Anda di halaman 1dari 63

1

PENGARUH BAKTERI RHIZOSFER TOLERAN SALIN


TERHADAP TANAMAN MENTIMUN (Cucumis sativa L)
PADA TANAH SALIN

THESIS

UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN


MEMPEROLEH GELAR MAGISTER

OLEH :

RIKZA ALFYA ANUGRAH CAHYATY


156040200111006

PROGRAM STUDI ILMU TANAMAN


MINAT MANAJEMEN PRODUKSI TANAMAN

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
2

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mentimun (Cucumis sativus L) merupakan satu dari beberapa jenis


sayuran buah yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Produksi
mentimun di Indonesia terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada tahun
2013 produksi tanaman mentimun di Indonesia mencapai 491.636 ton, pada
tahun 2014 produksi mentimun mengalami penurunan sebantak 2.8 % yaitu
477.976 ton (BPS,2014). Permintaan mentimun semakin meningkat dari tahun ke
tahunnya seiring meningkatnya jumlah penduduk. Salah satu faktor penyebab
turunnya produksi mentimun adalah semakin menyempitnya lahan pertanian
akibat terjadi alih fungsi lahan dari sektor pertanian ke sektor-sektor lain
(misalnya pembangunan dan industri).
Peningkatan produksi mentimun dapat dilakukan dengan upaya
intensifikasi dan ekstensifikasi. Peningkatan produksi secara ekstensifikasi,
dapat dilakukan dengan perluasan areal tanam. Perluasan areal tanam ke
daerah baru biasanya ditujukan ke lahan-lahan kurang produktif akibat cekaman
lingkungan yang nantinya akan menjadi faktor penghambat pertumbuhan
tanamam. Diantara berbagai cekaman lingkungan, kekeringan dan salinitas
merupakan cekaman lingkungan yang paling banyak di jumpai. Lahan kering dan
lahan salin merupakan lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal karena
adanya cekaman yang membatasi pertumbuhan tanaman di lapang.
Luas total lahan salin di Indonesia sekitar 60,08 juta hektar. Berdasarkan
luas total lahan salin tersebut diketahui bahwa lahan yang potensial untuk
program pertanian adalah seluas 9,5 juta hektar, sedangkan lahan potensial
tersebut yang baru dimanfaatkan seluas 729,9 ribu Hektar (Alihamsyah, 2004)
Pemanfaatan lahan salin menjadi areal pertanian banyak mengalami
hambatan. Tanah salin adalah tanah yang mengandung garam mudah larut yang
jumlahnya cukup besar bagi pertumbuhan. Masalah salinitas timbul apabila
konsentrasi garam NaCl, Na2CO3, Na2SO4 terdapat dalam tanah yang jumlahnya
berlebih (Sipayung, 2003). Konsntrasi garam yang tinggi, dapat menyebabkan
tanaman keracunan ion Na dan Cl yang dapat berlangsung di seluruh membran
sel. Selain itu salinitas mempengaruhi potensial air dalam tanaman yang
menyebabkan tanaman akan mengalami cekaman fisiologis akibat kekurangan
pasokan air.
3

Lahan dengan cekaman salinitas semacam ini memerlukan teknologi


khusus agar mentimun dapat tumbuh dan berproduksi. Salah satunya yaitu
dengan pemanfaatan mikroorganisme. Bakteri rhizosfer merupakan
mikroorganisme yang hidup disekitar perakaran. Bakteri rhizofer memiliki
beberapa peranan yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman yaitu
sebagai biofertilizer yaitu dapat mengikat nitrogen bebas dan sebagi pelarut
fosfat yang sangat berguna dalam pertumbuhan tanaman. Yang kedua sebagai
photostimulator, yaitu dapat secara langsung meningkatkan pertumbuhan
tanaman dengan cara menghasilkan hormone-hormon seperti hormone IAA.
Dan yang terakhir adalah sebagai agen biokontrol yang mampu menjaga
tanaman ari infeksi pathogen (Bloemberg et al., 2001).
Lugtenberg dan kravchenko (1999) menyatakan bahwa mikroorganisme
yang berada dalam tanah akan berkumpul di dekat perakaran tanaman atau
disebut rhizobakter. Apabila populasi dari mikroba di sekitar rhizofer didominasi
oleh mikroba yang menguntungkan maka tanaman akan memperoleh manfaat
dari adanya mikroba tersebut. Faktor-faktor yang mempengarui komposisi
komunitas mikroba rhizosfer antara lain jenis tanah, tahap pertumbuhan, praktek
pertanaman, sejarah penggunaan lahan, dan faktor lingkungan lainnya (Doi
2011).
Bakteri rhizosfer tahan salin dapat menjadi kunci penggunaan teknologi
biofertilizer pada lahan salin, serta mendapatkan isolate toleran salin yang
berpotensi sebagai inokulan biofertilizer merupakan salah satu solusi yang dapat
dilakukan sebagai upaya pemanfaatan lahan salin dalam bidang pertanian.
Selain itu jumlah koloni bakteri yang terdapat pada rhizosfer dapat
mempengaruhi respon tanaman terhadap pertumbuhan. Pemberian variasi
konsentrasi PGPR pada tanaman cabai merah dan tomat mempengaruhi
pertumbuhan dan berdampak berbeda terhadap respon pertumbuhan Tanaman
seperti tinggi tanaman, berat segar dan jumlah daun pada tanaman (Syamsiah
dan Rayani, 2014 ; Iswati, 2012).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri rhizosfer toleran
salin yang mampu meningkatkan ketahanan .tanaman mentimun pada kondisi
lahan salin serta mendapatkan konsentrasi bakteri rhizosfer terbaik pada
tanaman mentimun pada kondisi salin.
4

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah bakteri rhizosfer toleran salin mampu meningkatkan pertumbuhan


dan hasil tanaman mentimun pada kondisi lahan salin?
2. Bagaimana peran bakteri rhizosfer toleran salin dalam membantu tanaman
agar lebih toleran terhadap kondisi lahan salin?
3. Apakah konsentrasi bakteri rhizosfer toleran salin yang semakin tinggi
mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman mentimun pada
kondisi salin?
1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan isolat rhizobakteri toleran pada kondisi salin.


2. Mempelajari pengaruh bakteri rhizosfer dalam meningkatkan pertumbuhan
dan hasil tanaman mentimun dalam kondisi salin?
3. Mengetahui potensi bakteri rhizosfer toleran salin dalam membantu
pertumbuhan tanaman mentimun dengan menghasilkan hormon IAA.
4. Mengetahui konsentrasi terbaik bakteri rhizosfer pada lahan salin yang
mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman mentimun.
1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu


mendapatkan isolat rizhobakteri toleran salin yang mampu meningkatkan hasil
dan pertumbuhan tanaman serta mendapatkan konsentrasi terbaik pada
tanaman mentimun untuk lahan salin.
5

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Salinitas
Salinitas merupakan suatu kondisi lahan yang menunjukkan adanya garam
terlarut dalam jumlah besar yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
kebanyakan tanaman. Salinitas pada umumnya bersumber pada tanah dan air
tanah. Salin atau tidaknya suatu tanah ataupun air diukur berdasarkan daya
hantar listriknya yang tergantung pada kadar garam yang terlarut dalam air
ataupun dalam larutan yang berhubungan dengan pertumbuhan tanaman
(Sipayung, 2003). Tanaman yang tumbuh di tanah bergaram akan mengalami
dua tekanan fisiologis yang berbeda. Pertama, pengaruh racun dari beberapa ion
tertentu seperti sodium dan klorida, yang lazim terdapat dalam tanah bergaram,
yang akan menghancurkan struktur enzim dan makromolekul lainnya, merusak
organel sel, mengganggu fotosintesis dan respirasi, akan menghambat sintesis
protein dan mendorong kekurangan ion (Marshner, 1995).
Proses akumulasi garam pada permukaan tanah terjadi karena gerakan
garam dari profil tanah bawah (sub-soil) ke bagian atas (top-soil). Pada bagian
atas terjadi penguapan yang intensif, sehingga menyebabkan larutan garam
bergerak secara kapilaritas ke atas, menguap, dan meninggalkan endapan
garam di permukaan tanah. Apabila proses ini berlangsung terus menerus
sepanjang tahun, maka terbentuk tanah garam. Di Indonesia proses ini tidak
berlangsung sepanjang tahun, hanya terdapat di daerah panas dan kering. Pada
musim kemarau terjadi salinisasi, sebaliknya pada musim hujan terjadi
desalinisasi. Pengurangan kadar garam di permukaan tanah terjadi karena curah
hujan yang turun kemudian melindi ke bawah. Proses salinisasi hanya terjadi
pada tanah yang mempunyai tekstur halus sampai sangat halus (Rosmarkam
dan Yuwono 2002). Van Asten et al. (2004) menyatakan bahwa air mampu
melarutkan molekul garam dan mengangkutnya sebagai aliran permukaan (run
off) maupun pencucian (leaching), sehingga kadar garam dapat berkurang. Pada
skala bentang lahan, salinitas tanah dapat berkurang akibat pasokan air hujan
dan air irigasi pada volume dan intensitas yang cukup.
Keragaman salinitas tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanah itu
sendiri (Yan., et al 2007). Sumber garam yang terdapat di dalam tanah di
antaranya berasal dari batuan atau bahan induk, air irigasi, pupuk, herbisida,
insektisida, dan fungisida. Pada tanah di wilayah pesisir, garam dapat berasal
6

dari air laut dengan berbagai cara seperti intrusi dari saluran irigasi, dan intrusi
dari sungai. Erfandi dan Rachman (2011) telah melaporkan tingkat salinitas
tanah sawah di wilayah pesisir utara kabupaten Indramayu terdiri atas salinitas
sangat tinggi (22.57%), tinggi (10.49%), sedang (8.54%), dan rendah (58.41%).
Kebanyakan lahan sawah yang diamati memiliki kandungan natrium sangat tinggi
dan EC pada kedalaman 0-30 cm berkisar antara 1.37-16.38 dS/m dan
kedalaman 30-70 m berkisar antara 1.11-17.40 dS/m. Tanah yang salinitasnya
tinggi hingga sangat tinggi secara umum cenderung dekat dengan laut sebagai
akibat adanya intrusi air laut secara intensif. Tanah-tanah tersebut memiliki
bahan induk dari sedimen laut dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas laut.
2.2 Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Efek salinitas terhadap lahan pertanian, dianggap sebagai ancaman serius
terhadap penyediaan pangan dunia saat ini dan akan datang. Lebih dari 7 %
atau 77 juta ha dari total lahan di dunia (930 juta ha), dan lebih dari 20 % lahan
pertanian saat ini telah mengalami salinisasi yang sebagiannya adalah lahan
beririgasi (Munns, 2002). Salah satu indikasi terukur dalam menetapkan suatu
lahan mengalami ancaman dan potensi salinitas adalah nilai electric conductivity
(EC) tanah dan air irigasi. Tanah sudah mengalami salinitas jika nilai ECe > 4
dS/m pada tanah (FAO, 2005).
Kondisi salin salah satu masalah yang sering dihadapi dalam
pembangunan pertanian di dataran rendah. Garam yang terlarut dalam tanah
merupakan unsur yang esensial bagi pertumbuhan tanaman, tapi kehadiran
larutan garam yang berlebih di dalam tanah akan meracuni tanaman (Yuniati,
2004). Salinitas menyebabkan bawang merah dapat berbunga lebih awal,
sedangkan salinitas menunda waktu berbunga pada tanaman tomat
(Pasternak et al., 1979 In Shannon, 1999).
Cekaman garam yang diakibatkan karena adanya garam-garam terlarut
yag berlebihan pada tanaman dapat berdampak hingga kematian pada tanaman.
Menurut Sipayung (2001), garam-garam yang dapat menimbulkan stress pada
tanaman antara lain natrium klorida (NaCl), natrium karbonat (NaCO 3), natrium
sulfat (Na2SO4) atau garam-garam dari magnesium (Mg).Akumulasi sejumlah
garam seperti klorida, sulfat, natrium klorida, dan magnesium klorida terjadi di
tanah salin, namun natrium klorida (NaCl) adalah yang dominan (Soepardi,
1983). Pertumbuhan tanaman umumnya terganggu pada tanah salin karena
keracunan ion natrium (Na).
7

Tabel 1. Pengaruh Tingkat Salinitas terhadap Tanaman (Follet et al., 1981)

Tingkat Konduktivitas
Pengaruh Terhadap Tanaman
Salinitas (dS m-1)
Non Salin 0–2 Dapat diabaikan
Rendah 2- 4 Tanaman yang peka terganggu
Sedang 4–8 Kebanyakan tanaman terganggu
Tinggi 8 – 16 Tanaman yang toleran belum terganggu
Hanya beberapa jenis tanaman yang
Sangat Tinggi >16
toleran yang dapat tubuh
Garam-garam terlarut penyebab salinitas dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dengan dua cara, yaitu (1) garam dalam tanah menarik
air menimbulkan potensi osmosis,sehingga daya serap akar tanaman terhadap
air berkurang, akibatnya pertumbuhantanaman terhambat karena kurang air, dan
(2) garam-garam terlarut mengandung ion-ionNa, dan Clyang bersifat racun bagi
tanaman. Ion-ion tersebut juga menyebabkannaiknya pH tanah, sehingga secara
tidak langsung hara Fe, P, Zn, dan Mn menjadi tidaktersedia bagi tanaman.
Setiap komoditas tanaman memiliki tingkat tolerasnsi dan reaksi yang
berbeda saat mengalami cekaman lingkungan, seperti tanggap, respon dan
mulcul gejala (Zeid, 2004). Tanah salin secara langsung dapat menurunkan
potensial air yang ada dalam tanaman yang mengakibatkan munculnya masalah
bagi tanaman yaitu masaah irigasi dan stress ion. Beberapa tanaman seperti
jagung, bawang merah, kubis dan kacang-kacangan sangat peka terhadap tanah
salin ( La Pena dan Hughes,2007). Setiap tanaman biasanya memiliki cara yang
berbeda untuk menghindari dari pengaruh cekaman lingkungan. Gejala awal
munculnya kerusakan tanaman oleh salinitas adalah : (i) warna daun kuning
kemerahan disbanding warna normal (klorosis); (ii) ukuran daun yang lebih kecil
(Munns, 2002).
2.3 Fase Pertumbuhan Tanaman Mentimun
Mentimun merupakan tanaman yang mampu beradaptasi pada berbagai
kondisi lingkungan. Di Indonesia mentimun dapat ditanaman di dataran rendah
hingga dataran tinggi sampai pada ketinggian ±1000 mdpl (Sumpena, 2001).
Tanaman mentimun dalam proses kehidupan mengalami fase jouvenil
(fase muda) relatif pendek. Pada umur 20-25 hari umumnya tanaman sudah
berbunga dalam bentuk calon bunga yang belum mekar. Apabila bunga pertama
8

tumbuh merupakan pertanda bahwa tanaman sudah mengakhiri fase


pertumbuhan muda dan beralih ke fase dewasa (produksi). Perkembangan buah
mentimun dimulai dari mengembangnya bakal buah yang terdapat tepat di
belakang (dibawah) kelopak dan mahkota bunga. Lambat laun buah akan
terbentuk sedang bagian kelopak dan mahkota bunga akan terdorong kemuka
menempel dipucuk buah muda. Buah mentimun letaknya menggantung dari
ketiak antara daun dan batang.

0-14 HST 14-21 HST 21-35 HST 35 HST

Gambar 1. Fase Pertumbuhan Mentimun ( Anonymous,2016)


Sumpena (2001) menyatakan bahwa Untuk tumbuh dengan baik,
tanaman mentimun cocok pada suhu tanah antara 18―300 C. Dengan suhu di
bawah atau di atas kisaran tersebut, pertumbuhan tanaman mentimun kurang
optimal. Namun, untuk perkecambahan benih, suhu optimal yang dibutuhkan
antara 25―350 C. Tanaman mentimun yang tumbuh baik pada daerah dengan
suhu 22 -30ºC ini lebih banyak ditemukan di dataran rendah. Diperlukan cuaca
panas, namun tidak lebih panas daripada cuaca untuk semangka. Selama
pertumbuhannya, tanaman mentimun membutuhkan iklim kering, dan sinar
matahari cukup. Pada dasarnya mentimun dapat tumbuh dan beradaptasi di
hampir semua jenis tanah. Tanah mineral yang bertekstur ringan sampai pada
tanah yang bertekstur liat berat dan juga pada tanah organik seperti lahan
gambut. Kemasaman tanah yang optimal adalah antara 5,5-6,5. Tanah yang
banyak mengandung air, terutama pada frekuensi berbunga merupakan jenis
tanah yang baik untuk penanaman mentimun.
2.4 Peran Bakteri RizhosferDalam Pertumbuhan Tanaman
9

Rhizofer merupakan bagian tanah yang berada di sekitar perakaran


tanaman yang memiliki peran sebagai pertahanan luar tanaman bagi serangan
pathogen akar. Populasi mikroorganisme yang berada di daerah rhizofer lebih
banyak dan beragam jika dibandingkan dengan daerah yang bukan rhizofer
(Carlile et al.,2001). Menurut Foster (1985) beberapa mikroorganisme rizosfer
berperan penting dalam siklus hara dan proses pembentukan tanah,
pertumbuhan tanaman, mempengaruhi aktivitas mikroorganisme serta sebagai
pengendali hayati terhadap patogen akar. Menurut Jeger (2001), kehadiran
sejumlah populasi organisme baik yang bersifat antagonis, patogen, maupun
saprofit dapat menambah keragaman spesies di dalam komunitas alami
tanaman.
Keanekaragaman mikroorganisme di daerah sekitar akar (rhizofer) sangat
penting dalam keseimbangan ekosistem tanah dan sebagai indicator kesehatan
tanah (Fachrul,2008). Lingkungan rhizofer yang dinamis dan kaya akan sumber
energy dari senyawa organic yang dikeluarkan oleh akar tanaman (eksudat akar)
merupakan habitat bagi berbagai jenis mikroba untuk berkembang dan sekaligus
tempat pertemuan berbagai jenis mikroba (Sorensen,1997). Eksudat akat berupa
air yang didalamnya terlarut asam amino , glukosa, karbohidrat, vitamin, protein
dan asam organic lainnya yang menjadi sumber nutrisi bagi mikroba. Eksudat
akar berperan sebagai messenger interaksi antara akar dengan mikroba
(Kelly,2005).
Bakteri Rhizofer diketahui sebagai mikroorganisme yang memiliki
kemampuan untuk mengkoloni akar tanaman dan sekaligus berperan penting
sebagai biofertilizer, biostimulan dan bioprotektan (Rai,2006). Peran bakteri akan
dijelaskan sebagai berikut :
1. Bakteri Rhizofer sebagai Bioprotectant
Pengaruh bakteri rhizofer secara tidak langsung dalam meningkatkan
pertumbuhan tanaman yaitu sebagai pengendali patogen berasal dari tanah
(bioprotectants) dengan cara menghasilkan berbagai senyawa atau metabolit
anti patogen seperti siderophore, β-1,3- glukanase, kitinase, antibiotik, dan
sianida (Tenuta, 2006; Cattelan et al., 1999; Kloepper, 1993).Mekanisme
penghambatan patogen oleh bakteri yaitu bakteri mampu melawan infasi
fitopatogen dengan cara menghasilkan siderofor. Menurut Bowen dan Rovira
(1999) Siderofor dihasilkan untuk menghambat fitopatogen dalam memenuhi
kebutuhan mineralnya. Siderophore merupakan senyawa pengompleks Fe3+
10

atau pengkhelatbesi spesifik yang dihasilkan mikroba untuk menyembunyikan


unsure mikro besi di lingkungan rizosfir, sehingga unsur ini tidak tersedia
bagiperkembangan mikroba patogen. Beberapa bakteri dalam PGPR seperti
Pseudomonasfluorescens B10 mampu menghasilkan yellow-green florescent
siderophores(disebut pseudobactin) yang dapat menghambat perkembangan
jamurpatogen Erwinia caratovorapenyebab busuk pada kentang (Subba-
Rao,1999). Hal ini terbukti dengan hasil penelitian Soesanto dkk., (2014)
menunjukkan bahwa pemberian bakteri psedumonas fluorescensP60 mampu
menekan intensitas penyakit hingga 25%.
2. Bakteri Rhizofer sebagai Biofertilizer
Bakteri rhizofer adalah bakteri yang mengkoloni perakaran tanaman. Bakteri
tersebut bermanfaat bagi ppertumbuhan tanaman. bakteri akan tumbuh dan
berkembang dengan memanfaatkan eksudat yang dikeluarkan oleh tanaman.
namun, apabila tidak ada tanaman bakteri memanfaatkan bahan organic yang
terkandung dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Peran mikroba dalam siklus berbagai unsure hara di dalam tanah sangat
penting, sehingga keberadaan bakteri sangat mempengaruhi ketersediaan
unsure hara bagi tanaman. ketersediaan unsure hara sangat berkaitan dengan
aktivitas bakteri yang terlibat di dalamnya. Salah satu peran rhizobakteri dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah sebagai pemfiksasi nitrogen dan
pelarut fosfat.
Phosfat merupakan satu diantara unsur hara yang paling dibutuhkan oleh
tanaman. Kebutuhan tanaman terhadap unsure phosfat menempati urutan kedua
setelah nitrogen. Kekurangan phosfat atau fosfor dapat menjadi faktor pembatas
dalam produktivitas tanaman. BPF (Bakteri pelarut fosfat) dapat membantu
menyediakan phosfat bagi tanaman melalui mekanisme sintesis asam organik
yaitu asam format (HCOOH), asam asetat (CH3COOH), asam propionat
(CH3H2COOH), asam laktat dan asam fumarat dari dalam selnya. Asam organik
tersebut akan bereaksi dengan ion Ca2+, Fe3+, Al3+ yang mengikat unsur p
menjadi bentuk stabil (khelat). Setelah ikatan tersebut dilepaskan oleh asam
organik yang dihasilkan oleh BPF maka phosfat akan terlepas sehingga dapat
diserap oleh tanaman (Premono, 1994).
Mekanisme penambatan nitrogen secara biokimia belum dipahami secara
pasti. Namun, dalam reaksi reduksi nitrogen menjadi amonia dibutuhkan
komponen-komponen utama seperti: N2 sebagai elektron akseptor, ATP sebagai
11

sumber energi, NADPH2 sebagai rantai transfer elektron, feredoksin merupakan


sumber electron dan nitrogenase (enzim yang mengkatalis reaksi) (Lawn, 1975;
Foyer dan Noctor, 2004; Werner dan Newton, 2005). Enzim nitrogenase, yang
mengkatalis reduksi N2 terdiri atas dua komponen yaitu protein Fe-Mo dan
protein Fe-S. Hasil akhir dari reaksi reduksi N2 adalah amonia (NH3 ) melalui
hasil antara berupa senyawa diimida dan hidrasin (Goodwin dan Mercer, 1983).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penambatan nitrogen adalah suplai fotosintat,
aerasi, temperatur, pH tanah dan ketersediaan hara nitrogen.
3. Bakteri Rhizofer sebagai Biostimulant
Bakteri rhizofer berperan sebagai biostimulant dengan cara mensintesis dan
mengatur konsentrasi berbagai zat pengatur tumbuh (fitohormon) seperti asam
indol asetat (IAA), giberellin, sitokinin dan etilen dalam lingkungan akar.
Fitohormon merupakan sekumpulan zat yang diketahui mempengaruhi
pertumbuhna tanaman. Fitohormon memiliki karakteristik yaitu molekul organic
yang dihasilkan oleh tumbuhan,dan senyawa yang memberikan efekpada
petumbuhan tanaman.Fitohormon merupakan sekumpulan zat yang diketahui
mempengaruhi pertumbuhan tanaman atau bisa disebut dengan zat penumbuh
atau hormon pertumbuhan. Terdapat 6 golongan yang termasuk fitohormon yaitu
auksin, giberelin, sitokinin, etilen, asam absisat (ABA) dan indilacetic acid (IAA)
(Lamberks dkk,1998). Fungsi hormon AIA bagi tanaman antara lain
meningkatkan perkembangan sel, merangsang pembentukan akar baru,
memacu pertumbuhan, merangsang pembungaan, meningkatkan aktivitas enzim
(Arshad & Frankenberger, 1993).
IAA termasuk fitohormon golongan auksin alami dan berperan sebagai
zatpemacu pertumbuhan tanaman karena dapat meningkatkan sintesis DNA
danRNA, serta meningkatkan pertukaran proton (Kresnawaty, 2008). Auksin
dapat memacu pembelahan sel dengan cara mempengaruhi dinding sel dengan
cara mengaktivasi pompa proton (ion H+) yang terletak pada membran
plasmasehingga menyebabkan pH pada dinding sel lebih rendah dari
biasanya,mendekati pH pada membran plasma yaitu 4,5. Aktifnya pompa proton
dapat memutuskan ikatan hidrogen diantara seratselulosa pada dinding sel
sehingga dinding sel mudah merenggang. Pada kondisi tersebut tekanan dinding
sel akan menurun dengan demikian terjadilah pelenturan sel. Pada pH rendah,
juga akan mengaktifkan enzim tertentu sehingga dapat mendegradasi
bermacam-macam protein ataukonstituin polisakarida yang menyebar pada
12

dinding sel yang lunak dan lentur,sehingga pemanjangan dan pembesaran sel
dapat terjadi.
Hormon IAA disintesis oleh tryptophan yang merupakan precursor spesifik
yang dapat di sintesis oleh bakteri untuk memproduksi fitohormon. Tryptophan
adalah suatu sumber N bagi mikroorganisme yang terdapat didalam eksudat akar
dan bahan organic yang dapat dirubah menjadi hormon IAA.sintesis IAA yaitu
dengan cara denganmerubah tryptophan menjadi tryptamine oleh enzim
triptofan-dekarboksilase,kemudian tryptamine dirubah menjadi indole-3-
acetaldehyde oleh enzim aminoksidase, yang kemudian dirubah menjadi Indole-
acetid acid oleh enzimindole-acetal-dehid-dehidrogenasae (Thagavi,2009)
Hasil penelitian Aiman dkk., (2015) menyatakan bahwa pemberian PGPR
pada buncis perancis saat awal pertumbuhan mampu meningkatkan tinggi
tanaman Hal ini dikarenakan bahwa tanaman buncis perancis sudah mengalami
masa pertumbuhan vegetatif sehingga pada masa vegetatif tanaman sangat
membutuhkan hormon atau zat pengatur tumbuh guna sebagai pertumbuhannya.
Dewi (2008), melaporkan bahwa hormon Auksin yang terdapat pada embrio dan
meristem apical dan berfungsi untuk pemanjangan sel, sehingga hormon inilah
yang telah memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman.
Bakteri rhizosfer dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan
menurunkan kadar etilen. Etilen merupakan hormone pertumbuhan yang
berperan dalam mengatur beberapa respon fisiologis yang mempengaruhi
perkembangan akar dan menghambat pembentukan akar. Peningkatan
konsentrasi etilen dalam tanaman setelah perkecambahan dapat menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan bibit. Enzim yag berperan dalam mengontrol
konsentrasi etilen adalah ACC deaminase. ACC diaminase ialah enzim
sitoplasma yang diproduksi beberapa bakteri tanah untuk mendegradasi ACC
(precursor hormone etilen pada tanaman) menjasi ammonia dan α-ketobutirat
yang merupakan sumber N dan karbon bagi bakteri. Degradasi ACC oleh bakteri
penghasil ACC-diaminase mampu menghambat etilen (Ramirez dan
Jesus,2005).
ABA (asam absisat) merupakan hormone yang peting pada tanaman saat
terjadi cekaman fisiologis.Hormon ini merangsang penutupan stomata pada
epidermis daun dengan menurunkan tekanan osmotik dalam sel dan
menyebabkan turgor sel. Akibatnya, kehilangan cairan tanaman yang
disebabkan oleh transpirasi melalui stomata dapat dicegah. ABA yang dipasok
13

oleh akar sebagian berasal dari ujung akar dangkal yang mengalami defisit air
dan bahwa ABA berlaku sebagai isyarat bagi daun apabila air tanah mulai habis
(Kanget al., 2016). Stomata menutup sebagai responsnya terhadap ABA yang
berasal dari daun atau akar, sehingga terlindung dari kekeringan. Tentu saja,
karena fotosintesis hampir berhenti, pertumbuhan tajuk terhambat (untuk
mengurangi hilangnya air lebih lanjut).
Membuka menutupnya stomata diatur oleh dua sel penjaga, dimana
pergerakan pori stoma disebabkan oleh perubahan volume sel penjaga. Sel
penjaga stomatadiatur oleh keluar masuknya ion K+ dan ion-ion lainnya
kemudian terjadi penyerapan air secara osmotik serta pembukaan stomata.
Tetapi, ABA bekerja di luar membran plasma sel penjaga yang menyebabkan ion
K+ dan air merembes keluar atau tidak dapat masuk ke dalam membrane sel
penjaga, sehingga tugor sel penjaga berkurang dan stomata menutup ( Vu dan
Allen, 2009).Pengaplikasian PGPR pada kondisi salin menyebabkan akumulasi
ABA pada tanaman mentimun menurun jika dibandingkan dengan kondisi salin
tanpa aplikasi PGPR (Kang et al., 2016)
14

3. Kerangka Konsep Penelitian

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Produksi Mentimun Semakin Menurun Setiap


Tahunnya, sedangkan Permintaan Konsumen
Terhadap Mentimun Terus Meningkat.

Upaya Intensifikasi Upaya


Ekstensifikasi

Pemanfaatan Sub Optimal Yaitu


Lahan Salin

Kadar NaCl yang Tinggi Mengakibatkan


Cekaman Fisiologis Pada Tanaman Mentimun

Peningkatan Toleransi Tanaman Mentimun pada


Kondisi Cekaman Salinitas

Pemanfaatan Mikroorganisme Sebagai


Biofertilizer, Photostimulatordan Agen Biokontrol

Gambar 2.Diagram Kerangka Konseptual Penelitian


15

3.2 Kerangka Oprasional Penelitian

Eksplorasi Bakeri Rizhofer

Isolat Bakteri Rhizofer

Seleksi Bakteri Toleran Terhadap


Cekaman Salinitas

UJi Hipersensitif pada


Tanaman Tembakau

Uji Produksi Indol Asam


Asetat (IAA)

Uji Penambat Nitrogen

Isolat Bakteri Rhizofer


Terpilih

Uji Potensi Bakteri Rhizofer toleran salin terhadap


Tanaman Mentimun pada Kondisi Cekaman Salinitas

Aplikasi Bakteri Rhizosfer dengan


Berbagai Konsentrasi

Mendapatkan konsentrasi Terbaik bakteri


Rhizosfer pada lahansalin

Gambar 3.Diagram Kerangka Oprasional Penelitian


16

3.3 Hipotesis

1. Terdapat beberapa isolat bakteri rhizosfer yang toleran terhadap salinitas


10%.

2. Aplikasi bakteri rhizosfer mampu meningkatkan ketahanan tanaman mentimun


terhadap cekaman salinitas.
3. Aplikasi bakrteri rhizosfer mampu meningkatkan hormon auksin (IAA) pada
tanaman sehingga mampu membantu tanaman dalam meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman.
4. Aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi tertentu mampu meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman mentimun pada tanah non salin dan
tanahsalin.
17

4. METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu

Kegiatan penelitian meliputi pengujian bakteri rhizosfer secara in vitro


yang dilakukan di Laboraturium Bakteriologi HPT FP UB serta pengujian bakteri
Rhizosfer pada tanaman mentimun di rumah kaca Kebun Percobaan Universitas
Brawijaya, Desa Jatikerto, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang yang
terletak pada ketinggian 303 m di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 27-
29°C. penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2016- Mei 2017.
4.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada percobaan di laboraturium antara lain : cawan


petri, pipet mikro volume 100 dan 1000 μl, jarum ose, jarum suntik, pipet tip,
spatula gelas L, gelas ukur 100 ml dan 500 ml, botol media 500 ml, Bunsen,
autoclave, kompor listrik, Sentrifuge, Bahan yang digunakan adalah Isolat
Bakteri Rhizosfer, media biakan NA (Nutrient Agar), Tanaman Tembakau, NaCl,
KOH, media selektif Burks N free, tripthopan, pereaksi Salkowski Aquades,
Alkhohol.
Alat yang digunakan di lahan percobaan adalah : timbangan digital,
polybag, LAM (leaf area meter), Oven, penggaris, alat tulis, dan papan label.
Bahan yang digunakan adalah benih mentimun varietas Monza, pupuk kandang
kotoran sapi, pupuk NPK 16:16:16, bambu, garam grasak.
4.3 Metode Penelitian

Penelitian dibagi dalam dua tahapan penelitian yaitu pada penelitian


pertama dilakukan di Laboraturium. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
isolat bakteri rhizosfer toleran salin. Pada penelitian kedua dilakukan di rumah
kaca kebun percobaan Jatikerto. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh bakteri rhizosfer toleran salin terhadap tanaman mentimun.
4.3.1. Penelitian 1 (Eksplorasi Bakteri)

Percobaan dilakukan di laboraturium yaitu eksplorasi bakteri yang


didapatkan dari beberapa sample tanah yang berada didaerah salin yaitu di
Kabupaten Lamongan. Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri
toleran salin. Dengan percobaan ini diharapkan mendapatkan isolat bakteri
18

toleran salin yang dapat membantu peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman
mentimun.

4.3.2 Metode Pelaksanaan

1. Eksplorasi Bakteri Rhizosfer


Eksplorasi bertujuan untuk mendapatkan sample bakteri yang berasal
langsung dari daerah salin. Sample ditentukan secara acak di lahan pesisir yaitu
di Kabupaten Lamongan yang memiliki kondisi salin (EC ±5 dS m -1) dimana
sample yang diambil berupa tanaman dan tanah yang berada disekitar perakaran
tanaman. Isolasi dilakukan dibagian tanah dekat perakaran tanaman untuk
mendapatkan isolat murni bakteri endemik lahan salin.
Tanah yang berada didaerah perakaran ditimbang 1 g dan di tambahkan
aquades steril 100 ml dan dicampur hingga menjadi ekstrak. Selanjutnya
dilakukan pengenceran berseri, dengan cara 100 µl larutan tanah dimasukkan ke
dalam tabung ependorf yang berisi aquades steril sebanyak 900 µl kemudian
dikocok (pengenceran 10-1). Larutan tanah yang lebih encer kemudian diambil
sebanyak 100 µl kembali dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi aquades
steril sebanyak 900 µl yang lain, dikocok dan seterusnya sampai pengenceran
10-9. Kemudian seleksi bakteri rhizosfer dilakukan menggunakan media NA.
media disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121oC, tekanan 15 psi
selama 25 menit. Media yang telah steril dituang pada cawan petri dan dibiarkan
hingga padat. Kemudia larutan tanah yang diambil pada pengenceran 10-1, 10 -3

dan 10-5 diambil sebanyak 100 µl dimasukkan kedalam petri yang telah berisi
media NA. Kemudian ekstrak tanah digoreskan ke permukaan media dan
diinkubasi selama ±24 jam. Pengamatan dilakuakan terhadap kolono bakteri
rhizosfer yang tumbuh pada media. Bakteri yang tumbuh kemudian dimurnikan
dengan cara dibiakan secara tunggal pada media biakan selektif yang baru.
Isolat murni bakteri yang tumbuh kemudian disimpan sebagai bahan untuk tahap
pengujian selanjutnya.
2. Seleksi Bakteri Rhizosfer Toleran terhadap Cekaman Salinitas secara In-vitro
Seleksi potensi bakteri rhizosfer toleran salin dilakukan menggunakan
media NA yang dikombinasikan dengan NaCl 5% ( ± 5 dS m -1)dan 10% (± 10 dS
m-1) sebagai media simulasi salin. Media in-vitro dibuat dengan melarutkan 12.5
g NaCl (untuk 5%) dan 25 g (untuk 10%) NaCl dengan 5 gr NA yang telah
ditimbang kedalam 250 ml aquadest steril. Sehingga akan terbentuk media NA
19

dengan konsentrasi NaCl 5% dan 10%. Media di steriliasi menggunakan


autoclave pada suhu 121oC, tekanan 15 psi selama 20 menit. Media yang telah
steril dituang pada cawan Petri dandibiarkan hingga padat. Isolat bakteri rhizosfer
digoreskan pada permukaan media dan dinkubasi selama 24 jam. Pengamatan
dilakukan terhadap koloni bakteri rhizosfer yang tumbuh pada permukaan media
NA + NaCl.
3. Uji Hipersensitif pada Tanaman Tembakau
Sebelumnya perlu dilakukan uji hipersensitif (HR) untuk mengetahui
respon tanaman yang muncul ketika diinfiltrasi oleh bakteri yang berpotensi
sebagai pathogen tanaman. Respon tersebut ditandai dengan munculnya gejala
nekrotik yang merupakan cara tanaman untuk menghambat keberadaan bakteri
agar tidak menjalar ke bagian lain (Granada dan Sequeira, 1975). Tanaman
tembakau digunakan sebagai indikator karena memiliki respon yang cepat
terhadap reaksi hipersensitif. Bakteri rhizosfer ditumbuhkan pada media NA dan
dinkubasi selama 24 jam. Koloni bakteri yang tumbuh disuspensikan ke dalam
aquades steril, kemudian diinfiltrasi pada bagian bawah dauntembakau yang
telah dilukai. Reaksi hipersensitif akan mucul dalam waktu 2-7 hari setelah
inokulasi (HSI). Bakteri yang menunjukkan reaksi positif tidak digunakan pada
tahap seleksi selanjutnya.
4. Penghasil Hormon Indole 3 Acetic Acid (IAA)
Seleksi potensi bakteri rhizosfer penghasil hormon IAA dilakukan
berdasarkan prosedur Patten dan Glick (2002). Sebanyak 500 μl bakteri
rhizosfer yang telah disuspensikan, dibiakkan pada 10 ml medium Nutrien Broth
yang telah ditambahkan substrat L-Triptofan dengan konsentrasi 100 mg L-1
dalam tabung reaksi. Kultur bakteri diinkubasi pada shaker selama 72 jam
dengan kecepatan 150 rpm pada suhu ruang. Setelah 72 jam, kultur bakteri
rhizosfer disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit untuk
memisahkan filtrate dan supernatant. . Supernatan dipindahkan ke tabung reaksi
steril, kemudian ditambahkan pereaksi Salkowski (7,5 ml FeCl3.7H2O 0,5 M; 150
ml H2SO4 pekat; 250 ml aquades steril). Diamkan selama 30 menit, amati
perubahan warna dan ukur nilai absorbansi larutan dengan panjang gelombang
530 nm. Hasil absorbansi dimasukkan de dalam kurva standart IAA.
5. Uji Penambat Nitrogen
Uji penambat Nitrogen dilakukan secara kualitatif dengan menumbuhkan
isolat bakteri terpilih pada media burk. Komposisi media burk adalah MgSO4 2
20

g, K2HPO4 8 g, KH2PO4 2 g, dan CaSO4 1,3 gram dicampur menjadi satu dan
digunakan sebagai stok media Burk Salt; (2) FeCl3 0,145 g dan Na2MoO4
0,0235 g di larutkan dalam 100 mL aquades dan dijadikan sebagai stok larutan
Fe-Mo. Sebanyak 1,3 gram media Burk Salt dicampur dengan 1 mL stok larutan
Fe-Mo lalu ditambahkan 2 g sukrosa, dan 1.5 g agar semua bahan tersebut
dilarutkan dalam 1000 mL aquades steril dan selanjutnya disterilisasi dengan
autoclave pada suhu 121oC selama 25 menit. Sebanyak 20 ml media Burk salt di
tuangkan pada cawan petri dan ditungu hingga media menjadi padat. Setalah
media padat sebanyak 1 ose isolat rizobakteri yang diuji digoreskan pada media
burkdan diinkubasi selama 48 jam dalam suhu ruang. Isolat positif sebagai
pemfiksasi nitrogen jika bakteri tersebut mampu tumbuh dalam media Burk Salt
yang ditandai dengan tumbuhnya bakteri pada media burk. Isolat yang tumbuh
diberi tanda + (positif), sedangkan yang tidak tumbuh diberi kode – (negatif).
6. Identifikasi Bakkteri Rhizosfer secara Molekuler
Identifikasi isolat bakteri rhizosfer terpilih dilakukan secara molekuler
dengan melakukan sekuensing terhadap gen 16S rRNA. Identifikasi secara
molekuler terdiri dari beberapa tahap yaitu isolasi DNA, amplifikasi gen 16S
rRNA dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing. Isolasi
DNA mengacu pada protokol Presto TM Mini gDNA Bacteria Kit. DNA hasil
isolasi diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan primer universal uinF (5’-
AGAGTTTGATCATGGGTCAG-3’) dan uinR (5’-TACGGCTACCTTGTTACGA-
3’). Amplifikasi dilakukan pada mesin PCR dengan tahap denaturasi pada suhu
95oC selama 1, anneling pada suhu 55 oC selama 1 menit dan elongation pada
suhu 72oC selama 5 menit. Hasil PCR kemudian divisualisasi menggunakan
elektroforesis pada gel agarose 1% yang telah ditambahkan etidium bomide dan
buffer TBE (Sambrook dan Russel, 2001). Selanjutnya, dilakukan sekuensing
oleh pihak perusahaan penyedia jasa sekuensing PT. Genetika Science
Indonesia, Jakarta. Hasil sekuensing digunakan untuk mencari padanan sekuens
16S rRNA yang homolog pada DNA database (GenBank) dengan menggunakan
program BLAST dari National Centre for Biotechnology Information (NCBI)
(Rustam, Giyanto, Wiyono, Santoso, dan Susanto, 2011).
4.3.3 Penelitian 2 ( Percobaan Rumah Kaca) Uji Potensi Bakteri Rhizosfer
pada Tanaman Mentimun
Percobaan di rumah kaca disusun menggunakan Rancanan Acak
Kelompok (RAK). Terdapat dua faktor perlakuan yang dikombinasikan yaitu
21

kondisi lahan dan konsentrasi bakteri rhizosfer. Kombinasi perlakuan diulang


sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Masing-masing
petak perlakuan terdapa 9 tanaman dan total terdapat 270 tanaman.
Table 2. Kombinasi Perlakuan di Lapang
No Kode Perlakuan Keterangan
1 SB0 Tanah Non-Salin, 0 ml L-1 air
2 SB1 Tanah Non-Salin, 7.5 ml L-1 air
3 SB2 Tanah Non-Salin, 15 ml L-1 air
4 SB3 Tanah Non-Salin, 22.5 ml L-1 air
5 SB4 Tanah Non-Salin, 30 ml L-1 air
6 SB5 Tanah Salin, 0 ml L-1 air
7 SB6 Tanah Salin, 7.5 ml L-1 air
8 SB7 Tanah Salin, 15 ml L-1 air
9 SB8 Tanah Salin, 22.5 ml L-1 air
10 SB9 Tanah Salin, 30 ml L-1 air
1. Persiapan Media Tanam dan Pengukuran Tingkat Salinitas Tanah
Proses pembuatan media tanam diawali dengan pengayakan tanah,
kemudian dicampur dengan pupuk kandang sapi (perbandingan 9 kg tanah :1kg
pupuk kandang). Simulasi tanah salin dilakukan dengan cara penyiraman larutan
NaCl 5000 ppm atau hingga media mencapai EC antara 5.6 - 5.8 dSm-1 untuk
memperoleh kondisi yang hampir sama dengan kawasan salin tingkat sedang.
Larutan NaCl dibuat dengan cara melarutkan garam kasar ke dalam air dengan
perbandingan 5 g NaCl/1 liter air. Volume larutan NaCl yang akan digunakan
sesuai dengan kapasitas lapang yaitu 2.2 liter. Pada tanah non salin EC media
yaitu 1.2 dS m-1(termasuk tingkat salinitas non salin (tabel 1). Campuran tanah
dan pupuk kandang diaduk dengan menggunakan sekop hingga rata. Setelah
proses pencampuran dilakukan sterilisasi media yaitu dengan menyemprotkan 4
% formalin pada media tanama. Media tanam dibiarkan selama 3 hari, setelah itu
dimasukkan ke dalam polybag berkapasitas 10 kg. Bibit yang berumur ± 14 hari
setelah semai (HSS) atau memiliki 2-3 helai daun siap dipindah ke dalam media
tanam.

2. Persiapan Suspensi Bakteri Rhizosfer

Isolat bakteri rhizosfer terpilih dibiakkan pada media NA selama 48 jam.


Sebanyak dua loop jarum ose koloni bakteri rhizosfer disuspensikan ke dalam 4
ml aquades steril. Suspensi bakteri diukur hingga mencapai nilai OD600 = 1.
Perhitungan jumlah koloni per ml dilakukan dengan metode pengenceran
22

bertingkat hingga 10-9, dengan faktor pengenceran 10-1. 50 μl suspensi bakteri


pada pengenceran 10-9 diteteskan pada media NA dan disebar secara merata
menggunakan spatula kaca berbentuk huruf L diinkubasi selama 24 jam,
kemudian dihitung jumlah koloni yang muncul pada media tersebut. Hasil
perhitungan koloni tersebut mewakili jumlah koloni yang terdapat dalam setiap ml
suspensi bakteri dengan satuan cfu.ml-1.

Gambar 4. Metode Pengenceran Bertingkat (Capuccino, 2000 dalamMaharina,


2016)

3. Persemaian Benih
Benih timun direndam kedalam air hangat selama 30 menit untuk
memecahkan dormansi. Benih yang telah direndam air hangat langsung
disemaikan pada kantong plastik kecil. Media persemaian adalah campuran
tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1. Benih disemaikan ke dalam plastik
(1 benih/plastik), kemudian disiram dan diletakkan di tempat yang teduh.
Penyiraman dilakukan setiap hari atau sesuai kondisi lapang dengan cara
penyemprotan menggunakan handsprayer.
4. Penanaman
Media tanam yang akan ditanami disiram terlebih dahulu sesuai kapasitas
lapang dan untuk memudahkan penanaman. Bibit mentimun di transplanting
setelah memiliki 2-3 helai daun. Dalam satu polybag di tanam 1 bibit.
5. Inokulasi Bakteri Rhizosfer
Pengaplikasian (inokulasi) bakteri rhizosfer pada tanaman mentimun
dilakukan sebnyaka tiga kali yaitu pada umur 7, 14 dan 21 hari setelah
transplanting. Inokulasi bakteri rhizosfer dilakukan dengan cara menyiramkan
suspensi bakteri rhizosfer sebanyak 20 ml ke dalam polibag atau daerah sekitar
perakaran. Hal ini bertujuan agar bakteri dapat berkolonisasi dengan akar
tanaman dengan lebih cepat. Waktu penyiraman dilakukan pada sore hari untuk
23

menghindari evaporasi dan suhu tinggi pada siang hari yang dapat
menyebabkan kematian pada bakteri rhizosfer.
6. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman mentimun meliputi penyiraman, penjarangan,
penyulaman, pemupukan, pewiwilan dan pengendalian gulma dan OPT pada
tanaman.Penyiraman dilakukan setiap 2 hari sekali atau melihat kondisi lapang
dengan volume sesuai kapasitas lapang. EC tanah diamati secara berkala setiap
satu minggu sekali untuk memastikan EC pada tanah tetap pada kondisi salin
yaitu 5.4 dS m-1. Penyulaman dilakukan dengan mengganti tanaman yang mati,
rusak atau kurang baik pertumbuhannya dengan bibit baru yang telah
dipersiapkan sebagai cadangan. Penyulaman dilakukan pada 7 HST. Dan
penjarangan juga dilakukan pada 7 HST dengan mencabut satu tanaman pada
polybag.
Pemupukan dilakukan sebnayak dua kali yaiu pada 7 hst dan 14 hst
menggunakan pupuk NPK 16:16:16 dengan dosis rekomendasi 600 kg h-1
(Suwarno et al., 2013)Pemasangan ajir dilakukan pada saat tanaman berumur 7
HST (tinggi tanaman sekitar 10-15 cm) dengan menggunakan bambu berukuran
panjang 100 cm yang ditancapkan disamping tanaman dan diikat dengan tali
rafia. Jarak ajir dengan tanaman sekitar 5 cm.
Pewiwilan merupakan kegiatan membuang tunas-tunas yang tumbuh
pada ketiak daun. Pewiwilan dilakukan pada saat tunas disekitar ketiak daun
mulai tumbuh. Fungsi dari pewiwilan adalah untuk merangsang pertumbuhan
tanaman. Penyiangan gulma dilakukan apabila terdapat gulma yang tumbuh,
yang dilakukan secara manual sesuai sesuai kondisi di lapangan. Pengendalian
hama dan penyakit dilakukan secara mekanik, namun saat terjadi peningkatan
serangan maka pengendalian secara kimia dilakukan dengan dosis yang sesuai
dengan tingkat serangan OPT. Hal ini untuk menghindari kerusakan yang lebih
parah agar tanaman dapat bertahan hingga waktu panen.
7. Pengamatan Tanaman Mentimun
Pengamatan dilakukan pada parameter pertumbuhan dan hasil serta
beberapa paremeter fisiologis tanaman, untuk melihat mengaruh dari perlakuan.
Pengamatan pada tanaman tomat dilakukan dengan cara non destruktif,
destruktif dan panen. Parameter yang diamati antara lain :
24

a. Panjang Tanaman
Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur tinggi tanaman menggunakan
penggaris. Pengamatan dilakukan pada 7 hst, 14 hst, 21 hst dan 28 hst. Hasil
pengkuran tinggi tanaman dinyatakan dalam satuan cm.
b. Jumlah Daun
Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah daun yang telah
membuka secara sempurna. Pengamatan dilakukan pada 7 hst, 14 hst, 21 hst
dan 28 hst. Jumlah daun per tanaman dinyatakan dalam satuan helai per
tanaman.
c. Luas Daun
Pengamatan luas daun dilakukan pada umur 21hst (Akhir fase Vegetatif) .
Pengamatan dilakukan secara non destruktif yaitu dengan cara menggunakan
metode faktor koreksi, yaitu dengan mengukur panjang maksimun dan lebar
maksimun daun mentimun menggunkan penggaris. Luas Daun (LD) per Daun
dihitung menggunkan rumus p x l x Konstanta. Luas daun Per tanaman
dihitung dengan rumus Luas Daun per Daun x Jumlah Daun.
d. Bobot Kering Tanaman
Pengamatan luas daun dilakukan pada saat panen. Dengan cara memisahkan
bagian daun, batang, dan akar kemudian dikeringkan pada suhu sekitar 80 oC
hingga diperoleh bobot kering konstan. Hasil pengukuran bobot kering
dinyatakan dalam satuan g per tanaman.
e. Panjang Akar
Pengamatan panjang akar dilakukan pada saat panen Akar yang akan diamati
dicabut dari dalam tanah, kemudian dipotong dari mulai pangkal batang
hingga ujung akar. Akar dibersihkan dari sisa tanah dengan cara disiram
menggunakan air mengalir. Pengamatan panjang akar dilakukan dengan cara
mengukur panjang akar utama dari pangkal hingga ujung akar secara
horizontal menggunakan penggaris. Hasil pengukuran panjang akar
dinyatakan dalam satuan cm.
f. Kadar Prolin Daun
Analisis prolin daun diukur menggunakan metode dari Bates et al., (1973)
(Lampiran 5), pada saat tanaman berumur 21 hst (Vegetatif Maksimum).
g. Kandungan Klorofil Daun
Uji kandungan klorofil daun mengacu pada metode Kurniawanet al., (2010)
dengan sedikit modifikasi teknis. Dipilih daun yang berwarna hijau dan segar,
25

ditimbang seberat 2 g, lalu digerus menggunakan mortar dan ditambahkan


100 ml aseton 80% sebagai pelarut.Larutan kemudian dihomogenkan dan
disentrifuge untuk memisahkan filtrat dan endapan. Filtrat dimasukkan ke
dalam cuvet kemudian diukur nilai absorbansinya menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 663 dan 646 nm. Setelah
mendapatkan data hasil pengukuran absorbansi kemudian disubstitusikan ke
dalam rumus :
Kandungan Klorofil A = (12,21 x A663) – (2,81 x A646) / Bobot contoh daun
Kandungan Klorofil B = (20,13 x A646) – (5,03 x A663) / Bobot contoh daun
Kandungan Total Klorofil (g.mg-1) = klorofil A + klorofil B
h. Komponen Hasil
Komponen hasil panen meliputi jumlah buah per tanman, bobot buah per
tanaman dan jumlah bunga pertanaman. Pengamatan jumlah bunga dilakukan
dengan menghitung jumlah bunga pertanaman dari awal berbunga hingga
tanaman tidak muncul bunga lagi. Bunga yang telah diamati akan diberi tanda
dengan benang. Pengamatan jumlah buah dilakukan dengan cara
menghitung buah dari masing-masing tanaman contoh yang telah memenuhi
kriteria panen.Jumlah buah per tanaman, Jumlah buah dihitung saat tanaman
pertama kali berbuah hingga akhir masa panen dari 4 tanaman dan di rata-
rata. Bobot buah per tanaman (g), Bobot buah dihitung saat tanaman pertama
kali berbuah hingga akhir masa panen dari 4 tanaman dan di rata-rata.
4.5 Analisis Data

Data hasil pengamatan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan


analisa ragam (ANOVA) dan dilakukan dengan uji F pada tingkat kesalahan 5%,
untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan yang diaplikasikan. Kemudian
apabila terdapat perbedaan nyata dari perlakuan maka dilakukan uji lanjut BNT
pada tingkat kesalahan 5%. Pada parameter yang memiliki nilai rata-rata 0

dilakukan uji lanjut menggunakan data hasil transformasi .


26

5. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Hasil Eksplorasi Bakteri
a. Toleransi Bakteri Rhizosfer terhadap Cekaman Salinitas
Berdasarkan hasil eksplorasi bakteri pada tanah salin, didapatkan
beberapa bakteri yang mampu tumbuh pada media salin 5 % (± 5 dS m -1) dan
10% (± 10 dS m-1). Seleksi bakteri terhadap cekaman salinitas dilakukan
menggunakan media NA + NaCl dengan dua taraf konsentrasi yaitu 5% dan
10%.Berdasarkan hasil seleksi yang telah dilakukan terdapat 16 isolat bakteri
rhizosfer tahan terhadap cekaman salinitas 5 % dan terdapat 7 isolat bakteri
rhizosfer toleran salinitas 10 %.
Bakteri Rhizosfer yang dipilih sebagai bakteri rhizosfer yang toleran
terhadap cekaman salinitas ialah bakteri yang mampu tumbuh dengan baik pada
kedua taraf konsentrasi NaCL pada media NA.
Tabel 3.Hasil Uji pada Bakteri Rhizosfer yang Memiliki Toleransi Salinitas 5% dan 10%.

Kode Hasil Pengamatan Salin 5 % Hasil Pengamatan Salin 10 %


No
Isolat Tumbuh Tidak Tumbuh Tumbuh Tidak Tumbuh
1 SN 1  - 
2 SN 5  - - 
3 SN 2  -  -
4 SN 3  - - 
5 SN 4  - - 
6 SN 10  - - 
7 SN 5  - - 
8 SN 15  -  -
9 SN 20  - - 
10 SN 27  - - 
11 SN 6  -  -
12 SN 23  -  -
13 SN 24 - - - 
14 SN 26  -  -
15 SN 22  -  -
16 SN 25  - - 

Bakteri rhizosfer yang dipilih sebagai bakteri rhizosfer yang toleran


terhadap cekaman salinitas ialah bakteri yangmampu tumbuh pada kedua taraf
konsentrasi NaCl.Bakteri rhizosfer yang dapat tumbuh dengan baik pada kedua
27

konsentrasi NaCl ditandai dengan ketebalan koloni yang tumbuh pada masing-
masing media. Satu diantara bakteri rhizosfer yang menunjukkan pertumbuhan
yang baik pada kondisi cekaman salinitas yaitu bakteri dengan kode isolate SN
22 yang ditampilkan pada Gambar 5.

(a) (b)
Gambar 5. Pertumbuhan Koloni Bakteri Rhizosfer pada Media Na + NaCl
Konsentrasi (a) 5% dan (b) 10%.

Pada Tabel 3 ditunjukkan bahwa 7 isolat bakteri rhizosfer yang mampu


tumbuh pada media Na + NaCl 10%. Diantara kode isolat yang mampu tumbuh
pada konsentarsi NaCl 10% ialah SN 1, SN 2, SN 6, SN 15, SN 22, SN 23, DAN
SN 26.
b. Uji Hipersensitif pada Bakteri Terpilih
Berdasarkan hasil uji hipersensitif 16 isolat bakteri rhizosfer yang
dilakukan pada tanaman tembakau terdapat 15 isolat bakteri rhizosfer yang
bereaksi negatif dan 1 isolat bakteri rhizoser yang bereaksi positif mengalami
gejala hipersensitif. Hasil uji hipersensitif terhadap bakteri rhizosfer pada
tanaman tembakau disajikan dalam Tabel 4.
Hipersensitif ialah respon tanaman yang muncul ketika diinfiltrasi oleh
bakteri yang berpotensi sebagai pathogen tanaman. Respon tersebut ditandai
dengan munculnya gejala nekrotik yang merupakan cara tanaman untuk
menghambat keberadaan bakteri agar tidak menjalar ke bagian lain (Granada
dan Sequeira, 1975). Reaksi positif hipersensitif biasanya ditandai dengan gejala
nekrosis pada daun tembakau.Respon tersebut diikuti juga dengan adanya
bercak kuning kecoklatan, disertai dengan kering disekitar jaringan yang
diinfiltrasi bakteri.Pada Tabel 4 ditunjukkan bahwa 1 isolat bakteri menunjukkan
gejala positif terhadap uji hipersensitif, yaitu kode isolat SN 27.
28

Hasil uji hipersensitif pada kode isolate SN 27 menunjukkan hasil yang


positif dimana pada daun tembakau yang diinfiltrasikan bakteri menunjukkan
gegala nekrosis atau kering dan kekuningan (Gambar 6B.). Dari hasil Uji
hipersensitif kode isolay SN 27 berarti menunjukkan bahwa kode Isolat tersebut
berpotensi sebagai pathogen dimana tidak dapat digunakan untuk bakteri yang
berpotensi sebagai agen hayati.

(a) (b)
Gambar 6.Reaksi positif ditandai dengan gejala nekrosis dan kering disekitar
area daun yang diinfiltrasi bakteri (a), sedangkan reaksi negative
tidak ditandai gejala nekrosis dan kering pada daun tembakau (b).

Tabel 4. Hasil Uji Hipersensitif Bakteri Rhizosfer pada Tanaman Tembakau

No Kode Isolat Reaksi Hipersensitif


1 SN 1 Negatif
2 SN 5 Negatif
3 SN 2 Negatif
4 SN 3 Negatif
5 SN 4 Negatif
6 SN 10 Negatif
7 SN 5 Negati
8 SN 15 Negatif
9 SN 20 Negatif
10 SN 27 Positif
11 SN 6 Negatif
12 SN 23 Negatif
13 SN 24 Negatif
14 SN 26 Negatif
29

15 SN 22 Negatif
16 SN 25 Negatif

c. Uji Bakteri Terpilih yang Berpotensi sebagai Penghasil Hormon Indole 3


Acetic Acid (IAA)
Hasil seleksi bakteri rhizosfer terdapat 7 isolat bakteriyang toleran
salinitas pada konsentrasi 10%, selanjutnya dilakukanpengujian untuk potensi
bakteri penghasil hormone IAA (Indole 3 Acetic Acid).Dari ketujuh isloat bakteri
rhizosfer yang toleran terhadap salinitas 10%, semuanya berpotensi sebagai
bakteri pengasil hormone IAA.Hasi seleksi potensi baktei rhizosfer penghasil
hormone IAA juga diamati secara kualitatif dengan menampilkan perubahan
warna pada bakteri yang telah diinkubasi pada media NB + Triptofan.Perubahan
warna pada media ditampilkan pada Gambar 4.Pada gambar tersebut tampak
perbedaan warna pda masing-masing media NB+Triptofan.Pada media yang
diinkubasi oleh bakteri mengalami perubahan warna yaitu kemerah-merahan.

Gambar 7. Perubahan Media NB+Triptofan yang telah diinkubasi bakteri dan


telah di tetesi larutan salkowski.

Bakteri yang mampu menghasilkan IAA akan berubah warna menjadi


kemerahan saat ditetesi salkowski, karena adanya interaksi antara IAA dan Fe
membentuk senyawa kopleks (Fe2(OH)2(IA)4). Warna merah muda yang
semakin pekat menunjukkan konsentrasi IAA yang dihasilkan oleh bakteri
rhizosfer semakin tinggi (Kovacs,2009). Pada gambar 7 tersebut tampak
perbedaan warna masing-masing media. Perlakuan kontrol tanpa inkubasi
bakteri menunjukkan warna kuning bening (Gambar 7), sedangkanmedia yang
diinkubasi oleh bakteri mengalami perubahan warna menjadi agak kemerahan.
Konsentrasi hormon IAA yang dihasilkan oleh bakteri rhizosfer diketahui dengan
30

nilai absorbansi yang disubtitusikan ke dalam persamaan linier kurva standar


IAA.

Tabel 5. Hasil Pengukuran Hormon IAA yang dihasilkan Bakteri Rhozosfer


Konsentrasi Hormon IAA
Kode Isolat Nilai Absorbansi
(ppm)
SN 1 0.052 3.10
SN 2 0.040 2.50
SN 6 0.013 1.15
SN 15 0.95 5.24
SN 22 0.192 10.08
SN 23 0.032 2.10
SN 26 0.017 1.35
Dari hasil pengukuran nilai absorbansi dan pehitungan konsentrasi hormon
IAA, terdapat dua isolat bakteri yang memiliki nilai konsentrasi IAA paling tinggi
yaitu SN 15 yaitu sebesar 5.24 ppm dan isolat SN 22 sebesar 10.08 ppm.

d. Uji Bakteri Terpilih yang Berpotensi sebagai Bakteri Penambat N


Hasil seleksi bakteri rhizosfer terdapat 7 isolat bakteri yang toleran salinitas
pada konsentrasi 10%, Sebanyak 7 bakteri hasil eksplorasi ditumbuhkan pada
media Burk.Karakteristik bakteri rhizosfer yang mampu menambat nitrogen
ditandai dengan pertumbuhan yang baik pada media Burks.Hasil seleksi
kemampuan bakteri dalam menambat nitrogen disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6.Hasil Seleksi Bakteri Hasil Eksplorasi yang Mampu Menambat Nitrogen pada
Media Burks.
Kode Isolat Keterangan
SN 1 -
SN 2 -
SN 6 +
SN 15 -
SN 22 +
SN 23 +
SN 26 +
Keterangan : (+) = bakteri Tumbuh, (-) = Bakteri Tidak Tumbuh.
Dari 7 isolat bakteri rhizosfer yang diuji terdapat 4 isolat yang positif dapat
menambat nitrogen.Bakteri juga memerlukan nitrogen untuk mendukung
metabolismenya. Bakteri penambat nitrogen mampu menyuplai kebutuhan
nitrogennya dengan cara menambat N2 bebas dari udara dengan bantuan enzim
31

nitrogenase dan mengubahnya menjadi protein. Keefektifan aktivitas enzim


nitrogenase dalam memfiksasi nitrogen berbeda-beda antara satu isolat dengan
isolat lainnya (Nugraha et al. 2014).Hal ini dapat terlihat dari pertumbuhan isolat
pada media tanpa nitrogen dimana terdapat isolat yang mampu tumbuh dengan
koloni tebal, namun ada isolat yang pertumbuhan koloninya tipis.

(a) (b)
Gambar 8.Uji Penambat Nitrogen Menggunakan Media Burk (a) Uji pada kode
isolat SN 1, SN 2 dan SN 6, (b) Uji pada Kode Isolat SN 15, SN 22,
SN 23 dan SN 26

Pada gambar 8 dapat dilihat bahwa pada kode isolate SN 1, SN 2 dan SN 15


tidak dapat tumbuh pada media burk dan pada kode isolat SN 6, SN 22, SN 23
dan SN 26 dapat tumbuh pada media burk, yang berarti bakteri dengan kode
isolat tersebut dapat menambat nitrogen.
e. Identifikasi Bakteri Rhizosfer Secara Molekuler
Dari hasil analisis data sekuens16S rRNA melalui program nucleotide BLAST
diantaranya yaitu spesies bakteri yang memiliki tingkat kecocokan dengan DNA
isolat bakteri yang diujikan. Selain itu terdapat informasi yang berupa angka
diantaranya, identity yang menyatakan nilai kecocokan antara sekuens yang
diujikan dengan sekuens yang terdapat pada database GenBank. Maximum
score menjelaskan jumlah keselarasan semua segmen dari urutan database
yang cocok dengan urutan nukleotida.Nilai maksimum (Max.score) juga
menunjukkan keakuratan nilai penjajaran kedua sekuens, semakin tinggi nilainya
maka semakin tinggi tingkat homologinya.
Hasil identifikasi bakteri endofit secara molekuler menunjukkan bahwa kedua
bakteri tersebut berasal dari genus Bacilus.Genus Bacilus diketahui termasuk
32

jenis bakteri gram positif.Hasil tersebut juga dibuktikan dalam tahap pengujian
gram menggunakan larutan KOH 3%.Bakteri gram positif memiliki ciri apabila
koloni yang dicampurkan dengan larutan KOH 3% tidak membentuk lendir ketika
ditarik menggunakan jarum ose.Hasil pengujian bakteri gram negatif
menggunakan KOH 3% tampak pada Gambar 9.

Gambar 9. Hasil Uji Gram pada Bakteri Rhizosfer Rhizosfer SN 22


Hasil identifikasi bakteri rhizosfer secara molekuler yang disajikan pada
Tabel 7 menunjukkan bahwa Isolat SN 22 memiliki persentase kecocokan
dengan bakteri Bacilus megaterium 99%, dan juga tingkat homologinya sangat
dekat dinyatakan pada nilai e-value sebesar nol.Spesies bakteri tersebut juga
memiliki nilai max score 2531.

Tabel 7.Padanan sekuens 16 rRNA isolate Bakteri Rhizosfer Terpilih

Kode
Spesies Identity (%) E-Value Max score
Isolat
SN 22 Bacilus megaterium 99 0 2531
33

5.2 Uji Potensi Bakteri Rhizosfer pada Tanaman Mentimun


a. Panjang Tanaman
Hasil Analisis ragam terhadap parameter panjang tanamanpada umur 7,
14, 21, dan 28 hst menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan
kombinasi tanah non salin dengan beberapa konsentrasi bakteri dan tanah salin
dengan beberapa konsentrasi bakteri. Rata-rata panjang tanaman mentimun
dapat disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8.Rata-rata Panjang Tanaman Hasil Perlakuan Bakteri Rhizosfer pada


Tanah Non-Salin dan Tanah Salin
Panjang Tanaman (cm) pada Umur
Perlakuan
7 HST 14 HST 21 HST 28 HST
-1
Tanah Non-Salin, 0 ml L 8.44 c 15.22 d 61.78 c 106.33 d
-1
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L 9.11 cd 16.67 de 63.22 cd 106.56 de
-1
Tanah Non-Salin, 15 ml L 10.06 d 16.89 de 66.67 cd 108.44 de
-1
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L 9.89 d 17.50 de 69.67 d 112.78 e
-1
Tanah Non-Salin, 30 ml L 10.67 d 18.11 e 69.33 d 112.78 e
-1
Tanah Salin, 0 ml L 5.56 a 7.72 a 15.11 a 20.22 a
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 5.72 ab 8.67 ab 16.72 a 22.78 a
Tanah Salin, 15 ml L-1 5.97 ab 10.78 b 18.72 ab 30.44 b
-1
Tanah Salin, 22.5 ml L 6.56 b 10.11 b 23.78 b 39.11 c
-1
Tanah Salin, 30 ml L 7.07 b 12.94 c 29.00 b 41.67 c
BNT 5% 0.83 2.32 6.48 6.06
KK 6.20 10.14 8.76 5.08
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang diikuti oleh huruf yang sama, pada
kolom umur pengamatan dan perlakuan yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT 5%.

Nilai rata-rata panjang tanaman yang disajikan pada Tabel 8menunjukkan


bahwa salinitas secara umum dapat menurunkan panjang tanaman. Namun
dengan aplikasi bakteri rhizosfer baik pada tanah non salinmaupun pada tanah
salin mampu meningkatkan panjang tanaman. Pada pengamatan 7 hstperlakuan
tanah salin tanpa aplikasi bakteri dapat menurukan panjang tanaman sebesar 34
% jika dibandingkan dengan perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi bakteri
rhizosfer. Pada tanah non salin, sebagai contoh aplikasi bakteri dengan
konsentrasi 15 ml L-1 mampu meningkatkan panjang tanaman sebesar16.1 %
dibandingkan dengan perlakuan tanah salintanpa aplikasi bakteri rhizosfer.
Perlakuan tanah non salin dengan konsentrasi 15ml L-1tidak berbeda nyata
34

dengan aplikasi bakteri 22.5 dan 30 ml L-1. Pada tanah salin, aplikasi bakteri
dengan konsentrasi 22.5 ml L-1 mampu meningkatkan panjang tanaman sebesar
16.6 % dibandingkan dengan tanpa aplikasi bakteri. Perlakuan tanah salin
aplikasi bakteri 7.5 dan 15 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah
salin tanpa aplikasi bakteri bakteri. Dan perlakuan tanah salin dengan aplikasi
bakteri 22.5 dan 30 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin
aplikasi bakteri 7.5 dan 15 ml L-1.
Pada pengamatan 14 hst perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri
mampu menurukan panjang tanaman mencapai 49.2 % jika dibandingkan
dengan perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi bakteri rhizosfer. PadaTabel8
menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan tanah non-salin
dengan beberapa konsentrasi bakteri rhizosfer dan tanah salin dengan aplikasi
bakteri rhizosfer pada beberapa konsentrasi.Perlakuan aplikasi bakteri rhizosfer
dengan konsentrasi 30 ml L-1 dapat meningkatkan panjang tanaman mencapai
15.9 % dibandingkan dengan perlakuan tanpa apliaksi bakteri pada tanah non
salin. Perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 ml L-1 tidak
berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri. Perlakuan
tanah non salin aplikasi bakteri 30 ml L-1tidak berbeda nyata dengan perlakuan
tanah non salin aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 ml L -1.Pada perlakuan tanah
salin, aplikasi bakteri 15 ml L-1 dapat meningkatkan panjang tanaman sebesar
23.6 % dan apliaksi bakteri rhizosfer 30 ml L -1 29 % jika dibandingkan dengan
perlakuan tanpa aplikasi bakteri rhizosfer. Sedangkan aplikasi bakteri rhizosfer
dengan konsentrasi 7.5 ml L-1 tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata
dibandingkan dengan tanpa aplikasi bakteri rhizosfer.Perlakuan tanah salin
aplikasi bakteri 15 dan 22.5 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah
salin aplikasi bakteri 7.5 ml L-1.
Pada pengamatan 21 hst perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri
mampu menghambat pertumbuhan panjang tanaman dengan rata-rata panjang
tanaman 15.1 cm. Aplikasi bakteri dengan konsentrasi 22.5 ml L -1 mampu
meningkatkan panjang tanaman mencapai 11.3 % dibandingkan dengan tanpa
aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah non salin.Perlakuan tanah non salin
aplikassi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan
tanah non salin aplikasi bakteri 30 ml L -1.Perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi
bakteri tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 7.5
dan 15 ml L-1.Aplikasi bakteri pada tanah salin, dengan konsentrasi 22.5 ml L-
35

1
mampu meningkatkan panjang tanaman sebesar 36.4 % dibandingkan dengan
perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri.Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri
15 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan aplikasi bakeri 7.5 ml L -1dan tanpa aplikasi
bakteri. Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 22.5 ml L -1 tidak berbeda nyata
dengan aplikasi bakteri 15 dan 30 ml L-1.
Pada pengamatan 28 hst perlakuan tanah non salinaplikasi bakteri
dengan konsentrasi 22.5 ml L-1 dapat meningkatkan panjang tanaman mentimun
mencapai 6.07 % jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa aplikasi bakteri
rhizosfer.Perlakuan aplikasi bakteri 7.5 dan 15 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi bakteri. Perlakuan tanah non salin
aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah
non salin aplikasi bakteri 30 ml L-1.Salinitas mampu mengambat pertumbuhan
panjang tanaman. namun dengan aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi
15 ml L-1 dapat meningkatkan panjang tanaman sebesar 50,54 % jika
dibandingkan dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri. Perlakuan
aplikasi bakteri 22.5 ml L-1 mampu meningkatkan panjang tanaman 22.1 % jika
dibandigkan dengan aplikasi bakteri 15 ml L-1. Perlakuan tanah salin aplikasi
bakteri 22.5 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 30
ml L-1.Dan perlaukan aplikasi bakteri 7.5 ml L -1 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri.
b. Jumlah Daun
Hasil Analisis ragam terhadap parameter jumlah daun pada umur 7, 14,
21, dan 28 hst menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan kombinasi
tanah non salin dengan beberapa konsentrasi bakteri dan aplikasi bakteri dengan
beberapa konsentrasi pada tanah salin.Tabel8menunjukkan adanya
penambahan jumlah daun pada perlakuan tanah salin dengan beberapa
konsentrasi bakteri. Rata-rata jumlah daun mentimun dapat disajikan
padaTabel9.
Pada parameter jumlah daun perlakuan tanah salin secara umum mampu
mnurunkan jumlah daun pada tanaman mentimun pada pengamatan 7, 14, 21
dan 28 hst.Tabel9 menunjukkan pemberian konsentrasi bakteri rhizosfer pada
tanah non salin tidak berpengaruh tehadap jumlah daun pada umur 7, 14, 21 dan
28 hst. Namun pada tanah salin aplikasi bakteri rhizosrer dapat meningkatkan
jumlah daun pada tanaman. Pada pengamatan 7 hst, aplikasi bakteri rhizosfer
dengan konsentrasi 15 ml L-1 mampu meningkatkan jumlah daun sebesar
36

14.4%.Pada tanah salin aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 ml L -1 tidak berbeda
nyata dengan aplikasi bakteri 30 ml L-1.

Tabel 9.Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Hasil Perlakuan Bakteri Rhizosfer


pada Tanah Non-Salin dan Tanah Salin
Jumlah Daun (Helai) pada Umur
Perlakuan
7 HST 14 HST 21 HST 28 HST
-1
Tanah Non-Salin, 0 ml L 4.11 c 6.22 c 7.89 c 10.78 c
-1
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L 4.22 c 6.44 c 7.78 c 11.22 c
-1
Tanah Non-Salin, 15 ml L 4.22 c 6.11 c 7.78 c 11.22 c
-1
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L 4.22 c 6.22 c 7.67 c 11.00 c
Tanah Non-Salin, 30 ml L-1 4.44 c 6.22 c 7.89 c 11.22 c
-1
Tanah Salin, 0 ml L 2.67 a 3.33 a 4.56 a 4.22 a
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 3.00 ab 3.78 ab 5.00 a 4.78 a
Tanah Salin, 15 ml L-1 3.11 b 3.78 ab 5.22 ab 6.00 b
-1
Tanah Salin, 22.5 ml L 3.22 b 4.33 b 5.78 b 6.56 b
-1
Tanah Salin, 30 ml L 3.33 b 4.78 b 6.11 b 6.44 b
BNT 5% 0.34 0.56 0.75 0.72
KK 5.39 6.39 6.67 5.09
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang diikuti oleh huruf yang sama, pada
kolom umur pengamatan dan perlakuan yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT 5%.

Pada pengamatan 14 hstperlakuan tanah salin aplikasi bakteri dengan


konsentrasi 22.5 ml L-1 meningkatkan jumlah daun pada tanah salin sebesar 23
%. Perlakuan aplikasi bakteri dengan konsntrasi 7.5 dan 15 ml L-1 tidak berbeda
nyata dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri. Pada tanah salin
aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 ml L -1 tidak berbeda nyata dengan aplikasi
bakteri 30 ml L-1.
Pengamatan jumlah daunpada 21 hst perlakuan tanah salin yang
diaplikasikan bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 22.5 ml L -1 menunjukkan
peningkatan sebesar13.4 % jika dibandingkan dengan perlakuan tanah salin
tanpa aplikasi bakteri. Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 15 ml L-1 tidak
berbeda nyata jika dibandingkan dengan tanah salin aplikasi bakteri 7.5 ml L-1
dan tanpa aplikasi bakteri rhizosfer. Aplikasi bakteri 15 ml L -1 pada tanah salin
tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 7.5 dan tanpa
aplikasi bakteri.
Pada pengamatan 28 hst aplikasi bakteri rhizosferdengan konsentrasi 15
ml L-1 mampu meningkatkan jumlah daun tanaman mentimun hingga 29.6% jika
37

dibandingkan dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri.Perlakuan


tanah salin aplikasi bakteri 15, 22.5 dan 30 ml L -1 tidak berbeda nyata. Perlakuan
tanah salin aplikasi bakteri 7.5 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan
tanah salin tanpa aplikasi bakteri.
c. Luas Daun
Hasil Analisis ragam terhadap parameter luas daun pada umur 21hst
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara perlakuan kombinasi tanah
non salin dengan beberapa konsentrasi bakteri dan menunjukkan adanya
penambahan rata-rata luas daun pada perlakuan tanah salin dengan beberapa
konsentrasi bakteri. Rata-rata luas daun mentimun dapat disajikan padaTabel10.
Tabel 10.Rata-rata Luas Daun Tanaman Hasil Perlakuan Bakteri Rhizosfer pada
Tanah Non-Salin dan Tanah Salinpada 21 HST

Perlakuan Luas Daun pada 21 HST (cm2)

Tanah Non-Salin, 0 ml L-1 1329.56 d


-1
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L 1321.93 d
-1
Tanah Non-Salin, 15 ml L 1464.82 e
-1
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L 1521.55 ef
-1
Tanah Non-Salin, 30 ml L 1556.00 f
Tanah Salin, 0 ml L-1 128.26 a
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 133.78 a
-1
Tanah Salin, 15 ml L 450.56 b
Tanah Salin, 22.5 ml L-1 580.61 c
-1
Tanah Salin, 30 ml L 555.03 c
BNT 5% 82.99
KK 5.39
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang diikuti oleh huruf yang sama, pada
kolom umur pengamatan dan perlakuan yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT 5%.

Nilai rata-rata luas daun tanaman yang disajikan padaTabel10


menunjukkan bahwa secara umum salinitas dapat menurunkan luas daun
tanaman. Namun dengan aplikasi bakteri rhizosfer baik pada tanah non salin
maupun pada tanah salin mampu meningkatkan luas daun tanaman. Aplikasi
bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 15 ml L-1 mampu meningkatkan luas daun
tanaman mentimun 9,23 % jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa aplikasi
bakteri pada tanah non salin. Pengamatan luas daun pada tanah non salin
aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 30 ml L -1menunjukkan hasil yang
38

meningkat sebesar 5.85 % jika dibadingkan dengan aplikasi bakteri dengan


konsentrasi 15 ml L-1. Perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 22.5 ml L -1 tidak
berbeda nyata dengan perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 30 ml L-
1
.Perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 7.5ml L-1 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi bakteri.
Peningkatan luas daun juga ditunjukkan pada tanah salin dengan
aplikasi bakteri rhizosfer 22.5 ml L-1 mampu meningkatkan luas daun tanaman
mentimun sebesar 17.2 % jika dibakdingakn dengan aplikasi bakter rhizosfer 15
ml L-1 dan meningkatkan 77.9% jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa
aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah salin. Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri
22.5 dan 30ml L-1 tidak berbeda nyata dan perlakuan tanah aplikasi bakteri 7.5ml
L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri.
d. Kandungan Klorofil dan Proline daun tanaman mentimun
Hasil Analisis ragam terhadap parameter klorofil dan prolin daun pada umur
pengamatan 21hst menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan
kombinasi tanah non salin dengan beberapa konsentrasi bakteri dan tanah salin
dengan beberapa konsentrasi bakteri. Aplikasi bakteri rhizosfer mampu
meningkatkan kandungan klorofil tanaman yang menurunkan kadar prolin pada
tanah salin. Rata-rata kandungan klorofil dan proline daun mentimun dapat
disajikan padaTabel11.
Nilai rata-rata kandungan klorofil daun padaTabel 11 menunjukkan bahwa
salinitas dapat menurunkan kandungan klorofil. Namun dengan aplikasi bakteri
rhizosfer pada tanah salin mampu meningkatkan kandungan klorofil pada
tanaman.
PadaTabel 11 menunjukkan bahwa perlakuan tanah non salin dengan
aplikasi bakteri rhizosfer 22.5 ml L-1pada tanah non salin mampu meningkatkan
kandungan krolofil pada daun mentimun sebanyak 0.94 mg g-1 atau sebesat 14.2
% jika dibandingkan dengan perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi
bakteri.Perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 ml L -1tidak
berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 30ml L-1. Aplikasi
bakteri pada tanah salin dengan konsentrasi bakteri pada konsentrasi 15 ml L-1
mampu meningkatkan kandungan klorofil yaitu sebanyak 0.81 mg g-1 atau 14.9%
jika dibandingkan dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri. Perlakuan
tanah salin dengan konsentrasi bakteri 7.5 ml L -1 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tanah salin aplikasi bakteri konsentrasi 7.5, 22.5 dan 30 ml L-1.
39

Pada perlakuan tanah non salin menunjukkan rata- rata nilai kandungan
prolin tidak berbeda nyata. Pemberian bakteri rhizosfer pada tanah salin dengan
konsentrasi tinggi yaitu 30 ml L -1 dapat menurunkan kandungan prolin pada
tanaman sebesar 4.8 % jika dibandingkan dengan aplikasi bakteri konsentrasi
22.5 ml L-1. Pada tanah salin semakin tinggi konsentrasi bakteri yang
diaplikasikan pada tanaman, semakin rendah kandungan prolinnya. Pada tanah
salin pemberian konsentrsi bakteri 7.5 ml L-1mampu menurunkan kandungan
proline sebesar 41 % jika dibandingkan dengan tanpa pemberian bakteri
rhizosfer.
Tabel 11.Rata-rata Kandungan Klorofil dan Proline Daun Tanaman Hasil Perlakuan
Bakteri Rhizosfer pada Tanah Non-Salin dan Tanah Salin
Kandungan Klorofil Kandungan Proline
Perlakuan Daun pada Umur 28 Daun pada Umur 28
HST (mg g-1) HST (mmol)
Tanah Non-Salin, 0 ml L-1 6.64 c 75.56 b
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L-1 7.83 d 63.66 a
Tanah Non-Salin, 15 ml L-1 6.87 cd 76.15 b
-1
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L 7.36 d 65.60 ab
-1
Tanah Non-Salin, 30 ml L 7.58 d 65.07 ab
Tanah Salin, 0 ml L-1 4.61 a 189.70 g
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 4.77 ab 110.70 f
-1
Tanah Salin, 15 ml L 5.42 b 104.00 e
Tanah Salin, 22.5 ml L-1 5.64 b 96.88 d
-1
Tanah Salin, 30 ml L 5.71 b 92.20 c
BNT 5% 0.48 3.51
KK 2.03 1.79
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang diikuti oleh huruf yang sama, pada
kolom umur pengamatan dan perlakuan yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT 5%.

e. Panjang Akar, dan Bobot Kering Tanaman


Hasil Analisis ragam terhadap parameter panjang akar, bobot kering tajuk
dan bobot kering akar pada umur pengamatan 56 hst menunjukkan hasil yang
berbeda nyata antar perlakuan kombinasi tanah non salin dengan beberapa
konsentrasi bakteri dan menunjukkan adanya peningkatan pada perlakuan tanah
salin dengan beberapa konsentrasi bakteri. Rata-rata panjang akar dan bobot
kering tanaman mentimun dapat disajikan padaTabel 12.Pada parameter
panjang akar tanaman perlakuan salinitas mampu menurunkan pertumbuhan
panjang akar, bobot kering tajuk dan bobot kering akar.
40

Pengamatan panjang akar yang dilakukan pada saat panen atau 56 hst,
perlakuan aplikasi bakteri rhizosfer tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata
pada tanah non salin, namunpada tanah salin dengan aplikasi bakteri rhizosfer
konsentrasi 7.5, 15, 22.5 dan 30 ml L-1 mampu meningkatkan panjang akar pada
tanaman jika dibandingkan dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri.
Perlakuan tanah salin dengan aplikasi bakteri konsentrasi 7.5 ml L -1 mampu
meningkatkan panjang akar 54.9 % dibandingkan dengan tanpa aplikasi bakteri
rhizosfer. Pada aplikasi bakteri dengan konsentrasi 22.5 ml L -1 mampu
meningkatkan panjang akar 24.8 % dibandingkan dengan konsentrasi 7.5 ml L-1.
Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 15, 22.5 dan 30 ml L-1 memiliki nilai rata-
rata yang tidak berbeda nyata.

Tabel 12.Rata-rata Panjang Akar, Bobot Kering Tajuk dan Bobot Kering Akar
Tanaman Hasil Perlakuan Bakteri Rhizosfer pada Tanah Non-Salin
dan Tanah Salin

Bobot Kering Total


Perlakuan Panjang Akar (cm)
Tanaman (g)
Tanah Non-Salin, 0 ml L-1 25.42 d 31.53 d
-1
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L 25.15 d 34.36 de
-1
Tanah Non-Salin, 15 ml L 25.05 d 33.63 de
-1
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L 26.62 d 35.46 e
-1
Tanah Non-Salin, 30 ml L 26.00 d 36.06 e
-1
Tanah Salin, 0 ml L 6.33 a 3.60 a
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 14.05 b 14.43 b
-1
Tanah Salin, 15 ml L 15.03 bc 15.00 bc
Tanah Salin, 22.5 ml L-1 17.45 c 18.00 c
-1
Tanah Salin, 30 ml L 17.90 c 20.37 c
BNT 5% 2.48 3.59
KK 7.31 8.83
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang diikuti oleh huruf yang sama, pada
kolom umur pengamatan dan perlakuan yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT 5%.
Nilai rata-rata bobot kering total tanaman yang disajikan padaTabel 12
menunjukkan bahwa salinitas dapat menurunkan bobot kering tajuk tanaman.
Namun dengan aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah salin mampu meningkatkan
bobot kering tajuk tanaman.
Semakin tinggi konsentrasi bakteri rhizosfer yang di aplikasikan pada
tanah nonsalin maupun tanah salin, semakin meningkatkan bobot kering total
41

tanaman. Pengamatan pada tanah non salin tanpa aplikasi bakteri rhizosfer
memiliki rata-rata berat kering tajuk sesebsar 31. 53g dan berat kering pada
tanah non salin dengan aplikasi bakteri konsentrasi 30 ml L-1 sebesar 36.06 g.
Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan berat kering tajuk tanaman
sebesar 12.5 %. Perlakuan aplikasi bakteripada tanah non salin konsentrasi 7.5,
15, 22.5 dan 30 ml L-1memiliki nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata.Perlakuan
tanah non salin aplikasi bakteri 15 dan 7.5 ml L -1memiliki rata-rata yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi
bakteri.Perlakuan tanah salin dengan aplikasi bakteri rhizosfer konsentrasi 7.5 ml
L-1mampu meningkatkan bobot kering tajuk tanaman sebesar 75 %.Jika
dibandingkan dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri. Aplikasi
bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 30 ml L-1 meningkatkan berat kering
tanaman mencapai 29.1 % dibandingkan dengan konsentrasi bakteri 7.5 ml L -1
pada tanah salin. Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 15, 22.5 dan 30 ml L -1
memiliki rata-rata bobot kering tajuk tanaman yang tidak berbeda nyata.

f. Jumlah Bunga Jantan, Bunga Betina dan Fruit set

Hasil Analisis ragam dari hasi transformasi terhadap parameter

jumlah bunga betina dan fruit set menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar
perlakuan kombinasi tanah non salin dengan beberapa konsentrasi bakteri dan
menunjukkan adanya penambahan jumlah daun pada perlakuan tanah salin
dengan beberapa konsentrasi bakteri. Rata-rata jumlah bunga jantandisajikan
pada Tabel 13 dan rata-rata jumlah bunga betina dan fruit set mentimun dapat
disajikan pada Tabel 14.
Pada Tabel 13 menunjukkan pemberian konsentrasi bakteri rhizosfer
pada tanah non salin tidak berpengaruh tehadap parameter jumlah bunga
jantan. Namun pada tanah salin aplikasi bakteri rhizosref dapat meningkatkan
jumlah bunga jantan pada tanaman. Aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi
15ml L-1 mampu meningkatkan jumlah bunga jantan sebesar 52.2 % jika
dibandingkan dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri. Aplikasi
bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 30 ml L-1 mampu meningkatkan jumlah
bunga jantan sebesar 33.3 % jika dibandingkan dengan perlakuan tanah salin
dengan aplikasi bakteri konsentrasi 15 ml L-1. Perlakuan tanah salin aplikasi
bakteri 22.5ml L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin aplikasi
bakteri 15 dan 30 ml L-1.
42

Tabel 13.Rata-rata Jumlah Bunga Hasil Perlakuan Bakteri Rhizosfer pada Tanah
Non-Salin dan Tanah Salin
Perlakuan Bunga Jantan
-1
Tanah Non-Salin, 0 ml L 24.11 d
-1
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L 24.22 d
-1
Tanah Non-Salin, 15 ml L 24.44 d
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L-1 26.56 d
-1
Tanah Non-Salin, 30 ml L 27.00 d
-1
Tanah Salin, 0 ml L 4.78 a
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 7.67 ab
-1
Tanah Salin, 15 ml L 10.00 b
-1
Tanah Salin, 22.5 ml L 12.22 bc
Tanah Salin, 30 ml L-1 15.00 c
BNT 5% 3.25
KK 10.83
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang diikuti oleh huruf yang sama, pada
kolom umur pengamatan dan perlakuan yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT 5%.
Data yang disajikan pada Tabel 14 menunjukkan rata-rata jumlah bunga
betina pada tanaman mentimun bebeda nyata.Perlakuan salinitas mampu
menurunkan jumlah bunga betina pada tanaman mentimun.Aplikasi bakteri pada
tanah non salin memiliki rata-rata jumlah bunga betina yang tidak berbeda
nyata.Sedangkan aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah salin mampu
menunjukkan peningkatan jumlah bunga betina pada tanaman mentimun. Pada
perlakuan tanah salin dengan aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 22.5
ml L-1 mampu meningkatkan jumlah bunga betina 32.2 % jika dibandingkan
dengan perlakuan tanah salin dengan konsnetrasi bakteri 7.5 ml L -1. Pada
pelakuan tanah slain dengan aplikasi bekteri rhizofer konsentrasi 30 ml L -1 dapat
meningkatkan jumlah bunga betina sebesar 20.9 % dibandingkan dengan
aplikasi bakteri pada konsentrasi 22.5 ml L-1.
Pada pengamatan fruit setyang disajikan pada Tabel 14 menunjukkan rata-
rata jumlah fruit set pada tanaman mentimun bebeda nyata. Aplikasi bakteri pada
tanah non salin memiliki rata-rata fruit set yang tidak berbeda nyata. Sedangkan
aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah salin mampu menunjukkan peningkatan
jumlah fruit set pada tanaman mentimun. Pada perlakuan tanah salin dengan
aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 22.5 ml L-1 mampu meningkatkan
fruit set.2.4 % jika dibandingkan dengan perlakuan tanah salin dengan
43

konsentrasi bakteri 7.5 ml L-1. Pada pelakuan tanah slain dengan aplikasi bekteri
rhizofer konsentrasi 30 ml L-1dapat meningkatkan fruit set sebesar 4.2 %
dibandingkan dengan aplikasi bakteri pada konsentrasi 22.5 ml L-1. Perlakuan
tanah salin aplikasi bakteri 15 ml L -1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan
tanah salin aplikasi bakteri 22.5 ml L-1.
Tabel 14.Rata-rata Jumlah Bunga Betina dan Fruit set hasil transformasi Hasil
Perlakuan Bakteri Rhizosfer pada Tanah Non-Salin dan Tanah Salin
Perlakuan Bunga Betina Fruit set (%)
-1
Tanah Non-Salin, 0 ml L 6.89 (2.72) d 79.88 (2.45) e
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L-1 7.67 (2.85) d 74.42 (2.48) e
-1
Tanah Non-Salin, 15 ml L 7.56 (2.84) d 71.74 (2.41) e
-1
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L 7.89 (2.89) d 68.14 (2.41) e
Tanah Non-Salin, 30 ml L-1 7.78 (2.87) d 74.68 (2.48) e
-1
Tanah Salin, 0 ml L 0.00 (0.71) a 0.00 (0.71) a
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 2.56 (1.75) b 66.02 (1.47) b
-1
Tanah Salin, 15 ml L 3.44 (1.98) c 67.65 (1.68) c
-1
Tanah Salin, 22.5 ml L 3.78 (2.07) c 66.67 (1.73) c
-1
Tanah Salin, 30 ml L 4.78 (2.30) d 69.95 (1.96) d
BNT 5% 0.20 0.16
KK 5.20 4.65
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang berada di dalam kurung dan diikuti
oleh huruf yang sama, pada kolom umur pengamatan dan perlakuan yang
sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%.Angka yang berada di
dalam kurung merupakan angka hasil transformasi.
g. Pengamatan Panen
Hasil Analisis ragam terhadap jumlah buah per tanaman, bobot buah per
buah dan bobot buah per tanaman menunjukkan hasil yang berbeda nyata
terhadap perlakuan tanah non salin dan tanah salin dengan aplikasi bakteri

rhizosfer.Data yang telah di anlisis telah ditransformasi dalam bentuk ..

Rata-rata terhadap jumlah buah per tanaman, bobot buah per buah dan bobot
buah per tanaman mentimun dapat disajikan pada Tabel 15.
Data yang disajikan pada Tabel 15 menunjukkan rata-rata jumlah buat per
tanaman pada tanaman mentimun bebeda nyata.Perlakuan tanah salin tapa
aplikasi bakteri memberikan pengaruh terhadap produksi tanaman
mentimun.Salinitas menyebabkan tanaman tidak mampu berproduksi, namun
44

dengan aplikasi bakteri rhizosfer membantu tanaman dalam meningkatkan


produksi.
Aplikasi bakteri pada tanah non salin memiliki rata-rata jumlah buah yang
tidak berbeda nyata dengan aplikasi bakteri 7.5, 15, 22.5 dan 30 ml L -
1
.Sedangkan aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah salin mampu menunjukkan
peningkatan jumlah buah pada tanaman mentimun. Pada perlakuan tanah salin
dengan aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 15 ml L-1 mampu
meningkatkan jumlah buah mencapai 33.2 % jika dibandingkan dengan
perlakuan tanah salin dengan konsnetrasi bakteri 7.5 ml L -1. Pada pelakuan
tanah salin dengan aplikasi bekteri rhizofer konsentrasi 30 ml L -1 dapat
meningkatkan jumlah buahsebesar 24.9 % dibandingkan dengan aplikasi bakteri
pada konsentrasi 22.5 ml L-1.Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 15 ml L -1tidak
berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 22.5 ml L-1.

Secara umum perlakuan salinitas menyebabkan penurunan bobot buah per


buah dan bobot buah pertanaman.Namun dengan aplikasi bakteri rhizosfer
mampu membantu tanaman dalam meningkatkan hasil produksi.Pada
pengamatan bobot buah per buah aplikasi bakteri rhizosfer dengan beberapa
konsentrasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata.Semakin tinggi konsentrasi
bakteri rhizosfer yang di aplikasikan pada tanah non salin dan tanah salin
semakin meningkatkan bobot buah per buah. Pengamatan pada perlakuan tanah
non salin tanpa aplikasi bakteri rhizosfer dan aplikasi bakteri konsntrasi 22.5 ml L -
1
mampu meningkatkan bobot buah per buah sebesar 20.8 % jika dibandingkan
dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri. Perlakuan tanah non salin
dengan aplikasi bakteri konsentrasi 7.5 dan 15 ml L-1memiliki nilai rata-rata yang
tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan tanah non salin tanpa
aplikasi bakteri. Perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 22.5 dan 30 ml L-1tidak
berbeda nyata dengan perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 15 ml L-1.
Aplikasi bakteri rhizosfer juga menunjukkan respon yang sama pada tanah
salin yaitu mampu meningkatkan bobot buah per buah. Aplikasi bakteri rhizosfer
dengan konsentrasi 22.5 ml L-1 mampu meningkatkan bobot buah per buah
sebesar 20.8 % dibandingkan dengan aplikasi bakteri dengan konsentrasi 7.5 ml
L-1. Dan aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 30 ml L -1 meningkatkan
bobot buah per buah mencapai 26 % dibandingkan dengan konsentrasi bakteri
22.5 ml L-1.Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 15 ml L-1 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 7.5 ml L-1.
45

Tabel 15.Rata-rata Jumlah Buah per Tanaman, Bobot Buah per Buah dan Bobot
Buah Per Tanaman Hasil Perlakuan Bakteri Rhizosfer pada Tanah
Non-Salin dan Tanah Salin
Jumlah Buah Bobot Buah
Bobot Buah
Perlakuan per Tanaman per Tanaman
per Buah (g)
(buah) (g)
Tanah Non-Salin, 0 ml L-1 5.50(2.45) e 189.44(13.8)e 757.74(27.2) d
-1
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L 5.67 (2.48) e 187.19(13.7)e 748.74(27.3) d
-1
Tanah Non-Salin, 15 ml L 5.33(2.41) e 205.76(14.3)ef 823.05(28.6)de
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L-1 5.33(2.41) e 223.12(14.9) f 892.48 (29.8)e
-1
Tanah Non-Salin, 30 ml L 5.67(2.48) e 221.98(14.9) f 887.93(29.7) e
-1
Tanah Salin, 0 ml L 0.00(0.71) a 0.00(0.71) a 0.00(0.71) a
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 1.67(1.47) b 90.82(9.55) b 181.63 (13.5) b
Tanah Salin, 15 ml L-1 2.33(1.68) c 101.91(10.1) b 203.81(14.3)b
-1
Tanah Salin, 22.5 ml L 2.50(1.73) c 114.75 (10.7)c 229.50(15.1) b
-1
Tanah Salin, 30 ml L 3.33(1.96) d 155.1(12.4) d 310.22(17.6) c
BNT 5% 0.15 0.94 100.81
KK 4.65 4.56 11.81
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang berada di dalam kurung dan diikuti
oleh huruf yang sama, pada kolom umur pengamatan dan perlakuan yang
sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%.Angka yang berada di
dalam kurung merupakan angka hasil transformasi.
Pada pengamatan bobot buah per tanaman aplikasi bakteri rhizosfer dengan
beberapa konsentrasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata.Semakin tinggi
konsentrasi bakteri rhizosfer yang diaplikasikan pada tanah non salin dan tanah
salin semakin meningkatkan bobot buah per tanaman. Pengamatan pada tanah
non salin tanpa aplikasi bakteri rhizosfer memiliki rata-rata bobot buah per
tanaman sesebsar 757.74 g dan berat buah per tanaman pada tanah non salin
dengan aplikasi bakteri 22.5 ml L-1 sebesar 892.48 g. Data tersebut menunjukkan
peningkatan bobot buah per tanaman sebesar 16.1 %. Perlakuan tanah non salin
aplikasi bakteri 15 dan 7.5 ml L -1 memiliki rata-rata bobot buah per buah yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi bakteri.
Aplikasi bakteri rhizosfer juga menunjukkan respon yang sama pada tanah salin.
Aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 30 ml L-1 meningkatkan bobot buah
per tanaman mencapai 41.4 % dibandingkan dengan konsentrasi bakteri 7.5 ml
L-1. Perlakuan tanah salin dengan konsentrasi 7.5, 15 dan 22.5 ml L-1 memiliki
nilai rata-rata jumlah buah per tanaman yang tidak berbeda nyata.
46

Selanjutnya pengamatan panen dilakukan dengan melakukan pengamatan


panjang buahdan diameter buah( Tabel 16). Hasil Analisis ragam terhadap
panjang buahdan diameter buah menunjukkan hasil yang berbeda nyata
terhadap perlakuan tanah non salin dan tanah salin dengan aplikasi bakteri

rhizosfer. Data yang telah di anlisis telah ditransformasi dalam bentuk ..

Rata-rata terhadap panjang buahdan diameter buahmentimun dapat disajikan


pada Tabel 16.
Data yang disajikan pada Tabel 16 menunjukkan rata-rata panjang buah
mentimun berbeda nyata.Aplikasi bakteri pada tanah non salin memiliki rata-rata
panjang buah yang tidak berbeda nyata dengan aplikasi bakteri 7.5, 15, 22.5 dan
30 ml L--1.Sedangkan aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah salin menunjukkan
peningkatan panjang buah pada tanaman mentimun. Pada perlakuan tanah salin
dengan aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 15 ml L-1 mampu
meningkatkan panjang buah sebesar 15.9 % jika dibandingkan dengan
perlakuan tanah salin dengan konsentrasi bakteri 7.5 ml L -1. Pada pelakuan
tanah salin dengan aplikasi bekteri rhizofer konsentrasi 30 ml L -1 dapat
meningkatkan panjang buah mecapai 14.3 % dibandingkan dengan aplikasi
bakteri pada konsentrasi 15 ml L-1. Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 22.5 ml
L-1 memiliki rata-rata panjang buah yang tidak berbeda nyata dengan aplikasi
bakteri 30 ml L-1..

Data yang disajikan pada Tabel 16 menunjukan nilai rata-rata diameter buah
mentimun.Pada pengamatan diameter buah aplikasi bakteri rhizosfer dengan
beberapa konsentrasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata.Semakin tinggi
konsentrasi bakteri rhizosfer yang di aplikasikan pada tanah non salin dan tanah
salin semakin meningkatkan diameter buah. Pengamatan pada tanah non salin
dengan aplikasi bakteri rhizosfer 30 ml L-1 dapat meningkatkan diameter buah
sebesar 7.7 % dibandingkan dengan perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi
bakteri rhizosfer. Perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5
memiliki rata-rata diameter buah yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan
tanah non salin aplikasi bakteri 30 ml L-1.
Pada perlakuan tanah salin dengan aplikasi bakteri rhizosfer dengan
konsentrasi 15 ml L-1 mampu meningkatkan panjang buah sebesar 12.9 % jika
dibandingkan dengan perlakuan tanah salin dengan konsentrasi bakteri 7.5 ml L-
47

1
. Pada pelakuan tanah salin dengan aplikasi bekteri rhizofer konsentrasi 30 ml L -
1
dapat meningkatkan panjang buah mecapai 10.3 % dibandingkan dengan
aplikasi bakteri pada konsentrasi 15 ml L -1. Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri
22.5 ml L-1 memiliki rata-rata diameter buah yang tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 15 dan 30 ml L-1.
Tabel 16.Rata-rata Panjang Buah dan Diameter Buah Hasil Perlakuan Bakteri
Rhizosfer pada Tanah Non-Salin dan Tanah Salin

Perlakuan Panjang Buah (cm) Diameter Buah (cm)

Tanah Non-Salin, 0 ml L-1 20.44 (4.58) e 3.81 (2.08) e


-1
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L 20.78 (4.61) e 3.94 (2.11) ef
-1
Tanah Non-Salin, 15 ml L 20.89 (4.62) e 3.97 (2.11) ef
-1
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L 20.22 (4.55) e 3.95 (2.11) ef
Tanah Non-Salin, 30 ml L-1 21.33 (4.67) e 4.13 (2.15) f
-1
Tanah Salin, 0 ml L 0.00 (0.71) a 0.00 (0.71) a
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 12.33 (3.58) b 2.42 (1.71) b
Tanah Salin, 15 ml L-1 14.67 (3.89) c 2.78 (1.81) c
-1
Tanah Salin, 22.5 ml L 16.32 (4.10) d 3.02 (1.87) cd
-1
Tanah Salin, 30 ml L 17.17 (4.20) d 3.10 (1.90) d
BNT 5% 1.42 0.28
KK 5.07 5.33
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang berada di dalam kurung dan diikuti
oleh huruf yang sama, pada kolom umur pengamatan dan perlakuan yang
sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%.Angka yang berada di
dalam kurung merupakan angka hasil transformasi.

5.3 Pembahasan
5.3.1Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Bakteri Rhizosfer terhadap
Pertumbuhan Tanaman Mentimun
Pada penelitian ini salinitas memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan tanaman mentimun.Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah non salin dan tanah salin mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman mentimun.Pemberian beberapa
konsentrasi bakteri rhizosfer baik pada tanah non salin maupun tanah salin
memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman mentimun yaitu,
parameter panjang tanaman (Tabel 6), jumlah daun (Tabel 7), luas daun (Tabel
8), panjang akar (Tabel 10) dan bobot kering tanaman (Tabel 10). Dari hasil
penelitian pertumbuhan tanaman yang ditanaman pada kondisi non salin memiliki
48

pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada
kondisi salin.
. Secara umum pertumbuhan tanaman mentimun yang ditanam pada
tanah salin memiliki persentase pertumbuhan yang lebih rendah dengan
tanaman mentimun yang ditanam pada tanah non salin.Penurunan pertumbuhan
tanaman seperti panjang tanaman, jumlah daun, panjang akar, bobot kering tajuk
dan bobot kering akar diakibatkan karena keterbatasan persediaan air dan bahan
organik dalam jaringan tanaman. Penurunan jumlah air mengakibatkan tekanan
tugor akar menurun, sehingga pemanjangan dan pembesaran sel juga akan
terhambatkarena tekanan tugor dipengaruhi oleh keseimbangan airdalam
tanaman (Gardner et al., 1991).Minimnya ketersediaan air akan menghambat
pertumbuhan tanamankarena keseimbangan air dalam tanaman menurun. Selain
itu, pada kondisi cekaman tanaman mengalami keterbatasan dalam penyerapan
nutrisi sehingga berakibat pada pertumbuhan tanamanseperti tinggi tanaman dan
jumlah daun (Gardner et al., 1991).
Hasil penelitian menunjukkan pada perlakuan tanah non salin memiliki
rata-rata tinggi tanaman dan jumlah daun yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan tanaman yang ditanam pada tanah salin.Hasil penelitian yang dilakukan
Adalzon et al., (2013) menunjukkan bahwa perlakuan salinitas dapat
menurunkan tinggi tanaman tomat tanaman sebesar 13.4 % jika dibandingkan
dengan perlakuan tanpa cekaman salinitas. Aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah
non salin dan tanah salin dengan konsentrasi bakteri rhizosfer 7.5, 15, 22.5 dan
30 ml L-1 berpengaruh nyata tehadap nilai rata-rata panjang tanaman. Pada
pengamatan 7, 14, 21 dan 28 hst aplikasi bakteri dengan konsentrasi bakteri 30
ml L-1 dapat meningkatkan panjang tanaman baik pada tanah salin maupun
tanah non salin. Pengamatan ada parameter jumlah daun, perlakuan aplikasi
konsentrasi bakteri rhizosfer pada tanah non salin memiliki nilai rata-rata jumlah
daun yang tidak berbeda nyata, berbeda dengan respon tanaman yang
ditanaman pada tanah salin dengan konsentrasi bakteri 22.5 dan 30 ml L-1
mampu meningkatkan jumlah daun tanaman mentimun.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Widawati (2015),
aplikasi Bacillus megateriumsebagai PGPR pada lahan salin mampu
meningkatkan tinggi tanaman padipada kondisi salin.Hal ini dapat dikaitkan
dengan peran bakteri sebagai biostimulan dan biofertilizer.Peran bakteri rhizosfer
sebagai biostimulan dibutikan pada hasil uji hormon IAA.Salah satu fungsi
49

hormon IAA adalah sebagai zat pemacu pertumbuhan.Dengan aplikasi bakteri


penghasil IAA tanaman mentimun dalam kondisi cekaman salinitas dapat
meningkatkan panjang dan jumlah daun tanaman mentimun.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa salinitas menurunkan luas daun
pada tanaman mentimun. Hal ini dikarenakancekaman garam akan
menyebabkan berkurangnya sintesis hormon yang memacu pertumbuhan dan
meningkatnya hormon yang menghambat pertumbuhan. Pessarakli (1993)
menyatakan bahwa tingkat stres garam yang berlebihan akan menurunkan IAA
pada tanaman yang sensitif terhadap garam.IAA merupakan hormon yang
merangsang pembelahan, pemanjangan dan perbesaran sel.Aplikasi bakteri
rhizosfer mampu meningkatkan luas daun tanaman. Aplikasi bakteri dengan
konsentrasi 22.5 dan 30 ml L-1 dapat meningkatkan rata-rata luas daun tanaman
pada tanah salin dan tanah non salin. Hal ini dapat dikaitkan dengan peran
bakteri rhizosfer sebagai biostimulant.Peran bakteri rhizosfer sebagai
biostimulant berhubungan dengan kemampuannya dalam menghasilkan
fitohormon, salah satunya adalah hormon IAA.Hormon IAA yang berfungsi
sebagai pembentukan sel, perpanjangan sel, dan pembesaran sel sehingga
mampu meningkatkan pertumbuhan organ vegetatif tanaman
mentimun.Kemampuan inilah yang menjelaskan adanya pengaruh yang
menguntungkan bagi tanaman mentimun dari aplikasi bakteri rhizosfer dalam
meningkatkan panjang tanaman, jumlah daun, luas daun, dan panjang akar
(Usharani et al., 2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi salinitas mempengaruhi
kandungan klorofil daun .serta aplikasi bakteri rhizosfer berpengaruh nyata
terhadap klorofil daun. Nilai tertinggi total kandungan klorofil daun yaitu pada
perlakuan tanah non-salin dengan aplikasi bakteri 30 ml L -1 .jika dibandingkan
dengan perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi bakteri. Sebaliknya nilai rata-
rata kandungan klorofil terendah yaitu pada tanah salin tanpa aplikasi bakteri.
Penurunan pertumbuhan dan kandungan klorofil pada tanaman disebabkan oleh
efek toksik salinitas atau tekanan osmotik yang meningkat, sehingga tanaman
tidak mampu menyerap air karena efek osmotik dan penurunan beberapa
aktifitas fisiologis tanaman (Metalawi et al.,2015). Faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan klorofil adalah faktor gentik, cahaya, karbohidrat,
air, unsur hara seperti besi, magnesium dan nitrogen (Lakitan, 2000).
Konsentrasi NaCl yang tinggi akan menyebabkan stres osmotik yang akan
50

menghambat serapan air dan unsur hara. Hal ini mengakibatkan tanaman
kekurangan unsur hara dan air sehingga sintesis klorofil terhambat.
Hasil penelitian yang dilakukan olh Nadeem et al.(2006),penurunan
kandungan klorofil pada tanaman jagung disebabkan karena pada saat tanaman
mengalami stres garam mampu menurunkan pigmen klorofil jagung, tetapi
dengan inokulasi bakteri mampu meningkatkan pigmen klorofil. Hal ini diduga
ada kaitannya dengan peran bakteri sebagai biofertilizer yang mampu
memfiksasi niktorgen bebas.Nitrogen merupakan komponen penyusun
klorofil.Sitompul dan Guritno (1995) menjelaskan bahwa nitrogen merupakan
salah satu komponen utama pembentukan klorofil daun, dimana 60 % dari
komponen penyusun klorofil adalah nitrogen.Tanaman yang kebutuhan
nitrogennya terpenuhi akan memiliki kandungan klorofil daun yang optimal, yang
selanjutnya laju fotosintesis dapat berlangsung secara optimal pula. Fotosintat
yang dihasilkan dari hasi fotosintesis akan meningkatkan tinggi tanaman, jumlah
daun dan luas daun.
Pada kondisi cekaman salinitas tanaman memiliki kandungan prolin yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan dengan tanaman yang ditanam pada
kondisi tidak tercekam salinitas.Aplikasi mikroorganisme diharapkan mampu
meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas. Dari hasil
penelitian pada kondisi salinitas dengan aplikasi bakteri rhizosfer dengan
konsentrasi 15, 22.5 dan 30 ml L-1 mampu menurunkan kadar prolin pada daun
mentimun. Hal ini menujukkan bahwa bakteri rhizosfer efektif dalam membantu
tanaman untuk lebih toleran terhadap cekaman salinitas. Saat kondisi cekaman
salinitas daun tanaman akan memproduksi asam amino yang berlebihan dimana
asam amino ini berfungsi sebagai substrat selama respiasi dan sumber energi
selama tanaman tercekam. Hasil penelitian menunjukkan tanaman mentimun
yang ditanam pada kondisi non salin memiliki kandungan prolin yang rendah di
bandingkan dengan tanaman yang ditanam pada kondisi salin. Tanaman yang
berada dibawah cekaman kekeringan, salinitas dan temperatur rendah akan
memproduksi metabolit secara aktif sebagai bentuk pertahanan dan bentuk
adaptasi terhadap kondisi cekaman lingkungan, metabolit yang diproduksi
tanaman saat terjadi cekaman lingkungan diantaranya adalah prolin (Maggioet
al., 2002). Akumulasi asam amino dan prolin dalam sel tanaman merupakan
bentuk reaksi tanaman terhadap cekaman dan defisiensi air.
51

Hasil pengamatan panjang akar menunjukkan bahwa aplikasi bakteri


rhizosfer dengan konsentrasi 7.5, 15, 22.5 dan 30 ml L -1memiliki rata-rata yang
tidak berbeda nyata dengan control, namun aplikasi bakteri pada tanah salin
menunjukkan bahwa aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 22.5 dan 30 ml
L-1 mampu meningkatkan panjang akar tanaman. Hasil penelitian yang telah
dilakukan Chookietwattana dan Kedsukon (2012) bahwa aplikasi PGPR dengan
bakteri Bacillus licheniformis pada cekaman salinitas mampu meningkatkan
panjang akar pada tanaman tomat. Hal ini berkaitan dengan salah satu peran
bakteri sebagai penghasil fitohormon salah satunya adalah ACC diaminase.
(Jasim et al., 2014). ACC deaminase adalah enzim sitoplasma yang diproduksi
beberapa bakteri tanah untuk mendegradasi ACC ( prekursor hormon etilen pada
tanaman) menjadi amonia dan α-ketobutirat yang merupakan sumber N dan
karbon bagi bakteri (Glick, 2014). Degradasi ACC oleh enzim ACC deaminase
akhirnya akan mengurangi biosintesis etilen dalam tubuh tanaman dan
kerusakan tanaman dapat direduksi (Grichko dan Glick, 2001). Pada saat
tanaman mengalami cekaman salinitas, tanaman akan memproduksi etilen lebih
banyak, produksi etilen yang terlalu banyak akan menyebabkan terhambatnya
pemanjangan dan pembentukan akar.
Menurut Katsuhara et al. (1996) ada dua alasan yang mungkin mendasari
terjadinya pengurangan pertumbuhan akar dalam kondisi cekaman garam. Yang
pertama adalah hilangnya tekanan turgor untuk pertumbuhan sel karena
potensial osmotik media tumbuh lebih rendah dibanding potensial osmotik di
dalam sel, sedangkan alasan yang kedua adalah kematian sel. Aplikasi bakteri
pada tanah salin berkaitan dengan peranan bakteri yang mampu menghasilkan
hormon IAA yang mampu membantu pembelahan dan pembesaran sel pada
akar.Hormon IAA mempengaruhi perkembangan dan pembentukan akar, dimana
akar merupakan organ tanaman paling penting dalam penyerapan air dan unsur
hara (Arshad dan Frankenberger, 1993). Permukaan akar yang lebih luas akan
perpengaruh terhadap penyerapan air dan nutrisi dari tanah lebih banyak,
sehingga penyerapan air and nutrisi yang lebih banyak dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan hasil pengamatan juga dapat diketahui bahwa aplikasi
bakteri bakteri rhizosfer mampu memberikan perngaruh tehadap berat kering
tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan aplikasi bakteri rhizosfer dengan
-1
konsentrasi 22.5 dan 30 ml L mampu meningkatkan hasil berat kering tanaman
52

apabila dibandingkan dengan tanpa aplikasai bakteri rhizosfer pada tana non
salin maupun tanah salin. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Kang et al., (2014) menunjukkan peningkatan bobot kering pada tanaman
mentimun mencapai 21.9 % pada kondisi salinitas dengan aplikasi bakteri
Bacillus sp. Menurut Gardner et al., (2003), menyatakan bahwa fotosintesis
akan memproduksi asimilat yang akan diakumulasikan dalam bentuk bahan
kering tanaman. Nitrogen yang berhasil difiksasi oleh Bacillus megateriumakan
meningkatkan pasokan nitrogen pada tanaman, yang kemudian akan
meningkatkan kandungan klorofil daun. Kandungan klorofil yang tinggi pada
tanaman akan meningkatkan laju fotosintesis tanaman. Semakin tinggi laju
fotosintesis tanaman makan semakin tinggi asimilat yang dihasilkan dan di
translokasikan pada bagian tanaman seperti panjang tanaman, jumlah daun dan
luas daun. Sehingga bobot kering tanaman juga akan meningkat karena
meningkatnya organ vegetatif tanaman.
Salinitas juga menyebabkan terganggunya pertumbuhan sel pada
perakaran yang mengakibatkan menurunnya fungsi perakaran.Apabila fungsi
perakarannya menurun , maka  penyerapan unsur hara juga akan terganggu.
Efeknya adalah tanaman dapat kekurangan pasokan hara dan air dan
selanjutnya pertumbuhan tanaman akan terganggu bahkan berdampak hingga
kematian pada tanaman. Tanaman yang stes garam mempunyai daun lebih
sempit, lebih gelap, menurunkan nisbah tajuk dan akar, berkurangnya anakan,
memperpanjang dormansi kuncup samping, menunda dan menurunkan
pembungaan dan jumlah dan ukuran buah lebih kecil (Harjadi dan Yahya,
1988).Hal ini juga di buktikan pada penelitian Suwigyono et al. (2008) pada
tanaman jagung dengan pemberian salinitas sekitar 7 dS m-1 dapat menurunkan
berat kering tanaman antara 30,99 % sampai 31,12 %.
Aplikasi bakteri rhizosfer mampu membantu tanaman dalam menambat
nitrogen bebas dari atmosfer dan mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia
bagi tanaman. Pada fase pertumbuhan tanaman nitrogen berfungsi untuk
membantu pembentukan fotosintat yang selanjutnya akan digunakan untuk
membentuk sel-sel baru, perbanjangan sel dan pembesaran sel. Pembentukan
sel dan pemanjangan sel akan mempengaruhi pertumbuhan organ vegetatif
tanaman seperti batang dan daun ( Iridianaet al., 2002).
Aplikasi bakteri rhizosfer hasil isolasi dari tanah salin bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan tanaman mentimun yang ditanaman
53

di tanah salin.Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa aplikasi bakteri rhizosfer


kurang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan pada tanaman mentimun yang
ditanam pada kondisi non salin.Hal ini dapat dilihat dari persentase peningkatan
pertumbuhan tanaman yang tidak terlalu signifikan.Pemanfaatan bakteri rhizosfer
sebagai agens hayati berhubungan dengan kemampuannya dalam menginduksi
ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik maupun abiotik, meningkatkan
ketersediaan unsur hara, serta kemampuannya dalam memproduksi senyawa
metabolit sekunder yang berupa hormon alami.Bakteri mampu membantu
tanaman dalam cekaman lingkungan dengan berperan sebagai biofertilizer,
biostimulan dan bioprotektan (Rai, 2006).
Sebagaimana yang telah dilakukan pengujian pada bakteri secara in vitro,
bahwa bakteri rhizosfer dengan kode isolate SN 22 mampu menghasilkan
hormone IAA sebesar 10.08 ppm.Hal ini sejalan dengan peran bakteri rhizosfer
sebagai biostimulant, diamana bakteri mampu menghasilkan fitohormon seperti
auksin dan sitokinin. Salah satu fitohormon yang mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman adalah homon IAA (indole acetic Acid) (Kresnawati,2008).
Hasil analisis molekuler terhadap isloat bakteri menyebutkkan bahwa
isolate bakteri tersebut termasuk dalam genus Bacilus, dengan nama spesie
yaitu Bacilus megaterium. Peran Bacilus sp. telah banyak diketahui memberikan
manfaat bagi tanaman yaitu mampu meningkatkan pertumbuhan
tanaman.Bakteri fungsional yang dikelompokan dalam bakteriPGPR diantaranya
adalah: Genus Rhizobium, Azotobacter,Azospirillum, Bacillus,yang merupakan
bakteri penambat nitrogenserta genus yang merupakan bakteriyang mampu
menambat nitrogen (Biswas et al. 2000). Tilak et al. (2005) mengemukakan
bahwa sejumlah spesies bakteri rhizosfertanaman tergolong ke dalam genus
Azospirillum, Alcaligenes, Arthrobacter,Bacillus, Burkholderia, Enterobacter,
Erwinia, Flavobacterium, Pseudomonas,Rhizobium, dan Serratia yang mampu
memberikan efek positif bagi pertumbuhantanaman. Mekanisme peraan Bacillus
dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman yaitu dengan menghasilkan
fitohormon, salah satunya adalah hormon IAA. Menurut Yuan qinet al. (2016),
mekanisme bakteri penghasil hormon IAA dimulai dari eksudat akar.Eksudat akar
merupakan hasil fotosintesi tanaman yang dikeluarkan oleh tanaman dengan
kisaran 5-30% dari hasil fotosintesis.Dalam eksudat akar mengandung sebagian
besar gula, asam organik dan asam amino.Bakteri atau mikroorganisme yang
54

terdapat disekitar perakaran memanfaatkan eksudat akar sebagai sumber energi


bagi bakteri (Taghavi et al., 2009).

5.3.2 Pengaruh Bakteri Rhizosfer terhadap Hasil Tanaman Mentimun


Pemanfaatan mikroorganisme telah menjadi alternatif yang menjanjikan
untuk menurunkan stress tanaman akibat salinitas, karena dapat memfasilitasi
pertumbuhan tanaman secara tidak langsungdengan membantu penyerapan
nutrisi dan memproduksi phytohormon( Yao et al., 2010). Pemberian beberapa
konsentrasi bakteri rhizosfer baik pada tanah non salin maupun tanah salin
memberikan pengaruh nyata terhadap komponen hasil tanaman mentimun yaitu,
parameter bunga jantan (Tabel 13), jumlah bunga betina dan fruit set (Tabel 14).
Komponen hasil tersebut akan mempengeruhi hasil produksi tanaman mentimun
yaitu jumlah buah per tanaman, bobot buah per buah dan bobot buah per
tanaman (Tabel 15).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, produksi mentimun
yang ditanam pada tanah non salin lebih tinggi dari produksi mentimun yang
ditanam pada tanah salin.Perlakuan salinitas tanpa aplikasi bakteri rhizosfer
berakibat pada kematian tanaman dan tidak mampu berproduksi.Hasil penelitian
menunjukkan perlakuan salinitas tanpa aplikasi bakteri mengganggu
pertumbuhan tanaman dan tidak dapat menghasilkan buah. Hal ini disebabkan
oleh kadar garam tinggi yang menyebabkan tanaman keracunan ion Na+ dan Cl-,
menurunnya tekanan osmotik pada tanaman sehingga tanaman tidak mampu
menyerap air dan unsur hara.Penelitian yang dilakukan Widawati dan Sulasih
(2006) tanaman terung yang ditanam pada media yang memiliki nilai EC 8.5 dS
m-1 tidak mampu menghasilkan buah.Hasil percobaan Golpayegani dan Tilebeni
(2011), juga memperlihatkan bahwa kadargaram tinggi akan menghambat sistem
kerja dalam pertumbuhan tanaman seperti menurunnya hasil fotosintesa,
konduktansi stomata dan kandungan klorofil pada tanaman kemangi. Follet et al.,
(1981),menyatakan bahwa tanah dengan daya hantar listrikantara 8-16 dS/m
termasuk tanah dengan salinitas yang tinggi, sehingga hanya tanaman yang
toleran salin saja yang bisa tumbuh.
Hasil pengamatan jumlah buah per tanaman menunjukkan bahwa aplikasi
bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 7.5, 15, 22.5 dan 30 ml L-1dapat
meningkatkan jumlah buah pada tanah salin, sedangkan pada aplikasi bakteri
pada tanah non salin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan
perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi bakteri. Jumlah buah pada tanaman
55

mentimun dipengaruhi oleh pembentukan bunga betina yang berhasil diserbuki


oleh bunga jantan.Peningkatan jumlah bunga pada kondisi salin dipengaruhi oleh
aplikasi bakteri rhizosfer yang mampu mensisntesi hormon IAA.Salah satu fungsi
hormon IAA bagi tanaman adalah merangsang pembungaan (Egamberdiyeva,
2007).
Hasil pengamatan pada bobot buah per tanaman, aplikasi bakteri
rhizosfer pada tanah non salin memiliki rata-rata yang tidak berbeda nyata,
namun pada tanah salin yang diaplikasikan bakteri rhizosfer dengan konsentrasi
15, 22.5 dan 30 ml L-1 mampu meningkatkan hasil jumlah buah jika dibandingkan
dengan control. Pada kondisi salinitas tanaman mengalami penurunan produksi
jika dibandingakn dengan tanaman yang ditanam pada kondisi normal.Tanaman
mentimun merupakan tanaman yang sangat rentan terhadap cekaman
salinitas.Tanaman yang ditanam pada tanah salin tanpa aplikasi bakteri tidak
mampu berproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman mentimun tidak
mampu menyelesaikan siklus hidupnya pada kondisisalin dengan kadar salinitas
5.3 dS m-1. Pada konsentrasi garam yang tinggi tanaman dapat mengalami
tekanan osmosis yang tinggi sehingga tanaman sulit menyerap air dan tanaman
dapat mengalami keracunan ion-ion penyusun garam sehingga tanaman
mengalami kerusakan pada jaringan (Albregts dan Howards, 1972).Hal ini yang
menyebabkan tanaman pada kondisi salin dapat menurunkan hasil produksi
bahkan tidak mampu berproduksi.
Aplikasi bakteri rhizosfer mampu meningkatkan produksi mentimun pada
kondisi salin.Pada dasarnya, tinggi rendahnya komponen hasil suatu tanaman
dipengaruhi oleh pertumbuhan organ vegetatifnya (Irdiana et al., 2002).Pada
kondisi salin dengan aplikasi bakteri rhizosfer terbukti mampu meningkatkan
jumlah daun dan luas daun tanama mentimun.Daun merupakan organ
vegetatifpenghasil asilmilat. Sehingga, semakin tinggi jumlah daun dan luas daun
makan akan semakin tinggi laju fotosintesis dan asimilat yang dihasilkan akan
semakin tinggi. Asimilat yang dihasilkan tersebut akan ditranslokasikan pada
organ tanaman salah satunya adalah untuk pembentukan buah. Aplikasi bakteri
rhizosfer yang telah terbukti sebagai penambat nitrogen membantu tanaman
dalam memenuhi kebutuhan hara. Nitrogen yang berhasil difiksasi oleh Bacillus
megateriumakan meningkatkan pasokan nitrogen bagi tanaman, yang
selanjutnya akan meningkatkan kandungan korofil daun dan pada akhirnya
menigkatkan laju fotosintesis tanaman. semakin tinggi laju fotosintesis tanaman,
56

makan asimilat yang akan dihasilkan juga semakin tinggi, yang pada akhirnya
hasil fotosintesis tersebut akan ditranslokasikan pada bagian buah.
Yao et al. (2010), telah membuktikan bahwa aplikasi bakteri rhizosfer
membantu pertumbuhan tanaman yang tumbuh di tanah salin. Hasil percobaan
ini membuktikan, bahwa bakteri fungsional bersifat PGPR tahan salin sangat
membantu pertumbuhan dan produksi padi di tanah salin dengan hasil baik,
terutama pada tanaman yang diberi inokulan campuran Bacilus
megaterium,Bacillus thuringiensis, Bacillus pantothenticus, Azospirillum
lipoferum dan Azotobacter crococcum.Kohler et al. (2006) menunjukkan
menghasilkan tiga PGPR isolat P. Alcaligenes PsA15, Bacillus polymyxaBcP26
dan Mycobacterium phlei MbP18 yang mampu mentolerir suhu dan salinitas
tinggi serta beberapapotensial bertahan hidup di tanah gersang dan salin.Hasil
yang sama dilaporkan oleh Tank dan Saraf (2010), bahwa penggunaan PGPR
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dengan pemberian NaCl
sebanyak 2%. Demikian juga Kloepper et al. (2004), Egamberdieva dan
Kucharova (2009) melaporkan bahwa inokulasi PGPRmeningkatkan
pertumbuhan dan hasil gandum pada kondisi tanah salin. Patel et al., (2012),
melaporkan adanya peningkatan hasil dari chickpea yang ditanam pada media
dengan perlakuan NaCl (1,8%) dan menggunakan isolat bakteri pelarut fosfat
yaitu Pseudomonas putida.
57

6. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan
1. Terdapat 16 isolat bakteri rhizosfer hasil eksplorasi yang mampu hidup pada
kondisi cekaman salinitas 5% dan 7 isolat bakteri rhizosfer yang mampu
tumbuh pada kondisi cekaman salinitas 10 %.
2.7 isolat bakteri rhizosfer yang mampu hidup pada media salin 10 % berpotensi
sebagai penghasil homron IAA dengan konsentrasi yang berbeda-beda.Dan
terdapat 4 isolat bakteri rhizosfer yang berpotensi menambat nitrogen.
3. Aplikasi bakteri rhizosfer mampu membantu pertumbuhan tanaman pada
kondisi salin yaitu meningkatkanluas daun 77.9% dengan aplikasi bakteri 30
ml L-1 dan meningkatkan bobot kering total tanaman 75% dengan aplikasi 15
ml L-1.
4. Konsentrasi aplikasi bakteri yang efektif pada tanah non salin adalah 22.5 ml
L-1, dengan konsentrasi tersebut dapat meningkatkan bobot buah per tanaman
sebesar 16.1 %. Aplikasi bakteri pada kondisi salin mampu membantu
tanaman untuk dapat berproduksi.Konsentrasi aplikasi bakteri yang efektif
pada tanah salin adalah 30 ml L-1yang dapat meningkatkan bobot buah per
tanaman 41.4% dibandingkan dengan konsentrasi bakteri 7.5 ml L-1.
6.2 Saran
1. Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan uji bakteri penghasil ACC
diaminase guna mengetahui lebih jauh peran bakteri dalam meningkatkan
toleransi tanaman pada kondisi salin.
2. Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk
memastikan keamanan bakteri rhizosfer yang digunakan sebagai agens
hayati guna menghindari dampak negatif bagi lingkungan dan manusia.
58

DAFTAR PUSTAKA

Aiman. U., B. Sriwijaya dan G. Ramadan. 2015. Pengaruh pemberian PGPRM


terhadap Pertumbuhan dan Hasil Buncis Prancis. J Agron. 2407 : 8-15.
Alsadon, A., M. Sadder, and M. Wahb-Allah. 2013. Responsive gene screening
and exploration of genotypes responses to salinity tolerance in tomato.
AJCS. Australian. 7(9): 1383-1395.
Albregts, E. C. dan C. M. Howard. 1972. Influence of temperature and moisture
stress from sodium chloride salinization on okra emergence. Crop Sci. 836-
837
Amezketa, E., R. Aragues and R. Gazol. 2005. Efficiency of Sulfuric Acid, Mined
Gypsum And Gypsum By Product In Soil Crosing Prevention And
Sodic Soil Reclamation. Agron. J. 97 : 983 – 989.
Arshad, M and W .T. Frankenberger. 1993. Microbial production of plant growth
regulators. J. Soil Microbial Ecology. 307-347.
Bates, L.S., R.P. Waldren, and I.D. Teare. 1973. Rapid Determination of Free
Proline Water Stress Studies. Plant Soil 39: 205-207
Biswas JC, Ladha JK, Dazzo FB. 2000. Rhizobial inoculation improves nutrient
uptake and growth of lowland rice. Soil Sci SocAm J 64: 1644-1650
Bloeberg,GV., and B.J.J. Lutenberg. 2001. Moleculer Basis Of Plant Growght
Promotion And Biocontrol By Rhizobacteria. Institute Of Molecular
Plant Sciences, Netherlands.
Botella, M.A. 2000. Polymine, Ethylene And Ether Physico-Chamical
Parameters In Tomato (Lycopersicon esculentum) Fruit As Affected
By Salinity. Physiol Plant J. 20 : 25-35.
Bowen, G.D. and A.D. Rovira. 1991. The Rhizosphere: The Hidden Half Of The
Hidden Half. In "Plant Roots: The Hidden Half" (Y. Waisel, A. Eshel,
and U. Kalkafi, eds.), Marcel Dekker, New York. pp. 641-669.
Capuccino, J. G. and Natalie. 2000. Microbiology A Laboratory Manual. Benjamin
Cummings Publishing Company Inc. Menis Park. California.
Chookietwattana. K.* and Kedsukon Maneewan. Selection of efficient salt-
tolerant bacteria containing ACC deaminase for promotion of tomato growth
under salinity stress. Soil Environ. 31(1): 30-36.
Carlile, M.J., S.C. Watkinson and G.W. Goodday. 2001. The Fungi. 2nd.
NewYork, London: Academic Press. p.121-123.
Dewi, I.R. 2008. Peranan Dan Fungsi Fitohormon Bagi Pertumbuhan Tanaman.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/06/makalah_fitohor
mo-n.pdf. Di akses pada 2 September 2016.
Doi, T., J. Abe, F. Shiotsu and S. Morita. 2011. Study on Rhizosphere Bacterial
Community in Lowland Rice Grown with Organic Fertilizers by Using
Pcrdenaturing Gradient Gel Electrophoresis. Plant Root J. 5 : 5-16.
59

Egamberdiyeva, D. 2007. The effect of PGPR on Growth and Nutrient Uptake of


Maize in Two Different Soils. Applied Soil Ecology. Vol.36(1). P : 184-
189.
Erfandi, D. dan A. Rachman. 2011. Identification of Soil Salinity Due to Seawater
Intrusion on Rice Field in The Northern Coast of Indramayu, West
Java. Tropic Soil J. 16 :115-121.
Ergun,T, S.F. Topcuoglu and Yildis . A. 2001. Auxin (Indol acetic acid), Giberellic
acid, Absscicid Acid (ABA) and Cytokinin (Zeatin) Production by Some
Species of Moses and Lichens. 22(4). 105-110.
Follet, R.H., L.S. Murphy and R.L. Donahue. 1981. Fertilizer and Soil
Amandements. Prentice Hall Inc. Englewood. New Jersey.
Food and Agriculture Organization. 2005. 20 Things to Know About: the Impact of
Sea Water on Agricultural Land in Aceh Province. FAO Field Guide.
Diakses pada 11 Mei 2015.
Foster, R. C and J.F. Dormaar. 1991. Bacteria Grazing Qmoebae In Situ and in
The Rhizosphere. Bioi Fer/Il Soils J. 4 :83-87.
Gardner, F. P., R. B. Pearce, and R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya Edisi Terjemahan oleh Herawati Susilo. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Gardner, F. P., R.B. Pearce and R.L. Mitchell. 2003. Physiology of Crop Plants.
Iowa State University Press. United States. P. 12.
Glick. B. R 2014. Bacteria withACCdeaminasecan Promote Plant Growthand
Helpto Feedthe World. Can. J. Microbiol. 169 : 30–39
Golpayegani. A, dan Tilebeni. 2011. Effect of Biological on Biochemical and
Physiological Parameter of Basil (Ociumum basilicm L.) Medicine
Plant. J. Agric Environ Sci. 11 : 445-450.
Grayston, S.J, S. Wang, C.D. Campbell and A.C. Edwards. 1998. Selective
Influence of Plant Species on Microbial Diversity in The Rhizosphere.
Soil Biol Biochem J. 30 :369-378.
Grichko, V.P. and B.R. Glick. 2001. Amelioration of flooding stress by ACC
deaminase containing plant growth promoting bacteria. Physiol. 113 :
981-985.
Ibekwe, A.M, J.A. Poss, S.R. Grattan, C.M. Grieve and D. Suarez . 2010.
Bacterial diversity in cucumber (Cucumis sativus) rhizosphere in
response to salinity, soil pH, and boron. Soil Biol Biochem J. 42 :567-
575.
Idris, M. 2004. Respon Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L) Akibat
Pemangkasan dan Pemberian Pupuk ZA. J. penelitian bidang ilmu
Pertanian. 2(1) : 17 – 24.
Irdiana, I., Y. Sugito dan A. Soegianto. 2002. Pengaruh dosis pupuk organik cair
dan dosis urea terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung
manis (Zea mays). J. Agrivita. 24 (1). 9-16.
Iswati, R. 2012. Pengaruh Dosis Formula PGPR Asal Perakaran Bambu
Terhadap Pertumbuhan Tanaman Tomat (Solanum lycopersicum syn).
J Agro. 1(1) : 9-12.
60

Jasim, B., A. A. Joseph, C. J. John, J. Mathew, and E. K. Radhakrishnan. 2014.


Isolation and Characterization of Plant Growth Promoting Endophytic
Bacteria from The Rhizome of Zingiber Officinale. 3 Biotech. 4 : 197-
204.
Jeger, M. J. and N.J. Spence. 2001. Biotic Interaction in Plant. Pathogen
Association. New York (USA): CABL publishing.
Kang, S., A.L. Khan, M. Waqas, Young-hyun. Y, J. Kim, M. Hamayun, and I. Lee.
2016. Plant Growth-Promoting Rhizobacteria Reduce Adverse Effects
of Salinity and Osmotic Stress by Regulating Phytohormones and
Antioxidants in Cucumis sativus. Plant Inter J. 9(1) : 627-682.
Katsuhara, M. and Kawasaki, T. (1996) Salt stress induced nuclear and DNA
degradation in meristematic cells of barley root. Plant CellPhysiol. 37:
169-173.
Kelly, R.K., 2005. The Rhizosphere.
http://www.dpi.nsw.gov.au/_data-/assets/pdf_file/0004/42259/-
hisosphere. Diakses pada 30 agustus 2016.
Kloepper, J. W. (1993). Plant Growth-Promoting Rhizobacteria as Biological
Control Agents. In "Soi I Microbial Ecology-Applications in Agricultural
and Environmental Management" (E Blaine Metting, Jr., ed.), pp. 255-
274. Marcel Dekker, New York.
Kresnawaty, I. 2008. Optimisasi dan Pemurnian IAA yang Dihasilkan Rhizobium
sp. dalam Medium Serum Lateks dengan Suplementasi Triptofan dari
Pupuk Kandang. Menara Perkebunan. 76 (2): 74-82.
Kurniawan, M., M. Izzati, dan Y. Nurcahyati. 2010. Kandungan Klorofil,
Karotenoid, dan Vitamin C pada Beberapa Spesies Tumbuhan Akuatik.
Buletin Anatomi dan Fisiologi XVIII (1) : 28-40.
Lines, K. R. 2005. Defend the Rhizosphere and Root Against Pathogenic
Microorganisms. Tersedia di :
http://ice.agric.uwa.edu.au/soils/soilhealth. diakses pada 2 september
2016.
Lutenberg, B.J., J. Lev and V. Kravchenko. 1999. Toato Seed And Root Exudate
Sugars: Copotition Utlilization By Pseudomonas Biocontrol Strains And
Role In Rhizophere Colonization,Enviromental Microbiology. 1(5) : 439-
446.
Maggio, A., S. Miyazaki, P. Veronese, T. Fujita, J. I. Ibeas, B. Damsz, M. L.
Narasimhan, P. M. Hasegawa, R. J. Joly, and R. A. Bressan (2002).
Does proline accumulation play an active role in stress-induced growth
reduction. Plant J. 31: 699–712.
Marschner H. 1995. Mineral Nutrition Of Higher Plants. 2nd. Academic Press.
Harcourt Brace & Company. Publishers. London. San Diego. New
York. Boston. Sydney. Tokyo. Toronto. p.889.
Munns R, Tester M. 2008. Mechanisms of Salinity Tolerance. PlantBio J. 59 :
651-681.
Nadeem. S.M., Zahir. Z.A., Naveed. M., Arshad. M., Shahzad. S.M., (2006).
Variatin in growth and ion uptake of maize due to inculation with plant
61

growth promoting rhizobacteria under salt stress. Soil Environ, 25: 78-
84.
Nelson, L.M. 2004. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR): Prospects for
New Inoculants. Available at. Crop Management. Tersedia di doi:-
10.1094/CM-2004-0301-05-RV. Plant Management Network. Diakses
30 agustus 2016.
Patel D, CK Jha, N Tank and M. Meenu Saraf. 2012. Growth Enhancement of
Chickpea in Saline Soils Using Plant Growth-Promoting Rhizobacteria.
Journal of Plant Growth Regulator 31(1), 53-62.
Pessarakli, M. 1993. Handbook of Plan and Crop Stress.Marcel Dekker Inc. New
York. 1180 pp.
Premono, E. 1994. Jasad Renik Pelarut Phosfat Pengaruhnya terhadap P-tanah
dan Efisiensi Pemupukan P Tanaman Tebu. Disertasi. Program Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rai, M.K. 2006. Handbook of Microbial Biofertilizer. FoodProduction Press : New
York.
Ramires, L.F. and J. C. Mellado. 2005. Bacterial Biofertilizer. Springer.
Netherlands. p. 143-161.
Rhoades, J.D, N.A. Manteghi, P.J. Shouse, W.J Alves. 1989. Soil Electrical
Conductivity and Soil Salinity; New Formulations and Calibrations. Soil
Sci Soc Am J. 53:433-439.
Rosmarkam, A., N.W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah.
Yogyakarta(ID):Kanisius.
Rustam, Giyanto, S. Wiyono, D. A. Santoso, dan S. Susanto. 2011. Seleksi dan
Indentifikasi Bakteri Antagonis sebagai Agens Pengendali Hayati
Penyakit Hawar Pelepah Padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.
30 (3): 164-171.
Shannon, M.C., 1999. Salinity and Horticulture. An International Journal. The
International Society for Horticultural Science. 14(78).
Sipayung, R. 2003. Stress Garam dan Mekanisme Toleransi Tanaman.
http://www. library.USU.ac.id/download/fp/bdp.rosita2.pdf. Diakses
pada tanggal 8 Agustus 2016.
Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. P. 152-217.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Fakultas Pertanian. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Soesanto. L., M. Endang. dan F.R. Ruth. 2014. Aplikasi Formula Cair
Pseudomonas fluorescens P60 untukMenekan Penyakit Virus Cabai
Merah. J.Fitopatologi. 9(6) : 179-185.
Sorensen, J. 1997. The Rhizosphere as a Habitat for Soil Microorganisms. p. 21-
45. In J.E. Van Elsas, J.T Trevors, and E.M.H. Wellington
(Eds.).Modern Soil Microbiology. Marcel Dekker, Inc. New York.
Suherman, O., Burhanuddin, M. Faesal., Dahlan, dan F. Kasim. 2002.
Pengembangan Jagung Unggul Nasional Bersari Bebas dan Hibrida.
Risalah Penelitian Jagung dan Serealia. 7 : 8−14.
62

Sumpena, U. 2001. Budidaya Mentimun Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta.


Suwarno. V.S., P. Nelson dan Nurmi. 2013. Respon Pertumbuhan dan Produksi
Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Melalui Perlakuan Pupuk
NPK PelangI. 5 : 1-12.
Suwigyono, R.A., R.Hayati., Mardiyanto. 2008 pengaruh salinitas awal rendah
terhadap pertumbuhan dan toleransi salinitas tanaman jagung. FP
universitas Sriwijaya. 45-47.
Syakir. M., N. Maslahah dan M. Januwati. 2007. Pengaruh Salinitas Terhadap
Pertumbuhan, Produksi dan Mutu Sambiloto (Andrographis paniculata
Nees). Bul. Littro. 19 (2): 129-137.
Syamsiah. M. 2014. Respon Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Cabai Merah
(Capsicum annum L.) Terhadap Pemberian PGPR Dari Akar Bamboo
Dan Urine Kelinci. J Agro. 4(2) : 109-114.
Taghavi, S., Garafola, C. Monchy, S. Newman, L., Hoffman, A., Weyens, N.,
Barac, T., Vangronsveld, J., Lelie, and D Van Der. 2009. Genome
Survey and Characterization of Endophytic Bacteria Exhibiting a
Beneficial Effect on Growth and Development of Poplar Trees. applied
And Environmental. Microbiol. 75 (3) : 748-757.
Tank N and M Saraf. 2010. Salinity-Resistant Plant Growth Promoting
Rhizobacteria Ameliorates Sodium Chloride Stress on Tomato Plants.
Journal of Plant Interactions 5 (1), 51-58
Tilak KVBR, Ranganayaki N, Pal KK, De R, Saxena AK, Nautiyal CS, Mittal S,
Tripathi AK, Johri BN. 2005. Diversity of plant growth and soil health
supporting bacteria. Curr Sci. 89:136-150.
Usharani, G., D. Sujitha and s. Sivasakthi. 2014. Effect of Azotobacter sp. For the
improvement of growth and yield of pearl millet (cumbu) (Pennisetum
glaucum L.). int. J. of Adv. Multi. Res. 1(1) : 102-106.
Van Asten. P.J.A., Van Zelfde, Van der Zee, and C. Hammecker . 2004. The
Effect of Irrigated Rice Cropping on The Alkalinity of Two Alkaline Rice
Soil In The Sahel. Geoderma.119 :233-247.
Vu, J. C. V. and L.H Allen Jr.. 2009a. Growth at Elevated CO2 Delays The
Adverse Effects of Drought Stress on Leaf Photosynthesis of The C4
Sugarcane. Plant Physiol J. 166 :107-116
Widawati. S. 2015 Peran bakteri fungsional tahan salin (PGPR) pada
pertumbuhan padi di tanah berpasir salin . Pros Sem Nas Biodiv 1 (8):
1856-1860.
Widawati & Sulasih. 2006. Populasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) di Cikaniki,
Gunung Botol, dan Ciptarasa, serta Kemampuannya Melarutkan P Terikat
di Media Pikovskaya Padat. Biodiversitas. 7(2):109- 113.
Werner, D. and W.E. Newton. 2005. Nitrogen Fixation in Agriculture, Forestry,
Ecology and the Environment. Netherlands. Springer.
Yan L, Zhou S, Feng L, Yi LH. 2007. Delineation of Site-Specific Zones Using
Fuzzy Clustering Analysis in a Coastal Saline Land. Comput Electron
Agric J. 56 :174-186.
63

Yao L,Wu Z, Zheng Y, Kaleem I, Li C. 2010. Growth promotion and protection


against salt stress by Pseudomonas putidaRs-198 on cotton. Eur J Soil Biol
46: 49-54.

Anda mungkin juga menyukai