Anda di halaman 1dari 140

Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan 

Mangrove 
 

Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan,


Direktorat Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial

2008
 

 
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Ringkasan Eksekutif

Ekosistem mangrove memiliki fungsi dan manfaat ekologi serta ekonomi sosial.
Pemanfaatan hutan mangrove sampai saat ini masih terfokus pada aspek ekonomi
saja dan kurang memperhatikan aspek ekologi. Kebijakan pemanfaatan hutan
mangrove perlu menerapkan prinsip sustainable forest management. Data dan
informasi dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove masih belum
tersedia secara lengkap dan sistematis, sehingga perlu penyiapan database
pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. Pada Tahun 2008 Direktorat Bina
Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Direktorat Jendera Rehabilitasi lahan dan
Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS) melakukan kegiatan penyiapan database
pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove.
Tujuan utama yang hendak dicapai dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah
tersusunnya data dan informasi yang terkait pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove yang ada di lapangan. Sedangkan ruang lingkup pekerjaan meliputi:
pemanfaatan Arang kayu dengan lokasi observasi di Batu Ampar-Kalbar; Manfaat
ekologi dengan lokasi observasi di Cilacap atau Sinjai; Tambak silvofishery
(bandeng, udang, kepiting, dan lain-lain) dengan lokasi observasi di Pemalang dan
atau Subang; serta Ekowisata dengan lokasi observasi di Denpasar-Bali. Keluaran
yang dihasilkan berupa dokumen laporan yang secara sistematis menyajikan
kondisi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove, baik berupa pemanfaatan
ekologi maupun ekonomi-sosial.
Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian manfaat ekosistem hutan
mangrove didekati dengan menggunakan konsep penilaian ekonomi total (total
economic valuation) dari produk barang dan jasa yang berguna (use value) dan
yang tidak berguna secara langsung (non use value). Pengumpulan data primer
dilakukan dengan uji petik guna mengecek langsung kondisi sumberdaya di lapang
(potensi) dan pemanfaatannya, mendokumentasikan (gambar/foto), mengidentifikasi
dan menginventarisir pemanfaatan SDHM. Metode yang digunakan berupa
pengamatan langsung, wawancara, dan diskusi dengan masyarakat, pelaku usaha,
dan unit manajemen. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui kompilasi
data/laporan/buku di instansi/pihak-pihak yang pernah atau sedang melakukan
kajian/penelitian di lokasi kajian.
Metode analisis yang digunakan mencakup analisis deskriptif, analisis valuatif,
analisis kelayakan pemanfaatan dan analisis strategi pengembangan usaha. Pada

Laporan Akhir
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

analisis kelayakan pemanfaatan yang meliputi analisis finansial, analisis kelayakan


teknis, analisis kelayakan ekologi dan analisis kelayakan sosial/kelembagaan.
Di Kawasan Tahura ditemukan 46 jenis mangrove dari 27 famili yang didominasi
jenis bakau putih (Rhizophora apiculata), bakau (Rhizophora mucronata), Api-api
(Avicennia marina) dan Sonneratia alba. Jumlah jenis burung yang ditemukan di
Tahura Ngurah Rai 66 jenis dari 27 famili.
Tahura Ngurah Rai Bali memiliki daya tarik wisata berupa: panorama keindahan
alam berupa kondisi fisik kawasan Teluk Benoa, keanekaragaman vegetasi
mangrove, fauna darat, (burung, amphibi, reptil) dan fauna perairan (ikan, moluska,
krustasea).
Kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki posisi yang sangat strategis. Untuk menuju
kawasan ini dengan menggunakan kendaraan darat hanya memerlukan waktu 5
menit dari Bandara Ngurah Rai Bali, 10 menit dari pusat kota Denpasar.
Pemanfaatan kawasan Tahura selain utnuk wisata juga untuk memancing, kayu
bakar,menangkap ikan dan udang, dan lain-lain.
Di kawasan mangrove Batu Ampar dijumpai jenis vegetasi 50 jenis terdiri atas 23
jenis mangrove sejati, 8 jenis mangrove sekunder, dan 19 jenis ekoton yang
didominasi Rhizophora sp, Bruguiera spp, dan Nypa fructicans. Keanekaragaman
biota darat di kawasan mangrove cukup tinggi yaitu mamalia 11 jenis, burung 57
jenis, reptil 10 jenis, dan amfibi 1 jenis. Sedangkan jenis-jenis biota perairan terdiri
atas 37 jenis phytoplankton, 20 zooplanktons, 30 jenis benthos, 64 jenis ikan 13
jenis moluska, dan 23 krustasea. Potensi rata-rata kayu mangrove di kawasan
mangrove sebesar 180,735 m3/ha.
Sistem silvikultur yang dipergunakan dalam pemanfaatan hutan mangrove untuk
bahan baku arang dikategorikan menjadi 2 yaitu sistem silvilkultur pohon Induk
(Seed Trees Method) yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan sistem rumpang
yang dilakukan oleh masyarakat (secara tradisional). pemanfaatan kayu untuk
bahan baku arang oleh perusahaan swasta (PT. Bios dan PT. Kandelia) dan
masyarakat (Koperasi Panter).
Kelembagaan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Batu Ampar yaitu:
Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bapedalda, Deperindag, dan
Koperasi Panter, Swasta dan Masyarakat. Pemanfaatan sumberdaya mangrove
selain arang bakau meliputi kayu bakar, tiang pancang, nipah, ikan, udang, tambak,
kepiting, buah mangrove, manfaat jasa lingkungan, dan lain-lain.
Hutan mangrove di Kabupaten Subang didominasi oleh species Avicennia marina.,
Rhizophora sp., dan Melaleuca leucadendron. Fauna yang banya terdapat di areal
hutan mangrove Subang diantaranya adalah udang api-api (Metapenaeus
monoceros), udang peci (Penaeus merguiensis), dan udang windu (Penaeus

Laporan Akhir
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

monodon), ikan kipper (Scatophagus argus), ikan lundu (Macrones gulio), ikan
kerong-kerong dan lain-lain.
Pemanfaatan sumberdaya mangrove Subang meliputi tambak tumpangsari, kayu
bakar, memancing, buah mangrove, dan lain-lain. Model tambak tumpangsari yang
banyak diterapkan di beberapa areal pertambakan di Kabupaten Subang khususnya
di Kecamatan Blanakan merupakan model empang parit tradisional dan model
empang terbuka. Pola tambak tumpangsari terdiri dari 4 pola yaitu pola 80:20, pola
70:30, pola 60:40, dengan pola tanpa hutan. Untuk memperoleh tanah garapan
masyarakat harus mengantongi izin dari Perum Perhutani sesuai dengan SK PHBM
Nomor 136. Pengelola atau petani penggarap tambak tumpangsari di wilayah lahan
khususnya Perum Perhutani terorganisir melalui wadah Kelompok Tani Hutan
(KTH).
Kawasan mangrove di Pemalang terdiri dari jenis-jenis Rhizophora mucronata,
Rhizophora apiculata, dan Avicennia sp. Jenis biota air antara lain yaitu peperek,
layang, belanak, manyung, kembung, julung-julung, teri, tembang, layur, tongkol,
peperek, bambangan, kakap, bawal hitam, tigawaja, cucut, pari, dan tenggir.
Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Kebupaten pemalang meliputi tambak
tumpangsari kepiting, kayu bakar, pakan ternak, buah mangrove dan lain-lain.
Desain tambak sylvofishery yang dikembangkan oleh kelompok tani tambak di
daerah tersebut memiliki perbandingan 10:90 (mangrove:tambak). Umumnya
mangrove yang ditanam berada pada daerah pinggiran tambak dengan jenis
kepiting lunak, udang dan bandeng.
Kelembagaan di tingkat pemerintah daerah Pemalang antara lain yaitu Pemerintah
Daerah diantaranya Bappeda, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Dinas
Kehutanan. Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Pertanian, LSM, kelompok tani,
kelompok petambak.
Kawasan hutan mangrove Cilacap khususnya Segara Anakan dijumpai 30 jenis
tumbuhan mangrove yang didominasi Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata,
dan Bruguiera gymnorrhiza. Jumlah fauna yang ada 45 jenis satwaliar yang terdiri
dari: 41 jenis burung (15 jenis termasuk dilindungi, 3 jenis merupakan burung
migran), dan 4 jenis mamalia serta 45 jenis ikan.
Pemanfaatan mangrove untuk jasa lingkungan di Cilacap meliputi: daerah perlindungan
pesisir, pelindung dari ancaman abrasi, angin laut, penyusupan air asin kearah
daratan, menjerap bahan pencemar, serta mempertahankan produktivitas pantai
dan laut. Kelembagaan pengelolaan berada di tangan Badan Pengelola Segara
Anakan yang terbagi dalam 3 (tiga) wilayah pengelolaan , yaitu Pemerintah Daerah,
Kehakiman dan wilayah pngelolaan Perhutani.
Peraturan perundangan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove baik untuk ekowisata, arang bakau, tambak tumpangsari maupun jasa

Laporan Akhir
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

lingkungan meliputi: Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,


Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 dan PP No. 3 Tahun 2008 tentang
perubahan atas PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, Keputusan Presiden No.
32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 tentang Sistem Silvikultur dan
daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi, Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan
Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat Seluas ± 9.178.760 Ha,
Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 Tahun 1978
tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau.
Aspek teknis pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove berkaitan dengan
budidaya, proses produksi, pengolahan hasil, dan persediaan daya tarik wisata.
Nilai ekonomi sumberdaya hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai sebesar
Rp 6.712.072.665, -/tahun di kawasan mangrove Kabupaten Cilacap sebesar Rp
48.629.199.000,-/tahun di kawasan mangrove Kabupaten Pemalang Rp
3.740.776.800, -/tahun di kawasan mangrove Kabupaten Subang Rp
13.036.261.808, -/tahun di kawasan mangrove Batu Ampar Rp 107.474.346.929,-
/tahun.
Strategi pemanfaatan SDHM berupa disusun berdasarkan aspek-aspek ekologi,
sosial kelembagaan, ekonomi dan hukum. Strategi ini bertujuan utama untuk
menjamin kelestarian hutan mangrove melalui peningkatan peranserta masyarakat
dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif yang tidak merusak atau
mengakibatkan degradasi hutan mangrove serta penguatan kelembagaan terkait
pengelolaan ekosistem mangrove.

Laporan Akhir
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Laporan Akhir
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
 
 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i


DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... ix

I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
I.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
I.2. Maksud Dan Tujuan ...................................................................................... 2
I.3. Ruang Lingkup ............................................................................................. 2
I.4. Keluaran ........................................................................................................ 3

II. METODOLOGI .................................................................................................... 4


2.1. Kerangka Pendekatan .................................................................................. 4
2.1.1. Definisi dan Ruang Lingkup Sumberdaya Hutan Mangrove........... 4
2.1.2. Konsep Penilaian Manfaat Ekosistem Mangrove ........................... 5
2.1.3. Kerangka Pendekatan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan
Sumberdaya Hutan Mangrove ........................................................ 11
2.2. Lokasi Kegiatan ............................................................................................. 14
2.3. Sistematika Pengumpulan Data Dan Analisis Data ...................................... 14
2.3.1. Alat dan Perlengkapan ................................................................. 14
2.3.2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan data ............................ 14
2.3.3. Metode Analisis Data ................................................................... 15
(1) Analisis Deskriptif ........................................................... 15
(2) Analisis Valuatif.............................................................. 16
(3) Analisis Kelayakan Pemanfaatan .................................. 18
(4) Analisis Strategi Pengembangan Usaha ....................... 21

III. KONDISI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE ................... 22


3.1. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Ekowisata di Bali ............................... 21
3.1.1. Kondisi Umum Lokasi ......................................................................... 21
3.1.2. Keanekaragaman Hayati (Flora dan Fauna) ...................................... 25
3.1.3. Permintaan Ekowisata ........................................................................ 26
3.1.4. Daya Tarik .......................................................................................... 29
3.1.5. Aksesibilitas, Prasarana dan Sarana Pendukung .............................. 30
3.1.6. Mekanisme Pemanfaatan ................................................................... 31
3.1.7. Kegiatan Ekowisata ............................................................................ 32
3.1.8. Pemasaran ......................................................................................... 32

ii
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
 
 
3.1.9. Kelembagaan Pengelolaan ................................................................ 33
3.1.10. Permasalahan .................................................................................... 34

3.2. Pemanfaatan Hutan Mangrove Bahan Baku Arang (kayu) .......................... 34

3.2.1. Kondisi Umum Lokasi ......................................................................... 34


3.2.2. Struktur dan Komposisi Jenis ............................................................. 37
3.2.3. Potensi Kayu ...................................................................................... 37
3.2.4. Sistem Silvikultur ................................................................................ 37
3.2.5. Mekanisme Pemanfaatan ................................................................... 38
3.2.6. Proses Produksi Arang ...................................................................... 39
3.2.7. Kualitas Produksi dan Pemasaran ..................................................... 41
3.2.8. Kelembagaan Pengelolaa .................................................................. 41
3.2.9. Permasalahan .................................................................................... 42

3.3. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Sylvofishery di Kabupaten Subang .. 42


3.3.1. Kondisi Umum Lokasi ......................................................................... 42
3.3.2. Keanekaragaman Jenis (Flora dan Fauna) ........................................ 44
3.3.3. Kualitas Air dan Pasang Surut............................................................ 45
3.3.4. Lansekap dan Desain Tambak Sylvofishery ...................................... 46
3.3.5. Mekanisme Pemanfaatan ................................................................... 48
3.3.6. Sistem Budidaya................................................................................. 49
3.3.7. Produksi dan Pemasaran .................................................................. 50
3.3.8. Kelembagaan Pengelolaan ................................................................ 50
3.3.9. Permasalahan .................................................................................... 52

3.4. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Sylvofishery di Kabupaten Pemalang 52


3.4.1. Kondisi Umum Lokasi ......................................................................... 52
3.4.2. Keanekaragaman Jenis (Flora dan Fauna) ........................................ 54
3.4.3. Kualitas Air dan Pasang Surut ........................................................... 55
3.4.4. Lansekap dan Desain Tambak Sylvofishery ...................................... 55
3.4.5. Mekanisme Pemanfaatan ................................................................... 56
3.4.6. Sistem Budidaya................................................................................. 56
3.4.7. Produksi dan Pemasaran ................................................................... 57
3.4.8. Kelembagaan ..................................................................................... 58
3.4.9. Permasalahan .................................................................................... 58

3.5. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Jasa Lingkungan/Ekologi


di Kabupaten Cilacap ..................................................................................... 59
3.5.1. Kondisi Umum Lokasi ......................................................................... 59
3.5.2. Struktur dan Komposisi, serta Keanekaragaman Jenis ...................... 61
3.5.3. Potensi Tegakan................................................................................. 62

iii
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
 
 
3.5.4. Kualitas Air dan Pasang Surut............................................................ 62
3.5.5. Kondisi Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove ................................... 63
3.5.6. Mekanisme Pemanfaatan ................................................................... 66

IV. ANALISIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE ................. 68


4.1. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Ekowisata di Tahura Ngurah Rai
4.1.1 Aspek Kebijakan ............................................................................. 68
4.1.2 Aspek Teknis................................................................................... 68
4.1.3 Aspek Ekologi ................................................................................. 69
4.1.4 Aspek Ekonomi ............................................................................... 70
4.1.5 Aspek Kelembagaan (Sosisl Budaya) ............................................. 74

4.2. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Bahan Baku Arang ........................... 75


4.2.1. Aspek Kebijakan .............................................................................. 75
4.2.2. Aspek Teknis ................................................................................... 75
4.2.3. Aspek Ekologi .................................................................................. 76
4.2.4. Aspek Ekonomi ................................................................................ 76
4.2.5. Aspek Kelembagaan ....................................................................... 80
4.3. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove untuk Sylvofishery di
Kabupaten Subang ..................................................................................... 81
4.3.1. Aspek Kebijakan .............................................................................. 81
4.3.2. Aspek Teknis Budidaya .................................................................... 82
4.3.3. Aspek Ekologi ................................................................................... 83
4.3.4. Aspek Ekonomi ................................................................................. 83
4.3.5. Aspek Kelembagaan ......................................................................... 86

4.4. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Silvofishery di Kabupaten Pemalang 86


4.4.1. Aspek Kebijakan ................................................................................ 87
4.4.2. Aspek Teknis .................................................................................... 87
4.4.3. Aspek Ekologi ................................................................................... 87
4.4.4. Aspek Ekonomi (Valuasi dan Finansial) ........................................... 88

4.5. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Jasa Lingkungan di Kabupaten


Cilacap ........................................................................................................ 89
4.5.1. Aspek Kebijakan ............................................................................... 89
4.5.2. Aspek Teknis .................................................................................... 90
4.5.3. Aspek Ekologi ................................................................................... 93
4.5.4. Aspek Ekonomi ................................................................................. 93
4.5.5. Aspek Kelembagaan ......................................................................... 93

V. STRATEGI PENGEMBANGAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN


MANGROVE ........................................................................................................ 94

iv
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
 
 
5.1. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Ekowisata di
Tahura Ngurah Rai ...................................................................................... 94
5.2. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Bahan Baku
Arang ........................................................................................................... 97
5.3. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Sylvofishery
di Subang dan Pemalang ............................................................................ 98
5.4. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Jasa
Lingkungan .................................................................................................. 100

VI. KESIMPULAN ...................................................................................................... 102


DAFTAR PUSTAKA

v
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
 
 

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Fungsi dan Manfaat Lingkungan Ekosistem Mangrove............................ 11


Tabel 2.2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ........................................ 14
Tabel 3.1. Penggunaan lahan di desa-desa pantai sekitar kawasan
Tahura Ngurah Rai Tahun 2007. .............................................................. 23
Tabel 3.2. Jumlah penduduk dan kepadatan pada masing-masing desa
pantai di kawasan Tahura Ngurah Rai ..................................................... 23
Tabel 3.3. Jumlah penduduk menurut agama yang dipeluknya di desa-
desa pantai Kawasan Tahura Ngurah Rai................................................ 24
Tabel 3.4. Kondisi Sarana Kesehatan di Sekitar Kawasan Tahura Ngurah
Rai ..................................................................................................... 24
Tabel 3.5. Komposisi Jenis Flora Mangrove di Tahura Ngurah Rai .......................... 25
Tabel 3.6. Jumlah dan Asal Pengujung di Obyek Wisata Tahura Ngurah
Rai, Bali Tahun 2007 ................................................................................ 26
Tabel 3.7. Jumlah Pengunjung Tahunan Lokasi Wisata Tahura Ngurah
Rai, Bali tahun 2005-2008 ........................................................................ 27
Tabel 3.8. Komposisi Wisatawan Berdasarkan Tingkat Pendidikan ......................... 27
Tabel 3.9. Perkembangan Pondok Wisata di Bali tahun 2004 - 2008 ....................... 28
Tabel 3.10. Jenis-jenis Daya Tarik Kawasan Tahura Ngurah Rai ............................... 29
Tabel 3.11. Sarana prasarana Pendukung dan Wilayah Tahura Ngurah rai ................ 30
Tabel 3.13. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin ............................................... 35
Tabel 3.14. Informasi Pendidikan di di kawasan mangrove , Kabupaten
Kubu Raya ......................................................................................... 36
Tabel 3.15. Jumlah Pemeluk Agama dan Sarana Ibadah di Kawasan ....................... 36
Tabel 3.16. Luas Mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten Subang Tahun
2007 .................................................................................................. 36
Tabel 3.17. Luas Kawasan Hutan Bakau BKPH Ciasem – Pamanukan ..................... 43
Tabel 3.18. Rincian penggunaan lahan Desa Blanakan dan Desa
Langensari ................................................................................................ 43
Tabel 3.19. Kualitas Air di Kawasan Silvofishery Subang Tahun 2007 ....................... 45
Tabel 3.20. Luasan Mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten Pemalang
Tahun 2005 .............................................................................................. 53
Tabel 3.21. Luas Tambak dan dan Luas Mangrove Tiap Kecamatan di
Kabupaten Pemalang .............................................................................. 53
Tabel 3.22. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ulujami, Kabupaten
Pemalang ................................................................................................. 54

vi
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
 
 
Tabel 3.23. Parameter Kualitas Air di Kawasan Silvofishery Kabupaten
Pemalang .......................................................................................... 55
Tabel 3.24. Produksi dan Nilai Ekonomi Budidaya Penggemukan dan
Ppnangkapan Kepiting ............................................................................. 57
Tabel 3.25. Luasan tiap Tata Guna Lahan di Kawasan Segara Anakan,
Cilacap, Jawa Tengah .............................................................................. 60
Tabel 3.26. Komposisi jenis vegetasi mangrove di kawasan mangrove
Segara Anakan ......................................................................................... 61
Tabel 4.1. Nilai manfaat mangrove di Kawasan Tahura Ngurah Rai ........................ 72

Tabel 4.2. Nilai Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Batu Ampar .......................... 82
Tabel 4.3. Analisis Finansial usaha Arang Bakau di Batu Ampar ............................. 83
Tabel 4.4. Nilai Keberadaan Hutan Mangrove di Kecamatan Blanakan,
Subang Menurut Tingkat Pendidikan ....................................................... 88
Tabel 4.5. Nilai Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Kabupaten subang ................ 88
Tabel 4.6. Lokasi WISATA DI Sekitar KAWASAN Mangrove Segara
Anakan, Kabupaten Cilacap ..................................................................... 94
Tabel 4.7. Nilai Manfaat Ekonomi Mangrove Segara Anakan ................................... 97

vii
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
 
 

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Perbedaan Harga ........................................................................... 6
Gambar 2.2. Kategori Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove
(Dimodifikasi Pierce, 1992 dalam Munasinghe, 1993) ................... 7
Gambar 2.3. Kerangka Pendekatan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan
Sumberdaya Hutan Mangrove........................................................ 13
Gambar 3.1. Peta Lokasi Tahura Ngurah Rai, Bali ............................................. 22
Gambar 3.2. Kedudukan Kelembagaan UPTD dalam Pengelolaan Tahura Ngurah
Rai .................................................................................................. 33
Gambar 3.3. Peta Lokasi Mangrove Batu Ampar, Kalimantan Barat .................. 35
Gambar 3.4. Tahapan Proses Pembuatan Arang Bakau .................................... 41
Gambar 3.3. Beberapa Pola Tambak Tumpangsari dengan Vegetasi Mangrove 46
Gambar 3.4. Model Empang Parit Tradisional .................................................... 47
Gambar 3.5. Model Empang Terbuka ................................................................. 47
Gambar 3.4. Alat Penangkap Udang dan Udang Hasil Tangkapan .................... 50
Gambar 3.5. KUD Langgen Jaya serta Proses Pelelangan Hasil Tambak ......... 50
Gambar 3.6. Struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan Tambak Tumpangsari . 51
Gambar 3.7. Kelembagaan Pengelolan Tambak Tumpangsari di Kabupaten .... 51
Gambar 3.8. Peta Administrasi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah ..................... 52
Gambar 3.9. Kondisi mangrove yang berada pada areal budidaya tambak Desa
Mojo, Pemalang.............................................................................. 56
Gambar 3.11. Organisasi Kelembagaan Wilayah Pengelolaan Segara Anakan ... 67

viii
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
 
 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis Finansial Usaha Tambak Sylvofishery di Kabupaten


Subang
Lampiran 2. Analisis Finansial Usaha Arang Bakau oleh Swasta (PT. BIOS
dan PT. Kandelia) di BatuAmpar, Kalbar.
Lampiran 3. Rekap Hasil Kuisioner Responden di Kabupaten Pemalang
Lampiran 4. Rekap Hasil Kuisioner Responden di Kabupaten Subang
Lampiran 5. Dokumentasi Kegiatan Pelaksanaan Inventarisasi dan
Identifikasi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Mangrove
di Kabupaten Pemalang

Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan Pelaksanaan Inventarisasi dan


Identifikasi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Mangrove
di Kabupaten Subang

Lampiran 7. Dokumentasi Kegiatan Pelaksanaan Inventarisasi dan


Identifikasi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Mangrove
di Kabupaten Cilacap

Lampiran 8. Dokumentasi Kegiatan Pelaksanaan Inventarisasi dan


Identifikasi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Mangrove di
Tahura Ngurah Rai, Bali
Lampiran 9. Dokumentasi Kegiatan Pelaksanaan Inventarisasi dan
Identifikasi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Mangrove di
Batu Ampar

ix
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting bagi keseimbangan alam
dan penunjang kehidupan manusia, jika dikelompokkan dapat dibagi menjadi fungsi
ekologi dan ekonomi-sosial. Fungsi ekologi ekosistem mangrove sebagai: (i)
pelindung daratan dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang dan pengendali
intrusi air laut, (ii) habitat dari berbagai jenis fauna, (iii) tempat berlindung, mencari
makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan Crustaceae, (iv)
meningkatkan produktifitas perairan, (v) penyedia lahan melalui proses sedimentasi,
(vi) menstabilkan sedimen, (vii) menurunkan energi gelombang tsunami, (viii)
memelihara kualitas air dan udara serta (ix) sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomi-
sosial diantaranya berupa: (i) kayu (arang, kayu bakar, tiang, serpih kayu dan pulp),
(ii) hasil hutan non kayu (tanin, produk nipah, obat-obatan, madu, dan lain-lain), (iii)
perikanan tangkap dan budidaya, (iv) jasa kesehatan lingkungan serta (v) jasa
wisata.

Pemanfaatan hutan mangrove sampai saat ini masih terfokus pada aspek ekonomi
saja (produk kayu dan turunannya) dan kurang memperhatikan aspek ekologi. Hal
ini dalam jangka pendek akan sangat menguntungkan, namun dalam jangka
panjang keuntungan ekonomis yang diperoleh tidak sebanding dengan kerusakan
yang ditimbulkan. Kerusakan pada ekosistem mangrove berarti akan
menghilangkan berbagai peran pentingnya, baik dalam aspek ekologi maupun
ekonomi. Bila ekosistem mangrove tersebut rusak, maka biaya yang diperlukan
untuk merehabilitasinya sangat besar dan juga akan sangat sulit mengembalikan ke
kondisi semula. Dengan demikian diperlukan kebijakan pemerintah yang tepat
sehingga pemanfaatan yang hutan mangrove dilakukan dengan menerapkan prinsip
sustainable forest management.

Data dan informasi dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove


masih belum tersedia secara lengkap dan sistematis. Data dan informasi ini perlu
disajikan dengan sistematika yang baku, di antaranya meliputi: (i) jenis
pemanfaatan, (ii) ragam produk, (iii) kapasitas/produktivitas, (iv) cara/teknik
pemanfaatan yang diterapkan, (v) peluang usaha yang berkembang dan (vi) akses

Laporan Akhir 1
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

pasar. Ketersediaan data dan informasi akan sangat mempengaruhi proses


penentuan kebijakan pemerintah dan program yang dibutuhkan yang pada
gilirannya akan sangat mempengaruhi optimalisasi pemanfaatan mangrove secara
ekologi, sosial dan ekonomi serta keberlangsungan/kelestarian hutan mangrove.

Peran ketersediaan data dan informasi yang berkaitan hutan mangrove


sebagaimana diuraikan di atas dengan demikian sangat vital, sehingga perlu
dilakukan suatu upaya penyiapan database pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove. Untuk itu pada Tahun 2008 Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan
Lahan, Direktorat Jendera Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS)
melakukan kegiatan penyiapan database pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove dengan memanfaatkan anggaran sebagaimana teralokasikan dalam
DIPA 29 Ditjen RLPS Satker Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Dalam
rangka penyiapan database tersebut dilaksanakan pekerjaan inventarisasi dan
identifikasi guna menghimpun informasi dan data terkait pemanfaatan sumberdaya
hutan mangrove.

1.2 Maksud Dan Tujuan

Maksud pekerjaan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya


Hutan Mangrove adalah menghimpun data dan informasi tentang kegiatan
pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove sebagai bahan penyiapan database.
Adapun tujuan utama yang hendak dicapai dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah
tersusunnya data dan informasi yang terkait pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove yang ada di lapangan.

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup pekerjaan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan


Sumberdaya Hutan Mangrove meliputi berbagai pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove ditinjau dari segi ekologi dan ekonomi-sosial yang ada dan berkembang
di lapangan dalam kerangka penyiapan database pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove. Pada Tahun 2008, inventarisasi dan identifikasi diarahkan pada kegiatan
pemanfaatan:
(1) Arang kayu dengan lokasi observasi di Batu Ampar-Kalbar;
(2) Manfaat ekologi dengan lokasi observasi di Cilacap atau Sinjai;

Laporan Akhir 2
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

(3) Tambak silvofishery (bandeng, udang, kepiting, dan lain-lain) dengan lokasi
observasi di Pemalang dan atau Subang; serta
(4) Ekowisata dengan lokasi observasi di Denpasar-Bali.

1.4 Keluaran

Keluaran yang dihasilkan berupa dokumen laporan yang secara sistematis


menyajikan kondisi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove, baik berupa
penanfaatan ekologi maupun ekonomi-sosial. Pemanfaatan hutan mangrove dalam
aspek ekologi meliputi: (i) pencegahan atau pengurangan dampak bencana (intrusi,
abrasi, tsunami, dan lain-lain), (ii) konservasi ragam hayati (flora dan fauna,
terutama biota air) serta (iii) penyerap karbon. Aspek ekonomi-sosial meliputi: (i)
produk berasal dari kayu (arang kayu, kayu bakar, chips, dan lain-lain), (ii) hasil
hutan non kayu selain bahan makanan dan minuman, (iii) makanan dan minuman,
(iv) tambak silvofishery, dan (v) ekowisata). Studi kasus dilakukan pada lokasi-lokasi
Denpasar (Bali), Batu Ampar (Kalimantan Barat), Cilacap (Jawa Tengah) serta
Subang (Jawa Barat) dan Pemalang (Jawa Tengah).

Laporan Akhir 3
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

II. METODOLOGI PELAKSANAAN

2.1. KERANGKA PENDEKATAN

2.1.1. Definisi dan Ruang Lingkup Sumberdaya Hutan Mangrove

Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang


pantai tropis dan sub-tropis yang terlindung. Di Indonesia, mangrove telah
dipertelakan sebagai hutan pasang surut dan hutan mangrove. Hutan mangrove
adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas
komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas
atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan
asin. Hutan mangrove dicirikan oleh tumbuhan dari berbagai genus (Avicennia,
Sueda, Laguncularia, Lumnitzera, Xylocarpus, Aegiceras, Aegialitis, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, dan Sonneratia), memiliki akar napas (pneumatofor), adanya
zonasi (Avicennia/Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Nypa), tumbuh pada
substrat tanah berlumpur/berpasir dan variasinya, dengan kadar salinitas yang
bervariasi (Nybakken, 1982).

Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang
tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi
istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa
pantai dengan reaksi tanah anaerob. Seperti halnya direkomendasikan oleh FAO
(1982), kata mangrove sebaiknya digunakan untuk individu jenis tumbuhan maupun
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut.

Ruang lingkup sumberdaya hutan mangrove secara keseluruhan meliputi ekosistem


mangrove yang terdiri atas: (i) satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar
yang hidupnya terbatas di habitat mangrove (exclussive mangrove), (ii) spesies
tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat
non-mangrove (non-exclussive mangrove), (iii) biota yang berasosiasi dengan
mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri, dan
lain-lain) yang hidupnya menetap atau sementara, sekali-sekali atau biasa
ditemukan, kebetulan atau khusus hidup di habitat mangrove, (iv) proses-proses
ekologi yang terjadi dalm mempertahankan ekosistem ini, baik yang berada di
daerah bervegetasi maupun di luarnya, (v) daratan terbuka/hamparan lumpur yang
berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut dan (vi) masyarakat yang
hidupnya bertempat tinggal dan tergantung pada lahan mangrove.

Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland,
vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove
oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa

Laporan Akhir 4
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk
sebutan hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau
hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun
dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Dengan demikian
penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari.

Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang
unik, adalah jenis-jenisnya relatif sedikit, akar jangkar yang melengkung dan
menjulang pada Rhizophora spp., akar yang semrawut dan keras atau
pneumatofora pada marga Avicennia spp., dan Sonneratia spp. yang mencuat
vertikal seperti pensil, adaptasinya yang kuat terhadap lingkungan (biji/propagule
Rhizophora berkecambah di pohon/vivipar) serta banyaknya lentisel pada bagian
kulit pohon.

2.1.2. Konsep Penilaian Manfaat Ekosistem Mangrove

Kalangan economist-environmentalist atau yang dikenal dengan istilah kumpulan


para pemerhati yang berorientasi semi-konservasionis, sejak dekade tujuh puluhan,
mulai mengembangkan logical framework dalam menilai sumberdaya alam dan
lingkungan secara holistik. Ketika berbicara tentang bagaimana menilai sumberdaya
alam dan lingkungan, maka dikenal nama-nama seperti Pearce, Turner, Freeman,
Hufschmidt, Ruitenbeek, dan Munasinghe. Kerangka berpikir yang dibangun oleh
para ahli tersebut secara common sciences bermaksud untuk melestarikan
sumberdaya alam dan lingkungan agar tetap tersedia dan bermanfaat bagi generasi
sekarang dan yang akan datang (dikenal dengan sustainable development concept
yang dipopulerkan oleh Brudlant Commission, 1987).

Latar belakang pemikiran para ahli di atas, terkait dengan jangkaun pemikiran
manusia yang umumnya bersifat jangka pendek (short-time thinking) terhadap
sumberdaya alam dan lingkungan apabila dikaitkan dengan ruang dan waktu. Jika
berhubungan langsung dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang mendesak,
maka produk barang dan jasa yang dihasilkan berkecenderungan hanya diukur
(valuation) apabila mempunyai nilai pasar secara langsung (salah satu kelemahan
kaum pengikut Adam Smith dengan mekanisme pasarnya) yang sering tidak
mencerminkan harga sebenarnya (real prices).

Laporan Akhir 5
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Harga Benefit/
S1 Cost MSC = MPC + Ext
Social Cost

P1 MPC
S0
P0

Q-Sosial Q-Swasta

Gambar 2.1. Perbedaan Harga

Mencermati Gambar 2.1, terlihat bahwa “kelalaian” manusia dalam menilai


sumberdaya alam dan lingkungan akan memberikan “kemudaratan sosial” atau
diistilahkan sebagai social cost yang pada akhirnya akan dirasakan oleh manusia.
Social cost pada hutan mangrove timbul dari terjadinya degradasi hutan setiap
tahunnya. Mengingat manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove sangat penting
bagi kehidupan manusia dan biota lainnya, maka salah satu tindakan nyata dan
perlu dilakukan sesegera mungkin adalah “mulai belajar” menilai manfaat dari
ekosistem hutan mangrove secara keseluruhan, baik yang sifatnya ternilai oleh
pasar (tangible) dan tak ternilai oleh mekanisme pasar (intangible).

Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian manfaat ekosistem hutan


mangrove didekati dengan menggunakan konsep penilaian ekonomi total (total
economic valuation) dari produk barang dan jasa yang berguna (use value) dan
yang tidak berguna secara langsung (non use value) yang ditunjukkan pada
Gambar 2.2. Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) merupakan jumlah
dari nilai pemanfaatan (use value = UV) dan nilai non pemanfaatan (non-use value
= NUV). NU adalah jumlah dari nilai pemanfaatan langsung (direct use value =
DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung (indirect use value = IUV), nilai pilihan
(option value = OV). Sedangkan, NUV adalah jumlah dari nilai eksistensi (existence
value = XV) dan nilai warisan (bequest value = BV). Dengan demikian nilai
ekonomi total dapat diformulasikan sebagai berikut:

TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + ( XV + BV)

Direct Use Value (DUV) terdiri dari yang ekstraktif dan non ekstraktif. Nilai guna
langsung ekstraktif adalah nilai ekonomi yang diberikan oleh sumberdaya alam dan
lingkungan kepada berbagai kegiatan ekonomi, seperti: pertanian, pertambangan,
kehutanan dan perikanan. Nilai guna langsung non ekstraktif adalah nilai ekonomi
sumberdaya alam yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan secara langsung,
misalnya kegiatan wisata alam di kawasan hutan.

Laporan Akhir 6
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Indirect Use Value (NUV) yakni nilai ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari
sumberdaya alam dan lingkungan secara tidak langsung, seperti manfaat ekologis
dari hutan sebagai pengatur tata air, iklim mikro dan pencegah erosi. Seringkali
NUV diabaikan karena tidak langsung dapat dirasakan sebagai manfaat ekonomi.

NILAI EKONOMI TOTAL

Nilai-nilai Nilai-nilai
Manfaat Tidak Dimanfaatkan

Nilai-nilai Nilai-nilai
Manfaat Langsung Manfaat Tidak Nilai-nilai Nilai-nilai Nilai-nilai
Langsung Pilihan Yang Diminta Kehidupan

Nilai-nilai manfaat Nilai manfaat Nilai pengetahuan


Luaran-luaran Keuntungan- langsung dan tidak tempat tinggal dan kehidupan yang
yang dapat keuntungan langsung nilai-nilai tidak berlanjut, misalnya
dikonsumsi secara fungsional mendatang dimanfaatkan didasarkan pada
langsung untuk anak cucu keyakinan moral

∗ Fungsi-fungsi
∗ Makanan ekologi ∗ Keanekaragaman ∗ habitat ∗ habitat
∗ Biomassa ∗ Kontrol banjir hayati ∗ Perubahan- ∗ jenis-jenis
∗ Rekreasi ∗ Perlindungan ∗ Habitat-habitat yang perubahan yang yang terancam
∗ kesehatan dari badai dikonservasi tidak dapat
dirubah lagi

Kedapatan untuk dihitung manfaat individu makin kecil

Gambar 2.2. Kategori Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove


(Dimodifikasi, Pierce, 1992 dalam Munasinghe, 1993)

Non Use Value (NUV) merupakan nilai ekonomi yang diperoleh masyarakat dari
sumberdaya alam dan lingkungan, akan tetapi dengan pertimbangan tertentu tidak
dimanfaatkan secara langsung. Ada dua kategori utama nilai ini: (i) Existence Value
(XV), yakni nilai yang menyangkut kepercayaan masyarakat bahwa keberadaan
suatu kawasan konservasi dapat memberikan manfaat, misalnya untuk kepentingan
kebudayaan yang diwujudkan berupa hutan adat dan lubuk larangan dan (ii)
Bequest Value (BV), yakni manfaat yang diterima oleh masyarakat saat ini dengan
cara melindungi suatu kawasan tertentu sehingga generasi mendatang dapat
menikmati dan memanfaatkannya.

Nilai pilihan (option value = OV) adalah nilai pilihan masyarakat yang berupa
penundaan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada dengan

Laporan Akhir 7
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

alasan bahwa masih dibutuhkan teknologi masa depan untuk suatu pemanfaatan
yang bernilai lebih tinggi. Misalnya, pemanfaatan air terjun untuk penyediaan air
bersih dengan menggunakan teknologi gravitasi.

(1) Pendekatan Penilaian

Penilaian ekonomi sumberdaya mangrove di lokasi kegiatan digunakan pendekatan


non kurva permintaan (non demand curve approach). Turner (1994) menjelaskan
bahwa pendekatan non kurva permintaan meliputi beberapa pilihan pendekatan,
antara lain: dosis-respon (the dose-response), biaya penggantian (replacement
cost), Perilaku mencegah (mitigation behavior) dan biaya kesempatan (opportunity
cost) .

a. Dosis-respon (The Dose-response). Pendekatan didasarkan pada gagasan


bahwa bagi kebanyakan aktivitas, kualitas lingkungan bisa dianggap sebagai
suatu faktor produksi. Pendekatan ini mengestimasi hubungan dosis respon,
yaitu antara tingkat polusi dan dampaknya terhadap bahan-bahan tertentu,
misalnya dampak kualitas air terhadap produktivitas pertanian, perikanan,
industri, dan sebagainya.

b. Biaya penggantian (Replacement cost). Penilaian berdasarkan biaya


penggantian atau pemulihan aset (sumberdaya) yang mengalami degredasi.
Misalnya, erosi tanah didekati dengan biaya pembuatan berbagai
prasarana/bangunan untuk mencegah erosi.

c. Perilaku mencegah (Mitigation behavior). Penilaian didasarkan kepada biaya


untuk menghindari/mencegah. Misalnya biaya untuk membangun tanggul dan
banunan lainnya untuk mencegah terjadinya banjir karena hutan telah
rusak/gundul.

d. Biaya kesempatan (opportunity cost). Pendekatan ini tidak melakukan penilaian


manfaat lingkungan. Penilaian didekati dari biaya pengadaan

Selain ke-empat pendekatan di atas, juga digunakan pendekatan lainnya seperti


yang disampaikan oleh Krieger (2001). Pendekatan-pendekatan ini meliputi:
pengeluaran untuk mempertahankan atau mencegah (defensive or averting
expenditures), transfer manfaat (benefit transfer), nilai komersial (commercial
value), pengeluaran kotor (gross expenditures) dan dampak ekonomi (economic
impact).

a. Pengeluaran untuk mempertahankan atau mencegah (Defensive or averting


expenditures). Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menilai pengeluaran
untuk mempertahankan atau menghindari kehilangan jasa ekosistem melalui
penggunaan teknologi tertentu. Ukuran nilai yang diperoleh bukan berkenaan
dengan surplus konsumen, karena hanya menghitung pengeluaran aktual

Laporan Akhir 8
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

(bukan maksimum kesediaan membayar/willingness to pay = WTP). Dengan


demikian pendekatan ini cenderung memberikan nilai ekosistem yang lebih
rendah.

a. Transfer manfaat (benefit transfer). Pendekatan dilakukan dengan


menggunakan nilai sumberdaya ekosistem di suatu lokasi tertentu untuk
digunakan menghitung nilai sumberdaya di tempat lain. Validitas nilai yang
diperoleh jika menggunakan pendekatan ini sangat tergantung pada kualitas
perhitungan yang telah dilakukan serta kesamaan karakteritik dari sumberdaya-
lingkungan yang dinilai. Pendekatan benefit transfer telah digunakan secara luas
karena relatif mudah dan memerlukan anggaran yang besar dalam
penerapannya.

b. Nilai komersial (Commercial value). Pendekatan dilakukan dengan


menggunakan data harga barang pasar (market price), misalnya untuk
menghitung nilai ekosistem hutan, maka digunakan harga kayu komersial yang
ada di kawasan tersebut. Namun, ukuran ini hanya parsial karena nilai
ekosistem kawasan hutan hanya dinilai dari produksi kayunya saja dan
mengabaikan nilai yang lainnya.

c. Pengeluaran kotor (Gross expenditure). Pendekatan yang sering digunakan


berkaitan dengan kegiatan wisata atau rekreasi dilakukan dengan menghitung
total pengeluaran yang dilakukan oleh pengunjung. misalnya untuk transportasi,
peralatan dan bahan-bahan lainnya. Pengeluaran bersih hanya memberikan
indikasi akan pentingnya aktivitas tersebut, tetapi tidak mengukur nilai ekonomi
sebagaimana yang dimaksudkan sebagai surplus konsumen. Pendekatan ini
juga tidak mengestimasi kurva permintaan dan maksimum WTP.

d. Dampak Ekonomi (Economic impact). Pendekatan dilakukan dengan


memperhitungkan dampak langsung dari suatu kegiatan terhadap
perekonomian setempat (local economy). Misalnya, nialai ekonomi suatu hutan
wisata adalah pengeluaran pengunjung untuk makanan, penginapan, air dan
keperluan lainnya yang berdampak kepada pendapatan, keuntungan, lapangan
kerja dan penerimaan pajak. Pendekatan ini hanya mengindikasikan adanya
dampak kegiatan terhadap perekonomian setempat, tetapi tidak mengukur nilai
ekonomi sebagaimana dimaksudkan surplus konsumen.

Beberapa hasil penelitian mengenai nilai manfaat ekonomi dari eksositem mangrove
secara keseluruhan (total ecosystem) yang dilakukan oleh Hamilton dan Snedaker
(1984) di Trinidad Tobago dan Puerto Rico, masing-masing sebesar US$ 500
/ha/tahun dan US$ 1550 /ha/tahun. Sementara untuk nilai dari ekosistem mangrove
yang sifatnya parsial dilakukan olleh Christensen, 1982 (manfaat ekonomi dari
ekosistem mangrove sebagai pengendali banjir di Malaysia sebesar US $ 1.701
/ha/tahun dan habitat untuk nursery di Thailand sebesar US $ 142.64 ha/thn), Green

Laporan Akhir 9
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

dan Soderqvist, 1994 (manfaat mangrove untuk perikanan komersial di Indonesia


sebesar US $ 17.30 ha/thn), Ruitenbeek, 1988 (manfaat perikanan tradisional
sebesar US $ 15,88 /ha/thn, Dugan, 1990 (manfaat arang di Malaysia sebesar US $
222.83 /ha/thn, sedangakan nilai kayu sebesar US $ 233,19 ha/thn) serta Hamilton
dan Snedaker, 1984 (fungsi ekosistem mangrove untuk di Trinidad Tobago sebesar
US $ 285,57 ha/thn dan di Puerto Rico sebesar US $ 909 ha/thn).

(2) Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove

Hutan mangrove dicirikan oleh adanya formasi hutan yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut dengan kondisi tanah yang anaerobik. Nontji (1987) dalam Dahuri
(1998) menyatakan bahwa komunitas mangrove di Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati tertinggi didunia dengan 89 spesies tumbuhan (35 spesies
pohon, 9 spesies perdu, 16 spesies liana, 29 spesies epifit, 80 spesies crustacea,
65 spesies moluska, dan 2 spesies parasitik.

Secara biologis dalam keadaan alami, tumbuhan mangrove merupakan


sumberdaya utama pada lahan pesisir yang membentuk komunitas ekosistem
mangrove. Hal ini disebabkan karena tumbuhan berada pada tingkat paling bawah
dari piramida makanan pada ekosistem tersebut. Sebagai salah satu bentuk
ekosistem lahan basah, ekosistem mangrove (selain padang lamun) merupakan
habitat bagi berbagai spesies, terutama bagi jenis-jenis hewan terestrial. Ekosistem
hutan mangrove juga berfungsi sebagai perangkap sediman (trap sediment) dan
menghalangi erosi sehingga dapat melindungi terumbu karang dan sedimentasi.
Fungsi lainnya, yaitu sebagai pelindung wilayah pesisir dari kerusakan yang
ditimbulkan oleh ombak dan badai.

Keberadaaan ekosistem mangrove sebagai habitat bagi larva dan juwana berbagai
jenis hewan pada eksositem laut dangkal, maka secara langsung memiliki
keterkaitan (linkages) dengan kualitas dan kuantitas sumberdaya ikan dan biota
lainnya. Dalam hubungan tersebut, hasil penelitian Martosubroto dan Naamin
(1977) memperlihatkan korelasi yang cukup berarti antara luas hutan mangrove
dengan produksi udang. Demikian pula dengan hasil penelitian Tahun 1991 dalam
Ruitenbeek (1995) menunjukkan bahwa manfaat tradisional hutan mangrove di teluk
Bintuni (perikanan, perburuan, dan pengumpulan produk) oleh penduduk setempat
bernilai US $ 10 juta per tahun.

Hasil penelitian di atas dapat membuat suatu premise bahwa ekosistem mangrove
bukan suatu “lahan yang tidak berguna” (waste land), tetapi merupakan ekosistem
yang produktif dengan karakteristik keanekaragaman flora dan fauna, memiliki
fungsi ekologis, dan fungsi sosial ekonomis dalam menunjang sistem kehidupan
dari beribu-beribu masyarakat di sekitar kawasan pesisir (perkiraan saat ini ± 60%
dari jumlah penduduk Indonesia tinggal di kawasan pesisir).

Laporan Akhir 10
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Mencermati manfaat yang dapat dihasilkan dari ekosistem mangrove, Camillle Bann
(1999) mencoba membaginya kedalam 3 domain, yaitu: (i) fungsi produksi yang
berkelanjutan, (ii) fungsi pengatur lingkungan, dan (iii) fungsi Informasi. Dalam
terminologi yang sifatnya holistik, ekosistem hutan mangrove juga memiliki
“keunikan” dan berfungsi secara sosial dan ekonomi. Klasifikasi manfaat dan fungsi
dari ekosistem mangrove dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Fungsi dan Manfaat Lingkungan Ekosistem Mangrove


A. Fungsi Produksi Berkelanjutan C. Fungsi Pembawa dan Pangatur
1. Kayu bakar 1 Pengendali erosi
2. Arang 2 Penyerap dan recycle limbah manusia
3. Ikan 3 d l
Memelihara lbiodiversity
i
4. Udang 4 Tempat migrasi habitat
5. Tanin 5 Tempat pemijahan dan pembibitan
6. Nipa 6 Supplai unsur hara (nutrient)
7. Obat-obatan 7 Regenerasi nutrien
8. Perburuan tradisional, penangkapan 8 Melindungi dan memelihara terumbu
9. ik d
Sumberdaya genetikl d k k

B. Sosial Ekonomi/ Fungsi Konversi D. Fungsi Informasi


1. Industri dan penggunaan lahan 1 Informasi religius dan spiritual
2. Tambak 2 Inspirasi artistic dan budaya
3. Usahatani padi 3 Informasi pendidikan, sejaran dan
4. Habitat bagi penduduk asli b il h
5. Tempat rekreasi

Manfaat dan fungsi dari ekosistem mangrove sebagaimana diuraikan pada Tabel
2.1 dapat bertambah atau berkurang dalam suatu wilayah menurut tingkat
pemanfaatannya. Artinya, manfaat dari sumberdaya hutan mangrove hanya akan
dapat diketahui dan dirasakan kepentingannya apabila masyarakat mengetahui
fungsi dan manfaat tersebut secara langsung (ada ketergantungan).

2.1.3. Kerangka Pendekatan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan


Sumberdaya Hutan Mangrove

Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove (SDHM) di Indonesia telah


diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-
Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Secara lebih operasional kebijakan pengelolaan hutan mangrove
diatur dalam Peraturan Pemerintah No.06 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

Nilai ekonomi-sosial dan nilai ekologi SDHM sampai saat ini belum teridentifikasi
secara memadai, baik pada kawasan hutan maupun non kawasan hutan. Di lain

Laporan Akhir 11
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

pihak, tingkat pemanfaatan SDHM terus berkembang sesuai dengan tingkat


kebutuhan masyarakat dan pasar. Dengan demikian kajian terhadap Nilai dan
Manfaat SDHM tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan.

Inventarisasi dan Identifikasi terhadap Nilai Manfaat Sumberdaya Hutan Mangrove,


baik yang telah dimanfaatkan (kayu dan turunannya, makanan/minuman, wisata
alam, biota air, dan sebagainya) maupun yang belum dimanfaatkan (proses
ekologis, karbon, keanekaragaman hayati flora dan fauna, dan sebagainya) perlu
dilakukan untuk mengetahui posisi data informasi terkini tentang: (i) luas dan status
kawasan, (ii) potensi dan distribusi SDHM, (iii) dayadukung SDHM, (iv) teknik dan
proses produksi yang telah dilakukan atau yang dapat dilakukan, (v) pemasaran dan
harga pasar, (vi) biaya produksi, (vii) dampak negatif dan positif yang ditimbulkan,
(viii) legalitas pemanfaatan, (ix) kelembagaan pengelolaan dan permodalan serta (x)
persepsi dan peranserta masyarakat lokal dalam kegiatan pemanfaatan SDHM.

Gambaran nilai dan manfaat SDHM dapat diperoleh dengan melakukan analisis
terhadap penilaian ekonomi total. Data dan informasi hasil analisis ini sangat
berguna dalam mengatahui seberapa tinggi dan komponen SDHM yang mana
memberikan kontribusi pada nilai ekonomi total serta untuk mengetahui Nilai
ekonomi total langsung (Direct Value). nilai tidak langsung (Indirect value), nilai
manfaat pilihan (Option value) dan non use value SDHM pada suatu lokasi.
Selanjutnya hasil penilaian TEV dapat digunakan untuk melakukan analisis
kelayakan pemanfaatan bagi setiap jenis komoditas SDHM pada setiap lokasi yang
didasarkan atas: (i) kelayakan teknis pemanfaatan, (ii) kelayakan ekologis, (iii)
kelayakan ekonomi/finansial dan (iv) kelayakan sosial/kelembagaan. Keterpaduan
hasil analisis akan direkomendasikan sebagai hasil penilaian kelayakan
pemanfaatan komoditas sumberdaya hutan mangrove, yang selanjutnya disusun
strategi pengembangan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove secara
berkelanjutan.

Laporan Akhir 12
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Sumberdaya
Hutan PENGELOLAAN
Mangrove

NILAI DAN MANFAAT


SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE

Nilai Nilai
EKONOMI-SOSIAL EKOLOGI

INVENTARISASI
& IDENTIFIKASI

ANALISIS

Sumberdaya Hutan Sumberdaya Hutan


Mangrove yang Mangrove yang Potensial/
Telah Dimanfaatkan Belum dimanfaatkan

DATA & INFORMASI


1. Luas dan Status, distribusi 6. Legalitas
2. Potensi/Volume 7. Kelembagaan
3. Daya dukung 8. Sosek masyarakat
4. Proses Produksi 9. Persepsi dan
5. Pemasaran dan Harga peranserta masyarakat

ANALISIS Penilaian
Ekonomi

ANALISIS KELAYAKAN PEMANFAATAN


TIDAK

YA

STRATEGI PENGEMBANGAN PEMANFAATAN

Gambar 2.3. Kerangka Pendekatan Inventarisasi dan Identifikasi


Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Laporan Akhir 13
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

2.2. LOKASI KEGIATAN


Kegiatan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan
Mangrove dilaksanakan pada empat (4) lokasi, yaitu:

(1) Denpasar, Provinsi Bali dengan fokus pemanfaatan jasa ekowisata;

(2) Batu Ampar, Provinsi Kalimantan Barat, dengan fokus pada pemanfaatan arang;

(3) Subang (Jawa Barat) dan atau Pemalang (Jawa Tengah), dengan fokus pada
pemanfaatan tambak silvofishery (bandeng, udang, kepiting, dan lain-lain); serta

(4) Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, dengan fokus pada manfaat ekologi.

Keempat lokasi studi diharapkan dapat memberikan gambaran yang mampu


mewakili berbagai pemanfaatan SDHM di Indonesia, baik dalam aspek ekonomi-
sosial maupun aspek ekologi.

2.3. SISTEMATIKA PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA

2.3.1. Alat dan Perlengkapan


Alat yang digunakan dalam pengambilan data pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove antara lain: peta administrasi, GPS, kompas, meteran gulung (30 m),
daftar kuesioner, tape recorder, kamera digital dan alat tulis (pensil, penghapus,
kertas, kertas milimeter block, kertas kalkir, rapido). Perlengkapan yang
dipersiapkan untuk penelitian yang digunakan sesuai kebutuhan merupakan
personal use yang terdiri dari: sepatu boot, ransel, jas hujan, topi lapang, kaos, life
jacket, payung, dan lain-lain.

2.3.2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data untuk kepentingan analisis sesuai dengan kerangka pendekatan yang
telah diuraikan di atas, terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dan
sekunder ini memiliki keterkaitan antara yang satu dengan lainnya serta bersifat
saling melengkapi dan mendukung.

Pengumpulan data primer SDHM dilakukan dengan uji petik guna mengecek
langsung kondisi sumberdaya di lapang (potensi) dan pemanfaatannya,
mendokumentasikan (gambar/foto), mengidentifikasi dan menginventarisir
pemanfaatan SDHM. Metode yang digunakan berupa pengamatan langsung,
wawancara, dan diskusi dengan masyarakat, pelaku usaha, dan unit manajemen.
Wawancara dengan para pihak ini dilakukan untuk memperoleh data jenis, jumlah
yang dimanfaatkan, volume produksi, komponen biaya, harga, teknik pemanfaatan
dan pengolahan, pemasaran, serta permasalahan pemanfaatan. Pengumpulan data
sekunder dilakukan melalui kompilasi data/laporan/buku di instansi/pihak-pihak yang
pernah atau sedang melakukan kajian/penelitian di lokasi kajian. Sistematika jenis
dan metode pengumpulan data SDHM disajikan pada Tabel 2.2.

Laporan Akhir 14
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Tabel 2.2 Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis Data Sumber Data Teknik


Pengumpulan Data
A. Primer

1. Jenis SDHM yang sudah dan Unit manajemen, Pengamatan lapang,


potensial dimanfaatkan masyarakat lokal, wawancara dan
(a) kayu pejabat diskusi
(b) bahan makanan dan minuman pemerintah
(c) biota darat daerah, pelaku
(d) biota air
(e) jasa lingkungan
usaha dan
(f) wisata, stakeholder lain
(g) tumbuhan obat/farmasi terkait.
(h) getah
(i) sosial budaya
(j) lainnya

2. Kuantifikasi sumberdaya
(a) luas dan status kawasan
(b) jumlah/volume sumberdaya
(c) jumlah pelaku usaha
(d) komponen biaya
(e) teknologi pemanfaatan

3. Data pendukung
(a) RTR dan TGHK
(b) aksesbilitas kawasan,
(c) kelembagaan dalam
pemanfaatan SDHM
(d) peranserta dan persepsi masyarakat
dalam pemanfaatan SDHM
(e) legalitas pemanfaatan, harga dan
pemasaran SDHM

B. Sekunder

1. Sebaran SDHM yang sudah dan Instansi pemerintah Studi pustaka


potensial untuk dimanfaatkan. daerah dan
2. Status dan permasalahan pemerintah pusat,
pemanfaatan SDHM LIPI, Bakosurtanal,
3. Teknik pemanfaatan dan pengolahan JICA, perguruan
SDHM tinggi, lembaga
4. Sarana dan fasilitas produksi swadaya masyarakat
5. Pemasaran,. berbasis riset, dan
6. Kependudukan, sosial, ekonomi, dan instansi lainnya.
kelembagaan

2.3.3. Metode Analisis Data


(1) Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dimaksudkan untuk mendeskripsikan tentang kondisi dan potensi


sumberdaya hutan mangrove (potensi kayu, daya dukung, potensi biota air, wisata

Laporan Akhir 15
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

alam dan jasa lingkungan lainnya, proses produksi, pemasaran dan harga,
kelembagaan dan legalitas, efektifitas pengelolaan serta persepsi dan peran serta
masyarakat lokal). Beberapa perhitungan dilakukan dengan metoda statistik,
seperti: perhitungan potensi kayu, produksi arang, produksi biota air dan daya
dukung SDHM.

(2) Analisis Valuatif

Metode analisis data pemanfaatan sumberdaya yang umum digunakan adalah


analisis valuatif berdasarkan pada pendekatan total nilai ekonomi (TEV) . Metode
analisis valuatif digunakan untuk melakukan kuantifikasi nilai ekonomi SDHM yang
telah dimanfaatkan dan potensial untuk dimanfaatkan. Nilai hasil kuantifikasi dalam
unit rupiah dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tingkat awareness
masyarakat terhadap nilai sumberdaya. Nilai yang diperoleh dapat dijadikan acuan
sebagai nilai harapan pengembangan manfaat ekonomi ke depan. Nilai tersebut
juga merupakan acuan dalam analisis biaya-manfaat (benefit-cost analysis) dari
perspektif TEV. Analisis valuatif dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu: (i) identifikasi
manfaat dan fungsi-fungsi SDHM, (ii) Kuantifikasi fungsi dan manfaat ke dalam nilai
uang dan (iii) Valuasi nilai manfaat SDHM.

a. Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi SDHM

Untuk keperluan valuasi perlu diketahui jenis-jenis fungsi dan manfaat


sumberdaya hutan mangrove. Jenis-jenis sumberdaya hutan mangrove telah
diuraikan pada sub-bab sebelumnya. Berdasarkan pada jenis sumberdaya hutan
mangrove, maka dilakukan pengelompokan fungsi dan manfaat sumberdaya
hutan mangrove ke dalam nilai penggunaanya, yaitu:

(1) Nilai penggunaan langsung (direct-use value = DUV) yang merupakan nilai
barang dan jasa SDHM yang digunakan langsung oleh manusia, seperti: kayu
komersial, arang, tiang pancang, kayu bakar, nipah, obat-obatan, kerang,
untuk konstruksi, tanaman obat-obatan, dan lain-lain;

(2) Nilai penggunaan tidak langsung (indirect-use value = IUV) merupakan manfaat
ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari SDHM secara tidak langsung,
seperti: manfaat ekologis sebagai pencegah abrasi, penahan intrusi, penahan
gelombang/rob, penahan angin/windsbreak, akresi/ penambahan lahan, penetral
toksik, penyerap karbon, dan lain-lain;

(3) Nilai penggunaan pilihan (option value = OV) diturunkan dari pilihan untuk
melakukan preservasi bagi penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan
lingkungan mangrove di masa yang akan datang yang tidak dapat digunakan
pada saat sekarang; serta

(4) Nilai bukan penggunaan (non-use value = NUV) berupa manfaat yang dapat
dinikmati manusia sehubungan dengan keberadaan sumberdaya alam dan

Laporan Akhir 16
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

lingkungan mangrove yang terdiri dari manfaat keberadaan (existence value)


dan manfaat warisan (bequest value).

b. Kuantifikasi fungsi dan manfaat ke dalam nilai uang

Kuantifikasi merupakan suatu proses mengekspresikan manfaat yang telah


diidentifikasi ke dalam satuan fisik (physical units), misalnya: luas areal, jumlah/
volume produksi, dan sebagainya. Proses kuantifikasi ini merupakan tahap yang
paling krusial dalam menentukan nilai suatu manfaat sumberdaya hutan mangrove.

c. Valuasi nilai manfaat SDHM

Dilakukan valuasi masing-masing fungsi dan manfaat dari berbagai jenis SDHM.
Valuasi dilakukan dengan berbagai teknik yang disesuaikan dengan
ketersediaan data dan bantuk manfaat sumberdaya bersangkutan.

(1) Pendekatan Pasar

Teknik nilai pasar akan digunakan untuk komoditas-komoditias yang langsung


dapat diperdagangkan dari eksositem kawasan hutan mangrove, misalnya
arang, kayu bakau, ikan, kepiting dan hasil hutan bukan kayu lainnya. Teknik
nilai pasar ini sebagian besar akan digunakan untuk menghitung manfaat
langsung.

(2) Pendekatan Non-Pasar

(i) Contingent Valuation (CV)

Teknik Penilaian Kontingensi (Contingent Valuation Technique) dilakukan


melalui survei yang menanyakan tentang nilai atau harga yang diberikan
terhadap komoditas bukan pasar (non market). Cara ini sering digunakan
untuk menilai pilihan atau keberadaan suatu fungsi sumberdaya alam. Pada
Contingent Valuation, masing-masing orang ditanya apakah bersedia
membayar untuk barang dan jasa ekosistem mangrove. Pada pelaksanaan
studi digunakan kuesioner untuk mewawancarai responden dengan target para
responden dapat mengekspresikan nilai-nilai bagi barang dan jasa lingkungan
non market. Berbagai respon dari suatu sampel yang representatif menyediakan
informasi yang diperlukan untuk menduga permintaan dan nilai ekonomi.

(ii) Preventive Expenditure

Teknik Biaya Pencegahan (Preventive Expenditure Technique) untuk


memperoleh nilai barang-barang dan jasa lingkungan mangrove dengan
menduga biaya pencegahan kerusakan manfaat barang-barang dan jasa
tersebut yang disediakan oleh suatu kawasan. Teknik ini digunakan untuk
menghitung nilai guna tidak langsung hutan mangrove.

Laporan Akhir 17
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

(iii) Benefit Transfer

Pendekatan transfer manfaat (benefit transfer) dilakukan dengan


menggunakan nilai barang dan jasa ekosistem mangrove yang sudah
dihitung di suatu lokasi yang lain. Validitas nilai yang diperoleh diupayakan
secara maksimal dengan cara menjaga kualitas perhitungan yang telah
dilakukan serta kesamaan karakteritik dari sumberdaya lingkungan yang
dinilai.

Perhitungann nilai jasa lingkungan penyerap karbon menggunakan formula sebagai


berikut:

Nilai penahan abrasi = Panjang Pantai Mangrove x Faktor konversi x Rp 3 milyar/1km

Nilai penyerapan CO2 = Potensi serapan CO2 x harga CO2 (harga CO2 US$15/ton)

(3) Analisis Kelayakan Pemanfaatan

Berdasarkan pada hasil kuantifikasi manfaat dan biaya pada pemanfaatan SDHM
maupun yang potensial untuk dimanfaatkan, maka untuk mengetahui tingkat
kelayakan usaha pamanfaatan maupun potensi pemanfaatan dilakukan Analisis
Kelayakan Pemanfaatan, yang meliputi: (i) analisis finansial, (ii) analisis kelayakan
teknis, (iii) analisis kelayakan ekologi dan (iv) analisis kelayakan
sosial/kelembagaan.

a. Kelayakan Finansial

(1) Prosedur Analisis Finansial, meliputi:

(i) Pengukuran sumberdaya (barang dan jasa) dalam bentuk nilai moneter,
yang merupakan ringkasan manfaat dan biaya berkenaan dengan skema
pengelolaan (pemanfaatan) yang dibuat;
(ii) Analisis finansial dalam upaya menentukan pilihan pemanfaatan yang paling
efisien, optimal dan memberi keuntungan maksimal;
(iii) Mempersiapkan rekomendasi kebijakan berkenaan dengan pemanfaatan
SDHM.

(2) Penggunaan ukuran kelayakan dan kriteria yang digunakan

Kriteria kelayakan yang digunakan dalam suatu kegiatan pemanfatan, antara


lain: Net Present Value (NPV) atau Nilai Sekarang Bersih, Internal Rate of
Return (IRR) atau Tingkat Pengembalian Internal dan Benefit Cost Ratio
(B/C) atau Rasio Biaya–Manfaat. Ketiga ukuran ini memiliki kelebihan karena
tidak mempermasalahkan sama sekali dalam hal apa perhitungan dilakukan.
Dengan demikian, ukuran ini dapat mengakomodir perhitungan terhadap

Laporan Akhir 18
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

manfaat dan biaya pemanfaatan SDHM di tingkat masyarakat, pelaku usaha


dan unit manajemen.

(i) Net Present Value (NPV), adalah ukuran nilai sekarang dari arus pendapatan
yang ditimbulkan dari suatu kegiatan alih fungsi lahan. NPV dihitung dengan
terlebih dahulu mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat
dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya.

Formulanya sebagai berikut :

t=n Bt - Ct
NPV = ∑ ----------
t=1 ( 1+r ) t
Bt adalah benefit kegiatan alih fungsi lahan tiap tahun, Ct merupakan biaya
tiap tahun, r adalah suku bunga, t adalah tahun 1, 2,...,n dimana n jumlah
tahun. Kriteria formal yang digunakan, jika NPV positif, maka kegiatan
ekonomi layak dilakukan, sebaliknya jika NPV negatif, maka kegiatan
ekonomi tidak layak dilakukan.

(ii) Internal Rate of Return (IRR), merupakan ukuran tingkat bunga maksimum
yang dapat dibayar oleh kegiatan ekonomi untuk sumberdaya yang
digunakan karena kegiatan ekonomi membutuhkan dana lagi untuk biaya-
biaya operasi dan investasi dan kegiatan ekonomi baru sampai pada tingkat
pulang modal. IRR merupakan ukuran kemanfaatan kegiatan
ekonomi/proyek yang sangat berguna.

Formula yang digunakan sebagai berikut:

t=n Bt - Ct
IRR = ∑ ----------- = 0
t=1 ( 1+r )t
Kriteria formal yang digunakan, jika IRR = 0, berarti pada tingkat bunga
berlaku kegiatan ekonomi dapat mengembalikan kapital dan biaya operasi
yang dikeluarkan. IRR dalam analisis finansial menyatakan “tingkat
pengembalian finansial” kegiatan ekonomi.

(iii) Benefit Cost Ratio (B/C), merupakan ukuran kemanfaatan proyek yang
berdiskonto, dengan membandingkan nilai sekarang arus manfaat (B)
dengan nilai sekarang arus biaya (C).
Formula B/C adalah sebagai berikut:

t=n Bt
∑ --------
t=1 ( 1+r ) t
B/C = ----------------
t=n Ct
∑ --------
t=1 ( 1+r )t

Laporan Akhir 19
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Kriteria formal yang digunakan, jika nilai B/C>1, maka kegiatan ekonomi
dapat dilaksanakan karena akan memberikan keuntungan.

Pelaksanaan studi sangat memperhatikan prinsip-prinsip penerapan analisis


finansial dan analisis ekonomi dalam mengevaluasi kegiatan pemanfaatan
sumberdaya hutan mangrove. Benefit (B) pada analisis finansial, merupakan
pendapatan dari pemanfaatan SDHM oleh masyarakat atau swasta,
sedangkan pada analisis ekonomi meliputi pendapatan dari pemanfaatan
sumberdaya hutan mangrove ditambah dengan manfaat sosial yang
dihasilkan dari ekosistem mangrove.
Cost (C) pada analisis finasial meliputi semua biaya yang berkaitan dengan
aktivitas pemanfaatan SDHM, mulai dari perencanaan sampai dengan
penjualan hasil. Pada analisis ekonomi dimasukkan biaya eksternalitas
(biaya imbangan) sehubungan dengan adanya aktivitas pemanfaatan
SDHM. Namun dalam analisis ekonomi, pajak tidak termasuk biaya karena
pajak dan subsidi hanyalah transfer.

(3) Penentuan suku bunga

Pada analisis finansial, tingkat suku bunga atau tingkat diskonto yang digunakan
adalah tingkat suku bunga pinjaman nominal (nominal interest rate) yang
berlaku diperbankan. Sedangkan untuk analisis ekonomi digunakan tingkat suku
bunga riil (riel interest rate) dengan formula sebagai berikut:
1+ i
1+ i r = −1
1+ r = atau 1+ f
1+ f

r adalah suku bunga riil, i suku bunga nominal dan f tingkat inflasi.

Dalam analisis, seluruh manfaat dan biaya didiskontokan didasarkan atas suku
bunga periode tahun dimulainya investasi dan dikenakan sejak tahun pertama
kegiatan ekonomi alih fungsi lahan dilakukan.

b. Kelayakan Teknis

Kelayakan teknis ditentukan oleh peluang terwujudnya keberlanjutan produksi


atas SDHM yang akan dikelola untuk dikembangkan, memungkinkan dilakukan
budidaya, secara teknis dapat dilakukan budidaya yang menghasilkan produk
barang atau jasa. Disamping itu secara teknis peluang usaha tersebut dapat
dilaksanakan dengan sentuhan riset dan teknologi.

c. Kelayakan Ekologis

Kelayakan ekologis disyaratkan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan akibat


kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat. Dengan kata lain kegiatan

Laporan Akhir 20
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

pemanfaatan SDHM, baik untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan


masyarakat, pelaku usaha dan unit manajemen tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan mangrove dan tetap mempertahankan fungsi ekologis ekosistem
hutan mangrove. Disamping itu aspek ekologis juga dianalisis dalam kajian
valuasi ekonomi sumberdaya.

d. Kelayakan Sosial Budaya (Kelembagaan)

Kondisi sosial budaya masyarakat di lokasi kajian (didalam dan diluar hutan
mangrove) cukup bervariasi. Karakteristik sosial budaya yang dimiliki sangat
penting dipertimbangkan dalam menentukan kelayakan model pengembangan
ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan barang dan jasa. Kesiapan
masyarakat dalam mengadopsi teknologi dan informasi, serta kemampuan
ketrampilan masyarakat perlu ditelaah, agar model pengembangan ekonomi
masyarakat yang akan dituangkan dalam Rancangan Pengembangan Ekonomi
Masyarakat benar-benar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat lokal
di lokasi studi.

(4) Analisis Strategi Pengembangan Usaha

Kelanjutan hasil dari serangkaian kajian data, informasi dan analisis kelayakan
pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove (finansial/ekonomis, teknis, ekologis,
kelembagaan) adalah suatu “Rencana Pengembangan Pemanfaatan Sumberdaya
Hutan Mangrove”, yang berisi langkah-langkah pengembangan usaha sebagai
petunjuk teknis bagi pengelola hutan mangrove pada masing-masing lokasi
(Denpasar-Bali, Batu Ampar, Subang dan Pemalang serta Cilacap) yang
dimungkinkan replikasi pada pengelolaan hutan mangrove lainnya yang memiliki
kondisi sumberdaya hutan mangrove serupa. Strategi pengembangan disusun
menurut lokasi, jenis kegiatan, jenis komoditi, pelaku, pasar, pola kemitraan,
insentif, dalam periode tertentu dan dengan pembiayaan multipihak (pemerintah,
swasta, asing, masyarakat, dan sebagainya).

Laporan Akhir 21
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

III. KONDISI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE

3.1. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Ekowisata di Bali

3.1.1. Kondisi Umum Lokasi

a. Luas dan Status

Secara keseluruhan Taman Huta Raya Ngurah Rai memiliki luas 1373,5 ha dengan
batas luar sepanjang 40,48 km. Letak geografis terletak antara 115o10’ – 115o15’BT
dan 8o41’ – 8o47’LS.

Secara administrasi pemerintahan, Tahura Ngurah Rai berada di Teluk/Tanjung


Benoa dan sekitarnya pada Kabupaten Badung seluas 627 Ha dan Pulau Serangan
di Kota Denpasar seluas 740,50 Ha. Sedangkan menurut pembagian administrasi
pengelolaan hutan, kawasan ini terletak di wilayah RPH Prapat Benoa, Dinas
Kehutanan Propinsi Bali.

Desa-desa pantai yang mencakup wilayah kawasan Tahura Ngurah Rai terdiri dari
12 desa pantai pada 3 (tiga) Kecamatan, yaitu di Kabupaten Badung: Kecamatan
Kuta Selatan (Desa Benoa, Tanjung Benoa, Jimbaran), Kecamatan Kuta (Desa
Kedonganan, Tuban dan Kuta) dan di Kota Denpasar: Kecamatan Denpasar
Selatan (Desa Pamogan,
Pedungan, Sesetan,
Serangan, Sidakarya,
Sanur Kauh).

b. Penggunaan Lahan

Berdasarkan data Badung


dalam Angka Tahun 2007
dan Denpasar dalam
Angka Tahun 2007,
diketahui bahwa lahan di
Gambar. 3.1. Peta Lokasi Tahura Ngurah Rai, Bali sekitar kawasan Tahura

Ngurah Rai dimanfaatkan untuk sawah seluas 719,09 hektar, tegal (huma) 2.173,6
hektar, pekarangan 4.226,09 hektar, perkebunan 1.079,12 hektar, kuburan 6,8
hektar dan penggunaan lainnya 1.859,3 hektar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 3.1.

Laporan Akhir 22
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Tabel 3.1. Penggunaan lahan di desa-desa pantai sekitar kawasan Tahura Ngurah
Rai Tahun 2007
Tegal/ Lain-
Luas Sawah Pekarangan Perkebu- Kuburan
No Kec Desa/ Kel Huma lain
(km2) (ha) (ha) nan (ha) (ha)
(ha) (ha)
A Kabupaten Badung
1. Kuta Selatan Benoa 28,28 721,77 1019,86 547,31 0,27 538,79
2. Kuta Selatan Tj. Benoa 2,39 107,46 84,75 40,76 0,03 6
3. Kuta Selatan Jimbaran 20,5 961,68 455,92 478,3 0,2 153,9
4. Kuta Kedonganan 1,91 52,69 132,03 0,75 5,53
5. Kuta Tuban 2,68 79,03 186,11 0,1 2,76
6. Kuta Kuta 7,82 10,09 99,97 617,42 0,2 54,32
B. Kota Denpasar
1. Denpasar Pemogan
9,71 225 20 448 1 1 267
Selatan
2. Densel Pedungan 7,49 240 11 377 5 1 115
3. Densel Sesetan 7,39 15 30 447 1 246
4. Densel Serangan 4,81 75 22 1 383
5. Densel Sidakarya 3,89 97 233 1 58
6. Densel Sanur Kauh 3,86 132 15 203 6 1 29
Jumlah 100,73 719,09 2.173,6 4.226,09 1.079,12 6,8 1.859,3
Sumber: BPS Kab Badung dan Kota Denpasar, 2007.

c. Sosial Ekonomi dan Kependudukan

Pada Tahun 2007 penduduk di sekitar Tahura Ngurah Rai berjumlah 190.952 jiwa
dengan kepadatan rata-rata 2.597 jiwa/km2. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Jumlah penduduk dan kepadatan pada masing-masing desa pantai di
kawasan Tahura Ngurah Rai
2 Jumlah Kepadatan
No Kec. Desa/Kel Luas (km ) 2
Penduduk (jiwa) (jiwa/km )
A Kabupaten Badung
1. Kuta Selatan Benoa 28,28 19.298 682
2. Kuta Selatan Tj. Benoa 2,39 4.320 1.808
3. Kuta Selatan Jimbaran 20,5 22.112 1.079
4. Kuta Kedonganan 1,91 5.728 2.999
5. Kuta Tuban 2,68 13.393 4.999
6. Kuta Kuta 7,82 9.785 1.251
B Kota Denpasar
1. Denpasar Selatan Pemogan 9,71 28.088 2.893
2. Densel Pedungan 7,49 19.069 2.546
3. Densel Sesetan 7,39 39.018 5.280
4. Densel Serangan 4,81 2.897 602
5. Densel Sidakarya 3,89 15.014 3.860
6. Densel Sanur Kauh 3,86 12.230 3.168
Jumlah 100,73 190.952 2.597
Sumber: BPS Kab Badung dan Kota Denpasar, 2007

Dari Tabel 3.2. terlihat bahwa jumlah penduduk di sekitar Kawasan Tahura Ngurah
Rai cukup besar, terutama di Kelurahan Sesetan dan Pamogan (Kota Denbpasar)
serta Kelurahan Jimbaran (Kabupaten Badung). Adapun kepadatan penduduk
tertinggi terdapat di Kelurahan Sesetan, Tuban dan Desa Sidakarya.

Jumlah penduduk menurut agama di setiap desa yang berbatasan langsung dengan
Kawasan Tahura Ngura Rai dapat dilihat pada Tabel 3.3 yang menunjukkan

Laporan Akhir 23
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

mayoritas beragama Hindu (130.210 jiwa atau 68%). Jumlah penduduk beragama
lain berturut-turut: Islam (47.189 jiwa/ 25%), Kristen (4.579 jiwa/ 3%), Katholik
(4.928/ 3%) dan Budha (2.059 jiwa/ 1%).

Tabel 3.3. Jumlah penduduk menurut agama di desa-desa pantai Kawasan Tahura
Ngurah Rai
No Kec. Desa/Kel Hindu Budha Islam Katholik Kristen Jumlah
1 Kuta Selatan Benoa 17.509 232 1.158 399 19.298
2 Kuta Selatan Tj. Benoa 3.589 99 565 67 4.320
3 Kuta Selatan Jimbaran 20.230 16 1.435 322 109 22.112
4 Kuta Kedonganan 5.175 21 302 122 118 5.728
5 Kuta Tuban 7.005 72 5.025 617 677 13.398
6 Kuta Kuta 7.750 330 1.134 258 313 9.785
7 Denpasar Selatan Pemogan 13.686 43 13.140 586 633 28.088
8 Densel Pedungan 14.984 76 3.183 222 604 19.069
9 Densel Sesetan 21.643 612 12.868 1.445 2.450 39.018
10 Densel Serangan 2.389 494 14 2.897
11 Densel Sidakarya 7.737 550 4.584 737 1.406 15.014
12 Densel Sanur Kauh 8.513 8 3.301 139 269 12.230
Jumlah 130.210 2.059 47.189 4.928 6.579 190.957
Sumber: BPS Kab Badung dan Kota Denpasar, 2007
Jenis pekerjaan masyarakat di sekitar Kawasan Tahura Ngurah Rai bervariasi.
Pada umumnya masyarakat bekerja di sekotar jasa karena banyak peluang
berusaha dan bekerja di sektor luar pertanian, seperti jasa pariwisata, perkantoran,
industri kerajinan dan jasa kepelabuhan. Jenis pekerjaan masyarakat yang lain
diantaranya: petani, peternak, pedagang, PNS/TNI/ABRI, nelayan, dan lain-lain.

Dilihat dari kegiatan sosial budaya keagamaan/adat, beberapa lokasi pada kawasan
tahura terdapat pura, vihara, tempat ibadah, dan kuburan. Aktivitas kegiatan
keagamaan yang ada tergantung dari pemeluk agama yang berada di perbatasan
desa-desa pantai di sekitar hutan mangrove.

Kesehatan masyarakat yang berada di sekitar Tahura Ngurah Rai dapat


digolongkan kedalam desa maju dengan tingkat pelayanan kesehatan yang relatif
baik. Kondisi sarana kesehatan dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Kondisi Sarana Kesehatan di sekitar kawasan Tahura Ngurah Rai
No Sarana Kesehatan Jumlah
Kec. Kuta Kec. Denpasar Selatan
1. Rumah sakit 2 n.a.
2. Puskesmas 2 3
3. Puskesmas Pembantu 3 10
4. Posyandu 45 14
5. Rumah Sakit Bersalin n.a 4
6 Praktek Dokter n.a. 39
Sumber: Badung dan Denpasar dalam Angka 2007

Laporan Akhir 24
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

3.1.2. Keanekaragaman Hayati (Flora dan Fauna)

Di Kawasan Tahura ditemukan 46 jenis mangrove dari 27 famili yang mewakili jenis-
jenis mangrove yang ada di seluruh Pulau Jawa dan Bali. Jenis-jenis yang dominan
meliputi jenis bakau putih (Rhizophora apiculata), bakau (Rhizophora mucronata),
Api-api (Avicennia marina) dan Sonneratia alba. Jenis-jenis mangrove di kawasan
Tahura Ngurah Rai dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Komposisi jenis Flora mangrove di Tahura Ngurah Rai


No Nama Lokal Nama Spesies Kategori
1 Prapat Sonneratia alba True Mangrove
2 Bakau putih Rhizophora apiculata True Mangrove
3 Api-api Avicennia marina True Mangrove
4 Teruntun Aegiceras corniculatum True Mangrove
5 Bakau Rhizophora mucronata True Mangrove
6 Tanjang merah Bruguiera gymnorrhyza True Mangrove
7 Lindur Ceriops tegal True Mangrove
8 Banang-banang Xylocarpus granatum True Mangrove
9 Nyamplung Callophyllum inophyllum Mangrove Associate
10 Biduri Calotropis gigantea Mangrove Associate
11 Dadap laut Clerodendrum ineme Mangrove Associate
12 Kayu badak Cerbera manghas Mangrove Associate
13 Akar tuba Derris trifoliata Mangrove Associate
14 Basang siap Finlaysonia maritima Mangrove Associate
Sumber: Rencana pengelolaan Tahura Ngurah Rai Tahun 2007

Kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki keanekaragaman jenis satwa liar seperti
burung, reptilia dan amphibia, yang tinggi. Jumlah jenis burung yang ditemukan di
Tahura Ngurah Rai 66 jenis dari 27 famili. Komunitas burung di kawasan ini
didominasi oleh jenis-jenis burung air seperti: Pecuk padi belang, pecuk ular asia,
cangak abu, kuntul besar, kuntul perak, blekok sawah, kowak malam kelabu, belibis
batu, gajahan besar, trinil semak, kuntul perak, dan raja udang.

Selain burung, sering ditemukan juga jenis reptil, yaitu: biawak, kadal, ular bakau.
Biawak dengan ukuran tubuh cukup besar, tidak banyak ditangkap oleh masyarakat
dan tidak umum dimanfaatkan sebagai makanan, sehingga keberadaan satwa ini
cukup berlimpah. Ular cincin emas / Ceningkih hidup di dalam perairan payau hutan
mangrove, ditemukan cukup berlimpah, dengan warna gelap dan tidak berbisa.
Selain itu juga dijumpai jenis labi-labi atau bulus di kawasan mangrove yang
berbatasan dengan persawahan dan sungai-sungai kecil.

Laporan Akhir 25
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

3.1.3. Permintaan Ekowisata

Permintaan wisata merupakan ekspresi dari keinginan dan harapan serta tingkat
kepuasan yang diperoleh sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk kunjungan
wisata pada suatu lokasi dan obyek wisata tertentu, yang dilandasi atas
pengetahuan dan pengalaman pribadi setiap pengunjung. Untuk mengetahui
permintaan wisata pada suatu lokasi rencana pengembangan wisata maka dapat
dilakukan dengan pendekatan studi permintaan.

a. Jumlah dan Potensi Pengunjung

Lokasi dan obyek wisata Tahura Ngurah Rai telah dikenal oleh masyarakat luas,
baik masyarakat setempat maupun dari luar Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar, bahkan oleh wisatawan mancanegara. Tabel 3.6 menunjukkan kondisi
pengunjung Tahura Ngurah Rai.

Tabel 3.6. Jumlah dan Asal Pengujung di Obyek Wisata Tahura Ngurah Rai, Bali
Tahun 2007
Asal Pengunjung Jumlah % total Asal Pengunjung Jumlah % total
A. Dalam Negeri B. Luar Negeri
1. Badung 756 13,45% 1. Amerika 11 0,20%
2. Bali (di Luar Badung
879 15,64% 2. Belanda 4 0,07%
dan Denpasar)
3. Banten 30 0,53% 3. ASEAN 100 1,78%
4. Aceh 50 0,89% 4. India 4 0,07%
5. Denpasar 2.309 41,07% 5. Italia 2 0,04%
6. Jakarta 153 2,72% 6. Jepang 174 3,09%
7. Jawa Barat 45 0,80% 7. Jerman 2 0,04%
8. Jawa Tengah 197 3,50% 8. Korea 30 0,53%
9. Jawa Timur 63 1,12% 9. Malasyia 8 0,14%
10. Jogja 708 12,59% 10. Myanmar 2 0,04%
11. Kalimantan tengah 1 0,02% 11. Spanyol 45 0,80%
12. Kalimantan Timur 9 0,16% 12. Swedia 1 0,02%
13. Sulawesi Tengah 2 0,04% 13. Swiss 2 0,04%
14. Sumatera Selatan 7 0,12% Jumlah Luar Negeri 385 6,85%
15. Sumbar 8 0,14%
16. Sumut 20 0,36% TOTAL 5.622 100,00%
Jumlah Dalam Negeri 5.237 93,15%
Sumber: Pengelola Tahura Ngurah Rai

Berdasarkan Tabel 3.6, mayoritas pengunjung merupakan wisatawan nusantara


(wisnu) sebesar 93,15%, sedangkan sisanya merupakan wisatawan mancanegara
(wisman) . Sebagian besar wisnu berasal dari masyarakat sekitar Kota Denpasar
(41,07%), Kabupaten Badung (13,45%) dan kabupaten/kota lain di Provinsi Bali
(15,64%), sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kunjungan wisnu dipengaruhi
oleh jarak tempuh, yaitu semakin tinggi bila jarak tempuh semakin dekat. Wisman
sebagian besar berasal dari negeri Jepang (3,09% dari total pengunjung).

Laporan Akhir 26
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Jumlah pengunjung obyek wisata Tahura Ngurah Rai dari tahun ke tahun semakin
berkurang, terutama wisatawan asing (Tabel 3.7). Hal ini setidaknya menunjukkan
bahwa minat wisatawan nusantara dan mancanegara terhadap sajian wisata di
Tahura Ngurah Rai masih belum menggembirakan. Pada tahun-tahun mendatang
diharapkan jumlah pengunjung Tahura Ngurah Rai Bali dapat meningkat melalui
berbagai inovasi sajian wisata dan pengembangan bentuk-bentuk promosi.

Tabel 3.7. Jumlah Pengunjung Tahunan Lokasi Wisata Tahura Ngurah Rai, Bali
tahun 2005-2008
Pengunjung
No Tahun Jumlah
Domestik Asing
1 2005 12.236 1.132 12.168
2 2006 6.722 605 7.327
3 2007 5.622 460 6.298
4 2008 (s.d. Okt) 6.228 479 6.707
Rata-rata Per tahun 7.702 669 8.125

Sumber: Pengelola Tahura Ngurah Rai

b. Usia dan Tingkat Pendidikan Pengunjung

Wisatawan yang berkunjung ke lokasi obyek wisata Ngurah Rai sebagian besar
tergolong pada kelompok masyarakat berusia muda (62,85%). Berdasarkan tingkat
pendidikannya maka wisatawan yang berkunjung ke lokasi wisata Tahura Ngurah
Rai sebagian berasal dari masyarakat dengan latar belakang pendidikan SLTA ke
atas (85,71%). Komposisi wisatawan berdasarkan klasifikasi umur dan latar
belakang pendidikan disajikan pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8. Komposisi Wisatawan Berdasarkan Tingkat Pendidikan.


No Pendidikan Klasifikasi Umur (tahun) Jumlah
<15 15-25 26-35 36-45 46-55 >55
1 SD 2,86% 2,86% 5,71%
2 SLTP 2,86% 5,71% 8,57%
3 SLTA 5,71% 2,86% 11,43% 2,86% 22,86%
4 Akademi 8,57% 2,86% 2,86% 14,29%
5 PT 17,14% 11,43% 5,71% 11,43% 2,86% 48,57%
Jumlah 5,71% 40,00% 17,14% 20,00% 14,29% 2,86% 100,00%
Persentase
Sumber: Tim Survey, 2008

c. Matapencaharian dan Tingkat Pendapatan

Konsumen yang memanfaatkan jasa wisata di lokasi Tahura Ngurah Rai Bali
sebagian besar (75,38%) tergolong pada masyarakat yang telah memiliki
pendapatan sendiri. Sisanya adalah kebanyakan berstatus sebagai mahasiswa dan
pelajar. Hal ini terkait dengan tujuan kunjungan ke lokasi wisata Tahura Ngurah Rai
yang lebih cenderung untuk wisata pendidikan, wisata penelitian dan pelatihan.

Laporan Akhir 27
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Kelompok masyarakat pengunjung yang sudah berpenghasilan sendiri terdiri dari


kelompok masyarakat bermatapencaharian pada sektor formal seperti pegawai
negeri sipil, BUMN, peneliti, pegawai swasta, dan sebagainya.

Ditinjau dari tingkat pendapatan menurut matapencahariannya, maka pengunjung


obyek wisata ini adalah masyarakat dengan tingkat peghasilan yang tergolong
cukup tinggi. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya pengunjung dengan tingkat
penghasilan lebih dari Rp. 1.800.000,-/orang/bulan.

d. Pertumbuhan Sarana Akomodasi

Pertumbuhan sarana akomodasi terutama penginapan / hotel merupakan salah satu


indikator permintaan pariwisata yang semakin meningkat. Tabel 3.9 menyajikan
perkembangan jumlah pondok wisata antara tahun 2004 sampai 2008. Dari Tabel
3.8 dapat dilihat bahwa pondok wisata di sekitar lokasi wisata Ngurah Rai,
khususnya di Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Provinsi Bali pada umumnya
mengalami pertumbuhan sebesar 12% per tahun. Hal ini mengindikasikan
pertumbuhan yang posistif akan kunjungan wisata ke Provinsi Bali. Pertumbuhan
positif ini berpotensi cukup besar bagi peningkatan tingkat kunjungan wisata di
Tahura Ngurah Rai, Bali.

Tabel 3.9. Perkembangan Pondok Wisata di Bali tahun 2004 - 2008


2004 2005 2006 2007 2008
No Kab./Kota Pondok Pondok Pondok Pondok Pondok
Kamar Kamar Kamar Kamar Kamar
Wisata Wisata Wisata Wisata Wisata
Kota
44 204 50 263 50 263 35 255 41 252
1 Denpasar
Kab.
81 377 81 377 140 674 163 759 163 759
2 Badung
Provinsi
390 1811 440 2099 926 3812 859 4059 925 4212
Bali
Dinas Pariwisata Kab. Badung dan Kota Denpasar, 2007.

e. Tujuan Wisata

Pada umumnya wisatawan melakukan kunjungan ke lokasi wisata Tahura Ngurah


Rai memliki tujuan yang cukup beragam. Sesuai dengan fungsi peruntukan Tahura
Ngurah Rai untuk wisata pendidikan, pelatihan dan penelitian, maka mayoritas
wisatawan datang ke kawasan ini untuk mencari informasi tentang ekosistem
mangrove, belajar mangrove, studi banding, training dan rapat atau meeting. Selain
itu juga bertujuan untuk melakukan penanaman, berwisata memancing atau
menikmati panorama Tahura Ngurah Rai, camping, dan lain-lain.

Laporan Akhir 28
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

3.1.4. Daya Tarik

Setiap lokasi dan obyek wisata memiliki daya tarik tersendiri yang dapat
menentukan pengunjung dan kunjungan wisatawan ke lokasi bersangkutan. Daya
tarik wisata dapat berupa panorama alam, fenomena / gejala alam, aktivitas sosial
budaya masyarakat, maupun atraksi – atraksi wisata lainnya. Berdasarkan pada
hasil pengamatan di lapangan, Tahura Ngurah Rai Bali memiliki daya tarik wisata
berupa: panorama keindahan alam berupa kondisi fisik kawasan Teluk Benoa,
keanekaragaman vegetasi mangrove, fauna darat, (burung, amphibi, reptil) dan
fauna perairan (ikan, moluska, krustasea).

Tabel.3.10 Jenis-jenis Daya Tarik Kawasan Tahura Ngurah Rai


No Jenis daya Tarik Penjelasan
1. Panorama Kawasan Teluk Pelabuhan Benoa Bali mempunyai karakteristik
Benoa dan Kanal Muara yang agak berbeda dengan pelabuhan yang
Sungai lainnya. Pada jangka menengah dan panjang, fungsi
pelabuhan ini difokuskan sebagai pelabuhan
pariwisata. Kapal-kapal yang berlabuh mempunyai
bentuk dan warna yang sangat bervariasi, menarik,
indah, dan mencirikan beberapa negara di dunia.
Keanekaragaman dan keindahan warna, arsitektur
dan ciri bendera dari kapal-kapal yang berlabuh di
perairan Teluk Benoa merupakan salah satu potensi
wisata yang bisa dikemas secara simultan dalam
wisata alam di Tahura Ngurah Rai.
Di dalam kawasan Tahura Ngurah Rai, khususnya
daerah muara sungai: Tukad Badung, Tukad Mati,
dan Tukad Soma dengan alur-alur dangkal (shallow
through) yang lebarnya 5-20 meter, kedalaman
waktu surut 1,0-2,5 m dan bentuk alur yang
berkelok-kelok. Di sepanjang alur terbentang
hamparan tegakan hutan mangrove dan
beranekaragam satwa seperti burung, krustasea,
dan moluska. Di samping itu pada alur yang lebih
sempit di bawah kanopi pohon mangrove tercipta
suasana alami, sejuk dan nyaman. Kondisi seperti
ini merupakan potensi daya tarik yang sangat unik
dan strategis untuk wisata berbasiskan mangrove.
2. Keanekaragaman vegetasi Di Kawasan Tahura ditemukan 46 jenis mangrove
mangrove dari 27 famili yang mewakili jenis-jenis mangrove
yang ada di seluruh Pulau Jawa dan Bali. Jenis-
jenis yang dominan meliputi jenis bakau putih
(Rhizophora apiculata), bakau (Rhizophora
mucronata), Api-api (Avicennia marina) dan
Sonneratia alba.
Potensi dan karakteristik alamiah yang unik dan
menarik dari flora mangrove di Tahura Ngurah Rai
adalah: sistem perakaran udara (aerial roots);
sistem daun sebagai adaptasi terhadap kadar
garam tinggi; serta sistem pembuahan yang spesifik
berbentuk silindris, bola dan hati.
3. Keanekaragaman fauna darat Kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki

Laporan Akhir 29
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

No Jenis daya Tarik Penjelasan


(burung, ampibhi, reptil) dan keanekaragaman jenis satwa liar seperti burung,
keanekaragaman fauna reptilia dan amphibia, yang tinggi. Jumlah jenis
burung yang ditemukan di Tahura Ngurah Rai 66
perairan (ikan, moluska, jenis dari 27 famili. Komunitas burung di kawasan
krustasea). ini didominasi oleh jenis-jenis burung air seperti:
Pecuk padi belang, pecuk ular asia, cangak abu,
kuntul besar, kuntul perak, blekok sawah, kowak
malam kelabu, belibis batu, gajahan besar, trinil
semak, kuntul perak, dan raja udang.
Selain burung, sering ditemukan juga jenis reptil
yaitu: biawak, kadal, ular bakau. Biawak dengan
ukuran tubuh cukup besar, tidak banyak ditangkap
oleh masyarakat dan tidak umum dimanfaatkan
sebagai makanan, sehingga keberadaan satwa ini
cukup berlimpah. Ular cincin emas / Ceningkih
hidup di dalam perairan payau hutan mangrove,
ditemukan cukup berlimpah, deng warna gelap dan
tidak berbisa. Selain itu juga dijumpai jenis labi-labi
atau bulus di kawasan mangrove yang berbatasan
dengan persawahan dan sungai-sungai kecil.
Keberadaan jenis-jenis reptil tersebut merupakan
atraksi wisata yang menarik yang cukup layak
dinikmati sebagai obyek wisata.

3.1.5. Aksesibilitas, Prasarana dan Sarana Pendukung

Kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki posisi yang sangat strategis. Untuk menuju
kawasan ini dengan menggunakan kendaraan darat hanya memerlukan waktu 5
menit dari Bandara Ngurah Rai Bali, 10 menit dari pusat kota Denpasar, dan 15
menit dari pusat kota Badung. Selain itu kawasan ini berada pada segitiga pusat
pariwisata Provinsi Bali yaitu Sanur, Kuta dan Nusa Dua. Oleh karena itu kawasan
ini memiliki masa depan yang baik untuk dikembangkan sebagai objek wisata alam
yang tetap mempertimbangkan kaidah konservasi.

Sarana dan prasarana di dalam kawasan ekowisata Tahura Ngurah Rai dapat
dilihat pada Tabel 3.11.

Tabel 3.11 Sarana prasarana Pendukung dan Wilayah Tahura Ngurah rai
No Sarana Prasarana Pendukung Sarana Prasarana Wilayah
1. ruang audio visual jalan aspal
2. shelter dan kopel air bersih
3. tempat duduk dan meja piknik listrik 24 jam
4. jalan setapak (trails) komunikasi dan informasi
5. play ground dan taman, bandara
6. ruang informasi hotel/penginapan/pondok wisata
7. jalan kayu (broadwalk restoran/rumah makan
8. restoran super / miniamarket / toko
9. kolam / lokasi pemancingan
10. danau buatan
11. sampan/perahu dayung
12. dermaga

Laporan Akhir 30
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

No Sarana Prasarana Pendukung Sarana Prasarana Wilayah


13. Boat / perahu / sepeda air
14. menara pengamat
15. ruang pengintai
16. pondok wisata
17. dan plaza tahura
Sumber: Rencana Pengelolan Tahura Ngurah Rai, 2008

Kondisi sarana jalan di sekitar kawasan ini juga cukup bagus, seperti di Kabupaten
Badung memiliki panjang jalan 41,2 km (jalan negara), 100,36 km (jalan provinsi)
dan 564,77 km (jalan kabupaten). Kondisi jalan termasuk dalam kategori baik
(375,58 km), sedang 108,31 km, dan rusak hanya 80,79 km (Kabupaten Badung
dalam Angka, 2008).

3.1.6. Mekanisme Pemanfaatan

a. Perijinan
Kawasan Tahura Ngurah Rai Bali merupakan bagian dari Kawasan Pelestarian
Alam yang tujuan pengelolaanya sesuai dengan arahan yang diamanatkan dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, serta PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Ijin Pemanfatan kawasan Tahura Ngurah Rai, berdasarkan pada SK Menhut No.
544/Kpts/II/93 Tanggal 25 September mengenai Kawasan Taman Wisata Alam
Suwung RPH X seluas 1.373,5 ha diberi nama Tahura Ngurah Rai. Unit
pengelolaanya ada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi Bali dan Kanwil Kehutanan
Bali.

b. Pajak / Pungutan
Pungutan masuk kawasan wisata Tahura Ngurah Rai Bali, berlandaskan pada
Peraturan Gubernur Bali No. 21 Tahun 2005 tentang Tarif Tiket masuk kawasan
Tahura Ngurah Rai. Namun kegiatan pungutan baru terlaksana pada tahun 2006.
Besaran tarif tiket masuk kawasan wisata Tahura Ngurah Rai berdasarkan pada
Peraturan Gubernur Bali No. 21 Tahun 2005 bervariasi menurut jenis wisatawan
(pengunjung). Untuk wisatawan domestik dikenai tarif masuk sebesar Rp. 5.000,-
/orang, sedangkan untuk wisatawan asing dikenai tarif tiket masuk sebesar Rp.
50.000,-/orang. Namun khusus kalangan pelajar dan mahasiswa diberikan
dispensasi berupa potongan tarif tiket sebesar 50% dengan ketentuan administrasi
yang disyaratkan oleh pihak pengelola yaitu mengajukan surat permohonan
dispensasi.

Laporan Akhir 31
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

c. Badan Hukum
Pengelolaan lokasi wisata Tahura Ngurah Rai merupakan salah satu kegiatan dari
keseluruhan tujuan pengelolaan kawasan Tahura Ngurah Rai Bali. Pengelolaan
kawasan Tahura Ngurah Rai Bali berada di Unit Pelasana Teknis Daerah (UPTD)
Tahura Ngurah Rai yang di bawah Dinas Kehutanan Provinsi Bali baru terbentuk
pada Tanggal 8 Juli Tahun 208. Secara historis, dasar hukum pengelolaan Tahura
Ngurah Rai adalah sebagai berikut:
- SK Menhut No. 544/Kpts/II/93 Tanggal 25 September mengenai Kawasan
Taman Wisata Alam Suwung RPH X seluas 1.373,5 ha diberi nama Tahura
Ngurah Rai. Unit pengelolaanya ada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi
Bali dan Kanwil Kehutanan Bali.
- Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4/2004 tentang Retribusi Pembagian
Kekayaan Daerah.
- Peraturan Gubernur Bali No. 21 Tahun 2005 tentang Tarif Tiket masuk
kawasan Tahura Ngurah Rai, Bali.
- Perda No 2 Tahun 2008 tertanggal 8 Juli tahun 2008, tentang Struktur
Perangkat Pemerintah Daerah, dimana didalamnya terbentuk Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Tahura Ngurah Rai.

3.1.7. Kegiatan Ekowisata

Beberapa kegiatan wisata di Tahura Ngurah Rai yang telah berjalan antara lain:
wisata pendidikan bagi pelajar atau mahasiswa (belajar membuat persemaian dan
menanam mangrove), wisata pengamatan vegetasi mangrove, pengamatan
panorama Teluk Benoa dan Pelabuhan Benoa, pengamatan satwa terutama
burung-burung, dan biawak, mengambil gambar vegetasi dan satwa (photo
hunting), memancing, dan menikmati udara segar.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, aktivitas wisata yang paling banyak


dilakukan oleh pengunjung adalah jalan-jalan menikmati pemandangan flora dan
fauna mangrove. Selain itu juga dijumpai aktivitas memotret / mengambil gambar
flora dan fauna mangrove, mengamati burung menggunakan alat bantu teropong,
berperahu dan lain-lain. Kegiatan – kegiatan ini belum dikemas secara baik ke dalam
paket wisata – paket wisata sehingga kunjungan ke lokasi wisata ini masih sedikit.

3.1.8. Pemasaran

Selama ini pemasaran ekowisata Tahura Ngurah Rai belum maksimal. Kegiatan
promosi di tempat-tempat trategis belum banyak dilaksanakan, hanya terbatas di
instansi pemerintah dan sedikit di sekolah-sekolah. Promosi dilakukan dengan
metode penyebarluasan poster, leaflet / booklet, baliho, dan lain-lain.

Laporan Akhir 32
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Pengunjung yang datang ke wisata Tahura Ngurah Rai berdasarkan asalnya terdiri
dari dua kelompok yaitu pengunjung domestik (dalam negeri) dan pengunjung asing
(luar negeri). Kebanyakan pengunjung domestik berasal dari daerah sekitar Provinsi
Bali seperti Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Buleleng, Ginanyar, Karangasem,
Klungkung dan Tabanan. Pengunjung domestik di luar Bali banyak berasal dari
Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tegah, Jawa Barat, Yogyakarta, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan
NTB. Sedangkan pengunjung luar negeri banyak berasal dari Jepang, Australia,
Amerika, Jerman, Belanda, Italia, Korea, India, dan lain sebagainya.

3.1.9. Kelembagaan Pengelolaan

Pengelolaan ekowisata Tahura Ngurah Rai merupakan bagian dari pengelolaan


Tahura Ngurah Rai secara keseluruhan di bawah Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD) Tahura Ngurah Rai.

PEMERINTAH PUSAT PEMERINTAH PEMERINTAH


DEPT. KEHUTANAN PROVINSI KABUPATEN/KOTA

MIC / BALAI-BALAI DINAS KEHUTANAN DISHUT


PROVINSI KAB./ KOTA

INSTANSI INSTANSI
KEDINASAN KEDINASAN
TERKAIT TAHURA TERKAIT TAHURA

BUMN, BUMD,
(INVESTOR
PARIWISATA, JASA UPTD TAHURA
LINGKUNGAN,
KELOMPOK PENGELOLAAN TAHURA SATU MANAJEMEN
MASYARAKAT, DLL) Penerapan POAC: Tata Hutan, Pemanfaatan,
Rehabilitasi, Perlindungan / Konservasi
PUSAT INFORMASI MANGROVE
PUSAT PELAYANAN TAHURA NGURAH RAI

KAWASAN TAHURA NGURAH RAI


SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE
SUMBERDAYA PERAIRAN
SUMBERDAYA SATWA DARAT
Keterangan : SUMBERDAYA ALAM PARIWISATA
= Garis Koordinasi SUMBERDAYA JASA LINGKUNGAN DLL.
= Garis Komando
Gambar 3.2. Kedudukan organisasi unit KPH UPTD
sebagai unit pengelolaan Tahura Ngurah Rai
Laporan Akhir 33
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Adapun kedudukan organisasi unit KPH UPTD sebagai unit pengelolaan Tahura
Ngurah Rai berdasarkan pada Perda No 2 Tahun 2008 tertanggal 8 Juli tahun 2008.
UPTD ini merupakan pengembangan tugas dan fungsi dari institusi Dinas
Kehutanan Provinsi yang merupakan institusi pengelola Tahura Ngurah Rai.

3.1.10. Permasalahan

Permasalahan yang ditemukan pada pemanfaatan ekowisata di Tahura Ngurah Rai


ini adalah kelembagaan pengelolaan yang baru terbentuk, sehingga perangkat kerja
termasuk perlengkapan dan peralatan, anggaran dana belum ada. Hal ini
mengakibatkan tugas dan tanggungjawab pelaksana teknis ini belum dijalankan
dengan maksimal. Permasalahan kawasan secara umum di Tahura Ngurah Rai
antara lain: masalahan tata batas, penerapan tata ruang yang kurang efektif
sehingga terjadi tumpang tindih, pemanfaatan kawasan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya, dan penyerobotan lahan untuk berbagai kepentingan.

3.2. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Bahan Baku Arang (kayu)

3.2.1. Kondisi Umum Lokasi

a. Luas dan Status

Luas total hutan mangrove sekitar 65.585 ha. Secara geografis hutan mangrove di
terletak di antara 0o45’ – 1o10’ Lintang Selatan dan 109o45’ Bujur Timur. Secara
administratif pemerintahan, kawasan mangrove terletak di Kecamatan , Kecamatan
Kubu dan Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan
Barat. Sedangkan secara administrasi kehutanan terletak di Unit Pelaksana Teknis
(UPT) , Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pontianak dan Dinas
Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan peta Penunjukan Kawasan
Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Barat, kawasan hutan mangrove yang
termasuk dalam wilayah UPT terdiri dari status hutan lindung, hutan produksi dan
hutan produksi konversi.

b. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di kawasan mangrove terdiri dari lahan pertanian (35.483 ha),
tambak (1.009 ha), perkebunan (kelapa hibrida 137,22 Ha, kelapa 19,41 ha, kopi
28,9 ha, sagu 19,8 ha, karet lokal 10,7 ha dan kelapa sawit 12.000 ha).

c. Sosial Ekonomi Kependudukan

¾ Kependudukan

Jumlah penduduk tahun 2006 di tiga kecamatan yang berada pada kawasan
mangrove (Kec. , Kubu, dan Teluk Pakedai) sebanyak 82.435 jiwa, terdiri atas
42.597 jiwa laki-laki dan 39.838 jiwa perempuan. Luas ketiga Kecamatan tersebut

Laporan Akhir 34
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

sebesar 3.506,2 km2. Kepadatan rata-rata penduduk 23,5 jiwa / km2, dengan rata-
rata seks rasio sebesar 106. untuk lebih jelasnya jumlah penduduk dan seks ratio
penduduk secara rinci disajikan pada tabel berikut (Tabel 3.13).

Tabel 3.13. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin


Nama Jumlah Penduduk
No
Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Sex Ratio
1. Batu Ampar 17.140 15.648 32.788 109
2. Kubu 16.846 15.864 32.710 106
3. Teluk Pakedai 8.611 8.326 16.937 103
Sumber : Kabupaten Pontianak Dalam Angka, BPS, 2007.

Gambar 3.3. Peta Lokasi Mangrove Batu Ampar, Kalimantan Barat

¾ Pendidikan

Fasilitas bangunan lokal pendidikan formal yang tersedia di kawasan mangrove


mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), sekolah Dasar dan Madrasah
Ibtidaiyah (SD dan MI), Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah
(SMP dan MT), serta Sekolah Menegah Umum/Kejuruan dan Madrasah Aliyah
(SMU/SMK dan MA) berjumlah 107 unit.

Jumlah guru di di kawasan mangrove berjumlah 833 orang, sedangkan jumlah


murid mulai dari pendidikan dasar (TK) sampai lanjutan atas berjumlah 13.981
orang. Informasi pendidikan di kawasan mangrove secara rinci disajikan pada Tabel
3.14.

Laporan Akhir 35
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Tabel 3.14. Informasi Pendidikan di di kawasan mangrove , Kabupaten Kubu Raya


Kec. Kec. Kubu
Jenis Ratio
No Ratio Sekola
Sekolah Sekolah Murid Guru Murid Guru (murid :
(5:6) h
guru)
1 2 4 5 6 7 8 9 10 11
1. TK 5 55 12 5
2. SD 30 4.688 180 26 39 4.869 228 21
3 369 38 25 - - -
MI 3 414 38 10 2 230 13 18
3. SMTP 4 602 49 25 5 913 42 22
4 369 35 10 2 124 27 5
MTS 4 414 54 7 3 256 37 7
4. SMU 1 252 20 19 1 321 23 14
- - 10 26 1 69 14 5
MA - - - - 1 36 13 3
Jumlah 35 5.542 249 45 6.103 293
14 1.566 175 13 770 116
Jumlah Total 49 7.108 424 58 6.873 409
Sumber : Kabupaten Pontianak Dalam Angka, BPS, 2007.

¾ Mata Pencaharian

Sumberdaya hutan mangrove di Batu Ampar menyediakan berbagai sumber mata


pencaharian bagi masyarakat sekitar antara lain: pencari dan pengumpul kepiting,
ikan, udang, dan kerang; pencari kayu bakau untuk bahan baku arang; pengrajin
arang; pencari kayu bakar; pemancing; pencari dan pengrajin daun nipah; pemburu
satwa liar seperti burung; pencari madu mangrove; dan lain-lain. Sedangkan
sumber mata pencaharian non mangrove antara lain: petani sawah (padi,ubi kayu,
kacang kedelai), petani kebun (kelapa sawit, karet, pinang, kopi, kelapa, kelapa
hybrida), pengraji tungku masak (anglo), nelayan tangkap laut (alat tangkap jermal,
trawl, belat, dan lain-lain), dan berternak (sapi, kerbau, kambing, babi, domba, ayam
kampung, ayam ras, dan itik).

¾ Agama

Informasi jumlah pemeluk agama dan sarana ibadah dilihat pada Tabel 3.15. berikut.

Tabel 3.15. Jumlah Pemeluk Agama dan Sarana Ibadah di Kawasan


Islam Protestan Katolik Hindu Budha Jumlah
Pemeluk 80.784 2.487 2.321 538 5.284
Tempat Mesjid: 172 9 11 2 4
Ibadah Surau: 187

Sumber : Kabupaten Pontianak Dalam Angka, BPS, 2007.

Berdasarkan pada tabel di atas, mayoritas penduduk di sekitar kawasan mangrove


memeluk agama Islam. Sebagian kecil lagi memeluk agama Katholik, Budha dan
Protestan.

Laporan Akhir 36
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

3.2.2. Struktur dan Komposisi Jenis

Berdasarkan hasil kajian LPP Mangrove (2006), jenis vegetasi yang ditemukan di
kawasan hutan mangrove sebanyak 50 jenis terdiri atas 23 jenis mangrove sejati, 8
jenis mangrove sekunder, dan 19 jenis ekoton. Jenis yang paling dominan
ditemukan di wilayah mangrove adalah jenis Rhizophora sp, Bruguiera spp, dan
Nypa fructicans.

Pada tingkat semai, jenis Rhizophora apiculata memiliki kerapatan tertinggi


dibandingkan dengan jenis lainnya yaitu sebesar 22.500 - 35.750 batang/ha dan.
Pada tingkat pancang, Rhizophora apiculata memiliki kerapatan tertinggi yaitu 1.143
ind/ha, disusul Bruguiera gymnorrhiza dengan kerapatan 259 ind/ha. Pada tingkat
pohon memiliki kerapatan berkisar antara 453,45 - 877.14 ind/ha.
Biota dikategorikan menjadi biota darat dan biota perairan. Keanekaragaman biota
darat di kawasan mangrove cukup tinggi yaitu mamalia 11 jenis, burung 57 jenis,
reptil 10 jenis, dan amfibi 1 jenis. Sedangkan jenis-jenis biota perairan terdiri atas 37
jenis phytoplankton, 20 zooplanktons, 30 jenis benthos, 64 jenis ikan 13 jenis
moluska, dan 23 krustasea. Jenis-jenis burung yang hidup secara khusus pada
ekosistem mangrove yaitu; burung sikatan bakau, kancilan bakau dan Burung madu
Bakau.Jenis – jenis ikan yang ada meliputi jenis-jenis ikan semerah, kakap putih,
duri ketak, buntal, baung, betutu, ketang, senangin, dan lain-lain.
3.2.3. Potensi Kayu

Secara keseluruhan, potensi rata-rata kayu mangrove di kawasan mangrove


sebesar 180,735 m3/ha. Potensi kayu mangrove ini didominasi oleh potensi jenis
Rhizophora apiculata. Potensi total biomassa berkisar antara 227,45 - 316,88
ton/hektar atau rata-rata 262,86 ton/hektar.

3.2.4. Sistem Silvikultur

Sistem silvikultur yang dipergunakan dalam pemanfaatan hutan mangrove untuk


bahan baku arang dikategorikan menjadi 2 yaitu sistem silvilkultur pohon Induk
(Seed Trees Method) yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan sistem rumpang
yang dilakukan oleh masyarakat (secara tradisional).

a. Sistem Pohon Induk


Dasar pelaksanaan sistem silvilkultur pohon Induk (Seed Trees Method)
berdasarkan surat keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60 tahun 1978
tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan payau. Pada sistem silvikultur Pohon
Induk, rotasi tebang 30 tahun, dimana Rencana Kerja Tahunan ( RKT ) dibagi
kedalam 100 ha / blok tebangan dan setiap blok tebangan dibagi lagi ke dalam 10 –
50 ha petak tebang. Pohon yang direbang berdiameter > 10 cm (jenis komersial)
dan menyisakan pohon komersial sebanyak 40 batang/ha (diameter > 20 cm) untuk

Laporan Akhir 37
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

pohon induk atau sumber benih/propagule yang akan membantu dalam regenerasi
alami bekas tebangan.

b. Sistem Rumpang
Sedangkan yang dimaksud tebang rumpang adalah kegiatan penebangan yang
dilakukan secara mengelompok (± 0,5 ha) dengan sistem tebang habis. Lokasi
terpencar di beberapa tempat sesuai dengan daerah / lokasi masing-masing
kelompok penebang. Penebangan dilakukan pada jarak 10 – 50 meter dari tepi
sungai pasang surut, dengan kemampuan jarak penebangan ± 100 meter. Setelah
melakukan aktivitas penebangan, areal tersebut dibiarkan begitu saja tanpa
dilakukan kegiatan pembebasan, penanaman/pengayaan, dan pemeliharaan.

3.2.5. Mekanisme Pemanfaatan

Mekanisme pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang oleh masyarakat yang
tergabung dalam Koperasi Panther belum mengacu pada sistem silvikultur yang
dianjurkan. Sedangkan mekanisme pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang oleh
pihak yang telah berbadan hukum yaitu swasta (PT. Bios dan PT. Kandelia) telah
mengikuti sistem silvikultur yang dianjurkan oleh pemerintah (Sistem Pohon Induk,
dimana dalam tiap hektar disisakan 40 batang pohon (diameter > 10 cm).

a. Perijinan
Instansi pemberi ijin adalah Dinas Kehutanan berupa IHHL, Deperindag berupa
SIUP, TDI, TDP dan SII, serta Pemda berupa SITU, KMB dan HO. Selain itu, namun
perlu mendengarkan masukan dari pihak-pihak terkait khususnya dari Bapedalda
Kabupaten Pontianak dalam menilai dan mengkaji dampak kegiatan tersebut.

Jangka waktu perijinan perlu diberikan selama 20 tahun. Pertimbangan lamanya


jangka waktu perijinan ini diberikan adalah untuk menuju pada pengaturan hasil
secara lestari. Luas hutan yang diberikan ijin untuk konsesi PT. Bios (10,000 ha),
PT. Kandelia (16,254 ha) dan Koperasi Panter (6,000 ha).

b. Pungutan / pajak

Pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang memberikan kontribusi bagi pemerintah
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yaitu berupa PSDH (Pungutan
Sumber Daya Hutan), DR (Dana Reboisasi), dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).

Untuk anggota Koperasi Panther dikenakan iuran berupa uang pangkal sebesar Rp
30.000, dan iuran wajib Rp 1.000,-.

c. Badan hukum
Pihak yang memanfaatkan kayu mangrove untuk bahan baku arang telah memiliki
badan hukum yaitu peruahaan swasta (PT. Bios dan PT. Kandelia) dan Koperasi
Panther. Koperasi Panther sendiri didirikan bedasarkan pada SK No.

Laporan Akhir 38
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

1119/BH/KWK14/IX/2000 dengan Nomor Badan Hukum No. 1119/BH/X Tanggal 21


September 2000.

3.2.6. Proses Produksi Arang


¾ Pemanfaatan oleh masyarakat

Jumlah dapur arang di sekitar 253 buah, yang dikelola masyarakat yang
tergabung dalam wadah Koperasi Panter. Luas hutan yang dialokasikan untuk
mendukung kebutuhan bahan baku sekitar 6,000 ha yang terletak pada hutan
mangrove dengan status APL dan Hutan Produksi.

Produksi arang seluruh dapur arang milik masyarakat (253 buah) sekitar 2031
ton/tahun, dengan jumlah produksi 4 – 6 kali bakar/tahun. Apabila rendemen
arang 20 %, maka kebutuhan bahan baku 10,155 ton/tahun atau sekitar 10,155
m3 kayu mangrove/tahun. Diperkirakan diperlukan luas hutan mangrove 60
ha/tahun (potensi kayu 180 m3/ha) untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan
baku industri arang masyarakat.

¾ Pemanfaatan oleh perusahaan swasta


a. PT BIOS

Luas kawasan hutan adalah 10,000 ha, dengan status hutan produksi terbatas
dan hutan produksi tetap. Jatah tebangan tahunan sekitar 300 ha/tahun.
Produksi kayu sekitar 54,000 m3/ha/tahun untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku industri arang putih di Bun Bun () dan sisanya dikirim ke Selat Panjang
(Pulau Rangsang) di Kabupaten Bengkalis – Propinsi Riau. Produksi arang putih
dikirim ke Jepang (ekspor). Ukuran dapur arang putih 800 – 900 kg arang/dapur,
dan kebutuhan bahan baku 3-4 m3/dapur (rendemen 24%), dengan kemampuan
bakar 1 kali/bulan.

b. PT Kandelia

Luas hutan mangrove yang dialokasikan untuk konsesi PT. Kandelia sekitar
16,254 ha, dengan system silvikultur pohon induk. Produksi kayu diperkirakan
sebesar 59,400 m3/tahun untuk bahan baku Industri Chip (bahan baku kertas)
yang diekspor ke Taiwan dan Jepang.

¾ Tahapan pembuatan arang


Waktu yang diperlukan dalam satu kali pembakaran sekitar 36-40 hari.
Frekuensi pemasakan dalam setahun dilakukan sebanyak 4 kali.Kegiatan
pembuatan arang bakau meliputi:

(1) pembangunan dapur arang

Masyarakat membangun dapur arang baru dengan sistem borongan yang


dilakukan oleh orang-orang memiliki pengalaman membuat dapur arang. Dapur
arang dibangun dengan sistem kubah setengah lingkaran dengan bahan baku

Laporan Akhir 39
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

berupa tiang dari kayu bakau, dan tanah liat tanpa menggunakan semen. Bahan
baku diperoleh dari daerah sekitar .

(2) pengadaan bahan baku

Jenis kayu mangrove untuk bahan baku pembuatan arang adalah jenis
Rhizophora spp. Bahan baku diperoleh dari masyarakat yang khusus
mengambil kayu mangrove dari dalam hutan. Sebagian lagi pemilik usaha arang
juga merangkap sebagai pengambil kayu mangrove dari hutan. Kayu mangrove
yang dijadikan sebagai bahan baku memiliki ukuran diameter batang 10-20 cm.
Batang pohon yang telah ditebang dipotong-potong dalam ukuran 1,7 meter.

(3) pemotongan dan pemasukan bahan baku ke dalam tungku

Untuk mempermudah proses penyusunan bahan baku di dalam dapur, maka


bahan baku yang telah terkumpul dan ditimbang, dipotong-potong dengan
menggunakan chainsaw (gergaji mesin) dan gergaji tangan. Ukuran potongan
kayu tersebut antara 1 – 2 meter.

(4) proses pembakaran

Proses pembakaran terdiri atas proses api besar, api kecil dan pendinginan.
Proses api besar dilakukan pada 2 - 3 minggu pertama proses pembakaran dan
api kecil dilakukan pada 2-3 minggu setelah api besar. Selama kegiatan
pembakaran api besar dan api kecil, panas yang dihasilkan harus konstan untuk
menjaga kualitas arang yang dihasilkan. Setelah asap proses pembakaran mulai
tidak nampak dan bau asap dari tunggu sudang cukup menyengat dilakukan
proses pendinginan. Proses pendinginan dilakukan selama 2 minggu. Kegiatan
pendinginan dilakukan dengan cara nenutup seluruh lubang asap tunggu dan
mematikan api pembakaran.

(5) pengeluaran arang dari tungku

Setelah proses pembakaran selesai, maka arang siap untuk dikeluarkan.


Setelah arang dikumpulkan dilanjutkan dengan proses pemotongan,
pengelompokan dan pengemasan. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan
gergaji dengan ukuran panjang tiang potong ± 20 cm.

(6) pengemasan

Setelah arang dipotong kemudian arang tersebut dikelompokkan berdasarkan


kualitasnya. Kualitas arang yang baik adalah arang yang mempunyai diameter
besar (> 10 cm), kompak (tidak pecah) dan dicirikan juga dengan tidak
meninggalkan noda yang terlalu banyak di tangan setelah dipegang. Arang yang
telah dikelompokan kemudian disusun atau dikemas dalam karung yang telah
disediakan oleh para pembeli. Kemasan arang menggunakan karung atau
plastik. Dalam satu karung dapat memuat ± 20 kg arang dan satu plastik

Laporan Akhir 40
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

memuat satu kilogram arang. Setelah dilakukan pengemasan, arang siap untuk
dipasarkan.

Gambar 3.4 .Tahapan proses pembuatan arang bakau

3.2.7. Kualitas Produksi dan Pemasaran

Kualitas arang diklasifikasikan menjadi 5 kelas yaitu dari yang terbaik sampai
terendah berturut-turut: arang kualitas A, B, C, arang cataw dan debu arang.
Arang cataw adalah arang yang hancur tidak beraturan dan yang belum masak
benar. Harga arang juga bervariasi berdasarkan kualitasnya yaitu untuk: kualitas
A Rp1500,-/Kg, kualitas B Rp 1.250,/Kg, kualitas C Rp1.250,-/Kg, arang cataw
Rp1.000,- /Kg dan debu arang Rp 300,/Kg.

3.2.8. Kelembagaan Pengelolaan

Kelembagaan pengelolaan hutan mangrove khususnya pemanfaatan sumberdaya


hutan mangrove di Batu Ampar telah ada. Instansi-instansi yang berperan dalam
pengelolaan mangrove tersebut adalah: Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan
Perikanan, Bapedalda, Deperindag, dan Masyarakat.

Kelembagaan pemanfaatan kayu mangrove untuk bahan baku arang di tingkat


masyarakat adalah kelompok Pengrajin Arang dan nelayan Terpadu (Koperasi
Panther). Koperasi ini beranggotakan para pengrajin arang bakau, dan nelayan.
Kelembagaan sosial budaya dalam mayarakat berupa lembaga adat yang terdiri
dari tokoh masyarakat dan tokoh adat, pengajian, karang taruna, lembaga
masyarakat desa, badan perwakilan desa dan lain-lain.

Laporan Akhir 41
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

3.2.9. Permasalahan
Permasalahan yan dihadapi terkait dengan pemanfatan sumberdaya mangrove
untuk bahan baku arang yaitu:
a. Kebutuhan kayu untuk bahan bangunan semakin tinggi yang dipenuhi dari
kayu-kayu bakau di wilayah kerja panglong arang. Hal ini jika dibiarkan
menyebabkan semakin menipisnya stok bahan baku kayu.
b. Kurang berkembangnya usaha arang bakau akibat keterbatasan modal
usaha, padahal pasar arang bakau cukup menjanjikan.
c. Terjadinya penurunan potensi kayu mangrove akibat pengambilan kayu
bakau yang melebihi daya dukung lingkungan.
d. Pemahaman masyarakat terutama generasi muda terhadap ekosistem
mangrove masih kurang.
e. Pendapatan nelayan berkurang akibat menurunnya kualitas lingkungan
mangrove.

3.3. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Sylvofishery di Kabupaten Subang

3.3.1. Kondisi Umum Lokasi

a. Lokasi, Luas dan Status

Lokasi pengamatan terletak di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tepatnya di


Desa Langensari dan Desa Blanakan. Letak kecamatan Blanakan sendiri berada di
bagian utara Kabupaten Subang dan secara geografis terletak pada 1070 31’–1070
5’ BT dan 60 11’–60 49’ 15’’ LS. Secara administratif kecamatan ini memiliki 6 desa
yaitu Jayamukti, Blanakan, Langensari, Muara, Girang dan Cilamaya. Desa Langensari
dan Blanakan dipilih sebagai lokasi penelitian karena di desa yang bersangkutan
terdapat hutan mangrove yang dikelola dengan sistem tambak silvofishery serta cukup
mewakili daerah-daerah lainnya.

Luas wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Subang 333,57 km2 atau 16 % dari total
luas kabupaten. Sedangkan luas Desa Blanakan 980,463 ha dan Desa Langensari
786,90 ha. Wilayah pantai utara Kabupaten Subang memiliki topografi relatif datar
dengan ketinggian antara 0-25 meter di atas permukaan laut, jenis tanah pada
umumnya Aluvial (berpasir) dengan pH 4-5,5, suhu rata-rata 26° C dengan
kelembapan 57 – 66%. Curah hujan menurut Klasifikasi Schimidt dan Fergusson
(1951) termasuk tipe D.

b. Kondisi Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove yang terdapat di Kabupaten Subang merupakan hutan mangrove binaan.
Hutan mangrove di kawasan pantai Subang bagian utara berada dibawah otoritas
pengelolaan Perum Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan. Secara lebih rinci mengenai

Laporan Akhir 42
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

luas hutan mangrove di Kabupaten Subang dapat dilihat pada table di bawah ini (Tabel
3.16).

Tabel 3.16. Luas mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten Subang Tahun 2007
Luas Area Mangrove (Ha)
No. Kecamatan Desa
Swadaya Bantuan Jumlah
Diluar Kawasan Hutan
1 Pusakanagara -Patimban 450 575 1.025
2 Pamanukan -Anggasari 65 0 65
3 Legonkulon -Tegalurung 275 175 450
4 Blanakan -Langensari 50 200 250
-Muara 50 100 150
-Blanakan 50 100 150
Jumlah 940 1.150 2.090
Di Dalam Kawasan
Pantai Blanakan – Legonkulon 7.040
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Subang, 2007

Areal mangrove di Desa Langensari dan Desa Ciasem termasuk ke dalam RPH
Muara Ciasem, dibawah pengelolaan LMDH W.B. Lestari Desa Langensari dengan
luas 16,40 Ha serta 71 penggarap dan LMDH W.B Lestari dengan Luas 349.75 Ha
dengan 153 penggarap. Data luasan garapan (lahan andil) di BKPH Ciasem-
Pemanukan, KPH Puswakarta disajikan pada tabel berikut (Tabel 3.17).

Tabel 3.17. Luas Kawasan Hutan Bakau BKPH Ciasem – Pamanukan


No Lokasi Luas Garapan Empang (Ha)
1. RPH Tegal Tangkil 1.362,40
2 RPH Muara Ciasem 1.020,49
3 RPH Proponcol 1.448,05
4 RPH Bobos 1.384,79
Luas garapan empang efektif (30 %) 5.215,73 Ha x 30 % = 1.564,72 Ha
Sumber : Perum Perhutani (2008)

b. Penggunaan Lahan
Lahan yang ada di wilayah pantura mempunyai jenis dan bentuk yang bervariasi
sesuai peruntukannya antara lain lahan sawah, tegalan dan lahan kritis pantai yang
terbuka seperti tanah timbul dan empang. Pembagian penggunaan lahan di Desa
Blanakan dan Langensari tahun 2006 dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel
3.18).

Tabel 3.18. Rincian penggunaan lahan Desa Blanakan dan Desa Langensari
Jenis penggunaan Lahan Desa Langensari Desa Blanakan
Pemukiman (ha) 40 156,329
Persawahan (ha) 402 568,493
Perkantoran (ha) 0,5 3,564
Prasarana lain (ha) 184,910 100,273
Hutan mangrove (ha) 160 151,804
Total 786,90 980,463
Sumber : Data dasar profil desa/kelurahan di Kecamatan Blanakan (2006).

Laporan Akhir 43
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Dari Tabel diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% lahan di Desa Blanakan dan
Langensari digunakan untuk persawahan. Sedangkan, penggunaan lahan untuk
wilayah mangrove sebesar 20%.

c. Sosial Ekonomi Kependudukan


¾ Kependudukan

Jumlah total penduduk desa Blanakan adalah 10.532 orang, dengan jumlah laki-laki
4.992 orang dan perempuan berjumlah 5.540 orang. Jumlah kepala keluarga
seluruhnya adalah 2.781 KK dan jumlah perempuan kepala keluarga adalah 263
KK. Sedangkan jumlah total penduduk desa Langensari sebesar 3387 orang,
dengan rincian laki-laki sebanyak 1717 orang, perempuan 1670 orang. Jumlah
kepala keluarga 1083 orang.

¾ Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Desa Blanakan dan Langensari sebagian besar adalah
buruh atau petani di sektor pertanian tanaman pangan dan perikanan (Data dasar
profil desa/kelurahan di Kecamatan Blanakan, 2006). Keadaan ini salah satu
penyebabnya adalah rendahnya tingkat pendidikan penduduk di desa tersebut.

¾ Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk Desa Blanakan dan Langensari masih tergolong


rendah. Secara keseluruhan jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan di
tingkat Sekolah Dasar (SD) di Desa Blanakan sebesar 77,9% dan Desa Langensari
sebesar 59,26%. Hal ini disebabkan kurangnya sarana dan prasarana pendidikan di
Desa Blanakan dan Langensari pada tingkat SLTP dan SMTA.

¾ Agama

Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Blanakan adalah agama Islam (10.532
orang), yang terdiri dari 4 etnis yaitu etnis Jawa (7.591 orang), Sunda (2.927 orang),
Padang (5 orang) dan Madura (9 orang). Begitu juga di Desa Langensari, seluruh
masyaraktnya beragama Islam (3387 orang) dan terdiri dari etnis Sunda (3321
orang), Jawa (66 orang), Aceh (7 orang), Batak (1 orang), dan Melayu (1 orang).

3.3.2. Keanekaragaman Jenis (Flora dan Fauna)

a. Flora

Hutan mangrove di Kabupaten Subang didominasi oleh species Avicennia marina.


Menurut Perum Perhutani BKPH Ciasem/Pamanukan (1995) dalam Meilani (1996),
komposisi hutan mangrove di Kabupaten Subang adalah Rhizophora sp., Avicennia
sp., dan Melaleuca leucadendron.

Laporan Akhir 44
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

b. Fauna

Fauna yang banya terdapat di areal hutan mangrove Subang diantaranya adalah
udang api-api (Metapenaeus monoceros), udang peci (Penaeus merguiensis), dan
udang windu (Penaeus monodon), ikan kipper (Scatophagus argus), ikan lundu
(Macrones gulio), ikan kerong-kerong (Therapon jarbua), ikan belanak (Mugil
dussumieri), ikan mujair (Oreochormis mossambicus), ikan boso (Glossogobius
giuris), ikan belut tambak (Synbranchus bengalensis), kerang hijau (Perna viridis),
kepiting bakau (Scylla serrata), wideng (Uca sp.), benur (Penaeus dan
Metapenaeus), dan nener (Chanos chanos Forsk).

Pengembangan usaha tambak sylvofishery di Kabupaten Subang khususnya di


Kecamatan Blanakan tepatnya di Desa Langensari dan Desa Blanakan bertumpu
pada pengembangan tambak udang windu dan ikan bandeng dengan hasil
sampingan harian yaitu udang peci (udang putih) serta jenis ikan lainnya seperti
ikan blodok, ikan belanak, dan ikan mujair.

3.3.3. Kualitas Air dan Pasang Surut

a. Kualitas Air

Parameter kualitas air merupakan persyaratan baku mutu bagi kehidupan biota laut
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dara kualitas air di areal silvofishery di
Subang disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.19. Kualitas Air di Kawasan Silvofishery Subang Tahun 2007


No. Parameter Satuan Baku Mutu Kisaran Nilai
FISIKA
1 Suhu °C Alami 26.8-27.8
2 Salinitas ‰ Coral: 33 - 34 30
3 Kekeruhan NTU <5 8-17
4 Padatan Tersuspensi (TSS) Mg/l Coral :20 15-52
Mangrove :80
5 Kecerahan M Coral : > 5 0.4-0.9
6 Kedalaman M - 2-8
KIMIA
1 pH - 7-8.5 8.06-8.1
2 Oksigen Terlarut (DO) Mg/l >5 5.17-5.94
3 BOD5 Mg/l 20 0.58-1.76
4 Ammonia Mg/l 0.3 0.044-0.262
5 Nitrat (NO3-N) Mg/l 0.008 0.630-0.959
6 Phosphar Mg/l 0.015 0.001
7 Sianida (CN) Mg/l 0.5 0.01-0.016
8 Sulfida (H2S) Mg/l 0.01 <0.03
9 Minyak dan Lemak Mg/l 1 <0.01
10 Phenol Mg/l 0.002 0.070-0.11
11 Raksa (Hq) Mg/l 0.001 <0.001
12 Khrom Hexavalen Mg/l 0.005 <0.001
13 Arsen (As) Mg/l 0.0012 <0.001-0.019

Laporan Akhir 45
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

No. Parameter Satuan Baku Mutu Kisaran Nilai


14 Kadmium (Cd) Mg/l 0.01 <0.001-0.011
15 Tembaga (Cu) Mg/l 0.008 <0.002-0.002
16 Timah Hitam (Pb) Mg/l 0.008 0.048-0.097
17 Seng (Zn) Mg/l 0.05 0.017-0.072
18 Nikel (Ni) Mg/l 0.05 0.005-0.015
19 Sutrfajabn (MBAS) mg/l 1 0.61-0.149
Sumber : Laporan Akhir Atlas Pesisir Utara Jawa Barat, 2007

Tipe pasut di wilayah pantai Jawa Barat bagian utara termasuk Pantai Utara
Subang merupakan kategori campuran mengarah ke semidiurnal. Kisaran
maksimum tinggi pasang dan surut terbesar adalah 1 meter dan kisaran tinggi
pasang dan surut kedua adalah 0,5 - 0,7 meter (Dishidros-TNI AL, 2000). Di
Kabupaten Subang, menurut kajian Atmadipoera (2002), jenis pasut di lokasi ini
memiliki nilai formzal F = (19.3+11.4)/(10.5+7.7) = 1.69, berarti tipe pasut campuran
yang condong ke harian tunggal dengan tunggang pasut adalah 61.4 cm. Hal ini
berarti dalam satu hari kadang-kadang terdapat hanya satu kali pasang dan satu
kali surut, tetapi juga kadang terdapat dua kali pasang dan dua kali surut (Bappeda
Provinsi Jawa Barat, 2007).

3.3.4. Lansekap dan Desain Tambak Sylvofishery

Lansekap ekosistem mangrove Kecamatan Belanakan terbentang dari pinggir


pantai sampai dengan darat dimana pinggir pantai terdapat green belt yang
ditumbuhi tanaman mangrove jenis Avicennia sp, setelah green belt jarak beberapa
meter sekitar 300-500 meter terdapat tambak tumpang sari yang rata-rata ditumbuhi
mangrove jenis Avicennia alba di bagian tengah dengan lebar kerapatan pohon 40-
80 pohon. Di sekitar tambak mengalir sungai Kalimalang yang merupakan sumber
pengairan untuk tambak yang membagi dua desa, sebelah barat dan timur merupakan
areal tambak milik warga Desa Blanakan. Batas-batas setiap petak tambak dibentuk
tegalan dengan lebar tegalan lebih kurang 1 (satu) meter yang dijadikan sebagai
jalan. Setelah bentangan kawasan tambak terdapat areal persawahan.

Tambak Pola 80:20 Tambak Pola 70 :30

Laporan Akhir 46
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Tambak Pola 60:40 Gambar Tambak Tanpa Pola Hutan

Gambar 3.3. Beberapa Pola Tambak Tumpang Sari dengan vegetasi Mangrove

Model tambak tumpangsari yang banyak diterapkan di beberapa areal pertambakan


di Kabupaten Subang khususnya di Kecamatan Blanakan merupakan model
empang parit tradisional dan model empang terbuka seperti pada gambar di bawah
ini (Gambar 3.4).

a
b Keterangan :
a = saluran air
b = tanggul
c = pintu air
(2 pintu
X X masuk, 1 pintu
keluar)
X =Areal Bakau

Gambar 3.4. Model Empang Parit Tradisional

b a

X Keterangan :
a=saluran air
c d b=pintu air
c=pelataran
tambak
d=tangggul
c c
x=tanaman bakau

Gambar 3.5. Model Empang Terbuka

Pola tambak tumpangsari di Kecamatan Blanakan terdiri dari 4 pola yaitu pola
80:20, pola 70:30, pola 60:40, dengan pola tanpa hutan. Berdasarkan wawancara

Laporan Akhir 47
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

dengan responden, tambak yang lokasinya dekat dengan laut mempunyai pola
80:20. Pola tambak 80:20 mempunyai arti 80% areal mangrove dan 20 % empang
parit dengan lebar parit 3 meter. Tambak yang berlokasi di bagian tengah biasanya
memiliki pola 70:30 dengan lebar parit 4 meter, sedangkan tambak yang berlokasi
jauh dari laut memiliki pola 60:40 dengan lebar parit 5 meter serta terdapat tambak
dengan pola tanpa hutan (Gambar 3.5).

3.3.5. Mekanisme Pemanfaatan

a. Perijinan

Masyarakat pesisir Kabupaten Subang melakukan budidaya ikan di areal milik


Perhutani dengan sistem Silvofishery. Untuk memperoleh tanah garapan
masyarakat harus mengantongi izin dari Perum Perhutani sesuai dengan SK PHBM
Nomor 136. Selain itu, setiap masyarakat yang ingin menggarap hutan mangrove
harus memiliki ikatan perjanjian antara pengelola tambak dan Dinas Kehutanan
Subang. Perjanjian ini berisi tentang: uang kontrak (untuk lahan andil), biaya
perjanjian, janghka waktu. Perjanjian kerja sama ini dilakukan oleh Perum Perhutani
(diakili Asper) dengan Kelompok Tani Hutan diwakili Ketua kelompok dengan
keharusan melampirkan surat kuasa dri anggotanya.

Kewajiban bagi pengelola tambak antara lain untuk menjaga kelestarian hutan serta
sanksi bagi pengelola tambak mengingkari kewajibannya. Berdasarkan hasil
wawancara dengan petani di daerah Blanakan, Subang, ketentuan yang harus
dipenuhi oleh pengelola tambak antara lain menjaga perbandingan hutan dan
tambak sebesar 80% hutan dan 20% kolam. Jika perbandingan hutan dan tambak
50-80% : 20-50%, pengelola tambak diberi peringatan dan jika perbandingan antara
hutan dan tambak mencapai 50% : 50% ijin pengelolaan dicabut.

Selain mendapatkan ijin garapan dari perhutan, juga harus mendapatkan ijin
garapan dari kepala desa serta Ketua LMDH atau juga membeli lahan kaplingan
yang telah memiliki ijin garapan yang selanjutnya dilakukan pematokan lahan

b. Pajak/Pungutan

Untuk memperoleh lahan, setiap petambak diikat dengan suatu perjanjian


kerjasama dengan Perum Perhutani Unit III yang berisikan hak dan kewajiban
penggarap. Hak bagi petambak adalah pengelolaan tambak beserta hasilnya,
sedangkan kewajiban petambak adalah membayar sewa lahan sebesar
Rp 120.000/tahun.

Laporan Akhir 48
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

3.3.6. Sistem Budidaya

a. Penyiapan Lahan

Dalam proses penyiapan lahan, setelah calon lokasi tambak disiapkan dilakukan
pemancangan tanda batas. Setelah itu dilakukan pembuatan jalur tambak, pembersihan
lahan dari sampah, ranting, pohon, dan potongan kayu serta tumbuhan liar.

b. Pengadaan Bibit

Pengadaan bibit untuk budidaya ikan bandeng dan udang windu dilaksanakan
secara swakelola oleh kelompok tani. Beberapa penggarap memperoleh bibit udang
dari alam. Bibit udang dari alam bersifat musiman, jumlahnya tidak menentu, serta
ukurannya beragam.

c. Penebaran dan Pemeliharaan

Budidaya bandeng dan udang windu dilakukan 2 kali panen dalam satu tahun.
Penebaran nener (benih bandeng) dilakukan setelah berumur 2 bulan. Panen
dilkukan setalah bulan ke-5 atau ke-6. Hasil dari budidaya ini untuk masing-masing
pola tambak berbeda-beda, hal ini disebabkan karena sistem budidaya yang
dilakukan petani tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Blanakan
masih bersifat konvensional. Hampir semua komponen budidaya masih tergantung
pada keadaan alam, tidak ada penambahan pakan, tidak ada perlakuan
pengendalian hama penyakit dan faktor budidaya menunjang lainnya. Petani pada
umumnya hanya menerapkan tahapan budidaya yang sederhana antara lain :
perbaikan tambak, pemupukan, penebaran benih bandeng dan dilanjutkan dengan
penebaran benih udang windu.

Pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit yang dilakukan oleh petani
tambak masih sepenuhnya tergantung pada kondisi alam, sehingga udang peci dan
ikan mujaer yang masuk ke dalam tambak perkembangannya sangat tergantung
pada ketersediaan pakan dalam tambak, kualitas air dalam tambak serta
perlindungan dari hama penyakit yang kemungkinan mengganggu bahkan merusak
perkembangan udang peci dan mujaer tersebut.

d. Pengawasan

Pengawasan tambak dilakukan sendiri oleh masyarakat petani tambak sendiri.


Tidak ada instansi khusus yang menangani pengawasan terhadap tambak.

e. Pemanenan

Hasil tangkapan dengan cara memasang bubu pada pintu air yang menghubungkan
antara saluran air utama dengan tambak. Pada saat air pasang, air membawa
benur udang api-api, udang putih, ikan mujaer serta jenis ikan lain masuk ke dalam
tambak. Benih-benih ikan dan udang tersebut berkembang di dalam tambak. Pada
saat air laut surut udang atau jenis ikan yang ada di dalam tambak berusaha keluar

Laporan Akhir 49
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

dan terperangkap dalam bubu. Setelah itu dilakukan pengambilan ikan atau udang,
dimana petani melakukan seleksi. Ikan atau udang yang tidak layak atau belum
layak untuk dipanen dikembalikan ke tambak (Gambar 3.4).

Gambar 3.4. Alat penangkap udang dan hasilnya Udang Hasil Tangkapan

3.3.7. Produksi dan Pemasaran

Komoditas utama budidaya tambak Silvofishery berupa ikan banding dan udang
windu. Produksi tambak per hektar untuk udang windu pada saat panen lebih
kurang 100-200 Kg/ha/tahun. Sedangkan produksi ikan bandeng sebanyak 300-500
kg/ha/tahun. Hasil tangkapan udang harian (udang peci) rata-rata sebanyak 0.6
Kg/ha. Hasil produksi tersebut dijual ke bakul atau dilelang di KUD yang selanjutnya
dari KUD dipasarkan ke pasar lokal maupun keluar kota seperti Jakarta (Gambar
3.5).

Gambar 3.5. KUD Langgen Jaya serta Proses Pelelangan Hasil Tambak

3.3.8. Kelembagaan Pengelolaan

Pengelola atau petani penggarap tambak tumpangsari di wilayah lahan khususnya


Perum Perhutani terorganisir melalui wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yan
berangotakan 10-20 orang petani. Struktur organisasi KTH dapat dilihat pada
gambar di bawah ini (Gambar 3.6).

Laporan Akhir 50
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

KOODINATOR KTH
tingkat BKPH

Pengurus KTH Pengurus KTH Pengurus KTH


tingkat RPH tingkat RPH tingkat RPH

KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK


ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA

Gambar.3.6.Struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan Tambak Tumpangsari

Kegiatan pembinaan penggarap/petani tambak dilakukan melalui organisasi


Kelompok Tani Hutan (KTH) dan Koperasi Perhutanan Sosial (KWPS). Sedangkan
kelembagaan pengelolaan tambak tumpangsari dapat dijelaskan pada gambar
dibawah ini (Gambar 3.7).

BUPATI & Forum PMDH ADM


INSTANSI terpadu Tk. II
TERKAIT

Wedana / Camat Koordinator KTH ASPER Payau/PPSP


Instansi Terkait Tk. BKPH

Forum
Wedana / Camat Koordinator KTH ASPER Koordinasi Tk
Instansi Terkait Tk. BKPH
Desa (KTD)

Wedana / Camat Koordinator KTH ASPER Kemitraan


Instansi Terkait Tk. BKPH Perhutanan
Sosial Payau

ANGGOTA

Keterangan:
: Pembinaan
: Koordinasi

Gambar.3.7. kelembagaan Pengelolan Tambak Tumpangsari di Kabupaten


S b
Laporan Akhir 51
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

3.3.9. Permasalahan

Permasalahan yang ada dan timbul dalam budidaya tambak silvofishery antara lain :

1. Pengkonversian hutan mangrove menjadi areal tambak yang tidak


mengindahkan kaidah konservasi lahan dan tidak berwawasan lingkungan;
2. Belum adanya penetapan tata ruang wilayah pantai dan status kepemilikan
lahan yang jelas temasuk tanah timbul;
3. Terjadi tingkat abrasi yang tinggi akibat pembukaan lahan,serta intrusi air
laut sejauh lebih kurang 35 Km;
4. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang menyebabkan pemanfaatan
hutan mangrove tidak berwawasan lingkungan dan dinilai kurang maksimal.

3.4. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Sylvofishery di Kabupaten Pemalang

3.4.1. Kondisi Umum Lokasi

a. Lokasi, Luas dan Status

Lokasi kajian di Kabupaten Pemalang terpusat di Kecamatan Ulujami, kecamatan ini


terdiri dari 18 desa yaitu Sukorejo, Botekan, Rowosari, Ambowetan, Pagergunung,
Wiyorowetan, Samong, Tasikrejo, Kaliprau, Bumirejo, Kertosari, Pamutih, Padek,
Blendung, Ketapang. Limbangan, Mojo, dan Ketapang. Luas wilayah Kecamatan
Ulujami adalah 6.056,92 Ha dan terletak pada posisi 23 Km dari pusat Kabupaten
Pemalang. Wilayah Kecamatan Ulujami sebelah Utara berbatasan dengan laut
Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan, Sebelah Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Sragi, dan sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Comal.

Kecamatan Ulujami memiliki topografi


bervariasi. Bagian Utara merupakan daerah
pantai dengan ketinggian berkisar antara 1-5
meter di atas permukaan laut. Bagian tengah
merupakan dataran rendah yang subur dengan
ketinggian 6-15 m di atas permukaan laut dan
bagian Selatan merupakan dataran tinggi dan
pengunungan yang subur serta berhawa sejuk
dengan ketinggian 16-925 m di atas
permukaan laut. Tingkat curah hujan daerah ini
rata-rata 177,8 mm, curah hujan tertinggi pada
bulan Desembar, sedangkan curah hujan
terendah yaitu pada bulan September.

Gambar 3.8. Peta Adminitrsi Kabupaten Pemalang

Laporan Akhir 52
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

b. Hutan Mangrove

Hutan mangrove yang terdapat di Kabupaten Pemalang tersebar di 4 (empat


kecamatan. Secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 3.20).

Gambar 3.9. Peta Administrasi kabupaten Pemalang.

Tabel 3.20. Luasan Mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten Pemalang Tahun 2005
LUAS MANGROVE (Ha)
No. KECAMATAN/DESA
2004 2005
1. Ulujami
- Limbangan 75 65
- Mojo 150 90
- Tasikrejo 15 20
- Pesantren 150 65
- Kaliprahu 15 20
- Kertosari 15 20
- Blendung 20 20
- Ketapang 20 25
2 Petarukan
- Kendalrejo 20 25
3 Pemalang
- Lawangrejo 20 -
- Sugihwaras - -
Jumlah Total 500 350
Sumber : Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pemalang

Beberapa lokasi di Kabupaten Pemalang yang mempunyai potensi budidaya


kepiting adalah wilayah 4 kecamatan yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa.
Seperti disajikan pada table di bawah ini, budidaya kepiting dalam tambak di
Kabupaten Pemalang tersebar di desa-desa pesisir Kabupaten Pemalang (Tabel
3.21).

Tabel 3.21. Luas Tambak dan dan Luas Mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten
Pemalang
Kecamatan Desa Luas Tambak (Ha) Luas Mangrove (Ha)
Pemalang Lawang rejo 30 25
Widuri 2 -
Taman Asemdoyong 62 40
Petarukan Nyamplungsari 10 40
Klareyan 10
Kendalrejo 10 25
Ulujami Mojo 327.22 175
Limbangan 246 50
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pemalang

b. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Kecamatan Ulujami terdiri dari dua jenis yaitu lahan sawah
dan lahan bukan sawah. Secara lebih rinci mengenai penggunaan lahan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.

Laporan Akhir 53
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Tabel 3.22. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang.


Bukan Sawah
Desa/
Sawah Bangunan Tegalan/ Perkebunan Tambak/ Lain-
Kelurahan
/Pekarangan Kebun Swasta Kolam lain
Sukarejo 175.14 64.70 16.43 - - 16.50
Botekan 74.78 23.54 - - - 6.91
Rowosari 172.47 99.34 16.65 - - 11.55
Ambowetan 61.81 37.29 - - - 0.99
Pagergunung 84.32 76.66 - - - 2.55
Wiyorowetan 85.32 58.61 - - - 4.66
Samong 93.63 24.38 28.19 - - 2.09
Tasikrejo 117.89 39.00 27.99 - 44.75 4.17
Kaliprau 242.02 57.23 77.02 - 33.50 4.02
Bumirejo 74.19 39.97 - - - 1.19
Kertosari 67.16 39.08 60.61 - 44.69 7.85
Pamutih 180.50 84.83 - - - 0.17
Padek 113.52 51.34 - - - 0.77
Blendung 169.31 28.76 10.92 - 129.03 2.00
Ketapang 93.80 42.85 145.91 - 155.22 9.35
Limbangan 213.76 52.98 132.39 - 245.31 21.03
Mojo 118.43 47.45 34.20 - 327.22 20.50
Pesantren 266.67 177.15 215.00 315.65 427.17 2.00
Jumlah 2.404.71 1.045.11 265.31 315.65 1.406.88 118.26
Sumber : Kecamatan Ulujami dalam Angka, 2007

c. Sosial Ekonomi dan kependudukan

¾ Kependudukan
Kecamatan Ulujami pada tahun 2006 memiliki penduduk sebanyak 105.898 yang
terdiri dari 51.110 jiwa penduduk laki-laki dan 54.788 jiwa penduduk perempuan
dengan kepadatan 1748 jiwa/km².

¾ Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Kecamatan Ulujami terdiri dari 4 jenis pekerjaan yaitu
petani, buruh tani, nelayan, serta buruh industri. Masyarakat yang bermata
pencaharian sebagai petani sebanyak 12.539 orang, buruh tani sebanyak 19.711
orang, nelayan sebanyak 3.028 orang, dan buruh industri sebanyak 2.059 orang
(Kabupaten Pemalang Dalam Angka, 2006).

3.4.2. Keanekaragaman Jenis (Flora dan Fauna)

a. Flora

Jenis mangrove yang terdapat di kawasan pesisir Kabupaten Pemalang antara lain
yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, dan Avicennia sp.

b. Fauna

Jenis biota air yaitu ikan yang terdapat di kawasan mangrove Kabupaten Pemalang
antara lain yaitu peperek, layang, belanak, manyung, kembung, julung-julung, teri,

Laporan Akhir 54
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

tembang, layur, tongkol, peperek, bambangan, kakap, bawal hitam, tigawaja, cucut, pari,
dan tenggiri. Untuk jenis komoditas unggulan tambak sylvofishery yaitu kepiting bakau.

3.4.3. Kualitas Air dan Pasang Surut


Data parameter kualitas air di kawasan silvofishery di Kabupaten Pemalang
disajikan pada Tabel 3.23 di bawah ini.

Tabel 3.23. Parameter Kaulitas Air di Kawasan Silvofishery di Kabupaten Pemalang


Lokasi
No. Parameter Kualitas Air
A B C
1 Salinitas 20 ‰ 15 ‰ 25 ‰
2 Suhu 31°C 33°C 32°C
3 pH air 7.1 8 7.8
4 pH tanah 6.8 6.6 6.5
5 Kecerahan 40 cm 36 cm 30 cm
6 Kedalaman 73 cm 53 cm 52 cm
7 O2 Terlarut 9 ppm 7.6 ppm 10.9 ppm
8 CO2 Terlarut 19.3 ppm 13.4 ppm 14.3 ppm
9 Amoniak LR 0.00 ppm 0.04 ppm 0.16 ppm
10 Nitrat 0.00 ppm 1.5 ppm 2.0 ppm
11 Nitrat LR 0.00 ppm 0.00 ppm 0.01 ppm
12 Phospat LR 0.02 ppm 0.02 ppm 0.08 ppm
Sumber : Bappeda Kab Pemalang, 2005
3.4.4. Lansekap dan Desain Tambak Sylvofishery
Lansekap mangrove yang terdapat di Kabupaten Pemalang sebagian besar
terdapat dari pinggir pantai sampai ke tengah bagian utara Desa Mojo. Bagian utara
pantai Mojo tersebut merupakan areal green belt dengan jenis mangrove yang
tumbuh yaitu Rhizopora mucronata, Avicennia sp, Sonneratia alba, dan Sonneratia
caseolaris. Berdasarkan pengamatan langsung dilapang, bahwa kondisi
pertumbuhan mangrove dari jenis yang ada tersebut pada jalur green belt tinggi
jenis Rhizopora mucronata mencapai 7 – 8 meter sedangkan untuk jenis api-api
mencapai 9 -10 m.

Desain tambak sylvofishery yang dikembangkan oleh kelompok tani tambak di


daerah tersebut memiliki perbandingan 10:90 (mangrove:tambak). Umumnya
mangrove yang ditanam berada pada daerah pinggiran tambak. Adapun jenis
budidaya tambak yang dikembangkan diantaranya kepiting lunak, udang dan
bandeng. Desa Mojo dapat dikatakan merupakan sentra budidaya kepiting lunak
dan sebagai daerah penghasil bibit mangrove dengan kuantitas yang cukup banyak
dan daya tumbuhnya cukup tinggi. untuk lebih jelasnya mengenai kondisi budidaya
tambak di daerah Desa Mojo tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini
(Gambar 3.9. ).

Laporan Akhir 55
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Gambar 3.9. Kondisi mangrove yang berada pada areal budidaya tambak Desa
Mojo, Pemalang

3.4.5. Mekanisme Pemanfaatan


a. Perijinan
Dalam pengelolaan tambak tumpangsari di Kabupaten Pemalang harus melalui
beberapa tahapan berikut ini:
a) Meminta ijin garapan kepada kepala kampung/desa, baru membuka lahan;
b) Membuka lahan terlebih dahulu, baru meminta ijin garapan;
c) Meminta ijin garapan, tetapi tidak membuka lahan tambak;
d) Membeli lahan kaplingan yang telah memiliki ijin garapan;
e) Kerja sama penggarapan tambak;
f) Pematokan lahan

Berdasarkan temuan di lapangan, tanda bukti kepemilikan atas tambak atau persil
tertentu, meliputi: (1) sertifikat; (2) surat keterangan izin membuka tambak dari
camat dengan rekomendasi dari kepala desa/kampung; (3) Pendaftaran Pajak (P2)
atau surat rinci; (4) penguasaan tanah tanpa dokumen surat-surat.

3.4.6. Sistem Budidaya


a. Penyiapan Lahan

Berdasarkan temuan informasi dan data di lapangan, proses pembukaan lahan


tambak serta proses produksinya menjadi ancaman bagi hutan mangrove. Ancaman

Laporan Akhir 56
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

mangrove secara fisik dan nyata terjadi pada saat pembukaan lahan karena
mangrove ditebang habis. Hutan mangrove dibabat dan dibakar atau dikeruk
dengan menggunakan alat-alat berat.

b. Pengadaan Bibit

Selama ini kebutuhan konsumen akan kepiting bakau sebagian besar masih
dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang sifatnya fluktuatif.

c. Penebaran dan Pemeliharaan


Tambak kepiting bakau yang terdapat di Pemalang terutama Kecamatan Ulujami
terdiri dari 2 sistem yaitu sistem polikultur dan sistem monokultur, Pada sistem
polikultur dengan ikan bandeng, ukuran benih kepiting dengan berat 20-50 gram
ditebar dengan kepadatan 1.000-2.000 ekor.ha, dan ikan bandeng gelondongan
yang berukuran berat 2-5 gram ditebar dengan kepadatan 2000-3000 ekor.Ha.
Pada budidaya sistem monokultur, benih kepiting dengan ukuran yang sama ditebar
dengan kepadatan 5000-15.000 ekor/Ha.

Pemeliharaan kepiting dilakukan dengan cara kepiting tersebut ditampung dalam


wadah berupa pipa PVC ukuran diameter 20 cm dan tinggi 30 cm dengan substrat
pasir di dasarnya. Kepitng tersebut diberi pakan berupa ikan rucah. Kualitas air
yang dipergunakan untuk pemeliharaan kepitingf juga harus dijaga, pada tendon air
ditambahkan kalsium hipoklorit sebanyak 10 – 20 ppm dan kemudian dinetralisir
dengan sodium tiosulfat. Selain itu air dalam tendon air juga harus diganti setiap
harinya sebelum kepiting diberi makan.

d. Pemanenan
Proses pemanenan dilakukan setelah masa pemeliharaan 15-20 hari. Pada saat
kepiting berukuran 3-4 Kg/ekor. Panen dilakukan dnegan menggunakan caduk
(serokan dari jaring) setelah keramba diangkat dari empang. Satu per satu kepiting
yang baru dipanen diikat kaki dan capitnya, kemudian ditempatkan secara teratur
kedalam keranjang.

3.4.7. Produksi dan Pemasaran

Kepiting produk yang dihasilkan dari tambak sylvofishery yang dipasarkan dalam
bentuk segar tidak dalam bentuk olahan. Secara lebih rinci produksi kepiting Di
Kabupaten Pemalang dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 3.24).

Tabe 3.24. Produksi dan Nilai Ekonomi Budidaya Penggemukan dan Ppnangkapan
Kepiting.
Jenis Kepiting (penggemukan) Jenis Kepiting Tangkap
Produksi Nilai (Rp.) Rata-rata Produksi Nilai (Rp.) Rata-rata
Tahun
(kg) Produksi/bln (Kg) produksi/bln
(kg) (kg)
2005 183.695 5.434.218.500 15.307,91 633 10.768.000 52.75

Laporan Akhir 57
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Jenis Kepiting (penggemukan) Jenis Kepiting Tangkap


Produksi Nilai (Rp.) Rata-rata Produksi Nilai (Rp.) Rata-rata
Tahun
(kg) Produksi/bln (Kg) produksi/bln
(kg) (kg)
2006 100.066 2.984.313.500 8.338,83 56.085 1.094.495.500 4.673,75
2007 106.497 3.698.750.000 8.873,08 112.706 1.671.878.000 9.392,16
Sumber: Bappeda Kab Pemalang, 2006

Untuk kegiatan pemasaran, pada umumnya hanya sekitar lokal dan antar daerah
saja serta dipasok ke perusahaan perusahaan perikanan yang terdapat di
Kabupaten Pemalang maupun di daerah lain seperti Jakarta.

3.4.8. Kelembagaan
Kelembagaan di tingkat pemerintah daerah yang mengelola pemanfaatan
sumberdaya hutan mangrove di Kabupaten Pemalang antara lain yaitu Pemerintah
Daerah diantaranya Bappeda, Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dinas
Kehutanan. Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Pertanian, dan LSM. Sedangkan
kelembagaan di tingkat lokal antara lain kelompok tani, kelompok petambak, salah
satu contohnya yaitu kelompok tani Adil Makmur.

Khusus kelembagaan pengelolaan budidaya tambak silvofishery yaitu: Koperasi


Perikanan Darat (KPD) yang tersebar di Kecamatan Mojo yaitu: KPD Mino Mulyo di
Desa Pesantren, KPD Mino Rejo, KPD di Desa Limbangan, KPD Mino Tulus di
Desa Mojo, KPD Tulus di Desa Mojo, KPD Mino Raharjo di Desa Kaliprau, KPD
Karyo Mukti di Desa Ketapang, KPD Sari Rejo di DesaBendung dan KPD Sari
Mulyo di Desa Kertosari. Peran lembaga-lembaga ini berkaitan dengan manajemen
petani tambak yang menjadi anggota kelompoknya.
3.4.9. Permasalahan
Beberapa permasalahan utama yang terjadi pada pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove untuk budidaya tambak silvofishery di Kabupaten Pemalang antara lain:
a. Masalah ketersediaan bibit
Sebagian petani tambak memperoleh bibit kepiting hanya mengandalkan dari
hasil tangkapan alam yang dikumpulkan oleh para pengobor, sehingga
jumlahnya terbatas. Selain itu bibit kepiting ini memiliki kelemahan apabila bibit
tersebut tidak berasal dari daeah yang sama, maka kemungkinan
kematiannya tinggi. Ketersediaan bibit kepiting pada musim hujan sangat
tinggi, namun menurut petani musim hujan tidak bias untuk penanaman bibit
kepiting karena resiko kematian sangat tinggi.
b. Masalah permodalan
Modal untuk budidaya kepiting cukup besar, terutama untuk kepiting soka.
Sebagai gambaran kasar saja, besarnya modal untuk budidaya kepiting soka
terutama untuk menyediakan basket (keranjang) saja harganya mencapai Rp

Laporan Akhir 58
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

10.000,- per buah. Untuk setiap hektar dengan kapasitas optimum 10.000 ekor
maka kebutuhan biaya untuk keranjang mencapai 100 juta rupiah. Selama ini
belum ada lembaga keuangan yang mau menjamin permodalan petani
tambak. Sistem permodalan yang ada di kalangan petani tambak sebagian
besar adalah mandiri / pribadi.
c. Masalah pengetahuan
Petani tambak masih terbatas akan pengetahuan tentang budidaya kepiting
karena belum adanya penyuluhan tentang budidaya kepiting.
d. Masalah Kelembagaan
Kelembagaan yang khusus mengelola budidaya kepiting belum ada. Bahkan
di Desa Mojo, produsen kepiting terbesar di Pemalang sama sekali belum ada
lembaga yang khusus mengelola budidaya kepiting.

3.5. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Jasa Lingkungan/Ekologi di


Kabupaten Cilacap

3.5.1. Kondisi Umum Lokasi


a. Luas dan Status

Hutan mangrove di Kabupaten Cilacap berada di kawasan Segara Anakan yang


secara geografis terletak merupakan salah satu kabupaten yang terletak pada
koordinat 108°45’-109°3’ Bujur Timur dan 7°35’-7°45 Lintang Selatan. Secara
administratif, Segara Anakan terletak di perbatasan antara Kabupaten Cilacap
Provinsi Jawa Tengah dengan Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Daerah ini
meliputi Desa Ujunggagak, Ujungalang, Klaces, dan panikel (Gambar 3.11).

Batas-batas Segara Anakan adalah sebelah Barat merupakan perbatasan


Kabupaten Cilacap dan Ciamis, sebelah Utara hingga daerah pasang surut tidak
mempengaruhi aliran sungai, batas sebelah Timur yang digunakan adalah batas
administratif Kota Cilacap, sedangkan batas sebelah Barat ke arah laut lepas
hingga kedalaman 60 meter.

Luas hutan mangrove di Kabupaten Cilacap berdasarkan pada interpretasi Citra


Satelit Landsat tahun 2005/2006 seluas 9.326,70 hektar, yang terdiri dari dalam
kawasan 6.534,72 ha dan luar kawasan 2.791,99 ha.

b. Penggunaan Lahan

Menurut penggunaan lahannya, Kawasan Segara Anakan terdiri atas: pemukiman,


industri / pertambangan, lahan kosong, hutan perbukitan, hutan mangrove, tambak,

Laporan Akhir 59
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

sawah, perkebunan, dan badan perairan laut. Secara rinci kondisi tata guna lahan di
kawasan Segara Anakan disajikan pada tabel berikut (Tabel 3.25).

Gambar 3.10. Peta administrasi Kab.Cilacap

Tabel 3.25. Luasan tiap Tata Guna Lahan di Kawasan Segara Anakan, Cilacap,
Jawa tengah.
No Tat Guna Lahan Luas Persen (%)
1 Pemukiman Padat 2.193,84 2,46
2 Pemukiman Sedang 211,39 0,18
3 Industri 521,10 0,44
4 Lahan Kosong Kering (Digunakan) 1.005,85 0,85
5 Lahan Kososng Lembab (Belum digunakan) 871,09 0,74
6 Lahan Kosong Basah (Belum Digunakan) 410,79 0,35
7 Hutan Perbukitan Kerapatan Tinggi 19.630,22 16,59
8 Vegetasi Mangrove Kerapatan Sangat Tinggi 1.883,63 1,59
9 Vegetasi Mangrove Kerapatan Tinggi 6.347,78 5,36
10 Vegetasi Mangrove Kerapatan Sedang 943,46 0,79
11 Vegetasi Mangrove Kerapatan Rendah 220,58 0,18
12 Tambak 500,80 0,42
13 Sawah Dua Kali Setahun 14.178,94 11,98
14 Sawah Satu Kali Setahun 9.776,16 8,26
15 Semak Belukar 241,31 0,20
16 Lapang Golf 71,95 0,06
17 Bandara 74,24 0,06
18 Pertambangan 102,42 0,08
19 Pemukiman, Pekarangan, dan Kebun Campuran 29.593,11 25,00
20 Perkebunan 1.707,76 1,44
21 Obyek Wisata 54,66 0,05
22 Laut / Sungai 27.091,15 22,89
Jumlah 118.352,23 100
Sumber: Bangda, 2000.

Laporan Akhir 60
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

c. Sosial Ekonomi Kependudukan

Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Rumah Tangga Daerah (Suseda) di kawasan


Segara Anakan, penduduk kawasan Segara Anakan yang mencakup Desa
Ujunggagak, Ujungalang, Klaces dan Panikel mencapai 14.907 jiwa, dengan rincian
laki-laki 7.545. jiwa dan perempuan 7.362 jiwa. Penduduk terbesar terdapat di Desa
Panikel sebanyak 5.113 jiwa sedangkan penduduk terkecil di Desa Klaces 1.247
jiwa.

Mata pencaharian penduduk di sekitar Segara Anakan pada umumnya adalah


petani dan nelayan. Sebagian besar penduduk Desa Ujung Alang bermata
pencaharian sebagai nelayan sebanyak 42,66%), sedangkan petani
31,10%.Penduduk Desa Ujung Gagak bermata pencaharian sebagai nelayan
sebanyak 77,67%, sedangkan petani 14,41%. Penduduk Desa Panikel bermata
pencaharian sebagai nelayan sebanyak 8,26%, sedangkan buruh tani 42,35% (

Untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, Dinas Pendidikan Kabupaten


Cilacap menyediakan fasilitas pendidikan yaitu untuk tingkat Sekolah Dasar (SD)
jumlah sekolah yang tersedia sebanyak 1.057 sekolah yang menampung murid
sebanyak 200.413 orang dirunjang oleh tenaga guru sebanyak 8.631 orang. Untuk
tingkat SLTP jumlah sekolah sebanyak 172 unit menampung 75.217 orang murid
yang ditunjang oleh tenaga pengajar sebanyak 3.720 orang. Untuk tingkat SMA,
jumlah sekolah yang tersedia sebanyak 86 sekolah yang menampung murid
sebanyak 38.737 orang yang ditunjang oleh tenaga pengajar sebanyak 2.306 orang
(Cilacap dalam Angka, 2006).

Sarana kesehatan yang tersedia di Kabupaten Cilacap yaitu 2 unit Rumah Sakit
Umum, 5 Rumah Sakit Swasta, 36 Puskesmas, 12 unit Puskesmas Rawat Inap, 78
unit Puskesmas Pembantu, 28 Puskesmas Keliling. Untuk tenaga medis banyaknya
dokter yang tersedia 64 orang di Rumah Sakit Umum, 36 orang dokter Puskesmas.

3.5.2. Struktur dan Komposisi, serta Keanekaragaman Jenis


a. Flora

Berdasarkan survey Management Plan Kawasan Segara Anakan (1999) dijumpai


sebanyak 30 jenis tumbuhan mangrove. Jenis yang dominan yaitu Rhizophora
apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorrhiza. Komposisi jenis
mangrove di kawasan mangrove Cilacap (Segaran Anakan) disajkan pada tabel...

Dominansi jenis-jenis flora mangrove di lokasi Tritih, Karang Talun, Ujung Alang dan
Muara Dua untuk tingkat semai, pancang, dan pohon umumnya didominasi oleh
jenis api-api (Avicennia spp.) yang masing-masing memiliki Indeks Nilai Penting
(INP) 71,79% - 134,5%; 172,65% - 214,88% dan 169,15%-300%. (Dirjen Bangda,

Laporan Akhir 61
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

2000). Dominansi lainnya adalah Bogem (Sonneratia alba), bakau (Rhizophora


spp.), jerujon (Acanthus ilicifolius), dan tancang (Bruguiera gymnrohhyza).

Tabel 3.26. Komposisi jenis vegetasi mangrove di kawasan mangrove Segara


Anakan.
No Nama Lokal Nama Latin Famili
1 Bakau Kacang Rhizophora apiculata Lamk Rhizophoraceae
2 Bakau Bandul Rhizophora mucronata Lamk Rhizophoraceae
3 Tancang Sukun Bruguiera sexangula Lour Rhizophoraceae
4 Tancang Bruguiera parviflora Rhizophoraceae
5 Nyirih Xylocarpus granatum Meliaceae
6 Nyuruh Xylocarpus mollucensis Meliaceae
7 Api – api Avicennia marina Avicenniaceae
8 Api – api Avicennia alba blum Avicenniaceae
9 Api – api Avicennia oficinalis Avicenniaceae
10 Tingi pendek Ceriops decandra Rhizophoraceae
11 Tingi pendek Ceriops tagal Rhizophoraceae
12 Pisangan Aegiceras corniculatum Myrsinaceae
13 Bogem Sonneratia alba Sm Sonneratiaceae
14 Nipah Nypa fruticans Arecaceae
15 Tancang Bruguiera gymnorrhiza Lamk Rhizophoraceae
16 Buta-buta, Panggan Excoecaria agallocha Euphorbiaceae
17 Singkil Excoecaria singkil Euphorbiaceae
18 Waru Hybiscus tiliaceus Malvaceae
19 Jerujon Acanthus ilicifolius Linn Acanthaceae
20 Bintaro Cerbera manghas Apocynaceae
21 Dungun Heritiera littoralis Sterculiaceae
22 Warakas Acrostichum aureum Pteridaceae

b. Fauna

Di Kawasan Segara Anakan dijumpai 45 jenis satwaliar yang terdiri dari: 41 jenis
burung (15 jenis termasuk dilindungi, 3 jenis merupakan burung migran), dan 4
jenis mamalia. Sedangkan jenis-jenis ikan di perairan Segara Anakan terdapat
sekitar 45 jenis ikan.

3.5.3. Potensi Tegakan

Luas hutan mangrove di Kabupaten Cilacap berdasarkan pada interpretasi Citra


Satelit Landsat tahun 2005/2006 seluas 9.326,70 hektar, yang terdiri dari dalam
kawasan 6.534,72 ha dan luar kawasan 2.791,99 ha. Potensi tegakan mangrovenya
yang didominasi Rhizophora sp dan Avicennia sp mencapai 5,93 m3/ha untuk
tingkat pohon dan 5,77 m3/ha untuk tingkat pancang atau total potensi tegakan 11,
70 m3/ha (LPP Mangrove dan JICA, 2003).

3.5.4. Kualitas Air dan Pasang Surut


Tipe pasang surut di kawasan Segara Anakan adalah diurnal, artinya terjadi satu
kali pasang dan satu kali surut selama 24 jam (satu hari). Fluktuasi pasang surut
adalah antara 0,4 – 1,9 m. Fase pasang pada muara sebelah Barat melewati

Laporan Akhir 62
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Sungai Citanduy, di sebelah Timur melewati bagian timur yang bersatu dengan
Sungai Donan dan Sungai Sapuregel. Kondisi kualitas perairan kawasan mangrove
Segara Anakan adalah sebagai berikut:

a. Salinitas air tertinggi tercatat pada kedalaman 8,2 m pada waktu air pasang
tertinggi dengan nilai 33,58.
b. Kekeruhan berkisar antara 1,47 – 11,7 NTU, Sedangkan nilai padatan
tersuspensi berkisar antara 2 – 20 mg/l
c. Derajat Keasaman (pH) berkisar antara 7,02 – 7,87.
d. Oksigen terlarut berkisar antara 3,65 – 5,27 mg/l.
e. Nilai BOD relatif rendah sebesar 0,84 – 4,99

3.5.5. Kondisi Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove

Hutan mangrove sebagai daerah perlindungan pesisir sangat diperlukan untuk


mengurangi bahaya gelombang air laut yang besar (rob), dan sekaligus untuk
melindungi wilayah pesisir dari ancaman abrasi, angin laut, penyusupan air asin
kearah daratan, menjerap bahan pencemar, serta mempertahankan produktivitas
pantai dan laut. Manfaat hutan mangrove sebagai penjerap polutan berkaitan
dengan posisi kawasan hutan mangrove Cilacap di daerah hilir / muara Sungai
Citanduy. Masyarakat khususnya di Kawasan Segara Anakan telah menyadari
manfaat dan fungsi hutan mangrove yaitu sebagai penahan pasang air laut dan
tempat hidup satwa dan tumbuhan.

1) Manfaat sebagai daeah pemijahan, bertelur dan asuhan

Ekosistem hutan mangrove merupakan tempat memijah, tempat bertelur, tempat


asuhan bagi berbagai macam biota perairan seperti ikan, udang, kepiting, kerang,
dan lain sebagainya. Berbagai macam biota perairan ini memiliki nilai ekonomi yang
tinggi bagi masyarakat nelayan. Pemanfatan jasa lingkungan sebagai tempat
memijah, bertelur dan tempat asuhan didekati dengan jumlah hasil tangkapan biota
perikanan yang meliputi: ikan, udang, kepiting, kerang, dan biota perikanan lainnya
yang bersifat komersial.

Jumlah produksi usaha penangkapan ikan di air payau (tambak) tahun 2007 di
lokasi tersebut sebesar 469.375 kg, dengan luas area penangkapan sebesar 14,76
hektar dengan nilai Rp 11.305.651.000,-.Sedangkan rata-rata produksi pe

rikanan tangkap pertahun sebesar 93,8 ton/tahun ( Masyarakat nelayan menangkap


biota perairan dengan menggunakan peralatan antara lain: jaring kantong, jala,
bubu sidat, wide, waring surungan, jaring kepiting, dan otek.

Laporan Akhir 63
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

2) Manfaat sebagai kawasan wisata mangrove

Ekosistem hutan mangrove sebagai habitat beranekaragam flora dan fauna, serta
karakteristik lingkungannya yang berperan penting dalam mendukung jasa
lingkungan wisata pesisir termasuk wisata mangrove. Potensi wisata di kawasan
mangrove Segara Anakan mencakup wilayah perairan dan daratan yang
bersinggungan erat. Potensi obyek maupun daya tarik wisata yang terdapat di
kawasan Segara Anakan meliputi: 1). Hutan Payau Tritih, 2). Desa Nelayan /
Kampung Laut, 3). Hutan Suaka Mangrove, 4). Panorama Pantai Segara Anakan,
5).Panorama Selat Indralaya, 6). Teluk Penyu, dan 7). Benteng Pendem.

Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola


melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan
perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan
kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan
menjadi pemandu wisata.

Kawasan hutan wisata payau tritih memiliki luas areal sebanyak 10 hektar. Obyek
wisata ini berupa kawasan hutan mangrove yang diperuntukkan khusus untuk dibina
dan dipelihara khusus untuk kepentingan wisata. Kawasan hutan wisata ini dikelola
oleh Perum Perhutani Unit II Jawa tengah, BKPH Rawa Timur, RPH Tritih. Jumlah
pengunjung di lokasi wisata ini tahun 2007 3.804 orang/tahun.

Wisata Teluk Penyu berada dekat lokasi Benteng Pendem. Daya tariknya berupa
hamparan pantai yang indah. Jumlah pengunjung lokasi wisata ini berjumlah
108.554 orang/tahun. Obyek wisata ini dikelola perusahaan swasta.

Pada wisata Desa Nelayan ( Kampung Laut), daya tarik yang dapat dinikmati adalah
pemandangan dan panorama keindahan halam hutan mangrove yang tumbuh pada
tanah-tanah timbul akibat endapan lumpur. Selain itu juga kehidupan masyarakat
nelayan yang mendiami wilayah tersebut. Kampung Laut merupakan perkampungan
yang mempunyai sejarah dan mitologi yang menarik dengan pola kehidupan unik.
Desa-desa yang dijadikan sebagai obyek wisata kampung laut meliputi: Desa Bugel,
Desa Motean, Desa Ujung Alang, Desa pejagan, dan Desa Muara Dua. Desa-desa
tersebut memiliki ciri khas berbeda satu sama lain yang cukup menarik dan bagus
untuk daya tarik wisata.

Potensi, daya tarik wisata pantai Segara Anakan berupa pesona bahari, wisata
belanja hasil perikanan yang masih segar, dan kesenian tradisional masyarakat
setempat.

Pada kawasan wisata berupa hutan suaka mangrove terdapat berbagai jenis flora
mangrove seperti: Avicennia sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp. dan Nypa
fructicans. Agai Selain itu juga sebagai habitat berbagai jenis satwa seperti burung
kuntul besar, kuntul kecil, kuntul perak, bluwok, dan bangau tongtong. Selain itu

Laporan Akhir 64
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

jenis satwa liar lain seperti: linsang (Aonyx sp.), biawak (Varanus salvator), dan
Berang-berang (Lutra-lutra).

Pada kawasan wisata Benteng Pendem, daya tarik yang dinikmati adalah bangunan
peninggalan sejarah Hindia Belanda berupa benteng pertahanan yang dulunya
pernah terpendam dalam tanah kurang lebih 3,5 meter dari permukaan tanah.
Pengunjung lokasi wisata Benteng Pendem tahun 2007 berjumlah 36.504
orang/tahun. Obyek wisata ini dikelola oleh pihak Dinas Pariwisata Pemda Cilacap
(Diparta).

3) Potensi Manfaat Jasa Penyerapan Karbon

Pemanfaatan hutan mangrove untuk jasa penyerapan karbon di Cilacap


menggunakan pendekatan transfer manfaat jasa penyerapan karbon di hutan
mangrove , Kalimantan Barat yaitu sebesar 4,12 ton/ha/tahun. Dengan luas total
sebesar 9.326,70 hektar, maka manfaat penyerapan karbon total sebesar 38.426
ton/hektar.

4) Potensi Manfaat Jasa Penahan Intrusi Air Laut.

Mangrove memiliki kemampuan dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan.
Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air sumur pada berbagai jarak
dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah
Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrovenya yang relatif baik, masih
tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah
sudah terintrusi pada jarak 1 km.

5) Potensi Manfaat Jasa Mengurangi Gelombang Tsunami

Pada daerah yang memiliki mangrove dan hutan pantai relatif baik, cenderung
kurang terkena dampak gelombang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan
diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami
(Harada dan Fumihiko, 2003 dalam Diposaptono, 2005). Gelombang laut setinggi
1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33
Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al.,
2002). Selain itu hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) yang merupakan pengujian
model di laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora
spp.) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang
diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut.
Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove di sepanjang pantai
dapat memperkecil efek gelombang tsunami yang menerjang pantai. Mazda dan
Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi (1997) menambahkan bahwa vegetasi

Laporan Akhir 65
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

mangrove, terutama perakarannya dapat meredam energi gelombang dengan cara


menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove.

6) Manfaat Penjerap Polutan

Manfaat hutan mangrove sebagai penjerap polutan berkaitan dengan posisi


kawasan hutan mangrove Cilacap di daerah hilir / muara Sungai Citanduy yang
menyaring senyawa kimia yang bersifat toksik. Seperti yang dilaporkan oleh
Gunawan dan Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove
mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari
perairan hutan mangrove.

3.5.6. Mekanisme Pemanfaatan

a. Perijinan
Sumberdaya perikanan merupakan barang publik yang dapat dimanfaatkan oleh
siapa saja dengan ketentuan tidak melanggar batas wilayah antar negara dan tidak
melanggar aturan teknis penangkapan (seperti tidak diperbolehkan menagkap
ikanikan berukuran kecil) . Sehingga dalam pemanfaatannya tidak ada mekanisme
perijinan yang jelas antara instansi yang berwenang (pemerintah) dengan
masyarakat (nelayan).

b. Pungutan
Pada pemanfatan sumberdaya hutan mangrove sebagai penyedia jasa penyangga
sumberdaya perikanan, belum ada system iuran atau pungutan yang dikenakan
pada pelaku usaha perikanan atau nelayan.

c. Kelembagaan
Kelembagaan kawasan mangrove di segara anakan merupakan baian tak
terpisahkan dengan kelembagaan pengelolaan segara anakan secara keseluruhan.
Ditinjau dari status pengelolaan, kawasan Segara anakan terbagi dalam 3 (tiga)
wilayah pengelolaan , yaitu Pemerintah Daerah, Kehakiman dan wilayah pngelolaan
Perhutani. Secara lengkap oranisasi wilayah pengelolaan Segara Anakan disajikan
pada gambar berikut ini.

Laporan Akhir 66
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

BADAN EKSEKUTIF
(CHAIRMAN)

.
TATA USAHA ASS.
PERENCANAAN

ASS. PELAKSANA ASS. PELAKSANA ASS. PELAKSANA


WP. PEMDA WP. KEHAKIMAN WP.PERHUTANI

UP WANA UP UP WANA UP UP HUTAN UP WANA


WISATA HUTAN MINA HUTAN PRODUKSI WISATA
RAKYAT LINDUNG

KELOMPOK TANI HUTAN MANDOR

Gambar 3.11 Organisasi Kelembagaan Wilayah Pengelolaan Segara Anakan

Laporan Akhir 67
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

IV. ANALISIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE

4.1. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Ekowisata di Tahura Ngurah Rai

4.1.1. Aspek Kebijakan

Berdasarkan pada PP No. 6 tahun 2007 dan PP No. 3 Tahun 2008, bentuk kegiatan
di dalam kawasan Taman Hutan Raya dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan :
penelitian dan pengembangan, ilmu dan pengetahuan, pendidikan, kegiatan
penunjang budidaya, pariwisata alam dan rekreasi, dan pelestarian budaya.
Sedangkan jenis kegiatan pariwisata alam dan rekreasi di Taman Hutan Raya
meliputi kegiatan Pengusahaan sarana parawisata alam meliputi: akomodasi
(pondok wisata, bumi perkemahan, karavan, penginapan remaja), makanan dan
minuman, sarana wisata tirta, angkutan wisata, cindera mata, sarana wisata
budaya. Kegiatan tersebut dilakukan dengan ketentuan tidak mengurangi,
mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya; mengubah bentang alam; dan
merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan.
Pemanfatan sumberdaya hutan mangrove untuk ekowisata di Tahura Ngurah Rai
telah sesuai dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat pada PP No. 6
tahun 2007 dan PP No. 3 Tahun 2008 tersebut.

4.1.2. Aspek Teknis

Berdasarkan pengamatan lapangan, di lokasi wisata mangrove Tahura Ngurah Rai


terdapat beberapa kebutuhan yang telah dipenuhi dalam rangka pelaksanaan
operasionalnya. Kebutuhan wadah kegiatan dalam pelaksanaan wisata mangrove di
Tahura Ngurah Rai tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kebutuhan wadah kegiatan usaha

¾ Jenis kegiatan rekreasi memerlukan sarana: ruang informasi, ruang


audiovisual, shellter dan kopel, tempat duduk dan meja piknik, play ground
dan taman, track trails dan broadwalk, restoran, kolam pemancingan,
dermaga, sampan/perahu, menara pengamat, pondok wisata, plaza tahura.
¾ Jenis kegiatan penelitian memerlukan sarana: pondok peneliti,
perpustakaan, tempat persemaian, rumah kaca dan koleksi tumbuhan,
herbarium dan zoologicum, kolam /tambak percontohan.
¾ Jenis kegiatan pendidikan memerlukan sarana: camping ground, pusat
informasi biodiversity, termasuk sarana di atas.
¾ Jenis kegiatan rohaniawan memerlukan tempat yang sejuk, tenang dan
aman serta tempat ibadah.

Laporan Akhir 68
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

b. Kebutuhan wadah kegiatan pengelolaan wisata mangrove

¾ Pelayanan aktif terdiri dari kantor penerimaan wisatawan, penerangan


pengunjung, pengamanan kawasan, pelayanan transportasi, pelayanan
kesehatan, pelayanan kesejahteraan, kantor pengelola, pondok kerja, pos
jaga, pintu gerbang, pos P3K, tempat parkir, mess petugas dan gudang,
pemandu dan tempat pembuangan sampah.
¾ Pelayanan pasif terdiri dari kebutuhan rohani, kebutuhan utilitas, tempat
sembahyang, pura, mushla, MCK ruang mekanikal dan elektrikal.

c. Kebutuhan wadah kegiatan masyarakat

¾ Pusat kerajinan terdiri atas kios makanan / minuman, dan kios cinderamata
¾ Pembinaan masyarakat terdiri atas pusat seni budaya, pusat kebuyanaan
dan demplot.

Tata letak sarana dan prasarana di dalam kawasan telah mempertimbangkan


aspek-apek seperti: aspek fungsional, aspek sirkulasi, dan pencapaian, aspek
orientasi, aspek topografi, serta aspek luas dan daya dukung. Hal ini seperti dapat
dilihat pada tata letak pintu utama menuju kawasan wisata mangrove Tahura
Ngurah Rai yang terletak pada lokasi yang strategis, dilengkapi dengan bangunan
candi bentar dengan arsitektur lokal yang selaras dengan lingkungan mangrove.
Lokasi pos jaga yang strategis agar dapat dengan mudah mengawasi kegiatan.
Tempat persemaian berlokasi dekat dengan sumber air tawar dengan luasan yang
cukup dan memiliki topografi datar. Shellter dibangun permanen dengan konstruksi
kayu dan semi beton diletakkan pada tempat tertentu dan telah mempertimbangkan
kemampuan fisik pengunjung serta dapat memberikan perlindungan dari pengaruh
alam setempat.

Selama ini minat wisata Tahura Ngurah Rai masih rendah. Potensi daya tarik
wisata di Tahura Ngurah Rai belum dikelola dengan baik dalam bentuk kemasan
wisata yang menarik minat pengunjung. Selain kemasan wisata, sarana dan
prasarana juga perlu diperbaiki.

Berdasarkan uraian di atas, pemanfatan sumberdaya hutan mangrove untuk


ekowisata layak ecara teknis. Namun masih banyak yang perlu diperbaiki, baik dari
sisi manajemen, pengembangan sumberdaya dan daya tarik, maupun sarana an
prasarana.

4.1.3. Aspek Ekologi

Telah dijelaskan di bagian sebelumnya bahwa potensi daya tarik berupa


sumberdaya hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai cukup tinggi yang mendukung
pengembangan pemafaatan ekowisata. Kawasan ini memiliki kondisi tegakan
mangrove yang beragam, dan merupakan daerah estuaria yang luas mendukung

Laporan Akhir 69
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

keberadaan burung karena sebagai tempat tinggal dan bersarang yang dan tempat
mencari makan karena kaya akan larva biota air. Keberadaan jenis-jenis burung
tersebut untuk mencari makan di sepanjang pesisir pantai terutama pada pagi hari
sampai siang hari merupakan atraksi wisata yang menarik.

Potensi biota perairan yang tinggi terutama ikan mendukung keberadaan daya tarik
wisata di Tahura Ngurah Rai ini. Bentuk dan model atraksi wisata yang bisa
mengangkat potensi sumberdaya ikan sebagai daya tarik wisata adalah perpaduan
olah raga memancing dan rekreasi. Distribusi keberadaan sumberdaya hayati
terutama burung dan ikan di Tahura Ngurah Rai tidak merata. Lokasi dimana
sumberdaya tersebut berada merupakan daerah pilihan untuk pengembangan
wisata pengamatan burung (bird watching), memancing, pendidikan lingkungan,
pelatihan dan penyadaran.

Kegiatan pariwisata mangrove di Tahura Ngurah Rai Bali masih belum melampui
daya dukung lingkungannya. Namun apabila hal ini tidak diperhatikan,
dikhawatirkan kondisi lingkungan akan mengalami kerusakan. Langkah-langkah
yang telah ditempuh dalam rangka menjaga daya dukung lingkungan mangrove
antara lain: memperhatikan kualitas daya dukung lingkungan kawasan sehingga
dampak negatif dapat diminimalkan; mengelola jumlah pengunjung, sarana dan
fasilitas; dan menngkatkan kesadaran dan apresiasi para pelaku ekowisata terhada
lingkungan.

4.1.4. Aspek Ekonomi


a. Valuasi Ekonomi
Nilai manfaat bersih mangrove di Kawasan Tahura Ngurah Rai disajikan pada Tabel
4.1.

Tabel 4.1.Nilai manfaat mangrove di Kawasan Tahura Ngurah Rai


No Jenis Manfaat Nilai per ha Nilai (Rp/tahun)
(Rp/ha/tahun)
A.. Manfaat Langsung
1. Standing Stock 210.042,20 288.492.962
2. Kayu Bakar 1.431.666 12.884.994
3. Daun Nipah 1.194.097 10.746.873
4. Ikan 4.680.825 642.911.100
5. Satwa liar 52.084 71.537.374
B. Manfaat tidak Langsung
1. Penahan Abrasi 1.374.552.000
2. Manfat biologis (feeding/, 92.075.862
spawning ground)
C. Nilai Pilihan 1.069.200 1.468.271.500
D. Nilai Keberadaan 2.000.000 2.750.600.000
Total 6.712.072.665
Sumber: LPP Mangrove 2003

Laporan Akhir 70
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai manfaat mangrove di Tahura Ngurah rai
Bali tertinggi adalah manfaat tidak langsung. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi dan
manfaat ekologi dan jasa-jasa lingkungan di kawasan ini lebih menonjol.

a). Kayu bakar


Pengambilan kayu bakar dilakukan 1 -2 kali per minggu dengan hasil rata-rata 0,68
m3/trip. Kayu bakar tersebut dijual harganya berkisar antara Rp. 10.000,- s/d Rp
30.000,-/m3 atau setara dengan 12,5 s/d 13 liter minyak tanah pada harga minyak
tanah Rp 800,- s/d Rp 1.000,-. Jumlah masyarakat desa Tuban yang mengambil
ranting kayu bakar pada hutan mangrove hasil yang bernilai Rp. 1.590.833,-
/ha/tahun. Rata-rata pengambilan kayu bakar per hektar/tahun adalah 103 m3
dengan nilai dan biaya variabel sebesar Rp 159.166,-/ha/tahun. Nilai manfaat bersih
per hektar adalah sebesar Rp 1.431.666,-/ha/tahun.

b). Daun Nipah

Di lokasi kajian banyak terdapat atap rumah/pondok untuk rumah makan yang
beratapkan daun nipah. Berdasarkan hasil wawancara daun nipah diambil hanya
dengan peralatan sederhana seperti: sabit, kapak, pisau, tali, gergaji, dll. Daun
nipah yang diambil rata-rata 250 trip/orang dengan hasil 9.725 ikat/tahun dengan
nilai Rp 8.691.840 setiap tripnya. Pengambilan daun nipah dilakukan pada pukul
07.00 dan kembali pada pukul 13.00 dengan memperoleh 35 – 42 ikat daun nipah
dengan harga sekitar Rp. 900/ikat. Di samping itu dapat diketahui juga bahwa
dengan luas 9 ha hutan mangrove (1,5 ha) dapat memberikan kontribusi 51.867
ikat/tahun dengan nilai daun nipah senilai Rp 46.356.480,-, biaya tenaga kerja Rp.
15.462.400,- dan biaya variabel sebesar Rp 20.147.200/tahun serta investasi awal
Rp 18.048.000. Nilai manfaat bersih per hektar dihitung sebesar Rp 1.194.097,-
/ha/tahun.

c). Pemanfaatan Satwa

Meskipun hasil perburuan satwa sudah tidak diijinkan oleh pemerintah, namun
masyarakat masih ada yang melakukannya, meskipun hal tersebut relatif kecil /
sedikit. Jenis satwa yang biasanya ditangkap berupa burung. Penangkapan burung
biasanya dilakukan pada musim-musim tertentu dengan biaya tenaga kerja Rp
166.667/tahun dan biaya variabel sebesar Rp 233.333/tahun serta biaya investasi
awal sebesar Rp 150.000. Kegiatan ini dilakukan pada pagi hari atau menjelang
petang pada saat burung tersebut akan pulang dengan memasang perangkap
berupa jaring di daerah dimana burung tersebut sering bertempat tinggal. Operasi
pengkapannya memerlukan waktu 2 hari/trip dengan hasil 306 ekor burung dengan
berbagai jenis senilai Rp 4.590.000/tahun. Harga burung rata-rata Rp. 15.000,-
/ekor. Dari analisa penangkapan burung sebagaimana tersaji pada Lampiran 9,
dapat diketahui besarnya manfaat langsung hutan mangrove dari burung sebesar

Laporan Akhir 71
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

170 ekor/ha/tahun senilai Rp 2.550.000,/tahun dengan biaya tenaga kerja sebesar


Rp 166.667 dan biaya variabel sebesar Rp. 233.333/tahun serta biaya investasi
awal sebesar Rp 150.000,- tersebut terutama untuk pengadaan sangkar / jaring
perangkap dan sampan. Nilai manfaat bersih sebesar Rp 2.166.667,-/tahun.

d). Pemanfaatan tidak langsung Penahan Abrasi/Gelombang


Untuk menilai penahan abrasi / gelombang, maka sebagai asumsi yang digunakan
sesuai hasil perhitungan Dahuri, 1995, pada biaya standar pembangunan beton
pemecah gelombang berukuran 1 m x 5 m x 6 m (panjang x lebar x tinggi) dengan
daya tahan 10 tahun adalah Rp 3.000.000 (nilai tahun 1994).

Rencana untuk penahan gelombang tersebut yang akan dipasang 1.200 meter,
sesuai dengan rencana penambahan landasan bandara Ngurah Rai di areal
mangrove. Nilai penahan abrasi/gelombang dapat diketahui dengan cara
membandingkan indeks nilai kurs tahun 1994 dengan kurs saat ini dikalikan dengan
nilai standar beton tahun 1994 (Rp 3.000.000,-) dan dikalikan panjang / lebar garis
pantai dan diperoleh nilai sebesar Rp 13.745.520.000,-/10 tahun atau Rp
1.374.552.000,-/tahun.

e). Pemanfaatan tidak langsung penyangga siklus makanan

Manfaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove diantaranya adalah sebagai


tempat penyedia pakan (feeding ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan
tempat pemijahan (spawning ground) ikan.Penaksiran nilai manfaat tidak langsung
sebagai penyangga kestabilan siklus makanan di ekosistem hutan mangrove
didekati dengan nilai unsur hara dari serasah hutan mangrove hasil penelitian
Sukardjo (1995) di hutan mangrove Muara Angke-Kapuk, Jakarta. Setiap hektar
hutan mangrove menghasilkan guguran serasah sebanyak 13,08 ton/ha/tahun atau
sekitar 4,85 ton berat kering. Hasil analisis menunjukkan bahwa serasah tersebut
mengandung unsur hara Nitrogen (N) 10,5 kg/ha (± 23,33 kg pupuk urea) dan
Pospor (P) 4,72 kg/ha (± 13,11 kg pupuk SP-36).

Jika harga pupuk urea di daerah Kuta-Bali sebesar Rp 1.750/kg dan SP-36 Rp
2.000/kg, maka manfaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove sebagai
penyedia unsur hara atau pakan adalah sebesar Rp 67.013/ha/tahun. Nilai manfaat
mangrove sebagai penyedia unsur hara dengan luasan total mangrove sebesar
1.374 ha adalah sebesar Rp 92.075.862,-/tahun.

f). Manfaat Pilihan

Manfaat pilihan dapat diketahui dengan menggunakan Metode Contingent


Valuation. Nilai pilihan hasil penelitian Ruitenberk 1991 mengemukakan bahwa nilai
biodiversity hutan magrove di Indonesia sebesar US$ 1.500/km2 atau US$
15/ha/tahun. Nilai hasil penelitian Ruitenberk ini dapat dijadikan sebagai acuan
dengan asumsi bahwa hutan mangrove tersebut berfungsi penting secara ekologis

Laporan Akhir 72
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

dan tetap terpelihara dalam kondisi yang alami. Oleh karena itu manfaat pilihan
ekosistem mangrove Tahura Ngurah Rai dapat didekati dengan menggunakan nilai
manfaat biodiversity. uang

Nilai manfaat pilihan dihitung berdasarkan perubahan nilai tukar mata uang asing
(US$) dengan rupiah pada saat penelitian Ruitenberk dan saat sekarang. Nilai tukar
rata-rata pada saat penelitian Ruitenberk 1 US $ = Rp2.020,- sedangkan sekarang
1 US $ = Rp 12.000,- maka nilai manfaat pilihan ekosistem hutan mangrove saat ini
menjadi US $ 89,1 /ha/tahun atau Rp 1.069.200,-/ha/tahun.

g). Manfaat Eksistensi / Keberadaan

Untuk menilai manfaat eksistensi ini dapat diketahui dengan pendekatan Contingent
Valuation. Nilai rupiah (rata-rata/m2/tahun) yang diperoleh dari sejumlah responden
merupakan nilai eksistensi hutan mangrove tersebut. Nilai manfaat eksistensi
ekosistem hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai diperoleh dengan menanyakan
langsung kepada responden yang dipilih secara purposive. Nilai keberadaan
mangrove Tahura Ngurah Rai hasil perhitungan berkisar antara Rp.750.000 s/d Rp
3.500.000 (rata-rata Rp.2.000.000,-/ha).

b. Analisis Pemanfaatan Wisata


1). Potensi Wisata

Lingkungan alam kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki potensi keindahan alam dan
keanekaragaman hayati yang tinggi yang meliputi keanekaragaman vegetasi
mangrove, fauna darat, (burung, amphibi, reptil) dan fauna perairan (ikan, moluska,
krustasea) sehingga kawasan ini sangat penting untuk dipertahankan secara
ekologi. Selain itu juga dengan potensi keanekaragaman hayati tersebut, kawasan
ini dapat dimanfaatkan sebagai wisata alam rekreasi, wisata pendidikan lingkungan,
dan penelitian.

Kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki posisi yang sangat strategis yaitu mudah
diakses dan berada pada tiga pusat pariwisata Provinsi Bali yaitu Sanur, Kuta dan
Nusa Dua, oleh karena itu kawasan ini memiliki masa depan yang baik untuk
dikembangkan sebagai objek wisata alam yang tetap mempertimbangkan kaidah
konservasi. Beberapa potensi wisata alam yang dapat dimanfaatkan adalah (1)
rekreasi dan olah raga (bird watching, camping, hiking, fishing), (2) wisata
pendidikan dan penelitian, (3) wisata kesehatan (rehabilitasi, terapi, meditasi), (4)
pengembangan diri (out bound, peningkatan kemampuan profesi).

Laporan Akhir 73
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

a). Investasi dan Biaya

Biaya investasi terdiri dari biaya perencanaan, penataan areal dan tata batas
kawasan, pengadaan kendaraan dan perlatan, biaya pembangunan pondok wisata,
kios seni, serta biaya – biaya pembangunan sarana dan prasarana pendukung
kegiatan pariwisata.

Kegiatan perencanaan terdiri dari: Rencana Site Plan, penyusunan Recana Karya
Pengusahaan Pariwisata Alam, penyusunan studi lingkungan dan biaya
penyusunan Rencana Karya Lima Tahun. Pengadaan kendaraan dan peralatan
dimulai 1 tahun sebelum pengelolaan (pra-operasi). Biaya pengadaan peralatan
sesuai harga alat tersebut, sementara reinvestasi dilakukan sesuai umur pakai
masing-masing alat, rata-rata 10 tahun. Pengadaan kendaraan dan peralatan
adalah untuk membantu kelancaran operasional perusahaan, seperti alat
transportasi, alat komunikasi, alat penerangan, audiovisual serta peralatan wisata.

Biaya operasional terdiri dari biaya produksi dan biaya tetap. Biaya tetap terdiri dari:
biaya gaji pegawai, biaya pemasaran, biaya umum, biaya administasi, dan biaya
asuransi.

b). Pendapatan

Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan pariwisata alam mangrove


Tahura Ngurah Rai bersumber dari hasil penjualan kios pedagang, pendapatan dari
jumlah tamu yang menginap di Pondok Wisata dan hasil penjualan makanan dan
minuman. Harga kios pedagang serta tarif pondok wisata per malam, yang
digunakan dalam perhitungan disesuaikan dengan harga yang berlaku saat ini di
daerah wisata Bali serta didasarkan pada asumsi kenaikan harga jual sekitar 5%
pertahun.

Harga tiket masuk lokasi ekowisata Tahura Ngurah Rai sebesar Rp. 5.000,-/orang
untuk wisatawan domestik dan Rp. 50.000,- orang untuk wisatwan asing. Jumlah
pengunjung lokasi ekowisata Tahura Ngurah Rai minimal sama dengan jumlah
pengunjung Pusat Informasi Mangrove, karena pengunjung Pusat Informasi
Mangrove dipastikan juga melakukan kunjungan ke dalam lokasi wisata Tahura.
Namun demikian sebagian pengunjung lokasi wisata, sebelumnya tidak melakukan
kunjungan ke dalam Pusat Informasi Mangrove, sehingga diasumsikan jumlah
pengunjung lokasi wisata Tahura sama dengan jumlah pengunjung Pusat Informasi
Mangrove ditambah 20%.

4.1.5. Aspek Kelembagaan (Sosisl Budaya)

Peran serta berbagai pihak dalam bentuk kerjasama kelembagaan sangat


diperlukan guna menentukan arah dan kebijakan pengelolaan wisata mangrove
Tahura Ngurah Rai Bali. Pihak-pihak tersebut antara lain: Departemen Kehutanan

Laporan Akhir 74
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

dalam hal ini Balai Pengelola Hutan Mangrove (BPHM) Regional I, JICA, Dinas
Kehutanan Provinsi Bali, Dinas Kehutanan Kabupaten Badung, Dinas Kehutanan
Kota Denpasar, Dinas Pariwisata, Departemen Perhubungan RI dan lain-lain.

Kegiatan wisata mangrove Tahura Ngurah Rai diharapkan mampu memberikan


manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat baik secara materiil, spirituil, kultural,
maupun intelektual yaitu: membuka kesempatan kepada masyarakat lokal untuk
menjadi pelaku-pelaku utama (main stakeholders) dalam kegiatan ekowisata
mangrove serta memberikan pendampingan kepada masyarakat setempat dalam
upaya peningkatan kapasitasnya dalam mengembangkan wisata di tahura.

4.2. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Bahan Baku Arang

4.2.1. Aspek Kebijakan

Usaha pemanfatan sumberdaya hutan mangrove khususnya untuk bahan baku


arang mengacu pada peraturan perundangan pemerintah di bawa ini:
• Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
• Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 dan PP No. 3 Tahun 2008 tentang
perubahan atas PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
• Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
• Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 tentang
Sistem Silvikultur dan daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi
• Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat
Seluas ± 9.178.760 Ha.
• Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 Tahun
1978 tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau
• Peraturan Daerah No. 5 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi Kalimantan Barat.

Pada SK Ditjen Kehutanan No. 60/1978 tentang Sistem Silvikultur (seed trees
method), harus meninggalkan 25 pohon/ha sbg pohon induk, penebangan > 10
cm, jalur hijau sungai 50 m, 100 m pantai, ada penanaman, penataan areal kerja
(blok, petak), ada jatah tebangan tahunan, dan ada RKT/RKL/RKPH.

4.2.2. Aspek Teknis

Dalam hal usaha dapur arang perlu dilakukan pengaturan perijinan usaha dapur
arang yang telah ada. Evaluasi ijin dapur arang dilakukan termasuk pada jumlah
dapur arang, kondisi dapur, kondisi hutan dan kinerja masing-masing pemilik dapur
arang. Pengurusan ijin juga perlu diatur agar diberikan kepada koperasi yang

Laporan Akhir 75
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

dibentuk masyarakat. Hal ini untuk menjamin kapasitas bahan baku yang dihasilkan,
dan keberlanjutan manfaat dan fungsi hutan mangrove.

4.2.3. Aspek Ekologi

Hutan mangrove Batu Ampar tumbuh subur pada substrat dasar lumpur (glei
humus) dengan kedalam ± 1m. Ketebalan hutan mangrove pada lokasi ini ± 750 m
dan berbatasan langsung dengan tipe hutan rawa. Kerapatan pohon cukup sebesar
107-520 batang/ha dengan potensi kayu mangrove sebesar 178 m3/ha. Pada jenis
mangrove khususnya jenis-jenis yang banyak digunakan sebagai bahan baku arang
yaitu jenis bakau memiliki distribusi ukuran diameter yang relatif menyebar,mulai
ukuran 10 cm sampai 30 cm.

Jumlah dapur arang di Batu Ampar sekitar 253 buah, yang dikelola masyarakat
yang tergabung dalam wadah Koperasi Panter. Luas hutan yang dialokasikan untuk
mendukung kebutuhan bahan baku Koperasi Panther sekitar 6,000 ha yang terletak
pada hutan mangrove dengan status APL dan Hutan Produksi.

Kapasitas terpasang usaha dapur arang di Batu Ampar masih di bawah batas
persediaan bahan baku mangrove. Meski demikian apabila tidak ada pengawasan
dan pengendalian akan terjadi over eksploitasi sehingga terjadi degradasi hutan
mangrove.

Produksi arang seluruh dapur arang milik masyarakat (253 buah) sekitar 2.031
ton/tahun, dengan jumlah produksi 4 – 6 kali bakar/tahun. Apabila rendemen arang
20 %, maka kebutuhan bahan baku 10.155 ton/tahun atau sekitar 10.155 m3 kayu
mangrove/tahun. Diperkirakan diperlukan luas hutan mangrove 60 ha/tahun
3
(potensi kayu 180 m /ha) untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri
arang masyarakat.

Apabila luas hutan mangrove yang dicadangkan pemerintah untuk Koperasi Panter
seluas 6,000 ha, maka ketersediaan bahan baku untuk mendukung industri arang
bakau cukup tersedia. Bahkan masih mampu mendukung kebutuhan bahan baku
arang lebih dari 150 buah dapur arang.

4.2.4. Aspek Ekonomi

Nilai ekonomi total dikelompokkan kedalam empat kategori, yaitu nilai manfaat
langsung (direct use value), nilai manfaat tidak langsung (indirect use value), nilai
manfaat pilihan (option value) dan nilai manfaat keberadaan (existence value) dari
ekosistem mangrove. Penaksiran nilai dari setiap manfaat ekonomi sumberdaya
hutan mangrove berpedoman pada kondisi di lapangan dan didukung dengan data
sekunder yang tersedia.

Laporan Akhir 76
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

a. Valuasi Ekonomi

¾ Nilai Manfaat Kayu Mangrove Komersial

Nilai manfaat kayu mangrove komersial dapat dihitung yaitu sebesar Rp537,
013 milyar (Rp 26,85 milyar/tahun) atau sekitar Rp 8,22 juta/ha (Rp 410.928,-
/ha/tahun) pada daur ekonomis sebesar 20 tahun.
¾ Nilai Manfaat Arang Bakau

Nilai manfaat ekonomi arang sebesar Rp 1,829 milyar per tahun. Arang tersebut
dijual ke Pontianak, Singkawang dan sekitar Batu Ampar dengan harga sekitar
Rp. 300,- sampai Rp. 1500,- /kg.
¾ Nilai Manfaat Kayu Bakar

Nilai penerimaan total dari pemungutan kayu bakar di seluruh kawasan


mangrove Batu Ampar adalah Rp 2.98 milyar/tahun, sedangkan besarnya total
biaya pemungutan kayu bakar adalah sebesar 700,25 juta/tahun. Nilai ekonomi
kayu bakar yang dikonsumsi oleh penduduk di desa sekitar hutan mangrove
Batu Ampar adalah sebesar Rp 2,29 milyar/tahun.

¾ Nilai Manfaat Nipah

Nilai penerimaan total dari pemungutan daun nipah mencapai Rp 477,44


juta/tahun, sedangkan total biayanya mencapai Rp 103,98 juta/tahun. Nilai
manfaat ekonomi pemungutan daun nipah sebesar Rp 357,87 juta/tahun.

¾ Nilai Manfaat Tiang Pancang

Nilai penerimaan total tiang pancang adalah sebesar Rp 1,04 milyar/tahun,


sedangkan total biayanya sebesar Rp 318,29 juta/tahun. Nilai manfaat ekonomi
yang diperoleh sebesar Rp 673,73 juta/tahun.

¾ Nilai Manfaat Tambak

Nilai penerimaan total budidaya tambak adalah sebesar Rp 16,8 milyar/tahun


atau setiap hektar tambak sebesar Rp 60 juta/ha/tahun. Biaya total yang
diperlukan sebesar Rp 7,29 milyar/tahun (Rp 26,06 juta/ha/tahun). Nilai manfaat
ekonomi yang diperoleh dari pengelolaan tambak mencapai Rp 8,41
milyar/tahun.

¾ Nilai Manfaat buah Mangrove

Nilai penerimaan total bibit mangrove adalah Rp 27.770.137.500,-/tahun. Biaya


total pengambilan buah dari hutan mangrove sebesar Rp 13.885.068.750,-
/tahun. Nilai manfaat ekonomi buah mangrove Rp 11.802.308.437,-/tahun.

¾ Nilai Manfaat Satwa (Burung, Mamalia dan Reptil)

Laporan Akhir 77
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Nilai manfaat langsung kotor ekosistem hutan mangrove di Batu Ampar pada
saat ini (seluas 65.341,5 ha) adalah sebesar 168.087.371.964,-/tahun dengan nilai
manfaat langsung bersih sebesar Rp. 55.181.732.932,-.

2). Manfaat Tidak Langsung


¾ Nilai Manfaat Penahan Abrasi

Manfaat tidak langsung mangrove sebagai penahan abrasi diestimasi melalui


replacement cost dengan pembangunan pemecah gelombang (break water).
Biaya pembangunan fasilitas pemecah gelombang (break water) untuk ukuran
panjang 1 km adalah Rp 3 milyar (Kanwil PU Subdin Pengairan Kalbar, 2000).
Berdasarkan panjang pantai ekosistem hutan mangrove di kawasan Batu Ampar
sekitar 127.600 m (127,6 km), maka biaya pembuatan pemecah gelombang
seluruhnya Rp. 382.800.000.000,-. Nilai manfaat per tahun ekonomi dengan
umur ekonomis sebesar 30 tahun adalah Rp 10,85 milyar,-/tahun.

¾ Nilai Manfaat Pencegah Intrusi Air Laut

Nilai manfaat tidak langsung dari fungsi pencegahan intrusi air laut sebesar Rp.
4.533.276.000,-/tahun.

¾ Manfaat Tidak Langsung Penyerap Karbon

Nilai penerimaan kotor dari manfaat penyerap karbon adalah Rp 20.935.416.600,-


/tahun. Dengan menggunakan asumsi bahwa biaya pengelolaan hutan mangrove
sebesar 60% dari nilai penerimaan kotor, maka nilai manfaat bersih penyerap
karbon sebesar 6.489.979.146,-/tahun.

¾ Manfaat Tidak Langsung Jasa Biologis

Nilai bersih manfaat tidak langsung dari tangkapan ikan rata-rata pertahun
sebesar Rp. 8.267.276.792,- Nilai bersih manfaat dari tangkapan udang sebesar
Rp 8.604.252.389,-/ha/tahun, sedangkan nilai bersih manfaat dari tangkapan
kepiting sebanyak Rp 667.965.947,-/tahun.

3). Manfaat Pilihan

Nilai pilihan merupakan manfaat nilai langsung atau tidak langsung di masa akan
datang yang diperoleh dari keberadaan sumberdaya mangrove. Manfaat pilihan
ekosistem hutan mangrove di kawasan Batu Ampar diperoleh dengan
menggunakan teknik CVM (Contingen Valuation Methode) melalui wawancara
masyarakat. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja (purposive). Nilai
pilihan dari ekosistem mangrove Batu Ampar adalah sebesar Rp 690.793.547,-
/tahun.

Laporan Akhir 78
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

4). Manfaat Keberadaan

Nilai keberadaan ekosistem hutan mangrove di kawasan Batu Ampar dihitung


dengan menggunakan metode kontingensi (Contingen Valuation Method). nilai
keberadaan ekosistem hutan mangrove yang diberikan oleh masyarakat sebesar
Rp. 12.193.070.178,-/tahun.

Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove Batu Ampar sebesar


Rp 107.474.346.929,-/tahun yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Nilai Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Batu Ampar.


Jenis Manfaat Nilai Manfaat
No
(Rp/thn)
1 Nilai Manfaat Langsung 55.181.732.932
2 Nilai Manfaat Tidak Langsung 39.408.750.273
3 Nilai Pilihan 690.793.547
4 Nilai Keberadaan 12.193.070.178
Total 107.474.346.929
Sumber: LPP mangrove, 2007

Berdasarkan hasil penilaian ekonomi tersebut di atas, menunjukkan bahwa


ekosistem hutan mangrove di Batu Ampar memiliki peranan cukup besar yang
dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat, terutama
sebagai sumber penghasilan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Di amping
itu juga sebagai pengendali kualitas lingkungan terutama penahan abrasi, penahan
intrusi, maupun penjaga kestabilan siklus makanan bagi biota perairan.

b. Analisis Finansial Arang Bakau

Usaha arang bakau membutuhkan investasi awal untuk membangun dapur arang
sebesar Rp 10.000.000,00 untuk dapur berkapasitas 5 ton atau sebesar Rp
2.000.000,00/ton. Total biaya produksi sebesar Rp 2.624.000,00/ton/tahun dan
penerimaan kotor yang diperoleh sebesar Rp 4.988.000,00/ton/tahun. Komponen biaya
pembuatan arang bakau disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. komponen biaya pembuatan arang bakau


Komponen Biaya
1. Investasi (Dapur dan Bangunan) 2. Biaya Variabel (Variable Cost), meliputi:
3. Biaya Tetap (fixed Cost), meliputi: a. Biaya bahan baku
a. Biaya bahan bakar minyak b. Biaya untuk kayu bakar
b. Upah pekerja bulanan / penjaga dapur c. Upah memasukkan kayu
c. Biaya pemeliharaan atap/ bangunan d. Biaya pengeluaran arang
d. Biaya listrik e. Biaya pengepakan (packaging cost)
f. Biaya pengangkutan
g. Biaya pemasaran
Sumber; Pengamatan di Lapangan, 2008

Laporan Akhir 79
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Berdasarkan pada perhitungan kelayakan finansial dengan menggunakan tingkat


suku bunga 15 % dan percobaan untuk tingkat suku bunga 20% didapatkan nilai
NPV sebesar Rp. 9.870.117,-. Nilai NPV positif menunjukkan usaha yang dijalankan
menguntungkan dengan tingkat keuntungan selama usaha 10 tahun sebesar Rp
9.870.117,-. Selain itu juga nilai B/C ratio lebih dari satu, dimana apabila B/C lebih
dari satu yaitu 1,66 berarti usaha yang dijalankan menguntungkan, selain itu pula
didapatkan nilai IRR sebesar 39,45% yang menunjukkan bahwa nilai IRR yang
didapat lebih dari tingkat suku bunga yang berlaku sehingga dapat dikatakan bahwa
usaha yang dijalankan layak. Secara sistematis analisis finansial arang bakau
disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel.4.4 Analisis Finansial usaha Arang Bakau di Batu Ampar.


No Parameter Nilai atau Jumlah
1. Jumlah dapur 1 buah
2. Investasi Rp 10.000.000,-
3. Kapasitas dapur 5 ton/sekali bakar
4. Biaya Produksi Rp 2.624.000,-/ton/tahun
5. Penerimaan kotor Rp 4.988.000,-/ton/tahun
6. Suku bunga 15%
7. NPV Rp 9.870.117,-
8. BC Ratio 1,66
9. IRR 39,45%
Sumber; LPP mangrove (2007)

4.2.5. Aspek Kelembagaan

Kelembagaan pengelolaan hutan mangrove khususnya pemanfaatan sumberdaya


hutan mangrove di Batu Ampar telah ada. Instansi-instansi yang berperan dalam
pengelolaan mangrove tersebut adalah: Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan
Perikanan, Bapedalda, Deperindag, dan Masyarakat. Dinas Kehutanan berperan
dalam hal pembinaan, pengawasan, perlindungan hutan mangrove, dan pemberian
ijin (IHHL). Dinas Perikanan dan Kelautan berperan dalam perijinan, pembinaan,
pengawasan kegiatan budidaya perikanan dan usaha pelestarian ekosistem
mangrove. Sedangkan Bapedalda melakukan pengawasan kegiatan pemanfaatan,
melakukan koordinasi kegiatan yang berpeluang dan menimbulkan dampak
terhadap hutan mangrove. Diperindag berperan dalam hal perijinan, dan Pembinaan
dan Pengawasan Industri Arang. Sedangkan masyarakat sendiri terdiri atas
masyarakat mengrajin arang, LSM dan Pakar (Perguruan tingi).

Pengambilan kayu untuk bahan baku arang yang diuahakan masyarakat Batu
Ampar secara tradisional saat ini masih pada kawasan lindung, dan dapur arang
yang ada belum memiliki perijinan. Saat ini sedang didalam proses legalisasi di
departemen terkait untuk ijin pemanfatan hasil hutan mangrove untuk bahan baku
arang di bawah Koperasi Panter dengan areal hutan mangrove yang berstatus APL

Laporan Akhir 80
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

dan hutan produksi. Sedangkan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu mangrove
untuk arang dan chips lainnya telah dilakukan secara legal oleh PT. Bios (luas
10.000 ha) dan PT. Kandelia (luas 12.000 ha).

4.3. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove untuk Sylvofishery di


Kabupaten Subang

4.3.1. Aspek Kebijakan


Kebijakan nasional yang mengatur tantang pengelolaan ekosistem mangrove di
Indonesia terutama di Kabupaten Subang diantaranya sebagai berikut :
a. Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
b. Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung.
c. SK Menteri Kehutanan No.195/Kpts-II/2003 tanggal 4 juli 2003 tentang
penunjukkan kawasan hutan di wilayah Provinsi Jawa Barat
d. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.2 tahun 1996 tantang pengelolaan
kawasan lindung di Propinsi Jawa Barat.

Dengan adanya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,


maka pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Subang berada di bawah
pemerintah daerah. Kebijakan ini diharapkan akan menjadi arahan dalam
penyusunan program pembangunan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah,
swasta maupun oleh masyarakat. Akan tetapi daerah Kabupaten Subang belum
mempunyai payung hukum yang jelas tentang pengelolaan mangrove, sehingga
diperlukan suatu Perda khusus tentang Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Pengelolaan mangrove di Kabupaten Subang tidak optimal akibat selama ini


kurangnya kontrol yang dilakukan instansi yang berwenang, kurangnya koordinasi
antar instansi terkait serta kurangnya pemahaman tentang ekosistem mangrove
mengakibatkan. Untuk itu diperlukan juga kerjasama antar instansi seperti Dinas
Kehutanan, BAPPEDA, Dinas Perikanan dan Kelautan dan PT. Perhutani.

PT. Perhutani di Kecamatan Blanakan memiliki lembaga seperti Lembaga


Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Kelompok Tani Hutan (KTH), namun belum
sepenuhnya memahami fungsi dan manfaat hutan mangrove sehingga peran yang
dirasakan tidak begitu besar dalam usaha pemanfaatan hutan mangrove secara
optimal. Selain itu terdapat kesenjangan antara pihak PT. Perhutani sebagai pihak
pemilik lahan dengan masyarakat penggarap, dimana masyarakat menginginkan
kejelasan peraturan pemanfaatan hutan mangrove. Peraturan daerah ini
dipersiapkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan hutan mangrove diantaranya
yaitu :

Laporan Akhir 81
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

- Sistem tambak silvofishery;


- Aspek perijinan terkoordinasi;
- Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam pemanfaatan sumberdaya
hutan mangrove;
- Kegiatan-kegiatan pemanfaatan yang diperbolehkan dilakukan di hutan
mangrove.

4.3.2. Aspek Teknis Budidaya

Pada dasarnya prinsip tambak tumpangsari adalah perlindungan tanaman hutan


mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Hal ini dapat di
mengerti karena sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove
bermata pencaharian sebagai nelayan pencari ikan.
Pola silvofishery tradisional yang umum dilakukan masyarakat penggarap adalah
empang parit. Pola silvofishery yang lain yaitupola komplangan. Perbandingan
luasan lahan untuk tanaman mangrove dan untuk budidaya perikanan tambak pada
umumnya 80:20, artinya 80% untuk tanaman mangrove dan 20% untuk budidaya
tambak. Perbandingan yang lain yang ada di Kabupaten subang adalah 60:40 (60%
mangrove dan 40% tambak), dan 50:50 (50% mangrove dan 50% tambak).

Manfaat sistem sylvofishery disamping memberikan ketenangan terhadap para


anggota Kelompok Tani Hutan serta manfaat langsung menciptakan lapangan
kerja, termasuk lapangan pekerjan yang ada kaitanya dengan pekerjaan
kehutanan dan budidaya ikan secara otomatis memberikan dampak positif
peningkatan tarap kehidupan masyarakat karena produksi ikan dari silvofishery,
menjadi hak penggarap anggota KTH sepenuhnya.

Manfaat lain dari pengelolaan system sylvofishery adalah makin meningkatnya


kesadaran masyarakat akan adanya hutan mangrove sebagi tempat keidupan biota
laut, hal ini di buktikn dengan makin meningkatnya keberhasilan tanaman serta
pengamanannya.

Kegiatan pengelolaan tambak yang dilakukan penggarap diawali dengan persiapan


lahan diantaranya pengurasan, perbaikan saluran, dan pintu-pintu air sampai
tambak layak untuk disebarkan benih ikan. Kegiatan pemeliharaan tambak yang
dilakukan berupa perbaikan tanggul, pematang, laha, dan bubu. Setelah benih
disebar tidak dilakukan pemberian pakan tambahan, tetapi hanya mengandalkan
pakan alami sebagai makanan ikan. Pemberian pupuk berupa Urea dan TSP dan
obat-obatan berupa Ursal, dan Thiodan dilakukan sekali dalam satu musim panen.

Laporan Akhir 82
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

4.3.3. Aspek Ekologi

Ekosistem mangrove Kecamatan Blanakan khususnya Desa Blanakan dan Desa


Langensari mempunyai fungsi dan manfaat yaitu sebagai penahan abrasi,
pengendali intrusi air laut, habitat dari berbagai jenis fauna, sebagai tempat
mencari, memijah, dan berkembangbiak udang dan ikan.

Keberadaan mangrove untuk mendukung budidaya tambak tumpagsari ini sangat


berpengaruh terhadap kualitas produksinya. Mangrove mampu menyediakan pakan
alami yg dibutuhkan oleh ikan atau udang. Mangrove memiliki nilai produksi primer
bersih yang cukup tinggi, yaitu biomassa 62,9 -398,8 ton/ha, dan guguran serasah
5,8-25,8 ton/ha/tahun. Besarnya nilai pruduksi primer ini cukup berarti bagi
penggerak rantai makanan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir
dan kehidupan masyarakat pesisir.

Ekosistem mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah yang tinggi yang
memungkinkan terjaganya pertukaran energi serta interaksi antar organisme yang
saling sinergis. Hal ini berakibat pada lebih tercukupinya kebutuhan hidup bagi ikan
dan udang di dalam tambak bermangrove dibandingkan dengan kecukupan
kebutuhan ikan dan udang di tambak tanpa mangrove.

Selain hal-hal tersebut di atas, mangrove juga mampu menjaga kestabilan salinitas
air dimana berkaitan dengan tingkat salinitas yang cocok untuk budidaya tambak
tumpangsari yaitu antara 15-20 %o.

4.3.4. Aspek Ekonomi

1). Valuasi Ekonomi

a. Manfaat Langsung (Direct Use Value)

Manfaat langsung pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Kabupaten Subang


yaitu berupa manfaat untuk tambak tumpangsari (sylvofishery). Komoditi utama
tambak silvofishery berupa udang bogo (udang windu) dan ikan bandeng. Pola
pengusahaan tambak silvofishery yang diusahakan di areal hutan mangrove
mengikuti aturan PT. Perhutani yaitu 80:20 yang artinya 80 % merupakan areal
mangrove dan 20% areal parit untuk budidaya udang atau ikan. Rata-rata produksi
tambak tumpang sari untuk produksi udang bogo yaitu 330 Kg/ha/tahun dengan nilai
manfaat sebesar Rp. 16.500.000,-/ha/tahun Sedangkan untuk komoditi ikan
bandeng memiliki nilai manfaat langsung sebesar Rp. 6.444.000,-/ha/tahun.

Manfaat langsung lainnya berdasarkan hasil pengamatan di lapangan yang


dilakukan terhadap para petani tambak diketahui bahwa responden juga
mendapatkan udang peci sebagai hasil tangkapan harian (hasil sampingan) dengan
jumlah tangkapan sebanyak 1 Kg/ha/hari dengan harga jual Rp. 20.000,-/kg

Laporan Akhir 83
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

sehingga diperoleh hasil rata-rata 215,35 Kg/ha per tahun atau sebesar Rp.
4.307.000,-/ha/tahun. Penangkapan udang peci oleh petani menggunakan alat
tangkap bubu yang dipasang di pintu tambak. Selain udang peci diperoleh juga jenis
ikan lainnya yaitu ikan blodok, ikan belanak, dan mujair dengan jumlah tangkapan
sebanyak 821,25 Kg/ha/tahun. Dengan harga jual ikan sebesar Rp. 5.500,-/kg,
maka diperoleh nilai manfaat langsung sebesar Rp.4.516.875,-/ha/tahun.

Usaha budidaya tambak tumpangsari memberikan kontribusi yang sangat besar


terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Subang. Hal ini dapat dilihat dari
laporan produksi hasil lelang pasar grisur hasil tambak tumpangsari di seluruh
Kabupaten Subang, jumlah produksinya pada tahun 2007 mencapai 945.291 kg
dengan nilai mencapai Rp 9.651.957.388,-/tahun.

b. Manfaat Tidak Langsung

Ekosistem mangrove selain memiliki fungsi ekonomi juga memiliki fungsi ekologi
yaitu fungsi fisik dan fungsi biologi. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh
informasi pemanfaatan hutan mangrove yaitu sebagai penahan abrasi air laut
(fungsi fisik) dan penyedia pakan. Pendekatan manfaat penahan abrasi dilakukan
dengan pembangunaan pemecah gelombang (breakwater) apabila ekosistem
mangrove di daerah tersebut tidak ada.

Menurut Aprilwati (2001) dalam Handayani (2006) menyatakan bahwa biaya


pembangunan breakwater ukuran 1 x 11 mx 2,5 m (p x l x t) yang memiliki daya
tahan selama 10 tahun sebesar Rp. 4.163.880/m3. Berdasarkan panjang pantai
4800 meter, maka biaya pembangunan pemecah gelombang seluruhnya yaitu Rp.
1.998.662.400,- per tahunnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekosistem
mangrove memiliki nilai manfaat tidak langsung yang tinggi bila dibandingkan
dengan nilai manfaat langsung ekosistem mangrove sendiri.

Manfaat tidak langsung lainnya yaitu manfaat biologi. Manfaat biologi hutan
mangrove yaitu sebagai penyedia pakan alami baik bagi ikan, udang, maupun untuk
kepiting. Manfaat hutan mangrove sebagai penyedia pakan dilakukan dengan
pendekatan model regresi luasan hutan mangrove yang disadur dari Naamin, 1998
yaitu dengan persamaan:

Y = 16.286 + 0.003536 X

Dimana : Y = Produksi udang (kg)

X = Luas Hutan Mangrove (Ha)

Luas hutan mangrove Desa Blanakan dan Desa Langensari adalah 400 ha.
Berdasarkan data sekunder yang ddapatkan dari PT. Perhutani didapatkan harga
pakan udang yaitu Rp. 2.000,- per Kg. Berdasarkan data tersebut diperoleh nilai

Laporan Akhir 84
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

manfaat tidak langsung hutan mangrove sebagai penyedia pakan alami sebesar Rp.
65.720,-/ha/tahun. Dari hasil tersebut diperoleh nilai manfaat tidak langsung secara
keseluruhan sebesar Rp. 1,998,728,120,-/tahun..

c. Manfaat Pilihan

Manfaat pilihan pada kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan


biodiversity (keanekaragaman hayati) dari ekosistem hutan mangrove seperti yang
telah dikemukakan Ruitenbeek (1992) bahwa nilai biodiversity ekosistem hutan
mangrove US$ 1.500/Km2 atau sekitar US$ 15/Ha. Berdasarkan data yang
diperoleh di lapangan didapatkan nilai manfaat pilihan Rp.71.400.000,-/tahun hal
tersebut diasumsikan nilai kurs dolar saat ini Rp.11.900,-.

d. Manfaat Keberadaan

Nilai manfaat keberadaan hutan mangrove di Desa Blanakan dan Desa Langensari
dihitung dengan menggunakan Continget Value Method (CVM). Responden dipilih
berdasarkan pertimbangan tingkat pendidilan, mata pencaharian, dan lokasi tempat
tinggal. Jumlah responden yang diambil yaitu sebanyak 50 orang. Berdasarkan
tingkat pendidikan, responden terbagi ke dalam 3 (tiga) tingkat pendidikan yaitu
rendah (Tidak tamat SD), sedang (Tamat SD), Tinggi ( SLTP, SLTA, dan Perguruan
Tinggi). Berdasarkan mata pencaharian responden cukup bervariasi mulai dari petani
tambak, nelayan, petani, aparat desa, staff kecamatan, dan karyawan PT. Perhutani.
Nilai keberadaan rata-rata dihitung sebear Rp 744.575,-/ha/tahun (Tabel 4.5).

Tabel 4.5. Nlai Keberadaan Hutan Mangrove di Kecamatan Blanakan, Subang


Menurut Tingkat Pendidikan
Nilai Keberadaan
Tingkat Jumlah
Lokasi Rata-rata Mata Pencaharian
Pendidikan Responden
(Rp//ha/tahun)
Desa Petani, pedagang,
Rendah 12 965.455
Langensari petambak,peternak
Desa
Peternak, petani, petambak
Blanakan 4 385.000
Jumlah 16 1.350.455
Desa
7 520.000 Petambak, nelayan, petani
Sedang Langensari
Desa
9 825.000 Petambak, nelayan, petani
Blanakan
Jumlah 16 1.345.000
Petambak, Petani. Nelayan,
Desa
Tinggi 13 1.165.000 pedagang, staf desa, staf
Langensari
kecamatan, staf perhutani
Petambak, Petani. Nelayan,
Desa
4 610.000 pedagang, staf desa, staf
Blanakan
kecamatan, staf perhutani
Jumlah 17 1.775.000
Sumber: Pengolahan Data Primer, 2008

Laporan Akhir 85
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Nilai manfaat ekonomi total ekosistem mangrove di Kabupaten Subang disajikan


pada Tabel.4.6.

Tabel 4.6 Nilai Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Kabupaten Subang.


Jenis Manfaat Nilai Manfaat
No
(Rp/thn)
1 Nilai Manfaat Langsung 9.651.957.388
2 Nilai Manfaat Tidak Langsung 1.998.728.120
3 Nilai Pilihan 71.400.000
4 Nilai Keberadaan 1.314.176.300
Jumlah 13.036.261.808
Sumber: LPP Mangrove, 2007

2). Analisis Finansial

Biaya terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional tambak (biaya tetap dan
biaya variabel). Biaya investasi berupa biaya untuk membuat/mencetak tambak.
Biaya tetap terdiri atas biaya penyusutan investasi, biaya sewa lahan, pembelian
bubu, upah kerja harian, biaya pemeliharaan pematang tambak. Biaya variabel
terdiri atas bibit (nener, benih), pakan, pupuk, obat-obatan. Pendapatan merupakan
semua hasil petani yang diperoleh pengelola tambak silvofishery baik yang berupa
hasil tangkapan harian (udang pecii/ api-pi)

Berdasarkan perhitungan analisis finansial untuk kelayakan usaha didapatkan nilai


NPV sebesar Rp. 5.692.52.104,- Nilai NPV yang positif ini menunjukkan bahwa
usaha tambak yang djalankan layak untuk diusahakan.

4.3.5. Aspek Kelembagaan

Berdasarkan pengamatan di lapangan, sistem lahan andil masih tetap berjalan,


dimana PT. Perhutani sebagai pihak yang mempunyai lahan, dan petani tambak
sebagai pihak yan menyewa lahan. Aturan awalnya adalah bagi petani penyewa
lahan, tidak diperbolehkan memindahtangakan atau menjual atau menyewakan laha
tersebut ke pihak lain. Namun aturan tersebut sudah tidak berlaku bagi sebagian
petani tambak. Hal ini dibuktikan dengan beberapa petani telah menyewakan,
memindahtangankan dan menjual lahan andil tersebut kepada pihak lain. Dari pihak
PT. Perhutani belum ada tindakan berarti akan hal ini.

4.4. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Silvofishery di Kabupaten Pemalang

4.4.1. Aspek Kebijakan


Peraturan daerah yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di
Kabupaten Pemalang antara lain: Perda No. 13 Tahun 1999 tentang Rencana Tata
Ruang Daerah Pantai Kabupaten Pemalang, dan Perda No. 17 Tahun 2003 tentang
RTRW Kabupaten Pemalang. Adapun kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah

Laporan Akhir 86
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Daerah Pemalang terkait pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove untuk


budidaya tambak silvofishery kepiting yaitu: pelestarian dan pemanfaatan potensi
ekonomi kawasan hutan mangrove melalui budidaya kepiting bakau secara
berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, peningkatan sarana dan prasarana
kelautan dan perikanan, pengembangan usaha dan pengolahan hasil,
pemberdayaan masyarakat pesisir dan pembudiayaan ikan, dan pengembangan
sumberdaya kelautan dan perikanan berwawasan lingkungan.

4.4.2. Aspek Teknis

Persyaratan pengelolaan secara teknis budidaya kepiting bakau dalam tambak


silvofishery antara lain: ketersediaan bibit kepiting, tambak air payau, hutan bakau,
substrat dasar, kualitas air. Sedangkan faktor manajemen meliputi: ketersediaan
modal, teknilogi budidaya, pakan, pasca panen dan pemasaran.

Lokasi yang perlu dipertimbangkan dalam pemeliharaan kepiting bakau antara lain:
air yang digunakan bebas dari pencemaran dan jumlahnya cukup, tersedia pakan
yang cukup dan terjamin kontinyuitasnya, terdapat sarana dan prasarana produksi
dam pemasarannya, serta tersedianya tenaga yang terampil dan menguasai teknis
budidaya kepiting.

Desain dan konstruksi tambak dibuat dengan dengan memasang kere bambu atau
waring pada bagian pematang dengan lebar 2-4 meter dan tinggi 60 cm. Penebaran
benih kepiting pada budidaya sistem polikultur dengan ikan bandeng, ukuran berat
benih kepiting 20-50 gram/ekor dan dapat ditebar dengan kepadatan 100-2000
ekor/ha, sedangkan ikan bandeng gelondongan ukuran 2-5 gram/ekor ditebar
dengan kepadatan 2000-3000 ekor/ha. Pada budidaya sistem monokultur benih
kepiting dengan ukuran sama dengan di atas, ditebar dengan kepadatan 5000-
15000 ekor/ha.

Pakan yang digunakan antara lain: ikan rucah, usus ayam, kulit sapi, kulit kambing,
bekicot, keong sawah, dan lain-lain. Kemauan makan kepiting muda lebih besar,
karena pada fase ini dibutuhkan sejumlah makanan yang cukup banyak untuk
pertumbuhan dan proses ganti kulit.

4.4.3. Aspek Ekologi

Hutan mangrove merupakan salah satu penentu keberhasilan kegiatan budidaya


kepiting bakau. Faktor penentu yang lainnya yaitu: elevasi lahan, kondisi estuaria,
keberadaan terumbu karang serta kuantitas danb kualitas air baik air laut maupun
air tawar. Hutan mangrove di sepanjang pantai Kabupaten Pemalang yaitu 4.437,95
hektar. Hutan mangrove yang masih baik diperkirakan semakin menipis. Jenis-jenis
mangrove di Kabupaten Pemalang didominasi oleh jenis Rhizophora spp dan
Avicenia spp.

Laporan Akhir 87
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Kepiting bakau merupakan salah satu jenis krustasea yang mempunyai ukuran
paling besar dan dapat dimakan. Siklus hidup kepiting bakau dimulai dari fase telur
sampai megalopa berada di p hutaan laut dan setelah masuk stadium kepiting
sampai dewasa berada di daerah pasang surut atau hutan mangrove.

Di daerah pasang surut atau hutan mangrove, kepiting membuat lubang yang
digunakan sebagai tempat persembunyian pada siang hari atau untuk
menghindarkan diri dari gangguan binatang lainnya. Kepiting bakau dalam
menjalani kehidupannya berpindah dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian
induk dan anak-anakanya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai
atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan atau
membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan
memasuki perairan bakau atau tambak Setelah perkawinan berlangsung, secara
perlahan-lahan kepiting betina yang telah melakukan perkawinan ini akan berpindah
dari perairan bakau atau tambak ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk
melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah
dewasa berada di perairan bakau, di tambak, atau di sela-sela bakau, atau paling
jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang
organisme makanannya berlimpah.

4.4.4. Aspek Ekonomi (Valuasi dan Finansial)

Ekosistem hutan mangrove merupakan hutan yang mempunyai bentuk dan sifat
yang khas serta mempunyai fungsi dan manfaat sebagai sumberdaya
pembangunan baik sebagai sumberdaya ekonomi maupun sumberdaya ekologi
yang telah lama dirasakan oleh bangsa Indonesia terutama bagi masyarakat yang
hidup disekitar wilayah tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan,
pemanfaatan langsung sumberdaya hutan mangrove di Kabupaten Pemalang oleh
masyarakat antara lain untuk kayu bakar, tambak silvofishery dengan komoditas
utama kepiting, dan pakan ternak.

Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove baik untuk penangkapan kepiting


maupun budidaya kepiting di Kabupaten Pemalang dibedakan menjadi menjadi 3
(tiga) jenis yaitu: penangkapan kepiting, penggemukan kepiting, dan kepiting soka.
Produksi usaha penangkapan kepiting tahun 2007 mencapai 112.706 kg dengan
nilai pendapatan Rp 1.671.878.000,-, produksi usaha penggemukan kepiting tahun
2007 mencapai 106.497 kg dengan nilai Rp 3.698.750.000,-, sedangkan usaha
kepiting soka tahun 2007 sebesar 19.200 kg dengan nilai Rp 864.000.000,-. Nilai
manfaat total usaha kepiting di Kabupaten Pemalang Tahun 2007 dapat dihitung
sebesar Rp 6.234.628.000,-. Dengan asumsi perhitungan biaya produksi sebesar
40%, maka manfaat bersih yang dihasilkan sebesar Rp 3.740.776.800,-.

Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove untuk pakan ternak dijumpai di desa-


desa yang terdapat budidaya ternak kambing baik yang mayoritas masih tradisional.

Laporan Akhir 88
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

masih sedikit dilakukan oleh masyarakat, sehingga nilai ekonominya kurang


signifikan. Sebagai gambaran umum, potensi produksi pakan ternak per hektar
sebesar 16-20 ikat/ha, 1 hektar setara dengan 6 kambing, harga rata-rata Rp
5.000,- per ikat, biaya produksi sebesar 20% dari harga jualnya. Sehingga diperoleh
manfaat kotor sebesar Rp 87.500,-/ha atau Rp 388.320.625,-. Nilai manfaat bersih
dihitung sebesar Rp 232.992.375,-.

Usaha budidaya kepiting baik penggemukan kepiting, kepiting soka maupun


kepiting tangkap cukup prospektif. Perhitungan finansial usaha kepiting khususnya
usaha kepiting soka, dapat dijelaskan sebagai berikut:
¾ Biaya produksi terdiri dari biaya variabel (bibit, pakan, tenaga kerja dan
biaya pemasaran) dan biaya tetap (sewa tambak, mesin 12 Pk, pompa,
keramba, bambu keramba, jembatan bambu, handuk panen, ember panen,
keranjang panen, tutup saji panen, dan tutup keramba).
¾ Dengan jumlah bibit kepiting 1.000 kg x size 15 ekor (15.000 ekor), Total
biaya variabel dihitung sebesar Rp 36.140.000,-/tahun, biaya tetap Rp
10.437.000,-/tahun, diperoleh hasil penjualan sebesar Rp 66,000,000,-
/tahun. Pendapatan bersih sebesar Rp 11.039.000,-/tahun.
¾ Hasil analisis finansial: Benefit Cost Ratio 1,42, Break Event Point (BEP) Rp
23.193.333,- dan Pay Back Periode (PBP) 11,3 bulan.

4.5. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Jasa Lingkungan di Kabupaten


Cilacap

4.5.1. Aspek Kebijakan


Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya
hutan mangrove di segara Anakan, Cilacap adalah:

a. UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
b. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
c. PP No. 3 Tahun 2008
d. PP No. 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Hutan
dan Taman Wisata Alam
e. PP Nomer 68 Tahun 1999 tentang Kawasan Pelestarian dan Suaka Alam.
f. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Berdasarkan pada beberapa peraturan perundangan tersebut sesuai dengan


karakteristik kawasan dan ekosistem mangrove di Segara Anakan, Cilacap,maka
pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Segara Anakan layak untuk dapat
diarahkan untuk manfaat penyedia jasa lingkungan (manfaat ekologi), penyedia jasa
wisata alam, budidaya perikanan ramah lingkungan, dan perikanan tangkap.

Laporan Akhir 89
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

4.5.2. Aspek Teknis


a. Pemanfatan Perikanan Tangkap
Jenis alat tangkap perlu diperhatikan yaitu jenis alat tangkap yang boleh dioperasikan
dan tidak boleh dioperasikan. Beberapa alat tangkap yang boleh dioperasikan meliputi
jaring insang, pukat tarik, bagan perahu, pancing, bubu, dan alat-alat tangkap yang
sifatnya tidak menangkap secara masal. Jenis alat tangkap yang tidak boleh
dioperasikan meliputi trawl, bom, potosium dan pukat cincin. Disamping itu perlu
diperhatikan ukuran mata jaring yang dipakai untuk penangkapan, yang diperuntukkan
untuk ukuran ikan yang sudah dewasa.

Wilayah penangkapan : menghindari penangkapan pada daerah asuhan (nursery


ground) dan daerah pemijahan (spawning ground). Wilayah penangkapan untuk 4 mil
laut tidak hanya terbatas pada daerah pengelolaan kabupaten yang mengelurkan izin
penangkapan, akat tetapi bisa dilakukan ke kabupaten lainnya. Untuk menjaga
keberlanjutan sumberdaya ikan juga perlu ditetapkan daerah-daerah tertutup untuk
penangkapan (close area). Waktu penangkapan perlu ditentukan kapan tidak boleh
melakukan aktivitas penangkapan (close season).

Ukuran kapal atau perahu yang diperbolehkan untuk kegiatan penangkapan adalah
yang memiliki ukuran panjang 5-6 m dengan kapasitas mesin 5 – 12 PK dan awak
kapal 2 orang.

b. Manfaat sebagai daeah pemijahan, bertelur dan asuhan


Ekosistem hutan mangrove merupakan tempat memijah, tempat bertelur, tempat
asuhan bagi berbagai macam biota perairan seperti ikan, udang, kepiting, kerang,
dan lain sebagainya. Berbagai macam biota perairan ini memiliki nilai ekonomi yang
tinggi bagi masyarakat nelayan. Pemanfatan jasa lingkungan sebagai tempat
memijah, bertelur dan tempat asuhan didekati dengan jumlah hasil tangkapan biota
perikanan yang meliputi: ikan, udang, kepiting, kerang, dan biota perikanan lainnya
yang bersifat komersial.

Jumlah produksi usaha penangkapan ikan di air payau (tambak) tahun 2007 di
lokasi tersebut sebesar 469.375 kg, dengan luas area penangkapan sebesar 14,76
hektar dengan nilai Rp 11.305.651.000,-.Sedangkan rata-rata produksi perikanan
tangkap pertahun sebesar 93,8 ton/tahun ( Masyarakat nelayan menangkap biota
perairan dengan menggunakan peralatan antara lain: jaring kantong, jala, bubu
sidat, wide, waring surungan, jaring kepiting, dan otek.

c. Manfaat sebagai kawasan wisata mangrove

Ekosistem hutan mangrove sebagai habitat beranekaragam flora dan fauna, serta
karakteristik lingkungannya yang berperan penting dalam mendukung jasa
lingkungan wisata pesisir termasuk wisata mangrove. Potensi wisata di kawasan

Laporan Akhir 90
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

mangrove Segara Anakan mencakup wilayah perairan dan daratan yang


bersinggungan erat. Potensi obyek maupun daya tarik wisata yang terdapat di
kawasan Segara Anakan meliputi: 1). Hutan Payau Tritih, 2). Desa Nelayan /
Kampung Laut, 3). Hutan Suaka Mangrove, 4). Panorama Pantai Segara Anakan,
5). Panorama Selat Indralaya, 6). Teluk Penyu, dan 7). Benteng Pendem. Secara
jelas kondisi parawisata di Cilacap dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.7. Lokasi Wisata di sekitar kawasan mangrove Segara Anakan, Kabupaten
Cilacap
No Nama obyek wisata Penjelasan
1 Hutan Wisata Tritih Kawasan hutan wisata payau tritih memiliki luas
areal sebanyak 10 hektar. Obyek wisata ini berupa
kawasan hutan mangrove yang diperuntukkan
khusus untuk dibina dan dipelihara khusus untuk
kepentingan wisata. Kawasan hutan wisata ini
dikelola oleh PT. Perhutani Unit II Jawa tengah,
BKPH Rawa Timur, RPH Tritih. Jumlah
pengunjung di lokasi wisata ini tahun 2007 3.804
orang/tahun.
2 Wiatan Tellu Penyu Wisata Teluk Penyu berada dekat lokasi Benteng
Pendem. Daya tariknya berupa hamparan pantai
yang indah. Jumlah pengunjung lokasi wisata ini
berjumlah 108.554 orang/tahun. Obyek wisata ini
dikelola perusahaan swasta.
3 Kampung Laut Pada wisata Desa Nelayan ( Kampung Laut), daya
tarik yang dapat dinikmati adalah pemandangan
dan panorama keindahan halam hutan mangrove
yang tumbuh pada tanah-tanah timbul akibat
endapan lumpur. Selain itu juga kehidupan
masyarakat nelayan yang mendiami wilayah
tersebut. Kampung Laut merupakan
perkampungan yang mempunyai sejarah dan
mitologi yang menarik dengan pola kehidupan
unik. Desa-desa yang dijadikan sebagai obyek
wisata kampung laut meliputi: Desa Bugel, Desa
Motean, Desa Ujung Alang, Desa pejagan, dan
Desa Muara Dua. Desa-desa tersebut memiliki ciri
khas berbeda satu sama lain yang cukup menarik
dan bagus untuk daya tarik wisata.
4 Hutan suaka mangrove Pada kawasan wisata berupa hutan suaka
mangrove terdapat berbagai jenis flora mangrove
seperti: Avicennia sp., Rhizophora sp., Bruguiera
sp. dan Nypa fructicans. Agai Selain itu juga
sebagai habitat berbagai jenis satwa seperti

Laporan Akhir 91
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

No Nama obyek wisata Penjelasan


burung kuntul besar, kuntul kecil, kuntul perak,
bluwok, dan bangau tongtong. Selain itu jenis
satwa liar lain seperti: linsang (Aonyx sp.), biawak
(Varanus salvator), dan Berang-berang (Lutra-
lutra).
5 Wisata Benteng Pendem Pada kawasan wisata Benteng Pendem, daya tarik
yang dinikmati adalah bangunan peninggalan
sejarah Hindia Belanda berupa benteng
pertahanan yang dulunya pernah terpendam
dalam tanah kurang lebih 3,5 meter dari
permukaan tanah. Pengunjung lokasi wisata
Benteng Pendem tahun 2007 berjumlah 36.504
orang/tahun. Obyek wisata ini dikelola oleh pihak
Dinas Pariwisata Pemda Cilacap (Diparta).

Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola


melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan
perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan
kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan
menjadi pemandu wisata.

d. Potensi Pemanfaatan Penyerapan Karbon

Pemanfaatan hutan mangrove untuk jasa penyerapan karbon di Cilacap


menggunakan pendekatan transfer manfaat jasa penyerapan karbon di hutan
mangrove Batu Ampar, Kalimantan Barat yaitu sebesar 4,12 ton/ha/tahun. Dengan
luas total sebesar 9.326,70 hektar, maka manfaat penyerapan karbon total sebesar
38.426 ton/hektar.

e. Potensi Manfaat Jasa Penahan Intrusi Air Laut.

Mangrove memiliki kemampuan dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan.
Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air sumur pada berbagai jarak
dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah
Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrovenya yang relatif baik, masih
tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah
sudah terintrusi pada jarak 1 km.

f. Potensi Manfaat Jasa Mengurangi Gelombang Tsunami

Pada daerah yang memiliki mangrove dan hutan pantai relatif baik, cenderung
kurang terkena dampak gelombang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan

Laporan Akhir 92
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami


(Harada dan Fumihiko, 2003 dalam Diposaptono, 2005). Gelombang laut setinggi
1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33
Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al.,
2002).

Hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) yang merupakan pengujian model di


laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora spp.)
memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang
diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut.
Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove di sepanjang pantai
dapat memperkecil efek gelombang tsunami yang menerjang pantai. Mazda dan
Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi (1997) menambahkan bahwa vegetasi
mangrove, terutama perakarannya dapat meredam energi gelombang dengan cara
menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove.

g. Manfaat Penjerap Polutan

Manfaat hutan mangrove sebagai penjerap polutan berkaitan dengan posisi


kawasan hutan mangrove Cilacap di daerah hilir / muara Sungai Citanduy yang
menyaring senyawa kimia yang bersifat toksik. Seperti yang dilaporkan oleh
Gunawan dan Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove
mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari
perairan hutan mangrove al

4.5.3. Aspek Ekologi

Secara ekologis, vegetasi hutan mangrove di Kawasan Segara Anakan dengen


komposisi jenis sebanyak 30 jenis, 45 jenis satwaliar yang terdiri dari: 41 jenis
burung (15 jenis termasuk dilindungi, 3 jenis merupakan burung migran), dan 4
jenis mamalia. Sedangkan jenis-jenis ikan di perairan Segara Anakan terdapat
sekitar 45 jenis ikan. Keanekaragaman flora dan fauna ini mendukung fungsi-fungsi
kologi (jasa lingkungan) yang dihasilkan dari pengelolaan hutan mangrove di
kawasan ini.

4.5.4. Aspek Ekonomi

Nilai manfat ekonomi total mangrove Segara Anakan terdiri dari manfaat langsung,
manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan. Secara lengkap
nilai manfaat ekonomi kawasan segara anakan dapat dilihat pada Tabel 4.7.

4.5.5. Aspek Kelembagaan


Pengelolaan Kawasan Segara Anakan (termasuk mangrove) berada di bawah
kendali Badan Pengelola Segara Anakan (BPSA). Kendali BPSA ini berada di

Laporan Akhir 93
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

bawah badan Eksekutif yang memasukkan pihak-pihak Pemda, PT. Perhutani, dan
Kehakiman ke dalam struktur organisasi BPSA.

Tabel 4.8. Nilai Manfaat Ekonomi Mangrove Segara Anakan, Cilacap.

Penerimaan Kotor Biaya Nilai Manfaat Bersih


No Kategori Manfaat
(Rp/tahun) (Rp/tahun) (Rp/tahun)
A. Manfaat langsug
1. Potensi tegakan kayu 855.635.750 199.648.340 655.987.410
2. Atap daun nipah 146.880.000 44.064.000 102.816.000
3. Gula Nipah 8.178.0000 2.862.300 5.315.700
4.Kayu Bakar 124.703.408 24.940.681 99.762.726
5. Tutup Botol 109.696.875 43.878.750 65.818.125
6. Pakan ternak 23.402.000 4.680.000 18.722.000
7. Satwa Liar 192.503.870 114.005.741 78.498.129
8. Mamalia 139.322.500 16.718.700 122.603.800
9. Reptil 19.283.863 13.884.381 5.399.482
B Manfat tidak Langsung
1.Hasil Tangkapan Ikan 6.631.158.523 3.842.292.588 2.488.865.593
2. Ekowisata 10.233.296.250
3. Pelindung Abrasi 10.845.000.000
4. Penahan intrusi 4.533.276.000
5. Penyerapan Kabon 6.489.979.146
C. Manfaat pilihan 690.793.547
D. Keberadan 12.193.070.178
Nilai Ekonomi Total 48.629.199.000
Sumber: Dirjen Bangda (2000) konversi ke tahun 2008 (penyesuaian tingkat inflasi)

Kedudukan badan eksekutif sebagai koordinator perencanaan dan pelaksanaan


program membawahi Asisten Pelaksana. Masing-masing Asisten Pelaksana
membawahi Unit Pelaksana. Unit Pelaksana merupakan ujung tombak dalam
melaksanakan program di tingkat operasional. Selanjutnya untuk kelancaran
program dan keterlaksanaan peran serta masyarakat ditentukan oleh pembinaan
dan pelibatan masyarakat. Untuk memudahkan koordinasi dan efektivitas kegiatan,
pada tingkat masyarakat dibentuk Kelompok tani hutan (KTH) yang dilibatkan dalam
pelaksanaan program pembangunan hutan mangrove Segara Anakan.

Badan eksekutif mendapat wewenang penuh dalam mengkoordinir perencanaan


program kegiatan, mengatur kegiatan atas dasar masukan dari dinas, dan
bertangungjawab kepada Bupati / Bappeda. Asisten mambantu badan ekskutif
dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Unit Pelaksana masing-masing (wana
mina, wana wisata, hutan rakyat), bertanggungjawab kepada asisten perencana.
Sedangkan kelompok Tani Hutan terjun langsung dalam kegiatan di lapangan
seperti pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan, pengamanan, pemanenan dan
perlindungan.

Peran Camat, Kepala Desa dan kepala Dusun cukup tinggi, terutama dalam
memberikan motivasi bagi KTH, membantu memberikan pengarahan dan
bimbingan langsung di lapangan.

Laporan Akhir 94
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

V. STRATEGI PENGEMBANGAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA


HUTAN MANGROVE

5.1. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk


Ekowisata, Bali

Strategi pengembangan pemanfatan sumberdaya hutan mangrove untuk wisata


disusun untuk dapat mengakomodir dan mencapai keseimbangan antara aspek-
aspek kebijakan, ekologi, teknis, ekonomi serta sosial budaya dan kelembagaan.
Strategi pengembangan ekowisata Tahura Ngurah Rai Bali adalah sebagai berikut:

A. Aspek Ekologis

1. Pengukuhan kawasan melalui penunjukkan kawasan hutan mangrove untuk


menjadi kawasan hutan konservasi, dan sebagai kawasan hutan konservasi.

2. Penetapan blok / zonasi berdasarkan pada konsep Tahura sebagai pelestarian


hutan, konsep pelestarian flora fauna,perlindungan pantai, dan konsep
pemanfaatan kepariwisataan. 1) blok perlindungan, 2). Blok pembinaan / koleksi
tumbuhan 3) blok pemanfaatan intensif dan 4). Blok pemanfaatan tradisional.

3. Pengelolaan kawasan meliputi: inventarisasai dan identifikasi potensi kawasan,


pembinaan dan pengembangan koleksi satwa dan tumbuhan, penangkaran dan
pembibitan, rehabilitasi kawasan yang rusak.

4. Pengelolaan pengusahaan ekowisata harus tetap pada tatanan azas


konservasi, melalui pembatasan-pembatasan baik pemanfaatan ruang (zonasi),
temporal (waktu kunjungan), dan volume (jumlah wisatawan).

5. Rehabilitasi hutan mangrove utnuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan


hutan mangrove.

B. Aspek Sosial Budaya dan Kelembagaan

1. Pelibatan masyarakat dalam pelestarian kawasan Tahura dalam hal


perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi termasuk pemasaran
obyek wisata alam melalui paket wisata.

2. Peningkatan pemahaman masyarakat akan fungsi dan manfaat ekosistem hutan


mangrove.

a. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pelatihan ketrampilan


pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove, penyuluhan tentang

Laporan Akhir 95
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan


mangrove untuk ekowisata.

b. Penyebarluasan data dan informasi perencanaan rehabilitasi dan


pengelolaan hutan mangrove.

3. Pemberdayaan kelembagaan lokal yang ada yaitu Desa Adat (Subak) di sekitar
Tahura Ngurah Rai.

4. Pengembangan budaya lokal (indigineous knowledge, seperti: property right


(hak-hak kepemilikan), hak ulayat, hak-hak perolehan rakyat dalam
pengembangan wilayah, sehingga terciptanya pemerataan dan peningkatan
taraf hidup.

C. Aspek Ekonomi
1. Perbaikan aksesbilitas ke kawasan dengan melakukan pembangunan,
perbaikan sarana dan prasarana pokok pendukung kegiatan wisata.
2. Pembangunan sarana dan prasarana wisata seperti: plaza tahura, pondok
wisata, Peningkatan promosi pariwisata mangrove, baik skala domestik maupun
mancanegara dan membangun pola kemitraan investasi multisakeholders.
3. Peningkatan fasilitas dan kenyamanan berwisata, jasa pelayanan yang baik
serta atraksi wisata sesuai dengan kebutuhan wisatawan.
4. Pembangunan pusat informasi Tahura, perpustakan, zoologicum, herbarium,
shelter, fasilitas rekreasi alam, waste treathment, pembuatan jalur tracking dan
hiking, kios souvenir dan makanan, tempat parkir, dan MCK dan rumah ibadah.
5. Pengumpulan dan dokumentasi informasi pariwisata secara berkala yang
sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai dasar evaluasi dan pemantauan.
6. Peningkatan usaha dan upaya promosi wisata pada biro-biro perjalanan,
kalangan sekolah / perguruan tingi, lembaga penelitian, dan masyarakat umum.

D. Aspek Hukum

1. Penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi terutama pinjam pakai


kawasan, penyerobotan lahan dan penebangan liar.

2. Sosialisasi legitimasi kawasan melalui Surat Keputusan Bersama Menteri


Pertanian dan menteri Kehutanan No. KB550/264/Kpts-4/1984 dan Nomor
082/Kpts-II/1984 Tanggal 30 april 1984, menyebutkan bahwa lebar sanuk hijau
hutan mangrove adalah 200 m. Dan diperkuat oleh Surat Edaran Nomor:
507/IV-BPHH/1990, tentang penentuan lebar jalur hijau pada hutan mangrove
yaitu selebar 200 m di sepanjang pantai dan 50 m di sepanjang tepi sungai.

Laporan Akhir 96
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

5.2. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Bahan


Baku Arang

A. Aspek Ekologis
1. Pemantapan kawasan meliputi: penataan batas kawasan lindung dan budidaya,
penataan batas unit pengelolaan dan batas blok, pemeliharaan batas, dan
sosialisasi batas kawasan.
2. Penataan areal kerja (Koperasi Panter luas 6.000 ha, PT. Kandelia luas 12.000
dan PT. Bios 10.000 ha dibagi kedalam petak-petak seluas 100 ha)
3. Pengaturan perijinan meliputi: evaluasi jumlah ijin dapur, pembatasan jangka
waktu perijinan (20 atau 30 tahun), dan pembatasan luas kawasan dalam
perijinan (6.000 ha).
4. Pembinaan hutan dengan mempertahankan pohon induk 40 batang/ha yang
ditinggalkan pada petak tebangan dan pengendalian pertumbuhan nipah untuk
lebih mengutakaman jenis komersil.
5. Pengawasan terhadap teknik penebangan, lokasi penebangan, dan identitas
penebang.
6. Perlindungan hutan melalui pemasangan papan nama, pencegahan gangguan
dan penegakan hukum.

E. Aspek Sosial Budaya dan Kelembagan


1. Pemberdayaan masyarakat antara lain:
a. Peningkatan kesadaran melalui penyuluhan.
b. Pelatihan manfaat dan fungsi mangrove, dan mata pencaharian
alternatif.
c. Pemberdayaan dalam rehabilitasi dan pengelolaan hutan dengan
pendekatan kelompok, penguatan kelembagaan, pendampingan,
pengembangan sumberdaya manusia dan pemberian stimulan.
2. Pelibatan para pihak (stakeholder) dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pemantauan.
3. Pengembangan mata pencaharian alternatif berupa: arang tempurung, gula
kelapa, anglo, karet, pinang, dan lain-lain.
4. Penguatan kelembagaan terkait pengelolaan ekosistem mangrove termasuk
kelembagaan desa.

F. Aspek Ekonomi
1. Peningkatan sumberdaya manusia, jenis usaha, mitra usaha, dan modal
usaha melalui: pelatihan manajemen, pelatihan pemasaran, dan pelatihan
pengelolaan hutan.
2. Perbaikan kualitas tungku pembakaran arang
3. Perbaikan teknik penataan dan pembakaran

Laporan Akhir 97
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

4. Perbaikan teknik pembongkaran dan pengepakan


5. Perbaikan sistem pengangkutan yang efisien
6. Perluasan jaringan pemasaran terutama pangsa pasar luar negeri.

G. Aspek Hukum
1. Penertiban perijinan (jumlah tungku arang, jangka waktu perijinan 20 atau 30
tahun, dan luas kawasan dalam perijinan),
2. Pengendalian pemanfaatan melalui sistem koordinasi satu pintu yaitu
Bapdedalda Provinsi Kalimantan Barat.

5.3. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk


Sylvofishery di Subang dan Pemalang

A. Aspek Ekologi
1. Penetapan luas areal mangrove dalam sistem silvofishery sebesar minimal
60% dari luasan total.
2. Pemantauan dan pengawasan ekosistem mangrove di sekitar tambak dari
kerusakan.
3. Pemilihan lokasi tambak tumpang sari yang sesuai syarat-syarat biofisik.

B. Aspek Sosial Budaya dan Kelembagaan


1. Penguatan pola kemitraan antara petani tambak dengan pemgelola
(perhutani).
2. Mengaktifkan peran serta masyarakat atau petani tambak dalam
pemantauan dan pengawasan bahaya-bahaya yang mungkin terjadi.
3. Peningkatan sumberdaya manusia melalui pendidikan, pelatihan dan
penyuluhan.
4. Pemantapan organisasi masyarakat yang ada agar dapat berfungsi
sebagaimana yang diharapkan seperti: Koperasi, LMDH, KTH, LPM, dan
lainnya.
5. Peningkatan pemahaman dan kesdaran akan manfaat dan fungsi mangrove
terutama dalam kebrlanjutan udaha budidaya tambak silvofishery.
6. Peningkatan koordinasi diantara instansi/aparat pemerintah agar lebih
sejalan.

C. Aspek Ekonomi
1. Perbaikan sistem bidaya tambak silvofishery melalui perbaikan teknik
pemeliharaan, perbaikan kualitas benih, pengaturan sistem buka tutup air,
serta penanganan hama dan penyakit.
2. Memantau dan mengawasi bahaya hama dan penyakit yang sewaktu-waktu
dapat menyerang ikan / udang / kepiting.

Laporan Akhir 98
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

3. Penerapan ilmu dan teknologi dalam pengelolaan budidaya silvofishery yang


modern dan ramah lingkungan.
4. Memberikan tunjangan kredit lunak / modal kepada petani tambak untuk
diusahakan termasuk bantuan sarana, dan prasarana produksi.
5. Rehabilitasi saluran tambak untuk mempertahankan persediaan bahan
makanan alami bagi ikan dan udang.
6. Peningkatan jumlah pasar (tempat pelelangan ikan hasil tambak
silvofishery).

D. Aspek Hukum
Pembuatan peraturan-peraturan untuk menjaga proses produksi budidaya
tambak silvofishery.

5.4. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Jasa


Lingkungan

A. Aspek Ekologi
1. Penataan Hutan meliputi: pembagian blok, pemasangan papan pengenal,
pembuatan jalan.
2. Pembinaan daya dukung kawasan meliputi penanaman, pemeliharaan dan
pemanfaatan.
3. Perlindungan dan pengamanan meliputi: perlindungan fungsi hutan pada
msing-masing zonasi dan kawasan hutan serta pengamanan dari ancaman
terhadap hutan (konversi, penebangan).
4. Inventarisasi tegakan mangrove untuk mengetahui kondisi tegakan terkait
dengan kemampuan mempertahankan fungsi dan jasa lingkungan.

B. Aspek Sosial Budaya dan Kelembagaan


1. Peningkatan peranserta masyarakat dalam proses perencanaan dan
peneglolaan kawasan hutan mangrove.
2. Pengembangan organisasi dan kapasitas kelembagaan
a. Pemberian kewenangan dan kekuasaan dalam batas-batas tertentu.
b. Peningkatan tugas pada unit-unit pelaksana dalam struktur organisasi
pengelola.
3. Pemberian kewenangan dan kekuasaan dalam batas-batas tertentu.
4. Peningkatan tugas pada unit-unit pelaksana dalam struktur organisasi
pengelola.
5. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia untuk meningkatkan kepdulian
masyarakat terhadap hutan mangrove.
6. Peningkatan koordinasi antar instansi terkait antara lain: Bapeda, Dinas
PKT, Dinas perikanan, Dinas perindustrian, Dinas pertambangan dan energi,

Laporan Akhir 99
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

sub balai rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, perhutani, dinas


pariwisata, kehakiman, Polri, Kodim, Kopassus, dll.
7. Penyuluhan kepada masyarakat mengenai fungsi dan manfaat mangrove
untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pengelolaan
hutan mangrove (perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan).
8. Menghidupkan budaya tradisional khas khas terutama budaya Kampung
Laut meliputi: bentuk rumah, / pemukiman, upacara adat, kesenian
tradisional, dan kerajinan tangan khas setempat.

C. Aspek Ekonomi
1. Pembangunan sarana dan prarana: prasarana jaringan jalan, sarana
angkutan, peralatan, kantor.
2. Revitalisasi budaya tradisional khas Kampung Laut.
3. Pengembangan industri kerajinan rumah tangga.
4. Pemasangan papan nama dan papan himbauan.
5. Pemantauan dan evaluasi

D. Aspek Hukum
1. Pengaturan peruntukkan fungsi kawasan (lindung dan budidaya) untuk
pengembangan sektor pertanian, perikanan, pariwisata, kehutanan, dan
lainnya.
2. peningkatan pengamanan melalui patroli petugas dibantu peran serta
masyarakat terutama KTH.
3. Penegakan hukum terhadap tindakan konversi lahan, penebangan liar, dan
penangkapan ikan di sekitar kawasan yang tidak ramah lingkungan.

Laporan Akhir 100


Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

VI. KESIMPULAN

1. Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Kabupaten Cilacap, khususnya


di kawasan mangrove Segara Anakan antara lain: sebagai kayu bakar, bahan
baku arang, atap daun nipah, industri bahan baku bola bulu tangkis dan tutup
botol, buah mangrove, gula nipah, pakan ternak, mamalia, reptil, udang, ikan,
manfaat penyerap kabon, penahan abrasi dan , ekowisata, manfaat pilihan
dan manfaat keberadan.

2. Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Kawasan mangrove Batu


Ampar antara lain: sebagai kayu bakar, bahan baku arang, tiang/pancang
untuk bangunan, atap daun nipah, udang, ikan, kepiting, kerang, tambak, dan
manfaaat penyerap karbon, manfaat penahan abrasi dan intrusi, manfat
pilihan dan manfaat keberadaan.

3. Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Kabupaten Subang, khususnya


di kawasan mangrove Blanakan antara lain: sebagai kayu bakar, tambak
silvofishery (ikan banding dan udang), manfaat pilihan dan manfaat
keberadaan.

4. Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Kabupaten Pemalang, antara


lain: sebagai kayu bakar, pakan ternak, tambak silvofishery kepiting lunak
(kepiting soka), dan lain-lain.

5. Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Kabupaten Denpasar, Bali


khususnya di kawasan Tahura Ngurah Rai adalah wisata mangrove, kayu
bakar, daun nipah,ikan, satwa liar, potensi kayu, penahan abrasi, pemijahan dan  

tempat bertelur, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan.

6. Nilai ekonomi sumberdaya hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai sebesar


Rp 6.712.072.665, -/tahun di kawasan mangrove Kabupaten Cilacap
sebesar Rp 48.629.199.000,-/tahun di kawasan mangrove Kabupaten
Pemalang Rp 3.740.776.800, -/tahun di kawasan mangrove Kabupaten
Subang Rp 13.036.261.808, -/tahun di kawasan mangrove Batu Ampar
Rp 107.474.346.929,-/tahun.

7. Strategi Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove berupa : penegakan


hukum, pengembangan mata pencaharian alternative, dan Penguatan
kelembagaan terkait pengelolaan ekosistem mangrove.

Laporan Akhir 97
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

DAFTAR PUSTAKA

Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Propinsi Bali. 2000. Bappeda Prop.
Bali – PKSPL IPB Bogor.

Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Subang. 2007. Pendataan


Profil Desa Langensari 2007.

Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Subang. 2006. Pendataan


Profil Desa Blanakan 2006.

Bappeda Provinsi Jawa Barat. 2007. Status Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat.
Bandung.

Bappeda Kabupaten Pemalang. 2008. Studi Pengembangan Bibit Kepiting di


Kabupaten Pemalang. Pemalang.

Bappeda Kabupaten Pemalang. 20058. Studi Potensi dan Strategi Pengembangan


Budidaya Soft Crab Kepiting Bakau (Scylla Serrata) di Kabupaten
Pemalang. Pemalang.

Bapedalda Provinsi Bali. 2007. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi
Bali.

Bann, C. 1998. The economic valuation of mangrove: A Manual for resources.


Economic and Environment Program for Southeast Asia.

BPLDH Propinsi Jawa Barat. Desa Langensari dalam Angka tahun 2007.

BPS Kabupaten Subang. 2001. Kabupaten Subang Dalam Angka. BPS


Kabupaten Subang.

BPS Propinsi Jawa Tengah. 2007. Jawa Tengah Dalam Angka tahun 2007.
Semarang

BPS Propinsi Jawa Barat. 2007. Jawa Barat Dalam Angka tahu 2007. Bandung

BPS Kabupaten Cilacap. 2007. Survey social Ekonomi rumah Tangga Daerah
(Suseda) di Segara Anakan Tahun 2007. BPS Cilacap dan Badan
Pengelola Kawasan Segara Anakan Cilacap.

BPS Kabupaten Pontianak. 2007. Pontianak dalam Angka tahun 2007

BPS Kabupaten Pontianak. 2007. Kecamatan Batu Ampar dalam Angka tahun
2006. Pontanak.

BPS Kabupaten Pontianak 2006. . Kecamatan Kubu dalam Angka tahun 2006.
Pontianak.

Laporan Akhir 103


Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

BPS Propinsi Bali. 2007. Bali Dalam Angka tahu 2007. Bandung

Dinas Kehutanan dan Perkebunan. 2007. Proposal Kegiatan Rehabilitasi Hutan


Mangrove. Subang.

Dinas Kehutanan Provinsi Bali. 2008. Rencana pengelolaan Taman Hutan Raya
Ngurah Rai Bali.

Dinas Kehutanan Provinsi Bali. 2008. Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari di


Provinsi Bali.

Dinas Kelautan dan Perikanan Jabar. 2001, Penyusunan Rencana Strategis


Wilayah Pantai Pesisir Kabupaten Subang. Bapeda Jabar dengan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknilogi mineral. Bandung.

Bangda-Depdagri. 2000. Valuasi sumberdaya Alam Segara Anakan untuk


Pemantapan Rencana Cost Recovery. Kerjasama Bangda Depdagri
dengan Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

JICA. 2003. Laporan survey Pngunaan Mangrove di Kabupaten Cilacap Jawa


tengah. Kerjasama JICA-MIC Bali dengan Unwim Bandung.

Khairijon. 1990. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah di Hutan Bakau Hasil
Reboisasi yang Berbeda Kelas Umurnya. Dalam : Prosiding Seminar IV
Ekosistem Mangrove. Jakarta

LPP-Mangrove. 1998. Laporan Utama Rencana Sistem Pengelolaan Hutan Bakau


di Kawasan Segara Anakan Kabupaten DATI II Cilacap – Jawa Tengah
tahun 1998. LPP Mangrove, Jakarta.

LPP-Mangrove. 2002. Laporan Survey Sosial Ekonomi (Survey Baseline) untuk


Pusat Informasi Mangrove di Indonesia. Kerjasama JICA Mangrove
Information Centre Project dan LPP Mangrove. Jakarta. 2002.

LPP-Mangrove. 2003. Laporan Survey Penggunaan Mangrove di DKI Jakarta dan


Kalimantan Barat. Kerjasama JICA Mangrove Information Centre Project
dan LPP Mangrove. Jakarta. 2003.

LPP-Mangrove, 1997. Penyusunan Rancangan Proyek Pengelolaan Hutan Alam Produksi


oleh Masyarakat Tradisional Di Kabupaten Pontianak – Provinsi Kalimantan
Barat. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan,
Direktorat Bina Pengusahaan Hutan.
LPP-Mangrove, 2000. Pembinaan Kehutanan dan Pengamanan Hutan Tahun anggaran
2000. Kerja Sama LPP Mangrove dengan Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, Provinsi Kalimantan Barat.

Meilani, M.M. 1996. Studi Pola Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Usaha
Perikanan (Studi Kasus di Desa Mayangan, Kecamatan Pamanukan,

Laporan Akhir 104


Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Kabupaten Subang, Jawa Barat). Fakultas Perikanan, IPB. Bogor. Tidak


dipublikasikan.

Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. 1991. Penerapan Strategi Perhutanan Sosial
Hutan Payau (silvo fishery) Perum Perhutani Menunjang Produksi
Pangan Nasional. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Bandung.

Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. 1994. Pedoman Pelaksanaan Perhutanan
Sosial Pada Hutan Payau Wilayah Jawa Barat. Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat. Bandung.

Perum Perhutani. 2007. Selayang Pandang BKPH Ciasem – Pamanukan 2007.


Subang

Pertamina dan Fakultas Perikanan. 1995. Studi Pemetaan Indeks Kepekaan


Lingkungan Wilayah Pesisir Indramayu dan Subang, Jawa Barat
Berkaitan Dengan Dampak Kegiatan Pertamina. Pertamina dan Fakultas
Perikanan IPB. Bogor.

Riviana, J. 1996. Studi Komponen Biotik di Ekosistem Tambak Tumpangsari Pola


Empang Parit (Studi Kasus di RPH Tegal Tangkil, BKPH Ciasem, KPH
Purwakarta, Jawa Barat). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak
dipublikasikan.

UNEP/GEF/SCS dan LPP Mangrove. 2003. Karaktersitik Demosite Taman Hutan


Raya Ngurah Rai, Provinsi Bali.

Laporan Akhir 105


Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Lampiran. 1. ANALISIS FINANSIAL USAHA TAMBAK SYLVOFISHERY (80:20) DI KABUPATEN SUBANG

Tahun
No. Uraian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A INVESTASI
Pembuatan tambak 40.000.000

BIAYA OPERASIONAL
B (4 bln/1xpanen)
1. Biaya Tetap
a. Sewa Lahan 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000
b. Pembelian Bubu 240.000 240.000 240.000 240.000 240.000
c. Upah Pekerja 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000
d. Perbaikan Tambak 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000
2. Biaya Variabel
a Benur 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
b. Nener 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000
c. Pupuk 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000

TOTAL BIAYA 52.360.000 12.120.000 12.360.000 12.120.000 12.360.000 12.120.000 12.360.000 12.120.000 12.360.000 12.120.000
C. PENERIMAAN 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000
PENDAPATAN BERSIH (27.360.000) 12.880.000 12.640.000 12.880.000 12.640.000 12.880.000 12.640.000 12.880.000 12.640.000 12.880.000
(1+I)^t 1,15 1,32 1,52 1,75 2,01 2,31 2,66 3,06 3,52 4,05
PRESENT VALUE PENDAPATAN
(31.464.000,0) 17.033.800,0 19.223.860,0 22.527.200,5 25.423.554,9 29.792.222,7 33.622.651,3 39.400.214,5 44.465.956,3
BERSIH 52.106.783,6
NET PRESENT VALUE 252.132.244

BCR 1,32

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Lampiran. 2. ANALISIS FINANSIAL USAHA ARANG BAKAU OLEH PIHAK SWASTA (PT. BIOS)Aug-04

No Komponen Biaya Tahun ke-


Satuan E-3 E-2 E-1 E-0 E+1 E+2 E+3 E+4 E+5 E+6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

DASAR PERHITUNGAN :
1 Total Areal ha
2 Total Areal Produktif ha
3 Luas TebanganTahunan ha
4 Potensi per hektar m3
5 Faktor pengaman
6 Produksi Tahunan m3
7 Daur tahun
8 Nilai Harga Jual Kayu rp/m3
A INVESTASI
Sarana dan Prasarana
Bangunan sipil
Unit 15.941
Peralatan (Alat Persencanaan, bengkel
dan Logging) Unit 13.863 13.863
Mesin
Unit 2.475 2.475
Kendaraan (Operasional Logging/Speed,
crane, excavator, tongkang) Unit 90.797 90.797

B BIAYA OPERASIONAL
1. Biaya Tetap
a. Perencanaan
Amortisasi Biaya Perolehan IUPHHK
rp/ha 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000
Amortisasi Iuran IUPHHK
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
Amortisasi Biaya Penyusunan RKUPHHK
rp/ha 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000
Amortisasi Biaya Penyusunan
RKLUPHHK rp/ha 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000
Amortisasi Biaya Penyusunan
RKTUPHHK rp/ha 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Amortisasi Biaya Tata Batas
rp/km 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000
Biaya Pembuatan Landsat
rp/ha 2.970
b. Pengendalian Kebakaran dan
Pengamanan Hutan rp/ha 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

No Komponen Biaya Tahun ke-


Satuan E-3 E-2 E-1 E-0 E+1 E+2 E+3 E+4 E+5 E+6
c. Kewajiban Teknis Kepada Negara
Amdal / RKL / RPL
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
d. Kewajiban Finansial Kepada Negara
PBB
Rp/thn 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347
e. Penyusutan / Depresiasi
Bangunan sipil
Rp/ha 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594
Peralatan
Rp/ha 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773
Mesin
Rp/ha 413 413 413 413 413 413 413 413 413 413
Kendaraan
Rp/ha 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971
f. Biaya Umum dan Administrasi
Rp/ha 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212

2. Biaya Variabel
a. Penanaman Bekas Tebangan
ITT
rp/ha 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000
Pembebasan Tahap I
rp/ha 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000
Pengadaan Bibit

rp/ha 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000
Pengayaan / Rehabilitasi
rp/ha 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500
Pemeliharaan I
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
Pemeliharaan II
rp/ha 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Pemeliharaan III
rp/ha 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000
Pembebasan Tahap II
rp/ha 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000
Pembebasan Tahap III
rp/ha 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000
Penjarangan I
rp/ha 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000
Penjarangan II
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
b. Penanaman Tanah Kosong / Non
Hutan mangrove rp/ha 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000
c. Penanaman Tanah kosong / non hutan rp/ha

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

No Komponen Biaya Tahun ke-


Satuan E-3 E-2 E-1 E-0 E+1 E+2 E+3 E+4 E+5 E+6
rawa 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000
d. Pemungutan Hasil Hutan
Pembalakan
rp/ha 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832
Jasa Produksi
rp/ha 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496
e. Kewajiban Finansial Kepada Negara
PSDH
rp/ha 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373
DR
rp/ha 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403
f. Pemenuhan Kewajiban Lingkungan dan
Sosial Rp/ha 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780
TOTAL INVESTASI DAN BIAYA
OPERASIONAL 20.820.741 20.694.694 20.694.694 20.694.694 20.694.694 20.708.557 20.697.169 20.785.491 20.694.694 20.694.694

PENERIMAAN
C. rp/ha 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Lampiran. 3. ANALISIS FINANSIAL USAHA ARANG BAKAU OLEH PIHAK SWASTA (PT. BIOS)... lanjutan

Tahun
Satuan E+6 E+7 E+8 E+9 E+10 E+11 E+12 E+13 E+14 E+15 E+16
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

DASAR PERHITUNGAN :
1 Total Areal ha
2 Total Areal Produktif ha
3 Luas TebanganTahunan ha
4 Potensi per hektar m3
5 Faktor pengaman
6 Produksi Tahunan m3
7 Daur tahun
8 Nilai Harga Jual Kayu rp/m3
A INVESTASI
Sarana dan Prasarana
Bangunan sipil
Unit 15.941
Peralatan (Alat
Persencanaan, bengkel dan
Logging) Unit 13.863
Mesin
Unit 2.475 2.475
Kendaraan (Operasional
Logging/Speed, crane,
excavator, tongkang) Unit 90.797

B BIAYA OPERASIONAL
1. Biaya Tetap
a. Perencanaan
Amortisasi Biaya Perolehan
IUPHHK rp/ha 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000
Amortisasi Iuran IUPHHK
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
Amortisasi Biaya
Penyusunan RKUPHHK rp/ha 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000
Amortisasi Biaya
Penyusunan RKLUPHHK rp/ha 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000
Amortisasi Biaya
Penyusunan RKTUPHHK rp/ha 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Amortisasi Biaya Tata Batas
rp/km 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000
Biaya Pembuatan Landsat rp/ha

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Tahun
Satuan E+6 E+7 E+8 E+9 E+10 E+11 E+12 E+13 E+14 E+15 E+16
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
b. Pengendalian Kebakaran
dan Pengamanan Hutan rp/ha 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000
c. Kewajiban Teknis Kepada
Negara
Amdal / RKL / RPL
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
d. Kewajiban Finansial
Kepada Negara
PBB
Rp/thn 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347
e. Penyusutan / Depresiasi
Bangunan sipil
Rp/ha 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594
Peralatan
Rp/ha 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773
Mesin
Rp/ha 413 413 413 413 413 413 413 413 413 413 413
Kendaraan
Rp/ha 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971
f. Biaya Umum dan
Administrasi Rp/ha 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212

2. Biaya Variabel
a. Penanaman Bekas
Tebangan
ITT
rp/ha 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000
Pembebasan Tahap I
rp/ha 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000
Pengadaan Bibit
rp/ha 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000
Pengayaan / Rehabilitasi
rp/ha 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500
Pemeliharaan I
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
Pemeliharaan II
rp/ha 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Pemeliharaan III
rp/ha 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000
Pembebasan Tahap II
rp/ha 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000
Pembebasan Tahap III
rp/ha 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000
Penjarangan I
rp/ha 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000
Penjarangan II rp/ha

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Tahun
Satuan E+6 E+7 E+8 E+9 E+10 E+11 E+12 E+13 E+14 E+15 E+16
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
b. Penanaman Tanah
Kosong / Non Hutan
mangrove rp/ha 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000
c. Penanaman Tanah
kosong / non hutan rawa rp/ha 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000
d. Pemungutan Hasil Hutan
Pembalakan
rp/ha 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832
Jasa Produksi
rp/ha 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496
e. Kewajiban Finansial
Kepada Negara
PSDH
rp/ha 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373
DR
rp/ha 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403
f. Pemenuhan Kewajiban
Lingkungan dan Sosial Rp/ha 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780
TOTAL INVESTASI DAN
BIAYA OPERASIONAL 20.694.694 20.724.498 20.694.694 20.697.169 20.694.694 20.785.491 20.694.694 20.694.694 20.694.694 20.697.169 20.694.694

PENERIMAAN
C. rp/ha 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Lampiran. 4. Rekap Daftar Responden di Kabupaten Subang

Kesediaan
Pendapatan
Alamat Umur Pendidikan Pekerjaan membayar
No (Rp)
(Rp/Ha/Thn)
1 Langensari 34 SMP Nelayan 450.000 150.000
2 Langensari 32 SMA Nelayan 650.000 150.000
3 Langensari 40 SD Nelayan 550.000 70.000
4 Langensari 46 SD Petani 650.000 80.000
5 Langensari 52 Tdk tamat SD Petambak 1.250.000 115.000
6 Langensari 58 Tdk tamat SD Petambak 1.100.000 120.000
7 Langensari 45 SD Pedagang 1.000.000 65.000
8 Langensari 55 Tdk tamat SD Petani 750.000 70.000
9 Langensari 33 Sarjana Staf kec 1.300.000 100.000
10 Langensari 48 Sarjana Pedagang 800.000 100.000
11 Langensari 72 Tdk tamat SD Petani 250.000 100.000
12 Langensari 25 SD Petambak 300.000 85.000
13 Langensari 45 SMA Petambak 200.000 65.000
14 Langensari 70 Tdk tamat SD Petambak 750.000 50.000
15 Langensari 58 SD Petambak 650.000 95.000
16 Langensari 65 SD Nelayan 750.000 75.000
17 Langensari 50 SD Pedagang 1.000.000 50.000
18 Langensari 35 Tdk tamat SD Pedagang 400.000 50.000
19 Langensari 30 SMP Petani 600.000 75.000
20 Langensari 20 SMA Petambak 500.000 75.000
21 Blanakan 41 SMP Petambak 800.000 125.000
22 Blanakan 47 SD Petambak 900.000 115.000
23 Blanakan 52 Tdk tamat SD Peternak 900.000 85.000
24 Blanakan 56 Tdk tamat SD Peternak 1.000.000 115.000
25 Blanakan 54 Tdk tamat SD Petambak 550.000 100.000
26 Blanakan 20 SD Petambak 400.000 50.000
27 Blanakan 36 Sarjana Perhutani 1.150.000 250.000
28 Blanakan 40 SD Petani 500.000 95.000
29 Blanakan 39 SMP Petambak 1.100.000 115.000
30 Blanakan 42 SD Petambak 900.000 115.000
31 Blanakan 48 SD Petambak 760.000 120.000
32 Blanakan 51 SMP Petambak 940.000 120.000
33 Blanakan 56 Tdk tamat SD Petani 400.000 85.000
34 Blanakan 58 SD Petambak 550.000 85.000
35 Blanakan 38 SD Petambak 500.000 85.000
36 Blanakan 35 SD Nelayan 800.000 100.000
37 Blanakan 29 SD Petani 250.000 60.000
38 Langensari 18 SMA Peternak 800.000 100.000
39 Langensari 48 SMP Petambak 650.000 100.000
40 Langensari 60 Tdk tamat SD Petambak 650.000 85.000
41 Langensari 37 SMA Petambak 850.000 65.000
42 Langensari 38 SMP Petani 325.000 50.000
43 Langensari 24 SD Pedagang 500.000 95.000
44 Langensari 25 SD Peternak 625.000 75.000
45 Langensari 22 SMA Pedagang 350.000 50.000
46 Langensari 33 Tdk tamat SD Nelayan 325.000 65.000
47 Langensari 54 Tdk tamat SD Petani 650.000 100.000
48 Langensari 60 Tdk tamat SD Petambak 400.000 70.000
49 Langensari 30 SMA Pedagang 550.000 85.000
50 Langensari 71 Tdk tamat SD Petambak 450.000 60.000
Rata-rata 668.500 91.200

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Lampiran. 4. Rekap Daftar Responden di Kabupaten Subang

Pendapatan Kesediaan membayar


No Alamat Umur Pendidikan Pekerjaan
(Rp) (Rp/Ha/Thn)
1 Langensari 34 SMP Nelayan 450.000 150.000
2 Langensari 32 SMA Nelayan 650.000 150.000
3 Langensari 40 SD Nelayan 550.000 70.000
4 Langensari 46 SD Petani 650.000 80.000
5 Langensari 52 Tdk tamat SD Petambak 1.250.000 115.000
6 Langensari 58 Tdk tamat SD Petambak 1.100.000 120.000
7 Langensari 45 SD Pedagang 1.000.000 65.000
8 Langensari 55 Tdk tamat SD Petani 750.000 70.000
9 Langensari 33 Sarjana Staf kec 1.300.000 100.000
10 Langensari 48 Sarjana Pedagang 800.000 100.000
11 Langensari 72 Tdk tamat SD Petani 250.000 100.000
12 Langensari 25 SD Petambak 300.000 85.000
13 Langensari 45 SMA Petambak 200.000 65.000
14 Langensari 70 Tdk tamat SD Petambak 750.000 50.000
15 Langensari 58 SD Petambak 650.000 95.000
16 Langensari 65 SD Nelayan 750.000 75.000
17 Langensari 50 SD Pedagang 1.000.000 50.000
18 Langensari 35 Tdk tamat SD Pedagang 400.000 50.000
19 Langensari 30 SMP Petani 600.000 75.000
20 Langensari 20 SMA Petambak 500.000 75.000
21 Blanakan 41 SMP Petambak 800.000 125.000
22 Blanakan 47 SD Petambak 900.000 115.000
23 Blanakan 52 Tdk tamat SD Peternak 900.000 85.000
24 Blanakan 56 Tdk tamat SD Peternak 1.000.000 115.000
25 Blanakan 54 Tdk tamat SD Petambak 550.000 100.000
26 Blanakan 20 SD Petambak 400.000 50.000
27 Blanakan 36 Sarjana Perhutani 1.150.000 250.000
28 Blanakan 40 SD Petani 500.000 95.000
29 Blanakan 39 SMP Petambak 1.100.000 115.000
30 Blanakan 42 SD Petambak 900.000 115.000
31 Blanakan 48 SD Petambak 760.000 120.000
32 Blanakan 51 SMP Petambak 940.000 120.000
33 Blanakan 56 Tdk tamat SD Petani 400.000 85.000
34 Blanakan 58 SD Petambak 550.000 85.000
35 Blanakan 38 SD Petambak 500.000 85.000
36 Blanakan 35 SD Nelayan 800.000 100.000
37 Blanakan 29 SD Petani 250.000 60.000
38 Langensari 18 SMA Peternak 800.000 100.000
39 Langensari 48 SMP Petambak 650.000 100.000
40 Langensari 60 Tdk tamat SD Petambak 650.000 85.000
41 Langensari 37 SMA Petambak 850.000 65.000
42 Langensari 38 SMP Petani 325.000 50.000
43 Langensari 24 SD Pedagang 500.000 95.000
44 Langensari 25 SD Peternak 625.000 75.000
45 Langensari 22 SMA Pedagang 350.000 50.000
46 Langensari 33 Tdk tamat SD Nelayan 325.000 65.000
47 Langensari 54 Tdk tamat SD Petani 650.000 100.000
48 Langensari 60 Tdk tamat SD Petambak 400.000 70.000
49 Langensari 30 SMA Pedagang 550.000 85.000
50 Langensari 71 Tdk tamat SD Petambak 450.000 60.000
Rata-rata 668.500 91.200

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Lampiran 5. Dokumentasi Kegiatan pelaksanaan Inventarisasi dan


Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove di
Kabupaten Pemalang

Gambar Areal Tambak Silvofishery

Gambar Pemanfaatan untuk Pakan ternak (Kiri) dan Hasil Tambak Silvofishery
(Kanan)

Gambar Pemanfaatan Kolam Pemancingan (Kiri)


dan Kelembagaan Kelompok Tani (Kanan)

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan pelaksanaan Inventarisasi dan


Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove di
Kabupaten Subang

Gambar Kondisi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Subang sebagai Areal Tambak


Silvofishery

Gambar Kelembagaan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Subang : Kelompok Tani


(Kiri) dan Koperasi Penjualan Hasil Tambak (Kanan)

Gambar Hasil Tambak Silvofishery : Ikan Bandeng (kiri) dan Udang Peci (kanan)

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Lampiran 7. Dokumentasi Kegiatan Pelaksanaan Inventarisasi dan


Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove di
Kabupaten Cilacap

Gambar; Pemanfaatan Jasa Lingkungan Mangrove: Penyerap Karbon (kiri)


dan Penahan Abrasi dan Intruisi (kanan)

Gambar; Pemanfaatan Jasa Lingkungan Mangrove: Ekowisata (kiri) dan


Tempat Memijah, Bertelur Ikan dan Udang (kanan)

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Lampiran 8. Dokumentasi Kegiatan pelaksanaan Inventarisasi dan


Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove di
Tahura Ngurah Rai, Provinsi Bali

Gambar Sarana Prasarana Pendukung Wisata Mangrove: Menara Pengamat (kiri)


dan Jalan Papan untuk Jalur Wisatal (kanan)

Gambar Sarana Prasarana Wisata Tahura Ngurah Rai: Kolam Sentuh (kiri)
Demplot Persemaian (kanan)

Gambar Atraksi Wisata Mangrove: Biota Perairan(kiri) dan Flora mangrove (kanan)

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Lampiran 9. Dokumentasi Kegiatan pelaksanaan Inventarisasi dan


Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove di
Batu Ampar

Gambar Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove untuk Arang :


Dapur (kiri) dan Hasil Arang (kanan)

Gambar Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove untuk Bahan Bakar Proses


Pembuatan Terasi (kiri) dan Pemasakan Arang Bakau (kanan)

Gambar Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove untuk : Budidaya Tambak (kiri) dan


Komoditi Hasil Panen (kanan)

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Lampiran 9. Kuisioner

DAFTAR PERTANYAAN PADA SURVEY INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI


PEMENFAATAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE

Pewawancara : ………………. Tanggal Wawancara : ……………

A. Identitas Responden
1) Nama Responden/Umur: ……………….
2) Alamat :……………….
3) Pendidikan :………………..
4) Pekerjaan Utama :………………..
5) Jumlah anggota keluarga : ……………….. (jiwa/KK)
6) Luas lahan pertanian (yang dimiliki)
a). Lahan milik …….Ha;
b). Lahan sewa……..Ha;
c). Lahan yag disewakan ke orang lain……..Ha

B. Kondisi Ekonomi Keluarga


1) Apa saja sumber –sumber pendapatan anda dan berapa nilainya per bulan

Sumber Sumber
No Nilai (Rp/bulan) No Nilai (Rp/bulan)
Pendapatan Pendapatan
1
2
3
4
5

2) Berapa pengeluaran yang dikeluarkan dalam satu bulan (Rp/bulan) ?

1.Kurang dari Rp 300.000; 2.Rp 300.000 – 500.000; 3. Rp 500.000 – 750.000;


4. Rp 750.000 – 1.000.000; 5.Lebih dari Rp.1.000.000,-

C. Pemanfatan Sumberdaya Hutan Mangrove


1) Apakah Anda memanfaatkan sumberdaya hutan mangrove ?
a. Ya b. Tidak

2) Sudah berapa lama Anda memanfaatkan sumberdaya mangrove?

3) Jika memanfaatkan, jenis apa yang Anda manfaatkan dari hutan mangrove?
a. Kayu mangrove b. Daun nipah c. Buah mangrove c. Daun mangrove
d. Ikan, Udang, Kepiting, Kerang, dll. e. Lainnya………….

4) Berapa kemampuan Anda dalam mengumpulkan sumberdaya mangrove tersebut ?

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Kemampuan rerata Harga jual per


Jenis Aktivitas/bulan
No mengumpulkan per hari satuan (Rp/m3,
Pemanfaatan (…hari/bulan)
(m3/hr, ikat/hari, Kg/hari) Rp/Kg, Rp/ikat)
1 Sumberdaya Kayu
- tiang / pancang
- kayu bakar
- bahan baku arang
- daun nipah
- gula nipah
- pemberat shuttlechok
dan tutup botol

2 Hewan Darat
- Buaya
- Monyet
- Burung
3 Hewan Air
- Ikan
- Udang
- Kepiting
- Kerang
- Lainnya

4 Makanan dan Minuman


- Buah mangrove
- Pakan Ternak
5 Tumbuhan Obat

6 Getah/Tanin

5) Dimana lokasi pengambilan Sumberdaya mangrove yang Anda lakukan dan apa
saja alat / sarana angkutan yang diperlukan ?
Peralatan dan
Lokasi Jumlah yang
No Jenis Pemanfaatan sarana yang
Pengambilan Memanfaatkan
digunakan
1 Sumberdaya Kayu
- tiang / pancang
- kayu bakar
- bahan baku arang
- daun nipah
- gula nipah
- pemberat shuttlechok dan
tutup botol

2 Hewan Darat
- Buaya
- Monyet
- Burung
3 Hewan Air
- Ikan
- Udang

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

Peralatan dan
Lokasi Jumlah yang
No Jenis Pemanfaatan sarana yang
Pengambilan Memanfaatkan
digunakan
- Kepiting
- Kerang
- Lainnya

4 Makanan dan Minuman


- Buah mangrove
- Pakan Ternak
5 Tumbuhan Obat

6 Getah/Tanin

Sarana angkutan : perahu/sampan/jalan kaki

6) Berapa biaya yang dikeluarkan untuk pemanfatan tiang pancang, kayu bakar, daun
nipah, buah nipah, pakan ternak, buah mangrove, hewan darat di mangrove, buah
mangrove, tumbuhan obat, ikan/udang/kepiting/ kerang, getah / tanin dan lain-lain?
No Jenis Pemanfaatan Komponen Biaya Jumlah Biaya (Rp) Satuan Biaya
1. a. …………………….
…………………….
b. …………………….
c. …………………….
2. a. …………………….
…………………… b. …………………….
c. …………………….
3. a. …………………….
……………………. b. …………………….
c. …………………….
4. a. …………………….
…………………… b. …………………….
c. …………………….
5. …………………….

7) Berapa harga jual jenis produk dari tegakan mangrove menurut Anda ?
Harga Jual di Tempat Harga Jual di Harga Jual di
Jenis Pemanfaatan (Rp/ikat, Rp/m3, Pengumpul (Rp/ikat, Eceran (Rp/ikat,
No
Rp/keping) Rp/m3, Rp/keping) Rp/m3,Rp/keping
1. Sumberdaya Kayu
- tiang / pancang
- kayu bakar
- bahan baku arang
- daun nipah

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

- gula nipah
- pemberat shuttlechok
dan tutup botol

2. Hewan Darat
- Buaya
- Monyet
- Burung
3. Hewan Air
- Ikan
- Udang
- Kepiting
- Kerang
- Lainnya

4. Makanan dan Minuman


- Buah mangrove
- Pakan Ternak
5. Tumbuhan Obat

8) Untuk keperluan apa sajakah Anda memanfaatkan sumberdaya hutan mangrove


No Jenis Pemanfaatan Tujuan Pemanfaatan
Pemasaran
Dipakai Sendiri Dijual
1. Sumberdaya Kayu
- tiang / pancang
- kayu bakar
- bahan baku arang
- daun nipah
- gula nipah
- pemberat shuttlechok
dan tutup botol

2. Hewan Darat
- Buaya
- Monyet
- Burung
3. Hewan Air
- Ikan
- Udang
- Kepiting
- Kerang
- Lainnya

4. Makanan dan Minuman


- Buah mangrove
- Pakan Ternak
5. Tumbuhan Obat

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

9) Untuk pemanfaatan tambak silfovishery bandeng, udang dan kepiting, berapa


besarnya biaya dan pendapatan?
No Komponen Biaya Besarnya Biaya Satuan
1. Investasi
-.....................
-...................
2. Biaya Tetap:
-....................
-...................
3 Biaya Variabel:
-......................
-.....................
4 Pendapatan:
- Jumlah Produksi
- Harga

10) Untuk pemanfaatan arang berapa besarnya biaya dan pendapatan?


No Komponen Biaya Besarnya Biaya Satuan
1. Investasi
-.....................
-...................
2. Biaya Tetap:
-....................
-...................
3 Biaya Variabel:
-......................
-.....................
4 Pendapatan:
- Jumlah Produksi
- Harga

11) Selain dari tegakan mangrove, darimana Anda memenuhi kebutuhan kayu bakar ?
a. Pekarangan/kebun b. Hutan Tanaman Perhutani

12) Berapa kebutuhan kayu bakar untuk memasak per hari ?


………………….(m3/hari atau Kg/hari)

13) Berapa kebutuhan minyak tanah untuk memasak per hari ?


…………………..(Liter/hari atau Rp/hari)

14) Apakah di daerah pantai / sempadan sungai di sekitar tempat tinggal bapak atau di
sekitar hutan mangrove terjadi erosi atau abrasi ?
Kalau ada, kira-kira berapa panjangnya?

15) Apakah di lahan sawah atau kebun di sekitar hutan mangrove terjadi penurunan
produksi sawah atau kebun akibat masuknya air laut ke wilayah daratan?.
Kalau terjadi penurunan produksi, berapa banyak penurunan tersebut?

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

16) Apakah ada penurunan produksi akibat pemanfaatan mangrove dari waktu ke
waktu? Kenapa?

17) Selain manfaat sumberdaya tersebut manfaat lain apa yang Anda rasakan dengan
keberadaaan hutan mangrove yang ada?

18) Pertanyaan-pertanyaan tentang pemanfaatan wisata mangrove:


( I ) Responden Sebagai Penduduk Setempat
a). Apakah Anda melihat orang luar datang ke hutan mangrove sekitar tempat
tinggal
Anda, untuk melakukan kegiatan rekreasi alam atau lainnya:
a. Ya. b. Tidak. c. Tidak Tahu.

b). Jika Ya, kegiatan apa saja yang dilakukan orang tersebut yang Anda jumpai?
a. Menikmati suasana lingkungan hutan mangrove melalui jalur sungai
menggunakan perahu.
b. Mengamati tumbuhan hutan mangrove
c. Mengamati satwa liar
d. Mengamati kehidupan di kampung nelayan
e. Memancing
f. Penelitian
g. Memotret
h. Lain – lain...........

c). Berapa sering Anda melihat pengunjung datang?


a. Setiap hari. c. Setiap liburan panjang.
b. Setiap hari Sabtu-Minggu dan Libur. d. Tidak menentu

d). Apakah kegiatan pengunjung yang datang tersebut memberikan lapangan kerja
atau pendapatan Anda?
a. Ya. b. Tidak. c. Tidak Tahu

e). Jika pengunjung memberikan pendapatan kepada Anda, berapa nilainya (Rp)?

( II ) Responden Sebagai Pengunjung


a). Berapa sering Anda melihat pengunjung datang?
a. Setiap hari. c. Setiap liburan panjang.
b. Setiap hari Sabtu-Minggu dan Libur. d. Tidak menentu.
b). Berapa jauh jarak (km) tempat tinggal Anda dengan lokasi wisata?. Dari kota
mana anda datang?.

c). Sarana transportasi apa yang anda gunakan untuk menuju lokasi wisata?
a. Kendaraan Pribadi (mobil, motor).
b. Kendaraan Umum (Bis)
c. Lainnya.....

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

d). Anda datang ke lokasi wisata, sendirian atukah rombongan?


a. Sendirian. b. Rombongan.
e). Apabila Anda datang rombongan, berapa orang jumlahnya?
a. 2 orang. c. 4 orang. e. 6 orang
b. 3 orang. d. 5 orang. f. > 6 orang
f). Aktifitas apa saja yang anda lakukan selama berada di lokasi wisata?

g). Berapa biaya yang Anda habiskan selama menuju ke dan pulang dari lokasi
wisata:
Nilai Biaya Nilai Biaya
No Komponen Biaya No Komponen Biaya
(Rp) (Rp)
1. Tranportasi (pp) 6. Minuman
2. Tiket masuk 7. Souvenir/Oleh-oleh
3. Makan 8. Sewa perlengkapan
4. Jajanan/Snack 9. Biaya lainnya...
5. Pemandu Wisata

h). Menurut anda sudah cukupkan sarana dan prasarana yang terdapat di lokasi
wisata ini?, Kalau belum, sarana prasarana apa saja yang perlu ditambah?

i). Menurut Anda obyek apa yang membuat Anda menarik datang ke lokasi wisata
ini?.

j). Menurut Anda Objek apa saja yang perlu ditingkatkan atau ditambah untuk
menunjang pengembangan wisata?.

( II ) Sebagai Pemilik Usaha Warung / Toko, dan lain-lain


a). Jenis usaha apa yang anda jalani di lokasi wisata ini?
a. Rumah makan c. Toko e. Pemandu Wisata
b. Hotel/Penginapan d. Penjual Cinderamata f. Sewa-Menyewa
Perlengkapan

b). Berapa banyak rata-rata pengunjung wisata yang membeli / menyewa barang
atau
jasa di tempat usaha Anda (orang/hari atau orang/minggu).?

c). Berapa besar kontribusi pengunjung wisata terhadap omset penjualan pada
usaha
yang Anda jalani?.

D. Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Mangrove dan Manfaat Keberadaan


1. Menurut Anda bagaimana kondisi hutan mangrove saat ini ?
a. Semakin rusak b. Semakin baik c. Sama saja

Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove

2. Apa penyebab rusaknya hutan mangrove tersebut ?


a. Penebangan liar b. Dirubah menjadi tambak c. …….

3. Apa yang Anda harapkan dari tegakan hutan mangrove ini ?


…………

4. Apa fungsi hutan mangrove menurut Anda ?


………..

5. Apakah menurut Anda keberadaan hutan mangrove/non mangrove memberikan


manfaat bagi lingkungan sekitar?
a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu
Jika ya, sebutkan manfaatnya :
Hutan Mangrove: ……………………………………………………………….
Hutan Non Mangrove:……………………………………………………………….

6. Berdasarkan manfaat yang disebutkan tersebut, apakah Anda bersedia membayar agar
keberadaan hutan mangrove tetap tersedia seperti saat ini, meskipun Anda tidak akan
menggunakan secara langsung :
a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

Jika Ya, setiap hektarnya Anda bersedia membayar berapa ?


a. Untuk Hutan Mangrove : Rp………………../ha
b. Untuk Hutan Tanaman : Rp………………../ha
c. Untuk Hutan Alam : Rp………………../ha.

E. Pengembangan Usaha
1. Apakah ada sumberdaya alam lainnya (diluar hutan mangrove) yang bisa dimanfaatkan
oleh masyarakat?

2. Apakah selama ini Anda menggantungkan diri hanya pada sumberdaya mangrove?

3. Adakah keinginan Anda untuk meningkatkan pendapatan dari luar pemanfaatan


sumberdaya mangrove?

4. Jika ada kenapa tidak dilaksanakan?sebutkan kendala-kendalanya?

5. Dari kendala-kendala yang ada kira-kira bagaimana cara pemecahannya?

6. Apakah perlu kelembagaan khusus di masyarakat guna mendukung pemanfaatan


sumberdaya alam diluar mangrove?

Halaman Lampiran

Anda mungkin juga menyukai