Anda di halaman 1dari 19

Nama : Adriawan

NIM : 17010109004
Prodi : Tadris Fisika
Tugas Final Ulumul Hadits
Daftar Isi:
1. Pemahaman Hadits Tekstual, Intertekstual dan Kontekstual
2. Hadits tentang Kesetaraan dalam Menuntut Ilmu
3. Hadits tentang Kesetaraan Potensi Manusia
4. Hadits tentang Pedidikan Usia Dini
5. Hadits tentang Pelestarian Lingkungan
6. Hadits tentang Alam Semesta
Pemahaman Hadits Tekstual, Intertekstual dan Kontekstual
1. Pemahaman Hadits Tekstual
Interpretasi tekstual adalah pemahaman terhadap matan hadis berdasarkan teksnya
semata. Baik yang diriwayatkan secara lafal maupun makna. Dasar penggunaan teknik ini
adalah bahwa setiap ucapan dan prilaku nabi saw tidak lepas dari konteks kewahyuan, bahwa
segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw merupakan wahyu. Hal ini
berdasarkan QS.al-Najm : 3-4.
Artinya : dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiadalain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam memahami hadis Nabi saw dari segi teksnya.
A. Keragaman teknik periwayatan.
1. Periwayatan Hadis secara lafal dan makna
a. Periwayatan Hadis secara lafal
Adalah periwayatan Hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang
diwurudkan oleh Rasulullah saw. Contoh :
HR. Abu huraerah ra. Berkata, Rasulullah saw. Telah berabda “Allah tidak menerima solat
seseorang yang sedang berhadas sampai ia berwudu.  
Pada zaman Nabi dikalangan para sahabat ada yang telah dikenal sungguh–sungguh
berusaha menghafal hadis secara lafal, misalnyaAbdullah bin ‘umar bin al-Khatab. Dan
Orang-orang Arab sejak dulu dikenal sangat kuat hafalannya dikarenakan pada umumnya
mereka masih buta huruf.  Bagi orang-orang yang buta huruf, bahasa tutur menjadi lebih
dominan. hadis yang diriwayatkan secara lafal pun hanya hadis dalam bentuk sabda,
sementara hadis dalam bentuk perbuatan hanya dapat diriwayatkan secara makna.
b. Periwayatan Hadis secara makna
Adalah periwayatan hadis yang matannya tidak sama persis seperti yang telah
diucapkan oleh Rasulullah saw. Namun memiliki kandungan makna yang sama. Tetapi selain
sahabat Nabi, tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna, Karena sahabat nabi
memiliki pengetahuan bahasa arab yang tinggi dan menyaksikan langsung keadaan dan
perbuatan Nabi.  
2. Periwayatan Tamm dan Naqis.
Melihat dari segi periwayatan secara Tamm (lengkap) dan Naqish (tidak lengkap),
sehingga ada hadis yang jika dikumpulkan antara riwayat yang satu dengan yang lain
ditemukan bahwa keragaman hadis-hasis tersebut peristiwanya hanya satu. Perbedaan redaksi
karena adanya periwayatan-periwayatan tamm dan naqish.
Tamm        : Periwayatan hadis dengan mengemukakan semua matan.
Naqish       : Periwayatan hadis dengan mengemukakan sebagian matan.
- Contoh Naqish :
Yahya bin yahya telah menceritakan kepada kami, katanya saya telah menceritakan didepan
malik dari Nafi’, Abdullah bin Dinar, Zaid bin Aslam, ketiganya menerima hadis dari Ibnu
Umar bahwasanya Rasulullah saw. Pernah berkata : Allah tidak akan melihat kepada orang
yang menjulurkan kainnya karena kesombongan.”(H.R. Muslim).
- Contoh Tamm :
Muhammad bin muqatil telah menceritakan kepada kami, (katanya) Abdullah telah
memberitakan kepada kami, katanya Musa bin Uqbah telah memberitakan kepada kami dari
salim dari Abdullah bin Umar ra, katanya Rasulullah saw. Pernah bersabda : “barang siapa
berpakaian panjang hingga menyapu tanah karena kesombongannya Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat, Abu Bakar berkata : Wahai Rasulullah, salah satu pakaian
dariku terjuntai, hanya saja saya sudah terbiasa dengan hal itu, nabi bersabda : engkau tidak
temasuk orang yang melakukannya karna kesombongan (H.R. bukhari).  
B. Keragaman Bentuk dan Gaya Bahasa.
Mempertimbangkan segi, bentuk dan gaya bahasa yang digunakan dalam matan hadis.
1. Dilihat dari Segi Bahasa Yang Digunakan
Nabi saw. Dalam menyampaikan sabdanya menekankan pada penggunaan bahasa standar
(fushhah) dan pemilihan susunan kalimat dan kosa kata yang tepat. Namun untuk kondisi
tertentu dikala audience-nya bukan dari kalangan Arab Quraisy, maka maka beliau akan
memilih bahasa yang lebih mudah dipahami oleh audience-nya. Contoh Nabi dalam
menyampaikan sabda  dengan dialek bahasa baku.  yang artinya : ……Bukan suatu kebajikan
orang berpuasa dalam perjalanan. 
2. Dilihat dari Kejelasan Makna
a. pengulangan kata atau pertanyaan
Salah satu gaya bahasa yang biasa digunakan dalam menyampaikan pesan agar
mudah dipahami adalah dengan mengulang-ulang kata atau pertanyaan yang dinilai
penting. Contoh : H.R. dari Abu Ali Tsumamah bin syufayy bahwasanya ia telah mendengar
‘Uqbah bin Amir berkata saya telah mendengar Rasulullah saw. Diatas mimbar berpidato
menjelaskan (Q.S. Al-Anfal:60:) ‘Dan persiapkan lah dengan segala kemampuan untuk
menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki. Ketahuilah bahwa al-quwwah
(kekuatan) itu adalah kekuatan melempar/memanah; Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah
kekuatan melempar/memanah; Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah kekuatan
melempar/memanah;” (HR. Muslim).
b. Bahasa perbandingan
Salah satu gaya bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu agar mudah
dipahami oleh audiens adalah dengan menggunakan bahasa perbandingan yang logis atau
analogi. Yakni membandingkan sesuatu dengan yang lain secara logis. Contoh : H.R dari
Abu hurairah, bahwasanya ada seorang lelaki arab (dari bani fazarah) mengadu kepada Nabi.
Dia berkata : “sesungguhnya istri saya telah melahirkan seorang anak laki-laki, kulitnya
hitam. Saya menyangkalnya (karena kulitnya berbeda sekali dengan kulit saya). “lalu Nabi
saw. Bertanya : apakah kamu mempunyai beberapa unta ? Orang itu menjawab : Ya. Beliau
bertanya lagi: apa saja warna-warna kulitnya ? dia menjawab Merah. Beliau bertanya lagi
Adakah diantaranya yang berwarna (berkulit) abu-abu ? dia menjawab “ sesungguhnya di
antaranya ada unta yang berkulit abu-abu. Beliau bersabda: Maka sesungguhnya  saya
menduga juga (bahwa unta merah milikmu itu) datang (berasal) darinya (unta yang berwarna
abu-abu tersebut) orang itu berkata: ya Rasulullah, keturunan (unta merahku itu) berasal
darinya (unta yang berwarna abu-abu tersebut). Lalu nabi menyatakan (masalah anakmu yang
berkulit hitam itu) semoga juga berasal dari keturunan (nenek moyang)-nya dan beliau tidak
membiarkan orang itu mengingkari anaknya. (H.R.bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa,
dan Ahmad).
c. Bahasa Tamsil  
Bahasa Tamsil atau gaya personifikasi juga digunakan dalam Hadis Nabi. Tentang
persaudaraan atas dasar iman, Contoh :  Nu’man bin Basyir berkata, Rasulullah saw. Telah
bersabda “Perumpamaan bagi orang-orang yang beriman dalam hal belas kasih, saling
mencintai,dan saling menyayangiantara mereka adalah seperti tubuh. Apabila ada bagian
tubuh yang mengeluh karena sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan keluhan, sehingga
tidak dapat tidur karena rasa demam” (H.R. Bukhari dan Muslim).  
d. Bahasa Simbolik
Sebagaimana di dalam Alquran, di dalam hadis nabi juga dikenal adanya bahasa
simbolik. Penetapan suatu ayat ataupun Hadis berbentuk simbolik adakalanya mengundang
perdebatan pendapat.bagi yang hanya menggunakan interpretasi tekstual, ungkapan yang
bersangkutan dinyatakan sebagai ungkapan yang bukan simbolik. Sedangkan bagi mereka
yang menggunakan interpretasi intertekstual dan/atau kontektual, ungkapan yang
bersangkutan dinyatakan sebagai simbolik. Contoh : H.R. dari Abdullah (Ibnu Umar),
katanya dajal diperbincangkan di sisi Rasulullah saw. Kemudian beliau bersabda:
sesungguhnya Allah sudaah sangat jelas bagi kalian (tidak ada yang serupa dengan-nya) dan
sesungguhnya Allah tidak buta sebelah mata, dan beliau menunjuk matanya. Ketahuilah
bahwa sesungguhnya al-Dajjal itu buta matanyasebelah kanan, matanya seperti buah anggur
yang timbul. (H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Menurut Syuhudi Ismail, :
- pernyataan bahwa Allah tidak buta sebelah mata adalah ungkapan simbolik. Allah maha
suci dari segala sifat yang menyamakan-nya dengan makhluk. Jadi arti dari pernyataan
tersebut adalah kekuasaan yang sempurna.  
- Dajjal juga merupakan ungkapan simbolik. Yang maksudnya keadaan yang penuh
ketimpangan; para penguasa pada saat itu lalim, kaum dhu’afa tidak diperhatikan, amanah
dikhianati, dan berbagai kemaksiatan lainnya telah melanda ditengah-tengah masyarakat.
e. Bahasa Percakapan
Seperti halnya dengan manusia lainnya, Nabi saw. Nabi hidup ditengah-tengah
masyarakat karenanya cukup banyak matan hadis nabi yang berbentuk percakapan (dialog)
dengan anggota masyarakat.  Contoh : H.R. dari Abdullah bin Umar r.a. bahwasanya seorang
laki-laki bertanya kepada Rosulullah saw. Amalan islam yang manakah yang lebih baik?
Nabi menjawab: “kamu memberi makan dan kamu menyebarkan salam kepada orang yang
kamu kenal dan yang tidak kamu kenal. (H.R. Bukhari, Muslim, Al-Nasi, dan Ahmad).
f. Menjelaskan sesuatu dengan praktis    
Salah satu gaya bahasa yang digunakan oleh Rasulullah saw. Dalam menyampaikan
pesan-pesannya agar lebih mudah dipahami adalah memperkuat pernyataan beliau dengan
menjelaskan contoh yang mudah dipahami. Contoh : H.R. Abu Musa Al-Asyari, katanya,
Nabi saw. Telah bersabda: “Orang mukmin dengan orang mikmin lainnya ibarat bangunan;
bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya sambil bertelekan (menjalinkan jari-
jari tangannya)” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Hadis nabi ini di samping
mengemukakan Tamtsil,  Nabi saw. Juga menjelaskan maksud Hadis tersebut dengan contoh
praktis yakni bangunan yang kokoh bagaikan kokohnya jari-jari yang dijalinkan. Begitu juga
seharusnya orang-orang yang beriman, yang satu memperkokoh yang lainnya dan berusaha
untuk tidak saling menjatuhkan.
3. Dilihat dari segi kepadatan makna
Kandungan makna hadis Nabi terkadang menunjukkan makna yang padat, tetapi
dinyatakan dengan ungkapan yang pendek, berdasarkan Hadis Nabi saw.Bahwasanya; Abu
Hurairah telah berkata, saya telah mendengar Rasulullah saw. Bersabda; saya diutus oleh
Allah dengan kemampuan untuk menyatakan ungkapan-ungkapan yang singklat, namun
padat makna … “ (H.R. Jama’ah).
Berdasarkan pernyataan Nabi saw. Tersebut, maka tidaklah heran jika banyak dijumpai
Matan hadis Nabi yang berbentuk Jawami’ al-kalim, Yang bermaksud matan hadis yang
memiliki kandungan makna yang padat, tetapi dinyatakan dengan ungkapan yang pendek.
Misalnya; H.R. dari Jabir, Rasulullah saw. Bersabda “Perang itu siasat” (H.R. Jama’ah,
kecuali Abu Dawud).
Pemahaman terhadap hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, bahwa setiap perang
pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu, tegas Syuhudi berlaku secara
universal sebab tidak terkait oleh tempat dan waktu. Perang yang dilakukan dengan alat dan
cara apasaja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama saja dengan menyatakan
takluk kepada lawan tanpa syarat.
4. Dilihat dari segi logika bahasa
Dilihat dari segi logika bahasanya, kandungan hadis-hadis nabi menunjukan jalinan
hubungan yang logis. Misalnya hadis Nabi yang berbunyi; Abdan telah menceritakan kepada
kami, (katanya hadis riwayat) dari Hamzah dari al-A’masy, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah telah
berkata, suatu saat saya pernah berjalan bersama Abdullah ra. Lalu dia berkata, kami pernah
bersama Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda; “barang siapa yang telah memiliki
kemampuan, maka menikahlah karena sesungguhnya (menikah) akan menekan pandangan
dan memelihara kemaluan, dan barang siapa yang tidak memiliki kemampuan (menikah),
maka hendaklah dia berpuasa karena sesungguhnya (puasa) dapat menjadi pengendali
(seks).  
Hadis di atas menunjukkan perintah menikah bagi orang yang memiliki kemampuan
menikah. Namun jika ia belum mampu, maka hendaklah ia menahan syahwatnya dengan
berpuasa. Dengan demikian, puasa dan pengendalian syahwat memiliki hubungan yang logis.
C. Keragaman Aspek Kandungan
Sebagian umat islam memahami bahwa segala sesuatu telah termaktub dan dapat
dirujuk dalam al-Quran, dari persoalan yang sekecil-kecilnya sampai yang terbesar. Di dalam
al-Quran terdapat aspek-aspek bahasan yaitu.
1. Masalah Akidah 
Aspek yang paling dasar dan paling asasi bagi seorang yang beragama adalah memiliki
keyakinan atau akidah yang disebut iman. Bagi umat islam, aqidah yang bersifat pokok yakni
dikenal sebagai rukun iman meliputi iman kepada Allah, malaikatnya, RasulNya, kitab-
kitaabNya, Akhirat, qadha dan qadarNya.   
Pemahaman tersebut diatas, didasarkan bahwa masalah-masalah yang berkaitan dengan
akidah cenderung dipahami sesuai dengan makna teksnya dan bahkan dari segi wurudnya
hadis yang bersangkutan diriwayatkan secara qath’iuntuk menghindarkan dari hal-hal yang
dapat dikatagorikan dengan bid’ah.Rasulullah saw. Bersabda: dari Jabir bin Abdillah telah
berkata: “Adalah Rasulullah saw. Pernah berkata dalam khutbahnya, beliau memuji dan
menyanjung Allah swt. Pujin dan sanjungan yang patut baginya; lalu barkata “Barang siapa
yang beri petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya; dan barang siapa
yan disesatkan nya, maka tidak ada yang dapat member petunjuk baginya. Sesungguhnya
berita yang paling benar adalah kitab Alllah (Al-Quran) dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Nabi Muhammad, dan sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan, setiap yang
diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan adalah
balasannya di neraka” (H.R. al-Nasai).
Berdasarkan keterangan hadis diatas, maka segala sesuatu yang menyangkut urusan
tentang yang menjadi kewenangan Allah dan RasulNya dan bukan kewenangan hamba atau
umat, yakni yang berkenaan dengan akidah dan tatacara beribadah kepada Allah, maka tidak
boleh dijadikan hujah. Oleh karena itu, pemahaman terhadap kedua madalah tersebut (akidah
dan ibadah mahdah) disesuaikan dengan teks hadis yang bersangkutan.
2. Masalah Ibadah
Dalam kajian fiqih, ibadah dibagi kepada ibadah mahdah dan ghayru mahdah. Ibadah mahdah
adalah ibadah yang telah ditetapkan dan ditentukan rincian tatacaranya, seperti ibadah solat,
puasa, zakat, dan haji. Sedangkan Ibadah ghayru mahdah atau muamalah adalah ibadah yang
belum ditetapkan atau ditentukan rincian tatacaranya, seperti jual beli, pernikahan, dan
pemerintahan, baik masalah halal dan haram.
a. Petunjuk umum tentang Ibadah
- mahdah, antara lain dikemukakan di dalam Hadisnya: Muhammad bin Abdullah bin
Numayr al-Mahdani telah menceritakan kepada kami, abu Khalid Sulayman bin Hayyan al-
Ahmar telah menceritakan kepada kami (katanya) dari Abu Malik al-Asyjai dari Sa’d bin
‘Ubaydah (katanya) dari ibnu Umar dari Nabi saw. Telah bersabda “Islam dibangun atas lima
hal, yakni; engkau mengesakan Allah, mendirikan Solat, menunaikan Zakat, berpuasa di
bulan Ramadhan, dan berhaji (H.R. Muslim).
Sedangkan petunjuk umum tentang ibadah
- Muamalah, antara lain sabda Rasulullah saw.  Yaitu H.R. dari Jarir, katanya, … Rasulullah
saw. Bersabda: Barang siapa menciptakan tradisi yang baik menurut ajaran islam, maka ia
pasti mendapatkan pahalanya dan pahala bagi orang yang mengikuti sesudahnya tanpa
mengurangi sedikitpun pahala dari mereka yang mengikutinya; dan barang siapa yang
menciptakan tradisi yang jelek menurut ajaran islam maka iapun pasti mendapatkan dosanya
dan dosa bagi orang yang mengikuti sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun dosa dari
mereka yang mengikutinya.
b. Masalah Hukum
Salah satu aspek ibadah adalah masalah hukum. Contoh hadis Nabi yang berkaitan dengan
masalah ini, antara lain hadis Nabi tentang pelukis, yaitu: H.R. dari Abdullah bin Mas’ud
Rasulullah saw. Bersabda “sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat
di khadirat Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis. (H.R. bukhari, muslim, dan
Ahmad).
            Menurut Syuhudi, berbagai hadis nabi yang berisi larangan melukis dan memajang
lukisan makhluk bernyawa itu dinyatakan dalam kapasatas beliau sebagai seorang Rasulullah.
Dikemukakan demikian karena di dalam Hadis dikemukakan barita tentang nasib masa depan
para pelukis di hari kiamat. Dengan demikian hadis yang mengandung berita masa depan
dehari kiamat dapat dijadikan salah satu indikator sebuah hadis dinyatakan oleh Nabi saw.
Dalam kapasitas beliau sebagai rasulullah.
            Pemahaman secara tekstual tehadap hadis diatas cukup banyak pendukungnya.
Karena cukup banyak Hadis nabi yang melarang pembuatan dan pemajangan lukisan yang
bernyawa, manusia dan hewan; dan kerenanya pula para pelukis muslim zaman klasik
mengarahkan karya-karya mereka kedalam bentuk kaligrafi, objek tumbuh-tumbuhan, dan
pemandangan alam.
3. Masalah Akhlak
Pada prinsipnya salah satu petunjuk umum dalam masalah akhlak adalah bahwa
Rasulullah saw. Menyampaikan bahwa dirinya diutus oleh Allah swt. untuk
menyempurnakan atau merenofasi akhlak yang mulia. Dari Abu Huraerah r.a berkata
Rasulullah saw. Telah bersabda: sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak
yang baik” (H.R. Ahmad).
2. Pemahaman Hadits Intertekstual
Secara bahasa, interteks terbentuk dari kata inter dan teks. Inter berarti jaringan atau
hubungan sedangkan teks (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan,
susunan dan jalinan. Jadi interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks
dengan teks yang lain penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan
bermakna diantara dua teks atau lebih. Hubungan yang dimaksud tidak semata-mata sebagai
persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan. Dan dapat di pahami kajian
intertekstualitas adalah sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga
mempunyai hubungan—hubungan tertentu. Misalnya untuk menemukan unsur-unsur intrinsic
seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa, dan lainnya, diantara teks yang
dikaji. Metode ini (INTERPRETASI INTERTEKSTUAL) pertama kali dikemukakan oleh
Mikhail Bakhtin, seorang filusuf rusia yang mempunyai minat besar terhadap sastra. Dan
kemudian dikembangkan oleh Julia Kristeva, INTERPRETASI INTERTEKSTUAL  yang
pada intinya ia pahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain.
Penggunaan istilah INTERPRETASI INTERTEKSTUAL dalam kajian hadis dapat
juga disebut sebagai teknik munasabah (dalam istilah kajian tafsir). Di dalam buku ini
diartikan sebagai interpretasi atau pemahaman terhadap matan hadis lain (tanawwu) dan/atau
ayat-ayat al-Quran yang terkait.
A. Keserasian dan Keragaman Lafal
1. Penjelasan kosa kata
Salah satu gaya bahasa yang digunakan oleh Rasulullah di dalam redaksi hadis-hadis nya
adalah terkadang menjelaskan term-term turtentu dengan penjelasan yang berbeda dengan
apa yang dipahami umumnya orang atau menggunakan kata-kata gharib. Salah satu contoh
hadis dalam hal ini adalah: Qutaibah  bin Said dan Ali bin Hujr telah menceritakan kepada
kami dari Al-alai dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. Telah
bersabda: “Apakah kalian tahu orang yang rugi? Mereka berkata: bagi kami orang yang tidak
memiliki dirham dan perhiasan. Maka beliau bersabda sesungguhnya orang yang rugi dari
umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, zakat, dan
datang pula (dengan dosa) mencaci ini, menuduh ini, memakan harta ini, menumpahkan
darah ini, memukul ini, maka yang ini mengambil kebaikannya, maka habislah kebaikannya
dan sebelum ditetapkan baginya hukuman maka diambillah kesalahan dari mereka dan
dilemparkan kepadanya kemudian dia dilemparkan kedalam neraka.
Secara umum al-muflis atau bangkrut dipahami dalam konteks perdagangan, yaitu orang
yang rugi atau tidak untung dan bahkan berkurang modalnya. Namun jika mencermati
penjelasan nabi di dalam hadis itu ternyata term al-muflis tidaklah dipahami dalam konteks
perdagangan harta tetap dipahami dalam konteks amal perbuatan. Yakni orang yang
membelanjakan hartanya dengan berzakat, atau dirinya dengan solat, atau puasa, dan/atau
yang lainnya tetapi pada saat yang sama orang tersebut juga telah melakukan cacian, tuduhan
bahkan memakan harta dengan batil, mengikuti hawa nafsunya dan semacamnya, sehingga ia
berdosa bahkan timbangan dosanya lebih berat dari pada pahalanya.
2. Keserasian Bahasa
Struktur bahasa didalam matan hadis nabi pun harus menjadi salah satu aspek yang harus
diperhatikan, termasuk dalam kaitannya dengan hubungan gaya bahasa dalam satu kalimat
atau frasedengan kalimat atau frase lainnya.Contoh hadis Nabi tentang hal ini: Muhammad
bin Ishaq al-Musayyabi telah menceritakan kepada kami, katanya  Anas ibn Iyadh telah
menceritakan kepada kami, katanya dari Musa ibn Uqbah dari Nafi telah berkata bahwa
Abdullah ibn Umar berkata: suatu hari Rasulullah telah barkata tentang al-Masih al-Dajjal
ditengah kerumunan manusia, beliau bersabda: “sesungguhnya Allah yang maha suci dan
maha tinggi tidak buta sebelah (bi a’war). Ketahuilah bahwa al-Masih al-Dajjal buta sebelah
(a’war) mata kanannya, matanya seperti buah anggur yang menonjol. (H.R. Muslim).
Jika Allah dinyatakan (tidak buta matanya sebelah) menyalahi petunjuk Al-Quran
sehingga pernyataan ini harus ditakwilkan, misalnya Allah itu maha adil karena tidak
mempertimbangkan salah satu aspek saja atau dengan ungkapan simbolik ‘melihat sebelah
mata saja. Maka demikian pula al-Masih al-Dajjal tidak diartikan buta matanya sebelah yakni
mata kanannyatetapi ditakwilkan sehingga berarti adalah mereka yang berbuat zalim dan
lalim karena tindakannya hanya mempertimbangkan salah satu aspek atau dengan ungkapan
melihat dengan mata kirinya saja. Sedangkan matakanannya buta, tidak melihat. Dengan
demikian berarti menunjukkan bahwa Allah itumaha adil dan bijaksana sedangkan al-Masih
al-Dajjal zalim dan lalim. Ini berarti bahwa siapapun yang bertindak zalim dan lalim maka
dapat disebut al-Masih al-Dajjal.
3. Keserasian Kandungan Hadis
Munasabah Hadis dalam suatu matan, misalnya H.R. Imam Albukharitentang penghuni
surga dan neraka, berbunyi: Abu al-Walid telah menceritakan kepada kami, katanya Salm bin
Zarir telah menceritakan kepeda kami, katanya Abu Raja telah menceritakan kepada kami,
katanya dari Imran bin Husain dari Nabi saw. Telah bersabda: “saya melihat Surga, maka
saya melihat penghuninya pada umumnya al-fuqara dan saya melihat Neraka, maka saya
melihat penghuninya pada umumnya al-nisa.”  
Hadis ini jangan dipahami bahwa pada umumnya calon penghuni surga adalah mereka
yang fakir (harta) dan umumnya calon penghuni neraka adalah mereka yang berjenis kelamin
perempuan. Akantetapi jika struktur kalimat di dalam hadis tersebut dikaitkan dengan makna
yang lain bagi term fuqara seperti yang dinyatakan di dalam Q.S.Fathir/35:15, maka term al-
fuqara dapat dipahami sebagai orang yang menggantungkan hidupnya kepada Allah swt. Dan
jika term al-nisa juga dipahami dengan makna lain, maka term al-nisa dapat dipahami sebagai
orang yang menggantungkan hidupnya pada syahwat seksualnya.
B. Tanawwu’fi al-Hadis
Salah satu yang harus dipertimbangkan dalam memahami hadis adalah
adanyaTanawwu’fi al-Hadis hadis dalam satu tema namun memiliki perbedaan preristiwa.
Dalam kaitan ini, maka untuk memahami suatu hadis, maka perlu mempertimbangkan hadis
yang lain dalam satu tema. Sering kali terjadi pemahaman yang keliru karena mengabaikan
hadis-hadis yang lain dalam satu tema. Contoh hadis. Tentang Jihad. Abd al-Aziz bin
Abdullah telah menceritakan kepada kami, katanya darial-Zuhri dari Sa-id bin Musayyab
dari Abu Huraerah r.a. telah berkata Rasulullah saw pernah ditanya tentang amal apakah
yang paling utama? Rasulullah menjawab “Berjihad di jalan Allah.” Ditanya lagi, kemudian
amal apa? Beliau menjawab “Haji mabrur.“
Di dalam hadis Nabi, penggunaan kata Jihad digunakan dalam konteks yang beragam.
Di lihat dari segi sasaran dan cara berjihad, ditemukan perintah berjihad kepada kaum
musyrikin. Rasulullh saw. Bersabda: Harun bin Abdullah dan Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim telah memberitakan kepada kami keduanya telah berkata, Yazid telah menceritakan
kepada kami, Hammad bin Salamah dari Humaidi dari Anas dari Nabi saw. Bersabda:
perangilah kaum musyrikin dengan hartamu, kedua tanganmu, dan lisanmu.   
Pernyataan diatas bahwa jihad dapat dilakukan, baik fisik maupun non fisikdan tidak
terbatas dalam pengertian perang.
C. Hadis Sebagai Bayan Al-Qur’an
Hadis Nabi merupakan penjelas (bayan) terhadap al-Quran (Q.S al-Nahl 44) dengan
demikian memahami hadis nabi hendaknya berupaya untuk mengaitkan dengan al-Qur’an
sebab ia merupakan bayan terhadap al-Qur’an itu sendiri. Dan perlu diketahui Bayan al-
Qur’an ini terdiri dari beberapa bagian yaitu :
- Bayan al-tafsir/al-Tafshil, yaitu sabda Nabi yang berfungsi sebagai penjelas atas ayat-ayat
al-Qur’an.

- Bayan al-Taqrir wa al-Takid, yaitu sabda Nabi yang befungsi memperkuat/memperkokoh


apa yang telah diterangkan oleh al-Quran.

- Bayan al-Tasyri, yaitu sabda Nabi yang berfungsi mewujudkan, mengadakan, atau


menetapkan suatu hokum atau aturan syarak yang tidak didapati nash-nya di dalam al-
Qur’an.
3. Pemahaman Hadits Kontekstual                     
Interpretasi kontekstual berate cara menginterpretasikan atau memahami terhadap
matan hadis dengan memperhatikan baberapa sisi dalam hadis tersebut, yaitu : Hadis dilihat
dari segi Sebab al-Wurud, Dilihat dari otoritas dan kedudukan nabi Muhammad saw, Dilihat
dari perbedaan social budaya sahabat nabi, Dilihat dari segi bentuk peristiwa Hadis, Dilihat
dari segi tempat wurudnya Hadis, Dilihat dari segi waktu wurudnya Hadis,
dan Mempertimbangkan perkembangan peradaban.
A. Hadis dilihat dari Segi Sebab al-wurud
Sebuah peristiwa sangat terkait dengan beberapa hal, yaitu, pelaku atau subyek,
obyek, waktu, tempat dan bentuk peristiwa. Perbedaan salah satu atau sebagian dan atau
keseluruhan kelima hal tersebut sangat mempengaruhi ucapan dan sikap nabi Muhammad
saw. Dan secara sederhana asbab al-wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya
sesuatu. Karena istilah tersebut sering dipakai dalam diskursus ilmu Hadis, maka asbab al-
wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang (background) munculnya
suatu hadis.
B. Dilihat dari otoritas dan kedudukan nabi Muhammad saw
Sebagian hadis Nabi saw. ada yang berkaitan dengan kedudukan Nabi saw. SebagaiRasul
sekaligus sebagai basyar/manusia biasa. Diantara Hadis yang memposisikan sebagai Rasul
dan basyar adalah Hadis tenntang Nabi juga makan, juga menikah dan seterusnya. Dan ada
pula banyak hadis Nabi saw. Yang berkaitan dengan kedudukan Nabi saw juga sebagai
sebagai Rasul. Salah satu hadis yang membahas tentang ini adalah hadis yang berkaitan
tentang lukisan. Serta ada juga hadis Nabi saw. Yang berkaitan dengan kedudukan Nabi saw
sebagai Basyar/manusia biasa. Baik sebagai pemimpin umat, panglima perang, suami,
bapak, maupun secara pribadi. Misalnya hadis tentang saat nabi menghadapi/mengadili orang
yang sedang berselisih/bertengkar.   
C. Dilihat dari perbedaan social budaya sahabat nabi
Salah satu aspek yang sangat penting dan patut dipertimbangkan tatkala hendak
memahami suatu hadis adalah dengan cara melihat Perbedaan Budaya pada sahabat saat
itu. Contoh hadis yang berhubungan dengan perbedaan budaya ini adalah ketika nabi
membiarkan seorang Arab badwi yang kencing sembarangan di masjid. Selain itu, dalam
memahami hadis Nabi saw. Hal yang harus mendapatkan perhatian adalah kapasitas
intelektual lawan bicara Nabi saw. Hal tersebut penting karena Nabi saw. Akan berbicara
pada mereka sesuai dengan kapasitas intelektualnya. Contoh hadis yang berhubungan adalah
sama dengan sebelumnya yaitu tentang arab badui yang kencing di mesjid.  Selain itu dalam
memahami hadis Nabi saw harus pula memahami kondisi psikologis lawan bicara nabi, hal
ini penting karena Nabi saw. Akan bicara dengan lawan bicaranya sesuai dengan kondisi
psikologis lawan bicaranya. Contoh hadis yang berhubungan adalah jawaban nabi yang
berbeda saat babarapa sahabat menanyakan suatu pertanyaan yang sama,  tentang amal
terbaik. 
D. Dilihat dari segi bentuk peristiwa Hadis
Hal lain yang penting diperhatikan dalam memahami hadis secara konteks adalah bentuk
peristiwa yang mengitari hadis Nabi saw. Baik dalam bentuk pertanyaan, peristiwa-peristiwa
gugatan atau transaksi dan sejenisnya.
E. Dilihat dari segi tempat wurudnya Hadis
Jika dicermati definisi hadis sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada
Rasulullah saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun hal ihwal beliau, maka
dapat di duga bahwa tempat peristiwa wurudnya sebuah hadis berbeda beda, boleh jadi di
dalam suatu majelis, atau dipasar, atau di perjalanan, dan bahkan boleh jadi ditengah
berkecamuknya perang. 
F. Dilihat dari segi waktu wurudnya Hadis
Seperti halnya dalam kajian ilmu Qur’an yang dikenal ayat-ayat Makkiyyah dan
madaniyyah, dikajian ilmu hadispun seharusnya dapat mempetimbangkan aspek waktu
peristiwa atau wurudnya.sebuah hadis. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, antara lain
dengan mencermati perbedaan waktu wurudnya sebuah hadis dari segi hadis yang muncul.
Sebelum hijrah atau pasca hijrah, dalam kondisi damai atau dalam kondisi perang, dan dalam
kondisi muqim dan shafar. Salah satu contoh hadis Nabi saw. Yang yang salah satu di
antaranya diwurudkan lebih awal dan yang lainnya lebih akhir, yakni larangan bagi kaum
perempuan untuk ziarah kubur yang kemudian dibolehkan. 
G. Mempertimbangkan perkembangan peradaban.
Hadis Nabi sebagai bayan terhadap Al-Qur’an yang menyangkut seluruh aspaek kehiduupan
dan sempurna serta bersifat universal sekalipun aplikasinya bersifat temporal dan lokal,
tentunya menyifati al-Quran itu sendiri. Oleh karena itu hadis-hadiis Rasul saw. Yang
kandungannya berkembang hendaknya mampu mengantisipasi perkembangan tersebut. Salah
satu contoh hadis yang sering diperdebatkan dan bahkan mendapat penolakan dari kalangan
kaum feminismeatau pejuang gender dan menganggap hadis tersebut sebagai misoginis
’melecehkan kaum perempuan’ adalah hadis Nabi saw. Tentang larangan wanita menjadi
seorang pemimpin.
Hadits Tentang Kesetaraan Menuntut Ilmu

Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi muslim laki-laki mau pun perempuan. Demikian
disarikan dari hadits tentang menuntut ilmu yang diriwayatkan Ibnu Majah, dan dishahihkan
oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha'if Sunan Ibnu Majah no. 224.

َ ‫فَ ِر ْث‬ ‫ ْا ِلع ْل ْم‬  ُ‫طَلَب‬


‫ ُم ْسلِ ٍم‬ ‫ ُك ِّل‬ ‫ َعلَى‬ ٌ‫ضة‬

"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim."

Dalam hadits tentang menuntut ilmu lainnya, Rasulullah SAW bersabda,

)‫الطَّ ْب َرانِ ْي‬ ُ‫ َرواه‬ ( ‫لِ ُم َعلِّ ِم ْي ُك ْم‬ ‫ َولَيَلَوْ ا‬ ‫ضعُوْ الِ ُم َعلِّ ِم ْي ُك ْم‬
َ ‫تَ َعلَّ ُموْ ا َو َعلِّ ُموْ ا َوتَ َوا‬

Artinya, "Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-
gurumu, serta berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu." (HR Tabrani)

Keutamaan Menuntut Ilmu


Dalam hadits lain dijelaskan tentang keutamaan menuntut ilmu. Terutama ilmu-ilmu yang
membuat kita semakin ingat dan syukur kepada Allah. Seperti dalam sabda Rasulullah SAW
berikut,

‫ ُم ْسلِم‬ ُ‫ َر َواه‬ . ‫ال َجنَّ ِة‬ ‫إِلَى‬ ‫طَ ِر ْيقًا‬ ُ‫لَه‬ ُ‫هللا‬ ‫ َسهَّ َل‬,‫ ِع ْل ًما‬ ‫فِ ْي ِه‬  ُ‫طَ ِر ْيقًايَ ْلتَ ِمس‬  َ‫ َسلَك‬ ‫َم ْن‬

"Barang siapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti
mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)

Ada juga hadits tentang menuntut ilmu yang diriwayatkan Turmudzi berikut,

‫يَرْ ِج َع‬ ‫ َحتَّى‬ ِ‫هللا‬ ‫ َسبِ ْي ِل‬ ‫فِى‬ ‫فَهُ َو‬ ‫ ْال ِع ْل ِم‬  ُ‫طَلَب‬ ‫فِى‬ ‫خَ َر َج‬ ‫َم ْن‬

Artinya : "Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah
hingga ia pulang".

Keutamaan lainnya juga disebutkan dalam hadits tentang menuntut ilmu yang diriwayatkan


At-Tabrani,

ُ‫ ِم ْنه‬  َ‫تَتَ َعلّ ُموان‬ ‫لِ َم ْن‬ ‫اضعُوْ ا‬


َ ‫ َوت ََو‬ ‫ َر‬ ‫ َو ْال َوقَا‬ َ‫ال ّس ِك ْينَة‬ ‫لِ ْل ِع ْل ِم‬ ‫ َوتَ َعلّ ُموْ ا‬ ‫واالع ْل َم‬
ِ ‫تَ َعلّ ُم‬

Artinya :"Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah hatilah pada
orang yang kamu belajar darinya."

Kemudian, Rasulullah SAW juga menegaskan keutamaan ilmu yang bermanfaat, baik semasa
di dunia bahkan setelah manusia itu wafat. Seperti dalam hadits tentang menuntut ilmu
berikut, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫يَ ْدعُولَه‬ ‫ح‬ َ  ‫ َولَ ٍد‬  ْ‫أَو‬ ‫بِ ِه‬ ‫يُ ْنتَفَ ُع‬ ‫ ِع ْل ٍم‬  ْ‫أَو‬ ‫اريَ ٍة‬
ٍ ِ‫صال‬ َ  ‫ ِم ْن‬ َّ‫إِال‬ ‫ثَالَثَ ٍة‬ ‫ ِم ْن‬ َّ‫إِال‬ ُ‫ َع َملُه‬ ُ‫ َع ْنه‬ ‫ا ْنقَطَ َع‬  ُ‫ا ِإل ْن َسان‬  َ‫ َمات‬ ‫إِ َذا‬
ِ ‫ َج‬ ‫ص َدقَ ٍة‬
"Jika seorang manusia mati, maka terputuslah darinya semua amalnya kecuali dari tiga hal;
dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang
mendoakannya." (HR. Muslim no. 1631)
Hadits Tentang Kesetaraan Potensi Manusia

ٍّ‫يف َوفِى ُكل‬ ِ ‫ « ْال ُم ْؤ ِمنُ ْالقَ ِوىُّ خَ ْي ٌر َوأَ َحبُّ إِلَى هَّللا ِ ِمنَ ْال ُم ْؤ ِم ِن الض َِّع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ع َْن أَبِى هُ َري َْرةَ ق‬
َ َ‫ال ق‬
ِ ‫ َولَ ِك ْن قُلْ قَ َد ُر هَّللا‬.‫ت َكانَ َك َذا َو َك َذا‬ُ ‫صابَكَ َش ْى ٌء فَالَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَ َع ْل‬ َ َ‫ك َوا ْست َِع ْن بِاهَّلل ِ َوالَ تَ ْع ِج ْز َوإِ ْن أ‬
َ ‫خَ ْي ٌر احْ ِرصْ َعلَى َما يَ ْنفَ ُع‬
َ َّ ْ َ َ َ
ِ ‫» َو َما َشا َء ف َع َل فإ ِ َّن لوْ تَفتَ ُح َع َم َل الش ْيط‬.
‫ان‬
Artinya:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada seorang
mukmin yang lemah. Namun, keduanya memiliki keistimewaan masing-masing.

Berusahalah semaksimal mungkin untuk menggapai hal-hal yang bermanfaat untukmu!


Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah menjadi orang yang lemah!

Jika ada suatu musibah yang menimpamu, janganlah engkau katakan: “seandainya aku
lakukan hal lain (selain yang aku lakukan tadi), maka aku akan begini dan begitu”! Namun
katakanlah: “hal tersebut merupakan bagian dari takdir yang Allah telah tentukan dan Allah
telah melakukan apa yang Ia kehendaki”. Ketahuilah bahwa berandai-andai itu memberi
peluang kepada syetan untuk memainkan perannya.” (HR. Muslim no. 6945, Imam Ahmad
no. 8777 dan 8815, Ibnu Majah no. 79 dan 4168, Nasai no. 10457, Ibnu Hibban, Baihaqi, dan
lainnya)

Siapapun diri kita pasti masing-masing mempunyai potensi. Entah itu dari
golongan ningrat atau melarat. Cacat atau sempurna. Kulit putih maupun hitam. Perbedaan
terjadi bukan sebatas dari jenis potensi yang dimiliki, namun juga terletak pada bagaimana
seseorang meningkatkan potensinya. Semakin tinggi tingkat perkembangan potensi, semakin
tinggi pula kualitas yang ia miliki.

Hadis di atas menuntun kita untuk bekerja keras meningkatkan potensi. Diawali dengan
pujian terhadap orang mukmin yang memiliki kekuatan, kemudian anjuran untuk berusaha
semaksimal mungkin mendapatkan segala sesuatu yang bermanfaat untuk kita. Ya, kekuatan
dan usaha maksimal adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan untuk meningkatkan potensi.
Bagaimana seseorang akan meninggkatkan potensi jika ia tidak mempunyai kekuatan
sebelumnya? Bagaimana ia akan meningkatkan potensi jika ia tidak mau berusaha?

Menurut Imam Nawawi dalam “al-Minhaj”, kekuatan yang dimaksud ialah tekad yang bulat
dalam urusan-urusan akhirat atau ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lebih rinci lagi,
Qadhi ‘Iyadh dalam “Ikmalul Mu’allim” menyebutkan kekuatan ini termasuk sehatnya badan
sehingga bisa lebih produktif untuk bekerja, lebih banyak melaksanakan sholat malam, puasa,
dan berjuang di jalan Allah.

Sedangkan usaha keras dalam hadis di atas dimaknai oleh Syekh Abdul Muhsin al-Abbad –
hafidhahullah-sebagai usaha mewujudkan sesuatu dengan melakukan sebab-sebab yang
dibolehkan oleh syariat. Usaha tersebut tidak boleh menghilangkan tawakal kepada Allah,
apalagi melalaikanNya. Namun, kita malah disuruh oleh meminta pertolongan kepada Allah
seperti dalam lanjutan bunyi hadis ini.
Hadits Tentang Pendidikan Usia Dini

َ ‫ َوفَ ِّرقُوا َب ْينَ ُه ْم ِفي ا ْل َم‬، َ‫سنِيْن‬


‫ضا ِج ِع‬ ْ ‫اض ِر بُو ُه ْم َعلَ ْي َها َو ُه ْم أَ ْبنَا ُء َع‬
ِ ‫ش ِر‬ ْ ‫ َو‬، َ‫سنِيْن‬
ِ ‫س ْب ِع‬ XًّY ‫ ُم ُروا أُ ْوالَ َد ُك ْم ِبال‬.
َ ‫ًصالَ ِة َو ُه ْم أَ ْبنَا ُء‬
Artinya: “Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan
pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta
pisahkanlah tempat tidur mereka.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187),
Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482),
Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin
‘Amr radhiyallahu’anhuma.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul.
b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya.
c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan.
d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman.
e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,


‫ َواعْـ ِدلُوا فِي أَ ْوالَ ِد ُك ْم‬،َ‫ اتّقُوا هللا‬،‫ش َهـ ُد َعلَى َج ْو ٍر‬
ْ َ‫ الَ أ‬.
Artinya: “Aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada
Allah dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2586, 2587) dan Muslim (no. 1623), dari
Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu]

Selain itu, orang tua juga harus menyadari bahwa anak adalah fitnah (ujian) bagi orang tua
maka hendaknya orang tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya.
Allah ‘Azza wa Jallaberfirman,
‫َوا ْعلَ ُموآ أَنَّ َمآ أَ ْم َو لُ ُك ْم َوأَ ْولَ ُد ُك ْم فِ ْتنَةٌ َوأَنَّ هللاَ ِع ْن َدهُ أَ ْج ٌر َع ِظ ْي ٌم ۝‬
Artinya: “Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah
(ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran
yang besar.” (Qs. Al-Anfal: 28)

Terutama bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya mereka
bersabar dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang diasuh dengan
baik oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api Neraka.

Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya
berikut ini,
َ ‫ فَأ َ ْح‬،‫ت بِشَي ٍء‬
ِ ُ‫ ُكنَّ لَه‬، َّ‫سنَ إِلَ ْي َهن‬
‫س ْت ًرا ِمنَ النَّا ِر‬ ِ ‫ َم ِن ا ْبتُلِ َي ِمنْ هَـ ِذ ِه ا ْلبَنَا‬.
Artinya: “Barang siapa diuji dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang
baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara
dirinya dari Neraka.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1418, 5998) dan
Muslim (no. 2629), dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha]

Dan wajib bagi para orang tua untuk membiasakan anak-anak perempuannya untuk
mengenakan jilbab. Jangan biasakan dia mengenakan pakaian tipis, ketat, dan pendek,
meskipun dia belum baligh. Karena kebiasaan berpakaiannya sedari kecil akan
mempengaruhi “model pakaiannya” ketika dewasa.
Hadits Tentang Pelestarian Lingkungan

‫ع زَ رْ عًا فَيَأْ ُك ُل‬


ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يَ ْغ ِرسُ غَرْ سًا أَوْ يَ ْز َر‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ق‬
َ َ‫ال ق‬ ِ ‫ع َْن أَن‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
ِ ‫ك َر‬
ٌ‫ص َدقَة‬َ ‫ان أَوْ بَ ِهي َمةٌ´ إِاَّل َكانَ لَهُ بِ ِه‬
ٌ ‫ِم ْنهُ طَ ْي ٌر أَوْ إِ ْن َس‬

Dari Anas bin Malik ra. Dia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seorang Muslim
pun yang menanam atau bercocok tanam, lalu tanamannya itu dimakan oleh burung, atau
orang, atau binatang, melainkan hal itu menjadi shadaqah baginya”. (HR. Bukhari)

Kandungan Hadis tentang Kelestarian Alam. Melalui hadis ini, Rasulullah Saw
menganjurkan umatnya untuk menanam atau bercocok tanam. Berdasarkan hadis ini dapat
dikatakan pula bahwa dengan bercocok tanam atau menanam pohon akan diperoleh dua
manfaat, yaitu manfaat keduniaan dan manfaat keagamaan.

Manfaat pertama yang bersifat keduniaan dari bercocok tanam adalah mendatangkan hasil
atau produk berupa tersedianya bahan makanan.

Manfaat kedua adalah manfaat yang bersifat keagamaan yaitu pahala bagi orang yang
menanam. Sesungguhnya tanaman yang kita tanam apaila dimakan oleh manusia, burung,
atau binatang lain, meskipun hanya satu biji saja, maka hal itu adalah sedekah bagi
penananya, baik dia kehendaki atau tidak. Sehingga dapat dikatakan bahwa seorang Muslim
akan mendapatkan pahala dari hartanya yang dicuri, dirampas atau dirusak dengan syarat dia
tetap berabar dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah Swt.

Begitu pentingnya menanam pohon sebagai upaya untuk memelihara lingkungan, maka
dalam hadis lain Rasulullah Saw memerintahkan untuk menanami tanah-tanah yang kosong.
Bahkan kalau pemilik tanah itu tidak sanggup menanaminya, Rasulullah Saw
menganjurkannya untuk mencari orang lain yang akan menggarapnya.

‫َت لَهُ أَرْ ضٌ فَ ْليَ ْز َر ْعهَا أَوْ لِيَ ْمنَحْ هَا أَخَ اهُ فَإ ِ ْن‬
ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َكان‬ ِ ‫ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ َر‬
َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ُ‫ضه‬ َ ْ‫أَبَى فَ ْليُ ْم ِس ْك أَر‬

Dari Abu Hurarah ra. Dia berkata: “Rasulullah saw bersabda ‘siapa yang memiliki tanah
hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah dia serahkan kepada saudaranya untuk ditanami,
jika tidak mau, maka hendaklah dia tahan (kepemilikan) tanah itu (disewakan kepada orang
lain untuk ditanami)" (HR. Bukhary)

Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah sangat menghargai tanah yang merupakan
karunia Allah Swt. Karena itu orang yang memiliki tanah cukup luas tetapi tidak sanggaup
untuk mengelola dan memanfaatkan tanahnya dengan menanaminya, diperintahkan untuk
menghibahkannya kepada saudaranya agar dikelola, atau disewakan kepada orang lain
untukdigarap. Dengan cara demikian maka dia tidak dianggap menelantarkan lahan. Selain
itu dia telah menolong orang lain dengan memberiya pekerjaan. Begitulah Islam sejak zaman
Nabi telah memperhatikan lingkungan sebagai upaya pelestarian lingkungan itu sendiri
sehingga tidak terbengkalai bahkan memberikan manfaat dan maslahat kepada umat manusia.
Hadits Tentang Alam Semesta

Dikutip dari artikel yang berjudul “Rasulullah SAW Sebab Penciptaan Alam Semesta dalam
Qashidah Burdah”.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/92857/rasulullah-saw-sebab-penciptaan-alam-
semesta-dalam-qashidah-burdah
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Qashidatul Burdah karya Muhammad Sa‘id Al-Bushiri menyebut Nabi Muhammad SAW
sebagai semacam sebab penciptaan alam semesta. Oleh karena itu, Al-Bushiri menyimpulkan
bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mungkin berambisi mengejar duniawi. Dalam larik
Qashidatul Burdah berikut ini,

Imam Al-Bushiri menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi sebab penciptaan
dunia takkan mungkin berhajat kepada dunia karena beliau SAW sendiri adalah penghulu
dunia:

‫العدم‬
ِ ‫تخرج الدنيا من‬
ِ ‫ُورةُ َم ْن ** لوالهُ لم‬
َ ‫ضر‬َ ‫َو َكيفَ تَ ْدعُو إلَى ال ُّدنيا‬

Artinya, “Bagaimana orang yang kalau bukan karena dirinya niscaya dunia ini takkan keluar
dari ketiadaannya berkepentingan terhadap dunia?”

Pernyataan Imam Al-Bushiri tidak berlebihan. Pernyataan Al-Bushiri cukup beralasan


karena didasarkan pada hadits qudsi riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi yang menyatakan
bahwa kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, Allah takkan menciptakan Nabi Adam
AS.

‫واألصل في ذلك ما رواه الحاكم والبيهقي من قول هللا تعالى آلدم لما سأله بحق محمد أن يغفر له ما اقترفه من صورة‬
‫الخطيئة وكان رأى على قوائم العرش مكتوبا ال إله إال هللا محمد رسول هللا سألتني بحقه أن أغفر لك ولواله ما خلقتك‬
‫فوجود آدم عليه السالم متوقف على وجوده صلى هللا عليه وسلم‬

Artinya, “Dasar atas pernyataan ini adalah hadits riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi perihal
jawaban Allah SWT kepada Nabi Adam AS yang meminta dengan nama Nabi Muhammad
SAW ampunan terkait kekeliruannya. Nabi Adam AS ketika itu melihat catatan ‘Lâ ilâha
illallâh, Muhammadur Rasûlullâh’ pada tiang-tiang Arasy. Allah menjawab, ‘Kau meminta
dengan namanya (Nabi Muhammad SAW) agar Aku mengampunimu. Sungguh, kalau bukan
karenanya, Aku tidak akan menciptakanmu.’ Jadi, ujud Nabi Adam AS bergantung pada ujud
Nabi Muhammad SAW,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil
Burdah, [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 21).

Kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, niscaya Allah takkan menciptakan Nabi Adam
AS. Kalau Nabi Adam AS tidak diciptakan oleh Allah, niscaya anak Adam atau bani Adam
takkan diciptakan. Sedangkan nyatanya, Allah menciptakan Nabi Adam AS dan anak
keturunannya. Allah juga menciptakan alam semesta ini hanya untuk keperluan manusia.
Jadi, hanya karena Nabi Muhammad SAW Allah menciptakan alam semesta raya ini.
Syekh Ibrahim Al-Baijuri yang pernah memimpin Universitas Al-Azhar di zamannya
mencoba membangun logika ini dalam Hasyiyatul Burdah berikut ini:

‫وآدم أبو البشر وقد خلق هللا لهم ما في األرض وسخر لهم الشمس والقمر والليل والنهار وغير ذلك كما هو نص القرآن قال‬
‫س َو ْالقَ َم َر دَائِبَي ِْن َو َس َّخ َر لَ ُك ُم اللَّ ْي َل َوالنَّهَا َر وإذا كانت هذه األمور إنما‬ ِ ْ‫ق لَ ُك ْم َّما فِي األَر‬
َ ‫ض َج ِميعا ً َو َس َّخ َر لَ ُك ُم ال َّش ْم‬ َ َ‫تعالى خَ ل‬
‫خلقت ألجل البشر وأبو البشر إنما خلق ألجله صلى هللا عليه وسلم كانت الدنيا إنما خلقت ألجله فيكون صلى هللا عليه وسلم‬
‫ هو السبب في وجود كل شيء‬Artinya, “Nabi Adam AS memang bapak manusia. Allah menciptakan
apa yang ada di bumi untuk anak manusia. Allah juga menundukkan matahari, bulan, malam,
siang, dan lain sebagainya untuk anak manusia sebagaimana tercantum dalam Al-Quran, 'Dia
menciptakan untukmu apa yang ada di bumi semuanya,’ (Surat Al-Baqarah ayat 29) dan ‘Dia
menundukkan bagimu matahari dan bulan silih berganti dan Dia menundukkan bagimu
malam dan siang,’ (Surat Ibrahim ayat 33). Jadi, ketika semesta alam raya itu diciptakan
untuk manusia, sementara Nabi Adam AS adalah bapak manusia diciptakan karena Nabi
Muhammad SAW, maka dunia ini diciptakan karena Nabi Muhammad SAW. Jadi, Nabi
Muhammad SAW adalah sebab bagi segala ujud,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri,
Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah, [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman
21-22).

Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari dalam Syarah Burdah menyatakan bahwa karena
Rasulullah SAW sendiri adalah sebab atas penciptaan alam semesta, maka beliau SAW tidak
berhajat dan berhasrat pada kesenangan duniawi yang fana:

‫ومعنى البيتين´ أنه صلى هللا عليه وسلم ال تدعوه الضرورة الى حطام الدنيا الفانية فإن الدنيا ما أخرجت من العدم إلى‬
‫الوجود إال ألجله وكيف يكون كذلك وهو سيد أهل الدنيا واآلخرة وسيد االنس والجن وسيد العرب والعجم‬

Artinya, “Makna bait ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berkepentingan untuk
mengumpulkan harta benda duniawi yang fana karena dunia tidak diciptakan dari ketiadaan
menjadi ada kecuali karena dirinya. Lalu bagaimana bisa demikian (haus harta duniawi)
dengan Rasulullah SAW, sedangkan beliau adalah penghulu (pangkal atau permulaan)
penduduk dunia dan akhirat, penghulu manusia dan jin, dan penghulu bangsa Arab dan
bangsa ajam,” (Lihat Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari, Syarah Khalid Al-Azhari ala
Matnil Burdah, [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa catatan tahun], halaman 22).

Logika yang dibangun oleh Imam Al-Bushiri, Syekh Ibrahim Al-Baijuri, dan Syekh Khalid
Al-Azhari merupakan refleksi dari Surat Al-Baqarah ayat 29, Surat Ibrahim ayat 33, dan
hadits berikut ini:

‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أنا سيد ولد آدم وال فخر‬

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku penghulu anak Adam, dan tidak sombong,’” (HR
Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Dari berbagai keterangan ini, tidak berlebihan ketika Sayyid Bakri Syatha dalam
mukaddimah I‘anatut Thalibin menganjurkan kita untuk bersyukur kepada Rasulullah SAW
karena jasanya yang mengajarkan kita mengenal dan bersyukur kepada Allah. Sayyid Bakri
Syatha menyebut Rasulullah SAW tidak lain adalah asal penciptaan bagi semua makhluk
Allah. Sayyid Bakri menganjurkan kita untuk membaca banyak shalawat. Hanya saja "asal"
dan kata "sebab" penciptaan di sini mesti dipahami sebagai asal atau sebab secara majazi
karena pada hakikatnya perbuatan Allah tidak tergantung pada illat atau sebab. Meskipun
demikian, shalawat terhadap Nabi Muhammad SAW merupakan bentuk terima kasih atau
syukur kita umat manusia terhadap Rasulullah SAW sebagai penghulu segenap manusia
sebagaimana sabdanya yang mulia. Allahumma shalli wa sallim 'ala Sayyidina Muhammad
wa alihi wa shabihi ajma'in. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)

Anda mungkin juga menyukai