MDR TB
MDR TB
1. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis merupakan kontributor terbesar kedua diantara penyakit menular yang
menyebabkan kematian pada orang dewasa sektar1,7 juta kematian diseluruh dunia pertahun.
WHO memperkirakan bahwa sepertiga dari populasi dunia terinfeksi Micobacterium
Tuberculosis. MDR-WHO/ Global IUATLD Proyek pada ketahanan survailence telah
ditemukan resistensi terhadap obat-TB (prevalensi > 4 % diantara kasus TB baru) di Eropa
TImur, Amerika Latin, Afrika dan Asia. Di kawasan Asia Tenggara TB membunuh sekitar
2000 jiwa setiap hari, sedangkan di Indonesia menurut hasil Survey Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) 2004 TB sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan
saluran napas.
Multi drug-resisten tuberculosis (MDR-TB) yaitu penyakit TB yang disebabkan oleh
karena kuman yang resisten terhadap INH dan rifampisin dan kadang disertai resisten
terhadap obat TB yang lain. Faktot penyebab terjadinya multi drug resisten yaitu penggunaan
paduan OAT yang tidak adekuat, pengawasan pengobatan yang tidak baik, kualitas OAT
yang kurang baik, kesalahan pasien pada saat minum obat dan paduan OAT yang tidak
standar pada unit pelayanan kesehatan yang belum menggunakan strategi DOTS. Penyebab
utama yang tidak kalah pentingnya adalah kekeliruan dokter dalam menetapkan panduan
OAT dengan tidak memperhitungkan tingginya resistensi primer yang telah terjadi
sebelumnya. Akibat dari faktor-faktor yang disebutkan diatas, konsumsi OAT bisa hanya satu
jenis saja (monoterapi direk) atau konsumsi OAT sudah kombinasi tetapi hanya satu jenis
OAT saja yang sensitif terhadap M. tuberculosis (indirek monoterapi) sehingga akan
mengakibatkan terjadinya resistensi didapat (sekunder). Apabila terapi yang tidak adekuat ini
terus berlanjut maka mutasi baru dalam pertumbuhan populasi basil menyebabkan kuman
yang resistensi obat menjadi bertambah banyak. Pasien TB dengan resistensi obat sekunder
dapat menginfeksi yang lainnya, dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan sebagai
resistensi primer. Resistensi primer seperti halnya resistensi sekunder dapat ditransmisikan ke
orang lain, sehingga dapat menyebarkan penyakit resistensi obat dalam komunitas.
.
Pola resistensi kuman M. tuberculosis penderita TB paru pasca primer dari poli DOTS
RSU Dr. Soetomo (Laporan tahunan 2003 sampai 2004) setelah 6 bulan pengobatan yang
7
mengalami gagal pengobatan dari 24 orang yang dilakukan pemeriksaan kultur dahak
didapatkan resistensi terhadap S sebanyak 2 orang (8,3%), RH sebanyak 5 orang (20,83%),
RHE sebanyak 3 orang (12,5%), RHS sebanyak 3 orang (12,5%) dan RHES sebanyak 5
orang (20,8%). Sedangkan hasil penelitian Edwin yang dilakukan tahun 2007 terhadap 55
penderita TB paru kasus baru di poli DOTS RSU dr. Soetomo didapatkan resistensi primer
sebanyak 40 orang (72,72%) dan yang masih sensitif terhadap OAT sebanyak 15 orang
(27,27%). Dari penelitian ini juga didapatkan mono-resistance sebanyak 11 orang (20%)
dengan rincian resisten terhadap E sebanyak 9 orang (16,4%), H sebanyak 2 orang (3,64%),
poly-resistance sebanyak 25 orang (46%) dan MDR sebanyak 4 orang (7,27%). Data di poli
DOTS RSU dr. Soetomo pada tahun 2009 menunjukan bahwa dari 170 penderita TB paru
kasus baru BTA (+) yang diobati, didapatkan 23 orang (13,5%) yang tidak mengalami
konversi pada akhir fase intensif sedangkan pada tahun 2010 dari 76 penderita TB paru kasus
baru BTA (+) yang diobati, didapatkan 19 orang (25%) yang tidak mengalami konversi pada
akhir fase intensif.
Resistensi M. tuberculosis terhadap OAT biasanya terjadi pada kasus TB kronik,
meskipun resistensi alami dapat pula terjadi pada sebagian kecil pasien TB baru. Timbulnya
resistensi M. tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), antara lain disebabkan
Tingginya angka resistensi terhadap OAT berakibat pada meningkatnya angka
gangguan pendengaran akibat ototoksisitas. Prevalensi gangguan pendengaran & ketulian di
Indonesia berdasarkan Survey Kesehatan Indera Pengelihatan & Pendengaran tahun 1996
adalah 16,8% & 0,4%. Sedangkan gangguan pendengaran & ketulian yang disebabkan oleh
ototoksisitas mempunyai prevalensi sebesar 0,3 %. Tetapi saat ini belum diperoleh data pasti
tentang ototoksisitas yang disebabkan oleh pengguanaan OAT.
Gejala ototoksisitas yang utama adalah tinitus, gangguan pendengaran dan vertigo,
tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan bernada tinggi berkisar 4-
6KHz. Gangguan yang terjadi biasanya bersifat bilateral dan bersifat sensorineural.
Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas paling sering ditemukan
karena pemberian gentamisin & streptomisin. Khusus untuk pemakaian streptomisin
memerlukan perhatian yang lebih karena streptomisin merupakan obat golongan
aminoglikosida yang sampai saat ini masih digunakan sebagai terapi anti tuberkulosis
katagori II. Sedangkan obat ini perlu diberikan pada jangka waktu tertentu yang tidak boleh
diputus.
8
2. TUJUAN KEGIATAN
Melakukan deteksi dini terhadap gangguan pendengaran dan ketulian yang
diakibatkan pemakaian OAT pada pasien TB-MDR
3. PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan monitoring dilakukan pada pasien dengan TB-MDR yang akan memulai
terapi, akhir terapi dan selama terapi berlangsung bila timbul keluhan pendengaran.
Pelaksanaan kegiatan dilakukan di poli TB-MDR. Tidak ada jadwal khusus untuk kegiatan
ini, kegiatan ini dilakukan bila pasien yang bersangkutan datang selama bulan Januari 2013.
4. HASIL KEGIATAN
Selama bulan Januari 2013 dilakukan pemeriksaan terhadap 18 pasien. Dari hasil
pemeriksaan audiometri menunjukkan tuli ringan sampai sedang berat dan hasil pemeriksaan
DPOAE menunjukkan refer dan pas. Kesimpulan tidak ditemukan pasien dengan kedua
telinganya yang menunjukkan pendengaran normal. Data sebagaimana terlampir.
5. SARAN
Obat anti tuberkulosis, khususnya yang bersifat ototoksik harus diberikan secara tepat
(tepat indikasi, tepat dosis, tepat penderita) & dilakukan monitoring efek samping secara
berkala untuk meminimalisir efek ototoksik yang ditimbulkan
9
LAMPIRAN
No Tgl Nama S O A P
4 21-01-2014 Andri Pendengaran -Telinga SNHL Hindari
menurun kanan MAE: D dan S bilateral pemakaian
dan kiri dbn D: SNHL obat
MT D/S intak profound , ototoksik
dbn S: SNHL
- Audiometri profound
D: Normal
hearing
S: SNHL ringan
11