Mangrove
2008
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Ringkasan Eksekutif
Ekosistem mangrove memiliki fungsi dan manfaat ekologi serta ekonomi sosial.
Pemanfaatan hutan mangrove sampai saat ini masih terfokus pada aspek ekonomi
saja dan kurang memperhatikan aspek ekologi. Kebijakan pemanfaatan hutan
mangrove perlu menerapkan prinsip sustainable forest management. Data dan
informasi dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove masih belum
tersedia secara lengkap dan sistematis, sehingga perlu penyiapan database
pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. Pada Tahun 2008 Direktorat Bina
Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Direktorat Jendera Rehabilitasi lahan dan
Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS) melakukan kegiatan penyiapan database
pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove.
Tujuan utama yang hendak dicapai dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah
tersusunnya data dan informasi yang terkait pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove yang ada di lapangan. Sedangkan ruang lingkup pekerjaan meliputi:
pemanfaatan Arang kayu dengan lokasi observasi di Batu Ampar-Kalbar; Manfaat
ekologi dengan lokasi observasi di Cilacap atau Sinjai; Tambak silvofishery
(bandeng, udang, kepiting, dan lain-lain) dengan lokasi observasi di Pemalang dan
atau Subang; serta Ekowisata dengan lokasi observasi di Denpasar-Bali. Keluaran
yang dihasilkan berupa dokumen laporan yang secara sistematis menyajikan
kondisi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove, baik berupa pemanfaatan
ekologi maupun ekonomi-sosial.
Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian manfaat ekosistem hutan
mangrove didekati dengan menggunakan konsep penilaian ekonomi total (total
economic valuation) dari produk barang dan jasa yang berguna (use value) dan
yang tidak berguna secara langsung (non use value). Pengumpulan data primer
dilakukan dengan uji petik guna mengecek langsung kondisi sumberdaya di lapang
(potensi) dan pemanfaatannya, mendokumentasikan (gambar/foto), mengidentifikasi
dan menginventarisir pemanfaatan SDHM. Metode yang digunakan berupa
pengamatan langsung, wawancara, dan diskusi dengan masyarakat, pelaku usaha,
dan unit manajemen. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui kompilasi
data/laporan/buku di instansi/pihak-pihak yang pernah atau sedang melakukan
kajian/penelitian di lokasi kajian.
Metode analisis yang digunakan mencakup analisis deskriptif, analisis valuatif,
analisis kelayakan pemanfaatan dan analisis strategi pengembangan usaha. Pada
Laporan Akhir
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Laporan Akhir
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
monodon), ikan kipper (Scatophagus argus), ikan lundu (Macrones gulio), ikan
kerong-kerong dan lain-lain.
Pemanfaatan sumberdaya mangrove Subang meliputi tambak tumpangsari, kayu
bakar, memancing, buah mangrove, dan lain-lain. Model tambak tumpangsari yang
banyak diterapkan di beberapa areal pertambakan di Kabupaten Subang khususnya
di Kecamatan Blanakan merupakan model empang parit tradisional dan model
empang terbuka. Pola tambak tumpangsari terdiri dari 4 pola yaitu pola 80:20, pola
70:30, pola 60:40, dengan pola tanpa hutan. Untuk memperoleh tanah garapan
masyarakat harus mengantongi izin dari Perum Perhutani sesuai dengan SK PHBM
Nomor 136. Pengelola atau petani penggarap tambak tumpangsari di wilayah lahan
khususnya Perum Perhutani terorganisir melalui wadah Kelompok Tani Hutan
(KTH).
Kawasan mangrove di Pemalang terdiri dari jenis-jenis Rhizophora mucronata,
Rhizophora apiculata, dan Avicennia sp. Jenis biota air antara lain yaitu peperek,
layang, belanak, manyung, kembung, julung-julung, teri, tembang, layur, tongkol,
peperek, bambangan, kakap, bawal hitam, tigawaja, cucut, pari, dan tenggir.
Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Kebupaten pemalang meliputi tambak
tumpangsari kepiting, kayu bakar, pakan ternak, buah mangrove dan lain-lain.
Desain tambak sylvofishery yang dikembangkan oleh kelompok tani tambak di
daerah tersebut memiliki perbandingan 10:90 (mangrove:tambak). Umumnya
mangrove yang ditanam berada pada daerah pinggiran tambak dengan jenis
kepiting lunak, udang dan bandeng.
Kelembagaan di tingkat pemerintah daerah Pemalang antara lain yaitu Pemerintah
Daerah diantaranya Bappeda, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Dinas
Kehutanan. Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Pertanian, LSM, kelompok tani,
kelompok petambak.
Kawasan hutan mangrove Cilacap khususnya Segara Anakan dijumpai 30 jenis
tumbuhan mangrove yang didominasi Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata,
dan Bruguiera gymnorrhiza. Jumlah fauna yang ada 45 jenis satwaliar yang terdiri
dari: 41 jenis burung (15 jenis termasuk dilindungi, 3 jenis merupakan burung
migran), dan 4 jenis mamalia serta 45 jenis ikan.
Pemanfaatan mangrove untuk jasa lingkungan di Cilacap meliputi: daerah perlindungan
pesisir, pelindung dari ancaman abrasi, angin laut, penyusupan air asin kearah
daratan, menjerap bahan pencemar, serta mempertahankan produktivitas pantai
dan laut. Kelembagaan pengelolaan berada di tangan Badan Pengelola Segara
Anakan yang terbagi dalam 3 (tiga) wilayah pengelolaan , yaitu Pemerintah Daerah,
Kehakiman dan wilayah pngelolaan Perhutani.
Peraturan perundangan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove baik untuk ekowisata, arang bakau, tambak tumpangsari maupun jasa
Laporan Akhir
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Laporan Akhir
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Laporan Akhir
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
I.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
I.2. Maksud Dan Tujuan ...................................................................................... 2
I.3. Ruang Lingkup ............................................................................................. 2
I.4. Keluaran ........................................................................................................ 3
ii
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
3.1.9. Kelembagaan Pengelolaan ................................................................ 33
3.1.10. Permasalahan .................................................................................... 34
iii
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
3.5.4. Kualitas Air dan Pasang Surut............................................................ 62
3.5.5. Kondisi Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove ................................... 63
3.5.6. Mekanisme Pemanfaatan ................................................................... 66
iv
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
5.1. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Ekowisata di
Tahura Ngurah Rai ...................................................................................... 94
5.2. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Bahan Baku
Arang ........................................................................................................... 97
5.3. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Sylvofishery
di Subang dan Pemalang ............................................................................ 98
5.4. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Jasa
Lingkungan .................................................................................................. 100
v
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
DAFTAR TABEL
vi
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Tabel 3.23. Parameter Kualitas Air di Kawasan Silvofishery Kabupaten
Pemalang .......................................................................................... 55
Tabel 3.24. Produksi dan Nilai Ekonomi Budidaya Penggemukan dan
Ppnangkapan Kepiting ............................................................................. 57
Tabel 3.25. Luasan tiap Tata Guna Lahan di Kawasan Segara Anakan,
Cilacap, Jawa Tengah .............................................................................. 60
Tabel 3.26. Komposisi jenis vegetasi mangrove di kawasan mangrove
Segara Anakan ......................................................................................... 61
Tabel 4.1. Nilai manfaat mangrove di Kawasan Tahura Ngurah Rai ........................ 72
Tabel 4.2. Nilai Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Batu Ampar .......................... 82
Tabel 4.3. Analisis Finansial usaha Arang Bakau di Batu Ampar ............................. 83
Tabel 4.4. Nilai Keberadaan Hutan Mangrove di Kecamatan Blanakan,
Subang Menurut Tingkat Pendidikan ....................................................... 88
Tabel 4.5. Nilai Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Kabupaten subang ................ 88
Tabel 4.6. Lokasi WISATA DI Sekitar KAWASAN Mangrove Segara
Anakan, Kabupaten Cilacap ..................................................................... 94
Tabel 4.7. Nilai Manfaat Ekonomi Mangrove Segara Anakan ................................... 97
vii
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Perbedaan Harga ........................................................................... 6
Gambar 2.2. Kategori Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove
(Dimodifikasi Pierce, 1992 dalam Munasinghe, 1993) ................... 7
Gambar 2.3. Kerangka Pendekatan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan
Sumberdaya Hutan Mangrove........................................................ 13
Gambar 3.1. Peta Lokasi Tahura Ngurah Rai, Bali ............................................. 22
Gambar 3.2. Kedudukan Kelembagaan UPTD dalam Pengelolaan Tahura Ngurah
Rai .................................................................................................. 33
Gambar 3.3. Peta Lokasi Mangrove Batu Ampar, Kalimantan Barat .................. 35
Gambar 3.4. Tahapan Proses Pembuatan Arang Bakau .................................... 41
Gambar 3.3. Beberapa Pola Tambak Tumpangsari dengan Vegetasi Mangrove 46
Gambar 3.4. Model Empang Parit Tradisional .................................................... 47
Gambar 3.5. Model Empang Terbuka ................................................................. 47
Gambar 3.4. Alat Penangkap Udang dan Udang Hasil Tangkapan .................... 50
Gambar 3.5. KUD Langgen Jaya serta Proses Pelelangan Hasil Tambak ......... 50
Gambar 3.6. Struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan Tambak Tumpangsari . 51
Gambar 3.7. Kelembagaan Pengelolan Tambak Tumpangsari di Kabupaten .... 51
Gambar 3.8. Peta Administrasi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah ..................... 52
Gambar 3.9. Kondisi mangrove yang berada pada areal budidaya tambak Desa
Mojo, Pemalang.............................................................................. 56
Gambar 3.11. Organisasi Kelembagaan Wilayah Pengelolaan Segara Anakan ... 67
viii
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
DAFTAR LAMPIRAN
ix
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
I. PENDAHULUAN
Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting bagi keseimbangan alam
dan penunjang kehidupan manusia, jika dikelompokkan dapat dibagi menjadi fungsi
ekologi dan ekonomi-sosial. Fungsi ekologi ekosistem mangrove sebagai: (i)
pelindung daratan dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang dan pengendali
intrusi air laut, (ii) habitat dari berbagai jenis fauna, (iii) tempat berlindung, mencari
makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan Crustaceae, (iv)
meningkatkan produktifitas perairan, (v) penyedia lahan melalui proses sedimentasi,
(vi) menstabilkan sedimen, (vii) menurunkan energi gelombang tsunami, (viii)
memelihara kualitas air dan udara serta (ix) sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomi-
sosial diantaranya berupa: (i) kayu (arang, kayu bakar, tiang, serpih kayu dan pulp),
(ii) hasil hutan non kayu (tanin, produk nipah, obat-obatan, madu, dan lain-lain), (iii)
perikanan tangkap dan budidaya, (iv) jasa kesehatan lingkungan serta (v) jasa
wisata.
Pemanfaatan hutan mangrove sampai saat ini masih terfokus pada aspek ekonomi
saja (produk kayu dan turunannya) dan kurang memperhatikan aspek ekologi. Hal
ini dalam jangka pendek akan sangat menguntungkan, namun dalam jangka
panjang keuntungan ekonomis yang diperoleh tidak sebanding dengan kerusakan
yang ditimbulkan. Kerusakan pada ekosistem mangrove berarti akan
menghilangkan berbagai peran pentingnya, baik dalam aspek ekologi maupun
ekonomi. Bila ekosistem mangrove tersebut rusak, maka biaya yang diperlukan
untuk merehabilitasinya sangat besar dan juga akan sangat sulit mengembalikan ke
kondisi semula. Dengan demikian diperlukan kebijakan pemerintah yang tepat
sehingga pemanfaatan yang hutan mangrove dilakukan dengan menerapkan prinsip
sustainable forest management.
Laporan Akhir 1
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Laporan Akhir 2
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
(3) Tambak silvofishery (bandeng, udang, kepiting, dan lain-lain) dengan lokasi
observasi di Pemalang dan atau Subang; serta
(4) Ekowisata dengan lokasi observasi di Denpasar-Bali.
1.4 Keluaran
Laporan Akhir 3
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang
tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi
istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa
pantai dengan reaksi tanah anaerob. Seperti halnya direkomendasikan oleh FAO
(1982), kata mangrove sebaiknya digunakan untuk individu jenis tumbuhan maupun
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut.
Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland,
vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove
oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa
Laporan Akhir 4
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk
sebutan hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau
hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun
dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Dengan demikian
penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari.
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang
unik, adalah jenis-jenisnya relatif sedikit, akar jangkar yang melengkung dan
menjulang pada Rhizophora spp., akar yang semrawut dan keras atau
pneumatofora pada marga Avicennia spp., dan Sonneratia spp. yang mencuat
vertikal seperti pensil, adaptasinya yang kuat terhadap lingkungan (biji/propagule
Rhizophora berkecambah di pohon/vivipar) serta banyaknya lentisel pada bagian
kulit pohon.
Latar belakang pemikiran para ahli di atas, terkait dengan jangkaun pemikiran
manusia yang umumnya bersifat jangka pendek (short-time thinking) terhadap
sumberdaya alam dan lingkungan apabila dikaitkan dengan ruang dan waktu. Jika
berhubungan langsung dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang mendesak,
maka produk barang dan jasa yang dihasilkan berkecenderungan hanya diukur
(valuation) apabila mempunyai nilai pasar secara langsung (salah satu kelemahan
kaum pengikut Adam Smith dengan mekanisme pasarnya) yang sering tidak
mencerminkan harga sebenarnya (real prices).
Laporan Akhir 5
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Harga Benefit/
S1 Cost MSC = MPC + Ext
Social Cost
P1 MPC
S0
P0
Q-Sosial Q-Swasta
Direct Use Value (DUV) terdiri dari yang ekstraktif dan non ekstraktif. Nilai guna
langsung ekstraktif adalah nilai ekonomi yang diberikan oleh sumberdaya alam dan
lingkungan kepada berbagai kegiatan ekonomi, seperti: pertanian, pertambangan,
kehutanan dan perikanan. Nilai guna langsung non ekstraktif adalah nilai ekonomi
sumberdaya alam yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan secara langsung,
misalnya kegiatan wisata alam di kawasan hutan.
Laporan Akhir 6
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Indirect Use Value (NUV) yakni nilai ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari
sumberdaya alam dan lingkungan secara tidak langsung, seperti manfaat ekologis
dari hutan sebagai pengatur tata air, iklim mikro dan pencegah erosi. Seringkali
NUV diabaikan karena tidak langsung dapat dirasakan sebagai manfaat ekonomi.
Nilai-nilai Nilai-nilai
Manfaat Tidak Dimanfaatkan
Nilai-nilai Nilai-nilai
Manfaat Langsung Manfaat Tidak Nilai-nilai Nilai-nilai Nilai-nilai
Langsung Pilihan Yang Diminta Kehidupan
∗ Fungsi-fungsi
∗ Makanan ekologi ∗ Keanekaragaman ∗ habitat ∗ habitat
∗ Biomassa ∗ Kontrol banjir hayati ∗ Perubahan- ∗ jenis-jenis
∗ Rekreasi ∗ Perlindungan ∗ Habitat-habitat yang perubahan yang yang terancam
∗ kesehatan dari badai dikonservasi tidak dapat
dirubah lagi
Non Use Value (NUV) merupakan nilai ekonomi yang diperoleh masyarakat dari
sumberdaya alam dan lingkungan, akan tetapi dengan pertimbangan tertentu tidak
dimanfaatkan secara langsung. Ada dua kategori utama nilai ini: (i) Existence Value
(XV), yakni nilai yang menyangkut kepercayaan masyarakat bahwa keberadaan
suatu kawasan konservasi dapat memberikan manfaat, misalnya untuk kepentingan
kebudayaan yang diwujudkan berupa hutan adat dan lubuk larangan dan (ii)
Bequest Value (BV), yakni manfaat yang diterima oleh masyarakat saat ini dengan
cara melindungi suatu kawasan tertentu sehingga generasi mendatang dapat
menikmati dan memanfaatkannya.
Nilai pilihan (option value = OV) adalah nilai pilihan masyarakat yang berupa
penundaan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada dengan
Laporan Akhir 7
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
alasan bahwa masih dibutuhkan teknologi masa depan untuk suatu pemanfaatan
yang bernilai lebih tinggi. Misalnya, pemanfaatan air terjun untuk penyediaan air
bersih dengan menggunakan teknologi gravitasi.
Laporan Akhir 8
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Beberapa hasil penelitian mengenai nilai manfaat ekonomi dari eksositem mangrove
secara keseluruhan (total ecosystem) yang dilakukan oleh Hamilton dan Snedaker
(1984) di Trinidad Tobago dan Puerto Rico, masing-masing sebesar US$ 500
/ha/tahun dan US$ 1550 /ha/tahun. Sementara untuk nilai dari ekosistem mangrove
yang sifatnya parsial dilakukan olleh Christensen, 1982 (manfaat ekonomi dari
ekosistem mangrove sebagai pengendali banjir di Malaysia sebesar US $ 1.701
/ha/tahun dan habitat untuk nursery di Thailand sebesar US $ 142.64 ha/thn), Green
Laporan Akhir 9
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Hutan mangrove dicirikan oleh adanya formasi hutan yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut dengan kondisi tanah yang anaerobik. Nontji (1987) dalam Dahuri
(1998) menyatakan bahwa komunitas mangrove di Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati tertinggi didunia dengan 89 spesies tumbuhan (35 spesies
pohon, 9 spesies perdu, 16 spesies liana, 29 spesies epifit, 80 spesies crustacea,
65 spesies moluska, dan 2 spesies parasitik.
Keberadaaan ekosistem mangrove sebagai habitat bagi larva dan juwana berbagai
jenis hewan pada eksositem laut dangkal, maka secara langsung memiliki
keterkaitan (linkages) dengan kualitas dan kuantitas sumberdaya ikan dan biota
lainnya. Dalam hubungan tersebut, hasil penelitian Martosubroto dan Naamin
(1977) memperlihatkan korelasi yang cukup berarti antara luas hutan mangrove
dengan produksi udang. Demikian pula dengan hasil penelitian Tahun 1991 dalam
Ruitenbeek (1995) menunjukkan bahwa manfaat tradisional hutan mangrove di teluk
Bintuni (perikanan, perburuan, dan pengumpulan produk) oleh penduduk setempat
bernilai US $ 10 juta per tahun.
Hasil penelitian di atas dapat membuat suatu premise bahwa ekosistem mangrove
bukan suatu “lahan yang tidak berguna” (waste land), tetapi merupakan ekosistem
yang produktif dengan karakteristik keanekaragaman flora dan fauna, memiliki
fungsi ekologis, dan fungsi sosial ekonomis dalam menunjang sistem kehidupan
dari beribu-beribu masyarakat di sekitar kawasan pesisir (perkiraan saat ini ± 60%
dari jumlah penduduk Indonesia tinggal di kawasan pesisir).
Laporan Akhir 10
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Mencermati manfaat yang dapat dihasilkan dari ekosistem mangrove, Camillle Bann
(1999) mencoba membaginya kedalam 3 domain, yaitu: (i) fungsi produksi yang
berkelanjutan, (ii) fungsi pengatur lingkungan, dan (iii) fungsi Informasi. Dalam
terminologi yang sifatnya holistik, ekosistem hutan mangrove juga memiliki
“keunikan” dan berfungsi secara sosial dan ekonomi. Klasifikasi manfaat dan fungsi
dari ekosistem mangrove dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Manfaat dan fungsi dari ekosistem mangrove sebagaimana diuraikan pada Tabel
2.1 dapat bertambah atau berkurang dalam suatu wilayah menurut tingkat
pemanfaatannya. Artinya, manfaat dari sumberdaya hutan mangrove hanya akan
dapat diketahui dan dirasakan kepentingannya apabila masyarakat mengetahui
fungsi dan manfaat tersebut secara langsung (ada ketergantungan).
Nilai ekonomi-sosial dan nilai ekologi SDHM sampai saat ini belum teridentifikasi
secara memadai, baik pada kawasan hutan maupun non kawasan hutan. Di lain
Laporan Akhir 11
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Gambaran nilai dan manfaat SDHM dapat diperoleh dengan melakukan analisis
terhadap penilaian ekonomi total. Data dan informasi hasil analisis ini sangat
berguna dalam mengatahui seberapa tinggi dan komponen SDHM yang mana
memberikan kontribusi pada nilai ekonomi total serta untuk mengetahui Nilai
ekonomi total langsung (Direct Value). nilai tidak langsung (Indirect value), nilai
manfaat pilihan (Option value) dan non use value SDHM pada suatu lokasi.
Selanjutnya hasil penilaian TEV dapat digunakan untuk melakukan analisis
kelayakan pemanfaatan bagi setiap jenis komoditas SDHM pada setiap lokasi yang
didasarkan atas: (i) kelayakan teknis pemanfaatan, (ii) kelayakan ekologis, (iii)
kelayakan ekonomi/finansial dan (iv) kelayakan sosial/kelembagaan. Keterpaduan
hasil analisis akan direkomendasikan sebagai hasil penilaian kelayakan
pemanfaatan komoditas sumberdaya hutan mangrove, yang selanjutnya disusun
strategi pengembangan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove secara
berkelanjutan.
Laporan Akhir 12
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Sumberdaya
Hutan PENGELOLAAN
Mangrove
Nilai Nilai
EKONOMI-SOSIAL EKOLOGI
INVENTARISASI
& IDENTIFIKASI
ANALISIS
ANALISIS Penilaian
Ekonomi
YA
Laporan Akhir 13
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
(2) Batu Ampar, Provinsi Kalimantan Barat, dengan fokus pada pemanfaatan arang;
(3) Subang (Jawa Barat) dan atau Pemalang (Jawa Tengah), dengan fokus pada
pemanfaatan tambak silvofishery (bandeng, udang, kepiting, dan lain-lain); serta
(4) Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, dengan fokus pada manfaat ekologi.
Jenis data untuk kepentingan analisis sesuai dengan kerangka pendekatan yang
telah diuraikan di atas, terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dan
sekunder ini memiliki keterkaitan antara yang satu dengan lainnya serta bersifat
saling melengkapi dan mendukung.
Pengumpulan data primer SDHM dilakukan dengan uji petik guna mengecek
langsung kondisi sumberdaya di lapang (potensi) dan pemanfaatannya,
mendokumentasikan (gambar/foto), mengidentifikasi dan menginventarisir
pemanfaatan SDHM. Metode yang digunakan berupa pengamatan langsung,
wawancara, dan diskusi dengan masyarakat, pelaku usaha, dan unit manajemen.
Wawancara dengan para pihak ini dilakukan untuk memperoleh data jenis, jumlah
yang dimanfaatkan, volume produksi, komponen biaya, harga, teknik pemanfaatan
dan pengolahan, pemasaran, serta permasalahan pemanfaatan. Pengumpulan data
sekunder dilakukan melalui kompilasi data/laporan/buku di instansi/pihak-pihak yang
pernah atau sedang melakukan kajian/penelitian di lokasi kajian. Sistematika jenis
dan metode pengumpulan data SDHM disajikan pada Tabel 2.2.
Laporan Akhir 14
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
2. Kuantifikasi sumberdaya
(a) luas dan status kawasan
(b) jumlah/volume sumberdaya
(c) jumlah pelaku usaha
(d) komponen biaya
(e) teknologi pemanfaatan
3. Data pendukung
(a) RTR dan TGHK
(b) aksesbilitas kawasan,
(c) kelembagaan dalam
pemanfaatan SDHM
(d) peranserta dan persepsi masyarakat
dalam pemanfaatan SDHM
(e) legalitas pemanfaatan, harga dan
pemasaran SDHM
B. Sekunder
Laporan Akhir 15
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
alam dan jasa lingkungan lainnya, proses produksi, pemasaran dan harga,
kelembagaan dan legalitas, efektifitas pengelolaan serta persepsi dan peran serta
masyarakat lokal). Beberapa perhitungan dilakukan dengan metoda statistik,
seperti: perhitungan potensi kayu, produksi arang, produksi biota air dan daya
dukung SDHM.
(1) Nilai penggunaan langsung (direct-use value = DUV) yang merupakan nilai
barang dan jasa SDHM yang digunakan langsung oleh manusia, seperti: kayu
komersial, arang, tiang pancang, kayu bakar, nipah, obat-obatan, kerang,
untuk konstruksi, tanaman obat-obatan, dan lain-lain;
(2) Nilai penggunaan tidak langsung (indirect-use value = IUV) merupakan manfaat
ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari SDHM secara tidak langsung,
seperti: manfaat ekologis sebagai pencegah abrasi, penahan intrusi, penahan
gelombang/rob, penahan angin/windsbreak, akresi/ penambahan lahan, penetral
toksik, penyerap karbon, dan lain-lain;
(3) Nilai penggunaan pilihan (option value = OV) diturunkan dari pilihan untuk
melakukan preservasi bagi penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan
lingkungan mangrove di masa yang akan datang yang tidak dapat digunakan
pada saat sekarang; serta
(4) Nilai bukan penggunaan (non-use value = NUV) berupa manfaat yang dapat
dinikmati manusia sehubungan dengan keberadaan sumberdaya alam dan
Laporan Akhir 16
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Dilakukan valuasi masing-masing fungsi dan manfaat dari berbagai jenis SDHM.
Valuasi dilakukan dengan berbagai teknik yang disesuaikan dengan
ketersediaan data dan bantuk manfaat sumberdaya bersangkutan.
Laporan Akhir 17
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Nilai penyerapan CO2 = Potensi serapan CO2 x harga CO2 (harga CO2 US$15/ton)
Berdasarkan pada hasil kuantifikasi manfaat dan biaya pada pemanfaatan SDHM
maupun yang potensial untuk dimanfaatkan, maka untuk mengetahui tingkat
kelayakan usaha pamanfaatan maupun potensi pemanfaatan dilakukan Analisis
Kelayakan Pemanfaatan, yang meliputi: (i) analisis finansial, (ii) analisis kelayakan
teknis, (iii) analisis kelayakan ekologi dan (iv) analisis kelayakan
sosial/kelembagaan.
a. Kelayakan Finansial
(i) Pengukuran sumberdaya (barang dan jasa) dalam bentuk nilai moneter,
yang merupakan ringkasan manfaat dan biaya berkenaan dengan skema
pengelolaan (pemanfaatan) yang dibuat;
(ii) Analisis finansial dalam upaya menentukan pilihan pemanfaatan yang paling
efisien, optimal dan memberi keuntungan maksimal;
(iii) Mempersiapkan rekomendasi kebijakan berkenaan dengan pemanfaatan
SDHM.
Laporan Akhir 18
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
(i) Net Present Value (NPV), adalah ukuran nilai sekarang dari arus pendapatan
yang ditimbulkan dari suatu kegiatan alih fungsi lahan. NPV dihitung dengan
terlebih dahulu mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat
dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya.
t=n Bt - Ct
NPV = ∑ ----------
t=1 ( 1+r ) t
Bt adalah benefit kegiatan alih fungsi lahan tiap tahun, Ct merupakan biaya
tiap tahun, r adalah suku bunga, t adalah tahun 1, 2,...,n dimana n jumlah
tahun. Kriteria formal yang digunakan, jika NPV positif, maka kegiatan
ekonomi layak dilakukan, sebaliknya jika NPV negatif, maka kegiatan
ekonomi tidak layak dilakukan.
(ii) Internal Rate of Return (IRR), merupakan ukuran tingkat bunga maksimum
yang dapat dibayar oleh kegiatan ekonomi untuk sumberdaya yang
digunakan karena kegiatan ekonomi membutuhkan dana lagi untuk biaya-
biaya operasi dan investasi dan kegiatan ekonomi baru sampai pada tingkat
pulang modal. IRR merupakan ukuran kemanfaatan kegiatan
ekonomi/proyek yang sangat berguna.
t=n Bt - Ct
IRR = ∑ ----------- = 0
t=1 ( 1+r )t
Kriteria formal yang digunakan, jika IRR = 0, berarti pada tingkat bunga
berlaku kegiatan ekonomi dapat mengembalikan kapital dan biaya operasi
yang dikeluarkan. IRR dalam analisis finansial menyatakan “tingkat
pengembalian finansial” kegiatan ekonomi.
(iii) Benefit Cost Ratio (B/C), merupakan ukuran kemanfaatan proyek yang
berdiskonto, dengan membandingkan nilai sekarang arus manfaat (B)
dengan nilai sekarang arus biaya (C).
Formula B/C adalah sebagai berikut:
t=n Bt
∑ --------
t=1 ( 1+r ) t
B/C = ----------------
t=n Ct
∑ --------
t=1 ( 1+r )t
Laporan Akhir 19
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Kriteria formal yang digunakan, jika nilai B/C>1, maka kegiatan ekonomi
dapat dilaksanakan karena akan memberikan keuntungan.
Pada analisis finansial, tingkat suku bunga atau tingkat diskonto yang digunakan
adalah tingkat suku bunga pinjaman nominal (nominal interest rate) yang
berlaku diperbankan. Sedangkan untuk analisis ekonomi digunakan tingkat suku
bunga riil (riel interest rate) dengan formula sebagai berikut:
1+ i
1+ i r = −1
1+ r = atau 1+ f
1+ f
r adalah suku bunga riil, i suku bunga nominal dan f tingkat inflasi.
Dalam analisis, seluruh manfaat dan biaya didiskontokan didasarkan atas suku
bunga periode tahun dimulainya investasi dan dikenakan sejak tahun pertama
kegiatan ekonomi alih fungsi lahan dilakukan.
b. Kelayakan Teknis
c. Kelayakan Ekologis
Laporan Akhir 20
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Kondisi sosial budaya masyarakat di lokasi kajian (didalam dan diluar hutan
mangrove) cukup bervariasi. Karakteristik sosial budaya yang dimiliki sangat
penting dipertimbangkan dalam menentukan kelayakan model pengembangan
ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan barang dan jasa. Kesiapan
masyarakat dalam mengadopsi teknologi dan informasi, serta kemampuan
ketrampilan masyarakat perlu ditelaah, agar model pengembangan ekonomi
masyarakat yang akan dituangkan dalam Rancangan Pengembangan Ekonomi
Masyarakat benar-benar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat lokal
di lokasi studi.
Kelanjutan hasil dari serangkaian kajian data, informasi dan analisis kelayakan
pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove (finansial/ekonomis, teknis, ekologis,
kelembagaan) adalah suatu “Rencana Pengembangan Pemanfaatan Sumberdaya
Hutan Mangrove”, yang berisi langkah-langkah pengembangan usaha sebagai
petunjuk teknis bagi pengelola hutan mangrove pada masing-masing lokasi
(Denpasar-Bali, Batu Ampar, Subang dan Pemalang serta Cilacap) yang
dimungkinkan replikasi pada pengelolaan hutan mangrove lainnya yang memiliki
kondisi sumberdaya hutan mangrove serupa. Strategi pengembangan disusun
menurut lokasi, jenis kegiatan, jenis komoditi, pelaku, pasar, pola kemitraan,
insentif, dalam periode tertentu dan dengan pembiayaan multipihak (pemerintah,
swasta, asing, masyarakat, dan sebagainya).
Laporan Akhir 21
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Secara keseluruhan Taman Huta Raya Ngurah Rai memiliki luas 1373,5 ha dengan
batas luar sepanjang 40,48 km. Letak geografis terletak antara 115o10’ – 115o15’BT
dan 8o41’ – 8o47’LS.
Desa-desa pantai yang mencakup wilayah kawasan Tahura Ngurah Rai terdiri dari
12 desa pantai pada 3 (tiga) Kecamatan, yaitu di Kabupaten Badung: Kecamatan
Kuta Selatan (Desa Benoa, Tanjung Benoa, Jimbaran), Kecamatan Kuta (Desa
Kedonganan, Tuban dan Kuta) dan di Kota Denpasar: Kecamatan Denpasar
Selatan (Desa Pamogan,
Pedungan, Sesetan,
Serangan, Sidakarya,
Sanur Kauh).
b. Penggunaan Lahan
Ngurah Rai dimanfaatkan untuk sawah seluas 719,09 hektar, tegal (huma) 2.173,6
hektar, pekarangan 4.226,09 hektar, perkebunan 1.079,12 hektar, kuburan 6,8
hektar dan penggunaan lainnya 1.859,3 hektar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 3.1.
Laporan Akhir 22
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Tabel 3.1. Penggunaan lahan di desa-desa pantai sekitar kawasan Tahura Ngurah
Rai Tahun 2007
Tegal/ Lain-
Luas Sawah Pekarangan Perkebu- Kuburan
No Kec Desa/ Kel Huma lain
(km2) (ha) (ha) nan (ha) (ha)
(ha) (ha)
A Kabupaten Badung
1. Kuta Selatan Benoa 28,28 721,77 1019,86 547,31 0,27 538,79
2. Kuta Selatan Tj. Benoa 2,39 107,46 84,75 40,76 0,03 6
3. Kuta Selatan Jimbaran 20,5 961,68 455,92 478,3 0,2 153,9
4. Kuta Kedonganan 1,91 52,69 132,03 0,75 5,53
5. Kuta Tuban 2,68 79,03 186,11 0,1 2,76
6. Kuta Kuta 7,82 10,09 99,97 617,42 0,2 54,32
B. Kota Denpasar
1. Denpasar Pemogan
9,71 225 20 448 1 1 267
Selatan
2. Densel Pedungan 7,49 240 11 377 5 1 115
3. Densel Sesetan 7,39 15 30 447 1 246
4. Densel Serangan 4,81 75 22 1 383
5. Densel Sidakarya 3,89 97 233 1 58
6. Densel Sanur Kauh 3,86 132 15 203 6 1 29
Jumlah 100,73 719,09 2.173,6 4.226,09 1.079,12 6,8 1.859,3
Sumber: BPS Kab Badung dan Kota Denpasar, 2007.
Pada Tahun 2007 penduduk di sekitar Tahura Ngurah Rai berjumlah 190.952 jiwa
dengan kepadatan rata-rata 2.597 jiwa/km2. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Jumlah penduduk dan kepadatan pada masing-masing desa pantai di
kawasan Tahura Ngurah Rai
2 Jumlah Kepadatan
No Kec. Desa/Kel Luas (km ) 2
Penduduk (jiwa) (jiwa/km )
A Kabupaten Badung
1. Kuta Selatan Benoa 28,28 19.298 682
2. Kuta Selatan Tj. Benoa 2,39 4.320 1.808
3. Kuta Selatan Jimbaran 20,5 22.112 1.079
4. Kuta Kedonganan 1,91 5.728 2.999
5. Kuta Tuban 2,68 13.393 4.999
6. Kuta Kuta 7,82 9.785 1.251
B Kota Denpasar
1. Denpasar Selatan Pemogan 9,71 28.088 2.893
2. Densel Pedungan 7,49 19.069 2.546
3. Densel Sesetan 7,39 39.018 5.280
4. Densel Serangan 4,81 2.897 602
5. Densel Sidakarya 3,89 15.014 3.860
6. Densel Sanur Kauh 3,86 12.230 3.168
Jumlah 100,73 190.952 2.597
Sumber: BPS Kab Badung dan Kota Denpasar, 2007
Dari Tabel 3.2. terlihat bahwa jumlah penduduk di sekitar Kawasan Tahura Ngurah
Rai cukup besar, terutama di Kelurahan Sesetan dan Pamogan (Kota Denbpasar)
serta Kelurahan Jimbaran (Kabupaten Badung). Adapun kepadatan penduduk
tertinggi terdapat di Kelurahan Sesetan, Tuban dan Desa Sidakarya.
Jumlah penduduk menurut agama di setiap desa yang berbatasan langsung dengan
Kawasan Tahura Ngura Rai dapat dilihat pada Tabel 3.3 yang menunjukkan
Laporan Akhir 23
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
mayoritas beragama Hindu (130.210 jiwa atau 68%). Jumlah penduduk beragama
lain berturut-turut: Islam (47.189 jiwa/ 25%), Kristen (4.579 jiwa/ 3%), Katholik
(4.928/ 3%) dan Budha (2.059 jiwa/ 1%).
Tabel 3.3. Jumlah penduduk menurut agama di desa-desa pantai Kawasan Tahura
Ngurah Rai
No Kec. Desa/Kel Hindu Budha Islam Katholik Kristen Jumlah
1 Kuta Selatan Benoa 17.509 232 1.158 399 19.298
2 Kuta Selatan Tj. Benoa 3.589 99 565 67 4.320
3 Kuta Selatan Jimbaran 20.230 16 1.435 322 109 22.112
4 Kuta Kedonganan 5.175 21 302 122 118 5.728
5 Kuta Tuban 7.005 72 5.025 617 677 13.398
6 Kuta Kuta 7.750 330 1.134 258 313 9.785
7 Denpasar Selatan Pemogan 13.686 43 13.140 586 633 28.088
8 Densel Pedungan 14.984 76 3.183 222 604 19.069
9 Densel Sesetan 21.643 612 12.868 1.445 2.450 39.018
10 Densel Serangan 2.389 494 14 2.897
11 Densel Sidakarya 7.737 550 4.584 737 1.406 15.014
12 Densel Sanur Kauh 8.513 8 3.301 139 269 12.230
Jumlah 130.210 2.059 47.189 4.928 6.579 190.957
Sumber: BPS Kab Badung dan Kota Denpasar, 2007
Jenis pekerjaan masyarakat di sekitar Kawasan Tahura Ngurah Rai bervariasi.
Pada umumnya masyarakat bekerja di sekotar jasa karena banyak peluang
berusaha dan bekerja di sektor luar pertanian, seperti jasa pariwisata, perkantoran,
industri kerajinan dan jasa kepelabuhan. Jenis pekerjaan masyarakat yang lain
diantaranya: petani, peternak, pedagang, PNS/TNI/ABRI, nelayan, dan lain-lain.
Dilihat dari kegiatan sosial budaya keagamaan/adat, beberapa lokasi pada kawasan
tahura terdapat pura, vihara, tempat ibadah, dan kuburan. Aktivitas kegiatan
keagamaan yang ada tergantung dari pemeluk agama yang berada di perbatasan
desa-desa pantai di sekitar hutan mangrove.
Tabel 3.4. Kondisi Sarana Kesehatan di sekitar kawasan Tahura Ngurah Rai
No Sarana Kesehatan Jumlah
Kec. Kuta Kec. Denpasar Selatan
1. Rumah sakit 2 n.a.
2. Puskesmas 2 3
3. Puskesmas Pembantu 3 10
4. Posyandu 45 14
5. Rumah Sakit Bersalin n.a 4
6 Praktek Dokter n.a. 39
Sumber: Badung dan Denpasar dalam Angka 2007
Laporan Akhir 24
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Di Kawasan Tahura ditemukan 46 jenis mangrove dari 27 famili yang mewakili jenis-
jenis mangrove yang ada di seluruh Pulau Jawa dan Bali. Jenis-jenis yang dominan
meliputi jenis bakau putih (Rhizophora apiculata), bakau (Rhizophora mucronata),
Api-api (Avicennia marina) dan Sonneratia alba. Jenis-jenis mangrove di kawasan
Tahura Ngurah Rai dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki keanekaragaman jenis satwa liar seperti
burung, reptilia dan amphibia, yang tinggi. Jumlah jenis burung yang ditemukan di
Tahura Ngurah Rai 66 jenis dari 27 famili. Komunitas burung di kawasan ini
didominasi oleh jenis-jenis burung air seperti: Pecuk padi belang, pecuk ular asia,
cangak abu, kuntul besar, kuntul perak, blekok sawah, kowak malam kelabu, belibis
batu, gajahan besar, trinil semak, kuntul perak, dan raja udang.
Selain burung, sering ditemukan juga jenis reptil, yaitu: biawak, kadal, ular bakau.
Biawak dengan ukuran tubuh cukup besar, tidak banyak ditangkap oleh masyarakat
dan tidak umum dimanfaatkan sebagai makanan, sehingga keberadaan satwa ini
cukup berlimpah. Ular cincin emas / Ceningkih hidup di dalam perairan payau hutan
mangrove, ditemukan cukup berlimpah, dengan warna gelap dan tidak berbisa.
Selain itu juga dijumpai jenis labi-labi atau bulus di kawasan mangrove yang
berbatasan dengan persawahan dan sungai-sungai kecil.
Laporan Akhir 25
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Permintaan wisata merupakan ekspresi dari keinginan dan harapan serta tingkat
kepuasan yang diperoleh sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk kunjungan
wisata pada suatu lokasi dan obyek wisata tertentu, yang dilandasi atas
pengetahuan dan pengalaman pribadi setiap pengunjung. Untuk mengetahui
permintaan wisata pada suatu lokasi rencana pengembangan wisata maka dapat
dilakukan dengan pendekatan studi permintaan.
Lokasi dan obyek wisata Tahura Ngurah Rai telah dikenal oleh masyarakat luas,
baik masyarakat setempat maupun dari luar Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar, bahkan oleh wisatawan mancanegara. Tabel 3.6 menunjukkan kondisi
pengunjung Tahura Ngurah Rai.
Tabel 3.6. Jumlah dan Asal Pengujung di Obyek Wisata Tahura Ngurah Rai, Bali
Tahun 2007
Asal Pengunjung Jumlah % total Asal Pengunjung Jumlah % total
A. Dalam Negeri B. Luar Negeri
1. Badung 756 13,45% 1. Amerika 11 0,20%
2. Bali (di Luar Badung
879 15,64% 2. Belanda 4 0,07%
dan Denpasar)
3. Banten 30 0,53% 3. ASEAN 100 1,78%
4. Aceh 50 0,89% 4. India 4 0,07%
5. Denpasar 2.309 41,07% 5. Italia 2 0,04%
6. Jakarta 153 2,72% 6. Jepang 174 3,09%
7. Jawa Barat 45 0,80% 7. Jerman 2 0,04%
8. Jawa Tengah 197 3,50% 8. Korea 30 0,53%
9. Jawa Timur 63 1,12% 9. Malasyia 8 0,14%
10. Jogja 708 12,59% 10. Myanmar 2 0,04%
11. Kalimantan tengah 1 0,02% 11. Spanyol 45 0,80%
12. Kalimantan Timur 9 0,16% 12. Swedia 1 0,02%
13. Sulawesi Tengah 2 0,04% 13. Swiss 2 0,04%
14. Sumatera Selatan 7 0,12% Jumlah Luar Negeri 385 6,85%
15. Sumbar 8 0,14%
16. Sumut 20 0,36% TOTAL 5.622 100,00%
Jumlah Dalam Negeri 5.237 93,15%
Sumber: Pengelola Tahura Ngurah Rai
Laporan Akhir 26
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Jumlah pengunjung obyek wisata Tahura Ngurah Rai dari tahun ke tahun semakin
berkurang, terutama wisatawan asing (Tabel 3.7). Hal ini setidaknya menunjukkan
bahwa minat wisatawan nusantara dan mancanegara terhadap sajian wisata di
Tahura Ngurah Rai masih belum menggembirakan. Pada tahun-tahun mendatang
diharapkan jumlah pengunjung Tahura Ngurah Rai Bali dapat meningkat melalui
berbagai inovasi sajian wisata dan pengembangan bentuk-bentuk promosi.
Tabel 3.7. Jumlah Pengunjung Tahunan Lokasi Wisata Tahura Ngurah Rai, Bali
tahun 2005-2008
Pengunjung
No Tahun Jumlah
Domestik Asing
1 2005 12.236 1.132 12.168
2 2006 6.722 605 7.327
3 2007 5.622 460 6.298
4 2008 (s.d. Okt) 6.228 479 6.707
Rata-rata Per tahun 7.702 669 8.125
Wisatawan yang berkunjung ke lokasi obyek wisata Ngurah Rai sebagian besar
tergolong pada kelompok masyarakat berusia muda (62,85%). Berdasarkan tingkat
pendidikannya maka wisatawan yang berkunjung ke lokasi wisata Tahura Ngurah
Rai sebagian berasal dari masyarakat dengan latar belakang pendidikan SLTA ke
atas (85,71%). Komposisi wisatawan berdasarkan klasifikasi umur dan latar
belakang pendidikan disajikan pada Tabel 3.8.
Konsumen yang memanfaatkan jasa wisata di lokasi Tahura Ngurah Rai Bali
sebagian besar (75,38%) tergolong pada masyarakat yang telah memiliki
pendapatan sendiri. Sisanya adalah kebanyakan berstatus sebagai mahasiswa dan
pelajar. Hal ini terkait dengan tujuan kunjungan ke lokasi wisata Tahura Ngurah Rai
yang lebih cenderung untuk wisata pendidikan, wisata penelitian dan pelatihan.
Laporan Akhir 27
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
e. Tujuan Wisata
Laporan Akhir 28
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Setiap lokasi dan obyek wisata memiliki daya tarik tersendiri yang dapat
menentukan pengunjung dan kunjungan wisatawan ke lokasi bersangkutan. Daya
tarik wisata dapat berupa panorama alam, fenomena / gejala alam, aktivitas sosial
budaya masyarakat, maupun atraksi – atraksi wisata lainnya. Berdasarkan pada
hasil pengamatan di lapangan, Tahura Ngurah Rai Bali memiliki daya tarik wisata
berupa: panorama keindahan alam berupa kondisi fisik kawasan Teluk Benoa,
keanekaragaman vegetasi mangrove, fauna darat, (burung, amphibi, reptil) dan
fauna perairan (ikan, moluska, krustasea).
Laporan Akhir 29
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki posisi yang sangat strategis. Untuk menuju
kawasan ini dengan menggunakan kendaraan darat hanya memerlukan waktu 5
menit dari Bandara Ngurah Rai Bali, 10 menit dari pusat kota Denpasar, dan 15
menit dari pusat kota Badung. Selain itu kawasan ini berada pada segitiga pusat
pariwisata Provinsi Bali yaitu Sanur, Kuta dan Nusa Dua. Oleh karena itu kawasan
ini memiliki masa depan yang baik untuk dikembangkan sebagai objek wisata alam
yang tetap mempertimbangkan kaidah konservasi.
Sarana dan prasarana di dalam kawasan ekowisata Tahura Ngurah Rai dapat
dilihat pada Tabel 3.11.
Tabel 3.11 Sarana prasarana Pendukung dan Wilayah Tahura Ngurah rai
No Sarana Prasarana Pendukung Sarana Prasarana Wilayah
1. ruang audio visual jalan aspal
2. shelter dan kopel air bersih
3. tempat duduk dan meja piknik listrik 24 jam
4. jalan setapak (trails) komunikasi dan informasi
5. play ground dan taman, bandara
6. ruang informasi hotel/penginapan/pondok wisata
7. jalan kayu (broadwalk restoran/rumah makan
8. restoran super / miniamarket / toko
9. kolam / lokasi pemancingan
10. danau buatan
11. sampan/perahu dayung
12. dermaga
Laporan Akhir 30
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Kondisi sarana jalan di sekitar kawasan ini juga cukup bagus, seperti di Kabupaten
Badung memiliki panjang jalan 41,2 km (jalan negara), 100,36 km (jalan provinsi)
dan 564,77 km (jalan kabupaten). Kondisi jalan termasuk dalam kategori baik
(375,58 km), sedang 108,31 km, dan rusak hanya 80,79 km (Kabupaten Badung
dalam Angka, 2008).
a. Perijinan
Kawasan Tahura Ngurah Rai Bali merupakan bagian dari Kawasan Pelestarian
Alam yang tujuan pengelolaanya sesuai dengan arahan yang diamanatkan dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, serta PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Ijin Pemanfatan kawasan Tahura Ngurah Rai, berdasarkan pada SK Menhut No.
544/Kpts/II/93 Tanggal 25 September mengenai Kawasan Taman Wisata Alam
Suwung RPH X seluas 1.373,5 ha diberi nama Tahura Ngurah Rai. Unit
pengelolaanya ada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi Bali dan Kanwil Kehutanan
Bali.
b. Pajak / Pungutan
Pungutan masuk kawasan wisata Tahura Ngurah Rai Bali, berlandaskan pada
Peraturan Gubernur Bali No. 21 Tahun 2005 tentang Tarif Tiket masuk kawasan
Tahura Ngurah Rai. Namun kegiatan pungutan baru terlaksana pada tahun 2006.
Besaran tarif tiket masuk kawasan wisata Tahura Ngurah Rai berdasarkan pada
Peraturan Gubernur Bali No. 21 Tahun 2005 bervariasi menurut jenis wisatawan
(pengunjung). Untuk wisatawan domestik dikenai tarif masuk sebesar Rp. 5.000,-
/orang, sedangkan untuk wisatawan asing dikenai tarif tiket masuk sebesar Rp.
50.000,-/orang. Namun khusus kalangan pelajar dan mahasiswa diberikan
dispensasi berupa potongan tarif tiket sebesar 50% dengan ketentuan administrasi
yang disyaratkan oleh pihak pengelola yaitu mengajukan surat permohonan
dispensasi.
Laporan Akhir 31
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
c. Badan Hukum
Pengelolaan lokasi wisata Tahura Ngurah Rai merupakan salah satu kegiatan dari
keseluruhan tujuan pengelolaan kawasan Tahura Ngurah Rai Bali. Pengelolaan
kawasan Tahura Ngurah Rai Bali berada di Unit Pelasana Teknis Daerah (UPTD)
Tahura Ngurah Rai yang di bawah Dinas Kehutanan Provinsi Bali baru terbentuk
pada Tanggal 8 Juli Tahun 208. Secara historis, dasar hukum pengelolaan Tahura
Ngurah Rai adalah sebagai berikut:
- SK Menhut No. 544/Kpts/II/93 Tanggal 25 September mengenai Kawasan
Taman Wisata Alam Suwung RPH X seluas 1.373,5 ha diberi nama Tahura
Ngurah Rai. Unit pengelolaanya ada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi
Bali dan Kanwil Kehutanan Bali.
- Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4/2004 tentang Retribusi Pembagian
Kekayaan Daerah.
- Peraturan Gubernur Bali No. 21 Tahun 2005 tentang Tarif Tiket masuk
kawasan Tahura Ngurah Rai, Bali.
- Perda No 2 Tahun 2008 tertanggal 8 Juli tahun 2008, tentang Struktur
Perangkat Pemerintah Daerah, dimana didalamnya terbentuk Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Tahura Ngurah Rai.
Beberapa kegiatan wisata di Tahura Ngurah Rai yang telah berjalan antara lain:
wisata pendidikan bagi pelajar atau mahasiswa (belajar membuat persemaian dan
menanam mangrove), wisata pengamatan vegetasi mangrove, pengamatan
panorama Teluk Benoa dan Pelabuhan Benoa, pengamatan satwa terutama
burung-burung, dan biawak, mengambil gambar vegetasi dan satwa (photo
hunting), memancing, dan menikmati udara segar.
3.1.8. Pemasaran
Selama ini pemasaran ekowisata Tahura Ngurah Rai belum maksimal. Kegiatan
promosi di tempat-tempat trategis belum banyak dilaksanakan, hanya terbatas di
instansi pemerintah dan sedikit di sekolah-sekolah. Promosi dilakukan dengan
metode penyebarluasan poster, leaflet / booklet, baliho, dan lain-lain.
Laporan Akhir 32
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Pengunjung yang datang ke wisata Tahura Ngurah Rai berdasarkan asalnya terdiri
dari dua kelompok yaitu pengunjung domestik (dalam negeri) dan pengunjung asing
(luar negeri). Kebanyakan pengunjung domestik berasal dari daerah sekitar Provinsi
Bali seperti Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Buleleng, Ginanyar, Karangasem,
Klungkung dan Tabanan. Pengunjung domestik di luar Bali banyak berasal dari
Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tegah, Jawa Barat, Yogyakarta, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan
NTB. Sedangkan pengunjung luar negeri banyak berasal dari Jepang, Australia,
Amerika, Jerman, Belanda, Italia, Korea, India, dan lain sebagainya.
INSTANSI INSTANSI
KEDINASAN KEDINASAN
TERKAIT TAHURA TERKAIT TAHURA
BUMN, BUMD,
(INVESTOR
PARIWISATA, JASA UPTD TAHURA
LINGKUNGAN,
KELOMPOK PENGELOLAAN TAHURA SATU MANAJEMEN
MASYARAKAT, DLL) Penerapan POAC: Tata Hutan, Pemanfaatan,
Rehabilitasi, Perlindungan / Konservasi
PUSAT INFORMASI MANGROVE
PUSAT PELAYANAN TAHURA NGURAH RAI
Adapun kedudukan organisasi unit KPH UPTD sebagai unit pengelolaan Tahura
Ngurah Rai berdasarkan pada Perda No 2 Tahun 2008 tertanggal 8 Juli tahun 2008.
UPTD ini merupakan pengembangan tugas dan fungsi dari institusi Dinas
Kehutanan Provinsi yang merupakan institusi pengelola Tahura Ngurah Rai.
3.1.10. Permasalahan
Luas total hutan mangrove sekitar 65.585 ha. Secara geografis hutan mangrove di
terletak di antara 0o45’ – 1o10’ Lintang Selatan dan 109o45’ Bujur Timur. Secara
administratif pemerintahan, kawasan mangrove terletak di Kecamatan , Kecamatan
Kubu dan Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan
Barat. Sedangkan secara administrasi kehutanan terletak di Unit Pelaksana Teknis
(UPT) , Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pontianak dan Dinas
Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan peta Penunjukan Kawasan
Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Barat, kawasan hutan mangrove yang
termasuk dalam wilayah UPT terdiri dari status hutan lindung, hutan produksi dan
hutan produksi konversi.
b. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di kawasan mangrove terdiri dari lahan pertanian (35.483 ha),
tambak (1.009 ha), perkebunan (kelapa hibrida 137,22 Ha, kelapa 19,41 ha, kopi
28,9 ha, sagu 19,8 ha, karet lokal 10,7 ha dan kelapa sawit 12.000 ha).
¾ Kependudukan
Jumlah penduduk tahun 2006 di tiga kecamatan yang berada pada kawasan
mangrove (Kec. , Kubu, dan Teluk Pakedai) sebanyak 82.435 jiwa, terdiri atas
42.597 jiwa laki-laki dan 39.838 jiwa perempuan. Luas ketiga Kecamatan tersebut
Laporan Akhir 34
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
sebesar 3.506,2 km2. Kepadatan rata-rata penduduk 23,5 jiwa / km2, dengan rata-
rata seks rasio sebesar 106. untuk lebih jelasnya jumlah penduduk dan seks ratio
penduduk secara rinci disajikan pada tabel berikut (Tabel 3.13).
¾ Pendidikan
Laporan Akhir 35
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
¾ Mata Pencaharian
¾ Agama
Informasi jumlah pemeluk agama dan sarana ibadah dilihat pada Tabel 3.15. berikut.
Laporan Akhir 36
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Berdasarkan hasil kajian LPP Mangrove (2006), jenis vegetasi yang ditemukan di
kawasan hutan mangrove sebanyak 50 jenis terdiri atas 23 jenis mangrove sejati, 8
jenis mangrove sekunder, dan 19 jenis ekoton. Jenis yang paling dominan
ditemukan di wilayah mangrove adalah jenis Rhizophora sp, Bruguiera spp, dan
Nypa fructicans.
Laporan Akhir 37
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
pohon induk atau sumber benih/propagule yang akan membantu dalam regenerasi
alami bekas tebangan.
b. Sistem Rumpang
Sedangkan yang dimaksud tebang rumpang adalah kegiatan penebangan yang
dilakukan secara mengelompok (± 0,5 ha) dengan sistem tebang habis. Lokasi
terpencar di beberapa tempat sesuai dengan daerah / lokasi masing-masing
kelompok penebang. Penebangan dilakukan pada jarak 10 – 50 meter dari tepi
sungai pasang surut, dengan kemampuan jarak penebangan ± 100 meter. Setelah
melakukan aktivitas penebangan, areal tersebut dibiarkan begitu saja tanpa
dilakukan kegiatan pembebasan, penanaman/pengayaan, dan pemeliharaan.
Mekanisme pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang oleh masyarakat yang
tergabung dalam Koperasi Panther belum mengacu pada sistem silvikultur yang
dianjurkan. Sedangkan mekanisme pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang oleh
pihak yang telah berbadan hukum yaitu swasta (PT. Bios dan PT. Kandelia) telah
mengikuti sistem silvikultur yang dianjurkan oleh pemerintah (Sistem Pohon Induk,
dimana dalam tiap hektar disisakan 40 batang pohon (diameter > 10 cm).
a. Perijinan
Instansi pemberi ijin adalah Dinas Kehutanan berupa IHHL, Deperindag berupa
SIUP, TDI, TDP dan SII, serta Pemda berupa SITU, KMB dan HO. Selain itu, namun
perlu mendengarkan masukan dari pihak-pihak terkait khususnya dari Bapedalda
Kabupaten Pontianak dalam menilai dan mengkaji dampak kegiatan tersebut.
b. Pungutan / pajak
Pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang memberikan kontribusi bagi pemerintah
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yaitu berupa PSDH (Pungutan
Sumber Daya Hutan), DR (Dana Reboisasi), dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).
Untuk anggota Koperasi Panther dikenakan iuran berupa uang pangkal sebesar Rp
30.000, dan iuran wajib Rp 1.000,-.
c. Badan hukum
Pihak yang memanfaatkan kayu mangrove untuk bahan baku arang telah memiliki
badan hukum yaitu peruahaan swasta (PT. Bios dan PT. Kandelia) dan Koperasi
Panther. Koperasi Panther sendiri didirikan bedasarkan pada SK No.
Laporan Akhir 38
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Jumlah dapur arang di sekitar 253 buah, yang dikelola masyarakat yang
tergabung dalam wadah Koperasi Panter. Luas hutan yang dialokasikan untuk
mendukung kebutuhan bahan baku sekitar 6,000 ha yang terletak pada hutan
mangrove dengan status APL dan Hutan Produksi.
Produksi arang seluruh dapur arang milik masyarakat (253 buah) sekitar 2031
ton/tahun, dengan jumlah produksi 4 – 6 kali bakar/tahun. Apabila rendemen
arang 20 %, maka kebutuhan bahan baku 10,155 ton/tahun atau sekitar 10,155
m3 kayu mangrove/tahun. Diperkirakan diperlukan luas hutan mangrove 60
ha/tahun (potensi kayu 180 m3/ha) untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan
baku industri arang masyarakat.
Luas kawasan hutan adalah 10,000 ha, dengan status hutan produksi terbatas
dan hutan produksi tetap. Jatah tebangan tahunan sekitar 300 ha/tahun.
Produksi kayu sekitar 54,000 m3/ha/tahun untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku industri arang putih di Bun Bun () dan sisanya dikirim ke Selat Panjang
(Pulau Rangsang) di Kabupaten Bengkalis – Propinsi Riau. Produksi arang putih
dikirim ke Jepang (ekspor). Ukuran dapur arang putih 800 – 900 kg arang/dapur,
dan kebutuhan bahan baku 3-4 m3/dapur (rendemen 24%), dengan kemampuan
bakar 1 kali/bulan.
b. PT Kandelia
Luas hutan mangrove yang dialokasikan untuk konsesi PT. Kandelia sekitar
16,254 ha, dengan system silvikultur pohon induk. Produksi kayu diperkirakan
sebesar 59,400 m3/tahun untuk bahan baku Industri Chip (bahan baku kertas)
yang diekspor ke Taiwan dan Jepang.
Laporan Akhir 39
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
berupa tiang dari kayu bakau, dan tanah liat tanpa menggunakan semen. Bahan
baku diperoleh dari daerah sekitar .
Jenis kayu mangrove untuk bahan baku pembuatan arang adalah jenis
Rhizophora spp. Bahan baku diperoleh dari masyarakat yang khusus
mengambil kayu mangrove dari dalam hutan. Sebagian lagi pemilik usaha arang
juga merangkap sebagai pengambil kayu mangrove dari hutan. Kayu mangrove
yang dijadikan sebagai bahan baku memiliki ukuran diameter batang 10-20 cm.
Batang pohon yang telah ditebang dipotong-potong dalam ukuran 1,7 meter.
Proses pembakaran terdiri atas proses api besar, api kecil dan pendinginan.
Proses api besar dilakukan pada 2 - 3 minggu pertama proses pembakaran dan
api kecil dilakukan pada 2-3 minggu setelah api besar. Selama kegiatan
pembakaran api besar dan api kecil, panas yang dihasilkan harus konstan untuk
menjaga kualitas arang yang dihasilkan. Setelah asap proses pembakaran mulai
tidak nampak dan bau asap dari tunggu sudang cukup menyengat dilakukan
proses pendinginan. Proses pendinginan dilakukan selama 2 minggu. Kegiatan
pendinginan dilakukan dengan cara nenutup seluruh lubang asap tunggu dan
mematikan api pembakaran.
(6) pengemasan
Laporan Akhir 40
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
memuat satu kilogram arang. Setelah dilakukan pengemasan, arang siap untuk
dipasarkan.
Kualitas arang diklasifikasikan menjadi 5 kelas yaitu dari yang terbaik sampai
terendah berturut-turut: arang kualitas A, B, C, arang cataw dan debu arang.
Arang cataw adalah arang yang hancur tidak beraturan dan yang belum masak
benar. Harga arang juga bervariasi berdasarkan kualitasnya yaitu untuk: kualitas
A Rp1500,-/Kg, kualitas B Rp 1.250,/Kg, kualitas C Rp1.250,-/Kg, arang cataw
Rp1.000,- /Kg dan debu arang Rp 300,/Kg.
Laporan Akhir 41
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
3.2.9. Permasalahan
Permasalahan yan dihadapi terkait dengan pemanfatan sumberdaya mangrove
untuk bahan baku arang yaitu:
a. Kebutuhan kayu untuk bahan bangunan semakin tinggi yang dipenuhi dari
kayu-kayu bakau di wilayah kerja panglong arang. Hal ini jika dibiarkan
menyebabkan semakin menipisnya stok bahan baku kayu.
b. Kurang berkembangnya usaha arang bakau akibat keterbatasan modal
usaha, padahal pasar arang bakau cukup menjanjikan.
c. Terjadinya penurunan potensi kayu mangrove akibat pengambilan kayu
bakau yang melebihi daya dukung lingkungan.
d. Pemahaman masyarakat terutama generasi muda terhadap ekosistem
mangrove masih kurang.
e. Pendapatan nelayan berkurang akibat menurunnya kualitas lingkungan
mangrove.
Luas wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Subang 333,57 km2 atau 16 % dari total
luas kabupaten. Sedangkan luas Desa Blanakan 980,463 ha dan Desa Langensari
786,90 ha. Wilayah pantai utara Kabupaten Subang memiliki topografi relatif datar
dengan ketinggian antara 0-25 meter di atas permukaan laut, jenis tanah pada
umumnya Aluvial (berpasir) dengan pH 4-5,5, suhu rata-rata 26° C dengan
kelembapan 57 – 66%. Curah hujan menurut Klasifikasi Schimidt dan Fergusson
(1951) termasuk tipe D.
Hutan mangrove yang terdapat di Kabupaten Subang merupakan hutan mangrove binaan.
Hutan mangrove di kawasan pantai Subang bagian utara berada dibawah otoritas
pengelolaan Perum Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan. Secara lebih rinci mengenai
Laporan Akhir 42
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
luas hutan mangrove di Kabupaten Subang dapat dilihat pada table di bawah ini (Tabel
3.16).
Tabel 3.16. Luas mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten Subang Tahun 2007
Luas Area Mangrove (Ha)
No. Kecamatan Desa
Swadaya Bantuan Jumlah
Diluar Kawasan Hutan
1 Pusakanagara -Patimban 450 575 1.025
2 Pamanukan -Anggasari 65 0 65
3 Legonkulon -Tegalurung 275 175 450
4 Blanakan -Langensari 50 200 250
-Muara 50 100 150
-Blanakan 50 100 150
Jumlah 940 1.150 2.090
Di Dalam Kawasan
Pantai Blanakan – Legonkulon 7.040
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Subang, 2007
Areal mangrove di Desa Langensari dan Desa Ciasem termasuk ke dalam RPH
Muara Ciasem, dibawah pengelolaan LMDH W.B. Lestari Desa Langensari dengan
luas 16,40 Ha serta 71 penggarap dan LMDH W.B Lestari dengan Luas 349.75 Ha
dengan 153 penggarap. Data luasan garapan (lahan andil) di BKPH Ciasem-
Pemanukan, KPH Puswakarta disajikan pada tabel berikut (Tabel 3.17).
b. Penggunaan Lahan
Lahan yang ada di wilayah pantura mempunyai jenis dan bentuk yang bervariasi
sesuai peruntukannya antara lain lahan sawah, tegalan dan lahan kritis pantai yang
terbuka seperti tanah timbul dan empang. Pembagian penggunaan lahan di Desa
Blanakan dan Langensari tahun 2006 dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel
3.18).
Tabel 3.18. Rincian penggunaan lahan Desa Blanakan dan Desa Langensari
Jenis penggunaan Lahan Desa Langensari Desa Blanakan
Pemukiman (ha) 40 156,329
Persawahan (ha) 402 568,493
Perkantoran (ha) 0,5 3,564
Prasarana lain (ha) 184,910 100,273
Hutan mangrove (ha) 160 151,804
Total 786,90 980,463
Sumber : Data dasar profil desa/kelurahan di Kecamatan Blanakan (2006).
Laporan Akhir 43
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Dari Tabel diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% lahan di Desa Blanakan dan
Langensari digunakan untuk persawahan. Sedangkan, penggunaan lahan untuk
wilayah mangrove sebesar 20%.
Jumlah total penduduk desa Blanakan adalah 10.532 orang, dengan jumlah laki-laki
4.992 orang dan perempuan berjumlah 5.540 orang. Jumlah kepala keluarga
seluruhnya adalah 2.781 KK dan jumlah perempuan kepala keluarga adalah 263
KK. Sedangkan jumlah total penduduk desa Langensari sebesar 3387 orang,
dengan rincian laki-laki sebanyak 1717 orang, perempuan 1670 orang. Jumlah
kepala keluarga 1083 orang.
¾ Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk Desa Blanakan dan Langensari sebagian besar adalah
buruh atau petani di sektor pertanian tanaman pangan dan perikanan (Data dasar
profil desa/kelurahan di Kecamatan Blanakan, 2006). Keadaan ini salah satu
penyebabnya adalah rendahnya tingkat pendidikan penduduk di desa tersebut.
¾ Pendidikan
¾ Agama
Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Blanakan adalah agama Islam (10.532
orang), yang terdiri dari 4 etnis yaitu etnis Jawa (7.591 orang), Sunda (2.927 orang),
Padang (5 orang) dan Madura (9 orang). Begitu juga di Desa Langensari, seluruh
masyaraktnya beragama Islam (3387 orang) dan terdiri dari etnis Sunda (3321
orang), Jawa (66 orang), Aceh (7 orang), Batak (1 orang), dan Melayu (1 orang).
a. Flora
Laporan Akhir 44
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
b. Fauna
Fauna yang banya terdapat di areal hutan mangrove Subang diantaranya adalah
udang api-api (Metapenaeus monoceros), udang peci (Penaeus merguiensis), dan
udang windu (Penaeus monodon), ikan kipper (Scatophagus argus), ikan lundu
(Macrones gulio), ikan kerong-kerong (Therapon jarbua), ikan belanak (Mugil
dussumieri), ikan mujair (Oreochormis mossambicus), ikan boso (Glossogobius
giuris), ikan belut tambak (Synbranchus bengalensis), kerang hijau (Perna viridis),
kepiting bakau (Scylla serrata), wideng (Uca sp.), benur (Penaeus dan
Metapenaeus), dan nener (Chanos chanos Forsk).
a. Kualitas Air
Parameter kualitas air merupakan persyaratan baku mutu bagi kehidupan biota laut
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dara kualitas air di areal silvofishery di
Subang disajikan pada tabel berikut.
Laporan Akhir 45
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Tipe pasut di wilayah pantai Jawa Barat bagian utara termasuk Pantai Utara
Subang merupakan kategori campuran mengarah ke semidiurnal. Kisaran
maksimum tinggi pasang dan surut terbesar adalah 1 meter dan kisaran tinggi
pasang dan surut kedua adalah 0,5 - 0,7 meter (Dishidros-TNI AL, 2000). Di
Kabupaten Subang, menurut kajian Atmadipoera (2002), jenis pasut di lokasi ini
memiliki nilai formzal F = (19.3+11.4)/(10.5+7.7) = 1.69, berarti tipe pasut campuran
yang condong ke harian tunggal dengan tunggang pasut adalah 61.4 cm. Hal ini
berarti dalam satu hari kadang-kadang terdapat hanya satu kali pasang dan satu
kali surut, tetapi juga kadang terdapat dua kali pasang dan dua kali surut (Bappeda
Provinsi Jawa Barat, 2007).
Laporan Akhir 46
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Gambar 3.3. Beberapa Pola Tambak Tumpang Sari dengan vegetasi Mangrove
a
b Keterangan :
a = saluran air
b = tanggul
c = pintu air
(2 pintu
X X masuk, 1 pintu
keluar)
X =Areal Bakau
b a
X Keterangan :
a=saluran air
c d b=pintu air
c=pelataran
tambak
d=tangggul
c c
x=tanaman bakau
Pola tambak tumpangsari di Kecamatan Blanakan terdiri dari 4 pola yaitu pola
80:20, pola 70:30, pola 60:40, dengan pola tanpa hutan. Berdasarkan wawancara
Laporan Akhir 47
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
dengan responden, tambak yang lokasinya dekat dengan laut mempunyai pola
80:20. Pola tambak 80:20 mempunyai arti 80% areal mangrove dan 20 % empang
parit dengan lebar parit 3 meter. Tambak yang berlokasi di bagian tengah biasanya
memiliki pola 70:30 dengan lebar parit 4 meter, sedangkan tambak yang berlokasi
jauh dari laut memiliki pola 60:40 dengan lebar parit 5 meter serta terdapat tambak
dengan pola tanpa hutan (Gambar 3.5).
a. Perijinan
Kewajiban bagi pengelola tambak antara lain untuk menjaga kelestarian hutan serta
sanksi bagi pengelola tambak mengingkari kewajibannya. Berdasarkan hasil
wawancara dengan petani di daerah Blanakan, Subang, ketentuan yang harus
dipenuhi oleh pengelola tambak antara lain menjaga perbandingan hutan dan
tambak sebesar 80% hutan dan 20% kolam. Jika perbandingan hutan dan tambak
50-80% : 20-50%, pengelola tambak diberi peringatan dan jika perbandingan antara
hutan dan tambak mencapai 50% : 50% ijin pengelolaan dicabut.
Selain mendapatkan ijin garapan dari perhutan, juga harus mendapatkan ijin
garapan dari kepala desa serta Ketua LMDH atau juga membeli lahan kaplingan
yang telah memiliki ijin garapan yang selanjutnya dilakukan pematokan lahan
b. Pajak/Pungutan
Laporan Akhir 48
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
a. Penyiapan Lahan
Dalam proses penyiapan lahan, setelah calon lokasi tambak disiapkan dilakukan
pemancangan tanda batas. Setelah itu dilakukan pembuatan jalur tambak, pembersihan
lahan dari sampah, ranting, pohon, dan potongan kayu serta tumbuhan liar.
b. Pengadaan Bibit
Pengadaan bibit untuk budidaya ikan bandeng dan udang windu dilaksanakan
secara swakelola oleh kelompok tani. Beberapa penggarap memperoleh bibit udang
dari alam. Bibit udang dari alam bersifat musiman, jumlahnya tidak menentu, serta
ukurannya beragam.
Budidaya bandeng dan udang windu dilakukan 2 kali panen dalam satu tahun.
Penebaran nener (benih bandeng) dilakukan setelah berumur 2 bulan. Panen
dilkukan setalah bulan ke-5 atau ke-6. Hasil dari budidaya ini untuk masing-masing
pola tambak berbeda-beda, hal ini disebabkan karena sistem budidaya yang
dilakukan petani tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Blanakan
masih bersifat konvensional. Hampir semua komponen budidaya masih tergantung
pada keadaan alam, tidak ada penambahan pakan, tidak ada perlakuan
pengendalian hama penyakit dan faktor budidaya menunjang lainnya. Petani pada
umumnya hanya menerapkan tahapan budidaya yang sederhana antara lain :
perbaikan tambak, pemupukan, penebaran benih bandeng dan dilanjutkan dengan
penebaran benih udang windu.
Pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit yang dilakukan oleh petani
tambak masih sepenuhnya tergantung pada kondisi alam, sehingga udang peci dan
ikan mujaer yang masuk ke dalam tambak perkembangannya sangat tergantung
pada ketersediaan pakan dalam tambak, kualitas air dalam tambak serta
perlindungan dari hama penyakit yang kemungkinan mengganggu bahkan merusak
perkembangan udang peci dan mujaer tersebut.
d. Pengawasan
e. Pemanenan
Hasil tangkapan dengan cara memasang bubu pada pintu air yang menghubungkan
antara saluran air utama dengan tambak. Pada saat air pasang, air membawa
benur udang api-api, udang putih, ikan mujaer serta jenis ikan lain masuk ke dalam
tambak. Benih-benih ikan dan udang tersebut berkembang di dalam tambak. Pada
saat air laut surut udang atau jenis ikan yang ada di dalam tambak berusaha keluar
Laporan Akhir 49
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
dan terperangkap dalam bubu. Setelah itu dilakukan pengambilan ikan atau udang,
dimana petani melakukan seleksi. Ikan atau udang yang tidak layak atau belum
layak untuk dipanen dikembalikan ke tambak (Gambar 3.4).
Gambar 3.4. Alat penangkap udang dan hasilnya Udang Hasil Tangkapan
Komoditas utama budidaya tambak Silvofishery berupa ikan banding dan udang
windu. Produksi tambak per hektar untuk udang windu pada saat panen lebih
kurang 100-200 Kg/ha/tahun. Sedangkan produksi ikan bandeng sebanyak 300-500
kg/ha/tahun. Hasil tangkapan udang harian (udang peci) rata-rata sebanyak 0.6
Kg/ha. Hasil produksi tersebut dijual ke bakul atau dilelang di KUD yang selanjutnya
dari KUD dipasarkan ke pasar lokal maupun keluar kota seperti Jakarta (Gambar
3.5).
Gambar 3.5. KUD Langgen Jaya serta Proses Pelelangan Hasil Tambak
Laporan Akhir 50
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
KOODINATOR KTH
tingkat BKPH
Forum
Wedana / Camat Koordinator KTH ASPER Koordinasi Tk
Instansi Terkait Tk. BKPH
Desa (KTD)
ANGGOTA
Keterangan:
: Pembinaan
: Koordinasi
3.3.9. Permasalahan
Permasalahan yang ada dan timbul dalam budidaya tambak silvofishery antara lain :
Laporan Akhir 52
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
b. Hutan Mangrove
Tabel 3.20. Luasan Mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten Pemalang Tahun 2005
LUAS MANGROVE (Ha)
No. KECAMATAN/DESA
2004 2005
1. Ulujami
- Limbangan 75 65
- Mojo 150 90
- Tasikrejo 15 20
- Pesantren 150 65
- Kaliprahu 15 20
- Kertosari 15 20
- Blendung 20 20
- Ketapang 20 25
2 Petarukan
- Kendalrejo 20 25
3 Pemalang
- Lawangrejo 20 -
- Sugihwaras - -
Jumlah Total 500 350
Sumber : Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pemalang
Tabel 3.21. Luas Tambak dan dan Luas Mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten
Pemalang
Kecamatan Desa Luas Tambak (Ha) Luas Mangrove (Ha)
Pemalang Lawang rejo 30 25
Widuri 2 -
Taman Asemdoyong 62 40
Petarukan Nyamplungsari 10 40
Klareyan 10
Kendalrejo 10 25
Ulujami Mojo 327.22 175
Limbangan 246 50
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pemalang
b. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kecamatan Ulujami terdiri dari dua jenis yaitu lahan sawah
dan lahan bukan sawah. Secara lebih rinci mengenai penggunaan lahan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Laporan Akhir 53
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
¾ Kependudukan
Kecamatan Ulujami pada tahun 2006 memiliki penduduk sebanyak 105.898 yang
terdiri dari 51.110 jiwa penduduk laki-laki dan 54.788 jiwa penduduk perempuan
dengan kepadatan 1748 jiwa/km².
¾ Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk Kecamatan Ulujami terdiri dari 4 jenis pekerjaan yaitu
petani, buruh tani, nelayan, serta buruh industri. Masyarakat yang bermata
pencaharian sebagai petani sebanyak 12.539 orang, buruh tani sebanyak 19.711
orang, nelayan sebanyak 3.028 orang, dan buruh industri sebanyak 2.059 orang
(Kabupaten Pemalang Dalam Angka, 2006).
a. Flora
Jenis mangrove yang terdapat di kawasan pesisir Kabupaten Pemalang antara lain
yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, dan Avicennia sp.
b. Fauna
Jenis biota air yaitu ikan yang terdapat di kawasan mangrove Kabupaten Pemalang
antara lain yaitu peperek, layang, belanak, manyung, kembung, julung-julung, teri,
Laporan Akhir 54
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
tembang, layur, tongkol, peperek, bambangan, kakap, bawal hitam, tigawaja, cucut, pari,
dan tenggiri. Untuk jenis komoditas unggulan tambak sylvofishery yaitu kepiting bakau.
Laporan Akhir 55
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Gambar 3.9. Kondisi mangrove yang berada pada areal budidaya tambak Desa
Mojo, Pemalang
Berdasarkan temuan di lapangan, tanda bukti kepemilikan atas tambak atau persil
tertentu, meliputi: (1) sertifikat; (2) surat keterangan izin membuka tambak dari
camat dengan rekomendasi dari kepala desa/kampung; (3) Pendaftaran Pajak (P2)
atau surat rinci; (4) penguasaan tanah tanpa dokumen surat-surat.
Laporan Akhir 56
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
mangrove secara fisik dan nyata terjadi pada saat pembukaan lahan karena
mangrove ditebang habis. Hutan mangrove dibabat dan dibakar atau dikeruk
dengan menggunakan alat-alat berat.
b. Pengadaan Bibit
Selama ini kebutuhan konsumen akan kepiting bakau sebagian besar masih
dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang sifatnya fluktuatif.
d. Pemanenan
Proses pemanenan dilakukan setelah masa pemeliharaan 15-20 hari. Pada saat
kepiting berukuran 3-4 Kg/ekor. Panen dilakukan dnegan menggunakan caduk
(serokan dari jaring) setelah keramba diangkat dari empang. Satu per satu kepiting
yang baru dipanen diikat kaki dan capitnya, kemudian ditempatkan secara teratur
kedalam keranjang.
Kepiting produk yang dihasilkan dari tambak sylvofishery yang dipasarkan dalam
bentuk segar tidak dalam bentuk olahan. Secara lebih rinci produksi kepiting Di
Kabupaten Pemalang dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 3.24).
Tabe 3.24. Produksi dan Nilai Ekonomi Budidaya Penggemukan dan Ppnangkapan
Kepiting.
Jenis Kepiting (penggemukan) Jenis Kepiting Tangkap
Produksi Nilai (Rp.) Rata-rata Produksi Nilai (Rp.) Rata-rata
Tahun
(kg) Produksi/bln (Kg) produksi/bln
(kg) (kg)
2005 183.695 5.434.218.500 15.307,91 633 10.768.000 52.75
Laporan Akhir 57
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Untuk kegiatan pemasaran, pada umumnya hanya sekitar lokal dan antar daerah
saja serta dipasok ke perusahaan perusahaan perikanan yang terdapat di
Kabupaten Pemalang maupun di daerah lain seperti Jakarta.
3.4.8. Kelembagaan
Kelembagaan di tingkat pemerintah daerah yang mengelola pemanfaatan
sumberdaya hutan mangrove di Kabupaten Pemalang antara lain yaitu Pemerintah
Daerah diantaranya Bappeda, Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dinas
Kehutanan. Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Pertanian, dan LSM. Sedangkan
kelembagaan di tingkat lokal antara lain kelompok tani, kelompok petambak, salah
satu contohnya yaitu kelompok tani Adil Makmur.
Laporan Akhir 58
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
10.000,- per buah. Untuk setiap hektar dengan kapasitas optimum 10.000 ekor
maka kebutuhan biaya untuk keranjang mencapai 100 juta rupiah. Selama ini
belum ada lembaga keuangan yang mau menjamin permodalan petani
tambak. Sistem permodalan yang ada di kalangan petani tambak sebagian
besar adalah mandiri / pribadi.
c. Masalah pengetahuan
Petani tambak masih terbatas akan pengetahuan tentang budidaya kepiting
karena belum adanya penyuluhan tentang budidaya kepiting.
d. Masalah Kelembagaan
Kelembagaan yang khusus mengelola budidaya kepiting belum ada. Bahkan
di Desa Mojo, produsen kepiting terbesar di Pemalang sama sekali belum ada
lembaga yang khusus mengelola budidaya kepiting.
b. Penggunaan Lahan
Laporan Akhir 59
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
sawah, perkebunan, dan badan perairan laut. Secara rinci kondisi tata guna lahan di
kawasan Segara Anakan disajikan pada tabel berikut (Tabel 3.25).
Tabel 3.25. Luasan tiap Tata Guna Lahan di Kawasan Segara Anakan, Cilacap,
Jawa tengah.
No Tat Guna Lahan Luas Persen (%)
1 Pemukiman Padat 2.193,84 2,46
2 Pemukiman Sedang 211,39 0,18
3 Industri 521,10 0,44
4 Lahan Kosong Kering (Digunakan) 1.005,85 0,85
5 Lahan Kososng Lembab (Belum digunakan) 871,09 0,74
6 Lahan Kosong Basah (Belum Digunakan) 410,79 0,35
7 Hutan Perbukitan Kerapatan Tinggi 19.630,22 16,59
8 Vegetasi Mangrove Kerapatan Sangat Tinggi 1.883,63 1,59
9 Vegetasi Mangrove Kerapatan Tinggi 6.347,78 5,36
10 Vegetasi Mangrove Kerapatan Sedang 943,46 0,79
11 Vegetasi Mangrove Kerapatan Rendah 220,58 0,18
12 Tambak 500,80 0,42
13 Sawah Dua Kali Setahun 14.178,94 11,98
14 Sawah Satu Kali Setahun 9.776,16 8,26
15 Semak Belukar 241,31 0,20
16 Lapang Golf 71,95 0,06
17 Bandara 74,24 0,06
18 Pertambangan 102,42 0,08
19 Pemukiman, Pekarangan, dan Kebun Campuran 29.593,11 25,00
20 Perkebunan 1.707,76 1,44
21 Obyek Wisata 54,66 0,05
22 Laut / Sungai 27.091,15 22,89
Jumlah 118.352,23 100
Sumber: Bangda, 2000.
Laporan Akhir 60
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Sarana kesehatan yang tersedia di Kabupaten Cilacap yaitu 2 unit Rumah Sakit
Umum, 5 Rumah Sakit Swasta, 36 Puskesmas, 12 unit Puskesmas Rawat Inap, 78
unit Puskesmas Pembantu, 28 Puskesmas Keliling. Untuk tenaga medis banyaknya
dokter yang tersedia 64 orang di Rumah Sakit Umum, 36 orang dokter Puskesmas.
Dominansi jenis-jenis flora mangrove di lokasi Tritih, Karang Talun, Ujung Alang dan
Muara Dua untuk tingkat semai, pancang, dan pohon umumnya didominasi oleh
jenis api-api (Avicennia spp.) yang masing-masing memiliki Indeks Nilai Penting
(INP) 71,79% - 134,5%; 172,65% - 214,88% dan 169,15%-300%. (Dirjen Bangda,
Laporan Akhir 61
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
b. Fauna
Di Kawasan Segara Anakan dijumpai 45 jenis satwaliar yang terdiri dari: 41 jenis
burung (15 jenis termasuk dilindungi, 3 jenis merupakan burung migran), dan 4
jenis mamalia. Sedangkan jenis-jenis ikan di perairan Segara Anakan terdapat
sekitar 45 jenis ikan.
Laporan Akhir 62
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Sungai Citanduy, di sebelah Timur melewati bagian timur yang bersatu dengan
Sungai Donan dan Sungai Sapuregel. Kondisi kualitas perairan kawasan mangrove
Segara Anakan adalah sebagai berikut:
a. Salinitas air tertinggi tercatat pada kedalaman 8,2 m pada waktu air pasang
tertinggi dengan nilai 33,58.
b. Kekeruhan berkisar antara 1,47 – 11,7 NTU, Sedangkan nilai padatan
tersuspensi berkisar antara 2 – 20 mg/l
c. Derajat Keasaman (pH) berkisar antara 7,02 – 7,87.
d. Oksigen terlarut berkisar antara 3,65 – 5,27 mg/l.
e. Nilai BOD relatif rendah sebesar 0,84 – 4,99
Jumlah produksi usaha penangkapan ikan di air payau (tambak) tahun 2007 di
lokasi tersebut sebesar 469.375 kg, dengan luas area penangkapan sebesar 14,76
hektar dengan nilai Rp 11.305.651.000,-.Sedangkan rata-rata produksi pe
Laporan Akhir 63
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Ekosistem hutan mangrove sebagai habitat beranekaragam flora dan fauna, serta
karakteristik lingkungannya yang berperan penting dalam mendukung jasa
lingkungan wisata pesisir termasuk wisata mangrove. Potensi wisata di kawasan
mangrove Segara Anakan mencakup wilayah perairan dan daratan yang
bersinggungan erat. Potensi obyek maupun daya tarik wisata yang terdapat di
kawasan Segara Anakan meliputi: 1). Hutan Payau Tritih, 2). Desa Nelayan /
Kampung Laut, 3). Hutan Suaka Mangrove, 4). Panorama Pantai Segara Anakan,
5).Panorama Selat Indralaya, 6). Teluk Penyu, dan 7). Benteng Pendem.
Kawasan hutan wisata payau tritih memiliki luas areal sebanyak 10 hektar. Obyek
wisata ini berupa kawasan hutan mangrove yang diperuntukkan khusus untuk dibina
dan dipelihara khusus untuk kepentingan wisata. Kawasan hutan wisata ini dikelola
oleh Perum Perhutani Unit II Jawa tengah, BKPH Rawa Timur, RPH Tritih. Jumlah
pengunjung di lokasi wisata ini tahun 2007 3.804 orang/tahun.
Wisata Teluk Penyu berada dekat lokasi Benteng Pendem. Daya tariknya berupa
hamparan pantai yang indah. Jumlah pengunjung lokasi wisata ini berjumlah
108.554 orang/tahun. Obyek wisata ini dikelola perusahaan swasta.
Pada wisata Desa Nelayan ( Kampung Laut), daya tarik yang dapat dinikmati adalah
pemandangan dan panorama keindahan halam hutan mangrove yang tumbuh pada
tanah-tanah timbul akibat endapan lumpur. Selain itu juga kehidupan masyarakat
nelayan yang mendiami wilayah tersebut. Kampung Laut merupakan perkampungan
yang mempunyai sejarah dan mitologi yang menarik dengan pola kehidupan unik.
Desa-desa yang dijadikan sebagai obyek wisata kampung laut meliputi: Desa Bugel,
Desa Motean, Desa Ujung Alang, Desa pejagan, dan Desa Muara Dua. Desa-desa
tersebut memiliki ciri khas berbeda satu sama lain yang cukup menarik dan bagus
untuk daya tarik wisata.
Potensi, daya tarik wisata pantai Segara Anakan berupa pesona bahari, wisata
belanja hasil perikanan yang masih segar, dan kesenian tradisional masyarakat
setempat.
Pada kawasan wisata berupa hutan suaka mangrove terdapat berbagai jenis flora
mangrove seperti: Avicennia sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp. dan Nypa
fructicans. Agai Selain itu juga sebagai habitat berbagai jenis satwa seperti burung
kuntul besar, kuntul kecil, kuntul perak, bluwok, dan bangau tongtong. Selain itu
Laporan Akhir 64
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
jenis satwa liar lain seperti: linsang (Aonyx sp.), biawak (Varanus salvator), dan
Berang-berang (Lutra-lutra).
Pada kawasan wisata Benteng Pendem, daya tarik yang dinikmati adalah bangunan
peninggalan sejarah Hindia Belanda berupa benteng pertahanan yang dulunya
pernah terpendam dalam tanah kurang lebih 3,5 meter dari permukaan tanah.
Pengunjung lokasi wisata Benteng Pendem tahun 2007 berjumlah 36.504
orang/tahun. Obyek wisata ini dikelola oleh pihak Dinas Pariwisata Pemda Cilacap
(Diparta).
Mangrove memiliki kemampuan dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan.
Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air sumur pada berbagai jarak
dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah
Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrovenya yang relatif baik, masih
tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah
sudah terintrusi pada jarak 1 km.
Pada daerah yang memiliki mangrove dan hutan pantai relatif baik, cenderung
kurang terkena dampak gelombang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan
diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami
(Harada dan Fumihiko, 2003 dalam Diposaptono, 2005). Gelombang laut setinggi
1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33
Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al.,
2002). Selain itu hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) yang merupakan pengujian
model di laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora
spp.) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang
diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut.
Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove di sepanjang pantai
dapat memperkecil efek gelombang tsunami yang menerjang pantai. Mazda dan
Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi (1997) menambahkan bahwa vegetasi
Laporan Akhir 65
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
a. Perijinan
Sumberdaya perikanan merupakan barang publik yang dapat dimanfaatkan oleh
siapa saja dengan ketentuan tidak melanggar batas wilayah antar negara dan tidak
melanggar aturan teknis penangkapan (seperti tidak diperbolehkan menagkap
ikanikan berukuran kecil) . Sehingga dalam pemanfaatannya tidak ada mekanisme
perijinan yang jelas antara instansi yang berwenang (pemerintah) dengan
masyarakat (nelayan).
b. Pungutan
Pada pemanfatan sumberdaya hutan mangrove sebagai penyedia jasa penyangga
sumberdaya perikanan, belum ada system iuran atau pungutan yang dikenakan
pada pelaku usaha perikanan atau nelayan.
c. Kelembagaan
Kelembagaan kawasan mangrove di segara anakan merupakan baian tak
terpisahkan dengan kelembagaan pengelolaan segara anakan secara keseluruhan.
Ditinjau dari status pengelolaan, kawasan Segara anakan terbagi dalam 3 (tiga)
wilayah pengelolaan , yaitu Pemerintah Daerah, Kehakiman dan wilayah pngelolaan
Perhutani. Secara lengkap oranisasi wilayah pengelolaan Segara Anakan disajikan
pada gambar berikut ini.
Laporan Akhir 66
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
BADAN EKSEKUTIF
(CHAIRMAN)
.
TATA USAHA ASS.
PERENCANAAN
Laporan Akhir 67
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Berdasarkan pada PP No. 6 tahun 2007 dan PP No. 3 Tahun 2008, bentuk kegiatan
di dalam kawasan Taman Hutan Raya dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan :
penelitian dan pengembangan, ilmu dan pengetahuan, pendidikan, kegiatan
penunjang budidaya, pariwisata alam dan rekreasi, dan pelestarian budaya.
Sedangkan jenis kegiatan pariwisata alam dan rekreasi di Taman Hutan Raya
meliputi kegiatan Pengusahaan sarana parawisata alam meliputi: akomodasi
(pondok wisata, bumi perkemahan, karavan, penginapan remaja), makanan dan
minuman, sarana wisata tirta, angkutan wisata, cindera mata, sarana wisata
budaya. Kegiatan tersebut dilakukan dengan ketentuan tidak mengurangi,
mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya; mengubah bentang alam; dan
merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan.
Pemanfatan sumberdaya hutan mangrove untuk ekowisata di Tahura Ngurah Rai
telah sesuai dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat pada PP No. 6
tahun 2007 dan PP No. 3 Tahun 2008 tersebut.
Laporan Akhir 68
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
¾ Pusat kerajinan terdiri atas kios makanan / minuman, dan kios cinderamata
¾ Pembinaan masyarakat terdiri atas pusat seni budaya, pusat kebuyanaan
dan demplot.
Selama ini minat wisata Tahura Ngurah Rai masih rendah. Potensi daya tarik
wisata di Tahura Ngurah Rai belum dikelola dengan baik dalam bentuk kemasan
wisata yang menarik minat pengunjung. Selain kemasan wisata, sarana dan
prasarana juga perlu diperbaiki.
Laporan Akhir 69
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
keberadaan burung karena sebagai tempat tinggal dan bersarang yang dan tempat
mencari makan karena kaya akan larva biota air. Keberadaan jenis-jenis burung
tersebut untuk mencari makan di sepanjang pesisir pantai terutama pada pagi hari
sampai siang hari merupakan atraksi wisata yang menarik.
Potensi biota perairan yang tinggi terutama ikan mendukung keberadaan daya tarik
wisata di Tahura Ngurah Rai ini. Bentuk dan model atraksi wisata yang bisa
mengangkat potensi sumberdaya ikan sebagai daya tarik wisata adalah perpaduan
olah raga memancing dan rekreasi. Distribusi keberadaan sumberdaya hayati
terutama burung dan ikan di Tahura Ngurah Rai tidak merata. Lokasi dimana
sumberdaya tersebut berada merupakan daerah pilihan untuk pengembangan
wisata pengamatan burung (bird watching), memancing, pendidikan lingkungan,
pelatihan dan penyadaran.
Kegiatan pariwisata mangrove di Tahura Ngurah Rai Bali masih belum melampui
daya dukung lingkungannya. Namun apabila hal ini tidak diperhatikan,
dikhawatirkan kondisi lingkungan akan mengalami kerusakan. Langkah-langkah
yang telah ditempuh dalam rangka menjaga daya dukung lingkungan mangrove
antara lain: memperhatikan kualitas daya dukung lingkungan kawasan sehingga
dampak negatif dapat diminimalkan; mengelola jumlah pengunjung, sarana dan
fasilitas; dan menngkatkan kesadaran dan apresiasi para pelaku ekowisata terhada
lingkungan.
Laporan Akhir 70
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai manfaat mangrove di Tahura Ngurah rai
Bali tertinggi adalah manfaat tidak langsung. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi dan
manfaat ekologi dan jasa-jasa lingkungan di kawasan ini lebih menonjol.
Di lokasi kajian banyak terdapat atap rumah/pondok untuk rumah makan yang
beratapkan daun nipah. Berdasarkan hasil wawancara daun nipah diambil hanya
dengan peralatan sederhana seperti: sabit, kapak, pisau, tali, gergaji, dll. Daun
nipah yang diambil rata-rata 250 trip/orang dengan hasil 9.725 ikat/tahun dengan
nilai Rp 8.691.840 setiap tripnya. Pengambilan daun nipah dilakukan pada pukul
07.00 dan kembali pada pukul 13.00 dengan memperoleh 35 – 42 ikat daun nipah
dengan harga sekitar Rp. 900/ikat. Di samping itu dapat diketahui juga bahwa
dengan luas 9 ha hutan mangrove (1,5 ha) dapat memberikan kontribusi 51.867
ikat/tahun dengan nilai daun nipah senilai Rp 46.356.480,-, biaya tenaga kerja Rp.
15.462.400,- dan biaya variabel sebesar Rp 20.147.200/tahun serta investasi awal
Rp 18.048.000. Nilai manfaat bersih per hektar dihitung sebesar Rp 1.194.097,-
/ha/tahun.
Meskipun hasil perburuan satwa sudah tidak diijinkan oleh pemerintah, namun
masyarakat masih ada yang melakukannya, meskipun hal tersebut relatif kecil /
sedikit. Jenis satwa yang biasanya ditangkap berupa burung. Penangkapan burung
biasanya dilakukan pada musim-musim tertentu dengan biaya tenaga kerja Rp
166.667/tahun dan biaya variabel sebesar Rp 233.333/tahun serta biaya investasi
awal sebesar Rp 150.000. Kegiatan ini dilakukan pada pagi hari atau menjelang
petang pada saat burung tersebut akan pulang dengan memasang perangkap
berupa jaring di daerah dimana burung tersebut sering bertempat tinggal. Operasi
pengkapannya memerlukan waktu 2 hari/trip dengan hasil 306 ekor burung dengan
berbagai jenis senilai Rp 4.590.000/tahun. Harga burung rata-rata Rp. 15.000,-
/ekor. Dari analisa penangkapan burung sebagaimana tersaji pada Lampiran 9,
dapat diketahui besarnya manfaat langsung hutan mangrove dari burung sebesar
Laporan Akhir 71
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Rencana untuk penahan gelombang tersebut yang akan dipasang 1.200 meter,
sesuai dengan rencana penambahan landasan bandara Ngurah Rai di areal
mangrove. Nilai penahan abrasi/gelombang dapat diketahui dengan cara
membandingkan indeks nilai kurs tahun 1994 dengan kurs saat ini dikalikan dengan
nilai standar beton tahun 1994 (Rp 3.000.000,-) dan dikalikan panjang / lebar garis
pantai dan diperoleh nilai sebesar Rp 13.745.520.000,-/10 tahun atau Rp
1.374.552.000,-/tahun.
Jika harga pupuk urea di daerah Kuta-Bali sebesar Rp 1.750/kg dan SP-36 Rp
2.000/kg, maka manfaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove sebagai
penyedia unsur hara atau pakan adalah sebesar Rp 67.013/ha/tahun. Nilai manfaat
mangrove sebagai penyedia unsur hara dengan luasan total mangrove sebesar
1.374 ha adalah sebesar Rp 92.075.862,-/tahun.
Laporan Akhir 72
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
dan tetap terpelihara dalam kondisi yang alami. Oleh karena itu manfaat pilihan
ekosistem mangrove Tahura Ngurah Rai dapat didekati dengan menggunakan nilai
manfaat biodiversity. uang
Nilai manfaat pilihan dihitung berdasarkan perubahan nilai tukar mata uang asing
(US$) dengan rupiah pada saat penelitian Ruitenberk dan saat sekarang. Nilai tukar
rata-rata pada saat penelitian Ruitenberk 1 US $ = Rp2.020,- sedangkan sekarang
1 US $ = Rp 12.000,- maka nilai manfaat pilihan ekosistem hutan mangrove saat ini
menjadi US $ 89,1 /ha/tahun atau Rp 1.069.200,-/ha/tahun.
Untuk menilai manfaat eksistensi ini dapat diketahui dengan pendekatan Contingent
Valuation. Nilai rupiah (rata-rata/m2/tahun) yang diperoleh dari sejumlah responden
merupakan nilai eksistensi hutan mangrove tersebut. Nilai manfaat eksistensi
ekosistem hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai diperoleh dengan menanyakan
langsung kepada responden yang dipilih secara purposive. Nilai keberadaan
mangrove Tahura Ngurah Rai hasil perhitungan berkisar antara Rp.750.000 s/d Rp
3.500.000 (rata-rata Rp.2.000.000,-/ha).
Lingkungan alam kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki potensi keindahan alam dan
keanekaragaman hayati yang tinggi yang meliputi keanekaragaman vegetasi
mangrove, fauna darat, (burung, amphibi, reptil) dan fauna perairan (ikan, moluska,
krustasea) sehingga kawasan ini sangat penting untuk dipertahankan secara
ekologi. Selain itu juga dengan potensi keanekaragaman hayati tersebut, kawasan
ini dapat dimanfaatkan sebagai wisata alam rekreasi, wisata pendidikan lingkungan,
dan penelitian.
Kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki posisi yang sangat strategis yaitu mudah
diakses dan berada pada tiga pusat pariwisata Provinsi Bali yaitu Sanur, Kuta dan
Nusa Dua, oleh karena itu kawasan ini memiliki masa depan yang baik untuk
dikembangkan sebagai objek wisata alam yang tetap mempertimbangkan kaidah
konservasi. Beberapa potensi wisata alam yang dapat dimanfaatkan adalah (1)
rekreasi dan olah raga (bird watching, camping, hiking, fishing), (2) wisata
pendidikan dan penelitian, (3) wisata kesehatan (rehabilitasi, terapi, meditasi), (4)
pengembangan diri (out bound, peningkatan kemampuan profesi).
Laporan Akhir 73
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Biaya investasi terdiri dari biaya perencanaan, penataan areal dan tata batas
kawasan, pengadaan kendaraan dan perlatan, biaya pembangunan pondok wisata,
kios seni, serta biaya – biaya pembangunan sarana dan prasarana pendukung
kegiatan pariwisata.
Kegiatan perencanaan terdiri dari: Rencana Site Plan, penyusunan Recana Karya
Pengusahaan Pariwisata Alam, penyusunan studi lingkungan dan biaya
penyusunan Rencana Karya Lima Tahun. Pengadaan kendaraan dan peralatan
dimulai 1 tahun sebelum pengelolaan (pra-operasi). Biaya pengadaan peralatan
sesuai harga alat tersebut, sementara reinvestasi dilakukan sesuai umur pakai
masing-masing alat, rata-rata 10 tahun. Pengadaan kendaraan dan peralatan
adalah untuk membantu kelancaran operasional perusahaan, seperti alat
transportasi, alat komunikasi, alat penerangan, audiovisual serta peralatan wisata.
Biaya operasional terdiri dari biaya produksi dan biaya tetap. Biaya tetap terdiri dari:
biaya gaji pegawai, biaya pemasaran, biaya umum, biaya administasi, dan biaya
asuransi.
b). Pendapatan
Harga tiket masuk lokasi ekowisata Tahura Ngurah Rai sebesar Rp. 5.000,-/orang
untuk wisatawan domestik dan Rp. 50.000,- orang untuk wisatwan asing. Jumlah
pengunjung lokasi ekowisata Tahura Ngurah Rai minimal sama dengan jumlah
pengunjung Pusat Informasi Mangrove, karena pengunjung Pusat Informasi
Mangrove dipastikan juga melakukan kunjungan ke dalam lokasi wisata Tahura.
Namun demikian sebagian pengunjung lokasi wisata, sebelumnya tidak melakukan
kunjungan ke dalam Pusat Informasi Mangrove, sehingga diasumsikan jumlah
pengunjung lokasi wisata Tahura sama dengan jumlah pengunjung Pusat Informasi
Mangrove ditambah 20%.
Laporan Akhir 74
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
dalam hal ini Balai Pengelola Hutan Mangrove (BPHM) Regional I, JICA, Dinas
Kehutanan Provinsi Bali, Dinas Kehutanan Kabupaten Badung, Dinas Kehutanan
Kota Denpasar, Dinas Pariwisata, Departemen Perhubungan RI dan lain-lain.
Pada SK Ditjen Kehutanan No. 60/1978 tentang Sistem Silvikultur (seed trees
method), harus meninggalkan 25 pohon/ha sbg pohon induk, penebangan > 10
cm, jalur hijau sungai 50 m, 100 m pantai, ada penanaman, penataan areal kerja
(blok, petak), ada jatah tebangan tahunan, dan ada RKT/RKL/RKPH.
Dalam hal usaha dapur arang perlu dilakukan pengaturan perijinan usaha dapur
arang yang telah ada. Evaluasi ijin dapur arang dilakukan termasuk pada jumlah
dapur arang, kondisi dapur, kondisi hutan dan kinerja masing-masing pemilik dapur
arang. Pengurusan ijin juga perlu diatur agar diberikan kepada koperasi yang
Laporan Akhir 75
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
dibentuk masyarakat. Hal ini untuk menjamin kapasitas bahan baku yang dihasilkan,
dan keberlanjutan manfaat dan fungsi hutan mangrove.
Hutan mangrove Batu Ampar tumbuh subur pada substrat dasar lumpur (glei
humus) dengan kedalam ± 1m. Ketebalan hutan mangrove pada lokasi ini ± 750 m
dan berbatasan langsung dengan tipe hutan rawa. Kerapatan pohon cukup sebesar
107-520 batang/ha dengan potensi kayu mangrove sebesar 178 m3/ha. Pada jenis
mangrove khususnya jenis-jenis yang banyak digunakan sebagai bahan baku arang
yaitu jenis bakau memiliki distribusi ukuran diameter yang relatif menyebar,mulai
ukuran 10 cm sampai 30 cm.
Jumlah dapur arang di Batu Ampar sekitar 253 buah, yang dikelola masyarakat
yang tergabung dalam wadah Koperasi Panter. Luas hutan yang dialokasikan untuk
mendukung kebutuhan bahan baku Koperasi Panther sekitar 6,000 ha yang terletak
pada hutan mangrove dengan status APL dan Hutan Produksi.
Kapasitas terpasang usaha dapur arang di Batu Ampar masih di bawah batas
persediaan bahan baku mangrove. Meski demikian apabila tidak ada pengawasan
dan pengendalian akan terjadi over eksploitasi sehingga terjadi degradasi hutan
mangrove.
Produksi arang seluruh dapur arang milik masyarakat (253 buah) sekitar 2.031
ton/tahun, dengan jumlah produksi 4 – 6 kali bakar/tahun. Apabila rendemen arang
20 %, maka kebutuhan bahan baku 10.155 ton/tahun atau sekitar 10.155 m3 kayu
mangrove/tahun. Diperkirakan diperlukan luas hutan mangrove 60 ha/tahun
3
(potensi kayu 180 m /ha) untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri
arang masyarakat.
Apabila luas hutan mangrove yang dicadangkan pemerintah untuk Koperasi Panter
seluas 6,000 ha, maka ketersediaan bahan baku untuk mendukung industri arang
bakau cukup tersedia. Bahkan masih mampu mendukung kebutuhan bahan baku
arang lebih dari 150 buah dapur arang.
Nilai ekonomi total dikelompokkan kedalam empat kategori, yaitu nilai manfaat
langsung (direct use value), nilai manfaat tidak langsung (indirect use value), nilai
manfaat pilihan (option value) dan nilai manfaat keberadaan (existence value) dari
ekosistem mangrove. Penaksiran nilai dari setiap manfaat ekonomi sumberdaya
hutan mangrove berpedoman pada kondisi di lapangan dan didukung dengan data
sekunder yang tersedia.
Laporan Akhir 76
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
a. Valuasi Ekonomi
Nilai manfaat kayu mangrove komersial dapat dihitung yaitu sebesar Rp537,
013 milyar (Rp 26,85 milyar/tahun) atau sekitar Rp 8,22 juta/ha (Rp 410.928,-
/ha/tahun) pada daur ekonomis sebesar 20 tahun.
¾ Nilai Manfaat Arang Bakau
Nilai manfaat ekonomi arang sebesar Rp 1,829 milyar per tahun. Arang tersebut
dijual ke Pontianak, Singkawang dan sekitar Batu Ampar dengan harga sekitar
Rp. 300,- sampai Rp. 1500,- /kg.
¾ Nilai Manfaat Kayu Bakar
Laporan Akhir 77
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Nilai manfaat langsung kotor ekosistem hutan mangrove di Batu Ampar pada
saat ini (seluas 65.341,5 ha) adalah sebesar 168.087.371.964,-/tahun dengan nilai
manfaat langsung bersih sebesar Rp. 55.181.732.932,-.
Nilai manfaat tidak langsung dari fungsi pencegahan intrusi air laut sebesar Rp.
4.533.276.000,-/tahun.
Nilai bersih manfaat tidak langsung dari tangkapan ikan rata-rata pertahun
sebesar Rp. 8.267.276.792,- Nilai bersih manfaat dari tangkapan udang sebesar
Rp 8.604.252.389,-/ha/tahun, sedangkan nilai bersih manfaat dari tangkapan
kepiting sebanyak Rp 667.965.947,-/tahun.
Nilai pilihan merupakan manfaat nilai langsung atau tidak langsung di masa akan
datang yang diperoleh dari keberadaan sumberdaya mangrove. Manfaat pilihan
ekosistem hutan mangrove di kawasan Batu Ampar diperoleh dengan
menggunakan teknik CVM (Contingen Valuation Methode) melalui wawancara
masyarakat. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja (purposive). Nilai
pilihan dari ekosistem mangrove Batu Ampar adalah sebesar Rp 690.793.547,-
/tahun.
Laporan Akhir 78
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Usaha arang bakau membutuhkan investasi awal untuk membangun dapur arang
sebesar Rp 10.000.000,00 untuk dapur berkapasitas 5 ton atau sebesar Rp
2.000.000,00/ton. Total biaya produksi sebesar Rp 2.624.000,00/ton/tahun dan
penerimaan kotor yang diperoleh sebesar Rp 4.988.000,00/ton/tahun. Komponen biaya
pembuatan arang bakau disajikan pada Tabel 4.3.
Laporan Akhir 79
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Pengambilan kayu untuk bahan baku arang yang diuahakan masyarakat Batu
Ampar secara tradisional saat ini masih pada kawasan lindung, dan dapur arang
yang ada belum memiliki perijinan. Saat ini sedang didalam proses legalisasi di
departemen terkait untuk ijin pemanfatan hasil hutan mangrove untuk bahan baku
arang di bawah Koperasi Panter dengan areal hutan mangrove yang berstatus APL
Laporan Akhir 80
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
dan hutan produksi. Sedangkan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu mangrove
untuk arang dan chips lainnya telah dilakukan secara legal oleh PT. Bios (luas
10.000 ha) dan PT. Kandelia (luas 12.000 ha).
Laporan Akhir 81
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Laporan Akhir 82
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah yang tinggi yang
memungkinkan terjaganya pertukaran energi serta interaksi antar organisme yang
saling sinergis. Hal ini berakibat pada lebih tercukupinya kebutuhan hidup bagi ikan
dan udang di dalam tambak bermangrove dibandingkan dengan kecukupan
kebutuhan ikan dan udang di tambak tanpa mangrove.
Selain hal-hal tersebut di atas, mangrove juga mampu menjaga kestabilan salinitas
air dimana berkaitan dengan tingkat salinitas yang cocok untuk budidaya tambak
tumpangsari yaitu antara 15-20 %o.
Laporan Akhir 83
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
sehingga diperoleh hasil rata-rata 215,35 Kg/ha per tahun atau sebesar Rp.
4.307.000,-/ha/tahun. Penangkapan udang peci oleh petani menggunakan alat
tangkap bubu yang dipasang di pintu tambak. Selain udang peci diperoleh juga jenis
ikan lainnya yaitu ikan blodok, ikan belanak, dan mujair dengan jumlah tangkapan
sebanyak 821,25 Kg/ha/tahun. Dengan harga jual ikan sebesar Rp. 5.500,-/kg,
maka diperoleh nilai manfaat langsung sebesar Rp.4.516.875,-/ha/tahun.
Ekosistem mangrove selain memiliki fungsi ekonomi juga memiliki fungsi ekologi
yaitu fungsi fisik dan fungsi biologi. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh
informasi pemanfaatan hutan mangrove yaitu sebagai penahan abrasi air laut
(fungsi fisik) dan penyedia pakan. Pendekatan manfaat penahan abrasi dilakukan
dengan pembangunaan pemecah gelombang (breakwater) apabila ekosistem
mangrove di daerah tersebut tidak ada.
Manfaat tidak langsung lainnya yaitu manfaat biologi. Manfaat biologi hutan
mangrove yaitu sebagai penyedia pakan alami baik bagi ikan, udang, maupun untuk
kepiting. Manfaat hutan mangrove sebagai penyedia pakan dilakukan dengan
pendekatan model regresi luasan hutan mangrove yang disadur dari Naamin, 1998
yaitu dengan persamaan:
Y = 16.286 + 0.003536 X
Luas hutan mangrove Desa Blanakan dan Desa Langensari adalah 400 ha.
Berdasarkan data sekunder yang ddapatkan dari PT. Perhutani didapatkan harga
pakan udang yaitu Rp. 2.000,- per Kg. Berdasarkan data tersebut diperoleh nilai
Laporan Akhir 84
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
manfaat tidak langsung hutan mangrove sebagai penyedia pakan alami sebesar Rp.
65.720,-/ha/tahun. Dari hasil tersebut diperoleh nilai manfaat tidak langsung secara
keseluruhan sebesar Rp. 1,998,728,120,-/tahun..
c. Manfaat Pilihan
d. Manfaat Keberadaan
Nilai manfaat keberadaan hutan mangrove di Desa Blanakan dan Desa Langensari
dihitung dengan menggunakan Continget Value Method (CVM). Responden dipilih
berdasarkan pertimbangan tingkat pendidilan, mata pencaharian, dan lokasi tempat
tinggal. Jumlah responden yang diambil yaitu sebanyak 50 orang. Berdasarkan
tingkat pendidikan, responden terbagi ke dalam 3 (tiga) tingkat pendidikan yaitu
rendah (Tidak tamat SD), sedang (Tamat SD), Tinggi ( SLTP, SLTA, dan Perguruan
Tinggi). Berdasarkan mata pencaharian responden cukup bervariasi mulai dari petani
tambak, nelayan, petani, aparat desa, staff kecamatan, dan karyawan PT. Perhutani.
Nilai keberadaan rata-rata dihitung sebear Rp 744.575,-/ha/tahun (Tabel 4.5).
Laporan Akhir 85
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Biaya terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional tambak (biaya tetap dan
biaya variabel). Biaya investasi berupa biaya untuk membuat/mencetak tambak.
Biaya tetap terdiri atas biaya penyusutan investasi, biaya sewa lahan, pembelian
bubu, upah kerja harian, biaya pemeliharaan pematang tambak. Biaya variabel
terdiri atas bibit (nener, benih), pakan, pupuk, obat-obatan. Pendapatan merupakan
semua hasil petani yang diperoleh pengelola tambak silvofishery baik yang berupa
hasil tangkapan harian (udang pecii/ api-pi)
Laporan Akhir 86
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Lokasi yang perlu dipertimbangkan dalam pemeliharaan kepiting bakau antara lain:
air yang digunakan bebas dari pencemaran dan jumlahnya cukup, tersedia pakan
yang cukup dan terjamin kontinyuitasnya, terdapat sarana dan prasarana produksi
dam pemasarannya, serta tersedianya tenaga yang terampil dan menguasai teknis
budidaya kepiting.
Desain dan konstruksi tambak dibuat dengan dengan memasang kere bambu atau
waring pada bagian pematang dengan lebar 2-4 meter dan tinggi 60 cm. Penebaran
benih kepiting pada budidaya sistem polikultur dengan ikan bandeng, ukuran berat
benih kepiting 20-50 gram/ekor dan dapat ditebar dengan kepadatan 100-2000
ekor/ha, sedangkan ikan bandeng gelondongan ukuran 2-5 gram/ekor ditebar
dengan kepadatan 2000-3000 ekor/ha. Pada budidaya sistem monokultur benih
kepiting dengan ukuran sama dengan di atas, ditebar dengan kepadatan 5000-
15000 ekor/ha.
Pakan yang digunakan antara lain: ikan rucah, usus ayam, kulit sapi, kulit kambing,
bekicot, keong sawah, dan lain-lain. Kemauan makan kepiting muda lebih besar,
karena pada fase ini dibutuhkan sejumlah makanan yang cukup banyak untuk
pertumbuhan dan proses ganti kulit.
Laporan Akhir 87
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Kepiting bakau merupakan salah satu jenis krustasea yang mempunyai ukuran
paling besar dan dapat dimakan. Siklus hidup kepiting bakau dimulai dari fase telur
sampai megalopa berada di p hutaan laut dan setelah masuk stadium kepiting
sampai dewasa berada di daerah pasang surut atau hutan mangrove.
Di daerah pasang surut atau hutan mangrove, kepiting membuat lubang yang
digunakan sebagai tempat persembunyian pada siang hari atau untuk
menghindarkan diri dari gangguan binatang lainnya. Kepiting bakau dalam
menjalani kehidupannya berpindah dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian
induk dan anak-anakanya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai
atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan atau
membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan
memasuki perairan bakau atau tambak Setelah perkawinan berlangsung, secara
perlahan-lahan kepiting betina yang telah melakukan perkawinan ini akan berpindah
dari perairan bakau atau tambak ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk
melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah
dewasa berada di perairan bakau, di tambak, atau di sela-sela bakau, atau paling
jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang
organisme makanannya berlimpah.
Ekosistem hutan mangrove merupakan hutan yang mempunyai bentuk dan sifat
yang khas serta mempunyai fungsi dan manfaat sebagai sumberdaya
pembangunan baik sebagai sumberdaya ekonomi maupun sumberdaya ekologi
yang telah lama dirasakan oleh bangsa Indonesia terutama bagi masyarakat yang
hidup disekitar wilayah tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan,
pemanfaatan langsung sumberdaya hutan mangrove di Kabupaten Pemalang oleh
masyarakat antara lain untuk kayu bakar, tambak silvofishery dengan komoditas
utama kepiting, dan pakan ternak.
Laporan Akhir 88
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
a. UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
b. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
c. PP No. 3 Tahun 2008
d. PP No. 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Hutan
dan Taman Wisata Alam
e. PP Nomer 68 Tahun 1999 tentang Kawasan Pelestarian dan Suaka Alam.
f. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Laporan Akhir 89
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Ukuran kapal atau perahu yang diperbolehkan untuk kegiatan penangkapan adalah
yang memiliki ukuran panjang 5-6 m dengan kapasitas mesin 5 – 12 PK dan awak
kapal 2 orang.
Jumlah produksi usaha penangkapan ikan di air payau (tambak) tahun 2007 di
lokasi tersebut sebesar 469.375 kg, dengan luas area penangkapan sebesar 14,76
hektar dengan nilai Rp 11.305.651.000,-.Sedangkan rata-rata produksi perikanan
tangkap pertahun sebesar 93,8 ton/tahun ( Masyarakat nelayan menangkap biota
perairan dengan menggunakan peralatan antara lain: jaring kantong, jala, bubu
sidat, wide, waring surungan, jaring kepiting, dan otek.
Ekosistem hutan mangrove sebagai habitat beranekaragam flora dan fauna, serta
karakteristik lingkungannya yang berperan penting dalam mendukung jasa
lingkungan wisata pesisir termasuk wisata mangrove. Potensi wisata di kawasan
Laporan Akhir 90
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Tabel 4.7. Lokasi Wisata di sekitar kawasan mangrove Segara Anakan, Kabupaten
Cilacap
No Nama obyek wisata Penjelasan
1 Hutan Wisata Tritih Kawasan hutan wisata payau tritih memiliki luas
areal sebanyak 10 hektar. Obyek wisata ini berupa
kawasan hutan mangrove yang diperuntukkan
khusus untuk dibina dan dipelihara khusus untuk
kepentingan wisata. Kawasan hutan wisata ini
dikelola oleh PT. Perhutani Unit II Jawa tengah,
BKPH Rawa Timur, RPH Tritih. Jumlah
pengunjung di lokasi wisata ini tahun 2007 3.804
orang/tahun.
2 Wiatan Tellu Penyu Wisata Teluk Penyu berada dekat lokasi Benteng
Pendem. Daya tariknya berupa hamparan pantai
yang indah. Jumlah pengunjung lokasi wisata ini
berjumlah 108.554 orang/tahun. Obyek wisata ini
dikelola perusahaan swasta.
3 Kampung Laut Pada wisata Desa Nelayan ( Kampung Laut), daya
tarik yang dapat dinikmati adalah pemandangan
dan panorama keindahan halam hutan mangrove
yang tumbuh pada tanah-tanah timbul akibat
endapan lumpur. Selain itu juga kehidupan
masyarakat nelayan yang mendiami wilayah
tersebut. Kampung Laut merupakan
perkampungan yang mempunyai sejarah dan
mitologi yang menarik dengan pola kehidupan
unik. Desa-desa yang dijadikan sebagai obyek
wisata kampung laut meliputi: Desa Bugel, Desa
Motean, Desa Ujung Alang, Desa pejagan, dan
Desa Muara Dua. Desa-desa tersebut memiliki ciri
khas berbeda satu sama lain yang cukup menarik
dan bagus untuk daya tarik wisata.
4 Hutan suaka mangrove Pada kawasan wisata berupa hutan suaka
mangrove terdapat berbagai jenis flora mangrove
seperti: Avicennia sp., Rhizophora sp., Bruguiera
sp. dan Nypa fructicans. Agai Selain itu juga
sebagai habitat berbagai jenis satwa seperti
Laporan Akhir 91
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Mangrove memiliki kemampuan dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan.
Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air sumur pada berbagai jarak
dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah
Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrovenya yang relatif baik, masih
tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah
sudah terintrusi pada jarak 1 km.
Pada daerah yang memiliki mangrove dan hutan pantai relatif baik, cenderung
kurang terkena dampak gelombang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan
Laporan Akhir 92
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Nilai manfat ekonomi total mangrove Segara Anakan terdiri dari manfaat langsung,
manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan. Secara lengkap
nilai manfaat ekonomi kawasan segara anakan dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Laporan Akhir 93
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
bawah badan Eksekutif yang memasukkan pihak-pihak Pemda, PT. Perhutani, dan
Kehakiman ke dalam struktur organisasi BPSA.
Peran Camat, Kepala Desa dan kepala Dusun cukup tinggi, terutama dalam
memberikan motivasi bagi KTH, membantu memberikan pengarahan dan
bimbingan langsung di lapangan.
Laporan Akhir 94
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
A. Aspek Ekologis
Laporan Akhir 95
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
3. Pemberdayaan kelembagaan lokal yang ada yaitu Desa Adat (Subak) di sekitar
Tahura Ngurah Rai.
C. Aspek Ekonomi
1. Perbaikan aksesbilitas ke kawasan dengan melakukan pembangunan,
perbaikan sarana dan prasarana pokok pendukung kegiatan wisata.
2. Pembangunan sarana dan prasarana wisata seperti: plaza tahura, pondok
wisata, Peningkatan promosi pariwisata mangrove, baik skala domestik maupun
mancanegara dan membangun pola kemitraan investasi multisakeholders.
3. Peningkatan fasilitas dan kenyamanan berwisata, jasa pelayanan yang baik
serta atraksi wisata sesuai dengan kebutuhan wisatawan.
4. Pembangunan pusat informasi Tahura, perpustakan, zoologicum, herbarium,
shelter, fasilitas rekreasi alam, waste treathment, pembuatan jalur tracking dan
hiking, kios souvenir dan makanan, tempat parkir, dan MCK dan rumah ibadah.
5. Pengumpulan dan dokumentasi informasi pariwisata secara berkala yang
sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai dasar evaluasi dan pemantauan.
6. Peningkatan usaha dan upaya promosi wisata pada biro-biro perjalanan,
kalangan sekolah / perguruan tingi, lembaga penelitian, dan masyarakat umum.
D. Aspek Hukum
Laporan Akhir 96
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
A. Aspek Ekologis
1. Pemantapan kawasan meliputi: penataan batas kawasan lindung dan budidaya,
penataan batas unit pengelolaan dan batas blok, pemeliharaan batas, dan
sosialisasi batas kawasan.
2. Penataan areal kerja (Koperasi Panter luas 6.000 ha, PT. Kandelia luas 12.000
dan PT. Bios 10.000 ha dibagi kedalam petak-petak seluas 100 ha)
3. Pengaturan perijinan meliputi: evaluasi jumlah ijin dapur, pembatasan jangka
waktu perijinan (20 atau 30 tahun), dan pembatasan luas kawasan dalam
perijinan (6.000 ha).
4. Pembinaan hutan dengan mempertahankan pohon induk 40 batang/ha yang
ditinggalkan pada petak tebangan dan pengendalian pertumbuhan nipah untuk
lebih mengutakaman jenis komersil.
5. Pengawasan terhadap teknik penebangan, lokasi penebangan, dan identitas
penebang.
6. Perlindungan hutan melalui pemasangan papan nama, pencegahan gangguan
dan penegakan hukum.
F. Aspek Ekonomi
1. Peningkatan sumberdaya manusia, jenis usaha, mitra usaha, dan modal
usaha melalui: pelatihan manajemen, pelatihan pemasaran, dan pelatihan
pengelolaan hutan.
2. Perbaikan kualitas tungku pembakaran arang
3. Perbaikan teknik penataan dan pembakaran
Laporan Akhir 97
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
G. Aspek Hukum
1. Penertiban perijinan (jumlah tungku arang, jangka waktu perijinan 20 atau 30
tahun, dan luas kawasan dalam perijinan),
2. Pengendalian pemanfaatan melalui sistem koordinasi satu pintu yaitu
Bapdedalda Provinsi Kalimantan Barat.
A. Aspek Ekologi
1. Penetapan luas areal mangrove dalam sistem silvofishery sebesar minimal
60% dari luasan total.
2. Pemantauan dan pengawasan ekosistem mangrove di sekitar tambak dari
kerusakan.
3. Pemilihan lokasi tambak tumpang sari yang sesuai syarat-syarat biofisik.
C. Aspek Ekonomi
1. Perbaikan sistem bidaya tambak silvofishery melalui perbaikan teknik
pemeliharaan, perbaikan kualitas benih, pengaturan sistem buka tutup air,
serta penanganan hama dan penyakit.
2. Memantau dan mengawasi bahaya hama dan penyakit yang sewaktu-waktu
dapat menyerang ikan / udang / kepiting.
Laporan Akhir 98
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
D. Aspek Hukum
Pembuatan peraturan-peraturan untuk menjaga proses produksi budidaya
tambak silvofishery.
A. Aspek Ekologi
1. Penataan Hutan meliputi: pembagian blok, pemasangan papan pengenal,
pembuatan jalan.
2. Pembinaan daya dukung kawasan meliputi penanaman, pemeliharaan dan
pemanfaatan.
3. Perlindungan dan pengamanan meliputi: perlindungan fungsi hutan pada
msing-masing zonasi dan kawasan hutan serta pengamanan dari ancaman
terhadap hutan (konversi, penebangan).
4. Inventarisasi tegakan mangrove untuk mengetahui kondisi tegakan terkait
dengan kemampuan mempertahankan fungsi dan jasa lingkungan.
Laporan Akhir 99
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
C. Aspek Ekonomi
1. Pembangunan sarana dan prarana: prasarana jaringan jalan, sarana
angkutan, peralatan, kantor.
2. Revitalisasi budaya tradisional khas Kampung Laut.
3. Pengembangan industri kerajinan rumah tangga.
4. Pemasangan papan nama dan papan himbauan.
5. Pemantauan dan evaluasi
D. Aspek Hukum
1. Pengaturan peruntukkan fungsi kawasan (lindung dan budidaya) untuk
pengembangan sektor pertanian, perikanan, pariwisata, kehutanan, dan
lainnya.
2. peningkatan pengamanan melalui patroli petugas dibantu peran serta
masyarakat terutama KTH.
3. Penegakan hukum terhadap tindakan konversi lahan, penebangan liar, dan
penangkapan ikan di sekitar kawasan yang tidak ramah lingkungan.
VI. KESIMPULAN
Laporan Akhir 97
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
DAFTAR PUSTAKA
Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Propinsi Bali. 2000. Bappeda Prop.
Bali – PKSPL IPB Bogor.
Bappeda Provinsi Jawa Barat. 2007. Status Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat.
Bandung.
Bapedalda Provinsi Bali. 2007. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi
Bali.
BPLDH Propinsi Jawa Barat. Desa Langensari dalam Angka tahun 2007.
BPS Propinsi Jawa Tengah. 2007. Jawa Tengah Dalam Angka tahun 2007.
Semarang
BPS Propinsi Jawa Barat. 2007. Jawa Barat Dalam Angka tahu 2007. Bandung
BPS Kabupaten Cilacap. 2007. Survey social Ekonomi rumah Tangga Daerah
(Suseda) di Segara Anakan Tahun 2007. BPS Cilacap dan Badan
Pengelola Kawasan Segara Anakan Cilacap.
BPS Kabupaten Pontianak. 2007. Kecamatan Batu Ampar dalam Angka tahun
2006. Pontanak.
BPS Kabupaten Pontianak 2006. . Kecamatan Kubu dalam Angka tahun 2006.
Pontianak.
BPS Propinsi Bali. 2007. Bali Dalam Angka tahu 2007. Bandung
Dinas Kehutanan Provinsi Bali. 2008. Rencana pengelolaan Taman Hutan Raya
Ngurah Rai Bali.
Khairijon. 1990. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah di Hutan Bakau Hasil
Reboisasi yang Berbeda Kelas Umurnya. Dalam : Prosiding Seminar IV
Ekosistem Mangrove. Jakarta
Meilani, M.M. 1996. Studi Pola Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Usaha
Perikanan (Studi Kasus di Desa Mayangan, Kecamatan Pamanukan,
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. 1991. Penerapan Strategi Perhutanan Sosial
Hutan Payau (silvo fishery) Perum Perhutani Menunjang Produksi
Pangan Nasional. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Bandung.
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. 1994. Pedoman Pelaksanaan Perhutanan
Sosial Pada Hutan Payau Wilayah Jawa Barat. Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat. Bandung.
Tahun
No. Uraian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A INVESTASI
Pembuatan tambak 40.000.000
BIAYA OPERASIONAL
B (4 bln/1xpanen)
1. Biaya Tetap
a. Sewa Lahan 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000 120.000
b. Pembelian Bubu 240.000 240.000 240.000 240.000 240.000
c. Upah Pekerja 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000
d. Perbaikan Tambak 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000 900.000
2. Biaya Variabel
a Benur 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
b. Nener 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000 4.500.000
c. Pupuk 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000
TOTAL BIAYA 52.360.000 12.120.000 12.360.000 12.120.000 12.360.000 12.120.000 12.360.000 12.120.000 12.360.000 12.120.000
C. PENERIMAAN 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000 25.000.000
PENDAPATAN BERSIH (27.360.000) 12.880.000 12.640.000 12.880.000 12.640.000 12.880.000 12.640.000 12.880.000 12.640.000 12.880.000
(1+I)^t 1,15 1,32 1,52 1,75 2,01 2,31 2,66 3,06 3,52 4,05
PRESENT VALUE PENDAPATAN
(31.464.000,0) 17.033.800,0 19.223.860,0 22.527.200,5 25.423.554,9 29.792.222,7 33.622.651,3 39.400.214,5 44.465.956,3
BERSIH 52.106.783,6
NET PRESENT VALUE 252.132.244
BCR 1,32
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Lampiran. 2. ANALISIS FINANSIAL USAHA ARANG BAKAU OLEH PIHAK SWASTA (PT. BIOS)Aug-04
DASAR PERHITUNGAN :
1 Total Areal ha
2 Total Areal Produktif ha
3 Luas TebanganTahunan ha
4 Potensi per hektar m3
5 Faktor pengaman
6 Produksi Tahunan m3
7 Daur tahun
8 Nilai Harga Jual Kayu rp/m3
A INVESTASI
Sarana dan Prasarana
Bangunan sipil
Unit 15.941
Peralatan (Alat Persencanaan, bengkel
dan Logging) Unit 13.863 13.863
Mesin
Unit 2.475 2.475
Kendaraan (Operasional Logging/Speed,
crane, excavator, tongkang) Unit 90.797 90.797
B BIAYA OPERASIONAL
1. Biaya Tetap
a. Perencanaan
Amortisasi Biaya Perolehan IUPHHK
rp/ha 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000
Amortisasi Iuran IUPHHK
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
Amortisasi Biaya Penyusunan RKUPHHK
rp/ha 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000
Amortisasi Biaya Penyusunan
RKLUPHHK rp/ha 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000
Amortisasi Biaya Penyusunan
RKTUPHHK rp/ha 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Amortisasi Biaya Tata Batas
rp/km 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000
Biaya Pembuatan Landsat
rp/ha 2.970
b. Pengendalian Kebakaran dan
Pengamanan Hutan rp/ha 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
2. Biaya Variabel
a. Penanaman Bekas Tebangan
ITT
rp/ha 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000
Pembebasan Tahap I
rp/ha 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000
Pengadaan Bibit
rp/ha 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000
Pengayaan / Rehabilitasi
rp/ha 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500
Pemeliharaan I
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
Pemeliharaan II
rp/ha 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Pemeliharaan III
rp/ha 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000
Pembebasan Tahap II
rp/ha 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000
Pembebasan Tahap III
rp/ha 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000
Penjarangan I
rp/ha 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000
Penjarangan II
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
b. Penanaman Tanah Kosong / Non
Hutan mangrove rp/ha 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000
c. Penanaman Tanah kosong / non hutan rp/ha
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
PENERIMAAN
C. rp/ha 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Lampiran. 3. ANALISIS FINANSIAL USAHA ARANG BAKAU OLEH PIHAK SWASTA (PT. BIOS)... lanjutan
Tahun
Satuan E+6 E+7 E+8 E+9 E+10 E+11 E+12 E+13 E+14 E+15 E+16
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
DASAR PERHITUNGAN :
1 Total Areal ha
2 Total Areal Produktif ha
3 Luas TebanganTahunan ha
4 Potensi per hektar m3
5 Faktor pengaman
6 Produksi Tahunan m3
7 Daur tahun
8 Nilai Harga Jual Kayu rp/m3
A INVESTASI
Sarana dan Prasarana
Bangunan sipil
Unit 15.941
Peralatan (Alat
Persencanaan, bengkel dan
Logging) Unit 13.863
Mesin
Unit 2.475 2.475
Kendaraan (Operasional
Logging/Speed, crane,
excavator, tongkang) Unit 90.797
B BIAYA OPERASIONAL
1. Biaya Tetap
a. Perencanaan
Amortisasi Biaya Perolehan
IUPHHK rp/ha 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000
Amortisasi Iuran IUPHHK
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
Amortisasi Biaya
Penyusunan RKUPHHK rp/ha 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000
Amortisasi Biaya
Penyusunan RKLUPHHK rp/ha 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000
Amortisasi Biaya
Penyusunan RKTUPHHK rp/ha 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Amortisasi Biaya Tata Batas
rp/km 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000
Biaya Pembuatan Landsat rp/ha
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Tahun
Satuan E+6 E+7 E+8 E+9 E+10 E+11 E+12 E+13 E+14 E+15 E+16
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
b. Pengendalian Kebakaran
dan Pengamanan Hutan rp/ha 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000 200.000
c. Kewajiban Teknis Kepada
Negara
Amdal / RKL / RPL
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
d. Kewajiban Finansial
Kepada Negara
PBB
Rp/thn 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347 8.347
e. Penyusutan / Depresiasi
Bangunan sipil
Rp/ha 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594 1.594
Peralatan
Rp/ha 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773 2.773
Mesin
Rp/ha 413 413 413 413 413 413 413 413 413 413 413
Kendaraan
Rp/ha 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971 12.971
f. Biaya Umum dan
Administrasi Rp/ha 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212 172.212
2. Biaya Variabel
a. Penanaman Bekas
Tebangan
ITT
rp/ha 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000 26.000
Pembebasan Tahap I
rp/ha 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000 150.000
Pengadaan Bibit
rp/ha 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000 140.000
Pengayaan / Rehabilitasi
rp/ha 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500 187.500
Pemeliharaan I
rp/ha 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
Pemeliharaan II
rp/ha 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Pemeliharaan III
rp/ha 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000
Pembebasan Tahap II
rp/ha 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000
Pembebasan Tahap III
rp/ha 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000
Penjarangan I
rp/ha 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000
Penjarangan II rp/ha
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Tahun
Satuan E+6 E+7 E+8 E+9 E+10 E+11 E+12 E+13 E+14 E+15 E+16
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000
b. Penanaman Tanah
Kosong / Non Hutan
mangrove rp/ha 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000
c. Penanaman Tanah
kosong / non hutan rawa rp/ha 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000
d. Pemungutan Hasil Hutan
Pembalakan
rp/ha 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832 9.142.832
Jasa Produksi
rp/ha 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496 850.496
e. Kewajiban Finansial
Kepada Negara
PSDH
rp/ha 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373 1.926.373
DR
rp/ha 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403 1.977.403
f. Pemenuhan Kewajiban
Lingkungan dan Sosial Rp/ha 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780 265.780
TOTAL INVESTASI DAN
BIAYA OPERASIONAL 20.694.694 20.724.498 20.694.694 20.697.169 20.694.694 20.785.491 20.694.694 20.694.694 20.694.694 20.697.169 20.694.694
PENERIMAAN
C. rp/ha 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200 23.920.200
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Kesediaan
Pendapatan
Alamat Umur Pendidikan Pekerjaan membayar
No (Rp)
(Rp/Ha/Thn)
1 Langensari 34 SMP Nelayan 450.000 150.000
2 Langensari 32 SMA Nelayan 650.000 150.000
3 Langensari 40 SD Nelayan 550.000 70.000
4 Langensari 46 SD Petani 650.000 80.000
5 Langensari 52 Tdk tamat SD Petambak 1.250.000 115.000
6 Langensari 58 Tdk tamat SD Petambak 1.100.000 120.000
7 Langensari 45 SD Pedagang 1.000.000 65.000
8 Langensari 55 Tdk tamat SD Petani 750.000 70.000
9 Langensari 33 Sarjana Staf kec 1.300.000 100.000
10 Langensari 48 Sarjana Pedagang 800.000 100.000
11 Langensari 72 Tdk tamat SD Petani 250.000 100.000
12 Langensari 25 SD Petambak 300.000 85.000
13 Langensari 45 SMA Petambak 200.000 65.000
14 Langensari 70 Tdk tamat SD Petambak 750.000 50.000
15 Langensari 58 SD Petambak 650.000 95.000
16 Langensari 65 SD Nelayan 750.000 75.000
17 Langensari 50 SD Pedagang 1.000.000 50.000
18 Langensari 35 Tdk tamat SD Pedagang 400.000 50.000
19 Langensari 30 SMP Petani 600.000 75.000
20 Langensari 20 SMA Petambak 500.000 75.000
21 Blanakan 41 SMP Petambak 800.000 125.000
22 Blanakan 47 SD Petambak 900.000 115.000
23 Blanakan 52 Tdk tamat SD Peternak 900.000 85.000
24 Blanakan 56 Tdk tamat SD Peternak 1.000.000 115.000
25 Blanakan 54 Tdk tamat SD Petambak 550.000 100.000
26 Blanakan 20 SD Petambak 400.000 50.000
27 Blanakan 36 Sarjana Perhutani 1.150.000 250.000
28 Blanakan 40 SD Petani 500.000 95.000
29 Blanakan 39 SMP Petambak 1.100.000 115.000
30 Blanakan 42 SD Petambak 900.000 115.000
31 Blanakan 48 SD Petambak 760.000 120.000
32 Blanakan 51 SMP Petambak 940.000 120.000
33 Blanakan 56 Tdk tamat SD Petani 400.000 85.000
34 Blanakan 58 SD Petambak 550.000 85.000
35 Blanakan 38 SD Petambak 500.000 85.000
36 Blanakan 35 SD Nelayan 800.000 100.000
37 Blanakan 29 SD Petani 250.000 60.000
38 Langensari 18 SMA Peternak 800.000 100.000
39 Langensari 48 SMP Petambak 650.000 100.000
40 Langensari 60 Tdk tamat SD Petambak 650.000 85.000
41 Langensari 37 SMA Petambak 850.000 65.000
42 Langensari 38 SMP Petani 325.000 50.000
43 Langensari 24 SD Pedagang 500.000 95.000
44 Langensari 25 SD Peternak 625.000 75.000
45 Langensari 22 SMA Pedagang 350.000 50.000
46 Langensari 33 Tdk tamat SD Nelayan 325.000 65.000
47 Langensari 54 Tdk tamat SD Petani 650.000 100.000
48 Langensari 60 Tdk tamat SD Petambak 400.000 70.000
49 Langensari 30 SMA Pedagang 550.000 85.000
50 Langensari 71 Tdk tamat SD Petambak 450.000 60.000
Rata-rata 668.500 91.200
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Gambar Pemanfaatan untuk Pakan ternak (Kiri) dan Hasil Tambak Silvofishery
(Kanan)
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Gambar Hasil Tambak Silvofishery : Ikan Bandeng (kiri) dan Udang Peci (kanan)
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Gambar Sarana Prasarana Wisata Tahura Ngurah Rai: Kolam Sentuh (kiri)
Demplot Persemaian (kanan)
Gambar Atraksi Wisata Mangrove: Biota Perairan(kiri) dan Flora mangrove (kanan)
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Lampiran 9. Kuisioner
A. Identitas Responden
1) Nama Responden/Umur: ……………….
2) Alamat :……………….
3) Pendidikan :………………..
4) Pekerjaan Utama :………………..
5) Jumlah anggota keluarga : ……………….. (jiwa/KK)
6) Luas lahan pertanian (yang dimiliki)
a). Lahan milik …….Ha;
b). Lahan sewa……..Ha;
c). Lahan yag disewakan ke orang lain……..Ha
Sumber Sumber
No Nilai (Rp/bulan) No Nilai (Rp/bulan)
Pendapatan Pendapatan
1
2
3
4
5
3) Jika memanfaatkan, jenis apa yang Anda manfaatkan dari hutan mangrove?
a. Kayu mangrove b. Daun nipah c. Buah mangrove c. Daun mangrove
d. Ikan, Udang, Kepiting, Kerang, dll. e. Lainnya………….
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
2 Hewan Darat
- Buaya
- Monyet
- Burung
3 Hewan Air
- Ikan
- Udang
- Kepiting
- Kerang
- Lainnya
6 Getah/Tanin
5) Dimana lokasi pengambilan Sumberdaya mangrove yang Anda lakukan dan apa
saja alat / sarana angkutan yang diperlukan ?
Peralatan dan
Lokasi Jumlah yang
No Jenis Pemanfaatan sarana yang
Pengambilan Memanfaatkan
digunakan
1 Sumberdaya Kayu
- tiang / pancang
- kayu bakar
- bahan baku arang
- daun nipah
- gula nipah
- pemberat shuttlechok dan
tutup botol
2 Hewan Darat
- Buaya
- Monyet
- Burung
3 Hewan Air
- Ikan
- Udang
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
Peralatan dan
Lokasi Jumlah yang
No Jenis Pemanfaatan sarana yang
Pengambilan Memanfaatkan
digunakan
- Kepiting
- Kerang
- Lainnya
6 Getah/Tanin
6) Berapa biaya yang dikeluarkan untuk pemanfatan tiang pancang, kayu bakar, daun
nipah, buah nipah, pakan ternak, buah mangrove, hewan darat di mangrove, buah
mangrove, tumbuhan obat, ikan/udang/kepiting/ kerang, getah / tanin dan lain-lain?
No Jenis Pemanfaatan Komponen Biaya Jumlah Biaya (Rp) Satuan Biaya
1. a. …………………….
…………………….
b. …………………….
c. …………………….
2. a. …………………….
…………………… b. …………………….
c. …………………….
3. a. …………………….
……………………. b. …………………….
c. …………………….
4. a. …………………….
…………………… b. …………………….
c. …………………….
5. …………………….
7) Berapa harga jual jenis produk dari tegakan mangrove menurut Anda ?
Harga Jual di Tempat Harga Jual di Harga Jual di
Jenis Pemanfaatan (Rp/ikat, Rp/m3, Pengumpul (Rp/ikat, Eceran (Rp/ikat,
No
Rp/keping) Rp/m3, Rp/keping) Rp/m3,Rp/keping
1. Sumberdaya Kayu
- tiang / pancang
- kayu bakar
- bahan baku arang
- daun nipah
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
- gula nipah
- pemberat shuttlechok
dan tutup botol
2. Hewan Darat
- Buaya
- Monyet
- Burung
3. Hewan Air
- Ikan
- Udang
- Kepiting
- Kerang
- Lainnya
2. Hewan Darat
- Buaya
- Monyet
- Burung
3. Hewan Air
- Ikan
- Udang
- Kepiting
- Kerang
- Lainnya
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
11) Selain dari tegakan mangrove, darimana Anda memenuhi kebutuhan kayu bakar ?
a. Pekarangan/kebun b. Hutan Tanaman Perhutani
14) Apakah di daerah pantai / sempadan sungai di sekitar tempat tinggal bapak atau di
sekitar hutan mangrove terjadi erosi atau abrasi ?
Kalau ada, kira-kira berapa panjangnya?
15) Apakah di lahan sawah atau kebun di sekitar hutan mangrove terjadi penurunan
produksi sawah atau kebun akibat masuknya air laut ke wilayah daratan?.
Kalau terjadi penurunan produksi, berapa banyak penurunan tersebut?
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
16) Apakah ada penurunan produksi akibat pemanfaatan mangrove dari waktu ke
waktu? Kenapa?
17) Selain manfaat sumberdaya tersebut manfaat lain apa yang Anda rasakan dengan
keberadaaan hutan mangrove yang ada?
b). Jika Ya, kegiatan apa saja yang dilakukan orang tersebut yang Anda jumpai?
a. Menikmati suasana lingkungan hutan mangrove melalui jalur sungai
menggunakan perahu.
b. Mengamati tumbuhan hutan mangrove
c. Mengamati satwa liar
d. Mengamati kehidupan di kampung nelayan
e. Memancing
f. Penelitian
g. Memotret
h. Lain – lain...........
d). Apakah kegiatan pengunjung yang datang tersebut memberikan lapangan kerja
atau pendapatan Anda?
a. Ya. b. Tidak. c. Tidak Tahu
e). Jika pengunjung memberikan pendapatan kepada Anda, berapa nilainya (Rp)?
c). Sarana transportasi apa yang anda gunakan untuk menuju lokasi wisata?
a. Kendaraan Pribadi (mobil, motor).
b. Kendaraan Umum (Bis)
c. Lainnya.....
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
g). Berapa biaya yang Anda habiskan selama menuju ke dan pulang dari lokasi
wisata:
Nilai Biaya Nilai Biaya
No Komponen Biaya No Komponen Biaya
(Rp) (Rp)
1. Tranportasi (pp) 6. Minuman
2. Tiket masuk 7. Souvenir/Oleh-oleh
3. Makan 8. Sewa perlengkapan
4. Jajanan/Snack 9. Biaya lainnya...
5. Pemandu Wisata
h). Menurut anda sudah cukupkan sarana dan prasarana yang terdapat di lokasi
wisata ini?, Kalau belum, sarana prasarana apa saja yang perlu ditambah?
i). Menurut Anda obyek apa yang membuat Anda menarik datang ke lokasi wisata
ini?.
j). Menurut Anda Objek apa saja yang perlu ditingkatkan atau ditambah untuk
menunjang pengembangan wisata?.
b). Berapa banyak rata-rata pengunjung wisata yang membeli / menyewa barang
atau
jasa di tempat usaha Anda (orang/hari atau orang/minggu).?
c). Berapa besar kontribusi pengunjung wisata terhadap omset penjualan pada
usaha
yang Anda jalani?.
Halaman Lampiran
Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove
6. Berdasarkan manfaat yang disebutkan tersebut, apakah Anda bersedia membayar agar
keberadaan hutan mangrove tetap tersedia seperti saat ini, meskipun Anda tidak akan
menggunakan secara langsung :
a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu
E. Pengembangan Usaha
1. Apakah ada sumberdaya alam lainnya (diluar hutan mangrove) yang bisa dimanfaatkan
oleh masyarakat?
2. Apakah selama ini Anda menggantungkan diri hanya pada sumberdaya mangrove?
Halaman Lampiran