Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH OBAT-OBAT YANG MEMPENGARUHI

KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Dosen : Errol, S.Farm, Apt, M.Farm

Disusun Oleh :

Kelompok 2 Keperawatan 5A

Kafa Asyya Fuady 09180000032

Dwivani Nur Salsabila 09180000042

Erika Saputri 09180000048

Putri Wahyuni 09180000055

Sindia Mirna Wahyuni 09180000056

Ayu Dwi Lestari 09180000060

Tridara Februaluki 09180000069

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
JAKARTA
2020

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan berkat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “OBAT-OBAT YANG MEMPENGARUHI
KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT”. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah
Farmakologi.

Penyusun mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah yang telah


memberikan ilmu pengetahuan kepada kami dan rekan-rekan mahasiswa yang
telah mendukung dan menjalin kerjasama yang baik sehingga makalah ini dapat
diselesaikan.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka


penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah
yang lebih baik. Kami mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.

Jakarta, 04 Oktober 2020

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Tujuan........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2

A. Diuretik......................................................................................................2

1. Pengertian Diuretik................................................................................2

2. Mekanisme Kerja...................................................................................2

3. Penggolongan Obat................................................................................3

4. Penggunaan Klinik Diuretik................................................................21

B. Antidiuretik.............................................................................................22

1. Pengertian Antidiuretik........................................................................22

2. Fungsi Antidiuretik..............................................................................23

3. Mekanisme Sintesis Pelepasan ADH...................................................23

4. Macam-macam Obat............................................................................25

5. Dosis Obat...........................................................................................25

6. Penggolongan Obat..............................................................................26

BAB III PENUTUP...............................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

ii
BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada tubuh seorang dewasa, sekitar 60% terdiri atas air. Sementara pada
bayi dan anak total komposisi air dalam tubuh lebih tinggi daripada dewasa, yaitu
70-80%. Di dalam tubuh, selsel yang mempunyai konsentrasi air paling tinggi
antara lain adalah sel-sel otot dan organ-organ pada rongga badan seperti paru-
paru atau jantung sedangkan sel-sel yang mempunyai konsentrasi air paling
rendah adalah sel-sel jaringan seperti tulang atau gigi. Cairan dan elektrolit sangat
diperlukan agar menjaga kondisi tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan dan
elektrolit di dalam tubuh merupakan salah satu bagian dari fisiologi homeostatis
yang melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan tubuh.

Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air (pelarut) dan zat tertentu
(zat terlarut) sedangkan elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-
partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan
elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan intravena
(IV) dan di distribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit
berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam
seluruh bagian tubuh. Komposisi cairan dan elektrolit di dalam tubuh sudah diatur
sedemikian rupa agar keseimbangan fungsi organ vital dapat dipertahankan.
Untuk mempertahankan keseimbangannya, diperlukan masukan, pendistribusian,
dan keluaran yang memadai, yang diatur melalui mekanisme tersendiri namun
berkaitan satu sama lain.

Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang


lainnya. Apabila terjadi gangguan keseimbangan, baik cairan atau elektrolit dalam
tubuh dapat mengakibatkan overhidrasi, dehidrasi, hiponatremia, hipeanatremia,
hipokalemia, hyperkalemia, dan hipokalsemia. Dengan demikian, keseimbangan
cairan dan elektrolit merupakan komponen atau unsur vital pada tubuh manusia.

3
4

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan secara merinci mengenai obat diuretik.
2. Untuk mengetahui penjelasan secara merinci mengenai obat anti diuretic.

4
BAB II PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

A. Diuretik
1. Pengertian Diuretik
Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin
(diuresis). Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan
adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua
menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Fungsi
utama diuretic adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan
ekstrasel kembali menjadi normal.
Diuretik mencegah lapisan sel tubulus ginjal mereabsorpsi jumlah ion
natrium dan ion lainnya (serta air yang melarutkan kedua zat tersebut) akan
terbuang kedalam urine bukannya kembali ke aliran darah, karena zat tersebut
dapat menyebabkan peningkatan volume intravascular dan kemudian akan
meningkatkan tekanan hidrostatik, yang mengakibatkan kebocoran cairan di
tingkat kapiler. Diuretik diindikasikan untuk pengobatan edema yang
berkaitan dengan gagal jantung kongjesif, penyakit hati termasuk sirosis
hepatitis, penyakit ginjal, dan untuk pengobatan hipertensi. Obat ini juga
digunakan untuk menurunkan tekanan cairan dalam mata (tekanan
intraokular), yang berguna untuk mengatasi glaukoma. Diuretik yang
menurunkan kadar kalium juga dapat digunakan untuk mengobati kondisi
hiperkalemia [ CITATION Amy11 \l 1033 ].

2. Mekanisme Kerja
Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium dan
air, sehingga pengeluarannya lewat kemih diperbanyak. Obat ini bekerja
khusus terhadap tubuli ginjal pada tempat yang berlainan, yaitu :

a. Tubuli proksimal

5
6

Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang disini


direabsorpsi secara aktif untuk kurang lebih 70% antara lain ion Na+ dan
air, begitu pula dengan glukosa dan ureum. Karena reabsorpsi berlangsung
secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis
terhadap plasma. Diuretika osmotis (manotol, sorbitol) bekerja di sini
dengan merintangi reabsorpsi air dan juga natrium.
b. Lengkungan Henle (Henle’s loop)
Di bagian menaik dari Henle’s loop ini kurang lebih 25% dari
semua ion Cl- yang telah difiltrasi direabsorsi secara aktif, disusul dengan
reabsorpsi pasif dari Na+ dan K+ tetapi tanpa air, hingga filtrate menjadi
hipotonis. Diuretika loop seperti furosemida, bumetanide dan etakrinat
bekerja terutama di sini dengan merintangi transpor Cl- dan demikian
reabsorpsi Na+. Pengeluaran K+ dan air juga diperbanyak.
c. Tubuli Distal
Di bagian pertama segmen ini, Na+ direabsorpsi secara aktif pula
tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis. Senyawa
thiazida dan klortalidon bekerja di empat ini dengan memperbanyak
ekskresi Na+ dan Cl- sebesar 5-10%. Di bagian kedua segmen ini, ion Na+
ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+. Proses ini dikendalikan oleh
hormone anak ginjal aldosteron. Antagonis aldosterone (spirolakton) dan
zat penghemat kalium (amilorida, triamteren) bertitik kerja di sini dengan
mengakibatkan ekskresi Na+ kurang dari 5% dan retensi K+.
d. Saluran Pengumpul
Hormon antidiuretik ADH (vasopresin) darihipofisis bertitik kerja
di sini dengan jalan mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel
saluran ini.

3. Penggolongan Obat
Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan obat yaitu:
a. Diuretik Osmotik
Tubulus proksimal dan cabang menurun angsa Henle dengan bebas
permeable air. Suatu agen osmotik yang tidak di transport menyebabkan

6
7

air tertahan pada segmen tersebut dan meningkatkan dieresis air. Suatu
jens agen, manitol, terutama digunakan untuk menurunkan peningkatan
tekanan intracranial, tetapi kadang kala juga digunakan untuk meningkatan
pembuangan toksin dari ginjal, yang dibutuhkan pada kasus hemolisis akut
atau setelah penggunaan agen radiokontras.
1) Farmakokinetika
Mannitol tidak dimetabolisme dan dikelola terutama dengan filtrasi
glomeruler, tanpa reabsorpsi atau sekresi tubuler yang penting.
Menurut definisi, diuretic osmotik sangat sedikit diabsorpsi, yang
berarti harus diberikan secara parenteral. Mannitol eksresi oleh
penyaringan glomeruler dalam 30-60 menit. Bila diberikan secara oral,
mannitol menyebabkan diare osmotik. Efek tersebut dapat digunakan
untuk menimbulkan potensiasi efek-efek resin-resin ikatan kalium atau
menghilangkan substansi toksik dari saluran cerna dalam
penggambunan dengan arang aktif.
2) Farmakodinamika
Diuretik osmotik membatasi reabsorpsi air terutama pada segmen
dari nefron tersebut yang secara bebas permeable air : tubulus
proksimal dan cabang menurun ansa Henle. Kehadiran larutan yang
tak dapat direabsorpsi tersebut seperti halnya mannitol dapat mencegah
absorpsi normal air dengan menempatkan kekuatan osmotik yang
berlawanan. Sebagai hasilnya volume urine meningkat pada
penggambungan dengan eksresi mannitol. Peningkatan yang cukup
besar pada laju aliran urine menurunkan waktu kontak antara cairan
dan epitel tubulus, sehingga menurunkan reabsorpsi Na+.
bagaimanapun, natriuresis yang dihasilkan lebih kecil daripada diuresis
air, yang akhirnya membawa pada hipernatremia.
3) Indikasi Klinik Dan Dosis
a) Untuk meningkatkan volume urine : diuretika osmotik lebih
diinginkan untuk digunakan meningkatkan eksresi air daripada
eksresi natrium. Efek tersebut dapat bermanfaat apabila

7
8

hemodinamika ginjal dapat bekerja sama atau retensi Na+ yang


tinggi dapat membatasi respon terhadap agen konvensional
tersebut. Hal tersebut dapat digunakan untuk mempertahankan
volume urine dan untuk mencegah anuria yang mungkin pada sisi
lain dihasilkan dari sejumlah besar beban pigmen yang memenuhi
ginjal (hemolisis atau rabdomiolisis). Beberapa pasien dengan
oligouri tidak memberi respon pada diuretic osmotik. Untuk itulah,
tes dosis mannitol (12,5g secara intravena) harus diberikan
sebelum memulai pemberian infuse yang berkelanjutan. Mannitol
seyogyanya tidak dilanjutkan pemberiannya kecuali bila ada
peningktan pada aliran urine lebih dari 50 ml/jam selama 3 jam
setelah tes dosis. Kalau terdapat rspons, pemberian mannitol
(12,5-25 g) dapat diulangi setiap 1-2 jam untuk mempertahankan
kecepatan pengaliran urine lebih besar dari 100 ml/jam. Pemberian
mannitol dalam jangka waktu panjang tidak dianjurkan.
b) Pengurangan tekanan intrakranial dan Intraokuler : Diuretika
osmotik menurunkan total air dalam tubuh lebih dari total
kandungan kation tubuh dan hal itu menurunkan volume
intraseluler. Efek tersebut digunakan untuk menurunkan tekanan
intrakranial pada kondisi neurologis dan untuk mengurangi tekanan
intraokuler sebelum prosedur optalmologis. Dosis 1-2 g/kg
mannitol diberikan secara intravena. Tekanan intrakraniak harus
dipantau, harus menurun dalam waktu 60-90 menit.

4) Toksisitas
a) Perluasan volume ekstraseluler : Manitol secara cepat
didistribusikan ke kompartemen ekstraseluler dan mengekstrasi air
dari kompartemen intraseluler. Sebelum diuresis, hal tersebut dapat
mengantar pada perluasan volume cairan ekstraseluler dan
hiponatremia. Efek tersebut dapat menjadi penyulit gagal jantung
kongestif dan dapat menimbulkan edema paru yang mencolok.

8
9

Sakit kepala, mual, dan muntah lazim terjadi pada pasien yang
dirawat dengan diuretik osmotik.
b) Dehidrasi dan Hipernatremia : Penggunaan mannitol yang
berlebihan tanpa penggantian air yang memadai dapat
mengakibatkan dehidrasi parah, kehilangan air yang terjadi begitu
saja, dan hipernatremia. Komplikasi tersebut dapat dihindarkan
dengan perhatian yang seksama pada komposisi serum ion dan
keseimbangan cairan.

5) Contoh obat
a) Manitol
Indikasi : Edema serebral
Peringatan : Gagal jantung kongestif, edema paru
Efek samping : Menggigil, demam
Dosis : Infus intravena, diuresis, 50-200 g selama 24 jam,
didahului oleh dosis uji 200 mg/kg injeksi intravena yang
lambat.Serebral edema, dengan dosis khasnya 1g/kg sebagai
suatu larutan 20 % yang diberikan lewat infus intravena yang
cepat
b) Sorbitol
Stereoisomer dari manitol dengan khasiat, sifat, dan penggunaan
sama.
Dosis : infus i.v. 1-2 g/kg dari larutan 20-25%

b. Diuretik Penghambat Karbonik Anhidrase


Karbonik anhidrase terdapat dalam banyak temat di nefron,
termasuk membrane luminal dan basolateral dan sitoplasma sel epitel dan
sel darah merah dalam sirkulasi ginjal. Lokasi enzim yang menonjol
tersebut adalah membrane luminal dari sel tubulus poriksimal, tempat
enzim tersebut mengkatalisasi dehidrasi H2CO3, suatu tahapan kritis dari
reabsorpsi bikarbonat dalam tubulus proksimal. Penghambatan karbonik

9
10

anhidrase menyekat reabsorpsi natrium bikarbonat, menyebabkan diuresi


natrium bikarbonat dan penurunan simpanan bikarbonat tubuh total.
Penghambatan bikarbonik anhidrase tersebut adalah derifat
sulfonamide dapat menyebabkan dieresis alkalis dan asidosis metabolic
hiperkloremik. Dengan perkembangan obat yang lebih baru, penghambat
carbonic hidrase sekarang jarang digunakan. Prototype penghambat
karbonik anhydrase adalah acetazolamide.
1) Farmakokinetika
Penghambat karbonik anhidrase diabsorbsi dengan baik setelah
pemberian oral. Peningkatan PH urine karena dieresis bikarbonat
terjadi dlam 30 menit, maksimal pada 2 jam, dan menetap selama 12
jam setelah pemberian dosis tunggal. Eksresi obat tersebut melalui
sekresi tubuler dalam segmen S2 tubulus proksimal, dan untuk alas an
itulah dosis pemberian harus diturunkan pada insifisiensi ginjal.
2) Farmakodinamika
Penghambat aktivitas karbonik anhydrase menekan reabsorbsi
bikarbonat secara kuat dalam tubulus proksimal. Pada dosis pemberian
maksimal yang aman, 85% dari kapasitas reabsorpsi bikarbonat dari
tubulus proksimal superfisial di hambat oleh acetazlamide dengan
IC50 yang terjadi (konsentrasi yang dibutuhkan untuk penghambatan
sebesar 50%) pada 4 mmol/L. bagaimana juga, beberapa bikarbonat
masih dapat diabsorpsi dari situs-situs nefron lain oleh mekanisme
yang tidak berkaitan dengan karbonik anhydrase. Efek menyeluruh
dari pemberian acetaolamide maksimal meliputi sekitar 45%
penghambatan dari reabsorpsi bikarbonat dari keseluruhan
ginjal.namun, penghambatan karbonik anhydrase menghilangkan
bikarbonat yang bermakna, yang menyebabkan asidosis metabolic
hiperkloremik. Karena efek toksisistas dari asidosis dan fakta baha
deplesi HCO3- meningkatkan reabsorpsi NaCL melalui segmen
tubulus yang tersisa dalam nefron, efektifitas diuretic acetazolamide
menurun bermakna pada penggunaan yang melebihi beberapa hari.

10
11

Aplikasi klinik utama dari acetazolamide melibatkan transfor


bikarbonat yang bergantung pada bikarbonik anhydrase pada tempat
lain dilar ginjal. Badan silier (ciliar) mata menyekresi bikarbonat
kedalam cairan bola mata.(aqueous humor) dengan proses yang sama
dengan reabsorbsi bikarbnat dari cairan tubulus proksimal. Satu-
satunya perbedaan adalah bahwa proses terbalik, bikarbonat di
pindahkan dari darah oleh badan siler dan dikembalikan ke darah pada
tubulus proksimal. Serupa dengan itu, pembentukan cairan
serebrospnal oleh pleksus khoroit melibatkan sekresi bikarbonat
kedalam cairan serebrospnal. Walaupun proses tersebut terjadi dalam
arah yang berlawanan dari proses terjadi pada tubulus proksimal,
mereka di hambat secara bermakna oleh penghambat karbonik
anhidrase, yang pada kedua kasus secara dramatis mengubah Ph dan
kuantitas cairan yang di produksi.
3) Indikasi Klinis dan Dosis
a) Glaukoma : Penghambatan karbonik anhidrase menurunkan laju
pembentukan cairan bola mata (aqueous humor), yang dapat
menyebabkan penurunan tekanan intraokuler. Efek tersebut
bermanfaat pada penatalaksanaan beberapa bentuk glaukoma,
menyebabkannya menjadi indikasi paling lazim penggunaan
penghambat karbonik anhidrase.
b) Alkalisasi urine : Asam urat (uric acid) dan cystine relatif tidak
dapat larut dalam urine yang asam, dan peningkatan ekskresi ginjal
senyawa tersebut dapat dicapai dengan peningkatan pH urin
dengan penghambatan karbonik anhidrase. Dengan cara yang
sama, ekskresi ginjal dari asam lemah (misalnya aspirin)
ditingkatkan oleh acetazolamide. Pada pemberian bikarbonat yang
tidak berkesinambungan efek acetazolamide tersebut relatif
berdurasi pendek dan hanya bermanfaat dalam mengawali suatu
respons. Terapi dalam jangka waktu panjang membutuhkan
pemberian bersama bikarbonat.

11
12

c) Alkalosis metabolik : Pada sebagian kasus, alkalosis metabolik


yang menetap merupakan suatu konsekuensi dari penurunan total
K+ tubuh dan volume intravaskuler atau kadar tinggi
mineralocorticoid. Oleh karenanya pada lazimnya kasus tersebut
dirawat dengan melakukan koreksi pada kondisi yang
mendasarinya, tidak dengan pemberian acetazolamide. Apabila
alkalosis disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan dari
diuretika terhadap pasien dengan gagal jantung parah, pemberian
saline (larutan garam fisiologis) dapat merupakan kontraindikasi
karena peningkatan tekanan pengisian jantung. Pada kasus
tersebut, acetazolamide dapat sangat berguna untuk memperbaiki
alkaloid seperti halnya dengan menyebabkan sedikitnya diuresis
tambahan untuk memperbaiki gagal jantung. Acetazolamide telah
pula digunakan untuk memperbaiki secara cepat alkalosis
metabolik yang mungkin berkembang pada tatanan asidosis
respiratorik.
d) Acute Mountain Sickness : Kelemahan, pusing, insomnia, nyeri
kepala, dan mual dapat terjadi pada para pendaki gunung yang
mendaki secara cepat mencapai 3000 m. Gejalanya bersifat ringan
dan berlangsung untuk beberapa hari. Pada kasus yang lebih serius,
edema pulmoner dan serebral yang berlanjut dengan cepat dapat
mengancam jiwa. Dengan penurunan pembentukan cairan
serebrospinal dan pH cairan serebrospinal dan otak, acetazolamide
dapat meningkatkan status performa dan mengurangi gejala
mountain sickness. Penggunaan sebagai profilaksis dapat dicapai
dengan pemberian acetazolamide secara oral 24 jam sebelum
pendakian.
e) Penggunaan lain : Penghambat karbonik anhidrase telah digunakan
sebagai pengobatan tambahan dalam perawatan epilepsi, dalam
beberapa bentuk paralisis periodik hipokalemik, dan untuk

12
13

meningkatkan ekskresi phosphate urine selama hiperfosfatemia


yang parah.
4) Toksisitas
a) Asidosis Metabolik Hiperkloremik :Asidosis diperkirakan akibat
dari penurunan kronis cadangan-cadangan bikarbonat oleh
penghambat karbonik anhidrase. Pembuangan bikarbonat
membatasi efikasi diuretik dari obat-obat ini selama 2-3 hari.
b) Batu ginjal : Fosfaturia dan hiperkalsiura terjadi selama respons
bikarbonaturik terhadap penghambatan karbonik anhidrase.
Ekskresi ginjal dari faktor pelarut (seperti citrat) dapat juga
menurun pada penggunaan kronis. Garam kalsium relatif tidak
larut pada pH alkali, yang berarti bahwa potensi pembentukan batu
ginjal dari garam tersebut meningkat.
c) Pembuangan Kalium ginjal : Pembuangan kalium dapat terjadi
karena NaHCO3 yang terdapat pada tubulus pengumpul
menyebabkan suatu peningkatan pada potensial negatif elektris-
lumen pada segmen tersebut dan meningkatkan sekresi K+. Efek
tersebut dapat dilawan dengan pemberian KCl.
d) Toksisitas lain : Rasa kantuk dan parestesi adalah gejala yang
lazim pada pemberian dosis besar. Terjadi akumulasi obat tersebut
pada pasien dengan gagal ginjalm dan terjadi toksisitas sistem saraf
pusat yang jelas pada tatanan tersebut. Reaksi hipersensitivitas
(demam, ruam, supresi sumsum tulang, nefritis interstisial) dapat
pula terjadi.
5) Kontraindikasi
Penghambat karbonik anhidrase sebisanya dihindari pada pasien
dengan sirosis hari. Alkalinisasi urine akan menurunkan terjebaknya
(trapping) juga ekskresinya NH4+ urine yang diduga berperan dalam
perkembangan ensefalopati hepatis.
6) Contoh obat
Acetazolamide

13
14

Indikasi : Pengobatan glaukoma (sudut terbuka kronik, glaukoma


sekunder, pra operasi pada glaukoma sudut tertutup akut) dengan cara
mengurangi tekanan intraokuler
Peringatan : Hindari penggunaan pada kerusakan ginjal yang berat,
kehamilan. Penggunaan lama tidak dianjurkan, harus disertai dengan
pemeriksaan jumlah darah total. Risiko asidosis pada kerusakan paru.
Efek samping : Mual, muntah, diare, gangguan rasa, depresi, poliurea,
menurunkan libido, gangguan elektrolit dan asidosis, gangguan darah
termasuk agranulositosis dan trombositopenia. Dapat menyebabkan
parestesia, hipokalemia, berkurangnya nafsu makan, bintik merah pada
kulit, dapat terjadi batu ginjal dan sindrom stevens- johnson
Interaksi : Resiko hipokalemia dapat meningkat bila diberikan dengan
bambuterol, efromoterol, reproterol, rimeterol, salmoterol. Dengan
asetosal dapat menyebabkan asidosis parah dan meningkatkan efek
toksik pada SSP.
Dosis : Oral atau injeksi intravena 0,25 – 1 g/hari dalam dosis terbagi.
Cara injeksi intramuskular seperti pada injeksi intravena tetapi lebih
baik dihindari karena pH alkalis.

c. Diuretik Kuat (Diuretik Lengkungan/Ansa)


Diuretik kuat secara selektif menghambat reabsorpsi NaCl pada
cabang meningkat yang tebal dari ansa Henle. Mengacu pada besarnya
kapasitas absorpsi segmen tersebut dan kenyataan bahwa diuresis tidak
terbatas oleh perkembangan asidosis, seperti halnya dengan penghambat
anhidrase, obat tersebut adalah agen diuretik yang paling efektif yang
tersedia.
1) Farmakokinetika
Agen-agen ansa tersebut diabsorpsi dengan cepat. Mereka
dieliminasi oleh sekresi ginjal begitu juga oleh filtrasi glomeruler.
Absorpsi torsemide oral lebih cepat (1 jam) daripada furosemide (2-3
jam) dan hampir sebanding dengan pemberian intravena. Respons

14
15

diuretik sangat cepat pada pemberian injeksi intravena. Masa kerja


furosemide biasanya 2-3 jam dan untuk tursemide 4-6 jam. Waktu
paruhnya bergantung pada fungsi ginjal. Karena agen ansa bekerja
pada sisi luminal tubulus, respons diuretik berkaitan secara positif
dengan ekskresi urine.
2) Farmakodinamika
Obat tersebut menghambat sistem transpor gabungan Na+/K+/2Cl-
pada membran luminal cabang meningkat yang tebal pada ansa henle.
Dengan menghambat transporter tersebut, diuretika ansa menurunkan
reabsorpsi NaCl dan juga menurunkan potensial positif-lumen normal
yang berasal dari daur ulang K+. Potensial elektris tersebut pada
keadaan normal menggerakkan reabsorpsi kation divalen pada ansa.
Diuretika ansa, dengan menurunkan potensial positif menyebabkan
suatu peningkatan ekskresi Mg2+ dan Ca2+. Penggunaan dalam
jangka panjang dapat menyebabkan hipomagnesemia pada beberapa
pasien. Karena Ca2+ secara aktif direabsorpsi pada tubulus berbelit
distal, diuretika umumnya tidak menyebabkan hipokalsemia. Namun,
pada kelainan yang menyebabkan hiperkalsemia, ekskresi Ca2+ dapat
ditingkatkan dalam jumlah besar dengan memadukan agen ansa
dengan infus garam fisiologis. Efek tersebut sangat berharga untuk
penatalaksanaan akut dari hiperkalsemia.
3) Indikasi Klinis dan Dosis
a) Hiperkalemia : Pada hiperkalemia ringan atau setelah
penatalaksanaan akut hiperkalemia yang parah dengan cara lain,
diuretika ansa dapat secara bermakna meningkatkan ekskresi urine
dari K+ sebagai sarana menurunkan simpanan K+ tubuh total.
Respons tersebut ditingkatkan dengan pemberian bersama NaCl
dan air.
b) Gagal ginjal akut : Agar ansa dapat meningkatkan kecepatan aliran
urine dan meningkatkan ekskresi K+ pada gagal ginjal akut. Agen
tersebut dapat mengatasi gagal ginjal oligurik menjadi gagal

15
16

nonoligurik, yang dapat mempermudah penatalaksanaan pada


pasien. Namun penatalaksanaan tersebut tidak memperpendek
masa berlangsungnya gagal ginjal.
c) Overdosis anion : Bromide, fluoride dan iodide semuanya
diabsorpsi kembali pada cabang meningkat yang tebal; sehingga
diuretika ansa berguna dalam penatalaksamaam keracunan
makanan yang disebabkan ion-ion tersebut. Larutan garam
fisiologis harus diberikan untuk menggantikan kehilangan Na+ dari
urine dan untuk menyediakan Cl-, begitu juga untuk menghindari
deplesi volume cairan ekstraseluler.
4) Toksisitas
a) Alkalosis Metabolik Hipokalemik : Diuretik ansa meningkatkan
penghantaran garam dan air ke duktus pengumpul dan karenanya
meningkatkan sekresi K+ dan H+ ginjal, yang mengakibatkan
alkalosis metabolik hipokalemik. Toksisitas tersebut merupakan
suatu fungsi dari pembesaran efek diuretik dan dapat dihentikan
dengan penggantian K+ dan koreksi hipovolemia.
b) Ototoksisitas : Diuretika ansa dapat mengakibatkan hilangnya
pendengaran yang berkaitan dengan dosis dan lazimnya bersifat
reversibel. Hilangnya pendengaran tersebut terjadi pada pasien
dengan penurunan fungsi ginjal atau pada pasien yang juga
mendapat agen ototoksik lain seperti antibiotik aminoglycoside
c) Hiperurikemia : Diuretika ansa dapat menyebabkan hiperurikemia
dan memicu serangan pirai. Keadaan tersebut disebabkan oleh
peningkatan reabsorpsi uric acid pada tubulus proksimal yang
dihubungakan dengan hipovolemia. Keadaan tersebut dapat
dihindari dengan pemberian diuretika dosis rendah.
d) Hipomagnesemia : Deplesi magnesium merupakan konsekuensi
yang dapat diperkirakan dari penggunaan kronis agen ansa dan
terjadi pada pasien dengan defisiensi diet magnesium. Keadaan

16
17

tersebut dapat diperbaiki secara cepat dengan pemberiaan sediaan


magnesium oral.
e) Reaksi alergi : Ruam pada kulit, eosinofilis, dan yang lebih jarang,
nefritis interstisial merupakan efek samping yang kadang terjadi
pada terapi furosemide. Keadaan tersebut dapat membaik secara
cepat setelah penghentian obat. Pengalaman penggunaan
torsemide terbatas, tetapi reaksi alergi yang mirip diduga terjadi
berkaitan dengan struktur kimianya. Reaksi alergi tersebut diduga
terkait dengan gugus sulfonamide kurang lazim terjadi pada
ethacrynic acid.
5) Kontraindikasi
Furosemide, bumetanide, dan torsemide dapat dibuktikan
mempunyai reaktivitas silang pada pasien yang sensitif pada
sulfonamide yang lain. Penggunaan berlebihan diuretika tersebut
berbahaya bagi sirosis hati, gagal ginjal pada garis batas (borderline),
atau gagal ginjal kongestif.
6) Contoh Obat
Furosemid
Indikasi : Penanganan edema yang berhubungan dengan gagal jantung
koroner dan penyakit hati, diberikan tunggal atau dalam kombinasi
dengan antihipertensi pada penanganan hipertensi.

d. Diuretik Tiazid
Diuretik thiazide muncul dalam usaha untuk mensintesis lebih
banyak penghambat carbonic anhydrase yang kuat. Secara
berkesinambungan menjadi jelas bahwa thiazide menhambat transfor
NaCL yang terjadi diluar efeknya terhadap aktivitas anhydrase dan bahwa
obat tersebut bekerja pada transfor garam pada tubulus berbelit distalis.
Beberapa anggota dari kelompok tersebut mempertahankan aktivitas
penghambatan carbonik anhydrase secara bermakna, tetapi efek tersebut

17
18

tidak berkaitan dengan cara kerja utamanya. Contoh thiazide adalah


hydrochlorothiazide.
1) Farmakokinetika
Semua thiazide diabsorbsi pada pemerian oral, tetapi terdapat
perbedaan dalam metabolismenya. Chlorothiazide , induk dari
kelompok tersebut, kurang dapat larut dalam lipid, dan harus diberikan
pada dosis yang relatif besar. Chlortalidone diabsorbsi lambat dan
mempunyai masa kerja yang lebih panjang. Walaupun indapamide
terutama diekskresi oleh sistem bilier, klirens oleh ginjal dari bentuk
aktifnya terjadi dalam jumlah cukup untuk mendapakan efek
diuretiknya pada tubulus berbelit distals.
Semua thiazide disekresi oleh sistem sekretorik asam organik dan
bersaing pada beberapa hal dengan sekresi uric acid oleh sistem
tersebut. Sebagai hasilnya, kecepatan sekresi uric acid dapat menurun,
dengan diikuti peningkatan kadar uric acid serum. Pada steady state,
prduksi uric acid tidak dipengaruhi oleh thiazide
2) Farmakodinamika
Thiazide menghambat rearsorpsi NaCl dari sisi luminal sel epitel
dalam tubulus berbelit distalis, diduga terdapat suatu efek ringan pada
reabsorbpsi NaCl pada bagian akhir tubulus proksimal, tetapi hal
tersebut tidak diamati pada tatanan klnik yang umum.
Relatif hanya sedikit sistem transfor NaCl yang diketahui dapat
dihambat oleh thiazide. Seperti telah diuraikan di depan(dalam tubulus
berbelit distalis), cara transfor merupakan suatu konstransporter NaCl
netral secara elektris yang berbeda dari transporter pada angsa Henle.
Terdapat pula proses reasorbpsi aktif untuk Ca2+ pada tubulus berbelit
distalis, yang dimodulasi oleh hormon paratiroid.

3) Indikasi Klinis dan Dosis

18
19

Indikasi utama diuretika thiazide adalah (1) hipertensi , (2) gagal


jantung kongestif, (3) nefrolitiasis yang disebabkan hiperkalsiuria
idiopatik, dan (4) diabetes insipidus nefrogenik.
Berbagai thiazide dan diuretika terkait dosis

Dosis Oral Harian Frekuensi dosis


Bendroflumethazide 2,5 – 10 mg Dosis tunggal
Benzthiazide 25 – 100 mg Dosis terbagi dua
Cholorothiazide 0,5 – 1 g Dosis tunggal
HCT 25 – 100 mg Dosis tunggal
Indapamide 2,5 – 10 mg Dosis tunggal
Hydroflumethiazide 2,5 – 100 mg Dosis terbagi dua
Metolazone 2,5 – 10 mg Dosis tunggal

4) Toksisitas
a) Alkalosis Metabolik Hipokalemik dan Hiperurikemia : Toksisitas
tersebut menyerupai yang teramati pada diuretika ansa
b) Gangguan Toleransi Karbohidrat : Dapat terjadi hiperglikemia
pada pasien diabetes atau bahkan pada yang dengan uji toleransi
glukosa tidak normal yang ringan. Efek tersebut berkaitan dengan
hambatan rilis insulin pankreatik dan penurunan penggunaan
glukosa oleh jaringan. Hiperglikemia disembuhkan sebagian
dengan perbaikan hipokalemia.
c) Hiperlipidemia : Thiazide menyebabkan peningkatan 5-15 %
kolesterol serum dan menurunkan lipoprotein dengan keadaan
rendah (LDL). Tingkat tersebut dapat kembali pada garis dasar
pada pemakaian jangka waktu panjang.
d) Hiponatremia : Hiponatremia merupakan efek tidak diinginkan
yang penting dari diuretika thiazide dan dapat mengancam jiwa
walaupun jarang terjadi. Keadaan tersebut disebabkan oleh
kombinasi induksi hipovolemia pada peningkatan ADH, penurunan
kapasitas pengenceran oleh ginjal, dan peningkatan rasa haus.
Keadaan tersebut dapat dicegah dengan menurunkan dosis obat
atau membatasi minum air.

19
20

e) Reaksi alergi : Thiazide adalah sulfonamide dan mempunyai


reaktivitas silang dengan anggota lain dari kelompoknya.
Sensitifitas terhadap cahaya atau dermatitis menyeluruh jarang
terjadi. Reaksi serius alergi sangat jarang tetapi termasuk anemia
hemolitik, trombositopenia dan pankreatitis nekrotik akut.

5) Kontraindikasi
Penggunaan diuretika berlebihan berbahaya pada sirosis hati, gagal
ginjal borderline atau gagal jantung kongestif.
6) Contoh Obat
a) Bendrofluazid
Indikasi: edema, hipertensi
Kontra indikasi: hipokalemia yang refraktur, hiponatremia,
hiperkalsemia, , gangguan ginjal dan hati yang berat, hiperurikemia
yang simptomatik, penyakit adison.
Bentuk sediaan obat: tablet
Dosis: edema dosis awal 5-10 mg sehari atau berselang sehari pada
pagi hari; dosis pemeliharaan 5-10 mg 1-3 kali
semingguHipertensi, 2,5 mg pada pagi hari
Efek samping: hipotensi postural dan gangguan saluran cerna yang
ringan; impotensi (reversibel bila obat dihentikan); hipokalemia,
hipomagnesemia, hiponatremia, hiperkalsemia, alkalosis
hipokloremanik, hiperurisemia, pirai, hiperglikemia, dan
peningkatan kadar kolesterol plasma; jarang terjadi ruam kulit,
fotosensitivitas, ganggan darah (termasuk neutropenia dan
trombositopenia, bila diberikan pada masa kehamilan akhir);
pankreatitis, kolestasis intrahepatik dan reaksi hipersensitivitas.
Peringatan : dapat menyebabkan hipokalemia, memperburuk
diabetes dan pirai; mungkin memperburuk SLE ( eritema lupus
sistemik ); usia lanjut; kehamilan dan menyusui; gangguan hati dan
ginjal yang berat;porfiria.

20
21

b) Chlortalidone ( Hygroton®, Tenoret 50®, Tenoretic® )


Indikasi : edema, hipertensi, diabetes insipidus
Peringatan,Kontra indikasi, dan efek samping: lihat pada
Bendrofluazid
Dosis : edema, dosis awal 50 mg pada pagi hari atau 100-200 mg
selang sehari, kurangi untuk pemeliharaan jika
mungkin.Hipertensi, 25 mg; jika perlu ditingkatkan sampai 50 mg
pada pagi hari
c) Hidroklorotiazid
Indikasi: edema, hipertensi
Peringatan,Kontra indikasi, dan efek samping: lihat pada
Bendrofluazid
Dosis : edema, dosis awal 12,5-25 mg, kurangi untuk pemeliharaan
jika mungkin; untuk pasien dengan edema yang berat dosis
awalnya 75 mg sehariHipertensi, dosis awal 12,5 mg sehari; jika
perlu ditingkatkan sampai 25 mg pada pagi hari

e. Diuretik Hemat Kalium


Anggota dari kelompok ini mengantagonis efek aldosterone pada
korteks tubuli pengumpul dan pada bagian akhir tubulus distal.
Penghambatan dapat terjadi dengan antagonisme farmakologis langsung
dari reseptor mineralocorticoid (spironolactone) atau dengan hambatan
aliran Na+ melalui kanal ion pada membran luminal. Efek hemat kalium
yang lebih kecil kadang terjadi pada obat yang menekan renin atau
angiotensin II.
1) Farmakokinetika
Spironolakton adalah suatu sterois sintetis yang bekerja sebagai
antagonis kompetitif aldosterone. Mula dan lama kerjanya ditentukan
oleh kinetik dari respons aldosterone pada jaringan target. Inaktivasi
substansial spironolakton terjadi dalam hati. Hasil keseluruhan

21
22

merupakan mula kerja yang agak lambat, membutuhkan beberapa hari


sebelum efek terapeutik lengkap terjadi
2) Farmakodinamika
Diuretik hemat kalium menurunkan absorpsi Na+ pada tubulus dan
duktus pengumpul. Absorpsi Na+ (dan sekresi K+) pada tempat
regulasi oleh aldosterone. Pada tiap laju penghantaran Na+, laju
sekresi K+ di distal secara positif berkaitan dengan kadar aldosterone.
Aldosterone meningkatkan sekresi K+ dengan meningkatkan aktivitas
Na+/K+ ATPase dan aktivitas kanal Na+ dan K+. Absorpsi Na+ pada
tubulus pengumpul menyebabkan potensial elektris negatif-lumen,
yang menyebabkan peningkatan sekresi K+.
3) Indikasi Klinis dan Dosis
Agen tersebut paling bermanfaat pada kondisi mineralocorticoid
yang berlebihan, baik yang disebabkam hipersekresi primer atau
aldosteronisme sekunder. Aldosteronisme sekunder disebabkan oleh
gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindroma nefrotik, dan kondisi
lain yang dihubungkan dengan retensi garam ginjal dan penurunan
volume intravaskuler efektif.
Diuretika hemat kalium dan preparat kombinasi
Nama dagang Agen Hemat-Kalium HCT Frekuensi Dosis
Aldactazide Spironolakton 25 mg 25 mg 1 - 4 kali sehari
Dyazide Triamterene 50 mg 25 mg 1 - 4 kali sehari
Maxzide Triamterene 75 mg 50 mg Sekali sehari
Mildamor Amiloride 5 mg Sekali sehari
Moduretic Amiloride 5 mg 50 mg Dua kali sehari

4) Toksisitas
a) Hiperkalemia : Tidak seperti diuretika lain, agen ini dapat
menyebabkan hiperkalemia ringan sedang, atau bahkan yang
mengancam keselamatan jiwa. Risiko dari komplikasi ini sangat
meningkat pada penyakit ginjal atau dengan kehadiran obat lain
yang dapat menurunkan renin (penyakit beta, AINS) atau aktivitas
angiotensin II (penghambat ACE). Karena sebagian besar diuretika

22
23

lain menimbulkan terjadinya kehilangan K, hiperkalemia lebih


lazim terjadi pada penggunaan antagonis aldosterone sebagai agen
diuretik tunggal, khususnya pada pasien dengan infusiensi ginjal.
b) Asidosis Metabolik Hiperkloremik : Dengan menghambat sekresi
H+ yang paralel dengan sekresi K+,, diuretika hemat kalium dapat
menyebabkan asidosis yang sama dengan yang terjadi pada
asidosis tubuler ginjal tipe IV.
c) Ginekomasti : Steroid sintetis dapat menyebabkan abnormalitas
endokrin yang disebabkan oleh efek reseptor steroid lain.
Ginekomasti dan efek tidak diinginkan yang lain (impotensi) telah
dilaporkan sehubungan dengan penggunaan spironolakton.
d) Gagal ginjal akut : Kombinasi triamterene dan indometacine telah
dilaporkan menjadi penyebab gagal ginjal akut. Kejadian tersebut
belum pernah dilaporkan terjadi berkaitan dengan penggunaan
hemat kalium lain.
e) Batu ginjal : Triamteren bersifat kurang larut sehingga dapat
mengendap di urine, sehingga dapat menyebabkan batu ginjal.
5) Kontraindikasi
Agen tersebut dapat menyebabkan hiperkalemia parah bahkan fatal
pada pasien tertentu. Pemberian oral K+ seyogyanya dihentikan pada
penggunaan antagonis aldosterone. Pasien dengan infusiensi ginjal
kronis yang khusus berbahaya dan seyogyanya jarang dirawat dengan
antagonis aldosterone. Penggunaan secara bersama agen lain yang
menumpulkan sistem angiotensin renin meningkatkan kecenderungan
terjadinya hiperkalemia. Pasien dengan penyakit hati diduga
mempunyai hambatan metabolisme triamterene dan spironolakton,
dan karena dosisnya harus disesuaikan secara hati-hati.
6) Contoh Obat
a) Amilorid HCL ( Amiloride®, puritrid®, lorinid® )
Indikasi: edema, hipertensi, konservasi kalium dengan kalium dan
tiazid

23
24

Kontra indikasi: gangguan ginjal, hiperkalemia.


Bentuk sediaan obat: tablet
Dosis: dosis tunggal, dosis awal 10 mg sehari atau 5 mg dua kali
sehari maksimal 20 mg sehari. Kombinasi dengan diuretik lain 5-
10 mg sehari
Efek samping: Gangguan saluran cerna dan kadang-kadang reaksi
alergi seperti ruam kulit, bingung, hiponatremia.
Peringatan : dapat menyebabkan hipokalemia dan hiponatremia;
kehamilan dan menyusui; gangguan hati dan ginjal; memperburuk
diabetes mellitus; usia lanjut.
b) Spironolakton ( Spirolactone®, Letonal®, Sotacor®, Carpiaton®)
Indikasi: edema, hipertensi
Kontra indikasi: gangguan ginjal, hiperkalemia, hipernatremia,
kehamilan dan menyusui, penyakit adison.
Bentuk sediaan obat: tablet
Dosis: 100-200 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 400 mg;
anak, dosis awal 3 mg/kg dalam dosis terbagi.
Efek samping: Gangguan saluran cerna dan kadang-kadang reaksi
alergi seperti ruam kulit, sakit kepala, bingung, hiponatremia,
hiperkalemia, hepatotoksisita, impotensi.
Peringatan : dapat menyebabkan hipokalemia dan hiponatremia;
kehamilan dan menyusui; gangguan hati dan ginjal; usia lanjut.

4. Penggunaan Klinik Diuretik


a. Hipertensi
Diuretik golongan Tiazid, merupakan pilihan utama step 1, pada sebagian
besar penderita. Diuretik kuat (biasanya furosemid), digunakan bila
terdapat gangguan fungsi ginjal atau bila diperlukan efek diuretik yang
segera. Diuretik hemat kalium, digunakan bersama tiazid atau diuretik
kuat, bila ada bahaya hipokalemia.
b. Payah jantung kronik kongestif.

24
25

Diuretik golongan tiazid, digunakann bila fungsi ginjal normal. Diuretik


kuat biasanya furosemid, terutama bermanfaat pada penderita dengan
gangguan fungsi ginjal. Diuretik hemat kalium, digunakan bersama tiazid
atau diuretik kuat bila ada bahaya hipokalemia.
c. Udem paru akut
Biasanya menggunakan diuretik kuat (furosemid)
d. Sindrom nefrotik
Biasanya digunakan tiazid atau diuretik kuat bersama dengan
spironolakton.
e. Payah ginjal akut
Manitol dan/atau furosemid, bila diuresis berhasil, volume cairan tubuh
yang hilang harus diganti dengan hati-hati.
f. Penyakit hati kronik
Spironolakton (sendiri atau bersama tiazid atau diuretik kuat).
g. Udem otak
Diuretik osmotic
h. Hiperklasemia
Diuretik furosemid, diberikan bersama infus NaCl hipertonis.
i. Batu ginjal
Diuretik tiazid
j. Diabetes insipidus
Diuretik golongan tiazid disertai dengan diet rendah garam
k. Openangle glaucoma
Diuretik asetazolamid digunakan untuk jangka panjang.
l. Acuteangle closure glaucoma

Diuretik osmotik atau asetazolamid digunakan prabedah. Untuk pemilihan


obat Diuretika yang tepat ada baiknya anda harus periksakan diri dan
konsultasi ke dokter.

25
26

C. Antidiuretik
1. Pengertian Antidiuretik
Antidiuretik adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu
kondisi, sifat atau penyebab turunnya laju urinasi. Antidiuretik berasal dari
kata diuretik yaitu zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih
(diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Antidiuretik merupakan
suatu hormon hipofisis yang terletak di bagian umbai belakang yang bekerja
melalui pengaktifan second messenger cAMP. Hormon peptida yang
mengatur penyerapan kembali molekul yang berada pada ginjal dengan
mempengaruhi permeabilitas jaringan dinding tubules, sehingga berfungsi
untuk mengatur pengeluaran urin.

5. Fungsi Antidiuretik
Antidiuretik memiliki khasiat yaitu mencegah ekskresi air berlebihan oleh
ginjal dengan jalan meningkatkan resorpsi kembalinya oleh tubuli ginjal.
Penggunaannya untuk menguji fungsi hipofisis berdasarkan daya kerjanya
menstimulir ekskresi ACTH. Terutama digunakan pada diabetes insipidus,
yang bergejala poliuria (berkemih banyak) akibat kekurangan ADH.
Ketika produksi ADH menurun secara berlebihan, tubulus ginjal tidak
mereabsorbsi air, sehingga air banyak diekskresikan menjadi urine, urinenya
menjadi sangat encer dan banyak (poliuria) sehingga menyebabkan dehidrasi
dan peningkatan osmalalitas serum. Peningkatan osmolalitas serum akan
merangsang chemoreseptor dan sensasi haus kortek cerebral. Sehingga akan
meningkatkan intake cairan peroral (polidipsi). Akan tetapi bila mekanisme ini
tidak ada, dehidrasi akan semakin memburuk. Pada diabetes militus urine
banyak mengandung glukosa sedangkan pada diabitus insipidus urinenya
sangat tidak mengandung glukosa dan sangat encer. Fungsi lainnya juga pada
perdarahan varices di esofagus (vena mekar), yang berdasarkan daya
konstriksi arteriole dan biasanya bersamaan dengan nitrogliserin guna
mengurangi efek samping.

26
27

6. Mekanisme Sintesis Pelepasan ADH


Pelepasan ADH dikendalikan oleh pengaruh yang membangkitkan
(menyebabkan pelepasan) atau menghambat eksitasi dari sel neurosecretory
ADH, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Hipotalamus osmoreseptor
(pengaruh besar)
a. sel aferen khusus dalam
hipotalamus yang menghasilkan
potensial aksi secara proporsional
dengan cairan interstisial (dan
plasma darah) aktivitas osmotik
(dan diam ketika aktivitas
osmotik rendah)
b. membuat sinapsis rangsang
dengan ADH sel neurosecretory
c. Hasil: Plasma meningkatkan
osmolalitas => rilis ADH
d. terletak di luar penghalang darah-
otak
e. sangat sensitif; peningkatan kecil
dalam osmolalitas yang cukup
untuk secara signifikan
meningkatkan laju sekresi ADH
2. Volume darah
a. dimediasi oleh atrium sensitif sel-
stretch (baroreseptor tekanan
rendah atau reseptor volume
vascular)
b. penurunan volume darah =>
ADH rilis

27
28

c. kurang sensitif (ambang tinggi):


5-10% penurunan volume darah
diperlukan untuk meningkatkan
ADH signifikan
d. ampuh: sekali ambang
dilewatkan (misalnya dehidrasi
serius atau perdarahan), dapat
menyebabkan peningkatan besar
dalam ADH

3. Tekanan darah arteri sistemik


a. dimediasi oleh baroreseptor
dalam sinus karotis dan arkus
aorta (baroreseptor sama terlibat
dalam regulasi tekanan darah)
b. penurunan tekanan darah =>
ADH rilis
c. kurang sensitif (ambang tinggi):
10% penurunan tekanan darah
yang diperlukan untuk
meningkatkan ADH signifikan
d. sangat ampuh: sekali ambang
dilewatkan (misalnya perdarahan
utama), dapat menyebabkan
peningkatan besar dalam ADH
(tanggap darurat)

7. Macam-macam Obat
Antidiuretik dibagi menjadi dua kelompok obat yaitu
a. Alamiah , contoh nya Vasopresin
b. Sintetis, contohnya Desmopresin dan terlipresin

28
29

8. Dosis Obat
a. Vasopresin=Pitresin → suntikan 20U/ml dalam ampul 0,5 dan 1 ml (im
dan sk)
b. Vasopresin tanat: 5U/ml (im)
c. Bubuk hipofisis posterior: insuflasi hidung
d. Lipresin: semprot hidung 50 U/ml
e. Desmopresin acetat: lar 0,1 mg/ml dalm botol 2,5 ml (intranasal)
9. Penggolongan Obat
a. Vasopresin (pitressin)
Indikasi : diabetes insipidus kranial ; perdarahan varises esofagus
Kontraindikasi : penyakit vaskular
Peringatan : gagal jantung, asma bronkial, epilepsi, migren, kehamilan
Efek samping : Pucat, mual, cegukan, kejat perut, serangan angina, reaksi
alergi
Dosis : injeksi subkutan atau intramuskular 5-20 unit tiap jam. Injeksi
intravena, untuk perdarahan esofagus : 20 unit dalam 15 menit
Farmakologi :
Suntikan vasopresin yang terdapat di pasaran mengandung hormon
antidiuretik (ADH) dan presor utama hipofise posterior sapi dan babi yang
larut dalam air. Potensi vasopresin distandardisasi menurut aktivitas presor
dan dinyatakan dalam unit (presor) USP Hipofise Posterior. Aksi
antidiuretik disebabkan oleh peningkatan reabsorpsi air oleh tubulus
ginjal. Vasopresin meningkatkan kontraksi otot polos GI dan bidang
vaskuler. Peningkatan motilitas GI dapat bermanifestasi sebagai nyeri
abdomen, mual, muntah. Efek langsung terhadap otot polos vaskular tidak
diantagonis oleh denervasi atau obat-obatan penyekat adrenergik.
Vasokonstriksi umum dan peningkatan tekanan darah hanya terjadi pada
dosis yang jauh lebih besar daripada dosis yang diberikan untuk
pengobatan diabetes insipidus.
b. Desmopresin (Minrin) .

29
30

Khasiat antidiuretiknya lebih kuat dan lebih lama kerjanya. Dapat


digunakan intranasal sebagai spray atau tetes hidung, antara lain pada
ngompol malam (enuresis nocturna).
c. Terlipresin (Glypressin).
Daya antidiuretik lebih ringan, tetapi digunakan berdasarkan efek
vasokonstriksinya terutama di saluran cerna dan rahim.

30
BAB III PENUTUP

PENUTUP

Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin


(diuresis). Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang
berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan
ekstra sel kembali menjadi normal.
Penggolongan Obat Diuretik dibagi menjadi :
1. Diuretik osmotik
2. Diuretik thiazid
3. Diuretik kuat
4. Diuretik hemat kalium
5. Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase
Antidiuretik adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu
kondisi, sifat atau penyebab turunnya laju urinasi. Antidiuretik memiliki
khasiat yaitu mencegah ekskresi air berlebihan oleh ginjal dengan jalan
meningkatkan resorpsi kembalinya oleh tubuli ginjal. Penggunaannya untuk
menguji fungsi hipofisis berdasarkan daya kerjanya menstimulir ekskresi
ACTH. Terutama digunakan pada diabetes insipidus, yang bergejala poliuria
(berkemih banyak) akibat kekurangan ADH.
Penggolongan Obat Antidiuretik dibagi menjadi :
1. Alamiah , contoh nya Vasopresin
2. Sintetis, contohnya Desmopresin dan terlipresin

31
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen POM, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta, 2000. Halaman 287
Karch, A. M. (2011). Buku Ajar Farmakologi Keperawatan. EGC.
Katzung, Bertram G, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi Pertama, Salemba
Medika, Jakarta, 2001. Halaman 437 - 454
Tan Hoan Tjay, Kirana Rahardja., Obat-Obat Penting, Edisi Keenam, PT. Elex
Media Komputindo Gramedia, Jakarta, 2007. Halaman 677
Omoigui, Sota., Obat-Obatan Anestesia, Edisi II, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 2007. Halaman 367
Price, Lorriane.M., Patofisiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1995.
Sukandar, Elin Yulinah, dkk., ISO Farmakoterapi, Edisi I, PT.ISFI Penerbitan,
Jakarta, 2008. Halaman 425

32

Anda mungkin juga menyukai