HERPES SIMPLEKS
Disusun Oleh :
Nama : Anisia Ayunda Putri, S.Ked.
NIM : 71 2018 009
Pembimbing :
dr. Lucille Anisa Suardin, Sp. KK.
Disusun Oleh :
Nama : Anisia Ayunda Putri, S.Ked
NIM 71 2018 009
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
bagian Ilmu Penyait Kulit dan Kelamin RSUD Palembang BARI Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis memanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat mengenai “Herpes Simpleks”
sebagai salah satu tugas individu di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD
Palembang BARI. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad
SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan maupun
tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih terutama kepada:
1. dr. Lucille Anisa Suardin, Sp. KK. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa yang
tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1.Latar Belakang..........................................................................................1
1
laten di neuron, menyebabkan infeksi yang bertahan seumur hidup. Meskipun
infeksi VHS-1 dan VHS-II umumnya tanpa gejala, kedua virus ini dapat
menyebabkan spektrum yang luas dari munculnya manifestasi klinis.5
2.1.2 Epidemiologi
Herpes simpleks tersebar kosmoplit dan menyerang baik pria maupun
wanita. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (VHS) tipe I biasanya dimulai
pada usia anak-anak, sedangkan infeksi VHS tipe II biasanya terjadi pada
dekade II atau III kehidupan, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas
seksual.2
Infeksi VHS tidak tergantung musim atau cuaca, dimana virus ini dapat
bertahan dalam fase laten dalam tubuh hospes dan kemungkinan adanya infeksi
ulangan. Ekskresi virus tertinggi pada pasien dengan lesi aktif, tetapi ekskresi
virus juga dapat terjadi pada 15% pasien yang asimptomatik atau keadaan
subklinik. Prevalensi antibodi VHS-II tinggi pada seseorang dengan tingkat sosio-
ekonomi rendah dan di antara kelompok orang dengan banyak pasangan seksual.
Reaktivasi infeksi genital VHS-II lebih banyak dibandingkan VHS-I dan
umumnya karena kekambuhan herpes genital. Diperkirakan 30% pasien mengalami
kekambuhan lebih dari 8-9 kali tiap tahun. Herpes neonatal terjadi sekitar 1 dalam
5.000 kelahiran di Amerika, pada beberapa daerah lain bahkan lebih tinggi. 7
Pada umumnya infeksi VHS-I lebih sering dan lebih awal didapatkan
dibandingkan dengan infeksi VHS-II. Lebih dari 90% orang dewasa memiliki
antibodi terhadap VHS-I pada usia 50 tahun, sedangkan pada populasi dengan
status sosial ekonomi rendah kebanyakan mendapatkan infeksi sebelum usia 30
tahun. Sedangkan, survei serologik menunjukkan bahwa 20% populasi di
Amerika Serikat memiliki antibody terhadap VHS-II. Sebanyak 50% orang
dewasa heteroseksual yang datang ke klinik penyakit menular seksual
mempunyai antibodi terhadap VHS-2 di sebagian besar Eropa Tengah, Amerika
Serikat dan Afrika. Prevalensi antibodi tersebut rata-rata 5% lebih tinggi pada
wanita dibandingkan dengan pria, dan beberapa studi menunjukkan bahwa
banyak dari pasien tersebut tanpa gejala atau asimptomatik.7
2.1.3 Etiologi
Virus herpes simpleks tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang
merupakan virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik
pertumbuhan pada media kultur, antigenik marker, dan lokasi klinis (tempat
predileksi).2
Virus herpes simpleks merupakan golongan Alphaherpesvirus, sebagai
subfamili dari human herpesviruses bersama dengan virus varicella-zoster.
Semua virus herpes pada manusia mempunyai karakteristik enveloped double
stranded DNA viruses. VHS merupakan virus bentuk besar dengan inti berisi
double stranded DNA yang dilapisi oleh icosahedron dengan 162 capsomeres.
Partikel lengkap diameternya sekitar 120-200 nm, sedangkan naked virion
ukurannya sekitar 100 nm. Virus masuk ke sel melalui fusi membran sel setelah
menempel pada reseptor spesifik yaitu pembungkus glikoprotein. Virus herpes
simpleks mempunyai siklus replikasi dalam kurun waktu 18 jam. VHS-I
merupakan penyebab luka di bibir (herpes labiales) dan luka di kornea mata
(herpes keratitis), biasanya dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan
sekresi dari atau di sekitar mulut. Sedangkan, VHS-II merupakan penyebab
herpes genitalis, terutama ditularkan melalui kontak langsung dengan luka
selama melakukan hubungan seksual, oleh karena itu herpes tersebut dianggap
sebagai salah satu penyakit menular seksual (PMS).7
2.1.4 Patogenesis
Paparan VHS-I pada permukaan mukosa atau kulit yang terluka
memungkinkan masuknya virus dan dilanjutkan dengan inisiasi replikasi dalam
sel epidermis dan dermis. Infeksi VHS biasanya diperoleh dari keadaan
subklinik, walaupun infeksi yang menimbulkan gejala klinik sangat
berhubungan dengan adanya replikasi virus yang memungkinkan masuk ke
dalam ujung saraf sensorik atau pun otonom. Pada awal masuknya virus ke
dalam sel saraf dimana terjadi replikasi di ganglia dan jaringan saraf yang
berdekatan, yang kemudian menyebar ke permukaan kulit lainnya, dan ke
mukosa melalui migrasi virion infeksius secara sentrifugal melalui saraf
sensoris perifer. Cara penyebaran ini membantu menjelaskan luasnya daerah
permukaan yang ikut terkena dan banyaknya lesi baru yang jauh dari infeksi
primer berupa vesikel infeksi VHS di daerah genital maupun daerah bibir dan
mulut, termasuk menjelaskan terjadinya penyembuhan pada daerah yang jauh
dari pintu masuknya virus.7
Respons tubuh terhadap infeksi VHS berpengaruh terhadap timbulnya
penyakit, tingkat beratnya infeksi resistensi yang nantinya berkembang menjadi
infeksi laten maupun frekuensi rekurensi. Kedua antibodi yaitu mediated dan
reaksi cell-mediated memiliki arti penting secara klinis. Pada pasien
immunokompromais dengan defek kekebalan cell mediated ablasi limfosit yang
terkena infeksi VHS akan menjadi berat dan luas, dibandingkan infeksi pada
pasien dengan defisit imunitas humoral seperti agamablobulinemia. Berbagai
manifestasi klinis penyakit HSV tampaknya terkait dengan respon kekebalan
hospes.7
Fase laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi VHS
dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.2
Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak
aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga
menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik
(demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan sebagainya) trauma psikis
(gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan
dan minuman yang merangsang.2
Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal
lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi
rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain/tempat
di sekitarnya (non loco). Kekambuhan pada umumnya terjadi hampir 90%
dimana kekambuhan infeksi VHS-I lebih VHS-II lebih sering dibandingkan
dengan infeksi VHS-I, dengan perbandingan 4:1.2,7
2) Herpes Okular
Infeksi yang terjadi pada mata oleh VHS-I biasanya pada anak-anak dan
orang dewasa. VHS okular primer muncul sebagai keratoconjungtivitis yang
bisa unilateral atau bilateral. dimulai dengan konjungtivitis folikular yang
berhubungan dengan nyeri ,robeknya kelopak mata, edema, fotofobia, kemosis
(pembengkakan konjungtiva), dan limfadenopati preauricular. Pasien yang
mengalami kekambuhan, biasanya bersifat unilateral. VHS okular adalah
penyebab umum kebutaan di Amerika Serikat ketika infeksi ini progresif dapat
menyebabkan ulkus kornea yang mengancam penglihatan, ditandai dengan lesi
dendritik bercabang patognomonik. Penyembuhan mungkin lambat,
membutuhkan lebih dari 1 bulan. Sekitar sepertiga orang mengalami
kekambuhan selama 5 tahun berikutnya.8
3) Herpes Ensefalitis
Virus herpes simpleks menyebabkan berbagai penyakit perifer dan pada
sistem saraf pusat yang bersifat menular. VHS-I adalah penyebab paling umum
dari ensefalitis sporadis di Amerika Serikat. Pasien biasanya datang dengan
keadaan kesadaran yang berubah, perilaku aneh, dan temuan defisit neurologis
fokal yang mengacu pada lobus temporal otak. Pasien juga mungkin mengalami
demam. Kelainan khas dapat ditemukan pada cairan serebrospinal (CSF) pasien
dengan ensefalitis HSV meliputi beberapa ratus sel darah putih / mm3, dengan
dominasi sel limfoid (75% hingga 100%) dan peningkatan jumlah sel darah
merah. Konsentrasi protein meningkat sampai 500 hingga 1.200 mg / dl. DNA
VHS, diidentifikasi oleh reaksi rantai polimerase (PCR), dengan tingkat
sensitifitas dan spesifisitas yang baik untuk diagnosis ensefalitis VHS.8
4) Herpes Neonatal
Infeksi VHS-II pada kehamilan dapat memiliki efek buruk pada janin. Lebih
dari 90% infeksi neonatal yang disebabkan oleh VHS adalah infeksi intrapartum
dan 5% adalah infeksi bawaan. VHS neonatal biasanya bermanifestasi dalam 2
minggu pertama kehidupan dan secara klinis berkisar dari infeksi kulit lokal,
mukosa, atau mata hingga ensefalitis, pneumonitis, lalu infeksi menyebar,
hingga menyebabkan kematian. Infeksi VHS neonatal yang melibatkan SSP
biasanya menyebabkan demam dan fatigue, pertama kali muncul antara minggu
kedua dan ketiga kehidupan. Tanda yang paling spesifik untuk infeksi VHS
adalah adanya lesi kulit. Namun, sekitar sepertiga bayi dengan penyakit SSP
karena infeksi VHS tidak memiliki lesi kulit pada saat presentasi klinis. Tanda
umum tetapi bukan sebagai tanda spesifik infeksi VHS neonatal pada SSP
adalah serangan kejang mendadak yang cenderung fokal dan sulit
dikendalikan.8,10 Manifestasi klinis yang umum termasuk ketidakstabilan
vaskular, hepatomegali, ikterus, perdarahan, dan disfungsi pernapasan.
Perkembangan infeksi berlangsung cepat, dengan kematian akibat syok, gagal
hati dengan perdarahan, gagal pernapasan, atau gangguan neurologis. 8
Sebagian besar wanita yang melahirkan bayi dengan VHS neonatal tidak
memiliki riwayat, tanda, atau gejala infeksi VHS sebelumnya. Risiko penularan
tertinggi pada wanita hamil yang seronegatif untuk VHS-I dan VHS-II dan
mendapatkan infeksi VHS baru pada trimester ketiga kehamilan. Faktor-faktor
yang meningkatkan risiko penularan dari ibu ke bayi termasuk jenis infeksi
genital pada saat persalinan (risiko lebih tinggi dengan infeksi primer aktif), lesi
aktif, ketuban pecah dini, dan tidak adanya antibodi transplasental. Tingkat
kematian untuk neonatus sangat tinggi (> 80%) jika tidak diobati.8
7) Herpes Genitalia
VHS-II diidentifikasi sebagai penyebab paling umum dari herpes genitalia.
Herpes genitalia primer terjadi dalam 2 hari hingga 2 minggu setelah terpapar
virus dan memiliki manifestasi klinis paling parah. Gejala episode primer
biasanya berlangsung 2-3 minggu. Gejala sistemik dapat muncul pada infeksi
herpes genitalia, termasuk sakit kepala, demam, mialgia, dan sakit punggung
terjadi pada sekitar 70% wanita dan 40% pria mencari perawatan medis untuk
herpes genital primer. Gatal dan nyeri lokal sering mendahului lesi yang terlihat
dalam 1 hingga 2 hari. Lesi mengalami erupsi selama 7 hingga 8 hari dan
berevolusi dari vesikel menjadi ulserasi selama kurang lebih 10 hari, kemudian
terjadi pengerasan dan penyembuhan terjadi selama 10 hari berikutnya.8
Pada pria, muncul lesi yang terasa sangat sakit, eritematosa, dan vesikel
yang dapat sampai mengalami ulserasi, paling sering terjadi pada penis, tetapi
juga dapat terjadi pada anus. Pada wanita, herpes genitalis primer muncul
sebagai lesi vesikel / ulserasi pada serviks dan vesikel yang terasa nyeri pada
genitalia eksterna secara bilateral misalnya pada labia majora, labia minora,
mons pubis, mukosa vagina, dan serviks. Lesi ini juga dapat muncul pada
perineum, bokong. Gejala terkait termasuk demam, malaise, edema,
limfadenopati inguinalis, disuria, dan keputihan. Pada wanita juga mungkin
memiliki radikulopati lumbosakral, dan sebanyak 25% wanita dengan infeksi VHS-
II primer mungkin berkembang menjadi meningitis aseptik. Setelah infeksi
primer, virus dapat tetap laten selama berbulan-bulan hingga bertahun- tahun
sampai adanya pemicu kekambuhan. Reaktivasi VHS-II di ganglia lumbosakral
menyebabkan rekurensi di daerah bawah pinggang. Manifestasi klinis rekuren
lebih ringan dan sering didahului oleh rasa sakit, gatal,
kesemutan, rasa terbakar, atau parestesia. Individu yang terpapar VHS dan
memiliki infeksi primer tanpa gejala dapat mengalami episode klinis awal
herpes genitalia berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah terinfeksi.
Episode seperti itu tidak separah infeksi primer. Lebih dari setengah individu
dengan VHS-II tidak tampak secara klinis. Namun, orang-orang ini masih
memiliki dapat menularkan virus ke pasangan seksual mereka.8
2.1.9 Tatalaksana
Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan penyembuhan radikal,
artinya tidak ada pengobatan yang dapat mencegah episode rekurens secara
tuntas. Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara
aplikasi, yang sering dengan interval beberapa jam. Preparat asiklovir (zovirax)
yang dipakai secara topikal tampaknya memberikan masa depan yang lebih
cerah. Asiklovir ini cara kerjanya mengganggu replikasi DNA virus. Klinis
hanya bermanfaat bila penyakit sedang aktif. Jika timbul ulserasi dapat
dilakukan kompres. Pengobatan oral berupa preparat asiklovir tampaknya
memberikan hasil yang lebih baik, penyakit berlangsung lebih singkat dan masa
rekurensnya lebih panjang. Dosisnya 5 x 200 mg sehari selama 5 hari.
Pengobatan parenteral dengan asiklovir terutama ditujukan kepada penyakit
yang lebih berat atau jika timbul komplikasi pada alat dalam. Begitu pula
dengan preparat adenine arabinosid (vitarabin). Interferon sebuah preparat
glikoprotein yang dapat menghambat reproduksi virus juga dapat dipakai secara
parenteral.2
Pengobatan herpes genitalis pada kehamilan. Bila pada kehamilan timbul
herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang serius, karena melalui plasenta
virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kerusakan atau
kematian pada janin, infeksi neonatal mempunyai angka mortalitias 60%,
separuh dari hidup, menderita cacat neurologik atau kelainan pada mata. Di
Amerika Serikat frekuensi herpes neonatal adalah 1 per 7.500 kelahiran hidup.
Bila transmisi terjadi pada trimester 1 cenderung terjadi abortus, sedangkan bila
pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada
saat intrapartum. Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis,
keratokonjungtivitis, atau hepatitis, disamping itu dapat juga timbul lesi pada
kulit. Beberapa ahli kandungan mengambil sikap partus secara seksio caesaria,
bila pada saat melahirkan sang ibu menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya
dilakukan sebelum ketuban pecah atau paling lambat enam jam setelah ketuban
pecah.2
2.1.10 Pencegahan
Untuk mencegah rekurens macam-macam usaha yang dilakukan dengan
tujuan meningkatkan imunitas seluler, pernah dilakukan pemberian preparat
lupidon H (untuk VHS-I) dan lupidon G (untuk VHS-II) dalam satu seri
pengobatan. Pemberian levamisol dan isoprinosin atau asiklovir secara berkala
menurut beberapa penyelidik memberikan hasil yang baik. Efek levamisol dan
isoprinosin ialah sebagai immunostimulator. Pemberian vaksinasi cacar
sekarang tidak dianut lagi.2
Keberhasilan upaya untuk mengendalikan penyakit VHS-I dalam populasi
adalah melalui terapi antivirus supresif dan/atau program pendidikan yang
terbatas. Penggunaan kontrasepsi (terutama kondom) mengurangi kemungkinan
penularan infeksi VHS-I, khususnya selama periode asimtomatik ekskresi virus.
Ketika lesi berupa vesikel, infeksi VHS dapat ditransmisikan dari kulit ke kulit
meskipun menggunakan kondom. Namun demikian, data yang tersedia
menunjukkan bahwa penggunaan kondom yang konsisten adalah cara yang
efektif untuk mengurangi risiko penularan infeksi VHS-II. Pencegahan infeksi
VHS neonatal memerlukan pencegahan terutama pada ibu hamil trimester
ketiga kehamilan. Identifikasi wanita atau pasangan renta terhadap akuisisi
VHS pada kehamilan melalui pemeriksaan serologi adalah hal yang perlu
dilakukan.7
2.1.11 Komplikasi
Komplikasi paling umum dari infeksi virus herpes simpleks (VHS) adalah
superinfeksi bakteri. Pada wanita dengan infeksi VHS-II primer, meningitis
aseptik juga sering terjadi. Komplikasi yang signifikan, seperti penyebaran
visceral dan system saraf pusat dan gejala sisa jangka panjang jarang terjadi dan
biasanya terjadi pada pasien yang immunocompromised atau dalam kasus VHS
neonatal. Bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi VHS genital harus dimonitor
untuk setiap tanda-tanda infeksi dan segera diobati jika tanda-tanda penyakit
berkembang. Bayi prematur berisiko lebih tinggi dan infeksi VHS harus
dipertimbangkan pada bayi prematur dengan riwayat infeksi VHS pada ibu,
ketuban pecah dini, dan leukopenia. Infeksi VHS neonatal memiliki angka
kematian lebih dari 80% jika tidak diobati dan angka kematian / morbiditas
signifikan sekitar 50% bahkan ketika dirawat.8
2.1.12 Prognosis
Selama pencegahan, rekurens masih merupakan problem, hal tersebut
secara psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan
tepat memberikan prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung
lebih singkat dan rekurens lebih jarang. Pada orang dengan gangguan imunitas,
misalnya pada penyakit-penyakit dengan tumor di sistem retikuloendotelial,
pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat lemah,
menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan dapat fatal.
Prognosis akan lebih buruk seiring dengan meningkatnya usia seperti pada
orang dewasa.2
2.2.2 Epidemiologi
Penyakit ini terjadi sporadic sepanjang tahun tanpa mengenal musim.
Insidennya 2-3 kasus per1000 orang/tahun. Insiden dan keparahan penyakitnya
meningkat seiring bertambahnya usia. Dilaporkan terjadi di usia 60 tahun dan
komplikasi terjadi hampir 50% di usia tua. Jarang dijumpai usia dini (anak dan
dewasa muda), bila terjadi kemungkinan dihubungkan dengan varisela maternal
saat kehamilan. Tidak terdapat predileksi gender. 2
2.2.3 Etiopatogenesis
Menurut teori Hope-Simpson, sesudah infeksi primer VZV selain VZV
akan menetap laten di ganglion saraf dorsalis, infeksi ini akan menimbulkan
kekebalan seluler spesifik VVZ yang menghambat kemampuan VVZ yang laten
menjadi reaktivasi. Beberapa episode reaktivasi terjadi namun dengan cepat
dihambat oleh respon imun sehingga tidak ada ruam yang timbul. Hope-
Simpson mengatakan kondisi tersebut dengan timbulnya rasa nyeri pada
dermatom terkait tanpa adanya ruam yang muncul “zoster sine herpete”.
Frekuensi keterlibatan HZ pada regio toraks lebih banyak daripada regio
lumbalis, servikal, dan sakral. Peningkatan penyebaran virus HZ di luar unit
dermatom saraf ganglion yang terisolasi dapat terjadi pada pasien yang
memiliki defisiensi limfosit T dan pertahanan kekebalan yang dimediasi
makrofag. Dermatom T3 sampai dengan L3 merupakan dermatom yang paling
umum terlibat dalam kasus HZ. 2
2.2.4 Diagnosis
Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodromal (nyeri otot
local, nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar
dari ringan samapi berat. Setelah gejala prodromal akan timbul erupsi kulit
biasanya akan terasa gatal atau nyeri terlokalisata berupa makula kemerahan.
Lesi awal berupa macula eritema. Kemudian akan berubah menjadi papul,
vesikel jernih berkelompok selama 3-5 hari. Selanjutnya isi vesikel akan keruh
dan akhirnya pecah menjadi krusta (7-10 hari) dan erupsi kulit akan mengalami
2
involusi setelah 2-4 minggu.
Pemeriksaan penunjang herpes zoster Tzanck test (+) didapatkan adanya
perubahan sitologi sel epitel dimana terlihat multi nucleated giant sel.
Pemeriksaan gram (-) dan histopatologi berupa “sel balon” yaitu sel stratum
spinosum yang mengalami degenerasi dan membesar juga badan inklusi
yang
tersebar dalam inti sel epidermis, jaringan ikat, dan endotel pembuluh darah,
terdapat limfosit.2,6
2.2.5 Tatalaksana
Tiga analog guanosin yaitu asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir telah
dilisensikan oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan HZ.
Bioavabilitas oral dan tingkat aktivitas obat antivirus dalam darah lebih tinggi
dan lebih dapat diandalkan pada pasien yang menerima valasiklovir atau
famsiklovir tiga kali sehari dibandingkan dengan asiklovir 5 kali sehari. Hal
terpenting yaitu, VVZ kurang sensitif dibandingkan virus herpes simpleks
terhadap asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Antivirus ini mempercepat
resolusi lesi, mengurangi pembentukan lesi baru, mengurangi pelepasan virus,
dan mengurangi keparahan nyeri akut. 2
Pemberian terapi kortikosteroid dengan terapi antiviral dalam HZ tidak
berkomplikasi masih menjadi suatu kontroversi. Acyclovir dengan prednisolon
dapat membersihkan ruam dan mengurangi penyakit akut pada HZ, namun efek
jangka panjang dalam pencegahan NPH tidak diketahui.2
2.3.2 Epidemiologi
Impetigo krustosa sering terjadi pada anak-anak. Frekuensi laki-laki dan
perempuan sama. Lebih sering terjadi pada daerah yang tropis atau musim
panas atau lembap. 6
2.3.3 Etiologi
Penyebabnya adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus group A
betahemolitikus (GABHS) atau kedua-duanya.2 Faktor predisposisi pada
impetigo krustosa adalah2:
Hygiene yang kurang baik
Menurunnya daya tahan tubuh (misalnya ada penyakit kronik)
Telah ada penyakit lain dikulit yang menyebabkan fungsi kulit terganggu
2.3.4 Diagnosis
Gejala yang dirasakan adalah gatal terutama jika cuaca panas atau lembab.
Lesi awal berupa makula eritematosa ukuran 1-2mm, segera berubah menjadi
vesikel atau bula. Karena dinding tipis vesikel, mudah pecah dan mengeluarkan
secret seropurulen kuning kecokelatan. Selanjutnya mongering dan membentuk
krusta tebal berwana kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak erosi
dibawahnya. 2,6
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan biakan bakteriologis eksudat lesi,
biakan sekret dalam media agar darah dan dilanjutkan dengan tes resistensi.
Histopatologi berupa peradangan superfisial folikel polisebasea bagian atas. 6
2.3.5 Tatalaksana
Menjaga kebersihan kulit dengan mandi menggunakan sabun 2x sehari. Jika
krusta banyak, dilepas dengan mencuci menggunakan H2O2 dalam air lalu
diberi salep antibiotic seperti kloramfenikol 2% dan teramisin 3%. Jika lesi
banyak dan disertai gejala konstitusi (seperti demam), berikan antibiotic
sistemik, misalnya penisilin, kloksasilin, atau sefalosporin. 6
BAB III
STATUS PASIEN
1.2. Anamnesis
Dilakukan pada tanggal 23 November 2020 secara autoanamnesis kepada
pasien pada pukul 11.00 WIB.
1.2.1. Keluhan Utama
Timbul lepuh kecil pada bibir sejak 1 minggu yang lalu
1.2.2. Keluhan Tambahan
Gatal, nyeri, perih terasa seperti terbakar, meriang
1.2.3. Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 1 minggu yang lalu timbul lepuh kecil berisi cairan jernih
hanya di bibir. Awalnya hanya berupa ruam kemerahan dan bintil-bintil
yang berubah menjadi lepuh dan apabila lepuh digaruk akan keluar
cairan bening dan menjadi koreng. Pasien mengatakan belum pernah
berobat sebelumnya.
4 hari sebelum timbul bintil-bintil dan ruam kemerahan, pasien
mengeluh meriang, gatal, lalu nyeri dan perih. Keluhan perih dirasakan
seperti rasa terbakar. Keluhan mual, nyeri otot, nyeri tulang, pegal-
pegal, nyeri kepala, dan baal disangkal. Keluhan sakit flu sebelumnya
disangkal. Pasien mengatakan belum pernah berobat sebelumnya.
Pasien mengatakan bahwa keluhan ini baru pertama kali
dirasakan. Dalam kesehariannya pasien mandi 2x sehari dengan
menggunakan sabun. Pasien mengatakan haidnya teratur. Pasien juga
mengatakan bahwa ia pernah melakukan hubungan seksual secara oral
dengan pacarnya yang berjenis kelamin laki-laki tanpa menggunakan
pengaman. Pasien tidak mengetahui apakah pacarnya mengalami
keluhan serupa atau tidak.
Keterangan gambar:
1. Pustul dengan dasar eritem berukuran 0,3 cm x 0,3 cm
2. Makula eritem berukuran 0,5 cm x 1 cm
3. Papul dengan dasar eritem berukuran 0,2 cm – 0,2 cm
4. Krusta dengan dasar eritem
1.6. Diagnosis
Kerja
Herpes Simpleks
1.7. Pemeriksaan
Anjuran
1. Perwarnaan Gram
2. Histopatologi
1.8. Tatalaksana
1.8.1. Non-farmakologi
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit, kemungkinan
penyebab, perjalanan penyakit dan pengobatan penyakit ini.
Menganjurkan pasien untuk istirahat yang cukup.
Menjelaskan pasien untuk menjaga kebersihan badan (tetap mandi)
agar tidak terjadi infeksi sekunder.
Menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual mengurangi
risiko infeksi.
1.8.2. Farmakologi
Sistemik
1. Asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari
2. Asam mefenamat 3 x 500 mg/hari selama 5 hari
3. Cetirizine 1 x 10 mg/hari selama 5 hari
1.9. Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam
Quo ad Kosmetika : Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini membahas seorang pasien Nn. A usia 20 tahun datang dengan
keluhan sejak 1 minggu yang lalu timbul lepuh kecil berisi cairan jernih hanya di
bibir. Awalnya hanya berupa ruam kemerahan dan bintil-bintil yang berubah
menjadi lepuh dan apabila lepuh digaruk akan keluar cairan bening dan menjadi
koreng. 4 hari sebelum timbul bintil-bintil dan ruam kemerahan, pasien mengeluh
meriang, gatal, lalu nyeri dan perih. Keluhan perih dirasakan seperti rasa terbakar.
Keluhan mual, nyeri otot, nyeri tulang, pegal-pegal, nyeri kepala, dan baal
disangkal. Keluhan sakit flu sebelumnya disangkal. Pasien mengatakan bahwa
keluhan ini baru pertama kali dirasakan. Pasien juga mengatakan bahwa ia pernah
melakukan hubungan seksual secara oral dengan pacarnya yang berjenis kelamin laki-
laki tanpa menggunakan pengaman.
Berdasarkan anamnesis kemungkinan diagnosis kasus ini adalah herpes
simpleks. Herpes simpleks adalah suatu lesi akut berupa vesikel berkelompok di
atas daerah eritemosa, dapat satu atau beberapa kelompok, terutama pada atau dekat
sambungan mukokutan. Herpes simpleks disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks
(VHS) tipe 1 dan 2. Berdasarkan epidemiologi pada kasus herpes simpleks frekuensi
pada laki-laki dan perempuan sama. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks
(VHS) tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak. Infeksi VHS tipe II biasanya
terjadi pada dewasa dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Virus
herpes dapat menyerang janin in utero. Daerah predileksi pada VHS tipe 1 daerah
pinggang ke atas, terutama daerah mulut dan hidung. VHS tipe 2 daerah pinggang
ke bawah, terutama genital. Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara
hubungan seksual seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah
genital kadang-kadang disebabkan oleh VHS tipe I sedangkan di daerah mulut dan
rongga mulut dapat disebabkan oleh VHS tipe II. 2
Pada herpes simpleks sering ditemukan gejala prodromal lokal sebelum
timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Kelainan klinis yang dijumpai
berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi
cairan jernih kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-
kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Infeksi
VHS bisa dicetuskan oleh trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan
seksual, dan sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan
dapat pula timbul akibat alergi makanan dan minuman. 2
Diagnosis banding herpes simpleks adalah herpes zoster dan impetigo
krustosa. Herpes zoster (HZ) atau shingles adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh reaktivasi virus varisela zoster (VVZ) yang laten berdiam terutama dalam sel
neuronal dan kadang-kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalin dan
ganglion sensorik saraf kranial yang menyebar ke dermatom atau jaringan saraf
yang sesuai dengan segmen yang dipersarafinya. Insiden dan keparahan
penyakitnya meningkat dengan bertambahnya usia. Predileksinya daerah thoraks,
trigeminal, lumbosakral dan cervical (terbatas pada satu dermatom), sedangkan
impetigo krustosa predileksinya daerah yang terpajan, terutama wajah di sekitar
hidung dan mulut, tangan, leher, dan ekstremitas. 2
Pada herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodromal nyeri
otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar
dari ringan samapi berat. Setelah gejala prodromal akan timbul erupsi kulit biasanya
akan terasa gatal atau nyeri terlokalisata berupa makula kemerahan.2,6 . Imunitas
selular sangat penting berperan dalam mencegah reaktivasi virus dan zoster, dimana
sebelumnya pasien pernah terkena penyakit varisela. Jika imunitas seluler spesifik
terhadap VVZ menurun, maka virus dapat reaktivasi dari ganglion kranial ataupun
dorsal. 2
Berdasarkan uraian diatas, diagnosis yang paling mungkin pada pasien ini adalah
herpes simpleks. Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien ini yaitu:
Non-farmakologi
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit, kemungkinan penyebab,
perjalanan penyakit dan pengobatan penyakit ini.
Menganjurkan pasien untuk istirahat yang cukup.
Menjelaskan pasien untuk menjaga kebersihan badan (tetap mandi) agar tidak
terjadi infeksi sekunder.
Menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual mengurangi risiko
infeksi.
Farmakologi
Asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari
Asam mefenamat 3 x 500 mg/hari selama 5 hari
Cetirizine 1 x 10 mg/hari selama 5 hari
Dilihat dari keadaan umum pasien dan berdasarkan teori prognosis pasien
ini adalah:
1. Quo ad vitam adalah bonam karena penyakit ini tidak mengancam jiwa, sebab
dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda komplikasi. 2
2. Quo ad Functionam adalah bonam karena fungsi bagian tubuh yang terkena
tidak terganggu. 2
3. Quo ad Sanationam adalah dubia ad bonam karena herpes simpleks merupakan
penyakit yang bisa rekurens ketika ada faktor pencetus. 2
4. Quo ad cosmetica adalah bonam karena jika vesikel pecah akibat garukan lalu
menjadi krusta dan biasanya sembuh tanpa sikatriks.2
BAB V
KESIMPULAN
1. Herpes simpleks merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya
vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada
daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer
maupun rekurens.
2. Diagnosis banding pada kasus ini:
Herpes Simpleks
Herpes Zoster
Impetigo Krustosa
3. Penatalaksanaan pada kasus ini:
Non-farmakologi
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit, kemungkinan penyebab,
perjalanan penyakit dan pengobatan penyakit ini.
Menganjurkan pasien untuk istirahat yang cukup.
Menjelaskan pasien untuk menjaga kebersihan badan (tetap mandi) agar
tidak terjadi infeksi sekunder.
Menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual mengurangi
risiko infeksi.
Farmakologi
Sistemik
Asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari
Asam mefenamat 3 x 500 mg/hari selama 5 hari
Cetirizine 1 x 10 mg/hari selama 5 hari
4. Prognosis pada pasien untuk herpes zoster ini quo et vitam dan quo et
fungsional, dan kosmetika bonam, sedangkan quo et sanationam dubia ad
bonam.
HASIL DISKUSI
1. Menurut teori pada beberapa kasus herpes simpleks bisa diberikan obat
antiviral topikal seperti asiklovir. Mengapa pada kasus ini tidak diberikan?
Jawab:
Pengobatan antiviral topikal secara substansial kurang efektif
dikarenakan memiliki keterbatasan efisiensi penetrasi obat ke dalam
epitel stratum korneum yang tidak adekuat.11
Antiviral topikal secara substansial kurang efektif dibandingkan
dengan terapi sistemik untuk infeksi primer. 11
Antivirak topikal biasanya efektif untuk infeksi rekurens seperti
herpes simpleks labial rekurens dengan asiklovir 5%, 4x perhari
selama 7 hari. 11
2. Pada kasus ini terdapat riwayat cacar saat kecil dan riwayat hubungan
seksual secara oral-genital tanpa pengaman, mana yang lebih berkaitan
dengan kasus ini?
Jawab:
Adanya riwayat cacar saat masih kecil pada kasus ini tidak
berhubungan dengan penyakit yang diderita oleh pasien yaitu herpes
simpleks. Riwayat tersebut berhubungan dengan diagnosis banding
dari kasus ini yaitu herpes zoster yaitu infeksi virus yang disebabkan
oleh reaktivasi kembali Virus Varisela Zoster (VZV) yang laten di
ganglion dorsalis. Sedangkan virus penyebab herpes simpleks
adalah Herpes Simpleks Virus (HSV) tipe 1 dan 2.
Adanya riwayat pernah melakukan hubungan seksual secara oral-
genital tanpa pengaman merupakan salah satu faktor predisposisi
pada kasus herpes simpleks. Penggunaan kondom saat berhubungan
seksual secara oral-genital menurunkan resiko infeksi virus herpes
simpleks.2 Menjaga hygienitas organ genital juga penting untuk
menurukan resiko infeksi virus ini. Cara penularan virus ini adalah
melalui udara (batuk, bersin), air liur, dan bersentuhan langsung
dengan penderita.1,2 Pada kasus ini pasien tidak mengetahui apakah
pasangannya mengeluh penyakit serupa atau tidak.
3. Bagaimana cara edukasi kepada pasien herpes simpleks yang mana pernah
melakukan hubungan seksual secara oral-genital?
Jawab:
Sebaiknya pasien memberitahu terkait penyakit yang di derita
kepada pasangan.4
Menanyakan kepada pasangannya apakah pernah mengidap
penyakit serupa dan sebaiknya meminta pasangan jika mengalami
keluhan serupa untuk segera diperiksakan. 4
Infeksi sistemik pada hepar, paru, kelenjar adrenal, dan sistem saraf
pusat. 8
Pada ibu hamil, infeksi dapat menular pada janin dan menyebabkan
neonatal herpes yang sangan berbahaya.8
10. Apa saja indikasi pemberian antiviral parenteral pada kasus herpes
simpleks?
Jawab:
Indikasi pemberian obat antiviral parenteral pada kasus herpes impleks
adalah sebagai berikut2,12 :
Herpes simpleks dengan komplikasi
Herpes simpleks ensefalitis
Herpes simpleks neonatal
Pasien dengan immunocompramaised
11. Apa alasan memilih diagnosis banding herpes zoster pada kasus ini?
Jawab:
Herpes simpleks di daerah sekitar mulut dan hidung harus dibedakan
dengan impetigo dan herpes zoster. Pada impetigo cairan dan krusta lebih
menonjol, sedangkan herpeszoster sekitar bibir lesi sepanjang perjalanan
saraf. Pada kasus ini gejala yang dikeluhkan adalah gatal, nyeri dan perih
seperti terbakar, serta meriang. Selain pada herpes simpleks, gejala klinis
seperti ini juga bisa ditemukan pada herpes zoster. Herpes zoster dapat
dimulai dengan timbulnya gejala prodromal seperti nyeri otot, nyeri tulang,
pegal, parestesia sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar dari ringan
samapi berat.2 Selain itu pasien juga mempunyai riwayat cacar sebelumnya
saat masih kecil. Maka dari itu, kasus ini juga di diagnosis banding dengan
herpes zoster. Untuk membedakan keduanya bisa dilakukan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang lebih lanjut.
12. Apa saja faktor predisposisi diagnosis banding pada kasus ini?
Jawab:
Faktor prediposisi herpes simpleks2 :
1. Trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual,
dan sebagainya)
2. Trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi),
3. Akibat alergi makanan dan minuman
4. Adanya riwayat penyakit kronik (DM, hipertensi)
Faktor predisposisi herpes zoster yaitu2 :
1. Imunitas selular sangat penting berperan dalam mencegah
reaktivasi virus dan zoster
2. Sebelumnya pasien pernah terkena penyakit varisela
3. Kemoterapi atau terapi
4. Konsumsi obat-obatan immunosupresif atau kotikosteroid
Faktor predisposisi impetigo krustosa2 :
1. Hygiene yang kurang baik
2. Menurunnya daya tahan tubuh (misalnya ada penyakit kronik)
3. Telah ada penyakit lain dikulit yang menyebabkan fungsi kulit
terganggu
13. Mengapa memilih asam mefenamat sebagai analgesik pada kasus ini?
Jawab:
Obat analgesik dibagi menjadi 2 golongan yaitu analgesik-antipieretik dan
analgesik-antiinflamasi. Golongan analgesik-antipieretik tidak mempunyai
respon antiinflamasi sehingga kurang efektif terhadap penyakit-penyakit
infeksi. Pada kasus ini digunakan golongan analgesik-antiinflamasi yaitu
asam mefenamat. Asam mefenamat memiliki waktu paruh 2-4 jam lebih
panjang dibandingkan dengan obat golongan analgesik lain seperti
diklofenak, indometasin, ibuprofen, ketoprofen, dan naproksen yang
memiliki waktu paruh 1-2 jam. Efek samping yang ditimbulkan oleh asam
mefenamat lebih minimal dibandingkan dengan yang lain. Namun demikian
pemberian obat golongan analgesik-antiinflamasi tidak dianjurkan lebih
dari 7 hari karena efek toksisitas terhadap ginjal cukup signifikan.9
DAFTAR PUSTAKA
1. Salvatore Crimi, dkk. Herpes Virus, Oral Clinical Signs and QoL: Systematic
Review of Recent Data. Viruses. 2019; 11,463.
2. Linuwih, S., dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7.Jakarta. Balai
Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Mustafa, dkk. Herpes Simplex Virus Infections, Pathophysiology And
Management. IOSR Journal Of Dental And Medical Sciences (IOSR-JDMS).
2016; 15:2 p. 72-78.
4. WHO. International Statistical Classification Of Disease And Related Health
Problems. 2nd ed. Geneva: WHO; 2007. p. 843-4.
5. Adriana R. Marques; Jeffrey I. Cohen. Fitzpatrick's Dermatology In
GeneralMedicine. https://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=392§ionid
=41138922. Diakses pada 23 November 2020.
6. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC; 2014
7. Sudoyo, AW., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Dalam Jilid I Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing; 2015.
8. Sean P, McGregor, DO, PharmD. Dermatologic Manifestations of Herpes
Simplex. Resident Physician: Department of Dermatology, Baptist Health
Medical Center, Wake Forest University School of Medicine. 2020.
9. Gunawan, S. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke 5. Jakarta. 2012.
10. H van der Plas, dkk. Herpes Simpleks Virus 1 and 2: A Therapeutic
Approach. Departemen of Medicine University of Cape Town. South Africa.
2010.
11. Wolverton, S. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy. Departement of
Dermatology Universiti School of Medicine, USA. 2020.
12. Katzung, B. Farmakologi Dasar dan Klinik Vol. 2 Edisi 12. Jakarta: EGC.
2013.