Anda di halaman 1dari 12

Sumber dan Pembagian Kaidah Fiqhiyah

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

‘’Hukum Kewarisan BW"

Dosen Pengampu:

Dr. H. Lathoif Ghozali, Lc, MA

Disusun Oleh:

Ach. Sofyan Rendiansyah (C91218093)

Ahmad Affandi (C91218095)

Amin Rosyid (C91218099)

Aulia Avan Rachman (C91218101)

Aldia Inneke Putri (C91218097)

HUKUM KELUARGA (AL AHWAL AL SYAKHSIYYAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Aziz yang
telah memberikan rahmat dan kekuatannya, sehingga kami dapat menyelasaikan
makalah ini dengan tepat waktu,.
Sholawat serta salam semoga tetap terabadikan di pangkuan suci Nabi
Muhammad karena beliaulah yang telah menunjukkan kita semua dari jalan yang sesat
penuh laknat menuju jalan selamat penuh rahmat yakni addinul Islam.
Makalah ini dapat selesai tepat waktu karena mendapat dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang kami
disusun ini masih banyak mengandung kekurangan. Oleh karena itu, kami menerima
segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk dapat menyempurnakan
makalah ini.
Semoga makalah ini bisa membawa manfaat untuk semua pembaca dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya dalam dunia perkuliahan.

Surabaya, 20 Februari 2020

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu kekayaan peradaban Islam di dalam bidang hukum yang masih jarang
ditulis adalah ilmu kaidah fiqih. Yang sudah diperkenalkan antara lain; tafsir, hadits,
ushul fiqih, dan fiqih. Walaupun di bidang ini masih terus perlu dikoreksi dan
dikembangkan sebagai alat dalam mewujudkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih, kita akan mengetahui benang merah
dalam ilmu fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih.
Lebih arif di dalam menerapkan fiqih dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk
kasus, keadaan, dan adat yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lebih mudah di
dalam memberi solusi problem-problem yang terus muncul dan berkembang dengan
tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan hikmah yang
terkandung di dalam fiqih.
Namun di karya tulis makalah di sini, penulis akan mengupas tentang sumber-
sumber kaidah fiqih beserta pembagiannya. Di mana hal ini penting untuk dibahas
karena terasa janggal saja jika hanya memahami kaidah fiqhiyah secara definitif tanpa
mengetahui sumber-sumber serta pembagiannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah sumber-sumber kaidah fiqhiyah?
2. Bagaimana pembagian kaidah fiqhiyah?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui sumber-sumber kaidah fiqhiyah
2. Mengetahui pembagian kaidah fiqhiyah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber-Sumber Kaidah Fiqhiyah


Para ulama memang berbeda-beda dalam mendefinisikan kaidah fiqih, ada yang
mengartikannya secara luas dan secara sempit, namun substansinya tetap sama. Sebagai
contoh Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fiqih dengan:
َ‫قَ ِضيةٌَ ُك ِليَّةٌَ ُم ْنطبِقةٌَعلىَج ِمي ِْعَ ُج ْزئِيَّاتَِها‬
“Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup bagian-
bagiannya”1
Secara umum terdapat dua macam dalil yang oleh fuqaha’ dijadikan dasar
pembentukan sebuah kaidah. Dalil pertama adalah nash, dan dalil kedua adalah analogi
(qiyas). Dua perangkat dalil inilah yang menjadi perangkat terbentuknya kaidah-kaidah
fiqih.2
Terbentuknya kaidah fiqhiyah sebagai ilmu, tidak terlepas dari sumber-sumber
yang menjadi dasar sehingga menjadi qowaid fiqhiyah. Adapun sumber-sumber kaidah
fiqhiyah di antaranya:
1. Al-Qur’an
Merupakan sumber pokok dan dalil utama bagi hukum syariat islam.
Kumpula firman-firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw.
Secara mutawatir atau beransur-ansur.
Ayat-ayat al-quran Allah turunkan dengan cara terpisah-pisah menurut
kejadian dan peristiwa dalam masyarakat pada masa itu. Oleh karena itu
peristiwa tersebut dalam istilah hukum islam disebut sebagai asbabun nuzul.
Aturan-aturan hukum syariat ini berlakunya beransur-ansur menurut situasi
sebab-sebab turunnya ayat, disesuaikan dengan kemampuan pada masa itu.
Butuh strategi yang tepat sebagai pendekatan kepada masyarakat jahiliah agar
meninggalkan adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat islam dan
mengubah hukum mereka yang kuno dengan hukum baru, hal itu dapat dilihat
dengan jelas seperti larangan meminum khamer dan berjudi.
Kebanyakan hukum yang ada dalam al-qur’an bersifat global dan tidak
membahas persoalan yang khusus, dengan artian tidak satu persatu dijelaskan

1
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt. Dar Al-Fikri Al-Arabi, tt.), 10.
2
Abdul Haq, Formulasi Nalar Fiqih, Buku I, (Surabaya: Khalista, 2017), 80.
secara detil. Karena itu al-quran membutuhkan penjelasan-penjelasan,
diantaranya melalui Hadits seperti ayat al-qur’an yang berisi tentang sholat,
zakat, jihad dan perkara-perkara lainnya yang selalu disempurnakan
penjelasannya melalui hadits. Selain itu untuk menyikapi persoalan kekinian
yang membutuhkan jawaban untuk persioalan ini, maka para ulama
menggunakan Ijma’ dan Qiyas dalam mengambil suatu hukum.
Kaidah fiqhiyah bersumber dari teks al-Quran untuk menyusun suatu
kaidah, seperti kaidah َ َ‫سير‬ َُ ‫( ال َُمشَقََّ َةُ تَجََِْل‬kesulitan itu bisa mendatangkan
َِ ‫ب َالتََْي‬
kemudahan). Dalil yang menjadi patokan dari kaidah ini yaitu dalam surah al-
Baqarah ayat 185:
ْ ‫َاليُسْرَوالي ُِر ْيدَُ ِب ُك ُم‬
َ َ...َ‫َالعُسْر‬ ْ ‫للاَُ ِب ُك ُم‬
َ َُ‫ََيُ ِر ْي َد‬...
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu”
Q.S. Al-Baqarah 286:
َ َ‫َوسْعها‬ َّ ‫س‬
ُ ‫اَإال‬ ُ َّ‫اليُكل‬
ً ‫فَللاَُن ْف‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”.
Dari prinsip-prinsip yang termuat dalam teks ayat di atas memberikan
isyarat bahwa dalam hukum syar’i tidak didapati suatu tuntutan yang melewati
batas kemampuan hambanya. Pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan
kemudahan dan keringanan.3 Dan contoh kaidah lain yaitu َُ‫َر َيُزال‬
َُ ‫الضر‬
(kemudharatan itu harus dihilangkan).
2. Sunnah
Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau diberitakan dari Nabi
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan Nabi. Menurut dari
pengertian di atas, sunnah dapat dibagi: sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, dan
sunnah taqririyah.
Sunnah adakalanya mutawatir dan adakalanya ahad. Ulama sepakat
bahwa hadits mutawatir dapat menjadi hujjah, sedangkan hadits ahad para
ulama berbeda pendapat dalam menjadikan hadits ahad sebagai hujjah. Namun

3
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyah, (Ciputat: ADELINA, 2008), 73.
hadits yang shahih yang dapat diterima untuk dijadikan sebagai hujjah dan juga
menjadi sumber kaidah fiqih.
Rasulullah SAW menyampaikan sesuatu dengan cara singkat, padat, dan
mudah dipahami. Dengan demikian, ucapan beliau banyak menjadi sumber
dalam lahirnya kaidah-kaidah fiqhiyah. Adapun contoh yang merujuk kepada
sunnah Nabi yaitu: َ‫اصدِها‬ ُ ‫( األ ُ ُم‬hukum semua perkara itu tergantung tujuan
ِ ‫وربِمق‬
dan niatnya). Kaidah ini berdasarkan dengan dalil hadits Rasulullah SAW yaitu:
ِ ‫إنَّماَاألعْمالَُبِالنِيَّا‬
َ َ‫ت‬
“Segala sesuatu tergantung niatnya.”4
َُ ‫( الضَّر ُر َيُزا‬kemudharatan itu harus dihilangkan).
Contoh lain seperti kaidah ‫ل‬
Kaidah ini berdasarkan dengan hadits Nabi yaitu:
َ‫الضرار‬
ِ ‫الضررَو‬
“Tidak boleh membuat kemudharatan terhadap dirinya sendiri dan
tidak boleh membuat kemudharatan terhadap orang lain.”

3. Ijma’
Setelah al-Qur’an dan as-Sunnah, maka Ijma’ sebagai sumber ketiga
dalam penggalian hukum Islam. Ijma’ merupakan suatu kesepakatan pendapat
para Ulama’ fiqih dalam memutuskan suatu permasalahan fiqih.5 Ijma’ sebagai
dalil dengan berdasarkan surah An Nisa’ ayat 59 yaitu:
ِ ‫سولَوأُو ِلىَاأل ْم ِر‬
َ‫َمن ُك ْم‬ ُ ‫واَالر‬
َّ ُ‫ياَأيُّهاَالذِينَآمنُواَأ ِط ْيعُواَللاَوأط ْيع‬
“Wahai orang orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan
taatlah kamu kepada Rasul Nya dan Ulil Amri dari kalian semua.”
َ ِ َّ‫( الَاِجتِهادَمعَالن‬tidak ada
Adapun kaidah yang berdasarkan pada Ijma’ yaitu: ‫اس‬
ijtihad jika sudah ada nash).
4. Qiyas
Qiyas dari segi bahasa merupakan mengukurkan sesuatu atas sesuatu yang
lainnya dan mempersamakannnya. Qiyas secara istilah adalah menetapakan
suatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuannya, yang berdasarkan
sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.

4
Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor: Ulul
Albab Institut, 2010), 9.
5
A. Hanafie, Ushul Fiqih, (Jakarta: Widjaya, 1962), 125.
Adapun rukun Qiyas ada 4 macam yaitu :
a. Asal (pokok) yaitu yang menjadikan ukuran (maqis ‘alaih)
b. Far’un (cabang) yaitu yang diukur (maqis) atau yang diserupakan.
c. ‘Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabang.
d. Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang
terdapat pada pokok.6

Salah satu kaidah yang mirip dengan Qiyas yaitu:

‫اف‬ ِ ‫افَإلىَأ ْقر‬


َِ ‫بَاأل ْوق‬ ُ ‫الحواد‬
ُ ‫ِثَتُض‬

“Sesuatu yang baru terjadi disandarkan pada waktu terdekatnya.”7

5. Istihsan
Istihsan adalah meninggalkan hukum sesuatu hal atau peristiwa yang
bersandar kepada dalil syara’ menuju kepada hukum lain yang bersandar kepada
dalil syara’ pula, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan peninggalan
tersebut. Dalam istihsan, ada dua dalil untuk menetapkan hukum suatu hal,
kemudian seorang imam mujtahid meninggalkan salah satu dalil yang jelas atau
kuat untuk menuju kepada dalil yang lain, karena ada suatu hal.8
Salah satu kaidah yang menjadikan Istihsan sebagi sumber kaidah fiqih
yaitu:َ
“Apabila dua mafsadat bertentangan, maka perhatikan mana yang
lebih besar mudharatnya dengan dikerjakan yang lebih ringan mudharatnya.”

6. Istishab
Dari segi bahasa istilah Istishab diambil dari perkataan “Istishabtu ma
kaana fil maadhi.” Artinya; Saya membawa berita apa yang telah ada waktu
yang lampau sampai sekarang. Secara istilah, melanjutkan berlakunya hukum
yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena suatu dalil, sampai ada dalil
yang mengubah kedudukan hukum tersebut.9

6
A. Hanafie, 128.
7
Ahmad Sudirman Abbas, 132.
8
A. Hanafie, 142.
9
Ibid, 141.
Contoh kaidah yang merujuk kepada istishab yaitu:

َْ ‫صلَُبقا ٌءَماَكانَعلىَماَكانَماَل ْمَي ُك‬


َ ُ‫نَماَيُغيِ ُرَه‬ ْ ‫اال‬

“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain
yang mengubahnya.”

7. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah merupakan suatu kebaikan (maslahat) yang tidak
disinggung syara’, untuk melakukan atau meninggalkannya, sedangkan kalau
dikerjakan akan membawa kemanfaatan atau menghindari keburukan.10
Salah satu kaidahnya:
‫ٍَم ْنَهُوَأ ْقو ُمَ ِبمصا ِلهَا‬
ِ ‫أنَّهَُيُقدَّ ُمَفِيَ ُك ِلَ ِوالية‬
“Sesuatu yang lebih mampu mewujudkan kemaslahatan dalam tiap
wilayah yang didahulukan.11
8. ‘Urf
‘Urf adalah apa yang biasanya dilakukan seseorang, baik dalam
perkataan maupun perbuatan. Dengan kata lain adalah adat istiadat.

Alasan pengambilan ‘urf di antaranya:

a. Syariat Islam dalam mewujudkan hukum juga memperhatikan


kebiasaan ‘urf yang berlaku pada masyarakat, seperti syarat kafa’ah
dalam perkawinan dan urutan perwalian dalam hal nika‫ ا‬dan juga
pewarisan harta atas dasar ashabah.
b. Apa yang biasa dilakukan orang, baik perkataan maupun perbuatan,
menjadi pedoman hidup mereka dalam berinteraksi dengan orang lain.

Salah satu contoh kaidah yang menjadi ‘urf sebagai sumber kaidah fiqih:

ٌَ‫العادةَُ ُمح َّكمة‬

“Adat Istiadat itu dapat menjadi suatu hukum.”12

10
Ibid, 144.
11
Ahmad Sudirman Abbas, 141.
12
Imam Musbikin, Qawaid Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Jakarta Grafindo Persada, 2001), 91.
9. Saddud Dzari’ah
Yaitu menumbuhkan segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.
Salah satu rujukan kaidahnya yaitu:
َ َ‫ح‬ ِ ‫د ْر ُءَالمفا ِسدَِ ُمقدَّ ٌمَعلىَجا ِل‬
ِ ‫بَالمصا ِل‬
“Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik
kemaslahatan.”13
B. Pembagian Kaidah Fiqhiyah
Berbicara tentang pembagian kaidah jika kita melihat suatu kaidah furu’iyah
dari aspek kuantitas maka kaidah akan terbagi menjadi tiga kelompok besar:
1. Al-qawaid al-khomsu al-qulliyah yaitu lima kaidah dasar yang mempunyai
cakupan yang menyeluruh. Kelima kaidah itu adalah al-umuuru bimaqosidiha,
al-yakinu laa yuzalu bissyak, al-mashaqqotu tajlibut taisir, ad-dhororu yuzalu,
dan al-adatu muhakkamatun. Lima kaidah ini memiliki ruang lingkup furu’iah
yang sangat luas, komprehensif, dan universal, sehingga hampir menyentuh
semua elemen hukum fiqih.
2. Kaidah-kaidah yang punya cakupan furu’ cukup banyak, tapi tak seluas yang
pertama. Bagian yang kedua ini biasa disebut dengan al-qowaid al-aghlabiyah.
Contohnya seperti kaidah al-itsar bi al-qurob makruh atau al-wajibu la yutroku
illa liwajibi.
3. Kaidah yang mempunyai cakupan terbatas (al-qawaid al-qaliliah) bahkan
cenderung sangat sedikit, seperti kaidah al-daf’u aqwa min al-raf’i (menolak
lebih kuat dari pada menghilangkan) dan ar-Ridha bima yatawallahu minhu
(rela pada suatu hal berarti rela pada konsekuensi yang akan timbul)14
Sementara bila ditinjau dari aspek mutaffaq (disepakati) dan mukhtalaf
(diperdebatkan) formulasi teks dan substansinya, maka semua kaidah fiqih akan terbagi
menjadi tiga medium: Pertama, formulasi kaidah yang telah disepakati semua
madzhab, yakni lima kaidah dasar (al-qawaid al-khomsu al-qulliyah). Kedua, formula
kaidah yang disepakati hanya dalam satu madzhab, seperti kaidah aglabiah dan
qaliliyyah, dan jumlahnya mencapai empat puluh kaidah. Ketiga, rumusan kaidah yang
masih diperdebatkan dalam satu madzhab (al-qawaid al-mukhtalaf fiha) yang

13
Ibid
14
Abdul Haq, Formulasi Nalar Fiqih, Buku I, 82-83.
jumlahnya ada dua puluh. Kedua puluh kaidah mukhtalaf itu biasanya diungkapkan
dengan nada pertanyaan (istifham), seperti lafadz ‫( هل‬apakah) , atau ditambah

penegasan bahwa diَ dalamnya masih dapat khilaf, seperti kalimat ‫َخالف‬
ٌَ ‫) فيه‬dalam
persoalan ini masih terdapat khilaf(.15

15
Ibid.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sumber-Sumber Kaidah Fiqhiyah
a. Al Qur’an
b. As Sunnah
c. Qiyas
d. Ijma’
e. Istihsan
f. Istishab
g. Maslahah Mursalah
h. Urf
i. Sadz Adzariah
2. Pembagian Kaidah Fiqhiyah
Pembagian Kaidah bisa ditinjau melalui dua cara yaitu ditinjau dari segi
Pertama dari segi kuantitas, Kedua dari segi muttafaq dan mukhtalaf. Adapun
jika ditinjau dari segi kuantitas yaitu ada tiga :
a. Al Qawaid Al Khamsu Al Kulliyah
b. Al Qawaid Al Aghlabiah
c. Al Qawaid Al Qaliliah

Sedangakan jika ditinjau dari segi muttafaq dan muktalaf yaitu ada tiga :

a. Formulasi semua kaidah yang telah disepakati oleh semua Ulama’ yaitu
(Al Qawaid Al Khamsu Al Kulliyah)
b. Formulasi kaidah yang hanya disepakati oleh satu madzhab yaitu
(Al Qawaid Aghlabiyah dan Al Qawaid Al qaliliyah)
c. Rumusan kaidah yang masih diperdebatkan oleh para Ulama’ yaitu
(Al Qawaid Al mukhtalaf fiha)
B. Saran

Menurut kami materi kaidah fiqih utamanya pada bagian sumber sumber kaidah
fiqih dan pembagian kaidah fiqih karena hal tersebut bisa membantu kita dalam
memahami materi fiqih yang selanjutnya.
DAFTAR PUSAKA

A. Hanafie, Ushul Fiqih, Jakarta: Widjaya, 1962


Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, tt. Dar Al-Fikri Al-Arabi, tt.
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqih, Buku I, Surabaya: Khalista, 2017

Musbikin, Imam, Qawaid Fiqhiyah, Jakarta: PT. Jakarta Grafindo Persada, 2001
Sudirman Abbas, Ahmad, Qawaid Fiqhiyah, Ciputat: ADELINA, 2008

Tahir Mansoori, Muhammad, Kaidah-Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis,


Bogor: Ulul Albab Institut, 2010

Anda mungkin juga menyukai