Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

ESOFAGITIS KOROSIF

Pembimbing:

dr. Yosita Rachman, Sp.THT-KL


dr. Chippy Ahwil, Sp.THT-KL (K)
dr. Yohanis Yan Runtung, Sp.THT-KL
dr. Esyandi Mustafa, Sp.THT-KL
dr. Farisa Rizky, Sp.THT-KL
dr. Razki, Sp.THT-KL
dr. Harun, Sp.THT-KL

Disusun oleh :

Anindya Anjas Putriavi 1102014027


Esti Puji Lestari Wigatiningrum 1102014087
Muhammad Fikri Satria Kamal 1102014162
Rayyan Fitriasa 1102014223
Dyas Modesty 1102013090

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 11 NOVEMBER – 13 DESEMBER 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir
zaman. Karena atas rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat ini
dengan judul “Esofagitis Korosif” sebagai salah satu persyaratan melengkapi
tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit THT.

Atas bantuan yang telah diberikan, baik moril maupun materil, maka
selanjutnya penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
yang tulus kepada para dokter yang membimbing di Departemen ilmu kesehatan
THT Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto, para perawat yang
bertugas di Departemen Ilmu kesehatan THT Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I
Raden Said Sukanto, dan teman-teman yang telah bekerja sama dengan baik selama
menjalani kepaniteraan ini.

Dalam penulisan referat ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari
segi isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun untuk memperbaiki presentasi kasus ini. Penulis
berharap referat ini dapat membawa manfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT
senantiasa membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Aamiin
ya rabbal’alamin.

Wassalammualaikum Wr. Wb.

Jakarta, Desember 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2

DAFTAR ISI ..........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................6


2.1 Anatomi Esofagus ........................................................................................6
2.2 Fisiologi Esofagus .........................................................................................9
2.3 Definisi Esofagitis Erosif ...........................................................................11
2.4 Etiologi Esofagitis Korosif.........................................................................11
2.4 Patofisiologi Esofagitis Korosif .................................................................12
2.5 Manifestasi Klinis Esofagitis Korosif .......................................................14
2.6 Diagnosis Esofagitis Korosif .....................................................................16
2.7 Diagnosis Banding......................................................................................19
2.8 Penatalaksanaan Esofagitis Korosif 9 ......................................................19
2.9 Komplikasi ..................................................................................................22
2.10 Prognosis ...................................................................................................23

BAB III KESIMPULAN .....................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN

Esofagus adalah organ yang menghubungkan faring dengan gaster dan


berfungsi menghantarkan bolus makanan dan atau cairan ke gaster. Esofagitis
korosif merupakan peradangan pada esofagus karena tertelannya zat korosif seperti
asam kuat dan basa kuat.1
Sebanyak 70% dari kasus esofagitis korosif disebabkan oleh basa kuat, 20
% oleh asam kuat karena sifat dari basa kuat yang tidak berasa di lidah, sedangkan
asam mempunyai rasa yang pahit dan menyebabkan lidah rasa terbakar. Hasil
statistik di Amerika Serikat menunjukkan bahwa terdapat 5.000 sampai 10.000
kasus tertelan zat-zat kaustik pertahun, baik disebabkan asam kuat, basa kuat
maupun zat korosif lainnya. Sekitar 80% kasus ini terjadi pada anak-anak, dan 50%
di antaranya terjadi pada anak usia kurang dari 4 tahun. Kasus ini juga terjadi pada
orang dewasa yang mencoba bunuh diri dengan cara meminum zat – zat korosif dan
biasanya tingkat kerusakan yang ditimbulkan lebih serius karena adanya unsur
kesengajaan, jumlah zat yang masuk lebih banyak dan jenisnya lebih berbahaya.2,3,4
Tertelannya bahan asam mencederai jaringan akibat nekrosis koagulasi yang
menyebabkan pengeringan atau denaturasi protein jaringan sehingga terbentuk
krusta atau eschar yang melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan lebih
lanjut. Sedangkan tertelannya bahan basa menyebabkan cedera jaringan akibat
nekrosis likuifaksi sehingga menyebabkan edema dan kontraktur jaringan.5
Kerusakan akibat basa kuat pada esofagus lebih berat dibandingkan akibat
asam kuat, namun bergantung juga pada jenis, jumlah, konsentrasi dan durasi
kontak dengan bahan tersebut. Organ yang paling parah akibatnya dari kontak
dengan zat korosif adalah esofagus dan gaster karena zat korosif menetap lebih
lama pada organ tersebut.6
Esofagitis korosif mempunyai keluhan gejala atau timbulnya manifestasi
klinis sangat tergantung pada jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat
korosif, lama kontaknya dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak dan
dimuntahkan atau tidak. Akibatnya esofagitis korosif ini bisa menimbulkan
beberapa keadaan, seperti pada fase akut, fase laten dan fase kronis. Pada fase akut,

4
esofagitis akut mudah dikenali karena berlansung cepat dan biasanya penyebabnya
lebih mudah dikenali. Sedangkan pada fase laten dan fase kronis yang
membutuhkan waktu yang lebih lama juga lebih sulit dikenali dan biasanya sudah
menimbulkan komplikasi. Akibatnya penanganan esofagitis korosif pada fase laten
dan kronis juga lebih sulit.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan lapisan otot yang berbentuk seperti tabung yang


memanjang, mulai dari vertebra servikal 6 sampai torakal 11, atau dari hipofaring
sampai ke lambung, dengan panjang kurang lebih 23 sampai 25 cm. Dalam keadaan
normal, lumen esofagus kolaps dan berbentuk pipih. Secara umum esofagus dapat
dibagi dalam 3 lokasi anatomi yaitu: 1,7
1. Esofagus pars cervicalis (5-8 cm)
Pada daerah leher esofagus berada pada garis tengah leher, di belakang laring
dan trakea.
2. Esofagus pars torakalis (16 cm)
Bagian esofagus mulai dari belakang percabangan trakea, bronkus kiri, lalu ke
belakang atrium kiri hingga menuju rongga abdomen.
3. Esofagus pars abdominalis (1-4 cm)
Bagian esofagus yang masuk ke rongga abdomen melalui hiatus esofagus pada
diafragma, berada pada permukaan posterior lobus kiri hati dan bermuara pada
cardia gaster.

Gambar 1. Letak dan Anatomi Esofagus7


(Sumber: Sobotta: Atlas Anatomi Manusia, 2018)

6
Dalam proses menghantarkan bolus makanan ke lambung, terdapat tiga
penyempitan pada esofagus yaitu:7
1. Penyempitan servikal (Pharyngo-oesophageal constriction)
Penyempitan di pintu masuk esofagus pada m. cricopharyngeus setinggi vertebra
servikal 6. Penyempitan ini merupakan bagian esofagus dengan lumen terkecil.
2. Penyempitan torakal (Aortobronchial constriction)
Penyempitan esofagus pars torakal pada arcus aorta yang berjalan naik dari
belakang esofagus ke depan trakea setinggi vertebra torakal 4.
3. Penyempitan diafragma (Diaphragmatic constriction)
Penyempitan pada hiatus esofagus setinggi vertebra torakal 10.

Gambar 2. Penyempitan Esofagus7


(Sumber: Sobotta: Atlas Anatomi Manusia, 2018)

Secara histologi esofagus memiliki empat lapisan sedangkan esofagus pars


abdominalis juga dilapisi oleh peritoneum visceral. Lapisan esofagus dari luar ke
dalam yaitu:
1. Mukosa yang dilapisi epitel berlapis gepeng.
2. Submukosa yang menghubungkan mukosa dengan lapisan otot

7
3. Lapisan otot yang terdiri dari lapisan otot sirkuler dan pada lapisan otot
longitudinal. Lapisan otot pada bagian sepertiga atas dari esofagus merupakan
lapisan otot lurik, sedangkan dua pertiga bawah adalah lapisan otot polos.
4. Lapisan fibrosa sebagai pembungkus esofagus.7

Gambar 3. Lapisan Esofagus Secara Mikroskopik7


(Sumber: Sobotta: Atlas Anatomi Manusia, 2018)

Vaskularisasi dan Aliran Limfatik


Esofagus tidak memiliki arteri khusus sehingga perdarahannya berasal dari organ
sekitar esofagus.
1. Pars cervicalis: a. thyroidea inferior dan v. thyroidea inferior, aliran limfenya
adalah kelenjar limfe paraesofagus servikal dan jugularis inferior.
2. Pars torakalis: cabang-cabang dari aorta sepanjang esofagus pars torakalis dan
mengalir ke v. azygos dan v. hemiazygos yang langsung menuju v. cava superior
sedangkan aliran limfenya terdiri dari kelenjar limfe mediastinum superior,
parabronkial, hilus dan paraesofagus.
3. Pars abdominalis: a. gastrica sinisra dan a. phrenica inferior dan mengalir ke v.
gastrica sinistra yang menuju sistem vena porta, aliran limfenya terdiri dari
kelenjar limfe gaster kiri, retrokardia, dan celiaca.7

8
Persarafan
Persarafan esofagus berasal dari nevus vagus (parasimpatis) dan ganglion simpatis,
esofagus bagian servikal disarafi oleh nervus laringeus rekuren, di bagian torakal
nervus vagus membentuk pleksus esofagial kemudian bercabang 2 membentuk
bagian kiri depan dan kanan belakang.7

2.2 Fisiologi Esofagus

Aktivitas yang terkoordinasi dari sfingter esofagus atas (upper esophageal


sphingter), badan esofagus, dan sfingter esofagus bawah (lower esophageal
sphingter) penting untuk fungsi motorik esofagus dalam mengantarkan bolus
makanan masuk ke lambung.
1. Sfingter esofagus atas
Sfingter esofagus bagian atas dibentuk oleh m. krikofaringeus bersama dengan
m. konstriktor inferior faring dan serat-serat dinding esofagus. Bagian ini
dipersarafi langsung oleh saraf motorik dari otak. Dalam keadaan istirahat,
sfingter esofagus atas tetap dalam keadaan berkontraksi dengan tekanan 60-100
mmHg untuk mencegah masuknya udara dari faring ke esofagus dan mencegah
terjadinya refluks dari esofagus ke faring. Pada saat menelan, bolus makanan
didorong oleh lidah masuk ke faring, terjadi relaksasi otot sfingter atas, setelah
makanan lewat otot ini kembali pada keadaan normal.
2. Badan esofagus
Setelah makanan melewati otot sfingter atas, badan esofagus berkontraksi mulai
dari bagian paling atas dengan kecepatan 3-4 cm/detik dan tekanan kontraksi 60-
140 mmHg dan semakin kuat di bagian bawah.
3. Sfingter esofagus bawah
Panjang sfingter esofagus bawah sekitar 3-4 cm dengan tekanan kontraksi pada
saat istirahat adalah 15-24 mmHg untuk mencegah refluks makanan. Pada saat
menelan, otot sfingter ini relaksasi sekitar 5-10 detik agar makanan bisa masuk
ke dalam lambung.8

Dalam melakukan fungsi untuk menghantarkan bolus makanan ke lambung,


esofagus ikut berperan dalam proses menelan dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu:

9
1. Fase Oral
Makanan yang dikunyah dan bercampur liur pada mulut akan membentuk
bolus dan terjadi perpindahan bolus makanan dari mulut ke faring secara sadar
akibat kontraksi otot intrinsik lidah. Kontraksi m. levator velli palatini
mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah meluas, palatum molle
terangkat dan bagian atas di dinding posterior faring juga akan terangkat
(passavant’s Ridge) dan lidah terangkat ke atas untuk mendorong bolus ke
posterior. Secara bersamaan, terjadi penutupan nasofaring akibat kontraksi m.
levator velli palatini dan kontraksi m. palatoglossus menyebabkan isthmus
faucium tertutup diikuti kontraksi m. palatopharyngeus sehingga bolus makanan
tidak berbalik ke rongga mulut.1

2. Fase Faringal
Pada fase ini terjadi perpindahan bolus makanan dan atau cairan dari faring
ke esofagus yang secara refleks dan berlangsung singkat selama 1-2 detik. Pada
akhir fase oral, faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi m. stilofaring,
m. salfingofaring, m. tirohioid dan m. palatofaring diikuti tertutupnya aditus
laring oleh epiglotis. Hal ini menyebabkan terhentinya aliran udara ke laring
karena refleks yang menghambat pernafasan, sehingga bolus makanan tidak
akan masuk ke dalam saluran pernafasan dan meluncur ke arah esofagus karena
valekula dan sinus piriformis dalam posisi lurus.1

3. Fase Esofagal
Merupakan perpindahan bolus makanan di esofagus hingga masuk ke
gaster, dengan gerakan peristaltik esofagus yang berlangsung sekitar 5-10 detik.
Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup, namun dengan adanya
rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringal maka terjadi relaksasi m.
krikofaring yang menyebabkan introitus esofagus terbuka dan lumen esofagus
melebar sehingga bolus makanan dapat masuk ke dalam esofagus.
Saat bolus makanan sudah berada di lumen esofagus, sfingter esofagus
akan berkontraksi lebih kuat melebihi tonus introitus esofagus pada waktu
istirahat sehingga makanan tidak akan kembali ke faring. Gerak bolus di

10
esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh kontraksi m. konstriktor faring
inferior pada akhir fase faringal dan didorong ke distal oleh gerakan peristaltik
esofagus.
Sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup saat relaksasi dengan
tekanan 8 mmHg, lebih dari tekanan di dalam lambung untuk mencegah
regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofagal, sfingter ini akan terbuka secara
refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus
makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini
akan menutup kembali.1

2.3 Definisi Esofagitis Erosif

Esofagitis korosif adalah peradangan esofagus yang disebabkan oleh luka


bakar karena zat kimia yang bersifat korosif, misalnya asam kuat, basa kuat dan zat
organik. Zat kimia yang tertelan dapat bersifat toksik atau korosif. Zat kimia yang
bersifat korosif akan menimbulkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya,
sedangkan zat kimia yang bersifat toksik hanya menimbulkan gejala keracunan bila
telah diserap oleh darah.1

2.4 Etiologi Esofagitis Korosif

Agen korosif yang dapat mengakibatkan gangguan pada mukosa esofagus


atau saluran pencernaan lain berupa asam kuat atau basa kuat. Jenis zat korosif yang
bersifat basa yang paling sering menyebabkan esofagitis korosif berupa pemutih,
sabun pencuci piring, pembersih toilet, dan detergen. Sedangkan zat kosoif yang
bersifat asam rata rata adalah, senyawa anti karat, pembersih kolam renang, cuka,
dan asam format. Dalam laporan AAPCC tahun 2008 memberikan gambaran
perbedaan jenis zat yang sering menyebabkan esofagitis korosif di tiap negara.9

Sebab terjadinya ingesti dari zat-zat korosif ini berbeda berdasarkan kriteria
umur. Pada pasien anak di bawah 5 tahun, biasanya kontak terjadi secara tidak
sengaja; Namun, pada remaja dan dewasa, sebagian besar disengaja dengan tujuan
melakukan bunuh diri. Meskipun banyak jenis zat menyebabkan cedera kaustik,
agen yang paling umum adalah zat basa yang kuat seperti natrium hidroksida

11
(NaOH) atau kalium hidroksida (KOH), yang biasanya mencakup disinfektan yang
digunakan di rumah seperti sudah disebutkan diatas. Zat yang sangat asam, seperti
asam hidroklorat, asam sulfat, dan asam fosfat, yang sering digunakan untuk
menghilangkan karat di kamar mandi atau kolam renang dan dapat dimasukkan ke
dalam aki mobil, bisa menjadi penyebab esofagitis korosif. Bahan-bahan asam ini
lebih jarang digunakan daripada zat alkali sebagai alat untuk bunuh diri karena
dapat menyebabkan rasa sakit yang hebat.10

Di Korea, konsumsi zat alkali lebih umum di masa lalu; Namun untuk saat
ini, konsumsi bahan justru lebih sering. Hal ini diperkirakan meningkat oleh
turunnya jumlah penggunaan alkali karena pengembangan deterjen sintetis, dan
pada saat yang sama, peningkatan relatif dalam penggunaan asam asetat, yang dapat
dibeli dengan mudah. 10

Zat lain yang dilaporkan menyebabkan kasus esofagitis korosif adalah


picosulfate. Picosulfate merupakan pencahar yang banyak digunakan untuk
mempersiapkan operasi kolonoskopi. Pencahar ini dapat menyebabkan efek
samping termasuk sakit perut, diare persisten, atau ketidak seimbangan elektrolit.
Namun, pikosulfat masih dianggap relatif aman, karena komplikasi ini hanya terjadi
pada kasus yang jarang. Secara umum, direkomendasikan bahwa bubuk picosulfate
harus sepenuhnya dilarutkan dalam air dan didinginkan sebelum diminum karena
reaksi eksotermik dapat terjadi segera setelah zat tersebut bersentuhan dengan air,
yang dapat mengakibatkan chemical burn pada kerongkongan dan perut.11

2.4 Patofisiologi Esofagitis Korosif

Zat dengan tingkat pH (kurang dari 2 atau lebih besar dari 12) sangat korosif
dan dapat menyebabkan cedera parah serta membakar pada saluran pencernaan
bagian atas. Lokasi yang paling parah terkena adalah di kerongkongan dan perut
karena bahan korosif sering menempel pada mukosa di daerah ini untuk jangka
waktu yang lebih lama. Namun, cedera juga dapat terjadi di setiap area yang
bersentuhan dengan agen kaustik seperti mukosa mulut, area faring, saluran udara
bagian atas, dan duodenum.9

12
Asam dan agen alkali memiliki karakteristik yang berbeda dalam
bagaimana zat tersebut menyebabkan kerusakan pada jaringan. Zat basa biasanya
tidak berwarna, relatif tidak berasa, kental, dan memiliki bau yang kurang pekat.
Oleh karena itu, jumlah yang tertelan cenderung lebih banyak. Setelah dicerna, zat
alkali bereaksi dengan protein dan lemak dan diubah menjadi proteinase dan sabun,
menghasilkan nekrosis cair. Hal ini menyebabkan penetrasi yang lebih dalam ke
jaringan dengan kemungkinan cedera trans ural yang lebih besar. 9

Sedangkan zat asam, memiliki bau menyengat dan rasa tidak enak. Zat ini
cenderung dikonsumsi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditelan dengan cepat
setelah konsumsi. Setelah bereaksi dengan protein jaringan, zat ini dikonversi
menjadi protein asam. Bentuk cedera jaringan adalah koagulasi nekrosis. Koagulasi
yang terjadi mencegah agen korosif menyebar secara transmural, sehingga
mengurangi insiden cedera penuh.9

Cidera mukosa dimulai dalam beberapa menit setelah masuknya zat korosif.
Hal ini ditandai dengan nekrosis dan kongesti hemoragik sekunder akibat
pembentukan trombosis di pembuluh kecil. Kejadian-kejadian ini berlanjut dalam
beberapa hari berikutnya sampai kira-kira 4 sampai 7 hari kemudian ketika
peluruhan mukosa, invasi bakteri, jaringan granulasi dan deposisi kolagen terjadi.
Proses penyembuhan biasanya dimulai tiga minggu setelah konsumsi. Jika ulserasi
melampaui lapisan muskularis, akan terjadi peningkatan risiko perforasi. 9 Oleh
karena itu, endoskopi antara hari ke 5 dan 15 setelah konsumsi zat perlu dihindari.
Pada minggu ke-3, pelepasan jaringan nekrosis terjadi dan dapat berlanjut selama
beberapa bulan sampai pembentukan striktur terjadi. Tekanan sfingter esofagus
yang lebih rendah juga terlibat dalam proses yang menyebabkan peningkatan
frekuensi dan keparahan refluks asam yang semakin memperburuk cedera mukosa
yang ada dan mempercepat pembentukan striktur. 9

Tingkat keparahan cedera tergantung pada beberapa aspek: konsentrasi zat,


jumlah yang tertelan, panjang kontak jaringan, dan pH agen. Bahan padat dengan
mudah menempel pada mulut dan faring, menyebabkan kerusakan lebih buruk pada
daerah ini. Cairan, di sisi lain, melewati mulut dan faring dengan cepat
menyebabkan kerusakan pada esofagus dan lambung yang cendrung lebih ringan. 9

13
2.5 Manifestasi Klinis Esofagitis Korosif

Keluhan dan gejalaa yang timbul akibat tertelan zat korosif tergantung pada
jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat korosif, lamanya kontak dengan
dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak dan dimuntahkan atau tidak. 1
Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif
dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase akut, fase laten dan fase kronik.
1. Fase akut
Keadaan ini berlangsung selama 1-3 hari, pada anamnesa ditemukan
dispnea, disfagia, rasa nyeri dan terbakar pada rongga mulut, odinofagia,
nyeri dada dan perut, mual dan muntah, dan hematemesis. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
a. Luka bakar pada daerah mulut, bibir, dan faring yang kadang-kadang
disertai perdarahan.
b. Tanda-tanda akan terjadinya obstruksi jalan nafas seperti : stidor,
suara serak, disfoni atau afonia, takipnu, hiperpnu, batuk.
c. Tanda-tanda lain seperti demam, drooling, adanya membran putih
pada palatum, udem laring, spasme laring, tanda-tanda peritonitis.

2. Fase laten
Berlangsung selama 2-6 minggu, pada fase ini keluhan pasien berkurang,
suhu badan menurun, pasien merasa telah sembuh, sudah dapat menelan
dengan baik, akan tetapi sebenarnya proses masih berjalan dengan
membentuk jaringan parut (sikatriks).

3. Fase kronis
Setelah 1-3 tahun akan terjadi disfagia lagi oleh karena telah terbentuk
jaringan parut, sehingga terjadi striktur esofagus. Gejala lain yang bisa
timbul adalah fistula, hipomotilitas saluran cerna, dan peningkatan resiko
kanker saluran cerna.
Hal-hal lain yang menjadi masalah penting dan perlu diperhatikan pada kasus
esofagitis korosif antara lain :

14
a. Akibat dari udem, perdarahan, dan pembentukan jaringan nekrosis dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas atas, oleh karena itu perlu
dijaga agar jalan nafas tetap baik.
b. Perforasi tidak hanya mengenai esofagus, tetapi dapat juga mengenai
lambung, usus, saluran pernafasan, dan pembuluh darah.
c. Kehilangan cairan dari muntah, adanya rongga ketiga (third space), dan
perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan terjadinya syok dan
hipovolemia.
d. Pada kasus tertelan asam kuat yang cukup banyak dapat menyebabkan
terjandinya asidosis metabolik, hemolisis, gagal ginjal akut dan kegagalan
fungsi multiorgan.
e. Walaupun pasien dapat selamat dari fase akut, namun pada fase kronis
dapat terjadi fistula, hipomotilitas saluran cerna, dan kanker saluran cerna.

Esofagitis korosfi dapat dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan beratnya


luka bakar yang ditemukan, yaitu: 1
1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi
Pasien mengalami gangguan menelan ringan. Pada esofagoskopi tampak
mukosa hiperemis tanpa ulserasi.
2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan
Pasien mengeluh disfagia ringan, pada esofagoskopi tampak ulkus yang
tidak dalam, terbatas pada lapisan mukosa saja.
3. Esofagitis korosif ulseratif sedang
Ulkus sudah mengenai lapisan otot, biasanya ditemukan satu ulkus atau
multipel.
4. Esofagitis korosif ulserasi berat tanpa komplikasi
Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya dalam, dan
telah mengenai seluruh lapisan esofagus. Keadaan ini jika dibiarkan akan
menimbulkan striktur esofagus.
5. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi

15
Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan
peritonitis. Kadang-kadang ditemui tanda-tanda obstruksi saluran
pernafasan atas dan gangguan keseimbangan asam basa.

2.6 Diagnosis Esofagitis Korosif

1. Anamnesis
Anamnesis ditegakkan berdasarkan dengan adanya riwayat tertelan zat korosif atau
zat organik. Keluhan utama pada pasien yaitu rasa terbakar pada daerah
kerongkongan, rasa nyeri yang hebat, serta dapat juga mengeluh sulit untuk
menelan.

2. Pemeriksaan Fisik
Selain penegakan diagnosis dari autoanamnesis atau alloanamnesis, diperlukan
juga bukti-bukti yang diperoleh dari tempat kejadian. Masuknya zat korosif melalui
mulut dapat diketahui dengan bau mulut ataupun muntahan. Adanya luka bakar
berwarna keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan dagu
menunjukkan akibat dari bahan korosif baik yang bersifat asam kuat maupun basa
kuat. Perbedaaan dampak luka bakar tersebut yaitu nekrosis koagulatif akibat
paparan asam kuat, sedangkan basa kuat mengakibatkan nekrosis likuifaktif.
Kerusakan korosif akibat alkali (basa) kuat pada esofagus lebih berat dibandingkan
dengan yang diakibatkan oleh asam kuat. Kerusakan terbesar terjadi bila PH > 12,
akan tetapi hal tersebut juga bergantung dengan konsentrasi bahan yang
terkandung.

3. Pemeriksaan penunjang
Untuk menegakkan diagnosis, selain berdasarkan hasil anamnesis serta gambaran
keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan pemeriksaan
penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium, radiologi, ataupun esofagoskopi.

a. Pemeriksaan laboratorium
Peran pemeriksaan laboratorium sangat sedikit dalam menegakan diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan bila terdapat tanda-tanda gangguan elektrolit.
Beberapa pemeriksaaan yang dapat dilakukan yaitu, pemeriksaan darah lengkap,
elektrolit, fungsi hati, ureum dan kreatinin untuk melihat tanda-tanda keracunan

16
sistemik. Pemeriksaan jumlah urin dan urinalisis juga dapat dilakukan untuk
membantu menjaga keseimbangan cairan.

b. Pemeriksaan radiologi
1. Foto toraks dan abdomen
Pada fase akut, foto polos dengan posisi lateral dan postero-anterior dapat
memperlihatkan adanya perforasi seperti udara pada mediastinum, pneumotoraks,
cairan pada pleura, atau gambaran udara bebas di bawah diafragma. Pemeriksaan
rontgen esofagus dengan kontras barium atau esofagogram juga dapat membantu
melihat adanya striktur maupun perforasi. Adanya striktur esofagus biasanya
digambarkan dengan lumen yang menyempit, tepi yang tidak rata ataupun dapat
juga tampak rata, tampak kaku, dan pada umumnya terjadi pada bagian dekat
dengan arkus aorta.

Gambar 4. Gambaran dengan esofagogram

Stenosis esofagus Mukosa esofagus yang hancur

17
2. CT-Scan
Pemeriksaan dengan CT-Scan lebih sensitif dan lebih dini dalam mendeteksi
adanya perforasi, striktur serta kemungkinan adanya kelainan pada organ lain
sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan lebih cepat.

3. Pemeriksaan endoskopi dengan esofagoskopi.


Pemeriksaan esofagoskopi dilakukan pada hari ketiga setelah kejadian atau jika
luka pada bibir, mulut, dan faring sudah tenang. Pada esofagoskopi akan tampak
mukosa yang hiperemis, edema dan kadang-kadang ditemukan ulkus. Esofagoskopi
sendiri dapat membantu mendiagnosis dan membuat perencanaan pengobatan
sesuai dengan patologi yang ada. Jika pada waktu melakukan esofagoskopi
ditemukan ulkus, maka esofagoskopi tidak boleh dipaksa melalui ulkus tersebut
karena ditakutkan terjadi perforasi. Esofagoskopi juga tidak boleh dilakukan pada
pasien dengan tanda-tanda perforasi saluran cerna yang jelas, udem atau nekrosis
saluran nafas yang hebat, dan pasien dengan hemodinamik tidak stabil, dengan
alasan meningkatkan risiko terjadinya cedera yang lebih parah. Berikut derajat
esofagitis korosif yang dilihat dari esofagoskopi :

Tabel 1. Derajat esofagitis korosif yang dilihat dengan esofagoskopi

Derajat Klinis

I Hiperemia mukosa dan edema

II Perdarahan terbatas, eksudat, ulserasi dan pseudomembran

III Pengelupasan mukosa, ulkus dalam dan perdarahan masif, obstruksi


lumen

18
Gambar 5. Gambaran esofagoskopi

Mukosa esofagus setelah tertelan asam Mukosan esofagus setelah tertelan basa
(terjadi trombosis pembuluh darah kuat
2.7 Diagnosis Banding

a. GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease)


Refluks Gastro Esofagus (RGE) didefinisikan sebagai aliran retrograde isi lambung
ke dalam esofagus. Gejala tipikal atau klasik pada orang dewasa yaitu, rasa panas
di dada yang dapat terjadi setelah makan (postprandial heart burn), didefinisikan
sebagai rasa panas substernal di bawah tulang dada, rasa terbakar atau panas yang
menjalar ke atas sampai tenggorok atau mulut 1-2 jam setelah makan atau setelah
mengangkat beban yang berat atau posisi bungkuk.

2.8 Penatalaksanaan Esofagitis Korosif 9

Tujuan pemberian terapi pada esofagitis korosif adalah untuk mencegah


pembentukan striktur. Terapi esofagitis korosif dibedakan antara tertelan zat
korosif dan zat organik. Terapi esofagitis korosif akibat tertelan zat korosif
dibagi dalam fase akut dan fase kronis. Pada fase akut dilakukan perawatan
umum dan terapi khusus berupa terapi medik dan esofagoskopi. 9

Perawatan umum
Perawatan umum dilakukan dengan cara memperbaiki keadaan umum
pasien, menjaga keseimbangan elektrolit, serta menjaga jalan nafas. Jika
terdapat gangguan keseimbangan elektrolit diberikan infuse aminofusin 600 2
botol, glukosa 10% 2 botol, NaCl 0,9 % + KCl 5 meq/liter 1 botol.

19
Untuk melindungi selaput lendir esofagus bila muntah dapat diberikan
susu atau putih telur. Jika zat korosif yang tertelan diketahui jenisnya dan terjadi
sebelum 6 jam, dapat dilakukan netralisasi (bila zat korosif basa kuat diberi susu
atau air, dan bila asam kuat diberi antasida).9

Pipa nasogastrik
Intubasi nasogastrik rutin dilakukan untuk tujuan evakuasi bahan kaustik
yang tersisa sebelum penilaian endoskopi Hal ini dilakukan untuk mengurangi
kemungkinan terinduksinya muntah atau muntah yang menyebabkan paparan
esofagus lebih lanjut oleh refluks sisa bahan kaustik Selain itu, pemasangan pipa
nasogastrik dapat bertindak sebagai pencegahan untuk infeksi, yang dapat
menunda penyembuhan mukosa.

Terapi medik
Protokol pengobatan secara medis pada fase awal kasus ini masih terbatas
pada penggunaan steroid, antibiotik serta penggunaan zat penetral (antidotum)
dari agen penyebab.
Antibiotika diberikan selama 2-3 minggu atau 5 hari bebas demam jika
diberikan dengan steroid. Antibiotik dapat dilanjutkan selama 4-8 minggu
dengan harapan telah terjadinya reepitalisasi, sesuai dengan derajat luka
esofagus jika diberikan tanpa steroid. Antibiotik tidak akan mencegah
pembentukan striktur, tetapi akan membantu mengoptimalkan proses
penyembuhan. Biasanya diberikan penisilin dosis tinggi 1-1,2 juta unit/hari.
Kortikosteroid diberikan untuk mencegah pembentukan striktur.
Pemberian steroid pada grade 2 dan grade 3 telah terbukti akan mengurangi
kemungkinan terbentuknya striktur esofagus. Kortikosteroid harus diberikan
sejak hari pertama dengan dosis 200-300 mg sampai hari ketiga. Setelah itu dosis
diturunkan perlahan-lahan tiap 2 hari (tappering off). Dosis yang dipertahankan
(maintenance dose) ialah 2x50 mg perhari. Steroid, idealnya dilanjutkan sampai
seluruh reaksi inflamasi menghilang dan telah terjadi reepitalisasi sempurna
selama kurang lebih 1-3 bulan, tergantung pada derajat luka. Pasien dengan

20
terapi steroid ini harus di follow up secara berkala terutama pada 2 bulan pertama
karena hampir 80% kasus akan mengalami gejala klinis striktur esofagus.
Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Morfin dapat diberikan,
jika pasien sangat kesakitan.

Esofagoskopi
Biasanya dilakukan esofagoskopi pada hari ke tiga setelah kejadian atau
bila luka bakar di bibir, mulut, dan faring sudah tenang.

21
Jika pada waktu melakukan esofagoskopi ditemukan ulkus, esofagoskop
tidak boleh dipaksa melalui ulkus tersebut karena ditakutkan terjadinya
perforasi. Pada keadaan demikian sebaiknya dipasang pipa hidung lambung
(pipa nasogaster) dengan hati-hati dan terus menerus (dauer) selama 6 minggu.
Setelah 6 minggu esofagoskopi diulang kembali.
Pada fase kronik biasanya sudah terdapat striktur esofagus. Untuk ini
dilakukan dilatasi dengan bantuan esofagoskop. Dilatasi dilakukan sekali
seminggu, bila keadaan pasien lebih baik dilakukan sekali 2 minggu, setelah
sebulan, sekali 3 bulan, dan demikian seterusnya sampai pasien dapat menelan
makanan biasa. Jika selama 3 kali dilatasi hasilnya kurang memuaskan
sebaiknya dilakukan reseksi esofagus dan dibuat anastomosis ujung ke ujung
(end to end).

Diet
Pasien disarankan untuk mengkonsumsi makanan lembut atau cair hingga
keluhan menelan hilang. Sebaiknya dihindari makanan pedas yang bisa mengiritasi
esofagus. Pasien dinasehatkan tidak mengkonsumsi alkohol.

2.9 Komplikasi

Komplikasi esofagitis korosif dapat berupa syok, koma, edema laring,


pneumonia aspirasi, perforasi esofagus, mediastinitis, dan kematian.
Komplikasi tersering dari esofagitis korosif adalah mediastinitis dan
perforasi esofagus. Mediastinitis terjadi akibat kontaminasi jaringan
mediastinum oleh isi dari esofagus yang mengalami perforasi esofagus. Robekan
kecil biasanya akan tertutup secara spontan tanpa ada infeksi mediastinum yang
signifikan. Perforasi yang lebih serius yang ditandai dengan kebocoran yang
terus menerus megakibatkan respon inflamasi dan infeksi pada jaringan di
mediastinum. Perlu diketahui bahwa menegakkan diagnosis perforasi esofagus
agak sulit karena lambatnya perkembangan gejala yang muncul.
Apnea, penyakit pernapasan kronia (contohnya asma) dan gagal tumbuh
merupakan komplikasi yang sering didapatkan pada anak-anak. Pada kasus

22
esofagitis yang dinyatakan sembuh, bisa juga timbul komplikasi berupa
obstruksi karena terbentuknya striktur.

2.10 Prognosis

Prognosis tergantung dari derajat luka bakar yang dialami pasien, serta jenis zat
yang tertelan, lama paparan, Ph, volume, konsentrasi, kemampuannya menembus
jaringan, serta jumlah kerusakan jaringan yang diperlukan untuk menetralisir zat
yang masuk. Angka kematian berkisar 1-4% pada umunya disebabkan oleh
mediastinitis, peritonitis, sepsis, malnutrisi, aspirasi, dan kegagalan fungsi
multiorgan.12,13

23
BAB III
KESIMPULAN

Esofagitis korosif ialah peradangan di esofagus yang disebabkan oleh luka


bakar karena zat kimia bersifat korosif. Penyebab esofagitis korosif adalah asam
kuat, basa kuat dan zat organik. Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat
korosif tergantung pada jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat korosif,
lamanya kontak dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak dan
dimuntahkan atau tidak.
Diagnosis ditegakkan dari adanya riwayat tertelan zat korosif atau zat
organik, pemeriksaan fisik, bukti-buki yang diperoleh ditempat kejadian,
pemeriksaan radiologik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan esofagoskopi.
Penatalaksanaan esofagitis korosif bertujuan untuk mencegah
pembentukan striktur. Terapi esofagitis korosif dibagi dalam fase akut dan fase
kronik. Pada fase akut, dilakukan perawatan umum dan terapi khusus berupa terapi
medik dan esofagoskopi. Fase kronik telah terjadi striktur, sehingga dilakukan
dilatasi dengan bantuan esofagoskop.
Komplikasi esofagitis korosif dapat berupa syok, koma, edema laring,
pneumonia aspirasi, perforasi esofagus, mediastinitis, dan kematian. Prognosis
tergantung dari derajat luka bakar yang dialami pasien, serta jenis zat yang tertelan,
lama paparan, pH, volume, konsentrasi, kemampuannya menembus jaringan, serta
jumlah kerusakan jaringan yang diperlukan untuk menetralisir zat yang masuk.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:


Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.
2. Lionte C, et all. 2007. Unusual Presentation and Complication of Caustic
Ingestion; Case Report. http://www.jgld.ro/12007/12007_17.pdf [Diakses 2
Desember 2011].
3. Wen, Jessica. 2008. Esophagitis. http://www.emedicine.com/ped/
TOPIC714.HTM [Diakses 20 November 2019].
4. Alijenad, A. 2000. Caustic Injury to the Upper Gastrointestinal Tract.
http://pearl.sums.ac.ir/semj/vol4/jan2003/causticinj.htm/ [Diakses 20
November 2019].
5. Addams, G., Boeis, L., Higler, P. 2012. Boeis: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Lusong, M., Timbol, A., Tuazon, D. Management of Esophageal Caustic Injury.
World Journal of Gastrointestinal Pharmacology and Therapeutics 2017; 8(2):
90-98 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5421115/ [Diakses 20
November 2019].
7. Kusumaningtyas, S. (Editor). 2018. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Edisi 24.
Jakarta: Elsevier.
8. Lalwani, AK. 2008. CURRENT: Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head
and Neck Surgery. United State of America: The McGraw-Hill Companies Inc.
9. Lusong, Mark Anthony A De, Timbol, Aeden Bernice G, Tuazon, Danny
Joseph. 2017. Management of esophageal caustic injury. World J Gastrointest
Pharmacol Ther 2017 May 6; 8(2): 90-98
10. Kyung Sik Park. 2014. Evaluation and Management of Caustic Injuries
from Ingestion of Acid or Alkaline Substances. Clin Endosc 2014;47:301-307.
11. Jae Yong Seo, Ki Joo Kang, Ho Suk Kang, Seong Eun Kim, Ji Won
Park, Sung Hoon Moon, Jong Hyeok Kim. 2015. Corrosive Esophagitis Caused
by Ingestion of Picosulfate. Clin Endosc. 2015 Jan; 48(1): 66–69.

25
12. Bronstein AC, Spyker DA, Cantilena LR, Green J, Rumack BH, Heard SE.
2006 Annual Report of the American Association of Poison Control Centers’
National Poison Data System (NPDS). Clin Toxicol (Phila) 2007; 45: 815-917
13. Kardon, EM. 2008. Toxicity, Caustic Ingestion.
http://www.emedicine.com/EMERG/topic86.htm [Diakses 20 November 2019].

26

Anda mungkin juga menyukai