Anda di halaman 1dari 70

LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO B BLOK 19 TAHUN 2017

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 6


Tutor : dr. Aida Farida, Sp.PA

Siti Utari Nadya (04011181520021)


Kemas Muhammad Alwan Dwiputra (04011181520050)
Safira Azzahra (04011181520062)
Aprilia Putri (04011181520065)
M. Alfadilla Akbar (04011281520132)
Reni Wahyu Novianti (04011181520069)
Reynold Siburian (04011281520142)
Nurlutfiyyah Aini (04011281520144)
Nada Nabilah Amani (04011281520146)
Muhammad Dodi Fakhirin (04011281520169)
Karina Dinsyafuri Siregar (04011281520170)
Dimas Ulta Zikri (0411381419191)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2017

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial
Skenario B Blok 19 Tahun 2017” dengan baik.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami mendapat banyak bantuan, bimbingan,
dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. Allah SWT, yang telah memberi nafas kehidupan,
2. Tutor kelompok 6, dr. Aida Farida, Sp.PA
3. Teman-teman sejawat FK Unsri,
4. Semua pihak yang telah membantu kami.

Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini masih mempunyai kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di
masa mendatang.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala bantuan yang diberikan
kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat
bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk membuka wawasan yang lebih luas
lagi. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, 24 Agustus 2017

Kelompok 6

ii

DAFTAR ISI

Judul ..................................................................................................................i
Kata Pengantar.....................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan...............................................................................................1
I. Kegiatan Tutorial.....................................................................................1
Bab II Isi...............................................................................................................2
I. Skenario B................................................................................................2
II. Klarifikasi Istilah......................................................................................2
III. Identifikasi Masalah.................................................................................3
Prioritas Masalah...................................................................................4
IV. Analisis Masalah......................................................................................5
V. Merumuskan Keterbatasan Ilmu Pengetahuan.........................................38
VI. Learning Objectives.................................................................................38
1. Anatomi Nervi Cranialis...............................................................38
2. Fisiologi Nervi Cranialis..............................................................40
3. Bell’s palsy...................................................................................45
VII. Kerangka Konsep.....................................................................................63
VIII. Sintesis...................................................................................................64
Bab III Penutup....................................................................................................65
I. Kesimpulan..............................................................................................65
Daftar Pustaka......................................................................................................66

iii

BAB 1
PENDAHULUAN

I. Kegiatan Tutorial

Tutor : dr. Aida Farida, Sp.PA


Moderator : Reni Wahyu Novianti
Sekretaris : 1. Siti Utari Nadya
2. Aprilia Putri
Hari/Tanggal Pelaksanaan : 21 dan 23 Agustus 2017
Peraturan selama tutorial :
1. Diperbolehkan untuk minum dan dilarang untuk makan.
2. Diperbolehkan permisi ke toilet.
3. Pada saat ingin berbicara terlebih dahulu mengacungkan
tangan, lalu setelah diberi izin moderator baru bicara.
4. Tidak boleh memotong pembicaraan orang lain.
5. Harus lebih aktif selama kegiatan tutorial.

1

BAB 2
ISI

I. Skenario B
Kasus
WAJAH MENGOT

Nn. Afriani, umur 28 tahun dating ke dokter layanan primer dengan keluhan utama mulut
mengot. Disadari ketika penderita bangun pagi ingin menggosok gigi sambil melihat ke
cermin. Mata tidak bisa dipejamkan, dahi tidak bisa diangkat dan sudut mulut tetrtinggal
pada sisi kiri. Makanan sulit dikunyah pada sisi kiri mulut, dan bila makan disertai keluar
air mata, tidak ada demam. Penyakit ini baru pertama kali diderita. Tidak ada riwayat
dalam keluarga yang menderita penyakit yang sama.
Malam sebelumnya penderita begadang menonton orgen tunggal muda mudi sampai larut
malam.

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: GCS 15
Tanda vital: TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit, RR 20x/menit, Temp 37,0 C

Pemeriksaan neurologis:
Pada pemeriksaan nervi kraniales:
- Nervus VII sinistra didapatkan parese tiap perifer berupa: mulai
dari tutup mata, Hiperakusis terdapat lagopthamus (+), tidak bias
mengangkat dan mengerutkan dahi, sudut mulut tertinggal ketika
disuruh meringgis, sulit bersiul dan mengelembungkan pipi
Pemeriksaan Nervi kranialis lain dalam batas normal
Crocodile tears syndrome

2

II. Klarifikasi Istilah


No. Istilah Pengertian
1. Mulut mengot Mulut yang tidak lurus atau miring (KBBI)
2. GCS Glassglow coma scale adalah skala yang digunakan untuk menilai
tingkat kesadaran pasien mulai dari sadar sepenuhnya sampai
keadaan koma
3. Nervi cranialis Saraf tepi yang berpangkal pada otak atau batang otak (Dorland)
4. Parese Lumpuh parsial yang disebabkan oleh lesi saraf atau otot
(Dorland)
5. Nervus VII Nervus facialis merupakan saraf yang dibagi atas 2 cabang,
cabang yang besar mempersarafi otot saraf muka, saraf yang kecil
merupakan nervus intermedius yang mensupply mempersarafi
lakrimal nasal, palatine, submandibula dan 2/3 lidah (Dorland)
6. Hiperakusis Sensasi pendengaran yang sangat tajam, ambangnya sangat
rendah (Dorland)
7. Lagopthalmus Kondisi dimana mata tidak bisa tertutup secara penuh (Dorland)
8. Meringgis menyeringai, bermuka masam (KBBI)
9. Crocodile Lakrimasi spontan yang terjadi bersamaan dengan salivasi normal
tears sewaktu makan disertai paralisis otot-otot wajah (Dorland)
syndrome

III. Identifikasi Masalah:


1. Nn. Afriani, umur 28 tahun datang ke dokter layanan primer dengan keluhan
utama mulut mengot. Disadari ketika penderita bangun pagi ingin menggosok
gigi sambil melihat ke cermin.
2. Mata tidak bisa dipejamkan, dahi tidak bisa diangkat dan sudut mulut tetrtinggal
pada sisi kiri. Makanan sulit dikunyah pada sisi kiri mulut, dan bila makan
disertai keluar air mata, tidak ada demam.
3. Penyakit ini baru pertama kali diderita. Tidak ada riwayat dalam keluarga yang
menderita penyakit yang sama. Malam sebelumnya penderita begadang
menonton orgen tunggal muda mudi sampai larut malam.
4. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: GCS 15
Tanda vital: TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit, RR 20x/menit, Temp 37,0 C
5. Pemeriksaan neurologis:
Pada pemeriksaan nervi kraniales:
3

- Nervus VII sinistra didapatkan parese tiap perifer berupa: mulai


dari tutup mata, Hiperakusis terdapat lagopthamus (+), tidak bias
mengangkat dan mengerutkan dahi, sudut mulut tertinggal ketika
disuruh meringgis, sulit bersiul dan mengelembungkan pipi
Pemeriksaan Nervi kranialis lain dalam batas normal
Crocodile tears syndrome

Prioritas Masalah
No. Fakta Masalah Concern

1. + VVV
Nn. Afriani, umur 28 tahun dating ke dokter layanan primer
dengan keluhan utama mulut mengot. Disadari ketika penderita
bangun pagi ingin menggosok gigi sambil melihat ke cermin.
Mata tidak bisa dipejamkan, dahi tidak bisa diangkat dan sudut
mulut tetrtinggal pada sisi kiri. Makanan sulit dikunyah pada sisi
kiri mulut, dan bila makan disertai keluar air mata.
2. + VV
Tidak ada demam. Penyakit ini baru pertama kali diderita.
Tidak ada riwayat dalam keluarga yang menderita penyakit
yang sama.

3. Malam sebelumnya penderita begadang menonton orgen + VV


tunggal muda mudi sampai larut malam.

4. Pemeriksaan Fisik: + V
Keadaan umum: GCS 15
Tanda vital: TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit,
RR 20x/menit, Temp 37,0 C

5. Pemeriksaan neurologis: + V
Pada pemeriksaan nervi kraniales:
- Nervus VII sinistra didapatkan parese
tiap perifer berupa: mulai dari tutup

4

mata, Hiperakusis terdapat


lagopthamus (+), tidak bias
mengangkat dan mengerutkan dahi,
sudut mulut tertinggal ketika disuruh
meringgis, sulit bersiul dan
mengelembungkan pipi
Pemeriksaan Nervi kranialis lain dalam batas normal
Crocodile tears syndrome

 VVV : prioritas utama


VV : prioritas kedua
V : prioritas ketiga

IV. Analisis Masalah


1. Nn. Afriani, umur 28 tahun datang ke dokter layanan primer dengan keluhan utama
mulut mengot. Disadari ketika penderita bangun pagi ingin menggosok gigi sambil
melihat ke cermin.
a. Bagaimana mekanisme dari mulut mengot?
Dijawab oleh: M. Alfadila dan Apirlia Putri
b. Apa hubungan penyakit yang diderita dengan factor umur dan jenis kelamin?
Dijawab oleh: Kemas M. Alwan, Safira Azzahra
c. Apa saja yang dapat menyebabkan mulut mengot?
Dijawab oleh: Karina Dinsyafuri dan M. Dodi Fakhirin
d. Bagaimana gambaran dari mulut mengot?
Dijawab oleh: Nada Nabilah dan Siti Utari

2. Mata tidak bisa dipejamkan, dahi tidak bisa diangkat dan sudut mulut tertinggal pada
sisi kiri. Makanan sulit dikunyah pada sisi kiri mulut, dan bila makan disertai keluar air
mata, tidak ada demam.
a. Bagaimana mekanisme mata tidak bisa dipejamkan?
Dijawab oleh: M.Alfadila, Safira Azzahra, dan Dimas Ulta
b. Bagaimana mekanisme dahi tidak bisa diangkat?
Dijawab oleh: Nurluthfiyyah Aini, Nada Nabilah, dan Reni Wahyu
c. Bagaimana mekanisme sudut mulut tertinggal pada sisi kiri?

5

Dijawab oleh: Aprilia Putri, Reni Wahyu, dan Safira Azzahra


d. Bagaimana mekanisme makan sulit dikunyah pada sisi kiri mulut?
Dijawab oleh: Dodi Fakhirin, Siti Utari, dan Reynold
e. Bagaimana mekanisme air mata keluar pada saat makan?
Dijawab oleh: Karina Dinsyafuri, Kemas M. Alwan, dan Siti Utari
f. Apa saja penyebab/etiologi keluhan pada Nn. Afriani?
Dijawab oleh: Reynold, Nurluthfiyyah Aini, dan Siti Utari
g. Bagaimana cara menentukan letak lesi berdasarkan gejala?
Dijawab oleh: Dodi Fakhirin, Aprilia Putri, dan Dimas Ulta

3. Penyakit ini baru pertama kali diderita. Tidak ada riwayat dalam keluarga yang
menderita penyakit yang sama. Malam sebelumnya penderita begadang menonton
orgen tunggal muda mudi sampai larut malam.
a. Bagaimana hubungan riwayat penyakit sekarang dan riwayat keluarga?
Dijawab oleh: Karina Dinsyafuri dan Nurluthfiyyah Aini
b. Apa hubungan begadang malam sebelumnya dengan kasus?
Dijawab oleh: Reynold dan Dimas Ulta

4. Pemeriksaan fisik
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik?
Dijawab oleh: Nada Nabilah, Kemas M. Alwan, dan M. Alfadila

5. Pemeriksaan neurologis
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan neurologis?
Dijawab oleh: Karina Dinsyafuri, Nada Nabilah, Nurluthfiyyah Aini
b. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan neurologis?
Dijawab oleh: Reynold, Aprilia Putri, dan Safira Azzahra
c. Bagaimana cara pemeriksaan nervus cranialis? (fokus nervus VII)
Dijawab oleh: Reni Wahyu, Siti Utari, Dimas Ulta
d. Bagaimana gambaran dari crocodile tears syndrome?
Dijawab oleh: M. Alfadila, Dodi Fakhiri, dan Kemas M. Alwan

6

1. Nn. Afriani, umur 28 tahun datang ke dokter layanan primer dengan keluhan
utama mulut mengot. Disadari ketika penderita bangun pagi ingin menggosok
gigi sambil melihat ke cermin.
a. Bagaimana mekanisme dari mulut mengot?
Jawab:
Kemungkinan paparan udara dingin malam hari/infeksi karena system
imun yang melemah  inflamasi pada nervus fasialis  diameter n.
fasialis meningkat (edema)  kompresi n. fasialis saat melewati os.
Temporal  gangguan konduksi impuls motoric yang dihantarkan n.
fasialis  gangguan pada otot yang menggerakkan mulut  mulut
mengot
Adanya gangguan pada nervus kranialis VII seperti edema, inflamasi,
serta kompresi menyebabkan terhambatnya fungsi normal otot yang
dipersarafinya, salah satu otot yang terhambat kontraksinya ialah otot otot
yang membentuk sudut mulut. Pada kasus, didapati mulut tertinggal di
sisi kiri menandakan saraf yang mengalami gangguan berasal dari saraf
ipsilateral ( LMN). Selain otot, fungsi lain yang terganggu kerjanya ialah
sensorik ( 2/3 anterior lidah) dan autonom ( kelenjar saliva dan kelenjar
lakrimal).

b. Apa hubungan penyakit yang diderita dengan factor umur dan jenis
kelamin?
Jawab:
Bell’s palsy mengenai rata - rata wanita dan pria dengan perbandingan
yang sama. Akan tetapi wanita muda usia 10 – 19 tahun lebih rentan
terkena bell’s palsy dibandingkan dengan pria dengan umur yang sama.
Penyakit ini menyerang semua usia, akan tetapi lebih sering terjadi pada
usia 15 – 50 tahun. Namun ada juga sumber yang menyebutkan bahwa
bell’s palsy lebih banyak menyerang orang dewasa dibandingkan anak-
anak.

c. Apa saja yang dapat menyebabkan mulut mengot?


Jawab:

7

 Lesi struktural di dalam telinga atau kelenjar parotid


(seperti cholesteatoma, tumor saliva) Pasien dengan tumor
memiliki perjalanan penyakit yang panjang, dan berprogresif
secara lambat dalam beberapa minggu atau bulan dan gejala sering
bertahan tanpa ada penyembuhan. Terlibatnya hanya satu atau dua
cabang distal dari saraf fasialis juga menduga tumor, penyakit
telinga tengah yang aktif atau suatu massa di kelenjar parotid
(Ronthal dkk, 2012; May dkk,1987).
 Guillain Barre Syndrome (GBS). Guillain Barre Syndrome
merupakan suatu poliradikuloneuropati inflamasi yang bersifat
akut. Gangguan berupa paralisis fasialis bilateral dapat dijumpai
pada ± 50% kasus GBS. Klinis lainnya adalah kelumpuhan pada
saraf motorik ekstremitas, dan pernafasan. Refleks tendon negatif
pada daerah yang terlibat (May 2000).
 Lyme disease. Pasien dengan Lyme disease juga memiliki riwayat
terpapar dengan kutu, adanya ruam- ruam di kulit dan arthralgia.
Saraf fasialis yang sering terlibat adalah bilateral. Penyakit ini
endemis di daerah tertentu, seperti di negara- negara bagian utara
dan timur Amerika Serikat, di pertengahan barat (Minnesota dan
Wisconsin), atau di Califomia atau Oregon selama musim panas
dan bulan- bulan pertama musim gugur. Di daerah- daerah ini
merupakan lokasi geografis dimana vektor kutu ditemukan.
Gangguan ini juga dikenali dengan baik di Eropa dan Australia
(Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008).
 Otitis media. Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap,
dengan disertai nyeri telinga dan demam (Tiemstra dkk, 2007).
 Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster). Pasien dengan
Ramsay Hunt Syndrome memiliki suatu prodromal nyeri dan
sering berkembang erupsi vesikel pada kanal telinga dan faring.
Penyakit ini disebabkaan oleh virus herpes zoster, dengan
klinis berupa paralisis fasialis, atau gangguan pendengaran atau
keseimbangan (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007).

8

 Sarcoidosis. Pasien dengan sarcoidosis memiliki gejala paralisis


fasialis bilateral dan uveitis. Sarcoidosis merupakan penyakit
granulomatosa dari asal yang tidak ditentukan yang
melibatkan banyak sistem organ. Diagnosis dibuat berdasarkan
temuan klinis beserta dengan biopsi jaringan yang terlibat oleh
sarcoid (May 2000; Tiemstra dkk, 2007).
 Melkerson Rosenthal Syndrome (MRS). Melkerson Rosenthal
Syndrome merupakan suatu trias dari gejala edema orofasial
berulang, paralisis fasialis berulang, dan lingua plicata (fissured
tongue). Edema orofasial merupakan gambaran yang selalu
dijumpai pada pasien MRS, sedangkan yang lainnya masing-
masing terjadi pada setengah pasien. Trias lengkap ini hanya
dijumpai pada seperempat kasus. Penyakit ini umumnya dimulai
pada dekade kedua, dan manifestasi biasanya terjadi secara
berurutan dan jarang terjadi secara bersamaan (May 2000).
d. Bagaimana gambaran dari mulut mengot?
Jawab:

9

2. Mata tidak bisa dipejamkan, dahi tidak bisa diangkat dan sudut mulut tertinggal
pada sisi kiri. Makanan sulit dikunyah pada sisi kiri mulut, dan bila makan
disertai keluar air mata, tidak ada demam.
a. Bagaimana mekanisme mata tidak bisa dipejamkan?
Jawab:
Terjadinya paralisis nervus vii, yang pada kasus ini masih belum bisa
dipastikan (idiopatik) penyebab pasti dari gangguan yang dirasakan nn.
Afriani, namun kemungkinan besar adalah akibat paparan suhu dingin
saat larut malam dan bergadang. Paparan suhu dingin dapat menyebabkan
edema pada saraf. Namun edema pada N. fascialis belum dapat
dijelaskan. Nervus fasialis yang mengalami edema saat melewati foramen
atau kanalis fasialis yang sempit akan menyebabkan kompresi N. fasialis
sehingga terjadi gangguan persarafan pada otot-otot ekspresi wajah, salah
satunya M. Orbicullaris Oculli. Yang menyebabkan terganggunay fungsi
menutup kelopak mata sehingga mata tidak bisa dipejamkan.

b. Bagaimana mekanisme dahi tidak bisa diangkat?


Jawab:
Penyebab dahi tidak bisa diangkat adalah karena sulitnya otot-otot dahi
untuk bergerak. Hal ini disebabkan oleh lumpuhnya saraf yang
mempersarafi otot-otot wajah salah satunya otot yang bekerja untuk
mengangkat dahi adalah otot frontalis. Infeksi virus merupakan salah satu
penyebab terjadinya inflamasi tersebut. Adanya infeksi virus
menyebabkan inflamasi pada nervus fasialis di kanalis fasialis, sesuai
dengan gejala yang muncul, lesi tepatnya kemungkinan terjadi di daerah
foramen stilomastoideus. Adanya inflamasi tersebut menyebabkan
kompresi, iskemik, diemyelinasi akson yang menyebabkan lesi. Hal
tersebut menyebabkan impuls yang dihantarkan tidak sampai ke otot-otot
fasialis. Dahi sulit dingkat terjadi karena adanya block atau tidak
terhantarnya impuls untuk menggerakan otot-otot pengangkat dahi, dalam
hal ini adalah otot frontalis.

10

c. Bagaimana mekanisme sudut mulut tertinggal pada sisi kiri?


Jawab:
Terjadinya paralisis nervus vii, yang pada kasus ini masih belum bisa
dipastikan (idiopatik) penyebab pasti dari gangguan yang dirasakan nn.
Afriani, namun kemungkinan besar adalah akibat paparan suhu dingin
saat larut malam dan bergadang. Paparan suhu dingin dapat menyebabkan
edema pada saraf. Namun edema pada N. fascialis belum dapat
dijelaskan. Nervus fasialis yang mengalami edema saat melewati foramen
atau kanalis fasialis yang sempit akan menyebabkan kompresi N. fasialis
sehingga terjadi gangguan persarafan pada otot-otot ekspresi wajah, salah
satunya M. buccinator, m. depresor labii inferioris, m. levator labii
superioris, m. mentalis, m. orbicularis oris, m. risorius m. deppresor
anguli oris, m. zigomaticus mayor, m. zigomaticus minor. Yang
menyebabkan sudut mulut tidak terbentuk atau tertinggal pada sisi kiri.

d. Bagaimana mekanisme makan sulit dikunyah pada sisi kiri mulut?


Jawab:
Penyebab makanan sulit dikunyah pada sisi kiri adalah karena sulitnya
otot-otot mulut sebelah kiri untuk bergerak. Hal ini disebabkan oleh
lumpuhnya saraf yang mempersarafi otot-otot wajah salah satunya otot
yang bekerja menggerakkan mulut saat mengunyah adalah buccinator.
Infeksi virus merupakan salah satu penyebab terjadinya inflamasi
tersebut. Adanya infeksi virus menyebabkan inflamasi pada nervus
fasialis di kanalis fasialis, sesuai dengan gejala yang muncul, lesi
tepatnya kemungkinan terjadi di daerah foramen stilomastoideus. Adanya
inflamasi tersebut menyebabkan kompresi, iskemik, diemyelinasi akson
yang menyebabkan lesi. Hal tersebut menyebabkan impuls yang
dihantarkan tidak sampai ke otot-otot fasialis. Makanan sulit dikunyah
terjadi karena adanya block atau tidak terhantarnya impuls untuk
menggerakan otot-otot penggerak mulut, dalam hal ini otot yang bekerja
untuk membantu mengangkat mulut saat mengunyah yang dipersarafi
oleh nervus fasialis adalah otot buccinator.

11

e. Bagaimana mekanisme air mata keluar pada saat makan?


Jawab:
Bell’s palsy  gangguan pada n. Facialis (n. Facialis memiliki cabang
yang mempersyarafi secremotor submandibular salivary gland dan
cabang yang mempersarafi seremotor lacrimal gland)  stimulasi bau
dan rasa makanan  stimulus berjalan ke cabang yang mempersarafi
sekremotor salivary gland  terjadi misdirected atau cross stimulation ke
cabang yang mempersarafi secremotorlacrimal gland  keluar air mata
sat mengunyah makanan.
Akibat regenerasi saraf yang salah dari serabut otonom. menimbulkan
hubungan fisiologis antara fleksus sampai yang mensarafi kelenjar ludah
dan N. petrosus suprafasialis mayor yang mensarafi kelenjar lakrimalis,
Letak kelainan pada daerah sekitar ganglion genikuli.
f. Apa saja penyebab/etiologi keluhan pada Nn. Afriani?
Jawab:

12

g. Bagaimana cara menentukan letak lesi berdasarkan gejala?


Jawab:
a) Lesi dibawah foramen stilomastoideus (tumor kelenjar parotis,
trauma) : Mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan
terkumpul diantara gigi dan gusi, sensasi pada wajah menghilang,
tidak ada lipatan dahi dan mata tidak dapat menutup pada sisi
yang terkena, atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar
terus menerus
b) Lesi di kanalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda
dan gejala klinis sama dengan lesi di luar foramen
stilomastoideus, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan
pada 2/3 bagian anterior lidah. Berkurangnya sekresi saliva akibat
terkenanya korda timpani. Terjadi juga hiperaukusis.
c) Lesi di ganglion genikuli: Tanda dan gejala klinis sama dengan
dalam kanalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius, disertai
dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga dan di
belakang telinga
d) Lesi di interkranial dan/ atau meatus akustikus internus: Tanda
dan gejala klinis sama dengan lesi di ganglion genikuli, hanya saja
disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus
vestibulokoklearis.

3. Penyakit ini baru pertama kali diderita. Tidak ada riwayat dalam keluarga yang
menderita penyakit yang sama. Malam sebelumnya penderita begadang
menonton orgen tunggal muda mudi sampai larut malam.
a. Bagaimana hubungan riwayat penyakit sekarang dan riwayat keluarga?
Jawab:
Riwayat demam sebelum terjadinya kelumpuhan otot wajah dapat berarti
kemungkinan kelumpuhan disebabkan oleh adanya infeksi virus.
Beberapa teori mengemukakan bahwa ada kaitan antara infeksi virus
dengan kelumpuhan otot wajar yang bersifat perifer, biasanya berkaitan
dengan infeksi virus herpes.
Pada anamnesis ditanyakan kelumpuhan terjadi baru pertama kali atau
sudah berulang karena pada kasus berulang perlu dicurigai adanya tumor
13

yang dapat menyebabkan kompresi pada saraf fasialis. Jika kejadian


berulang sebaiknya perlu dilakukan pemeriksaan penunjang radiologi
seperti MRI.
Anamnesis pada kasus parese Nervus fasialis juga perlu ditanyakan
riwayat keluarga, pada beberapa kasus sekitar 6% kasus dikaitkan dengan
faktor herediter yaitu kanalis fasialis yang sempit

b. Apa hubungan begadang malam sebelumnya dengan kasus?


Jawab:
Udara malam identik dengan udara dingin. Paparan udara dingin seperti
angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka
diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena udara
dingin, nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

4. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: GCS 15
Tanda vital: TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit, RR 20x/menit, Temp 37,0 C
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik?
Jawab:
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
pemeriksaan
Kesadaran GCS : 15 GCS : Compos Normal
Umum Mentis (14-15)
Tekanan 120/80 120/80 mmHg Normal
Darah mmHg
Nadi 80x/menit 60-100x/menit Normal
Temp 37°C 36,5-37,5°C Normal
RR 20x/menit 16-24x/menit Normal

5. Pemeriksaan neruologis
Pada pemeriksaan nervi kraniales:

14

- Nervus VII sinistra didapatkan parese tiap perifer berupa: mulai


dari tutup mata, Hiperakusis terdapat lagopthamus (+), tidak bias
mengangkat dan mengerutkan dahi, sudut mulut tertinggal ketika
disuruh meringgis, sulit bersiul dan mengelembungkan pipi
Pemeriksaan Nervi kranialis lain dalam batas normal
Crocodile tears syndrome
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan neurologis?
Jawab:

No. Hasil Pemeriksaan Keadaan Normal Interpretasi


1. Mata sinistra: mulai Mata dapat menutup Tidak normal
dari tutup mata yang sempurna, tidak ada
tidak dapat menutup hiperakusis
sempurna, Hiperakusis
terdapat lagopthalmus
positif
2. Tidak bisa mengangkat Dapat mengangkat dan Tidak normal
dan mengerutkan dahi mengerutkan dahi
pada sisi sebelah kiri
3. Sudut mulut sisi kiri Sudut mulut sisi kiri Tidak normal
tertinggal ketika terangkat ketika disuruh
disuruh meringis meringis
4. Sulit bersiul dan Dapat bersiul dan Tidak normal
menggelembungkan menggelembungkan pipi
pipi
Pemeriksaan Nervi Normal Normal
Kranialis
Crocodile Tears Air mata tidak keluar pada Tidak
Syndrome (air mata saat makan Normal
keluar berlebihan saat
makan)

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan neurologis


Jawab:
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan hasil yang abnormal
dikarenakan lesi perifer (lesi infranuklearis) Nervus VII, yaitu serabut

15

motorik (Nervus Fascialis) yang mempersarafi sebagian besar otot-otot


ekspresi wajah.
Inti nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi kelompok atas dan bawah.
Inti nervus fasialis bagian bawah mendapat innervasi kontralateral dari
korteks somatomotorik dan inti nervus fasialis bagian atas mendapat
inervasi dari kedua belah korteks somatomotorik. Oleh karena itu, pada
paresis nervus fasialis UMN (karena lesi di korteks atau kapsula
interna) otot wajah bagian bawah saja yang jelas paretik, sedangkan otot
wajah atas tidak jelas lumpuh. Sebaliknya, pada kelumpuhan nervus
fasialis LMN (karena lesi infranuklearis), baik otot wajah atas maupun
bawah, kedua-duanya jelas lumpuh. Pada kasus terdapat lesi pada LMN,
ini yang menyebabkan sebelah wajahnya lumpuh.

16

c. Bagaimana cara pemeriksaan nervus facialis?


Jawab:
A. Pemeriksaan neurologi
Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi
dan dapat dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut,
yaitu:

Pemeriksaan motorik nervus fasialis.
• Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada
sisi yang sehat saja.
• Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat
diangkat
• Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit
kelompak mata tidak dapat menutupi bola mata dan
berputarnya bola mata ke atas dapat dilihat. Hal tersebut
dikenal Fenomena Bell. Selain itu dapat dilihat juga bahwa
gerakan kelopak mata yang sakit lebih lambat dibandingkan
dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini dikenal
sebagai Lagoftalmus.
• Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak
dapat dikembungkan.
• Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya atau
disuruh meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang
lumpuh tidak dapat diangkat sehingga mulut tampaknya
mencong ke arah sehat. Dan juga sulcus nasolabialis pada
sisi wajah yang sakit mendatar.

17


Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis.
Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis
diperiksa pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam,
dan rasa asam diperiksa pada bagian tengah lidah dengan
bahan asam sitrat. Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan
pada sisi yang tidak sehat kurang tajam.

Pemeriksaan Refleks.
Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bell’s Palsy
adalah pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak
langsung dimana pada paresis nervus VII didapatkan hasil
berupa pada sisi yang sakit kedipan mata yang terjadi lebih
lambat atau tidak ada sama sekali. Selain itu juga dapat
diperiksa refleks nasopalpebra pada orang sehat pengetukan
ujung jari pada daerah diantara kedua alis langsung dijawab
dengan pemejaman kelopak mata pada sisi, sedangkan pada
paresis facialis jenis perifer terdapat kelemahan kontraksi m.
orbikularis oculi (pemejaman mata pada sisi sakit).

Beberapa pemeriksaan sederhana lain yang dapat dilakukan untuk


membantu penegakkan diagnosa antara lain :
B. Stethoscope Loudness Test
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi dari
muskulus stapedius. Pasien diminta menggunakan stetoskop
kemudian dibunyikan garpu tala pada membran stetoskop, maka

18

suara yang keras akan terlateralisasi ke sisi muskulus stapedius yang


lumpuh
C. Schirmer Blotting Test.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi lakrimasi.
Digunakan benzene yang menstimulasi refleks nasolacrimalis
sehingga dapat dibandingkan keluar air mata dapat dibandingkan
antara sisi yang lumpuh dan yang normal.
D. Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan Radiologis yang dapat dilakukan untuk Bell‘s Palsy
antara lain adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pada
pasien dengan Bell Palsy dapat timbul gambaran kelainan pada
nervus fasialis. Selain itu pemeriksaan MRI juga berguna apabila
penderita mengalami Kelumpuhan wajah yang berulang, agar dapat
dipastikan apakah kelainan itu hanya merupakan gangguan pada
nervus Fasialis ataupun terdapat tumor.

d. Bagaimana gambaran dari crocodile tears syndrome

6. Aspek Klinis: Bell’s palsy

a. Diagnosis banding
No. Diagnosis Karakteristik
19

Banding
1. Guillain Barre Guillain Barre Syndrome merupakan
Syndrome(GBS) suatu poliradikuloneuropati inflamasi
yang bersifat akut. Gangguan berupa
paralisis fasialis bilateral dapat dijumpai
pada ± 50% kasus GBS. Klinis lainnya
adalah kelumpuhan pada saraf motorik
ekstremitas, dan pernafasan. Refleks
tendon negatif pada daerah yang terlibat
2. Lymedisease Pasien dengan Lyme disease memiliki
gejala paralisis nervus facialis, bisa
unilateral atau bilateral (biasa bilateral).
Pasien juga memiliki riwayat terpapar
dengan kutu, adanya ruam- ruam di kulit
dan arthralgia. Kemungkinan diagnosis
untuk Lyme disease menurun pada
daerah non endemik
3. Ramsay Hunt Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome
Syndrome memiliki suatu prodromal nyeri dan
(komplikasi sering berkembang erupsi vesikel pada
herpeszoster) kanal telinga danfaring. Penyakit ini
disebabkaan oleh virus herpes zoster,
dengan klinis berupa paralisis fasialis,
atau gangguan pendengaran atau
keseimbangan
4. Melkerson Melkerson Rosenthal Syndrome
Rosenthal merupakan suatu trias dari gejala edema
Syndrome(MRS) orofasial berulang, paralisis fasialis
berulang, dan lingua plicata(fissured
tongue). Edema orofasial merupakan
gambaran yang selalu dijumpai pada
pasien MRS, sedangkan yang lainnya
masing- masing terjadi pada setengah
pasien. Trias lengkap ini hanya dijumpai
pada seperempat kasus. Penyakit ini
20

umumnya dimulai pada dekade kedua,


dan manifestasi biasanya terjadi secara
berurutan dan jarang terjadi secara
bersamaan

b. Algoritme penegakkan diagnosis

Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci


dalam mendiagnosis Bell’s palsy (Garg dkk, 2012).
1. Anamnesis

21

Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan


penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting
ditanyakan untuk membedakannya dengan penyakit lain yang
menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan yang terjadi sering
unilateral pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam
1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif, dan
mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang
(Ronthal dkk, 2412; May dkk, 1987).
2. Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi
saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi
SSP (supranuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf
fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya
paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata
dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan
defisit neurologis lainnya, sekurang- kurangnya kelumpuhan
ekstremitas pada sisi yang kontralateral (gambar 6) (Tiemstra dkk,
2007).
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan
pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki
manfaat sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien dengan
paralisis fasialis, sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis.
Hal ini dikarenakan:
 Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup
bervariasi, mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur alternatif
bagi akson- akson untuk mencapai terminalnya.
 Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak
secara tajam terletak pada level tertentu, karena suatu lesi dapat
mempengaruhi komponen yang berbeda dari saraf pada tingkat
yang beragam dan dengan derajat keparahan yang berbeda- beda.
 Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi
dapat terjadi pada waktu yang berbeda- beda.

22

 Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis


tidak sepenuhnya dapat dipercaya (May 2000;Kanerva 2008;
Ronthal dkk, 2012).
Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
lain yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila
ditemukan adanya otitis rnedia yang aktif dan massa di
kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan
dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy
(May dkk, 1987).

Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan


penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan
lanjutan berikut dapat dianjurkan, seperti:
a) Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic
Resonance lmaging (MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya
tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis fasial setelah 1 bulan,
adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial multipel
dan tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan
sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau spasme
yang mendahului kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor
harus dilakukan juga imaging.
b) Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan
pendengaran, tes audiologi dapat dilakukan untuk
menyingkirkan neuroma akustikus.
c) Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda
keterlibatan sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat
minggu (Garg dkk, 2012 Ronthal dkk, 2012).

c. Diagnosis kerja
Nn. Afriani 28 tahun menderita Bell’s Palsy

d. Definisi
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar
23

sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. BP adalah


kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus
fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi, seperti proses non-supuratif, non neo-plasmatik, non-
degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada
bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus

e. Klasifikasi
Sistem grading dikembangkan oleh House dan Brackmann dari skala
sampai VI.
Grade I adalah fungsi normal nervus fascialis.
Grade II adalah disfungsi ringan, ditandai dengan:
 sedikit kelemahan yang hanya terlihat jika dilakukan inspeksi
secara dekat,
 wajah simetris pada kondisi istirahat,
 gerakan dahi masih bagus,
 mata masih dapat menutup sempurna (bisa menutup sendiri dengan
sedikit usaha), dan
 asimetris mulut terlihat sedikit.
Grade III adalah disfungsi sedang, ditandai dengan:
 perbedaan wajah yang jelas antara sisi kanan dan kiri, namun belum
terlalu menonjol,
 spasme hemifasial sudah terlihat,
 wajah simetris pada kondisi istirahat,
 gerakan dahi mulai terlihat berkurang,
 mata dapat menutup sempurna dengan usaha nyata, dan
 pergerakan mulut yang sedikit dilakukan dengan usaha nyata.
Grade IV adalah disfungsi sedang berat, ditandai dengan:
 kelemahan wajah satu sisi yang nyata,
 wajah simetris pada kondisi istirahat,
 kerutan dahi menghilang,
 mata tidak bisa menutup dengan sempurna, dan
 asimetris mulut tampak jelas.
24

Grade V adalah disfungsi berat, ditandai dengan:


 wajah asimetris pada saat istirahat,
 kerutan dahi menghilang,
 mata tidak menutup dengan sempurna, dan
 mulut tidak bisa banyak bergerak lagi.
Grade VI adalah kelumpuhan total, ditandai dengan: is total paralysis.
The following are noted:
 asimetris tampak sangat jelas, dan
 tidak ada pergerakan yang bisa dilakukan lagi pada sisi yang sakit.

f. Etiologi
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebab bell’s
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s
Palsy antara lain:
 Sesudah bepergian jauh dengan kendaraan,
 Tidur di tempat terbuka,
 Tidur di lantai,
 Hipertensi,
 Stress,
 Hiperkolesterolemi,
 Diabetes mellitus,
 Penyakit vaskuler,
 Gangguan imunologik dan
 Faktor genetic.
2) Kongenital
 anomali kongenital (sindroma Moebius)
 trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
3) Didapat
 Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)

25

 Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)


 Proses di leher yang menekan daerah prosesus
stilomastoideus)
 Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
 Sindroma paralisis n. fasialis familial

g. Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden
bervariasi di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini
tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara. Insiden
tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000
populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-
45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin.
Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per
100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes
mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010).

Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak-anak < 2 tahun. Tidak ada
perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis
saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2%
(Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12%
kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang
berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008).

Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s


palsy (Kubik dkk, 2012) Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh
Monini dkk (2010) terhadap 500.000 penduduk di satu wilayah di Roma
ltalia selama 2 tahun, telah rnenemukan jumlah pasien Bell’s palsy
sebanyak 381 orang, dengan insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus
pertahun.

h. Faktor resiko
 Penderita yang sedang menderita infeksi saluran pernafasan atas

26

 Penderita diabetes (30% lebih rentan dari non-diabetes)


 Trimester ketiga pada kehamilan (3,3x)
 HIV
 Keluarga dengan riwayat bell’s palsy (6%)
 Imunocompromised
 Wanita usia muda 10 – 19 tahun
 Pria usia lebih dari 40 tahun
 Selain itu, Bell’s Palsy dapat menyerang pada orang-orang yang
terlalu lama berada di dalam ruang ber-AC, terkena semburan AC /
kipas angin langsung ke wajah, mengendarai motor tanpa helm yang
menutup wajah dengan rapat dan mandi air dingin di malam hari.

i. Patogenesis
Patogenesis timbulnya Bell‘s Palsy secara pasti masih dalam
perdebatan. N.VII berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang
disebut dengan kanalis fasialis. Adanya edema dan ischemia
menyebabkan kompresi dari N.VII dalam kanalis tulang ini, karena itu
ia terjepit di dalam foramen stilomastoideum dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Kompresi N.VII ini dapat dilihat dengan
MRI. Bagian pertama dari kanalis fasialis yang disebut dengan segmen
labyrinthine adalah bagian yang paling sempit, meatus foramien ini
memiliki diameter 0,66 mm. Lokasi inilah yang diduga merupakan
tempat paling sering terjadinya kompresi pada N.VII pada Bell‘s Palsy,
karena bagian ini merupakan tempat yang paling sempit maka
terjadinya inflamasi, demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi
paling mungkin terjadi. Lokasi terserangnya Nervus Fasialis di Bell‘s
Palsy bersifat perifer dari nukleus saraf tersebut, dimana timbulnya lesi
diduga terletak didekat ataupun di ganglion genikulatum. Jika lesinya
timbul di bagian proksimal ganglion genikulatum maka akan timbul
kelumpuhan motorik disertai dengan ketidak abnormalan fungsi
gustatorium dan otonom. Apabila lesi terletak di foramen
stilomastoideus dapat menyebabkan kelumpuhan fasial saja.

27

j. Patofisiologi
Patofisiologi Bell palsy masih merupakan perdebatan. Nervus fasialis
melewati suatu bagian tulang temporalis yang sering disebut kanalis
fasialis. Teori umum yang diterima adalah edema dan iskemia
menyebabkan kompresi nervus fasialis didalam kanal ini. Penyebab
edema dan iskemia itu sendiri belum dipastikan. Namun kemungkinan
etiologi viral, inflamasi serta autoimun diduga ikut berperan. Bukti
terbaru mengindikasikan hubungan antara Bell palsy dengan reaktivasi
virus herpes simpleks tipe 1 dan herpes zoster pada ganglia nervus
kranial.
Pada kasus ini, Nn. Afriani diduga mengalami penurunan kekebalan
tubuh karena berdasarkan anamnesis diketahui bahwa Nn. Afriani
begadang semalaman dan terpapar cuaca malam yang dingin dalam
waktu yang cukup lama yang menyebabkan tubuhnya kurang istirahat.
Dengan menurunnya system imun, tubuh Nn. Afriani dapat dengan
mudah terkena infeksi baik dari virus, bakteri ataupun agen infeksius
lainnya. Bahkan penurunan imunitas ini juga dapat menyebabkan
teraktivasinya virus yang mungkin ada didalam tubuh Nn. Afriani
dalam keadaan inaktif.
Berdasarkan bukti etiologinya, Bell palsy paling sering disebabkan oleh
infeksi virus. Saat virus masuk ke dalam tubuh, virus tersebut dapat
menuju ke akson saraf sensoris hingga ke kanalis fasialis, pada kasus ini
saraf fasialis sinistra. Virus ini kemudian akan menyebabkan kerusakan
lokal pada serabut saraf yang dapat berdampak pada rusaknya myelin
saraf tersebut. Lesi ini akan menyebabkan terganggunya hantaran
impuls saraf tersebut menuju ke efektornya. Secara tidak langsung,
gangguan hantaran impuls ini juga dapat disebabkan oleh respon radang
28

berupa edema karena pengumpulan eksudat sel-sel dan protein-protein


radang yang terjadi akibat infeksi virus. Hal ini pun akan menyebabkan
lesi pada saraf fasialis melalui kompresi yang terjadi terhadap saraf
tersebut. Karena saraf fasialis yang mengalami lesi adalah bagian
perifer (setelah nucleus nervi craniales), maka otot yang mengalami
kelumpuhan adalah otot wajah bagian atas dan bawah. Hal ini
menyebabkan timbulnya manifestasi seperti kesulitan mengangkat dan
mengerutkan dahi, kesulitan menutup mata, bersiul,
menggelembungkan pipi, serta mulut yang tampak mengot ketika
tersenyum.
Berdasarkan deficit neurologis yang terjadi pada kasus ini,
kemungkinan letak lesinya adalah di daerah foremen stilomastoideus
karena hanya timbul paralisis wajah saja. Sedangkan jika lesi terletak
proksimal dari korda timpani juga akan mengganggu pengecapan pada
2/3 anterior lidah. Jika lesi lebih proksimal akan mengenai nervus
stapedius dan akan timbul keluhan persepsi suara yang berlebih dan jika
lesi di daerah petrosus superior mayor maka keluhan juga akan disertai
dengan hilangnya lakrimasi ipsilateral.

k. Gejala klinis
Bell’s palsy dapat memiliki tanda dan gejala seperti kelumpuhan otot-
otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba. Rasa nyeri sering
dikeluhkan dan dapat terjadi pada daerah telinga, yang menyebar luas
pada kepala, leher ataupun mata. Rasa nyeri biasaya muncul setelah
beberapa hari dan dapat mengawali terjadinya kelumpuhan hingga 72
jam, tetapi terkadang rasa nyeri muncul setelah beberapa hari terjadi
paralisis dan dapat menjadi lebih parah dan menetap.
Temuan klinis paling sering dijumpai adalah :
 alis mata turun, tidak dapat menutup mata
 jika dusahakan untuk menutup maka akan terlihat bola mata
memutar ke atas (Bell’s phenomenon),
 lipatan nasolabial tidak tampak,
 mulut tertarik ke sisi yang sehat

29

 rasa kebas pada sisi wajah yang terkena, terutama pada bagian
dahi, mastoid area, dan sudut mandibula.
 Rongga mulut dapat menjadi kering akibat berkurangnya sekresi
saliva
 perubahan sensasi rasa pada 2/3 anterior lidah dan hyperaesthesia
sebagian pada nervus trigeminal serta hiperakusis.
Perbedaan lokasi lesi saraf fasialis dapat menimbulkan gejala yang
berbeda. Tanda dan gejala klinis pada Bell’s palsy berdasarkan lokasi
lesinya :
e) Lesi dibawah foramen stilomastoideus (tumor kelenjar parotis,
trauma) : Mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan
terkumpul diantara gigi dan gusi, sensasi pada wajah menghilang,
tidak ada lipatan dahi dan mata tidak dapat menutup pada sisi
yang terkena, atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar
terus menerus
f) Lesi di kanalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda
dan gejala klinis sama dengan lesi di luar foramen
stilomastoideus, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan
pada 2/3 bagian anterior lidah. Berkurangnya sekresi saliva akibat
terkenanya korda timpani. Terjadi juga hiperaukusis.
g) Lesi di ganglion genikuli: Tanda dan gejala klinis sama dengan
dalam kanalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius, disertai
dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga dan di
belakang telinga
h) Lesi di interkranial dan/ atau meatus akustikus internus: Tanda
dan gejala klinis sama dengan lesi di ganglion genikuli, hanya saja
disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus
vestibulokoklearis.

30

l. Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele
berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering
terjadi akibat Bell’s palsy, adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu
regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa
muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan
disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan
disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan
stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.

Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1)


sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,
contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi
platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile
tearphenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat
regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien
keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm
(hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like)
pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium
awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi
bersamaan).

31

Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell's palsy:


a. Kontraktur otot wajah.
Kontraktur ini tidak tampak pada waktu wajah dalam keadaan
istirahat, tetapi akan terlihat jelas waktu wajah berkontraksi,
dan keadaan ini ditandai dengan lebih dalamnya lipatan
nasolabial dan alis mata tampak lebih rendah dibandingkan
dengan alis mata tampak lebih rendah dibandingkan dengan sisi
yang sehat
b. Crocodile tear phenomenon.
Crocodile tears yaitu keluamya air mata secara involunter dari
mata sisi yang terkena pada saat penderita mengunyah makanan.
Disini terdapat regenerasi saraf otonom yang salah, menimbulkan
hubungan fisiologis antara fleksus sampai yang mensarafi
kelenjar ludah dan N. petrosus suprafasialis mayor yang
mensarafi kelenjar lakrimalis, Letak kelainan pada daerah sekitar
ganglion genikuli
c. Sinkenesis.
Adanya gerakan asosiasi karena regenerasi serabut saraf
mencapai serabut otot yang salah
d. Spasme otot wajah.
Spasme otot terjadi bila penyembuhan yang terjadi inkomplit,
dapat timbul dalam beberapa bulan sampai 1 - 2 tahun, setelah
awitan Bell's palsy
e. Neuralgia Genikulatum.
Neuralgia dari N. fasialis berasal dari N. intermedius dan
ditandai dengan rasa nyeri paroksismal didalam dan disekitar
telinga

m. Pemeriksaan penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan,
seperti:
a) Computed tomography (CT) atau MRI diindikasikan pada pasien
yang tidak mengalami perbaikan keadaan setelah 1 bulan
mengalami paralisis wajah, hilangnya pendengaran, defisit saraf
32

kranial multipel dan tanda-tanda paralisis pada anggota gerak atau


gangguan sensorik. Gambaran MRI pada kasus Bell’s palsy dapat
berupa peningkatan gadolinium saraf pada bagian distal kanalis
auditorius interna dan ganglion genikulatum yang merupakan lokasi
tersering terjadinya edema saraf fasialis yang menetap
b) EMG, electromyography,Test ini dapat memastikan adanya
kerusakan saraf dan tingkat keparahannya. Sebuah EMG dapat
mengukur aktifitas electric otot sebagai respons terhadap stimulan
dan alam dan kecepatan dari konduksi impulse elektrik dalam aliran
saraf
c) Pemeriksaan pendengaran dilakukan jika dicurigai kehilangan
pendengaran, maka dilakukan tes audio untuk menyingkirkan
neuroma akustikus.
d) Pemeriksaan laboratorium penting jika pasien memiliki gejala
keterlibatan penyakit sistemik tanpa perbaikan signifikan setelah
lebih dari 4 mingguCT / MRI
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun
1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada
penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al
melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai
prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG).
Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15
mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-
predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan
berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential
(CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan
blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral.
Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus
didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian
sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya
ditemukan pada 15,6% kasus.

n. Tatalaksana (farmakologi dan non farmakologi)

33

Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa


identifikasi dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila
terdapat kelainan lain pada pemeriksaan neurologis yang mengarah
pada penyakit yang menjadi diagnosis banding Bell’s palsy. Jika tidak
tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi selanjutnya setelah
menyingkirkan diagnosis banding lain.
a) Medikamentosa

Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson dan


kerusakan N.VII dapat diberikan prednison (kortikosteroid) dan
antiviral sesegera mungkin. Window of opportunity untuk memulai
pengobatan adalan 7 hari setelah onset. Prednison dapat diberikan
jika muncul tanda-tanda radang. Selain itu dapat pula diberi obat
untuk menghilangkan nyeri seperti gabapentin.
- Kortikosteroid

Prednison 1 mg/kgBB/hari selama 5 hari kemudian diturunkan


bertahap 10 mg/hari dan berhenti selama 10-14 hari.
Tabel 1 : Dosis Kortikosteroid

1 mg/kg atau 60 mg PO selama 7 hari diikuti


Dosis dewasa tappering off dengan total pemakaian 10
hari.
1 mg/kg PO selama 6 hari diikuti tappering off
Dosis Anak
dengan total pemakaian 10 hari.
Hipersensitivitas, diabetes berat yang tak
Kontraindikasi terkontrol, infeksi jamur, ulkus peptikum,
TBC, osteoporosis.

- Obat-obat antiviral
Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari,
atau 1000 mg/hari selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama
10 hari jika hasil menunjukkan bahwa Bell’s Palsy disebabkan
oleh HSV, jika disebabkan oleh VZV maka diperlukan dosis
yang lebih tinggi (800 mg secara oral, 5 kali sehari).

34

Valacyclovir, 500 mg secara oral, 2 kali sehari selama 5 hari,


juga dapat digunakan sebagai pengganti acyclovir. Meskipun
harganya mahal, efeknya jauh lebih baik. Sama dengan
acyclovir, jika Bell’s Palsy disebabkan oleh VZV maka
diperlukan dosis yang lebih tinggi (1000 mg secara oral, 3 kali
sehari).
Tabel 2 : Dosis Antiviral

Asikovir, obat antiviral yang menghambat kerja


Nama Obat
HSV-1. HSV-2, dan VZV

Dosis dewasa 400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari.

<2 tahun : belum dipastikan


Dosis Anak
>2 tahun : 20 mg/kg PO selama 10 hari

Kontraindikasi Hipersensitif, penderita gagal ginjal

- Vitamin B
Preparat aktif B12 (Metilkobalamin) berperan sebagai kofaktor
dalam proses remielenasi, dengan dosis 3x500 μg/hari.
b) Non-medikamentosa
- Tindakan fisioterapi seperti terapi panas superfisial,
elektroterapi menggunakan arus listrik
- Perawatan mata
Diutamakan pada perawatan mata. Karena penderita Bell’s
Palsy tidak bisa menutup mata secara sempurna, maka
penderita rentan menderita sindrom dry eye yang dapat
berujung pada masalah penglihatan. Pengobatan yang
dianjurkan adalah dengan menggunakan jari untuk menutup
dan membuka mata secara manual, atau dengan menggunakan
obat tetes mata untuk menjaga kelembapan mata. Bisa juga
dengan menggunakan penutup mata ketika tidur dan kacamata
saat beraktivitas sehari-hari. Pemberian air mata buatan,

35

lubrikan, dan pelindung mata. Pemakaian kacamata dengan


lensa berwarna atau kacamata hitam kadang diperlukan untuk
menjaga mata tetap lembab saat bekerja.
- Latihan dan pemijatan wajah disertai kompres panas
- Istirahat
- Pembedahan
Tindakan bedah perlu dipikirkan pada pasien dengan Bell’s
Palsy yang tidak responsif terhadap pengobatan dan dengan
degenerasi akson >90%.

o. Edukasi dan pencegahan


Saran yang harus dikerjakan :
 Istirahat terutama pada keadaan akut.
 Tiap malam mata diplester. Gunanya melatih mata yang tidak dapat
menutup supaya dapat menutup bersamaan.
 Pakailah helm teropong. Ini dilakukan untuk menghindari sentuhan
langsung dengan angin.
Larangan :
 Tidak boleh duduk di mobil dengan jendela terbuka
 Tidak boleh tidur di lantai atau setelah “bergadang”

p. Prognosis
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung
memiliki prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011
penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan
pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi
pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala
tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot
yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki
kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala
sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

36

 Usia di atas 60 tahun


 Paralisis komplit
 Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang
lumpuh,
 Nyeri pada bagian belakang telinga dan
 Berkurangnya air mata.

Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh


dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti
untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan.
Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40%
sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita
yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang
10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.
Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung
meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang
spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding
penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh
dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang
mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita
tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.

q. SKDI
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter. Lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.

37

V. Merumuskan Keterbatasan Ilmu Pengetahuan

What I have to How I


Pokok bahasan What I know What I don’t know
prove will learn
Jurnal
Anatomi Nervus Komponen nervus Segmen nervus
Serabut saraf
VII facialis VII

Otot-otot wajah Defisit khas


Perjalanan nervus Text
Fisiologi Nervus yang mendapati yang disebabkan
VII Book
VII persarafan oleh lesi

Patogenesis, Internet
Definisi, etiologi Penegakan diagnosis patofisiologi,
Bell’s palsy
tata laksana

Pakar

VI. Larning Objective


1. Anatomi Nervus Facialis (Nervus VII

38

Saraf
otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
• Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah
• Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
• Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
• Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimic
wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari
dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan
pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu
masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus
39

fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi


kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual
serta kelenjar submaksilar melalui korda timpani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian
ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus
kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel
IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi
infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus
akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior
vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang
disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion


genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu
nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi
persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus
fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi
kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah,
m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.

2. Fisiologi Nervus VII

40

GambKomponen nervus fasialis dan defisit khas yang


disebabkan oleh lesi pada berbagai tempat di
sepanjang perjalanannya
1. Kelumpuhan perifer pada otot-otot yang
dipersarafi oleh n.fasialis (otot ekspresi wajah),
gangguan pendengaran dan tuli dan penurunan
eksitabilitas vestibular.
2. Kelumpuhan perifer dan gangguan
pengecapan, lakrimasi, dan salivasi.
3. Kelumpuhan perifer pada otot-otot ekspresi
wajah dan gangguan pengecapan serta salivasi,
dan gangguan pendengaran.
4. Kelumpuhan perifer otot-otot ekspresi wajah
dan gangguan pengecapan dan salivasi.
5. Kelumpuhan perifer otot-otot ekspresi wajah.

Nervus fasialis propius yaitu nervus tujuh murni mempersarafi otot-otot wajah,
stapedius ditelinga tengah, otot postaurikular dan posterior digastrikus. Nervus
fasialis intermedius (Whirsberg) merupakan nervus yang lebih tipis yang
membawa saraf aferen otonom dan eferen otonom. Aferen otonom mengantar
impuls dari alat pengecap di 2/3 depan lidah. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian
depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke
ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius. Eferen otonom
datang dari nucleus salivatorius superior yang terletak di kaudal nukleus. Satu
kelompok akson dari nukleus ini berpisah di ganglion genikulatum dan
diperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula
mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus ke kaudal dan menyertai
korda timpani serta nervus lingualis ke ganglion submandibularis. Dari sana
impuls berjalan ke glandula sublingualis dan submandibularis yang akan
merangsang salivasi.

Nervus fasialis dibagi menjadi 6 segmen:


• Intrakranial : cabang frontalis dari nervus fasialis menginervasi traktur
kortikonuklear kiri dan kanan. Sebelum nervus fasialis meninggalkan batang

41

otak, serabut motorik melingkar di nucleus abdusen dan membentuk genu


internal saraf. Setelah melewati batang otak, nervus fasialis memasuki porus
akustikus internus dengan nervus vestibulokoklearis.
• Intrameatal : bersamaan dengan nervus VIII, nervus fasialis memasuki
porus akustikus internus hingga ke fundus; disana melewati anterosuperior
melalui foramen meatal. Disana tempa kanalis falopi tersempit sehingga
disana saraf-saraf sering terperangkap karena proses inflamasi.
• Labirin : setelah melewati dan meninggalkan nervus pertrosal mayor, yang
juga merupakan serabut saraf yang mempersarafi glandula lakrimalis dan
glandulua mumosa nasalis. Nervus fasialis turun secara tajam di ganglion
genikulatum membentuk genu pertama.
• Timpanik : segmen nervus fasialis berjalan horizontal melalui telinga tengah.
Melewati diatas stapes, ke aditus ad antrum didekat kanalis semisirkular.
Segmen timpanik dilapisi selunung tulang tipis.
• Mastoid : di segmen mastoid, nervus faasialis membuat genu sekunder oleh
aditus ad antrum, membelok secara vertical kebawah membentuk sudut 90
derajat. Kemudian menuju mastoid dan saluran bertulang ke foramen
stilomastoid. Sebelum meninggalkan foramen, nervus fasialis meninggalkan
korda timpani, yang berjalan kembali ke telinga tengah dan kemudian
melewati foramen yang mengandung serabut sensoris pengecapan.
• Ekstrakranial : setelah keluar dari foramen, nervus fasialis memasuki
glandula parotis.

42

Gambar 3. Komponen serabut nervus fasialis7


Korteks dan kapsula interna
Respon volunter dari otot-otot wajah (misalnya, tersenyum saat mengambil
sebuah foto) muncul dari pelepasan eferen dari daerah motorik fasial korteks
serebral. Area motorik fasial terletak di gyri precentral dan postsentralis.
Nervus motorik wajah diwakili pada diagram homunculus bawah dengan
dahi paling atas dan kelopak mata, midface, hidung, dan bibir berurutan
terletak lebih inferior.
Pelepasan dari area motorik wajah dilakukan melalui fasikula saluran
kortikobulbar ke kapsul internal, maka melalui otak tengah atas ke batang
otak yang lebih rendah, di mana sinaps di pontine nucleus nervus fasial.
Pontine nukleus nervus fasial dibagi menjadi bagian atas dan setengah
kebawah, bilateral.
Saluran kortikobulbar dari persilangan di upper face dan berganti
menyilangkan perjalanan ke pons; saluran untuk wajah lebih rendah
menyeberang hanya sekali.

Cabang N VII Lokasi Tindakan


Belakang auricular Mendorong telinga
kebelakang
Belakang auricular
Occipitofrontalis, Scalp bergerak
tonjolan occipital kebelakang
Depan auricular Menarik telinga kedepan
Diatas auricular Menaikkan telinga
Occipitofrontalis, Scalp bergerak kedepan
tonjolan depan
Corrugator supercilii Menarik
mempertemukan alis
Temporal ditengah kebawah (dahi
berkerut)
Procerus Menarik
mempertemukan alis
ditengah kebawah (dahi
berkerut)
Temporal dan zygoma Orbicularis okuli Menutup kelopak mata
dan kontraksi kulit

43

sekitar mata
Zygomaticus mayor Mengangkat sudut
Zygomatic dan buccal
mulut
Zygomaticus minor Mengangkat bibir atas
Levator labii superioris Mengangkat bibir atas
dan midportion lipatan
nasolabial
Levator labii superioris Mengangkat lipatan
alaeque nasi nasolabial medial dan
ala nasi
Risorius Membantu senyum
dengan tarikan ke lateral
Buccinator Menarik sudut mulut ke
Buccal belakang dan menekan
pipi
Levator anguli oris Menarik sudut mulut ke
atas dan ke arah garis
tengah
Orbicularis Menutup dan menekan
bibir
Nasalis, dilator naris Melebarkan lubang
hidung
Nasalis, compressor Menekan lubang hidung
naris
Depressor anguli oris Menarik sudut bibir ke
Buccal dan marginal bawah
mandibular Depressor labii Menarik bibir bawah ke
inferioris bawah
Mentalis Menarik kulit dagu
Marginal mandibular
keatas
Platysma Menarik kebawah sudut
Cervical
mulut

Refleks yang melibatkan nervus fasialis. Nukleus motorik nervus fasialis


berperan pada beberapa lengkung refleks. Refleks kornea, impuls
somatosensorik dari membran mukosa mata berjalan di nervus oftalmikus ke
nukleus sensorik prinsipalis nervi trigemini (lengkung aferen). Setelah
membentuk sinaps disini, impuls berjalan menuju nuklei nervus fasialis dan

44

kemudian melalui nervus fasialis ke mm. orbikularis okuli kedua sisi


(lengkung eferen). Gangguan pada lengkung refleks ini baik pada komponen
aferen (nervus trigeminus) maupun pada komponen eferennya (nervus
fasialis) menghilangkan refleks kornea, yaitu sentuhan pada kornea
menginduksi terpejamnya kedua mata. Pada refleks kedip, stimulus visual
yang kuat mencetuskan kolikulus superior untuk mengirimkan impuls visual
ke nucleus fasialis di pons melalui traktus tektobulbaris, yang
mengakibatkan mata segera tertutup. Begitu pula pada refleks stapedius,
impuls auditorik dihantarkan dari nukleus dorsalis korpus trapezoideum ke
nukleus fasialis dan menimbulkan kontraksi atau relaksasi m.stapedius,
tergantung pada kekuatan stimulus auditorik.

3. Bell’s palsy
 Definisi
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. BP adalah kelumpuhan atau
paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus fasialis perifer yang
bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi, seperti proses non-
supuratif, non neo-plasmatik, non-degeneratif primer namun sangat
mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen
stilomastoideus.

 Klasifikasi
Sistem grading dikembangkan oleh House dan Brackmann dari skala sampai
VI.
Grade I adalah fungsi normal nervus fascialis.
Grade II adalah disfungsi ringan, ditandai dengan:
 sedikit kelemahan yang hanya terlihat jika dilakukan inspeksi
secara dekat,
 wajah simetris pada kondisi istirahat,
 gerakan dahi masih bagus,
 mata masih dapat menutup sempurna (bisa menutup sendiri dengan
sedikit usaha), dan

45

 asimetris mulut terlihat sedikit.


Grade III adalah disfungsi sedang, ditandai dengan:
 perbedaan wajah yang jelas antara sisi kanan dan kiri, namun belum
terlalu menonjol,
 spasme hemifasial sudah terlihat,
 wajah simetris pada kondisi istirahat,
 gerakan dahi mulai terlihat berkurang,
 mata dapat menutup sempurna dengan usaha nyata, dan
 pergerakan mulut yang sedikit dilakukan dengan usaha nyata.
Grade IV adalah disfungsi sedang berat, ditandai dengan:
 kelemahan wajah satu sisi yang nyata,
 wajah simetris pada kondisi istirahat,
 kerutan dahi menghilang,
 mata tidak bisa menutup dengan sempurna, dan
 asimetris mulut tampak jelas.
Grade V adalah disfungsi berat, ditandai dengan:
 wajah asimetris pada saat istirahat,
 kerutan dahi menghilang,
 mata tidak menutup dengan sempurna, dan
 mulut tidak bisa banyak bergerak lagi.
Grade VI adalah kelumpuhan total, ditandai dengan: is total paralysis. The
following are noted:
 asimetris tampak sangat jelas, dan
 tidak ada pergerakan yang bisa dilakukan lagi pada sisi yang sakit.

 Diagnosis kerja
Nn. Afriani 28 tahun menderita Bell’s Palsy

 Diagnosis banding

No. Diagnosis Karakteristik


Banding
1. Guillain Barre Guillain Barre Syndrome merupakan
Syndrome(GBS) suatu poliradikuloneuropati inflamasi
46

yang bersifat akut. Gangguan berupa


paralisis fasialis bilateral dapat dijumpai
pada ± 50% kasus GBS. Klinis lainnya
adalah kelumpuhan pada saraf motorik
ekstremitas, dan pernafasan. Refleks
tendon negatif pada daerah yang terlibat
2. Lymedisease Pasien dengan Lyme disease memiliki
gejala paralisis nervus facialis, bisa
unilateral atau bilateral (biasa bilateral).
Pasien juga memiliki riwayat terpapar
dengan kutu, adanya ruam- ruam di kulit
dan arthralgia. Kemungkinan diagnosis
untuk Lyme disease menurun pada
daerah non endemik
3. Ramsay Hunt Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome
Syndrome memiliki suatu prodromal nyeri dan
(komplikasi sering berkembang erupsi vesikel pada
herpeszoster) kanal telinga danfaring. Penyakit ini
disebabkaan oleh virus herpes zoster,
dengan klinis berupa paralisis fasialis,
atau gangguan pendengaran atau
keseimbangan
4. Melkerson Melkerson Rosenthal Syndrome
Rosenthal merupakan suatu trias dari gejala edema
Syndrome(MRS) orofasial berulang, paralisis fasialis
berulang, dan lingua plicata(fissured
tongue). Edema orofasial merupakan
gambaran yang selalu dijumpai pada
pasien MRS, sedangkan yang lainnya
masing- masing terjadi pada setengah
pasien. Trias lengkap ini hanya dijumpai
pada seperempat kasus. Penyakit ini
umumnya dimulai pada dekade kedua,
dan manifestasi biasanya terjadi secara

47

berurutan dan jarang terjadi secara


bersamaan

 Algoritme penegakkan diagnosis

Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci


dalam mendiagnosis Bell’s palsy (Garg dkk, 2012).
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan
penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting
ditanyakan untuk membedakannya dengan penyakit lain yang
48

menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan yang terjadi sering


unilateral pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam
1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif, dan
mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang
(Ronthal dkk, 2412; May dkk, 1987).
2. Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi
saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi
SSP (supranuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf
fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya
paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata
dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan
defisit neurologis lainnya, sekurang- kurangnya kelumpuhan
ekstremitas pada sisi yang kontralateral (gambar 6) (Tiemstra dkk,
2007).
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan
pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki
manfaat sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien dengan
paralisis fasialis, sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis.
Hal ini dikarenakan:
 Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup
bervariasi, mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur alternatif
bagi akson- akson untuk mencapai terminalnya.
 Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak
secara tajam terletak pada level tertentu, karena suatu lesi dapat
mempengaruhi komponen yang berbeda dari saraf pada tingkat
yang beragam dan dengan derajat keparahan yang berbeda- beda.
 Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi
dapat terjadi pada waktu yang berbeda- beda.
 Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis
tidak sepenuhnya dapat dipercaya (May 2000;Kanerva 2008;
Ronthal dkk, 2012).

49

Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit


lain yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila
ditemukan adanya otitis rnedia yang aktif dan massa di
kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan
dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy
(May dkk, 1987).

Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan


penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan
lanjutan berikut dapat dianjurkan, seperti:
a) Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic
Resonance lmaging (MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya
tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis fasial setelah 1 bulan,
adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial multipel
dan tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan
sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau spasme
yang mendahului kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor
harus dilakukan juga imaging.
b) Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan
pendengaran, tes audiologi dapat dilakukan untuk
menyingkirkan neuroma akustikus.
c) Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda
keterlibatan sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat
minggu (Garg dkk, 2012 Ronthal dkk, 2012).

 Etiologi
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebab bell’s
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s
Palsy antara lain:
 Sesudah bepergian jauh dengan kendaraan,

50

 Tidur di tempat terbuka,


 Tidur di lantai,
 Hipertensi,
 Stress,
 Hiperkolesterolemi,
 Diabetes mellitus,
 Penyakit vaskuler,
 Gangguan imunologik dan
 Faktor genetic.
2) Kongenital
 anomali kongenital (sindroma Moebius)
 trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
3) Didapat
 Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
 Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
 Proses di leher yang menekan daerah prosesus
stilomastoideus)
 Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
 Sindroma paralisis n. fasialis familial

 Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi
di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada
kondisi geografis masing- masing negara. Insiden tahunan yang telah
dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi. Puncak insiden terjadi
antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan
prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada
wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy
adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010).

Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak-anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan
pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis

51

bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko


terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi
yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva
2008).

Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s palsy
(Kubik dkk, 2012) Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk
(2010) terhadap 500.000 penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2
tahun, telah rnenemukan jumlah pasien Bell’s palsy sebanyak 381 orang,
dengan insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus pertahun.

 Faktor resiko
o Penderita yang sedang menderita infeksi saluran pernafasan atas
o Penderita diabetes (30% lebih rentan dari non-diabetes)
o Trimester ketiga pada kehamilan (3,3x)
o HIV
o Keluarga dengan riwayat bell’s palsy (6%)
o Imunocompromised
o Wanita usia muda 10 – 19 tahun
o Pria usia lebih dari 40 tahun
o Selain itu, Bell’s Palsy dapat menyerang pada orang-orang yang terlalu
lama berada di dalam ruang ber-AC, terkena semburan AC / kipas
angin langsung ke wajah, mengendarai motor tanpa helm yang
menutup wajah dengan rapat dan mandi air dingin di malam hari.

 Patogenesis
Patogenesis timbulnya Bell‘s Palsy secara pasti masih dalam perdebatan.
N.VII berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang disebut dengan
kanalis fasialis. Adanya edema dan ischemia menyebabkan kompresi dari
N.VII dalam kanalis tulang ini, karena itu ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kompresi
N.VII ini dapat dilihat dengan MRI. Bagian pertama dari kanalis fasialis yang
disebut dengan segmen labyrinthine adalah bagian yang paling sempit, meatus

52

foramien ini memiliki diameter 0,66 mm. Lokasi inilah yang diduga
merupakan tempat paling sering terjadinya kompresi pada N.VII pada Bell‘s
Palsy, karena bagian ini merupakan tempat yang paling sempit maka
terjadinya inflamasi, demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi paling
mungkin terjadi. Lokasi terserangnya Nervus Fasialis di Bell‘s Palsy bersifat
perifer dari nukleus saraf tersebut, dimana timbulnya lesi diduga terletak
didekat ataupun di ganglion genikulatum. Jika lesinya timbul di bagian
proksimal ganglion genikulatum maka akan timbul kelumpuhan motorik
disertai dengan ketidak abnormalan fungsi gustatorium dan otonom. Apabila
lesi terletak di foramen stilomastoideus dapat menyebabkan kelumpuhan fasial
saja.

 Patofisiologi
Bell’s palsy masih merupakan perdebatan. Nervus fasialis melewati suatu
bagian tulang temporalis yang sering disebut kanalis fasialis. Teori umum
yang diterima adalah edema dan iskemia menyebabkan kompresi nervus
fasialis didalam kanal ini. Penyebab edema dan iskemia itu sendiri belum
dipastikan. Namun kemungkinan etiologi viral, inflamasi serta autoimun
diduga ikut berperan. Bukti terbaru mengindikasikan hubungan antara Bell
palsy dengan reaktivasi virus herpes simpleks tipe 1 dan herpes zoster pada
ganglia nervus kranial.
Pada kasus ini, Nn. Afriani diduga mengalami penurunan kekebalan tubuh
karena berdasarkan anamnesis diketahui bahwa Nn. Afriani begadang
semalaman dan terpapar cuaca malam yang dingin dalam waktu yang cukup

53

lama yang menyebabkan tubuhnya kurang istirahat. Dengan menurunnya


system imun, tubuh Nn. Afriani dapat dengan mudah terkena infeksi baik dari
virus, bakteri ataupun agen infeksius lainnya. Bahkan penurunan imunitas ini
juga dapat menyebabkan teraktivasinya virus yang mungkin ada didalam
tubuh Nn. Afriani dalam keadaan inaktif.
Berdasarkan bukti etiologinya, Bell palsy paling sering disebabkan oleh
infeksi virus. Saat virus masuk ke dalam tubuh, virus tersebut dapat menuju ke
akson saraf sensoris hingga ke kanalis fasialis, pada kasus ini saraf fasialis
sinistra. Virus ini kemudian akan menyebabkan kerusakan lokal pada serabut
saraf yang dapat berdampak pada rusaknya myelin saraf tersebut. Lesi ini akan
menyebabkan terganggunya hantaran impuls saraf tersebut menuju ke
efektornya. Secara tidak langsung, gangguan hantaran impuls ini juga dapat
disebabkan oleh respon radang berupa edema karena pengumpulan eksudat
sel-sel dan protein-protein radang yang terjadi akibat infeksi virus. Hal ini pun
akan menyebabkan lesi pada saraf fasialis melalui kompresi yang terjadi
terhadap saraf tersebut. Karena saraf fasialis yang mengalami lesi adalah
bagian perifer (setelah nucleus nervi craniales), maka otot yang mengalami
kelumpuhan adalah otot wajah bagian atas dan bawah. Hal ini menyebabkan
timbulnya manifestasi seperti kesulitan mengangkat dan mengerutkan dahi,
kesulitan menutup mata, bersiul, menggelembungkan pipi, serta mulut yang
tampak mengot ketika tersenyum.
Berdasarkan deficit neurologis yang terjadi pada kasus ini, kemungkinan letak
lesinya adalah di daerah foremen stilomastoideus karena hanya timbul
paralisis wajah saja. Sedangkan jika lesi terletak proksimal dari korda timpani
juga akan mengganggu pengecapan pada 2/3 anterior lidah. Jika lesi lebih
proksimal akan mengenai nervus stapedius dan akan timbul keluhan persepsi
suara yang berlebih dan jika lesi di daerah petrosus superior mayor maka
keluhan juga akan disertai dengan hilangnya lakrimasi ipsilateral.

 Gejala klinis

54

Bell’s palsy dapat memiliki tanda dan gejala seperti kelumpuhan otot-otot
wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba. Rasa nyeri sering dikeluhkan
dan dapat terjadi pada daerah telinga, yang menyebar luas pada kepala, leher
ataupun mata. Rasa nyeri biasaya muncul setelah beberapa hari dan dapat
mengawali terjadinya kelumpuhan hingga 72 jam, tetapi terkadang rasa nyeri
muncul setelah beberapa hari terjadi paralisis dan dapat menjadi lebih parah
dan menetap.
Temuan klinis paling sering dijumpai adalah :
 alis mata turun, tidak dapat menutup mata
 jika dusahakan untuk menutup maka akan terlihat bola mata
memutar ke atas (Bell’s phenomenon),
 lipatan nasolabial tidak tampak,
 mulut tertarik ke sisi yang sehat
 rasa kebas pada sisi wajah yang terkena, terutama pada bagian
dahi, mastoid area, dan sudut mandibula.
 Rongga mulut dapat menjadi kering akibat berkurangnya sekresi
saliva
 perubahan sensasi rasa pada 2/3 anterior lidah dan hyperaesthesia
sebagian pada nervus trigeminal serta hiperakusis.
Perbedaan lokasi lesi saraf fasialis dapat menimbulkan gejala yang berbeda.
Tanda dan gejala klinis pada Bell’s palsy berdasarkan lokasi lesinya :
a) Lesi dibawah foramen stilomastoideus (tumor kelenjar parotis,
trauma) : Mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan
terkumpul diantara gigi dan gusi, sensasi pada wajah menghilang,
tidak ada lipatan dahi dan mata tidak dapat menutup pada sisi
yang terkena, atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar
terus menerus
b) Lesi di kanalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda
dan gejala klinis sama dengan lesi di luar foramen
stilomastoideus, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan
pada 2/3 bagian anterior lidah. Berkurangnya sekresi saliva akibat
terkenanya korda timpani. Terjadi juga hiperaukusis.

55

c) Lesi di ganglion genikuli: Tanda dan gejala klinis sama dengan


dalam kanalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius, disertai
dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga dan di
belakang telinga
d) Lesi di interkranial dan/ atau meatus akustikus internus: Tanda
dan gejala klinis sama dengan lesi di ganglion genikuli, hanya saja
disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus
vestibulokoklearis.

 Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat
yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat
Bell’s palsy, adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi
suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus
fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia
(gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia
(gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan
(3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.

Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis
yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul
gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau
pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tearphenomenon, yang
timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut
otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan,
dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara
tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja

56

pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi
bersamaan).
Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell's palsy:
a. Kontraktur otot wajah.
Kontraktur ini tidak tampak pada waktu wajah dalam keadaan
istirahat, tetapi akan terlihat jelas waktu wajah berkontraksi,
dan keadaan ini ditandai dengan lebih dalamnya lipatan
nasolabial dan alis mata tampak lebih rendah dibandingkan
dengan alis mata tampak lebih rendah dibandingkan dengan sisi
yang sehat
b. Crocodile tear phenomenon.
Crocodile tears yaitu keluamya air mata secara involunter dari
mata sisi yang terkena pada saat penderita mengunyah makanan.
Disini terdapat regenerasi saraf otonom yang salah, menimbulkan
hubungan fisiologis antara fleksus sampai yang mensarafi
kelenjar ludah dan N. petrosus suprafasialis mayor yang
mensarafi kelenjar lakrimalis, Letak kelainan pada daerah sekitar
ganglion genikuli
c. Sinkenesis.
Adanya gerakan asosiasi karena regenerasi serabut saraf
mencapai serabut otot yang salah
d. Spasme otot wajah.
Spasme otot terjadi bila penyembuhan yang terjadi inkomplit,
dapat timbul dalam beberapa bulan sampai 1 - 2 tahun, setelah
awitan Bell's palsy
e. Neuralgia Genikulatum.
Neuralgia dari N. fasialis berasal dari N. intermedius dan
ditandai dengan rasa nyeri paroksismal didalam dan disekitar
telinga

 Pemeriksaan penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, seperti:

57

a) Computed tomography (CT) atau MRI diindikasikan pada pasien


yang tidak mengalami perbaikan keadaan setelah 1 bulan
mengalami paralisis wajah, hilangnya pendengaran, defisit saraf
kranial multipel dan tanda-tanda paralisis pada anggota gerak atau
gangguan sensorik. Gambaran MRI pada kasus Bell’s palsy dapat
berupa peningkatan gadolinium saraf pada bagian distal kanalis
auditorius interna dan ganglion genikulatum yang merupakan lokasi
tersering terjadinya edema saraf fasialis yang menetap
b) EMG, electromyography,Test ini dapat memastikan adanya
kerusakan saraf dan tingkat keparahannya. Sebuah EMG dapat
mengukur aktifitas electric otot sebagai respons terhadap stimulan
dan alam dan kecepatan dari konduksi impulse elektrik dalam aliran
saraf
c) Pemeriksaan pendengaran dilakukan jika dicurigai kehilangan
pendengaran, maka dilakukan tes audio untuk menyingkirkan
neuroma akustikus.
d) Pemeriksaan laboratorium penting jika pasien memiliki gejala
keterlibatan penyakit sistemik tanpa perbaikan signifikan setelah
lebih dari 4 mingguCT / MRI
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970
sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan
kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih
baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada
penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue
(PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum
abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor
Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada
pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral.
Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan
abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan
ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

 Tatalaksana
58

Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi
dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan
lain pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi
diagnosis banding Bell’s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat
menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding lain.
a) Medikamentosa

Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson dan


kerusakan N.VII dapat diberikan prednison (kortikosteroid) dan
antiviral sesegera mungkin. Window of opportunity untuk memulai
pengobatan adalan 7 hari setelah onset. Prednison dapat diberikan
jika muncul tanda-tanda radang. Selain itu dapat pula diberi obat
untuk menghilangkan nyeri seperti gabapentin.
- Kortikosteroid

Prednison 1 mg/kgBB/hari selama 5 hari kemudian diturunkan


bertahap 10 mg/hari dan berhenti selama 10-14 hari.
Tabel 1 : Dosis Kortikosteroid

1 mg/kg atau 60 mg PO selama 7 hari diikuti


Dosis dewasa tappering off dengan total pemakaian 10
hari.
1 mg/kg PO selama 6 hari diikuti tappering off
Dosis Anak
dengan total pemakaian 10 hari.
Hipersensitivitas, diabetes berat yang tak
Kontraindikasi terkontrol, infeksi jamur, ulkus peptikum,
TBC, osteoporosis.

- Obat-obat antiviral
Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari,
atau 1000 mg/hari selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama
10 hari jika hasil menunjukkan bahwa Bell’s Palsy disebabkan
oleh HSV, jika disebabkan oleh VZV maka diperlukan dosis
yang lebih tinggi (800 mg secara oral, 5 kali sehari).

59

Valacyclovir, 500 mg secara oral, 2 kali sehari selama 5 hari,


juga dapat digunakan sebagai pengganti acyclovir. Meskipun
harganya mahal, efeknya jauh lebih baik. Sama dengan
acyclovir, jika Bell’s Palsy disebabkan oleh VZV maka
diperlukan dosis yang lebih tinggi (1000 mg secara oral, 3 kali
sehari).
Tabel 2 : Dosis Antiviral

Asikovir, obat antiviral yang menghambat kerja


Nama Obat
HSV-1. HSV-2, dan VZV

Dosis dewasa 400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari.

<2 tahun : belum dipastikan


Dosis Anak
>2 tahun : 20 mg/kg PO selama 10 hari

Kontraindikasi Hipersensitif, penderita gagal ginjal

- Vitamin B
Preparat aktif B12 (Metilkobalamin) berperan sebagai kofaktor
dalam proses remielenasi, dengan dosis 3x500 μg/hari.
b) Non-medikamentosa
- Tindakan fisioterapi seperti terapi panas superfisial,
elektroterapi menggunakan arus listrik
- Perawatan mata
Diutamakan pada perawatan mata. Karena penderita Bell’s
Palsy tidak bisa menutup mata secara sempurna, maka
penderita rentan menderita sindrom dry eye yang dapat
berujung pada masalah penglihatan. Pengobatan yang
dianjurkan adalah dengan menggunakan jari untuk menutup
dan membuka mata secara manual, atau dengan menggunakan
obat tetes mata untuk menjaga kelembapan mata. Bisa juga
dengan menggunakan penutup mata ketika tidur dan kacamata
saat beraktivitas sehari-hari. Pemberian air mata buatan,

60

lubrikan, dan pelindung mata. Pemakaian kacamata dengan


lensa berwarna atau kacamata hitam kadang diperlukan untuk
menjaga mata tetap lembab saat bekerja.
- Latihan dan pemijatan wajah disertai kompres panas
- Istirahat
- Pembedahan
Tindakan bedah perlu dipikirkan pada pasien dengan Bell’s
Palsy yang tidak responsif terhadap pengobatan dan dengan
degenerasi akson >90%.

 Edukasi dan pencegahan


Saran yang harus dikerjakan :
 Istirahat terutama pada keadaan akut.
 Tiap malam mata diplester. Gunanya melatih mata yang tidak dapat
menutup supaya dapat menutup bersamaan.
 Pakailah helm teropong. Ini dilakukan untuk menghindari sentuhan
langsung dengan angin.
Larangan :
 Tidak boleh duduk di mobil dengan jendela terbuka
 Tidak boleh tidur di lantai atau setelah “bergadang

 Prognosis
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s
palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah
onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa
gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak
berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang
nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

61

 Usia di atas 60 tahun


 Paralisis komplit
 Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang
lumpuh,
 Nyeri pada bagian belakang telinga dan
 Berkurangnya air mata.

Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala
neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang
berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan
beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau
kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total
dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan,
maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis,
crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM.
Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy
kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh
ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.

 SKDI
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter. Lulusan dokter mampu
membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut
secara mandiri dan tuntas.

62

VII. Kerangka Konsep

63

VIII. Sintesis
Mengikuti anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan pada kasus,
Nn.Apriani, 28 tahun, memiliki resiko untuk terkena Bell’s Palsy. Hal ini
dilihat dari umurnya yang 28 tahun, serta terekspos udara dingin sebagai akibat
dari begadang malam hari.

Paparan udara dingin yang didapat pada Nn. Apriani dapat menyebabkan
vasokontriksi pada pembuluh darah. Vasokontriksi pembuluh darah ini akan
menyebabkan iskemik pada nervus facialis, merangsang reaksi inflamasi, dan
menyebabkan edema sehingga saraf tersebut terjepit di foramen
stylomastoideus dan menyebabkan kelumpuhan pada saraf perifernya (Lower
motor neuron). Mekanisme lain mengatakan bahwa udara dingin menyebabkan
inflamasi pada nervus facialis secara langsung, mekanisme selanjutnya
mengikuti yang telah dijelaskan diatas.

Pemeriksaan neurologis didapatkan mulut mengot, mata tidak bisa dipejamkan,


dahi tidak dapat mengerut, dan sudut mulut yang tertinggal pada wajah kiri.
Hal ini menunjukkan telah terjadi parese pada nervus facialis. Nervus facialis
merupakan saraf yang mensyarafi otot-otot wajah seperti, orbicularis oculi,
occipitofrontalis, dan buccinators. Kelumpuhan orbicularis oculi menyebabkan
penderita tidak dapat menutup matanya secara penuh. Adapaun kelainan yang
disebabkan kelumpuhan occipitofrontalis dan buccinators adalah tidak dapat
mengerutkan dahi dan sudut mulut yang tertinggal. Dari gejala klinis, kita dapat
melokalisir bahwa nervus facialis yang rusak adalah bagian perifer (Lower
motor neuron). Hal ini tepat karena didapatkan kelumpuhan pada sebelah wajah
kiri. Gangguan sentral (Upper motor neuron) di kapsula interna ataupun gyrus
precentralis tidak cocok karena Upper motor neuron (UMN) memiliki inervasi

64

bilateral pada bagian atas wajah. Sehingga kelumpuhan UMN menyebabkan


kelumpuhan otot pada wajah kontralateral bagian bawah saja.

Pengobatan yang diberikan pada pasien adalah prednisolone 60 mg/hari selama


6 hari dan diturunkan 4 hari sehingga total 10 hari. Diberikan juga acyclovir
400 mg 5x/hari serta artificial tears untuk mencegah kekeringan kornea akibat
mata tidak dapat menutup penuh.
BAB III
PENUTUP

IX. Kesimpulan
Nn. Afriani, umur 28 tahun mengalami Bell’s Palsy akibat parese nervus VII
(facialis) sinistra tipe perifer.

65

Daftar Pustaka

Arifputra, Andy, dan Tiara Anindhita. 2014. Bell’s Palsy. Dalam Buku : Kapita Selekta
Kedokteran Edisi 4 Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Baehr, Frotscher. Duus Topical Diagnosis in Neurology: Anatomy, Fisiology, Sign, Simptom.
Edisi 4. New York: Mc-Graw Hill companies. 2005;167-175.
Brazis, Paul W., Masdeu, Joseph C., Biller, Jose.2011. Localization in Clinical Neurology.
Lippincott William&Wilkins: Philadelphia

Buku standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. 2006. Jakarta: Perdossi Pusat
De Jong’s. 2005. The Neurologic Examination.Sixth Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams Wilkins
De Myer, W. 2011. Technique of the Neurologiacal Examination 5th Ed. McGraw Hill: New
York.
Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga
Gronseth GS, Paduga R, American Academy of Neurology. Evidence-based guideline
update: steroids and antivirals for Bell palsy: report of the Guideline Development
Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology 2012; 79:2209.

Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.


Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia ed. 2. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia.
Lawrence, Scott D. Dan Carrie L. Morris. 2008. “Lagophthalmos Evaluation and Treatment”.
http://www.aao.org/eyenet/article/lagophthalmos-evaluation-treatment?april-2008. Diakses
pada 22 Agustus 2017.

66

Lowis, Handoko dan Maula N. Gaharu. 2012. “Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer”. J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/1118/1104.
diakses pada 22 Agustus 2017
Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5 th ed.
Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
May M. Anatomy for the clinician. In: Schaitkin BM, May M, Klein SR. editors. The facial
nerve. 2nd ed. New york: Thieme; 2000.p.19-56.
Patel AA. Facial Nerve Anatomy. Terdapat pada:
www.emedicine.medscape.com/article/835286-overview
Paulsen, F, dan J. Waschke. 2012. Sobotta : Atlas Anatomi Manusia : Kepala, Leher, dan
Neuroanatomi Edisi 23 Jilid 3. Jakarta : EGC
Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and Victor’s
Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Kelumpuhan nervus fasialis perifer.
Dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher. 7 th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2012. p.95.
Taylor, Danette C.. 2016. Bell Palsy, diakses dari halaman
http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview tanggal 29 Agustus 2016
Vilensky, Joel; Robertson, Wendy; Suarez-Quian, Carlos. 2015. The Clinical Anatomy of the
Cranial Nerves: The Nerves of "On Olympus Towering Top". Ames, Iowa: Wiley-
Blackwell.
Vrabec JT, Coker NJ. 2006. Acute Paralysis of Facial Nerve in: Bailey BJ, Johnson JT,
Newland SD, editors. Head &NeckSurgery-Otolaryngology.4th Ed. Texas:
Lippincott Williams & Wilkins

67

Anda mungkin juga menyukai