Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MAKALAH KELOMPOK PAI

( AL WAKIL)
X MIPA 3

1. DAFFA ZAINI RIDWAN


2. HIJRI AWALUDIN
3. NAJWA SETIAWAN
4. NENG CACA AIDA
5. RATU CIKAL AMALIA LAHMI
6. SHERLY AMALIA

SMAN 1 PAMIJAHAN
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ---------------------------------------------------------------------------

DAFTAR ISI----------------------------------------------------------------------------------------

PENDAHULUAN------------------------------------------------------------------------

A. LATAR BELAKANG-------------------------------------------------------------------

B. RUMUSAN MASALAH---------------------------------------------------------------

C. TUJUAN------------------------------------------------------------------------------------

BAB II PEMBAHASAN-------------------------------------------------------------------------

A. PENGERTIAN ASMA`UL HUSNA-----------------------------------------------

B. AL-WAKIL--------------------------------------------------------------------------------

C. MANFAAT ASMAUL HUSNA (AL-WAKIL)----------------------------------

D. MENELADANI ASMAUL HUSNA AL-WAKIL------------------------------

BAB III KESIMPULAN -----------------------------------


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah.. Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Segala
pujian hanya layak kita aturkan kepada Allah SWT. Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat,
rahmat, taufik, serta petunjuk-Nya yang sungguh tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang penulis beri judul ”ASMAUL HUSNA (AL-WAKIL)”.

Dalam penyusuna makalah ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh
karena itu penulis mengucapkan rasa berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada mereka, kedua
orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan, moril, dan
kepercayaan yang sangat berarti bagi penulis.

Berkat dukungan mereka semua kesuksesan ini dimulai, dan semoga semua ini bisa
memberikan sebuah nilai kebahagiaan dan menjadi bahan tuntunan kearah yang lebih baik lagi.
Penulis tentunya berharap isi makalah ini tidak meninggalkan celah, berupa kekurangan atau
kesalahan, namun kemungkinan akan selalu tersisa kekurangan yang tidak disadari oleh penulis.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini
dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penulis mengharapkan agar makalah ini bermanfaat bagi
semua pembaca.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam agama Islam, Asmaa'ul husna (bahasa Arab: ‫أسماء هللا الحسنى‬, asmāʾ  allāh al-ḥusnā) adalah


nama-nama  Allah  yang indah dan baik. Asma berarti nama dan husna berarti yang baik atau yang
indah, jadi asma'ul husna adalah nama nama milik  Allah  yang baik lagi indah.

Sejak dulu para ulama telah banyak membahas dan menafsirkan nama-nama ini, karena nama-
nama Allah adalah alamat kepada Dzat yang mesti kita ibadahi dengan sebenarnya. Meskipun timbul
perbedaan pendapat tentang arti, makna, dan penafsirannya akan tetapi yang jelas adalah kita tidak
boleh musyrik dalam mempergunakan atau menyebut nama-nama Allah ta'ala. Selain perbedaaan
dalam mengartikan dan menafsirkan suatu nama terdapat pula perbedaan jumlah nama, ada yang
menyebut 99, 100, 200, bahkan 1.000 bahkan 4.000 nama, namun menurut mereka, yang terpenting
adalah hakikat Dzat Allah SWT yang harus dipahami dan dimengerti oleh orang-orang yang beriman
seperti Nabi Muhammad.

Para ulama berpendapat bahwa kebenaran adalah konsistensi dengan kebenaran yang lain.
Dengan cara ini, umat Muslim tidak akan mudah menulis "Allah adalah ...", karena tidak ada satu hal
pun yang dapat disetarakan dengan Allah, akan tetapi harus dapat mengerti dengan hati dan
keterangan Al-Qur'an tentang Allah ta'ala. Pembahasan berikut hanyalah pendekatan yang
disesuaikan dengan konsep akal kita yang sangat terbatas ini. Semua kata yang ditujukan
pada Allah harus dipahami keberbedaannya dengan penggunaan wajar kata-kata itu. Allah itu tidak
dapat dimisalkan atau dimiripkan dengan segala sesuatu, seperti tercantum dalam surat Al-Ikhlas.

B.     Rumusan Masalah

Uraikan dan menjelaskan Asma’ul Husna (Al-Wakil)

C.    Tujuan

Menguraikan dan menjelaskan Asma’ul Husna (Al-Wakil)


PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN ASMA`UL HUSNA

Menurut bahasa, Asma`ul husna artinya nama-nama yang baik. Sedangkan menurut istilah
berarti nama-nama Allah yang baik dan yang agung sesuai dengan sifat-sifat Allah sebagai bukti
keagungan dan kemuliaan-Nya, jumlahnya ada 99 (sembilan puluh sembilan) nama.Allah berfirman
dalam QS. Al-A`raf : 180

Artinya : "Allah mempunyai Asma`ul husna maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut
Asma`ul husna itu." (QS. Al-A`raf:180) Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Asma`ul husna jumlahnya
99, sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis

berikut : 

Artinya : "Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang
satu, barang siapa menghafalnya (menyebut di luar kepala) niscaya ia akan dimasukkan ke dalan
surga." (HR. Imam Bukhari)

B.     AL-WAKIL

Kata Al-Wakiil terambil dari akar kata “wakala” yang pada dasarnya bermakna “
pengandalan pihak lain tentang urusan yang seharusnya ditangani oleh yang mengandalkan ”.
Demikian Ibnu Faris. Siapa yang diwakilkan atau diandalkan peranannya dalam satu urusan,
maka perwakilan tersebut boleh jadi menyangkut hal-hal tertentu dan boleh jadi juga dalam
segala hal. Allah dapat diandalkan dalam segala hal. “ Dia (Allah) atas segala sesuatu menjadi
wakiil”. (Q.s. Al-An’am 6:102). Yang diwakilkan boleh jadi wajar untuk diandalkan karena
adanya sifat-sifat dan kemampuan yang dimiliki, shingga menjadi tenang hati yang
mengandalkannya dan boleh jadi juga yang diandalkan itu tidak sepenuhnya memiliki
kemampuan bahkan dia sendiri pada dasarnya masih memerlukan kemampuan dari pihak lain
agar dapat diandalkan. Allah adalahwakiil yang paling dapat diandalkan karena Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu. Yang mewakilkan boleh jadi berhasil memenuhi semua harapan yang
diwakilkannya, sehingga yang mewakilkan merasa cukup denganwakiilnya itu, dan boleh jadi
juga tidak maka ketika itu yang mewakilkan mendambakanwakiil lain. Allah Maha Kuasa
memenuhi semua harapan yang mewakilkan-Nya, karena itu Dia menegaskan bahwa, “Cukuplah
Allah sebagaiwakiil”. (Q.s. An-Nisa 4:81). Bila seseorang mewakilkan orang lain (untuk suatu
persoalan), maka ia telah menjadikannya sebagai dirinya sendiri dalam persoalan tersebut,
sehingga yang diwakilkan (wakil) melaksanakan apa yang dikehendaki oleh yang menyerahkan
kepadanya perwakilan. Menjadikan Allah sebagai wakiil dengan makna yang digambarkan di
atas, berarti menyerahkan kepada-Nya segala persoalan. Dialah yang berkehendak dan
bertindak sesuai dengan “kehendak” manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.
Makna seperti ini dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih jauh. Dalam
hal ini, pertama sekali yang harus diingat adalah bahwa keyakinan tentang keesaan Allah
berarti antara lain bahwa perbuatan-Nya Esa, sehingga tidak dapat dipersamakan denga
perbuatan manusia, walaupun penamaannya mungkin sama. Sebagai contoh, Allah Maha
Pengasih (Rahim), Maha Pemurah (karim). Kedua sifat ini dapat dinisbahkan kepada manusia,
namun hakekat dan kapasitas rahmat dan kemurahan Tuhan tidak dapat dipersamakan dengan
apa yang dimiliki oleh manusia, karena mempersamakannya mengakibatkan gugurnya makna
keesaan itu. Allah Swt yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan, adalah Yang Maha Kuasa,
Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan segala Maha yang mengandung makna pujian yang wajar
untuk-Nya. Manusia, sebaiknya memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam segala hal. Kalau
demikian “perwakilan” yang diserahkan kepada-Nya berbeda dengan perwakilan manusia
kepada manusia yang lain. Benar bahwawakiil diharapkan/dituntut untuk dapat memenuhi
kehendak dan harapan yang mewakilkan kepadanya. Namun karena dalam perwakilan manusia
“seringkali” atau paling tidak “boleh jadi” yang mewakilkan lebih tinggi kedudukan dan atau
pengetahuannya dari sangwakiil, maka ia dapat saja tidak menyetujui/membatalkan tindakan
sangwakiil atau menarik kembali perwakilannya – bila ia merasa berdasarkan pengetahuan dan
keinginannya – bahwa tindakan tersebut merugikan. Ini bentuk perwakilan manusia. Tetapi jika
seseorang menjadikan Allah sebagai wakiil, maka hal serupa tidak akan dan tidak wajar terjadi,
karena sejak semula seseorang telah harus menyadari keterbatasannya dan menyadari pula
kamahamutlakan Alah Swt. Apakah ia tahu atau tidak tahu hikmah satu kebijaksanaan yang
ditempuh Allah, ia akan menerimanya dengan sepenuh hati karena, “Allah mengetahui dan
kamu sekalian tidak mengetahui”. (Q.s. Al-Baqarah 2:216). Ini salah satu segi perbedaan antara
perwakilan manusia terhadap Tuhan dan terhadap selain-Nya. Perbedaan yang kedua adalah
dalam keterlibatan yang mewakilkan. Jika anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan
sesuatu, maka anda telah menugaskannya melaksanakan hal tersebut. Anda tidak perlu atau
tidak harus lagi melibatkan diri. Dalam kamus-kamus bahasa, makna ini secara jelas
digarisbawahi. Dalam Kamus Almunjid misalnya diuraikan makna “mewakilkan” antara lain
berarti “menyerahkan, membiarkan serta merasa cukup” (pekerjaan tersebut dikerjakan oleh
seorang wakiil). Dalam hal menjadikan Allah Swt sebagai “wakil”, maka manusia masih tetap
dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya. Allah, jangan
dibiarkan bekerja sendiri selama masih ada upaya yang dapat dilakukan manusia. Kata
“tawakkal” yang juga berakar kata sama dengan “wakil, bukanya berarti penyerahan secara
mutlak kepada Allah, tetapi penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi.
Seorang sahabat Nabi menemui beliau di masjid tanpa terlebih dahulu menambatkan untanya.
Ketika Nabi Saw menanyakan tentang untanya, dia menjawab, Äku telah bertawakkal kepada
Allah”. Nabi meluruskan kekeliruannya tentang arti “tawakal” dengan bersabda, “’iqilha
Tsumma Tawakkal” (Tambatkanlah terlebih dahulu (untamu) kemudian setelah itu
bertawakkallah) (H.R. Attirmizi). Dalam Alqurán kata wakiila terulang sebanyak 13 kali,
Sembilan diantaranya merupakan perintah tegas atau tersirat untuk menjadikan Allah wakiila.
Di sisi lain perlu dikemukakan bahwa perintah menjadikan-Nya wakiil, kesemuanya dapat
dikatakan didahului oleh perintah melakukan sesuatu, baru disusul dengan perintah
bertawakkal. Perhatikan misalnya Q.s. Al-Anfal 8:61; “Dan jika mereka condong kepada
perdamaian, maka condonglah kepada-Nya dan bertawakkallah kepada Allah.” Demikian juga
Q.s. Hud 11:123; “Kepada-Nya dikembalikan segala persoalan maka sembahlah Dia dan
bertawakkallah kepada-Nya.” Dan yang lebih jelas lagi adalah Q.s. Al-Maidah 5:23; “Serbulah
mereka melalui pintu gerbang (kota), maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang
dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang
beriman.” Dari sini jelas bahwa agama bukannya menganjurkan perintah bertawakkal atau
menjadikan Allah sebagai “wakiil” agar seseorang tidak berusaha atau mengabaikan hukum-
hukum sebab akibat. Tidak! Islam hanya menginginkan agar ummatnya hidup dalam realita,
realita yang menunjukkan bahwa tanpa usaha tak mungkin tercapai harapan dan tak ada
gunanya berlarut dalam kesedihan jika realita tidak dapat diubah lagi. “Hadapilah kenyataan,
jika kenyataan itu tidak berkenan di hati anda atau tidak sesuai dengan harapan anda, maka
usahakanlah agar anda menerimanya.” Menjadikan-Nya sebagai “wakiil”, berarti seseorang
harus meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini.
Juga mengharuskan yang mengangkat-Nya sebagai wakiil agar menjadikan kehendak dan
tindakannya sejalan dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. karena dengan menjadikan-Nya
“Wakiil”, manusia tadi terlebih dahulu telah sadar bahwa pilihan Allah adalah pilihan terbaik.
Seorang muslim dituntut untuk berusaha, tapi dalam saat yang sama ia dituntut untuk berserah
diri kepada Allah, ia dituntut melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya
sebagaimana kehendak dan ketetapan Allah. Anda boleh berusaha dalam batas-batas yang
dibenarkan disertai dengan ambisi yang meluap-luap untuk meraih sesuatu, tetapi jangan
ketika anda gagal meraihnya anda meronta atau berputus asa serta melupakan anugerah Tuhan
yang selama ini telah anda capai. Seorang muslin berkewajiban menimbang dan
memperhitungkan segala segi sebelum ia melangkah kaki. Tetapi bila pertimbangannya keliru
atau perhitungannya meleset, maka ketika itu akan tampillah di hadapannya Alah Swt yang
dijadikannya “Wakiil”, sehingga ia tidak larut dalam kesedihan dan keputusasaan, karena
ketika itu ia sungguh yakin bahwa “Wakilnya” telah bertindak dengan sangat bijaksana dan
menetapkan untuknya pilihan yang terbaik. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia
amat baik bagimu dan boleh jadi (pula sebaliknya) kamu mencintai sesuatu padahal ia amat
buruk bagimu Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.s. Al-Baqarah 2:216).
Meneladani sifat Allah ini, menuntut anda untuk tidak menerima perwakilan, jika anda merasa
tidak akan mampu melaksanakannya, sehingga tidak wajar anda diandalkan. Sebaliknya jika
menerimanya maka hendaknya segala daya yang anda miliki anda gunakan untuk meraih yang
terbaik untuk yang mewakilkan anda. Demikian Wa Allah Álam. M Quraish Shihab, Menyingkap
Tabir IllahiKata Al-wakil mengandung arti Maha Mewakili atau Pemelihara. Al-Wakil yaitu Allah
SWT yang memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan
dunia maupun urusan akhirat.

Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 62 :

ْ ‫َي ٍء ۖ َوه َُو َعلَ ٰى ُك ِّل ش‬


‫َي ٍء َو ِكي ٌل‬ ُ ِ‫هَّللا ُ َخال‬
ْ ‫ق ُك ِّل ش‬
Artinya : “Allah SWT pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.”

Hamba Al-Wakil adalah yang bertawakkal kepada Allah SWT. Menyerahkan segala urusan
kepada Allah SWT melahirkan sikap Tawakal. Tawakal bukan berarti mengabaikan sebab-sebab dari
suatu kejadian. Berdiam diri dan tidak peduli terhadap sebab itu dan akibatnya adalah sikap malas.
Ketawakkalan dapat diibaratkan dengan menyadari sebab-akibat. Orang harus berusaha untuk
mendapatkan apa yang diinginkanya. Rosululloh SAW bersabda “Ikatlah untamu dan bertawakkalah
kepada Allah SWT.”

Manusia harus menyadari bahwa semua usahanya adalah doa yang aktih dan harapan akan
adanya pertolongan-Nya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-An’am ayat 102 :

ْ ‫َي ٍء فَا ْعبُدُوهُ َوه َُو َعلَى ُك ِّل ش‬


 ‫َي ٍء َو ِكي ٌل‬ ُ ِ‫ َذلِ ُك ُم هَّللا ُ َربُّ ُك ْم ال إِلَهَ إِال ه َُو َخال‬ 
ْ ‫ق ُك ِّل ش‬

Artinya : “(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah SWT Tuhan kamu; tidak ada
tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia dan Dia
adalah Pemelihara segala sesuatu.”

Contoh perilaku yang dapat diteladani dari Sifat Al-Wakiil adalah kita harus berusaha keras
dalam mengerjakan sesuatu. Setelah itu kita tawakal (menyerahkan hasilnya kepada Allah). Niscaya
Allah akan memberikan hasil yang baik.

MANFAAT

1.      Kita menjadi takut untuk melakukan perbuatan buruk.

2.      Kita menjadi orang yang selalu ingin berbuat baik.

3.      Dan kita selalu ingin beribadah kepada allah swt

D.    MENELADANI SIKAP AL-WAKIL

Dengan demikian, orang yang mempercayakan segala urusannya kepada Allah Swt., akan
memiliki kepastian bahwa semua akan diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Hal itu hanya dapat
dilakukan oleh hamba yang mengetahui bahwa Allah Swt. yang Mahakuasa, Maha Pengasih adalah
satu-satunya yang dapat dipercaya oleh para hamba-Nya. Seseorang yang melakukan urusannya
dengan sebaik-baiknya dan kemudian akan menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. untuk
menentukan karunia-Nya.

Menyerahkan  segala  urusan hanya kepada Allah Swt. melahirkan


sikap tawakkal. Tawakkal bukan berarti mengabaikan sebab-sebab dari      suatu    kejadian. Berdiam
diri dan tidak peduli terhadap sebab itu dan akibatnya adalah sikap malas. Ketawakkalan dapat
diibaratkan  dengan  menyadari sebab-akibat. Orang harus berusaha untuk mendapatkan  apa             
yang diinginkannya. Rasulullah bersabda, “Ikatlah untamu saw. dan bertawakkallah  kepada Allah
Swt.

Manusia harus menyadari bahwa semua usahanya adalah sebuah doa yang aktif dan harapan
akan adanya pertolongan-Nya. Allah Swt. berfirman yang artinya, “(Yang memiliki sifat-sifat yang)
demikian itu ialah Allah Swt. Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia;
Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.“ (Q.S. al-
An’am ayat 6:102)
Hamba al-Wakil  adalah yang bertawakkal kepada Allah Swt. Ketika hamba tersebut telah
melihat “tangan” Allah Swt. dalam sebab-sebab dan alasan segala sesuatu, dia menyerahkan seluruh
hidupnya di tangan al-Wakil.

KESIMPULAN

Asma`ul husna artinya nama-nama yang baik. Sedangkan menurut istilah berarti nama-nama
Allah yang baik dan yang agung sesuai dengan sifat-sifat Allah sebagai bukti keagungan dan
kemuliaan-Nya

Kata Al-wakil  mengandung arti Maha Mewakili atau Pemelihara. Al-Wakil yaitu Allah SWT yang
memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan dunia maupun
urusan akhirat.

Anda mungkin juga menyukai