CLs) oleh ROS pada konteks atherosclerosis
adalah area lain dari penelitian yang telah dilakukan baru-baru ini. CLs adalah
fosfolipid yang terlokalisasi di membrane mitokondria bagian dalam dimana mereka
menstabilkan asosiasi komplek I-V dari ETC dan mengoptimalkan efisiensinya.
Dikarenakan kedekatannya dengan rantai respirasi, bagaimanapun, CLs rentan terhadap
oksidasi. Berdasarkan kontribusi mereka pada fungsi komplek ETC, tidak
mengherankan bahwa perubahan dalam CLs memiliki efek buruk pada aktivitas ETC.
ketika partikel submitokondria jantung sapi terpapar peningkatan ROS, aktivitas
sitokrom C oksidase berkurang ~ 40%. Konten kardiolipin juga berkurang sekitar
~40%. Hilangnya aktivitas sitokrom C ini dapat sepenuhnya dibalik dengan
penambahan CL eksogen, tetapi tidak pada CL peroksidase, menunjukkan CL
teroksidasi dan/atau selanjutnya kehilangan mereka dari membran mitokondria yang
bertanggung jawab untuk penghambatan yang diamati.
Dengan potensi untuk memperkuat disfungsi mitokondria, cardiolipin teroksidase
(ox-CL) dapat menjadi contributor penting dalam penyakit atherosclerosis. Memang,
tidak hanya produk fosfolipid teroksidasi (ox-PL) yang hadir dalam lesi atherosclerosis,
tetapi mereka tampaknya berkontribusi terhadap pembentukan lesi juga. Cara bagaimana
ox-CL secara khusus memperburuk atherosclerosis baru-baru ini terungkap. Telah
ditemukan bahwa Ox-CL meningkatkan mobilisasi Ca2+ intraselular dalam Human
monocyte-derived macrophages (HMDM) dan polymorphenuclear leucosytes (PMN). Hal
ini memulai peningkatan produksi leukotrin B4( LTB4), sebuah agen pro inflammatory.
Yang juga perlu diperhatikan adalah temuan bahwa perawatan sel endotel vena
umbilikalis manusia ( HUVECS) dengan ekpresi augmented ox-CL dari molekul adhesi
intercellular adhesion molecul 1( ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule 1
( VCAM-1). Ini mungkin merupakan bagian penting pembentukan plak mengingat fakta
bahwa molekul adhesi terlibat dalam merekrut monosit kedalam intima arteri. Fosfolipid
yang berikatan dengan protein annexin A5 telah ditemukan memiliki atribut anti-
atherosclerosis., dan Wan et.al memberikan dukungan lebih lanjut kegunaannya dengan
menunjukkan bahwa pengobatan annexin A5 menghapuskan efek ox-CL. Selain
pengaruh peradangan mereka, bukti berkembang bahwa ox-PL berperan dalam mengatur
fungsi gen dalam sel endotel dan terlibat pada perkembangan sel busa dan dorongan
aktivitas apoptosis pada makrofag.
Sementara penelitian pada ox-CL telah membuka pintu baru untuk penelitian
atherosclerosis, hal ini masih belum jelas apakah mitokondria adalah satu-satunya
sumber senyawa ini. Ox-CL dapat secara khusus di produksi di mitokondria, dan
menghasilkan efek yang merusak pada rantai respirasi. Ox-CL mungkin juga mengubah
sel menuju atherogenesis, tetapi hal itu tidak menunjukkan bahwa mitokondria
menghubungkan dua peristiwa tersebut. Akan menarik untuk menyelidiki apakah ox-CL
dihasilkan dalam membrane mitokondria dapat dilepaskan ke lingkungan ekstraselular,
dan jika ini terjadi selama perkembangan atherosclerosis.
2.2 Penyakit Neurodegeneratif
Otak adalah pusat dari permintaan energy yang tinggi, mengonsumsi kira-kira
seperlima dari kebutuhan energi metabolism basal tubuh. Karena glikolisis adalah down-
regulated di neuron, banyak dari energy yang dibutuhkan oleh neuron dipenuhi oleh
substrat yang di sediakan kepada mereka melalui astrosit, via apa yang disebut astrocyte-
neuron lactate shuttle. Dalam proses ini, astrosit laktat yang diproduksi oleh glikolisis
dimasukkan kembali ke neuron dan kemudian dikonversi kembali menjadi piruvat untuk
masuk ke siklus asam trikarboksil (TCA). Dengan ketergantungan pada respirasi
mitokondria, serta proporsi tinggi lemak peroxidizable dan ketergantungan pada astrosit
sebagai kunci antioksidan, neuron menjadi sangat sensitive terhadap disfungsi
mitokondria. Disfungsi mitokondria berkontribusi terhadap penyakit pada neuron dalam
beberapa cara- dengan menyebabkan kerusakan oksidatif pada struktur-struktur sel melalui
produksi ROS yang berlebihan, dengan mengurangi kapasitas fosforilasi oksidatif (
OXPHOS) dan keluaran energy dari neuron-neuron, dan akhirnya melalui dorongan jalur
apoptosis yang pada gilirannya mengganggu sirkuit neuron. Bahkan, oksidasi RNA adalah
peristiwa luas dalam penyakit neurodegenerative, dan telah ditemukan terjadi pada awal
perkembangan Alzheimer dan Parkinson. Selain itu, mutasi pada mtDNA telah dikaitkan
untuk berbagai penyakit neurodegenerative. Sedangkan mitokondria memainkan bagian
integral dari neurodegenerasi secara umum, disini kami akan focus pada mitokondria dan
peran spesifik mereka dalam tiga penyakit neurodegenerative utama: Alzheimer,
Huntington, dan Parkinson.
2.2.1 Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer (AD) ditandai dengan agregasi amiloid-β (Aβ) ektraselular
dan juga kekacauan neurofibrilllary intraselular (NFTs) yang terdiri dari protein tau
hiperfosforilasi. Sementara awalnya diperkirakan bahwa Aβ adalah penyebab penyakit,
sebuah gagasan yang dikenal sebagai hipotesis amyloid cascade, sekarang adanya
kontroversi, seperti apakah mereka sebenarnya penyebab AD. Terdapat jumlah data yang
cukup besar yang tidak sesuai dengan model amiloid. Misalnya, agregasi Aβ telah
ditemukan pada banyak kejadian dan terdapat dalam otak lansia yang masih utuh secara
kognitif dalam jumlah karakteristik penyakit. Ada juga korelasi yang buruk antara
kepadatan plak dan keparahan penyakit. Sebuah Hipotesis alternative diajukan bahwa
daripadi berperan sebagai penyebab, Aβ hadir sebagai respon kompensasi terhadap stress
oksidatif. Memang, tingkat Aβ yang lebih tinggi dikaitkan dengan penurunan kadar
oksidasi asam nukleat. Diperkirakan bahwa Aβ mencapai ini dengan chelating logam
aktif - redox seperti besi dan tembaga, dan ada bukti yang menunjukkan bahwa NFT
memiliki fungsi yang serupa.
Koneksi langsung antara Aβ dan mitokondria juga ada. Protein precursor amiloid
(APP ) memiliki reticulum endoplasmic (ER) dan sekuen target mitokondria. Setelah
overekspresi secara in vitro, meniru kondisi penyakit, APP diarahkan ke mitokondria.
Selama import, bagaimanapun, hal itu terjebak di membrane ganda mitokondria. Pada
titik ini APP dibelah dengan Omi di ruang intermembran dan mitokondrial Ɣ-secretase di
membrane luar mitokondrial. Pemrosesan dengan ỿ-sekretase mungkin dapat
menghasilkan Aβ, meskipun ini belum dibuktikan. Aβ itu sendiri dapat diimpor kedalam
mitokondria dimana kompleks kelompok heme, yang sangat penting untuk fungsi ETC,
dan menghambat ikatan Aβ - alkohol dehidrogenase (ABAD). Pada AD, ABAD adalah
upregulated di neuron-neuron, dan interaksinya dengan Aβ menghasilkan peningkatan
ROS. Sementara hal ini bertentangan dengan laporan sebelumnya bahwa terjadi
penurunan oksidatif dengan peningkatan Aβ, Hal itu mungkin dapat dijelaskan dengan
fakta bahwa Aβ hanya proteksi terhadap oksidasi tergantung logam. Generasi ROS yang
menyimpang bukan satu-satunya efek dari Aβ pada mitokondria; inkubasi mitokondria
otak tikus dengan Aβ ternyata memulai untuk terjadinya pembengkakan mitokondria dan
apoptosis. Menariknya, Aβ mengeluarkan efek toksik ini meskipun ada PreP. Enzim
mitokondria yang menurunkan protein amiloid.
Sementara status Aβ sebagai pelindung atau subjek berbahaya tetap menajdi
bahan perdebatan, jelas bahwa mitokondria adalah bagian sentral dari AD. Mitokondria
secara nyata terpengaruh pada AD, menyajikan fenotip yang terfragmentasi yang
mungkin merupakan hasil dari peningkatan fusion, mungkin untuk tujuan
mengesampingkan mitokondria yang rusak untuk didegradasi oleh autofagi. Kerusakan
berbagai enzim mitokondria, akumulasi produk oksidasi, dan gangguan pada antioksidan
dalam otak dan cairan sampel pasien juga terbukti. Keterlibatan mitokondria dalam
penyakit ini lebih lanjut dilibatkan oleh pengamatan bahwa dalam garis sel yang
diekspresikan secara berlebihan oleh APP, terdapat penurunan yang nyata pada produksi
ATP dan peningkatan generasi ROS.
Yang penting, kerusakan oksidatif mendahului deposisi Aβ dan pembentukan
NFT,menunjukkan kemungkinan peran kausal. Dukungan kuat untuk keterlibatan
oksidasi dalam etiologi AD berasal dari temuan bahwa produk oksidasi menyebabkan
peningkatan produksi dan akumulasi Aβ dan hiperfosforilasi tau. Tau yang difosforilasi
itu sendiri kemudian dapat dioksidasi, mengarah pada pembentukan fibril. Selanjutnya,
suplementasi berbagai zat antioksidan seperti vitamin E, melatonin, tembaga, dan asam
lemak tak jenuh ganda omega 3 menurunkan tingkat deposisi Aβ pada model hewan
trasngenik pada AD. Sebaliknya, pengobatan sel dengan inhibitor ETC menghasilkan
fosforilasi atu dan pemrosesan aplikasi amiloidogenik. Penggunaan hibrida sitoplasma
(cybrids) adalah pendekatan lain yang yang telah digunakan dalam penelitian AD. Uji
cybird adalah salah satu dimana sel yang telah kehabisan mtDNA-nya digabungkan
dengan sel enukleasi, memungkinkan seseorang untuk memisahkan efek mtDNA dari gen
nuklear. Cybrids ditransplantasikan dengan mitokondria dari pasien AD berlebihan
memproduksi Aβ42 dan menunjukkan aktivitas kompleks IV yang lebih rendah (
sitokrom c oksidase), meningkatkan ROS, mengaktifkan sinyal stres dan jalur apoptosis,
dan mengurangi potensi membran mitokondria, yang semuanya menunjukkan ke
mitokondria sebagai mekanisme yang mendasari patologi AD.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa faktor yang diturunkan secara maternal
meningkatkan insiden sifat seperti AD. Telah dihipotesiskan bahwa bagian dari bias ibu mungkin
karena warisan gen COX yang tidak sama; sementara sebagian besar subunit dikodekan oleh
DNA nuklir, tiga diwarisi dari mt DNA ibu. Gen mitokondria lainnya juga telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko perkembangan AD-diantaranya adalah haplotype untuk protein
translokasi membran luar mitokonria TOM40. Sebuah skroning baru-baru ini mengidentifikasi
beberapa gen yang berhubungan dengan mitokondria yang diekspresikan eara berbeda dalam
astrosit dari cingulate posterior pasien AD. Hasil skrininfg mengungkapkan perubahan regulas
apoptosis, metilasi tRNA mitokondria, penurunan ekspresi PreP, dan penghambatan aktivitas
kompleks I di bagian otak AD ini. Mungkin temuan yang paling menarik adalah identifikasi
pseudogen yang dikodekan mitokondria pertama kali, MTND1P22. Tingkat transkrip pseudogen
, yang mungkin terlibat dalam regulasi transkripsi, ditemukan meningkat. Sedikit yang diketahui
tentang pseudogen, tetapi penelitian terbaru menunjukkan semakin pentingnya molekul-molekul
ini dan bahkan mengisyaratkan keterlbiatan mereka dalam penyakit.
Salah satu peristiwa paling awal dalam perkembangan penyakit model AD tikus
transgenik adalah munculnya disfungsi mitokondria dalam bentuk deregulasi kompleks
pernapasan I dan IV, penurunan respirasi, dan peningkatan stres oksidatif. Namun, konsekuensi
dari disfungsi dalam konteks AD masih belum jelas. Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa pada
tikus 3xTg 3 bulan, sebuah model transgenik dari AD yang berlebihan yang mengekspresi tiga
mutasi yang umumnya terkait dengan AD, aktivitas aktivitas kompleks I dan IV yang berkurang
bersamaan dengan perubahan komposisi kardiolipin dari membran mitokondria sinaptik. Studi
lain menemukan bahwa pada otak tikus TgCRND8 yang berusia 45 minggu (strain yang terlalu
banyak mengekspresikan APP), terdapat penurunan aktivitas kompleks I tetapi kompleks IV
tidak terpengaruh, dan tidak ada perubahan dalam komposisi kardiolipin yang ada dalam model
ini pada usia ini. Efek pada kompleks I kemungkinan karena berkurangnya ekspresi salah satu
subunitnya, NDUFB8
2.2.2 penyakit huntington
Penyakit Huntington (HD) disebabkan oleh ekspansi pengulangan trinukleotida pada
gen Huntingtin. Perburuan mutan (mhtt) terakumulasi dan membentuk inklusi di striatum.
Meskipun mutasi ini adalah penyebab utama penyakit ini, mitokondria bukanlah penonton yang
menganggur. Ada gangguan metabolisme energi mitokondria, cacat pada kompleks I dan II,
berkurangnya aktivitas aconitase, penurunan potensial membran, depolarisasi abnormal, dan
perubahan struktur dan jumlah mitokondria pada otak yang sakit. Defisit bioenergi muncul
sebelum timbulnya gejala, menunjukkan disfungsi mitokondria mungkin merupakan inisiator
penting patogenesis. Kerusakan bioenergi mitokondria mungkin disebabkan oleh peran
perburuan utama dalam regulasi faktor transkripsi yang diperlukan untuk transkripsi gen
mitokondria. Sebagai contoh, telah ditunjukkan bahwa mhtt menekan ekspresi peroxisome
proliferator yang diaktifkan reseptor gamma coactivator 1α (PGC-1α), sebuah ko-aktivator
transkripsi dari gen yang terlibat dalam biogenesis mitokondria, metabolisme, dan struktur
membran.

Mhtt secara langsung berinteraksi dengan mitokondria, mengaktifkan protein fisi DRP1
dan menyebabkan fragmentasi mitokondria. Perubahan dinamika fusi / fisi telah ditemukan
sebagai tema yang berulang dalam neurodegenerasi. Fragmentasi kemudian dapat mengurangi
kapasitas buffer Ca2 +. Mitokondria dari limfoblas pada pasien HD ternyata menunjukkan
potensi membran yang lebih rendah dan mendepolarisasi pada tingkat Ca2 + yang lebih rendah.
Mitokondria dalam model tikus transgenik HD juga menunjukkan perubahan dalam transportasi
Ca2 + dan penurunan ambang Ca2 + untuk pembukaan mPTP. Lebih lanjut, sel striatal yang
mengekspresikan mhtt menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap Ca2 + dan menghambat
kapasitas penyerapan Ca2 +. Mempertimbangkan peran pensinyalan Ca2 + dalam transmisi
sinaptik neuronal, perubahan kapasitas Ca2 + mitokondria dapat mewakili cara lain di mana
perubahan dinamika mitokondria merusak fungsi neuron. Selain mendorong fragmentasi dan
perubahan terkait penanganan Ca2 +, mhtt juga menghambat perdagangan mitokondria. Agregat
sitosolik secara fisik memblokir transit mitokondria sepanjang proses neuron. Akumulasi
mitokondria pada hambatan ini dapat mengurangi ukuran efektif kumpulan mitokondria
fungsional, yang mengarah ke neurodegenerasi

Penghambatan suksinat dehidrogenase dalam kompleks II dengan asam 3-


nitropropionic (3-NP) telah digunakan untuk memodelkan HD. 3-NP melumpuhkan produksi
energi, menyebabkan degenerasi neuron striatal, dan memanggil karakteristik patofisiologis yang
mirip dengan HD. Kekhususan toksin pada neuron striatal kemungkinan karena kombinasi
faktor-faktor di lingkungan seluler lokal. Menggunakan 3-NP untuk mempelajari etiologi
penyakit mengungkapkan bahwa disfungsi mitokondria yang diinduksi toksin diikuti oleh
gangguan rangsangan neuron dan penurunan pelepasan neurotransmitter. Neurotrofin, yang
membantu kelangsungan hidup dan fungsi sel-sel saraf, telah terbukti memperkuat transmisi
sinaptik kortikostriatal. Namun, setelah paparan 3-NP, neurotrofin BDNF, NT-4/5, dan NT 3
telah mengurangi efek pada transmisi kortikostriatal.
2.2.3. penyakit parkinson

Telah diketahui bahwa disfungsi mitokondria berhubungan dengan penyakit Parkinson


(PD) keluarga. Studi yang lebih baru mengisyaratkan kemungkinan bahwa disfungsi mitokondria
juga mungkin mendasari banyak kasus PD istimewa, yang merupakan 90% dari semua kasus PD.
PD ditandai dengan hilangnya neuron dopaminergik dan pembentukan inklusi yang terdiri dari
α-synuclein (α-syn) yang disebut tubuh Lewy. PD memiliki banyak karakteristik terkait
mitokondria dengan AD termasuk kerusakan oksidatif di daerah yang terkena, menghambat
fungsi kompleks pernafasan, dan peningkatan insiden mutasi mtDNA

Cacat I kompleks adalah fitur mitokondria yang paling menonjol dalam PD. Ini
pertama kali ditemukan ketika ditemukan bahwa senyawa 1-metil-4 fenil-1,2,3,6-
tetrahidropiridin (MPTP) menyebabkan Parkinsonisme. MPTP mampu melintasi sawar darah-
otak, dan memiliki afinitas tinggi untuk transporter dopamin, yang memungkinkannya untuk
bertindak sebagian besar pada neuron dopaminergik. Pada membran mitokondria luar, MPTP
diproses untuk menghasilkan MPP + yang masuk ke dalam mitokondria dan memberikan efek
toksiknya dengan mengikat dan menghambat kompleks I. Pengurangan akibat ATP dan
peningkatan ROS kemudian dapat mengaktifkan jalur apoptosis, yang mengakibatkan hilangnya
neuron. Sifat patogenik dari inhibisi kompleks I diperluas lebih lanjut dengan menemukan bahwa
rotenone, inhibitor kompleks I, menyebabkan agregasi α-syn dalam kultur sel. Diperkirakan
bahwa ini adalah konsekuensi dari aktivitas terbatas dari ubiquitin-protease system (UPS).
Disfungsi kompleks I menghambat aktivitas proteasome dengan mengecilkan pasokan energi dan
menyebabkan peningkatan protein yang rusak secara oksidatif, meningkatkan beban UPS.
Karena α-syn terdegradasi oleh UPS, menghalangi jalur dapat memungkinkan terjadinya
agregasi. α-Syn juga mampu memicu disfungsi. Proteinnya bisa
ditargetkan untuk mitokondria dalam kondisi tertentu, melumpuhkan kompleks I dan memacu
peningkatan produksi ROS.
Tikus MitoPark menggambarkan kapasitas disfungsi mitokondria untuk mendorong
patogenesis PD. Tikus-tikus ini dirancang menggunakan teknologi Cre / Lox dan memiliki faktor
transkripsi mitokondria Tfam dihapus secara eksklusif dari neuron dopaminergik. Transkripsi
mtDNA yang terganggu dalam sel-sel ini menyebabkan hilangnya subunit kompleks pernapasan
yang dikodekan mtDNA dan akhirnya kehilangan rantai pernapasan. Tanpa komponen seluler
yang kritis seperti itu, neuron mati. Dimulai pada usia dewasa, hewan mengalami gejala
Parkinson dan penanda molekul penyakit. Perlu dicatat bahwa sementara tikus-tikus ini telah
ditemukan memiliki inklusi intraneuronal, agregat tidak mengandung α-syn. Meskipun demikian,
karena kemampuan mereka untuk mereproduksi sebagian besar fenotip PD, tikus MitoPark
banyak digunakan sebagai model untuk mempelajari PD.

Sejumlah protein yang dikenal sebagai pemain kunci dalam familial PD adalah protein
mitokondria atau terkait dengan mitokondria. Salah satu yang telah mendapatkan banyak minat
dalam beberapa tahun terakhir adalah protein mitokondria PINK1. Mutasi pada gen PINK1
adalah penyebab utama dari satu variasi PD keluarga. Dalam kondisi normal, PINK1 membantu
dalam regulasi mitofag. Penelitian telah menunjukkan bahwa hilangnya potensi membran
mitokondria menyebabkan PINK1 menumpuk di membran dan memfosforilasi Parkin, protein
lain yang tersirat dalam patologi PD. Ini kemudian mengarah pada degradasi mitokondria oleh
mitofag. Kekurangan PINK1 menghambat kompleks pernapasan I, mengurangi potensi membran
mitokondria dan mengganggu transmisi di persimpangan neuromuskuler di Drosophila. Ini
bukan satu-satunya efek; disfungsi penukar Na + / Ca2 + pada membran mitokondria bagian
dalam juga ditemukan sebagai hasil dari defisiensi PINK1. Akumulasi Ca2 + menurunkan
ambang untuk pembukaan mPTP yang dapat meningkatkan produksi ROS melalui perubahan
konformasi dalam kompleks I. Atau, defisiensi kompleks I dapat mengakibatkan peningkatan
ROS, yang dapat menghambat penukar Na + / Ca2 +. Oleh karena itu, temuan dari dua studi
mungkin saling terkait, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan mana efek
utama dari kekurangan PINK1, penghambatan kompleks I atau cacat penukar Na + / Ca2 +.
Peradangan adalah fitur lain dari PD, dan baru-baru ini ditemukan bahwa PINK1 dapat
memainkan peran pro-inflamasi juga. Oleh karena itu nampak bahwa protein dapat berkontribusi
pada patologi penyakit dengan beberapa jalur.

Penyakit Alzheimer, Huntington, dan Parkinson semuanya memiliki dua kesamaan:


kesamaan fungsi disfungsi mitokondria dan pembentukan oligomer terlarut yang sering
menghasilkan agregat protein yang tidak larut. Disfungsi mitokondria adalah peristiwa awal
dalam setiap kasus, menunjukkan bahwa mitokondria yang tidak berfungsi mungkin sebenarnya
merupakan akar dari penyakit-penyakit ini dengan konsekuensi oligermisasi protein atau curah
hujan. Ada kemungkinan bahwa untuk banyak penyakit yang berkaitan dengan usia, lintasan
patologis serupa yang melibatkan mitokondria dan protein yang gagal melipatnya diikuti, tetapi
hal ini masih belum dikenali. Kerusakan proses mitokondria dalam semua tipe sel dari jaringan
apa pun berpotensi menciptakan lingkungan di mana pengendapan protein yang rentan terhadap
agregasi lebih disukai. Ini dapat terjadi oleh penghambatan UPS, seperti yang dibahas dalam
konteks PD, atau mekanisme lainnya. Dalam hal ini, menarik untuk dicatat bahwa protein yang
tidak terkait dengan penyakit endapan yang diketahui dapat diinduksi menjadi agregat in vitro.
Dengan demikian, kami berspekulasi bahwa semua jaringan cenderung memiliki kelompok
protein agregat mereka sendiri yang dapat bervariasi dari tipe sel ke tipe sel tergantung pada
lingkungan seluler dan proteome tertentu, dan yang mungkin beracun atau tidak. Dalam kasus di
mana protein agregat memiliki efek toksik, penyakit akan terjadi. Konsep ini paling baik
dicontohkan oleh tikus MitoPark, yang menunjukkan karakteristik penyakit yang mirip dengan
PD meskipun tidak ada α-syn dari inklusi intraneuronal. Ini menunjukkan bahwa hampir pasti
ada lebih dari satu jalur menuju penyakit, dan bahwa masalah utama bukanlah protein agregat itu
sendiri, melainkan faktor umum disfungsi mitokondria.
2.3.Osteoporosis
Sistem kerangka memberikan kerangka kerja di mana struktur keseluruhan tubuh kita
berpusat. Gangguan kerangka kerja ini dapat menyebabkan meningkatnya risiko cedera,
debilitasi, infeksi, dan berpotensi kematian. Dengan bertambahnya usia, sistem kerangka secara
alami meluruh, mengalami penurunan kepadatan mineral tulang dan massa tulang, yang
merupakan efek kumulatif dari berbagai faktor fisik, hormon, dan nutrisi. Osteoporosis adalah
penyakit yang didefinisikan oleh meningkatnya kehilangan massa tulang yang menyebabkan
struktur tulang keropos dan peningkatan risiko patah tulang. Dengan lebih dari 50% orang di atas
50 dipengaruhi, pengertian
penyebab mendasar penyakit ini sangat penting
Pertumbuhan tulang orang dewasa normal ditandai oleh keseimbangan antara resorpsi
tulang dan pembentukan. Resorpsi tulang adalah penguraian tulang yang ada menjadi komponen
dasar (terutama kolagen tipe I dan garam anorganik) oleh sel-sel osteoklas yang terletak pada
permukaan pelarutan tulang. Pembentukan matriks tulang dan mineralisasi dilakukan oleh
osteoblas yang terletak di permukaan tulang baru, yang menggunakan komponen yang dipecah
yang disediakan oleh osteoklas untuk membentuk matriks tulang baru. Matriks yang baru
terbentuk ini di-termineralisasi oleh osteoblas yang, ketika mereka terperangkap di dalam
matriks pembentuk, kemudian mengisi matriks tersebut sebagai osteosit. Osteosit terdiri dari 90-
95% dari semua sel tulang, dan mengarahkan respons pembentukan tulang terhadap ketegangan.
Osteoklas dan osteoblas keduanya berasal dari sumsum tulang. Dengan kebutuhan metabolisme
nutrisi yang dibutuhkan untuk remodeling tulang, mitokondria memainkan peranan penting
dalam pembentukan tulang. Bagian ini akan fokus pada peran disfungsi mitokondria, khususnya
penghapusan mtDNA dan ROS mitokondria, dalam osteoporosis.
2.3.1 mtDNA damage
Temuan dari beberapa sumber, termasuk studi asosiasi genom-luas (GWAS) pada
manusia, studi pada tikus dengan tingkat mutasi mtDNA meningkat, dan dari penelitian yang
menggunakan sel yang rusak untuk pembuangan mitokondria disfungsional, semua menunjukkan
bahwa peningkatan jumlah kerusakan mitokondria atau mtDNA terhubung dengan osteoporosi.
Dalam satu contoh, sebuah penelitian terhadap 2.286 pria dan wanita Kaukasia AS yang berasal
dari Eropa Utara dari bagian barat menemukan hubungan yang signifikan dengan polimorfisme
nukleotida tunggal dalam NADH dehydrogenase 2 dan gen sitokrom b yang dikodekan oleh
mtDNA. Meskipun tidak jelas bagaimana perubahan ini diterjemahkan menjadi peningkatan
risiko osteoporosis, dikatakan bahwa kedua gen ini membentuk bagian penting dari rantai
pernapasan mitokondria.
Hipotesis awal oleh Varanasi, berdasarkan data dari 15 pria dengan fraktur vertebra
simptomatik, menunjukkan bahwa penghapusan mtDNA, dan bukan stres oksidatif, adalah
penyebab osteoporosis. Varanasi menyarankan bahwa penumpukan laktat setelah disfungsi rantai
transpor elektron mitokondria menstimulasi resorpsi tulang dalam osteoklas. Hubungan antara
penghapusan mtDNA dan osteoporosis juga telah mendapat dukungan oleh sebuah studi tahun
2004 dari Trifunovic dan rekannya. Penelitian itu menggunakan tikus knock-in homozigot yang
mengekspresikan versi defisiensi-proofreading dari PolgA, subunit katalitik yang dikodekan
nukleus dari mtDNA polimerase. Tikus-tikus tersebut menunjukkan fenotipe penuaan lanjut,
termasuk hilangnya kepadatan mineral tulang dan kandungan mineral tulang seluruh tubuh,
keduanya karakteristik osteoporosis pada manusia.

Bukti tambahan dari tikus menunjukkan bahwa osteoporosis dapat terjadi setelah
disfungsi mitokondria. HTRA2 / OMI adalah protease serin independen ATP yang terletak di
ruang antar-mitokondria dan dianggap berfungsi sebagai protease kontrol kualitas protein.
Kehilangannya telah secara spesifik terbukti menghasilkan beberapa patologi terkait usia,
termasuk penghapusan mtDNA yang meningkat, oesteoporosis, dan neurodegenerasi, di antara
fenotipe lainnya. Mitokondria mutan pada hewan-hewan ini dicegah agar tidak ditandai untuk
mitofag. Diperkirakan bahwa sebagai akibatnya penghapusan mtDNA diperbolehkan untuk
mereplikasi dan pada gilirannya penumpukan mitokondria yang rusak menyebabkan gangguan
produksi ATP dan ketidakmampuan untuk memenuhi permintaan energi fungsi seluler normal.
Salah satu efek dari penurunan produksi ATP ini adalah peningkatan laju resorpsi osteoklas,
yang menyebabkan penurunan kepadatan mineral tulang.
2.3.2 ROS
Dalam pergeseran dari hipotesis Varanasi, studi in vitro dan model tikus progerik
menunjukkan ROS turunan mitokondria sebagai faktor kunci dalam etiologi osteoporosis. Tikus
dengan defisiensi SOD2 homozigot pada jaringan ikat menunjukkan fenotip penuaan dini,
termasuk penurunan tingkat kepadatan mineral tulang. Studi lain menunjukkan bahwa kontrol
H2O2 adalah bagian penting dari osteoporosis. Produksi H2O2 dalam sel diperkuat oleh protein
adaptor p66shc, yang dilepaskan dari kompleks inhibitor dalam membran mitokondria bagian
dalam sebagai respons terhadap berbagai rangsangan pro-apoptosis dan bertindak sebagai enzim
redoks yang mengkatalisis pengurangan O2 menjadi H2O2 melalui transfer elektron dari
sitokrom c. Tingginya kadar H2O2 dalam sel-sel osteoblastik menghasilkan apoptosis dan
memulai osteoporosis dengan mengganggu pembentukan osteoblas. Penumpukan H2O2
sebaliknya menginduksi proliferasi osteoklas dan diperlukan untuk pematangan osteoklas.
Redaman H2O2 oleh faktor transkrip kotak O forkhead box (FoxOs) dan pemberian estrogen
mendorong pembentukan osteoblas, yang mengarah pada pertumbuhan tulang. Peningkatan
kadar H2O2 menonaktifkan FoxO, dan efektivitas pertahanan ini menurun seiring bertambahnya
usia. Dengan demikian, pada masa muda, pertahanan ROS normal tubuh kita mampu menjaga
keseimbangan antara pembentukan tulang dan resorpsi. Namun, seiring bertambahnya usia,
pertahanan kita menjadi kurang efektif dan mengarah pada dominasi resorpsi oleh osteoklas,
yang mengakibatkan penurunan kepadatan mineral tulang dan osteoporosis.
Efek kolesterol teroksidasi, atau oxysterols, adalah jalan lain di mana mitokondria
dapat mempengaruhi osteoporosis. Oxysterol dihasilkan dari kolesterol oleh enzim P450, yang
paling penting terletak di mitokondria dan retikulum endoplasma (ER). Berbagai jenis kolesterol
teroksidasi memiliki efek sistemik yang berbeda dan, relevan dengan osteoporosis, oxysterol 20
(S) hydroxycholesterol, dalam kombinasi dengan versi 22 (S) atau 22 (R), mengregulasi
osteoblas dan memperkuat tulang melalui peningkatan aktivitas alkali fosfatase, osteocalcin
ekspresi gen, dan peningkatan mineralisasi sel. Bentuk lain dari kolesterol teroksidasi, seperti
cholestan-3 β, 5 α, 6 β-triol, menghambat pembentukan osteoblas
3. Penyakit terkait usia ( age-related disease) dengan komponen mitokondria yang
sepertinya menjadi lebih sering terjadi di masyarakat pada masa depan
3.1 kegagalan stem sel
Sel-sel mampu berdiferensiasi menjadi jenis sel apa saja dari ketiga lapisan kuman
embrionik, dan ditemukan secara alami dalam massa sel dalam dari embrio yang sedang
berkembang. Sel punca spesifik jaringan, di sisi lain, jauh lebih terbatas dalam kemampuan
membedakannya dan kemungkinan nasibnya terbatas pada tipe sel dari jaringan asalnya. Hampir
semua jaringan mempertahankan populasi sel dengan karakteristik seperti sel induk dan ini
bertindak untuk mengisi kembali sel yang hilang dan mempertahankan fungsi jaringan. Sel
punca lain, yang disebut sel punca pluripoten terinduksi (sel iPS), adalah sel somatik yang
diprogram ulang secara artifisial yang mengadopsi karakteristik seperti sel punca pluripoten.
Karena sudah mapan bahwa fungsi jaringan menurun dengan bertambahnya usia, satu pertanyaan
yang terlintas dalam pikiran adalah apa yang terjadi pada fungsi sel induk dalam jaringan orang
tua? Apakah sel-sel punca itu sendiri menunjukkan tanda-tanda penuaan, apakah ceruk tempat
sel-sel khusus ini berada menanggung beban waktu dan pada gilirannya menjadi tidak mampu
mendukung sel-sel yang berpotensi abadi ini, atau apakah sesuatu yang lain terjadi?
Studi saat ini menunjukkan bahwa penuaan membatasi kemampuan sel punca untuk
membelah, memperbaharui diri, dan menanggapi sinyal lingkungan. Dengan jalur diferensiasi sel
punca ditentukan oleh isyarat lingkungan, kemampuan tipe sel punca tertentu untuk
berdiferensiasi menjadi jaringan tertentu dipengaruhi oleh usia. Diferensiasi sel punca
mesenkimal menjadi garis sel adipogenik, kondrogenik, atau osteogenik adalah salah satu contoh
penting. Gangguan fungsi sel induk mendasari peningkatan jumlah patologi terkait usia,
termasuk aterosklerosis, osteoporosis, dan defisiensi rantai pernapasan mitokondria. Mitokondria
secara aktif terlibat dalam fungsi sel punca yang tepat, yaitu dengan memenuhi berbagai
kebutuhan metabolisme dan mengendalikan nasib sel dengan pensinyalan ROS. Banyak
penelitian sekarang menunjuk pada mutasi mtDNA, mengubah produksi ROS, gangguan
metabolisme mitokondria, dan mitokondria yang dikompromikan secara struktural sebagai faktor
yang berkontribusi pada beberapa patologi terkait sel induk.

3.1. karakteristik mitokondria dalam membedakan sel


Perubahan luar biasa pada mitokondria dalam sel punca paling baik dilihat dengan
membandingkannya dengan orang yang membagi sel somatik. Selama mitosis dalam sel
somatik, mitokondria ditarik ke alur pembelahan melalui mikrotubulus di mana mereka
menjalani fusi dan fisi untuk menghomogenkan distribusi mtDNA dan komposisi proteom dari
dua sel anak. Sel yang memiliki cacat dalam fusi mitokondria dan protein fisi memiliki proteom
mitokondria heterogen, yang menyebabkan berkurangnya stabilitas genetik, akumulasi mutasi
mtDNA, dan disfungsi rantai pernapasan. Selain fluks dalam dinamika organel, tidak ada bukti
yang menunjukkan perubahan mitokondria sel somatik selama pembelahan
Perubahan pada mitokondria sel induk sangat kontras dengan mitokondria sel somatik
yang relatif stabil. Studi tentang remodeling mitokondria dalam diferensiasi sel induk dan
pemrograman ulang menunjukkan bahwa sel pluripoten non-diferensiasi, naif, bulat, mitokondria
yang kurang matang. Ketika sel-sel induk berpotensi majemuk berdiferensiasi, mitokondria
mereka menjadi memanjang dan berkembang lebih matang, didefinisikan
krista. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian menggunakan tubuh embrioid, morfologi
mitokondria tampaknya menjadi faktor kunci dalam fungsi sel induk yang tepat. Badan embrioid
adalah sel-sel sel pluripoten yang mengambang dalam suspensi dan konstruksinya saat ini
merupakan metode yang paling akurat untuk merepresentasikan embriogenesis dan mempelajari
diferensiasi sel induk. Satu studi menunjukkan bahwa gangguan jaringan mitokondria pada tubuh
embrioid yang mengalami diferensiasi jantung menghambat pembentukan sarkomer. Pentingnya
morfologi mencerminkan pergeseran dari glikolisis sebagai sumber energi utama ke OXPHOS
selama diferensiasi, karena jaringan yang utuh penting untuk pembangunan rantai pernapasan
Telah diamati bahwa ketika sel-sel induk embrionik berdiferensiasi, massa mitokondria
dan jumlah mtDNA keduanya meningkat. Menariknya, secara in vitro, sel induk embrionik
manusia memiliki penghapusan mtDNA besar yang dibawa ke sel terdiferensiasi akhir, tetapi
mereka tidak memengaruhi kemampuan diferensiasi sel. Sel induk embrionik manusia
mengandung lebih sedikit mitokondria, menghasilkan lebih sedikit ATP dan ROS, dan telah
meningkatkan pertahanan ROS dibandingkan dengan membedakan sel-sel induk pluripoten.
Selain itu, mitokondria dalam sel yang berdiferensiasi berbentuk tubular dan terletak di seluruh
sitoplasma, sedangkan mitokondria sel yang tidak berdiferensiasi bersifat globular dan
perinuklear. Semua perubahan ini adalah aspek penting dari diferensiasi sel induk dan dibalik
selama proses pemrograman ulang. Tidak ada jawaban pasti untuk apakah perubahan
mitokondria ini sama untuk semua jalur diferensiasi, atau jika ada modifikasi spesifik tipe sel

3.1.2 peran mitokondriadalam diferensiasi sel induk/stem sel


Sementara massa mitokondria absolut meningkat selama diferensiasi seperti yang
disebutkan di atas, telah dilaporkan bahwa rasio mitokondria terhadap total massa protein sel
tidak berubah. Faktanya, sel-sel yang berpotensi majemuk dan berdiferensiasi memiliki tingkat
konsumsi oksigen yang sama, menunjukkan bahwa mitokondria mereka memiliki aktivitas
metabolisme yang sebanding. Bagaimana kemudian sel-sel induk menghasilkan jumlah ATP
yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang dibedakan? Jawabannya terletak pada
pemrograman metabolik dari setiap jenis sel. Meskipun memiliki mitokondria yang berfungsi
penuh, sel induk berpotensi majemuk memproduksi sebagian besar ATP mereka dengan
glikolisis. Ini dicapai dengan mencegah masuknya piruvat ke dalam siklus TCA, alih-alih
mengalihkan glukosa ke jalur metabolisme lainnya, termasuk fermentasi laktat dan jalur pentosa
fosfat (Gbr. 1A). Proses shunting ini dimediasi oleh uncoupling protein 2 (UCP2). UCP2
diaktifkan oleh phosphatidylinositol phosphate (PIPs). Selama diferensiasi sel induk,
mitokondria fosfatase Protein Tyrosine Phosphatase, Mitochondrial 1 (PTPMT1)
mendefosforilasi PIP, menonaktifkan UCP2 dan memungkinkan transisi yang diperlukan untuk
respirasi mitokondria untuk berlangsung (Gbr. 1B). Penghapusan gen PTPMT1, menjadikan
protein tidak aktif secara katalitik, atau menghilangkan sinyal lokalisasi mitokondria, semuanya
mengakibatkan kegagalan sel-sel induk hematopoietik untuk berdiferensiasi. Sesuai dengan
temuan ini, ekspresi UCP2 ektopik juga telah terbukti menghambat diferensiasi. Bersama-sama
studi ini menunjukkan bahwa PTPMT1 adalah bagian dari mekanisme di mana sel-sel induk
menjalani pemrograman ulang metabolik, berfungsi untuk menonaktifkan UCP2 dan
memfasilitasi transisi ke metabolisme aerob yang terlihat dalam membedakan sel-sel
Pentingnya keadaan metabolisme sel punca terhadap kapasitas diferensiasinya lebih
lanjut diperlihatkan oleh temuan bahwa sel punca embrionik murine yang memiliki tingkat
metabolisme yang lebih rendah, yang diukur dengan potensial membran mitokondria dan
konsumsi oksigen, memiliki kemampuan diferensiasi yang lebih tinggi secara in vitro dan
menurun. sifat tumorigenik in vivo. Penelitian ini juga mengkarakterisasi target mekanis dari
sumbu rapamycin (mTOR) -mitochondria. Aktivitas mTOR berkorelasi dengan aktivitas
metabolisme, dan ketika sel diperlakukan dengan penghambat mTOR rapamycin, ada penurunan
konsumsi oksigen mitokondria dan peningkatan kemampuan sel untuk berdiferensiasi. Telah
diusulkan bahwa hubungan ini dapat dimediasi oleh interaksi mTOR dengan PGC-1α, sebuah
faktor transkripsi untuk gen yang terkait dengan biogenesis mitokondria.
Garis sel yang berbeda juga memiliki jumlah transkripsi mtDNA yang berbeda terkait
dengan diferensiasinya. Waktu peningkatan faktor transkripsi mtDNA dan proses replikasi
mitokondria sangat penting untuk diferensiasi tipe sel tertentu. Peningkatan transkripsi mtDNA
dapat diatur waktunya bersamaan dengan perubahan pensinyalan ROS, yang memengaruhi
proliferasi dan diferensiasi pada beberapa sel punca, terutama sel punca hematopoietik.
Pensinyalan ROS sebagai penanda untuk diferensiasi juga terlihat di Drosophila; menurunkan
konsentrasi ROS menyebabkan diferensiasi tertunda dalam sel-sel induk lalat hematopoietik, dan
peningkatan memiliki efek sebaliknya. Mutasi mtDNA somatik dapat menyebabkan disfungsi sel
induk dan menyebabkan penuaan dini pada tikus dengan gangguan proofreading mtDNA.
Efeknya bermanifestasi pada titik yang berbeda dalam proses diferensiasi untuk garis keturunan
sel yang berbeda tetapi ada penghambatan diferensiasi secara keseluruhan, gangguan pengisian
jaringan, dan pengurangan umur. Diperkirakan bahwa mutasi mtDNA somatik dapat
mempengaruhi sel-sel punca dengan mengubah pensinyalan ROS berdasarkan pengamatan
bahwa pemulung ROS mampu menyelamatkan fungsi sel punca. Sudah pasti bahwa kerusakan
mtDNA terakumulasi dengan bertambahnya usia. Ada hubungan antara disfungsi mitokondria
dan penyakit yang diakibatkan oleh penurunan fungsi sel induk yang bergantung pada usia.

3.1.3 Mitokondria dalam regulasi siklus hidup stem sel


Memodulasi diferensiasi bukan satu-satunya cara mitokondria aktif dalam sel batang;
mereka juga pengatur penting siklus sel. jalur pensinyalan p53 dan p38 mengendalikan
peningkatan massa mitokondria, potensi membran, dan produksi ROS dalam sel. Efek ROS pada
sel punca diuji dengan memaparkan sel punca mesenkim turunan endometrium manusia pada
dosis hidrogen peroksida yang tidak mematikan, yang menyebabkan penuaan melalui jalur
respons kerusakan DNA p53 / p21 / pRb dan p38 / MK2. Dalam satu jam paparan, tingkat ROS
intraseluler meningkat dan tetap tinggi selama sembilan hari setelah paparan, mempertahankan
sel-sel dalam keadaan penuaan. Penghambatan jalur p38 menghasilkan peningkatan tingkat
proliferasi sel induk. Menariknya, pemulihan kemampuan proliferatif yang disebabkan oleh
penghambatan p38 tidak sesukses ketika inhibitor ditambahkan kemudian dalam proses penuaan,
menunjukkan kemampuan sensitif terhadap waktu untuk memulihkan fungsionalitas stem = sel.
Studi ini menunjukkan bahwa sel batang mesenkhimal yang diturunkan dari endometrium
tampaknya bergantung pada peningkatan kadar ROS untuk mempertahankan jalur respons
kerusakan DNA dan tetap dalam keadaan tua (Gambar 2). Anehnya, aktivasi jalur p53 / MAPK
juga menyebabkan disfungsi mitokondria yang meningkatkan level ROS, kerusakan DNA, dan
penggunaan jalur p53 / MAPK yang terus-menerus, menciptakan loop umpan balik yang
mengakibatkan hilangnya kemajemukan dan kemampuan pembaharuan diri adipose- sel induk
yang diturunkan
Faktor pertumbuhan TGF-β, yang biasa digunakan untuk menginduksi diferensiasi
kardiomiosit dalam sel-sel punca mesenkim yang diturunkan dari sumsum tulang, juga
menginduksi penuaan sel-sel ini, sebagian dengan mengurangi ekspresi SOD2 mitokondria, yang
mengakibatkan peningkatan ROS. Tingkat ROS juga ditemukan untuk mengatur ketenangan sel
punca dan pembaharuan diri dalam sel punca hematopoietik. Secara kolektif, hasil ini
menunjukkan bahwa ROS adalah molekul pensinyalan utama yang terlibat dalam mengendalikan
banyak bagian dari siklus sel induk.
Integritas mitokondria dalam sel induk embrionik yang tidak berdiferensiasi juga
penting dalam menghindari apoptosis. Mengganggu ETC atau permeabilitas membran
menyebabkan peningkatan tingkat apoptosis mitokondriamediasi. Fragmentasi mitokondria yang
berlebihan juga menghasilkan penurunan kelangsungan hidup sel pada sel induk embrionik tikus
3.1.4 mitokondria dalam perbaikan jarigan yang dimediasi stem sel
Kehilangan fungsi sel punca spesifik-jaringan, termasuk penurunan kemampuan untuk
membedakan, atau kematian total, semuanya mengarah pada penurunan kemampuan jaringan
untuk pulih setelah tantangan homeostatis. Pemrograman ulang sel-sel induk spesifik jaringan
atau sel-sel somatik ke dalam sel-sel iPS memiliki kemampuan untuk meremajakan sel-sel ke
keadaan yang lebih muda, menyediakan jalan untuk terapi berbasis sel induk. Selama
pemrograman ulang iPS, sel menjalani penataan ulang metabolik untuk mencapai keadaan
seperti pluripotent. Morfologi mitokondria selama transisi terdiri dari mitokondria tipe tubular
dan globular. Sementara sel-sel iPS bergantung pada glikolisis, bukti menunjukkan bahwa
mereka memiliki profil ekspresi gen yang berbeda yang terlibat dalam metabolisme glukosa dan
konsumsi O2 relatif terhadap sel-sel induk pluripoten (embrionik) normal. Meskipun demikian,
sel-sel iPS menunjukkan banyak karakteristik yang terlihat dalam sel-sel ini, termasuk telomer
yang memanjang dan profil ekspresi gen kasar, tetapi seringkali menampilkan berbagai tingkat
peremajaan, bahkan di antara sel-sel dari donor yang sama. Beberapa perbedaan ini tampaknya
berasal dari proses pemrograman ulang. Satu masalah inheren dengan pemrograman ulang
adalah munculnya mutasi titik nonspesifik di mtDNA. Anehnya, tidak ada fenotipe yang telah
diidentifikasi dari mutasi ini, dan mereka tampaknya tidak mempengaruhi sel induk yang
diprogram ulang. Meskipun belum sepenuhnya ditentukan apakah usia asli dari sel induk
spesifik-jaringan yang diprogram ulang memengaruhi keparahan mutasi-mutasi ini,
restrukturisasi mitokondria menjadi keadaan seperti embrionik terbelakang yang dijelaskan di
atas tidak tergantung pada usia sel asli.
Hebatnya, sel punca memiliki metode sendiri untuk mengembalikan fungsi pernapasan
sel epitel somatik. Sel punca mesenchymal dapat menargetkan sel-sel yang memiliki disfungsi
pernapasan dan mentransfer mitokondria mereka melalui sambungan gap melalui tunneling
nanotube yang terbuat dari aktin, memulihkan fungsi mitokondria dan mengurangi produksi
ROS. Disfungsi pernapasan pada sel penerima diperlukan untuk transfer berlangsung, baik in
vivo dan in vitro. Miro1, enzim yang terlibat dalam transportasi mitokondria sepanjang
mikrotubulus, terbukti dibutuhkan untuk transfer antar sel

3.2 infeksi
Salah satu kekhawatiran yang muncul seiring bertambahnya usia adalah meningkatnya
kerentanan terhadap infeksi. Dalam penelitian di masa depan tentang perawatan defisit
imunologis, pendekatan yang berpusat pada mitokondria mungkin dilakukan. Selain memediasi
apoptosis sel yang terinfeksi, mitokondria muncul sebagai komponen penting dari respon imun
bawaan. Telah ditunjukkan bahwa ATP yang dibutuhkan untuk pensinyalan purinergik, regulasi
sel-T, dan aktivasi awal neutrofil berasal dari mitokondria. Produksi ATP dan buffer Ca2 +
mitokondria diperlukan untuk presentasi dan pemrosesan antigen, dan ROS adalah bagian dari
jalur pensinyalan yang mengaktifkan protein inflamasi. Dengan meningkatnya “super-super”
yang resistan terhadap berbagai obat, cara-cara lain untuk memerangi infeksi menjadi semakin
penting. Berdasarkan pada akumulasi bukti, mitokondria dapat menjadi target terapi yang layak.
3.2.1 infeksi bakteri dan jamur
ROS membentuk komponen integral dari jalur pensinyalan kekebalan bawaan. Satu
studi menemukan bahwa pensinyalan oleh reseptor seperti permukaan sel (TLR) menghasilkan
rekrutmen mitokondria menjadi fagosom makrofag dan merangsang produksi ROS mitokondria
dengan bantuan protein adaptor TLR TRAF6. Produksi ROS mitokondria bergantung pada
translokasi TRAF6 ke mitokondria dan ubiquitinasi ECSIT selanjutnya (perantara pensinyalan
yang dilestarikan secara evolusioner dalam jalur Toll). ECSIT adalah bagian dari perakitan I
kompleks pernapasan dan biasanya melokalisasi ke membran mitokondria bagian dalam tetapi
ada sebagian kecil yang terkait dengan membran luar. TRAF6 memicu peningkatan proporsi
ECSIT membran luar. Ketika kadar ROS mitokondria dibasahi, baik dengan ekspresi katalase
mitokondria atau dengan tidak adanya ECSIT atau TRAF6, makrofag menunjukkan akumulasi
bakteri yang menginfeksi. TRAF6 dan ECSIT karena itu penting untuk respon imun yang
dimediasi mitokondria
ROS melayani fungsi melawan infeksi lainnya juga. Manajemen konsentrasi ROS
mitokondria oleh SOD2 membantu kekebalan bawaan dengan mengatur produksi fagosit dan
memfasilitasi pembersihan bakteri. Yang penting, mitokondria ROS scavenger mitoTEMPO
dapat menggantikan kekurangan SOD2, membuka kemungkinan baru untuk pengobatan infeksi
bakteri. Sejalan dengan gagasan bahwa mitokondria dapat menjadi titik fokus yang berpengaruh
dalam upaya penelitian antibakteri di masa depan, satu kelompok telah menemukan bahwa
secara eksperimental merangsang produksi ROS di Escherichia coli meningkatkan kerentanan
bakteri terhadap antibiotik. Studi terbaru lainnya menemukan bahwa minyak atsiri Monarda
punctata, yang dikenal karena efek antibakterinya, bertindak setidaknya sebagian dengan
memicu peningkatan produksi ROS bakteri, yang menyebabkan kerusakan pada membran.
Apakah jalur ECSIT dapat dieksploitasi sebagai sarana untuk mengontrol generasi ROS
mitokondria secara farmasi untuk meningkatkan pembunuhan bakteri masih merupakan
kemungkinan terbuka
Namun, mikroorganisme mungkin telah mulai berevolusi menjadi tidak hanya
melindungi diri mereka sendiri dari respon imun inang mereka, tetapi menggunakannya untuk
keuntungan mereka. Satu strain dari jamur Cryptococcus gattii menginfeksi individu yang sehat
dengan menumbangkan pertahanan yang dimediasi ROS inang. Dalam makrofag inang, beberapa
jamur yang menginfeksi dapat mengubah mitokondria mereka sendiri menjadi konformasi
tubular sebagai respons terhadap stres oksidatif. Sel-sel ini tidak membelah sangat sering tetapi
resisten terhadap pembunuhan dan tampaknya memungkinkan sel-sel yang koinfeksi yang tidak
tubularize mitokondria mereka membelah dengan cepat.
3.2.2 infeksi virus
RNA virus dideteksi oleh reseptor pengenal pola (PRRs) seperti gen I (RIGI) yang
diinduksi asam retinoat seperti reseptor (RLR) dan TLR. Setelah diaktifkan, protein ini
berinteraksi dengan protein pensinyalan anti-viral mitokondria (MAVS), yang memasukkan
aktivasi caspase dan domain rekrutmen (CARD) ke dalam membran mitokondria luar. Hal ini
menyebabkan kaskade pensinyalan yang mengaktifkan protein dari sistem kekebalan tubuh
bawaan. Selama infeksi, ada peningkatan hubungan retikulum endoplasma dengan mitokondria,
khususnya mitokondria memanjang. Diperkirakan perpanjangan mitokondria mempromosikan
pensinyalan RLR dengan memungkinkan interaksi MAVS dengan protein ER, stimulator gen
interferon (STING). Sebagai contoh, kurangnya protein fisi mitokondria menghasilkan
perpanjangan dan peningkatan pensinyalan RLR, sedangkan fragmentasi mengurangi
pensinyalan. Namun, fisi mungkin masih penting untuk tanggapan antivirus. Sebuah studi baru-
baru ini menetapkan sumbu pensinyalan RIP1-RIP3-DRP1 di mana serin-treonin kinase RIP1
dan RIP3 membentuk kompleks sebagai respons terhadap infeksi oleh berbagai virus RNA dan
mengaktifkan DRP1. DRP1 mentranslokasi ke mitokondria dan mempromosikan aktivasi
inflamasiom NLRP3 dengan menginduksi fisi mitokondria dan produksi ROS
Jalur kematian sel mitokondria juga menunjukkan sifat anti-virus. Model baru sekarang
menunjukkan bahwa ada dua jalur di mana mediator kematian sel Bax dan Bak berpotensi
bertindak: jalur kematian sel, dan jalur resistensi virus. Dalam jalur kematian sel, permeabilisasi
membran luar mitokondria oleh Bax dan Bak menyebabkan pelepasan sitokrom c, yang
mengarah ke aktivasi apoptosome dan caspase. Secara bergantian, baru-baru ini ditemukan
bahwa pada tikus knockout caspase, permeabilisasi oleh Bax dan Bak juga dapat memicu
respons antivirus dengan membiarkan pelepasan mtDNA ke dalam sitosol untuk mengaktifkan
jalur cGAS / STING, menghasilkan produksi interferon tipe I (menghasilkan interferon tipe I).
IFNs). Jalur ini dihambat oleh caspases, meskipun tidak diketahui caranya, juga tidak diketahui
di mana sel mtDNAaktivasi dari jalur cGAS / STING yang terjadi secara in vivo
Sebagai mediator imunitas, mitokondria secara konsekuen ditargetkan oleh beberapa
virus: Protein virus influenza A PB1-F2 menginduksi disfungsi mitokondria sebagai mekanisme
yang melumpuhkan respon imun bawaan. Protein mentranslokasi melintasi membran luar,
menumpuk di ruang membran bagian dalam, dan menyebabkan penurunan potensi membran
mitokondria. Ini menghasilkan fragmentasi mitokondria, menghambat aktivasi NLRP3, dan
menginduksi apoptosis. Dengan demikian, translokasi PB1-F2 berkorelasi dengan kekebalan
bawaan yang lemah. Virus SARS juga menargetkan mitokondria. Protein yang dikodekan virus
ORF-9b melokalisasi ke mitokondria dan memicu degradasi DRP1, MAVS, TRAF3, dan
TRAF6, sehingga menghindari respons imun inang. Ada juga bukti bahwa hepatitis C
mempengaruhi mitokondria dengan menekan mitofag, memicu fisi mitokondria, dan mencegah
apoptosis
Mitokondria tidak hanya ditargetkan untuk diserang oleh virus penyerang, tetapi
mereka juga berkontribusi terhadap virulensi. Misalnya, mitokondria adalah perangkat utama
dalam infeksi HIV-1. Ketika sel T yang terinfeksi HIV-1 melakukan kontak dengan sel yang
tidak terinfeksi, mitokondria secara aktif direkrut oleh sel yang terinfeksi ke lokasi kontak sel-sel
dan buffer mitokondria Ca2 + intraseluler ini, sinyal penting untuk proses infeksi. Mungkin yang
paling penting, ditemukan bahwa mengganggu re-lokalisasi mitokondria dengan menghambat
perdagangan mitokondria dan dinamika Ca2 + mengganggu penyebaran virus di sinaps virologi
4. cara-cara baru dimana gangguan mitokondria menghasilkan masalah yang
diperburuk
4.1 covalent modification
Modifikasi pasca-translasi mewakili satu cara di mana sel merespons lingkungan yang
selalu berubah. Lansekap epigenetik berubah seiring bertambahnya usia, dan gangguan dinamika
epigenetik dapat berujung pada penyakit metabolik. Dalam mitokondria, kami baru saja mulai
mengungkap perubahan pasca-sintetis yang menentukan DNA organel ini, RNA dan lanskap
protein. Sudah, gangguan pada proses ini telah dikaitkan dengan penyakit. Ada sejumlah besar
asetilasi, suksinilasi, dan malonasi protein mitokondria (Tabel 1). Modifikasi kovalen seperti ini
diatur oleh aktivitas sirtuins. Sirtuins telah muncul sebagai gen anti-penuaan, menyediakan
hubungan antara penuaan dan metabolisme dengan mitokondria sebagai titik fokus. Ada tiga
sirtuin yang aktif dalam mitokondria: SIRT3, SIRT4, dan SIRT5. SIRT3 mendeasetilasi banyak
enzim utama yang terlibat dalam metabolisme lipid dan siklus TCA, SIRT4 adalah lipoamidase
yang bekerja pada piruvat dehidrogenase, dan SIRT5 memiliki demalonylase, desuccinylase, dan
aktivitas deglutarylase dalam mitokondria
4.1.1 Sirtuins
Penelitian di bidang ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan dalam regulasi
modifikasi pasca-translasi pada mitokondria mungkin merupakan faktor penting pada kanker.
Tingkat ekspresi SIRT3 dan SIRT4 yang lebih rendah terjadi pada beberapa kanker, dan ekspresi
berlebih dari SIRT3 telah ditemukan pada kanker lain. Satu petunjuk tentang bagaimana
diferensial ekspresi SIRT3 diberikan efek ini dapat terletak pada regulasi SOD2, kompleks
pernapasan I, dan kompleks III dan karenanya konsentrasi ROS dan homeostasis energi. Selain
itu, hiperasetilasi dalam mitokondria adalah karakteristik lain dari kanker serta hipertrofi jantung
Aktivitas lisin deasetilase abnormal dalam mitokondria telah dikaitkan dengan
neurodegenerasi juga. Asetilasi penting untuk memodulasi morfologi mitokondria, biogenesis,
perdagangan, dan mitofag, yang semuanya dipengaruhi oleh penyakit neurodegeneratif. Dalam
knockout PINK1 dan model tikus mutan ganda mutan α-syn dari PD, terdapat peningkatan
deasetilasi protein matriks mitokondria di otak. Karena perubahan dalam asetilasi ini mendahului
mitofag dan kehilangan neuron, perkembangan antibodi untuk mendeteksi perubahan tersebut
dapat menjadi alat yang berguna untuk mendiagnosis PD sejak dini. SIRT3 telah terbukti
memiliki sifat neuroprotektif pada DA, menjaga terhadap banyak efek buruk dari ROS.
Gangguan modifikasi pasca-translasi oleh SIRT3 tampaknya berkontribusi terhadap
berbagai penyakit yang berkaitan dengan usia yang tersebar luas. Tingkat SIRT3 diketahui
menurun dengan bertambahnya usia. Hilangnya SIRT3 pada tikus menyebabkan banyak penanda
disfungsi mitokondria, dan tikus-tikus ini lebih rentan mengembangkan patologi terkait usia
setelah dirawat dengan faktor stres. Di antara patologi ini adalah hipertrofi jantung,
karsinogenesis, hati berlemak, perlemakan hati yang disebabkan oleh radiasi. , dan gangguan
pendengaran terkait usia. Baru-baru ini ditemukan bahwa penurunan ekspresi SIRT3 juga
berkontribusi terhadap disfungsi sistem pendengaran pusat dengan menyebabkan akumulasi
ROS. Selain itu, kemampuan untuk pulih dari cedera iskemia - reperfusi berkurang dalam sel
yang terkuras SIRT3 [189]. Sel-sel ini juga menunjukkan tingkat konsumsi oksigen yang rendah,
dan penurunan aktivitas I dan SOD2 yang kompleks
Manipulasi ekspresi sirtuin merupakan pilihan terapi yang menarik. Studi awal
menunjukkan bahwa senyawa yang meningkatkan regulasi sirtuins memiliki efek positif pada
kondisi metabolik, neurodegeneratif, kardiovaskular, dan kanker. Namun, sejauh ini hanya
sejumlah terbatas senyawa yang meningkatkan sirtuins telah diidentifikasi dan yang ada
memiliki efektivitas terbatas
4.1.2 The TCA cycle and covalent modification
Di luar sirtuin, ada cara lain di mana mitokondria dan perubahan epigenetik saling
berhubungan. Siklus TCA menengah α-ketoglutarate, succinate, dan fumarate mengerahkan
fungsi pengaturan pada demethylases. α-ketoglutarate adalah co-substrat dari kelas 2-
oxoglutarate Fe-dioxygenase (2 -OGDO) enzim yang demethylate DNA dan histones, sementara
succinate dan fumarate bertindak sebagai inhibitor. Telah ditunjukkan bahwa kehilangan mutasi
fungsi, atau penghambatan kimia, dari dehidrogenase suksinat dan fumarat hidratase,
memperburuk perkembangan kanker akibat akumulasi yang dihasilkan dari suksinat dan fumarat,
yang menyebabkan perubahan dalam metilasi histone. Juga telah ditemukan bahwa terdapat
hipermetilasi residu sitosin dalam otak AD. Mengingat bahwa priming untuk demetilasi sitosin
dikendalikan oleh enzim dari keluarga 2-OGDO yang dikenal sebagai TET, ini mungkin
mencerminkan cara lain di mana disfungsi mitokondria berkontribusi terhadap perkembangan
AD. Enzim TCA disfungsional juga terlibat dalam kanker karena kaitannya dengan aktivasi
TET. Secara khusus, mutasi pada dehydrogenase isocitrate dan succinate dehydrogenase
menghasilkan metilasi DNA yang tidak tepat dan dapat meningkatkan tumorigenesis. Sitrat
adalah metabolit mitokondria penting lainnya. Aktivasinya ATP-sitrat lyase (ACLY)
menghasilkan peningkatan kadar asetil-KoA yang, pada gilirannya, menyebabkan asetilasi histon
dan dengan demikian perubahan dalam ekspresi gen. Sebuah studi baru-baru ini telah
menemukan bahwa ACLY knockdown memicu penuaan seluler dan aktivasi p53 penekan tumor.
Pemeliharaan metabolit dan enzim mitokondria dan perannya dalam modifikasi kovalen dapat
menjadi salah satu aspek dari perawatan kanker yang perlu diselidiki lebih lanjut.
5.kesimpulan
Mitokondria telah muncul sebagai konstituen fokus dari berbagai patologi terkait
penuaan. Tema berulang dalam banyak penyakit adalah disfungsi mitokondria, terutama dalam
bentuk mutasi mtDNA dan inefisiensi ETC yang memberi jalan pada hilangnya produksi energi
dan pembentukan ROS yang berlebihan. Hasil dari kekurangan tersebut adalah patologi yang
berbeda, tergantung pada jenis sel yang terpengaruh. Hubungan yang tepat antara disfungsi
mitokondria dan penuaan belum sepenuhnya dijelaskan, tetapi memahami hubungan ini pasti
menjadi langkah penting menuju pengembangan metode pencegahan dan pengobatan yang lebih
baik dari banyak penyakit yang membayangi populasi kita yang semakin menua.

Anda mungkin juga menyukai