LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO B BLOK 19 TAHUN 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2017
i
‘
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial
Skenario B Blok 19 Tahun 2017” dengan baik.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami mendapat banyak bantuan, bimbingan,
dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. Allah SWT, yang telah memberi nafas kehidupan,
2. Tutor kelompok 6, dr. Aida Farida, Sp.PA
3. Teman-teman sejawat FK Unsri,
4. Semua pihak yang telah membantu kami.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini masih mempunyai kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di
masa mendatang.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala bantuan yang diberikan
kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat
bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk membuka wawasan yang lebih luas
lagi. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Kelompok 6
ii
‘
DAFTAR ISI
Judul ..................................................................................................................i
Kata Pengantar.....................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan...............................................................................................1
I. Kegiatan Tutorial.....................................................................................1
Bab II Isi...............................................................................................................2
I. Skenario B................................................................................................2
II. Klarifikasi Istilah......................................................................................2
III. Identifikasi Masalah.................................................................................3
Prioritas Masalah...................................................................................4
IV. Analisis Masalah......................................................................................5
V. Merumuskan Keterbatasan Ilmu Pengetahuan.........................................38
VI. Learning Objectives.................................................................................38
1. Anatomi Nervi Cranialis...............................................................38
2. Fisiologi Nervi Cranialis..............................................................40
3. Bell’s palsy...................................................................................45
VII. Kerangka Konsep.....................................................................................63
VIII. Sintesis...................................................................................................64
Bab III Penutup....................................................................................................65
I. Kesimpulan..............................................................................................65
Daftar Pustaka......................................................................................................66
iii
‘
BAB 1
PENDAHULUAN
I. Kegiatan Tutorial
1
‘
BAB 2
ISI
I. Skenario B
Kasus
WAJAH MENGOT
Nn. Afriani, umur 28 tahun dating ke dokter layanan primer dengan keluhan utama mulut
mengot. Disadari ketika penderita bangun pagi ingin menggosok gigi sambil melihat ke
cermin. Mata tidak bisa dipejamkan, dahi tidak bisa diangkat dan sudut mulut tetrtinggal
pada sisi kiri. Makanan sulit dikunyah pada sisi kiri mulut, dan bila makan disertai keluar
air mata, tidak ada demam. Penyakit ini baru pertama kali diderita. Tidak ada riwayat
dalam keluarga yang menderita penyakit yang sama.
Malam sebelumnya penderita begadang menonton orgen tunggal muda mudi sampai larut
malam.
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: GCS 15
Tanda vital: TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit, RR 20x/menit, Temp 37,0 C
Pemeriksaan neurologis:
Pada pemeriksaan nervi kraniales:
- Nervus VII sinistra didapatkan parese tiap perifer berupa: mulai
dari tutup mata, Hiperakusis terdapat lagopthamus (+), tidak bias
mengangkat dan mengerutkan dahi, sudut mulut tertinggal ketika
disuruh meringgis, sulit bersiul dan mengelembungkan pipi
Pemeriksaan Nervi kranialis lain dalam batas normal
Crocodile tears syndrome
2
‘
Prioritas Masalah
No. Fakta Masalah Concern
1. + VVV
Nn. Afriani, umur 28 tahun dating ke dokter layanan primer
dengan keluhan utama mulut mengot. Disadari ketika penderita
bangun pagi ingin menggosok gigi sambil melihat ke cermin.
Mata tidak bisa dipejamkan, dahi tidak bisa diangkat dan sudut
mulut tetrtinggal pada sisi kiri. Makanan sulit dikunyah pada sisi
kiri mulut, dan bila makan disertai keluar air mata.
2. + VV
Tidak ada demam. Penyakit ini baru pertama kali diderita.
Tidak ada riwayat dalam keluarga yang menderita penyakit
yang sama.
4. Pemeriksaan Fisik: + V
Keadaan umum: GCS 15
Tanda vital: TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit,
RR 20x/menit, Temp 37,0 C
5. Pemeriksaan neurologis: + V
Pada pemeriksaan nervi kraniales:
- Nervus VII sinistra didapatkan parese
tiap perifer berupa: mulai dari tutup
4
‘
2. Mata tidak bisa dipejamkan, dahi tidak bisa diangkat dan sudut mulut tertinggal pada
sisi kiri. Makanan sulit dikunyah pada sisi kiri mulut, dan bila makan disertai keluar air
mata, tidak ada demam.
a. Bagaimana mekanisme mata tidak bisa dipejamkan?
Dijawab oleh: M.Alfadila, Safira Azzahra, dan Dimas Ulta
b. Bagaimana mekanisme dahi tidak bisa diangkat?
Dijawab oleh: Nurluthfiyyah Aini, Nada Nabilah, dan Reni Wahyu
c. Bagaimana mekanisme sudut mulut tertinggal pada sisi kiri?
5
‘
3. Penyakit ini baru pertama kali diderita. Tidak ada riwayat dalam keluarga yang
menderita penyakit yang sama. Malam sebelumnya penderita begadang menonton
orgen tunggal muda mudi sampai larut malam.
a. Bagaimana hubungan riwayat penyakit sekarang dan riwayat keluarga?
Dijawab oleh: Karina Dinsyafuri dan Nurluthfiyyah Aini
b. Apa hubungan begadang malam sebelumnya dengan kasus?
Dijawab oleh: Reynold dan Dimas Ulta
4. Pemeriksaan fisik
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik?
Dijawab oleh: Nada Nabilah, Kemas M. Alwan, dan M. Alfadila
5. Pemeriksaan neurologis
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan neurologis?
Dijawab oleh: Karina Dinsyafuri, Nada Nabilah, Nurluthfiyyah Aini
b. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan neurologis?
Dijawab oleh: Reynold, Aprilia Putri, dan Safira Azzahra
c. Bagaimana cara pemeriksaan nervus cranialis? (fokus nervus VII)
Dijawab oleh: Reni Wahyu, Siti Utari, Dimas Ulta
d. Bagaimana gambaran dari crocodile tears syndrome?
Dijawab oleh: M. Alfadila, Dodi Fakhiri, dan Kemas M. Alwan
6
‘
1. Nn. Afriani, umur 28 tahun datang ke dokter layanan primer dengan keluhan
utama mulut mengot. Disadari ketika penderita bangun pagi ingin menggosok
gigi sambil melihat ke cermin.
a. Bagaimana mekanisme dari mulut mengot?
Jawab:
Kemungkinan paparan udara dingin malam hari/infeksi karena system
imun yang melemah inflamasi pada nervus fasialis diameter n.
fasialis meningkat (edema) kompresi n. fasialis saat melewati os.
Temporal gangguan konduksi impuls motoric yang dihantarkan n.
fasialis gangguan pada otot yang menggerakkan mulut mulut
mengot
Adanya gangguan pada nervus kranialis VII seperti edema, inflamasi,
serta kompresi menyebabkan terhambatnya fungsi normal otot yang
dipersarafinya, salah satu otot yang terhambat kontraksinya ialah otot otot
yang membentuk sudut mulut. Pada kasus, didapati mulut tertinggal di
sisi kiri menandakan saraf yang mengalami gangguan berasal dari saraf
ipsilateral ( LMN). Selain otot, fungsi lain yang terganggu kerjanya ialah
sensorik ( 2/3 anterior lidah) dan autonom ( kelenjar saliva dan kelenjar
lakrimal).
b. Apa hubungan penyakit yang diderita dengan factor umur dan jenis
kelamin?
Jawab:
Bell’s palsy mengenai rata - rata wanita dan pria dengan perbandingan
yang sama. Akan tetapi wanita muda usia 10 – 19 tahun lebih rentan
terkena bell’s palsy dibandingkan dengan pria dengan umur yang sama.
Penyakit ini menyerang semua usia, akan tetapi lebih sering terjadi pada
usia 15 – 50 tahun. Namun ada juga sumber yang menyebutkan bahwa
bell’s palsy lebih banyak menyerang orang dewasa dibandingkan anak-
anak.
7
‘
8
‘
9
‘
2. Mata tidak bisa dipejamkan, dahi tidak bisa diangkat dan sudut mulut tertinggal
pada sisi kiri. Makanan sulit dikunyah pada sisi kiri mulut, dan bila makan
disertai keluar air mata, tidak ada demam.
a. Bagaimana mekanisme mata tidak bisa dipejamkan?
Jawab:
Terjadinya paralisis nervus vii, yang pada kasus ini masih belum bisa
dipastikan (idiopatik) penyebab pasti dari gangguan yang dirasakan nn.
Afriani, namun kemungkinan besar adalah akibat paparan suhu dingin
saat larut malam dan bergadang. Paparan suhu dingin dapat menyebabkan
edema pada saraf. Namun edema pada N. fascialis belum dapat
dijelaskan. Nervus fasialis yang mengalami edema saat melewati foramen
atau kanalis fasialis yang sempit akan menyebabkan kompresi N. fasialis
sehingga terjadi gangguan persarafan pada otot-otot ekspresi wajah, salah
satunya M. Orbicullaris Oculli. Yang menyebabkan terganggunay fungsi
menutup kelopak mata sehingga mata tidak bisa dipejamkan.
10
‘
11
‘
12
‘
3. Penyakit ini baru pertama kali diderita. Tidak ada riwayat dalam keluarga yang
menderita penyakit yang sama. Malam sebelumnya penderita begadang
menonton orgen tunggal muda mudi sampai larut malam.
a. Bagaimana hubungan riwayat penyakit sekarang dan riwayat keluarga?
Jawab:
Riwayat demam sebelum terjadinya kelumpuhan otot wajah dapat berarti
kemungkinan kelumpuhan disebabkan oleh adanya infeksi virus.
Beberapa teori mengemukakan bahwa ada kaitan antara infeksi virus
dengan kelumpuhan otot wajar yang bersifat perifer, biasanya berkaitan
dengan infeksi virus herpes.
Pada anamnesis ditanyakan kelumpuhan terjadi baru pertama kali atau
sudah berulang karena pada kasus berulang perlu dicurigai adanya tumor
13
‘
4. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: GCS 15
Tanda vital: TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit, RR 20x/menit, Temp 37,0 C
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik?
Jawab:
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
pemeriksaan
Kesadaran GCS : 15 GCS : Compos Normal
Umum Mentis (14-15)
Tekanan 120/80 120/80 mmHg Normal
Darah mmHg
Nadi 80x/menit 60-100x/menit Normal
Temp 37°C 36,5-37,5°C Normal
RR 20x/menit 16-24x/menit Normal
5. Pemeriksaan neruologis
Pada pemeriksaan nervi kraniales:
14
‘
15
‘
16
‘
17
‘
Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis.
Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis
diperiksa pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam,
dan rasa asam diperiksa pada bagian tengah lidah dengan
bahan asam sitrat. Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan
pada sisi yang tidak sehat kurang tajam.
Pemeriksaan Refleks.
Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bell’s Palsy
adalah pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak
langsung dimana pada paresis nervus VII didapatkan hasil
berupa pada sisi yang sakit kedipan mata yang terjadi lebih
lambat atau tidak ada sama sekali. Selain itu juga dapat
diperiksa refleks nasopalpebra pada orang sehat pengetukan
ujung jari pada daerah diantara kedua alis langsung dijawab
dengan pemejaman kelopak mata pada sisi, sedangkan pada
paresis facialis jenis perifer terdapat kelemahan kontraksi m.
orbikularis oculi (pemejaman mata pada sisi sakit).
18
‘
a. Diagnosis banding
No. Diagnosis Karakteristik
19
‘
Banding
1. Guillain Barre Guillain Barre Syndrome merupakan
Syndrome(GBS) suatu poliradikuloneuropati inflamasi
yang bersifat akut. Gangguan berupa
paralisis fasialis bilateral dapat dijumpai
pada ± 50% kasus GBS. Klinis lainnya
adalah kelumpuhan pada saraf motorik
ekstremitas, dan pernafasan. Refleks
tendon negatif pada daerah yang terlibat
2. Lymedisease Pasien dengan Lyme disease memiliki
gejala paralisis nervus facialis, bisa
unilateral atau bilateral (biasa bilateral).
Pasien juga memiliki riwayat terpapar
dengan kutu, adanya ruam- ruam di kulit
dan arthralgia. Kemungkinan diagnosis
untuk Lyme disease menurun pada
daerah non endemik
3. Ramsay Hunt Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome
Syndrome memiliki suatu prodromal nyeri dan
(komplikasi sering berkembang erupsi vesikel pada
herpeszoster) kanal telinga danfaring. Penyakit ini
disebabkaan oleh virus herpes zoster,
dengan klinis berupa paralisis fasialis,
atau gangguan pendengaran atau
keseimbangan
4. Melkerson Melkerson Rosenthal Syndrome
Rosenthal merupakan suatu trias dari gejala edema
Syndrome(MRS) orofasial berulang, paralisis fasialis
berulang, dan lingua plicata(fissured
tongue). Edema orofasial merupakan
gambaran yang selalu dijumpai pada
pasien MRS, sedangkan yang lainnya
masing- masing terjadi pada setengah
pasien. Trias lengkap ini hanya dijumpai
pada seperempat kasus. Penyakit ini
20
‘
21
‘
22
‘
c. Diagnosis kerja
Nn. Afriani 28 tahun menderita Bell’s Palsy
d. Definisi
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar
23
‘
e. Klasifikasi
Sistem grading dikembangkan oleh House dan Brackmann dari skala
sampai VI.
Grade I adalah fungsi normal nervus fascialis.
Grade II adalah disfungsi ringan, ditandai dengan:
sedikit kelemahan yang hanya terlihat jika dilakukan inspeksi
secara dekat,
wajah simetris pada kondisi istirahat,
gerakan dahi masih bagus,
mata masih dapat menutup sempurna (bisa menutup sendiri dengan
sedikit usaha), dan
asimetris mulut terlihat sedikit.
Grade III adalah disfungsi sedang, ditandai dengan:
perbedaan wajah yang jelas antara sisi kanan dan kiri, namun belum
terlalu menonjol,
spasme hemifasial sudah terlihat,
wajah simetris pada kondisi istirahat,
gerakan dahi mulai terlihat berkurang,
mata dapat menutup sempurna dengan usaha nyata, dan
pergerakan mulut yang sedikit dilakukan dengan usaha nyata.
Grade IV adalah disfungsi sedang berat, ditandai dengan:
kelemahan wajah satu sisi yang nyata,
wajah simetris pada kondisi istirahat,
kerutan dahi menghilang,
mata tidak bisa menutup dengan sempurna, dan
asimetris mulut tampak jelas.
24
‘
f. Etiologi
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebab bell’s
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s
Palsy antara lain:
Sesudah bepergian jauh dengan kendaraan,
Tidur di tempat terbuka,
Tidur di lantai,
Hipertensi,
Stress,
Hiperkolesterolemi,
Diabetes mellitus,
Penyakit vaskuler,
Gangguan imunologik dan
Faktor genetic.
2) Kongenital
anomali kongenital (sindroma Moebius)
trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
3) Didapat
Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
25
‘
g. Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden
bervariasi di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini
tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara. Insiden
tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000
populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-
45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin.
Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per
100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes
mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010).
Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak-anak < 2 tahun. Tidak ada
perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis
saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2%
(Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12%
kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang
berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008).
h. Faktor resiko
Penderita yang sedang menderita infeksi saluran pernafasan atas
26
‘
i. Patogenesis
Patogenesis timbulnya Bell‘s Palsy secara pasti masih dalam
perdebatan. N.VII berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang
disebut dengan kanalis fasialis. Adanya edema dan ischemia
menyebabkan kompresi dari N.VII dalam kanalis tulang ini, karena itu
ia terjepit di dalam foramen stilomastoideum dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Kompresi N.VII ini dapat dilihat dengan
MRI. Bagian pertama dari kanalis fasialis yang disebut dengan segmen
labyrinthine adalah bagian yang paling sempit, meatus foramien ini
memiliki diameter 0,66 mm. Lokasi inilah yang diduga merupakan
tempat paling sering terjadinya kompresi pada N.VII pada Bell‘s Palsy,
karena bagian ini merupakan tempat yang paling sempit maka
terjadinya inflamasi, demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi
paling mungkin terjadi. Lokasi terserangnya Nervus Fasialis di Bell‘s
Palsy bersifat perifer dari nukleus saraf tersebut, dimana timbulnya lesi
diduga terletak didekat ataupun di ganglion genikulatum. Jika lesinya
timbul di bagian proksimal ganglion genikulatum maka akan timbul
kelumpuhan motorik disertai dengan ketidak abnormalan fungsi
gustatorium dan otonom. Apabila lesi terletak di foramen
stilomastoideus dapat menyebabkan kelumpuhan fasial saja.
27
‘
j. Patofisiologi
Patofisiologi Bell palsy masih merupakan perdebatan. Nervus fasialis
melewati suatu bagian tulang temporalis yang sering disebut kanalis
fasialis. Teori umum yang diterima adalah edema dan iskemia
menyebabkan kompresi nervus fasialis didalam kanal ini. Penyebab
edema dan iskemia itu sendiri belum dipastikan. Namun kemungkinan
etiologi viral, inflamasi serta autoimun diduga ikut berperan. Bukti
terbaru mengindikasikan hubungan antara Bell palsy dengan reaktivasi
virus herpes simpleks tipe 1 dan herpes zoster pada ganglia nervus
kranial.
Pada kasus ini, Nn. Afriani diduga mengalami penurunan kekebalan
tubuh karena berdasarkan anamnesis diketahui bahwa Nn. Afriani
begadang semalaman dan terpapar cuaca malam yang dingin dalam
waktu yang cukup lama yang menyebabkan tubuhnya kurang istirahat.
Dengan menurunnya system imun, tubuh Nn. Afriani dapat dengan
mudah terkena infeksi baik dari virus, bakteri ataupun agen infeksius
lainnya. Bahkan penurunan imunitas ini juga dapat menyebabkan
teraktivasinya virus yang mungkin ada didalam tubuh Nn. Afriani
dalam keadaan inaktif.
Berdasarkan bukti etiologinya, Bell palsy paling sering disebabkan oleh
infeksi virus. Saat virus masuk ke dalam tubuh, virus tersebut dapat
menuju ke akson saraf sensoris hingga ke kanalis fasialis, pada kasus ini
saraf fasialis sinistra. Virus ini kemudian akan menyebabkan kerusakan
lokal pada serabut saraf yang dapat berdampak pada rusaknya myelin
saraf tersebut. Lesi ini akan menyebabkan terganggunya hantaran
impuls saraf tersebut menuju ke efektornya. Secara tidak langsung,
gangguan hantaran impuls ini juga dapat disebabkan oleh respon radang
28
‘
k. Gejala klinis
Bell’s palsy dapat memiliki tanda dan gejala seperti kelumpuhan otot-
otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba. Rasa nyeri sering
dikeluhkan dan dapat terjadi pada daerah telinga, yang menyebar luas
pada kepala, leher ataupun mata. Rasa nyeri biasaya muncul setelah
beberapa hari dan dapat mengawali terjadinya kelumpuhan hingga 72
jam, tetapi terkadang rasa nyeri muncul setelah beberapa hari terjadi
paralisis dan dapat menjadi lebih parah dan menetap.
Temuan klinis paling sering dijumpai adalah :
alis mata turun, tidak dapat menutup mata
jika dusahakan untuk menutup maka akan terlihat bola mata
memutar ke atas (Bell’s phenomenon),
lipatan nasolabial tidak tampak,
mulut tertarik ke sisi yang sehat
29
‘
rasa kebas pada sisi wajah yang terkena, terutama pada bagian
dahi, mastoid area, dan sudut mandibula.
Rongga mulut dapat menjadi kering akibat berkurangnya sekresi
saliva
perubahan sensasi rasa pada 2/3 anterior lidah dan hyperaesthesia
sebagian pada nervus trigeminal serta hiperakusis.
Perbedaan lokasi lesi saraf fasialis dapat menimbulkan gejala yang
berbeda. Tanda dan gejala klinis pada Bell’s palsy berdasarkan lokasi
lesinya :
e) Lesi dibawah foramen stilomastoideus (tumor kelenjar parotis,
trauma) : Mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan
terkumpul diantara gigi dan gusi, sensasi pada wajah menghilang,
tidak ada lipatan dahi dan mata tidak dapat menutup pada sisi
yang terkena, atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar
terus menerus
f) Lesi di kanalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda
dan gejala klinis sama dengan lesi di luar foramen
stilomastoideus, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan
pada 2/3 bagian anterior lidah. Berkurangnya sekresi saliva akibat
terkenanya korda timpani. Terjadi juga hiperaukusis.
g) Lesi di ganglion genikuli: Tanda dan gejala klinis sama dengan
dalam kanalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius, disertai
dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga dan di
belakang telinga
h) Lesi di interkranial dan/ atau meatus akustikus internus: Tanda
dan gejala klinis sama dengan lesi di ganglion genikuli, hanya saja
disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus
vestibulokoklearis.
30
‘
l. Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele
berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering
terjadi akibat Bell’s palsy, adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu
regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa
muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan
disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan
disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan
stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
31
‘
m. Pemeriksaan penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan,
seperti:
a) Computed tomography (CT) atau MRI diindikasikan pada pasien
yang tidak mengalami perbaikan keadaan setelah 1 bulan
mengalami paralisis wajah, hilangnya pendengaran, defisit saraf
32
‘
33
‘
- Obat-obat antiviral
Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari,
atau 1000 mg/hari selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama
10 hari jika hasil menunjukkan bahwa Bell’s Palsy disebabkan
oleh HSV, jika disebabkan oleh VZV maka diperlukan dosis
yang lebih tinggi (800 mg secara oral, 5 kali sehari).
34
‘
- Vitamin B
Preparat aktif B12 (Metilkobalamin) berperan sebagai kofaktor
dalam proses remielenasi, dengan dosis 3x500 μg/hari.
b) Non-medikamentosa
- Tindakan fisioterapi seperti terapi panas superfisial,
elektroterapi menggunakan arus listrik
- Perawatan mata
Diutamakan pada perawatan mata. Karena penderita Bell’s
Palsy tidak bisa menutup mata secara sempurna, maka
penderita rentan menderita sindrom dry eye yang dapat
berujung pada masalah penglihatan. Pengobatan yang
dianjurkan adalah dengan menggunakan jari untuk menutup
dan membuka mata secara manual, atau dengan menggunakan
obat tetes mata untuk menjaga kelembapan mata. Bisa juga
dengan menggunakan penutup mata ketika tidur dan kacamata
saat beraktivitas sehari-hari. Pemberian air mata buatan,
35
‘
p. Prognosis
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung
memiliki prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011
penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan
pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi
pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala
tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot
yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki
kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala
sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
36
‘
q. SKDI
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter. Lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
37
‘
Patogenesis, Internet
Definisi, etiologi Penegakan diagnosis patofisiologi,
Bell’s palsy
tata laksana
Pakar
38
‘
Saraf
otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
• Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah
• Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
• Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
• Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimic
wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari
dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan
pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu
masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus
39
‘
40
‘
Nervus fasialis propius yaitu nervus tujuh murni mempersarafi otot-otot wajah,
stapedius ditelinga tengah, otot postaurikular dan posterior digastrikus. Nervus
fasialis intermedius (Whirsberg) merupakan nervus yang lebih tipis yang
membawa saraf aferen otonom dan eferen otonom. Aferen otonom mengantar
impuls dari alat pengecap di 2/3 depan lidah. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian
depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke
ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius. Eferen otonom
datang dari nucleus salivatorius superior yang terletak di kaudal nukleus. Satu
kelompok akson dari nukleus ini berpisah di ganglion genikulatum dan
diperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula
mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus ke kaudal dan menyertai
korda timpani serta nervus lingualis ke ganglion submandibularis. Dari sana
impuls berjalan ke glandula sublingualis dan submandibularis yang akan
merangsang salivasi.
41
‘
42
‘
43
‘
sekitar mata
Zygomaticus mayor Mengangkat sudut
Zygomatic dan buccal
mulut
Zygomaticus minor Mengangkat bibir atas
Levator labii superioris Mengangkat bibir atas
dan midportion lipatan
nasolabial
Levator labii superioris Mengangkat lipatan
alaeque nasi nasolabial medial dan
ala nasi
Risorius Membantu senyum
dengan tarikan ke lateral
Buccinator Menarik sudut mulut ke
Buccal belakang dan menekan
pipi
Levator anguli oris Menarik sudut mulut ke
atas dan ke arah garis
tengah
Orbicularis Menutup dan menekan
bibir
Nasalis, dilator naris Melebarkan lubang
hidung
Nasalis, compressor Menekan lubang hidung
naris
Depressor anguli oris Menarik sudut bibir ke
Buccal dan marginal bawah
mandibular Depressor labii Menarik bibir bawah ke
inferioris bawah
Mentalis Menarik kulit dagu
Marginal mandibular
keatas
Platysma Menarik kebawah sudut
Cervical
mulut
44
‘
3. Bell’s palsy
Definisi
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. BP adalah kelumpuhan atau
paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus fasialis perifer yang
bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi, seperti proses non-
supuratif, non neo-plasmatik, non-degeneratif primer namun sangat
mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen
stilomastoideus.
Klasifikasi
Sistem grading dikembangkan oleh House dan Brackmann dari skala sampai
VI.
Grade I adalah fungsi normal nervus fascialis.
Grade II adalah disfungsi ringan, ditandai dengan:
sedikit kelemahan yang hanya terlihat jika dilakukan inspeksi
secara dekat,
wajah simetris pada kondisi istirahat,
gerakan dahi masih bagus,
mata masih dapat menutup sempurna (bisa menutup sendiri dengan
sedikit usaha), dan
45
‘
Diagnosis kerja
Nn. Afriani 28 tahun menderita Bell’s Palsy
Diagnosis banding
47
‘
49
‘
Etiologi
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebab bell’s
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s
Palsy antara lain:
Sesudah bepergian jauh dengan kendaraan,
50
‘
Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi
di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada
kondisi geografis masing- masing negara. Insiden tahunan yang telah
dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi. Puncak insiden terjadi
antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan
prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada
wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy
adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010).
Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak-anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan
pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis
51
‘
Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s palsy
(Kubik dkk, 2012) Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk
(2010) terhadap 500.000 penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2
tahun, telah rnenemukan jumlah pasien Bell’s palsy sebanyak 381 orang,
dengan insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus pertahun.
Faktor resiko
o Penderita yang sedang menderita infeksi saluran pernafasan atas
o Penderita diabetes (30% lebih rentan dari non-diabetes)
o Trimester ketiga pada kehamilan (3,3x)
o HIV
o Keluarga dengan riwayat bell’s palsy (6%)
o Imunocompromised
o Wanita usia muda 10 – 19 tahun
o Pria usia lebih dari 40 tahun
o Selain itu, Bell’s Palsy dapat menyerang pada orang-orang yang terlalu
lama berada di dalam ruang ber-AC, terkena semburan AC / kipas
angin langsung ke wajah, mengendarai motor tanpa helm yang
menutup wajah dengan rapat dan mandi air dingin di malam hari.
Patogenesis
Patogenesis timbulnya Bell‘s Palsy secara pasti masih dalam perdebatan.
N.VII berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang disebut dengan
kanalis fasialis. Adanya edema dan ischemia menyebabkan kompresi dari
N.VII dalam kanalis tulang ini, karena itu ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kompresi
N.VII ini dapat dilihat dengan MRI. Bagian pertama dari kanalis fasialis yang
disebut dengan segmen labyrinthine adalah bagian yang paling sempit, meatus
52
‘
foramien ini memiliki diameter 0,66 mm. Lokasi inilah yang diduga
merupakan tempat paling sering terjadinya kompresi pada N.VII pada Bell‘s
Palsy, karena bagian ini merupakan tempat yang paling sempit maka
terjadinya inflamasi, demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi paling
mungkin terjadi. Lokasi terserangnya Nervus Fasialis di Bell‘s Palsy bersifat
perifer dari nukleus saraf tersebut, dimana timbulnya lesi diduga terletak
didekat ataupun di ganglion genikulatum. Jika lesinya timbul di bagian
proksimal ganglion genikulatum maka akan timbul kelumpuhan motorik
disertai dengan ketidak abnormalan fungsi gustatorium dan otonom. Apabila
lesi terletak di foramen stilomastoideus dapat menyebabkan kelumpuhan fasial
saja.
Patofisiologi
Bell’s palsy masih merupakan perdebatan. Nervus fasialis melewati suatu
bagian tulang temporalis yang sering disebut kanalis fasialis. Teori umum
yang diterima adalah edema dan iskemia menyebabkan kompresi nervus
fasialis didalam kanal ini. Penyebab edema dan iskemia itu sendiri belum
dipastikan. Namun kemungkinan etiologi viral, inflamasi serta autoimun
diduga ikut berperan. Bukti terbaru mengindikasikan hubungan antara Bell
palsy dengan reaktivasi virus herpes simpleks tipe 1 dan herpes zoster pada
ganglia nervus kranial.
Pada kasus ini, Nn. Afriani diduga mengalami penurunan kekebalan tubuh
karena berdasarkan anamnesis diketahui bahwa Nn. Afriani begadang
semalaman dan terpapar cuaca malam yang dingin dalam waktu yang cukup
53
‘
Gejala klinis
54
‘
Bell’s palsy dapat memiliki tanda dan gejala seperti kelumpuhan otot-otot
wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba. Rasa nyeri sering dikeluhkan
dan dapat terjadi pada daerah telinga, yang menyebar luas pada kepala, leher
ataupun mata. Rasa nyeri biasaya muncul setelah beberapa hari dan dapat
mengawali terjadinya kelumpuhan hingga 72 jam, tetapi terkadang rasa nyeri
muncul setelah beberapa hari terjadi paralisis dan dapat menjadi lebih parah
dan menetap.
Temuan klinis paling sering dijumpai adalah :
alis mata turun, tidak dapat menutup mata
jika dusahakan untuk menutup maka akan terlihat bola mata
memutar ke atas (Bell’s phenomenon),
lipatan nasolabial tidak tampak,
mulut tertarik ke sisi yang sehat
rasa kebas pada sisi wajah yang terkena, terutama pada bagian
dahi, mastoid area, dan sudut mandibula.
Rongga mulut dapat menjadi kering akibat berkurangnya sekresi
saliva
perubahan sensasi rasa pada 2/3 anterior lidah dan hyperaesthesia
sebagian pada nervus trigeminal serta hiperakusis.
Perbedaan lokasi lesi saraf fasialis dapat menimbulkan gejala yang berbeda.
Tanda dan gejala klinis pada Bell’s palsy berdasarkan lokasi lesinya :
a) Lesi dibawah foramen stilomastoideus (tumor kelenjar parotis,
trauma) : Mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan
terkumpul diantara gigi dan gusi, sensasi pada wajah menghilang,
tidak ada lipatan dahi dan mata tidak dapat menutup pada sisi
yang terkena, atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar
terus menerus
b) Lesi di kanalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda
dan gejala klinis sama dengan lesi di luar foramen
stilomastoideus, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan
pada 2/3 bagian anterior lidah. Berkurangnya sekresi saliva akibat
terkenanya korda timpani. Terjadi juga hiperaukusis.
55
‘
Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat
yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat
Bell’s palsy, adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi
suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus
fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia
(gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia
(gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan
(3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis
yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul
gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau
pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tearphenomenon, yang
timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut
otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan,
dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara
tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja
56
‘
pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi
bersamaan).
Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell's palsy:
a. Kontraktur otot wajah.
Kontraktur ini tidak tampak pada waktu wajah dalam keadaan
istirahat, tetapi akan terlihat jelas waktu wajah berkontraksi,
dan keadaan ini ditandai dengan lebih dalamnya lipatan
nasolabial dan alis mata tampak lebih rendah dibandingkan
dengan alis mata tampak lebih rendah dibandingkan dengan sisi
yang sehat
b. Crocodile tear phenomenon.
Crocodile tears yaitu keluamya air mata secara involunter dari
mata sisi yang terkena pada saat penderita mengunyah makanan.
Disini terdapat regenerasi saraf otonom yang salah, menimbulkan
hubungan fisiologis antara fleksus sampai yang mensarafi
kelenjar ludah dan N. petrosus suprafasialis mayor yang
mensarafi kelenjar lakrimalis, Letak kelainan pada daerah sekitar
ganglion genikuli
c. Sinkenesis.
Adanya gerakan asosiasi karena regenerasi serabut saraf
mencapai serabut otot yang salah
d. Spasme otot wajah.
Spasme otot terjadi bila penyembuhan yang terjadi inkomplit,
dapat timbul dalam beberapa bulan sampai 1 - 2 tahun, setelah
awitan Bell's palsy
e. Neuralgia Genikulatum.
Neuralgia dari N. fasialis berasal dari N. intermedius dan
ditandai dengan rasa nyeri paroksismal didalam dan disekitar
telinga
Pemeriksaan penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, seperti:
57
‘
Tatalaksana
58
‘
Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi
dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan
lain pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi
diagnosis banding Bell’s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat
menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding lain.
a) Medikamentosa
- Obat-obat antiviral
Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari,
atau 1000 mg/hari selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama
10 hari jika hasil menunjukkan bahwa Bell’s Palsy disebabkan
oleh HSV, jika disebabkan oleh VZV maka diperlukan dosis
yang lebih tinggi (800 mg secara oral, 5 kali sehari).
59
‘
- Vitamin B
Preparat aktif B12 (Metilkobalamin) berperan sebagai kofaktor
dalam proses remielenasi, dengan dosis 3x500 μg/hari.
b) Non-medikamentosa
- Tindakan fisioterapi seperti terapi panas superfisial,
elektroterapi menggunakan arus listrik
- Perawatan mata
Diutamakan pada perawatan mata. Karena penderita Bell’s
Palsy tidak bisa menutup mata secara sempurna, maka
penderita rentan menderita sindrom dry eye yang dapat
berujung pada masalah penglihatan. Pengobatan yang
dianjurkan adalah dengan menggunakan jari untuk menutup
dan membuka mata secara manual, atau dengan menggunakan
obat tetes mata untuk menjaga kelembapan mata. Bisa juga
dengan menggunakan penutup mata ketika tidur dan kacamata
saat beraktivitas sehari-hari. Pemberian air mata buatan,
60
‘
Prognosis
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s
palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah
onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa
gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak
berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang
nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
61
‘
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala
neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang
berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan
beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau
kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total
dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan,
maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis,
crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM.
Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy
kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh
ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
SKDI
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter. Lulusan dokter mampu
membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut
secara mandiri dan tuntas.
62
‘
63
‘
VIII. Sintesis
Mengikuti anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan pada kasus,
Nn.Apriani, 28 tahun, memiliki resiko untuk terkena Bell’s Palsy. Hal ini
dilihat dari umurnya yang 28 tahun, serta terekspos udara dingin sebagai akibat
dari begadang malam hari.
Paparan udara dingin yang didapat pada Nn. Apriani dapat menyebabkan
vasokontriksi pada pembuluh darah. Vasokontriksi pembuluh darah ini akan
menyebabkan iskemik pada nervus facialis, merangsang reaksi inflamasi, dan
menyebabkan edema sehingga saraf tersebut terjepit di foramen
stylomastoideus dan menyebabkan kelumpuhan pada saraf perifernya (Lower
motor neuron). Mekanisme lain mengatakan bahwa udara dingin menyebabkan
inflamasi pada nervus facialis secara langsung, mekanisme selanjutnya
mengikuti yang telah dijelaskan diatas.
64
‘
IX. Kesimpulan
Nn. Afriani, umur 28 tahun mengalami Bell’s Palsy akibat parese nervus VII
(facialis) sinistra tipe perifer.
65
‘
Daftar Pustaka
Arifputra, Andy, dan Tiara Anindhita. 2014. Bell’s Palsy. Dalam Buku : Kapita Selekta
Kedokteran Edisi 4 Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Baehr, Frotscher. Duus Topical Diagnosis in Neurology: Anatomy, Fisiology, Sign, Simptom.
Edisi 4. New York: Mc-Graw Hill companies. 2005;167-175.
Brazis, Paul W., Masdeu, Joseph C., Biller, Jose.2011. Localization in Clinical Neurology.
Lippincott William&Wilkins: Philadelphia
Buku standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. 2006. Jakarta: Perdossi Pusat
De Jong’s. 2005. The Neurologic Examination.Sixth Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams Wilkins
De Myer, W. 2011. Technique of the Neurologiacal Examination 5th Ed. McGraw Hill: New
York.
Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga
Gronseth GS, Paduga R, American Academy of Neurology. Evidence-based guideline
update: steroids and antivirals for Bell palsy: report of the Guideline Development
Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology 2012; 79:2209.
66
‘
Lowis, Handoko dan Maula N. Gaharu. 2012. “Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer”. J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/1118/1104.
diakses pada 22 Agustus 2017
Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5 th ed.
Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
May M. Anatomy for the clinician. In: Schaitkin BM, May M, Klein SR. editors. The facial
nerve. 2nd ed. New york: Thieme; 2000.p.19-56.
Patel AA. Facial Nerve Anatomy. Terdapat pada:
www.emedicine.medscape.com/article/835286-overview
Paulsen, F, dan J. Waschke. 2012. Sobotta : Atlas Anatomi Manusia : Kepala, Leher, dan
Neuroanatomi Edisi 23 Jilid 3. Jakarta : EGC
Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and Victor’s
Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Kelumpuhan nervus fasialis perifer.
Dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher. 7 th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2012. p.95.
Taylor, Danette C.. 2016. Bell Palsy, diakses dari halaman
http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview tanggal 29 Agustus 2016
Vilensky, Joel; Robertson, Wendy; Suarez-Quian, Carlos. 2015. The Clinical Anatomy of the
Cranial Nerves: The Nerves of "On Olympus Towering Top". Ames, Iowa: Wiley-
Blackwell.
Vrabec JT, Coker NJ. 2006. Acute Paralysis of Facial Nerve in: Bailey BJ, Johnson JT,
Newland SD, editors. Head &NeckSurgery-Otolaryngology.4th Ed. Texas:
Lippincott Williams & Wilkins
67