Anda di halaman 1dari 23

BAB 4

PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA

1.1 Defensi Pendekatan Pembelajaran

Pendekatan pembelajaran adalah suatu hal yang termasuk sangat penting dalam proses
belajar mengajar, keefektifan proses belajar mengajar dapat terelaisasi melalui ketepatan
pemilihan pendekatan. Banyak para ahli pendidikan yang mendefensikan pendekatan
pembelajaran, diantaranya menurut  pendapat Wahjoedi (1999:121) bahwa, “pendekatan
pembelajaran adalah cara mengelola kegiatan belajar dan perilaku siswa agar ia dapat aktif
melakukan tugas belajar sehingga dapat memperoleh hasil belajar secara optimal”.
Kemudian menurut Syaifuddin Sagala (2005: 68) bahwa, “Pendekatan pembelajaran
merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional
untuk suatu satuan instruksional tertentu”.
Menurut Suherman (1993:220) mengemukakan pendekatan dalam pembelajaran adalah
suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian
tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran
itu, umum atau khusus.
Menurut sanjaya (2008:127) Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut
pandang kita terhadap proses pembelajaran. Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan
strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran
ekspositori. Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi
pembelajaran discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif. Berdasarkan
pandangan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran dapat diartikan
sebagai pemikiran awal tentang jalan atau cara mendekati sesuatu yang gunanya untuk
mencapai tujuan pembelajaran , yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses
yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan
melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya,
terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau
berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).

PENDEKATAN
PEMBELAJARAN
Berpusat Pada siswa Berpusat Pada Guru
(student centered (teacher centered
approach) approach).

Gambar 5.1 Bagan Pendekatan Pembelajaran

4.2 Macam Macam Pendekatan Pembelajaran


4.2.1 Pendekatan Kontekstual
4.2.1.1 Defenisi Pendekatan Kontekstual
Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan
bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal. Siswa harus mengkonstruksikan
pengetahuan di benak mereka sendiri. Bahwa pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi
fakta. Fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat
diterapkan (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003: 26). Menurut pandangan
konstruktivistik bahwa perolehan pengalaman seseorang itu dari proses asimilasi dan akomodasi
sehingga pengalaman yang lebih khusus ialah pengetahuan tertanam dalam benak sesuai
dengan skemata yang dimiliki seseorang. Skemata itu tersusun dengan upaya dari individu siswa
yang telah bergantung kepada skemata yang telah dimiliki seseorang (Ernest dalam Hudoyo,
1998: 4-5)
Ruseffendi dalam Ismail (2002) mengatakan bahwa, pendekatan adalah suatu jalan, cara
atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran.
Apabila melihatnya dari sudut proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu dikelola.
Contoh pendekatan dalam pembelajaran matematika antara lain adalah Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA). Pendekatan kontekstual adalah istilah lain dari pendekatan cara belajar siswa aktif,
sebab apa yang dilakukan dalam pendekatan CBSA adalah sama dengan apa yang ada di dalam
pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual ini sebagai salah satu pendekatan pembelajaran
matematika yang terdapat dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Pada prinsipnya kurikulum
tersebut adalah mengisyaratkan kepada kita, agar dalam pembelajaran matematika di sekolah,
guru membawa siswa ke dalam dunia nyata. Dengan kata lain, proses pembelajaran selalu
digunakan dengan benda-benda konkrit yang ada di lingkungan siswa.
Pendekatan konstektual merupakan suatu pendekatan belajar dimana guru menjadikan
situasi dunia nyata masuk dalam kelas dan memtivasi siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa untuk
memecahkan masalah, bernalar dan melaksanakan penemuan . Dalam konteks itu, siswa perlu
mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana
mencapainya.
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan
melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui,
mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi,
yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.
Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar.
Uraian di atas akan lebih jelas, dengan memperhatikan contoh di bawah ini. Guru
menerangkan arti perkalian kepada siswa, melalui metode tanya jawab dikombinasikan dengan
metode ceramah sebagai berikut.

Guru : Apakah artinya

Siswa : 3 + 3
Guru : Betul.
Selain 3 + 3, arti dari ialah

“ dua kali tiga” ditulis 2 x 3 Berapakah 3 + 3 ?


Siswa : 6
Guru : Betul, karena 3 + 3 = 6 berapakah 2 x 3 ?
Siswa : 6 juga
Guru : Betul, kalau begitu 5 + 5 apakah artinya
Siswa : 2 x 5
Guru : Bagus, berapakah 2 x 5
Siswa : 10
Guru : Betul, sekarang kamu Akbar selain 4 + 4 apa arti

dan berapa hasilnya?


Akbar : 2 x 4 = 8
Guru : Bagus sekali, sekarang siapa yang dapat menjawab apa artinya,

Siswa : 2 + 2 + 2
Guru : Betul, Bapak ingin menggunakan perkalian. Coba siapa yang dapat, tolong maju
ke depan dan tulis di papan tulis soal di atas dengan menggunakan perkalian.
Siswa C : 2 x 3
Guru : Coba perhatikan apakah jawaban C itu benar?
Siswa A : salah
Guru : semestinya apa jawababnnya?
Siswa A : 3 x 2
Guru : Mengapa ?
Siswa A : Sebab ada tiga himpunan yang banyaknya anggota dua-dua
Guru : Betul sekali. Jadi ingat, guru sambil melihat ke siswa C bahwa karena ada tiga
buah himpunan, setiap himpunan mempunyai dua anggota, maka

artinya 3 x 2 bukan 2 x 3
4.2.1.2 Karakteristik dan Komponen Pendekatan Kontekstual

Lima karakteristik dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual:


1. Dalam pendekatan kontekstual pembelajaran merupakan proses
pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge). Dalam hal ini guru
beraktifitas atau memberikan perlakuan yang dapat menjadikan siswa berupaya mengingat
kembali materi atau pengetahuan yang sudah ada pada dirinya.Tidak terlepas antara
pemahaman yang akan mau diberikan dengan pemahaman yang sudah ada pad diri siswa,
sedemikian sehingga pembentukan pengetahuan baru yang di bangun oleh siswa tersebut
terkait dengan pemahaman atau pengetahuan yang sudah ada pada dirinya.
2. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh
dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowlwdge). Dalam hal ini pembelajaran
yang berlangsung bukan lagi pengulangan pengetahuan yang sudah di capai, namun
pembelajaran kontekstual dilakukan agar siswa membangun sendiri pengetahuan yang baru
atau pengetahuan yang akan di pelajari. Siswa membentuk pemahamannya ang baru
dengan mendekatkan secara nyata.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan
yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk diyakini dan dipahami.penghafalan
terhadapsebuah pengetahuan tanpa memahami maknanya mengakibatkan pengetahuan
cepat hilang, namun sebaliknya pengetahuan yang diadapat dengan kepemahaman akan
melekat lama dalam memori diri siswa.
4. Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying
knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus dapat
diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa.
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi
pengembangan pengetahuan.
Sedangkan yang menjadi komponen dalam pendekatan pembelajaran kontekstual yaitu
ketujuh komponen utama sebagai langkah penerapan dalam pembelajaran (Depdiknas, 2003: 10),
yaitu:
1. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa belajar lebih bermakna
dengan diberikan kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengkonstruksi sendiri
pengetahuan dan keterampilan baru (constructivism).
2. Menciptakan group belajar yang saling tergantung (interdependent
learning groups) yaitu produk pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang
lain, maka pembelajaran semestinya selalu dilaksanakan dalam kelompok-kelompok
belajar atau proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kelompok.
3. Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry), yaitu siswa
memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui hasil penemuan sendiri (bukan hasil
mengingat).
4. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pengajuan
pertanyaan (questioning). bertanya merupakan kegiatan guru yang bertujuan
memotivasi, membimbing, dan memahami kemampuan berpikir siswa, sedangkan bagi
siswa kegiatan bertanya untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah
diketahui dan menunjukkan
perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya dapat diterapkan antara siswa
dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan
orang baru yang didatangkan di kelas.
5. Pemodelan (modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran
selalu ada model yang bisa ditiru. Guru memberi model tentang
bagaimana cara belajar, namun demikian guru bukan satu-satunya model. Model dapat
dirancang dengan melibatkan siswa atau dapat juga mendatangkan dari luar.
6. Refleksi (reflection), adalah cara berpikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa yang
lalu kuncinya adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa
7. Penilaian sesungguhnya (authentic assesment), adalah proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.
Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa
agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada
diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir periode pembelajaran. Kemajuan belajar
dinilai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya
itulah hakekat penilaian yang sebenarnya.
Strategi pengajaran kontekstual meliputi; keterhubungan, pengalaman, keterpakaian,
kerjasama, dan pentransferan (Crawford, 2001:3).
1. Keterhubungan

Keterhubungan merupakan kekuatan strategi pengajaran kontekstual, juga merupakan


jantungnya pembelajaran menurut paham konstruktivisme. Crawford (2001: 3) menyebutkan
keterhubungan sebagai pembelajaran dalam konteks dari pengalaman seseorang atau bagaimana
mengetahui pengetahuan tersebut.
Guru menggunakan keterhubungan saat mereka menyatukan konsep yang baru dengan
sesuatu yang dikenal baik oleh siswa. Bransford, Brown, and Cocking (Crawford, 2001: 3)
menyatakan beberapa penelitian menunjukkan bahwa siswa yang membawa memori atau
pengetahuan awal melalui situasi pembelajaran baru yang relevan akan mampu menghargai
kesesuaiannya. Dalam aktivitas ingatan siswa atau pengetahuan awal dan pengenalan terhadap
relevansi dari ingatan atau pengetahuan, mereka menggunakan keterhubungan.
NCTM (Crawford, 2001: 5), menyebutkan, karena siswa belajar melalui pengaitan
pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang dimilikinya, maka guru hendaknya memahami
apa yang telah diketahui oleh siswanya. Guru yang efektif tahu bagaimana cara bertanya dan
merencanakan pembelajaran dalam mengungkap pengetahuan awal siswa, guru dapat mendesain
pengalaman dan pelajaran untuk merespon dan membangun pengetahuan.
2. Pengalaman
Pengaitan antara informasi baru dengan pengalaman hidup atau pengetahuan awal siswa
terkadang tidak dapat dilakukan, karena siswa tidak memiliki pengalaman tersebut sebelumnya.
Situasi ini dapat dimanipulasi oleh guru dengan membantu siswa mengkonstruk pengetahuan
baru tersebut dengan menggunakan pemanipulasian, melakukan aktivitas pemecahan masalah
dan kegiatan laboratorium.
Proses pemanipulasian dapat dilakukan dengan menggunakan objek sederhana yang ada
di sekitar siswa untuk mewujudkan konsep yang abstrak menjadi konkret. Sebagai contoh, dalam
matematika misalnya dengan menggunakan sepuluh blok untuk mengenal dasar bilangan.
Beberapa program komputer, seperti Geometer’s Sketchpad dan Cabri.
Melalui aktivitas pemecahan masalah, dapat memberi pengalaman belajar yang
mengikutsertakan siswa berkreasi dalam mempelajari konsep kunci. Aktivitas ini juga
mengajarkan kemampuan menyelesaikan masalah, berfikir analisis, berkomunikasi dan interaksi
antar kelompok. Guru hendaknya mempersiapkan untuk memfasilitasi diskusi siswanya dalam
pemecahan masalah, kesimpulan siswa, pendekatan dan hasil yang diperoleh siswa,
mendemonstrasikan dan menggeneralisasikan pengetahuan pada saat yang tepat. Kemampuan
menggunakan pengetahuan baru dalam situasi yang baru disebut transferring.
Dengan melakukan aktivitas di laboratorium, siswa bekerja dalam kelompok kecil.
Aktivitas yang dilakukan meliputi pengumpulan data dengan melakukan pengukuran,
menganalisis data, membuat kesimpulan dan prediksi dan melakukan refleksi terhadap konsep
dasar yang termuat dalam kegiatan.
3. Keterpakaian
Keterpakaian didefinisikan sebagai pembelajaran dengan memilih konsep yang dapat
digunakan. Siswa menggunakan konsep saat mereka diikutsertakan dalam aktivitas penyelesaian
masalah. Siswa dapat mengemukakan situasi real yang ada dan menggunakan konsep
pengetahuan dalam kehidupan. Siswa dapat mengetahui pentingnya konsep kunci dalam
menyelesaikan masalah yang real.
Penelitian menunjukkan bahwa latihan berdasarkan pada kondisi yang sesungguhnya
dapat memotivasi siswa untuk mempelajari konsep akademik dengan tingkat pemahaman yang
lebih mendalam. Suatu penelitian menyarankan strategi di kelas hendaknya:
1. Memfokuskan pada aspek kebermaknaan dari aktivitas pembelajaran. Guru semestinya
menekankan bagaimana penugasan akademik dilakukan di kelas sebagai suatu penugasan
yang real dan bermakna dalam kehidupan nyata.
2. Mendesain penugasan dengan model baru, bervariasi, beragam dan menarik. Guru
hendaklah mencoba memberikan penugasan kepada siswanya lebih bervariasi untuk
meyakinkan bahwa tugas yang diberikan baru, menarik atau memberikan pengalaman
yang menyenangkan ketika mengikutsertakan siswa.
3. Mendesain penugasan yang menantang tapi dapat diterima dalam kapasitas kemampuan
siswa. Bila tugas yang diberikan terlalu mudah, akan menimbulkan kebosanan pada siswa
sehingga siswa kehilangana motivasi untuk mempelajari konsep yang baru. Namun bila
penugasan terlalu sulit akan menimbulkan rasa frustasi pada diri siswa.
4. Kerjasama
Ketika siswa bekerja secara individu dalam menyelesaikan latihan pemecahan masalah
khususnya saat mereka masuk dalam situasi yang sesungguhnya, terkadang siswa tidak dapat
membuat kemajuan dalam menyelesaikannya. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan rasa
frustrasi pada diri siswa. Melalui strategi pembelajaran dalam konteks saling berbagi, saling
menanggapi, dan berkomunikasi antar siswa, pembelajaran akan memberikan bantuan bagi
siswa. Melalui kerja dalam kelompok kecil, siswa dapat saling bertukar pengetahuan. Suatu
kesulitan diselesaikan bersama-sama. Ketika kelompok tersebut mampu menyelesaikan
persoalan yang diberikan, akan muncul rasa percaya diri dan dapat memotivasi siswa untuk
kembali menyelesaikan persoalan yang mengandung bentuk pemecahan masalah.
Banyak penelitian memperlihatkan bahwa kerjasama atau pembelajaran secara
bekerjasama memberikan prestasi yang lebih baik dibandingkan belajar secara individual dan
menggunakan metode persaingan. Namun terkadang belajar dalam kelompok kecil menjadi tidak
efektif ketika dalam kelompok tersebut ada siswa yang tidak aktif bekerja atau ada siswa yang
begitu mendominasi kelompok. Johnson dan Johnson (Crawford, 2001: 12) memberikan rambu-
rambu untuk membantu guru dalam menanggulangi kondisi negatif yang mungkin muncul
seperti berikut:
1. Membangun saling kertergantungan yang positif dalam kelompok belajar siswa. Saling
ketergantungan yang positif berarti bahwa setiap siswa merasa bahwa mereka belum
berhasil bila ada anggota kelompok mereka yang tidak berhasil.
2. Berikan kesempatan siswa untuk saling memberi ketika menyelesaikan tugas dan
yakinkan bahwa kerjasama diantara anggota kelompok merupakan salah satu unsur
penilaian. Interaksi terjadi antara siswa dengan siswa yang saling bantu dan saling
mendorong, menerangkan ide dan strategi pemecahan masalah, dan mendiskusikan ide-
ide yang berhubungan dengan evaluasi.
3. Bantu setiap siswa secara individu agar bertanggung jawab menyelesaikan tugas, dan
tidak terlalu percaya begitu saja membiarkan mereka dengan pekerjaannya. Johnson &
Johnson menyebutkan dua strategi untuk membantu siswa bertanggung jawab: berikan
tes secara individu untuk setiap siswa kemudian pilih secara acak diantara kelompok
siswa tersebut untuk menyampaikan hasil kerja kelompoknya.
4. Siswa belajar secara berkelompok dengan berbagi diantara siswa itu sendiri (antar siswa
dengan siswa) dan membentuk suatu keahlian dalam kelompok kecilnya. Keahlian
tersebut meliputi kepemimpinan, membuat keputusan, membangun kepercayaan,
berkomunikasi, dan mengelola perbedaan pendapat yang mungkin muncul. Banyak siswa
tingkat sekolah menengah atas tidak diajarkan keahlian ini
5. Yakinkan bahwa kelompok belajar, berdiskusi sebagaimana yang diinginkan dari fungsi
suatu kelompok. Ketika siswa menerima umpan balik atau memberikan partisipasinya
dalam kelompok, mereka dapat merefleksikan aturan mereka, jika dibutuhkan, dan
mengadaptasi kemampuan sosial mereka untuk membantu kelompok secara objektif.
Dalam strategi pengajaran secara kontekstual, guru dapat mengubah aturan saat dia
menggunakan pembelajaran berkelompok. Guru terkadang menjadi seorang pengajar, terkadang
sebagai pengamat, dan terkadang hanya sebagai fasilitator.
5. Pentransferan Pentransferan merupakan
strategi pengajaran dimana kita mendefinisikan pembelajaran sebagai penggunaan pengetahuan
dalam konteks yang baru atau situasi baru dimana prosesnya tidak tertutup hanya terjadi di
lingkungan kelas saja. Penelitian menunjukkan bahwa ketika guru mendesain penugasan dalam
bentuk baru dan bervariasi siswa akan merasa tertarik, termotivasi, tertantang, sehingga tujuan
penguasaan matematika dapat meningkat. American Association for the Advancement of Science
(Crawford, 2001: 14) menyatakan bahwa, jika siswa diharapkan untuk mampu mengaplikasikan
ide dalam suatu situasi yang baru maka mereka harus berlatih untuk mengaplikasikan ide mereka
kedalam situasi baru.
Dari strategi pengajaran kontekstual di atas, nampak bahwa pendekatan pengajaran yang
didasarkan kepada pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada belajar bermakna dan
belajar di sekolah yang dikontekskan ke dalam situasi dan pengalaman siswa. Hal ini diharapkan
dapat menumbuhkan minat dan motivasi belajar siswa.
1.2.2. Pendekatan Matematika Realistik
1.2.2.1 Defenisi Pendekatan Matematika Realistik
Pendekatan matematika realistik adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang
sudah dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal
Institute, Utrecht University di Negeri Belanda. Pendekatan ini terlahir berdasarkan pada
anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) bahwa matematika adalah kegiatan manusia. Menurut
pendekatan ini, kelas matematika bukanlah hanya wadah memindahkan matematika dari guru
kepada siswa, tetapi kelas matematika adalah tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep
matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Konsep ini memaparkan bahwa
matematika itu dilihat sebagai kegiatan manusia yang bermula dari pemecahan masalah . Dengan
demikian, siswa tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses penemuan
kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Di sini dunia
nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-
hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap sebagai dunia nyata.
Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa
proses lebih penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah
matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia nyata. Proses ini digambarkan oleh de Lange
(dalam Hadi, 2005) sebagai lingkaran yang tak berujung (lihat Gambar 2)

Dunia Nyata

Matematisasi Matematsasi
Dalam aplikasi dan Refleksi

Abstraksi
dan
Formalisasi

Gambar 2. Matematisasi Konseptual

Berdasarkan pemaparan diatas dapat dsimpulkan bahwa pendekatan matematika realistk


adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berbasis pada pendekatan materi matematika dengan
kehidpan yang nyata, dimana pemahaman matematika ini dibangun oleh siswa it sendiri dengan
fasilitatornya adalah guru.
Selanjutnya matematisasi dibedakan menjadi dua, yaitu matematisasi horizontal dan
matematisasi vertikal. Kedua proses ini digambarkan oleh Gravenmeijer (dalam Hadi, 2005)
sebagai proses penemuan kembali . Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal
kontekstual dari dunia nyata. Dalam matematika horizontal, siswa mencoba menyelesaikan soal-
soal dari dunia nyata dengan cara mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol mereka
sendiri.
Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep matematika. Dalam
matematisasi vertikal, siswa mencoba menyusun prosedur umum yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan soal-soal sejenis secara langung tanpa bantuan konteks. matematisasi horizontal
berarti bergerak dari dunia nyata ke dalam dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal berarti
bergerak di dalam dunia simbol itu sendiri. Dengan kata lain, menghasilkan konsep, prinsip, atau
model matematika dari masalah kontekstual sehari-hari termasuk matematisasi horizontal,
sedangkan menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika dari matematika sendiri
termasuk matematisasi vertikal.
Dalam pendekatan matematika realistik, siswa dipandang sebagai individu (subjek) yang
memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan.
Selanjutnya, dalam pendekatan ini diyakini pula bahwa siswa memiliki potensi untuk
mengembangkan sendiri pengetahuannya, dan bila diberi kesempatan mereka dapat
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang matematika. Melalui eksplorasi
berbagai masalah, baik masalah kehidupan sehar-hari maupun masalah matematika, siswa dapat
merekonstruksi kembali temuan-temuan dalam bidang matematika. Jadi, berdasarkan pemikiran
ini konsepsi siswa dalam pendekatan ini adalah sebagai beriikut:
 Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang
mempengaruhi belajar selanjutnya;
 Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya
sendiri
 Siswa membentuk pengetahuan melalui proses perubahan yang meliputi penambahan,
kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan ;
 Siswa membangun pengetahuan baru untuk dirinya sendiri dari beragam pengalaman
yang dimilikinya;
 Siswa memiliki kemampuan untuk memahami dan mengerjakan matematika tanpa
memandang ras, budaya, dan jenis kelamin.

Dengan memahami konsep siswa tersebut dalam pendekatan matematika


realistk,sedemikian sehingga guru juga memiliki peran yang berbeda dibandingkan dengan
penggunaan pendekatan tradisional. Kalau dalam pendekatan tradisional guru dianggap sebagai
pemegang otoritas yang mencoba memindahkan pengetahuannya kepada siswa, maka dalam
pendekatan matematika realistik ini guru dipandang sebagai fasilitator, moderator, dan evaluator
yang menciptakan situasi dan menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali
ide dan konsep matematika dengan cara mereka sendiri. Oleh karena itu, guru harus mampu
menciptakan dan mengembangkan pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk memiliki
aktivitas baik untuk dirinya sendiri maupun bersama siswa lain. Sehingga , peran guru dalam
pendekatan matematika realistik dapat dirumuskan sebagai berikut:

 Guru harus berperan sebagai fasilitator belajar;


 Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
 Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberi sumbangan pada
proses belajarnya;
 Guru harus secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan masalahmasalah dari dunia
nyata; dan
 Guru harus secara aktif mengaitkan kurikulum matematika dengan dunia nyata, baik fisik
maupun sosial.

4.2.2.2 Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik


Beberapa karakteristik pendekatan matematika realistik menurut Suryanto (2007) adalah
sebagai berikut:

1. Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems) digunakan untuk


memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa.
2. Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model matematika melalui
pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru atau temannya.
3. Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap masalah yang mereka
temukan (yang biasanya ada yang berbeda, baik cara menemukannya maupun hasilnya).
4. Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah
dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi.
5. Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada
hubungannya.
6. Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan hasilhasil dari
pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang lebih rumit.
7. Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi atau hasil yang siap
pakai. Mempelajari matematika sebagai kegiatan paling cocok dilakukan melalui learning
by doing (belajar dengan mengerjakan).

Hal yang perlu ditekankan dari karakteristik pendekatan matematika realistik di atas
adalah bahwa pembelajaran matematika realistik termasuk “cara belajar siswa aktif” karena
pembelajaran matematika dilakukan melalui ”belajar dengan mengajarkan. Selanjunya
pendekatan matemtaika relistik juga termasuk pembelajaran yang berpusat pada siswa karena
mereka memecahkan masalah dari dunia mereka sesuai dengan potensi mereka, sedangkan guru
hanya berperan sebagai fasilitator, sedemikian sehingga pembelajarannya bePendekatan
Matematika Realistiktode penemuan terbimbing dan kontekstual karena siswa dikondisikan
untuk menemukan atau menemukan kembali konsep dan prinsip matematika dan titik awal
pembelajaran matematika adalah masalah kontekstual, yaitu masalah yang diambil dari dunia
siswa.

4.2.2.3 Implementasi Pendekatan Matematika Realistik

Untuk 4dapat melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika


realistik, kita harus tahu prinsip-prinip yang digunakan dalam pendekatan ini. Ada tiga prinsip
kunci Pendekatan Matematika Realistik (Gravemeijer, 1994: 90), yaitu

1. Guided Re-invention atau Menemukan Kembali Secara Seimbang.


Memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan matematisasi dengan masalah
kontekstual yang realistik bagi siswa dengan bantuan dari guru. Siswa didorong atau ditantang
untuk aktif bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri
pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak dimulai dari sifat-sifat atau definisi
atau teorema dan selanjutnya diikuti contoh-contoh, tetapi dimulai dengan masalah kontekstual
atau real/nyata yang selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat ditemukan sifat
atau definisi atau teorema atau aturan oleh siswa sendiri.

2. Didactical Phenomenology atau Fenomena Didaktik.


Topik-topik matematika disajikan atas dasar aplikasinya dan kontribusinya bagi
perkembangan matematika. Pembelajaran matematika yang cenderung berorientasi kepada
memberi informasi atau memberitahu siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai
untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana utama untuk
mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan siswa dengan caranya sendiri mencoba
memecahkannya. Dalam memecahkan masalah tersebut, siswa diharapkan dapat melangkah ke
arah matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Pencapaian matematisasi horisontal ini,
sangat mungkin dilakukan melalui langkah-langkah informal sebelum sampai kepada
matematika yang lebih formal. Dalam hal ini,siswa diharapkan dalam memecahkan masalah
dapat melangkah kearah pemikiran matematika sehingga akan mereka temukan atau mereka
bangun sendiri sifat-sifat atau definisi atau teorema matematika tertentu, kemudian ditingkatkan
aspek matematisasinya (matematisasi vertikal). Kaitannya dengan matematisa si horisontal dan
matematisasi vertikal ini, De Lange menyebutkan: proses matematisasi horizontal antara lain
meliputi proses atau langkah-langkah informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu
masalah, membuat model, membuat skema, menemukan hubungan dan lain-lain, sedangkan
matematisasi vertikal, antara lain meliputi proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu
formula (rumus), membuktikan keteraturan, membuat berbagai model, merumuskan konsep
baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya.
Proses matematisasi horisontal-vertikal inilah yang diharapkan dapat memberi
kemungkinan siswa lebih mudah memahami matematika yang berobyek abstrak. Dengan
masalah kontekstual yang diberikan pada awal pembelajaran seperti tersebut di atas,
dimungkinkan banyak/beraneka ragam cara yang digunakan atau ditemukan siswa dalam
menyelesaikan masalah. Dengan demikian, siswa mulai dibiasakan untuk bebas berpikir dan
berani berpendapat, karena cara yang digunakan siswa satu dengan yang lain berbeda atau
bahkan berbeda dengan pemikiran guru tetapi cara itu benar dan hasilnya juga benar. Ini suatu
fenomena didaktik. Dengan memperhatikan fenomena didaktik yang ada didalam kelas, maka
akan terbentuk proses pembelajaran matematika yang tidak lagi berorientasi pada guru, tetapi
diubah atau beralih kepada pembelajaran matematika yang berorientasi pada siswa atau bahkan
berorientasi pada masalah (Marpaung, 2001: 4).

3. Self-delevoped Models atau model dibangun sendiri oleh siswa.


Pada waktu siswa mengerjakan masalah kontekstual, siswa mengembangkan suatu
model. Model ini diharapkan dibangun sendiri oleh siswa, baik dalam proses matematisasi
horizontal ataupun vertikal. Kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk memecahkan satu
masalah secara mandiri atau kelompok, dengan sendirinya akan memungkinkan munculnya
berbagai model pemecahan masalah buatan siswa. Dalam pembelajaran matematika realistik
diharapkan terjadi urutan ”situasi nyata”→”model dari situasi itu”→”model kearah
formal”→”pengetahuan formal”. Menurutnya, inilah yang disebut ”buttom up” dan
merupakan prinsip Pendekatan Matematika Realistik yang disebut ”Self-delevoped Models”
(Soedjadi, 2000: 1)

Dikemukakan oleh Sutarto Hadi (2003: 2) bahwa teori pendekatan matematika realistik
sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran
kontekstual (CTL). Namun baik konstruktivisme maupun pembelajaran kontekstual mewakili
teori belajar secara umum, sedangkan pendekatan matematika realistik suatu teori pembelajaran
yang dikembangkan khusus untuk matematika. Juga telah disebutkan terdahulu, bahwa konsep
matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan
matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman
siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Lebih lanjut berkaitan dengan
konsepsi pendekatan matematika realistik ini, Sutarto Hadi mengemukakan beberapa konsepsi
pendekatan matematika realistik tentang siswa, guru dan pembelajaran yang mempertegas bahwa
pendekatan matematika realistik sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga
pendekatan matematika realistik pantas untuk dikembangkan di Indonesia.
Konsepsi pendekatan matematika realistik tentang siswa adalah siswa memiliki
seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar
selanjutnya, siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk
dirinya sendiri, Pembentukan pengetahuan tersebut merupakan proses perubahan yang meliputi
penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan, kemudian
pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam
pengalaman.
Kemudian konsepsi pendekatan matematika realistik tentang guru adalah guru hanya
sebagai fasilitator dalam pembelajaran, guru harus mampu membangun pembelajaran yang
interaktif, Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif terlibat pada
proses pembelajaran dan secara aktif membantu siswa dalam

menafsirkan persoalan riil, dan Guru tidak terpancang pada materi yang ada didalam
kurikulum, tetapi aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.
Konsepsi pendekatan matematika realistik tentang pembelajaran Matematika meliputi aspek-
aspek (1) Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang ’riil’ bagi siswa sesuai
dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam
pembelajaran secara bermakna. (2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut; (3) Siswa mengembangkan atau
menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/permasalahan yang
diajukan; (4) Pembelajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan
alasan terhadap jawaban yang diberikannya, sangat memahami atas jawaban temannya (siswa
lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif
penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau
terhadap hasil pembelajaran.

4.2.2.4 Refleksi Pembelajaran Matematika Realistik

Dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik, interaksi sebagai salah satu
prinsip utama juga merupakan bagian utama yang turut mendorong terbentuknya refleksi.
Interaksi yang berlangsung dengan baik, akan melahirkan suatu learning community yang
memberikan peluang bagi berlangsungnya pembelajaran yang mampu meningkatkan level
pengetahuan siswa. Refleksi merupakan suatu upaya, atau suatu aktivitas memberi peluang pada
individu untuk mengungkapkan tentang apa yang sudah dan sedang dikerjakan. Apakah yang
dikerjakan itu sesuai dengan apa yang dipikirkan? Menurut C-Stars University of Washington
mengemukakan bahwa refleksi merupakan cerminan dari: bagaimana kita berpikir tentang apa
yang telah kita lakukan, melakukan review serta merespon terhadap peristiwa tertentu, aktivitas
tertentu serta pengalaman, mencatat apa yang telah kita pelajari termasuk ide-ide baru maupun
apa yang kita rasakan. Refleksi dapat muncul dalam bentuk jurnal, diskusi, serta karya seni. Bagi
guru, mendapatkan informasi tentang apa yang siswa pelajari dan bagaimana siswa
mempelajarinya. Di samping itu, guru dapat melakukan perbaikan dalam perencanaan dan
pembelajaran pada kesempatan-kesempatan berikutnya atau waktu yang akan datang. Sedangkan
bagi siswa, meningkatkan kemampuan berpikir matematika siswa, di samping itu juga sama
halnya seperti yang dilakukan guru.

4.2.3. Pendekatan Pembelajaran Open-ended

4.2.3.1 Defenisi Pendekatan Open-ended

Aliran konstruktivisme memandang bahwa dalam proses belajar-mengajar perolehan


pengetahuan diawali dengan adanya konflik kognitif (Karli dan Yuliariatiningsih, 2000). Konflik
kognitif ini hanya dapat diatasi melalui kegiatan kajian tugas mandiri (self-regulation). Pada
akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh siswa melalui pengalamannya dari
hasil interaksi dengan lingkungannya (Bell, Driver, dan Leach, dalam Karli dan
Yuliariatiningsih, 2000: 2-3). Oleh karena itu menurut pandangan ini, pengetahuan itu dibangun
secara aktif oleh individu sendiri (Suparno, 1997:29). Tujuan pembelajaran berdasarkan
pandangan ini adalah membangun pemahaman, sehingga belajar tidak ditekankan untuk
memperoleh pengetahuan yang banyak, tetapi yang utama adalah memberikan interpretasi
melalui skemata yang dimiliki siswa (Hudojo, 1998:6). Salah satu pendekatan pembelajaran
yang didasari oleh pandangan konstruktivisme adalah pendekatan open-ended. Pendekatan
Open-ended merupakan suatu upaya pembaharuan pendidikan matematika yang pertama kali
dilakukan oleh para ahli pendidikan matematika Jepang. Menurut Nohda (2000), pendekatan ini
lahir berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shigeru Shimada, Toshio Sawada,
Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya.

Dalam pendekatan open-ended siswa berperan sebagai pusat dalam proses pembelajaran,
sehingga pengetahuan dikonsktruksi oleh siswa sendiri. Untuk itu dalam pelaksanaannya
pendekatan ini mensyaratkan siswa untuk aktif belajar, baik dalam kelompok besar atau
kelompok kecil. Pembelajaran dengan pendekatan open-ended menyajikan suatu permasalahan
yang memiliki beragam penyelesaian/metode penyelesaiannya (Shimada, 1997: 10; Berenson,
1995: 183). Pendekatan ini memberikan keleluasaan bagi siswa untuk mengemukakan jawaban.
Dengan demikian, siswa memiliki kesempatan untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman
menemukan, mengenali, dan memecahkan masalah dengan beberapa teknik. Dengan diberikan
kesempatan seperti ini, cara belajar siswa dapat terlatih dengan baik. Selain itu dengan
penggunaan berbagai macam persoalan terbuka, pendekatan ini dapat meningkatkan kapasitas
matematika siswa yang lebih fleksibel (Hashimoto dalam Silver,1997).
Dengan pemberian suatu situasi permasalahan yang penyelesaiannya tidak hanya dapat
disajikan dengan satu cara, siswa memperoleh pengalaman dalam menemukan hal baru, yaitu
dengan cara mengkombinasikan semua pengetahuan, keterampilan, dan cara berpikir matematik
yang telah dimiliki siswa dari pelajaran sebelumnya. Selanjutnya siswa-siswa menganalisis
permasalahan-permasalahan dan metode pemecahan masalah melalui suatu proses pemecahan
masalah dengan satu cara dan kemudian mendiskusikan dan mengevaluasi variasi dari metode
penyelesaian yang dapat dikembangkan dan disajikan oleh teman sekelas. Pada satu versi dari
pendekatan open-ended, penemuan masalah juga memainkan peran yang amat penting sebagai
permasalahan yang ditemukan oleh siswa yang saling berkaitan tetapi berbeda dari permasalahan
yang telah diselesaikan pada waktu yang lalu (Hashimoto, 1987). Penggunaan permasalahan
yang memungkinkan siswa untuk memunculkan penyelesaian yang beragam merupakan kunci
istimewa dalam pembelajaran matematika yang terkait dengan pengembangan representasi dan
fleksibilitas strategi siswa.

Selanjutnya Berenson (1995) memberi arah dalam melaksanakan pendekatan open-


ended, yakni dengan cara memberikan sejumlah observasi (masalah, situasi masalah, gambar,
grafik, dan sebagainya) kepada siswa yang jawabnya kemungkinan berbeda antara siswa yang
satu dengan lainnya. Dalam pendekatan ini, ada 3 jenis perbedaan jawaban sebagaimana
dikemukakan oleh Katsuro (2000: 250). Ketiga jenis perbedaan jawaban itu adalah: (1) siswa
mengerti perbedaan jawaban-jawaban; (2) siswa mengerti hubungan antara perbedaan jawaban-
jawaban; (3) siswa berkembang pengetahuan matematikanya dan berpikir berdasarkan perbedaan
jawaban-jawaban.

1.2.3.2 Prinsip Pendekatan Pembelajaran Open Ended

Menurut Nohda (2000:1-39), pembelajaran dengan pendekatan open-ended


mengasumsikan 3 prinsip yaitu:
1) Related to the autonomy of student activities. It requires that we should appreciate the value
of student activities for fear of being just non-interfering.
2) Related to evolutionary and integral nature of mathematical knowledges. Content
mathematics is theoretical and systematic. Therefore, the more essential certain knowledge
is, the more comprehensively it derives analogical, special, and general knowledge.
Metaphorically, more essential knowledge open the door ahead more widely. At the same
time, the essential original knowledges can be reflected on many times later in the course of
evolution of mathematical knowledge. This reflection on the original knowledge is a driving
force to continue to step forward across the door.
3) Related to teacher expedient decision-making in class, in mathematics class, teachers
often encounter students unexpected ideas. In this bout, teachers have an important role to
give the ideas full play, and to take into account that other students can also understand real
amount of the unexpected ideas.
Dari pendapat di atas dapat disarikan hal-hal berikut ini.

(1) Berkenaan dengan aktivitas siswa. Dalam pendekatan ini guru


seharusnya menghargai aktivitas siswa.
(2) Berkenaan dengan sifat keterpaduan dan evolusi pengetahuan
matematika. Pengetahuan matematika bersifat teoritis dan sistematis, oleh karena itu yang
paling utama dalam belajar matematika adalah penguasaan pengetahuan yang penting dan
mendasar. Pengetahuan awal yang dapat direfleksikan pada berbagai waktu secara evolusi
merupakan kekuatan yang dapat dimunculkan dan merupakan pintu pembuka untuk
pengetahuan yang lebih luas lagi di masa yang akan datang.
(3) Berkenaan dengan peranan guru sebagai pengambil keputusan. Guru
berperan penting dalam memberi gagasan agar siswa berpartisipasi aktif untuk
mengemukakan pendapat atau pemikirannya sehingga pemikirannya itu dapat diterima oleh
siswa lainnya.
Pada pembelajaran dengan pendekatan open-ended, masalah merupakan alat
pembelajaran yang utama. Silver (1997) menemukan bahwa pengajuan masalah matematika
merupakan suatu aktivitas dengan dua pengertian yang berbeda, yaitu proses mengembangkan
masalah yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada, dan proses memformulasikan
kembali masalah matematika dengan kata-kata siswa sendiri berdasarkan situasi yang diberikan.
Dengan demikian siswa mengajukan masalah mengacu pada situasi yang telah disiapkan oleh
guru. Menurut Sawada (1997: 27-28) Ada tiga tipe permasalahan open-ended, seperti diuraikan
berikut ini.

1) Mencari hubungan: Siswa-siswa diberi pertanyaan untuk menemukan suatu aturan matematis
atau relasi/hubungan.
2) Klasifikasi: Siswa-siswa diberi pertanyaan untuk mengklasifikasi berdasarkan karakteristik-
karakteristik yang berbeda yang membuat mereka memformulasikan konsep-konsep
matematis.
3) Pengukuran: Siswa-siswa diberi pertanyaan untuk menemukan ukuran numeris berkaitan
dengan fenomena yang diberikan. Permasalahan seperti ini menuntut siswa mengaplikasikan
pengetahuan matematis dan keterampilan yang mereka miliki untuk menyelesaikan
permasalahan ini.
Menurut Sawada (dalam Suherman dkk, 2003: 129-130) ada beberapa cara untuk
mengkonstruksi permasalahan yaitu:
1) Siapkan permasalahan melalui sebuah situasi fisik yang nyata dan memuat beberapa variabel
sedemikian hingga relasi matematis dapat diamati siswa.
2) Soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan
hubungan dan sifat-sifat dari variabel dalam permasalahan ini.
3) Sajikan bentuk-bentuk atau bangun geometri sehingga siswa dapat membuat suatu konjektur.
4) Sajikan urutan bilangan atau tabel sehingga siswa dapat menemukan aturan matematika.
5) Berikan beberapa contoh konkrit dalam beberapa kategori sehingga siswa dapat
mengelaborasi sifat-sifat dari contoh itu untuk menemukan sifat-sifat yang umum.
6) Berikan beberapa latihan serupa sehingga siswa dapat membuat generalisasi dari
pekerjaannya.
Menurut Nohda (2000) tujuan pembelajaran open-ended adalah untuk membantu
meningkatkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa melalui problem solving secara
simultan. Dengan kata lain kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa harus ditingkatkan
semaksimal mungkin sesuai kemampuan tiap siswa. Aktivitas kelas yang penuh ide-ide
matematis pada akhirnya akan memacu kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Selain itu,
pendekatan open-ended dapat digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam proses
pengajaran matematika. Dengan demikian, siswa memahami bahwa proses dalam penyelesaian
masalah berperan sama pentingnya seperti hasil akhir dari pemecahan masalah itu. Berdasarkan
uraian di atas, terlihat dengan jelas bahwa pendekatan open ended terkait erat dengan pemecahan
masalah.
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran dengan pendekatan open-ended, terlihat bahwa
terdapat beberapa kelebihan dalam pendekatan ini sebagaimana dikemukakan oleh Sawada
(dalam Becker dan Shimada, 1997: 23-24) yaitu:
1) Siswa-siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan lebih sering
menyampaikan ide-idenya.
2) Siswa-siswa memiliki lebih banyak kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan
keterampilan matematisnya secara menyeluruh.
3) Siswa-siswa secara tidak langsung akan termotivasi untuk memberikan bukti-bukti dan
penjelasan.
4) Siswa-siswa yang berkemampuan rendah pun dapat merespon permasalahan dengan
berbagai cara mereka sendiri.
5) Siswa menjadi kaya akan pengalaman dalam menemukan dan menerima pengakuan dari
siswa-siswa lainnya.

1.2.3.3 Implementasi Pendekatan Pembelajaran Open Ended

Menurut Sawada (dalam Becker dan Shimada, 1997: 32-33), untuk mengembangkan
rencana pembelajaran dengan pendekatan ini, guru perlu memperhatikan hal-hal berikut ini.

1) Tuliskan semua respon yang diharapkan muncul dari siswa (berupa jawaban yang
beragam atas permasalahan yang diajukan oleh guru).
2) Tujuan permasalahan yang diajukan oleh guru kepada siswa, harus jelas.
3) Sajikan permasalahan semenarik mungkin.
4) Lengkapi prinsip “posing problem” sehingga siswa memahami dengan mudah maksud
dari permasalahan itu.
5) Berikan waktu yang cukup kepada siswa untuk mengeksplorasi jawaban.
Berdasarkan uraian tentang pembelajaran open-ended, Adapun langkah-langkah
pembelajarannya adalah sebagai berikut.
 Pendahuluan
Guru memberikan pendahuluan tentang materi pelajaran disertai dengan penjelasan tentang
kegunaan konsep yang akan diajarkan dalam masalah kehidupan sehari-hari.
 Kegiatan inti
a. Diawali dengan guru memberikan soal open-ended yang berkaitan dengan materi
yang akan diajarkan.
b. Guru meminta siswa untuk menyelesaikan soal tersebut secara berkelompok.
c. Solusi dibahas bersama-sama, guru meminta salah seorang siswa sebagai wakil
dari suatu kelompok untuk mengerjakannya di depan kelas dengan bimbingan guru.
d. Soal diselesaikan dan dikembangkan melalui pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh guru maupun siswa untuk memberikan pemahaman mengenai konsep
yang diajarkan.
e. Dalam proses tanya jawab, guru mendorong siswa agar dapat memberikan
jawaban dan kesimpulan penting tentang konsep yang diajarkan.
f. Guru memberikan soal-soal lain yang berkaitan dengan materi pelajaran dan
siswa diminta mengerjakannya baik secara individu maupun secara berkelompok.
3. Penutup
a. Guru mengingatkan kembali tentang konsep-konsep inti
dalam materi yang diberikan.
b. Guru memberi informasi apa yang akan dipelajari pada
pertemuan berikutnya dan menyampaikan bahwa pada pertemuan selanjutnya akan selalu
diberikan soal-soal untuk dikerjakan bersama-sama dan salah seorang siswa akan tampil ke
depan kelas. Untuk itu setiap siswa harus mempersiapkan dirinya.
c. Guru memberi soal-soal latihan untuk dikerjakan di rumah
secara individual.

Anda mungkin juga menyukai