Anda di halaman 1dari 49

Ilmu fiQih dalam islam

I. Pengertian Ilmu Fiqih


Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;
Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber tafaqquh
(memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali;
mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).
Hadits Nabi :
Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan
kepadanya ke-faqih-an (memahami fiqih) dalam urusan agama. (HR. Bukhari-Muslim).
Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah
mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas
(tafshili).
Produk ilmu fiqih adalah fiqih. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari
sumbernya dipelajari dalam ilmu Ushul Fiqih.
II. Perkembangan Ilmu Fiqih
A. Masa Nabi
Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
Beliau menerima wahyu dari Allah serta semua perbuatan, ucapan, taqrir dan himmahnya adalah
kebenaran yang menjadi hukum dan diikuti oleh umatnya.
Dalam masa Nabi wahyu Al-Quran masih terus turun susul-menyusul. Wahyu yang turun kadang-
kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang sedang terjadi pada diri Nabi dan para
sahabatnya.
Dalam urusan duniawi, peperangan, siasat politik, muamalah dan yang semacamnya kadang Nabi
juga bermusyawarah dengan para sahabat, terkadang juga Nabi menerima usulan dan masukan dari
para sahabat, bahkan kadang Nabi meninggalkan pendapatnya sendiri.
Pada peristiwa perang Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk mengambil posisi di
suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah oleh salah seorang sahabat yang mengusulkan agar
pasukan kaum Muslimin mengambil posisi didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu diterima
dan dilaksanakan oleh Nabi.
Beberapa penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk memperoleh
buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka mengawinkan serbuk sari pohon kurma,
maka penduduk Madinah mentaati larangan Rasulullah tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-
pohon kurma tidak menghasilkan buah. Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk sari pohon
kurma, seraya bersabda
Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.
Pada waktu perang Khaibar para sahabat menyalakan api dibawah periuk. Melihat itu kemudian Nabi
bertanya : Apa yang sedang kalian masak dalam periuk itu ? Sahabat menjawab : Daging keledai
jinak. Nabi kemudian berkata : Buang isi perikuk itu dan pecahkan periuknya. Salah seorang sahabat
berdiri dan berkata : Bagaimana kalau kami membuang isinya dan kami mencuci periuknya ? Nabi
menjawab : Seperti itupun boleh.
Jadi dalam hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama, keputusan Nabi
tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan kemaslahatan.
Para sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan ijtihad pribadi maka tindakan mereka itu ada
yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi memberitahukan yang benar atau Nabi memberi
komentar terhadap ijtihad para sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan
pendapat mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan menanyakan masalah
tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya adalah sebagai berikut :

1. Dalam perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) Amr bin Ash mengalami mimpi junub.
Akan tetapi Amr bin Ash takut mandi karena hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber
tayamum dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad Amr bin Ash itu sampai kepada Nabi,
maka beliau bertanya kepada Amr bin Ash : (Benarkah) kamu shalat bersama sahabat
kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ? maka Amr bin Ash menjawab : Aku
mendengar Allah berfirman :

Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada dirimu. (QS
An-Nisa : 29)
Mendengar jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa. Hal itu
merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya.

1. Dalam suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan Ammar bin Yasir sama-sama dalam keadaan
junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi besar, sementara waktu
shalat telah tiba. Ammar ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan debu, maka Ammar
berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber tayamum yang
menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk menunda shalat.

Maka tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan, Nabi menyatakan bahwa kedua ijtihad
itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa
harus berguling-guling ke tanah dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam
keadaan darurat.

1. Bani Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat perjanjian
persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila Madinah diserang musuh.
Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan pengkhianatan
berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung
diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun selesai, Allah
memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi bersabda : Jangan ada
diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah.
Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna
lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat
yang lain memahami sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh
melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas menuju ke
perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua pemahaman tersebut.

Jadi pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui hukumnya yang
seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada ditengah-tengah para sahabat.
B. Masa Khulafaur Rasyidin
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau
mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui
hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu
Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah
Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama
yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah, maka
kesepakatan para sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijma yang mutlak
dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota
Madinah dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum
muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai
dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama
dan mujtahid dari generasi tabiin dan tabiit-tabiin.
Pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari
Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula mulai terjadi perang pertumpahan darah
diantara sesama kaum Muslimin, yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur Rasyidin dapat
dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :
Ikutilah jejak dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar. (HR Tirmidzi, Thabarani, Hakim)
Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham)
yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi
hidayah. (HR. Abu Dawud).
Disamping empat orang Khulafaur Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga ada yang dikenal
sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul sahabi) yang tidak disandarkan
berasal dari Nabi disebut hadits mauquf.
Sahabat Nabi adalah generasi Islam yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah pada beberapa
ayat Al-Quran dan diridhoi oleh Nabi dalam beberapa hadits.
Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :
Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah.
Hadits Nabi :
Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.
Para Sahabat itu para murid yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka mengetahui
latar belakang turunnya ayat Al-Quran (asbabun nuzul), mengetahui latar belakang timbulnya
hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling
besar jasanya kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu sangat layak untuk dijadikan rujukan
dan diikuti.
Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal
banyak memberi fatwa adalah :

1. Abdullah Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di Mekkah.


2. Abdullah Ibnu Masud, mengembangkan perguruannya di Kufah.
3. Abdullah Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di Madinah.
4. Abdullah bin Amr bin Ash, mengembangkan perguruannya di Mesir.
5. Muadz bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus (Syria).
6. Zaid bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
7. Aisyah, Ummul Mukminin
8. Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi.
9. Abu Darda, mengembangkan perguruannya di Basrah.

10. Abu Musa Al-Asyari, mengembangkan perguruannya di Basrah.


11. Ubay bin Kaab, pernah menjadi Hakim Khalifah Umar di Basrah.
Karakteristik Ijtihad masa Sahabat :
1. Dengan musyawarah diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha
(ahli fiqih) sahabat besar.
2. Patuh dan tidak menyelisihi keputusan Amir.
3. Tidak berfatwa untuk sesuatu yang belum terjadi.
Atsar dari Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Kaab tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Kaab
menjawab :
Apakah hal itu telah terjadi ? Aku menjawab : Belum. Ia mengatakan : Kita tangguhkan (tunggu)
sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan pendapat
kami.
4. Toleran
Ath-Thabari meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab bertemu dengan seorang laki-laki yang
sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya : Apa yang engkau perbuat ? Orang itu
menjawab : Aku dihukumi demikian, oleh Ali dan Zaid. Umar berkata : Kalau aku, tentu aku akan
menghukumi demikian. Lelaki itu berkata : Apa yang menghalangimu, sedangkan urusan itu ada
padamu ? Umar menjawab : Kalau aku mengembalikanmu kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku
lakukan. Tetapi aku mengembalikanmu pada rayu (ijtihad akal), sedangkan rayu itu musytarak (lebih
dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar menurut Allah. Maka tidak kurang
nilainya apa yang dikatakan oleh Ali dan Zaid.
5. Menjauhi pembahasan ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk orang
yang suka membahas ayat-ayat mutasyabih.
C. Masa Tabiin
Para tabiin adalah murid-murid langsung dari para sahabat Nabi. Pada masa tabiin mereka
melakukan dua peranan penting, yaitu :
1. Mengumpulkan riwayat hadits dan fatwa sahabat.
2. Ber ijtihad untuk masalah-masalah yang belum diketahui pendapat dari sahabat.
Para tabiin di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan pengajaran dan methode guru
mereka masing-masing dari kalangan sahabat Nabi.
Mufti dan Fuqaha di Madinah

1. Said bin Al Musayyab


2. Urwah bin Zubair
3. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq
4. Kharijah bin Zaid bin Tsabit
5. Abu Bakar bin Abdurrahman
6. Sulaiman bin Yasar
7. Ubaidillah bin Abdullah

Mufti dan Fuqaha di Mekkah :

1. Atha bin Abi Rabah


2. Thawus bin Kisan
3. Mujahid bin Jabar
4. Ubaid bin Umar
5. Amru bin Dinar
6. Ikrimah maula Ibnu Abbas

Mufti dan Fuqaha di Basrah :

1. Amru bin Salamah


2. Abu Maryam al-Hanafy
3. Kaab bin Sud
4. Hasan Al Basri
5. Muhammad bin Sirin
6. Muslim bin Yasar

Mufti dan Fuqaha di Kufah :

1. Alqamah bin Qais An-Nakhaiy


2. Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany
3. Syuraih al Qadhy
4. Abdullah bin Utbah bin Masud al-Qadly.
5. Rabi bin Khutsam.

Mufti dan Fuqaha di Mesir :

1. Yazid bin Abi Habib


2. Bakir bin Abdillah
3. Amru bin Al-Harits

Mufti dan Fuqaha di Yaman :

1. Mutharrif bin Mazin al-Qadly.


2. Abdul Raziq bin Hamman
3. Hisyam bin Yusuf
4. Muhammad bin Tsur
5. Samak bin Al-Fadhl

Mufti dan Fuqaha di Baghdad :

1. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam


2. Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby
Mufti dan Fuqaha di Andalusia :

1. Yahya bin Yahya


2. Abdul Malik bin Habib
3. Baqi bin Makhlad
4. Qasim bin Muhammad
5. Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly

Fuqaha Tujuh (Fuqaha al-sabah)


Mereka adalah para tabiin yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu :

1. Said bin Al-Musayyab (15 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits, paling
mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
2. Urwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
3. Abu Bakar bin Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
4. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
5. Ubaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Masud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
6. Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar,
Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
7. Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan).

D. Masa Tabit Tabiin dan Imam Mazhab.


Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
Di mekkah terdapat Muslim bin Khalid Al Zanji, Said bin Salim Al-Qadah, Abdullah bin Zubair al
Humaidy, Musa bin Abi Jarud dan Muhammad bin Idris Asy Syafii.
Mufti dan Fuqaha di Madinah :
Ibnu Sihab Az Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz, Malik bin Anas.
Mufti dan Fuqaha di Basrah :
Abdul Wahab bin Majid Ats Tsaqafy, Said bin abi Arubah, Hammad bin Salamah, Mamar bin Rasyid.
Mufti dan Fuqaha di Kufah :
Ibnu Abi Layla, Abdullah bin Syubramah, Syarikh Al Qadly, Sufyan Tsauri, Muhammad Al Hasan Asy
Syaibany, Abu Yusuf Al Qadly, Abu Hanifah
Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
Abu Tsur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi.
Mufti dan Fuqaha di Syam
Yahya bin Hamzah Al Qadly, Amru Abdurrahman bin Amru Al Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu
Mubarak.
Mufti dan Fuqaha di Mesir :
Abdullah bin Wahbin, Al Muzny, Ibnu Abdul hakam, Muhammad bin Idris Asy Syafii.
Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah Numan bin Tsabit, lahir tahun 80 H di kota Kufah pada
masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Beliau lebih populer dipanggil Abu Hanifah. Kakeknya
seorang Persia beragama Majusi. Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena beliau banyak
menulis dan memberi fatwa.
Abu Hanifah pada mulanya adalah seorang pedagang yang sering pulang-pergi ke pasar. Hingga
suatu ketika beliau bertemu dengan Syabi yang melihat bakat kecerdasan Abu Hanifah dan
menyarankannya agar banyak menemui ulama mempelajari agama. Nasehat Syabi berkesan di hati
Abu Hanifah, kemudian beliaupun banyak berguru kepada para ulama.
Imam Abu Hanifah mendapatkan hadits dari Atha bin Abi Rabah, Abu Ishaq As SyubaI, Muhib bin
Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf, Muhammad bin Mukandar, Nafi Maula Abdullah bin Umar,
Hisyam bin urwah dan Samak bin Harb. Beliau mempelajari Fiqih dari Hammad bin Sulaiman,
mempelajari qiraat dari Imam Ashim (salah satu qurra tujuh). Beliau seorang hafidz (hafal Al-Quran),
pada bulan Ramadhan mengkhatamkan Al-Quran 60 kali.
Imam Syafii berkata : Semua kaum muslimin berhutang budi pada Abu Hanifah, Imam Abu Hanifah
itu bapak dan para ahli Fiqih itu anak-anaknya.
Imam Malik berkata : Subhanallah, saya tidak pernah melihat orang seperti dia, andaikan dia
mengatakan bahwa tiang ini terbuat dari emas, tentu ia akan dapat membuktikannya melalui
Qiyasnya.
Mengenai metode Ijtihadnya, Imam Abu Hanifah pernah berkata : Saya mengambil Kitabullah (Al-
Quran) jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya jumpai dalam Al-Quran akan saya ambil dari
Sunnayh Rasulullah SAW, dari riwayat yang shahih dan populer dikalangan orang-orang
kepercayaan. Jika saya tidak mendapatkannya dalam Al-Quran dan Sunnah, saya akan mengambil
fatwa para sahabatnya sesuka saya dan membiarkan yang lain. Setelah itu saya tidak akan keluar
dalam fatwa selain mereka. Jika telah sampai kepada Ibrahim, Syabi, Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan
lainnya, maka saya ber-ijtihad sebagaimana mereka juga ber-ijtihad.
Fudail bin Iyadh mengatakan : Jika ada masalah didasarkan pada hadits yang shahih sampai kepada
Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu juga dari sahabat dan tabiin. Kalau tidak, dia akan
menggunakan qiyas dengan cara yang sangat baik.
Al-Dabussi dalam kitab Tasis al-Nazhar menyebutkan : Abu Hanifah suka pada kebebasan berpikir. Ia
seringkali memberikan kepada sahabat dan murid-muridnya untuk mengajukan keberatan-kebaratan
atas ijtihadnya. Imam Abu Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke akar
permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqaiq), memahami isi dan misi yang terdapat
dibelakang nash-nash itu dalam bentuk illat-illat dan hukum-hukum.
Imam Abu Hanifah berkata : Perumpamaan orang yang mempelajari hadits, sedangkan ia tidak
memahami, sama halnya dengan apoteker yang mengumpulkan obat, sementara ia tak tahu persis
untuk apa obat itu digunakan, akhrinya dokter datang.demikianlah kedudukan penuntut hadits yang
tidak mengenal wajah haditsnya, sehingga hadirnya fiqih.
Imam Abu hanifah dikenal teguh hati dan kokoh dalam pendirian. Beliau pernah mengalami dua kali
masa ujian. Pertama pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad (Khalifah terakhir Bani
Umayyah), Ibnu Hubairah (gubernur Iraq) menunjuk Imam Abu Hanifah menjadi qadly, namun
pengangkatan itu ditolak oleh Imam Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah dipukul sampai empat
belas kali sebagai hukuman karena dianggap tidak mendukung pemerintahan Bani Umayyah.
Ujian kedua dialami pada masa pemerintahan Abu Jafar Al Manshur dinasti Abbasyah. Kasusnya
hampir sama, karena Imam Abu Hanifah menolak diangkat menjadi Qadly oleh Khalifah Al Manshur.
Beliau dipenjara dan disiksa dalam penjara.
Beliau juga dicurigai mendukung gerakan kaum Alawiyin yang dituduh berusaha memberontak
terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam Abu Hanifah meninggal karena diracun dalam
penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafii.
Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah :

1. Al-Quran
2. Hadits dari riwayat kepercayaan.
3. Ijma
4. Fatwa Shabat
5. Qiyas
6. Istihsan (keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang lebih kuat).
7. Urf (kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah dikalangan manusia)

Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar kodifikasi ilmu Fiqih,
pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan dibukukan oleh sahabat sekaligus murid-muridnya
seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani.
Fiqih mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi rayu (Qiyas) lebih banyak
dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan hadits/atsar.
Kitab-kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi :
Tentang Masailul Ushul :
1. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2. Al-Jamius Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3. Al-Jamiul Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4. As-Sairus Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5. AS-Sairus Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
6. Az-Zidayat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
7. Al-Kafi, karya : Abdul Fadha Hammad bin Ahmad.
8. Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Muhammad bin Sahl.
Tentang Masailul Nawadhir :
1. Dhahirur Riwayah, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2. Haruniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3. Jurjaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4. Kisaniyat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5. Al-Mujarrad, karya : Hasan bin Ziad.
Tentang Fatwa wal Waqiat :
1. An Nawazil, karya : Abdul Laits As Samarqandi.
Tentang Akidah dan Ilmu Kalam :
1. Fiqhul Akbar, diriwayatkan oleh Abi Muthi Al Hakam.
Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al Madani. Beliau
dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau sudah hafal Al-Quran dan sudah nampak
minatnya dalam ilmu agama.
Imam Malik belajar hadits kepada Rabiah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry, Nafi Maula Ibnu
Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab, Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin
Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah, Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafi bin
Abu Numan.
Ibnu Al-Kasim berkata : Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa, sampai-sampai ia
pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian di jual kepasar.
Imam malik sangat memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi. Imam Malik tidak mau mempelajari
hadits dalam keadaan berdiri. Beliau juga tidak mau menaiki kuda di kota Madinah karena beliau
malu berkuda diatas kota yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah SAW.
Ibnu Abdu Al-Hakam mengatakan : Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama dengan gurunya
Yahya bin Saad, Rabiah dan Nafi, meskipun usianya baru berusia 17 tahun. Beliau dikenal jujur
dalam periwayatannya.
Abu Dawud mengatakan : Hadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi
dari Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari Malik dari Az Zuhry dari Salim dari ayahnya. Beriktnya
adalah hadits dari Malik dari Abu Zanad dari Araj dari Abu Hurairah. Hadits mursal Malik lebih shahih
dari pada hadits mursal Said bin Al Musayyab atau Hasan Al Basri.
Sufyan mengatakan : Jika Malik sudah mengatakan balaghny telah sampai kepadaku, niscaya isnad
hadits tersebut kuat.
Imam Syafii mengatakan : Jika engkau mendengar suatu hadits dari Imam Malik, maka ambillah
hadits itu dan percayalah.
Imam Malik juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah hukum halal-haram. Imam Abdurrahman bin
Mahdy meriwayatkan : Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada
beliau lalu berkata : Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para
kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada
engkau. Imam Malik berkata : Bertanyalah. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau
dan beliau hanya menjawab : aku tidak memandangnya baik. Orang itu terus mendesak karena
menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, Bagaimana nanti kalau kau ditanya
orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?
Imam Malik berkata : Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya
baik. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash yang
tegas mengharamkannya.
Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Tentang
penguasaannya dalam hadits, beliau sendiri pernah mengatakan : Aku telah menulis dengan
tanganku sendiri 100.000 hadits. Beliau mengarang kitab hadits Al-Muwatta, merupakan kitab hadits
tertua yang sampai kepada kita.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Jafar Al Manshur beliau pernah memberi fatwa bahwa akad
orang yang dipaksa itu tidak syah. Fatwa ini tidak disukai oleh pemerintah karena bisa membawa
konsekuensi juga bahwa baiat kepada penguasa karena terpaksa adalah juga tidak syah dan itu
dianggap membahayakan kekuasaan Bani Abbas.
Gubernur Madinah, Jafar bin Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik mencabut fatwanya, namun
Imam Malik menolak. Akibatnya gubernur memukulnya sampai 80 kali sampai tulang belikatnya retak
dan mengaraknya diatas kuda keliling kota Madinah. Sejak itu namanya bukannya menjadi cemar,
justru makin melambung dan harum dimata umat.
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik agar datang ke
Baghdad dan mengajarkan Al Muwatta untuk keluarga istana, maka Imam Malik berkata , Ilmu itu
didatangi bukan sebaliknya. Akhirnya Khalifah Harun Al Rasyid bersama dua anaknya Al Mamun dan
Al Amin datang ke Madinah untuk belajar kitab Al Muwatta.
Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta
sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Quran. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh
Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah
tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Kemudian Imam
Malik pun mengarang kitab kumpulan fatwa-fatwa sahabat, yaitu : Syadaid Abdullah bin Umar
(Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-
pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan Shawazh Abdullah Ibnu Masud (Pendapat-pendapat
Abdullah bin Masud).
Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas :

1. Al-Quran
2. Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
3. Ijma
4. Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
5. Qiyas
6. Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
7. Perkataan Sahabat.

Bila dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik mewakili aliran
Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit menggunakan porsi dengan rayu
(Qiyas).
Kitab Kitab Mazhab Maliki :
1. Kitab Hadits, Al Muwatta.
2. Syadaid Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras)
3. Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan)
4. Shawazh Abdullah Ibnu Masud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Masud).
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafii (150-204 H)
Seorang pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada Abdu Manaf,
kakek generasi keempat diatas Rasulullah. Beliau lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di
Asqalan, perbatasan dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya
Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam
kondisi serba kekurangan (miskin).
Beliau dikenal sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah dapat menghafal Al-
Quran. Kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab dari Bani
Huzail yang dikenal halus bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid
Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari fiqih.
Imam Syafii kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti Mekkah). Pada usia
10 tahun Imam SyafiI sudah hafal kitab Al-Muwatta karya imam Malik. Pada usia 13 tahun bacaan Al-
Quran imam Syafii yang sangat merdu mampu membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu.
Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh gurunya untuk memberi fatwa di Masjidil Haram.
Ketika berumur 20 tahun Imam Syafii ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas,
pengarang kitab Al Muwatta di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan didukung juga oleh
gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan
bagi keperluan Imam Syafii dalam belajar kepada Imam Malik di Madinah.
Dengan diantar gubernur Madinah, Imam Syafii mendatangi rumah Imam Malik. Mula-mula Imam
Malik kurang suka dengan adanya surat pengantar dalam urusan menuntut ilmu. Tapi setelah
pemuda Syafii bicara dan mengemukakan keinginannya yang kuat untuk belajar, apalagi setelah
mengetahui bahwa pemuda Syafii telah hafal Al-Quran dan hafal kitab Al Muwatta karangannya,
maka Imam Malik menjadi kagum dan akhrinya menerimanya menjadi muridnya.
Imam Syafii kemudian menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam Syafii
juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta kepada jamaah pengajian Imam
Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafii tinggal bersama Imam Malik bin Anas, hingga akhirnya Imam
Syafii ingin pergi ke Irak, untuk mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam Abu
Hanifah. Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50 dinar.
Sesampai di Irak, imam Syafii menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu Imam Abu
Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi yang dikarang oleh
Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf. Setelah sekitar dua tahun berdiam di Irak, Imam Syafii
meneruskan pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah. Di setiap kota yang
dikunjungi Imam Syafii mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari
mereka dan mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun di Irak dan 2
tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam Syafii kembali ke Madinah dan
disambut penuh haru oleh gurunya yaitu Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafii selama empat
tahun lebih tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai
meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.
Sepeninggal Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang yang
membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun itu juga datang wali negeri Yaman ke
Madinah yang mengetahui bahwa Imam Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang salah
seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafii. Wali Negeri Yaman mengajak Imam Syafii
ikut ke Yaman untuk menjadi sekertaris dan penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan
Hamidah binti Nafi (cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua orang putri.
Di Yaman Imam Syafii juga masih terus belajar, terutama kepada Imam Yahya bin Hasan. Disana
beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat yang pada saat itu sedang marak dipelajari.
Pada waktu itu Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin yang berusaha
memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka
beberapa tokoh orang-orang Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafii ditangkap dan dibawa ke
Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.
Setelah diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau dibebaskan dari segala
tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah bebas dibebaskan,
Imam Syafii sempat beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim
(pendapat lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau
mempelajari fiqih.
Pada sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir. Gubernur Mesir
yang baru tersebut mengajak Imam Syafii ikut ke Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir.
Maka akhirnya Imam SyafiI tinggal di Mesir bersama sang Gubernur.
Setibanya di Mesir, Imam Laits bin Saad mufti Mesir telah meninggal, maka beliau mempelajari fiqih
Imam Laits melalui murid-muridnya. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid
(pendapat baru) nya. Imam Syafii terus mengajar dan menjadi mufti, memberikan fatwa-fatwa di
Masjid Amr bin Ash sampai wafatnya.
Metode Ijtihad Imam Syafii :
1. Al-Quran
2. Hadis
3. Ijma
4. Qiyas
5. Istidlal
Imam Syafii adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang
mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar Risalah. Beliau menerangkan cara-cara
istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Quran dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal,
menerangkan cara mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling
bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma, qiyas dsb. Imam Syafii Juga melakukan penilaian
terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah mursalah dan praktek penduduk
Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.
Kitab-kitab mazhab Syafii :
1. Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
2. Al Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
3. Jamiul Ilmi.
4. Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
5. Ar-Raddu ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan terhadap pendapat
Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.
6. Siyarul Auzay, berisi pembelaan terhadap Imam Al-Auzay.
7. Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling
bertentangan.
8. Musnad Imam Syafii, berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafii.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Lahir di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih anak-anak dan
kemudian dibesarkan dan diasuh oleh ibunya. Kota Baghdad pada waktu itu merupakan ibukota
Kekhalifahan Bani Abbas dan merupakan gudangnya para ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin
Hanbal banyak berguru pada ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut.
Ketika berumur 16 tahun, pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut ilmu, terutama
berburu hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Mengenai gurunya ada puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam berbagai bidang
ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu Yusuf Al Qadhy dan Imam Muhammad bin
Idris Asy-Syafii.
Imam Hanbali dikenal sangat gemar dan bersemangat menuntut ilmu, berburu hadits, ahli ibadah,
wara dan zuhud. Imam Abu Zurah mengatakan : Imam Ahmad bin Hanbal hafal lebih dari 1.000.000
(satu juta) hadits. Sementara anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan : Ayahku telah
menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah beliau mencatatnya hitam diatas putih,
melainkan telah dihafalnya diluar kepala.
Ketika pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Mamun, saat itu kaum Mutazilah berhasil
mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan mempropagandakan pendapat
bahwa Al-Quran adalah mahkluk. Kaum Mutazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Mamun
memaksakan pendapat itu kepada seluruh rakyat.
Para Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana. Hampir semua ulama tidak
berani menentang karena takut dihukum berat. Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang
pendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau
disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau karena tiba-tiba
Khalifah Al Mamun meninggal secara mendadak di Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati
kepada Imam Ahmad bin Hanbal tidak sampai dilaksanakan.
Sepeninggal Al Mamun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan Al-Watsiq masih
meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Mutazilah dan progandanya bahwa Al-Quran adalah
makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.
Setelah Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa Al-Mutawakil inilah
propaganda bahwa Al-Quran adalah makhluk dihentikan sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi
dan menghukum ulama-ulama Mutazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda
kemakhlukan Al-Quran.
Khalifah Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau
dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh ajaran-ajaran Imam Ahmad bin
Hanbal dan para ahli hadits.
Metode Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :
1. Al-Quran
2. Hadits
3. Ijma Sahabat
4. Fatwa Sahabat
5. Atsar Tabiin
6. Hadits Mursal / Dhaif
7. Qiyas
Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari
pada menggunakan rayu (ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah
furuiyah daripada menggunakan Qiyas.
Kitab-kitab mazhab Hanbali :

1. Tafsir Al-Quran.
2. Musnad Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
3. Kitab Nasikh wal Mansukh.
4. AL Muqaddam wal Muakhkhar fil Quran.
5. Jawabatul Quran.
6. Kitab At Tarikh.
7. Al Manasikul Kabir.
8. Al Manasikus Saghir.
9. Thaatur Rasul.

10. Al-Illah.
11. Kitab Zuhud.
12. Kitab Ash Shalah.
III. Ijtihad
Ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan (istinbath) hukum syara
dari sumbernya (Al-Quran dan Hadits).
A. Aliran Hadits / Atsar
Para ulama hijaz (Mekkah-Madinah) yang dipelopori oleh Said Al Musayyab dalam ber ijtihad lebih
banyak bersandar kepada hadits dan atsar sahabat. Kelompok Hijaz ini banyak jarang menggunakan
rayu (qiyas) dalam metode ijtihadnya, dengan latar belakang sebagai berikut :
1. Penduduk Hijaz mewarisi kekayaan hadits dan atsar dari para Sahabat Nabi yang banyak tinggal di
Hijaz, seperti ketetapan Abu Bakar, Umar, Usman, juga fatwa-fatwa dari : Zaid bin Tsabit, Aisyah dan
riwayat dari Abu Hurairah, Abu Said Al Kudry, dll.
2. Negeri Hijaz yang berada di pedalaman semenanjung Arabia, relatif tidak banyak mengalami
dinamika perubahan sosial.
3. Banyaknya Hadits dan atsar yang mereka terima dan ditunjang oleh dinamika sosial yang lebih
statis menyebabkan mereka kurang menggunakan daya analisis. Ulama Hijaz lebih mencukupkan diri
dengan memegangi teks-literalis nash.
4. Mengikuti guru mereka, yaitu Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada hadits dan atsar dan
sangat hati-hati dalam menggunakan rayu (qiyas).
B. Aliran Rayu
Setelah terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian berlanjut dengan perang Jamal yang menuntut balas
atas darah Usman. Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus
perang Shiffin. Setelah peristiwa tahkim muncul kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu
terus berlanjut sampai terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu Bani Umayyah menguasai
pemerintahan dengan cara paksa.
Kelompok Khawarij, Syiah dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan saling
menumpahkan darah. Sejak itu mulai timbul hadits-hadits palsu yang dibuat untuk memperkuat
kelompoknya masing-masing. Kelompok Syiah Rafidah yang bermarkas di Kufah dikenal paling
banyak membuat Hadits palsu. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para ulama Kufah sangat
hati-hati dalam menerima periwayatan hadits.
Para Ulama Kufah (Iraq) yang dipelopori oleh Ibrahim An Nakhay dalam ijtihadnya menggunakan
rayu (qiyas) dengan porsi yang lebih besar daripada ulama Hijaz. Hal itu dilatar belakangi oleh hal-hal
sebagai berikut :

1. Para Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal di Hijaz, sehingga
kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak sebanyak yang diterima penduduk Hijaz.
Penduduk Kufah menerima hadits dari : Ibnu Masud, Saad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib,
Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asyari, Mughirah bin Subah, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al
Yaman.
2. Di Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok Syiah Rafidah, sehingga
Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif dalam menerima hadits.
3. Kufah adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz, berdekatan dengan wilayah Persia yang
sebelum memeluk agama Islam, penduduknya sudah mempunyai peradaban dan cara
berpikir yang maju (rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat pergerakan kaum
Syiah dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika perubahan sosial yang lebih tinggi
yang menuntut pemikiran daripada sekedar mengandalkan teks hadits yang diterima dari
riwayat sahabat di masa Nabi.
4. Menurut Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis, mencakup seluruh kemaslahatan
umat, didasarkan pada pokok-pokok yang muhkam (jelas dan dapat dipahami) dan
mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum. Mereka berusaha meneliti alasan-alasan
dari setiap penetapan hukum dan menggali hikmah yang terkandung didalamnya (qarinah
dan maqashid syariah), serta menjadikan hukum itu sejalan dengan himah yang didapat.
Kadang-kadang mereka menolak sebagian hadits ahad karena dianggap bertentangan
dengan hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka mendapatkan hadits/atsar yang
bertentangan dengan hikmah pen syariatannya.
5. Ulama Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi Abdullah bin Masud
yang dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang banyak menggunakan daya analitis
memperhatikan qarinah, maqashid syariah dan pertimbangan kemaslahatan.

Gambaran perbedaan paham antara ahli qiyas dan ahli hadits :


Pada suatu hari Rabiah (ahli qiyas) bertanya kepada Said Al Musayyab (ahli hadits) tentang diyat
(denda) anak jari perempuan yang terpotong :
Rabiah :Berapa diyat terhadap sebuah anak jari orang perempuan ?
Said Al Musayyab: 10 ekor onta.
Rabiah : Jika dua anak jari ?
Said Al Musayyab : 20 ekor onta
Rabiah : Jika tiga anak jari ?
Said Al Musayyab :30 ekor onta.
Rabiah : Jika empat anak jari ?
Said Al Musayyab : 20 ekor onta
Rabiah : Apakah makin banyak jari yang terpotong, semakin besar diyatnya ?
Said Al Musayyab : Apakah anda bermazhab ulama Iraq ? itulah sunnah saya telah terangkan.
Demikianlah ahli hadits hanya menerima mentah-mentah teks hadits, sedangkan ahli rayu tidak
begitu saja menerima teks hadits yang tidak diketahui illlat-illat hukumnya atau yang tidak logis
menurut akal. Bagaimana diyat empat anak jari malah turun menjadi 20 ekor, padahal diyat satu anak
jari sampai tigak anak jari naik terus dari 10 sampai 30 ekor.
Pada suatu hari Al Auzai bertemu dengan Abu Hanifah di Mekkah, kemudian Al Auzai bertanya
kepada Abu Hanifah :
Al Auzai : Mengapa tuan tidak mengangkat tangan ketika ruku dan Itidal ?
Abu Hanifah : Karena tidak ada hadits yang shahih dari Rasul.
Al Auzai : Az Zuhri telah meriwayatkan kepada saya dari Salim, dari ayahnya Abdullah bin Umar, dari
Rasulullah SAW, bahwasanya Nabi ada mengangkat tangan saat memulai shalat, saat ruku dan
ketika Itidal.
Abu Hanifah : Telah diriwayatkan kepada kami oleh Hammad bin Sulaiman dari Alqamah dari Al
Aswad dari Ibnu Masud bahwa Rasulullah tidak mengangkat tangan selain dari saat memulai shalat
saja.
Al Auzai : Saya kemukakan penilaian tentang Az Zuhri dan anda kemukakan penilaian tentang
Hammad.
Abu Hanifah : Hammad lebih pandai dalam urusan fiqih daripada Az Zuhri. Ibrahim lebih pandai dari
Salim, Alqamah tidak kurang derajadnya daripada Abdullah, walaupun seorang Shahabi.
Mendengar jawaban itu, Al Auzai pun minta diri. Dari situ tampak bagaimana Abu hanifah sebagai
tokoh ahli qiyas lebih mengutamakan kefaqihan perawi daripada ketinggian sanad.
Demikianlah beberapa contoh perbedaan paham antara ahli hadits dan ahli rayu.
C. Aliran zahiri
Dipelopori oleh Daud bin Ali Al-Zhahiri (202-268 H), yang hanya memegangi makna zhahir (tekstualis-
literalis) nash Al-Quran dan Hadits tanpa mau memegangi makna lainnya.
Kalau digambarkan secara kualitatif metode para imam mazhab dalam menggunakan metode
istinbath Hadist-tekstualis dan Qiyas-rasionalis kurang lebih seperti dibawah ini :
Hadits Qiyas
Tekstualis Daud bin Ali (Zahiri) - Hanbali Maliki Syafii - Hanafi Rasionalis
D. Sumber Perbedaan Pendapat
Bagi yang sudah membaca Ushul Tafsir dan Ilmu Hadits disitu ada beberapa ulasan tentang Al-Quran
dan Hadits yang diantaranya menjadi sumber perbedaan pendapat diantara para ulama Mujtahid.
Sumber perbedaan pendapat didalam Fiqih :
1. Perbedaan memahami Al-Quran
A. Adanya ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).
B. Adanya ayat-ayat yang masih mujmal (global).
C. Adanya ayat-ayat yang Am (umum)
D. Adanya perbedaan penafsiran cakupan lafazh.
E. Adanya perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.
F. Adanya perbedaan pendapat penggunaan mafhum.
G. Perbedaan pendapat memahami ayat perintah dan larangan.
2. Perbedaan Memahami Hadits
A. Perbedaan penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.
B. Perbedaan penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.
C. Perbedaan sampainya hadits kepada para Mujtahid.
D. Perbedaan penafsiran matan (redaksi) suatu hadits.
E. Perbedaan penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.
F. Perbedaan perimaan hadits yang ada mukhtalif (pertentangan) dengan qiyas dan atau illat syariah
3. Perbedaan Metode Ijtihad.
A. Imam Abu Hanifah :
a. Berpegang pada dalalatul Qur’an
i. Menolak mafhum mukhalafah
ii. Lafz umum itu statusnya Qat’i selama belum ditakshiskan
iii. Qiraat Syazzah (bacaan Qur’an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
b. Berpegang pada hadis Nabi
i. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli
fiqh)
ii. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
c. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
d. Berpegang pada Qiyas
i. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
e. Berpegang pada istihsan (keluar dari Qiyas umum karena ada sebab khusus yang lebih kuat).
B. Imam Malik
a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
i. zhahir Nash
ii. menerima mafhum mukhalafah
b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis
ahad)
d. Qaul shahabi
e. Qiyas
f. Istihsan
g. Mashlahah al-Mursalah (mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau membolehkan
intimidasi dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk mendapatkan pengakuannya).
C. Imam Syafii
a. Qur’an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur’an dan Sunnah secara sejajar, karena
baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi’i
digelari “Nashirus Sunnah”. Konsekuensinya, menurut Syafi’i, hukum dalam teks hadis boleh jadi
menasakh hukum dalam teks Al-Qur’an dalam kasus tertentu)
b. Ijma’
c. hadis ahad (jadi, Imam Syafi’i lebih mendahulukan ijma’ daripada hadis ahad)
d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
e. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar
ijtihadnya
D. Imam Ahmad bin Hanbal
a. An-Nushush (yaitu Qur’an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi’i yang tidak menaruh
Hadis dibawah al-Qur’an)
menolak ijma’ yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi’i)
menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
b. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
c. Ijma’
d. Hadis dhaif
e. Qiyas
IV. Pembagian Pembahasan Fiqih
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid membagi pembahasan fiqih sebagai berikut :
1. Bagian Ibadah.
1.1. Kitab Taharah
1.1.1. Taharah dari hadas
1.1.2. Taharah dari najis
1.2. Kitab Kitab Shalat
1.3. Kitab Janazah
1.4. Kitab Zakat
1.5. Kitab Zakat Fitrah
1.6. Kitab Shiyam (puasa)
1.7. Kitab Itikaf
1.8. Kitab Haji
1.9. Kitab Jihad
1.10. Kitab Aiman (sumpah)
1.11. Kitab Nadar
1.12. Kitab Qurban
1.13. Kitab Sembelihan
1.14. Kitab Berburu
1.15. Kitab Aqiqah
1.16. Kitab makanan dan minuman yang haram
2. Bagian Munakahat
2.1. Kitab Nikah
2.2. Kitab Talak
2.3. Kitab Ila (sumpah talak)
2.4. Kitab Dhihar
2.5. Kitab Lian (mengatakan punggung istrinya sama dengan punggung ibunya)
2.6. Kitab Hadlanah (yang berhak memelihara anak)
2.7. Kitab Radlai (penyusuan anak)
2.8. Kitab Nafkah
2.9. Kitab Nasab
2.10. Kitab Ihdad (berkabung)
3. Bagian Muamalat Madaniyah
3.1. Kitab Buyu (jual beli)
3.2. Kitab Sharfi (jual beli perhiasan)
3.3. Kitab Salam (jual beli pesanan)
3.4. Kitab Khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan transaksi)
3.5. Baiil Murabahah (penjualan yang ditentukan jumlah keuntungannya oleh penjual)
3.6. Kitab Baiil Ariyah (memberikan pohon untuk dimakan buahnya)
3.7. Kitab Irat (sewa-menyewa)
3.8. Kitab Juli (upah bagi yang menemukan barang yang hilang)
3.9. Kitab Qiradli (berdua laba)
3.10. Kitab Musaqah (paroh hasil merawat kebun)
3.11. Kitab Syarikah (berdua saham)
3.12. Kitab Syufah
3.13. Kitab Qismah (pembagian)
3.14. Kitab Ruhun (gadai)
3.15. Kitab Al Hajr (orang yang dilarang bertindak sendiri)
3.16. Kitab Taflis (orang pailit)
3.17. Kitab Shulhi (kesepakatan damai dari persengketaan)
3.18. Kitab Jaminan dan Tanggungan
3.19. Kitab Hawalah (pemindahan hutang)
3.20. Kitab Wakalah (memberi kuasa)
3.21. Kitab Luqathah (barang temuan)
3.22. Kitab Wadiah (menitipkan barang)
3.23. Kitab Ariyah (peminjaman barang)
3.24. Kitab Ghasbi (penyerobotan hak milik orang lain)
3.25. Kitab Ishtihqaq (memperoleh kembali haknya)
3.26. Kitab hibah
3.27. Kitab Washaya
3.28. Kitab Faraidl (warisan)
3.29. Kitab Itqi (memerdekakan budak)
3.30. Kitab Kitabah (menebus diri dari perbudakan)
3.31. Kitab Tadbir (kemerdekaan budak setelah tuannya meninggal)
3.32. Kitab Umahatil Aulad (budak yang dijadikan ibu anaknya)
4. Bagian Inayat wa Uqubat (pidana)
4.1. Kitab Qisas (pembunuhan dan melukai)
4.2. Kitab Jarahi (qisas, diat, pembebasan tuntutan)
4.3. Kitab Diyat (denda pembunuhan)
4.4. Kitab Qasamah (sumpah penduduk yang ditemukan mayat di kampungnya)
4.5. Kitab Zina
4.6. Kitab Qadzaf (tukas)
4.7. Kitab Khamr
4.8. Kitab Sariqah (pencurian)
4.9. Kitab Hirabah (perampokan, penjarahan, perusuh)
5. Bagian Peradilan
5.1. Kitab Aqdliyah (kehakiman)
5.2. Kitab Syahadah (kesaksian dan sumpah menolak tuduhan)
V. Mujtahid, Mufti dan Hakim
A. Jenis Mujtahid
1. Mujtahid Mutlaq : yaitu para Khulafaur Rasyidin, yang sudah ada garansi dan rekomendasi dari
Rasul untuk diikuti oleh umat.
2. Mujtahid Mustaqil : yaitu para imam mazhab fiqih yang muktabar.
3. Mujtahid fil Mazhab : yaitu lebih banyak mengikuti salah satu imam mazhab tapi dalam beberapa
masalah pokok berbeda pendapat dengan imamnya. Contohnya Abu Yusuf, Muhamad Al Hasan dari
mazhab hanafi, Al Muzany dari mazhab Syafii.
4. Mujtahid fil Masail : yaitu mempunyai ijtihad sendiri dalam beberapa masalah cabang, bukan pada
masalah pokok, seperti At Tahawi dalam mazhab Hanafi, Al Ghazali dalam mazhab SyafiI, Al Khiraqi
dalam mazhab Hanbali.
5. Mujtahid Muqaiyad : yaitu tidak mengeluarkan ijtihad sendiri, kecuali terhadap masalah-masalah
yang belum dibahas oleh imam mazhab sebelumnya. Mujtahid ini mengetahui seluk-beluk dan
argumen para imam mazhab, mampu men tarjih mana yang lebih kuat dan lebih utama dari pendapat
imam mazhab yang berbeda-beda. Contohnya Al Karakhi, Al Qaduri dalam mazhab Hanafi, Ar Rafi
dan An Nawawi dalam mazhab Syafii.
B. Syarat-syarat Mujtahid
1. Akidahnya benar.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Mengetahui bahasa arab dengan segala cabangnya, seperti : nahwu (gramatika), sharaf
(konyugasi), balagah (retorika), maani, bayan (kejelasan) dan badi (efektifitas bicara), mengetahui
irab (fungsi kata dalam kalimat), tasrif (konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk kata
turunan), serta mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal untuk mengetahui arti kata-kata
sulit yang jarang digunakan.
Mujahid berkata : Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan) apabila ia tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arab.
4. Memahami ilmu Al-Quran dan ilmu tafsir.
5. Mengetahui ilmu hadits, atsar sahabat dan tabiin.
6. Mengetahui Ijma masa Khulafaur Rasyidin.
7. Mengetahui ilmu fikih dan ushul fikih.
8. Pemahaman dan ketelitian yang cermat akan qarinah, dhalalah nash, illat hukum, serta tujuan
tasyri sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan dengan syariat.
C. Mufti dan Hakim
Mufti adalah orang yang memberikan fatwa biasanya tentang hukum fiqih sesuatu masalah,
sedangkan hakim adalah orang yang menjatuhkan vonis keputusan hukum terhadap suatu sengketa
masalah antara dua pihak yang bersengketa. Keduanya sama sama memutuskan hukum
berdasarkan hukum syara.
Sedangkan perbedaan antara mufti dan hakim adalah :
1. Memberi fatwa lebih luas lapangannya daripada menjatuhkan vonis putusan hukum. Fatwa boleh
dilakukan oleh orang merdeka, budak, pria, wanita, famili, kerabat, orang asing. Sedangkan vonis
putusan hanya diberikan oleh orang merdeka, laki-laki, tidak ada hubungan kerabat dengan yang
bersengketa.
2. Putusan hakim mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sedangkan fatwa mufti boleh
diterima boleh tidak.
3. Fatwa mufti tidak dapat membatalkan putusan hakim, sedangkan keputusan hakim dapat
membatalkan fatwa mufti.
4. Mufti tidak dapat memberi putusan kecuali mufti tersebut juga menjadi hakim sedangkan hakim
harus memberikan fatwa apabila telah menjadi suatu keharusan.
5. Hakim sebaiknya tidak memberikan fatwa terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dalam
peradilan, karena dikhawatirkan bila hakim memutuskan putusan yang berbeda dengan fatwanya,
tentunya itu akan menyulitkan.
Syuraih Al Qadhy pernah berkata :
Saya memutuskan perkara diantara kamu bukan memberikan fatwa.
VI. Ittiba dan Taqlid
Ittiba adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen, dalil-hujjahnya,
sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil-
hujjahnya.
Imam Ghazali dalam Al Mustafa mengatakan :
Ittiba dalam agama disuruh, sedangkan taqlid dilarang.
Hukum Taqlid :
a. Taqlid yang wajib : taqlid kepada Rasulullah, dalam istilah kaum salaf taqlid kepada Rasulullah
disebut ittiba.
b. Taqlid yang haram :
1. Tidak menghiraukan nash syara semata-mata lantaran mengikuti orang tua, moyang-leluhur.
2. Taqlid kepada seseorang yang belum muktabar diakui apakah punya kompetensi untuk meng
istinbath-kan hukum fiqih.
3. Taqlid buta karena fanatik terhadap orang tertentu walaupun ada hujjah dan argumen yang lebih
kuat yang bertentangan dengan pendapat orang tersebut.
c. Taqlid yang dibolehkan : mengikuti pendapat ulama mujtahid yang sudah muktabar mempunyai
kompetensi meng istinbathkan hukum fiqih, terutama bagi orang awam yang tidak punya kemampuan
mengetahui hukum hukum syara secara mendalam.
Periode Taqlid :
1. Periode pertama (pasca masa Imam Mazhab, abad ke-IV H jatuhnya Baghdad abad ke-VII H),
2. Periode kedua dari abad ke-IV H abad ke-X H.
3. Periode ketiga dari abad ke-X H sampai masa Muhammad Abduh.
4. Periode keempat dari masa Muhammad Abduh sekarang.
Dalam masa maraknya masa taqlid tetapi masih ada juga ulama ulama mujtahid yang tetap
menghidupkan api ijtihad diantaranya :
1. Izzudin bin Abdis Salam (578-660 H).
2. Ibnu Daqiqil Ied (615-702 H).
3. Ibnu Rifah (645 710 H).
4. Ibnu Taimiyah (661-728 H).
5. Ibnu Qoyyim Al Jauziah (691-751 H).
6. An Nawawi
7. Al Bulqini (724 805 H).
8. Ibnu Hajar Atsqolani (773-858 H).
9. Al Asnawi (714-784 H)
10. Al Jalalul Mahalli (791-864 H).
11. Al Jalalus Suyuthi (846 911 H).
12. Ash Shanani (abad XII H) pengarang Subulussalam.
13. Asy Syaukani (abad XII H) pengarang Nailul Authar.
14. Muhammad Abduh, dari Al Azhar menerbitkan tabloid Al Manar.
15. Rasyid Ridha.
VII. Ketentuan Hukum (Mahkum Bih)
A. Wajib
Yaitu pekerjaan yang bila tidak dikerjakan mendapatkan dosa.
Hukum wajib terbagi menjadi :
1. Wajib Muthlaq = wajib yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi waktunya, contoh : wajib membayar
kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara.
2. Wajib Muwaqqat = wajib yang ditentukan waktunya, contoh shalat lima waktu, puasa ramadhan.
3. Wajib Muwassa = wajib yang diluaskan waktunya, contoh waktu shalat lima waktu, sholat isak dari
petang sampai subuh.
4. Wajib Mudhaiyaq = wajib yang sempit waktunya, puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya
sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
5. Wajib Dzu Syabahain = wajib muwassa sekaligus mudhaiyaq, yaitu waktu mulainya sama dengan
waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
6. Wajib ain = wajib yang dibebankan kepada setiap individu, tidak dapat diwakilkan oleh atau kepada
orang lain.
7. Wjib Kifayai = wajib yang dibebankan kepada sebagian individu, bila sebagian individu sudah
menunaikan maka gugur kewajiban individu yang lain, contoh : mengurus jenazah.
8. Wajib Muhaddad = wajib yang ditentukan kadarnya, contoh : zakat.
9. Wajib Ghairu Muhaddad = wajib yang tidak ditentukan kadarnya, contoh : sedekah, wakaf.
10. Wajib Muaiyin = wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
11. Wajib Mukhaiyar = wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
12. Wajib Muaddaa = Wajib yang ditunaikan dalam waktunya adaan.
13. Wajib Maqdi = wajibn yang ditunaikan sesudah lewat waktunya qadaan.
14. Wajib Muaad = wajib yang dikerjakan mengulang karena kurang sempurnanya yang ditunaikan
pertama.
B. Sunnat
Yaitu bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
Pembagian Sunnat :
1. Sunnat Hadyin = sunnat untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, contoh : azan dan
jamaah.
2. Sunnat Zaidah = sunnat yang dikerjakan Nabi dalam urusan adat kebiasaan, contoh : makan,
minum, adat, kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
3. Sunnat Muakkadah = sunnat yang sering dikerjakan Nabi (jarang ditinggalkan), contoh : shalat
sunnat rawatib, shalat tahajud.
4. Sunnat Ghairu Muakkadah = sunnat yang kadang ditinggalkan oleh Nabi, contoh : shalat sunnat 4
rakaat sebelum duhur.
C. Mubah
Yaitu sesuatu yang dibolehkan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Catatan untuk perkara yang mubah :
1. Jangan berlebihan.
2. Jangan membuat perkara baru (bidah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada
maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
3. Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
D. Makruh
Yaitu bila dikerjakan tidak dicela, tetapi bila ditinggalkan terpuji.
Pembagian Makruh :
1. Makruh Tanzih = makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila ditinggalkan, contoh :
merokok, makan jengkol, shalat di akhir waktu.
2. Makruh Tahrim = makruh yang dekat kepada haram, yaitu haram yang dalilnya belum qathi (pasti)
yaitu dari hadits ahad.
E. Haram
Yaitu bila dikerjakan mendapat dosa, contohnya : meninggalkan shalat lima waktu, makan daging
babi.
VIII. Obyek Hukum (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum (Mahkum
Alaih)
Obyek hukum dalam fiqih adalah beban pekerjaan kepada para mukallaf (orang dewasa dan berakal
sejahtera yang terkenan beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a. Mungkin terjadi / bukan yang mustahil terjadi.
b. Sanggup dikerjakan.
c. Dapat dibedakan.
d. Diketahui berdasarkan dalil.
e. Untuk melaksanakan taat (ibadah).
Subyek hukum adalah para mukallaf (orang yang dibebani hukum). Seseorang mendapat beban taklif
(beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a. Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.
b. Baligh (dewasa).
c. Berakal (sadar dan waras).
Halangan halangan :
1. Gila
2. Setengah gila
3. Lupa
4. Tidur
5. Pingsan
6. Mabuk
7. Sakit, halangan untuk puasa, shalat dengan berdiri.
8. Haid
9. Nifas
10. Mati
11. Safar (bepergian), halangan untuk wajibnya shalat jumat
12. Silap (tidak sengaja)
13. Paksaan
14. Hujan, halangan untuk shalat berjamaah.
15. Tua renta pikun.
IX. Ushul Fiqih
A. Pengertian
Ushul fiqih adalah kaidah kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk istinbath
(mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil yang tafshili (jelas).
Macam-macam dalil :
A. Dalil naqli (teks) :
1. Al-Quran
2. Sunnah (Hadits)
B. Ijma (konsensus)
C. Dalil aqli (akal)
1. Qiyas
2. Istihsan
3. Maslahah Mursalah
4. Dan lain-lain.
Firman Allah dalam QS An Nisa [4] : 59
Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu
berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.
Taatilah Allah merujuk kepada Al-Quran.
Taatilah Rasul merujuk kepada sunnah (hadits)
dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu merujuk kepada Ijma (konsensus) ulil-amri.
Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah
dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada Al-Quran dan atau Hadits, pelajari
qarinah (petunjuk) hikmah syariat didalamnya, dsb.
Firman Allah dalam QS An-Nahl : 44
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.
Ayat diatas dengan jelas Allah memerintahkan umat Islam menggunakan akalnya untuk memikirkan
Al-Quran, yaitu menggunakan segala daya upaya kemampuan berpikir untuk ber ijtihad
menyimpulkan hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Quran yang tersurat (eksplisit-tekstual) maupun yang
tersirat (implisit-kontekstual).
Hadits Nabi :
Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal, bahwa Rasulullah tatkala mengutus Muadz sebagai qadli (hakim)
di Yaman, beliau bertanya : Bagaimana kamu akan memutuskan hukum jika menghadapi kasus ?
Muadz menjawab : Saya akan memutuskan dengan apa yang ada pada kitab Allah. Rasulullah
bertanya lagi : jika tidak didapat di Kitab Allah ? Muadz menjawab : Maka aku putuskan dengan
sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah kembali bertanya : Jika tidak terdapat pada Sunnah Rasulullah ?
Muadz akhirnya menjawab : Ajtahidur rayi Saya akan ber ijtihad dengan akal-pikiran saya, saya tidak
putus asa. Muadz berkata : Lalu Rasulullah menepuk dadaku, seraya bertahmid : Segala puji bagi
Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul-nya yang diridhoi oleh-Nya. (HR Abu Dawud).
Hadits Muadz diatas juga menunjukkan ijtihad dengan akal dibolehkan oleh Rasulullah dan diridloi
oleh Allah, tapi dengan catatan ijtihad dengan akal baru digunakan bila tidak ditemukan dalil pada Al-
Quran dan Hadits.
B. Sumber Hukum Pimer
1. Al-Quran
Al-Quran adalah sumber hukum primer yang pertama, Dalil yang berupa ayat-ayat Al-Quran bersifat
qathi (pasti) wurudnya (sumbernya) yaitu berupa khabar yang sampai kepada kita dengan cara yang
mutawatir dan dijamin terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk lafazhnya) ada yang
qathi yaitu yang sharih (jelas) sehingga semua ulama menyepakati maknanya dan ada yang masih
menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca kembali meteri Ushul Tafsir
tentang muhkam-mutasyabih, mantuq-mafhum, am-khas, mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna
hakikat-majaz-musytarak).
2. Sunnah (Hadits)
Hadits nabi merupakan sumber hukum primer kedua, Peranan Hadits terhadap Al-Quran adalah sbb :
1. Memperkuat hukum yang ada di Al-Quran.
2. Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Quran.
3. Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Quran.
4. Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Quran.
5. Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Quran.
6. Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Quran.
Hadist nabi yang mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih maka dalilnya bersifat Qathi (pasti)
wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad (jalan sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir)
dan masih diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat dzanni
(dugaan) wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits tentang mushthalah hadits dan mukhtaliful
hadits).
Demikian pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada perbedaan
pendapat diantara ulama maka qathi pula dhalalahnya. Tapi bila ada perbedaan pendapat diantara
para ulama mengenai maknanya maka menjadi dzunni dhalalahnya.
C. Istinbath hukum dari dalil Al-Quran dan Hadits
1. Kejelasan makna lafazh
Tingkat kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
a. Zhahir, paling rendah tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal).
Contoh zhahir seperti pada ayat :
Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. (QS An-Nisa : 3).
Dari segi zhahir lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat orang istri dengan syarat
harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih memungkinkan menerima adanya takhshis
(pengkhususan), tawil dan nasakh.
b. Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal).
Contoh nash seperti pada ayat :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. (QS An-Nur : 2).
Hukum hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang tidak lebih dari seratus
yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang lain.
c. Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang
sebelumnya masih mujmal (global).
Perhatikan firman Allah :
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya . (QS Al-Maidah
[3] : 38).
Ayat diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi yang menafsirkannya
sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang menafsirkan ketentuan potong tangan bagi
pencuri adalah :
tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri
buah-buahan.
Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.
Demikian juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri dalam pererangan
dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika
musim paceklik dan kelaparan.
Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.
d. Muhkam, paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal) baik itu berupa
takhsis, tawil maupun nasakh, seperti firman Allah :
Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. (QS An-nur : 4).
Demikian juga hadits nabi :
Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.
Sedangkan lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas :
a. Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud
(maudlul).
Hadits nabi : Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.
Lafazh qatil (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang sengaja. Maka
bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja
juga tidak berhak mendapat warisan ? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam
mazhab.
Contoh lain yaitu lafazh sariq pencuri maka pengertian umumnya adalah orang yang secara
sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain yang tersimpan. Maka pencopet (ath-tharar) apakah
termasuk katagori pencuri atau bukan, karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak
sembunyi-sembunyi sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Demikian juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk kategori pencuri (sariq) atau bukan,
karena pencuri kain kafan mencuri barang yang bukan milik orang yang hidup dan tentunya juga
bukan hak milik si mayat sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet dan pencuri
kain kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf,
Imam Syafii, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan
termasuk pencuri yang harus dihukum potong tangan.
b. Al-Musykil yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri. Contohnya
lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu arti). Contohnya kata ain, kata ini mengandung
beberapa makna bisa berarti : mata, mata air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus
diperhatikan dalam konteks apa kata itu dirangkai dengan kata yang lain menjadi kalimat dengan
pengertian yang tepat dan harus dicari perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat
membantu penafsirannya.
c. Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas
yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan
sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).
Contohya tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal maka dari dalil
beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara
sholat dan haji .
d. Mutasyabih yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang tidak
mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun dan hanya Allah yang tahu maknanya.
contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1. Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya
dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas : Khalifah Umar pernah membaca ayat, wafakihatan wa abban Dan
buah-buahan dan rumput-rumputan (QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata : Kalau buah-buahan ini
kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud al-ab ?, kemudian Umar berkata kepada dirinya
sendiri : Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan
memaksakan diri.
Riwayat lain dari Muhammad bin Sad dari Anas : Umar berkata kepada dirinya sendiri : Ini hal yang
dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui.
3. Ayat-ayat tentang Asma Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah
Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
4. Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah
bersemayam diatas Arsy, Allah turun ke langit dunia, Allah melempar, dan datang lah Tuhanmu, dsb
5. Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajahNya,
tangan Allah diatas tangan mereka, dsb
6. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-
neraka, akhirat).
7. Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqattaah).
Yang perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang memuat ketentuan-
ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam didalamnya tidak ada yang mutasyabih.
(Baca kembali Ushul Tafsir Point VI tentang Muhkam Mutasyabih)
2. Petunjuk Lafazh (dhalalah)
A. Mantuq yaitu makna berdasarkan bunyi eksplisit yang tersurat (tekstual)
B. Mafhum yaitu makna berdasarkan pemahaman implisit yang tersurat (kontekstual).
A. Mantuq
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian
ke makna yang lain.
Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :
1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara
jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] :
196 :
Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali,
itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
Penyifatan sepuluh dengan sempurna telah mematahkan kemungkinan Sepuluh ini diartikan lain
secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.
2. Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan
tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam
hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash,
karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS
Al-Baqarah [2] : 173 famanidlthurro ghaira baghi wa la ad. Lafazh al-bagh digunakan untuk makna al-
jahil (bodoh, tidak tahu) dan az-zalim (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna
kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama
lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :
Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci .
Berhenti haid dinamakan suci (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut tuhr. Namun penunjukan kata
tuhr kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat),
sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
3. Muawwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang
menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Muawwal berbeda dengan zahir; zahir
diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh,
sedangkan muawwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari
makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi
ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP
4. Dalalah istida adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat terkadang
bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.
Ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu lalu ia berbuka, sebab kewajiban qada
puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap
berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa [4] : 23 :
Diharamkan atas kamu ibu-ibumu
Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata bersenggama,
sehingga maknanya yang tepat adalah diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.
5. Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat berdasarkan
kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187 :
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka
adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,
dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan
junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada
kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan
junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu
itu. Maka membolehkan bercampur sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada
lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan
junub.
B. Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang
tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :
a. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan
mantuq, terdiri dari :
1. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnbya daripada
mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra [17] : 23 :
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ah .
Ayat ini mengharamkan perkataan ah yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua, maka
dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-
maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.
2. Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-
Nisa [4] : 10 :
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan
(mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak,
menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
b. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq,
terdiri dari :
1. Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat manawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka
periksalah dengan teliti
Ayat ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa oleh orang fasik. Maka
dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh
orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan tsiqoh
wajib diterima.
2. Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkah.
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak tidak
sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.
3. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :
Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain
Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah
lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin lagi.
4. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan
Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon
pertolongan kepada selain Allah.
Berhujjah dengan Mafhum :
a. Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik).
b. Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah tidak memakai mafhum laqab.
3. Cakupan Lafazh
A. Am (umum) Khas (khusus)
Lafazh Am (umum)
Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juziyah) yang relevan dengan cakupan
makna itu tanpa batas.
Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.
Berdasarkan keumuman lafazh keluarga pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh menagih janji
Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yang
termasuk keluarganya, hal itu dapat kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :
Dan nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku
termasukkeluargaku dan sesungguhnya janji Engkau adalah benar.
Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] :
46 :
Allah berfirman, Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan).
Jawaban Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata keluargamu yang dijanjikan akan
diselamatkan.
Aneka Ragam bentuk Am :
1. Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat
tanya (istifham) :
2. Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
a. QS Al-Baqarah [2] : 272 :
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), niscaya kamu akan diberi
pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun dianiaya.
b. QS An-Nisa [4] : 123
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan
kejahatan itu.
3. Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jamiun (seluruh)
a. QS Ali Imran [3] : 185 :
Tiap-tiap yang berjiwa akan mengalami mati.
b. QS Al-Baqarah [2] : 29 :
Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.
4. Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
Contohnya pada QS Al-Isra [17] : 110 :
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.
5. Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat negatif (nahi) atau
dalam susunan larangan (nahi). Contohnya pada QS Al Bawarah [2] : 48 :
a. QS Al-Baqarah [2] : 48 :
Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela
orang lain, walau sedikitpun.
b. QS Al-Isra [17] : 23 :
Maka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu
membentak mereka.
6. Lafazh masyara, maasyira, ammah, qatibah dan sairun :
a. QS Al-Anam [6] : 130 :
Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul Kami dari golongan
kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap
pertemuanmu dengan hari ini ?
b. QS At-Taubah [9] : 36 :
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi kamu
semuanya.
7. Isim berbentuk jama yang diawali alif dan lam.
Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 42 :
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
8. Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
Contohnya pada QS Ibrahim [14] : 34 :
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.
9. Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati
dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa [4] : 10 :
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya.
10. Amr (perintah) dengan bentuk jama (plural)
Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku .
Macam-macam penggunaan lafazh am (umum) :
a. Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :
Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.
Kata ahadan tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
QS An-Nisa [4] : 23 :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.
Kata ummhat ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
b. Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)
Contohnya pada QS Ali Imran [3] : 39 :
Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.
Lafazh malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.
c. Am yang mendapat peng-khususan
Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.
Ayat itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu bagi yang
mampu.
Lafazh Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan dari Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juziyah)
makna.
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).
1. Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
a. Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang
yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat
b. Sifat, contohnya pada QS An-Nisa [4] : 23 :
(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu
istrimu (itu) telah kamu campuri.
Anak tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi. Bila belum disetubuhi
kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini.
c. Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara maruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.
Kalimat jika ia meninggalkan harta yang banyak adalah syarat, maka bila seseorang tidak
meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.
d. Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :
Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.
Kalimat sebelum kurban sampai ditempat penyembelihan merupakan batas larangan mencukur
rambut kepala saat haji.
e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :
Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan
kepadanya.
2. Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain;
a. Ayat Al-Quran yang lain.
QS Al-Baqarah [2] : 228 :
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber iddah) tiga kali quru.
Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang sedang hamil
maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis oleh dua ayat (mukhashshish)
yang lain, yaitu :
QS Ath-Thalaq [65] : 4 :
Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya.
Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :
Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya.
b. Hadits (men takhsis Al-Quran dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :
Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang
jantan dengan binatang yang lain. (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan :
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh
yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh
kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta
itu beranak dan anak onta itu beranak pula. (HR Muttafaqun alaihi).
c. Ijma (men takhsis Al-quran dengan Ijma).
Contohnya pada QS An-Nisa [4] : 11 :
Allah mensyariatkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang
anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.
Ayat tersebut dikecualikan secara ijma bagi laki-laki yang berstatus budak.
d. Qiyas (men takhsis Al-Quran dengan Qiyas)
Contohnya QS An-nur [24] : 2 :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera.
Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus
budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat
fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa [4] : 25 :
Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita
merdeka yang bersuami.
e. Akal (men takhsis Al-Quran dengan akal)
Contohnya pada QS Ar-Radu [13] : 6 :
Allah adalah pencipta segala sesuatu.
Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
f. Indera (men takhsis Al-Quran dengan indera)
Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 :
Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi
segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.
Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak
seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g. Siyaq (Mentakshis Al-Quran dengan siyaq)
Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.
Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-Araf [7] : 163 :
Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut . ?
Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa,
Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh am, khas dan takhsis :
1. Apabila didalam ayat Al-Quran terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat
menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang mentawilkannya dan
menghendaki makna lain.
2. Apabila lafazh itu bersifat am (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-
takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan
hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu
hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus
itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum tersebut.
4. Takhsis jenis syarat, ghayah dan sifat tidak dipegangi oleh kelompok yang menolak mafhum.
5. Ulama Hanafiah berpendapat takhsis Al-Quran dengan hadits hanya bisa oleh hadits mutawatir.
B. Mujmal (global) Mubayyan (terjelaskan) Mufassar (ter-tafsirkan)
Salah satu fungsi hadits adalah sebagai bayan (menjelaskan) lafazh dalam ayat Al-Quran yang masih
mujmal (global). Dengan adanya penjelasan dari hadits maka lafazh yang mujmal tersebut dapat
dipahami maknanya.
Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran
(tafsir).
Untuk memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak ada jalan lain
kecuali harus kembali kepada syari, karena memang Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh
yang mujmal.
Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.
Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
1. Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash.
Misalnya dalam QS An-Nisa [4] : 176, lafazh kalalah adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam
satu nash;
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia ia
tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil
oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :
Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.
2. Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam
satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal. Dalam hal ini bisa
berupa :
a. Dari ayat Al-Quran yang lain, misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :
Padahal tidak ada yang mengetahui tawilnya kecuali Allah dan orang yang mendalam ilmunya
berkata : Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
Kalimat Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya adalah mujmal karena ambigutias huruf
wawu, yaitu kata dan. Bisa berkonotasi kata penghubung (athaf) atau Kata depan permulaan kalimat
baru (istinaf). Jika kata dan dianggap sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut
adalah hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya. Namun,
jika kata dan dianggap sebagai permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah hanya Allah yang
mengetahui takwilnya sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya yang notabene tidak tahu
takwilnya- berkata, kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih. Oleh karena itu, hal ini
memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak terdapat dalam satu nash, diantaranya firman
Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 :
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.
Ayat ini menunjukkan Al-Quran diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu kepada manusia,
termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi berdasarkan petunjuk (qarinah) dari ayat ini huruf dan
pada QS Ali-Imran [3] : 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga konotasinya adalah yang
mengetahui tawil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya..
Demikian pendapat kelompok yang berpendapat demikian.
b. Dari Sunnah (hadits), contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
Kata kekuatan pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang dari sunnah, yaitu
hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
Saya mendengar Rasulullah bersabda, -sementara itu beliau masih berada diatas mimbar-
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, ingatlah,
sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.
Macam-macam bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari
dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna.
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai
kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan
binatang sembelihan atau tidak mampu.
2. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fili)
Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu :
memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji,
dsb.
3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
dan dirikanlah shalat
Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan
bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit
kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : Sholatlah kalian, sebagaimana kalian
telah melihat aku shalat (HR Bukhary).
4. Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat
(Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas
zakat beliau.
5. Penjelasan dengan isyarat
Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah
saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada
yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.
6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan
Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang
relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau meninggalkannya.
7. Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian
tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya
Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya
Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
8. Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).
Mufassar (sudah ditafsirkan)
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada
kemungkinan tawil yang lain baginya.
Apabila datang penjelasan (bayan) dari syari terhadap lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang
sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan
yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.
Macam-macam mufassar :
1. Mufassar oleh zatnya sendiri
Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada
makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan
penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 :
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Kata delapan puluh adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung
kemungkinan lebih atau kurang.
Contoh lain pada QS At-Taubah [9] : 36 :
Perangilah orang-orang musyrik itu semuanya.
Kata semuanya itu adalah mufassar.
2. Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain
secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan tawil lagi untuk makna yang
lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global
(mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan
sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata
caranya.
C. Mutlaq (tanpa batasan) Muayyad (dengan batasan)
Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya
dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak .
Lafazh budak diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid).
Contohnya dalam QS An-Nisa [4] :92 :
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena
tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya)
ia memerdekakan seorang budak yang beriman
Lafazh budak diatas dibatasi dengan yang beriman
Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya
(membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan
ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya.
Contohnya, pada QS An-Nisa [4] : 11 :
(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar
hutangnya.
Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-
maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits yang menegaskan bahwa,
Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka. Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas
menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari
harta pusaka.
2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 3 :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.
Lafazh darah pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.
Pada QS Al-Anam [6] : 145 :
Katakanlah, Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu
(makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.
Lafazh darah pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh yang mengalir.
Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh darah yang tersebut pada QS Al-Maidah [5] :
3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu darah yang mengalir.
3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan
sesuai dengan ke mutlaqannya.
a. Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisa [4] : 43 :
.Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu
Dalam hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
Namun mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku
lafazh (basuhlah) tanganmu sampai dengan siku adalah muqayyad karena dibatasi sampai dengan
siku.
Kedua nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu bersuci tapi pada segi hukum terjadi
perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisa [4] : 43 adalah mengusap tangan, sedangkan hukum
pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah membasuh tangan sampai ke siku.
b. Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :
Apabila mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir iddahnya, maka rujukilah kepada mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil diantara kamu.
Lafazh saksi pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.
Namun pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :
Apabila kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu menuliskannya
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantara kamu).
Lafazh saksi pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan laki-laki.
Kedua ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu mengadakan dua orang saksi. Tetapi pada
segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq [65] : 2 ialah rujuk pada istri sedangkan
sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah : hutang-piutang.
c. Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya .
Bila dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka sebabnya berbeda, pada
ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya juga berbeda, pada ayat ini tentang potong tangan.
Jadi Hukum lafazh mutlaq - muayyad :

1.
1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-
qayyid-kannya (membatasinya)
2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna
muqayyad.
3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap
diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.

4. Kaidah Makna Kata


a. Makna Hakikat yaitu makna lahir. Pada kalimat Singa menerkam rusa pada lehernyta maka kata
singa itu bermakna hakikat yaitu binatang buas.
b. Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada kalimat Singa padang pasir menerkam musuhnya dengan
pedangnya maka kata singa itu bermakna kiasan untuk seseorang yang dikenal berani.
c. Musytarak yaitu kata yang punya lebih dari satu makna (ambigu).
Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu penyebab timbulnya perbedaan
penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa pada perbedaan pendapat.
(Baca kembali Ushul Tafsir point VIII)
5. Amr (perintah) dan Nahi (larangan)
Lafazh amr (perintah) dapat berdampak hukum :
a. Menunjukkan wajib.
b. Menunjukkan sunah.
c. Menunjukkan suruhan saja.
d. Menunjukkan kebolehan
Larangan (nahi), menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul :
a. Larangan karena diri perbuatan, seperti larangan zina, larangan wanita haid mengerjakan sholat.
b. Larangan karena sesuatu bagian perbuatan, seperti larangan menjual anak binatang yang masih
dalam perut induknya.
c. Larangan lantaran sesuatu sifat yang tidak dapat lepas, seperti larangan puasa pada hari raya Idul
Fitri dan Idul Adha, karena sudah menjadi sifat yang melekat pada hari raya untuk makan-minum,
mengadakan jamuan.
d. Laranga karena sesuatu sifat yang tidak lazim, seperti jual-beli sesuatu sesudah azan sholat Jumat
dikumandangkan.
(Baca kembali Ushul Tafsir point VII)
6. Pertentangan dan Kompromi Antar Dalil
a. Taarudl
Yaitu pertentangan antar dalil, berkata Imam Abdul Wahhab Khallaf :
Apabila bertentangan dua nash pada lahirnya, wajiblah kita ber-ijtihad untuk menggabungkan
dan mengkompromikan antara keduanya. Jika tak dapat dilakukan hendaklah kita ber-ijtihad
untuk mentarjihkan (menentukan yang lebih kuat) salah satunya. Kalau tak dapat ditarjihkan
salah satunya, tetapi diketahui mana yang terdahulu dan mana yang terkemudian, maka
hendaklah yang terkemudian dipandang menasakh yang terdahulu. Jika tak dapat diketahui
kedua-duanya maka ditangguhkan.
b. Kompromi
Firman Allah pada QS Al-Baqarah : 180
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya yang dekat
Firman Allah pada QS An-Nisa : 11
Allah memerintahkan kepadamu terhadap anak-anakmu, yaitu : (warisan) bagi lelaki adalah seperti
bagian dua wanita ..
Ayat pertama mewajibkan berwasiat bagi orang yang akan meninggal sedangkan ayat kedua
mewajibkan aturan hukum waris bagi orang yang meninggal. Secara sepintas sepertinya kedua ayat
tersebut saling betentangan padahal tidak, karena bisa dikompromikan, yaitu kewajiban berwasiat itu
apabila meninggalkan harta warisan yang banyak dan maksimal senilai sepertiga dari hartanya untuk
orang-orang yang tidak berhak mendapat warisannya. Sedangkan hartanya yang tidak termasuk dari
yang diwasiatkan harus dibagi kepada ahli waris sesuai aturan hukum waris dalam syariat Islam.
c. Tarjih
Yaitu bila ada dua dalil yang saling bertentangan maka ditentukan mana dalil yang lebih kuat (rajih)
dan mana yang lebih lemah (marjuh).
Prinsip-prinsipnya :
1. Al-Quran lebih kuat dari Hadits
2. Hadits Mutawatir lebih kuat dari hadits Masyhur
3. Hadits Masyhur lebih kuat dari hadits ahad
4. Hadits sahih lebih kuat dari hasan lebih kuat dari dhaif.
5. Hadits Mutafaq alaih (diriwayatkan Bukhari dan Muslim) lebih kuat dari Bukhari saja dan atau
muslim saja.
6. Hadits Marfu (disandarkan kepada Nabi) lebih kuat dari hadits mauquf (disandarkan hanya kepada
Sahabat)
7. Sanad yang tinggi lebih kuat dari sanad yang lebih rendah.
8. Apabila berlawanan antara yang mengharamkan dengan yang memubahkan ditarjihkan yang
mengharamkan (untuk kehati-hatian).
9. Apabila berlawanan anatara yang menghalangi dengan yang menghendaki, didahulukan yang
menghalangi.
10. Mempelajari asbabun nuzul atau asbabul wurudnya.
(Baca kembali Ilmu Hadits, point Mukhtaliful Hadits)
d. Nasakh
Apabila tidak dapat dikompromikan atau ditarjihkan, bila diketahui mana yang datang terdahulu dan
mana yang datang terkemudian, maka dalil yang terkemudian menasakh yang terkemudian.
1. Nasakh Sharih, bila ada penyataan tegas menyatakan nasakh, seperti pada hadits Nabi SAW :
Aku dahulu melarangmu dari menziarahi kubur, (maka sekarang) ziarahilah kubur karenaitu
mengingatkan kamu kepada akhirat.
2. Nasakh Dlimmy, menetapkan hukum yang berlawanan dengan hukum sebelumnya.
(Baca kembali Ushul Tafsir point V)
D. Qowaid Fiqiyah (Kaidah Fiqih)
Setiap yang mempelajari ushul fikih akan menjumpai kaidah fiqih yaitu kalimat singkat berupa kaidah
umum yang dipetik dari Al-Quran dan Hadis yang bersesuaian dengan juziyyah (bagian-bagian) yang
banyak yang dengannya dapat diterapkan hukumnya pada masalah furu (cabang).
Jadi Kaidah Fikih ini akan membantu menyimpulkan hukum fikih suatu masalah. ulama ushul fikih
berkata :
Apabila kaidah-kaidah fikih kokoh terhujam didada mudah dan lancarlah lidah menuturkan furu
(hukum fikih)
Kaidah Fikih Global :
Mengambil maslahat dan menolak masfadat
Kaidah Pokok, ada 5 (lima) yang kepadanya dapat dikembalikan hampir semua masalah furu yang
banyak.
Kaidah Pokok ke-1 : segala sesuatu bergantung kepada niat
Dasarnya hadis nabi Sesungguhnya segala amal hanyalah menurut niatnya dan sesungguhnya bagi
seseorang itu hanyalah memperolah apa yang diniatkannya
Kaidah Pokok ke-2 : yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh yang masih ragu
Dasarnya hadis nabi Apabila seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam perutnya, kemudian
sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah keluar dari masjid
sehingga mendengar suara atau mendapat bau
Apabila seseorang dari kamu ragu ragu didalam sholatnya, tidak tahu sudah berapa rokaat yang
telah dikerjakan apakah tiga rokaat atau empat rokaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan
berpeganglah kepada apa yang meyakini.
Kaidah Pokok ke-3 : Dalam kesempitan ada kelapangan
Dasarnya QS Al-Baqoroh :185 : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki
kesukaran bagimu.
QS Al-Haj :78 : Dan Dia tidak menjadikan untuk kamu kesukaran dalam agama Hadis nabi Agama itu
mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah
Hadits nabi : Mudahkanlah jangan dipersukar.
Kaidah Pokok ke-4 : Kemudhorotan harus dihilangkan
Dasarnya Firman Allah Dan janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di muka bumi
dan ayat Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan
kemudian hadis nabi tidak boleh membuat kemudhorotan pada diri sendiri dan membuat
kemudhorotan pada orang lain
Kaidah Pokok ke-5 : Adat dapat dijadikan hukum
Dasarnya ayat Dan bergaullah dengan mereka (manusia) secara patut dan hadis nabi Apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah
Dari lima kaidah pokok diatas terdapat ratusan kaidah kaidah cabang yang lain, diantaranya (yang
popluer dan sering digunakan) adalah :
1. Menolak masfadat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.
2. Mudhorot khusus (kecil) harus ditempuh untuk menghindarkan mudhorot umum (besar).
3. Bila harus memilih antara dua mudhorot maka pilih yang paling kecil.
4. Bila untuk melaksanakan yang wajib memerlukan sarana, maka mengadakan sarana itu juga wajib.
5. Jalan yang menuju haram juga haram.
6. Kemudhorotan harus dihilangkan dan jalan yang menuju kearahnya harus ditutup.
7. Bila tidak bisa melaksanakan semuanya maka jangan ditinggalkan seluruhnya.
8. Hukum asal segala sesuatu mubah/boleh sampai ada dalil yang jelas melarangnya.
9. Hukum asal masalah ibadah makdoh haram sampai ada dalil/contoh yang menyuruhnya.
10. Apabila berkumpul dua perkara yang sejenis maka yang satu masuk kepada yang lain.
11. Hukum* dapat berubah menurut perubahan jaman. (* yang dimaksud disini hukum masalah furu
(cabang) yang dzanni dan masalah-masalah muamalah-keduniaan bukan masalah ushul dan atau
yang qothi)
12. Hak keuntungan ada bersama resiko menanggung kerugian.
13. Menolak (preventif) lebih utama dari mengangkat (kuratif).
14. Yang lebih kuat meliputi yang lemah, bukan sebaliknya.
E. Sumber Hukum Sekunder
3. Ijma
Ijma adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap
suatu hukum syara yang bersifat praktis amaly.
Dalil yang menjadi dasar Ijma :
Firman Allah dalam QS An Nisa [4] : 59
Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu.
Taatilah Allah merujuk kepada Al-Quran.
Taatilah Rasul merujuk kepada sunnah (hadits)
dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu merujuk kepada Ijma (konsensus) Ulil-Amri.
Hadits Nabi :
Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula dalam pandangan Allah.
Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.
Ingatlah, barangsiapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah) jamaah, karena
syaitan adalah bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih juah dari dua orang, daripada
dari pada dari pada seorang yang menyendiri.
a. Ijma Sahabat
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau
mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui
hadits Nabi tentang masalah tersebut, bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu
Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah
Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama
yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Mekkah. Ijma sahabat
pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar inilah yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti
oleh seluruh kaum muslimin.
b. Ijma Ulama Mujtahid
Para sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah pada saat Khalifah Usman bin Affan
dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada
masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan
mujtahid dari generasi tabiin dan tabiit-tabiin.
Masing-masing imam mujtahid tidak mengeluarkan pendapat yang sama sekali menyalahi pendapat
ulama negerinya, agar tidak dianggap aneh. Lantaran Itu Imam Abu Hanifah menghargai Ijma ulama
Kufah, begitu pula Imam Malik menghargai ijma ulama Madinah.
Tingkatan Ijma :
a. Ijma Sharih, jika semua ulama menyatakan kesepakatannya.
b. Ijma Sukuti, jika seorang mujtahid menyampaikan pendapatnya, kemudian pendapatnya tersebut
diketahui oleh seluruh ulama yang hidup semasa dan tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari
pendapatnya, artinya ada juga yang mendiamkannya. Ijma sukuti ini masih diperdebatkan apakah
dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seseorang ulama belum tentu menyatakan kesepakatannya,
bisa jadi sedang memikirkannya.
4. Qaul Sahabi (Perkataan Sahabat Nabi)
Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :
Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah.
Hadits Nabi :
Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.
Diantara metode ijtihad Imam Abu Hanifah adalah : Bila ada konsensus pendapat dari sahabat maka
saya ambil, bila ada perbedaan pendapat diantara para sahabat, maka saya pilih. Bila ada pendapat
dari tabiin maka saya teliti.
5. Qiyas
Qiyas adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu yang mirip atau serupa dengan yang
telah ada nash nya dalam Al-Quran atau Hadits. Contohnya menyamakan hukum segala minuman
yang memabukkan dengan hukum khamr (arak).
Dasar kehujjahan Qiyas :
a. Firman Allah dalam QS An Nisa [4] : 59
Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu
berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.
Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah
(qiyas-kanlah) dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada kitab Allah (Al-Quran) dan
atau Sunnah Rasul-Nya (Hadits).
b. Firman Allah dalam QS Al-Baqarah : 179 :
Dan dalam qisash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu.
Dalam ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) disyariatkannya qishas adalah agar ada jaminan hidup
bagi manusia.
c. Firman Allah dalam QS Al-Maidah : 91 :
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sholat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Dari ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) diharamkannya judi dan meminum khamr adalah karena
menimbulkan permusuhan dan kebencian, juga karena menghalangi manusia dari mengingat Allah.
d. Hadits Hadits Nabi :
1. Dari Umar bin Khatab : Hari ini aku telah melakukan perkara besar, yakni mencium istriku, sedang
aku sedang berpuasa. Lalu Rasulullah bersabda : Bagaimana menurut pendapatmu andaikata kamu
berkumur-kumur padahal kamu sedang berpuasa ?. Hal itutak mengapa, jawabku. Maka mengapa
(kamu menanyakan) ? Jawab Rasulullah. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Riwayat diatas menunjukkan bahwa Rasulullah meng qiyaskan mencium istri ketika berpuasa dengan
berkumur-kumur ketika berpuasa. Keduanya mengandung persamaan illat yaitu mendekati
membatalkan tapi belum sampai pada tahap membatalkan.
2. Seorang wanita dari qabilah Juhainah menghadap Nabi, seraya ia berkata : Ya Rasulullah, ibuku
telah bernadzar untuk mengerjakan haji, akan tetapi ia tak sempat mengerjakan haji sampai ia
meninggal dunia. Apakah saya berkewajiban mengerjakan haji untuknya ?. Benar, jawab Nabi.
kerjakan haji untuknya. Tahukah kamu andaikata ibumu mempunyai hutang, bukankah kamu yang
paling patut melunasinya ? Ya, jawabnya. Rasulullah berkata : Tunaikan hutang-hutang Allah, sebab
hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi . (HR Bukhary dan Nasai).
Riwayat diatas menunjukkan Nabi meng qiyaskan nadzar kepada Allah yang belum dipenuhi dengan
hutang kepada sesama manusia.
e. Surat Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al Asyari yang menjabat sebagai gubernur Basrah :
Lihatlah banyak hal-hal yang serupa dan setara, maka qiyaskanlah hal-hal yang semacam itu.
Rukun Qiyas ada 4 (empat) yaitu :
1. Asal, yaitu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya pada nash Al-Quran dan hadits.
2. Furu, yaitu cabang yang hukumnya disamakan dengan hukum asal.
3. Hukum, yaitu hukum yang sudah diketahui pada asal.
4. Illat, yaitu sebab yang sama yang menyebabkan hukum asal dapat disamakan juga pada hukum
furu.
Syarat-syarat qiyas :
a. Hukum asal tidak dinasakh.
b. Hukum asal jelas nashnya.
c. Hukum asal dapat diterapkan pada qiyas.
d. Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.
e. Mempunyai illat yang sama.
f. Hukum cabang sama dengan hukum asal.
g. Ada illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum.
h. Illat tidak boleh bertentangan atau menyalahi syara.
Macam-macam Qiyas :
1. Qiyas Aula / Awlawi / Qathi
Yaitu qiyas hukum yang diberikan kepada asal lebih patut diberikan kepada cabang.
Contoh, Nabi bersabda :
Kedua mata itu tali pengikat lubang dubur, maka apabila mata telah tidur terlepaslah tali.
Kita pahamkan bahwa gila, pingsan, mabuk dan segala yang menghilangkan akal lebih patut
membatalkan wudhu.
2. Qiyas Musawi
Yaitu mengqiyaskan sesuatu kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima
hukum tersebut.
Contohnya dalam QS An-Nisa : 25 :
Maka atas mereka (budak-budak wanita) separoh hukuman dari yang dikenakan atas wanita-wanita
yang merdeka.
Kita pahamkan bahwa menurut irama pembicaraan hukuman dera budak laki-laki kita qiyaskan
dengan hukum budak wanita yaitu separoh dari hukuman dera laki-laki yang merdeka.
3. Qiyas Adna / Adwan
Yaitu meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatu
yang memang patut menerima hukum itu.
Misalnya kita mengqiyaskan haramnya nabiz (rendaman lain dari anggur) kepada khamr (arak
anggur) karena illatnya sama sama memabukkan.
4. Qiyas Dalalah
Yaitu qiyas yang menunjuki kepada hukum, berdasar dalil illat atau mengumpulkan asal dengan
cabang berdasar kepada dalil illat.
Misalnya mengqiyaskan ahrta anak kecil dalam soal wajib dizakati kepada harta orang dewasa atas
dasar illatnya sama-sama harta yang berkembang.
5. Qiyas Illah
Yaitu qiyas yang tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang dan illat itulah yang
menyebabkan hukum pada asal.
6. Qiyas fi Manal Ashli
Yaitu qiyas yang tidak tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang.
Misalnya mengqiyaskan kadar hukuman dera buda laki-laki kepada budak wanita dengan illat sama-
sama budak.
7. Qiyas Syabah
Yaitu qiyas yang menjadi washaf (sebab illat) yang mengumpulkan antara cabang dengan asal
hanyalah penyerupaan atau cabang yang pulang pergi dua asal, yaitu yang dapat diserupakan
dengan dua asal, lalu dihubungkan dengan yang banyak persamaannya.
Misalnya, seorang budak ketika merusakkan sesuatu dalam membayar ganti rugi, berubah status
antara sebagai manusia karena ia anak keturunan Adam dan binatang, karena ia dipandang sebagai
harta yang dapat diperjual-belikan dan diwakafkan.
8. Qiyas Jali
Qiyas yang illatnya baik dinashkan atau tidak, namun perbedaan pemisah antara asal dan furu
diyakini tidak berbekas.
Misalnya, mengqiyaskan haramnya mencaci, memukul orang tua kepada keharaman mengucapkan
cis, dengan illat sama-sama menyakitkan bagi keduanya.
9. Qiyas Khafi
Qiyas yang illatnya dipetik dari hukum asal.
Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat dengan benda tajam.
10. Qiyas Sabri wattaqsim
Qiyas yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian yang mendalam.
Misalnya, mengqiyaskan jagung kepada gandum dengan illat sama-sama makanan pokok yang
mengenyangkan dan sama sama ditimbang.
11. Qiyas Thardi
Qiyas yang dikumpulkan antara asal dengan cabang oleh suatu sebab yang adanya hukum beserta
wujudnya sebab itu, bila sebab hilang maka hukumnya juga hilang.
12. Qiyas Aksi
Tidak ada hukum bila tidak ada illat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya
karena keduanya itu berlawanan dengan tentang illatnya.
Contohnya, hadits Nabi :
Dan pada kemaluan seseorang kamu ada sedekah. Para Sahabat bertanya : Apakah kami
memuaskan syahwat dan memperoleh pahala ? Jawab Nabi : Bagaimana pendapatmu jika dia
meletakkan syahwatnya pada yang haram, adakah dia berdosa ?, demikianlah apabila ia meletakkan
pada yang halal, ada pahala baginya. (HR Muslim).
13. Qiyas Ikhlati wal Munasabati
Qiyas yang menetapkan illat berdasarkan munasabah, yakni kemaslahatan memelihara dasar
maksud.
a. Qiyas Muatstsir
Qiyas yang illatnya mengumpulkan antara asal dengan cabang dinashkan dengan terang atau
dengan isyarat atau dengan ijma.
Misalnya firman Allah QS An Nur : 27 :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum
minta ijin dan memberi salam kepada penghuninya.
Sehubungan dengan ayat ini, maka Rasululah bersabda : Ijin dilakukan semata-ata untuk
kepentingan (keselamatan) mata.
b. Qiyas bekas sebab
Misalnya dibenarkan menjama shalat dimasa hujan. Tidak ada keterangan bahwa hujan itu menjadi
sebab, akan tetapi ada keterangan bahwa safar menjadi sebab bolehnya jama. Maka dipahamkan
bahwa sebab disini adalah hujan.
14. Qiyas Mulaim
Qiyas yang jenis sebabnya memberi bekas pada jenis hukum.
Misalnya, wanita yang ber haid tidak perlu mengqadha shalatnya, karena menimbulkan kesukaran.
Kesukaran ini tidak ada keterangannya dari nash. Akan tetapi ada keterangan dari syara bahwa
kesukaran itu meringankan hukum.
15. Qiyas Munasib Gharib
Qiyas yang dibina atas illat yang tidak tegas syara membolehkan atau menolaknya.
Misalnya, wanita yang ditalak tiga saat suami menjelang mati dapat menerima warisan karena kita
lawan maksudnya dengan mengqiyaskan kepada pembunuhan agar cepat mendapat warisan, maka
si pembunuh tidak mendapat warisan.
F. Sumber Hukum Tersier (digunakan untuk masalah juziyah (parsial), furuiyah (cabang)
yang jauh).
6. Istihsan
yaitu : keluar dari nash karena sebab yang lebih kuat, contoh : menurut qiyas sumur yang kena najis
harus disiram air, tapi hal itu tidak memungkinkan maka pen suciannya dengan menimba air sumur
7. Mashlahah mursalah
Yaitu keluar dari Qiyas kulli karena pertimbangan memelihara hukum syara dengan jalan
mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh : dibolehkan memenjara atau meng intimidasi
terdakwa untuk memperoleh pengakuannya.
8. Istihshab
Yaitu mengekalkan hukum yang telah ada, tidak bisa berubah karena sesuatu yang masih ragu.,
contoh : seseorang yang pada mulanya punya wudhu kemudian ragu ragu apakah dia telah batal apa
belum, maka hukumnya dia dianggap masih punya wudhu.
9. Istidlal
Yaitu pertalian antara dua hukum tanpa menentukan illat (persamaan penyebabnya), contoh :
seseorang sholat dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tapi kemudian diketahui dia tidak punya
wudhu, maka karena dia tidak punya wudhu sholatnya juga tidak syah.
10. Sadudz Dzariah
Yaitu mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kemudhorotan atau
menyumbat jalan yang menuju kemudhorotan. Contoh : Zina itu haram, maka melihat aurat wanita,
berduaan dengan lawan jenis bukan mahram ditempat sepi, bacaan porno itu juga haram karena
semua itu jalan menuju zina
11. Urf
yaitu kebiasaan yang tetap pada jiwa manusia diterima oleh akal dan tidak menyalahi syara, contoh =
sudah menjadi urf (kebiasaan) bahwa harga bahan bangunan adalah sudah termasuk ongkos kirim,
bila ada penjual ketika mengirimkan bahan bangunan ke tempat pembeli masih menagih ongkos
kirim, maka hakim dapat menolak gugatan penjual berdasarkan Urf.
12. Adah
yaitu sesuatu yang dikehendaki manusia pada umumnya dan berlaku terus menerus
13. Taamul
yaitu adat-istiadat kebiasaan dalam pergaulan mumalah manusia
14. Baraah Ashliyah
yaitu : bebas dari hukum yang memberatkan
15. Istiqra
yaitu memeriksa seteliti mungkin berbagai juziyah supaya dapat dihukumkan dengannya, contoh =
seluruh sholat fardhu nabi tidak pernah dilakukan diatas kendaraan, suatu ketika rosul pernah sholat
duha diatas kendaraan, maka dipahami bahwa sholat duha itu hukumnya sunnah.
16. At-Taharri
yaitu mempergunakan segala kemampuan akal untuk mencapai ketaatan
17. Ar Rujuu ilal manfaati wal madharrah
yaitu menetapkan hukum berdasarkan manfaat dan mudhorot
18. Al Qaulu bin nushush wal ijmaaI fil ibadati wal muqaddarati wal qaulu bi itibaaril mashalih fil
muaamalati wabaqil ahkami
yaitu menetapkan hukum dengan nash dan ijma thd soal yg pokok dan berdasarkan kemaslahatan
pada urusan cabang, contoh = para sahabat tidak menentang sitem Monarki Muawiyah krn takut
terjadi perpecahan kaum muslimin
19. Taghyirul Ahkam bi taghaiyuril ahwali wal azman
Yaitu berubahnya hukum (masalah furu, muamalah, duniawiyah) karena berubahnya keadaan dan
jaman.
Yang mula-mula dan menjadi panutan dalam masalah ini adalah Khalifah Umar bin Khattab yang
memerintahkan sholat Tarawih berjamaah dibawah satu imam dengan pertimbangan lebih teratur dan
tertib, tidak memberi zakat kepada muallaf (orang yang baru masuk Islam) dengan pertimbangan
Islam sudah kuat, tidak membagikan tanah daerah taklukan kepada prajurit yang menaklukkan demi
kepentingan kemaslahatan generasi yang kemudian, tidak memotong tangan pencuri pada saat
paceklik dan kelaparan dengan pertimbangan keadaan kesulitan ekonomi.
20. Al akhdzu bil akhaffi (al akhdzu biaqalli) maa qila
yaitu berubahnya hukum karena berubahnya masa dan keadaan, contoh = Umar tidak memberikan
zakat kepada para Muallaf karena Islam sudah kuat, bila mereka murtad maka dibunuh
21. Al Ishmah
yaitu menjadikan hujjah perkataan orang yang mendapat hak menetapkan hukum syara, contoh =
Rosul memberikan hak kepada Saad Bin Muaz untuk menentukan hukuman bagi pengkhianatan Bani
Quraizah.
22. Syaru man qablana
yaitu : hukum syariat orang sebelum kita, apabila disebutkan dalam nash maka juga menjadi syariat
kita.
23. Al amalu bidhadhahir awil adhar
yaitu beramal dengan prioritas memegangi nash yang lahir
24. Al akhdzu bil ihtiyath
yaitu memegangi mana yang lebih kuat dari dua dalil
25. Al Qurah
yaitu menetapkan hukum berdasarkan undian, untuk mencegah saling berbantah-bantahan
26. Al amalu bil ashli
yaitu mengamalkan dalil yang lebih rajih (kuat).
27. Maqulun nash
yaitu mengamalkan dari apa yang dipahami dari nash, bila tidak dapat ditafsirkan secara tekstual
maka dibawa ke makna majasi.
28. Syahadatul qalbi
yaitu dengan memperhatikan suara hati nurani, dasarnya hadis nabi : “mintalah fatwa kepada hatimu”
29. Tahkimul hal
yaitu menyerahkan keputusan kepada keadaan sekarang yang sedang berlaku
30. Umumul balwa
yaitu membolehkan sesuatu yang sulit melepaskan diri atau selalu terjadi
31. Al amalu bi aqawasy syabahaini
yaitu memegangi mana yang lebih kuat kemiripannya, contoh menentukan orang tua anak dengan
melihat kemiripannya
32. Dalalatul iqtiran
yaitu menyamakan hukum karena bergandengan dengan yang lain, contoh = imam malik tidak
mewajibkan zakat pada kuda karena ada ayat “dan kuda dan bighal dan keledai”
33. Dalalatul ilhami
yaitu sesuatu yang diperoleh dari ilham, disyaratkan pada orang yang taqwa dan soleh
dasarnya hadis nabi “berhati hatilah dengan firasat orang mukmin karena mereka melihat dengan
cahaya Allah”
34. Ruyan nabi
yaitu berpegang kepada apa yang dikatakan nabi dalam mimpi, dasarnya hadis nabi : “mimpi seorang
muslim itu 1/46 kenabian”
35. Al akhdzu bi aisari maa qilaa
yaitu mengambil mana yang paling mudah dari dua pendapat
36. Al akhdzu bi aktsari maa qilaa
yaitu mengambil jumlah yang lebih banyak dari jumlah yang berbeda beda
37. Faqdud dalil badal fihshi
yaitu menetapkan tidak ada hukum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil yang
mewujudkansesuatu hukum sesudah dilaksanakan pembahasan yang luas.
X. Maqashid Syariah (Tujuan Syara)
Melalui penelitian yang mendalam akan diketahui bahwa semua syariat agama mengandung maksud,
tujuan dan hikmah bagi kepentingan hamba. Semua perintah dan larangan dalam syariat agama
mengandung kemaslahatan, baik yang mudah diketahui maupun yang belum diketahui karena akal
manusia tidak mampu memahaminya.
Tuhan tidak mensyariatkan hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah. Syara bermaksud
dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum. Kita tidak dapat memahami
hakikat nash terkecuali jika kita mengetahui apa yang dimaksud oleh syara dalam menetapkan nash-
nash syariat itu. Harus diingat bahwa petunjuk-petunjuk lafazh dan ibarat-ibaratnya kepada makna
yang kadang-kadang mempunyai lebih dari satu penafsiran makna. Untuk mentarjih penafsiran
makna yang lebih tepat maka perlu memahami maksud syara (maqashid syariah).
Segala hukum muamalah, akal dapat mengetahui maksud-maksud syara dalam menetapkan hukum
yaitu berdasarkan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menolak masfadat terhadap
mereka. Jadi segala yang membawa manfaat-maslahat adalah mubah dan segala yang membawa
mudharat-masfadat adalah haram.
Ibnul Qayyim berkata :
Dasar syariat ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya
rahmat dan semuanya mengandung hikmah. Tiap masalah yang keluar dari adil kepada curang, dari
rahmat kepada bala, dari maslahat kepada masfadat, dari hukmah kepada sia-sia maka bukanlah
syariat. Syariat itu adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat Allah diantara makhluk-nya dan
bayangan Allah dibumi-Nya dan himah-Nya yang menunjukkan kepada-Nya dan kebenaran Rasul-
Nya.
Maksud-maksud syara yang umum :
1. Memelihara segala yang dharuri (esensial dan fital) bagi manusia dalam kehidupan mereka, yaitu :
a. Memelihara Agama (dien).
b. Memelihara Nyawa (nafs).
c. Memelihara Akal (aqlu).
d. Memelihara Nasab-keturunan (nasl).
e. Memelihara Harta (mal).
Apabila yang dharuri ini tidak terpelihara maka kacaulah tatanan kehidupan, timbullah kekacauan dan
kerusakan yang merata.
2. Menyempurnakan segala yang dihajati manusia.
Yaitu segala yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan untuk dapat menanggung kesukaran-
kesukaran pembebanan (taklif) dan beban-beban hidup. Tetapi bila urusan itu tidak diperoleh,
tidaklah rusak tatanan hidup dan tidak merata kekacauan, hanya mengalami kesempitan dan
kesukaran saja.
Segala yang dihajati dalam pengertian ini meliputi segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan,
kesusilaan, tata sosial kehidupan, kemudahan-kenyamanan hidup. Apabila yang demikian ini tidak
diperoleh maka tiada cedera tatanan kehidupan, hanya saja dipandang tidak baik oleh akal yang
sehat dan fitrah yang sejahtera.
Tingkatan Maksud Syara
1. Tingkat Dharuriyah.
Yaitu tingkat yang harus ada, tidak boleh tidak ada. Apabila tidak difardhukan pokok-pokok ibadat
maka manusia akan lupa dan berpaling dari Tuhan dan agama. Apabila tidak disyariatkan kita
memrangi orang-orang yang merusak agama dan memaksa kembali orang yang murtad, tentu
rusaklah urusan agama dan hilanglah pemeliharaannya.
Apabila tidak dihalalkan benda-benda yang baik untuk dimakan, diminum dan dipakai dan apabila
tidak disyariatkan nikah dan pokok-pokok muamalah serta tidak difardhukan hukum-hukum jinayah
maka akan hilang maslahat tertentu untuk memelihara jiwa, akal, keturunan dan kehormatan.
Apabila tidak disyariatkan pokok-pokok hukum yang berkenaan dengan hak milik dan penukaran
manfaat serta tidak didakan hukum membayar barang yang kita rusakkan dan tidak disyariatkan
hukuman untuk pencurian, perampokan tentu rusak maslahat harta.
2. Tingkat Hajiyah
Yaitu segala yang kita hajati untuk memperoleh keluasan hidup dan menolak kesempitan.
Umapamanya untuk memelihara agama kita dibolehkan mengqashar shalat ketika dalam safar atau
menjama ketika sedang ada udzur yang syari.
3. Tingkat Tahsiniah.
Yaitu tingkat yang paling rendah, dengan hilangnya tingkat ini tidak menghilangkan tingkat asli serta
tidak menimbulkan kepicikan dan kesukaran dalam hidup. Tingkat ini masuk bagian kesempurnaan
untuk memelihara akhlak-akhlak tinggi dan adat-adat yang baik.
XI. Masalah Ushul (pokok) Furu (cabang)
A. Masalah Ushul (pokok)
Masalah Ushul (pokok) adalah masalah yang menyangkut Itikad (keyakinan) dalam urusan : akidah,
tauhid dan rukun iman yang enam. Dalil-dalil dari Al-Quran maupun hadits yang menerangkan hal ini
semuanya adalah muhkam (tidak ada kemungkinan penafsiran lain) dan sharih (jelas petunjuk
lafaznya) dan Qathi (pasti).
Seorang muslim dalam masalah ushul ini harus benar Itikadnya (keyakinannya). Salah dalam Itikad
masalah ushul bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir keluar dari Islam. Jadi dalam masalah
ushul yang ada adalah iman atau kafir.
Contoh-contoh masalah ushul :
a. Tidak ada tuhan selain Allah.
b. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan.
c. Allah satu satunya tempat bergantung.
d. Tauhid Rububiyah (meyakini Allah satu satunya pencipta)
e. Tauhid Uluhiyah (meyakini Allah satu satunya yang disembah dan diibadahi)
f. Tauhid Mulkiyah (meyakini Allah satu satunya yang mengatur, memelihara, memberi rejeki seluruh
makhluk-Nya).
g. Mengimani kebenaran dan kesucian Al-Quran.
h. Mengimani kebenaran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang maksum.
i. Mengimani Malaikat-malaikat Allah
j. Mengimani adanya akhirat (alam kubur, mashar, shirot, surga-neraka)
k. Mengimani adanya takdir yang baik dan buruk.
l. Dan lain-lain.
(Lihat kembali Ilmu Kalam point terakhir)
Masalah ushul yaitu akidah ibarat akar yang merupakan dasar bagi sebuah pohon, Itikad-tauhid
merupakan satu batang lurus yang tidak bercabang-cabang yang merupakan penopang.
Jadi tidak boleh ada variasi, perbedaan pendapat dan ijtihad dalam masalah ushul ini. Bila ada yang
berani berbeda pendapat, mengotak-atik masalah ushul ini maka harus ditentang dan tidak ada
toleransi dalam hal ini. Itu sebabnya para ulama sangat keras dan mencelah para pelaku bidah
akidah seperti kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah,
Musyabbihah, Muatillah (baca kembali Ilmu Kalam).
Kelompok sempalan dalam masalah Ushul (akidah) inilah yang dimaksud kelompok yang binasa oleh
hadits Nabi :
Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu yang selamat
hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa. Para sahabat bertanya : Siapakah
golongan yang selamat itu ? Nabi menjawab : golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah, para sahabat
bertanya lagi, Apakah golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu ? Nabi menjawab : Yaitu yang
mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan para sahabatku
B. Masalah Furu (cabang)
Masalah Furu (cabang) adalah semua hal diluar masalah ushul, seperti rincian praktek tata cara
ibadah, muamalah, urusan duniawi, dsb. Begitu luasnya cakupan masalah furu ini yang berhubungan
dan menyentuh hampir seluruh aktivitas kehidupan seorang muslim. Dalam masalah furuiyah ini tidak
semua dalil-dalil hukumnya muhkam dan sharih, bahkan banyak yang masih mujmal, masih am
(umum), masih mutlaq tanpa penjelasan (bayan), masih musytarak (mengandung lebih dari satu arti),
petunjuk lafazh dan cakupan lafazhnya tidak sharih (tidak jelas), memungkinkan timbul multi
penafsiran dan sebagainya.
maka dalam masalah furuiyah ini sering terjadi ijtihad dalam meng istinabtkan hukumnya. Dari sinilah
sering terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dan muijtahid. Jadi dalam masalah furu yang
ijtihadi ini hendaknya setiap muslim bersifat saling ber toleransi yaitu mengikuti mana yang dianggap
paling baik diantara pendapat-pendapat yang ada, tidak memaksa orang lain mengikuti pendapatnya
dan membiarkan (tidak mencelah) orang lain yang tidak sependapat. Dalam masalah furu yang
ijtihadi ini yang ada adalah benar dan salah. Bila benar dapat dua pahala, bila salah dapat satu
pahala.
Contoh-contoh masalah Furu
a. Detail tata cara sholat
b. Fiqih Zakat
c. Fiqih Puasa
d. Fiqih Haji
e. Fiqih Jual-Beli
f. Fiqih Sewa-Menyewa
g. Fiqih muamalah
h. Urusan duniawiyah
i. Dan lain-lain.
Masalah furu itu ibarat ranting, dahan dan cabang dalam sebuah pohon, yang tentunya tidak harus
satu (sebagaimana batang pohon / akidah) melainkan ada banyak ragam cabang. Jadi dalam
masalah furu boleh ada ijtihad, boleh ada variasi, dan boleh ada perbedaan pendapat.
XII. Dalil Qathi (pasti) Dzani (dugaan)
A. Dalil Qathi (pasti)
Dalil disebut Qathi (pasti) apabila memenuhi dua persyaratan :
1. Qathi wurudnya (sumbernya) yaitu : Al-Quran dan Hadits Mutawatir
2. Qathi dhalalah-nya (petunjuk lafazhnya) yaitu : muhkam (tidak ada kemungkinan multi penafsiran)
dan sharih (jelas).
Bila suatu dalil dari Ayat Al-Quran dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat dalil Qathi diatas
maka menjadi dalil Qathi yang sempurna, maka hukumnya harus diterima bulat-bulat, tanpa reserve.
Tidak boleh ada ijtihadi lagi dan tidak boleh diotak-atik, tidak boleh ditambah-dikurangi.
Kebanyakan masalah Ushul dalilnya adalah qathi, sedangkan kebanyakan masalah furu dalilnya tidak
qathi. Tetapi ada juga masalah furu yang dalilnya qothi sehingga semua ulama menyepakatinya dan
tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut, contohnya :
a. Hukum haram bagi daging babi, bangkai, darah yang mengalir, khamr (arak) dan riba.
b. Hukum rajam bagi pezina mukhson (sudah pernah menikah), dera 100 kali bagi pezina ghoiru
mukhson (belum pernah menikah).
c. Hukum Qisash (balas bunuh) bagi pembunuhan yang disengaja.
d. Hukum potong tangan bagi pencuri.
e. Hukum dera 80 kali bagi orang yang mendakwakan tuduhan dusta.
f. Hukum potong tangan, kaki dan disalip bagi pelaku kerusuhan dan tindakan anarkis. (perampok,
penjarah, pelaku huru-hara, pemberontak, dsb)
B. Dalil Dzani (dugaan)
Dalil dzani adalah dalil yang tidak memenuhi syarat dalil qathi, yaitu :
1. Dzani wurudnya (sumbernya) yaitu : Hadits yang tidak mencapai derajad mutawatir.
2. Dzani Dhalalahnya (petunjuk lafazhnya) yaitu : masih ada kemungkinan multi penafsiran dan tidak
sharih (tidak jelas) petunjuk dan cakupan lafazhnya.
Kebanyakan masalah furu yang ijtihadi dalilnya adalah Dzani, seperti hadis ahad, atsar-fatwa
sahabat, istihsan, maslahah mursalah dan semua sumber hukum sekunder dan tersier yang diuraikan
pada point IX B diatas.
XIII. Tentang Bidah
Pembahasan tentang bidah merupakan masalah yang sangat krusial, karena perbedaan pendapat
dan pemahaman tentang masalah bidah ini yang sekarang ini menjadi salah satu biang keladi dan
pemicu utama terjadinya friksi diantara berbagai kelompok, aliran, mazhab dan harokah Islam.
Apalagi sekarang ini ada yang menjadikan kata bidah sebagai peluru yang sering dimuntahkan dan
menjadikan kata mubtadi (pelaku bidah) sebagai label yang sering ditempelkan kepada kelompok
lain.
A. Pengertian Bidah Secara Bahasa
Secara bahasa bid’ah itu berasal dari ba-da-’a asy-syai yang artinya adalah mengadakan dan
memulai. Kata “bid’ah” maknanya adalah baru atau sesuatu perkara yang baru yang belum pernah
ada pada masa Nabi.
B. Pengertian Bid’ah Secara Istilah.
Secara istilah, bid’ah itu didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan batasan. Hal
itu lantaran persepsi mereka atas bid’ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang
meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang
lainnya menyempitkan batasannya.
Sultonu Ulama, Imam Izzudin bin Abdus Salam, seorang ulama terbesar dari mazhab Syafii (wafat
660 H) dalam kitabnya Qawaidul Ahkam menerangkan bahwa bidah adalah suatu perbuatan (baru)
yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.
Dalam Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait halaman 21
disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid’ah. Yaitu
kecenderungan menganggap apa yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bidah meski
hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan
bahwa semua bid’ah adalah sesat.
Kelompok Pertama
Kelompok yang menganggap bahwa perkara baru yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bidah
meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram, maksudnya ada juga perkara baru yang baik.
a. Tokoh-tokohnya
Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan
pengikutnya seperti Imam Izzudin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu Hajar Atsqolani, As-Suyuthi,
Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan
Maliki seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanbaliah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari
kalangan Dzahiri.
b. Argumennya
Shalat Tarawih pada jaman Nabi dan Abu Bakar dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaah
berkelompok-kelompok yang terpisah dalam Masjid. Pada Jaman Khalifah Umar bin Al-Khattab beliau
membuat perkara baru yaitu menghimpun orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah dengan satu
imam, pada waktu itu ditunjuk Ubay bin Kaab sebagai imamnya. Setelah itu Umar berkata : “ini
adalah sebaik-baik bid’ah“.
Perbuatan itu tidak ditentang oleh para sahabat Nabi yang lain dan bahkan sepeninggal Umar masih
terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini.
Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah
hasanah atau bid’ah yang baik.
Hadits yang mengindikasikan adanya bidah yang baik adalah hadits berikut :
Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang
yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan),
maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.
Dalam Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Atsqolani, pada juz XVII halaman 10 menyebutkan : 1. Ada
riwayat dari Abu Nuim menyebutkan bahwa Imam Syafii pernah berkata :
Bidah itu dua macam, satu bidah terpuji dan yang lain bidah tercela. Bidah terpuji adalah yang sesuai
dengan sunnah Nabi dan bidah yang tercela adalah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi.
2. Imam Baihaqi dalam kitabnya Manaqib Syafii menyebutkan bahwa Imam Syafii pernah berkata :
Perkara baru (bidah) itu ada dua macam : 1. Perbuatan keagamaan yang menentang atau berlainan
dengan Quran, Sunnah Nabi, atsar dan Ijma, ini dinamakan bidah dhalalah. 2. Perbuatan keagamaan
yang baik, yang tidak menentang salah satu dari yang tersebut diatas adalah bidah juga, tetapi tidak
tercela.
3. Tentang bidah, sebagian ulama membagi kepada hukum yang lima dan memang begitulah.
(maksudnya Ibnu Hajar Atsqolany mendukung membagi hukum bidah kepada hukum yang lima
yaitu : wajib, sunnah, makruh, mubah, haram).
Bisa kita nukil pendapat Imam Izzudin bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa perkara baru yang
tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, terbagi menjadi lima hukum, yaitu : bid’ah wajib, bid’ah
haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
c. Contoh-contohnya :
Bidah yang wajib :
- Membukukan mushaf Al-Quran.
- Membukukan hadits Nabi (padahal ada hadits Nabi yang melarang membukukan hadits, karena
khawatir tercampur-baur dengan Al-Quran).
- Kodifikasi, perumusan dan penulisan ilmu-ilmu keislaman yang seolah-olah berdiri sendiri seperti :
ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu Al-Quran, ilmu Fiqih, ilmu kalam (ushuludin), ilmu mantiq (logika), ilmu
nahwu-sharaf, ilmu balaghah, ilmu tasawuf.
- Mempelajari teknologi militer untuk menjaga kekuatan dan pertahanan kaum Muslimin.
Bidah yang haram :
- Bidah dalam masalah akidah berbagai firqoh sempalan, seperti :
a. Khawarij yang memisahkan diri dan selalu memberontak terhadap Amir Kaum Muslimin yang
mereka anggap berbuat zalim, menghalalkan darah orang-orang diluar kelompoknya dan mudah
mengkafirkan sesama muslim.
b. Syiah Ghulat yang mengkultuskan Imam Ali, menuduh Abu Bakar, Umar, Usman menyerobot hak
kekhalifahannya. Mencaci maki Aisyah, Talhah, Zubair dan Muawiyah yang pernah berseteru
melawan Ali.
c. Murjiah yang mempunyai keyakinan iman itu cukup dengan hati. Perkataan dan perbuatan tidak
termasuk iman.
d. Qadariyah yang menolak takdir, Jabariyah yang menolak ikhtiar usaha bebas manusia.
e. Mujasimah dan Musyabbihah yang menyerupakan Allah dengan keadaan manusia.
f. Muatillah yang menolak sifat-sifat Allah.
g. Mutazilah yang mengatakan Al-Quran adalah makhluk.
- Bidah dalam ibadah, seperti :
a. Menambah atau mengurangi jumlah rokaat shalat lima waktu.
b. Shalat dengan tambaan bacaan bahasa Indonesia.
c. Puasa sehari penuh (tidak berbuka saat maghrib).
d. Mewajibkan zakat terhadap barang-barang yang tidak wajib dizakati.
e. Melakukan haji tidak ke Mekkah.
- Bidah yang Sunnah :
a. Shalat Tarawih berjamaah.
b. Adzan pertama pada shalat Jumat.
c. Mengadakan pengajian Maulid Nabi.
d. Mendirikan sekolah/madrasah/majelis talim.
- Bidah yang Makruh :
a. Menghias masjid.
b. Menetapkan waktu tertentu untuk ibadah.
c. Perdebatan yang sengit dalam masalah khilafiah.
d. Sistem pemerintahan yang monarki.
e. Melakukan ibadah (shalat/puasa) sunah untuk tujuan duniawi semata-mata.
- Bidah yang Mubah :
a. Makan menggunakan sendok.
b. Memakai pakaian yang bagus.
c. Membuat rumah yang besar.
d. Menggunakan peralatan modern.
e. Dzikir berjamaah.
f. Bersalam-salaman setelah shalat berjamaah.
Kelompok Kedua
Kelompok ini menganggap bahwa yang disebut perkara baru (bid’ah) itu semuanya adalah sesat,
berdasarkan pemahaman tekstual keumuman lafazh hadits Semua perkara baru (bidah) adalah sesat
(dhalalah).
Kelompok ini menganggap semua perkara baru dalam masalah syariat adalah bidah dhalalah.
Sedangkan perkara baru dalam masalah diluar syariat dihukumi sebagai sarana. Hukum sarana itu
tergantung pada tujuannya. Sarana menuju yang haram adalah haram, sarana menuju yang wajib
juga menjadi wajib.
a. Tokoh
Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam
Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi serta Ibnu Hajar Al-
Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu
Taimiyah.
b. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Bahwa Alloh SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Alloh SWT :
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-
Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS Al-Maidah: 3)
Hadits Nabi :
Bahwa semua perkara baru (bid’ah) itu adalah sesat.
“Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka
amalan tersebut akan tertolak.” (HR Muslim 1817)
c. Contoh :
- Maulud Nabi tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bidah dhalalah.
- Dzikir berjamaah tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bidah dhalalah.
- Pemilu tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bidah dhalalah.
- Tahlilan tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bidah dhalalah.
Tahqiq :
1. Kedua kelompok sepakat bahwa tidak semua perkara baru adalah bidah dhalalah, yaitu sarana
yang menuju kebaikan dan urusan duniawi tidak termasuk bidah dhalalah.
2. Perbedaan pendapat terjadi pada : perkara baru tentang ibadah dan adat/tradisi yang mengandung
unsur agama, contohnya :
a. Shalat Jumah dengan Kutbah Bahasa Indonesia, itu termasuk bidah dhalalah atau tidak.
b. Shalat Sunah berjamaah itu bidah dhalalah atau tidak.
c. Dzikir berjamah itu bidah dhalalah atau tidak.
d. Peringatan maulid Nabi itu bidah dhalalah atau tidak.
e. Tradisi tahlilan pada hari ke-3, 7, 40, 100 hari orang meninggal itu bidah atau tidak.
3. Hadits nabi Semua perkara baru (bidah) adalah sesat (dhalalah). Secara tekstual memang
mengisyaratkan bahwa semua perkara baru itu adalah bidah dhalalah.
Petunjuk lafazh hadits diatas memang bersifat umum (am), lafazh am masih memungkinkan
menerima takhsis (peng-khususan) dan ternyata memang ada takhsisnya yaitu hadits : Siapa yang
mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang
mengamalkannya hingga hari qiyamat.
Jadi tidak semua perkara baru bidah dhalalah, masih memungkinkan adanya sunnah hasanah.
4. Riwayat-atsar yang menunjukkan para sahabat Nabi melakukan perkara baru yang belum dikenal
dijaman Nabi :
a. Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf yang tidak diperintahkan dan
tidak ada contohnya dari Nabi.
b. Khalifah Usman menyatukan Al-Quran dalam satu rasm dan menyalinnya menjadi beberapa
mushaf.
c. Khalifah Usman menambahkan adan menjadi dua kali pada Shalat Jumat, maksudnya adan
pertama untuk mengingatkan manusia bahwa waktu shalat Jumat sudah dekat.
d. Khalifah Umar bin Khatab melaksanakan shalat Tarawih berjamaah dibawah satu imam yang
belum pernah dilakukan di jaman Nabi.
e. Khalifah Umar bin Khatab tidak memberikan zakat kepada muallaf, padahal mereka jelas-jelas
termasuk muzakki yang berhak menerima zakat dengan alasan Islam sudah kuat tidak perlu lagi
membujuk hati orang-orang yang baru masuk Islam.
f. Khalifah Umar tidak memotong tangan pencuri ketika masa kelaparan dan paceklik.
g. Khalifah Umar menetapkan orang yang mentalak tiga sekaligus, jatuh talak tiga karena pada masa
itu orang memudahkan urusan talak dan sering terjadi lelaki yang menjatuhkan talak tiga sekaligus.
Padahal jaman Nabi dan Khalifah Abu Bakar, talak tiga sekaligus hanya dianggap jatuh talak satu.
h. Khalifah Umar tidak membagikan tanah taklukan di Iraq kepada para prajurit dengan perimbangan
kemaslahatan generasi mendatang, padahal Nabi membagikan tanah taklukan Khaibar kepada para
perajurit.
i. Ibnu Umar menyebut bahwa shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah hasanah atau bid’ah
yang baik.
j. Khalifah Umar bin Abdul Azis membukukan hadits, padahal ada hadits Nabi yang melarang
menuliskan hadits (karena khawatir tercampur dengan Al-Quran).
Semua atsar diatas menunjukkan bahwa tidak semua perkara baru adalah bidah dhalalah, jadi perlu
diselidiki dulu faktor maslahat dan manfaatnya, illat hukumnya, maqashid syariahnya dan sebagainya.
5. Jadi jangan gampang memvonis bidah dhalalah terhadap semua perkara baru, tapi juga jangan
terus seenaknya membuat perkara baru yang tanpa ada tujuan dan kemaslahatan yang nyata.
6. Tentang adat, tradisi atau perkara mubah yang mengandung unsur agama, hendaknya dilihat
content (isinya) dan dampaknya, kalau isinya tidak bertentangan dengan jiwa syariat dan dampaknya
tidak mendatangkan kemudharatan atau perkara baru itu menjadi sarana yang membawa manfaat-
maslahat maka jangan terus mudah divonis sebagai bidah dhalalah.
XIV. Ikhtilaf dan Toleransi
Dalam masalah ushul, atau masalah furu yang dalilnya sudah Qathi maka tidak boleh ada perbedaan
pendapat, tidak boleh ada ijtihad dan tidak boleh ditambah-dikurangi. Maka bila ada pihak-pihak yang
berbeda pendapat dalam hal itu maka setiap muslim harus berteriak lantang menentangnya, itulah
sebabnya jangan heran kalau para ulama dengan tegas menentang pemikiran kelompok-kelompok
sempalan pelaku bidah dalam masalah akidah, yaitu kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah,
Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Muatillah.
Dalam masalah furu yang dzani dan ijtihadi maka boleh ada ijtihad, boleh ada variasi dan perbedaan
pendapat. Setiap muslim tidak boleh bersikap keras atau fanatik terhadap pendapat atau mazhabnya.
Dalam masalah ini perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan (pasti terjadi) dan harus saling ber
toleransi.
Perbedaan pendapat dalam masalah furu, fiqih-amaliah yang khilafiah ini sudah terjadi sejak jaman
sahabat Nabi dan masa para salafus saleh. Para generasi salaf berbeda pendapat tapi tetap bersatu,
tidak terpecah-belah dan saling ber toleransi. Tidak saling mencelah, tidak saling menyalahkan, tidak
saling mencaci, tidak saling memvonis mubtadi (pelaku bidah), tidak saling mengkafirkan dan tidak
mudah menghukumi haram terhadap suatu masalah yang tidak ada dalil qathi yang tegas
menunjukkan hukum haramnya.
Berikut ini riwayat-riwayat yang menunjukkan manhaj generasi salaf dalam masalah ikhtilaf :
Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta
sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Quran. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh
Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah
tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Jadi manhaj
salafus saleh adalah memaklumi perbedaan pendapat masalah ikhtilaf dan tidak memaksakan
pendapatnya.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka maka
membatalkan wudhu. Suatu hari kepada beliau ada yang bertanya : Apakah engkau mau shalat
dibelakang orang yang luka berdarah tetapi tidak berwudhu lagi ? . Dengan nada meninggi Imam
Ahmad bin Hanbal berkata : Bagaimana saya tidak mau shalat dibelakang Imam Malik bin Anas dan
Said Al Musayyab ?. Kedua imam tersebut berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena
luka tidak membatalkan wudhu. Jadi manhaj salafus saleh adalah menghormati pendapat orang lain
yang berbeda dan tetap menjaga ukuwah.
Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang
seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan
lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan
kepada engkau. Imam Malik berkata : Bertanyalah. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan
kepada beliau dan beliau hanya menjawab : aku tidak memandangnya baik. Orang itu terus
mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, Bagaimana nanti
kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang
kepada mereka ? Imam Malik berkata : Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak
menganggapnya baik. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak
ada dalil nash qathi yang tegas mengharamkannya.
Imam Al Auzai (mufti dan fuqaha di Damaskus Syria) menceritakan pendapatnya tentang orang yang
mencium istrinya : Kalau orang itu datang padaku bertanya bagaimana hukumnya, maka akan aku
katakan bahwa dia harus wudhu lagi, tetapi bila dia tidak mau wudhu lagi, aku tidak akan
mencelanya.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentang sholat sunnah setelah ashar : Kami tidak melakukannya
tetapi kami tidak mencela yang melakukannya.
Suatu hari, ada perbedaan perdebatan terbuka antara Ali bin Madini dan Yahya bin Muin tentang
hukumnya menyentuh kemaluan : apakah membatalkan wudhu atau tidak ? Perdebatan ini dihadiri
oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Kata Yahya bin Muin : Orang itu harus wudhlu lagi. Dia menggunakan
hadits yang diriwayatkan dari Busrah binti Shafwan sebagai dalil. Sedangkan Ali bin Madini
pendapatnya berlawanan menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Qais bin Thalaq sebagai dalil.
Kemudian Yahya menyampaikan pendapat Ibnu Umar sebagai dalil tambahan, dibalas lagi oleh Ali
dengan pendapat Ammar bin Yasir.
Menanggapi kejadian itu, Imam Ahmad bin Hanbal langsung menengahi, Sudahlah, derajad Ammar
dan Ibnu Umar sama. Siapa suka boleh mengambil pendapat salah satunya.
Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mugni menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab Imam Ahmad
bin Hanbal : Menurut penegasan Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dibelakang orang-orang yang
berbeda dengan kita dalam masalah cabang-cabang hukum fiqih, seperti para pengikut mazhab Abu
Hanifah, Malik, Syafii hukumnya adalah sah dan sama sekali tidak makruh. Karena para sahabat,
para tabiin dan orang-orang sesudah mereka masih tetap bermakmum kepada yang lain, walaupun
berbeda pendapat dalam masalah hukum cabang itu. Dengan demikian, ketentuan ini merupakan
salah satu kesepakatan (ijma). Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan sebuah syarat
shalat atau salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum tetapi tidak diakui oleh imam, maka
menurut makna literal dari redaksi pendapat Imam Ahmad : shalat dibelakang imam itu tetap sah.
Dalam mazhab Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya dikatakan bahwa wudhu seseorang bisa
batal karena keluar darah. Suatu hari imam Abu Yusuf (pengikut mazhab Abu Hanifah) melihat bahwa
Khalifah Harun Al Rasyid berbekam kemudian langsung shalat tanpa wudhu terlebih dahulu, karena
mengikuti pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa orang yang berbekam tidak batal
wudhunya. Kemudian Imam Abu Yusuf langsung bermakmum dibelakang Khalifah Harun Al Rasyid
dan tidak mengulangi shalatnya.
Imam Syafii dalam qaul qadimnya berpendapat bahwa rambut yang sudah dipotong hukumnya najis,
suatu hari Imam Syafii shalat setelah bercukur rambut, sementara dibajunya masih ada sisa-sisa
rambut berceceran. Orang-orang yang melihatnya menanyakan hal tersebut, maka Imam SyafiI
menjawab : Saat dalam kesulitan, kita mengambil pendapat penduduk Iraq (mazhab Imam Abu
Hanifah).
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa menceritakan bahwa Imam Syafii yang berpendapat menjaharkan
(membaca nyaring) Bismillahirrahmanirrahim dalam shalat, tetap bermakmum kepada para ulama
Madinah yang tidak pernah menjaharkan Bismillahirrahmanirrahim
Diriwayatkan dari Abu Bakar bin Al Khallal : diceritakan kepada saya oleh Al Hushain bin Basyar Al
Makhrumi, bahwa yang bersangkutan telah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang
masalah sumpah yang menjurus ke arah perceraian. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab tegas,
Kalaui dia melakukanm berarti dia telah melanggar sumpahnya.
Lalu Al Hushain meminta jalan keluar, Bagaimana kalau ada orang lain yang memfatwakan kepada
saya, bahwa dia tidak melanggar sumpahnya (tidak jatuh talak perceraian) ?. Imam Ahmad bin
Hanbal menjawab : Kamu tahu pengajian para ulama Madinah ? Al Hushain menjawab, Ya Saat itu
memang ada beberapa ulama Madinah yang membuka pengajian di teras Masjid Agung Baghdad.
Apakah kalau mereka memberikan fatwa (berbeda), istri saya tetap halal ? maka Imam Ahmad bin
Hanbal menjawab : Ya !.
Baihaqi dalam Sunan Al Kubra meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid : Dahulu kami bersama
Abdullah bin Masud di Mudzalifah. Dan saat mereka memasuki Masjid Mina, beliau bertanya : Amirul
Mukminin (Usman bin Affan) shalat berapa rakaat ? Mereka menjawab, Empat rakaat. Maka Ibnu
Masud langsung shalat empat rakaat tanpa membantah.
Mereka langsung mempertanyakan, Bukankah anda yang meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah dan
Abu Bakar melakukan shalat dua rakaat ?. Ibnu Masud menjawab : Memang, dan sekarang saya
akan meriwayatkannya untuk kalian. Tetapi Usman bin Affan sekarang adalah imam kita dan saya
enggan berbeda dengannya, karena perbedaan pendapat (pada saat seperti) ini adalah buruk.
Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafii meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam Abu
Hanifah. Ini bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak yang mempertanyakan hal itu, maka
Imam Syafii menjawab : Aku tidak mencabut pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku
menghormati pendapat Imam Abu Hanifah.
Dari Ibnu Abdil Barr berkata dalam At Tahmid : Penulis pernah mendengar guru besar kami Abu umar
Ahmad bin Abdul Malik berkata : Dahulu Abu Ibrahim bin Ishaq bin Ibrahim, guru besar kami, selalu
mengangkat tangannya sebelum dan sesudah bangun dari ruku, berdasarkan hadits Ibnu Umar yang
tercantum dalam Al Muwatta; sejauh yang penulis temui, beliau adalah terbaik yang paling menguasai
fiqih dan paling benar dalam ilmu dan agamanya.
Penulis berkata : Tapi kenapa anda tidak mengangkat tangan anda, agar kami bisa mengikuti anda ?
Beliau menjawab : Saya tidak akan berbeda dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Al
Qasim, karena orang-orang disekitar kita sekarang ini melakukan ruku (tanpa mengangkat tangan)
berdasarkan hadits itu. Dan tindakan yang berbeda dengan kebiasaan umum dalam hal-hal yang
diperbolehkan bukan termasuk tradisi imam-imam kita.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa nya mengatakan, Apabila seorang makmum berjamaah dengan
imam yang membaca qunut pada shalat subuh atau shalat witir, selayaknya dia ikut membaca qunut.
Tidak perduli apakah imamnya berqunut sebelum ruku atau sesudahnya. Sebaliknya, kalau imamnya
tidak membaca qunut, makmum juga dianjurkan tidak berqunut. Begitu juga kalau imam memandang
bahwa perbuatan itu disunnatkan, berbeda dengan pandangan para makmumnya, maka ; kalau dia
meninggalkannya untuk menyatukan pendapat, tentu tindakan ini dianggap lebih baik.
Ibnu Taimiyah kemudian mengajukan sabda Nabi kepada Aisyah sebagai dalil : Hanya karena
kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah, aku tidak jadi menyuruh orang untuk meratakan
bangunan Kabah, kemudian aku akan membuat bangunan baru yang mempunyai dua pintu, satu
pintu untuk masuk dan pintu yang lain untuk keluar.
Terlihat disini, bahwa keinginan yang dianggap Nabi lebih baik ditinggalkan sendiri oleh beliau hanya
supaya tidak menimbulkan antipati orang banyak.
Dibagian lain dalam buku Majmu Fatwanya, Ibnu Taimiyah berkata : Karena itu, para imam, Ahmad
dan lain-lainnya memandang akan lebih baik kalau seorang imam shalat meninggalkan sebuah
perbuatan sunnat yang diyakininya, kalau hal itu bisa menarik simpati orang orang yang beriman.
Ibnu Muflih dalam kitabnya Al Funun dalam bab Al Adab Ast Syariah berkata : Tidak boleh keluar
(menyalahi) dari adat kebiasaan masyarakat kecuali kalau perbuatan itu diharamkan, karena
Rasulullah sendiri telah membiarkan bangunan Kabah begitu saja, seraya bersabda : Kalau bukan
karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah
Fiqih Ikhtilaf
Pokok-pokok pedoman bagi pemahaman fiqih ikhtilaf :
1. Persatuan adalah wajib.
Aku wasiatkan kepada kalian (Agar mengikuti) para sahabatku kemudian generasi berikutnya (tabiin)
kemudian generasi berikutnya (tabiit tabiin). Kalian harus tetap dalam jamaah. Waspadalah terhadap
perpecahan, karena sesungguhnya syetan bersama orang yang sendirian dan dia (syetan) akan lebih
jauh dari dua orang. Barang siapa menginginkan bau harum surga hendaknya selalu dalam jamaah.
(HR Turmudzi, Hakim, shahih menurut syarat Bukhary Muslim)
2. Menjauhi dan menghindari perpecahan.
Berpeganglah kamu sekalian pada tali Allah dan jangan berpecah belah. (QS Ali Imran : 103).
dan janganlah kamu saling berselisih karena nanti kamu jadi lemah dan hilang kekuatan kamu. (QS
Al Anfal : 46).
3. Perbedaan pendapat dalam masalah furu (cabang) adalah suatu kemestian yang pasti terjadi dan
merupakan rahmat dan keluasan bagi umat.
Hadits Nabi : Perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat.
Atsar riwayat Baihaqi, menyebutkan Khalifah Umar bin Abdul Azis berkata :
Saya tidak senang bila para sahabat Nabi tidak berselisih pendapat, seandainya mereka tidak
berselisih (berbeda) pendapat, niscaya tidak ada ruksyah (keringanan) bagi kita.
4. Saling bertoleransi terhadap perbedaan pendapat masalah furu yang ijtihadi.
5. Tidak ada toleransi pada perbedaan pendapat yang nyeleneh pada masalah ushul (akidah) atau
terhadap masalah yang dalilnya sudah qathi (pasti) dan sharih (jelas).
6. Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain.
7. Tidak memastikan dan tidak menolak mentah-mentah dalam masalah-masalah yang ijtihadi.
8. Bersikap moderat (pertengahan), tidak ekstrim berlebih-lebihan.
Jauhkanlah diri kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu hancur
hanya disebabkan karena berlebih-lebihan dalam agama. (HR Ahmad, Nasai, Ibnu Majah, Hakim,
Ibnu Khuzaimah, Ibnu hibban)
9. Bersikap obyektif dan menelaah perbedaan pendapat diantara para ulama.
10. Menahan diri dari menyerang kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah khilafiah dari :
memvonis sesat, fasik, zindiq, mubtadi (pelaku bidah) atau mengkafirkan.
11. Lebih memprioritaskan masalah yang lebih utama yang dihadapi umat daripada sekedar berkutat
pada masalah ikhtilaf, seperti :
a. Ketinggalan science dan teknologi umat islam dibanding barat yang non muslim.
b. Kemiskinan dan kebodohan umat.
c. Kezaliman dan kesewenang-wenangang politik
d. Perang pemikiran (ghazwul fikri) yang menarik umat kearah materialistis, sekuleristis, hedonis.
e. Degradasi moral dan spiritual.
f. Zionisme dan Kolonialisme negeri negei Islam.
12. Menjauhi taqlid buta dan fanatisme
a. Mewajibkan taqlid pada salah satu mazhab atau kelompok tertentu.
b. Meneriakkan selogan bebas mazhab / tidak ber mazhab (dari empat mazhab yang sudah ada) tapi
menjadikan imam yang lain sebagai mazhab ke lima.
c. Melarang taqlid pada ulama-ulama masa lalu tapi ber taqlid penuh pada ulama masa sekarang.
d. Merasa kelompoknya paling benar, paling super mendekati makshum yang bebas dari kesalahan.
e. Berperasangka baik kepada orang lain.
f. Adanya kemungkinan pluraritas kebenaran.
13. Tidak menyakiti orang yang berbeda pendapat.
14. Berdialog dengan cara yang baik dan ilmiah.
15. Menjauhi perdebatan sengit.
XV. Fikih Kotemporer
DR. Yusuf Qaradhawi, seorang ulama suni kotemporer, hufadz (hafal Al-Quran), dikenal moderat,
matang dalam fiqih dan berwawasan luas, beliau pernah mendapat gelar The Man of The Year dari
pemerintah Uni Emirat Arab dalam bukunya Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju
Kematangan menuliskan pemikirannya yang sangat menarik, penting dan perlu diketahui untuk
menambah kematangan kita dalam memahami khazanah dan fenomena pemahaman beragama
dalam masa kotemporer sekarang ini yaitu point-point menuju kematangan kebangkitan Islam yaitu :
1. Dari formalitas menuju hakikat.
Aspek lahir syariat : shalat, puasa, zakat haji, hafal ayat dan teks hadits, hafal teori-teori theologi :
sifat 20, asmaul husna, dsb itu semua adalah aspek formal yang penting, tapi jauh lebih penting
adalah mengamalkan aspek hakikatnya, yaitu : menghambakan diri kepada Allah, tulus menolong
sesama, rendah hati, menjauhi rasa sombong-tinggi hati.
2. Dari Simbol menuju substansi.
Memanjangkan jenggot, memakai baju gamis, memakai jilbab, memakai peci, memendekkan celana
diatas mata kaki, membawa kayu siwak, dsb itu semua adalah simbol yang penting, tapi jauh lebih
penting adalah memegangi substansinya yaitu : tauhid dalam akidah, ikhlas dalam ibadah, tulus
menolong sesama, amanat dalam muamalah, adil dalam memutuskan, kasih sayang dalam
pergaulan, berperasaan dalam etika, dsb.
3. Dari pembicaraan menuju amal
Ceramah, wejangan, obrolan itu adalah sebatas pembicaraan maka mengamalkannya itu jauh lebih
penting.
4. Dari polemik-perdebatan menuju berlomba dalam kebaikan.
Diskusi, seminar, adu argumentasi, beradu dalil, mengunggulkan pendapat sendiri, melemahkan
pendapat orang lain, itu semua termasuk polemik maka berlomba dalam kebaikan amal (fastabiqul
khoirot) : mengamalkan ilmu yang sudah diketahui, membangun sarana pendidikan, menyantuni fakir-
miskin, ber infaq untuk yayasan yayasan amal, riset penelitian ilmiah, itu semua jauh lebih penting.
5. Dari sentimentil menuju ilmiah
Mengedepankan aspek bangsa, ras, suku, golongan, kelompok, mazhab itu adalah aspek sentimen,
maka mengutamakan kebenaran, dalil dan argumen itu adalah sikap ilmiah.
6. Dari emosional menuju rasional
Memusuhi kelompok yang berbeda, bersikap agresif-ofensif menyerang, itu adalah sikap emosional,
maka menerima kebenaran dari kelompok lain dan
7. Dari ekstrim menuju moderat
Ciri sikap ekstrim berlebihan :
a. Tidak mengakui pendapat lain.
b. Memaksakan pendapat.
c. Keras bukan pada tempatnya (pada masalah furu yang ijtihadi).
d. Kasar, menyakiti.
e. Buruk sangka.
f. Memvonis orang lain sesat, mubtadi, fasik, kafir.
g. Liberalis.
h. Literalis.
i. Suka men-generalisir, tanpa memilih dan memilah.
Ciri-ciri sikap moderat adalah pertengahan :
a. Antara mengikuti mazhab dan non mazhab (memilih pendapat yang terbaik).
b. Antara pengikut tasawuf dan yang menentang tasawuf.
c. Antara rasionalis dan literalis.
d. Antara yang mengabaikan politik dan yang semata mata berkutat dalam politik.
e. Antara yang terburu-buru memertik buah sebelum matang dan yang terlalu lamban memetik buah
hingga dipetik orang lain.
f. Antara kelompok idealis yang tidak melihat realita dan kelompok realis yang tidak percaya akan ide
ide.
8. Dari menyulitkan menuju kemudahan.
Tidak mau mengambil ruksyah, mudah mengharamkan, memperluas konsep bidah dhalalah yaitu
berpendapat seolah semua perkara baru yang tidak ada di jaman Nabi adalah bidah dhalalah,
sehingga seolah-olah hidup sekarang ini adalah penuh dengan sekumpulan larangan, itu semua
adalah pandangan yang menyulitkan.
Padahal Allah berfirman :
Dia (Allah) tidak menghendaki adanya kesulitan bagimu. (QS Al Baqarah : 185).
Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian. (QS Al Hajj : 78).
Hadits Nabi :
Agama yang disukai Allah adalah agama yang mudah. (HR Bukhari, Ahmad, Thabrani)
Sesungguhnya Allah menyukai kalau ruksyah (keringanan)-Nya diambil, sebagaimana Dia suka
dipenuhi azimah (ketentuan hukum asal bila tidak ada uzur) Nya. (HR Ibnu Hibban, para pentaqiq
tidak ada yang mendhaifkannya)
9. Dari jumud menuju ijtihad.
Hanya memegangi makna literal teks dalil yang masih dzanni, tidak mau mempertimbangkan
maqashid syariah, illat hukum, kondisi sosial dan perkembangan jaman dan sikap taqlid kepada
pendapat ulama tertentu menyebabkan sikap jumud (beku), maka diperlukan sarana yang
mecairkannya demi kemaslahatan umat yaitu menggalakkan kembali api ijtihad.
10. Dari taklid menuju ittiba.
Sikap taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui argumen-argumennya,
sedangkan ittiba adalah mengetahui argumen-argumen para imam dan memilih mana yang paling
baik.
11. Dari fanatisme menuju toleransi.
Ciri sikap fanatik :
a. Menganggap dirinya paling benar.
b. Menganggap semua yang lain pasti salah.
c. Keras pada masalah furu yang ijtihadi
d. Tidak mau meninggalkan perkara yang sunnah untuk menjaga solidaritas.
e. Tidak mau menerima pendapat lain yang lebih kuat.
Ciri sikap toleran :
a. Tidak merasa yang paling benar.
b. Mau menerima kemungkinan kebenaran ada pada orang lain.
c. Tidak bersikap keras pada masalah furu yang ijtihadi.
d. Mau meninggalkan perkara sunnah untuk menjaga solidaritas persamaan.
e. Mau menerima pendapat orang lain yang ternyata lebih kuat.
12. Dari eksklusifisme menuju inklusifisme.
13. Dari keberingasan menuju kasih sayang.
14. Dari perpecahan menuju persatuan.
15. Dari perselisihan menuju solidaritas.
Fikih
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Bagian dari seri Islam


Ushul fiqih
(Sumber-sumber hukum Islam)

Fiqih

 Al-Qur'an
 Sunnah
 Taklid
 Ijtihad
 Ijma
 Mazhab
 Minhaj
 Qiyas
 Urf
 Bidah
 Madrasah
 Ijazah
 Istihlal
 Istihsan
 Risalah
 Istishhab
 Maslahah
 Dzari'ah

Ahkam

 Wajib
 Sunah
 Mubah
 Makruh
 Haram
 Sah
 Batal

Gelar cendekiawan

 Mujtahid
 Marja
 Alim (jamak: Ulama)
 Mufti
 Mufassir
 Qadi
 Faqih
 Ulum hadis
 Mullah
 Imam
 Mawlawi
 Syekh
 Mujaddid
 Hafiz
 Hujja
 Hakim
 Amir al-Mu'minin
 Maulana

Kotak ini:

 lihat
 bicara
 sunting

Fikih (Bahasa Arab: ‫ ;ﻓﻘﻪ‬transliterasi: Fiqih) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat
Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia
dengan Tuhannya.[1] Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih
sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.[2]

Fikih membahas tentang cara bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip Rukun Islam
dan hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan
Sunnah. Dalam Islam, terdapat 4 mazhab dari Sunni, 1 mazhab dari Syiah, dan Khawarij
yang mempelajari tentang fikih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fikih disebut Fakih.

Daftar isi

 1 Etimologi
 2 Sejarah Fikih
o 2.1 Masa Nabi Muhammad saw
o 2.2 Masa Khulafaur Rasyidin
o 2.3 Masa Awal Pertumbuhan Fikih
o 2.4 Lain-lain
 3 Catatan kaki

Etimologi

Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu
hal. Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu fikih
merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-
Qur'an dan Sunnah.[3] Selain itu fikih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah
dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun
dalam muamalah.[1] Dalam ungkapan lain, sebagaimana dijelaskan dalam sekian banyak
literatur, bahwa fiqh adalah "al-ilmu bil-ahkam asy-syar'iyyah al-amaliyyah al-muktasab min
adillatiha at-tafshiliyyah", ilmu tentang hukum-hukum syari'ah praktis yang digali dari dalil-
dalilnya secara terperinci". Terdapat sejumlah pengecualian terkait pendefinisian ini. Dari
"asy-syar'iyyah" (bersifat syari'at), dikecualikan ilmu tentang hukum-hukum selain syariat,
seperti ilmu tentang hukum alam, seperti gaya gravitasi bumi. Dari "al-amaliyyah" (bersifat
praktis, diamalkan), ilmu tentang hukum-hukum syari'at yang bersifat keyakinan atau akidah,
ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Dari "at-tafshiliyyah" (bersifat
terperinci), ilmu tentang hukum-hukum syari'at yang didapat dari dalil-dalilnya yang "ijmali"
(global), misalkan tentang bahwasanya kalimat perintah mengandung muatan kewajiban,
ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu ushul fiqh.[4]

Sejarah Fikih

Masa Nabi Muhammad saw

Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa
ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fikih diserahkan
sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an
dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan
periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah
agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada
masalah ketauhidan dan keimanan.

Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat
dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah
permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya,
dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad
mulai diterapkan [5], walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi
Muhammad saw.

Masa Khulafaur Rasyidin

Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa berdirinya Dinasti
Umayyah ditangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fikih pada periode ini didasari pada
Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad
dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an
maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam
budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.

Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat
pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha
mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas,
maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis
maka para faqih ini melakukan ijtihad.[1]
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita
memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.[6]

Masa Awal Pertumbuhan Fikih

Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2
Hijriah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-
Qur'an, Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang
menghasilkan ijtihad ini seringkali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di
wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.

Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah,
dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fikih, karena akan muncul banyak
sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini
juga diwarnai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat
antara faqih.

Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad.
Ibnu Mas'ud kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz
tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana
mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari
kitab suci, dan dipakai oleh para faqih termasuk Ibnu Mas'ud untuk memberi ijtihad di daerah
di mana mereka berada.[1]

Lain-lain

Di Indonesia, Fikih, diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan non formal seperti


Pondok Pesantren dan di lembaga pendidikan formal seperti di Madrasah Ibtidaiyah,
Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah

Anda mungkin juga menyukai