Fiqih
Fiqih
Di
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK : 2
NAMA : ALFIONI ADITIYA
EFI SUKMAYANI
TURSINA NUR AKMALIA
UNIT/SEMESTER : III/I
PRODI : S-1 HES
MATA KULIAH : FIQIH
DOSEN : MUSLIADI FARDAN,M.SH
Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Fiqih, selain itu tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk memperdalam wawasan terhadap cakupan pembahasan
taklif dan mukallaf dan wadhi. Salah satu pembahasan yang sangat penting dalam Islam.
Meskipun kami berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan,
namun pasti selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata, kami berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Kelompok II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………...…... i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………...…………………………….……………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………..………………………………………………….. 1
C. Tujuan………………………………………………..………………........................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Mukallaf Dan Pembagiannya…………………….…….………………………. 2
B. Hukum Wadhi Dan Pembagiannya………………………………..………………………….. 5
C. Hukum Taklifi Dan Pembagiannya…………………….……..…………………………….. 9
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Mukallaf dan sebutkan pembagianya?
2. Apa pengertian Wadhi dan sebutkan pembagiannya?
3. Apa pengertian Taklifi dan sebutkan pembagiannya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Mukallaf dan pembagianya?
2. Untuk mengetahui pengertian Wadhi dan pembagiannya?
3. Untuk mengetahui pengertian Taklifi dan sebutkan pembagiannya?
BAB II
PEMBAHASAN
داوو وccوأب البخاري )رواه يفيق حتي المجنون وعن يحتلم حتي الصبي عن و يستيقظ حتي النائم عن :ثالث عن القلم رفع
”)والدارقطني ماجة وابن والنسائ والترمذي د
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai bangun, anak kecil
sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”
”(والطبراني ماجة ابن (رواه له استكره وما والنسيان الخطأ عن أمتي رفع
“Beban hukum diangkat dari umatku apabila mereka khilaf, lupa dan terpaksa”.
2. Pembagian
Ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf atau
masuk sebagai predikat mukallaf terdapat dua syarat:
a. Orang tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklîf. Ini dikarenakan taklîf itu
adalah khitâb, sedangkan khitâb orang yang tidak memiliki akal dan tidak faham itu jelas
tidak mungkin ()محال. Kemampuan memahami itu hanya dengan akal, karena akal itu
adalah alat untuk memahami dan menemukan ide ()اإلدراك. Hanya saja akal itu adalah
sebuah perkara yang abstrak ()الخفية. Maka al-Syâri’ sudah menentukan batas taklîf
dengan perkara lain yang jelas dan berpatokan ( )منضبطyaitu sifat baligh seseorang. Sifat
baligh itu adalah tempat pemikiran akal yaitu mengetahui baik, buruk, manfaat, dan
bahaya. Maka orang yang gila dan anak kecil tidak termasuk mukallaf karena tidak
memiliki kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami dalil taklîf. Begitu juga
dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk seperti hadis yang di atas.
b. Seseorang telah mampu bertindak hukum/mempunyai kecakapan hukum ()أهلية. Secara
istilahi, ahliyyah didefinisikan sebagai: “Kepatutan seseorang untuk memiliki beberapa
hak dan melakukan beberapa transaksi”.
Dari sini, ulama membagi sifat ahliyyah menjadi dua jenis, yaitu: Ahliyyah Wujûb dan
Ahliyyah Adâ`.
a. Ahliyyah Wujûb
Definisi Ahliyyah Wujûb adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak
yang menjadi haknya tetapi belum cukup untuk dibebani seluruh kewajiban. Dasar adanya
kecakapan ini adalah adanya kehidupan / nyawa
Kecakapan semacam ini menurut ulama Fiqh disebut “”ذمة, yaitu suatu sifat yang secara
hukum menjadikan seseorang dapat bertindak dan menerima kewajiban tertentu. Untuk
menentukannya adalah berdasarkan sifat kemanusiaannya ( )إنسانيةyang tidak dibatasi umur,
baligh atau tidak, cerdas atau tidak. Semenjak seseorang dilahirkan dan hidup di dunia
sampai meninggal dunia, ia telah memiliki sifat kecakapan ini. Kecakapan ini akan hilang
apabila nyawanya hilang atau meninggal dunia.
Para ulama usul fiqh membagi Ahliyah al-Wujûb ini menjadi dua bagian:
1) Ahliyyah al-Wujûb al-Nâqishah (الناقصة وبccالوج ةcc)أهلي, yaitu: ketika seseorang masih
berada di dalam kandungan ibunya. Janin dianggap memiliki Ahliyyah al-Wujûb yang
belum sempurna karena hak-hak yang harus diterimanya belum dapat menjadi miliknya
secara sempurna sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat. Terdapat empat macam hak
seorang janin yang masih di dalam kandungan, yaitu:
Hak keturunan ayahnya.
Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.
Wasiat yang ditujukan kepadanya.
Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
2) Ahliyyah al-Wujûb al-Kâmilah (الكاملة الوجوب )أهلية, yaitu kecakapan menerima hak bagi
seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan berakal walaupun masih
kurang sempurna. Pada periode ini, seseorang telah menerima kewajiban-kewajiban
tertentu, seperti kewajiban untuk menjaga harta orang tuanya, kewajiban agama yang
berkaitan dengan hartanya seperti zakat, dan kewajiban membayar ganti rugi yang
diambil dari hartanya apabila ia telah merusakkan harta orang lain.
b. Ahliyyah Adâ`
Ahliyyah al-`Adâ` juga terbagi menjadi dua:
1) Ahliyyah al-`Adâ` al-Nâqishah (الناقصة األداء ةcc )أهليyaitu, ketika seseorang masih kecil
sampai dengan mencapai masa baligh dan berakal secara sempurna. Pada periode ini
tindakan atau perbuatan hukum seseorang dalam hal-hal tertentu dianggap sah, seperti
transaksi-transaksi yang semata-mata menguntungkan.
2) Ahliyyah al-`Adâ` al-Kâmilah (الكاملة األداء )أهليةyaitu, periode di mana seseorang telah
baligh dan berakal sempurna. Pada periode ini seluruh tindakan atau perbuatan hukum
seseorang harus dipertanggung jawabkan, baik melaksakan tuntutan Syari’ maupun
meninggalkan tuntutan-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Transaksi-transaksi yang
dilakukannya juga mengikat secara sempurna. Perpindahan seseorang dari periode
sebelumnya menuju periode ini ditandai secara fisik, bagi laki-laki apabila telah mimpi
basah dan bagi wanita apabila telah haid.
Sedangkan dilihat dari segi obyeknya, maka halangan kecakapan dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk:
1) Halangan kecakapan yang mengakibatkan kecakapan berbuat hukum secara sempurna (
األداء )أهليةakan hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa.
2) Halangan kecakapan yang dapat mengurangi kecakapan berbuat hukum secara sempurna
(األداء )أهلية, seperti dungu.
3) Halangan kecakapan yang dapat mengubah sebagian kecakapan berbuat hukum secara
sempurna (األداء )أهلية, seperti orang yang berhutang, pailit, di bawah pengampuan, khilaf,
dan tolol.
B. Hukum Wadhi Dan Pembagiannya
1. Pengertian
Sebelumnya telah disinggung secara umum, yang dimaksud dengan hukum wadh'i adalah
sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain, menjadi syarat
baginya, penghalang baginya atau sebagai keringanan baginya.
2. Pembagian
Hukum wadh'i terbagi dalam lima bagian, di antaranya : sebab, syarat, mani', rukhshah
dan 'azimah, sah dan bathal.
a. Sebab dan macamnya
Sabab secara lughowi berarti sesuatuyang dapat menyampaikan kepada apa yang
dimaksud. Dalam arti istilah dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:[8]
زَ ُم ِم ْنMMب اَوْ ْال ُح ْك ِم َويَ ْل
ِ َّْث يَ ْل َز ُم ِم ْن ُوجُوْ ِد ِه ُوجُوْ ُد ْال ُم َسب
ُ ع اَ َما َرةً ِل ُوجُوْ ِد ْال ُح ْك ِم بِ َحي ِ ضبِطُ الَّ ِذىْ َج َعلهُ ال َّش
ُ ار َ اَالَ ْم ُر الظَّا ِه ُر ْال َم ْن
ب اَوْ ْال ُح ْك ِم
ِ ََّع َد ِم ِه َع َد ُم ْال ُم َسب
Artinya : Sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda
adanya hukum, lazim dengan adanya hukum itu ada hukum dan dengan tidak adanya,
tidak ada hukum.
Macam-macam sebab:
1) Sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf
Sebab yang di jadikan Allah SWT.sebagai pertanda atas adanya hukum.kita tidak
dapat mengetahui kenapa hal itu yang dijadikan pertanda untuk hukum oleh Allah
SWT. Umpamanya tergelincirnua matahari menjadi sebab masuknya waktu zuhur
sebagaimana firman Allah dalam surat Al Isra:78
2) Sebab yang berasal dari perbuatan manusia
Sebab dalam bebtuk perbuatan mukallaf yang ditetapkan oleh pembuat hukum akibat
hukumnya. Artinya, perbuatan mukallaf yang nyata dijadikan pertanda adanya hukum.
Umpamanya keadaan dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya meng-
qasar shalat. Perjalanan itu disebut sebab ia adalah perbuatan mukallaf yang
dilakukannya dengan sadar dalam kemampuannya. Akibat adanya sebab ini dijadikan
Allah adanya rukhsah melakukan shalat.
b. Syarat dan macamnya
Abu zahrah mengemukakan definisi Syarat yang lebih mudah dimengerti, yaitu:
[9]
يَ ْل َز ُم ِم ْن ُوجُوْ ِد ِه ُوجُوْ ُد ْال ُح ْك ِم َ َوال،اَالَ ْم ُر الَّ ِذىْ يَتَ َوقَّفُ َعلَ ْي ِه ُوجُوْ ُد ْال ُح ْك ِم يَ ْل َز ُم ِم ْن َع َد ِم ِه َع َد ُم ْال ُح ْك ِم
Artinya : Sesuatu yang tergantung kepadanya adanya huku; lazim dengan tidak adanya,
tidak ada hukum, tapi tidaklah lazim dengan adanya, ada hukum.
Dari satu segi, syarat sama dengan sebab, yaitu “hokum tergantung kepada
adanya”, sehingga bila ia tidak ada, maka pasti hokum pun tidak ada. Perbedaan antara
keduanya terdapat pada adanya sebab atau syarat itu. Pada sebab, keberadaannya
melazimkan adanya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu adanya hukum.
Contohnya syarat wali dalam pernikahan yang menurut jumhur ulama merupakan
syarat. Dengan tidak adanya wali pasti nikah tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali
belum tentu nikah itu sah karena masih ada syarat lain seperti saksi, akad, dan lainnya.
Contoh sebab umpamanya masuk waktu bagi datangnya kewajiban shalat; dan dengan
masuknya waktu pasti dating kewajiban shalat.
Syarat itu ada tiga bentuk:
1) syarat ‘aqly ( )الشرط العقلى
Seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya paha menjadi
syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
2) syarat ‘ady ( )الشرط العادى
Berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti bersentuhnya api dengan barang
yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.
3) syarat syar’I ( )الشرط الشرعى
Syarat berdasarkan penetapan syara’, seperti sucinya badan menjadi syarat untuk
shalat. Nisab menjadi syarat wajibnya zakat. Bentuk yang ketiga inilah yang menjadi
pokok pembahasan di sini.
c. Mani' dan macamnya
ب اَ ِو ْال ُح ْك ِم
ِ َض ْال َم ْقصُوْ َد ِمنَ ال َّسب
َ اَ ْم ُر ال َّشرْ ِع ِّي الَّ ِذىْ يُنَافِ ْي ُوحُوْ ُدهُ ْال َغ َر
Artinya : Sesuatu yang dari segi hukum, keberadaannya meniadakan tujuan dimaksud
dari sebab atau hukum.
Telah dijelaskan bahwa sebab mempunyai kaitan erat dengan hokum yang
menjadi akibat dari sebab itu. Artinya, bila sudah terdapat seba, maka hokum pun pasti
ada. Keberadaan hokum pun masih bergantung kepada hal-hal lain yang harus di penuhi
untuk sahnya kelangsungan hokum itu.
Meskipun sudah terdapat sebab dan terpenuhi syarat belum tentu dapat dipastikan
berlangsungnya hokum, karena mungkin ada hal-hal lain yang menyebabkan sebabnya
menjadi tidak berarti atau hukumnya dianggap tidak terlaksana. Umpamanya hubungan
kerabat dengan seseorang yang mati menyebabkan berlakunya suatu hokum, yaituhak
kewarisan. Tetapi bila kematian yang mati itu disebabkan oleh perbuatan kerabatnya
yang hidup itu, maka hubungan kewarisan tidak berlaku. Perbuatan pembunuhan itu
dinamai mani’ atau penghalang terhadap kelangsungan hokum.
Dari definisi di atas tersebut ada dua macam mani’ bila dilihat dari segi sasaran
yang dikenai pengaruhnya, yaitu:
1) Mani' yang berpengaruh terhadap sebab, dalam arti adanya mani’ mengakibatkan
“sebab” tidak dianggap berarti lagi. Dengan tidak berartinya sebab itu dengan
sendirinya musabab atau hukumpuntidak akan ada karena dia mengikut kepada sebab.
Umpamanya dalam masalah “utang”. Keadaan berutang itu menyebabkan kekayaan
se-nisab yang menjadi sebab diwajibkanya zakat tidak lagi perlu diperhatikan.
2) Mani' yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak adanya hukum meskipun
ada sebab yang mengakibatkan adanya hukum. Umpamanya keadaan pembunuh
adalah ayah si korban menghalangi atau menolak berlakunya
hukum qishash meskipun sebab untuk adanya hukum qishash yaitu pembunuhan tetap
berlaku dalam kasus ini. Semestinya dengan adanya sebab itu (pembunuhan), tentu ada
hukumnya (wajib qishash). Namun hukum dalam hal ini tidak ada karena
adanya mani’ (si pembunuh adalah ayah si korban), sebagaimana hadits Nabi yang
berbunyi: “Tidaklah diqishash seseorang ayah karena membunuh anaknya”
d. Rukhshah dan 'Azimah serrta macamnya
1) Rukhshah
Yang dimaksud dengan rukhsah adalah perturan-peraturan yang tidak dilaksanakan
karena adanyahal-hal yang memberatkan dalam menjalankan ‘azimah. Dengan kata
lain, rukhsah ialah pengecualian hukum-hukum pokok (‘azimah).[10]
َما ُش ِر َع ِمنَ ااْل َحْ َك ِام للتخفيف عن العباد فياحوال خاصة
Artinya: Hukum-hukum yang disyari'atkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam
keaadan tertentu.
Rukhsah diberikan oleh syari’ sebagai keringanan bagi mukallaf sehingga mereka
bebas memilih antara ‘azimah dan rukhsah. Namun, adakalanya pula rukhsah itu
diwajibkan melaksanakannya bila hal itu berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan
lain. Ulama Ushul Fiqih mengelompokkan rukhsah menjadi empat bagian, yaitu:[11]
a) Pembolehan sesuatu yang dilarang (diharamkan) dalam keadaan darurat atau karena ada
hajat yang sangat mendesak sebagai keringanan bagi mukallaf. Misalnya, barang siapa
yang dipaksa mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan, dibolehkan baginya
mengucapkan kata-kata tersebut selama hatinya tetap beriman kepada Allah. Hal ini
sesuai dengan firman Allah: (QS. An Nahl:106)
b) Pembolehan meninggalkan yang wajib karena udzur, dimana jika melaksanakan
kewajiban itu akan menimbulkan kesulitan bagi si mukallaf. Misalnya, orang sakit atau
sedang bepergian dibolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Ini sesuai dengan
firman Allah (QS. Al Baqarah: 184)
c) Pemberian pengecualian sebagian berkaitan karena menyangkut kebutuhan masyarakat
dalam kehidupan muamalat (sehari-hari). Misalnya, transaksi jual –beli yang belum ada
pada saat perikatan diadakan, tapi harganya sudah dibayar terlebih dahulu. Pada
prinsipnya, jual-beli seperti ini tidak memenuhi persyaratan umum untuk sahnya suatu
transaksi jual-beli yaitu barang yang akan diperjualbelikan itu ada di saat transaksi
dilakukan, tetapi karena hal itu berlaku dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat maka
perikatan tersebut disahkan secara rukhsah. Ini sesuai dengan hadits Nabi:
عن بيع اإلنسان ما ليس عنده: صلى هللا عليه وسلم نهى رسول هللا
و رخص فى السلم
Artinya : “Rasul melarang manusia menjual sesuatu yang ada bersamanya disaat
transaksi, namun beliau memberi dispensasi untuk jual beli pesanan”
d) Pembatalan hukum-hukum yang merupakan beban yang memberatkan bagi umat
terdahulu, misalnya kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat seperempat harta, tidak
boleh shalat selain di masjid, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lagi berlaku
terhadap umat islam, sebagai rukhsah bagi mereka. Karena itu, kalau ketentuan bagi umat
terdahulu itu diberlakukan bagi umat islam, mereka akan banyak sekali menemukan
kesulitan yang memberatkan.hal ini diisyaratkan oleh Allah dalam (QS. Al Baqarah: 286)
2) ‘Azimah
شرع من االحكام الكلية ابتداء ما
Artinya : Suatu ketentuan yang sejak semula disyari'atkan sebagai ketentuan hukum yang
umum
Yang dimaksud ‘azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri atas
hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap mukallaf
dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau pertimbangan lain)
yang mendahuluinya. Misalnya, bangkai- menurut hukum asalnya- adalah haram
dimakan oleh semua orang. Ketentuan ini disebut juga dengan hukum pokok.[12]
3) Hukum ‘Azimah dan Rukhsah
Selama tidakada hal-halyang menyebabkan adanya rukhsah seorang mukallaf
diharuskan mengambil ‘azimah, karena memang begitulah ketentuan-keentuan pokok
dari Allah dalam mensyari’atkan peraturannya. Namun, bila ada hal yang memberatkan
sehingga menimbulkan kefatalan, dibolehkan mengambil rukhsah. Misalnya, seseorang
yang dalam keadaan terpaksa dibolehkan memakan bangkai, yang hokum asalnya adalah
haram. Artinya, dalam keadaan normal seseorang diwajibkan untuk tidak memakan
bangkai sehingga memakan bangkai itu hukumnya haram bagi orang tersebut. Maka
dengan sendirinya hukum rukhsoh tersebut adalah mubah. Ketentuan ini terdapat dalam
firman Allah dalam surat Al-Baqarah:173
e. Sah dan Bathal
1) Sah
Sah secara harfiah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur kewajiban dunia
serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Umpamanya shalat yang dilaksanakan
sesuai dengan yang diperintahkan syara’, jadi sah juga berarti suatu perbuatan yang
dibebankan kepada mukallaf sudah ditetapkan rukun dan syaratnya dan perbuatan itu
harus disesuaikan dengan perintah Allah dan tidak dilanggar.
2) Bathal
Batal merupakan kebalikan dari sah, yang dapat diartikan tidak melepaskan
tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan di akhirat pun tidak
memperoleh pahala. Setiap perbuatan yang kurang rukun dan syaratnya serta
bertentangan dengan ketentuan syara’ dinamakan batal.
A. Kesimpulan
Fiqih adalah istilah lain yang digunakan untuk menyebut hukum Islam. Hukum fiqih, sebagai
hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan kongkrit, mungkin berubah dari masa
kemasa dan mungkin pula berbeda dari satu tempat ketempat lain.
Ushul Fiqih meninjau hukum syara' dari segi methodologinya dan sumber-sumbernya,
sementara ilmu fiqih meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah
yang berhubungan dengan pebuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha' (tuntutan
perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh'i (sebab akibat). Yang dimaksud
dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang
berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib,
sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan-ungkapan lain yang
dijelaskan pada pembahasan berikut. Kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul
Fiqih.
B. Saran
Semoga Makalah ini dapat menambah sedikit ilmu kita tentang apa-apa saja Hukum Syara’
dan semoga kita dapat mengambil mamfaatnya. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun sudah
berusaha memaparkan dan menjelaskan materi dengan semaksimal mungkin, tapi tidak menutup
kemungkinan adanya kekeliruan dalam penyusunannya, baik dari segi materi, maupun
penyusunannya, oleh karena itu penyusun mengharapakan pembaca untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya, dan harapan bagi penyusun, semoga makalah ini dapat memberi manfaat
dalam proses evaluasi pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
http://tafsirhadits2012.blogspot.com/2013/05/hukum-syari-dan-pembagiannya.html