Anda di halaman 1dari 33

Referat

COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY (CBT) UNTUK MENGATASI


GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF

Oleh:
M.Putra Nur Cahya, S.Ked
NIM : 71 2019009

Pembimbing:
dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ, MARS

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Oleh:
M.Putra Nur Cahya, S.Ked
NIM : 71 2019009

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu KedokteranJiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang

Palembang, November 2020


Dokter Pendidik Klinik

dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ, MARS

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk mengatasi gangguan obsesif-
kompulsif”sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Senior di Departemen Ilmu KedokteranJiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.Shalawat dan salam selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya
sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Aamiin.

Palembang, Juni 2020

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

BAB I. PENDAHULUAN............................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 6
BAB III. KESIMPULAN................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 32

4
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan obsesif-kompulsif merupakan sebuah gangguan kecemasan di


mana orang memiliki keinginan yang tidak diinginkan dan diulang, perasaan, ide,
sensasi (obsesi) atau tingkah laku yang membuat mereka selalu ingin melakukan
sesuatu (kompulsif).1
Istilah obsesi menunjuk pada suatu ide atau bayangan mental yang
mendesak ke dalam pikiran secara berulang. Pikiran atau bayangan obsesi dapat
kekhawatiran yang biasa tentang apakah pintu sudah dikunci atau belum sampai
fantasi aneh dan menakutkan tentang bertindak kejam terhadap orang yang
disayangi. Istilah kompulsi menunjuk pada dorongan atau impuls yang tidak dapat
ditahan untuk melakukan sesuatu. Sering suatu pikiran obsesif mengakibatkan
suatu tindakan kompulsif. Tindakan kompulsif dapat berupa berulang kali
memeriksa pintu yang terkunci, kompor yang sudah mati atau menelepon orang
yang dicintai untuk memastikan keselamatannya.2
Cognitive behavior therapy adalah sebuah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan intervensi psikoterapeutik yang bertujuan untuk mengurangi distres
psikologis dan perilaku maladaptif dengan mengubah proses kognitif. CBT
memiliki asumsi dasar bahwa afek dan perilaku sebagian besar merupakan produk
kognisi, oleh karena itu intervensi kognitif dan perilaku dapat membawa
perubahan pada pemikiran, perasaan, dan perilaku. Cognitive Behavior Therapy
untuk mengatasi gangguan Obsesif-Kompulsif. Mendasarkan pada perspektif kognitif
dan perilaku, teknik yang umumnya diterapkan untuk mengatasi gangguan
obsesif-kompulsif adalah exposure with response prevention.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
           Gangguan obsesif-kompulsif adalah suatu contoh dari efek positif dimana
penelitian moderen telah menemukan gangguan di dalam waktu singkat. Pada
awal tahun 1980-an gangguan obsesif-kompulsif dianggap sebagai gangguan yang
jarang dan berespon buruk terhadap terapi. Sekarang diketahui bahwa gangguan
obsesif-kompulsif adalah sering ditemukan dan sangat responsif terhadap terapi.3
Suatu obsesi adalah pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang mengganggu
(intrusif). Suatu kompulsi adalah pikiran atau perilaku yang disadari, dibakukan
dan rekuren, seperti menghitung, memeriksa atau menghindari. Obsesi
meningkatkan kecemasan seseorang sedangkan melakukan kompulsi menurunkan
kecemasan seseorang tetapi jika seseorang memaksa untuk melakukan suatu
kompulsi, kecemasan adalah meningkat. Seseorang dengan gangguan obsesif-
kompulsif biasanya menyadari irasionalitas dari obsesi dan merasakan bahwa
obsesi dan kompulsi sebagai ego-distonik. Gangguan obsesif-kompulsif dapat
merupakan gangguan yang menyebabkan ketidakberdayaan karena obsesi dapat
menghabiskan waktu dan dapat mengganggu secara bermakna pada rutinitas
normal seseorang, fungsi pekerjaan, aktivitas sosial yang biasanya atau hubungan
dengan teman dan anggota keluarga.3

B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi seumur hidup gangguan obsesif-kompulsif pada populasi umum
diperkirakan adalah 2 sampai 3 persen dimana pria dan wanita memiliki resiko
sama. Beberapa peneliti telah memperkirakan bahwa gangguan obsesif-kompulsif
ditemukan pada sebanyak 10 persen pasien rawat jalan di klinik psikiatrik. Angka
tersebut menyebabkan gangguan obsesif-kompulsif sebagai diagnosis psikiatrik
tersering yang keempat setelah fobia, gangguan berhubungan zat, dan gangguan
depresif berat. Penelitian epidemiologis di Eropa, Asia, dan Afrika telah
menegakkan angka tersebut melewati ikatan kultural.3,4

6
Untuk orang dewasa, laki-laki dan wanita sama mungkin terkena; tetapi
untuk remaja, laki-laki lebih sering terkena gangguan obsesif-kompulsif
dibandingkan perempuan. Usia onset rata-rata adalah kira-kira 20 tahun walaupun
laki-laki memiliki onset usia yang agak lebih awal (rata-rata sekitar usia 19 tahun)
dibandingkan wanita (rata-rata sekitar 22 tahun). Secara keseluruhan, kira-kira
duapertiga dari pasien memiliki onset gejala sebelum usia 25 tahun, dan kurang
dari 15 persen pasien memiliki onset gejala setelah usia 35 tahun. Gangguan
obsesif-kompulsif dapat memiliki onset pada remaja atau masa anak-anak pada
beberapa kasus dapat pada usia 2 tahun. Orang yang hidup sendirian lebih banyak
terkena gangguan obsesif-kompulsif dibandingkan orang yang menikah, walaupun
temuan tersebut kemungkinan mencerminkan kesulitan yang di miliki pasien
dengan gangguan obsesif-kompulsif dalam mempertahankan suatu hubungan.
Gangguan obsesif-kompulsif ditemukan lebih jarang diantara golongan kulit
hitam dibandingkan kulit putih walaupun tersedianya jalur ke pelayanan kesehatan
dapat menjelaskan sebagian besar variasi tersebut ketimbang perbedaan prevalensi
antara ras-ras. 3
Pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif umumnya dipengaruhi oleh
gangguan mental lain. Prevalensi seumur hidup untuk gangguan depresif berat
pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif adalah kira-kira 67 persen dan
untuk fobia sosial adalah 25 persen. Diagnosis psikiatrik komorbid lainnya pada
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif adalah gangguan pengaruh alkohol,
fobia spesifik, gangguan panik, dan gangguan makan.3
Pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif biasanya merupakan orang-
orang yang sukses, pemalu, keras kepala, perfeksionis, suka menghakimi, sangat
berhati-hati, kaku, dan pencemas yang kronis yang menghindari keintiman dan
hanya menikmati sedikit kesenangan dalam hidupnya. Mereka suka bimbang dan
banyak permintaannya dan sering kali dianggap sebagai orang yang dingin,
pendiam, dan tidak ramah. 5

7
C. ETIOLOGI
1. Faktor Biologis
a. Neurotransmiter
Banyak uji coba kinis yang telah dilakukan terhadap
berbagai obat mendukung hipotesis bahwa suatu disregulasi
serotonin adalah terlibat di dalam pembentukan gejala obsesi dan
kompulsi dari gangguan. Data menunjukkan bahwa obat
serotonergik lebih efektif dibandingkan obat yang mempengaruhi
sistem neurotransmiter lain. Tetapi apakah serotonin terlibat di
dalam penyebab gangguan obsesif-kompulsif adalah tidak jelas
pada saat ini. Penelitian klinis telah mengukur konsentrasi
metabolit serotonin sebagai contohnya, 5-hydroxyndoleacetic acid
(5-HIAA) di dalam cairan serebrospinal dan afinitas sertai jumlah
tempat ikatan trombosit pada pemberian imipramine(yang
berikatan dengan tempat ambilan kembali serotonin) dan telah
melaporkan berbagai temuan pengukuran tersebut pada pasien
dengan gangguan obsesif-kompulsif. Beberapa penelitian telah
mengatakan bahwa sistem neurotransmiter kolinergik dan
dopaminergik pada pasien gangguan obsesif-kompulsif adalah dua
bidang penelitian riset untuk di masa depan.3

b. Penelitian pencitraan otak


Berbagai penelitian pencitraan otak fungsional, sebagai
contoh PET (positron emission tomography), telah menemukan
peningkatan aktifitas (sebagai contoh, metabolisme dan aliran
darah) di lobus frontalis, ganglia basalis (khususnya kaudata), dan
singulum pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Baik
tomografi komputer (CT scan) dan pencitraan resonansi magnetik
(MRI) telah menemukan adanya penurunan ukuran kaudata secara
biateral pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Baik
penelitian pencitraan otak fungsional maupun struktural konsisten

8
dengan pengamatan bahwa prosedur neurologis yang melibatkan
singulum kadang-kadang efektif dalam pengobatan pasien dengan
gangguan obsesif-kompulsif. Suatu penelitian MRI baru-baru ini
melaporkan peningkatan waktu relaksasi T1 di korteks frontalis. 3

c. Genetika
Penelitian kesesuaiaan pada anak kembar untuk gangguan
obsesif-kompulsif telah secara konsisten menemukan adanya angka
kesesuaian yang lebih tinggi secara bermakna pada kembar
monozigotik dibandingkan kembar dizigotik. Penelitian keluarga
pada pasien gangguan obsesif kompulsif telah menemukan bahwa
35 persen sanak saudara derajat pertama pasien gangguan obsesif-
kompulsif juga menderita gangguan. 3

d. Data biologis lainnya
Penelitian elektrofisiologis, penelitian elektroensefalogram 
(EEG) tidur, dan penelitian neuroendokrin telah menyumbang data
yang menyatakan adanya kesamaan antara gangguan depresif dan
gangguan obsesif-kompulsif. Suatu insidensi kelainan EEG
nonspesifik yang lebih tinggi dari biasanya telah ditemukan pada
pasien gangguan obsesif-kompulsif. Penelitian EEG tidur telah
menemukan kelainan yang mirip dengan yang terlihat pada
gangguan depresif, seperti penurunan latensi REM (rapid eye
movement). Penelitian neuroendokrin juga telah menemukan
beberapa kemiripan dengan gangguan depresif, seperti nonsupresi
pada dexamethasone-suppression test pada kira-kira sepertiga
pasien dan penurunan sekresi hormon pertumbuhan pada infus
clonidine (catapres). 3

2. Faktor Perilaku
Menurut ahli teori belajar, obsesi adalah stimuli yang dibiasakan.
Stimulus yang relatif netral menjadi disertai dengan ketakutan atau

9
kecemasan melalui proses pembiasaan responden dengan
memasangkannya dengan peristiwa yang secara alami adalah berbahaya
atau menghasilkan kecemasan. Jadi, objek dan pikiran yang sebelumnya
netral menjadi stimuli yang terbiasakan yang mampu menimbulkan
kecemasan atau gangguan. 3
Kompulsi dicapai dalam cara yang berbeda. Seseorang menemukan
bahwa tindakan tertentu menurunkan kecemasan yang berkaitan dengan
pikiran obsesional. Jadi, strategi menghindar yang aktif dalam bentuk
perilaku kompulsif atau ritualistik dikembangkan untuk mengendalikan
kecemasan. Secara bertahap, karena manfaat perilaku tersebut dalam
menurunkan dorongan sekunder yang menyakitkan (kecemasan), strategi
menghindar menjadi terfiksasi sebagai pola perilaku kompulsif yang
dipelajari. 3

3. Faktor Psikososial
a. Faktor kepribadian
Gangguan obsesif-kompulsif adalah berbeda dari gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif. Sebagian besar pasien gangguan
obsesif-kompulsif tidak memiliki gejala kompulsif pramorbid.
Dengan demikian, sifat kepribadian tersebut tidak diperlukan atau
tidak cukup untuk perkembangan gangguan obsesif-kompulsif.
Hanya kira-kira 15 sampai 35 persen pasien gangguan obsesif-
kompulsif memiliki sifat obsesional pramorbid.3

b. Faktor psikodinamika
Sigmund Freud menjelaskan tiga mekanisme pertahanan
psikologis utama yang menentukanbentuk dan kualitas gejala dan
sifat karakter obsesif-kompulsif; isolasi, meruntuhkan (undoing),
dan pembentukan reaksi. 3
1) Isolasi
Isolasi adalah mekanisme pertahanan yang
melindungi seseorang dari afek dan impuls yang

10
mencetuskan kecemasan. Jika terjadi isolasi, afek dan
impuls yang didapatkan darinya adalah dipisahkan dari
komponen idesional dan dikeluarkan dari kesadaran. Jika
isolasi berhasil sepenuhnya, impuls dan afek yang terkait
seluruhnya terepresi, dan pasien secara sadar hanya
menyadari gagasan yang tidak memiliki afek yang
berhubungan dengannya. 3

2) Undoing
Karena adanya ancaman terus-menerus bahwa
impuls mungkin dapat lolos dari mekanisme primer isolasi
dan menjadi bebas, operasi pertahanan sekunder diperlukan
untuk melawan impuls dan menenangkan kecemasan yang
mengancam keluar ke kesadaran. Tindakan kompulsif
menyumbangkan manifestasi permukaan operasi defensif
yang ditujukan untuk menurunkan kecemasan dan
mengendalikan impuls dasar yang belum diatasi secara
memadai oleh isolasi. Operasi pertahanan sekunder yang
cukup penting adalah mekanisme meruntuhkan (undoing).
Seperti yang disebutkan sebelumnya, meruntuhkan adalah
suatu tindakan kompulsif yang dilakukan dalam usaha
untuk mencegah atau meruntuhkan akibat yang secara
irasional akan dialami pasien akibat pikiran atau impuls
obsesional yang menakutkan. 3

3) Pembentukan reaksi
Pembentukan reaksi melibatkan pola perilaku yang
bermanifestasi dan sikap yang secara sadar dialami yang
jelas berlawanan dengan impuls dasar. Seringkali, pola

11
yang terlihat oleh pengamat adalah sangat dilebih-lebihkan
dan tidak sesuai. 3

4) Faktor psikodinamik lainnya


Pada teori psikoanalitik klasik, gangguan obsesif-
kompulsif dinamakan neurosis obsesif-kompulsif dan
merupakan suatu regresi dari fase perkembangan oedipal ke
fase psikoseksual anal. Jika pasien dengan gangguan
obsesif-kompulsif merasa terancam oleh kecemasan tentang
pembalasan dendam atau kehilangan objek cinta yang
penting, mereka mundur dari fase oedipal dan beregresi ke
stadium emosional yang sangat ambivalen yang
berhubungan dengan fase anal. Adanya benci dan cinta
secara bersama-sama kepada orang yang sama
menyebabkan pasien dilumpuhkan oleh keragu-raguan dan
kebimbangan. Suatu ciri yang melekat pada pasien dengan
gangguan obsesif-kompulsif adalah derajat dimana mereka
terpaku dengan agresi atau kebersihan, baik secara jelas
dalam isi gejala mereka atau dalam hubungan yang terletak
di belakangnya. Dengan demikian, psikogenesis gangguan
obsesif-kompulsif, mungkin terletak pada gangguan dan
perkembangan pertumbuhan normal yang berhubungan
dengan fase perkembangan anal-sadistik. 3

5) Ambivalensi
Ambivalensi adalah akibat langsung dari perubahan
dalam karakteristik kehidupan impuls. Hal ini adalah ciri
yang penting pada anak normal selama fase perkembangan
anal-sadistik; yaitu anak merasakan cinta dan kebencian
kepada suatu objek. Konflik emosi yang berlawanan
tersebut mungkin ditemukan pada pola perilaku melakukan-

12
tidak melakukan pada seorang pasien dan keragu-raguan
yang melumpuhkan dalam berhadapan dengan pilihan. 3
6) Pikiran magis
Pikiran magis adalah regresi yang mengungkapkan
cara pikiran awal, ketimbang impuls; yaitu fungsi ego, dan
juga fungsi id, dipengaruhi oleh regresi. Yang melekat pada
pikiran magis adalah pikiran kemahakuasaan. Orang
merasa bahwa mereka dapat menyebabkan peristiwa di
dunia luar terjadi tanpa tindakan fisik yang
menyebabkannya, semata-mata hanya dengan berpikir
tentang peristiwa tersebut. Perasaan tersebut menyebabkan
memiliki suatu pikiran agresif akan menakutkan bagi
pasien gangguan obsesif-kompulsif. 3

D. GEJALA KLINIS
Obsesif dan kompulsi memiliki ciri tertentu secara umum:
1. Suatu gagasan atau impuls yang memaksakan dirinya secara
bertubi-tubi dan terus-menerus ke dalam kesadaran seseorang.
2. Suatu perasaan ketakutan yang mencemaskan yang menyertai
manifestasi sentral dan seringkali menyebabkan orang
melakukan tindakan kebalikan melawan gagasan atau impuls
awal.
3. Obsesi dan kompulsi adalah asing bagi ego (ego-alien), yaitu
dialami sebagai suatu yang asing bagi pengalaman seseorang
tentang dirinya sendiri sebagai makhluk psikologis.
4. Tidak peduli bagaimana jelas dan memaksanya obsesi atau
kompulsi tersebut, orang biasanya menyadarinya sebagai
mustahil dan tidak masuk akal.
5. Orang yang menderita akibat obsesi dan kompulsi biasanya
merasakan suatu dorongan yang kuat untuk menahannya. 3

13
Gambaran obsesi dan kompulsi adalah heterogen pada dewasa, pada
anak-anak dan remaja. Gejala pasien individual mungkin bertumpang tindih dan
berubah dengan berjalannya waktu, tetapi gangguan obsesif-kompulsif memiliki
empat pola gejala yang utama. Pola yang paling sering ditemukan adalah suatu
obsesi tentang kontaminasi, diikuti oleh mencuci disertai penghindaran obsesif
terhadap objek yang kemungkinan terkontaminasi. Objek yang ditakuti seringkali
sukar untuk dihindari, sebagai contoh feses, urin, debu atau kuman. Pasien
mungkin secara terus-menerus menggosok kulit tangannya dengan mencuci
tangan secara berlebihan atau mungkin tidak mampu pergi keluar rumah karena
takut akan kuman. Walaupun kecemasan adaloah respon emosional yang paling
sering terhadap objek yang ditakuti, rasa malu dan rasa jijik yang obsesif juga
sering ditemukan. Pasien dengan obsesi kontaminasi biasanya percaya bahwa
kontaminasi ditularkan dari objek ke objek atau orang ke orang oleh kontak
ringan. 3
Pola kedua yang sering adalah obsesi keragu-raguan, diikuti oleh
pengecekan yang kompulsi. Obsesi seringkali melibatkan suatu bahaya kekerasan,
seperti lupa mematikan kompor atau tidak mengunci pintu. Pengecekan tersebut
mungkin menyebabkan pasien pulang beberapa kali ke rumah untuk memeiksa
kompor. Pasien memiliki keragu-raguan terhadap diri sendiri yang obsesional,
saat mereka selalu merasa bersalah karena melupakan atau melakukan sesuatu. 3
Pola ketiga yang tersering adalah pola dengan pikiran semata-mata
pikiran obsesional yang mengganggu tanpa suatu kompulsi. Obsesi tersebut
biasanya berupa pikiran berulang akan suatu tindakan seksual atau agresi yang
dicela oleh pasien. 3
Pola keempat yang tersering adalah kebutuhan akan simetrisitas atau
ketepatan, yang dapat menyebabkan perlambatan kompulsi. Pasien secara harfiah
menghabiskan waktu berjam-jam untuk makan atau mencukur wajahnya.
Penumpukan obsesi dan kompulsi religius adalah sering pada pasien obsesif-
kompulsif. Trichotillomania (menarik rambut kompulsif) dan menggigit kuku
mungkin merupakan kompulsi yang berhubungan dengan gangguan obsesif-
kompulsif. 3

14
Terdapat juga beberapa gangguan yang biasa merupakan bagian
merupakan bagian dari atau dengan kuat dihubungkan dengan spectrum GOK
(gangguan gangguan obsesif-kompulsif)
1. Gangguan dismorfik tubuh (body Dysmorphic Disorder)
Pada gangguan ini orang terobsesi dengan keyakinan bahwa
mereka buruk rupa atau bagian tubuh mereka berbentuk tidak
normal.
2. Trikhotilomania
Orang dengan Trikhotilomania terus menerus mencabuti
rambut mereka sehingga timbul daerah-daerah botak.
3. Sindrom Tourettes
Gejala sindrom Tourettes meliputi gerakan yang pendek
dan cepat, tik dan ucapan kata-kata kotor yang tak terkontrol. 2

E. DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif-kompulsif menurut DSM IV:
1. Salah satu obsesi atau kompulsi
Obsesi seperti yang didefinisikan sebagai berikut:
a. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan yang
rekuren dan persisten yang dialami, pada suatu saat
dimana selama gangguan, sebagai intrusif dan tidak
sesuai, dan menyebabkan kecemasan dan
penderitaan yang jelas.
b. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan tidak
semata-mata kekhawatiran yang berlebihan tentang
masalah kehidupan yang nyata.
c. Orang berusaha untuk mengabaikan atau
menekan pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan
tersebut untuk mentralkannya dengan pikiran atau
tindakan lain.

15
d. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau
bayangan-bayangan obsesional adalah keluar dari
pikirannya sendiri (tidak disebabkan dari luar
seperti penyisipan pikiran).

Kompulsi seperti yang didefinisikan sebagai berikut:


a. Perilaku (misalnya, mencuci tangan,
mengurutkan, memeriksa) atau tindakan mental
(misalnya berdoa, menghitung, mengulangi kata-
kata dalam hati) yang berulang yang dirasakannya
mendorong untuk melakukannya sebagai respon
terhadap suatu obsesi, atau menurut dengan aturan
yang harus dipatuhi secara kaku.
b. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk
mencegah atau menurunkan penderitaan atau
mencegah suatu kejadian atau situasi yang
menakutkan, tetapi perilaku atau tindakan mental
tersebut tidak dihubungkan dengan cara yang
realistik dengan apa mereka dianggap untuk
menetralkan atau mencegah, atau jelas berlebihan.

2. Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah


menyadari bahwa obsesi atau kompulsi adalah berlebihan atau
tidak beralasan. Catatan: ini tidak berlaku bagi anak-anak
a. Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaan yang
jelas, menghabiskan waktu (menghabiskan lebih dari satu
jam sehari), atau secara bermakna mengganggu rutinitas
normal orang, fungsi pekerjaan (atau akademik) atau
aktivitas atau hubungan sosial yang biasanya.
b. Jika terdapat gangguan aksis I lainnya, isi obsesi atau
kompulsi tidak terbatas padanya (misalnya preokupasi

16
dengan makanan jika terdapat gangguan makan, menarik
rambut jika terdapat trikotilomania, permasalahan pada
penampilan jika terdapat gangguan dismorfik tubuh,
preokupasi dengan obat jika terdapat suatu gangguan
penggunaan zat, preokupasi dengan menderita suatu
penyakit serius jika terdapat hipokondriasis, preokupasi
dengan dorongan atau fanatasi seksual jika terdapat
parafilia, atau perenungan bersalah jika terdapat gangguan
depresif berat).
c. Tidak disebabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya
obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis
umum. Sebutkan jika: Dengan tilikan buruk: jika selama
sebagian besar waktu selama episode terakhir, orang tidak
menyadari bahwa obsesi dan kompulsi adalah berlebihan
atau tidak beralasan. 3

Pedoman diagnosis menurut PPDGJ III:


1. Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau
tindakan kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap
hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut.
2. Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau
mengganggu aktivitas penderita.
3. Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.
b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak
berhasil dilawan meskipun ada lainnya yang tidak lagi
dilawan oleh penderita.
c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan
merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan
(sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak
dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud di atas.

17
d. Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus
merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan
(unpleasantly repetitive).

4. Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif,


dengan depresi. penderita gangguan obsesif kompulsif seringkali
juga menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita
gangguan depresi berulang dapat menunjukkan pikiran-pikiran
obsesif selama episode depresifnya. Dalam berbagai situasi dari
kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya gejala depresif
umumnya dibarengi secara paralel dengan perubahan gejala
obsesif. Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka
diagnosis diutamakan dari gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakkan hanya bila tidak
ada gangguan depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut
timbul. Bila dari keduanya tidak adayang menonjol, maka baik
menganggap depresi sebagai diagnosis yang primer. Pada
gangguan menahun maka prioritas diberikan pada gejala yang
paling bertahan saat gejala yang lain menghilang.
5. Gejala obsesif ”sekunder” yang terjadi pada gangguan
skizofrenia, sindrom Tourette, atau gangguan mental organk, harus
dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut. 6

F42.0 Predominan Pikiran Obsesif atau Pengulangan


Pedoman Diagnostik
1. Keadaan ini dapat berupa gagasan, bayangan pikiran, atau
impuls (dorongan perbuatan), yang sifatnya mengganggu (ego
alien)
2. Meskipun isi pikiran tersebut berbeda-beda, umumnya hampir
selalu menyebabkan penderitaan (distress) 6

18
F42.1 Predominan Tindakan Kompulsif (obsesional ritual)
Pedoman Diagnostik
1. Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan kebersihan
(khususnya mencuci tangan), memeriksa berulang untuk
meyakinkan bahwa suatu situasi yang dianggap berpotensi bahaya
terjadi, atau masalah kerapian dan keteraturan. Hal tersebut
dilatarbelakangi perasaan takut terhadap bahaya yang mengancam
dirinya atau bersumber dari dirinya, dan tindakan ritual tersebut
merupakan ikhtiar simbolik dan tidak efektif untuk menghindari
bahaya tersebut.
2. Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita banyak waktu
sampai beberapa jam dalam sehari dan kadang-kadang berkaitan
dengan ketidakmampuan mengambil keputusan dan kelambanan. 6

F42.2 Campuran Pikiran dan Tindakan Obsesif


Pedoman Diagnostik
1. Kebanyakan dari penderita obsesif kompulsif memperlihatkan
pikiran obsesif serta tindakan kompulsif. Diagnosis ini digunakan
bialmana kedua hal tersebut sama-sama menonjol, yang umumnya
memang demikian.
2. Apabila salah satu memang jelas lebih dominan,sebaiknya
dinyatakan dalam diagnosis F42.0 atau F42.1. hal ini berkaitan
dengan respon yang berbeda terhadap pengobatan. Tindakan
kompulsif lebih respondif terhadap terapi perilaku. 6

F42.8 Gangguan Obsesif Kompulsif Lainnya


F42.9 Gangguan Obsesif Kompulsif YTT 6

F. TERAPI

Cognitive Behavior Therapy

19
Cognitive Behavior Therapy untuk mengatasi gangguan Obsesif-
Kompulsif. Mendasarkan pada perspektif kognitif dan perilaku, teknik
yang umumnya diterapkan untuk mengatasi gangguan obsesif-kompulsif
adalah exposure with response prevention. Pasien dihadapkan pada situasi
dimana ia memiliki keyakinan bahwa ia harus melakukan tingkah laku
ritual yang biasa dilakukannya namun mereka cegah untuk tidak
melakukan ritual itu. Jika klien dapat mencegah untuk tidak melakukan
ritual tersebut dan ternyata sesuatu yang mengerikannya tidak terjadi. Hal
ini dapat membantu dalam mengubah keyakinan individu akan tingkah
laku ritual. Teknik lain berupa terapi kognitif dimana mengajarkan jalan
terbaik dan efektif untuk merespon pikiran obsesif tanpa perlu sampai ke
kompulsif. 8
Prosedur Cognitive Behavior Therapy

Pertama, latihan relaksasi, berupa relaksasi otot progresif untuk


belajar menegangkan dan mengendurkan bermacam-macam kelompok
otot serta belajar memperhatikan perbedaan antara rasa tegang dan rileks.
Kedua, restrukturisasi kognitif, prosedur terapi untuk mengurangi tingkat
kecemasan subyek yang disebabkan oleh pemikiran-pemikiran negatif
dan menggantikannya dengan pemikiran-pemikiran yang lebih positif,
dan. Ketiga, Exposure with response prevention untuk mengatasi
gangguan obsesif-kompulsif. Subyek dihadapkan pada situasi dimana ia
memiliki keyakinan bahwa ia harus melakukan tingkah laku ritual yang
biasa dilakukannya (bila tidak akan menimbulkan “bahaya”) namun
mereka dicegah untuk tidak melakukan ritual itu. Jika Subyek dapat
mencegah untuk tidak melakukan ritual tersebut dan ternyata sesuatu
yang mengerikannya tidak terjadi, hal ini dapat membantu dalam
mengubah keyakinan individu akan tingkah laku ritual tadi.
Penilaian dan Pengukuran

Penilaian dan pengukuran dilakukan sebelum treatmen (pra


terapi), selama terapi berlangsung, segera setelah keseluruhan terapi

20
selesai diberikan (pasca terapi), dan terakhir pada tahap tindak lanjut
(setelah terapi dihentikan). Penilaian dan pengukuran sebelum terapi
dilakukan untuk mengetahui bagaimana pola pemikiran obsesif dan
tingkah laku kompulsif subyek yang selama ini dilakukan. Penilaian
selama terapi dilakukan terus menerus pada setiap sesi selama terapi
berlangsung dimulai setelah teknik relaksasi dan restrukturisasi kognitif
diberikan yaitu apakah subyek mampu menghasilkan alternatif-alternatif
pemikiran yang semula negatif menjadi lebih positif. Pencatatan dan
pengukuran selama exposure mengacu pada identifikasi pemikiran
obsesif dan tingkah laku kompulsif yang telah dibuat pada pertemuan
awal terapi. Dengan demikian, akan diketahui apakah ada perubahan
pemikiran obsesif dan tingkah laku kompulsinya.
Penilaian setelah terapi (pasca terapi) dilakukan segera setelah
keseluruhan terapi selesai diberikan. Sedangkan penilaian dan
pengukuran pada tahap tindak lanjut dilakukan dua minggu setelah pasca
terapi (tindak lanjut ke-1) dan satu bulan setelah pasca terapi (tindak
lanjut ke-2). Penilaian dan pengukuran pada tahap tindak lanjut dilakukan
untuk mengetahui apakah perubahan pemikiran obsesif dan tingkah laku
kompulsi subyek yang terjadi selama terapi berlangsung relatif menetap
setelah terapi dihentikan. Proses penilaian dan pengukuran tersebut
dilakukan untuk mengetahui apakah teknik-teknik terapi kognitif-tingkah
laku yang telah diterapkan efektif untuk mengatasi gangguan obsesif-
kompulsif subyek.

A. Definisi Cognitive Behavior Therapy (CBT)


Cognitive behavior therapy adalah sebuah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan intervensi psikoterapeutik yang bertujuan untuk mengurangi
distres psikologis dan perilaku maladaptif dengan mengubah proses kognitif.
CBT memiliki asumsi dasar bahwa afek dan perilaku sebagian besar
merupakan produk kognisi, oleh karena itu intervensi kognitif dan perilaku
dapat membawa perubahan pada pemikiran, perasaan, dan perilaku. 12

21
Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling
yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan pasien pada saat ini
dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang
menyimpang. Pedekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan
dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada
konseptualisasi atau pemahaman pasien atas keyakinan khusus dan pola
perilaku pasien. Harapan dari CBT yaitu munculnya restrukturisasi kognitif
yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk membawa perubahan emosi
dan perilaku ke arah yang lebih baik. 13, 14
Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi cognitive-
behavior therapy yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara
spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus
konseling yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran. 15
Para ahli yang tergabung dalam National Association of Cognitive-
Behavioral Therapists (NACBT), mengungkapkan bahwa definisi
dari cognitive-behavior therapy yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang
menekankan peran penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang
kita lakukan. 16
Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari
dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior
therapy. Terapi kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan.
Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah
kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan positive thinking,
tetapi berkaitan pula dengan happy thinking. Sedangkan terapi tingkah laku
membantu membangun hubungan antara situasi permasalahan dengan
kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar mengubah perilaku,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih
jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. 15,17
Pikiran negatif, perilaku negatif, dan perasaan tidak nyaman dapat
membawa individu pada permasalahan psikologis yang lebih serius, seperti
depresi, trauma, dan gangguan kecemasan. Perasaan tidak nyaman atau negatif

22
pada dasarnya diciptakan oleh pikiran dan perilaku yang disfungsional. Oleh
sebab itu dalam konseling, pikiran dan perilaku yang disfungsional harus
direkonstruksi sehingga dapat kembali berfungsi secara normal.

B. Karakteristik Cognitive Behavior Therapy


Terdapat beberapa karakteristik dasar dalam CBT, yaitu:
1. Memiliki panduan teoritis
CBT didasarkan pada model yang telah terbukti secara empiris dan
memberikan dasar untuk rasional, fokus, dan sifat dari intervensi ini. Oleh
karena itu, CBT bersifat kohesif dan rasional, bukan sekedar kumpulan
teknikteknik yang terpisah. 12
2. Melibatkan kolaborasi antara terapis dan klien
CBT pada dasarnya merupakan sebuah proyek kolaborasi antara
terapis dan klien. Kedua pihak memiliki peran aktif dengan keahlian yang
berbeda. Terapis dianggap sebagai pihak yang memiliki keahlian untuk
menemukan cara yang efektif guna menyelesaikan masalah, sedangkan
klien merupakan pihak yang ahli dalam mengenali masalah berdasarkan
pengalamannya selama ini. Klien juga memiliki peran aktif dalam
mengidentifikasi tujuan, menetapkan target, bereksperimen, berlatih, dan
memonitor performa mereka. 12,14
Pembagian peran ini menuntut terapis dan klien untuk saling
terbuka dan jujur selama proses terapi berlangsung. Terapis harus
menjelaskan proses yang sedang berlangsung dan kenapa proses ini terjadi,
selain itu terapis juga dapat meminta klien untuk memberikan masukan
mengenai apa yang dirasa membantu dan tidak bagi klien. Pada dasarnya,
pendekatan CBT memang dirancang untuk memfasilitasi kontrol diri yang
lebih besar dan efektif dengan adanya terapis yang memberikan framework
dimana kontrol diri tersebut dapat terjadi. 12,14
3. Memiliki struktur dan berorientasi pada masalah
CBT merupakan terapi yang terstruktur dan berfokus pada
penyelesaian masalah. Awalnya terapis dan klien harus mengidentifikasi

23
masalah dan mendeskripsikan masalah dengan spesifik untuk kemudian
fokus dalam memecahkan atau mengurangi masalah tersebut. Setelah itu
terapis dan klien harus membuat tujuan untuk setiap masalah dan tujuan
ini merupakan fokus dari treatment yang diberikan. Tujuan ini dibuat
dengan berdasarkan harapan klien akan akhir dan hasil dari treatment. 14,17
4. Singkat
Lamanya terapi relative singkat dan berlangsung kira-kira 25
minggu. Lamanya terapi dapat berubah tergantung kemajuan yang dicapai
klien. Jika terapis menilai bahwa treatment yang diberikan tidak
membantu atau tidak ada lagi kemajuan yang didapat, terapis dapat
mengakhiri treatment yang sedang berlangsung. Sedangkan apabila klien
dianggap membuat kemajuan namun masalah residual masih ada, terapis
dapat melanjutkan treatment yang sedang berlangsung. Terapis juga patut
mempertimbangkan keuntungan bagi klien untuk menangai masalah
residual yang muncul secara mandiri.

C. Prinsip Dasar Cognitive Behavior Therapy


Cognitive Behavior Therapy (CBT) mengandung beberapa prinsip dasar
seperti:
1. Prinsip kognitif
Ide utama dari prinsip kognitif ini adalah bahwa reaksi emosional
dan perilaku individu dipengaruhi dengan kuat oleh kognisi mereka, yaitu
pemikiran, kepercayaan, dan interpretasi mereka mengenai diri mereka atau
situasi yang mereka hadapi atau dengan kata lain arti yang mereka berikan
terhadap kejadian yang terjadi dalam hidup mereka. Kejadian yang ada tidak
serta merta menghasilkan suatu reaksi tertentu, karena terdapat reaksi yang
berbeda-beda dari tiap individu yang menghadapi kejadian yang sama. Jadi
ada hal lain yang menentukan reaksi individu terhadap suatu kejadian yaitu
kognisi mereka. Saat terdapat dua orang yang bereaksi secara berbeda
terhadap suatu kejadian yang sama, hal ini dikarenakan mereka

24
menginterpretasi kejadian itu dengan cara yang berbeda. Kognisi yang
berbeda menghasilkan reaksi emosi yang berbeda pula.
2. Prinsip perilaku
Perilaku juga merupakan bagian yang penting dalam
mempertahankan atau merubah keadaan psikologis seseorang. CBT percaya
bahwa perilaku memiliki dampak yang kuat terhadap pemikiran dan emosi
seseorang, merubah perilaku klien merupakan suatu cara yang dapat
diusahakan untuk mengubah pemikiran dan emosi seseorang.
3. Prinsip ‘continuum’
CBT melihat masalah kesehatan mental sebagai versi ekstrim dari proses
yang biasa terjadi bukan merupakan sebuah keadaan yang secara kualitatif
berbeda dari keadaan maupun proses normal. Atau dengan kata lain,
masalah psikologis berada di ujung lain dari sebuah kontinuum bukan
sebuah dimensi yang benar-benar berbeda. Oleh karena itu, masalah
psikologis ini dapat terjadi pada siapa saja dan teori CBT dapat
diaplikasikan kepada klien dan terapis.
4. Prinsip ‘here and now’
Fokus utama dari terapi ini adalah apa yang terjadi saat ini dan proses apa
yang sampai saat ini terjadi sehingga masalah yang ada tetap bertahan.
Tidak seperti psikoanalisa, CBT tidak melihat proses yang membentuk
masalah tersebut terjadi.
5. Prinsip ‘interacting systems’
CBT melihat bahwa masalah seharusnya dianalisa sebagai interaksi
yang terjadi antara individu dan lingkungan. Dalam CBT dikenal empat
sistem, yaitu kognisi, afek/emosi, perilaku, dan fisiologi. Keempat sistem
tersebut saling berinteraksi dalam proses feedback yang kompleks dan juga
berinteraksi dengan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud bukan hanya
lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan sosial, keluarga, budaya, dan
ekonomi.

D. Tujuan Cognitive Behavior Therapy

25
Tujuan utama dari CBT adalah untuk meningkatkan self awareness,
memfasilitasi pemahaman diri yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri
dengan mengembangkan kemampuan kognitif dan perilaku yang lebih tepat.
Pengembangan kemampuan kognitif dapat dilakukan dengan mengubah
pemikiran dan keyakinan disfungsional yang bersifat negatif, bias, dan self
critical. Terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mengembangkan
kemampuan kognitif ini, antara lain dengan mencetuskan pikiran otomatis,
mengidentifikasi dugaan maladaptive yang mendasari, serta menguji validitas
dugaan maladaptive. Sedangkan pengembangan perilaku yang lebih adaptif dapat
dilakukan dengan beberapa teknik, antara lain menjadwalkan aktivitas,
penguasaan dan kesenangan, tugas bertahap, latihan kognitif, pelatihan untuk
bergantung pada diri sendiri, bermain peran, dan teknik diversi. Adanya
keterampilan kognitif dan perilaku yang baru membuat individu menghadapi
situasi sulit dengan cara yang lebih tepat. 13,16,12

E. Tahap Pelaksanaan Cognitive Behavior Therapy


Sesi inisial dalam CBT biasanya ditujukan untuk membangun relasi dengan
klien, menggali informasi penting, dan mengidentifikasi keluhan yang muncul.
Dalam membangun relasi dengan klien, terapis dapat mengawali dengan
menanyakan perasaan dan pemikiran klien mengenai harapan klien dari terapi.
Selain itu, terapis juga dapat menjelaskan mengenai hubungan antara kognisi dan
afek dari sudut pandang CBT. Terapis juga mulai dapat membiasakan klien
terhadap CBT dan membangun hubungan yang kolaboratif serta meluruskan
konsepsi yang salah mengenai terapi. Pada awal sesi, klien sudah harus dijelaskan
bahwa tujuan utama terapi adalah untuk membuat klien belajar menjadi terapis
bagi dirinya sendiri. 13,15
Informasi yang seharusnya dapat digali oleh terapis pada sesi-sesi awal
adalah diagnosis, pengalaman masa lalu, situasi hidup saat ini, masalah psikologis
yang ada, sikap terhadap treatment, dan motivasi untuk mengikuti treatment. Pada
sesi pertama, terapis juga dapat mulai mendefinisikan masalah dan membantu
klien melakukan symptom relief. Identifikasi masalah dan pengumpulan informasi
mengenai latar belakang munculnya masalah dapat dilakukan dalam beberapa

26
sesi. Walaupun demikian, pada sesi pertama terapis harus dapat fokus dalam
mengidentifikasi masalah secara spesifik dan menyediakan kelegaan yang cepat
bagi klien. 13,18
Dalam identifikasi masalah, terapis menganalisa dari dua aspek yaitu aspek
fungsional dan aspek kognitif. Analisa fungsional bertujuan untuk
mengidentifikasi elemen masalah seperti manifestasi dari masalah, situasi dimana
masalah itu biasanya muncul, frekuensi, intensitas, dan durasi kemunculan
masalah, serta konsekuensi dari masalah. Analisa kognitif sendiri bertujuan untuk
mengidentifikasi pemikiran dan visualisasi yang muncul saat adanya pencetus
emosional. Hal in juga mencakup identifikasi sejauh apa seseorang merasa dapat
mengontrol pemikiran dan visualisasi tersebut, visualisasi mengenai apa yang
akan terjadi saat berada dalam situasi yang menimbulkan distres, dan
kemungkinan munculnya hal yang divisualisasikan tersebut dalam kejadian nyata.
13,18

Pada sesi awal, terapis juga membuat problem list yang mencakup simptom
spesifik, perilaku, dan masalah yang menetap. Daftar ini kemudian dibuat
prioritasnya sebagai target intervensi. Problem list dibuat secara eksplisit untuk
melihat apa yang ingin dicapai dalam treatment. Penentuan prioritas didasarkan
pada besarnya distres yang dialami, kemungkinan kemajuan yang terjadi,
keparahan simptom, dan topik ataupun tema yang terus menerus muncul. Selain
hal di atas, pada sesi pertama terapis juga sudah mulai dapat memberikan tugas
rumah kepada klien. Tugas rumah pada sesi awal biasanya diarahkan untuk
mengenali hubungan antara pemikiran, perasaan, dan perilaku. 12,19
Pada sesi pertengahan, penekanan terapi bergeser dari simptom yang
dialami pasien kepada pola berpikir pasien. Koneksi antara pemikiran, emosi, dan
perilaku didemonstrasikan melalui pemeriksaan automatic thoughts. Saat klien
dapat menantang pemikiran maladaptif, klien mulai dapat mempertimbangkan
asumsi dasar yang memunculkan pemikiran tersebut. Seringkali asumsi dasar
tersebut tidak disadari oleh klien dan didapat setelah klien melihat tema dari
automatic thoughts yang dimilikinya. Setelah asumsi dasar ini dikenali, terapi
bertujuan untuk memodifikasi asumsi tersebut dengan mempertimbangkan

27
validitas, sifat adaptif, dan fungsinya bagi klien. Pada sesi-sesi selanjutnya, klien
diberikan tanggung jawab lebih untuk mengidentifikasi masalah serta solusi dan
menciptakan tugas rumah. Peran terapis berubah menjadi penasihat dan bukan
guru saat klien sudah mulai dapat menggunakan teknikteknik yang ada untuk
menyelesaikan maslaah. Frekuensi pertemuan dapat dikurangi apabila klien
menjadi lebih mampu dalam menyelesaikan masalah. 12,14
Terapi diterminasi saat tujuan sudah dicapai dan klien merasa dapat
mempraktikkan perspektif dan kemampuan baru mereka secara mandiri. Saat
mendekati terminasi, klien dapat diingatkan bahwa kemunduran itu sesuatu yang
normal dan seharusnya dapat diatasi karena kemunduran sebelumnya juga dapat
diatasi. Terapis dapat meminta kepada klien untuk mendeksripsikan bagimana
masalah sebelumnya diatasi selama treatment. Terapis juga dapat menggunakan
cognitive rehearsal untuk memabntu klien memperkirakan kesulitan yang
mungkin akan ditemuinya dan bagaimana mereka akan mengatasi kesulitan
tersebut.

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Kondisi medis
Gangguan neurologis utama yang dipertimbangkan dalam
diagnosis banding adalah gangguan Tourette, gangguan tik lainnya,
epilepsi lobus temporalis, dan kadang-kadang komplikasi trauma dan
pascaensefalitik. Gejala karakteristik dari gangguan Tourette adalah tik
motorik dan vokal yang sering dan hampir setiap hari terjadi. 3
2. Kondisi psikiatrik

28
Pertimbangan psikiatrik utama di dalam diagnosis banding
gangguan obsesif-kompulsif adalah skizofrenia, gangguan kepribadian
obsesif-kompulsif, fobia, dan gangguan depresif. Gangguan obsesif
kompulsif biasanya dapat dibedakan dari skizofrenia oleh tidak adanya
gejala skizofrenik lain, oleh kurang kacaunya sifat gejala, dan oleh tilikan
pasien terhadap gangguan mereka. Gangguan kepribadian obsesif-
kompulsif tidak memiliki derajat gangguan fungsional yang berhubungan
dengan gangguan obsesif-kompulsif. Fobia dibedakan dengan tidak
adanya hubungan antara pikiran obsesif dan kompulsi. Gangguan
depresif berat kadang-kadang dapat disertai oleh gagasan obseisf, tetapi
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif saja tidak memenuhi kriteria
diagnostik untuk gangguan depresif berat. 3
Kondisi psikiatrik lain yang dapat berhubungan erat dengan
gangguan obsesif-kompulsif adalah hipokondriasis, gangguan dismorfik
tubuh, dan kemungkinan gangguan impuls lainnya, seperti kleptomania
dan judi patologis. Pada semua gangguan tersebut pasien memiliki
pikiran yang berulang, sebagai contoh permasalahan tentang tubuhnya,
atau perilaku yang berulang sebagai contoh mencuri. 3

H. PROGNOSIS
Gangguan obsesif-kompulsif merupakan penyakit yang kronik dengan
perode dari gejala-gejala yang seiring dengan berjalannya waktu akan mengalami
peningkatan. Penderita gangguan ini tidak biasanya sembuh sempurna atau bebas
dari gejala. Walaupun demikian dengan pengobatan, banyak orang yang
mengalami perbaikan. Perbaikan tersebut berupa gejala yang berbeda seperti cara
merealisasikan suatu obsesif yang berbeda. Diagnosis awal dan terapi yang
dilakukan secepatnya akan memberikan hasil yang lebih baik di mana penekanan
onset usia dini adalah hal yang patut untuk segera didiagnosis. Selain itu, mereka
yang bergerak di bidang kesehatan mesti memahami perbedaan antara gangguan
obsesif-kompulsif dengan gangguan kepribadian obsesif-kompulsif yang mana
untuk jenis gangguan kepribadian biasanya dimulai pada saat dewasa muda, yaitu

29
umur di atas 20 tahun sedangkan untuk gangguan obsesif kompulsif biasanya
dimulai pada usia anak-anak.1,9,10

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan obsesif–kompulsif merupakan suatu kondisi yang ditandai


dengan adanya pengulangan pikiran obsesif atau kompulsif, dimana
membutuhkan banyak waktu (lebih dari satu jam perhari) dan dapat menyebabkan
penderitaan (distress). Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala–gejala obsesif
atau tindakan kompulsif atau kedua–duanya harus ada hampir setiap hari selama

30
sedikitnya 2 minggu berturut–turut. Beberapa faktor berperan dalam terbentuknya
gangguan obsesif-kompulsif diantaranya adalah faktor biologi seperti
neurotransmiter, pencitraan otak, genetika, faktor perilaku dan faktor psikososial,
yaitu faktor kepribadian dan faktor psikodinamika. Cognitive Behavior Theraphy
(CBT) dengan teknik relaksasi, restrukturisasi kognitif, dan exposure with respon
prevention efektif untuk mengatasi gangguan obsesif-kompulsif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Berger FK. Obsessive-Compulsive Disorder. MedlinePlus. 2012 Jul 03.


Diakses pada tanggal 19 Mei 2013 di
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000929.htm

2. Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2rd rev. ed.
Surabaya: Airlangga University Press; 2009, 312-313 p.

31
3. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. 2rd rev. ed. Kusuma M, translator. Jakarta:
Erlangga; 2010, 56-67 p.

4. Katona C, Cooper C, Robertson M. At a Glance Psikiatri. 4th rev. ed. Noviyanti


C dan Hartiansyah Vidya, translator. Jakarta: Erlangga; 2012, 31 p.

5. Tomb DA. Buku Saku Psikiatri (Psychiatry). 6th rev. ed. Nasrun MWS,
translator. Yogyakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004, 238-239 p.

6. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ
– III. 1st ina. ed. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK – UNIKA Atmajaya;
2001, 76-77 p.

7. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic


Medication). 3rd rev. ed. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK – UNIKA
Atmajaya; 2001, 47-48 p.

8. Robinson L, Smith M, Segal J. Obsessive-Compulsive Disorder (OCD).


Helpguide. 2013 Apr. Diakses pada tanggal 19 Mei 2013 di
http://www.helpguide.org/mental/obsessive_compulsive_disorder_ocd.htm

9. National Colaborating Centre for Mental Health, National Institute for Health
and Clinical Excellence. Obsessive-Compulsive Disorder: Core interventions in
the treatment of obsessive-compulsive disorder and body dysmorphic disorder.
National Clinical Practice Guideline. 2006; 31: 19-20.

10. Rogge T. Obsessive-Compulsive Personaliy Disorder. MedlinePlus. 2012 Nov

11. Diakses pada tanggal 19 Mei 2013 di


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000942.htm

12. Stallard, P. (2004). Think Good – Feel Good: A Cognitive Behavior Therapy
Workbook for Children and Young People. West Sussex: john Wiley & Sons

13. Kaplan, Harold, et all. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri: Ilmu
pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid Dua. Tangerang: Aksara Publiser

14. Beck, Judith S. (2011). Cognitive-Behavior Therapy: Basic and


Beyond (2nd ed). New York: The Guilford Press.

15. Bush, John Winston. (2003). Cognitive Behavioral Therapy: The Basics.
[Online]. Tersedia: http://cognitivetherapy.com/basics.html

16. NACBT. (2007). Cognitive-Behavioral Therapy. [Online].


Tersedia: http://www.nacbt.org/whatiscbt.htm [5 Januari 2007].

32
17. Westbrook, D., Kennerly, & Kirk, J. (2007). An Introduction to Cognitive
Behavior Therapy: Skills and Applications. Los Angeles: Sage Punlications.

18. Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior dalam


Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.

19. Nevid, JS., Rathus, SA., Greene, B., Psikologi Abnormal. Edisi kelima, jilid
1, Jakarta: Penerbit Erlangga

33

Anda mungkin juga menyukai