Anda di halaman 1dari 14

JURNAL TREND DAN ISSUE

KEPERAWATAN KELUARGA

DISUSUN OLEH :

Nama : Karmalita Louk

Npm : 12114201180098

Kelas : A Keperawatan

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmatnya.
saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Sejarah Keperawatan Jiwa” dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya. saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan mengenai penyakit tersebut. Saya juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan.

Ambon 31 Januari 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………..

DAFTAR ISI……………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah………………………………………………………….
C. Tujuan Masalah……………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Keperawatan Jiwa di Dunia……………………………………….


B. Sejarah Keperawatan Jiwa di Indonesia……………………………………

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………
B. Saran………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keperawatan kesehatan mental dan psikiatrik adalah suatu bidang spesialisasi
praktek keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan
penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya ( ANA ). Semuanya didasarkan
pada diagnosis dan intervensi dari adanya respons individu akan masalah kesehatan
mental yang actual maupun potensial.
Tahun 1862 pemerintah Hindia Belanda mengadakan sensus terhadap penderita
gangguan jiwa di Pulau Jawa dan Madura, hasilnya ada kira-kira 600 orang penderita
gangguan jiwa di Pulau Jawa dan Madura, 200 orang lagi di daerah-daerah lain. Keadaan
demikian untuk penguasa pada waktu itu sudah cukup alasan untuk membangun RS Jiwa.
Diperkirakan bahwa 2-3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa
berat.
Pada awalnya perawatan pasien dengan gangguan jiwa tidak dilakukan oleh petugas
kesehatan (Custodial Care). Perawatan bersifat isolasi dan penjagaan. Mereka
ditempatkan dalam suatu tempat khusus, yang kemudian berkembang menjadi Primary
Consistend of Custodial Care. Oleh karena itu, semakin meningkatnya orang yang
mengalami gangguan jiwa dan bagaimana sejarah keperawatan jiwa sehingga penulis
mengangkat judul makalah ini “Sejarah Keperawatan Jiwa ”. Hal ini diharapkan calon
perawat dan perawat dapat mengetahui perkembangan keperawatan Jiwa di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah perkembangan keperawatan jiwa di dunia ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan keperawatan jiwa di Indonesia ?
C. Tujuan Masalah
Mahasiswa mengetahui perjalanan sejarah perkembangan keperawatan jiwa
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH KEPERAWATAN JIWA DI DUNIA


Keperawatan jiwa mulai berkembang di dunia pada tahun 1770. Hal ini disebabkan
seiring dengan kejadian penanganan pada orang dengan penyakit mental. Penanganan
yang di lakukan pada awal perkembangan terhadap orang dengan penyakit mental
dianggap terlalu primitif dan kejam. Adapun persepsi tentang keperawatan jiwa di mulai
dari masa peradaban sampai sekarang.
1. Zaman mesir kuno
Pada zaman ini, gangguan jiwa dianggap disebabkan karena adanya roh jahat
yang bersarang di otak. Banyak cara yang dilakukan untuk mengusir roh tersebut
agar penderita sembuh. Salah satunya dengan membuat lubang pada tengkorak
kepala untuk mengeluarkan roh jahat yang bersarang di otak tersebut, terbukti
dengan ditemukannya lubang di kepala orang yang pernah mengalami gangguan
jiwa, adanya prasasti mesir kuno yang bertuliskan nama orang yang dimasuki roh
jahat dan telah dilubangi kepalanya. Tahun berikutnya penanganan di lakukan
lebih kejam lagi, seperti dibakar, dipukuli, diceburkan dalam air yang dingin atau
pemberian syok terapi dengan harapan agar gangguannya menghilang.
2. Zaman yunani
Pada zaman ini, gangguan jiwa sudah dianggap suatu penyakit. Para leluhur
yunani percaya bahwa gangguan emosional diakibatkan karna tidak berfungsinya
organ pada otak. Upaya pengobatannya dilakukan oleh dokter , walaupun
sebagian orang masih ada yang berdoa untuk mengeluarkan roh jahat. Mereka
menggunakan pendekatan tindakan seperti : ketenangan, gizi yang baik,
kebersihan badan yang baik, musik dan aktivitas rekreasi.
Selama abad 7 sebelum masehi, hypocrates menjelaskan perubahan prilaku dan
gangguan mental disebabkan oleh perubahan 4 cairan hormon yang dapat
menghasilkan panas, dingin, kering dan kelembaban. Seorang dokter yunani yang
bernama Galen menegaskan bahwa emosi atau kerusakan mental di hubungkan
dengan otak.
Pada zaman ini, orang yunani menjadikan kuil sebagai rumah sakit jiwa dan
menyediakan lingkungan udara bersih, sinar matahari dan air yang bersih,
melakukan aktivitas bersepeda dan mendengarkan suara air terjun sebagai contoh
penyembuhan penyakit jiwa. Namun, rumah sakit jiwa lebih banyak digunakan
sebagai tempat penampungan orang gangguan jiwa yang miskin, sehingga
keadaannya sangat kotor dan jorok. Sementara orang kaya yang mangalami
gangguan jiwa dirawat di rumah sendiri.
Pada tahun 1841, Dorothea Line Dick melihat keadaan perawatan gangguan
jiwa. Ia tersentuh hatinya, sehingga berusaha memperbaiki pelayanan kesehatan
jiwa. Bersamaan dengan itu, Herophillus dan Erasistratus meriset gagasan yang
dikemukakan oleh dokter Galen tentang hubungan emosional dengan otak.
Mereka memikirkan apa yang sebenarnya ada dalam otak, sehingga mereka
mempelajari anatomi otak pada binatang. Kurang puas hanya mempelajari otak,
sehingga mereka berusaha mempelajari seluruh sistem tubuh hewan.
3. Zaman vesalius
Vesalius tidak yakin hanya dengan mempelajari anatomi hewan saja,
sehingga ia ingin mempelajari otak dan sistem tubuh manusia. Namun, membelah
kepala manusia untuk dipelajari merupakan hal yang mustahil, apalagi
mempelajari seluruh sistem tubuh manusia. Akhirnya, ia berusaha mencuri mayat
manusia untuk dipelajari. Sayangnya kegiatannya tersebut diketahui masyarakat,
sehingga ia ditangkap, diadili, dan diancam hukuman mati (pancung). Namun, ia
bisa membuktikan bahwa kegiatannya itu untuk kepentingan keilmuan, maka
akhirnya ia dibebaskan. Versailus bahkan mendapat penghargaan karena bisa
menunjukkan adanya perbedaan antara manusia dan binatang. Sejak saat itu dapat
diterima bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit. Namun kenyatannya,
pelayanan di rumah sakit jiwa tidak pernah berubah. Orang yang mengalami
gangguan jiwa dirantai, karena petugasnya khawatir dengan keadaan pasien.
4. Masa pertengahan dan zaman revolusi prancis I
Setelah gangguan jiwa dinyatakan sebagai penyakit pada zaman vesalius.
Pada era ini disebut juga era alienation, social exclusion, confinement. Para dokter
menjelaskan gejala yang sering terjadi seperti : Depression, Paranoid, Delusions,
Hysteris, Nightmares. Pembentukan rumah sakit jiwa pertama terjadi pada masa
ini yaitu di england dengan nama Bethlehem Royal Hospital. Kemudian diikuti
oleh Philipe Pinel, seorang dokter Perancis yang membuka sebuah rumah sakit
untuk seorang penderita jiwa / mental di pilih kota La Bicetre, Paris. Dia memulai
dengan tindakan kemanusiaan dan advokasi, melalui observasi perilaku, riwayat
perkembangan dan menggunakan komunikasi dengan penderita.
Phillipe Pinel, saat itu menjabat sebagai direktur di RS Bicetri Prancis,
berusaha memanfaatkan Revolusi Prancis untuk membebaskan belenggu pada
pasien gangguan jiwa. Revolusi Prancis ini dikenal dengan revolusi humanisme
dengan semboyan utamanya “Liberty, Equality, Fraternity”. Ia meminta kepada
walikota agar melepaskan belenggu untuk pasien gangguan jiwa. Pada awalnya,
walikota menolak. Namun, Pinel menggunakan alasan revolusi, yaitu “Jika tidak,
kita harus siap diterkam binatang buas yang berwajah manusia”. Perjuangan ini
diteruskan oleh murid-murid Pinel sampai Revolusi II. Tidak sampai disitu,
muncul juga Wayer sebagai dokter jiwa pertama di jerman yang bisa menjelaskan
gangguan jiwa melalui kategori diagnostiknya
5. Revolusi kesehatan jiwa II
Dengan diterima gangguan jiwa sebagai suatu penyakit, maka terjadilah
perubahan orientasi pada organo biologis. Pada saat ini, Qubius menuntut agar
gangguan jiwa masuk dalam bidang kedokteran. Oleh karena itu, ganguan jiwa
dituntut mengikuti paradigma natural sciences, yaitu ada taksonomi
(penggolongan penyakit) dan nosologi (ada tanda/gejala penyakit). Akhirnya,
Emil Craepelee mampu membuat penggolongan dari tanda-tanda gangguan jiwa.
Sejak saat itu, kesehatan jiwa terus berkembang dengan berbagai tokoh dan
spesfikasinya masing-masing.
Sebut saja Bejamin Rush, dia disebut Bapak Psikiatric Amerika. Pertama
menulis buku tentang Pskiatric Amerika dan banyak tindakan kemanusian untuk
penderita penyakit mental/jiwa. Tahun 1783, masa tindakan moral dan
bekerjasama dengan rumah sakit Pennsylvania. Tahun 1843, Thomas kirkbridge
memberikan pelatihan di rumah sakit Pennsylvania untuk membantu dokter
merawat pasien penyakit jiwa. Tahun 1872, New England Hospital dibuka untuk
perempuan & anak, dan Women’s Hospital di Philadelphia mendirikan sekolah
perawat, tetapi tidak untuk pelayan pskiatrik. Setelah itu Dorothea Lynde Dix,
seorang pengajar yang memberikan contoh penderita penyakit jiwa.
Tahun 1882 Pendidikan keperawatan jiwa pertama di McLean Hospital di
Belmont, Massachusetts. Dan Tahun 1890 siswa perawat menjadi staff
keperawatan di rumah sakit jiwa. Perawat mendapat tugas dan diharapkan
mengembangkan ketrampilan dalam memberikan pengobatan melalui asuhan
keperawatan. Diakhir abad 19 mengalami perubahan atau perkembangan menjadi
cohtoh pengobatan dari perawat pskiatrik.
6. Revolusi kesehatan jiwa III
Pada masa abad 20, perubahan mengenai kesehatan mental sangat besar
dipengaruhi oleh Clifford Beers dengan diterbitkannya buku yang berjudul A
Mind That Found Itself (1908). Dia menulis bukunya berdasarkan pengalaman
dan observasi selama 3 tahun sebagai pasien di rumah sakit jiwa. Beers
menggunakan pengaruhnya untuk membentuk National Society for Mental
Hygiene tahun 1909, sekarang dikenal dengan National Association for Mental
Health. Sebagai hasilnya, banyak dibangun rumah sakit jiwa di daerah pedesaan,
dimana pasien akan mendapatkan udara segar, sinar matahari dan lingkungan
alami.
Pada tahun 1915, Linda Richards, lulusan Perawat pertama di AS dan sering
disebut sebagai perawat psikiatrik pertama di AS, menganjurkan pelayanan yang
sama terhadap pasien penyakit jiwa dengan pasien penyakit fisik. Dia
menempatkan asuhan pada pasien penyakit jiwa memerlukan tingkat kesabaran
yang tinggi dan siswa tidak terpengaruh. Pengalaman klinik di rumah sakit jiwa
memberikan kesempatan kepada siswa perawat untuk mempunyai kemampuan
tersebut. Banyak kemajuan terlihat di National Commettee on Mental Hygiene
and the American Nurses Association yang mempromosikan pendidikan kepada
pasien penyakit jiwa dengan menerbitkan journal. Buku – buku tentang
keperawatan jiwa ditulis dan dewan National League for Nursing mendiskusikan
pendidikan Diploma keperawatan psikiatrik (1915-1935).
Pengalaman klinik di Rumah Sakit Jiwa merupakan bagian terpenting dari
dasar pengalaman siswa perawat dan sudah distandarisasikan pada tahun 1937.
Pada tahun 1939 hampir semua sekolah perawatan memberikan pembelajaran
keperawatan psikiatri untuk siswa, tetapi belum dapat diakui sampai dengan tahun
1955. Pada tahun 1963, Gerakan Kesehatan Mental Masyarakat mendirikan pusat
kesehatan masyarakat.
Maka pada perkembangan berikutnya dikembangkanlah basis komunitas
(community base) dengan adanya upaya pusat kesehatan mental komunitas
(community mental health centre) yang dipelopori oleh J.F. Kennedy. Pada saat
inilah disebut revolusi kesehatan jiwa III.

B. SEJARAH KEPERAWATAN JIWA DI INDONESIA


Di Indonesia sejak dulu sudah dikenal adanya gangguan jiea, misalnya dalam cerita
Mahabrata dan Ramayana dikenal adanya “Srikandi Edan”, Gatot Gaca Gandrung”.
Bagaimana para penderita gangguan jiwa diperalakukan pada zaman dahulu kala di
Indonesia tidak diketahui dengan jelas. Bila beberapa tindakan terhadap penderita
gangguan jiwa sekarang dianggap sebagai warisan dari nenek moyang kita, maka kita
dapat membayangkan sedikit bagaimanakah kiranya paling sedikit sebagian dari jumlah
penderita gangguan jiwa itu ditangani pada jaman dulu. Adapun tindakan yang dimaksud
adalah dipasung, dirantai atau diikat lalu ditempatkan tersendiri di rumah atau di hutan
(bila sifat gangguan jiwanya berat dan membahayakan). Bila tidak berbahaya, dibiarkan
berkeliaran di desa, sambil mencari makanan dan menjadi tontonan masyarakat malahan
ada kalanya diperlakukan sebagai orang sakti, Mbah Wali atau medium (perantara antara
roh dan manusia).
1. Zaman kolonial
Sebelum ada Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, para ganggguan jiwa ditampung
di RS sipil atau RS militer di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Yang ditampung
pada umumnya penderita gangguan jiwa berat. Ternyata tempat RS yang
disediakan tidak cukup. Tahun 1862 pemerintah Hindia Belanda mengadakan
sensus terhadap penderita gangguan jiwa di Pulau Jawa dan Madura, hasilnya ada
kira-kira 600 orang penderita gangguan jiwa di Pulau Jawa dan Madura, 200
orang lagi di daerah-daerah lain. Keadaan demikian untuk penguasa pada waktu
itu sudah cukup alasan untuk membangun RS Jiwa. Maka pada tanggal 1 Juli
1882, dibangun Rumah Sakit Jiwa pertama di Bogor, kemudian berturut-turut RSJ
Lawang pada 23 Juni 1902), RSJ Magelang pada tahun 1923 dan RSJ Sabang
pada tahun 1927. RSJ ini tergolong RS besar dan menampung penderita gangguan
jiwa menahun yang memerlukan perawatan lama.
Pemerintah Hindia Belanda mengenal 4 macaam tempat perawatan penderita
psikistrik, yaitu:
a) RS Jiwa (Kranzinnigengestichten)
Di Bogor, Magelang, Lawang, dan Sabang, RSJ terus penuh, sehingga
terjadi penumpukan pasien sementara, tempat tahanan sementara
kepolisian dan penjara-penjara. Maka dibangunlah
“annexinrichtingen” pada RS ysng sudah ada seperti di Semplak
(Bogor) tahun 1931 dan Pasuruan (dekat Lawang) tahun 1932
b) RS Sementara (Doorgangshuizen)
Tempat penampungan sementara bagi pasien psikotik yang
dipulangkan setelah sembuh, yang perlu perawatan lebih lama dikirim
ke RS Jiwa yang didirikan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Ujung
Pandang, Palemnbang, Bali Banjarmasin,Manado dan Medan.
c) Rumah Perawatan (Veerplegtehuiizen)
Berfungsi sebagai RS Jiwa tetap dikepalai seorang perawat berijazah
dan dibawah pengawasan dokter umum.
d) Koloni
Tempat penampungan pasien psikiatrik yang sudah tenang, pasien
dapt bekerja dalam bidang pertanian serta tinggal dirumah penduduk,
tuan rumah diberi uang kos, dan masih berada dibawah pengawasan.
Tempat diatas dibangun jauh dari kota dan bersifat isolasi dengan
alasan :
a. Pasien harus keluar dari rumah dan lingkungan yang
menyebabkan ia sakit, oleh sebab itu harus dirawat disuatu
tempat yang tenang, sehingga terbiasa dengan suasana rumah
sakit.
b. Menghidari stigma (cap yang tidak baik)

2. Zaman setelah kemerdekaan.


Membawa babak baru bagi perkembangan usaha kesahatan jiwa, Oktober
1947 Pemerintah RI membentuk Jawatan Urusan Penyakit Jiwa, karena masih
terjadi revolusi fisik maka belum dapat bekerja dengan baik. Pada tahun 1950
pemerintah RI menugaskan untuk melaksanakan hal-hal yang dianggap penting
bagi penyelenggaraan dan pembinaan kesehatan jiwa di Indonesia. Jawatan ini
bernaung di bawah Departemen Kesehatan; tahun 1985 diubah menjadi Urusan
Penyakit Jiwa; 1960 menjadi Bagian Kesehatan Jiwa; dan tahun 1966 menjadi
Direktorat Kesehatan Jiwa yang sampai sekarang dipimpin oleh Direktur
Kesehtan Jiwa atau Kepala Direktorat Kesehatan Jiwa.
Dengan ditetapkannya UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966 oleh
pemerintah, maka lebih terbuka untuk menghimpun semua potensi guna secara
bertahap melaksanakan modernisasi semua sistem rumah sakit serta fasilitas
kesehatan jiwa di Indonesia. Direktorat kesehatan jiwa mengadakan kerjasama
dengan berbagai instansi pemerintah dan dengan fakultas kedokteran, badan
internasional, seminar nasional dan regional Asia serta rapat kerja nasional serta
daerah. Adanya pembinaan sistem pelaporan, tersusun PPDGJ I tahun 1973 dan
diterbitkan tahun 1975 serta integrasi dalam pelayanan kesehatan di Puskesmas.
Pihak swasta pun lebih memikirkan masalah kesehatan jiwa, terutama di kota-
kota besar. Di Jakarta, kemudian di Yogyakarta dan Surabaya serta beberapa kota
lainnya didirikan sanatorium kesehatan jiwa. RSU pemerintah dan RS ABRI
menyediakan tempat tidur untuk pasien gangguan jiwa dan mendirikan bagian
psikiatri, demikia pula RS swasta seperti RS St. Carolus di Jakarta, RS Maria
(Minahasa). Di Jakarta dan Surabaya telah didirikan Pusat Kesehatan Jiwa
Masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa berkembang pesat pada Perang Dunia II karena
menggunakan pendekatan metode pelayanan public health service. Konsekuensinya, peran
perawat jiwa juga berubah dari peran pembantu menjadi peran aktif dalam tim kesehatan, untuk
mengobati penderita gangguan jiwa. Pada masa kini, perawatan penderita gangguan jiwa lebih
difokuskan pada basis komunitas. Ini sesuai dengan hasil Konferensi Nasional I keperawatan
Jiwa (Oktober, 2004), bahwa pengobatan akan lebih difokuskan dalam hal tindakan preventif
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Keperawatan jiwa telah mengalami perkembangan secara terus menerus hingga saat
ini. Dimana awalnya gangguan jiwa dianggap perbuatan dari roh jahat dan adanya
perlakuan kasar terhadap penderitanya. Namun, hal itu tidak terjadi lagi sekarang karna
banyaknya rumah sakit jiwa yang telah didirikan dan penderitanyapun mendapat
perlakuan yang manusiawi melalui proses rehabilitasi. Kemudian dengan adanya
perubahan sudut pandang yang membuat penyakit gangguan jiwa bukan suatu hal yang
dianggap aib, karena hakikat manusia adalah bermartabat dan dihargai.
Manusia sendiri merupakan makhluk unik, tentu saja koping terhadap sesuatu seperti
stressor akan berbeda setiap individu.

B. SARAN
Setelah kami membahas tentang sejarah,yang berkembang terhadap keperawatan jiwa,
dan demi kemajuan keperawatan jiwa khususnya di Indonesia serta untuk mengurangi
penderita gangguan jiwa. Ada baiknya dibentuklah kompetensi soft skill yang kompleks
buat Mahasiswa perawat supaya mampu mengembangkan, merubah dan memperbaiki
penanganan terhadap penyakit gangguan mental.
DAFTAR PUSTAKA

Ah, Yusuf. dkk. 2015. Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : Salemba Medika.

Yosep, iyus. 2011. Kepetawatan jiwa (edisi revisi). Bandung : Refika Aditama

Stuart, Gail W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai