Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Untaian syukur Alhamdulillah patut penyusun haturkan kehadirat Allah


SWT yang telah memberi kemudahan dalam menyelesaikan penyusunan
makalah dengan judul “ Kaidah Fiqh ‫الينكرتغيراالحك م بتغيراالزمن‬ “ ini. Segala
kesulitan dan rintangan telah dilalui karena bantuan-Nya.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya makalah ini. Dalam makalah ini, penyusun akan
menguraikan pembahasan “ Kaidah Fiqh ‫الينكرتغيراالحك م بتغيراالزمن‬ Jadi,
penyusun mohon saran serta kritik kepada pembaca agar makalah ini mendekati
kesempurnaan dan berguna bagi yang membaca serta menambah wawasan dalam
bidang Studi Fiqh Legal Maxim.

Semoga makalah ini ada manfaatnya bagi pembaca dan penyusun khususnya.
Aamiin.

B. Lampung, Mei 2019


Penyusun

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah
pada dasarnya terbagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya
diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan
vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang
sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan
hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di
dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi
kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
La yunkaru taghayyuru al-ahkam bi taghayyuri al-azman1, Tidak dapat
dipungkiri bahwa hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan realitas
masyarakat, baik kondisi sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, politik dsb.
Hukum yang baik tidak bersifat kaku, namun akan selalu berdialektika
dengan kondisi sosial masyarakatnya, kontekstualisasi hukum ini sebenarnya juga
sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad, ketika beliau mengasingkan pelaku zina,
namun ketika dirasakan lebih banyak mudharatnya maka hukum tersebut
dinasakh, pada masa Khulafa al-Rasyidin juga melakukan perubahan dan
pembaruan hukum, Umar menjatuhkan talak tiga langsung ketika diucapkan
sekaligus, untuk mencegah orang-orang agar tidak gampang menjatuhkan talak.
Perubahan kondisi masyarakat yang terus berkembang dan Islam yang
terus meluas ke seluruh dunia, sementara Nash sudah terputus sepeninggal Nabi
Muhammad maka tidak ada lagi tempat untuk menyandarkan hukum, maka para
ulama melakukan ijtihad dengan berbagai macam metodologinya. Imam Malik

1
1Muhammad Mushtafa al-Zuhaily, Kaidah ke 52 dalam Al-Qawaidu Al-Fiqhiyyah
WaTathbiqatuha Fi Al-Mazahibi Al-Arba’ah, (Damaskus, Darul Fikri, 2006) hlm. 353

2
yang tinggal di Madinah menyandarkan hukum kepada hadits dan amal ahli
Madinah, sementara Abu Hanifah yang tinggal di Irak, yang jauh dari sumber
hadits, mau tidak mau mengerahkan daya nalarnya dalam mengkaji hukum Islam,
dan Syafi‟i yang berguru dengan ke dua imam besar ini melakukan sintesis
pengambilan hukum, menggunakan hadits sebagai sumber hukum dan beralih ke
ra‟yu jika tidak ditemukan dalil dengan pendekatan qiyas.
Dari latar belakang di atas, kiranya sangat penting untuk memahami
tentang Qa’idah fikhiyyah La yunkaru taghayyuru al-ahkam bi taghayyuri al-
azman. melalui makalah ini penulis akan mencoba membahas lebih lanjut
tentang hal tersebut.

B. Rumusan Masalah
1 Apa pengertian dan penjelasan istilah dalam La yunkaru taghayyuru al-
ahkam bi taghayyuri al-azman?
2 Bagaimana pandangan para ahli hukum?
3 Bagaimana penerapan kaidah La yunkaru taghayyuru al-ahkam bi
taghayyuri al-azman?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


Pemakalah berharap dengan adanya makalah ini dapat membantu pembaca
untuk mengetahui:
1. Untuk mengetahui apa pengertian dan penjelasan istilah dalam kaidah La
yunkaru taghayyuru al-ahkam bi taghayyuri al-azman?
2. Untuk mengetahui bagaimna pandangan para ahli hukum.
3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan kaidah La yunkaru taghayyuru al-
ahkam bi taghayyuri al-azman?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Kaidah ‫الينكرتغيراالحك م بتغيراالزمن‬

Secara bahasa kaidah La yunkaru taghayyuru al-ahkam bi taghayyuri al-


azman dapat diartikan bahwa Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan dalam
hukum mengikuti perubahan waktu atau zaman.
Dalam agama Islam, apabila dalam menetapkan hukum tidak ditemukan
dalam Al-Qur’an, Hadits, dan ijma’maka para ulama’ mengambil sumber-sumber
hukum lain seperti qiyas, istihsan, istishab, maslahah mursalah, dan syar’u man
qoblana.
Semua ahli fikih sepakat bahwa syariat Islam cocok diterapkan di setiap
tempat dan waktu. Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa Islam hadir untuk
memenuhi dan menyempurnakan maslahat umat manusia. Baik maslahat yang
berkaitan dengan dunia, terlebih akhirat mereka. Dan di antara cara Islam
melindungi maslahat manusia adalah dengan memerhatikan tradisi yang baik dan
adat mereka yang terpuji.
Memang, untuk menjamin maslahat manusia tidak diharuskan adanya
perubahan ijtihad hukum. Terkadang, suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan
adat dan tradisi di suatu waktu dan tempat menghadirkan maslahat pada saat itu.
Namun, seiring perjalanan waktu yang meyebabkan perubahan adat dan tradisi,
justru hukum yang ditetapkan tersebut tidak lagi mendatangkan maslahat yang
dikehendaki. Bahkan besar kemungkinan berpotensi mengundang mafsadat yang
sebenarnya ingin dihindari. Dari sanalah para ahli fikih kemudian menyepakati
bahwa dimungkinkan (bahkan) dituntut adanya perubahan hukum-hukum hasil
ijtihad tatkala terjadi pergeseran adat dan tradisi.

4
B. Pandangan Ulama Terhadap Kaidah ‫الينكرتغيراالحك م بتغيراالزمن‬

Gagasan perubahan hukum dalam kajian hukum Islam tidak bisa


dihindarkan. Walaupun secara baku dalam terminologi ushul fikih hukum
didefinisikan sebagai khitab Allah2, akan tetapi bukan berarti hukum islam
bersifat kaku dan tidak bisa berubah. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah syariat
dibangun atas dasar kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat. Pondasi dari syariat adalah keadilan, rahmah (kasih sayang),
kemaslahatan, dan hikmah. Oleh karena itu jika ada masalah yang menyimpang
dari prinsip- prinsip tersebut maka bisa dipastikan itu bukanlah syariah.3
Diantara perkara yang mempengaruhi perubahan hukum adalah masalah urf
atau adat istiadat. Karena kebutuhan manusia berbeda beda di satu daerah dengan
daerah lainnya. Dalam kitab i’laamul Muwaqqiin, Ibnul Qayyim berkata:
‫ وباهلل التوفيق‬،‫ وذلك كله من هللا‬،‫فإن الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان والعوائد واألحوال‬
“Sesungguhnya fatwa dapat berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, adat
istiadat dan kondisi. Dan semua itu berasal dari Allah. wabillahittaufiq”.
Menurut Yusuf Qardhawi setelah melakukan riset dan kajian secara
mendalam, ia mengatakan bahwa ada sepuluh faktor yang bisa mendorong
terjadinya perubahan fatwa. Kesepuluh faktor tersebut adalah4
1. Perubahan tempat (Taghayyur al-maka>n)
2. Perubahan zaman (Taghayyur al-Zaman)
3. Perubahan keadaan (Taghayyur al-hal)
4. Perubahan kebiasaan atau Urf (Taghayyur al-‘urf)
5. Perubahan informasi atau penegtahuan (Taghayyur al-ma’lumat)
6. Perubahan kebutuhan manusia (Taghayyur hajat al-nas)
2
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), hlm 46.
3
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’la>m al-Muwaqi’i>n, Juz III (Bairut: Maktabah al-„Asriyah, 2003),
hlm 12.
4
Yusuf al-Qardawi, Mujibat Taghayyur al-Fatwa fi ‘Asrina, Cet. II (Mesir: Dar al-Shuruq,
20011), 39.

5
7. Perubahan kemampuan manusia (Taghayyur qadrat al-nas)
8. Perubahan situasi sosial, ekonomi, dan politik (Taghayyur al-auda’, al-
Ijtima>iyyah, wa al-iqtisadiyyah, wa al-siyasiyah)
9. Perubahan opini dan pemikiran (Taghayyur al-ra’y wa al-fikr)
10. Bencana umum (umum al-balwa)

Untuk menegaskan bahwa proses perjalanan waktu sangat berpengaruh


pada perubahan hukum, Ahmad bin Muhammad al-Zarqa menegaskan :
“Sesungguhnya hal itu merupakan sesuatu yang ditetapkan dan dapat
diterima, serta merupakan sunatullah dalam setiap penetapan undang undang
untuk hambanya. Saat pertama kali menciptakan manusia, pada saat itu
kondisinya serba terbatas karena sedikitnya jumlah anggota keluarga, Allah
memperbolehkan pernikahan antara saudara perempuan dengan saudara laki-
lakinya dan banyak lagi kemudahan kemudahan yang lain. Hukum semacam ini
tetap berlaku sampai keadaan menjadi lebih leluasa dan jumlah anggota
keluarga menjadi lebih banyak, maka pernikahan dengan saudara diharamkan
pada zaman Bani Israil.
Demikian juga halnya dengan hari sabtu, lemak dan daging unta serta
banyak lagi yang lainnya. Pada awalnya tobat manusia dilakukan dengan bunuh
diri, menghilangkan najis dengan memotong benda yang terkena najis dan lain-
lain yang termasuk hukum yang berat. Setelah datang akhir zaman dan
kemampuan manusia memikul beban berat menjadi lemah dan kulit binatang
menjadi sedikit, maka Allah SWT berbelas kasih kepada hambanya dan
meringankan beban mereka dengan cara menghalalkan hal hal yang diharamkan
dan menghapus beban berat sebagaimana di atas, serta menerima tobat tanpa
harus bunuh diri terlebih dahulu. Semua itu disebabkan karena perbedaan
keadaan dan waktu dan merupakan sunatullah yang berlaku pada ciptaanNYA.5

5
al-Zarqa, Sarh Qawaid, hlm 228.

6
Dalam konteks perubahan yang terus menerus ini, maka adalah
kebijaksanaan Tuhan bahwa teks-teks keagamaan tidak mengatur detail-detail
masalah dan hukum-hukumnya, melainkan lebih banyak menetapkan dasar-
dasarnya (mabadi) yang bersifat moral-etis. Beberapa di antaranya
adalah ; ‘Adam al-Dharar  (tidak merugikan/merusak), ‘Adam al-Gharar (tidak
menipu), ‘Adam al-Ihtiqar (non diskriminatif), ‘Adam al-Ikrah (non
kekerasan),al-Taradhi (kerelaan pihak-pihak yang terlibat), Mu’asyarah bi al-
Ma’ruf (pergaulan yang baik), syura/musyawarah (dialog konsultatif) dan
sebagainya. Semua dasar ini pada akhirnya bermuara pada satu dasar utama
yang bernama Maslahat, kebaikan umum(human welfare). Dengan kata lain,
keputusan hukum terhadap problem-problem mu’amalat(social/public)
didasarkan pada kemaslatan umum ini. Para ulama ahli hukum telah sepakat
bahwa kemaslahatan adalah tujuan hukum/syari’at.
Pertanyaan yang selalu muncul terkait dengan isu ini, adalah bagaimana
apabila pertimbangan hukum atas dasar kemaslahatan tersebut bertentangan
dengan bunyi literal teks suci, baik Al-Qur’an maupun hadits  dan dengan Ijma’
ulama (consensus). Mengenai hal ini menarik sekali untuk dikemukakan
pandangan Dr. Musthafa Syalabi dalam bukunya“Ta’lil al-Ahkam”.
“Apabila kemaslahatan bertentangan dengan “nash”(teks), dalam bidang
mu’amalat dan adat-kebiasaan (tradisi) yang kemaslahatannya telah berubah,
maka kemaslahatanlah yang harus dipertimbangkan, dan hal ini tidaklah dapat
dikatakan sebagai menentang “nash” melalui semata-mata pendapat nalar.
Sebaliknya ia justeru mengaplikasikan “nash-nash” yang sangat banyak yang
menunjukkan keharusan menjaga kemaslahatan tersebut. Akan tetapi apabila
kemaslahatan dalam “nash” tidak berubah, maka nash sama sekali tidak boleh
diabaikan”.6
Syalabi selanjutnya mengatakan:

6
Muhammad Musthafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, Beirut, 1981,
hlm. 322.

7
“Siapapun yang merenungkan secara mendalam tentang adanya kontradiksi
tersebut, hal itu sebenarnya hanyalah dalam bentuk lahiriyahnya saja. Hal ini
karena nashsesungguhnya diturunkan (dibuat) dalam rangka menegakkan
kemaslahatan tertentu. Manakala kemasalahatan tersebut telah hilang, maka ia
tidak relevan lagi untuk diimplementasikan. Demikian pula apabila nash
disertai dengan “illat” (logika kausalitas) nya. Manakala illat tersebut hilang,
maka hukum tersebut juga selesai. Ini adalah pemahaman para sahabat dan
generasi sesudahnya”.7

C. Penerapan Kaidah ‫الينكرتغيراالحك م بتغيراالزمن‬


Aplikasi dari kaidah ‘La yunkaru taghayyurul ahkam bi taghayyuril azman’
di antaranya, yaitu :
Dulu, tatkala bentuk rumah dalam suatu komunitas masyarakat adalah sama,
para ahli fikih berfatwa bahwa melihat salah satu rumah dari rumah-rumah yang
ada sudah cukup untuk menggugurkan hak khiyar (memilih) dalam jual beli.
Namun, tatkala terjadi perubahan waktu dan zaman di mana bentuk-bentuk
rumah dalam satu komunitas tidak lagi sama, maka para ahli fikih yang hidup
belakangan pun menfatwakan bahwa diharuskan untuk melihat rumah tersebut
satu persatu untuk menggugurkan hak khiyar. Perbedaan hukum tersebut bukan
lantaran perbedaan argumentasi atau bukti, namun disebabkan perbedaan waktu
dan zaman.
Pada masa Imam Abu Hanifah, mewarnai pakaian (untuk laki-laki) dengan
warna hitam adalah suatu aib. Oleh itu, beliau berfatwa bahwa jika seseorang
mengghashab (mengambil secara paksa) kain milik orang lain, kemudian
mencelupnya dengan warna hitam maka ia telah menjadikan kain tersebut cacat.
Sehingga ia pun harus menggantinya. Tetapi ketika adat dan tradisi masyarakat
berubah, yaitu dengan tidak menganggap warna hitam sebagai suatu aib, maka
Abu Yusuf dan Al-Hasan (dua murid senior Abu Hanifah) berfatwa bahwa
7
Ibid, hlm.323.

8
mencelup pakaian dengan warna hitam bukan suatu cacat, namun sekedar
penambahan warna.
Demikian juga dengan fatwa beberapa ahli fikih Hanafi yang hidup
belakangan yang tidak memercayai pengakuan seorang istri—setelah  melakukan
jima’ dengan sang suami—bahwa ia belum menerima mahar dari suaminya.
Semestinya, sesuai dengan kaidah bahwa ‘pengakuan yang bisa diterima adalah
pengakuan dari orang yang menginkari yang disertai sumpahnya’ maka
pengakuan istrilah yang diterima. Tetapi manakala adat suatu masyarakat
berubah, di mana seorang istri pada umumnya tidak mau menyerahkan dirinya
pada suaminya sebelum ia menerima mahar darinya, maka pengingkaran bahwa
ia telah menerima mahar pun ditetapkan untuk tidak bisa dipercayai.
Pada awal Islam, ‘adalah (keadilan) seorang saksi dalam persidangan atau lainnya
sangat diperhatikan. Ketika itu, ‘adalah ditandai dengan menjauhi dosa besar dan tidak
terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil. Tetapi, tatkala orang yang memenuhi kriteria
tersebut semakin langka, sementara keberadaan seorang saksi sangat dihajatkan untuk
memutuskan suatu perkara, maka para ahli fikih yang hidup belakangan pun
memfatwakan diterimanya persaksian orang yang tidak termasuk kategori ‘ adalah pada
era awal. Yaitu dengan berusaha semaksimal mungkin lebih mendahulukan persaksian
orang yang lebih sedikit kefajirannya.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara bahasa kaidah La yunkaru taghayyuru al-ahkam bi taghayyuri al-
azman dapat diartikan bahwa Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan dalam
hukum mengikuti perubahan waktu atau zaman.
Semua ahli fikih sepakat bahwa syariat Islam cocok diterapkan di setiap
tempat dan waktu. Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa Islam hadir untuk
memenuhi dan menyempurnakan maslahat umat manusia. Baik maslahat yang
berkaitan dengan dunia, terlebih akhirat mereka. Dan di antara cara Islam
melindungi maslahat manusia adalah dengan memerhatikan tradisi yang baik
dan adat mereka yang terpuji.
Diantara perkara yang mempengaruhi perubahan hukum adalah masalah
urf atau adat istiadat. Karena kebutuhan manusia berbeda beda di satu daerah
dengan daerah lainnya, dalam konteks perubahan yang terus menerus ini, pada
akhirnya bermuara pada satu dasar utama yang bernama Maslahat, kebaikan
umum(human welfare).

B. Saran
Dengan adanya makalah ini penulis berharap bahwa makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca mengenai akad musyarakah. Selain itu,
penulis berharap dengan adanya makalah ini bisa membantu pembaca dalam
menyelesaikan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tadinya belum
diketahui.

10
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Mushtafa al-Zuhaily, Kaidah ke 52 dalam Al-Qawaidu Al-


Fiqhiyyah WaTathbiqatuha Fi Al-Mazahibi Al-Arba’ah, (Damaskus, Darul Fikri,
2006).
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009.
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’la>m al-Muwaqi’i>n, Juz III (Bairut: Maktabah al-
„Asriyah, 2003).
Yusuf al-Qardawi, Mujibat Taghayyur al-Fatwa fi ‘Asrina, Cet. II (Mesir:
Dar al-Shuruq, 20011).
al-Zarqa, Sarh Qawaid.
Muhammad Musthafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, Dar al-Nahdhah al-
Arabiyyah, Beirut, 1981.

11
12

Anda mungkin juga menyukai