TEOSOFI
Dosen Pengampu :
DISUSUN OLEH
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
2020
DAFTAR ISI
Contents
DAFTAR ISI........................................................................................................................................1
BAB 1....................................................................................................................................................2
BAB 2....................................................................................................................................................3
BAB 3....................................................................................................................................................5
BAB 4....................................................................................................................................................6
BAB 5....................................................................................................................................................7
BAB 6..................................................................................................................................................11
BAB 7..................................................................................................................................................12
BAB 8..................................................................................................................................................14
BAB 9..................................................................................................................................................20
BAB 10................................................................................................................................................23
BAB 11................................................................................................................................................25
BAB 12................................................................................................................................................29
BAB 13................................................................................................................................................32
BAB 14................................................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................40
1
BAB 1
1. PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN METODE TEOLOGI DAN TAUHID
Teologi berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos yang artinya
ilmu atau pengetahuan, sehingga disimpulkan bahwa teologi merupakan ilmu
pengetahuan tentang tuhan. Teologi adalah cabang filsafat, yang merupakan bagian
dari kajian metafisika. Sepanjang sejarah filsafat, ia cukup menyita perhatian para
filsuf, terutama sejak abad pertengahan. Teologi merupakan pemikiran filosofis
tentang persoalan ketuhanan. Jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari hal-hal
yang dikaitkan dengan Tuhan. Maka dalam perjalanannya, kajian teologi membahas
secara filosofis pokok-pokok agama, sebagai hal-hal yang dikaitkan dengan Tuhan.
Sedangkan jika kita merujuk kepada beberapa ahli mengemukakan bahwa
teologi secara arfiah berarti teori atau studi tuhan yang dalam aspek prakteknya
dipakai untuk mengetahui kumpulan doktrin-doktrin (ajaran-ajaran) dari kelompok
keagamaan tertentu atau individu. Dari semua pemaparan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan yang
dalam prakteknya dipakai untuk mengetahui doktrin-doktrin atau aliran agama.
Dari beberapa pendapat di atas segara dapat diketahui bahwa teologi adalah
ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai
masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang
meyakinkan. Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya dapat mengetahui
bagaimana cara-cara untuk memiliki keimanan dan bagaimana pula cara menjaga
keimanan tersebut agar tidak hilang dan rusak.1
Dilihat dari ruang lingkup pembahasannya yang demikian itu, Teologi tidak
bisa tidak, pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok
sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat
subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan
ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.
Dari beberapa pendapat di atas segara dapat diketahui bahwa teologi adalah
ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai
masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang
meyakinkan. Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya dapat mengetahui
bagaimana cara-cara untuk memiliki keimanan dan bagaimana pula cara menjaga
keimanan tersebut agar tidak hilang dan rusak.2
1 Salamuddin, Teologi Islam Warisan Pemikir Muslin Klasik, Perdana Publishing, Medan,
2017, hal 34-36
2
BAB 2
Dalam kufur akidah pun ada dua macam, yaitu kufur asli dan kufur
setelah beriman. Kufur asli yakni orang belum pernah beriman ia menganut
ajaran atau kepercayaan yang selain Islam. Kita wajib untuk mengajak orang
tersebut untuk beriman kepada Allah dan menganut agama Islam, tetapi
tidak boleh mengancam atau memaksa mereka untuk menyembah Allah dan
memaksa mereka menganut Islam karena keimanan adalah hanya hidayah
Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.
Pengertian infak dan syirik
2 Salamuddin, Teologi Islam Warisan Pemikir Muslin Klasik, Perdana Publishing, Medan,
2017, hal 39-40
3 Mahdi Asnani, Makna iman islam dan kufur, An-nas : jurnal humaniora, Yogyakarta,
2018 vol 8, hal 278-280
3
Syirik dari segi bahasa artinya mempersekutukan, secara istilah
adalah perbuatan yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain.
Orang yang melakukan syirik disebut musyrik. Seorang musyrik melakukan
suatu perbuatan terhadap makhluk (manusia maupun benda) yang
seharusnya perbuatan itu hanya ditujukan kepada Allah seperti menuhankan
sesuatu selain Allah dengan menyembahnya, meminta pertolongan
kepadanya, menaatinya, atau melakukan perbuatan lain yang tidak boleh
dilakukan kecuali hanya kepada Allah SWT.
4 Hasiah, Pemahaman Tentang Nifak dan Syirik, Jurnal Darul Ilmi, Padangsidimpuan, 2013
vol 1, hal 34-36
4
hartanya, baik dia meyakini islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan
dengan amal hati.
Selain itu menurut istilah pengertian iman adalah membenarkan dengan
hati, diucapkan dengan lisan, dan di amalkan dengan tindakan (perbuatan).
Iman adalah ketika manusia sudah memasuki tahap iman, maka Islamnya
sudah beres, dan ia sudah benar-benar yakin kepada apa yang ia imani. Di
mana hal-hal yang ia imani semuanya bersifat gaib atau tidak mampu ia
indra. Pengertian Iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. 5
Kataa Ihsan berasal dari bahasa Arab yaitu ahsan-yuhsinu-ihsanan yang
artinya kebaikan atau berbuat baik. Dan pelakunya disebut muhsin.
Sedangkan menurut istilah ihsan adalah perbuatan baik yang dilakukan oleh
seseorang dengan niat hati beribadah kepada Allah swt.
Dan Ihsan inilah puncak dari diri seseorang. Yakni ia sudah mampu
berislam dan beriman dengan sangat ikhlas. Betapa tidak, ia merasa diawasi
oleh Allah Swt. dalam semua aktivitas khususnya ketika dalam beribadah,
meskipun ia tidak mampu melihat Allah Swt. Seperti yang di sabdakan
Rasulullah Saw. “Ihsan hendaknya kamu beribadah kepada Allah swt seolah-
olah kamu melihatnya, dan jika kamu tidak dapat melihatnya, sesungguhnya
dia melihat kamu.” (HR. Bukhari)
BAB 3
5 Naila Farah, Konsep Ima Islam dan Ihsan, jurnal Rausyan Fikr , Cirebon, 2018, hal 212-
214
6 Alwi Bani Rakhman, Teologi sosial : keniscayaan keberagaman yang islami berbasis
kemanusiaan, jurnal ESENSIA UIN Sunan kalijaga , Yogyakarta, 201, hal 172-173
5
Pada periode ini telah terjadi pembalikan sejarah antara Islam dan Barat.
Islam yang di era klasik bisa mencapai kejayaan ilmu pengetahuan dan teologi
berkat dialognya dengan dunia Barat, maka di era pertengahan ini Islam justru
mengalami era kegelapan (the darkness age). Setelah Timur berhasil dihancur
leburkan oleh kengiskhan dan hulaghu khan, maka hampir semua literatur –literatur
Islam di bawa oleh para penjajah tersebut ke Barat sementara sebagian yang lain
telah mereka bakar.
Dalam sejarah pertumbuhan teologi islam di katakana bahwa ciri ciri teologi yang
mengalami pertumbuhan pada saat itu memiliki ciri ciri seperti di bawah ini:
Kedudukan akal rendah
Ketidakbebasan dalam kemauan dan perbuatan
Kebebasan berpikir yang diikat oleh banyak dogma
Ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas
Terikat pada arti literal al-Qur’an dan Hadits
Statis dalam sikap dan berpikir
BAB 4
7 Arnesih, Konsep takdir dalam Al-Quran, Diya al-Afkar , Yogyakarta, vol. 4 no.12016, hal
118-119
6
alam maupun manusia. Takdir Allah Swt hanya untuk menyelaraskan takdir dengan
keinginan manusia, karena manusia diberkahi kelebihan akal untuk mampu
membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan buruk, Allah Swt hanya
membimbing kita menuju amal kebaikan yang menyebabkan kita mempunyai
keinginan dan kemudian melakukannya. Amal kebaikan kita didapat melalui
keimanan, ketaatan yang tulus dan berdo’a agar selalu mendapatkan ridha Allah
Swt.
Kata free will dalam bahasan Arab adalah alqadariyah.Yaitu, suatu faham
teologi yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan(qudrah) dan
kebebasan penuh berbuat dengan upayanya sendiri. Dialah yang menciptakan
segala perbuatannya karena dia pula yang bertanggung jawab atas segala
tindakannya. Dengan demikian,free will danfree actataual-qadariyah berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dri pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada takdir atau kadar Tuhan.
Orang yang memiliki paham predistination atau fatalisme yang dikenal
dengan nama fatalist. Orang yang percaya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh
nasib. Orang-orang yang menganut paham ini dikenal dengan kaum Jabariah, yaitu
orang-orang yang meniadakan segala peran manusia dalam perbuatannya. Segala
sesuatu yang dilakukan telah ditetapkan Allah sejak zaman azali dan tugas manusia
hanya menjalani ketetapan itu bak kapas yang diterbangkan angin. Kemana arah
angin tertuju, kesanalah kapas itu menuju. Segala tindakan manusia tidak ada
bedanya dengan pergantian siang dan malam, terbitnya matahari di sebelah Timur
dan terbenamnya di sebelah barat. Faham ini menafikan adanya perbuatan hamba
dan menyandarkan perbuatan itu sepenuhnya kepada Tuhan karena seorang hamba
tidak memiliki sifat kamampuan. Segala perbuatanya adalah keterpaksaan semata
BAB 5
5. AQIDAH ANTARA AKAL DAN WAHYU
7
tadzakarayang berarti mengingat sebanyak 100 ayat. Semua kata tersebut
sejatinya masih berkaitan dengan pengertian dari kata akal tersebut8.
Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan
bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima
(memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu
sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-
nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya
seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh
indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
Adapun seacara istilah akal memiliki arti daya berfikir yang ada dalam
diri manusia dan merupakan salah satu dari jiwa yang mengandung arti berpikir.
Bagi Al-Ghazali akal memiliki beberapa pengertian; pertama, sebagai potensi
yang membedakan dari binatang dan menjadikan manusia mampu menerima
berbagai pengetahuan teoritis. Kedua, pengetahuan yang diperoleh seseorang
berdasarkan pengalaman yang dilaluinya danakan memperhalus budinya. Ketiga,
akal merupakan kekuatan instink yang menjadikan seseorang mengetahui
dampak semua persoalan yang dihadapinya sehingga dapat mengendalikan hawa
nafsunya.9
2) Pengertian Wahyu
(a) Pengertian wahyu secara etimologi
Wahyu berarti : “ isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang
dilakukan bukan dengan tangan. Juga bermakana surat, tulisan, sebagaimana
bermakna pula, segala yang kita sebut kepada orang lain untuk di ketahui,”10
seperti dalam surat Maryam ayat 11:
ً ْ َ َف َأ ْو َحى ِا َل ْيه ْم َا
نس ِّب ُحوا ُبك َرة َو َع ِش َّي ِ
(b) Pengertian wahyu secara terminologi
Menurut berbagai ulama
1. Syech Muhammad Abduh mendefinisikan bahwa wahyu adalah pengetehuan
yang di peroleh seseorang dari dalam dirinya sendiri disertai dengan keyakinan,
bahwa hal itu dari sisi Allah, baik dengan perantaraan atau tidak dengan
perantaraan.”11
2. Dr. Abdullah Syahhatah, wahyu menurut syara’ ialah pemberitahuan Allah SWT
kepada orang yang dipilih dari beberapa hambaNya mengenai berbagai petunjuk
dan ilmu pengetahuan yang hendak diberitahuakannya teteapi dengan cara yang
tidak biasa bagi manusia
Gua Hira adalah tempat Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah
yang pertama kalinya melalui malaikat Jibril. Gua tersebut sebagai tempat Nabi
Muhammad menyendiri dari masyarakat yang pada saat itu masih belum beriman
8 Hafizh Dazuki, Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ichtar Baru Van Hoeve, 1994), h.98.
9 Qurish Shihab, Logika Agama, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 87.
10Prof. TM. Hasby Ash- Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an/ Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, 24
11 Abdul Djalal, Prof, Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya,1990 halaman 68
8
kepada Allah. Gua Hira terletak di negara Arab Saudi. Letaknya pada tebing menanjak
yang agak curam walau tidak terlalu tinggi, oleh karena itu untuk menuju gua itu setiap
orang harus memiliki fisik yang kuat. Mendekati usia empat puluh tahun, mulailah
tumbuh pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecendrungan untuk melakukan
‘uzlah. Allah menumbuhkan pada dirinya rasa senang untuk melakukan ikhtila’
(menyendiri) di Gua Hira’ (Hira’ adalah nama sebuah gunung yang terletak di sebelah
barat laut kota Mekkah). Ia menyendiri dan beribadah di gua tersebut selama beberapa
malam. Kadang sampai sepuluh malam, dan kadang lebih dari itu, sampai satu bulan.
Kemudian beliau kembali ke rumah sejenak hanya untuk mengambil bekal baru
untuk melanjutkan ikhtila’-nya di gua Hira’. Demikianlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam terus melakukannya sampai turun kepadanya wahyu ketika beliau sedang
‘uzlah. Permulaan Wahyu Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra, menceritakan
cara permulaan wahyu, ia berkata : “Wahyu yang diterima oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam mimpi itu beliau
melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemudian beliau
digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan khalwat (‘uzlah). Beliau melakukan khalwat
di gua Hira’ – melakukan ibadah – selama beberapa malam, kemudian pulang kepada
keluarganya (Khadijah) untuk mengambil bekal. Demikianlah berulang kali hingga
suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam gua Hira’. Pada
suatu hari datanglah Malaikat lalu berkata, “Bacalah”. Beliau menjawab, “Aku tidak
dapat membaca”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan lebih lanjut :
Malaikat itu lalu mendekati aku dan memelukku sehingga aku merasa lemah sekali,
kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, “Bacalah”. Aku menjawab : “Aku tidak dapat
membaca”. Ia mendekati aku lagi dan mendekapku, sehingga aku merasa tak berdaya
sama sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, “Bacalah”. Aku menjawab, “Aku
tidak membaca”. Untuk ketiga kalinya ia mendekati aku dan memelukku hingga aku
merasa lemas, kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya ia berkata lagi, “Bacalah dengan
nama Rabb-mu yang telah menciptakan…. . Menciptakan manusia dari segumpal
darah…….” dan seterusnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera pulang
dalam keadaan gemetar sekujur badannya menemui Khadijah, lalu berkata,
“Selimutilah aku… selimutilah aku”. Kemudian beliau diselimuti hingga hilang rasa
takutnya. Setelah itu beliau berkata pada Khadijah, “Hai Khadijah, tahukah engkau
mengapa tadi aku begitu?” Lalu beliau menceritakan apa yang baru
dialaminya.Selanjutnya beliau berkata : “Aku sesungguhnya khawatir terhadap diriku
(dari gangguan makhluk Jin).” Siti Khadijah menjawab : “Tidak! Bergembiralah! Demi
Allah, Allah sama sekali tidak akan membuat anda kecewa. Anda seorang yang suka
menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghormati tamu dan
membela orang yang berdiri di atas kebenaran.” Beberapa saat kemudian Khadijah
mengajak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Waraqah bin Naufal, salah
seorang anak paman Siti Khadijah. Di masa jahiliyah ia memeluk agama Nasrani. Ia
dapat menulis dalam huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil
dalam bahasa Ibrani. Ia seorang yang telah lanjut usia dan kehilangan penglihatan.
9
anak saudaraku, ada apakah gerangan?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kemudian menceritakan apa yang dilihat dan dialami di gua Hira’. Setelah
mendengarkan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Waraqah berkata ,
“Itu adalah Malaikat yang pernah diutus Allah kepada Musa. Alangkah bahagianya
seandainya aku masih muda perkasa! Alangkah gembiranya seandainya aku masih
hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?” Waraqah menjawab , “Ya.” Tak
seorang pun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi.
Seandainya aku masih hidup dan mengalami hari yang akan kamu hadapi itu, pasti
kubantu kamu sekuat tenagaku.” Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia, dan
untuk beberapa waktu lamanya Rasulullah tidak menerima wahyu.
Terjadi perselisihan tentang berapa lama wahyu tersebut terhenti. Ada yang
mengatakan tiga tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu. Pendapat yang
paling kuat adalah apa yang diriwayatkan oleh Baihaqi, bahwa masa terhentinya
wahyu tersebut selama enam bulan. 1 Tentang kedatangan Jibril yang kedua, Bukhari
meriwayatkan sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah, ia berkata : Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang terhentinya wahyu. Beliau
berkata padaku : “Di saat aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari
langit. Ketika kepala kuangakat, ternyata Malaikat yang datang kepadaku di gua Hira’,
kulihat sedang duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku segera pulang menemui
istriku dan kukatakan padanya, “Selimutilah aku…. Selimutilah aku…. Selimutilah
aku!” Sehubungan dengan itu kemudian Allah berfirman, “Hai orang yang berselimut,
bangunlah dan beri peringatan. Agungkanlah Rabb-mu, sucikanlah pakaianmu, dan
jauhilah perbuatan dosa…”(al-Muddatstsir) . Sejak itu wahyu mulai diturunkan secara
kontinyu.
1. Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang
terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber
utama ajaran islam.
2. Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui
maksut-maksut yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
3. Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan nsemangat al-
Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan
umat manusia dalam bentuk ijtihat.
4. Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah dalam
kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan
memakmurkan bumi seisinya.
10
Namun demikian, bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah relatif dan
tentatif. Untuk itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan penyempurnaan teru-
mene
BAB 6
6. TEOLOGI KONTEMPORER : KONSEP TEOLOGI EKONOMI DAN
KEMISKINAN
12 Muhammad Arifin, Subtantia, jurnal Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, vol.
16 no. 1, hal 93.
11
al-Qur’an tentangkemiskinan serta bagaimana langkah-langkah yang harus
dikedepankan dalam mengentaskan kemiskinan, menjadi fokus tulisan yang akan
penulis uraikan. Berikutnya term yang banyak digunakan untuk menunjukkan orang
yang lemah secara ekonomi adalah term miskîn.Secara etimologis, lafadz miskîn
merupakan isim masdar yang berasal dari sakana-yaskunu-sukûn/miskîn. Dilihat dari
asalnya, sakana-sukûn, kata ini memiliki makna ‘diam’, ‘tetap’ atau reda. Al-
Asfihani dan Ibn Mansur mengartikan kata ini sebagai ‘tetapnya sesuatu setelah ia
bergerak’. Selain arti tersebut, kata sakana-sukûn juga bisa diartikan sebagai ‘tempat
tinggal’. Jika dilihat dari makna aslinya yang berarti ‘diam’, maka kata miskîn dapat
ditarik arti secara istilah, yaitu orang yang tidak dapat memperoleh sesuatu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan diamnya itulah yang menyebabkan kemiskinan.
Orang tersebut dapat memperoleh sesuatu dikarenakan ia tidak bergerak dan tidak
ada kemauan atau peluang untuk bergerak.13
Kata miskin juga dapat diartikan dengan orang yang tidak memiliki sesuatu, atau
memiliki sesuatu namun tidak mencukupinya, atau orang yang dibuat diam oleh
kefakiran serta dapat pula diartikan dengan orang yang hina dan lemah. Selain itu,
kata miskin juga dapat diartikan sebagai orang yang tidak memiliki apa-apa dan ada
juga yang berpendapat bahwa miskin adalah orang yang tidak memiliki sesuatu yang
dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Selain definisi terminologis tersebut, para
pakar agama juga berbedapendapat dalam menetapkan tolok ukur kemiskinan dan
kefakiran. Secara langsung, tidak ada informasi al-Qur’an maupun hadis dalam
menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan. Al-Qur’an hanya
menegaskan perintah untuk menyantuni orang fakir dan miskin, larangan
menganiaya mereka, larangan memarginalkan dan mendiskreditkan
mereka,larangan menumpuk harta, dan lain sebagainy
BAB 7
7. APLIKASI DAN IMPLIKASI TAUHID DALAM KEHIDUPAN GLOBAL
Pengertian Tauhid
Dari segi bahasa “mentauhidkan” sesuatu “berarti” menjadikan sesuatu itu esa.
Dari segi Syari‟ tauhid ialah “mengesakan Allah didalam perkara-perkara yang
Allah sendiri tetapkan melalui Nabi-NabiNya yaitu dari segi Rububiyyah,
Uluhiyyah dan Asma Was Sifat‟14
13 Syaiful Ilmi, konsep pengentasan kemiskinan perspektif islam, Al-Maslahah, jurnal Fakultas Syariah dan
Ekonomi Islam IAIN Pontianak, 2017, vol. 13 no. 1, hal. 77
14 Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, (Malang, UIN-MALIKI PRESS, 2010), hal. 13
12
2. Prof. Dr. M. Yusuf Musa, tauhid adalah keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha
Esa, yang tidak ada satu pun yang menyamai-Nya dalam Zat, Sifat atau perbuatan-
perbuatan-Nya
3. Shalih Fauzan bin Abdullah al Fauzan, tauhid adalah mengesakan Allah SWT dari
semua makhluk-Nya dengan penuh penghayatan, dan keikhlasan beribadah kepada-
Nya, meninggalkan peribadatan selain kepada-Nya, serta membenarkan nama-nama-
Nya yang Mulia (asma’ul husna), dan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna, dan
menafikan sifat kurang dan cela dari-Nya.15
a) Macam-Macam Tauhid
a) Tauhid Rububiyah
b) Tauhid Uluhiyah
15 Imam Muhammad ibn Abdul Wahab, Tauhid, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2004), hal.6
16 Syaikh abdullah bin abdul aziz al-jibrin, Cara Mudah Memahami Aqidah(Jakarta: pustaka at-tazkia, 2006), 23.
17 Ibid, 34.
13
maka itu berarti kita masuk dalam golongan orang-orang munafik. Maka sama dengan hal
ini, jika kita tidak setia dan tidak taat terhadap janji kita dalam ranah sosial, maka itu berarti
bahwa kita “munafik sosial”.Seharusnya, dengan Tauhid Sosial tersebut, realita-realita
menyedihkan di atas tidak muncul, dengan Tauhid Sosial umat Islam seharusnya
mempraktikkan nilai-nilai Tauhid ke dalam realitas sosial secara benar.
BAB 8
8. SEJARAH LAHIRNYA ILMU TASAWUF
b) Kehidupan Tasawuf Pada Zaman Nabi Muhammad SAW.
Kehidupan tasawuf Nabi Muhammad SAW dibagi menjadi dua fase, yaitu kehidupan
tasawuf Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat sebagai Rasul dan kehidupan tasawuf
Nabi Muhammad SAW setelah diangkat sebagai Rasul:
Kehidupan tasawuf Nabi Muhammad sebelum diangkat sebagai rasul dibagi menjadi
dua pendapat:
Kedua, Tahannuts Nabi Muhammad SAW tidak dapat dijadikan awal tasawuf Islam
karena terjadi sebelum Al-Qur’an diturunkan. Hanya perikehidupan Rasul setelah
turun Al-Qur’anlah yang dapat dipandang sebagai awal tasawuf Islam. Tahannuts
Rasulullah di Gua Hira’ memang untuk memusatkan rohani, tetapi karena hal itu
bukan dari ajaran Allah yang diturunkan setelah datangnya syari’at Islam, maka
tahannuts Rasul tersebut tidak dapat dijadikan sumber tasawuf Islam. 19
Setelah Nabi Muhammad menjadi Rasul Allah, mulailah beliau mengajak manusia
membersihkan rohaninya dari kotoran-kotoran syirik dan nafsu amarah yang tidak
sesuai dengan fitrah aslinya.
14
a) Abu Bakar al-Siddiq
Al-Thusiy mengatakan bahwa lidah sufi pertama muncul melalui abu bakar as-
shiddiq secara isyari. Kehidupan abu bakar seluruhnya sejalan dengan terpengaruhnya
Al-Qur’an. Hal ini terbukti melaui pilihannya terhadap tiga ayat:
Disamping Abu Bakar umar bin khattab pun terkenal dengan kebeningan jiwa dan
kebershihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW bersabda: “Allah telah menjadikan
kebenaran pada lidah Umar.” Dia terkenal dengan kesederhanaannya. Diriwayatkan,
pada suatu ketika setelah beliau menjabat sebagai khalifah, beliau berpidato dengan
memakai baju bertambal duabelas sobekan. Dan diriwayatkan, pada suatu hari beliau
pernah terlambat datang ke mesjid sehingga terlambat pula dilaksanakan solat fardu
secara berjamaah---karena pada setiap salah fardu bisanya beliaulah yang menjadi imam.
Salah seorang temannya bertanya, keapa terlambat datang. Beliau menjawab: “Kain saya
sedang dicuci dan tidak ada lagi yang lainnya.”20
Umar adalah seorang sahabat terdekat dan setia kepada Rasulullah SAW.
Kebrilianan beliau dalam befikir dan memahami syariat islam diakui sendiri oleh Nabi
SAW. Bahkan beliau adalah salah seorang sahabat yang dinyatakan Rasulullah akan
masuk surga. Memang dapat dikatakan, dalam banyak hal Umar dapat dibilang sebagai
tokoh yang bijaksana dan kreatif, bahkan genius, meskipun masih dipertentangkan atau
masih penuh kontroversi. Karena kepandaian Umar ada yang mengia bahwa beliau
mendapat ilmu langsung diterimanya dari Tuhan.
Umar bin Khattab diberi gear Amirul Mukminin, namanya harum dan kesohor,
karena beliau dapat mengikis secara tuntas tradisi-tradisi mereka yang bertentangan
dengan ajaran islam; dan juga karena melakukan ijtihad, mengadakan terobosan-
terobosan baru dalam memahami dan menafsirkan nas-nas agama sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman yang tidak keluar dari prinsip dan spirit Islam itu
sendiri.
Dari khalifah kedua ini, yang paling dikenal adalah bahwa ia merupakan pilar
zuhud dan tasawuf yang bertumpu pada ilmu ladunni dan dzauqi. Menurut al-
20 Asmaran,1996, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Cet ke-2. Hlm 218.
15
Ashfahaniy, Beliau memiliki tempat terhormat dikalangan sufi sebagai seorang zahid
sejati. Bahkan, ada teladan dan hubungan tertentu antara kaum sufi dengan dirinya,
karena ada kekhasan pada dirinya, yaitu: 1) mengenakan pakaian tambalan, 2)
meninggalkan syahwat dan menjahui yng shubhat, 3) menampakan karamah, 4) tak
mengenal kompromi dalam menegakkan kebenaran dan mengenyahkan kebatilan, 5)
menyamakan hak antara kaum kerabat dan non-kerabat, 6) mengamalkan agama secara
ketat.
Beliau juga telah menyarikan metode tasawuf sunni yang bertumpu pada syari’ah dalam
empat hal pokok: 1) menunaikan kewajiban, 2) menjauhi larangan, 3) amar ma’ruf demi
mengharapkan pahalanya, 4) nahi munkar demi menghidari murka-Nya.
Salah satu contoh keteguhan Umar dalam memegang prinsip hidupnya dalam
menegakkan ajaran agama, ia tidak hanya berlaku tegas kepada orang lain, tetapi juga
terhadap keluarganya sendiri. Diriwayatkan bahwa pada suatu peristiwa, ia pernah
melihat seorang anaknya memakan sarida dengan daging, lalu anak tersebut dipukul
dengan tongkatnya yang pendek eraya berkata kepada anaknya itu: “Makanan ini tidak
saya haramkan, tetapi saya larang untuk diri saya dan anak-anak saya karena tempat
tumbuh fitnah di dalam syahwat makanan, “Demikianlah sebagian dari kehidupan Umar
bin Khattab; disamping sebagai pelaksana dalam pemerintahan, juga sebagai pemimpin
hidup kerohanian yang sangat bersahaja dan sederhana, sehingga kesedernahaan,
keadilan, keteguhan dan ketegaran Umar bin Khattab itu dipandang oleh kaum sufi
sebagai teladan mereka.
Ali bin Abi Thalib dalam pandangan kaum sufi, secara khusus mempunyai
kedudukan tersendiri. Dalam hal ini, Abu Ali al-Rizabari--Seorang tokoh sufi angakatan
pertama berkata: “ Dia dianugerahi ilmu ladunni, yaitu ilmu yang secara khusus di
anugerahkan kepada manusia tertentu seperti kepada Khidir”, Sebagaimana sahabat-
sahabat terdahulu yang menyebut empat hal yang menghimpun seluruh kebaikan, Ali
juga memiliki peryataan senada. Diriwayatkan bahwa ia berkata “Kebaikan seluruhnya
terhimpundalam empat hal: diam, bicara, nalar, dan gerak. Setiap pembicaraan yang
tidak dalam kerangka mengingat Allah adalah sia-sia. Setiap diam yang tidak dalam
konteks berpikir adalah kealpaan. Setiap nalar yang tidak dalam rangka mengambil
pelajaran adalah kelalaian. Dan setiap gerak yang tidak dalam rangka menyembah Allah
adalah keteledoran. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada hamba yang ucapannya
adalah zikir, diamnya adalah berpikir, nalarnya adalah mengambil pelajaran, dan
geraknya adalah pengabdian, serta orang lain selamat dari lidah dan tangannya”.
16
Al-Tusi dalam bukunya Al-Luma’ mengataan: “Diantara para sahabat Rasulullah
SAW amir al-mu’minin Ali bin Abi Thalib memiliki keistimewaan tersendiri dengan
ungkapan-ungkapannya yang agung, isyarat-isyarat nya yang halus, kata-katanya yang
unik, pernyataandan penjelasannya tentang tauhid, ma’rifah, iman.
A. Masa Pembentukan
Pada paruh kedua Abad ke-1 Hijriyah, muncul nama Hasan Basri (642-728M),
seorang tokoh zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Hasan Basri tampil
pertama dengan mengajarkan ajaran khauf (takut) dan raja’ (berharap), setelah itu
diikuti oleh beberapa guru yang mengadakan gerakan pembaharuan hidup
kerohaniahan dikalangan muslimin. Aja ran-ajaran yang muncul pada abad ini yakni
khauf, raja’, ju’ (sedikit makan), sedikit bicara, sedikit tidur, zuhud (menjauhi dunia)
khalwat (menyepi), shalat sunnah sepanjang malam dan puasa disiang harinya,
menahan nafsu, kesederhanaan, memperbanyak membaca alQur’an dan lain-lainnya.
B. Masa Pengembangan
Masa pengembangan ini terjadi pada kurun antara abad ke-III dan ke-IV H. Pada
kurun ini muncul dua tokoh terkemuka, yakni Abu Yazid al-Bushthami (w.261 H.) dan
Abu Mansur al-Hallaj (w. 309 H.). Abu Yazid berasal dari Persia, dia memunculkan
ajaran fana’ (lebur atau hancurnya perasaan),21 Liqa’ (bertemu dengan Allah Swt) dan
Wahdah al-Wujud (kesatuan wujud atau bersatunya hamba dengan Allah Swt).
C. Masa Konsolidasi
Masa yang berjalan pada kurun abad V M. ini sebenarnya kelanjutan dari
pertarungan dua madzhab pada kurun sebelumnya. Pada kurun ini pertarungan
dimenangkan oleh madzhab tasawuf Sunni dan madzhab saingannya tenggelam.
Madzhab tasawuf Sunni mengalami kegemilangan ini dipengaruhi oleh kemenangan
madzhab teologi Ahl Sunnah wa al-Jama‟ah yang dipelopori oleh Abu Hasan alAsy‟ari
(w. 324 H). Dia melakukan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid dan al-Hallaj
sebagaimana yang tertuang dalam syathahiyat mereka yang dia anggap melenceng dari
kaidah dan akidah Islam. Singkatnya, kurun ini merupakan kurun pemantapan dan
pengembalian tasawuf ke landasan awalnya, al-Qur‟an dan al-Hadis.
D. Masa Falsafi
Pada masa (abad VI dan VII H) ini muncul dua hal penting yakni; Pertama,
kebangkitan kembali tasawuf semi-falsafi yang setelah bersinggungan dengan filsafat
maka muncul menjadi tasawuf falasafi, dan kedua, munculnya orde-orde dalam tasawuf
(thariqah). Tokoh utama madzhab tasawuf falasafi antara lain ialah Ibnu Arabi dengan
21 Menurut Baldick, pada data-data awal, al-Bustomi tidak ditemukan mengajarkan doktrin
Fana‟, baru pada sumber-sumber terkemudianlah doktrin Fana‟ terdapat dalam kisah Sindi
yang mengajari al-Bustomi. Baldick, Islam Mistik, h. 53
17
wahdat al-Wujud, Shuhrawardi dengan teori Isyraqiyyah, Ibn Sabi’n dengan teori
Ittihad, Ibn Faridh dengan teori cinta, fana’ dan Wahdat al-Syuhud-nya.22
E. Masa Pemurnian
Menurut A.J. Arberry sebagaimana dikutip Amin Syukur, pada Ibn Arabi, Ibn
Faridh, dan ar-Rumi adalah masa keemasan gerakan tasawuf baik secara teoritis
maupun praktis. Pengaruh dan praktek tasawuf tersebar luas melalui tarekat-tarekat.
Dengan dikatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah (abad ke-7
masehi), maka dapat diketahui bahwa tasawuf tidak bersamaan dengan masuknya Islam ke
Indonesia. Tasawuf datang ke Indonesia paling cepat pada awal abad ke-2 Hijriyah. Yang
jelas pada abad ke-8 Hijriyah atau abad ke-14 Masehi.
1) Tuhan
Pendirian Ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat
kompromis. Ia berpendapat bahwa ungkapan “ wujud Allah dan Alam Esa”
18
berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin
yaitu Allah yang ada hanyalah wujud Allah yang esa.
2) Alam
Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajali. Ia
menolak teori al-faidah Al-Farabi karena akan membawa kepada pengakuan
bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan.
3) Manusia
Menurut Ar-Raniri, manusia merupakan mahluk Allah yang paling
sempurna di dunia ini. Sebab, manusia merupakan khalifah Allah di bumi
yang dijadikan sesuai dengan citra-nya.
4) Wujudiyah
Menurut Ar-Raniri inti ajaran wujudiyyah berpusat pada wahdat al-wujud,
maksudnya jika benar tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat di katakan
bahwa manusia adalah tuhan dan tuhan adalah manusia, maka jadilah
seluruh mahluk itu adalah tuhan.
5) Hubungan syariat dan hakikat
Ar-Raniri mengajukan beberapa pendapat para sufi, diantaranya adalah
syekh Abdullah Al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan
menuju Allah, kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang
Islam.
2. Abd Somad Al-Falimbani
a. Ajaran tasawuf Al-Falimbani
24 Abu Hamid dan Syaikh Yusuf Ulama, Sufi, dan Pejuang, (Jakarta: Yayasan Obor, 1994), hlm 173
19
4. Hamka [Haji Abdul Malik Karim Amrullah]
a. Pemikiran Tasawuf Hamka
Pemikiran-pemikiran Hamka lebih banyak tercurah pada soal-soal iman, akhlak,
dan aspek-aspek sosial. Berikut ini adalah pemikiran-pemikiran Hamka tentang
tasawuf. Pertama, Tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan untuk
memperbaiki budi pekerti dan membersihkan batin. Artinya, alat untuk
membentengi seseorang dari kemungkinan untuk berbuat keburukan. Kedua,
Fungsi Tasawuf Menurut pendapat Hamka, tasawuf yang benar itu juga
dilaksanakan lewat pendidikan moral keagamaan yag efektif. Ketiga, Tasawuf
Modern Tasawuf Hamka [disebut “tasawuf modern”] Berdasarkan pada prinsip
“tauhid” bukan pencarian pengalaman. Keempat, Qana’ah Menurut Hamka,
qana’ah itu menyuruh benar-benar percaya akan adanya kekuasaan kita, sabar
menerima ketentuan ilahi, dan bersyukur jika di beri nikmat. Kelima, Tawakal
adalah menyerahkan segala keputusan kepada allah, berikhtiar, dan berusaha
kepada tuhan.
5. Nawawi Al-Batani
a. Pemikiran tasawuf Syaikh Nawawi Al-Batani
BAB 9
9. HAKIKAT TASAWUF :ASAL KATA, PENGERTIAN DAN TUJUANNYA,
KEDUDUKAN AKHLAQ DAN TASAWUF DALAM ISLAM: ISLAM , IMAN DAN
IHSAN
PENGERTIAN
Terdapat perbedaan mengenai asal kata tasawuf. Ada yang mengatakan bahwa kata
tasawuf berasal dari kata shufah (kain dari bulu). Dinamakan demikian karena kepasrahan
seorang sufi kepada Allah ibarat kain wol yang dibentangkan.26
25 Rosihon Anwar, Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm. 266
26 ‘Abdul Qodir Isa Syaikh, Hakekat Tasawuf, Qisthi Press
20
Ada yang berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata shifah (sifat). Sebab, seorang
sufi adalah yang menghiasi diri dari segala sifat terpuji dan meninggalkan setiap sifat
tercela,27
Ada yang berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata shafa (bersih). Abu Fath al-
Basti mengatakan dalam sebuah syair,
Ada yang berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata shuffah (sufah). Sebab seorang
sufi mengikuti ahli suffah dalam sifat yang telah ditetapkan oleh Allah bagi mereka,
sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan bersabarlah engkau bersama orang-orang yang menyeru
Tuhan mereka.” (Q.S Al-Kahfi: 28).
Dan ahli suffah adalah generasi pertama kalangan sufi. Potret kehidupan mereka dalam
menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan telah menjadi teladan utama bagi generasi
sufi pada masa-masa berikutnya.
Al-Qusyairi berpendapat bahwa akar kata tasawuf adalah kata shafwah (orang pilihan atau
suci).
Disamping itu, ada yang berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata shaff (saf).
Seolah para sufi berada sishaf pertama dalam menghadap diri kepada Allah dan berlomba-
lomba dalam melakukan ketaatan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan kata tasawuf adalah usaha untuk membersihkan
jiwa, memperbaiki akhlak dan mencapai maqam ihsan. Bisa dikatakan bahwa tasawuf
adalah aspek spiritual, atau aspek ihsan, atau aspek akhlak dalam islam.29
TUJUAN
Tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah, maka diperlukan hati yang suci agar lebih
dekat dan lebih mengenal Allah (Al-Ma’rifah). Menurut Dzun Nun al-Misri, ada tiga macam
pengetahuan tentang Allah, yaitu
21
c. Pengetahuan kaum sufi: Allah Esa dengan perantara hati sanubari.
Pengetahuan yang hakiki tentang Allah adalah pengetahuan yang disertai dengan kesucian
hati. Pengertian akhlah sendiri adalah sifat hati yang mendasari perilaku manusia. Jika
hatinya bersih dan suci, yang akan keluar adalah perbuatan atau perilaku yang baik dan
mulia (al-akhlaq al-karimah). Dan tasawuf adalah cara untuk membersihkan dan mensucikan
hati. Maka akhlak dan tasawuf itu mempunyai tempat yang sangat penting dalam islam
karena satu sama lain saling mendukung.31
ISLAM
Islam berasal dari kata “taslim” yang berarti ketundukan, kepasrahan, menerima, tidak
menolak, tidak membantah, dan tidak membangkang. Maksudnya, yaitu penyerahan diri
sepenuhnya kepada Allah SWT. Agama islam artinya agama berserah diri. Berserah diri atas
semua ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT, karena Dia lebih mengetahui apa
yang terbaik bagi hamba-Nya.32
IMAN
Iman artinya percaya. Percaya dengan cara membenarkan sesuatu dalam hati, kemudian
diucapkan oleh lisan, dan kemudian dikerjakan oleh perbuatan atau perilaku. Ada definisi
iman yang diungkapkan para jumhur ulama, yaitu
االيمان هوتصديق بالقلب وتقريرباللسان وعمل باالركان
Iman itu adalah membenarkan dalam hati, dan mengikrarkan dengan ucapan, dan mengamalkannya
dengan anggota badan
Sementara itu menurut Imam al-Ghazali iman berarti pembenaran tasdiq. Dan tasdiq
mempunyai tempat khusus, yaitu didalam hati.
Dalam Al-Qur’an dan hadist ditegaskan bahwa umat manusia wajib beriman kepada rukun
iman yang enam.33
IHSAN
Dengan demikian, hubungan ketiganya islam dipandang sebagai ketundukan lahir dengan
melaksanakan rukun islam yang lima. Adapun iman dapat dipandang sebagai pembenaran
hati (secara batin) bahwa Allah adalah Zat yang tidak ada bandingannya. Dan selanjutnya
ihsan adalah hasil akhir (omplikasi otomatis) dari sebuah proses keislaman dan keimanan
22
seseorang. Ihsan lahir dari keyakinan dan ketundukan bahwa motivasi yang muncul hanya
karena Allah SWT semata. Ihsan terwujud dalam perbuatan memberi lebih baik dari pada
menerima atau mengambil, berbuat lebih baik dari yang orang lain lakukan terhadap
dirinya.35
BAB 10
10. SISTEM PEMBINAAN AKHLAQ DALAM TASAWUF
Dalam ilmu tasawuf ada 3 bagian yang lebih spesifik dan lebih terkenal dalam lingkungan
masyarakat, yaitu tasawuf falsafi, tasawuf akhlakqi, tasawuf syi’i. Namun dalam
pembahasan ini akan fokus pada tasawuf akhlaqi. 36
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau
budi pekerti. Seseorang yang memiliki mental tidak baik kemudian ingin memperbaiki
keadaan tersebut, maka harus melalui beberapa tahapan. Tujuannya untuk menguasai hawa
nafsu sampai ketitik rendah dan bila mungkin menghilangkan hawa nafsu tersebut.
Tahapan-tahapan tersebut sebegai berikut,37
-TAKHALLI ()تخلى
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang sufi. Takhalli
adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela, dan takhalli juga bisa
diartikan mengosongkan diri dan sifat ketergantungan terhadap duniawi karena kecintaan
yang berlebihan terhadap duniawi merupakan salah satu sifat yang kurang terpuji38. Hal ini
akan dapat tercapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam berbagai bentuk
dan kondisi dan berusaha melawan dorongan hawa nafsu.
Jika hati telah dihinggapi penyakit atau sifat-sifat tercela, maka harus segera diobati.
Obatnya adalah dengan melatih membersihkannya terlebih dahulu dengan cara melepaskan
diri dari sifat-sifat tercela agar dapat mengganti dengan terbiasa melakukan sifat-sifat
terpuji untuk memperoleh kebahagian yang hakiki.39
Ada beberapa sifat yang perlu dibersihkan ketika seorang salik ingin mempraktikan
tingkatan takhalli, yaitu;40
23
8. Bakhil : kikir
-TAHALLI ()تحلى
Setelah melalui tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang tidak baik
dapat dilalui, usaha itu harus terus tetap berlanjut ketahap selajutnya, yaitu tahalli. Yang
bermakna, mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir dan batin.41
Dengan demikian, tahap tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan.
Sebab, apabila satu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak segera digantikan maka
kekosongan tersebut bisa menimbulkan frustasi. Oleh karena itu, apabila satu kebiasaan
buruk telah ditinggalkan, maka harus segera diisi dengan satu kebiasaan yang baik. Dari
dari satu latihan tersebut akan menjadi kebiasaan dan dari kebiasaan akan menjadi
kepribadian. Imam Ghazali berkata “jiwa manusia dapat dilatih, dikuasai, nisa di ubah, dan dapat
dibentuk sesuai kehendak manusia itu sendiri”.42
Sifat-sifat yang menyinari hati atau jiwa yang harus dilakukan oleh seseorang yang telah
melakukan pembersiha hati. Semua itu harus disertai dengan penyinaran hati agar hati
yang kotor dan gelap bisa menjadi bersih dan terang. Karena hati yang demikian adalah
yang mampu menerima pancaran nur cahaya Tuhan43
Sifat-sifat yang menyinari hati oleh kaum sufi dinamakan sifat-sifat terpuji (akhlak
mahmudah), diantaranya adalah:44
-TAJALLI ()تجلى
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka
rangkaian langkah selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli berarti terungkapnya nur
ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa yang telah terisi dengan akhlak mahmudah dan
sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan dalam kehidupannya, maka rasa ketuhanan
perlu dihayati lebih lanjut, yaitu dengan rasa kecintaan dan kerinduan yang mendalam
terhadap Allah SWT dengan sendirinya.45
Pada tahap ini, hati seseorang harus disibukkan dengan dzikir dan selalu mengingat Allah
SWT. Dengan selalu mengingat-Nya seseorang akan merasakan kedamaian dalam hati dan
24
hidupnya. Kegelisahan yang dirasakan seseorang bukan lagi tentang dunia yang menipu,
anak dan istri, atau hawa nafsu. Tetapi hanya kepada Allah, hatinya akan sedih dan gelisah
jika satu detik saja tidak mengingat Allah.
Kaum sufi, selain menempuh jalan (tarekat) tiga tingkatan ini (takhalli, tahalli, tajalli) ada
juga yng menempuh jalan suluk dengan sistem yang dinamakan murabatu al-thariqoh yang
terdiri dari empat tingkat (seperti sistem yang dipakai oleh thareqat An-Naqsabandiyah)
yaitu:46
1. taubat
2. istiqomah : taat lahir dan batin
3. tahdzib : terdiri dari beberapa riyadhoh seperti puasa, mengurangi tidur, dan i’tikaf
4. takarrub : mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan dzikir terus-menerus
BAB 11
11. RELASI ANTARA SYARIAT, AKHLAQ DAN TASAWUF : HUBUNGAN
ANTARA KETIGANYA HAKIKAT DAN MAHABBAH, DAN KESELARASAN
ANTARA SYARIAT DAN TASAWUF
a. Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali mengatakan “Ketahuilah bahwa banyak orang yang mengaku, dia
adalah menempuh jalan (tarikat) kepada Allah, tapi yang sesungguhnya, yang
bersungguh-sungguh menempuh jalan itu adalah sedikit.
b. Abu Yazid Al-Bustami
Menyatakan yang artinya : “Andaikata kamu melihat seseorang yang diberi
kekeramatan hingga dapat naik ke udara, maka janganlah kamu tertipu
dengannya sehingga kamu dapat melihat dan meneliti bagaimana dia
melaksanakan perintah dan larangan agama serta memelihara ketentuan-
ketentuan hukum agama dan bagaimana dia melaksanakan syari’at agama.
c. Sahl at Tsauri
At Tasturi mengungkapkan tentang pokok-pokok tasawuf yang terdiri dari
tujuh pokok jalan (tarikat), yaitu berpegang kepada Al-Kitab (Al-Qur’an),
mengikuti Sunnah Rasul, makan dari hasil yang halal, mencegah gangguan yang
25
menyakiti, menjauhkan diri dari maksiat, selalu melazimkan taubat dan
menunaikan hak-hak orang lain.
d. Junaid al Baghdadi
Al Junaidi mengomentari orang yang mengaku ahli makrifat tetapi dalam
gerak-geriknya meninggalkan perbuatan-perbuatan baik dan menjauhkan diri
kepada Allah, maka beliau mengatakan “Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan”.
e. Abul Hasan As Syazili
As Syazili mengakatan yang artinya : Jika pengungkapanmu bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, maka hendaklah engkau berpegang
kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul itu, sambil engkau mengatakan kepada
dirimu sendiri “sesungguhnya Allah SWT telah menjamin diriku dari kekeliruan
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul”.
Sebagai kesimpulan, semua pengalaman kaum Sufi harus mengikuti semua
Nash Al-Qur’an dan As Sunnah dan meneladani amaliah-amaliah Rasulullah,
sebagai panutan tertinggi para Sufi.
Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat (Haqiqah) seakar
dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam konteks tasawuf menunjukkan
47 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak. Cetakan Pertama (Jakarta: Amzah. 2011), hal. 223.
48 M. Solihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hal. 172.
26
kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis.
Secara terminologis, kamus ilmu Tasawuf menyebutkan bahwa Hakikat adalah
kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syari’at
itu, sehingga hakikat adalah aspek yang paling penting dalam setiap amal, inti, dan
rahasia dari syari’at yang merupakan tujuan perjalanan salik.
4. Mahabbah
Ma’rifat kepada Allah mengantarkan orang yang mencintai Allah untuk bisa
mengetahui segala sesuatu. Kita tidak mungkin mencintai sesuatu yang tidak kita
kenal.” Tak kenal, maka tak sayang” kata pepatah. Hal ini sejalan dengan apa yang
difirmankan Allah sendiri dalam Al-Qur’an: (QS. Al-Baqarah:165).
Selalu ingat dan mengucap asma Allah, termasuk salah satu syarat yang wajib
dipenuhi dalam rangka cinta kepada Allah SWT. Ini didasarkan pada firman Allah:
(QS. Thaha: 124) & QS. Ar-Ra’d:28).
Taat dan patuh kepada Allah merupakan salah satu syarat dasar bagi cinta
kepada Allah, sekaligus hubungan kuat yang mengikatkan hamba yang mencintai
dengan sang penciptanya, tunduknya yang lemah kepada Yang Maha Perkasa,
mengikatkan seorang pecinta kepada kekasihnya, dalam semua aspek kehidupan.
Asas lain bagi cinta kepada Allah yang mesti dimiliki oleh seorang hamba yang
mencintai-Nya, adalah dia harus ikhlas kepada-Nya, menjauhkan diri dari
kemusyirikan dan rasa riya’ didalam cintanya.
Takut kepada Allah membantuk motif yang sangat kuat untuk untuk
menjauhkan manusia dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah.
49 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1990), hlm.96.
50 Al-Qusyairi al-Naisabury, al-Risalah al-Qusyairiyah, (Mesir: Dar al-Kahir, t.t.), hlm.318
27
6. Tawakkal Kepada Allah
Tawakkal kepada Allah dalam semua kondisi dan situasi akan membangkitkan
cinta yang kuat, dan semangat kuat yang dari situ akan menjadi tidak berartinya
segala kesulitan.
Syarat lain yang harus dipenuhi dalam rangka cinta kepada Allah adalah
bersyukur kepada-Nya, bersyukur atas kebaikan cipataan-Nya, atas segala nikmat-
Nya dan karunia hidup yang diberikan-Nya kepada kita.
8. Sabar
Sabar yang dimaksud disini adalah sabar dalam menghadapi apa yang yang
diwajibkan-Nya dan yang datang dari dan ditujukan kepadanya.51
9. Pengertian Syariat
Syariat adalah cara untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah uang di rujuk
oleh Al-Quran sebagai tujuan utama menciptakan manusia. Didalam syariat terdapat
hakekat yang tidak boleh di pisahkan. Hakikat itu sendiri adalah tasawuf, seperti yang
diisyaratkan dalam definisi “ engkau beribadah seakan-akan melihat Tuhan, dan
seandaianya engakau tidak melihatnya, niscaya Dia melihatmu”.52
Menurut sebagian ulama, syari’at/syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang
saling berhubungan sangat erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran
ilmu yang mendalam. Syari’ah mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada
aspek lahiriyah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengalam iman pada
aspek batiniyah. Aspek lahir dan batin keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana
dikatakan al-Hujwiri bahwa aspek lahir tanpa aspek batin adalah kemunafikan,
sedangkan aspek batin tanpa aspek lahir adalah bid’ah.53
BAB 12
12. MAQAMAT DALAM TASAWUF
1. Pengertian Maqamat
28
Maqam (jamak: maqamat), yang secara bahasa perarti pangkat atau derajat.
Dalam bahasa inggris, maqamat disebut dengan istilah stations atau stages.
Sebagaimana juga ahwal, dipahami secara berbeda-beda oleh para sufi sendiri.
Meskipun demikian, kesemuanya sepakat memahami maqamat bermakna
kedudukan seorang pejalan spriritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja
keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), dan
latihan-latihan keruhanian (riyadhah), sedemikian sehingga ia mencapai keluruhan
budi-pekerti (adab) yang memampukannya untuk memliki persyaratan-persyaratan
dan melakukan upaya-upaya untuk menjalanakan berbagai kewajiban (dengan
sebaik-baiknya) demi mencapai kesempurnaan. Konsep maqamat diperkenalkan
sebagai bagian dari pemahaman tasawuf sebagai suatu perjalanan spiritual (suluk). 54
2. Macam Maqamat
a) Al-Taubah
Dalam bahasa Indonesia, tobat bermakna “sadar dan menyesal akan dosa
(perbuatan yang salah atau jahat) dan beniat akan memperbaiki tingkah laku dan
perbuatan”. Istilah tobat berasal dari bahasa Arab, taba, yatubu, tobatan (yang berarti
kembali. Istilah tobat diartikan sebagai berbalik dan kembali kepada Allah dari
dosa seseorang untuk mencari pengampunannya. Seorang ulama, al-husain al-
maghazili, membedakan tobat kepada dua macam, yaitu: taubat al-Inabat dan taubat
al-Istijabat. Taubat yang pertama karena didorong oleh rasa takut kepada Allah swt.
Sedang yang kedua karena merasa malu kepada-Nya.
b) Al-Istiqamah
Al-Qusyairi mengatakan, “orang yang tidak istiqamah dalam keberadaannya,
tidak akan pernah meningkat dari satu tahapan ke tahapan maqam berikutnya, dan
perjalanan mistis (suluk)-nya tidak akan kukuh”. Menurutnya tanda istiqamah dari
orang yang mulai menempuh suluk adalah; amal-amal lahiriyahnya tidak dicemari
oleh kesenjangan. Bagi orang yang berada pada tahap pertengahan (ahl al-wasath)
adalah, tidak ada kata “berhenti”. Sementara bagi orang yang berada pada tahap
akhir adalah, tidak ada tabir yang melidunginya dari kelanjutan wushul (bertemu
dengan Tuhan)-nya. Dalam kaitan ini, ada beberapa ayat Alquran yang dapat
dijadikan petunjuk untuk ber- istiqamah : Q.S. Fushshilat 41: 30 & Q.S. Hud 11: 112.55
c) Al-wara’
Kata warak berasal dari bahasa Arab, wara’a, yari’u, wara’an yang bermakna berhati-
hati, tetapi dalam kamus bahasa Indonesia warak bermakna “patuh dan taat kepada
Allah.” Di dunia tasawuf, kata warak ditandai dengan kehati-hatian dan
kewaspadaan tinggi. Meski istilah ini tidak di temukan dalam Alquran, tetapi
semangat dan perintah untuk bersikap warak dapat dengan mudah ditemukan di
dalamnya, dan banyak hadis Nabi Muhammad saw. menggunakan istilah warak.56
Menurut para sufi warak itu ada dua macam yaitu:
(1) Warak lahiriah, yaitu tidak mempergunakan anggota tubuhnya untuk hal
54 Ris’an, Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013),
hlm. 54.
55 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf , hlm. 145-146.
56 M. Alfatih, Suryadilaga, Ilmu Tasawuf . (Yogyakarta: Kalimedia, 2016), hlm. 100.
29
yang tidak diridai Allah swt.
(2) Warak batin, yaitu tidak mengisi hatinya kecuali hanya Allah swt.57
d) al-Zuhd
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. 58 Kata Zuhud berasal dari
bahasa Arab, zahada, yazhudu, zuhdan yang artinya menjauhkan diri, tidak menjadi
berkeinginan, dan tidak tertarik. Dalam bahasa Indonesia, zuhud berarti “perihal
meninggalkan keduniawian; pertapaan”. Dalam Alquran, kata zuhud memang
tidak digunakan, melainkan kata al-zâhidîn sebanyak 1 kali yang disebut dalam Q.S.
Yûsuf/ 12: 20. Meskipun istilah ini kurang banyak digunakan dalam Alquran, akan
tetapi banyak ayat Alquran yang mengarah secara tegas kepada makna zuhud,
yaitu dapat dilihat dalam penjelasan dalam Alquran mengenai keutamaan akhirat
ketimbang dunia.59
a) Al-Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh
atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta
lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.60 Al-faqr (kefakiran) menurut para sufi
merupakan tidak memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut
lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer; bisa juga
diartikan tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa selain Allah Swt.
f) Al-Shabr
Kata sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, yashbiru, shabran, maknanya
adalah mengikat, bersabar, menahan dari laranangan hukum, dan menahan diri
dari kesedihan. Kata ini disebutkan di Alquran sebanyak 103 kali. Dalam bahasa
Indonesia, sabar bermakna “tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak
lekas putus asah, tidak lekas patah hati),dan tabah,tenang,tidak tergesah-gesah,dan
tidak terburu nafsu”.
g) Al-Tawakkal
Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti
“mempercayakan, memberi, mwmbuang urusan, bersandar, dan bergantung”,
istilah tawakal disebut di dalam Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak 70 kali.
Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah “pasrah diri kepada kehendak Allah;
percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya),
atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah”. 61 Secara harfiah tawakal
berarti menyerahkan diri. Menurut Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa
tawakal tempatnya dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak
mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu. Hal ini terjadi setelah hamba
57 Miswar, dkk., Akhlak Tasawuf: membangun Karakter Islam (Medan: Perdana Publishing, 2016), hlm. 177.
58 Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 1.
59 Ja’far, Gerbang Tasawuf, hlm. 63-64.
60 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, hlm. 30.
61 Ja’far, Gerbang Tasawuf, hlm. 74-75.
30
meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka
menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya
adalah takdir Allah.
h) Al-Ridha
Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya “senang,
puas, memilih persetujuan, menyenangkan, menerima”. Dalam kamus bahasa
Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”.62 Harun
Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang kada dan
kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar dengan hati senang.
i) Al-Mahabbah
Menurut Al-Ghazali, al-mahabbah adalah maqam sebelum rida. Kaum sufi
mendasari ajaran mereka tentang cinta dengan Alquran, hadis, dan atsar
(perkataan,tindakan, dan ketetapan sahabat). Antara lain dalilnya adalah Q. S. Al-
Maidah 5: 54; Q. S. Al-Shaff 61: 4; dan Q. S. Ali Imran 3:31.
j) Al-Ma’rifat
Dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti
tentang Tuhan yang diperolah melalui sanubari. Dalam sejarah dapat diketahui
bahwa Al-Misri adalah orang pertama yang menganalisis ma’rifat secara
konsepsional, ia mengklasifikasikan kepada tiga kelas, yakni:
BAB 13
13. Lima Induk Akhlaq Tercela; Banyak Makan, Banyak Bicara, Hasud, Cinta Dunia,
Takabbur
Akhlak yang baik yaitu sebagaimana yang diteladankan oleh RAsul yang merupakan sikap
para shiddiqin. Pada hakikatnya ia adalah bagian terbesar dari agama, buah kegiatan dari
para muttaqin dan sebagai latihan kaum yang beribadat. Sedangkan akhlak yang tercela,
adalah racun yang dapat membunuh, noda yang nyata, sifat kerendahan yang jelas
menjauhkan manusia dari Allah. Meninggalkan maksiat yang dilarang dan berbuat taat
31
yang diperintah adalah bentuk dari penerapan akhlak, dan al-Ghazali menekankan bahwa
meninggalkan maksiat lebih berat dan sulit dibandingkan dengan berbuat taat. Karenanya,
meninggalkan syahwat yang sering melakukan maksiat merupakan amal para shiddiqin. Ini
bukannya tanpa latihan, karena riyadah al-nafs merupakan bagian dari pekerjaan mereka—
seperti melihat aib sendiri (mawas diri), menjaga lidah dan mengendalikan amarah.16
Latihan itu sendiri menjadi obat bagi akhlak yang tercela.64
Yang menjatuhkan manusia itu ialah hawa nafsu seperti telah diuraikan sebelumnya.
Apabila nafsu diperturutkan, maka akan rusaklah segala-galanya. Tetapi kalau nafsu
terkendali, maka martabat manusia akan tetap tinggi.65
1. Banyak Makan
Terlalu berlebihan makan termasuk induk akhlaq tercela karena perut merupakan
sember semua syahwat. Dari perut akan timbul bermacam-macam syahwat diantaranya
menimbulkan nafsu gila harga, dari nafsu gila harta akan timbul rasa senang akan
kedudukan atau jabatan. Ketika harta ataupunkedudukan telah tercapai akan akan timbul
penyakit hati seperti takabur, iri hati, dendam, permusuhan dan lain-lain.
2. Banyak Bicara
Banyak bicara termasuk dalam induk akhlak yang trecela. Oleh karena itu kebiasaan
banyak bicara atau banyak omong harus dihentikan. Teori Imam al-Ghazali menyatakan
bahwa semua perbuatan dari anggota badan akan memberi bekas atau pengaruh kepada
hati seseorang. Mulut adalah yang paling banyak memberi pengaruh, karena setiap kata
yang diucapkan akan membentuk sebuah gambar di dalam hati. Karena itu untuk
menjaga tutur kata, Abu Bakar al-Shiddiq meletakkan batu di dalam mulutnya untuk
mencegah dirinya dari berkata-kata.
a. Berdusta
Rasulullah SAW memperingatkan bahwa berdusta adalah perbuatan yang perlu
ditinggalkan. Dusta adalah haram dilakukan dalam segala hal, kecuali dalam
64 Hajriansyah, “AKHLAK TERPUJI DAN YANG TERCELA, Telaah singkat Ihya’ Ulumuddin Jilid III”, Jurnal
NALAR Vol 1, No 1 Juni 2017, hal. 24-25
65 Kementrian Agama Republik Indonesia, Buku Siswa Akidah Akhlak Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013 (Jakarta:
Kementrian Agama, Jakarta), hal. 63
32
keadaan darurat. Oleh karena itu hendaknya seseorang berhati-hati terhadap
perbuatan dusta, meskipun di dalam anganangan atau khayalan hatinya.
Perbuatan dusta yang demikian akan membentuk sebuah gambar bengkok yang
menyebabkan mimpinya dusta dan rahasia kerajaan langit tak akan terbuka
dalam tidurnya. Pengalaman telah banyak membuktikan akan kebenaran hal
tersebut
Ada beberapa dusta yang diperkenankan dalam agama. Keringanan yang
diberikan untuk berbuat dusta yaitu apabila kejujuran akan membawa bencana
lain yang lebih fatal dari pada bencana yang diakibatkan oleh dusta. Kebolehan
dusta dalam agama tersebut sebagaimana diperbolehkannya makan bangkai
yang bila tidak makan bangkai tersebut akan membawa bencana yang lebih berat
yaitu kematian. Dusta tetap tidak diperbolehkan bila untuk menarik keuntungan
harta ataupun pangkat sebagaimana dilakukan oleh banyak orang. Jika
seseorang terpaksa berbuat dusta, sebaiknya sebelum berdusta ia mencari hal-hal
lain sedapat mungkin sebagai ganti dari dusta, sehingga ia tidak membiasakan
diri untuk berdusta.
b. Menggunjing
Menggunjing adalah akibat dari banyak omong. Rasulullah SAW memberi
peringatan agar seseorang menjauhkan diri dari perbuatan menggunjing.
Definisi menggunjing adalah bila seseorang menyebutkan keadaan orang lain
dengan sesuatu yang dibencinya dan orang lain tersebut mengetahuinya
meskipun penyebutan tersebut benar. Keadaan yang disebutkan dapat
menyangkut kekurangan dirinya, akal, pakaian, perbuatan, perkataan, rumah,
nasab atau keturunan, kendaraan, ataupun tentang sesuatu yang bersangkut
paut dengannya. Menggunjing tidak hanya terbatas pada ucapan saja. Tak ada
bedanya antara ucapan dan isyarat lainnya seperti dengan kode tangan, kedipan
mata, sindiran, atau lainnya.
c. Berbantah
Berbantah adalah menonjolkan diri terhadap ucapan orang lain dengan
menunjukkan kekurangan dari ucapan tersebut, baik dari segi susunan kata
maupun dari segi artinya. Hal yang mendorong seseorang untuk berbantah
adalah perasaan tinggi dengan menunjukkan kelebihan tersebut karena ambisi
jahat. Dorongan lainnya adalah kebuasan tabiat yang menonjol untuk
mengurangi hak orang lain dan untuk mengalahkannya.
d. Memuji
Memuji termasuk akhlak tercela karena membahayakan diri sendiri dan orang
yang dipuji. Meskipun memuji seperti kata yang positif, namun perbuatan
tersebut termasuk kategori akhlak tercela. Memuji biasa dilakukan oleh pegawai
negeri di depan atasannya, dan juga biasa dilakukan oleh seseorang di depan
orang kaya.
e. Bergurau
Keterlaluan dalam bergurau akan memperbanyak tawa yang mengakibatkan
(a)kematian hati, (b)menimbulkan rasa dendam, dan (c)menjatuhkan kehormatan
serta kewibawaan. Bergurau tidak mutlak dilarang karena ada kalanya
diperlukan. Jika dilakukan pada waktu tertentu dan tidak berlebihan serta tidak
33
dijadikan kebiasaan, misalnya dengan isteri dan anak guna menyenangka
mereka.
3. Hasad
Hasad atau dengki juga iri hati merupakan akar dari semua penyakit hati. Karena
sifat ini merupakan manifestasi dosa pertama serta penyebab pertama ketidakpatuhan
terhadap Allah. Sebagaimana sifat setan yang tidak mau mematuhi perintah Allah untuk
memberi hormat kepada Nabi Adam As karena ia merasa iri hati terhadap Nabi Adam
yang dipilih Allah untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Definisi hasad diungkapkan
dalam kitab Ri’ayat al-Himmat, Hasd menurut bahasa berarti dengki, sedangkan istilah
berarti mengharapkan semua kenikmatan Allah yang berada pada orang Islam aeperti
kebijakan ilmu, ibadah yang sah dan jujur, harta ataupun yang semisalnya.66
Mengobati rasa iri hati dalam diri seseorang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
dengan ilmu dan dengan perbuatan. Cara pertama, mengobati iri hati dengan ilmu
adalah dengan menyadari bahwa iri hati yang ada dalam diri seseorang tidak akan
membuat orang yang diiri rugi atau melarat bahkan memberi manfaat kepadanya.
Orang yang iri hati akan memperoleh kerugian sebab semua amal baiknya akan rusak
binasa. Ia akan berhadapan dengan murka Allah karena marah atau tidak senang
terhadap keputusan Allah, serta pelit terhadap kenikmatan Allah yang diberikan kepada
sekalian hamba-Nya. Ini adalah bahaya iri hati ditinjau dari segi agama. Ditinjau dari
segi keduniaan, orang yang iri hati selalu dalam kesusahan dan selalu mendongkol
hatinya. Jika lawan atau rival yang diiri mendapat kenikmatan yang berlebihan, orang
yang iri bertambah sedih. Ia menginginkan agar lawannya mendapat musibah, namun
kenyataan musibah tersebut sebetulnya menimpa dirinya sendiri. Orang yang iri hati
selalu dalam kesusahan dan musibah, terutama jika lawannya mendapat kenikmatan.
Lawan atau rivalnya tetap mendapat manfaat dan tidak mendapatkan kesusahan,
karena iri hati tidak dapat menghancurkan kenikmatan. Cara kedua, pengobatan iri hati
dengan perbuatan, yaitu sebaiknya orang yang iri hati mengetahui hukum dan akibat
yang ditimbulkan, baik ucapan maupun perbuatan. Dengan demikian ia mau melawan
dorongan untuk iri hati, bahkan memuji orang yang diiri, menampakkan rasa senang
terhadap kenikmatan yang diterima seseorang, dan berlaku ”andap asor” atau berendah
hati kepadanya.
4. Cinta Dunia
Cinta Dunia adalah mencintai dunia dengan melalaikan kehidupan akhirat. Menurut
K.H Ahmat Rifa’i hal yang bersifat duniawi adalah “segala sesuatu yang tidak
membawa manfaat diakhirat”. Dan disebut dengan dunia haram dimana tidak
digunakan untuk mendukung taat kepada Allah, sehingga keduniawian itu tidak
bermanfaat untuk kehidupan akhirat.67
5. Takabbur
66 Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hal. 113
67 Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hal. 104
34
Merupakan sikap menyombongkan diri sehingga tidak mau mengakui kekuasaan
Allah ini termasuk mengingkari nikmat Allah yang apa adanya.68 Takabbur juga berarti
merasa atau mengakui dirinya besar yang melebihi orang lain. 69 Perbuatan takabbur
atau menjunjung diri sendiri akan membawa akibat yang sangat merugikan,
mengurangi kedudukan dan martabat di mata umat manusia, serta menjadi penyebab
mendapat murka Allah SWT.70 Takabur pada hakekatnya adalah keadaan seseorang
yang melihat dirinya melebihi orang lain dalam kesempurnaan, sehingga timbul rasa
sombong atau tinggi hati dan bersemangat untuk berbuat jahat karena sifat yang hina.
Hak orang yang selalu beribadah adalah apabila ia melihat kepada orang alim
hendaknya merendahkan diri karena kebodohannya. Bila ia melihat orang fasik
hendaknya menduga barangkali dalam diri orang yang fasik itu ada akhlak tersembunyi
yang dapat menutup kemaksiatannya yang nampak, dan barangkali dalam batin dirinya
sendiri terdapat hasud, riya, ataupun kejahatan yang tersembunyi yang menyebabkan
Allah mengutuknya, sehingga Allah tidak menerima amal perbuatannya yang nampak.
BAB 14
14. TASAWUF MODERN, PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN
PROBLEMATIKANNYA
Pengertian Tasawuf Modern
Arti tasawuf dan asal katanya secara etimologis menjadi pedebatan para
ulama ahli bahasa. Sebagian mengatakan bahwa tasawuf itu diambil dari kata
“shafa” artinya suci bersih. Sebagian lai mengatakan bahwa kata tasawuf itu berasal
dari kata “shuf” yang artinya bulu binatang domba. Sedangkan secara terminologis,
Tasawuf merupakan suatu system latihan dengan penuh kesungguhan untuk
membersihkan, mempertinggi dan memperdalam nilai –nilai kerohanian dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga segala konsentrasi seseorang dapat
tertuju pada –Nya.
Menurut HAMKA dalam bukunya yang lain seperti Tasawuf Modern.
Hamka menjelaskan bahwa, “Kita tegakkan maksud semula dari tasawuf yaitu
membersihkan jiwa, medidik dan mempertinggikan derajat budi, menekan segala
keperluan diri”. Terdapat juga dalam buku “Tasawuf dari Abad ke Abad”, di mana
Hamka menjelaskan definisi tasawuf sebagai, “Orang yang membersihkan jiwa dari
pengaruh benda dan alam, supaya dia mudah menuju Tuhan.
Dari definisi yang dijelaskan Hamka di atas, dapatlah kita melihat kesamaan
misi antara Tazkiyatun Nafs dan tasawuf di mana keduanya menginginkan sebuah
upaya yang satu yaitu, pembersihan diri atau jiwa seseorang dari perangai buruk
dan dosa yang di anggap buruk oleh syari’at Islam.71
Ruang Lingkup Ilmu Tasawuf
35
Tasawuf adalah nama lain dari “Mistisisme dalam islam”. Di kalangan
orientalis barat dikenal dengan sebutan “Sufisme”. Kata “Sufisme” merupakan
istilah khusus mistisisme islam. Sehingga kata “sufisme” tidak ada pada mistisisme
agama -agama lain.
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari
Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran,
bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju
kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui
cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan
Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu) dengan Tuhan. Demikian ini menjadi inti
persoalan “Sofisme” baik pada agama islam maupun di luarnya.
Dengan pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa “tasawuf/mistisisme
islam” adalah suatu ilmu yang mempelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat
mudah berada di hadirat Allah SWT (Tuhan). Maka gerakan “kejiwaan” penuh
dirasakan guna memikirkan betul suatu hakikat kontak hubung yang mampu
menelaah informasi dari Tuhannya.
Tasawuf atau mistisisme dalam islam beresensi pada hidup dan berkembang
mulai dari bentuk hidup “kezuhudan”atau menjauhi kehidupan duniawi. Tujuan
tasawuf untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan maksud ada
perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah
yang diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena
belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi. Dengan demikian, maka
tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah hal-hal yang
berkenaan dengan upaya-upaya/cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara langsung dari
Tuhan.72
Problematika Masyarkat Modern
Kemajuan di bidang teknologi pada zama modern ini telah membawa
manusia ke dalam dua sisi, yaitu bisa memberi nilai positif, tapi pada sisi lain ada
juga yang negative. Efek positifnya dapat meningkatkan keragaman budaya melaui
penyediaan informasi yang menyeluruh sehingga memberikan orang kesempatan
untuk mengembangkan dan meningkatkan produksi. Sedangkan efek negatifnya
akan berbahaya jika berada di tangan orang yang secara mental dan keyakinan
belum kuat, mereka dapat menyalahgunakan teknologi untuk tujuan yang bisa
berbahaya bagi ornag lain. Menurut Sayyed Hossein Nasr, seorang ilmuwan Iran
berpandangan bahwa manusia modern dengan kemajuan teknologi dan
pengetahuannya telah tercebur dalam lembah pemujaan terhadap pemenuhan
materi semata namun tidak mampu menjawab permasalahan kehidun yang sedang
dihadapinya. Kehidupan yang dilandasi kebaikan tidaklah bisa hanya bertumpu
36
pada materi melainan pada dimensi spiritual. Jika hal tersebut tidak diimbangi maka
akibatnya jiwa pun menjadi kering dan hampa. Semua itu adalah pengaruh dari
sekularisme barat, yang manusia mencoba hidup dengan alam yang tak kasat mata.
37
membiarkannya perluasan ilmu ilmu yang hanya mengandalkan fakta-fakta
empirik, obyektif, rasional, dan terbatas.
3. Penyalahgunaan Iptek
Akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikatan
spiritual, karena telah disalahgunakan dengan segala macam negatif.
Kemampuan itu membuat senjata telah diarahkan untuk tujuan penjajahan
satu bangsa atau bangsa yang agresif untuk menghancurkan Negara dan lain
sebagainya.
4. Pendangkalan Iman
Akibat lain dari pola pikiran keilmuan tersebut, khususnya ilmu-ilmu
yang hanya mengakui fakta-fakta yang bersifat menyebabkan manusia
dangkal imannya, karena ia tidak percaya akan adanya wahyu, sebab ia
menganggap itu hak yang tidak masuk akal atau dianggap remeh.
5. Pola Hubungan Materialistik
Pola hubungan satu dengan hubungan yang lainnya dapat
memberikan keuntungan yang bersifat material. Demikian pula
penghormatan yang diberikan seseorang atas orang lain banyak diukur oleh
sejauh mana orang tersebut dapat memberikan manfaat secara material.
Akibatnya ia menempatkan pertimbangan material di atas pertimbngan akal
sehat, hati nurani, kemanusian dan imannya.
73 Mughfar Jawad, “Problematika Masyarakat Modern dan Perlunya Ahlak Tasawuf”, hal 6-8
38
DAFTAR PUSTAKA
Liyanti, Lita, Andi Sulistyo, Fitria Nur Aini. 2016. Tasawuf Modern, Surakarta.
Banyroshe Sam. 2014. Membahas Pengertian dan Ruang Lingkup Tasawuf.
Mughfar Jawad. 2014. Problematika Masyarakat Modern dan Perlunya Ahlak Tasawuf. Bandung.
Salamuddin. 2007. Teologi Islam Warisan Pemikir Muslin Klasik. Perdana Publishing: Medan.
Asnani, Mahdi. 2018. Makna iman islam dan kufur. An-nas : jurnal humaniora, Yogyakarta.
vol 8.
Hasiah. 2013. Pemahaman Tentang Nifak dan Syirik. Jurnal Darul Ilmi. Padangsidimpuan, vol
1.
39
Farah, Naila. 2018. Konsep Ima Islam dan Ihsan. jurnal Rausyan Fikr . Cirebon.
Rakhman, Alwi Bani . 2011. Teologi sosial : keniscayaan keberagaman yang islami berbasis
kemanusiaan, jurnal ESENSIA UIN Sunan kalijaga .Yogyakarta.
Arnesih. 2016. Konsep takdir dalam Al-Quran, Diya al-Afka. Yogyakarta, vol. 4 no.1
Dazuki, Hafizh . 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtar Baru Van Hoeve.
Shihab, Qurish. 2001. Logika Agama. Jakarta: Lentera Hati.
Ash- Shiddieqy, Prof. TM. Hasby . 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an/ Tafsir, Jakarta.:
Bulan Bintang,
Abdul Djalal, Prof, Ulumul Qur’an. 1990. Dunia Ilmu. Surabaya.
Arifin, Muhammad. Subtantia. jurnal Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry,
Banda Aceh, vol. 16 no. 1
Ilmi, Syaiful. 2017. Konsep pengentasan kemiskinan perspektif islam, Al-Maslahah, jurnal
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Pontianak, 2017, vol. 13 no. 1
Mulyono dan Bashori, 2010. Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, Malang: UIN-MALIKI PRESS.
Wahab, Imam Muhammad ibn Abdul. 2004. Tauhid, Yogyakarta : Mitra Pustaka.
al-jibrin, Syaikh abdullah bin abdul aziz .2006. Cara Mudah Memahami Aqidah. Jakarta:
pustaka at-tazkia.
Asmaran. 1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hamid, Abu dan Syaikh Yusuf Ulama. 1994. Sufi, dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor.
Rosihon Anwar, Solihin. 2014. Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2011. Tasawuf Islam dan Akhlak .Jakarta: Amzah.
M. Solihin dan M. Rosyid Anwar. 2005. Akhlak Tasawuf . Bandung: Penerbit Nuansa.
Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya.
Kartanegara, Mulyadi, 2006, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta:Erlangga.
Nasution, Harun. 1973, Filsafat dan Mistitisme dalam islam, Jakarta,:Bulan bintang
Ris’an, Rusli. 2013 Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Hajriansyah. 2017. “AKHLAK TERPUJI DAN YANG TERCELA, Telaah singkat Ihya’
Ulumuddin Jilid III”, Jurnal NALAR Vol 1, No 1.
Kementrian Agama Republik Indonesia. 2013. Buku Siswa Akidah Akhlak Pendekatan Saintifik
Kurikulum. Jakarta: Kementrian Agama, Jakarta.
40
Mahalli, A. Mudjab. 1984. Pembinaan Moral Di MATA al-Ghazali. Yogyakarta: BPFE.
41