1. Dalam perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) Amr bin Ash mengalami mimpi junub.
Akan tetapi Amr bin Ash takut mandi karena hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber
tayamum dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad Amr bin Ash itu sampai kepada Nabi,
maka beliau bertanya kepada Amr bin Ash : (Benarkah) kamu shalat bersama sahabat
kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ? maka Amr bin Ash menjawab : Aku
mendengar Allah berfirman :
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada dirimu. (QS
An-Nisa : 29)
Mendengar jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa. Hal itu
merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya.
1. Dalam suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan Ammar bin Yasir sama-sama dalam keadaan
junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi besar, sementara waktu
shalat telah tiba. Ammar ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan debu, maka Ammar
berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber tayamum yang
menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk menunda shalat.
Maka tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan, Nabi menyatakan bahwa kedua ijtihad
itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa
harus berguling-guling ke tanah dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam
keadaan darurat.
1. Bani Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat perjanjian
persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila Madinah diserang musuh.
Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan pengkhianatan
berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung
diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun selesai, Allah
memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi bersabda : Jangan ada
diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah.
Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna
lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat
yang lain memahami sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh
melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas menuju ke
perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua pemahaman tersebut.
Jadi pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui hukumnya yang
seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada ditengah-tengah para sahabat.
B. Masa Khulafaur Rasyidin
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau
mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui
hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu
Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah
Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama
yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah, maka
kesepakatan para sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijma yang mutlak
dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota
Madinah dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum
muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai
dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama
dan mujtahid dari generasi tabiin dan tabiit-tabiin.
Pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari
Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula mulai terjadi perang pertumpahan darah
diantara sesama kaum Muslimin, yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur Rasyidin dapat
dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :
Ikutilah jejak dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar. (HR Tirmidzi, Thabarani, Hakim)
Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham)
yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi
hidayah. (HR. Abu Dawud).
Disamping empat orang Khulafaur Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga ada yang dikenal
sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul sahabi) yang tidak disandarkan
berasal dari Nabi disebut hadits mauquf.
Sahabat Nabi adalah generasi Islam yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah pada beberapa
ayat Al-Quran dan diridhoi oleh Nabi dalam beberapa hadits.
Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :
Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah.
Hadits Nabi :
Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.
Para Sahabat itu para murid yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka mengetahui
latar belakang turunnya ayat Al-Quran (asbabun nuzul), mengetahui latar belakang timbulnya
hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling
besar jasanya kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu sangat layak untuk dijadikan rujukan
dan diikuti.
Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal
banyak memberi fatwa adalah :
1. Said bin Al-Musayyab (15 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits, paling
mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
2. Urwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
3. Abu Bakar bin Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
4. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
5. Ubaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Masud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
6. Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar,
Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
7. Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan).
1. Al-Quran
2. Hadits dari riwayat kepercayaan.
3. Ijma
4. Fatwa Shabat
5. Qiyas
6. Istihsan (keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang lebih kuat).
7. Urf (kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah dikalangan manusia)
Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar kodifikasi ilmu Fiqih,
pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan dibukukan oleh sahabat sekaligus murid-muridnya
seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani.
Fiqih mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi rayu (Qiyas) lebih banyak
dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan hadits/atsar.
Kitab-kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi :
Tentang Masailul Ushul :
1. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2. Al-Jamius Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3. Al-Jamiul Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4. As-Sairus Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5. AS-Sairus Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
6. Az-Zidayat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
7. Al-Kafi, karya : Abdul Fadha Hammad bin Ahmad.
8. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Muhammad bin Sahl.
Tentang Masailul Nawadhir :
1. Dhahirur Riwayah, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2. Haruniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3. Jurjaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4. Kisaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5. Al-Mujarrad, karya : Hasan bin Ziad.
Tentang Fatwa wal Waqiat :
1. An Nawazil, karya : Abdul Laits As Samarqandi.
Tentang Akidah dan Ilmu Kalam :
1. Fiqhul Akbar, diriwayatkan oleh Abi Muthi Al Hakam.
Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al Madani. Beliau
dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau sudah hafal Al-Quran dan sudah nampak
minatnya dalam ilmu agama.
Imam Malik belajar hadits kepada Rabiah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry, Nafi Maula Ibnu
Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab, Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin
Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah, Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafi bin
Abu Numan.
Ibnu Al-Kasim berkata : Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa, sampai-sampai ia
pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian di jual kepasar.
Imam malik sangat memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi. Imam Malik tidak mau mempelajari
hadits dalam keadaan berdiri. Beliau juga tidak mau menaiki kuda di kota Madinah karena beliau
malu berkuda diatas kota yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah SAW.
Ibnu Abdu Al-Hakam mengatakan : Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama dengan gurunya
Yahya bin Saad, Rabiah dan Nafi, meskipun usianya baru berusia 17 tahun. Beliau dikenal jujur
dalam periwayatannya.
Abu Dawud mengatakan : Hadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi
dari Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari Malik dari Az Zuhry dari Salim dari ayahnya. Beriktnya
adalah hadits dari Malik dari Abu Zanad dari Araj dari Abu Hurairah. Hadits mursal Malik lebih shahih
dari pada hadits mursal Said bin Al Musayyab atau Hasan Al Basri.
Sufyan mengatakan : Jika Malik sudah mengatakan balaghny telah sampai kepadaku, niscaya isnad
hadits tersebut kuat.
Imam Syafii mengatakan : Jika engkau mendengar suatu hadits dari Imam Malik, maka ambillah
hadits itu dan percayalah.
Imam Malik juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah hukum halal-haram. Imam Abdurrahman bin
Mahdy meriwayatkan : Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada
beliau lalu berkata : Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para
kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada
engkau. Imam Malik berkata : Bertanyalah. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau
dan beliau hanya menjawab : aku tidak memandangnya baik. Orang itu terus mendesak karena
menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, Bagaimana nanti kalau kau ditanya
orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?
Imam Malik berkata : Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya
baik. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash yang
tegas mengharamkannya.
Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Tentang
penguasaannya dalam hadits, beliau sendiri pernah mengatakan : Aku telah menulis dengan
tanganku sendiri 100.000 hadits. Beliau mengarang kitab hadits Al-Muwatta, merupakan kitab hadits
tertua yang sampai kepada kita.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Jafar Al Manshur beliau pernah memberi fatwa bahwa akad
orang yang dipaksa itu tidak syah. Fatwa ini tidak disukai oleh pemerintah karena bisa membawa
konsekuensi juga bahwa baiat kepada penguasa karena terpaksa adalah juga tidak syah dan itu
dianggap membahayakan kekuasaan Bani Abbas.
Gubernur Madinah, Jafar bin Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik mencabut fatwanya, namun
Imam Malik menolak. Akibatnya gubernur memukulnya sampai 80 kali sampai tulang belikatnya retak
dan mengaraknya diatas kuda keliling kota Madinah. Sejak itu namanya bukannya menjadi cemar,
justru makin melambung dan harum dimata umat.
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik agar datang ke
Baghdad dan mengajarkan Al Muwatta untuk keluarga istana, maka Imam Malik berkata , Ilmu itu
didatangi bukan sebaliknya. Akhirnya Khalifah Harun Al Rasyid bersama dua anaknya Al Mamun dan
Al Amin datang ke Madinah untuk belajar kitab Al Muwatta.
Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta
sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Quran. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh
Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah
tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Kemudian Imam
Malik pun mengarang kitab kumpulan fatwa-fatwa sahabat, yaitu : Syadaid Abdullah bin Umar
(Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-
pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan Shawazh Abdullah Ibnu Masud (Pendapat-pendapat
Abdullah bin Masud).
Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas :
1. Al-Quran
2. Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
3. Ijma
4. Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
5. Qiyas
6. Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
7. Perkataan Sahabat.
Bila dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik mewakili aliran
Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit menggunakan porsi dengan rayu
(Qiyas).
Kitab Kitab Mazhab Maliki :
1. Kitab Hadits, Al Muwatta.
2. Syadaid Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras)
3. Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan)
4. Shawazh Abdullah Ibnu Masud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Masud).
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafii (150-204 H)
Seorang pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada Abdu Manaf,
kakek generasi keempat diatas Rasulullah. Beliau lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di
Asqalan, perbatasan dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya
Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam
kondisi serba kekurangan (miskin).
Beliau dikenal sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah dapat menghafal Al-
Quran. Kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab dari Bani
Huzail yang dikenal halus bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid
Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari fiqih.
Imam Syafii kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti Mekkah). Pada usia
10 tahun Imam SyafiI sudah hafal kitab Al-Muwatta karya imam Malik. Pada usia 13 tahun bacaan Al-
Quran imam Syafii yang sangat merdu mampu membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu.
Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh gurunya untuk memberi fatwa di Masjidil Haram.
Ketika berumur 20 tahun Imam Syafii ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas,
pengarang kitab Al Muwatta di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan didukung juga oleh
gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan
bagi keperluan Imam Syafii dalam belajar kepada Imam Malik di Madinah.
Dengan diantar gubernur Madinah, Imam Syafii mendatangi rumah Imam Malik. Mula-mula Imam
Malik kurang suka dengan adanya surat pengantar dalam urusan menuntut ilmu. Tapi setelah
pemuda Syafii bicara dan mengemukakan keinginannya yang kuat untuk belajar, apalagi setelah
mengetahui bahwa pemuda Syafii telah hafal Al-Quran dan hafal kitab Al Muwatta karangannya,
maka Imam Malik menjadi kagum dan akhrinya menerimanya menjadi muridnya.
Imam Syafii kemudian menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam Syafii
juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta kepada jamaah pengajian Imam
Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafii tinggal bersama Imam Malik bin Anas, hingga akhirnya Imam
Syafii ingin pergi ke Irak, untuk mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam Abu
Hanifah. Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50 dinar.
Sesampai di Irak, imam Syafii menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu Imam Abu
Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi yang dikarang oleh
Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf. Setelah sekitar dua tahun berdiam di Irak, Imam Syafii
meneruskan pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah. Di setiap kota yang
dikunjungi Imam Syafii mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari
mereka dan mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun di Irak dan 2
tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam Syafii kembali ke Madinah dan
disambut penuh haru oleh gurunya yaitu Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafii selama empat
tahun lebih tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai
meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.
Sepeninggal Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang yang
membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun itu juga datang wali negeri Yaman ke
Madinah yang mengetahui bahwa Imam Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang salah
seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafii. Wali Negeri Yaman mengajak Imam Syafii
ikut ke Yaman untuk menjadi sekertaris dan penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan
Hamidah binti Nafi (cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua orang putri.
Di Yaman Imam Syafii juga masih terus belajar, terutama kepada Imam Yahya bin Hasan. Disana
beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat yang pada saat itu sedang marak dipelajari.
Pada waktu itu Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin yang berusaha
memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka
beberapa tokoh orang-orang Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafii ditangkap dan dibawa ke
Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.
Setelah diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau dibebaskan dari segala
tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah bebas dibebaskan,
Imam Syafii sempat beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim
(pendapat lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau
mempelajari fiqih.
Pada sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir. Gubernur Mesir
yang baru tersebut mengajak Imam Syafii ikut ke Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir.
Maka akhirnya Imam SyafiI tinggal di Mesir bersama sang Gubernur.
Setibanya di Mesir, Imam Laits bin Saad mufti Mesir telah meninggal, maka beliau mempelajari fiqih
Imam Laits melalui murid-muridnya. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid
(pendapat baru) nya. Imam Syafii terus mengajar dan menjadi mufti, memberikan fatwa-fatwa di
Masjid Amr bin Ash sampai wafatnya.
Metode Ijtihad Imam Syafii :
1. Al-Quran
2. Hadis
3. Ijma
4. Qiyas
5. Istidlal
Imam Syafii adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang
mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar Risalah. Beliau menerangkan cara-cara
istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Quran dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal,
menerangkan cara mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling
bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma, qiyas dsb. Imam Syafii Juga melakukan penilaian
terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah mursalah dan praktek penduduk
Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.
Kitab-kitab mazhab Syafii :
1. Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
2. Al Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
3. Jamiul Ilmi.
4. Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
5. Ar-Raddu ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan terhadap pendapat
Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.
6. Siyarul Auzay, berisi pembelaan terhadap Imam Al-Auzay.
7. Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling
bertentangan.
8. Musnad Imam Syafii, berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafii.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Lahir di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih anak-anak dan
kemudian dibesarkan dan diasuh oleh ibunya. Kota Baghdad pada waktu itu merupakan ibukota
Kekhalifahan Bani Abbas dan merupakan gudangnya para ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin
Hanbal banyak berguru pada ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut.
Ketika berumur 16 tahun, pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut ilmu, terutama
berburu hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Mengenai gurunya ada puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam berbagai bidang
ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu Yusuf Al Qadhy dan Imam Muhammad bin
Idris Asy-Syafii.
Imam Hanbali dikenal sangat gemar dan bersemangat menuntut ilmu, berburu hadits, ahli ibadah,
wara dan zuhud. Imam Abu Zurah mengatakan : Imam Ahmad bin Hanbal hafal lebih dari 1.000.000
(satu juta) hadits. Sementara anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan : Ayahku telah
menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah beliau mencatatnya hitam diatas putih,
melainkan telah dihafalnya diluar kepala.
Ketika pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Mamun, saat itu kaum Mutazilah berhasil
mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan mempropagandakan pendapat
bahwa Al-Quran adalah mahkluk. Kaum Mutazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Mamun
memaksakan pendapat itu kepada seluruh rakyat.
Para Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana. Hampir semua ulama tidak
berani menentang karena takut dihukum berat. Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang
pendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau
disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau karena tiba-tiba
Khalifah Al Mamun meninggal secara mendadak di Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati
kepada Imam Ahmad bin Hanbal tidak sampai dilaksanakan.
Sepeninggal Al Mamun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan Al-Watsiq masih
meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Mutazilah dan progandanya bahwa Al-Quran adalah
makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.
Setelah Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa Al-Mutawakil inilah
propaganda bahwa Al-Quran adalah makhluk dihentikan sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi
dan menghukum ulama-ulama Mutazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda
kemakhlukan Al-Quran.
Khalifah Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau
dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh ajaran-ajaran Imam Ahmad bin
Hanbal dan para ahli hadits.
Metode Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :
1. Al-Quran
2. Hadits
3. Ijma Sahabat
4. Fatwa Sahabat
5. Atsar Tabiin
6. Hadits Mursal / Dhaif
7. Qiyas
Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari
pada menggunakan rayu (ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah
furuiyah daripada menggunakan Qiyas.
Kitab-kitab mazhab Hanbali :
1. Tafsir Al-Quran.
2. Musnad Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
3. Kitab Nasikh wal Mansukh.
4. AL Muqaddam wal Muakhkhar fil Quran.
5. Jawabatul Quran.
6. Kitab At Tarikh.
7. Al Manasikul Kabir.
8. Al Manasikus Saghir.
9. Thaatur Rasul.
10. Al-Illah.
11. Kitab Zuhud.
12. Kitab Ash Shalah.
III. Ijtihad
Ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan (istinbath) hukum syara
dari sumbernya (Al-Quran dan Hadits).
A. Aliran Hadits / Atsar
Para ulama hijaz (Mekkah-Madinah) yang dipelopori oleh Said Al Musayyab dalam ber ijtihad lebih
banyak bersandar kepada hadits dan atsar sahabat. Kelompok Hijaz ini banyak jarang menggunakan
rayu (qiyas) dalam metode ijtihadnya, dengan latar belakang sebagai berikut :
1. Penduduk Hijaz mewarisi kekayaan hadits dan atsar dari para Sahabat Nabi yang banyak tinggal di
Hijaz, seperti ketetapan Abu Bakar, Umar, Usman, juga fatwa-fatwa dari : Zaid bin Tsabit, Aisyah dan
riwayat dari Abu Hurairah, Abu Said Al Kudry, dll.
2. Negeri Hijaz yang berada di pedalaman semenanjung Arabia, relatif tidak banyak mengalami
dinamika perubahan sosial.
3. Banyaknya Hadits dan atsar yang mereka terima dan ditunjang oleh dinamika sosial yang lebih
statis menyebabkan mereka kurang menggunakan daya analisis. Ulama Hijaz lebih mencukupkan diri
dengan memegangi teks-literalis nash.
4. Mengikuti guru mereka, yaitu Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada hadits dan atsar dan
sangat hati-hati dalam menggunakan rayu (qiyas).
B. Aliran Rayu
Setelah terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian berlanjut dengan perang Jamal yang menuntut balas
atas darah Usman. Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus
perang Shiffin. Setelah peristiwa tahkim muncul kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu
terus berlanjut sampai terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu Bani Umayyah menguasai
pemerintahan dengan cara paksa.
Kelompok Khawarij, Syiah dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan saling
menumpahkan darah. Sejak itu mulai timbul hadits-hadits palsu yang dibuat untuk memperkuat
kelompoknya masing-masing. Kelompok Syiah Rafidah yang bermarkas di Kufah dikenal paling
banyak membuat Hadits palsu. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para ulama Kufah sangat
hati-hati dalam menerima periwayatan hadits.
Para Ulama Kufah (Iraq) yang dipelopori oleh Ibrahim An Nakhay dalam ijtihadnya menggunakan
rayu (qiyas) dengan porsi yang lebih besar daripada ulama Hijaz. Hal itu dilatar belakangi oleh hal-hal
sebagai berikut :
1. Para Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal di Hijaz, sehingga
kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak sebanyak yang diterima penduduk Hijaz.
Penduduk Kufah menerima hadits dari : Ibnu Masud, Saad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib,
Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asyari, Mughirah bin Subah, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al
Yaman.
2. Di Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok Syiah Rafidah, sehingga
Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif dalam menerima hadits.
3. Kufah adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz, berdekatan dengan wilayah Persia yang
sebelum memeluk agama Islam, penduduknya sudah mempunyai peradaban dan cara
berpikir yang maju (rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat pergerakan kaum
Syiah dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika perubahan sosial yang lebih tinggi
yang menuntut pemikiran daripada sekedar mengandalkan teks hadits yang diterima dari
riwayat sahabat di masa Nabi.
4. Menurut Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis, mencakup seluruh kemaslahatan
umat, didasarkan pada pokok-pokok yang muhkam (jelas dan dapat dipahami) dan
mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum. Mereka berusaha meneliti alasan-alasan
dari setiap penetapan hukum dan menggali hikmah yang terkandung didalamnya (qarinah
dan maqashid syariah), serta menjadikan hukum itu sejalan dengan himah yang didapat.
Kadang-kadang mereka menolak sebagian hadits ahad karena dianggap bertentangan
dengan hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka mendapatkan hadits/atsar yang
bertentangan dengan hikmah pen syariatannya.
5. Ulama Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi Abdullah bin Masud
yang dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang banyak menggunakan daya analitis
memperhatikan qarinah, maqashid syariah dan pertimbangan kemaslahatan.
1.
1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-
qayyid-kannya (membatasinya)
2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna
muqayyad.
3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap
diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
Belum Diperiksa
Fiqih
Al-Qur'an
Sunnah
Taklid
Ijtihad
Ijma
Mazhab
Minhaj
Qiyas
Urf
Bidah
Madrasah
Ijazah
Istihlal
Istihsan
Risalah
Istishhab
Maslahah
Dzari'ah
Ahkam
Wajib
Sunah
Mubah
Makruh
Haram
Sah
Batal
Gelar cendekiawan
Mujtahid
Marja
Alim (jamak: Ulama)
Mufti
Mufassir
Qadi
Faqih
Ulum hadis
Mullah
Imam
Mawlawi
Syekh
Mujaddid
Hafiz
Hujja
Hakim
Amir al-Mu'minin
Maulana
Kotak ini:
lihat
bicara
sunting
Fikih (Bahasa Arab: ;ﻓﻘﻪtransliterasi: Fiqih) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat
Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia
dengan Tuhannya.[1] Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih
sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.[2]
Fikih membahas tentang cara bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip Rukun Islam
dan hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan
Sunnah. Dalam Islam, terdapat 4 mazhab dari Sunni, 1 mazhab dari Syiah, dan Khawarij
yang mempelajari tentang fikih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fikih disebut Fakih.
Daftar isi
1 Etimologi
2 Sejarah Fikih
o 2.1 Masa Nabi Muhammad saw
o 2.2 Masa Khulafaur Rasyidin
o 2.3 Masa Awal Pertumbuhan Fikih
o 2.4 Lain-lain
3 Catatan kaki
Etimologi
Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu
hal. Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu fikih
merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-
Qur'an dan Sunnah.[3] Selain itu fikih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah
dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun
dalam muamalah.[1] Dalam ungkapan lain, sebagaimana dijelaskan dalam sekian banyak
literatur, bahwa fiqh adalah "al-ilmu bil-ahkam asy-syar'iyyah al-amaliyyah al-muktasab min
adillatiha at-tafshiliyyah", ilmu tentang hukum-hukum syari'ah praktis yang digali dari dalil-
dalilnya secara terperinci". Terdapat sejumlah pengecualian terkait pendefinisian ini. Dari
"asy-syar'iyyah" (bersifat syari'at), dikecualikan ilmu tentang hukum-hukum selain syariat,
seperti ilmu tentang hukum alam, seperti gaya gravitasi bumi. Dari "al-amaliyyah" (bersifat
praktis, diamalkan), ilmu tentang hukum-hukum syari'at yang bersifat keyakinan atau akidah,
ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Dari "at-tafshiliyyah" (bersifat
terperinci), ilmu tentang hukum-hukum syari'at yang didapat dari dalil-dalilnya yang "ijmali"
(global), misalkan tentang bahwasanya kalimat perintah mengandung muatan kewajiban,
ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu ushul fiqh.[4]
Sejarah Fikih
Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa
ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fikih diserahkan
sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an
dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan
periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah
agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada
masalah ketauhidan dan keimanan.
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat
dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah
permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya,
dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad
mulai diterapkan [5], walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi
Muhammad saw.
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa berdirinya Dinasti
Umayyah ditangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fikih pada periode ini didasari pada
Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad
dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an
maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam
budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.
Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat
pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha
mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas,
maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis
maka para faqih ini melakukan ijtihad.[1]
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita
memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.[6]
Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2
Hijriah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-
Qur'an, Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang
menghasilkan ijtihad ini seringkali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di
wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.
Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah,
dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fikih, karena akan muncul banyak
sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini
juga diwarnai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat
antara faqih.
Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad.
Ibnu Mas'ud kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz
tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana
mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari
kitab suci, dan dipakai oleh para faqih termasuk Ibnu Mas'ud untuk memberi ijtihad di daerah
di mana mereka berada.[1]
Lain-lain