Makalah Membumikan Islam Di Indonesia PDF
Makalah Membumikan Islam Di Indonesia PDF
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Azaria Hikmah Fajrianti (061740421538)
Ratu Aqso Has(061740421549)
Sonia Wimarsela (061740421561)
Dosen Pembimbing: Aimi, S.Pd.I, M.Pd.I
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga
makalah ini dapat di selesaikan pada waktunya. Makalah ini di tulis demi untuk
memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama dengan judul “BAGAIMANA
MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA”.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari kesalahan-
kesalahan, maka dari itu kami mengharapkan syarat yang membangun dari para
pembaca. Dalam pembuatan makalah ini tidak luput dari banyak motifasi dari
teman-teman yang telah membantu.
Kami mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah banyak
memotifasi dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan
informasi kepada para pembaca .
Demikianlah pengantar dengan iringan serta harapan semoga tulisan
sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca dan pendengar. Atas
semua ini kami mengucapkan ribuan terimakasih yang tidak terhingga. Semoga
segala bantuan dari semua motivasi mudah-mudahan mendapat amal baik yang di
berikan oleh Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamin.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB II Pembahasan
1. Pengertian Agama...................................................................................................2
2. kewajiban setiap umat islam untuk berdakwah (membumikan islam ...................2
3. bagaimana membumikan islam di indonesia..........................................................5
ii
i
BAB I
PENDAHULUAN
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apakah arti dari agama islam ?
2. mengapa diwajibkan atas umat islam untuk menyebarkan islam ?
3. bagaimana membumikan islam di Indonesia ?
3. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk :
1. Memahami arti islam yang sebenarnya
2. Memahami tentang kewajiban atas umat islam untuk menyebarkan Islam
3. Memahami bagaimana membumikan islam di Indonesia
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISLAM
Islam pada suatu sisi dapat disebut sebagai high tradition, dan pada sisi
lain disebut sebagai low tradition. Dalam sebutan pertama islam adalah firman
Tuhan yang menjelaskan syariat-syariat-Nya yang dimaksudkan sebagai petunjuk
bagi manusia untuk mencapai kebahagiaandi dunia dan akhirat, termasuk dalam
nash (teks suci) kemudia dihimpun dalam shuhuf dan kitap suci (Al Quranul
Karim). Secara tegas dapat dikatakan hanya Tuhanlah yang paling mengetahui
seluruh maksud, arti, dan maknasetiap Firman-Nya. Oleh karena itu, kebenaran
islam dalam dataran high tradition ini adalah mutlak. Bandingakn dengan islam
pada sebutan kedua: Low tradition. Pada dataran ini islam yang mengandung
dalam nash ata teks –teks suci bergumul dengan realitas sosial pada berbagai
masyarakat yang dibaca, dimengerti, dipahami, kemudian ditafsirkan dan
dipraktikan dalam masyarakat yang situasi dan kondisinya berbeda-beda. Kata
rang, islam kahirnya tidak hanya melulu ajaran yang tercatum dalam teks-teks
suci melainkan juga telah mewujud dalam historisitas kemanusiaan.
سلهم صلهى ه
َ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َّللاِ ب ِْن َع ْم ٍرو أ َ هن النه ِب ه
َ ي قَا َل بَ ِلغُوا َعنِي َولَ ْو آيَة ََ َع ْن َع ْب ِد ه
Terjemahan :
2
perbuatan baiknya itu serta pahala orang yang mengikuti dan melaksanakan
kebaikan dengan tanoa dikurangi sedikitpun. Sebaliknya bagi siapa saja yang
mengajak kesesatan atau kemungkaran, maka dia mendapat dosa sebagai balasan
atas perbuatannya sendiri (ditambah) dosa sebanyak dosa orang yang
mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun” (HR Abu Dawud, Ahmad, Nasai,
Turmudzi dan Ibnu Majah)
– Sebagian dari para ulama ada yang menjelaskan makna hadits ini bahwa Allah
Ta’ala akan menetapkan bagi orang yang mengajarkan ilmu agama pengabulan
bagi semua permohonan ampun yang disampaikan oleh seluruh makhluk
untuknya.
– Tentu saja yang keutamaan dalam hadits ini khusus bagi orang yang
mengajarkan ilmu agama dengan niat ikhlas mengharapkan wajah Allah Ta’ala,
bukan untuk tujuan mencari popularitas atau imbalan duniawi.
– Para ulama yang menyebarkan ilmu agama adalah pewaris para Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena merekalah yang menggantikan tugas para
Nabi dan Rasul ‘alaihis salam, yaitu menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala dan
menyeru manusia ke jalan yang diridhai-Nya, serta bersabar dalam menjalankan
semua itu, maka merekalah orang-orang yang paling mulia kedudukannya di sisi
Allah Ta’ala setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam.
3
Pada dasarnya setiap Muslim dan Muslimah diwajibkan untuk
mendakwahkan Islam (membumikam islam ) kepada orang lain, baik Muslim
maupun Non Muslim.Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt,
dan berikut Dasar Dalil Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah
(Menyeru Kebaikan) di AL-Qur’an. :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ;
merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Al-Imran : 104),
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik” (TQS. Al-Imran : 110)
” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
4
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk ” (TQS. An-
Nahl : 125).
Wahyu Allah yang terbentang dalam alam geografis dan sosial budaya Arab,
akan ditangkap oleh nabi berkebangsaan Arab dan dibesarkan dalam tradisi
intelektual Arab, otomatis akan menjadi Wahyu yang berbahasa Arab lengkap
dengan kultur Arab pada masa wahyu difirmankan. Contohnya AlQuran sangat
dipengaruhi oleh kultur Arab Nabi Muhammad karena ia diturunkan kepada Nabi
Muhammad yang berkebangsaan Arab. Namun seiring berjalannya waktu dan
ruang, Wahyu akan menyesuaikan dengan keadaan budaya pada suatu tempat dan
waktu tertentu sehingga munculnya keberagaman corak pemahaman agama.
Bila dalam sebutan pertama islam adalah agama wahyu yang seolah seolah
berada di langit dan keeradaannya bersifat mutlak, maka pada sebutan kedua
5
islam telah berada di bumi menjadi agama masyarakat dan kebenarannya pun
menjadi relatif. Implikasinya, pada dataran ini islam berubah menjadi “Islams”.
Dalam ajaran islam, wahyu Allah selain berbentuk tanda-tanda (ayat) yang
nirbahasa, juga bermanifestasi dalam bentuk tanda-tanda (ayat) yang difirmankan.
Untuk memudahkan pemahaman, kita bedakan antara istilah wahyu (dengan “w”
kecil) dan Wahyu (dengan “W” besar ). Wahyu dengan w kecil menyaran pada
tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, dan ketentuan Tuhan yang
nirbahasa, dan mewujudkan dalam alam semesta dan isinya, termasuk dinamika
sosial budaya yang terjadi didalamnya. Adapun Wahyu dengan W besar menyaran
pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, da ketentuan Tuhan yang
difirmankan melalui utusan-Nya (malaikat) dan diakses secara khusus oleh orang-
orang pilihan yang disebut sebagai nabi atau rasul (meskipun kedua istilah ini
sebenarnya berbeda, namun sementara ini dianggap sama).
6
dan turats) meminta maaf dan memaafkan adalah ajaran islam yang universal,
diJawa pemohonan maaf si anak kepada orang tua diekspresikan dengan
‘sungkem’ sedangkan komunitas Betawi tentunya tradisi tersebut tidak dikenal.
Uraian diatas menunjukkan bahwa ekspresi tentang islam tidak bisa tunggal. Hal
itu dikarenakan islam tidak lahir diruang hampa sejarah. Tabiat, karakter, tradisi,
budaya, lingkungan, dan lain-lain menjadi penentu dan pembeda corak berfikir,
cara bersikap, dan bentuk ekspresi seseorang, bahkan masyarakat. Islam
mengajarkan untuk bertutur kata halus dan penuh makna. Ini tidak berarti orang
Batak atau orang Arab harus berbicara dengan nada lembut seperti orang Jawa.
7
Dengan disahkannya Qanun Hukum Jinayah, maka di Aceh akan berlaku
hukuman cambuk atau denda dengan bayar emas murni bagi pelaku pemerkosaan,
perzinaan, pelecehan seksual, praktik gay, lesbian, mesum, perjudian,
mengonsumsi minum keras dan bermesraan dengan pasangan bukan
muhrim. Bukan hanya pelaku, orang yang ikut menceritakan ulang perbuatan atau
pengakuan pelaku jarimah secara langsung atau melalui media juga dikenakan
hukuman cambuk.
Sanksi cambuk bukan hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam.
Warga non-muslim, anak-anak dan badan usaha yang menjalankan bisnisnya di
Aceh, jika melakukan pelanggaran syariat, juga akan dikenakan hukuman dalam
qanun ini. Hanya saja bagi non-muslim diberi kelonggaran yakni bisa memilih
apakah diproses dengan qanun atau hukum nasional yang berlaku.
Selain itu corak keberagamaan muslim di aceh terlihat dari tradisi orang
Aceh yang menganggap musholla lebih signifikan dibandingkan dengan masjid.
Menurut Andrew Beatty, karena hidup berkeluarga adalah arena utama dari
kehidupan social dan bidang di mana tindakan moral dibentuk dan dinilai, maka
musholla memiliki arti penting praktis yang lebih besar. Sebuah desa di Aceh
dapat bertahan tanpa masjid karena shalat Jumat dilakukan di sebuah mesjid
kemukiman. Tetapi tanpa mushalla (Meunasah), maka kesalehan akan terhenti
menjadi patokan normatik: kewajiban skriptual tetap kewajiban, tetapi solidaritas
sesame muslim akan memudar.
2. Corak Islam di Sidodadi
8
§ istilah orang Yasin juga digunakan bertukaran dengan orang Perwiridan (muslim
tradisionalis
Perbedaan
9
Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi dinamika dan struktur
sosial masyarakat, yaitu agama dan budaya lokal. Dalam masyarakat Indonesia,
dua hal tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk karakter dan
perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai”jati diri” orang Indonesia.
Karakter tersebut mewarnai hampir semua aspek sosial masyarakat Indonesia baik
secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Model akulturasi budaya lokal dengan Islam ini sering dianggap sebagai
penyebab munculnya karakter Islam abngan di kalangan mayarakat Jawa. Sebagai
orang bahkan menilai bahwa para Wali Songo sebagai ikon dai-dai awal islam di
Indonesia dianggap belum berhasil sepenhnya untuk mengislamkan Jawa.
Beberapa bukti disodorkan untuk memperkuat tesis tersebut , diantarana paham
sinkretisme yang tampak masi dominan dikalangan masyarakat Jawa. Walaupun
bagi pihal yang mendukung metde dakwah Wali Songo di ats, praktik-praktik
yang sering dituduh sebagai sinkretisme tersebut bukan sepenuhnya amalan yang
bertentangan dengan Islam dan dapat siperjelaskamelalui perspektif mistiisme
Islam.
10
1. Menggali Sumber Historis
11
kebudayaan setempat pada saat Islam disebar dan ditafsirkan ulang. Keberislaman
yang disampaikan dengan cara seperti ini akan lebih mampu mengakomodir cipta,
rasa, dan karsa para pemeluknya, sesuai dengan penghayatan budayanya yang
sudah terjadi selama berabad-abad.
Ide “Islam Pribumi” lahir untuk melawan gagasan otentifikasi Islam, yang
tidak jarang mengarah pada fundamentalisme keberagamaan. “Islam Pribumi”
meyakini tiga sifat, yaitu: sifat kontekstual, Islam dipahami sebagai ajaran
mengalami perubahan dan dinamika dalam merespon perubahan zaman. Kedua,
Islam dipahami sebagai agama yang progresif, kemajuan zaman bukan dipahami
sebagai ancaman penyimpangan terhadap ajaran Islam melainkan sebagai pemicu
untuk melakukan respon kreatif secara intens. Ketiga, “Islam Pribumi” memiliki
karakter membebaskan, yaitu ajaran yang mampu menjawab problem-problem
kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnis [14].
Gagasan “Pribumisasi Islam” benar-benar merangsang perlunya negosiasi dan
akulturasi antara agama, tradisi, lokalitas, dan kemodernan sekaligus. Karena itu,
keberislaman dipahami bukan hanya ritualisme, tetapi lebih dari itu. Akomodasi
tradisi dan kultur lokal melakukan “penafsiran silang” yang saling menghargai
dan menyempurnakan. Keberislaman ditafsirkan untuk kerja kemanusiaan,
kemaslahatan, kesetaraan, dan keadaban [15] .
Karena itu Gus Dur dengan konsep “Pribumisasi Islam”nya tidak
sependapat kalau proses Islamisasi di Indonesia diarahkan pada proses Arabisasi.
Sebab, itu hanya akan membuat tercerabutnya masyarakat Indonesia dari akar
budayanya sendiri. Namun, “Prubumisasi Islam”, menurut Gus Dur, bukan
jawanisasi dan sinkritisme. Sebab, “Pribumisasi Islam” hanya mempertimbangkan
kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah
hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma demi budaya. Tetapi agar
norma-norma itu menampung kebutuhan dari budaya, dengan menggunakan
peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash (ketentuan) dengan tetap
memberikan peranan kepada ushul fiqih dan kaidah fiqih.
“Pribumisasi Islam” yang digagas Gus Dur pada akhir tahun 80-an itu
menggambarkan bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari
Tuhan diakomodasikan ke dalam budaya yang berasal dari manusia tanpa
kehilangan identitasnya masing-masing. “Pribumi Islam” menjadikan agama dan
budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar
keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta
berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama
dan budaya [16]. Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan antara agama dan
budaya. “Pribumisasi Islam” memberikan peluang bagi keanekaragaman
interpretasi dalam kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-
beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan
majemuk. Tidak lagi ada anggapan bahwa Islam yang di Timur-Tengah sebagai
12
Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami
historisitas yang terus berlanjut.
“Pribumisasi Islam” sesunggguhnya mengambil semangat yang telah
diajarkan walisongo dalam dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad ke-15
dan ke-16 di pulau Jawa. Dalam hal ini walisongo telah berhasil memasukan nilai-
nilai lokal dalam Islam yang khas indonesia. Kreatifitas walisongo ini melahirkan
gagasan baru nalar Islam Indonesia yang tidak harfiah meniru Islam di Arab.
Tidak ada nalar Arabisasi yang melekat dalam penyebaran Islam awal di
Nusantara. Walisongo mengakomodasikan Islam sebagai ajaran agama yang
mengalami historisasi dengan kebudayaan.
Sejarah terus berulang menjadi kesadaran-kesadaran baru. Pada era 1990-
an kritik terhadap model keberagamaan umat yang masih bercorak puritan
kembali menguat. Kiri Islam-nya Hassan Hanafi, dan gagasan post-
tradisionalisme Islam yang mengambil jalan pemikiran Muhammad Abed al-
Jabiri, Mohammad Arqoun, Nashr Hamid Abu Zayd, dan Muhammad Shahrur
telah menjadi rujukan utama dari kelompok Islam tradisional untuk melakukan
kritik nalar Islam, sekaligus menjadikan tradisi sebagai jembatan emas menuju
pemikiran Islam yang membebaskan. Pada gilirannya, usaha-usaha ini melahirkan
gagasan “Islam Pribumi” sebagai kelanjutan dari pemikiran-pemikiran Islam yang
telah berkembang dalam denyut nadi perubahan [17].
Charley H. Dood yang mengungkapkan bahwa komunikasi antar budaya
meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,
antar pribadi, antar kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang
kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. (Liliweri,
2003: 12).
Sampai di sini, “Pribumisasi Islam” dipahami menjadi sebuah kebutuhan
praksis (berupa keterampilan pada proses komunikasi/ dakwah/ tabligh antar
budaya), sekaligus sebagai kebutuhan paradigmatik pemikiran (berupa
kontekstualisasi paham keislaman untuk historisitas ruang dan waktu yang
berbeda, di mana syariah didialogkan dengan berbagai konteks yang
melingkupinya). Penulis merasa akan pentingnya konsep “Pribumisasi Islam” ini.
Sebab, konsepsi “Pribumisasi Islam” sepertinya akan sangat membantu bagi
berkembangnya pemahaman Islam yang pantas untuk diterapkan dalam konteks
Indonesia maupun keindonesiaan itu sendiri. Dari situ, membangun masyarakat
yang religius juga kultural akan lebih mudah terwujud, tanpa kehilangan
kebinekaannya, tetap harmonis, toleran dan menganut pluralisme yang dewasa.
13
sepanjang sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mereka berasal dari Arab, Persia,
India bahkan dari Cina. Kedatangan mereka ke Indonesia tidak saja untuk
memeperkenalkan Islam, tetapi juga dengan membawa seperangkat keilmuan
Islam yang sudah mengalami proses pengembangan di tanah asalnya, Timur
Tengah. Sebelum Islam datang, penduduk Indonesia (baca. Nusantara) telah
menganut agama, baik yang masih primitif seperti animisme-dinamisme maupun
yang sudah berbentuk agama formal seperti Hindu atau Buddha. Namun
demikian, berdasarkan catatan sejarah yang ada, kedatangan Islam tidak disertai
dengan konflik sosial-keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan islamisasi
generasi awal setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor strategi dakwah
dan faktor daya tarik ajaran Islam itu sendiri. Gerakan Wahabi ternyata berimbas
ke Indonesia. Jika pada masa lampau, kaum Paderi di Sumatera Barat yang
menjadi agennya, dan juga Muhammadiyah, maka pada era sekarang ini,
pengimpor utama paham Wahabi adalah kelompok Salafiyun.
Secara sosiologis, potret Islam Indonesia sangat toleran dengan tradisi dan
komunitas lain yang berbeda keyakinan, menerima Bhineka Tunggal Ika. Islam
Indonesia menghargai pluralitas etnis, agama dan gender. Membela kaum
minoritas, kaum mustad’afin, dan kaum terpinggirkan lainnya. Islam Indonesia
sangat memahami sosio-kultural kebangsaan, ketimbang memaksakan
normatifitas teks yang verbalisitik. Dalam masalah praktik sosial kemasyarakatan,
Islam Indonesia bisa menerima Pancasila sebagai Dasar Negara guna
memersatukan segenap entitas bangsa Indonesia. NKRI sudah final bagi Islam
Indonesia. Peningkatan Sumberdaya Manusia dan kedisiplinan yang perlu
ditingkatkan, punctuality (ketepatan),keteraturan, social justice, pengorganisasian,
kepekaan sosial, etos kerja, kompetisi positif, sportivitas, komitmen, trust, dan
lain-lain.
Islam Indonesia juga inhern dengan nasionalisme. Bahkan NU sebagai
cerminan Islam Indonesia terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan dari
penjajahan dan delegasinya KH.Wahid Hasyim, menjadi tokoh kunci
terbangunnya bangsa Indonesia, ketika terjadi perdebatan apakah negara
Indonesia akan berlandaskan Pancasila atau Islam. Ketika sekelompok delegasi
dari Islam Modernis menginginkan negara Islam, dan Soekarno yang ingin
Pancasila. Ketika perdebatan menegang, tiba-tiba warga di Indonesia Timur
bermaksud merdeka ketika Indonesia menjadikan Islam sebagai dasar negara. KH.
Wahid Hasyim, selaku anggota perumus dari NU, pulang ke rumah menemui KH,
Hasyim Asy’ari, dan hasilnya diterima Pancasila sebagai dasar negara demi
utuhnya NKRI yang baru didirikan. Kelompok Islam Modernis walau jengkel
dengan sikap tersebut tetapi tidak bisa berbuat banyak karena yang akhirnya bisa
menegangkan perdebatan dasar negara.
Dari kejadian itu, ditemukanlah bagaimana komunitas NU mendefinisikan
kekuasaan, negara dan bangsa. Betapa nasionalisme NU sudah terbukti. Bahkan,
14
pada Muktamar NU tahun 1938 di Menes, Banten, ada dua pertanyaan searah
yang jawabannya saling kontradiksi. Pertanyaan pertama adalah, bahwa penjajah
Belanda menawari NU untuk masuk menjadi anggota Volskraad, dengan itu maka
NU akan menjadi bagian dari struktur kekuasaan dan pemerintahan Belanda di
Hindia-Belanda. Namun ketika diadakan voting, hasilnya 54 menolak dan 4 setuju
masuk Volksraad. Jadi NU menolak masuk lembaga perwakilan rakyat versi
penjajah itu. Pertanyaan kedua adalah, apakah Hindia-Belanda wajib
dipertahankan dari serangan luar? Jawabannya adalah wajib karena Hindia-
Belanda, menurut hasil Muktamar itu, merupakan dar al-islam (bukan daulah
Islam). Yaitu, kawasan yang mayoritas penduduknya pemeluk Islam, pernah
dikuasai kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam tidak dibatasi dan dilarang untuk
menjalankan ibadahnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa, keikutsertaan NU
dalam Volksraad adalah masalah politik dan kekuasaan, oleh karena itu bisa
ditolak dan bisa juga diterima seandainya hasil voting itu menghasilkan
sebaliknya. Tetapi masalah kawasan Hindia-Blanda adalah masalah negara dan
bangsa, karena itu harus dipertahankan dengan basis argumen Islam. Dalam
konteks inilah bisa dipahami ketika KH Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar
PBNU mengeluarkan fatwa “resolusi jihad” pada Oktober 1945 yang mewajibkan
kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia sebagai wajib ‘ain dalam jarak
tertentu dari Surabaya yang sedang berperang untuk mempertahankan
kemerdekaan seiring dengan masuknya tentara seklutu (NICA) yang diboncengi
Belanda. Masuknya tentara sekutu tersebut tentu membahayakan Indonia yang
baru belum ada dua bulan merdeka. Maka terjadilah Perang 10 Nopember 1945 di
Surabaya.
Dari uraian tersebut, jelaslah NU sebagai bagian penting dari Islam
Indonesia sudah mampu membangun definisi hubungan agama, bangsa dan
negara dalam Islam Indonesia yang kosmopolit. Dari catatan ini pula adanya
keterkaitan erat antara berdirinya NU dan proses terbangunnya negara-bangsa
Indonesia. Di era Gus Dur, Islam Indonesia juga mampu menyeimbangkan
ketegangan antara pemerintah rakyat, militer – sipil, mayoritas – minoritas. Islam
Indonesia juga sangat perhatian dengan isu-isu demokrasi, HAM, gender,
kemiskinan, ekonomi neo-liberal, civil society, advokasi, misalnya, yang sudah
dikembangkan oleh NU sejak masa otoritarianisme Orde Baru, yang waktu itu
gerakannya bahkan dilakukan secara “undergorund.” Topik-topik tersebut tidak
hanya menjadi gerakan pemikiran tetapi juga gerakan praktis. Demikian juga
dengan masalah hak-hak perempuan, korupsi, dan hak-hak minoritas muncul
menjadi pergulatan intensif saat ini, sehubungan dengan kian derasnya arus
fundamentalisme yang anti kesetaraan perempuan dan anti pluralisme dan
multikulturalisme serta maraknya korupsi sejak Orde Baru. Dengan kata lain,
evolusi pemikiran Islam Indonesia akan terus mengikuti arus perkembangan
bangsa Indonesia itu sendiri. Sejumlah isu juga sedang diyang belum terangkum
dalam disertasi ini, misalnya, gerakan tentang pertanian, lingkungan, pengelolaan
15
seumber daya alam dan tradisi lokal. Semua ini menanti sebuah karya lanjutan
berikutnya.
3. Menggali Sumber Teologis dan Filosofis
Secara filosofis pribumisasi Islam didasari oleh paradigma sufistik tentang
substansi keberagaman. Dalam paradigma sufistik, agama memiliki dua wajah
yaitu aspek esoteris (aspek dalam) dan aspek eksoterik (aspek luar). Dalam tataran
esoteris, semua agama adalah sama karena ia berasal dari Tuhan Yang Tunggal.
Dalam pandangan sufistik, bahkan dikatakan semua yang maujud di alam ini pada
hakikatnya berasal dari Wujud Yang Satu (Tuhan Yang Maha Esa). Alam ciptaan
dengan pluralitas manifestasinya pada hakikatnya diikat oleh sebuah kebenaran
universal yang berasal dari Sang Pencipta Yang Tunggal. Perbedaan maujud
dalam ciptaan Tuhan semuanya dibingkai dalam keesaan wujud. Tuhanlah satu-
satunya wujud (la wujud illa Allah). Perbedaan hanya tampak pada aspek
eksoterik, yaitu unsur lahir dan amalan kasat mata saja. Sejalan dengan
pemahaman ini, maka substansi keagamaan adalah satu, cara manusia dapat
menyembah (tunduk, patuh, dan berserah diri) kepada Tuhan sebagai kebenaran
universal. Adapun ekspresi keberagaman atau aksentuasi paham keagamaan pasti
berbeda-beda karena perbedaan kebutuhan dan tuntutan fisik dan materi yang
berbeda pula.
16
Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran
yang normatif berasal dari Tuhan yang diakomodasikan ke dalam kebudayaan
yang berasal dari manusia tanpa kehilangan kemurnian dari Islam itu sendiri.
Pribumisasi Islam ini sangat berbeda dengan pola atau cara berislam yang
sangat berorientasi pada purifikasi atau pemurnian yang mempunyai hasrat kuat
pada keaslian dan masa lalu. Pribumisasi islam tidak berorientasi pad masa lalu,
namun berpijak pada tradisi, kelokalan dan kekinian. Proses panjang penjumlahan
Islam dengan budaya lokal di nusantara juga telah melahirkan beragam ekspresi
kebudayaan yang khas nusantara seperti arsitektur bangunan,tari, dan perayaan
keagamaan, yang bagi sebagian orang kemudian dituduh sebagai bid’ah. Dengan
proses semacam itu Islam tidak hadir sebagai pemberangus budaya lokal. Islam
hadir di nusantara yang saat itu sudah merupakan peradaban dengan khazanah dan
keragaman yang begitu kaya. Semua itu tidak dibumihanguskan atau dilenyapkian
sebagaimana Rasulullah yang juga tidak lantas melenyapkan budaya lokal Arab.
17
sesungguhnya sudah digagas pertama kali oleh tokoh pembaharu dari mesir,
Muhammad Abdulh (1849-1905).
Sebagai contoh, dapat dilihat dari praktik ritual dalam budaya populer di
Indonesia sebagaimana yang digambarkan oleh Kuntowijoyo, menunjukkan
perkawinan antara Islam dengan budaya lokal cukup erat. Upacara Pangiwahan di
Jawa Barat sebagai salah satunya dimaksudkan agar manusia dapat menjadi
wiwoho yang mulia. Berangkat dari pemahaman ini, masyarakat harus
memuliakan kelahiran, kematian, perkawinan, dan lain sebagainya. Semua ritual
ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia.
18
Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur
Islam yang memandang manusia sebagai makhluk yang mulia.
3. Islam Pribumi bersifat karakter bebas, yakni Islam menjadi ajaran yang
dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa
nmelihat perbedaan agama dan etnik.
19
Belakangan ini muncul tawaran hermeneutika agar dapat dilakukan proses
kontekstualisasi atau pribumisasi Islam di Indonesia khususnya dan di seluruh
penjuru dunia umumnya. Tawara hermeneutika meliputi tiga metode pembacaan
terhadap teks-teks keagamaan. Pertama adalah “pembacaan historisis”, yaitu
upaya untuk merekonstruksi konteks psiko-sosio-historisis yang melingkupi
turunnya Al-Qur’an dan munculnya sunah sehingga diperoleh gambaran yang
utuh tentang situasi yang melatarbelakangi sebuah wacana keagamaan. Kedua
“pembacaan eiditik”, yaitu pengkajian secara mendalam teks-teks suci tersebut
dengan menerapkan prinsip kajian teks secara komprehensif. Dan ketiga adalah
“pembacaan praksis”, yaitu upaya mentransedenkan gagasan, nilai, dan prinsip
yang terdapt dalam teks suci untuk kemudian diproyeksikan dalam konteks waktu,
geografis, dan sosial-budaya saat ini.
Islam pribumi ini lahir dari sikap keterbukaan Islam dalam berdialog
dengan memanifestasikan diri kedalam budaya lokal Nusantara. Sebagai pijakan
dalam mengemukakan tawarannya, Gus Dur mencatat adanya dua kecenderungan
dalam menanifestasikan kebudayaan Islam ke dalam kebudayaan Nusantara.
Pertama, kecenderungan untuk formalisasi ajaran Islam dalam seluruh
manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua, kecenderungan untuk menjauhi sebisa
mungkin formalisasi ajaran Islam dalam manifestasi kebudayaan bangsa.
Kecenderungan pertama menurut Gus Dur berkeinginan untuk memanifestasikan
dimensi Islam ke dalam kehidupam sehari-hari agar kebudayaan Indonesia
20
diwarnai oleh ajaran Islam. Mereka memulainya dari persoalan bahasa seperti
ucapan salam “assalamu’alaikum” dijadikan ganti dari ucapan “Selamat Pagi”
hari kelahiran diganti dengan yaum al-milad, istilah sahabat diganti dengan
ikhwan dan sebagainya. Kecenderungan seperti ini pada akhirnya menghilangkan
budaya lokal yang dinilai tidak Islami. Mereka mencangkan budaya Islam sebagai
budaya alternatif. Menurut Gus Dur, sebagai ajaran normatif yang berasal dari
Tuhan Islam harus mengakomodasi kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa
kehilangan identitasnya. Tumpang tindih antar agama dan budaya itu menurut
Gus Dur akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya
kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Namun, perbedaan agama dan budaya
tidak menghalangi kemungkinan menifestasi kehidupan beragama dalam bentuk
budaya seperti penggunaan seni dalam mengekspresikan ritual keagamaan. Dalam
rangka menifestasi budaya Islam ke dalam budaya lokal itulah Gus Dur
menawarkan gagasan pribumisasi Islam.
Dengan kaidah itu, Gus Dur tidak berarti mengungkapkan bahwa adat
merubah norma-norma Islam, melainkan memanifestasi agama kedalam budaya
setempat, karena manifestasi norma Islam adalah bagian dari budaya, seperti
membangun masjid Demak. Mungkin saja, orang berdalil bahwa dalam tradisi
Islam, berpihak-pihak kominikator menggunakan ungkapan salam berbahasa Arab
“Assalamu’alaikum” walaupun mereka bukan orang Arab tetapi kenyataannya
pengertian salam kini mengalami pergesekan makna. Kalau dulu hanya sebatas
antar seseorang Islam, kini mulai melebar terutama jika diucapkan oleh pejabat di
dalam sebuah forum terbuka. Karena itu, maka ucapan salam sudah masuk ke
dalam ranah budaya. Dalam konteks budaya, ucapan “Assalamu’alaikum” sama
dengan ucapan Shobakhul Khoir yang biasa digunakan orang Arab ketika bertemu
atau “Selamat Pagi” untuk konteks Indonesia.
BAB III
PENUTUP
21
1. KESIMPULAN
Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad
Saw sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh
manusia hingga akhir zaman. Kewajiban sebagai umat islam untuk membumikan
Islam sudah tertera dalam berbagai hadist dan Surat di Alquran. Banyak cara yang
dapat ditempuh dalam membumikan Islam di Indonesia. Kebangkitan atau
kemajuan umat Islam, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama sungguh sangat
bergantung pada sejauh mana mereka berpedoman dan berpegang teguh pada
petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, aturan-aturan, etika-etika dan norma-norma
yang mencakup segala aspek dan segi kehidupan manusia di mana pun.
2. DAFTAR PUSTAKA
http://www.gusdurian.net/id/article/kajian/Menimbang-Gagasan-Pribumisasi/
http://www.islammadani.net/kajian/dari-pribumisasi-islam-ke-islam-nusantara-
sebuah-tinjauan-kritis-1
https://muslim.or.id/4703-keutamaan-menyebarkan-ilmu-agama.html
http:/mutiarahaticieka.blogspot.com/Pribumisasi-Islam
22