Anda di halaman 1dari 37

Page 1 of 37

ASKEP LANSIA DENGAN GANGGUAN PSIKOSOSIAL

Alam Perasaan & Konsep Diri

Tujuan :
• Menjelaskan perubahan-perubahan psikososial yang menyertai proses menua
• Menyebutkan masalah yang timbul sebagai konsekuensi perubahan psikososial
• Mengidentifikasi & menyusun rencana intervensi sebagai implikasi keperawatan terhadap masalah yang timbul.

Perubahan Psikososial Lansia


• Pensiun
• Identitas sering dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan
• Sadar akan kematian
• Kehilangan hubungan dengan teman-teman & famili
• Penyakit kronis & ketidakmampuan
• Perubahan terhadap gambaran diri, konsep diri
• Kesepian (loneliness)

Masalah Psikososial Lansia


• Aspek Sosial Lansia :
Sikap, nilai, keyakinan terhadap lansia, label/stigma, perubahan sosial
• Ketergantungan :
Penurunan fungsi, penyakit fisik
• Gangguan konsep diri
• Gangguan alam perasaan : Depresi

Faktor Resiko Masalah Psikososial Lansia


• Sumber finansial yang kurang
• Tipe kepribadian : manajemen stress
• Kejadian yang tidak terduga
• Jumlah kejadian pada waktu yang berdekatan
• Dukungan sosial kurang

PENGERTIAN KONSEP DIRI


 Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan
mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sundeen, 1998).

 Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional intelektual , sosial dan
spiritual (Beck, William dan Rawlin,1986)

Konsep diri tidak langsung ada begitu individu di lahirkan, tetapi secara bertahap seiring dengan tingkat pertumbuhan
dan perkembangan individu.

Konsep diri akan terbentuk karena pengaruh ligkungannya.

 Konsep diri juga akan di pelajari oleh individu melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain termasuk berbagai
stressor yang dilalui individu tersebut.

Gangguan Konsep diri : Kekacaua individu dalam melihat citra tubuh, penampilan peran atau identitas personal.

KOMPONEN KONSEP DIRI

1. Gambaran diri / Citra Tubuh ( Body Image )

Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar.

 Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan
Page 2 of 37

masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Stuart and Sundeen ,
1991).

Gangguan Gambaran Diri : Perubahan persepsi tentang tubuh yang diakibatkan oleh perubahan bentuk, ukuran,
struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang sering kontak dengan tubuh.

Perubahan fisik terkait usia, efek penyakit

2. Ideal Diri.

 Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan standart, aspirasi, tujuan atau
penilaian personal tertentu ( Stuart and Sundeen ,1991).

Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita - cita, nilai - nilai yang
ingin di capai .

Menurut Ana Keliat ( 1998 ) ada beberapa faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu :
1. Kecenderungan individu menetapkan ideal pada batas kemampuannya.
2. Faktor budaya akan mempengaruhi individu menetapkan ideal diri.
3. Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang realistis, keinginan untuk mengklaim diri dari
kegagalan, perasaan cemas dan rendah diri.
4. Kebutuhan yang realistis.
5. Keinginan untuk menghindari kegagalan.
6. Perasaan cemas dan rendah diri.

Ideal diri ini hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi, tetapi masih lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi
pendorong dan masih dapat dicapai (Kelliat, 1992 ).

Gangguan Ideal diri : Ideal diri yang terlalu tinggi, sukar dicapai, dan tidak realistis

3. Harga Diri (Self – Esteem)

 Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi
ideal diri (Stuart and Sundeen,1991).

Jika individu sering gagal , maka cenderung harga diri rendah.

Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain.

Aspek utama adalah di cintai dan menerima penghargaan dari orang lain (Keliat, 1992).

 Gangguan Harga diri : Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri,

4. Peran.
 Peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat
(Keliat, 1992 ).
Stress peran terdiri dari konflik peran yang tidak jelas dan peran yang tidak sesuai atau peran yang terlalu banyak.
 Posisi di masyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran,
tuntutan serta posisi yang tidak mungkin dilaksanakan (Keliat, 1992).

Gangguan Peran : Berubah atau berhentinya fungsi peran disebabkan oleh penyakit, proses menua, putus sekolah, putus
hubungan kerja.

Muncul tatkala perubahan tidak diterima individu.


Page 3 of 37

Faktor yang mempengaruhi : peran berlebihan, citra tubuh, perubahan fisik, faktor sosial.

5. Identitas

 Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari
semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh (Stuart and Sundeen, 1991)

Hal yang penting dalam identitas adalah jenis kelamin (Keliat,1992).

Karakteristik identitas diri dapat dimunculkan dari perilaku dan perasaan seseorang, seperti :
1. Individu mengenal dirinya sebagai makhluk yang terpisah dan berbeda dengan orang lain.
2. Individu mengakui atau menyadari jenis seksualnya
3. Individu mengakui dan menghargai berbagai aspek tentang dirinya, peran, nilai dan prilaku secara harmonis
4. Individu mengaku dan menghargai diri sendiri sesuai dengan penghargaan lingkungan sosialnya
5. Individu sadar akan hubungan masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang
6. Individu mempunyai tujuan yang dapat dicapai dan direalisasikan (Meler dikutip Stuart and Sundeen, 1991)

 Gangguan Identitas : kekaburan/ketidakpastian memandang diri sendiri, penuh keraguan, sukar menetapkan keinginan
dan tidak mampu mengambil keputusan.

MASALAH KEPERAWATAN
Gangguan harga diri : harga diri rendah
Isolasi sosial : menarik diri
Resiko perilaku kekerasan
Gangguan citra tubuh
Gangguan identitas personal
Perubahan penampilan peran
Ketidakmampuan

PRINSIP TINDAKAN
Meningkatkan harga diri
Memaksimalkan kemandirian : self care, ADL
Meningkatkan kontrol diri : peran serta, pengambilan keputusan
Menyediakan dukungan sosial

RENCANA TINDAKAN

Konseling individual
• Perawat berperan sebagai fasilitator untuk membantu klien
• Tripple ”S” : Sabar, Simpatik, Service
• Fokus :
- Terapi individual
- Bantu individu mengidentifikasi kekuatan
- Penurunan harapan yang tidak realistis

Pendekatan kelompok
• Tujuan :
- Menguatkan integritas ego pada lansia
- Penguatan kontak sosial bagi anggota kelompok
- Meningkatnya perasaan ”sama” terhadap perubahan menjadi tua
- Meningkatkan ingatan masa lalu & kemampuan berempati terhadap annggota lain

Intervensi Jaringan
• Tujuan :
- Meningkatkan peran-peran yang tersedia bagi lansia termasuk identitas personal, harga diri & penampilan peran
Page 4 of 37

Modifikasi lingkungan
• Hindari penilaian negatif, beri pujian realistis
• Perluas kesadaran klien terhadap aspek positif yang dimiliki
• Beri kesempatan klien untuk berhasil
• Diskusikan harapan-harapan klien
• Tingkatkan interaksi sosial

EVALUASI
• Dapat diukur melalui :
- Perilaku merawat diri
- Kontak mata
- Postur
- Pernyataan tentang diri

ALAM PERASAAN

Adalah keadaan emosional yang berkepanjangan yang mempengaruhi seluruh kepribadian dan fungsi kehidupan
seseorang.

Gangguan alam perasaan : gangguan emosional yang disertai gejala mania atau depresi.

Mania : Suatu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan adanya alam perasaan yang meningkat, meluas atau keadaan
emocional yang mudah tersinggung dan terangsang.

Depresi : Statu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedíh dan berduka yang berlebihan dan
berkepanjangan

Depresi pada lansia bukan merupakan patologi tunggal, biasanya multifactorial oleh karena stress lingkungan &
penurunan kemampuan beradaptasi.
Diagnosis Depresi menurut kriteria DSM-III R
Jika terdapat 5/lebih gejala :
• Perasaan tertekan hampir sepanjang hari
• Secara nyata penurunan perhatian/keinginan untuk berbagai aktivitas/kesenangan
• BB turun/naik secara nyata
• Insomnia/hipersomnia.
• Agitasi
• Rasa capai/lemah & hilangnya kekuatan
• Perasaan bersalah, tidak berharga
• Hilangnya kemampuan berfikir, konsentrasi atau membuat keputusan
• Pikiran berulang tentang kematian, bunuh diri

Depresi pada lansia seringkali kurang/tidak terdiagnosa karena hal-hal sbb:


• Penyakiit fisik yang dideriat seringkali mengacaukan gambaran depresi, ex:mudah lelah, Penuruanan BB
• Lansia yang menutupi rasa sedihnya justru dengan menunjukkan bahwa dia lebih aktif
• Kecemasan, obsesional, histeria hipokondria yang merupakan gejala depresi justru sering menutupi depresinya
• Masalah sosial yang juga diderita seringkali membuat gambaran depresi menjadi lebih rumit.

PENGKAJIAN

Faktor predisposisi : Genetik (kembar monozigot), kehilangan, tipe kepribadian tertentu, penilaian negatif terhadaf diri
sendiri, menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan (keyakinan akan ketidakmampuannya ; tidak berupaya
mengembangkan respon adaptif), kurangnya pujian positif selama berinteraksi dengan lingkungan.

Faktor presipitasi : berbagai penyakit fisik (faktor biologis), kehilangan (faktor psikologis)

Perilaku & mekanisme koping : denial, supresi

MASALAH KEPERAWATAN
Berduka disfungsional
Page 5 of 37

Ketidakberdayaan
Gangguan pola tidur
Resiko terhadap cedera
Perubahan nutrisi
Defisit perawatan diri
Ansietas

TUJUAN & TINDAKAN

Tujuan : mengajarkan klien untuk berespons emosional yang adaptif

Tindakan :
Lingkungan aman, cegah terjadinya kecelakaan
Hubungan saling percaya perawat – klien
Dorong untuk mengekspresikan pengalaman yang menyakitkan untuk mengurangi intensitas masalah.
Ubah pikiran negatif identifikasi aspek positif (kemampuan, keberhasilan), bantu mengubah persepsi yang salah/negatif ;
positif, beri pujian
Libatkan dalam kegiatan dan interaksi sosial
Meningkatkan status kesehatan : perawatan diri, istirahat, makan, minum.

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN GANGGUAN PSIKOLOGI DAN PSIKOSOSIAL

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Teori Lansia


2.1.1. Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
b. Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.
2.1.2. Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap
kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahapan ini berbeda baik secara
biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran secara fisik maupun secara psikis.
Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan menurun,
gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat.

2.2. Teori Kejiwaan Lansia


2.2.1. Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia
lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup)
dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil
dari usia pertengahan ke lanjut usia.
2.2.2. Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas.
Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe
personaliti yang dimiliki.
2.2.3 Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri
dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun
kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni:
Kehilangan Peran
Hambatan Kontak Sosial
Berkurangnya Kontak Komitmen

2.3. Teori Psikologi


2.3.1. Teori Tugas Perkembangan
Page 6 of 37

Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa tua antara lain adalah:
a. Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya
e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Selain tugas perkembangan diatas, terdapat pula tugas perkembangan yang spesifik yang dapat muncul sebagai akibat
tuntutan:
a. Kematangan fisik
b. Harapan dan kebudayaan masyarakat
c. Nilai-nilai pribadi individu dan aspirasi
Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam diri, kebutuhan yang memotivasi seluruh perilaku manusia
(Maslow 1954).

2.3.2. Teori Individual Jung


Carl Jung (1960) menyusun sebuah teori perkembangan kepribadian dari seluruh fase kehidupan yaitu mulai dari
masa kanak-kanak, masa muda dan masa dewasa muda, usia pertengahan sampai lansia. Kepribadian individu terdiri dari
Ego, ketidaksadaran seorang dan ketidaksadaran bersama. Menurut teori ini kepribadian digambarkan terhadap dunia luar
atau kearah subyektif. Pengalaman-pengalaman dari dalam diri (introvert). Keseimbangan antara kekuatan ini dapat
dilihat pada setiap individu dan merupakan hal yang paling penting bagi kesehatan mental.

2.3.3. Teori Delapan Tingkat Kehidupan


Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi akibat adanya kondisi dimana kondisi psikologis mencapai
pada tahap-tahap kehidupan tertentu. Ericson (1950) yang telah mengidentifikasi tahap perubahan psikologis (delapan
tingkat kehidupan) menyatakan bahwa pada usia tua, tugas perkembangan yang harus dijalani adalah untuk mencapai
keeseimbangan hidup atau timbulnya perasaan putus asa. Peck (1968) menguraikan lebih lanjut tentang teori
perkembangan Erikson dengan mengidentifikasi tugas penyelarasan integritas diri dapat dipilih dalam tiga tingkat yaitu :
pada perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, perubahan tubuh terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego
terhadap ego preokupasi.
Pada tahap perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, tugas perkembangan yang harus dijalani oleh lansia
adalah menerima identitas diri sebagai orang tua dan mendapatkan dukungan yang adekuat dari lingkungan untuk
menghadapi adanya peran baru sebagai orang tua (preokupasi). Adanya pensiun dan atau pelepasan pekerjaan merupakan
hal yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan dan dapat menyebabkan perasaan penurunan harga diri dari
orang tua tersebut.

2.4. Teori Psikososial Lansia


2.4.1. Definisi
Perkembangan psikososial lanjut usia adalah tercapainya integritas diri yang utuh. Pemahaman terhadap makna
hidup secara keseluruhan membuat lansia berusaha menuntun generasi berikut (anak dan cucunya) berdasarkan sudut
pandangnya. Lansia yang tidak mencapai integritas diri akan merasa putus asa dan menyesali masa lalunya karena tidak
merasakan hidupnya bermakna (Anonim, 2006). Sedangkan menurut Erikson yang dikutip oleh Arya (2010) perubahan
psikososial lansia adalah perubahan yang meliputi pencapaian keintiman, generatif dan integritas yang utuh.

2.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Psikososial Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan psikososial lansia menurut Kuntjoro (2002), antara lain:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis
berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok,
tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan
secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial,
yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar
dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi
psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir
fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja
secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti:
a. Gangguan jantung
b. Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
Page 7 of 37

c. Vaginitis
d. Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
e. Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
f. Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya .
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun
dsb.
3. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi
kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi
dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan
dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan
dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia
sebagai berikut:
1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang
dan mantap sampai sangat tua.
2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power
sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan
keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup
meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas
dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena
perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
4. Perubahan Yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia
dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun
sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah
orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di
atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia? Jawabannya sangat tergantung
pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan,
ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah).
Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif.
Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar
pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan
untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun.
Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif.
Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya
memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat
banyak jenis dan macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga
menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain
yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun
mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.
5. Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan
fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang,
penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu
mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau
diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-
kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak
berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Page 8 of 37

Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang
kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan
kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka
yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya
anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar. Disinilah
pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long
stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada
masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup
sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia

2.5. Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial


2.5.1. Depresi
2.5.1.1. Pengertian
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan
gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu rnakan, psikomotor, konsentrasi, keielahan, rasa putus
asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kap'an dan Sadock, 1998). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan
pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau
perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2000). Menurut Hudak & Gallo (1996), gangguan depresi merupakan keluhan
umum pada lanjut usia dan merupakan penyebab tindakan bunuh diri.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa,
perasaan kosong (Keliat, 1996). Sedangkan menurut Hawaii (1996;, depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam
perasaan (mood), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus
asa. Depresi adalah suatu kesedihan atau perasaan duka yang berkepanjangan (Stuart dan Sundeen, 1998).

2.5.1.2. Tanda Dan Gejala Depresi


Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996) meliputi beberapa aspek seperti:
1. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan,
keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
2. Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan pencernaan, insomnia, perubahan
haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat badan.
3. Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri,
mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.
4. Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang
spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.

Menurut PPDGJ-III (Maslim,1997), tingkatan depresi ada 3 berdasarkan gejala-gejalanya yaitu:


1. Depresi Ringan
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang

2. Depresi Sedang
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis

3. Depresi Berat
Gejala :
a) Mood depresif
Page 9 of 37

b) Kehilangan minat dan kegembiraan


c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit
saja) dan menurunnya aktivitas.
d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h) Tidur terganggu
i) Disertai waham, halusinasi
j) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu

2.5.1.3. Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia


Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia,- depresi ini sering di diagnosis salah atau diabaikan. Rata-rata
60-70% lanjut usia yang mengunjungi praktik dokter umum adalah mereka dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak
terdeteksi karena lansia lebih banyak memfokuskan pada keluhan badaniah yang sebetulnya ; adalah penyerta dari
gangguan emosi (Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan keadaan ini, mencakup fakta bahwa depresi
pada lansia dapat disamrkan atau tersamarkan oleh gangguan fisik lainnya (masked depression). Selain itu isolasi sosial,
sikap orang tua, penyangkalan pengabaian terhadap proses penuaan normal menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak
tertanganinya gangguan ini. Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan dengan adanya keluhan tidak merasa
berharga, sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa kosong, tidak ada harapan, menuduh diri, ide-ide
pikiran bunuh diri dan pemilihan diri yang kurang bahkan penelantaran diri (Wash, 1997).

Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala depresi pada lansia :


1. Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia yang menunjukkan gejala depresi. Pertama, individu yang
mengalami depresi memiliki self-esteem yang sangat rendah. Mereka berpikir tidak adekuat, tidak mampu, merasa
dirinya tidak berarti, merasa rendah diri dan merasa bersalah terhadap kegagalan yang dialami. Kedua, lansia selalu
pesimis dalam menghadapi masalah dan segala sesuatu yang dijalaninya menjadi buruk dan kepercayaan terhadap dirinya
(self-confident) yang tidak adekuat. Ketiga, memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani hidupnya, selalu meminta
bantuan dan melihat semuanya gagal dan sia-sia sehingga merasa tidak ada gunanya berusaha. Keempat, membesar-
besarkan masalah dan selalu pesimistik menghadapi masalah. Kelima, proses berpikirnya menjadi lambat, performance
intelektualnya berkurang. Keenam, generalisasi dari gejala depresi, harga diri rendah, pesimisme dan kurangnya motivasi.
2. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus asa, kehilangan semangat dan muram. Sering
merasa terisolasi, ditolak dan tidak dicintai. Lansia yang mengalami depresi menggambarkan dirinya berada dalam lubang
gelap yang tidak dapat terjangkau dan tidak dapat keluar dari sana.
3. Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi seperti pola tidur yang terganggu ( insomnia ),
gangguan pola makan dan dorongan seksual yang berkurang. Lansia lebih rentan terhadap penyakit karena sistem
kekebalan tubuhnya melemah, selain karena aging proces juga karena orang yang mengalami depresi menghasilkan sel
darah putih yang kurang (Schleifer et all, 1984 ; Samiun, 2006).
4. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi motor. Sering duduk dengan terkulai dan tatapan
kosong tanpa ekspresi, berbicara sedikit dengan kalimat datar dan sering menghentikan pembicaraan karena tidak
memiliki tenaga atau minat yang cukup untuk menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut
Sadavoy et all (2004) gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur (sleep) pada lansia
yang dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi buruk dan bangun dini dan tidak bisa tidur lagi, penurunan minat dan
aktifitas (interest), rasa bersalah dan menyalahkan diri (guilty), merasa cepat lelah dan tidak mempunyai tenaga (energy),
penurunan konsentrasi dan proses pikir (concentration), nafsu makan menurun (appetite), gerakan lamban dan sering
duduk terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri (suicidaly)

2.5.1.4. Penyebab Depresi


Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab depresi ialah :
A. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif melalui riwayat keluarga dan keturunan.
2. Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan marah yang ditunjukkan
kepada diri sendiri.
Page 10 of 37

3. Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu dengan benda atau yang sangat berarti.
4. Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang negatif dan harga diri rendah mempengaruhi
sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor.
5. Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang di dominasi oleh evaluasi negatif
seseorang terhadap diri sesorang, dunia seseorang dan masa depan seseorang.
6. Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ), menunjukkkan bukan semata-mata trauma
menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam
kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon yang tidak adaptif.
7. Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi penyebab depresi terletak pada kurangnya
keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
8. Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama depresi, termasuk definisi
katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi periodik dalam irama biologis.

B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi ) menurut Stuart dan Sundeen (
1998 ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang, fungsi fisik, kedudukan
atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan
hal sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode depresi dan mempunyai
dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi, terutama pada wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti infeski, neoplasma, dan
gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan alam perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat
obat anti hipertensi dan penyalahgunaan zat yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang
melemahkan tubuh juga sering disertai depresi.

Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi (teori biologis terdiri dari
genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial terdiri dari psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori
kehilangan objek).

2.5.1.5. Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia


Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental health) yang serius dan kompleks, tidak hanya
dikarenakanaging process tetapi juga faktor lain yang saling terkait. Sehingga dalam mencari penyebab depresi pada
lansia harus dengan multiple approach. Menurut Samiun (2006) ada 5 pendekatan yang dapat menjelaskan terjadinya
depresi pada lansia yaitu :
1. Pendekatan Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa aman dan terlindung, keinginan untuk
dihargai, dihormati dan lain-lain. Menurut Hawari (1996), seseorang yang kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut
(loss of love object) dapat jatuh dari kesedihan yang dalam. Sebagai contoh seorang kehilangan orang yang dicintai
(terhadap suami atau istri yang meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan dan menyebabkan orang itu
mengalami kesedihan yang mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh rasa sesal, bersalah dan seterusnya, yang pada
gilirannya orang akan jatuh dalam depresi.
Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi terhadap kehilangan. Perasaan sedih dan duka cita
sesudah kehilangan objek yang dicintai (loss of love object), tetapi seringkali mengalami perasaan ambivalensi terhadap
objek tersebut (mencintai tetapi marah dan benci karena telah meninggalkan). Orang yang mengalami depresi percaya
bahwa intropeksi merupakan satu-satunya cara ego untuk melepaskan suatu objek, sehingga sering mengritik, marah dan
menyalahkan diri karena kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997). Depresi yang terjadi pada lanjut usia adalah dampak
negatif kejadian penurunan fungsi tubuh dan perubahan yang terjadi terutama perubahan psikososial. Perubahan-
perubahan tersebut diatas seringkali menjadi stresor bagi lanjut usia yang membutuhkan adaptasi biologis dan biologis.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah kurangnya kemampuan dalam beradaptasi
secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan
dan stres lingkungan sering menyebabkan depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami depresi adalah strategi pasif (defence mcanism)
seperti menghindar, menolak, impian, displacement dan lain-lain (Coyne ett all, 1981 ; Samiun, 2006). Hubungan stress
dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan sosial (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam
menghadapi stresor. Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stres (Billings, et all, 1983 ; Samiun , 2006).

2. Pendekatan Perilaku Belajar


Page 11 of 37

Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah individu yang kurang menerima hadiah (reward)
atau penghargaan dan hukuman (punishment) yang lebih banyak dibandingkan individu yang idak depresi (Lewinsohn,
1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ; Samiun, 2006). Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini
mengakibatkan lansia merasakan kehidupan yang kurang menyenangkan, kecenderungan memiliki self-esteem yang
kurang dan mengembangkan self-concept yang rendah. Hadiah dan hukuman bersumber dari lingkungan (orang-orang
dan peristiwa sekitar) dan dari diri sendiri. Situasi akan bertambah buruk jika seseorang menilai hadiah yang diterima
terlalu rendah dan hukuman yang diterima terlalu tinggi terutama untuk tingkah laku mereka sendiri, sehingga
mengakibatkan ketidakseimbangan antara nilai reward dan punishment itu. Peran hadiah dan hukuman terhadap diri
sendiri yang tidak tepat dapat menimbulkan depresi (Rehm, 1997 ; Wicoxon, et all, 1997 ; Samiun 2006).
Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari hadiah dan hukuman adalah seseorang jika pindah ke tempat lain yang
dapat mengakibatkan kehilangan sumber-sumber hadiah dan perubahan dari tingkah laku yang mendapat hadiah sehingga
aktifitas yang sebelumnya dihadiahi menjadi tidak berguna. Standar untuk hadiah dan hukuman yang meningkat
menyebabkan performansi yang diperlukan untuk mendapat hadiah lebih tinggi. Kehilangan hadiah yang sebelumnya
diterima dapat menyebabkan depresi apabila sumber alternatif untuk mendapat hadiah tidak ditemukan.

3. Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami depresikarena memiliki kemapanan kognitif
yang negatif (negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya,
seseorang yang berhasil mendapatkan pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan menginterpretasikan
sebagai suatu yang kebetulan dan tetap memikirkan kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan
memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa depannya suram dan penuh dengan
kegagalan. Masalah utam pada lansia yang depresi adalah kurangnya rasa percaya diri (self-confidence) akibat persepsi
diri yang negatif (Townsend, 1998).
Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari adanya distorsi pemikiran dan
adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga menyebabkan tingkat aktifitas berkurang karena merasa tidak
ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan merasa tidak
berdaya (helplessness). Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984;
Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering adalah melibatkan
distorsi negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative, pesimistis dan keputusasaan. Pandangan negative dan
ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. Pengalaman
awal memberikan dasar pemikiran diri yang negative dan ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik yang
terus menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang sering dialami individu (Beck, et al., 1979;
Samiun, 2006).

4. Pendekatan Humanistik – Eksitensial


Teori humanistic dan eksistensial berpendapat bahwa depresi terjadi karena adanya ketidakcocokan antara reality self
dan ideal self. Individu yang menyadari jurang yang dalam antara reality self dan ideal self dan tidak dapat dijangkau,
sehingga menyerah dalam kesedihan dan tidak berusaha mencapai aktualisasi diri.
Menyerah merupakan factor yang penting terjadinya depresi. Individu merasa tidak ada lagi pilihan dan berhenti
hidup sebagai seeorang yang real. Pada lansia yang gagal untuk bereksistensi diri menyadari bahwa mereka tidak mau
berada pada kondisinya sekarang yang mengalami perubahan dan kurang mampu menyesuaikan diri, sehingga kehidupan
fisik mereka segera berakhir. Kegagalan bereksistensi ini merupakan suatu kematian simbolis sebagai seseorang yang
real.

5. Pendekatan Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas neurologis yang rendah (neurotransmiter
norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi mengatur kesenangan. Neurotransmitter ini
memainkan peranan penting dalam fungsi hypothalamus, seperti mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku
motor (Sachar, 1982; Samiun, 2006), sehingga seringkali seseorang yang mengalami depresi disertai dengan keluhan-
keluhan tersebut.
Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian saudara kembar. Monozogotik Twins (MZ) berisiko
mengalami depresi 4,5 kali lebih besar (65%) daripada kembar bersaudara (Dizigotik Twins/DZ) yang 14% (Nurberger &
Gershon, 1982; Samiun, 2006). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi itu diturunkan.
Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan perpaduan interaksi yang unik dari berkurangnya
interaksi social, kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri karena penurunan kemampuan rendah diri,
kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta kesedihan ditinggal orang yang dicintai, factor kepribadian, genetic, dan
factor biologis penurunan neuron-neuron dan neurotransmitter di otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya depresi
pada lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga depresi pada lansia dianggap
sebagai hal yang wajar terjadi.
Page 12 of 37

2.5.1.6. Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)


Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang dialami seseorang setelah mengalami
pension. Salah satu factor penyebab depresi pada pasca kuasa adalah karena adanya perubahan yang berkaitan dengan
pekerjaan atau kekuasaan ketika pension. Meskipun tujuan ideal pension adalah agar para lansia dapat menikmati hati tua
atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pension sering dirasakan sebagai
kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Rini J, 2001). Menurut Kuntioro
(2002), reaksi setelah orang memasuki masa pension lebih tergantung dari model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar
masa pension tidak merupakan beban mental lansia, jawabannya adalah sangat tergantung pada sikap dan mental individu
dalam masa pensiun, dalam kenyataannya ada yang menerima ada yang takut kehilangan ada yang merasa senang
memiliki jaminan hari tua da nada juga yang seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah). Masing-masing sikap tersebut
sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu baik positif maupun negative. Dampak positif lebih
menentramkan driri lansia dan dampak negative akan mengganggu kesejahteraan hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri, gangguan interpersonal, peristiwa social yang
tidak diinginkan dan gangguan pola kehidupan yang besar. Kejadian yang tidak diinginkan juga sering menjadi factor
presipitasi depresi. Kejadian di masa lampau (perpisahan dan segala macam kehilangan) lebih sering memperburuk gejal
kejiwaan, perubahan kesehatan fisik, gangguan penampilan peran social dan depresi (Stuart dan Larairam, 1998).
Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai kekuasaan, wewenang,
dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang kehilangan kekuasaan dan kekuatan
(powerless), artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of love
object ini adalah terganggunya keseimbangan mental/emosional dengan manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan
terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan perilaku, merupakan
kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca kuasa (post power syndrome). Perubahan sikap dan perilaku tersebut
merupakan dampak atau keluhan psikososial dari orang yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat kini merasa lemah. Perubahan
posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio) dan alam perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau
keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu sifatnya kedalam, tertutup dan
tidak terbuka maka keluhan psikososial inilah yang sering menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan
perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang mengakibatkan perubahan persepsi
dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial di luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang
itu, orang menggunakan mekanisme defensive antara lain berupa makanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah maka
terjadi perubahan persepsi seseorang terhadap kondisi psikososial sekelilingnya. Menurut Maramis (1995), bahwa stress
psikologis terutama pada jiwa, seperti kecemasan, kekecewaan dan rasa bersalah yang menimbulkan mekanisme
penyesuaian psikologis. Mungkin pada sewaktu-waktu, hanya gejala badaniah atau gejala psiokologik saja yang
menonjol, tetapi kita harus mengingat bahwa manusia itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh manusia
itu terlibat dalam hal ini.
Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga komponen psikologik dan komponen
somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul
kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas lupa timbul pikiran bunuh diri. Sedangkan gejala badaniah ialah penderita
kelihatan tidak senang, lelah tak bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan dan kurang hidup, terdapat
anoreksia (kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan konstipasi.

2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti wreda (Endah dkk, 2003) :
a. Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup dan apa yang ingin
dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru, orang0orang yang belum dikenal, aturan dan nilai-
nilai yang berbeda, dan keterasingan merupakan stressor bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya
keinginan dan motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi dan
kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah kekurangan kemampuan dalam
beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap
perubahan dan stress lingkungan sering menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali
melibatkan dukungan social (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti
bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang mengalami depresi bila
berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983; Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa hidupnya telah gagal karena harus
menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai mengakibatkan lansia memandang masa depan suram
Page 13 of 37

dan selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di
institusi.

b. Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social mengakibatkan penyesuaian
diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi
dengan keluarga yang dicintai dapat menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi
dan kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia antara integritas,
pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan social yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
memelihara dan mempertahankan kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia
(Stoudemire, 1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya depresi. Sulit bagi lansia
meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus meninggalkan rumah tempat tinggal lamanya (relokasi)
oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi merupakan pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan
kenangan lama dan pertalian persahabatan yang telah memberikan perasaan aman dan stabilitas sehingga sering
mengakibatkan lansia merasa kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan depresi (Friedman, 1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya yang hilang setelah
memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya gairah hidup, kepuasaan dan penghargaan
diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja
mengalami penyesuaian diri dengan peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini,
2001).

c. Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan lansia tersisihkan dan
terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk menaruhnya di panti lansia (Darmojo &
Martono, 2004). Pergeseran system keluarga (family system) dari extendend family ke nuclear family akibat industrialisasi
dan urbanisasi mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis
menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah penyelesainnya dengan menitipkan di
panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk psikologisnya dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia, karena tinggal dalam keluarga
adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas perkembangan keluarga yang memiliki lansia untuk mempertahankan
pengaturan hidup yang memuaskan dan mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh
Friedman, 1998).

2.5.1.8. Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia


Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap lingkungannya. Gejala depresi pada lansia
diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan
pengkajian dengan alat pengkajian yang terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid dan memang dirancang untuk
diujikan kepada lansia. Salah satu yang paling mudah digunakan untuk diinterprestasikan di berbagai tempat, baik oleh
peneliti maupun praktisi klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini diperkenalkan oleh Yesavage pada
tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut usia, dan memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak memerlukan
keterampilan khusus dari pengguna. Instrument GDS ini memiliki sensitivitas 84 % dan specificity 95 %. Tes reliabilitas
alat ini correlates significantly of 0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan dibuat sebagai alat
penapisan depresi pada lansia. GDS menggunakan format laporan sederhana yang diisi sendiri dengan menjawab “ya”
atau “tidak” setiap pertanyaan, yang memrlukan waktu sekitar 5-10 menit untuk menyelesaikannya. GDS merupakan alat
psikomotorik dan tidak mencakup hal-hal somatic yang tidak berhubungan dengan pengukuran mood lainnya. Skor 0-10
menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan depresi ringan dan skor 21-30 termasuk depresi sedang/berat
yang membutuhkan rujukan guna mendapatkan evaluasi psikiatrik terhadap depresi secara lebih rinci, karena GDS hanya
merupakan alat penapisan. Spesifikasi rancangan pernyataan perasaan (mood) depresi seperti tabel berikut:
Table 5.1 Spesifikasi rancangan kuesioner GDS
Butir Soal

Parameter Favorable Unfavorable


Minat aktivitas 2, 12, 20, 28 27
Perasaan sedih 16, 25 9, 15, 19
Perasaan sepi dan bosan 3, 4
Perasaan tidak berdaya 10, 17, 24
Perasaan bersalah 6, 8, 11, 18, 23 1
Perhatian/konsentrasi 14, 26, 30 29
Page 14 of 37

Semangat atau harapan terhadap masa 13, 22 5, 7, 21


depan

Skoring nilai 1 diberikan pada pernyataan Favorable untuk jawaban “ya” dan nilai 0 untuk jawaban “tidak”
sedangkan pernyataan Unfavorable, jawaban “tidak” diberi nilai 1 dan jawaban “ya” diberi nilai 0.
Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia sebagai berikut:
No. Pernyataan Ya Tidak
1. Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan kehidupannya?
2. Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau kesenangan akhir-akhir ini?
3. Apakah bapak/ibu sering merasa hampa/kosong di dalam hidup ini?
4. Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?
5. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang baik di masa depan?
6. Apakah bapak/ibu merasa mempunyai pikiran jelek yang menganggu terus menerus?
7. Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik setiap saat?
8. Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda?
9. Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar waktu?
10 Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu berbuat apa-apa?
11. Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?
12. Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal dirumah daripada keluar dan mengerjakan sesuatu?
13. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?
14. Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini sering pelupa?
15. Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup bapak/ibu sekarang ini menyenangkan?
16. Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus asa?
17. Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini?
18. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa lalu?
19. Apakah bapak/ibu merasa hidup ini menggembirakan?
20 Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan yang baru?
21. Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat?
22. Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada harapan?
23. Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya daripada bapak/ibu?
24. Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang sepele?
25. Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis?
26. Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?
27. Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun tidur dipagi hari?
28. Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di pertemuan social?
29. Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat sesuatu keputusan?
30. Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam memikirkan sesuatu seperti dulu?

2.5.1.9. Upaya Penanggulangan Depresi Pada Lansia


Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu ditekannkan pendekatan yang
mencakup fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut karena pendekatan daru satu aspek saja tidak akan
menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif. Pendekatan
inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa (mental health) disebut pendekatan eclectic holistik, yaitu suatu pendekatan
yang tidak tertuju pada kondisi fisik saja, akan tetapi juga mencakup aspek psychological, psikososial, spiritual dan
lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk
meningkatan derajat kesehatan lanjut usia, secara utuh dan menyeluruh (Hawari, 1996).
Ada beberapa upaya penanggulangan depresi dengan eclectic holistic approach, diantaranya:
1) Pendekatan Psikodinamik
Focus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap konflik-konflik yang berhubungan dengan
kehilangan dan stress. Upaya penanganan depresi dengan mengidentifikasi kehilangan dan stress yang menyebabkan
depresi, mengatasi, dan mengembangkan cara-cara menghadapi kehilangan dan stressor dengan psikoterapi yang
bertujuan untuk memulihkan kepercayaan diri (self confidence) dan memperkuat ego. Menurut Kaplan et all (1887),
pendekatan ini tidak hanya untuk menghilangkan gejala, tetapi juga untuk mendapatkan perubahan struktur dan karakter
kepribadian yang bertujuan untuk perbaikan kepercayaan pribadi, keintiman, mekanisme mengatasi stressor, dan
kemampuan untuk mengalami berbagai macam emosi.
Pendekatan keagaman (spiritual) dan budaya sangat dianjurkan pada lansia. Pemikiran-pemikiran dari ajaran
agama apapun mengandung tuntunan bagaimana dalam kehidupan di dunia ini manusia tidak terbebas dari rasa cemas,
tegang, depresi, dan sebagainya. Demikian pula dapat ditemukan dalam doa-doa yang paada intinya memohon kepada
Page 15 of 37

Tuhan agar dalam kehidupan ini manusia diberi ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik di dunia dan di akhirat
(Hawari, 1996).
2) Pendekatan Perilaku Belajar
Penghargaan atas diri yang kurang akibat dari kurangnya hadiah dan berlebihannya hukuman atas diri dapat di
atasi dengan pendekatan perilaku belajar. Caranya dengan identifikasi aspek-aspek leingkungan yang merupakan sumber
hadiah dan hukuman. Kemudian diajarkan keterampilan dan strategi baru untuk mengatasi, menghindari, atau mengurangi
pengalaman yang menghukum, seperti assertive training, latihan keterampilan social, latihan relaksasi, dan latihan
manajemen waktu. Usaha berkutnya adalah peningkatan hadiah dalam hidup dengan self-reinforcement, yang diberikan
segera setelah tugas dapat diselesaikan.
Menurut Samiun (2006), ada tiga hal yang p[erlu diperhatikan dalam pemberian hadiah dan hukuman, yaitu tugas
dan teknik yang diberikan terperinci dan spesifik untuk aspek hadiah dan hukuman dari kehidupan tertentu dari individu.
Teknik ini dapat untuk mengubah tingkah laku supaya meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman, serta individu
harus diajarkan keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman.
3) Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikit tentang keberhasilan masa lalu dan sekarang
dengan cara mengidentifikasi pemikiran negative yang mempengaruhi suasana hati dan tingkah laku, menguji individu
untuk menentukan apakah pemikirannya benar dan menggantikan pikiran yang tidak tepat dengan yang lebih baik (Beck,
et al, 1979; Samiun, 2006). Dasar dari pendekatan ini adalah kepercayaaan (belief) individu yang terbentuk dari rangkaian
verbalisasi diri (self-talk) terhadap peristiwa/pengalaman yang dialami yang menentukan emosi dan tingkah laku diri.
Menurut Kaplan et all (1997), upaya pendekatan ini adalah menghilangkan episode depresi dan mencegah
rekuren dengan membantu mengidentifikasi dan uji kognisi negative, mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel
dan positif, serta melatih respon kognitif dan perilaku yang baru dan penguatan perilaku dan pemikiran yang positif.
4) Pendekatan Humanistik Eksistensial
Tugas utama pendekatan ini adalah membantu individu menyadari kebaradaannya didunia ini dengan
memperluas kesadaran diri, menemukan dirinya kembali dan bertanggung jawab terhadap arah hidupnya. Dalam
pendekatan ini, individu yang harus berusaha membuka pintu menuju dirinya sendiri, melonggarkan belengu
deterministic yang menyebabkan terpenjara secara psikologis (Corey, 1993; Samiun, 2006). Dengan mengeksplorasi
alternative ini membuat pandangan menjadi real, individu menjadi sadar siapa dia sebelumnya, sekarang dan lebih
mempu menetapkan masa depan.
5) Pendekatan Farmakologis
Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi psikofarmaka (farmakoterapi) dengan obat anti
depresan merupakan pilihan alternative. Hasil terapi dengan obat anti depresan adalah baik dengan dikombinasikan
dengan upaya psikoterapi.

2.5.2. Berduka Cita


Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian
menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Periode duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan
bagi seorang penderita lanjut usia. Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat atau bahkan seekor hewan yang
sangat disanyangi bias mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang
selanjutnya akan memicu terjadinya gangguan fisik dn kesehatannya. Periode 2 tahun pertama setelah ditinggal mati
pasangan hidup atau teman dekat tersebut merupakan periode yang sangat rawan. Pada periode ini orang tersebut justru
harus dibiarkan untuk dapat mengekspresikan dukacita tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian
diikuti dengan menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka-cita pada usia lanjut biasanya tidak
bersifat self limiting. Dokter atau petugas kesehatan harus memberi kesempatan pada episode tersebut berlalu. Diperlukan
pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan keluhan, memberikan hiburan dimana perlu dan tidak
membiarkan tiap episode berkepanjangan dan berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul
depresi berat, konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan.

2.5.3. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau
teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya
menderita berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran
(Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup sendiri tidak mengalami
kesepian, karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terdapat lansia yang walaupun hidup di lingkungan
yang beranggotakan cukup banyak, tohh mengalami kesepian.
Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi social sangat berarti, karena bias bertindak menghibur,
memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran social penderita, di samping memberikan bantuan pengerjaan
pekerjaan di rumah bila memang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.
Page 16 of 37

2.5.4. Dementia
2.5.4.1. Pengertian
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari.
Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang
disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkahlaku.
Demensia adalah keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, dan
penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap fungsi kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang
ditandai dengan penurunan kognitif, perubahan mood dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan
sehari-hari penderita.

2.5.4.2. Etiologi
Penyebab demensia yang reversible sangat penting diketahui karena pengobatan yang baik pada penderita dapat
kembali menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal. Untuk mengingat berbagai keadaan tersebut telah dibuat suatu
“jembatan keledai” sebagai berikut:
D Drugs (obat)
Obat sedative
Obat penenang minor atau mayor
Obat anti konvulsan
Obat anti hipertensi
Obat anti aritmia
E emotional (gangguan emosi, ex: depresi)
M metabolic dan endokrin
Seperti: DM
Hipoglikemia
Gangguan ginjal
Gangguan hepar
Gangguan tiroid
Gangguan elektrolit
E Eye & Ear (disfungsi mata dan telinga)
N Nutritional
Kekurangan vit B6 (pellagra)
Kekurangan vit B1 (sindrom wernicke)
Kekurangan vut B12 (anemia pernisiosa)
Kekurangan asam folat
T Tumor dan Trauma
I Infeksi
Ensefalitis oleh virus, contoh: herpes simplek
Bakteri, contoh: pnemokok
TBC
Parasit
Fungus
Abses otak
Neurosifilis
A Arterosklerosis (komplikasi peyakit aterosklerosis, missal: infark miokard, gagal jantung, dan alkohol).

Keadaan yang secara potensial reversible atau yang bias dihentikan seperti:
Intoksikasi (obat, termasuk alkohol)
Infeksi susunan saraf pusat
Gangguan metabolic
Gangguan vaskuler (demensia multi-infark)
Lesi desak ruang:
Hematoma subdural akut/kronis
Metastase neoplasma
Hidrosefalus yang bertekanan normal
Depresi (pseudo-demensia depresif)

Penyebab dari Demensia Non Reversible :


1. Penyakit Degenerative
Penyakit Alzhemeir
Demensia yang berhubungan dengan badan Lewy
Page 17 of 37

Penyakit pick
Penyakit Huntingon
Kelumpuhan supranuklear progresif
Penyakit Parkinson
2. Penyakit Vaskuler
Penyakit serebrovaskuler oklusif (demensia multi-infark)
Penyakit Binswanger
Embolisme serebral
Arteritis
Anoksia sekunder akibat henti jantung, gagal jantung akibat intiksikasi karbon monoksida
3. Demensia Traumatic
Perlukaan kranio-serebral
Demensia pugilistika
4. Infeksi
Sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS)
Infeksi opportunistic
Penyakit creutzfeld-jacob progresif
Kokeonsefalopati multi fokal progresif
Demensia pasca ensefalitis
Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala demensia adalah penyakit
Alzhemeir, penyakit vaskuler (pembuluh darah), demensia leury body, demensia frontotemporer dan 10% diantaranya
disebabkan oleh penyakit lain. Penyakit yang dapat menyebabkan timbulnya gejala demensia ada 7S, sebagian dapat
disembuhkan dan sebagian besar tidak dapat disembuhkan. 50%-60% penyebab demensia adalah penyakit Alzhemeir.
Alzhemeir adalah kondisi dimana sel saraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak dapat ditransmisikan
sebagaimana mestinya.

2.5.4.3. Karakteristik Demensia


Menurut John (1994) bahwa lansia yang mengalami demensia juga akan mengalami keadaan yang sama seperti orang
depresi yaitu akan mengalami deficit aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS), gejala yang sering menyertai demensia
adalah :
A. Gejala Awal
Kinerja mental menurun
Fatique
Mudah lupa
Gagal dalam tugas
B. Gejala Lanjut
Gangguan kognitif
Gangguan afektif
Gangguan perilaku
C. Gejala Umum
Mudah lupa
Aktivitas sehari-hari terganggu
Disorientasi
Cepat marah
Kurang konsentrasi
Resti jatuh

2.5.4.4. Klasifikasi Demensia


A. Dementia Senilis
Kekurangan peredaran darah ke otak serta pengurangan metabolism dan O2 yang menyertainya merupakan
penyebab kelainan anatomis di otak. Pada banyak orang terdapat kelainan aterosklerosis seperti juga yang terdapat pada
demensia senifilis, tetapi tidak diketemukan gejal-gejal demensia. Otak mengecil terdapat suatu atrofi umum, terutama
pada daerah frontal. Yang penting ialah jumlah sel berkurang. Kadang-kadang ada kelainan otak yang jelas, tetapi orang
itu tidak psikotik, sebaliknya pada orang yang sudah jelas demensia kadang-kadang ada sedikit kelaianan pada otak, jadi
tidak selalu ada korelasi antara besarnya kelainan histology dan beratnya gangguan intelegensi.
1) Gejala
Biasanya sesudah umur 60 tahun baru timbul gejala-gejala yang jelas untuk membuat diagnose demensia senilis.
Penyakit jasmaniah atau gangguan emosi yang hebat dapat mempercepat munduran mental.
Gangguan ingatan jangka pendek, lupa tentang hal-hal yang baru terjadi, merupakan gejala dini, juga kekurangan
ide-ide dan gaya pemikiran abstrak. Yang menjadi egosentrik dan egoistic, lekas tersinggung dan marah-marah. Kadang-
Page 18 of 37

kadang timbul aktivitas seksual yang berlebihan atau yang tidak pantas, sesuatu tanda control berkurang atau usaha untuk
kompensasi psikologis.
Penderita menjadi acuh tak acuh terhadap pakaian dan rupanya. Ia menyimpan barang-barang yang tidak berguna,
mungkin timbul waham bahwa ia akan dirampok, akan dirasuni atau ai miskin sekali atau tidak disuka orang.
Orientasi terganggu dan ia mungkin pergi dari rumah dan tidak mengetahui jalan pulang.
Penilaiannya berkurang sehingga ia dapat menyukarkan dan menbahayakan lalu lintas dijalan.
Ia mungkin jadi korban penjahat karena ia mudah diajak, umpamanya dalam hal penipuan dan sex.
Banyak menjadi gelisah waktu malam, mereka berjalan-jalan tak bertujuan dan menjadi dekstruktif. Mungkin
timbul delirium waktu malam, ini karena penglihatan yang terbatas diwaktu gelap bila penderita dengan demensia senilis
ditaruh dalam kamar yang gelap, maka akan timbul disorientasi.
Ingatan jangka pendek makin lama makin keras terganggu, maka makin lama makin banyak ia lupa, sehingga
penderita hidup dalam alam pikiran sewaktu ia masih muda atau masih kecil.
Gejala jasmani: kulit menjadi tipis, keriput, dan atrofis, BB mengurang, atrofi pada otot-otot, jalannya menjadi
tidak stabil, suara kasar, dan bicaranya jadi pelan, dan tremor pada tangan dan kepala.
Gejala psikologis: sering hanya terdapat tanda kemunduran mental umum (demensia simplek). Tetapi tidak jarang
juga terjadi kebingungan dan delirium, atau depresi atau serta agitasi. Ada yang menjadi paranoid. Pada presbiofrenia
terutama dapat gangguan ingatan serta konvabulasi dan dapat dianggap sebagai salah satu jenis demensia senilis dan
beberapa gejala yang menonjol dan sedikit lebih cepat.
2) Prognosa
Tidak baik, jalannya progresif, demensia makin lama makin berat sehingga akhirnya penderita hidup secara vegetative
saja, walaupun demikian penderita dapat hidup selama 10 tahun atau lebih setelah gejala-gejala menjadi nyata.
3) Diagnosa
Perlu dibedakan dari arteroskelorosa otak, tapi kedua hal ini tidak jarang terjadi bersama-sama. Pada melankolia involusi
tidak didapat tanda-tanda demensia. Kadang-kadang sindroma otak organis sebab uremia, anemia, payah jantung atau
penyakit paru-paru dapat serupa dengan psikosa senilis.
4) Pengobatan
Pertahankan perasaan aman dan harga diri, perhatikanlah dan cobalah memuaskan kebutuhan rasa kasih saying,
rasa masuk hitungan, tercapainya sesuatu dan rasa penuh dibenarkan serta dihargai.
Kamarnya jangan gelap gulita dan taruhlah barang-barang yang sudah ia kenal sejak dulu untuk mempermudah
orientasinya.

B. Dementia Presenilis
Seperti namanya, maka gangguan ini gejala utamanya ialah seperti sebelum masa senile akan dibicarakan 2 macam
demensia presenilis yaitu:
1. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimeir ini biasanya timbul antara usia 50-60 tahun. Yang disebabkan oleh karena adanya degenerasi
kortek yang difus pada otak dilapisan luar, terutama di daerah frontal dan temporal. Atrofi otak ini dapat dilihat pada
pneumoensefalogam, system ventrikel membesar serta banyak hawa diruang subarachnoid. Penyakit ini dimulai pelan
sekali, tidak ada ciri yang khas pada gangguan intelegensi atau pada kelainan perilaku. Terdapat disorientasi, gangguan
ingatan, emosi yang lebih, kekeliruan dalam berhitung, dam pembicaraan sehari-hari dapat terjadi afasi, perseverasi
(mengulang-ngulang perkataan; perbuatan tanpa guna), pembicaraan logoklonia (pengulangan tiap suku kata akhir secara
tidak teratur), dan bila sudah berat maka penderita tidak dapat dimengerti lagi. Ada yang jadi gelisah dan hiperaktif.
Kadang-kadang sepintas lalu timbul aproksia (kehilangan kecakapan yang diperoleh sebelumnya untuk
melakukan pekerjaan atau gerakan yang memerlukan keterampilan), hemiplegia tau pra plegi, parese pada muka dan
spasme pada ekstremitas juga sering terjadi sehingga pada stadium akhir timbul kontraktur. Pada fase ini sudah sangant
dement dan tidak diadakan kotak dengannya lagi. Biasanya penyakit ini berlangsung selama 5-10 tahun.

2. Penyakit Pick
Secara patologis penyakit ini ialah atrofi dan gliosis di daerah-daerah asosiatif. Daerah motoric, sensorik, dan
daerah proyeksi secara relative dan banyak berubah. Yang terganggu ialah daerah kortek yang secara filogenptik lebih
mudah dan yang penting buat fungsi asosiasi yang lebih tinggi. Sebab itu yang terutama terganggu ialah pembicaraan dan
proses berpikir.
Penyakit ini mungkin herediter, diperkirakan terdapat factor menjadi pencetus dari sel-sel ganglion yang tertentu
yaitu: yang genetic paling muda. Lobus frontalis menjadi demikian atrofis sehingga kadang kelihatan seperti ditekan oleh
suatu lingkaran. Biasanya terjadi pada umut 45-60 tahun, yang termuda yang pernah diberitakan ialah 31 tahun.
Penyakit Pick terdapat 2x lebih banyak pada kaum wanita dari pad kaum pria. Gejala permulaan: ingatan
berkurang, kesukaran dalam pemikiran dan konsentrasi, kurang spontanitas, emosi menjadi tumpul. Penderita menjadi
acuh tak acuh, kadang-kadang tidak dapat menyesuaikan diri serta menyelesaikan masalah dalam situasi yang baru.
Dalam waktu 1 tahun sudah terjadi demensia yang jelas. Ada yang efor, ada yang jadi susah dan curiga. Sering
terdapat gejala fokal seperti afasia, aproksia, aleksia, tetapi gejala ini sering diselubungi oleh demensia umum. Ciri afasia
Page 19 of 37

yang penting pada penyakit ini ialah terjadinya secara pelan-pelan (tidak mendadak seperti pada gangguan pembuluh
darah otak), terdapatnya logorrhea yang spontan (yang tidak terdapat pada afasia sebab gangguan pembuluh darah). Tidak
jarang ada echolalia dan reaksi stereotip.
Pada fase lanjut demensia menjadi hebat, terdapat inkontinensia, kemampuan buat berbicara hilang dan kekeksia
yang berat. Biasanya penderita meninggal dalam waktu 4-6 tahun karena suatu penyakit infeksi tambahan.
Smapai sekarang tidak ada pengobatan terhadap kasus demensia presenilis. Dapat direncanakan bantuan yang
simptomatik dalam lingkungan yang memadai. Biar gelisah dapat dipertimbangkan pemberian obat psikotropik.

2.5.4.5. Pemeriksaan Demensia


Pemeriksaan penting yang harus dilakukan untuk penderita, mulai dari pengkajian latar belakang individu,
pemeriksaan fisik, pengkajian status mental dan sebagai penunjang juga diperlukan tes laboratorium.
1. Berikut ini untuk menguji aspek-aspek Kognitif dan Fungsi Mental
Nilai Maksimum Score Pertanyaan
Orientasi
5 (tahun) (musim) (tanggal) (hari) (bulan apa
sekarang)
5 Dimana kita: (negara
bagian)(wilayah)(kota)(rumah sakit)(lantai)
Registrasi
3 Nama 3 objek: 1 detik untuk mangatakan
masing-masing. Kemudian tanyakan klien ketiga
objek setelah anda mengatakannya. Beri 1 poin
untuk setiap jawaban yang benar. Kemudian
ulangi sampai ia mempelajari ketiganya.
Jumlahkan percobaan dan catat.
Perhatian dan
Kalkulasi
5 Seri 7’s. 1 poin untuk setiap kebenaran
Berhenti setelah 5 jawaban. Bergantian eja
“kata” ke belakang.
Search

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANJUT USIA (LANSIA) DENGAN MASALAH PSIKOSOSIAL

II. KONSEP
A. PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANJUT USIA TERKAIT SISTEM PSIKOSOSIAL
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain
sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi,
yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang
berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan lima
tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
1. Tipe kepribadian konstruktif (construction personality), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak,
tenang dan mantap sampai sangat tua.
2. Tipe kepribadian mandiri (independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power
sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang, dapat inernberikan otonomi pada
dirinya.
3. Tipe kepribadian tergantung (dependent personality), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan
keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika
pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak
segera bangkit dari kedukaannya.
4. Tipe kepribadian bermusuhan (hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak
puns dengan kchiclupannya, banyak keingimin ywig kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama
sehingga menyebabkan kondisi ekonominya meniadi morat-marit.
Page 20 of 37

5. Tipe kepribadian kritik diri (self hate personality), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsarv, karena
perilakunya sendiri sulit dibantu ormig lain atau cenderung membuat susah dirinya.
Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila:
1. Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain).
2. Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab, diantaranya setelah
menjalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian pasangan hidup dan lain-lain.
B. MASALAH YANG SERING MUNCUL
1. Depresi
a. Pengertian
Depresi adalah suatu jenis keadaan perasaan atau emosi dengan komponen psikologis seperti rasa
sedih, susah, merasa tidak berguna, gagal, putus asa dan penyesalan atau berbentuk penarikan diri,
kegelisahan atau agitasi (Afda Wahywlingsih dan Sukamto).
b. Penyebab depresi pada lansia:
1) Penyakit fisik
2) Penuaan
3) Kurangnya perhatian dari pihak keluarga
4) Gangguan pada otak (penyakit cerebrovaskular)
5) Faktor psikologis, berupa penyimpangan perilaku oleh karena cukup banyak lansia yang mengalami
peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau cukup berat.
6) Serotonin dan norepinephrine
7) Zat-zat kimia didalam otak (neurotransmitter) tidak seimbang. Neurotransmitter sendiri adalah zat
kimia yang membantu komunikasi antar sel-sel otak.
c. Factor pencetus depresi pada lansia:
1) Faktor biologic, misalnya faktor genetik, perubahan struktural otak, faktor risiko vaskular,
kelemahan fisik.
2) Faktor psikologik yaitu tipe kepribadian, relasi interpersonal, peristiwa kehidupan seperti berduka,
kehilangan orang dicintai, kesulitan ekonomi dan perubahan situasi, stres kronis dan penggunaan
obat-obatan tertentu.
d. Gejala depresi pada lansia:
1) Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan yang ada, proyek, hobi, atau
rekreasi tidak rnemberikan kesenangan.
2) Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti:
a) Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat sedang cenderung
untuk makan secara berlebihan, namun berbeda jika. kondisinya telah parah seseorang
cenderung akan kehilangan gairah makan.
b) Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala)
c) Merasa putus asa dan tidak berarti. Keyakinan bahwa seseorang mempunyai hidup yang tidak
berguna, tidak efektif. orang itu tidak mempunyai rasa percaya diri. Pemikiran seperti, "saya
menyia-nyiakan hidup saya" atau “saya tidak bisa rncncapai banyak kemajuan", seringkali
terjadi.
d) Berat badan berubah drastis
e) Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor penentu, sebagian
orang mengalami depresi sulit tidur. Tetapi dilain pihak banyak orang mengalami depresi
justru terlalu banyak tidur.
f) Sulit berkonsentrasi. Kapasitas menurun untuk bisa berpikir dengan jernih dan untuk
mernecahkan masalah secara efektif. Orang yang mengalami depresi merasa kesulitan untuk
memfokuskan perhatiannya pada sebuah masalah untuk jangka waktu tertentu. Keluhan
umum yang sering terjadi adalah, "saya tidak bisa berkonsentrasi".
g) Keluarnya keringat yang berlebihan
h) Sesak napas
i) Kejang usus atau kolik
j) Muntah
k) Diare
l) Berdebar-debar
m) Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami depresi mungkin
akan mencoba melakukan lebih dari kemampuannya dalam setiap usaha untuk
mengkomunikasikan idenya. Dilain pihak, seseorang lainnya yang mengalami depresi
mungkin akan gampang letih dan lemah.
n) Kurang energi. Orang yang mengalami depresi cenderung untuk mengatakan atau merasa,
"saya selalu merasah lelah" atau "saya capai".
Page 21 of 37

3) Secara biologik dipacu dengan perubahan neurotransmitter, penyakit sistemik dan penyakit
degeneratif.
4) Secara psikologik geplanya:
a) Kelilhuigan harga diri/ martabat
b) Kehilangan secara fisik prang dan benda yang disayangi
c) Perilaku merusak diri tidak langsung. contohnya: penyalahgunaan alkohol/ narkoba, nikotin,
dan obat-obat lainnya, makan berlebihan, terutama kalau seseorang mempunyai masalah
kesehatan seperti misalnya menjadi gemuk, diabetes, hypoglycemia, atau diabetes, bisa juga
diidentifikasi sebagai salah satu jenis perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung.
d) Mempunyai pemikiran ingin bunuh diri
5) Gejala social ditandai oleh kesulitan ekonomi seperti tak punya tempat tinggal.
2. Demensia
Demensia adalah gangguan progresif kronik yang dicirikan dengan kerusakan berat pada proses kognitif
dan disfungsi kepribadian serta perilaku (Isaac, 2004).
a. Pengertian
Demensia ialah kemunduran fungi mental umum, terutama intelegensi, disebabkan oleh kerusakan
jaringan otak yang tidak dapat kembali lagi (irreversible) (Maramis, 1995).
b. Jenis demensia:
Perubahan
Tahap Perilaku Afek
Kognitif
Ringan Sulit menyelesaikan tugas Cemas Kehilangan ingatan
Penurunan aktivitas yang Depresi tentang
mengarah pada tujuan Frustasi peristiwa yang baru saja
Kurang memperhatikan Curiga terjadi (lupa akan janji
penampilan pribadi dan Ketakutan temu dan percakapan)
aktivitas sehari-hari Disorientasi waktu
Menarik diri dari aktivitas Berkurangnya
social yang biasa kemampuan konsentrasi
Sering mencari benda- Sulit mengambil
benda keputusan
karena lupa meletakannya; Kemampuan penilaian
dapat menuduh orang lain buruk
telah mencurinya
Sedang Perilakunya tidak pantas Mood labil Datar Kehilangan ingatan
secara sosial Apatis tentang hal-hal yang baru
Kurang perawatan diri Agitasi atau lama (amnesia)
(misal mandi, toileting, Katas tropi Paranoia Konfabulasi
berpakaian, berdandan) Disprientasi waktu, tempat
Berkeluyuran atau dan orang
mondar-mandir Sedikit agnosia, apraksia
Senang menimbun barang- dan afasia
barang
Hiperoralitas
Mengalami
gangguan siklus tidur-
bangun
Berat Penurunan kemampuan Datar, apatis Reaksi Semua perubahan kognitif
ambulasi dan aktivitas Katastropik occasional berlanjut sejalan dengan
motorik lainnya dapat berlanjut meningkatnya amnesia,
Penurunan kemampuan agnosia, aprasia dan afasia
menelan
Sama sekali tidak bisa
mengurus diri (misalnya
membutuhkan perawatan
yang konstan)
Tidak mengenali
lagi keberadaan pemberi
asuhan
Page 22 of 37

1) Demensia jenis alzheimer


Patofisiologi:
a) Otopsi menunjukkan adanya plak amiloid (plak senil atau neuritik) di jaringan otak atau
adanya kekusutan neurofibriler (akumulasi simpul filamen saran pada neuron.
b) Adanya plak dan kekusutan tersebut berkaitan dengan sel saraf, hilangnya sambungan antar
neuron dan akhimya atrofi serebral.
Genetika:
Adanya gen abnormal saja tidak cukup untuk memprediksi demensia jenis alzheimer.
a) Penyakit alzheimer familial memiliki awitan sangat dini (usia 30-40 th) dan bertanggung jawab
atas 20% dari semua kasus demensia jenis ini. Penyakit ini berkaitan denga gengen abnormal
dikromosom 1, 14 dan 21
b) Adanya apolipoprotein E 4 (apo, E 4) dikromosom 19 terjadi 2 kali lebih banyak pada
penderita demensia jenis alzheimer dibanding populasi umum.
Modal toksin:
Sebagian peneliti meyakini bahwa akumulasi alumunium pada otak akibat pajanan alat-alat dan
produk alumunium dapat menyebabkan demensia jenis alzheimer. Bukti untuk teori ini masih
sedikit.
Abnormalitas neurotransmiter atau reseptor :
Kehilangan asetil kolin (neurotransmiter kolinergik mayor) berkaitan dengan gejala-gejala
gangguan kognitif (demensia). (peningkatan kadar asetin kolin merupakan dasar untuk terapi obat
yang disetujui FDA untuk demensia).
2) Demensia vaskular (multi-infark) ditandai dengan gejala-gejala demensia pada tahun pertama
terjadinya gejala neurologik fokal. Klien diketahui mengalami faktor resiko penyakit vaskuler
(misalnya hipertensi, fibrilasi atrium, diabetes).
3) Jenis demensia yang lain berkaitan dengan kondisi medis umum, seperti penyakit parkinson,
penyakit pick, koreahuntingtown dan penyakit Creutzfeldt-jakob. Demensia yang disebabkan
kondisi-kondisi tersebut dicatat sesuai penyakitnya yang spesifik.
c. Gejala demensia:
1) Afasia: kehilangan kemampuan berbahasa; kemampuan berbicara memburuk dan klien sulit
"menemukan" kata-kata.
2) Apraksia: rusaknya kemampuan melakukan aktivitas motorik sekalipun fungsi sensoriknya tidak
mengalami kerusakan.
3) Agnosia: kegagalan mengenali atau mengidentifikasi objek atau benda urnurn walaupun fungsi
sensoriknya tidak mengalami kerusakan.
4) Konfabulasi: mengisi celah-celah ingatannya dengan fantasi yang diyakini oleh individu yang
terkena.
5) Sundown sindrom: memburuknya disorientasi di malam hari.
6) Reaksi katastrofik: respon takut atau panik dengan potensi kuat inenyakiti diri sendiri atau orang
lain.
7) Perseveration phenomenon: perilaku berulang, meliputi mengulangi kata-kata orang lain.
8) Hiperoralitas: kebutuhan untuk mencicipi dan mengunyah benda-benda yang cukup kecil untuk
dimasukkan ke mulut.
9) Kehilangan memori: awalnya hanya kehilangan memori tentang hal-hal yang baru terjadi, dan
akhirnya gangguan ingatan masa lalu.
10) Disorientasi waktu, tempat dan orang.
11) Berkurangnya kemampuan berkonsentrasi atau mempelajari materi baru.
12) Sulit mengambil keputusan
13) Penilaian buruk: individu ini mungkin tidak mempunyai kewaspadaan lingkungan tentang
keamanan dan keselamatan.
d. Epidemiologi demensia:
Dimensia jenis a1zheimer menyebabkan 50%-75% kasus demensia yang didiagnosis. Demensia jenis
ini merupakan penyebab, kematian tertinggi keempat pada individu berusia lebih dari 65 tahun.
Insidensinya sebagai berikut:
1) 65-75 tahun 5%-8%
2) 75-85 tahun 15%-20%
3) 85 tahun atau lebih 25%-55%
e. Etiologi demensia:
Faktor-faktor yang berkaitan dengan demensia adalah:
Page 23 of 37

1) Kondisi akut yang tidak diobati atau tidak dapat disembuhkan. Bila kondisi akut yang menyebabkan
delirium tidak atau tidak dapat diobati, terdapat kemungkinan bahwa kondisi ini akan menjadi
kronik dan karenanya dapat dianggap sebagai demensia.
2) Penyakit vaskuler, seperti hipertensi, arteriosklerosis, dan aterosklerosis dapat menyebabkan stroke.
3) Penyakit parkinson: demensia menyerang 40% dari pasien-pasien ini.
4) Gangguan genetika: koreahuntington atau penyakit pick.
5) Penyakit prior (protein yang terdapat dalam proses infeksi penyakit Creutzfeldt-jakob).
6) lnfeksi Human Imunodefisiensi Virus (HIV) dapat menyerang Sistem saraf pusat (SSP),
menyebabkan ensefalopati HIV atau kompleks demensia AIDS.
7) Gangguan struktur jaringan otak, seperti tekanan normal, hidrocephalus dan cidera akibat trauma
kepala.
C. PENANGANAN SECARA UMUM
1. Diagnosis:
Diagnosis medis gangguan kognitif ditetapkan dengan melakukan skrining yang cermat untuk
mengesampingkan penyebab lain gejala-gejala tersebut. Skrining-skrining tersebut meliputi:
a. Pemeriksaan status kesehatan jiwa dan pemeriksaan neuropsikologik.
b. pemeriksaan darah komprehensif, meliputi HDL, (Hitung Darah Lengkap), kimia darah, vitamin B12,
dan kadar folat, tiroid dan tes fungsi hati serta ginjal.
c. Studi pencitraan otak, meliputi Computed Tomography (CT), Positron Emission Tomography (PET) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI).
d. Gangguan depresi pada klien lansia dapat dimanifestasikan dengan gejala-gejala yang serupa dengan
gejala gangguan kognitif'. Oleh karena itu, gangguan depresi harus dikesampingkan.
2. Depresi
Depresi yang merupakan masalah mental paling banyak ditemui pada lansia membutuhkan
penatalaksanaan holistik dan seimbang pada aspek fisik, mental dan sosial. Di samping itu, depresi pada
lansia harus diwaspadai dan dideteksi sedini mungkin karena dapat mempengaruhi perjalanan penyakit
fisik dan kualitas hidup pasien.
Deteksi dini perlu dilakukan untuk mewaspadai depresi, terutama pada lansia dengan penyakit degeneratif,
lansia yang menjalani perawatan lama di rumah sakit, lansia dengan keluhan somatik kronis, lansia dengan
imobilisasi berkepanjangan serta lansia dengan isolasi sosial.
Penanganan depresi lebih dini akan lebih baik serta menghasilkan gejala perbaikan yang lebih cepat.
Depresi yang lambat ditangani akan menjadi lebih parch, menetap serta meminbulkan resiko kekambuhan.
Depresi yang dapat ditangani dengan baik juga dapat menghilangkan kcitigiiian pasien untuk melukai
dirinya sendiri termasuk upaya bunuh diri.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam terapi depresi pada lansia
a. Perubahan faal oleh proses menua
b. Status medik atau komorbiditas penyakit fisik
c. Status tLiiigsioiial
d. Interaksi antar obat
e. Efektivitas dan efek camping obat
f. Dukungan social
Penatalaksanaan depresi pada lansia:
a. Terapi biologik:
1) Pemberian obat antidepresan
Terdapat beberapa pilihan obat anti depresi yaitu jenis Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
(SSRIs): Prozac (fluoxetine); Zoloft (setraine), Cipram (citalopram) dan Paxil (paroxetine). Jenis
NASSA: Remeron (mirtazapine). Jenis Tricylic antidepresan: Tofranil (imipramine) dan
Norpramin (desipramine). Reversible Inhibitor Mono Amine Oxidase (RIMA) Inhibitors:
Aurorix. Stablon. (Tianeptine).
2) Terapi kejang listrik (ECT), shock theraphy
Penggunaan Electroconvulsive Therapy (ECT) dengan cara shock therapy untuk pasien yang
tidak memberi respon positif terhadap, obat antidepresan dan psikoterapi. ECT bekerja untuk
menyeimbangkan unsur kimia pada otak, dirasa. cukup aman dan efektif serta dapat diulang 3
kali seminggu sampai pasien menunjukan perbaikan. Efek samping ECT adalah kehilangan
kesadaran sementara.pada pasien namun cukup efektif untuk mengurangi resiko bunuh diri pada
pasien tertentu.
3) Terapi sulih hormon
4) Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)
b. Terapi psikososial (psikoterapi) bertujuan mengatasi masalah psikoedukatif, yaitu mengatasi kepribadian
maladaptif, distorsi pola berpikir, mekanisme koping yang tidak efektif, hambatan relasi interpersonal.
Page 24 of 37

Terapi ini juga dilakukan untuk mengatasi masalah sosiokultural, seperti keterbatasan dukungan dari
keluarga, kendala terkait faktor kultural, perubahan peran sosial.
Psikoterapi yang dapat ditempuh dengan sesi pembicaraan dengan psikiater dan psikolog dapat
membantu pasien melihat bahwa perasaan yang dialaminya juga dapat terjadi pada orang lain namun
karena menderita depresi ia mengalami kondisi yang berlebihan atas perasaannya sendiri.
Seluruh instrunien yang terdapat pada diri perawat merupakan alat praktek yang memiliki efek terapi
apabila digunakan secara tepat.
1) Mata dengan pandangan yang penuh perhatian, mimik muka dan ekspresi wajah simpati, sikap yang
tepat merupakan alat perawat untuk membantu klien untuk mengembalikan rasa percaya diri serta
perasaan diperhatikan dan dihargai sebagai manusia yang bermartabat. Penerimaan yang tulus
dari perawat tanpa ada sentimen apapun berdasarkan latar belakang merupakan kepuasan
tersendiri yang akan diterima oleh klien jika mendapatkan pelayanan dari perawat.
2) Dengan telinga perawat bisa mendengarkan segala keluh kesah pada klien yang mengalami depresi.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa depresi timbul akibat adanya dorongan negatif dari
super-ego yang diresepsi dan lambat laun akan tertimbun dialam bawah sadar. Sehingga depresi
adalah sebentuk penderitaan emosional. Kekecewaan ataupun ketidakpuasan secara emosional
yang direpresi tidak secara otomatis akan hilang, melainkan sewaktu-waktu akan muncul (return
of the repressed).
Oleh karena itu sebagai toksin (racun) penyebab depresi yang ada pada diri lansia perlu digali dan
dikeluarkan, salah satu medianya dengan percakapan. Psikoterapi malah sering didefenisikan
dengan penyembuhan melalui percakapan. Menurut para ahli psikoterapi percakapan efektif
untuk menyembuhkan kepribadian yang terluka, jika dirancang dan didesain secara tepat,
kontinyu, dilaksanakan dengan perhatian yang tulus, dimulai dengan hubungan baik, serta mampu
menumbuhkan harapan klien. Dalam percakapan tentu perlu ada yang mendengarkan. percakapan
antara perawat dengan klien bukanlah sekedar pemberian nasehat (advice giving) dimana perawat
memiliki otoritas yang dominan untuk menceramahi klien, dan klien harus menurut.
Dalam tehnik percakapan ini perawat lebih banyak menjadi pendengar yang efektif. Saat klien
telah mampu mengungkapkan perasaannya maka berilah kesempatan yang seluas-seluasnya,
dengan aman, dan nyaman untuk bercerita. Dengan bercerita dan perawat mendengar dengan
penuh minat, maka klien telah mulai bekerja mengeluarkan segala kecemasan, serta perasaan-
perasaan yang menekan jiwanya. jika dilakukan secara terencana dan. kontinyu, maka
kernungkinan besar toksin (racun) depresi pada klien akan terangkat seluruhnya sampai bersih.
Tugas perawat adalah mernbantu klien memahami realitas apa yang sesungguhnya dialami,
sehingga klien bisa keluar dari kondisi yang membuatnya depresi. perawat dalam proses
pertolongan agar sangat berhati-hati jangan sampai timbul proses pemberian nasehat yang justru
menimbulkan kesan menghakimi, sebab penghakiman adalah cairan cuka yang disiranikan pada
luka emosional klien. Sikap yang terkesan menasehati ataupun dengan sengaja menasehati
merupakan bakteri/ racun baru yang akan memperbesar tumor depresi klien. Nasehat yang terlalu
dini/ dominan serta tidak pada tempatnya tidak akan berdampak pada penyembuhan, sebab
sebelum klien butuh nasehat sebagai salah satu ramuan obat, maka klien perlu mengeluarkan
segala bentuk tekanan emosionalnya. Bercerita, berkeluh kesah, mendesah, mengadu, curhat,
ataupun menangis bahkan berontak adalah merupakan cara alamiah untuk mengernbalikan
keseimbangan dan kestabilan emosional klien serta akan melepaskan energi-energi negatif yang
menggantung dan menyesakkan jiwanya. Karenanya perawat yang memainkan peran sebagai
konselor/ terapis jangan buru-buru mengeluarkan kata-kata seperti: "oma mesti sabar menghadapi
kenyataan ini" atau "oma, jangan menangis tidak baik" atau "tidak baik berkeluh kesah" dan
sebagainya. Kata-kata seperti itu hanya akan menyumbat upaya klien mengobati dirinya. Jika
klien berkeluh kesah, menangis, mengadu, curhat, maka berilah kesempatan, karena klien pada
saat sedang melepaskan toksin/ racun dalam jiwanya, yang diharapkan adalah dukungan dan
perhatian dari konselor. Jika klien meminta saran dan tanggapan, maka berikanlah saran dan
tanggapan dengan selogis dan serealistis mungkin, jawaban tidak harus kepastian, tapi usahakan
klien diajak berpikir untuk, menemukan solusi yang paling tepat. Klien perlu dirangsang untuk
berpikir secara positif dan realisitis dalam menghadapi situasi sulit. Menasehati ataupun mendikte
bukanlah cara yang bijak sekalipun nasehat itu cocok untuk dilakukan oleh klien, sebab akan
membuat klien malas berpikir dan tidak pernah belajar untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Klien perlu juga diberdayakan, sebab klien memiliki potensi yang cukup untuk menolong dirinya,
perawat perlu mengingatkan dan memunculkan kembali potensi-potensi tersebut, kuatkan klien
dan kembalikan kepercayaan dirinya untuk melawan depresi.
c. Perubahan gaya hidup
Page 25 of 37

Aktivitas fisik terutama olah-raga. Pasien dibiasakan berjalan kaki setup pagi atau sore sehingga
energi dapat ditingkatkan serta mengurangi stress karena kadar norepinefrin meningkat. Selain itu,
pasien juga dapat diperkenalkan pada kebiasaan meditasi serta yoga untuk menenangkan pikirannya:
Setidaknya ada dua alasan penting mengapa olah raga perlu untuk penderita depresi.
1) Pertama, olah raga meningkatkan kesadaran sistem syaraf sentral. Denyut nadi meningkat dan
membangkitkan semua sistem. Hal ini berlawanan dengan penurunan kesadaran syaraf sentral
akibat adanya depresi.
2) Kedua, olah raga bisa memacu sistem syaraf sentral. Endorphin adalah molekul organik yang
seperti halnya norepinephrine dan serotonin, berfungsi sebagai kurir kimiawi. Kadang endorphin
dianggap, sebagai candu (opium) alami yang berfungsi untuk meningkatkan proses biologic untuk
mengatasi depresi. Karenanya perawat diharapkan bisa mengidentifikasi olah-raga yang disenangi
oleh klien yang terindikasi depresi dan mendesainnya menjadi sebuah program yang kontinyu dan
rutin. Perawat dapat bekerjasama dan berkonsultasi dengan tenaga medis mengenai berbagai
bentuk gerak yang efektif yang bisa menstimulus detak jantung.
d. Diet sehat untuk mengurangi asupan gizi yang menambah kadar stress juga perlu dilakukan.
Memperhatikan jenis makanan yang akan disajikan kepada lanjut usia yang mengalami depresi.
Depresi berhubungan dengan tingkat kesadaran yang rendah. Kesadaran mengacu pada proses
psikologis yang meliputi hal-hal seperti misalnya kemampuan untuk memusatkan perhatian seseorang
dan kemampuan untuk bekerja secara efektif. Makanan berat secara otomatis akan memicu tindakan
bagian syaraf parasimpatik yakni cabang dari sistem syaraf otonom yang menurunkan kesadaran.
Darah dialirkan ke proses pencernaan untuk membantu seseorang mencerna makanan yang dimakan.
Sewaktu darah meninggalkan otak dan tangan serta kaki, tubuh akan merasa lemas dan mengantuk,
karena itu makanan berat cenderung memicu depresi. Karena itu dianjurkan untuk makan makanan
ringan, ketika lapar diantara jam-jam makan, akan tetapi sebaiknya menghindari makanan yang
mengandung kadar gala yang tinggi. Sementara kudapan yang rendah kalori dan berprotein tinggi akan
membuat seseorang tetap segar, memuaskan rasa lapar, dan tidak mengganggu kesadaran optimal
seseorang.
3. Demensia
Pengobatan diarahkan pada tujuan jangka panjang yaitu mempertahankan kualitas hidup penderita
gangguan degeneratif dan progresif ini.
a. Pendekatan tim multidisipliner meliputi upaya kolaboratif dari profesional keperawatan, kedokteran,
nutrisi, psikiatri, psikologi, pekerjaam sosial, farmasi, dan rehabilitasi (misalnya ahli terapi okupasi,
fisik, dan aktivitas).
b. Fokus keluarga. Statistik menunjukan bahwa 7 dari 10 orang dengan dernensia jenis alzheimer tinggal di
rumah dan 75% diantara mereka diurus oleh keluarga dan teman-teman. Jadi, fokus keluarga pada
pengobatan dan penatalaksanaan merupakan hal yang sangat penting.
c. Penatalaksanaan berfokus komunitas
1) Kunjungan rumah dilakukan oleh perawat komunitas.
2) Adult day care service memberikan layanan aktivitas terapetik, layanan rehabilitas, rekreasi, dan
respite service bagi pemberi asuhan keluarga.
3) Fasilitas perawatan residensial (perawatan pribadi) memberikan bantuan bagi klien.
4) Skilled nursing facilities. 50% dari klien rumah perawatan adalah penderita demensia jenis
alzheimer.
5) Alzheimer asosiation menyediakan kelompok pendukung, penyuluhan masyarakat dan keluarga,
pengumpulan dana dan aktivitas melobi untuk penelitian dan tindakan legislatif.
d. Intervensi farmakologik
1) Tujuan intervensi farmakologik adalah memperlambat laju penurunan kondisi klien dengan obat
yang meningkatkan kadar asetilkolin dan membantu mempertahankan fungsi neuronal serta
menatalaksanakan perilaku dan gejala yang menimbulkan stress.
2) Terapi eksperimen.
3) Gangguan amnestik.
Pengobatannya sama dengan delirium bila gangguan amnestik tersebut merupakan masalah yang
akut dan sama dengan demensia bila gangguannya bersifat kronis.
III. ASUHAN KEPERAWATAN
A. FOKUS PENGKAJIAN
1. Riwayat
Kaji ulang riwayat klien dan pemeriksaan fislk untuk adanya tanda dan gejala karakteristik yang berkaitan
dengan gangguan tertentu yang didiagnosis.
2. Kaji adanya demensia. Dengan alat-alat yang sudah distandardisasi, meliputi
a. Mini Mental Status Exam (MMSE)
Page 26 of 37

b. Short portable mental status quetionnaire


3. Singkirkan kemungkinan adanya depresi dengan scrining yang tepat, seperti geriatric depresion scale.
4. Ajukan pertanyaan-pertanyaan pengkajian keperawatan
5. Wawancarai klien, pemberi asuhan atau keluarga. Lakukan observasi langsung terhadap :
a. Perilaku. Bagaimana kemampuan klien mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas hidup sehari-hari?
Apakah klien menunjukkan perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial? Apakah klien sering
mengluyur dan mondar¬mandir? Apakah ia menunjukkan sundown sindrom atau perseveration
phenomena?
b. Afek. Apakah kilen menunjukkan ansietas? Labilitas emosi? Depresi atau apatis? lritabilitas? Curiga?
Tidak berdaya? Frustasi?
c. Respon kognitif. Bagaimana tingakat orientasi klien? Apakah klien mengalami kehilangan ingatan
tentang hal¬hal yang baru saja atau yang sudah lama terjadi? Sulit mengatasi masalah,
mengorganisasikan atau mengabstrakan? Kurang mampu membuat penilaian? Terbukti mengalami
afasia, agnosia, atau, apraksia?
6. Luangkan waktu bersama pemberi asuhan atau keluarga
a. Identifikasi pemberian asuhan primer dan tentukan berapa lama ia sudah menjadi pemberi asuhan
dikeluarga tersebut. (demensia jenis alzheimer tahap akhir dapat sangat menyulitkan karena sumber
daya keluarga mungkin sudah habis).
b. ldentifikasi sistem pendukung yang ada bagi pemberi asuhan dan anggota keluarga yang lain.
c. Identifikasi pengetahuan dasar tentang perawatan klien dan sumber daya komunitas (catat hal-hal yang
perlu diajarkan).
d. Identifikasi sistem pendukung spiritual bagi keluarga.
e. Identilikasi kekhawatiran tertentu tentang klien dan kekhawatiran pemberi asuhan tentang dirinya
sendiri.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN TERKAIT
1. DEPRESI
a. Mobilitas fisik, hambatan b.d gangguan konsep diri, depresi, ansietas berat.
b. Gangguan pola tidur b.d ansietas
c. Membahayakan diri, resiko b.d perasaan tidak berharga dan putus asa.
2. DEMENSIA
a. Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi neuron ireversible .
b. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis daan kognitif.
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori
( defisit neurologist)
d. Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting berhubungan dengan ketergantungan
fisiologis dan atau psikologis.
e. Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan pengaruh penyimpangan
jangka panjang dari proses penyakit
C. INTERVENSI KEPERAWATAN TERKAIT
1. DEPRESI
a. Mobilitas fisik, hambatan b.d gangguan konsep diri, depresi, ansietas berat.
Intervensi
1) Bicara secara langsung dengan klien; hargai individu dan ruang pribadinya jika tepat
2) Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan
3) Susun sasaran aktivitas progresif dengan klien
4) Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini
b. Gangguan pola tidur b.d ansietas
Intervensi
1) Identifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola yang biasanya
2) Anjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum tidur
3) Kurangi asupan kafein pada sore dan malam hari
4) Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang tenang untuk memfasilitasi agar pasien
dapat tidur.
c. Membahayakan diri, resiko b.d perasaan tidak berharga dan putus asa.
Intervensi
1) Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
2) Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
3) Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien dalam menyelesaikan
masalah
2. DIMENSIA
Page 27 of 37

a. Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi neuron ireversible
1) Kaji derajat gangguan derajat kognitif, orientasi orang, tempat dan waktu
2) Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang
b. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis dan kognitif
1) Pertahankan tindakan kewaspadaan
2) Hadir dekat pasien selama prosedur atau pengobatan dilakukan
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori
( defisit neurologis )
1) Kaji derajat sensori/ gangguan persepsi
2) Mempertahankan hubungan orientasi realita dan lingkungan
d. Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting berhubungan dengan ketergantungan
fisiologis dan atau psikologis
1) Identifikasi kesulitan dalam berpakaian/ perawatan diri
2) Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan bantuan sesuai kebutuhan
e. Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan pengaruh penyimpngan jangka
panjang dari proses penyakit
1) Berikan dukungan emosional
2) Rujuk keluarga ke kelompok pendukung
D. EVALUASI
1. DEPRESI
Klien mampu:
a. Berpartisipasi dalam menentukan perawatan diri
b. Melakukan kegiatan positif dalam menyelesaikan masalah
c. Klien mampu mengungkapkan penyebab gangguan tidur
d. Klien mampu menetapkan cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tidur
e. Mampu mengungkapkan ide bunuh diri
f. Mengenali cara - cara untuk mencegah bunuh diri
g. Mendemonstrasikan cara menyelesaikan masalah yang konstruktif
2. DEMENSIA
Berikan informasi yang berkaitan dengan demensia jenis Alzheimer (demensia secara umum)
a. Apa itu demensia jenis Alzheimer?
b. Masalah-masalah ingatan yang berkaitan dengan penyakit?
c. Koping
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN
GANGGUAN PSIKOSOSIAL“

BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian Lansia


Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya
beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai
kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi
ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah
siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya
(Darmojo, 2004).
Pengertian lansia (lanjut usa) menurut UU no 4 tahun 1965 adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun, tidak
berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi,
2000) sedangkan menuru UU no.12 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang telah
mencapai usia diatas 60 tahun (Depsos, 1999). Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan
dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea,
2005).
Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pengertian lansia digolongkan menjadi 4, yaitu:
1. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun
2. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun
3. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun
4. Lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Page 28 of 37

Lansia (lanjut usia) adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Pada
lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994).
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut
usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek
biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998).
Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus,
yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem
organ.
Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak
orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai
beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat.
Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk
lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber
daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan
tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda
(Suara Pembaharuan 14 Maret 1997).
Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat
merasa puas dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua
dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas dewasa ini. Pandangan
ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogen. Usia tua dialami
dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks
eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang
dan bertekad berbakti . Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikap- sikap yang berkisar antara
kepasrahan yang pasif dan pemberontakan, penolakan, dan keputusasaan. Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka
sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri.
Disamping itu untuk mendefinisikan lanjut usia dapat ditinjau dari pendekatan kronologis. Menurut Supardjo
(1982) usia kronologis merupakan usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Dari berbagai aspek
pengelompokan lanjut usia yang paling mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah untuk
diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada berbagai sumber data kependudukan.
Sedangkan menurut Prayitno dalam Aryo (2002) mengatakan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan
lanjut usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak berdaya mencari nafkah
untuk keperluan pokok bagi kehidupannya sehari-hari. Saparinah ( 1983) berpendapat bahwa pada usia 55 sampai 65
tahun merupakan kelompok umur yang mencapai tahap praenisium pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan
daya tahan tubuh/kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Dengan demikian akan timbul perubahan-perubahan dalam
hidupnya.

2.2 Konsep Dasar Psikososial lansia


Perkembangan psikososial lanjut usia adalah tercapainya integritas diri yang utuh. Pemahaman terhadap makna
hidup secara keseluruhan membuat lansia berusaha menuntun generasi berikut (anak dan cucunya) berdasarkan sudut
pandangnya. Lansia yang tidak mencapai integritas diriakan merasa putus asa dan menyesali masa lalunya karena tidak
merasakan hidupnya bermakna. Sedangkan menurut Erikson yang dikutip oleh Arya (2010) perubahan psikososial lansia
adalah perubahan yang meliputi pencapaian keintiman, generatif dan integritas yang utuh.

2.3 Teori Proses Menua


Teori Sosiologi
Teori sosiologi merupakan teori yang berhubungan dengan status hubungan sosial. Teori ini cenderung
dipengaruhi oleh dampak dari luar tubuh.
a) Teori Kepribadian
Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas
spesifik lansia. Teori pengembangan kepribadian yang dikembangkan oleh Jung menyebutkan bahwa terdapat dua tipe
kepribadian yaitu introvert dan ekstrovert. Lansia akan cenderung menjadi introvert kerenan penurunan tanggungjawab
dan tuntutan dari keluarga dan ikatan sosial.
b) Teori Tugas Perkembangan
Tugas perkembangan merupakan aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap
spesifik dalam hidupnya untuk mencapai penuaan yang sukses.pada kondisi tidak danya pencapaian perasaan bahwa ia
telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut berisiko untuk memiliki rasa penyeselan atau putus asa.
c) Teori Disengagement (Penarikan Diri)
Page 29 of 37

Teori ini menggambarkan penarikan diri ole lansia dari peran masyarakat dan tanggung jawabnya. Lansia akan
dikatakan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan tanggungjawab telah diambil oleh generasi yang lebih muda.
Manfaat dari pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah agar dapat menyediakan eaktu untuk mengrefleksi kembali
pencapaian yang telah dialami dan untuk menghadapi harapan yang belum dicapai.
d) Teori Aktivitas
Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju penuaan yang sukses maka ia harus tetap
beraktivitas.kesempatan untuk turut berperan dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi
dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia. Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya fungsi
peran lansia secara negatif mempengaruhi kepuasan hidup, dan aktivitas mental serta fisik yang berkesinambungan akan
memelihara kesehatan sepanjang kehidupan.
e) Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas mencoba menjelaskan mengenai kemungkinan kelanjutan dari perilaku yang sering dilakukan klien
pada usia dewasa. Perilaku hidup yang membahayakan kesehatan dapat berlangsung hingga usia lanjut dan akan semakin
menurunkan kualitas hidup.
f) Teori Subkultur
Lansia, sebagai suatu kelompok, memiliki norma mereka sendiri, harapan, keyakinan, dan kebiasaan; karena itu,
mereka telah memiliki subkultur mereka sendiri. Teori ini juga menyatakan bahwa orang tua kurang terintegrasi secara
baik dalam masyarakat yang lebih luas dan berinteraksi lebih baik di antara lansia lainnya bila dibandingkan dengan
orang dari kelompok usia berbeda. Salah satu hasil dari subkultur usia akan menjadi pengembangan "kesadaran kelompok
umur" yang akan berfungsi untuk meningkatkan citra diri orang tua dan mengubah definisi budaya negatif dari penuaan.

Teori Psikologi
Teori psikologis merupakan teori yang luas dalam berbagai lingkup karena penuaan psikologis dipengaruhi oleh
faktor biologis dan sosial, dan juga melibatkan penggunaan kapasitas adaptif untuk melaksanakan kontrol perilaku atau
regulasi diri.
a. Teori Kebutuhan
Manusia Banyak teori psikologis yang memberi konsep motivasi dan kebutuhan manusia. Teori Maslow merupakan
salah satu contoh yang diberikan pada lansia. Setiap manusia yang berada pada level pertama akan mengambil prioritas
untuk mencapai level yang lebih tinggi; aktualisasi diri akan terjadi apabila seseorang dengan yang lebih rendah tingkat
kebutuhannya terpenuhi untuk beberapa derajat, maka ia akan terus bergerak di antara tingkat, dan mereka selalu
berusaha menuju tingkat yang lebih tinggi.
b. Teori Keberlangsungan Hidup dan Perkembangan Kepribadian
Teori keberlangsungan hidup menjelaskan beberapa perkembangan melalui berbagai tahapan dan menyarankan
bahwa progresi sukses terkait dengan cara meraih kesuksesan di tahap sebelumnya. ada empat pola dasar kepribadian
lansia: terpadu, keras-membela, pasif-dependen, dan tidak terintegrasi (Neugarten et al.).
Teori yang dikemukakan Erik Erikson tentang delapan tahap hidup telah digunakan secara luas dalam kaitannya dengan
lansia. Ia mendefinisikan tahap-tahap kehidupan sebagai kepercayaan vs ketidakpercayaan, otonomi vs rasa malu dan
keraguan, inisiatif vs rasa bersalah, industri vs rendah diri, identitas vs difusi mengidentifikasi, keintiman vs penyerapan
diri, generativitas vs stagnasi, dan integritas ego vs putus asa. Masing-masing pada tahap ini menyajikan orang dengan
kecenderungan yang saling bertentangan dan harus seimbang sebelum dapat berhasil dari tahap itu. Seperti dalam teori
keberlangsungan hidup lain, satu tahapan menentukan langkah menuju tahapan selanjutnya.
c. Recent and Evolving Theories
Teori kepribadian genetik berupaya menjelaskan mengapa beberapa lansia lebih baik dibandingkan lainnya. Hal ini
tidak berfokus pada perbedaan dari kedua kelompok tersebut. Meskipun didasarkan pada bukti empiris yang terbatas,
teori ini merupakan upaya yang menjanjikan untuk mengintegrasikan dan mengembangkan lebih lanjut beberapa teori
psikologi tradisional dan baru bagi lansia. Tema dasar dari teori ini adalah perilaku bifurkasi atau percabangan dari
seseorang di berbagai aspek seperti biologis, sosial, atau tingkat fungsi psikososial. Menurut teori ini, penuaan
didefinisikan sebagai rangkaian transformasi terhadap meningkatnya gangguan dan ketertiban dalam bentuk, pola, atau
struktur.

2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Psikososial Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan psikososial lansia menurut Kuntjoro (2002), antara
lain:
1) Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis
berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang
makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara
berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang
selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat
tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik
Page 30 of 37

maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya.
Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara
seimbang.

2) Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual


Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik
seperti:
a) Gangguan jantung
b) Gangguan metabolisme, misal diabetes millitus
c) Vaginitis
d) Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
e) Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
f) Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer, serta
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
a) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
b) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya
c) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya
d) Pasangan hidup telah meninggal
e) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun
dsb.

3) Perubahan Aspek Psikososial


Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi
kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi
dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan
dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan
dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia
sebagai berikut:
a) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak,
tenang dan mantap sampai sangat tua.
b) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power
sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
c) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan
keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup
meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
d) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak
puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
e) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena
perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.

4) Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan


Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia
dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun
sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah
orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di
atas.
Cara menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia adalah sangat tergantung pada sikap
mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang
merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih
menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih
berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk
mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan
tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu
dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk
merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan
arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan
macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan
Page 31 of 37

pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan
dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna,
menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.

5) Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat


Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan
fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang,
penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu
mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau
diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-
kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak
berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang
kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan
kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka
yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya
anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar. Disinilah
pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long
stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada
masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup
sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia

2.5 Perubahan Psikososial Pada Lansia


a. Pensiun: nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan.
Bila seseorang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :
1) Kehilangan finansial (income berkurang).
2) Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya).
3) Kehilangan teman/kenalan atau relasi.
4) Kehilangan pekerjaan/kegiatan.
b. Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality)
c. Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit.
d. Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).
e. Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan.
f. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
g. Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian.
h. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
i. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan family.
j. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri.

2.6 Penyakit-Penyakit Pada Lansia


A. Depresi
Pengertian
Depresi adalah suatu jenis keadaan perasaan atau emosi dengan komponen psikologis seperti rasa sedih, susah,
merasa tidak berguna, gagal, putus asa dan penyesalan atau berbentuk penarikan diri, kegelisahan atau agitasi (Afda
Wahywlingsih dan Sukamto).
Penyebab depresi pada lansia:
1) Penyakit fisik
2) Penuaan
3) Kurangnya perhatian dari pihak keluarga
4) Gangguan pada otak (penyakit cerebrovaskular)
5) Faktor psikologis, berupa penyimpangan perilaku oleh karena cukup banyak lansia yang mengalami peristiwa
kehidupan yang tidak menyenangkan atau cukup berat.
6) Serotonin dan norepinephrine
7) Zat-zat kimia didalam otak (neurotransmitter) tidak seimbang. Neurotransmitter sendiri adalah zat kimia yang
membantu komunikasi antar sel-sel otak.
a. Factor pencetus depresi pada lansia:
1) Faktor biologic, misalnya faktor genetik, perubahan struktural otak, faktor risiko vaskular, kelemahan fisik.
2) Faktor psikologik yaitu tipe kepribadian, relasi interpersonal, peristiwa kehidupan seperti berduka, kehilangan
orang dicintai, kesulitan ekonomi dan perubahan situasi, stres kronis dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Gejala depresi pada lansia:
Page 32 of 37

1) Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan yang ada, proyek, hobi, atau rekreasi tidak
rnemberikan kesenangan.
2) Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti:
a) Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat sedang cenderung untuk makan secara
berlebihan, namun berbeda jika. kondisinya telah parah seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan.
b) Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala)
c) Merasa putus asa dan tidak berarti. Keyakinan bahwa seseorang mempunyai hidup yang tidak berguna, tidak
efektif. orang itu tidak mempunyai rasa percaya diri. Pemikiran seperti, "saya menyia-nyiakan hidup saya" atau “saya
tidak bisa rncncapai banyak kemajuan", seringkali terjadi.
d) Berat badan berubah drastis
e) Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor penentu, sebagian orang mengalami
depresi sulit tidur. Tetapi dilain pihak banyak orang mengalami depresi justru terlalu banyak tidur.
f) Sulit berkonsentrasi. Kapasitas menurun untuk bisa berpikir dengan jernih dan untuk mernecahkan masalah secara
efektif. Orang yang mengalami depresi merasa kesulitan untuk memfokuskan perhatiannya pada sebuah masalah untuk
jangka waktu tertentu. Keluhan umum yang sering terjadi adalah, "saya tidak bisa berkonsentrasi".
g) Keluarnya keringat yang berlebihan
h) Sesak napas
i) Kejang usus atau kolik
j) Muntah
k) Diare
l) Berdebar-debar
m) Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami depresi mungkin akan mencoba
melakukan lebih dari kemampuannya dalam setiap usaha untuk mengkomunikasikan idenya. Dilain pihak, seseorang
lainnya yang mengalami depresi mungkin akan gampang letih dan lemah.
n) Kurang energi. Orang yang mengalami depresi cenderung untuk mengatakan atau merasa, "saya selalu merasah
lelah" atau "saya capai".

Secara biologik dipacu dengan perubahan neurotransmitter, penyakit sistemik dan penyakit degeneratif. Secara
psikologik gejalanya:
a) Kelilhuigan harga diri/ martabat
b) Kehilangan secara fisik prang dan benda yang disayangi
c) Perilaku merusak diri tidak langsung. contohnya: penyalahgunaan alkohol/ narkoba, nikotin, dan obat-obat lainnya,
makan berlebihan, terutama kalau seseorang mempunyai masalah kesehatan seperti misalnya menjadi gemuk, diabetes,
hypoglycemia, atau diabetes, bisa juga diidentifikasi sebagai salah satu jenis perilaku merusak diri sendiri secara tidak
langsung.
d) Mempunyai pemikiran ingin bunuh diri

Gejala social ditandai oleh kesulitan ekonomi seperti tak punya tempat tinggal.

B. Demensia
Demensia adalah gangguan progresif kronik yang dicirikan dengan kerusakan berat pada proses kognitif dan
disfungsi kepribadian serta perilaku (Isaac, 2004). Demensia ialah kemunduran fungi mental umum, terutama intelegensi,
disebabkan oleh kerusakan jaringan otak yang tidak dapat kembali lagi (irreversible) (Maramis, 1995).
Jenis demensia:
1) Demensia jenis alzheimer
Patofisiologi:
a) Otopsi menunjukkan adanya plak amiloid (plak senil atau neuritik) di jaringan otak atau adanya kekusutan
neurofibriler (akumulasi simpul filamen saran pada neuron.
b) Adanya plak dan kekusutan tersebut berkaitan dengan sel saraf, hilangnya sambungan antar neuron dan akhimya
atrofi serebral.

Genetika: Adanya gen abnormal saja tidak cukup untuk memprediksi demensia jenis alzheimer. Penyakit alzheimer
familial memiliki awitan sangat dini (usia 30-40 th) dan bertanggung jawab atas 20% dari semua kasus demensia jenis ini.
Penyakit ini berkaitan denga gengen abnormal dikromosom 1, 14 dan 21. Adanya apolipoprotein E 4 (apo, E 4)
dikromosom 19 terjadi 2 kali lebih banyak pada penderita demensia jenis alzheimer dibanding populasi umum.
Modal toksin: Sebagian peneliti meyakini bahwa akumulasi alumunium pada otak akibat pajanan alat-alat dan
produk alumunium dapat menyebabkan demensia jenis alzheimer. Bukti untuk teori ini masih sedikit.
Abnormalitas neurotransmiter atau reseptor : Kehilangan asetil kolin (neurotransmiter kolinergik mayor) berkaitan
dengan gejala-gejala gangguan kognitif (demensia). (peningkatan kadar asetin kolin merupakan dasar untuk terapi obat
yang disetujui FDA untuk demensia).
Page 33 of 37

Perubahan
Tahap Perilaku Afek
Kognitif
Ringan Sulit menyelesaikan Cemas Kehilangan ingatan tentang
tugas Depresi peristiwa yang baru saja terjadi (lupa
Penurunan aktivitas Frustasi akan janji
yang mengarah pada Curiga temu dan percakapan)
tujuan Ketakutan Disorientasi waktu
Kurang Berkurangnya kemampuan
memperhatikan konsentrasi
penampilan pribadi Sulit mengambil keputusan
dan Kemampuan penilaian buruk
aktivitas sehari-hari
Menarik diri dari
aktivitas social yang
biasa
Sering mencari benda-
benda
karena lupa
meletakannya;
dapat menuduh orang
lain telah mencurinya

Sedang Perilakunya tidak Mood labil Datar Kehilangan ingatan tentang hal-hal
pantas secara sosial Apatis yang baru atau lama (amnesia)
Kurang perawatan diri Agitasi Konfabulasi
(misal mandi, Katas tropi Disprientasi waktu, tempat dan orang
toileting, berpakaian, Paranoia Sedikit agnosia, apraksia dan afasia
berdandan)
Berkeluyuran atau
mondar-mandir
Senang menimbun
barang-barang
Hiperoralitas
Mengalami
gangguan siklus tidur-
bangun

Berat Penurunan Datar, apatis Semua perubahan kognitif berlanjut


kemampuan ambulasi Reaksi Katastropik sejalan dengan meningkatnya
dan aktivitas motorik occasional dapat amnesia, agnosia, aprasia dan afasia
lainnya berlanjut
Penurunan
kemampuan menelan
Sama sekali tidak bisa
mengurus diri
(misalnya
membutuhkan
perawatan yang
konstan)
Tidak mengenali
lagi keberadaan
pemberi asuhan

Demensia vaskular (multi-infark) ditandai dengan gejala-gejala demensia pada tahun pertama terjadinya gejala
neurologik fokal. Klien diketahui mengalami faktor resiko penyakit vaskuler (misalnya hipertensi, fibrilasi atrium,
diabetes). Jenis demensia yang lain berkaitan dengan kondisi medis umum, seperti penyakit parkinson, penyakit pick,
koreahuntingtown dan penyakit Creutzfeldt-jakob. Demensia yang disebabkan kondisi-kondisi tersebut dicatat sesuai
penyakitnya yang spesifik. Gejala demensia:
Page 34 of 37

1) Afasia: kehilangan kemampuan berbahasa; kemampuan berbicara memburuk dan klien sulit "menemukan" kata-
kata.
2) Apraksia: rusaknya kemampuan melakukan aktivitas motorik sekalipun fungsi sensoriknya tidak mengalami
kerusakan.
3) Agnosia: kegagalan mengenali atau mengidentifikasi objek atau benda urnurn walaupun fungsi sensoriknya tidak
mengalami kerusakan.
4) Konfabulasi: mengisi celah-celah ingatannya dengan fantasi yang diyakini oleh individu yang terkena.
5) Sundown sindrom: memburuknya disorientasi di malam hari.
6) Reaksi katastrofik: respon takut atau panik dengan potensi kuat inenyakiti diri sendiri atau orang lain.
7) Perseveration phenomenon: perilaku berulang, meliputi mengulangi kata-kata orang lain.
8) Hiperoralitas: kebutuhan untuk mencicipi dan mengunyah benda-benda yang cukup kecil untuk dimasukkan ke
mulut.
9) Kehilangan memori: awalnya hanya kehilangan memori tentang hal-hal yang baru terjadi, dan akhirnya gangguan
ingatan masa lalu.
10) Disorientasi waktu, tempat dan orang.
11) Berkurangnya kemampuan berkonsentrasi atau mempelajari materi baru.
12) Sulit mengambil keputusan
13) Penilaian buruk: individu ini mungkin tidak mempunyai kewaspadaan lingkungan tentang keamanan dan
keselamatan.

Epidemiologi demensia:
Dimensia jenis a1zheimer menyebabkan 50%-75% kasus demensia yang didiagnosis. Demensia jenis ini merupakan
penyebab, kematian tertinggi keempat pada individu berusia lebih dari 65 tahun. Insidensinya sebagai berikut:
1) 65-75 tahun 5%-8%
2) 75-85 tahun 15%-20%
3) 85 tahun atau lebih 25%-55%

Etiologi demensia:
Faktor-faktor yang berkaitan dengan demensia adalah:
1) Kondisi akut yang tidak diobati atau tidak dapat disembuhkan. Bila kondisi akut yang menyebabkan delirium tidak
atau tidak dapat diobati, terdapat kemungkinan bahwa kondisi ini akan menjadi kronik dan karenanya dapat dianggap
sebagai demensia.
2) Penyakit vaskuler, seperti hipertensi, arteriosklerosis, dan aterosklerosis dapat menyebabkan stroke.
3) Penyakit parkinson: demensia menyerang 40% dari pasien-pasien ini.
4) Gangguan genetika: koreahuntington atau penyakit pick.
5) Penyakit prior (protein yang terdapat dalam proses infeksi penyakit Creutzfeldt-jakob).
6) lnfeksi Human Imunodefisiensi Virus (HIV) dapat menyerang Sistem saraf pusat (SSP), menyebabkan ensefalopati
HIV atau kompleks demensia AIDS.
7) Gangguan struktur jaringan otak, seperti tekanan normal, hidrocephalus dan cidera akibat trauma kepala.

C. Insomnia
Kebiasaan atau pola tidur lansia dapat berubah, yang terkadang dapat mengganggu kenyamanan anggota keluarga
lain yang tinggal serumah. Perubahan pola tidur dapat berubah tiak bisa tidur sepanjang malam dan sering terbangun pada
malam hari, sehingga lansia melakukan kegiatannya pada malam hari. Penyebab insomnia pada lansia :
1) Kurangnya kegiatan fisik dan mental sepanjang hari sehingga mereka masih semangat sepanjang malam
2) Tertidur sebentar-sebentar sepanjang hari
3) Gangguan cemas dan depresi
4) Tempat tidur dan suasana kamar kurang nyaman
5) Sering berkemih pada waktu malam karena banyak minum pada malam hari
6) Infeksi saluran kemih

D. Paranoid
Lansia terkadang merasa bahwa ada orang yang mengancam mereka, membicarakan, serta berkomplot ingin melukai
atau mencuri barang miliknya. Gejala Paranoid :
1) Perasaan curiga dan memusuhi anggota keluarga, teman-teman, atau orang-orang di sekelilingnya
2) Lupa akan barang-barang yang disimpannya kemudian menuduh orang-orang di sekelilingnya mencuri atau
menyembunyikan barang miliknya
3) Paranoid dapat merupakan manifestasi dari masalah lain, seperti depresi dan rasa marah yang ditahan
Page 35 of 37

Tindakan yang dapat dilakukan pada lansia dengan paranoid adalah memberikan rasa aman dan mengurangi rasa
curiga dengan memberikan alas an yang jelas dalam setiap kegiatan. Konsultasikan dengan dokter bila gejala bertambah
berat

E. Kecemasan
Gangguan kecemasan pada lansia adalah berupa gangguan panik, fobia, gangguan obsesif kondlusif, gangguan
kecemasan umum, gangguan stress akut, gangguan stress pasca traumatic. Gejala kecemasan :
1) Perasaan khawatir atau takut yang tidak rasional terhadap kejadian yang akan terjadi
2) Sulit tidur sepanjang malam
3) Rasa tegang dan cepat marah
4) Sering mengeluh akan gejala yang ringan atau takut/khawatir terhadap penyakit yang berat, misalnya kanker dan
penyakit jantung yang sebenarnya tidak dideritanya
5) Sering membayangkan hal-hal yang menakutkan
6) Merasa panic terhadap masalah yang ringan
Tindakan untuk mengatasi kecemasan
1) Cobalah untuk mendapatkan dukungan keluarga dengan rasa kasih saying
2) Bicaralah tentang rasa khawatir lansia dan cobalah untuk menentukan penyebab mendasar (dengan memandang lansia
secara holistic).
3) Cobalah untuk mengalihkan penyebab dan berikan rasa aman dengan penuh empati
4) Bila penyebabnya tidak jelas dan mendasar, berikan alas an-alasan yang dapat diterima olehnya
5) Konsultasikan dengan dokter bila penyebabnya tidak dapat ditentukan atau bila telah dicoba dengan berbagai cara
tetapi gejala menetap.

2.7 Diagnosa Keperawatan Yang Sering Muncul


Berikut ini adalah diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam penatalaksanaan untuk menanggulangi gangguan
psikososial pada lansia:
1. Gangguan pola tidur b.d ansietas
2. Membahayakan diri, resiko b.d perasaan tidak berharga dan putus asa.
3. Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi neuron ireversible .
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori ( defisit
neurologist)
5. Mobilitas fisik, hambatan b.d gangguan konsep diri, depresi, ansietas berat.
6. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis daan kognitif.
7. Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting berhubungan dengan ketergantungan fisiologis dan atau
psikologis.

2.8 Rencana Keperawatan


Berikut ini adalah contoh rencana keperawatan yang bisa diberikan untuk beberapa diganosa keperawatan di atas:
1. Gangguan pola tidur b.d ansietas.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan sebanyak 3x kunjungan klien memiliki pola tidur yang teratur.
Kriteria Hasil:
a.) Klien mampu memahami factor penyebab gangguan pola tidur.
b.) Klien mampu menentukan penyebab tidur inadekuat.
c.) Klien mampu memahami rencana khusus untuk menangani atau mengoreksi penyebab tidur tidak adekuat.
d.) Klien mampu menciptakan pola tidur yang adekuat dengan penurunan terhadap pikiran yang melayang-layang
(melamun).
e.) Klien tampak atau melaporkan dapat beristirahat yang cukup.

Intervensi
a.) Jangan menganjurkan klien untuk tidur siang apabila berakibat efek negative terhadap tidur pada malam hari.
Rasional: irama sikardian (siklus tidur bangun) yang tersinkronisasi disebabkan oleh tidur siang yang singkat.
b.) Evaluasi efek obat klien yang mengganggu tidur.
Rasional: derangement psikis terjadi bila terdapat penggunaan kortikosteroid termasuik perubahan mood, insomnia.
c.) Tentukan kebiasaan dan rutinitas waktu tidur malam dengan kebiasaan klien (member susu hangat).
Rasional: mengubah pola yang sudah terbiasa dari asupan makan klien pada malam hari terbukti mengganggu tidur.
d.) Berikan lingkungan yang nyaman untuk meningkatkan tidur.
Rasional: hambatan kortikal pada formasi retikuler akan berkurang selama tidur, meningkatkan respon otomatik,
karenanya respon kardiovaskuler terhadap suara meningkat selama tidur.
e.) Buat jadwal intervensi untuk memungkinkan waktu tidur lebih lama.
Page 36 of 37

Rasional: gangguan tidur terjadi dengan seringnya tidur dan mengganggu pemulihan sehubungan dengan gangguan
psikologis dan fisiologis, sehingga irama sikardian terganggu.
f.) Berikan makanan kecil sore hari, susu hangat, mandi, dan massage punggung.
Rasional: meningkatkan relaksasi dengan perasaan mengantuk.
g.) Putarkan music yang lembut atau “suara yang jernih”.
Rasional: menurunkan stimulasi sensori dengan menghambat suara lain dari lingkungan sekitar yang akan menggaggu
tidur.
h.) Berikan obat sesuai indikasi seperti amitriptilin.
Rasional: Efektik menangani pseudodemensia atau depresi menigkatkan kemampuan untuk ttidur, tetapi antikolinergik
dapat mencetuskan bingung, memperburuk kognitif an efek samping hipertensi ortostatik.

2. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori ( defisit
neurologis ).
Tujuan: setelah dilakukan dilakukan keperawatan sebanyak 3x kunjungan tidak terjadi penurunan lebih lanjut pada
persepsi sensori klien
Kriteria hasil :
a. Klien mengalami penurunan halusinasi.
b. Klien mampu mengembangkan strategi psikososial untuk mengurangi stress atau mengatur perilaku.
c. Klien mampu mendemonstrasikan respon yang sesuai stimulasi.
Intervensi:
a.) Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi klien termasuk penurunan
penglihatan atau pendengaran.
Rasional : keterlibatan otak memperlihatkan masalah yang bersifat asimetris menyebabkan klien kehilangan kemampuan
pada salah satu sisi tubuh. Klien tidak dapat mengenali rasa lapar atau haus.
b.) Anjurkan memakai kacamata atau alat bantu dengar sesuai kebutuhan
Rasional : meningkatkan masukan sensori, membatasi atau menurunkan kesalahan intepretasi stimulasi.
c.) Pertahankan hubungan orientasi realita. Memberikan petunjuk pada orientasi realita dengan kalender, jam, atau
catatan.
Rasional : menurunkan kekacauan mental dan meningkatkan koping terhadap frustasi karena salah persepsi dan
disorientasi. Klien menjadi kehilangan kemampuan mengenali keadaan sekitar.
d.) Ajarkan strategi mengatasi stress.
Rasional : menurunkan kebutuhan akan halusinasi
e.) Libatkan dalam aktivitas sesuai indikasi dengan keadaan tertentu, seperti satu ke satu pengunjung, kelompok
sosialisasi pada pusat demensia, terapi okupasi.
Rasional : memberi kesempatan terhadap stimulasi partisipasi dengan orang lain.

3. Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi neuron irreversible.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan sebanyak 3x kunjungan klien dapat berpikir rasional.
Kriteria hasil :
a. Klien mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk menjalani konsekuensi kejadian yang menegangkan terhadap
emosi dan pikiran tentang diri
b. Klien mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi anggapan diri yang negative
c. Klien mampu mengenali perubahan dalam berfikir atau tingkah laku dan factor penyebab
d. Klien mampu memperlihatkan penurunan tingkah laku yang tidak diinginkan, ancaman, dan kebingungan.

Intervensi:
a.) Kembangkan lingkungan yang mendukung dan hubungan klien-perawat yang terapeutik
Rasional: mengurangi kecemasan dan emosional, seperti kemarahan, meningkatkan pengembanagan evaluasi diri yang
positif dan mengurangi konflik psikologis.
b.) Kaji derajat gangguan kognitif, seperti perubahan orientasi, rentang perhatian, kemampuan berfikir. Bicarakan dengan
keluarga mengenai perubahan perilaku.
Rasional: memberikan dasar perbandingan yang akan datang dan memengaruhi rencana intervensi. Catatan: evaluasi
orientasi secar berulang dapat meningkatkan risiko yang negative atau tingkat frustasi.
c.) Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang.
Rasional: kebisingan merupakan sensori berlebihan yang meningkatkan gangguan neuron
d.) Tatap wajah klien ketika sedang berbicara dengan klien
Rasional: menimbulkan perhatian, terutama pada klien dengan gangguan perceptual.
e.) Gunakan distraksi. Bicarakan tentang kejadian yang sebenarnya saat klien mengungkapkan ide yang salah, jika tidak
meningkatkan kecemasan.
Page 37 of 37

Rasional: lamunan membantu dalam meningkatkan disorientasi. Orientasi pada realita meningkatkan perasaan realita
klien, penghargaan diri dan kemuliaan (kebahagiaan personal).
f.) Hormati klien dan evaluasi kebutuhan secara spesifik.
Rasional: klien dengan penurunan kognitif pantas mendapatkan penghormatan, penghargaan, dan kebahagiaan.
g.) Bantu klien menemukan hal yang salah dalam penempatannya. Berikan label gambar atau hal yang diinginkan klien.
Jangan menentang.
Rasional: menurunkan defensive jika klien menyadari kesalahan. Membantah klien tidak akan mengubah kepercayaan
dan menimbulkan kemarahan.
h.) Berikan obat sesuai indikasi seperti, siklandelat.
Rasional ; meningkatkan kesadaran mental.
3

Anda mungkin juga menyukai