THESIS
OLEH :
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
2
1. PENDAHULUAN
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Salinitas
Salinitas merupakan suatu kondisi lahan yang menunjukkan adanya garam
terlarut dalam jumlah besar yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
kebanyakan tanaman. Salinitas pada umumnya bersumber pada tanah dan air
tanah. Salin atau tidaknya suatu tanah ataupun air diukur berdasarkan daya
hantar listriknya yang tergantung pada kadar garam yang terlarut dalam air
ataupun dalam larutan yang berhubungan dengan pertumbuhan tanaman
(Sipayung, 2003). Tanaman yang tumbuh di tanah bergaram akan mengalami
dua tekanan fisiologis yang berbeda. Pertama, pengaruh racun dari beberapa ion
tertentu seperti sodium dan klorida, yang lazim terdapat dalam tanah bergaram,
yang akan menghancurkan struktur enzim dan makromolekul lainnya, merusak
organel sel, mengganggu fotosintesis dan respirasi, akan menghambat sintesis
protein dan mendorong kekurangan ion (Marshner, 1995).
Proses akumulasi garam pada permukaan tanah terjadi karena gerakan
garam dari profil tanah bawah (sub-soil) ke bagian atas (top-soil). Pada bagian
atas terjadi penguapan yang intensif, sehingga menyebabkan larutan garam
bergerak secara kapilaritas ke atas, menguap, dan meninggalkan endapan
garam di permukaan tanah. Apabila proses ini berlangsung terus menerus
sepanjang tahun, maka terbentuk tanah garam. Di Indonesia proses ini tidak
berlangsung sepanjang tahun, hanya terdapat di daerah panas dan kering. Pada
musim kemarau terjadi salinisasi, sebaliknya pada musim hujan terjadi
desalinisasi. Pengurangan kadar garam di permukaan tanah terjadi karena curah
hujan yang turun kemudian melindi ke bawah. Proses salinisasi hanya terjadi
pada tanah yang mempunyai tekstur halus sampai sangat halus (Rosmarkam
dan Yuwono 2002). Van Asten et al. (2004) menyatakan bahwa air mampu
melarutkan molekul garam dan mengangkutnya sebagai aliran permukaan (run
off) maupun pencucian (leaching), sehingga kadar garam dapat berkurang. Pada
skala bentang lahan, salinitas tanah dapat berkurang akibat pasokan air hujan
dan air irigasi pada volume dan intensitas yang cukup.
Keragaman salinitas tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanah itu
sendiri (Yan., et al 2007). Sumber garam yang terdapat di dalam tanah di
antaranya berasal dari batuan atau bahan induk, air irigasi, pupuk, herbisida,
insektisida, dan fungisida. Pada tanah di wilayah pesisir, garam dapat berasal
6
dari air laut dengan berbagai cara seperti intrusi dari saluran irigasi, dan intrusi
dari sungai. Erfandi dan Rachman (2011) telah melaporkan tingkat salinitas
tanah sawah di wilayah pesisir utara kabupaten Indramayu terdiri atas salinitas
sangat tinggi (22.57%), tinggi (10.49%), sedang (8.54%), dan rendah (58.41%).
Kebanyakan lahan sawah yang diamati memiliki kandungan natrium sangat tinggi
dan EC pada kedalaman 0-30 cm berkisar antara 1.37-16.38 dS/m dan
kedalaman 30-70 m berkisar antara 1.11-17.40 dS/m. Tanah yang salinitasnya
tinggi hingga sangat tinggi secara umum cenderung dekat dengan laut sebagai
akibat adanya intrusi air laut secara intensif. Tanah-tanah tersebut memiliki
bahan induk dari sedimen laut dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas laut.
2.2 Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Efek salinitas terhadap lahan pertanian, dianggap sebagai ancaman serius
terhadap penyediaan pangan dunia saat ini dan akan datang. Lebih dari 7 %
atau 77 juta ha dari total lahan di dunia (930 juta ha), dan lebih dari 20 % lahan
pertanian saat ini telah mengalami salinisasi yang sebagiannya adalah lahan
beririgasi (Munns, 2002). Salah satu indikasi terukur dalam menetapkan suatu
lahan mengalami ancaman dan potensi salinitas adalah nilai electric conductivity
(EC) tanah dan air irigasi. Tanah sudah mengalami salinitas jika nilai ECe > 4
dS/m pada tanah (FAO, 2005).
Kondisi salin salah satu masalah yang sering dihadapi dalam
pembangunan pertanian di dataran rendah. Garam yang terlarut dalam tanah
merupakan unsur yang esensial bagi pertumbuhan tanaman, tapi kehadiran
larutan garam yang berlebih di dalam tanah akan meracuni tanaman (Yuniati,
2004). Salinitas menyebabkan bawang merah dapat berbunga lebih awal,
sedangkan salinitas menunda waktu berbunga pada tanaman tomat
(Pasternak et al., 1979 In Shannon, 1999).
Cekaman garam yang diakibatkan karena adanya garam-garam terlarut
yag berlebihan pada tanaman dapat berdampak hingga kematian pada tanaman.
Menurut Sipayung (2001), garam-garam yang dapat menimbulkan stress pada
tanaman antara lain natrium klorida (NaCl), natrium karbonat (NaCO 3), natrium
sulfat (Na2SO4) atau garam-garam dari magnesium (Mg).Akumulasi sejumlah
garam seperti klorida, sulfat, natrium klorida, dan magnesium klorida terjadi di
tanah salin, namun natrium klorida (NaCl) adalah yang dominan (Soepardi,
1983). Pertumbuhan tanaman umumnya terganggu pada tanah salin karena
keracunan ion natrium (Na).
7
Tingkat Konduktivitas
Pengaruh Terhadap Tanaman
Salinitas (dS m-1)
Non Salin 0–2 Dapat diabaikan
Rendah 2- 4 Tanaman yang peka terganggu
Sedang 4–8 Kebanyakan tanaman terganggu
Tinggi 8 – 16 Tanaman yang toleran belum terganggu
Hanya beberapa jenis tanaman yang
Sangat Tinggi >16
toleran yang dapat tubuh
Garam-garam terlarut penyebab salinitas dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dengan dua cara, yaitu (1) garam dalam tanah menarik
air menimbulkan potensi osmosis,sehingga daya serap akar tanaman terhadap
air berkurang, akibatnya pertumbuhantanaman terhambat karena kurang air, dan
(2) garam-garam terlarut mengandung ion-ionNa, dan Clyang bersifat racun bagi
tanaman. Ion-ion tersebut juga menyebabkannaiknya pH tanah, sehingga secara
tidak langsung hara Fe, P, Zn, dan Mn menjadi tidaktersedia bagi tanaman.
Setiap komoditas tanaman memiliki tingkat tolerasnsi dan reaksi yang
berbeda saat mengalami cekaman lingkungan, seperti tanggap, respon dan
mulcul gejala (Zeid, 2004). Tanah salin secara langsung dapat menurunkan
potensial air yang ada dalam tanaman yang mengakibatkan munculnya masalah
bagi tanaman yaitu masaah irigasi dan stress ion. Beberapa tanaman seperti
jagung, bawang merah, kubis dan kacang-kacangan sangat peka terhadap tanah
salin ( La Pena dan Hughes,2007). Setiap tanaman biasanya memiliki cara yang
berbeda untuk menghindari dari pengaruh cekaman lingkungan. Gejala awal
munculnya kerusakan tanaman oleh salinitas adalah : (i) warna daun kuning
kemerahan disbanding warna normal (klorosis); (ii) ukuran daun yang lebih kecil
(Munns, 2002).
2.3 Fase Pertumbuhan Tanaman Mentimun
Mentimun merupakan tanaman yang mampu beradaptasi pada berbagai
kondisi lingkungan. Di Indonesia mentimun dapat ditanaman di dataran rendah
hingga dataran tinggi sampai pada ketinggian ±1000 mdpl (Sumpena, 2001).
Tanaman mentimun dalam proses kehidupan mengalami fase jouvenil
(fase muda) relatif pendek. Pada umur 20-25 hari umumnya tanaman sudah
berbunga dalam bentuk calon bunga yang belum mekar. Apabila bunga pertama
8
dinding sel yang lunak dan lentur,sehingga pemanjangan dan pembesaran sel
dapat terjadi.
Hormon IAA disintesis oleh tryptophan yang merupakan precursor spesifik
yang dapat di sintesis oleh bakteri untuk memproduksi fitohormon. Tryptophan
adalah suatu sumber N bagi mikroorganisme yang terdapat didalam eksudat akar
dan bahan organic yang dapat dirubah menjadi hormon IAA.sintesis IAA yaitu
dengan cara denganmerubah tryptophan menjadi tryptamine oleh enzim
triptofan-dekarboksilase,kemudian tryptamine dirubah menjadi indole-3-
acetaldehyde oleh enzim aminoksidase, yang kemudian dirubah menjadi Indole-
acetid acid oleh enzimindole-acetal-dehid-dehidrogenasae (Thagavi,2009)
Hasil penelitian Aiman dkk., (2015) menyatakan bahwa pemberian PGPR
pada buncis perancis saat awal pertumbuhan mampu meningkatkan tinggi
tanaman Hal ini dikarenakan bahwa tanaman buncis perancis sudah mengalami
masa pertumbuhan vegetatif sehingga pada masa vegetatif tanaman sangat
membutuhkan hormon atau zat pengatur tumbuh guna sebagai pertumbuhannya.
Dewi (2008), melaporkan bahwa hormon Auksin yang terdapat pada embrio dan
meristem apical dan berfungsi untuk pemanjangan sel, sehingga hormon inilah
yang telah memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman.
Bakteri rhizosfer dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan
menurunkan kadar etilen. Etilen merupakan hormone pertumbuhan yang
berperan dalam mengatur beberapa respon fisiologis yang mempengaruhi
perkembangan akar dan menghambat pembentukan akar. Peningkatan
konsentrasi etilen dalam tanaman setelah perkecambahan dapat menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan bibit. Enzim yag berperan dalam mengontrol
konsentrasi etilen adalah ACC deaminase. ACC diaminase ialah enzim
sitoplasma yang diproduksi beberapa bakteri tanah untuk mendegradasi ACC
(precursor hormone etilen pada tanaman) menjasi ammonia dan α-ketobutirat
yang merupakan sumber N dan karbon bagi bakteri. Degradasi ACC oleh bakteri
penghasil ACC-diaminase mampu menghambat etilen (Ramirez dan
Jesus,2005).
ABA (asam absisat) merupakan hormone yang peting pada tanaman saat
terjadi cekaman fisiologis.Hormon ini merangsang penutupan stomata pada
epidermis daun dengan menurunkan tekanan osmotik dalam sel dan
menyebabkan turgor sel. Akibatnya, kehilangan cairan tanaman yang
disebabkan oleh transpirasi melalui stomata dapat dicegah. ABA yang dipasok
13
oleh akar sebagian berasal dari ujung akar dangkal yang mengalami defisit air
dan bahwa ABA berlaku sebagai isyarat bagi daun apabila air tanah mulai habis
(Kanget al., 2016). Stomata menutup sebagai responsnya terhadap ABA yang
berasal dari daun atau akar, sehingga terlindung dari kekeringan. Tentu saja,
karena fotosintesis hampir berhenti, pertumbuhan tajuk terhambat (untuk
mengurangi hilangnya air lebih lanjut).
Membuka menutupnya stomata diatur oleh dua sel penjaga, dimana
pergerakan pori stoma disebabkan oleh perubahan volume sel penjaga. Sel
penjaga stomatadiatur oleh keluar masuknya ion K+ dan ion-ion lainnya
kemudian terjadi penyerapan air secara osmotik serta pembukaan stomata.
Tetapi, ABA bekerja di luar membran plasma sel penjaga yang menyebabkan ion
K+ dan air merembes keluar atau tidak dapat masuk ke dalam membrane sel
penjaga, sehingga tugor sel penjaga berkurang dan stomata menutup ( Vu dan
Allen, 2009).Pengaplikasian PGPR pada kondisi salin menyebabkan akumulasi
ABA pada tanaman mentimun menurun jika dibandingkan dengan kondisi salin
tanpa aplikasi PGPR (Kang et al., 2016)
14
3.3 Hipotesis
4. METODE PENELITIAN
toleran salin yang dapat membantu peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman
mentimun.
dan 10-5 diambil sebanyak 100 µl dimasukkan kedalam petri yang telah berisi
media NA. Kemudian ekstrak tanah digoreskan ke permukaan media dan
diinkubasi selama ±24 jam. Pengamatan dilakuakan terhadap kolono bakteri
rhizosfer yang tumbuh pada media. Bakteri yang tumbuh kemudian dimurnikan
dengan cara dibiakan secara tunggal pada media biakan selektif yang baru.
Isolat murni bakteri yang tumbuh kemudian disimpan sebagai bahan untuk tahap
pengujian selanjutnya.
2. Seleksi Bakteri Rhizosfer Toleran terhadap Cekaman Salinitas secara In-vitro
Seleksi potensi bakteri rhizosfer toleran salin dilakukan menggunakan
media NA yang dikombinasikan dengan NaCl 5% ( ± 5 dS m -1)dan 10% (± 10 dS
m-1) sebagai media simulasi salin. Media in-vitro dibuat dengan melarutkan 12.5
g NaCl (untuk 5%) dan 25 g (untuk 10%) NaCl dengan 5 gr NA yang telah
ditimbang kedalam 250 ml aquadest steril. Sehingga akan terbentuk media NA
19
g, K2HPO4 8 g, KH2PO4 2 g, dan CaSO4 1,3 gram dicampur menjadi satu dan
digunakan sebagai stok media Burk Salt; (2) FeCl3 0,145 g dan Na2MoO4
0,0235 g di larutkan dalam 100 mL aquades dan dijadikan sebagai stok larutan
Fe-Mo. Sebanyak 1,3 gram media Burk Salt dicampur dengan 1 mL stok larutan
Fe-Mo lalu ditambahkan 2 g sukrosa, dan 1.5 g agar semua bahan tersebut
dilarutkan dalam 1000 mL aquades steril dan selanjutnya disterilisasi dengan
autoclave pada suhu 121oC selama 25 menit. Sebanyak 20 ml media Burk salt di
tuangkan pada cawan petri dan ditungu hingga media menjadi padat. Setalah
media padat sebanyak 1 ose isolat rizobakteri yang diuji digoreskan pada media
burkdan diinkubasi selama 48 jam dalam suhu ruang. Isolat positif sebagai
pemfiksasi nitrogen jika bakteri tersebut mampu tumbuh dalam media Burk Salt
yang ditandai dengan tumbuhnya bakteri pada media burk. Isolat yang tumbuh
diberi tanda + (positif), sedangkan yang tidak tumbuh diberi kode – (negatif).
6. Identifikasi Bakkteri Rhizosfer secara Molekuler
Identifikasi isolat bakteri rhizosfer terpilih dilakukan secara molekuler
dengan melakukan sekuensing terhadap gen 16S rRNA. Identifikasi secara
molekuler terdiri dari beberapa tahap yaitu isolasi DNA, amplifikasi gen 16S
rRNA dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing. Isolasi
DNA mengacu pada protokol Presto TM Mini gDNA Bacteria Kit. DNA hasil
isolasi diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan primer universal uinF (5’-
AGAGTTTGATCATGGGTCAG-3’) dan uinR (5’-TACGGCTACCTTGTTACGA-
3’). Amplifikasi dilakukan pada mesin PCR dengan tahap denaturasi pada suhu
95oC selama 1, anneling pada suhu 55 oC selama 1 menit dan elongation pada
suhu 72oC selama 5 menit. Hasil PCR kemudian divisualisasi menggunakan
elektroforesis pada gel agarose 1% yang telah ditambahkan etidium bomide dan
buffer TBE (Sambrook dan Russel, 2001). Selanjutnya, dilakukan sekuensing
oleh pihak perusahaan penyedia jasa sekuensing PT. Genetika Science
Indonesia, Jakarta. Hasil sekuensing digunakan untuk mencari padanan sekuens
16S rRNA yang homolog pada DNA database (GenBank) dengan menggunakan
program BLAST dari National Centre for Biotechnology Information (NCBI)
(Rustam, Giyanto, Wiyono, Santoso, dan Susanto, 2011).
4.3.3 Penelitian 2 ( Percobaan Rumah Kaca) Uji Potensi Bakteri Rhizosfer
pada Tanaman Mentimun
Percobaan di rumah kaca disusun menggunakan Rancanan Acak
Kelompok (RAK). Terdapat dua faktor perlakuan yang dikombinasikan yaitu
21
3. Persemaian Benih
Benih timun direndam kedalam air hangat selama 30 menit untuk
memecahkan dormansi. Benih yang telah direndam air hangat langsung
disemaikan pada kantong plastik kecil. Media persemaian adalah campuran
tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1. Benih disemaikan ke dalam plastik
(1 benih/plastik), kemudian disiram dan diletakkan di tempat yang teduh.
Penyiraman dilakukan setiap hari atau sesuai kondisi lapang dengan cara
penyemprotan menggunakan handsprayer.
4. Penanaman
Media tanam yang akan ditanami disiram terlebih dahulu sesuai kapasitas
lapang dan untuk memudahkan penanaman. Bibit mentimun di transplanting
setelah memiliki 2-3 helai daun. Dalam satu polybag di tanam 1 bibit.
5. Inokulasi Bakteri Rhizosfer
Pengaplikasian (inokulasi) bakteri rhizosfer pada tanaman mentimun
dilakukan sebnyaka tiga kali yaitu pada umur 7, 14 dan 21 hari setelah
transplanting. Inokulasi bakteri rhizosfer dilakukan dengan cara menyiramkan
suspensi bakteri rhizosfer sebanyak 20 ml ke dalam polibag atau daerah sekitar
perakaran. Hal ini bertujuan agar bakteri dapat berkolonisasi dengan akar
tanaman dengan lebih cepat. Waktu penyiraman dilakukan pada sore hari untuk
23
menghindari evaporasi dan suhu tinggi pada siang hari yang dapat
menyebabkan kematian pada bakteri rhizosfer.
6. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman mentimun meliputi penyiraman, penjarangan,
penyulaman, pemupukan, pewiwilan dan pengendalian gulma dan OPT pada
tanaman.Penyiraman dilakukan setiap 2 hari sekali atau melihat kondisi lapang
dengan volume sesuai kapasitas lapang. EC tanah diamati secara berkala setiap
satu minggu sekali untuk memastikan EC pada tanah tetap pada kondisi salin
yaitu 5.4 dS m-1. Penyulaman dilakukan dengan mengganti tanaman yang mati,
rusak atau kurang baik pertumbuhannya dengan bibit baru yang telah
dipersiapkan sebagai cadangan. Penyulaman dilakukan pada 7 HST. Dan
penjarangan juga dilakukan pada 7 HST dengan mencabut satu tanaman pada
polybag.
Pemupukan dilakukan sebnayak dua kali yaiu pada 7 hst dan 14 hst
menggunakan pupuk NPK 16:16:16 dengan dosis rekomendasi 600 kg h-1
(Suwarno et al., 2013)Pemasangan ajir dilakukan pada saat tanaman berumur 7
HST (tinggi tanaman sekitar 10-15 cm) dengan menggunakan bambu berukuran
panjang 100 cm yang ditancapkan disamping tanaman dan diikat dengan tali
rafia. Jarak ajir dengan tanaman sekitar 5 cm.
Pewiwilan merupakan kegiatan membuang tunas-tunas yang tumbuh
pada ketiak daun. Pewiwilan dilakukan pada saat tunas disekitar ketiak daun
mulai tumbuh. Fungsi dari pewiwilan adalah untuk merangsang pertumbuhan
tanaman. Penyiangan gulma dilakukan apabila terdapat gulma yang tumbuh,
yang dilakukan secara manual sesuai sesuai kondisi di lapangan. Pengendalian
hama dan penyakit dilakukan secara mekanik, namun saat terjadi peningkatan
serangan maka pengendalian secara kimia dilakukan dengan dosis yang sesuai
dengan tingkat serangan OPT. Hal ini untuk menghindari kerusakan yang lebih
parah agar tanaman dapat bertahan hingga waktu panen.
7. Pengamatan Tanaman Mentimun
Pengamatan dilakukan pada parameter pertumbuhan dan hasil serta
beberapa paremeter fisiologis tanaman, untuk melihat mengaruh dari perlakuan.
Pengamatan pada tanaman tomat dilakukan dengan cara non destruktif,
destruktif dan panen. Parameter yang diamati antara lain :
24
a. Panjang Tanaman
Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur tinggi tanaman menggunakan
penggaris. Pengamatan dilakukan pada 7 hst, 14 hst, 21 hst dan 28 hst. Hasil
pengkuran tinggi tanaman dinyatakan dalam satuan cm.
b. Jumlah Daun
Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah daun yang telah
membuka secara sempurna. Pengamatan dilakukan pada 7 hst, 14 hst, 21 hst
dan 28 hst. Jumlah daun per tanaman dinyatakan dalam satuan helai per
tanaman.
c. Luas Daun
Pengamatan luas daun dilakukan pada umur 21hst (Akhir fase Vegetatif) .
Pengamatan dilakukan secara non destruktif yaitu dengan cara menggunakan
metode faktor koreksi, yaitu dengan mengukur panjang maksimun dan lebar
maksimun daun mentimun menggunkan penggaris. Luas Daun (LD) per Daun
dihitung menggunkan rumus p x l x Konstanta. Luas daun Per tanaman
dihitung dengan rumus Luas Daun per Daun x Jumlah Daun.
d. Bobot Kering Tanaman
Pengamatan luas daun dilakukan pada saat panen. Dengan cara memisahkan
bagian daun, batang, dan akar kemudian dikeringkan pada suhu sekitar 80 oC
hingga diperoleh bobot kering konstan. Hasil pengukuran bobot kering
dinyatakan dalam satuan g per tanaman.
e. Panjang Akar
Pengamatan panjang akar dilakukan pada saat panen Akar yang akan diamati
dicabut dari dalam tanah, kemudian dipotong dari mulai pangkal batang
hingga ujung akar. Akar dibersihkan dari sisa tanah dengan cara disiram
menggunakan air mengalir. Pengamatan panjang akar dilakukan dengan cara
mengukur panjang akar utama dari pangkal hingga ujung akar secara
horizontal menggunakan penggaris. Hasil pengukuran panjang akar
dinyatakan dalam satuan cm.
f. Kadar Prolin Daun
Analisis prolin daun diukur menggunakan metode dari Bates et al., (1973)
(Lampiran 5), pada saat tanaman berumur 21 hst (Vegetatif Maksimum).
g. Kandungan Klorofil Daun
Uji kandungan klorofil daun mengacu pada metode Kurniawanet al., (2010)
dengan sedikit modifikasi teknis. Dipilih daun yang berwarna hijau dan segar,
25
konsentrasi NaCl ditandai dengan ketebalan koloni yang tumbuh pada masing-
masing media. Satu diantara bakteri rhizosfer yang menunjukkan pertumbuhan
yang baik pada kondisi cekaman salinitas yaitu bakteri dengan kode isolate SN
22 yang ditampilkan pada Gambar 5.
(a) (b)
Gambar 5. Pertumbuhan Koloni Bakteri Rhizosfer pada Media Na + NaCl
Konsentrasi (a) 5% dan (b) 10%.
(a) (b)
Gambar 6.Reaksi positif ditandai dengan gejala nekrosis dan kering disekitar
area daun yang diinfiltrasi bakteri (a), sedangkan reaksi negative
tidak ditandai gejala nekrosis dan kering pada daun tembakau (b).
15 SN 22 Negatif
16 SN 25 Negatif
(a) (b)
Gambar 8.Uji Penambat Nitrogen Menggunakan Media Burk (a) Uji pada kode
isolat SN 1, SN 2 dan SN 6, (b) Uji pada Kode Isolat SN 15, SN 22,
SN 23 dan SN 26
jenis bakteri gram positif.Hasil tersebut juga dibuktikan dalam tahap pengujian
gram menggunakan larutan KOH 3%.Bakteri gram positif memiliki ciri apabila
koloni yang dicampurkan dengan larutan KOH 3% tidak membentuk lendir ketika
ditarik menggunakan jarum ose.Hasil pengujian bakteri gram negatif
menggunakan KOH 3% tampak pada Gambar 9.
Kode
Spesies Identity (%) E-Value Max score
Isolat
SN 22 Bacilus megaterium 99 0 2531
33
dengan aplikasi bakteri 22.5 dan 30 ml L-1. Pada tanah salin, aplikasi bakteri
dengan konsentrasi 22.5 ml L-1 mampu meningkatkan panjang tanaman sebesar
16.6 % dibandingkan dengan tanpa aplikasi bakteri. Perlakuan tanah salin
aplikasi bakteri 7.5 dan 15 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah
salin tanpa aplikasi bakteri bakteri. Dan perlakuan tanah salin dengan aplikasi
bakteri 22.5 dan 30 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin
aplikasi bakteri 7.5 dan 15 ml L-1.
Pada pengamatan 14 hst perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri
mampu menurukan panjang tanaman mencapai 49.2 % jika dibandingkan
dengan perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi bakteri rhizosfer. PadaTabel8
menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan tanah non-salin
dengan beberapa konsentrasi bakteri rhizosfer dan tanah salin dengan aplikasi
bakteri rhizosfer pada beberapa konsentrasi.Perlakuan aplikasi bakteri rhizosfer
dengan konsentrasi 30 ml L-1 dapat meningkatkan panjang tanaman mencapai
15.9 % dibandingkan dengan perlakuan tanpa apliaksi bakteri pada tanah non
salin. Perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 ml L-1 tidak
berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri. Perlakuan
tanah non salin aplikasi bakteri 30 ml L-1tidak berbeda nyata dengan perlakuan
tanah non salin aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 ml L -1.Pada perlakuan tanah
salin, aplikasi bakteri 15 ml L-1 dapat meningkatkan panjang tanaman sebesar
23.6 % dan apliaksi bakteri rhizosfer 30 ml L -1 29 % jika dibandingkan dengan
perlakuan tanpa aplikasi bakteri rhizosfer. Sedangkan aplikasi bakteri rhizosfer
dengan konsentrasi 7.5 ml L-1 tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata
dibandingkan dengan tanpa aplikasi bakteri rhizosfer.Perlakuan tanah salin
aplikasi bakteri 15 dan 22.5 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah
salin aplikasi bakteri 7.5 ml L-1.
Pada pengamatan 21 hst perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri
mampu menghambat pertumbuhan panjang tanaman dengan rata-rata panjang
tanaman 15.1 cm. Aplikasi bakteri dengan konsentrasi 22.5 ml L -1 mampu
meningkatkan panjang tanaman mencapai 11.3 % dibandingkan dengan tanpa
aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah non salin.Perlakuan tanah non salin
aplikassi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan
tanah non salin aplikasi bakteri 30 ml L -1.Perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi
bakteri tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 7.5
dan 15 ml L-1.Aplikasi bakteri pada tanah salin, dengan konsentrasi 22.5 ml L-
35
1
mampu meningkatkan panjang tanaman sebesar 36.4 % dibandingkan dengan
perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri.Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri
15 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan aplikasi bakeri 7.5 ml L -1dan tanpa aplikasi
bakteri. Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 22.5 ml L -1 tidak berbeda nyata
dengan aplikasi bakteri 15 dan 30 ml L-1.
Pada pengamatan 28 hst perlakuan tanah non salinaplikasi bakteri
dengan konsentrasi 22.5 ml L-1 dapat meningkatkan panjang tanaman mentimun
mencapai 6.07 % jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa aplikasi bakteri
rhizosfer.Perlakuan aplikasi bakteri 7.5 dan 15 ml L-1 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi bakteri. Perlakuan tanah non salin
aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah
non salin aplikasi bakteri 30 ml L-1.Salinitas mampu mengambat pertumbuhan
panjang tanaman. namun dengan aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi
15 ml L-1 dapat meningkatkan panjang tanaman sebesar 50,54 % jika
dibandingkan dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri. Perlakuan
aplikasi bakteri 22.5 ml L-1 mampu meningkatkan panjang tanaman 22.1 % jika
dibandigkan dengan aplikasi bakteri 15 ml L-1. Perlakuan tanah salin aplikasi
bakteri 22.5 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 30
ml L-1.Dan perlaukan aplikasi bakteri 7.5 ml L -1 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri.
b. Jumlah Daun
Hasil Analisis ragam terhadap parameter jumlah daun pada umur 7, 14,
21, dan 28 hst menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan kombinasi
tanah non salin dengan beberapa konsentrasi bakteri dan aplikasi bakteri dengan
beberapa konsentrasi pada tanah salin.Tabel8menunjukkan adanya
penambahan jumlah daun pada perlakuan tanah salin dengan beberapa
konsentrasi bakteri. Rata-rata jumlah daun mentimun dapat disajikan
padaTabel9.
Pada parameter jumlah daun perlakuan tanah salin secara umum mampu
mnurunkan jumlah daun pada tanaman mentimun pada pengamatan 7, 14, 21
dan 28 hst.Tabel9 menunjukkan pemberian konsentrasi bakteri rhizosfer pada
tanah non salin tidak berpengaruh tehadap jumlah daun pada umur 7, 14, 21 dan
28 hst. Namun pada tanah salin aplikasi bakteri rhizosrer dapat meningkatkan
jumlah daun pada tanaman. Pada pengamatan 7 hst, aplikasi bakteri rhizosfer
dengan konsentrasi 15 ml L-1 mampu meningkatkan jumlah daun sebesar
36
14.4%.Pada tanah salin aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5 ml L -1 tidak berbeda
nyata dengan aplikasi bakteri 30 ml L-1.
Pada perlakuan tanah non salin menunjukkan rata- rata nilai kandungan
prolin tidak berbeda nyata. Pemberian bakteri rhizosfer pada tanah salin dengan
konsentrasi tinggi yaitu 30 ml L -1 dapat menurunkan kandungan prolin pada
tanaman sebesar 4.8 % jika dibandingkan dengan aplikasi bakteri konsentrasi
22.5 ml L-1. Pada tanah salin semakin tinggi konsentrasi bakteri yang
diaplikasikan pada tanaman, semakin rendah kandungan prolinnya. Pada tanah
salin pemberian konsentrsi bakteri 7.5 ml L-1mampu menurunkan kandungan
proline sebesar 41 % jika dibandingkan dengan tanpa pemberian bakteri
rhizosfer.
Tabel 11.Rata-rata Kandungan Klorofil dan Proline Daun Tanaman Hasil Perlakuan
Bakteri Rhizosfer pada Tanah Non-Salin dan Tanah Salin
Kandungan Klorofil Kandungan Proline
Perlakuan Daun pada Umur 28 Daun pada Umur 28
HST (mg g-1) HST (mmol)
Tanah Non-Salin, 0 ml L-1 6.64 c 75.56 b
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L-1 7.83 d 63.66 a
Tanah Non-Salin, 15 ml L-1 6.87 cd 76.15 b
-1
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L 7.36 d 65.60 ab
-1
Tanah Non-Salin, 30 ml L 7.58 d 65.07 ab
Tanah Salin, 0 ml L-1 4.61 a 189.70 g
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 4.77 ab 110.70 f
-1
Tanah Salin, 15 ml L 5.42 b 104.00 e
Tanah Salin, 22.5 ml L-1 5.64 b 96.88 d
-1
Tanah Salin, 30 ml L 5.71 b 92.20 c
BNT 5% 0.48 3.51
KK 2.03 1.79
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang diikuti oleh huruf yang sama, pada
kolom umur pengamatan dan perlakuan yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT 5%.
Pengamatan panjang akar yang dilakukan pada saat panen atau 56 hst,
perlakuan aplikasi bakteri rhizosfer tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata
pada tanah non salin, namunpada tanah salin dengan aplikasi bakteri rhizosfer
konsentrasi 7.5, 15, 22.5 dan 30 ml L-1 mampu meningkatkan panjang akar pada
tanaman jika dibandingkan dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri.
Perlakuan tanah salin dengan aplikasi bakteri konsentrasi 7.5 ml L -1 mampu
meningkatkan panjang akar 54.9 % dibandingkan dengan tanpa aplikasi bakteri
rhizosfer. Pada aplikasi bakteri dengan konsentrasi 22.5 ml L -1 mampu
meningkatkan panjang akar 24.8 % dibandingkan dengan konsentrasi 7.5 ml L-1.
Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 15, 22.5 dan 30 ml L-1 memiliki nilai rata-
rata yang tidak berbeda nyata.
Tabel 12.Rata-rata Panjang Akar, Bobot Kering Tajuk dan Bobot Kering Akar
Tanaman Hasil Perlakuan Bakteri Rhizosfer pada Tanah Non-Salin
dan Tanah Salin
tanaman. Pengamatan pada tanah non salin tanpa aplikasi bakteri rhizosfer
memiliki rata-rata berat kering tajuk sesebsar 31. 53g dan berat kering pada
tanah non salin dengan aplikasi bakteri konsentrasi 30 ml L-1 sebesar 36.06 g.
Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan berat kering tajuk tanaman
sebesar 12.5 %. Perlakuan aplikasi bakteripada tanah non salin konsentrasi 7.5,
15, 22.5 dan 30 ml L-1memiliki nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata.Perlakuan
tanah non salin aplikasi bakteri 15 dan 7.5 ml L -1memiliki rata-rata yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi
bakteri.Perlakuan tanah salin dengan aplikasi bakteri rhizosfer konsentrasi 7.5 ml
L-1mampu meningkatkan bobot kering tajuk tanaman sebesar 75 %.Jika
dibandingkan dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri. Aplikasi
bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 30 ml L-1 meningkatkan berat kering
tanaman mencapai 29.1 % dibandingkan dengan konsentrasi bakteri 7.5 ml L -1
pada tanah salin. Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 15, 22.5 dan 30 ml L -1
memiliki rata-rata bobot kering tajuk tanaman yang tidak berbeda nyata.
jumlah bunga betina dan fruit set menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar
perlakuan kombinasi tanah non salin dengan beberapa konsentrasi bakteri dan
menunjukkan adanya penambahan jumlah daun pada perlakuan tanah salin
dengan beberapa konsentrasi bakteri. Rata-rata jumlah bunga jantandisajikan
pada Tabel 13 dan rata-rata jumlah bunga betina dan fruit set mentimun dapat
disajikan pada Tabel 14.
Pada Tabel 13 menunjukkan pemberian konsentrasi bakteri rhizosfer
pada tanah non salin tidak berpengaruh tehadap parameter jumlah bunga
jantan. Namun pada tanah salin aplikasi bakteri rhizosref dapat meningkatkan
jumlah bunga jantan pada tanaman. Aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi
15ml L-1 mampu meningkatkan jumlah bunga jantan sebesar 52.2 % jika
dibandingkan dengan perlakuan tanah salin tanpa aplikasi bakteri. Aplikasi
bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 30 ml L-1 mampu meningkatkan jumlah
bunga jantan sebesar 33.3 % jika dibandingkan dengan perlakuan tanah salin
dengan aplikasi bakteri konsentrasi 15 ml L-1. Perlakuan tanah salin aplikasi
bakteri 22.5ml L-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah salin aplikasi
bakteri 15 dan 30 ml L-1.
42
Tabel 13.Rata-rata Jumlah Bunga Hasil Perlakuan Bakteri Rhizosfer pada Tanah
Non-Salin dan Tanah Salin
Perlakuan Bunga Jantan
-1
Tanah Non-Salin, 0 ml L 24.11 d
-1
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L 24.22 d
-1
Tanah Non-Salin, 15 ml L 24.44 d
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L-1 26.56 d
-1
Tanah Non-Salin, 30 ml L 27.00 d
-1
Tanah Salin, 0 ml L 4.78 a
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 7.67 ab
-1
Tanah Salin, 15 ml L 10.00 b
-1
Tanah Salin, 22.5 ml L 12.22 bc
Tanah Salin, 30 ml L-1 15.00 c
BNT 5% 3.25
KK 10.83
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang diikuti oleh huruf yang sama, pada
kolom umur pengamatan dan perlakuan yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT 5%.
Data yang disajikan pada Tabel 14 menunjukkan rata-rata jumlah bunga
betina pada tanaman mentimun bebeda nyata.Perlakuan salinitas mampu
menurunkan jumlah bunga betina pada tanaman mentimun.Aplikasi bakteri pada
tanah non salin memiliki rata-rata jumlah bunga betina yang tidak berbeda
nyata.Sedangkan aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah salin mampu
menunjukkan peningkatan jumlah bunga betina pada tanaman mentimun. Pada
perlakuan tanah salin dengan aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 22.5
ml L-1 mampu meningkatkan jumlah bunga betina 32.2 % jika dibandingkan
dengan perlakuan tanah salin dengan konsnetrasi bakteri 7.5 ml L -1. Pada
pelakuan tanah slain dengan aplikasi bekteri rhizofer konsentrasi 30 ml L -1 dapat
meningkatkan jumlah bunga betina sebesar 20.9 % dibandingkan dengan
aplikasi bakteri pada konsentrasi 22.5 ml L-1.
Pada pengamatan fruit setyang disajikan pada Tabel 14 menunjukkan rata-
rata jumlah fruit set pada tanaman mentimun bebeda nyata. Aplikasi bakteri pada
tanah non salin memiliki rata-rata fruit set yang tidak berbeda nyata. Sedangkan
aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah salin mampu menunjukkan peningkatan
jumlah fruit set pada tanaman mentimun. Pada perlakuan tanah salin dengan
aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 22.5 ml L-1 mampu meningkatkan
fruit set.2.4 % jika dibandingkan dengan perlakuan tanah salin dengan
43
konsentrasi bakteri 7.5 ml L-1. Pada pelakuan tanah slain dengan aplikasi bekteri
rhizofer konsentrasi 30 ml L-1dapat meningkatkan fruit set sebesar 4.2 %
dibandingkan dengan aplikasi bakteri pada konsentrasi 22.5 ml L-1. Perlakuan
tanah salin aplikasi bakteri 15 ml L -1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan
tanah salin aplikasi bakteri 22.5 ml L-1.
Tabel 14.Rata-rata Jumlah Bunga Betina dan Fruit set hasil transformasi Hasil
Perlakuan Bakteri Rhizosfer pada Tanah Non-Salin dan Tanah Salin
Perlakuan Bunga Betina Fruit set (%)
-1
Tanah Non-Salin, 0 ml L 6.89 (2.72) d 79.88 (2.45) e
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L-1 7.67 (2.85) d 74.42 (2.48) e
-1
Tanah Non-Salin, 15 ml L 7.56 (2.84) d 71.74 (2.41) e
-1
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L 7.89 (2.89) d 68.14 (2.41) e
Tanah Non-Salin, 30 ml L-1 7.78 (2.87) d 74.68 (2.48) e
-1
Tanah Salin, 0 ml L 0.00 (0.71) a 0.00 (0.71) a
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 2.56 (1.75) b 66.02 (1.47) b
-1
Tanah Salin, 15 ml L 3.44 (1.98) c 67.65 (1.68) c
-1
Tanah Salin, 22.5 ml L 3.78 (2.07) c 66.67 (1.73) c
-1
Tanah Salin, 30 ml L 4.78 (2.30) d 69.95 (1.96) d
BNT 5% 0.20 0.16
KK 5.20 4.65
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang berada di dalam kurung dan diikuti
oleh huruf yang sama, pada kolom umur pengamatan dan perlakuan yang
sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%.Angka yang berada di
dalam kurung merupakan angka hasil transformasi.
g. Pengamatan Panen
Hasil Analisis ragam terhadap jumlah buah per tanaman, bobot buah per
buah dan bobot buah per tanaman menunjukkan hasil yang berbeda nyata
terhadap perlakuan tanah non salin dan tanah salin dengan aplikasi bakteri
Rata-rata terhadap jumlah buah per tanaman, bobot buah per buah dan bobot
buah per tanaman mentimun dapat disajikan pada Tabel 15.
Data yang disajikan pada Tabel 15 menunjukkan rata-rata jumlah buat per
tanaman pada tanaman mentimun bebeda nyata.Perlakuan tanah salin tapa
aplikasi bakteri memberikan pengaruh terhadap produksi tanaman
mentimun.Salinitas menyebabkan tanaman tidak mampu berproduksi, namun
44
Tabel 15.Rata-rata Jumlah Buah per Tanaman, Bobot Buah per Buah dan Bobot
Buah Per Tanaman Hasil Perlakuan Bakteri Rhizosfer pada Tanah
Non-Salin dan Tanah Salin
Jumlah Buah Bobot Buah
Bobot Buah
Perlakuan per Tanaman per Tanaman
per Buah (g)
(buah) (g)
Tanah Non-Salin, 0 ml L-1 5.50(2.45) e 189.44(13.8)e 757.74(27.2) d
-1
Tanah Non-Salin, 7.5 ml L 5.67 (2.48) e 187.19(13.7)e 748.74(27.3) d
-1
Tanah Non-Salin, 15 ml L 5.33(2.41) e 205.76(14.3)ef 823.05(28.6)de
Tanah Non-Salin, 22.5 ml L-1 5.33(2.41) e 223.12(14.9) f 892.48 (29.8)e
-1
Tanah Non-Salin, 30 ml L 5.67(2.48) e 221.98(14.9) f 887.93(29.7) e
-1
Tanah Salin, 0 ml L 0.00(0.71) a 0.00(0.71) a 0.00(0.71) a
-1
Tanah Salin, 7.5 ml L 1.67(1.47) b 90.82(9.55) b 181.63 (13.5) b
Tanah Salin, 15 ml L-1 2.33(1.68) c 101.91(10.1) b 203.81(14.3)b
-1
Tanah Salin, 22.5 ml L 2.50(1.73) c 114.75 (10.7)c 229.50(15.1) b
-1
Tanah Salin, 30 ml L 3.33(1.96) d 155.1(12.4) d 310.22(17.6) c
BNT 5% 0.15 0.94 100.81
KK 4.65 4.56 11.81
Keterangan : hst= Hari Setelah Tanam, tn = Tidak Nyata, BNT = Beda Nyata Terkecil, KK
= Koefisien Keragaman. Bilangan yang berada di dalam kurung dan diikuti
oleh huruf yang sama, pada kolom umur pengamatan dan perlakuan yang
sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%.Angka yang berada di
dalam kurung merupakan angka hasil transformasi.
Pada pengamatan bobot buah per tanaman aplikasi bakteri rhizosfer dengan
beberapa konsentrasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata.Semakin tinggi
konsentrasi bakteri rhizosfer yang diaplikasikan pada tanah non salin dan tanah
salin semakin meningkatkan bobot buah per tanaman. Pengamatan pada tanah
non salin tanpa aplikasi bakteri rhizosfer memiliki rata-rata bobot buah per
tanaman sesebsar 757.74 g dan berat buah per tanaman pada tanah non salin
dengan aplikasi bakteri 22.5 ml L-1 sebesar 892.48 g. Data tersebut menunjukkan
peningkatan bobot buah per tanaman sebesar 16.1 %. Perlakuan tanah non salin
aplikasi bakteri 15 dan 7.5 ml L -1 memiliki rata-rata bobot buah per buah yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi bakteri.
Aplikasi bakteri rhizosfer juga menunjukkan respon yang sama pada tanah salin.
Aplikasi bakteri rhizosfer dengan konsentrasi 30 ml L-1 meningkatkan bobot buah
per tanaman mencapai 41.4 % dibandingkan dengan konsentrasi bakteri 7.5 ml
L-1. Perlakuan tanah salin dengan konsentrasi 7.5, 15 dan 22.5 ml L-1 memiliki
nilai rata-rata jumlah buah per tanaman yang tidak berbeda nyata.
46
Data yang disajikan pada Tabel 16 menunjukan nilai rata-rata diameter buah
mentimun.Pada pengamatan diameter buah aplikasi bakteri rhizosfer dengan
beberapa konsentrasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata.Semakin tinggi
konsentrasi bakteri rhizosfer yang di aplikasikan pada tanah non salin dan tanah
salin semakin meningkatkan diameter buah. Pengamatan pada tanah non salin
dengan aplikasi bakteri rhizosfer 30 ml L-1 dapat meningkatkan diameter buah
sebesar 7.7 % dibandingkan dengan perlakuan tanah non salin tanpa aplikasi
bakteri rhizosfer. Perlakuan tanah non salin aplikasi bakteri 7.5, 15 dan 22.5
memiliki rata-rata diameter buah yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan
tanah non salin aplikasi bakteri 30 ml L-1.
Pada perlakuan tanah salin dengan aplikasi bakteri rhizosfer dengan
konsentrasi 15 ml L-1 mampu meningkatkan panjang buah sebesar 12.9 % jika
dibandingkan dengan perlakuan tanah salin dengan konsentrasi bakteri 7.5 ml L-
47
1
. Pada pelakuan tanah salin dengan aplikasi bekteri rhizofer konsentrasi 30 ml L -
1
dapat meningkatkan panjang buah mecapai 10.3 % dibandingkan dengan
aplikasi bakteri pada konsentrasi 15 ml L -1. Perlakuan tanah salin aplikasi bakteri
22.5 ml L-1 memiliki rata-rata diameter buah yang tidak berbeda nyata dengan
perlakuan tanah salin aplikasi bakteri 15 dan 30 ml L-1.
Tabel 16.Rata-rata Panjang Buah dan Diameter Buah Hasil Perlakuan Bakteri
Rhizosfer pada Tanah Non-Salin dan Tanah Salin
5.3 Pembahasan
5.3.1Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Bakteri Rhizosfer terhadap
Pertumbuhan Tanaman Mentimun
Pada penelitian ini salinitas memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan tanaman mentimun.Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah non salin dan tanah salin mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman mentimun.Pemberian beberapa
konsentrasi bakteri rhizosfer baik pada tanah non salin maupun tanah salin
memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman mentimun yaitu,
parameter panjang tanaman (Tabel 6), jumlah daun (Tabel 7), luas daun (Tabel
8), panjang akar (Tabel 10) dan bobot kering tanaman (Tabel 10). Dari hasil
penelitian pertumbuhan tanaman yang ditanaman pada kondisi non salin memiliki
48
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada
kondisi salin.
. Secara umum pertumbuhan tanaman mentimun yang ditanam pada
tanah salin memiliki persentase pertumbuhan yang lebih rendah dengan
tanaman mentimun yang ditanam pada tanah non salin.Penurunan pertumbuhan
tanaman seperti panjang tanaman, jumlah daun, panjang akar, bobot kering tajuk
dan bobot kering akar diakibatkan karena keterbatasan persediaan air dan bahan
organik dalam jaringan tanaman. Penurunan jumlah air mengakibatkan tekanan
tugor akar menurun, sehingga pemanjangan dan pembesaran sel juga akan
terhambatkarena tekanan tugor dipengaruhi oleh keseimbangan airdalam
tanaman (Gardner et al., 1991).Minimnya ketersediaan air akan menghambat
pertumbuhan tanamankarena keseimbangan air dalam tanaman menurun. Selain
itu, pada kondisi cekaman tanaman mengalami keterbatasan dalam penyerapan
nutrisi sehingga berakibat pada pertumbuhan tanamanseperti tinggi tanaman dan
jumlah daun (Gardner et al., 1991).
Hasil penelitian menunjukkan pada perlakuan tanah non salin memiliki
rata-rata tinggi tanaman dan jumlah daun yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan tanaman yang ditanam pada tanah salin.Hasil penelitian yang dilakukan
Adalzon et al., (2013) menunjukkan bahwa perlakuan salinitas dapat
menurunkan tinggi tanaman tomat tanaman sebesar 13.4 % jika dibandingkan
dengan perlakuan tanpa cekaman salinitas. Aplikasi bakteri rhizosfer pada tanah
non salin dan tanah salin dengan konsentrasi bakteri rhizosfer 7.5, 15, 22.5 dan
30 ml L-1 berpengaruh nyata tehadap nilai rata-rata panjang tanaman. Pada
pengamatan 7, 14, 21 dan 28 hst aplikasi bakteri dengan konsentrasi bakteri 30
ml L-1 dapat meningkatkan panjang tanaman baik pada tanah salin maupun
tanah non salin. Pengamatan ada parameter jumlah daun, perlakuan aplikasi
konsentrasi bakteri rhizosfer pada tanah non salin memiliki nilai rata-rata jumlah
daun yang tidak berbeda nyata, berbeda dengan respon tanaman yang
ditanaman pada tanah salin dengan konsentrasi bakteri 22.5 dan 30 ml L-1
mampu meningkatkan jumlah daun tanaman mentimun.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Widawati (2015),
aplikasi Bacillus megateriumsebagai PGPR pada lahan salin mampu
meningkatkan tinggi tanaman padipada kondisi salin.Hal ini dapat dikaitkan
dengan peran bakteri sebagai biostimulan dan biofertilizer.Peran bakteri rhizosfer
sebagai biostimulan dibutikan pada hasil uji hormon IAA.Salah satu fungsi
49
menghambat serapan air dan unsur hara. Hal ini mengakibatkan tanaman
kekurangan unsur hara dan air sehingga sintesis klorofil terhambat.
Hasil penelitian yang dilakukan olh Nadeem et al.(2006),penurunan
kandungan klorofil pada tanaman jagung disebabkan karena pada saat tanaman
mengalami stres garam mampu menurunkan pigmen klorofil jagung, tetapi
dengan inokulasi bakteri mampu meningkatkan pigmen klorofil. Hal ini diduga
ada kaitannya dengan peran bakteri sebagai biofertilizer yang mampu
memfiksasi niktorgen bebas.Nitrogen merupakan komponen penyusun
klorofil.Sitompul dan Guritno (1995) menjelaskan bahwa nitrogen merupakan
salah satu komponen utama pembentukan klorofil daun, dimana 60 % dari
komponen penyusun klorofil adalah nitrogen.Tanaman yang kebutuhan
nitrogennya terpenuhi akan memiliki kandungan klorofil daun yang optimal, yang
selanjutnya laju fotosintesis dapat berlangsung secara optimal pula. Fotosintat
yang dihasilkan dari hasi fotosintesis akan meningkatkan tinggi tanaman, jumlah
daun dan luas daun.
Pada kondisi cekaman salinitas tanaman memiliki kandungan prolin yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan dengan tanaman yang ditanam pada
kondisi tidak tercekam salinitas.Aplikasi mikroorganisme diharapkan mampu
meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas. Dari hasil
penelitian pada kondisi salinitas dengan aplikasi bakteri rhizosfer dengan
konsentrasi 15, 22.5 dan 30 ml L-1 mampu menurunkan kadar prolin pada daun
mentimun. Hal ini menujukkan bahwa bakteri rhizosfer efektif dalam membantu
tanaman untuk lebih toleran terhadap cekaman salinitas. Saat kondisi cekaman
salinitas daun tanaman akan memproduksi asam amino yang berlebihan dimana
asam amino ini berfungsi sebagai substrat selama respiasi dan sumber energi
selama tanaman tercekam. Hasil penelitian menunjukkan tanaman mentimun
yang ditanam pada kondisi non salin memiliki kandungan prolin yang rendah di
bandingkan dengan tanaman yang ditanam pada kondisi salin. Tanaman yang
berada dibawah cekaman kekeringan, salinitas dan temperatur rendah akan
memproduksi metabolit secara aktif sebagai bentuk pertahanan dan bentuk
adaptasi terhadap kondisi cekaman lingkungan, metabolit yang diproduksi
tanaman saat terjadi cekaman lingkungan diantaranya adalah prolin (Maggioet
al., 2002). Akumulasi asam amino dan prolin dalam sel tanaman merupakan
bentuk reaksi tanaman terhadap cekaman dan defisiensi air.
51
apabila dibandingkan dengan tanpa aplikasai bakteri rhizosfer pada tana non
salin maupun tanah salin. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Kang et al., (2014) menunjukkan peningkatan bobot kering pada tanaman
mentimun mencapai 21.9 % pada kondisi salinitas dengan aplikasi bakteri
Bacillus sp. Menurut Gardner et al., (2003), menyatakan bahwa fotosintesis
akan memproduksi asimilat yang akan diakumulasikan dalam bentuk bahan
kering tanaman. Nitrogen yang berhasil difiksasi oleh Bacillus megateriumakan
meningkatkan pasokan nitrogen pada tanaman, yang kemudian akan
meningkatkan kandungan klorofil daun. Kandungan klorofil yang tinggi pada
tanaman akan meningkatkan laju fotosintesis tanaman. Semakin tinggi laju
fotosintesis tanaman makan semakin tinggi asimilat yang dihasilkan dan di
translokasikan pada bagian tanaman seperti panjang tanaman, jumlah daun dan
luas daun. Sehingga bobot kering tanaman juga akan meningkat karena
meningkatnya organ vegetatif tanaman.
Salinitas juga menyebabkan terganggunya pertumbuhan sel pada
perakaran yang mengakibatkan menurunnya fungsi perakaran.Apabila fungsi
perakarannya menurun , maka penyerapan unsur hara juga akan terganggu.
Efeknya adalah tanaman dapat kekurangan pasokan hara dan air dan
selanjutnya pertumbuhan tanaman akan terganggu bahkan berdampak hingga
kematian pada tanaman. Tanaman yang stes garam mempunyai daun lebih
sempit, lebih gelap, menurunkan nisbah tajuk dan akar, berkurangnya anakan,
memperpanjang dormansi kuncup samping, menunda dan menurunkan
pembungaan dan jumlah dan ukuran buah lebih kecil (Harjadi dan Yahya,
1988).Hal ini juga di buktikan pada penelitian Suwigyono et al. (2008) pada
tanaman jagung dengan pemberian salinitas sekitar 7 dS m-1 dapat menurunkan
berat kering tanaman antara 30,99 % sampai 31,12 %.
Aplikasi bakteri rhizosfer mampu membantu tanaman dalam menambat
nitrogen bebas dari atmosfer dan mengubahnya menjadi bentuk yang tersedia
bagi tanaman. Pada fase pertumbuhan tanaman nitrogen berfungsi untuk
membantu pembentukan fotosintat yang selanjutnya akan digunakan untuk
membentuk sel-sel baru, perbanjangan sel dan pembesaran sel. Pembentukan
sel dan pemanjangan sel akan mempengaruhi pertumbuhan organ vegetatif
tanaman seperti batang dan daun ( Iridianaet al., 2002).
Aplikasi bakteri rhizosfer hasil isolasi dari tanah salin bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan tanaman mentimun yang ditanaman
53
makan asimilat yang akan dihasilkan juga semakin tinggi, yang pada akhirnya
hasil fotosintesis tersebut akan ditranslokasikan pada bagian buah.
Yao et al. (2010), telah membuktikan bahwa aplikasi bakteri rhizosfer
membantu pertumbuhan tanaman yang tumbuh di tanah salin. Hasil percobaan
ini membuktikan, bahwa bakteri fungsional bersifat PGPR tahan salin sangat
membantu pertumbuhan dan produksi padi di tanah salin dengan hasil baik,
terutama pada tanaman yang diberi inokulan campuran Bacilus
megaterium,Bacillus thuringiensis, Bacillus pantothenticus, Azospirillum
lipoferum dan Azotobacter crococcum.Kohler et al. (2006) menunjukkan
menghasilkan tiga PGPR isolat P. Alcaligenes PsA15, Bacillus polymyxaBcP26
dan Mycobacterium phlei MbP18 yang mampu mentolerir suhu dan salinitas
tinggi serta beberapapotensial bertahan hidup di tanah gersang dan salin.Hasil
yang sama dilaporkan oleh Tank dan Saraf (2010), bahwa penggunaan PGPR
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dengan pemberian NaCl
sebanyak 2%. Demikian juga Kloepper et al. (2004), Egamberdieva dan
Kucharova (2009) melaporkan bahwa inokulasi PGPRmeningkatkan
pertumbuhan dan hasil gandum pada kondisi tanah salin. Patel et al., (2012),
melaporkan adanya peningkatan hasil dari chickpea yang ditanam pada media
dengan perlakuan NaCl (1,8%) dan menggunakan isolat bakteri pelarut fosfat
yaitu Pseudomonas putida.
57
DAFTAR PUSTAKA
growth promoting rhizobacteria under salt stress. Soil Environ, 25: 78-
84.
Nelson, L.M. 2004. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR): Prospects for
New Inoculants. Available at. Crop Management. Tersedia di doi:-
10.1094/CM-2004-0301-05-RV. Plant Management Network. Diakses
30 agustus 2016.
Patel D, CK Jha, N Tank and M. Meenu Saraf. 2012. Growth Enhancement of
Chickpea in Saline Soils Using Plant Growth-Promoting Rhizobacteria.
Journal of Plant Growth Regulator 31(1), 53-62.
Pessarakli, M. 1993. Handbook of Plan and Crop Stress.Marcel Dekker Inc. New
York. 1180 pp.
Premono, E. 1994. Jasad Renik Pelarut Phosfat Pengaruhnya terhadap P-tanah
dan Efisiensi Pemupukan P Tanaman Tebu. Disertasi. Program Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rai, M.K. 2006. Handbook of Microbial Biofertilizer. FoodProduction Press : New
York.
Ramires, L.F. and J. C. Mellado. 2005. Bacterial Biofertilizer. Springer.
Netherlands. p. 143-161.
Rhoades, J.D, N.A. Manteghi, P.J. Shouse, W.J Alves. 1989. Soil Electrical
Conductivity and Soil Salinity; New Formulations and Calibrations. Soil
Sci Soc Am J. 53:433-439.
Rosmarkam, A., N.W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah.
Yogyakarta(ID):Kanisius.
Rustam, Giyanto, S. Wiyono, D. A. Santoso, dan S. Susanto. 2011. Seleksi dan
Indentifikasi Bakteri Antagonis sebagai Agens Pengendali Hayati
Penyakit Hawar Pelepah Padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.
30 (3): 164-171.
Shannon, M.C., 1999. Salinity and Horticulture. An International Journal. The
International Society for Horticultural Science. 14(78).
Sipayung, R. 2003. Stress Garam dan Mekanisme Toleransi Tanaman.
http://www. library.USU.ac.id/download/fp/bdp.rosita2.pdf. Diakses
pada tanggal 8 Agustus 2016.
Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. P. 152-217.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Fakultas Pertanian. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Soesanto. L., M. Endang. dan F.R. Ruth. 2014. Aplikasi Formula Cair
Pseudomonas fluorescens P60 untukMenekan Penyakit Virus Cabai
Merah. J.Fitopatologi. 9(6) : 179-185.
Sorensen, J. 1997. The Rhizosphere as a Habitat for Soil Microorganisms. p. 21-
45. In J.E. Van Elsas, J.T Trevors, and E.M.H. Wellington
(Eds.).Modern Soil Microbiology. Marcel Dekker, Inc. New York.
Suherman, O., Burhanuddin, M. Faesal., Dahlan, dan F. Kasim. 2002.
Pengembangan Jagung Unggul Nasional Bersari Bebas dan Hibrida.
Risalah Penelitian Jagung dan Serealia. 7 : 8−14.
62