Anda di halaman 1dari 37

PRESENTASI KASUS

SEORANG WANITA 35 TAHUN DENGAN GANGGUAN PSIKOSOMATIS

Pendamping

dr. Kemalasari

Disusun Oleh

dr. Willdania Yolanda

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

DEPARTEMEN KESEHATAN KABUPATEN SEMARANG

RSUD AMBARAWA
2018
LAPORAN KASUS

Topik : Psikiatri

Kasus : Psikosomatis

Oleh : dr. Willdania Yolanda

Pendamping : dr. Kemalasari

Objektif : Medik

Deskripsi : Seorang wanita 35 tahun dengan keluhan nyeri ulu hati


Tujuan : Mampu mengidentifikasi dan melakukan pengelolaan pada kasus
psikosomatis

Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka dan Kasus

Cara Membahas : Diskusi

Ambarawa,
Pendamping dokter internship,

dr. Kemalasari
BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan psikosomatis adalah faktor psikologis yang merugikan, mempengaruhi


kondisi medis pasien. Faktor psikologis tersebut dapat berupa gangguan mental, gejala
psikologis, sifat kepribadian atau gaya mengatasi masalah, dan perilaku kesehatan yang
maladaptif.
Kurang lebih 400 tahun SM ahli filsafat Hipocrates sudah mengutarakan pentingnya
peran faktor psikis pada penyakit. Pada abad pertengahan Paracelcus seorang ahli kimia
menyatakan bahwa kekuatan batin memiliki pengaruh terhadap kekuatan seseorang.
Menurut The National Academy Science tahun 1978 definisi psikosomatis adalah
bidang interdisiplin yang memperhatikan perkembangan dan integrase ilmu pengetahuan
prilaku, biomedis dan Teknik yang relevan dengan kesehatan dan penyakit serta penerapan
pengetahuan, dan Teknik-teknik tersebut untuk mencegah, mendiagnosis dan rehabilitasi.
Kedokteran psikosomatis menyadari kesatuan dari pikiran dan tubuh serta interaksi
diantara keduanya, dimana faktor psikologis penting dalam perkembangan semua penyakit,
namun apakah peranannya dalam memulai, perkembangan, memperberat dan eksaserbasi
penyakit, predisposisi atau reaksi terhadap suatu penyakit masih dalam perdebatan.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. T
Tanggal lahir : 24 Juni 1983
Usia : 35 tahun
Alamat : Banyubiru, Kab. Semarang
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Status pernikahan : Menikah
Tanggal masuk RS : 02 Juni 2018

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Lemas dan nyeri ulu hati
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang wanita berusia 35 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa diantar keluarga
dengan keluhan lemas dan nyeri ulu hati sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan nyeri perut muncul disertai keluhan mual, lemas, dan mulut terasa kering. Mual
tidak disertai muntah. Keluhan demam, pusing, batuk, pilek, sesak, nyeri pinggang, dan
gangguan BAB dan BAK disangkal. Pasien merasa sangat kesakitan sehingga diputuskan
untuk dirawat di bangsal untuk mendapat terapi lebih lanjut. Pasien selalu bertanya-tanya
mengapa ia selalu kesakitan seperti ini dan sampai menangis ketika diwawancara.
Pasien sebelumnya sudah berobat ke Poliklinik, tetapi masih mengeluh nyeri perut dan
mual tidak kunjung hilang meskipun sudah diberikan obat-obatan. Pasien mengatakan
dirinya sudah sering di rawat inap namun keluhan masih tetap muncul.
Pasien mengaku sedang berobat di psikiatri 1 bulan yang lalu di RSUD Ambarawa atas
saran dokter yang merawat sebelumnya dikarenakan kecemasannya dan pasien sering
sulit tidur.
Pasien mengaku keluhan seperti ini sering sekali dirasakan dan susah hilang jika sudah
kambuh. Keluhan sampai menganggu aktivitas. Menurut suami pasien, pasien seperti ini
saat suaminya berhenti bekerja, terdapat permasalahan ekonomi dan pasien tidak dapat
menyelesaikan pekerjaannya sebagai tukang jahit, sementara para pelanggan pasien telah
menagih baju yang dijahit oleh pasien.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sering bolak-balik ke dokter hingga ke Semarang dan pernah menjalani
endoskopi dan USG karena ingin mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Dari hasil
endoskopi normal, dan pemeriksaan USG normal. Kelainan yang ditemukan pada
pemeriksaan tidak sebanding dengan keluhan yang dirasakan pasien.
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat penyakit hati : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat asam urat : disangkal
Riwayat kolesterol : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat maag : disangkal
Riwayat penyakit kuning : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit kuning : disangkal
5. Riwayat Pengobatan
Pasien mengatakan belum mengobati keluhannya.
6. Riwayat Pribadi
Riwayat olahraga : senam setiap pagi gerakan kecil dengan
durasi 10 menit
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minuman beralkohol : disangkal
Riwayat sosial dan ekonomi : pasien seorang pekerja swasta dengan
pembayaran medis menggunakan BPJS
NON PBI kelas III.
Riwayat gizi : Dalam sehari pasien makan sebanyak 3 kali
sehari dengan menu cukup.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis (GCS E4M6V5)
3. Status gizi : Kesan gizi (cukup)
4. Vital sign :
a. TD : 120/83 mmHg
b. Nadi : 83 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
c. RR : 24 x/menit
d. Suhu : 36,50C
e. SPO2 : 99 %
5. Warna kulit : sawo matang, ikterik (-),
6. Kepala : Mesosefal
a. Mata : Conjungtiva anemis -/- sklera ikterik -/-
Pupil isokor 3mm/3mm, bulat central reguler
Reflek pupil direk +/+ indirek +/+
b. Hidung : Nafas cuping (-), deformitas (-), sekret (-),
darah (-)
c. Telinga : Serumen +/+ sedikit, sekret -/-
d. Mulut : Bibir sianosis (-), pucat (-), stomatitis (-)
Lidah kotor (-), tremor (-), uvula ditengah, tonsil
T1-T1 hiperemis (-), faring hipermis (-)
e. Leher : Kelenjar getah bening (N), JVP: + normal,
kelenjar tiroid (N)
7. Thoraks :
a. Cor
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi :Pulsus epigastrium (-), pulsus parasternal (-),
sternal lift (-), thrill (-)
3) Perkusi :
a) Atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
b) Pinggang jantung : ICS 3 linea parasternal sinistra
c) Kanan bawah : ICS 5 linea sternalis dextra
d) Kiri bawah : ICS 5, 2 cm medial linea mid
clavicula sinistra
4) Auskultasi
BJ I – II normal, regular, gallop (-), murmur (-)

b. Thorax – Pulmo
ANTERIOR POSTERIOR

Inspeksi

Statis Normochest, simetris Normochest, simetris

Dinamis Hemithorax dex = sin Hemithorax dex = sin


ICS tidak melebar / ICS tidak melebar /
menyempit menyempit
RR 24x/menit RR 24x/menit

Palpasi Gerakan dada simetris Gerakan dada simetris


Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Taktil Fremitus Taktil Fremitus melemah
melemah

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi Vesikuler Vesikuler

c. Abdomen
1) Inspeksi
Tampak datar, massa (-), sikatrik (-), warna sama seperti kulit sekitarnya
2) Auskultasi
Peristaltik (+) normal
3) Perkusi
Timpani di seluruh lapang abdomen, shifting dullnes (-)
4) Palpasi
Nyeri tekan ulu hati (+), massa (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal
tidak mengalami pembesaran.
8. Ekstremitas
Ekstremitas Ekstremitas
Superior Inferior

Kekuatan 5/5 5/5

Gerakan Bebas / Bebas Bebas / Bebas

Oedem -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Akral dingin -/- -/-

Capillary reffil < 2 detik < 2 detik


time

Palmar eritem -/- -/-

D. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 11.3 g/dl 13,2 – 17,3
Leukosit 9.8 Ribu 3.8-10.5
Eritrosit 5.31 Juta 4.4-5.9
Hematokrit 43.0 % 40 – 52
Trombosit 315 Ribu 150 – 400
MCV 60.9 L fL 82 – 95
MCH 26.9 L Pg 27 – 32
MCHC 33.3 g/dl 32 – 37
RDW 12.7 % 10-16
MPV 6.97 Mm3 7-11
Eosinofil 0.011 L 103/ul 0.04 - 0.8
Basofil 0.052 103/ul 0 – 0.2
Netrofil 4.5 103/ul 1.8-7.5
Limfosit 1.18 103/ul 1.0-4.5
Monosit 0.225 103/ul 0.2-1.0
PCT 0.305 % 0.2-0.5
PDW 18.3 % 10-18

E. Initial Plan
 Diagnosis Kerja Sementara
Gangguan Psikosomatis
 Diagnosis Multiaksial
Axis 1 : F45 Gangguan Somatisasi
Axis 2 : Tidak ada kelainan
Axis 3 : Tidak ada kelainan
Axis 4 : Masalah ekonomi dan pekerjaan
Axis 5 : GAF 71-80
 Initial Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium
 Initial terapi
o Farmakologi
a. Infus RL 20 tpm
b. Inj. Omeprazole 1 amp/12 jam
c. Inj. Ondancetron 1 amp/12 jam
o Anjuran terapi selain obat-obatan:
 Menjelaskan kepada pasien bahwa keluhan yang dialami tak separah
yang diperkirakan
 Psikoterapi
 Reedukasi: meluruskan pendapat pasien yang salah, beri keyakinan,
pengertian tentang penyebab penyakit
 Komitmen agama & pengamalannya
o Pendukung:
 Perbaiki kondisi sosial ekonomi, rumah tangga, pekerjaan
 Tunjukkan jalan keluar permasalahan
 Psikoterapi terhadap orang di sekitarnya
 Initial Monitoring
a. Evaluasi keadaan umum
6. Edukasi
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang sakit yang dialami pasien dan
pengobatan yang harus dijalani
Follow up
Tanggal Perjalanan Penyakit Planning
3 Juni 2018 S : nyeri ulu hati (+) mual (+) P:
O : KU/Kes : tampak lemas, CM - Infus RL 20 tpm
TTV : - Inj. Omeprazole 1 amp/12
- TD : 120/70 mmHg jam
- N : 88 x/menit - Inj. Ondancetron 1
- RR: 24 x/menit amp/12jam
- S: 36,5 0C
- SpO2 : 89%
A:
Dyspepsia
Gangguan Psikosomatik

4 Juni 2018 S : nyeri ulu hati (-) mual (-)


O : KU/Kes : apneu P:
TTV : Omeprazole 2x1 tab
- TD : 110/70 mmHg Ondancetron 2x1 tab
- N : 80x/menit
- RR: 24x/menit
- S: 36,5 0C
- SpO2 : 98%
A:
Dyspepsia
Gangguan psikosomatis

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Hubungan antara psikis (jiwa) dan soma (badan) telah menjadi perhatian para ahli dan
para peneliti sejak dahulu. Keduanya (psikis dan soma) saling terkait secara erat dan tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kedua aspek saling mempengaruhi yang
selanjutnya tercermin dengan jelas dalam ilmu kedokteran psikosomatik. 1
Di masa prasejarah masyarakat percaya bahwa penyakit disebabkan oleh kekuatan roh
jahat/setan. Oleh karena itu pengobatannya harus dilakukan dengan mantera-mantera. Di
masa peradaban kuno kemudian dipercaya bahwa pikiran memiliki kekuatan besar untuk
mempengaruhi badan, sehingga gangguan pada badan tidak bisa disembuhkan tanpa
mengobati kepalanya (pikiran).1
Dalam perkembangannya tidak hanya aspek fisis dan psikis saja yang menjadi titik
perhatian, tetapi juga aspek spiritual (agama) dan lingkungan merupakan faktor yang harus
diperhatikan untuk mencapai keadaan kesehatan yang optimal. Hal ini sesuai dengan definisi
WHO tentang pengertian sehat yang meliputi kesehatan fisis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Jadi mempunyai 4 dimensi yaitu bio-psiko-sosio-spiritual.1
Dalam pengertian kedokteran psikosomatik secara luas, aspek bio-psiko-sosio-spiritual
tersebut sangat perlu dipahami untuk melakukan pendekatan dan pengobatan terhadap pasien
secara holistic (menyeluruh) dan ekliktik (rinci) yaitu pendekatan psikosomatik.1
Gangguan psikosomatik ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-gejala yang
menyerupai penyakit fisis dan diyakini adanya hubungan yang erat antara suatu peristiwa
psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-gejala tersebut. Ada juga yang memberikan
batasan bahwa gangguan psikosomatik merupakan suatu kelainan fungsional suatu alat atau
sistem organ yang dapat dinyatakan secara obyektif, misalnya adanya spasme, hipo atau
hipersekresi, perubahan konduksi saraf dan lain-lain. Keadaan ini dapat disertai adanya
organik/struktural sebagai akibat gangguan fungsional yang sudah berlangsung lama.1
Menurut JC. Heinroth yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik ialah adanya
gangguan psikis dan somatik yang menonjol dan tumpang tindih. Berdasarkan pengertian dan
kenyataan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik
adalah gangguan atau penyakit yang ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan somatik yang
dapat merupakan kelainan fungsional suatu organ dengan ataupun tanpa gejala objektif dan
dapat pula bersamaan dengan kelainan organik/ struktural yang berkaitan dengan stressor
atau peristiwa psikososial tertentu.1
Gangguan fungsional yang ditemukan bersamaan dengan gangguan struktural organis
dapat berhubungan sebagai berikut:
 Gangguan fungsional yang lama dapat menyebabkan atau mempengaruhi timbulnya
gangguan struktural seperti asma bronchial, hipertensi, penyakit jantung koroner, arthritis
rheumatoid dan lain-lain
 Gangguan atau kelainan struktural dapat menyebabkan gangguan psikis dan
menimbulkan gejala-gejala gangguan fungsional seperti pada pasien penyakit jantung,
penyakit kanker, gagal ginjal dan lain-lain.
 Gangguan fungsional dan struktural organik berada bersamaan oleh sebab yang berbeda.1
Dalam kenyataannya, di klinik jarang sekali faktor psikis/emosi seperti frustasi, konflik,
ketegangan dan sebagainya dikemukakan sebagai keluhan utama oleh pasien. Justru keluhan-
keluhan fisis yang beraneka ragam yang selalu ditonjolkan oleh pasien. Keluhan-keluhan
yang dirasakan pasien umumnya terletak di bidang penyakit dalam seperti keluhan sitem
kardiovaskuler, sistem pernapasan, saluran cerna, saluran urogenital, dan sebagainya.
Keluhan-keluhan tersebut adalah manifestasi adanya ketidakseimbangan sistem saraf
otonom vegetatif, seperti sakit kepala, pusing, serasa mabuk, cenderung untuk pingsan,
banyak keringat, jantung berdebar-debar, sesak napas, gangguan pada lambung, dan usus,
diare, anoreksia, kaki dan tangan dingin, kesemutan, merasa panas atau dingin seluruh tubuh
dan banyak lagi gejala lainnya.1 Terdapat multiaxial evaluation system pada psikosomatik.
Dikenal 5 aksis yang ada:
 Aksis 1. Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi malfungsi atau kondisi fisis,
sindrom klinis.
 Aksis 2. Gangguan personality (kepribadian) dan derajat beratnya gangguan tersebut.
 Aksis 3. Gangguan penyakit fisik.
 Aksis 4. Stresor psikososial dan derajat beratnya.
 Aksis 5. Sosio-kultural, kemampuan fungsi adaptasi yang tertinggi, didapatkan dalam
satu tahun terakhir.
Dengan mempergunakan evaluasi multiaksis ini pada setiap pasien psikosomatik dapat
dipandang secara luas dari berbagai aspek, yaitu aspek psikologis, sosial, fisik, dan beratnya
faktor stresor dan derajat fungsi adaptasinya.
II. PATOFISIOLOGI

STRES, STRESOR DAN GANGGUAN PSIKOSOMATIK


Stres menurut Hans Selye adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap aksi atau tuntutan
atasnya. Jadi merupakan respon autonomik tubuh bersifat adaptif pada tiap perlakuan yang
menimbulkan perubahan fisis atau emosi yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi fisik
optimal suatu organisme. Reaksi fisiologis ini disebut general adaptation syndrome. Respons
tubuh terhadap perubahan dibagi menjadi 3 fase :
1. Alarm reaction (reaksi peringatan)
Tubuh dapat mengatasi stresor (perubahan) dengan baik
2. The stage of resistance (reaksi pertahanan)
Reaksi terhadap stresor sudah melampaui kemampuan tubuh, timbul gejala psikis dan
somatik.
3. Stage of exhaustion (reaksi kelelahan)
Gejala psikosomatik tampak jelas
Dari sudut pandang psikologis, stress didefinisikan sebagai keadaan internal yang disebabkan
oleh kebutuhan psikologis tubuh, atau oleh situasi lingkungan sosial yang potensial
berbahaya, memberikan tantangan, menimbulkan perubahan-perubahan atau memerlukan
pertahanan seseorang. Dalam keadaan stress dapat terjadi perubahan psikis, fisiologis,
biokemis dan lain-lain reaksi tubuh di samping adanya proses adaptasi.
Stresor psikososial adalah keadaan/peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan
seseorang. Karena adanya stresor terpaksa seseorang menyesuaikan diri untuk
menanggulangi stres yang timbul. Stresor ialah keadaan yang menimbulkan stres, contohnya
masalah perkawinan, keluarga, hubungan interpersonal, pekerjaan, lingkungan hidup, hukum,
keuangan, perkembangan, penyakit fisik, dan lain-lain. Pembagian lain yaitu stresor fisis,
stresor sosial, stresor psikis.
DASAR PSIKOFISIOLOGI DAN PSIKOPATOLOGI
Patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan gangguan psikis/emosi
belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian
para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Gangguan psikis/konflik emosi yang menimbulkan
gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis dan biokimia
pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologi ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada
sistem saraf autonom vegetatif, sistem endokrin dan sistem imun.1
Patofisiologi gangguan psikosomatik dapat diterangkan melalui beberapa teori sebagai
berikut:
a. Gangguan Keseimbangan Saraf Autonom Vegetatif
Dua komponen pengatur yang saling berlawanan pada sistem vegetatif:
 Sistem simpatik ergotrop untuk melakukan effort, prestasi dengan mempergunakan
dan melepaskan energi
 Sistem parasimpatik trofotrop untuk istirahat dan pemulihan kembali cadangan energi
di badan.
Dengan kerja sama kedua sistem ini terpeliharalah keseimbangan yang dinamik, suatu
keseimbangan vegetatif, yang secara optimal dapat menghadapi dan menyesuaikan diri
terhadap perubahan kebutuhan setiap saat. Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul
diteruskan melalui korteks serebri ke sistem limbik kemudian hipotalamus dan akhirnya
ke sistem saraf autonom vegetatif. Gejala klinis yang timbul dapat berupa hipertoni
parasimpatik, ataksi vegetatif yaitu bila koordinasi antara simpatik dan parasimpatik
sudah tidak ada lagi dan amfotoni bila gejala hipertoni simpatik dan parasimpatik terjadi
silih berganti.1
b. Gangguan Konduksi Impuls Melalui Neurotransmitter
Gangguan konduksi ini disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan neurotransmitter di
presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor-reseptor postsinaps. Beberapa
neurotransmitter yang telah diketahui berupa amin biogenik antara lain noradrenalin,
dopamine, dan serotonin.1
c. Hiperalgesia Alat Viseral
Meyer dan Gebhart (1994) mengemukakan konsep dasar terjadinya gangguan
fungsional pada organ visceral yaitu adanya visceral hyperalgesia. Keadaan ini
mengakibatkan respon reflex yang berlebihan pada beberapa bagian alat visceral tadi.
Konsep ini telah dibuktikan pada kasus-kasus non-cardiac chest pain, non-ulcer
dyspepsia dan irritable bowel syndrome.1
d. Gangguan Sistem Endokrin/Hormonal
Perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang disebabkan adanya stress dapat terjadi
akibat gangguan sistem hormonal. Perubahan tersebut terjadi melalui hypothalamic-
pitutary-adrenal axis (jalur hipotalamus-pituitari-adrenal). Hormone yang berperan pada
jalur ini antara lain: hormon pertumbuhan (growth hormone), prolactin, ACTH,
katekolamin.1
e. Perubahan dalam Sistem Imun
Perubahan tingkah laku dan stress selain dapat mengaktifkan sistem endokrin melalui
hypothalamus-pituitary axis (HPA) juga dapat mempengaruhi imunitas seseorang
sehingga mempermudah timbulnya nfeksi dan penyakit neoplastik. Fungsi imun menjadi
terganggu karena sel-sel imunitas merupakan immunotransmitter mengalami berbagai
perubahan.1 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi imunitas adalah sebagai berikut:
 Kualitas dan kuantitas stress yang timbul
 Kamampuan individu dalam mengatasi suatu stress secara efektif
 Kualitas dan kuantitas rangsang imunitas
 Lamanya stress
 Latar belakang lingkungan sosio-kultural pasien
 Faktor pasien sendiri (umur, jenis kelamin, status gizi)1

III. KLASIFIKASI

Berdasarkan ada tidaknya patologi sistem organ, gangguan psikosomatik dibagi menjadi:1
a. Gangguan psikosomatik fungsional (malfungsi fisiologis) atau gangguan psikosomatik
primer
b. Gangguan psikosomatik struktural (malfungsi fisiopatologis) atau gangguan psikosomatik
sekunder
Kasus-kasus psikosomatik di bagian penyakit dalam dapat dibedakan beberapa kelompok,
yaitu:
 Tanpa dijumpai kelainan organik (kasus psikosomatik murni)
 Terdapat kelainan organik disebabkan karena gangguan psikosomatiknya sudah
berlangsung lama. Misalnya dispepsia non ulkus menjadi ulkus peptikum
 Kelainan organik terjadi bersama-sama gangguan psikosomatiknya dan tidak saling
berhubungan (koinsidensi). Dalam hal ini keluhan-keluhan pasien tidak sesuai dengan
kelainan yang ditemukan. Mereka terlampau banyak mempunyai keluhan yang tak cocok
dengan keluhan organiknya
 Kelainan organik yang ada baru disadarkan oleh orang atau dokternya. Misalnya kelainan
jantung bawaan, tuberkulosis, tumor ganas, infark miokard, dan sebagainya.

JENIS GANGGUAN PSIKOSOMATIK


Untuk klasifikasi jenis gangguan psikosomatik, maka jenis gangguan dibagi menurut
organ yang paling sering terkena, yaitu gangguan gastrointestinal, gangguan kardiovaskular,
gangguan pernapasan, gangguan endokrin, gangguan kulit, gangguan muskuloskeletal, psiko-
onkologi.
1. Gangguan Gastrointestinal
a. Dispepsia Fungsional
Merupakan perasaan tidak enak dan sakit pada daerah epigastrium, sering
disebabkan karena kelainan fungsi lambung: sekresi asam lambung yang berlebihan,
motilitas dan tonus yang meninggi pada otot-otot dinding lambung. 2 Legarde dan
Spiro (1984) mengatakan bahwa keluhan tidak enak pada perut bagian atas yang
bersifat intermitten sedangkan pada pemeriksaan tidak didapatkan kelainan organis.
Gejala-gejala yang sering dikeluhkan pasien berupa rasa penuh pada ulu hati sesudah
makan, kembung, sering bersendawa, cepat kenyang, anoreksia, nausea, vomitus, rasa
terbakar pada daerah ulu hati dan regurgitasi.3
Peran faktor psikososial pada dispepsia fungsional sangat penting karena dapat
menyebabkan hal-hal di bawah ini:
- Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna
- Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul
- Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya
- Mempengaruhi prognosis
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat mempengaruhi lambung
dengan dua cara:
- Jalur Neurogen: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri mempengaruhi
kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nucleus vagus, dan kemudian ke
lambung
- Jalur Neurohormonal: rangsangan pada korteks serebri diteruskan ke hipotalamus
anterior selanjutnya ke hipofisis anterior yang mengeluarkan kortikotropin.
Hormon ini merangsang korteks adrenal dan kemudian menghasilkan hormon
adrenal yang selanjutnya merangsang produksi asam lambung.3
Pengobatan melalui pendekatan psikosomatis yaitu dengan memperhatikan aspek-
aspek fisik, psikososial, dan lingkungan. Terhadap keluhan-keluhan dispepsia dapat
diberikan pengobatan simptomatis seperti antasida, obat-obat H2 antagonis seperti
Cimetidin, ranitidine. Obat inhibitor pompa proton seperti omeprazole, lansoprazole.
Yang tidak kalah pentingnya ialah melakukan psikoterapi dengan beberapa edukasi
dan saran agar dapat mengatasi atau mengurangi stress dan konflik psikososial.3
b. Konstipasi Psikogenik
Buang air besar biasanya terjadi setelah timbul rangsangan di hipotalamus yang
diteruskan ke kolon dan sfingter ani melalui susunan saraf autonom. Pada waktu
tertentu kemungkinan rangsangan tersebut tidak timbul. Hal ini dapat terjadi pada
seseorang yang sedang murung, kecewa, putus asa, dan gangguan jiwa lain. Pasien
sering mempunyai keluhan tidak dapat atau mengalami kesulitan buang air besar.
Akibat kelainan tersebut, rangsangan di hipotalamus ikut menurun sampai tidak ada,
sehingga rangsangan di usus besar pun sangat berkurang. Bila berlangsung terus-
menerus akan terjadi atoni kolon dan konstipasi kronik yang selanjutnya disebut
konstipasi psikogenik. 4
Pengelolaan pasien konstipasi psikogenik lebih menitikberatkan pada psikoterapi.
Perlu pendekatan psikomatik dengan memperdulikan faktor-faktor psikis sebagai
penyebabnya. 4
c. Diare Psikogenik
Seseorang yang sedang mengalami ketegangan jiwa, sedang emosi, atau sedang
dalam keadaan stress , hidupnya tidak teratur. Keadaan demikian akan menyebabkan
terangsangnya hipotalamus terus-menerus secara tidak teratur. Rangsangan di
hipotalamus ini akan diteruskan ke susunan saraf autonom. Susunan saraf yang
berulang kali terangsang ini akan menyebabkan timbulnya hiperperistaltik kolon,
sehingga bolus makanan terlalu cepat dikeluarkan karena hiperperistaltik tersebut,
reabsorpsi air di kolon terganggu, dan timbullah diare. Bila terjadi berulang kali,
timbul diare kronik. Keadaan demikian disebut diare psikogenik kronik. 4
Sifat diare psikogenik pada umumnya memperlihatkan sering buang air besar
yang bersifat lembek, hampir tidak pernah bersifat cair, jarang disertai lender dan
darah, dan tidak pernah disertai demam. Diare yang timbul biasanya berlangsung
beberapa hari, selama masih ada gangguan psikis.4
d. Obesitas
Pada obesitas yang hebat sering didapati faktor psikologik. Tidak dapat
diterangkan secara memuaskan dengan teori: efisiensi otot-otot yang tinggi,
“respiratory quotient” yang rendah, “specific dynamic action” dari makanan atau
penyimpanan yang abnormal oleh orang gemuk itu. 2
Faktor psikologik, mulai dari ketegangan yang ringan sampai dengan suatu nerosa
yang hebat dapat menyebabkan makan berlebihan. Kadang-kadang orang yang merasa
tidak bahagia mencari kesenangan dalam makanan. Mungkin bila ia mengalami
banyak kekecewaan dalam pekerjaan atau kehidupan seksual, makanan bukan saja
daoat merupakan pembelaan atau hiburan, tetapi juga dapat merupakan substitusi. 2
Pengobatan ialah meyakinkan penderita bahwa berat badan itu perlu diturunkan,
mengatur tabiat makanan, diet yang pantas, dan psikoterapi bila terdapat konflik;
dapat juga diberikan obat-obat untuk menekan nafsu makan beserta vitamin supaya
tidak kekurangan bila makan berkurang. 2
2. Gangguan Kardiovaskular
a. Hipertensi
Hipertensi oleh banyak peneliti dianggap sebagai suatu penyakit yang
multifaktorial. Selain faktor psikis yang menstimulasi efek simpatikotonik, pengaruh
lingkungan sekitar dan sosio-kultural juga ikut berperan. Faktor-faktor psikis
stuasional yang menyebabkan kenaikan tekanan darah, merupakan model outlet yang
aman sebagai reaksi normal fisiologis. 5
Menurut Groen, mekanisme utama perkembanghan menjadi hipertensi yaitu
perubahan suatu reaksi fisiologis yang dihubungkan dengan behavior readiness, oleh
suatu reaksi neuroviseral; sebagai ganti aktivitas neuromuscular yang kuat dan
volume semenit jantung yang meningkat, serta resistensi pembuluh darah yang
meningkat pula.5
Karena sifat etiologi yang multifaktorial, kebanyakan pasien membutuhkan terapi
kombinasi. Terapi dengan obat seringkali perlu diberikan, namun efek samping harus
diperhatikan. Reserpine, misalnya, juga mempunyai efek samping depresif. Latihan
autogen (autogenic training) sebagai latihan rileks pada hakikatnya sangat baik,
namun seringkali menambah rasa takut dan kegelisahan, karena aktivitas defense yang
menutup-nutupi rasa takut dihilangka, sehingga konflik internal malah dialami lebih
jelas. 5
b. Gangguan Irama Jantung
Mekanisme regulasi jantung mudah bereaksi terhadap rangsangan psikis dan
penilaiannya dalam hal khayalan dan pengalaman merupakan faktor-faktor yang
menentukan dalam terjadinya penyakit. Faktor-faktor emosional dapat bekerja dengan
3 cara:
a. Afek seperti rasa takut, sedih, gembira atau ketegangan jiwa mempengaruhi fungsi
somatik secara tidak khas. Emosi agresif mempercepat frekuensi jantung.
Pengalaman depresif menekan dan memperlambatnya.
b. Bila dalam keadaan normal, jantung berdenyut teratur, maka persepsi gangguan
irama dapat menimbulkan kecemasan atau ketidakseimbangan vegetatif.5
Faktor-faktor psikis berpengaruh pada timbulnya gangguan frekuensi denyut dan
disaritmia jantung. Pada gangguan frekuensi jantung, pengaruh fisis, toksik, infeksi
dan degenerasi, juga faktor piskis.5
Aritmia psikogenik tanpa adanya gangguan struktural pada umumnya tidak akan
menyebabkan kematian, namun dapat memberikan impilkasi yang buruk terhadap
kondisi psikis pasien. Maka psikoterapi suportif dan pemberian ansiolitik dapat
mencegah perburukan kondisi psikis dan menghilangkan ritma.5
3. Gangguan Pernapasan
a. Sindrom Hiperventilasi
Sindrom hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan ventilasi berlebihan
yang menyebabkan perubahan hemodinamik dan kimia sehingga menimbulkan
berbagai gejala. Mekanisme yang mendasari hingga terjadi sindrom hiperventilasi
belim jelas diketahui.6
Menurut Arautigam (1973) secara psikologis penyebab yang mencetuskan
penyakit ini ialah perubahan pernapasan, yang ia namakan “sindrom pernapasan
nervous” yang biasanya disebabkan oleh faktor emosional/stress psikis. Terdapat 2
jenis pernapasan yang dapat ditemukan, yaitu: 6
 Pernapasan yang tidak teratur yang dianggap sebagai pengutaraan rasa takut yang
khas.
 Pernapasan yang dangkal yang diselingi dengan penarikan napas dalam sebagai
pengutaraan situasi pribadi yang bersifat keletihan dan pasrah, yaitu pertanda
tujuan tidak dapat dicapai kendati sudah diusahakan.
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien adalah napas sesak, napas pendek,
dada tertekan, nyeri pada epigastrium, pusing, sakit kepala,mulut dan tenggorokan
kering, disfagi, dan rasa penuh pada lambung.penyebab paling sering untuk
hiperventilasi ialah emosi rasa takut dan kegelisahan. 6
Terapi untuk pasien dengan sindrom hiperventilasi:
 Pasien bernapas (inspirasi dan ekspirasi) ke dalam sungkup kantong plastic bila
didapatkan tanda alkalosis agar PCO2 dalam darah naik.
 Suntikkan 10 cc larutan kalsium glukonas 10% intravena mempunyai efek
placebo. Pasien merasa hangat dan enak, tetapi kadar ion kalsium tidak akan naik.
 Belajar bernapas torako-abdominal dengan menggerakkan diafragma.
 Psikoterapi: membantu menyelesaikan problem-problem emosional pada pasien,
termasuk melakukan terapi pelaku (Cogntive Behavioral Teraphy)
 Karena hiperventilasi sering merupakan bagian dari serangan panik (panic
disorder), maka pemberian obat yang tepat adalah golongan benzodizepin atau
golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
b. Asma Bronkial
Asma merupakan suatu gangguan karena hiperaktivitas yang diikuti
bronkokontriksi yang reversible serta adanya reaksi inflamasi kronik serta kerusakan
epitel. Dalam perkembangannya, pathogenesis asma dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu
faktor genetik (atopi dan hiperaktivitas bronkus pada keluarga), faktor lingkungan,
allergen seperti debu rumah, serbuk sari bunga, virus dan bakteri, polusi udara; faktor
individu, adanya stressor dan kemampuan untuk mengatasi asma.7
Beberapa keadaan yang merupakan stressor psikososial, sebagai berikut:
- Pengalaman luar biasa: permulaan masuk sekolah, ujian, pertama masuk kerja,
menderita penyakit, berpisah dengan orang tua, dll
- Kejadian-kejadian traumatik: perkelahian/pertentangan dengan orang tua,
permusuhan, kejengkelan dalam kerja.
- Pengalaman yang menyedihkan: kematian orang tua, atau anak, kehilangan harta
benda, dan musibah lainnya7
Terhadap gejala asma secara fisik diberikan pengobatan standar yang sudah baku
sesuai dengan tingkat beratnya penyakit (bronkodilator, kortikosteroid). Sedangkan
untuk gangguan psikosomatik seperti adanya anxietas atau depresi secara bersamaan
dilakukan psikoterapi dan psikoedukasi serta psiokfarmaka yang sesuai. Pada
gangguan anxietas yang menyertai atau mencetuskan asma dapat diberikan golongan
benzodiazepine seperti alprazolam, klobazam. Bila dijumpai adanya presi, maka dapat
diberikan antidepresan yang aman misalnya golongan SRI seperti sertraline,
fluoksetin.7
Cara pengobatan psikosomatik yang khusus pada asma memang belum ada
standar, namun pada umumnya pengobatan meliputi psikoterapi superfisial, edukasi,
instruksi.
- Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok. Mereka diberikan edukasi
mengenai perjalanan penyakit asma, mekanisme timbul, faktor resiko, pengobatan
dan pencegahan. Psikoterapi ini diberikan untuk meningkatkan daya adaptasi dan
kemampuan untuk menyelesaikan atau menghilangkan stressor psikososial yang
dialami pasien.2,7
- Instruksi tentang penatalaksanaan mandiri dengan monitoring PEFR (Peak
Expiratory Flow Rate) di rumah.
- Autogrnic training yaitu latihan untuk dapat bersantai dengan memahami bahwa
faktor psikis dapat menimbulkan reaksi bronkospasme.
- Cara sugestif yaitu mengalihkan atau mencurahkan perhatian diri sendiri kepada
hal-hal yang bermanfaat.
- Psikoterapi analisis yang sederhana.7

4. Gangguan Endokrin
a. Kelainan Tiroid
Pasien tirotoksikosis umumnya datang dengan keluhan yang dianggap bersifat
psiksi belaka. Misalnya rasa cemas, mudah marah, paranoid, rasa seperti leher
tercekik atau terikat, rasa takut tanpa sebab yang jelas, insomnia dengan mimpi buruk,
dan gugup. Keluhan ini sering diikuti dengan hiperaktivitas saraf otonom seperti
keringat banyak, mulut kering, pupil lebar, kulit pucat, nadi cepat, dan sebagainya.8
Pengobatan ialah usaha untuk mengendalikan metabolism dengan obat-obat dan
bila perlu dioperasi. Transquilaizer dapat sangat membantu. Psikoterapi perlu,
terutama pada penderita dengan konflik yang mendalam dan yang tidak dapat
menyesuaikan diri.2
b. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit meabolik yang ditandai dengan
adanya defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hipetglikemia kronik
pada pasien diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan berbagai organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah
serta mempengaruhi kondisi psikis. Gangguan psikis yang biasa terjadi pada penderita
diabetes mellitus adalah depresi. 9
Depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial yang berhubungan dengan
penyakit atau terapinya. Depresi pada diabetes terjadi akibat meningkatnya tekanan
pasien yang dialami dari penyakitnya yang kronik. Hubungan ketidakmampuan
adaptasi dengan gejala depresi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:9
a. Pandangan terhadap penyakit yang diderita.
b. Dukungan sosial yang kurang baik
c. Coping strategy, mencegah pikiran untuk lari dari kenyataan dan adaptasi
psikologis menjadi lebih baik sehingga mengurangi kemungkinan gejala depresi.
Pengobatan depresi dan diabetes dilakukan bersama-sama dengan psikoterapi,
psikoedukasi, psikofarmaka secara serentak. Cognitive Behavioral Theraphy (CBT)
sangat bermanfaat diberikan pada pasien depresi dengan diabetes mellitus dan
dikombinasikan dengan edukasi diabetes. Teknik CBT tersebut adalah:9
a. Merubah perilaku dengan mengembalikan aktuvitas fisik dan kehidupan sosial
yang menyenangkan pasien.
b. Upaya pemecahan masalah atau stress yang dihadapi.
c. Teknik kognitif dengan mengidentifikasi adanya maldaptasi dan menggantinya
dengan pandangan yang akurat, adaptif dan akurat.
Beberapa golongan obat antidepresan yang biasa diberikan untuk penderita
diabetes melitus adalah golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) dapat
mengurangi resistensi insulin sehingga gula darah dapat lebih terkontrol. Beberapa
golongan obat SSRI seperti fluoksetin memiliki efek menurunkan berat badan
sehingga baik diberikan pada penderita diabetes yang gemuk. Efek samping yang
perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya hipoglikemia, disfungsi seksual
dan pasien yang disertai gangguan ginjal.9
5. Gangguan Muskuloskeletal
Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dengan pathogenesis autoimun
dan etiologi yang multikompleks. Berbagai faktor yang dapat berperan penting seperti
immunogenetik, kelamin, umur dan stress. Hubungan stress dengan AR masih belum
jelas, meskipun pada berbagai penelitian terdapat perkembangan bahwa faktor stressor
lingkungan, psikologis, dan biologis menjadi faktor predisposisi.10
Sebelum timbulnya penyakit AR, pasien menunjukkan ciri-ciri psikodinamik dan
kepribadian yang khas, yaitu:
- Ketelitian yang berlebihan, perfeksionisme, kepatuhan, dengan kecenderungan
menekan semua dorongan agresi dan permusuhan.
- Ciri mesokistis-depresif dengan tendensi pengorbanan diri, sifat menolong yang
berlebihan, bermoral tinggi dan cenderung depresif.
- Kebutuhan aktivitas badaniah seperti olahraga, kerja di rumah dan berkebun sebagai
penyaluran agresi.2,10
Kepribadian, stressor psikologis, ancaman terserang AR, kemampuan menanggulangi
nyeri dan menanggulagi ketidakmampuan serta dukungan sosial telah terbukti
berhubungan dengan derajat nyeri, disabilitas dn aktivitas penyakit AR. Faktor
psikososial seperti stress psikologis, penyesuaian, depresi, keyakinan dalam kemampuan
menanggulangi penyakit dan dukungan sosial berperan pada keadaan sakit dengan
mempengaruhi pelepasan hormone stress, yang selanjutnya berpengaruh pada mekanisme
dalam tubuh termasuk kerentanan dan kekambuhan penyakit AR.10
6. Gangguan Urologi
Irritable bladder, yang bukan disebabkan oleh kelainan organik terutama pada wanita
hingga klimakterium, jarang pada pria. Secara psikofisiologis yang mendasari terjadinya
irritable bladder ialah sensibilitas fungsi kandung kemih yang berlebihan atau ambang
rangsang yang rendah yang bersifat psikovegetatif, yang dapat ditemukan dengan
pengukuran tegangan intravesikal. Dengan demikian perubahan-perubahan pengisian
kandung kemih yang berlebihan. Secara psikodinamik hal ini dapat terjadi pada situasi
konflik seksual, rasa malu dan takut pada percobaan koitus, rasa segan terhadap
pasangan.11
Beberapa contoh lain gangguan psikosomatik saluran kemih:
- Fobia mengenai buang air kecil yang tak diinginkan
- Polakisuria tanpa ada kelainan organ
- Retensio urin tidak organik yang sepintas lalu atau residivans
- Bercampur aduknya fungsi berkemih dengan fungsi seksual11
IV. DIAGNOSIS

Menegakkan diagnosis pasien dengan gangguan psikosomatik tidak berbeda dengan


menegakkan diagnosis penyakit lain pada umumnya yaitu dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain yang
diperlukan. Pada umumnya pasien dengan gangguan psikosomatik datang ke dokter dengan
keluhan somatiknya. Jarang sekali keluhan psikis atau konfliknya dikeluhkan secara spontan.
Keluhan psikis yang menjadi stressornya baru akan muncul setelah dilakukan anamnesis
yang baik dan mendalam. Keluhan somatisnya sangat beraneka ragam dan sering berpindah-
pindah dari satu sistem organ ke organ lain.1
Gangguan psikosomatik pada orang yang tidak stabil, dapat disebabkan bukan saja oleh
stress yang luar biasa, tetapi juga oleh kejadian-kejadian dan keadaan sehari-hari,
umpamanya rumah tangga yang sibuk, terlalu banyak orang di dalam satu rumah, suami atau
isteri yang tidak dapat menyesuaikan diri atau tidak mengindahkan keinginan satu sama lain. 2
Untuk itu, penting ditanyakan beberapa pertanyaan berikut dalam proses anamnesis:
 Faktor sosial dan ekonomi: kepuasan dalam pekerjaan; kesukaran ekonomi; pekerjaan
yang tidak tentu; hubungan dengan keluarga dan orang lain; minatnya; pekerjaan yang
terburu-buru; kurang terbiasa
 Faktor perkawinan: perselisihan, perceraian, dan kekecewaan dalam hubungan sexual;
anak-anak yang nakal dan menyusahkan.
 Faktor kesehatan: penyakit-penyakit yang menahun; pernah masuk rumah sakit; pernah
dioperasi; adiksi terhadap obat-obatan, tembakau, dan lain-lain
 Faktor psikologik: stress psikologik; keadaan jiwa waktu operasi; status dalam keluarga.2
Untuk menentukan gangguan fungsional, maka anmanesa penting sekali. Bila kita
sudah menentukan bahwa penderita itu mempunyai gangguan fungsional, maka selanjutnya
kita harus menetapkan apakah sebabnya itu gangguan psikogenik atau non-psikogenik.
Apabila kita sudah menduga bahwa hal itu merupakan gangguan psikogenik, sebaiknya harus
dicari juga korelasi antara gejala-gejala dan stress psikologik.2
Untuk mempertajam diagnosis dan untuk membatasi dari gangguan psikiatris nyata
(misalnya psikosis), gangguan psikosomatik memiliki ciri-ciri dan kriteria klinis sebagai
berikut:
 Tidak didapatkan kelainan psikiatris (distorsi realita, waham, dan sebagainya)
 Keluhan yang timbul selalu berhubungan dengan emosi tertentu
 Keluhan berganti-ganti dari satu sistem ke sistem lain
 Ditemukan adanya ketidakseimbangan vegetatif
 Riwayat hidup pasien penuh dengan konflik atau stress
 Terdapat perasaan negatif (cemas, sedih, dongkol, cemburu, dan sebagainya)
 Adanya faktor predisposisi (biologis atau perkembangan kejiwaan)
 Terdapat faktor presitipasi/pencetus (fisis ataupun psikis)
Tidak semua kriteria harus ada, tetapi apabila terdapat beberapa kriteria yang sesuai sudah
merupakan indikasi ke arah gangguan psikosomatik.1 Selain itu, Lewis memberikan beberapa
kriteria untuk diagnosa gangguan psikomatik: 2
1. Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi dan jalannya yang
sangat mencurigakan akan adanya gangguan psikosomatik
2. Dengan pemeriksaan fisis dan laboratorium tidak didapati penyakit organik yang dapat
menyebabkan gejala-gejala (atau sebagian gejala-gejala)
3. Adanya suatu stress atau konflik yang menyukarkan penderita
4. Reaksi penderita terhadap stress ini banyak hubungannya dengan gejala-gejala yang
dikeluhkannya, yaitu bahwa gejala-gejala itu secara psikosomatik merupakan manifestasi
badaniah dari konflik atau penyelesaian masalah yang tidak memuaskan
5. Terjadinya stress itu harus mempunyai korelasi antara waktu dan timbulnya keluhan,
bertambah beratnya atau/dan menahunnya penyakit yang ada.

V. PENATALAKSANAAN

Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum tidak mempunyai
gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai gangguan organik tetapi keluhannya berlebihan. 2
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan psikosomatik dapat ditolong.
Kita dapat menerangkan kepada penderita tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang
kurang, tidak terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur. Untuk
menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat diambil contoh sehari-hari seperti
orang yang malu mukanya akan menjadi merah, orang yang takut menjadi bergemetar dan pucat.
Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan pengetahuan penderita. 2
Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi yaitu: 2
Fase 1 : ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan dokter bersama-sama
berusaha dan saling membantu melalui anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan tes
laboratorium bila perlu. Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit organik dan
dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan tentang gejala-gejala.
Berikan kesempatan kepada penderita untuk bertanya.
Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara. Untuk memberi keterangan
tentang keluhan, meyakinkan serta menenangkan pasien, dapat dikatakan antara lain :
 Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh dan menderita
 Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang sudah kita obati
 Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain
 Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan gangguan emosional
 Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu, tetapi akan hilang atau
berkurang bila diobati dengan baik
 Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan kecemasan
 Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh sehingga timbul gejala
 Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa
 Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat. Sering gejala merupakan
pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan
 Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.
Fase 3 : ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini pasien yang lebih banyak bicara.
Terjadi pengakuan, katarsis dan wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat pribadi, rahasia,
tanpa sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan pengertian. Dokter menjelaskan
saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan.
Tujuan terapi adalah kesembuhan, maksudnya adalah resolusi gangguan, reorganisasi
gangguan, rerganisasi kepribadian, adaptasi yang lebih matang, meningkatkan kapasitas fisik
dan okupasi serta proses penyembuhan, perbaikan penyakit, mengurangi secondary gain
terhadap kondisi medisnya, serta menjadi patuh dengan pengobatan.14
1. Aspek Psikiatrik
Terapi gangguan psikosomatik dari pandangan psikiatrik merupakan suatu tugas yang
sulit. Psikiater harus memusatkan terapi pada pemahaman motivasi dan mekanisme fungsi
yang terganggu serta membantu pasien menyadari sifat penyakit mereka serta kaitan pola
adaptif yang merugikan tersebut. Tilikan ini harus menghasilkan pola perilaku yang berubah
dan lebih sehat.15
Pasien dengan gangguan psikosomatik biasanya lebih enggan menghadapi masalah
emosional daripada pasien dengan masalah psikiatrik lain. Pasien psikosomatik mencoba
menghindari tanggung jawab untuk penyakitnya dengan mengisolasi organ yang sakit serta
datang ke dokter untuk didiagnosis dan disembuhkan. Mereka mungkin memuaskan
kebutuhan infantil untuk dirawat secara pasif, sambil menyangkal kalau mereka dewasa,
dengan semua stres dan konflik yang ada.15
2. Aspek Medis
Terapi internis gangguan psikosomatik harus mengikuti peraturan
pengelolaan medis yang telah ditegakkan. Umumnya, internis harus menghabiskan sebanyak
mungkin waktu dengan pasien dan mendengarkan banyak keluhan dengan simpatik; mereka
harus bersikap menenangkan dan suportif. Sebelum melakukan prosedur yang memanipulasi
fisik—terutama jika menyakitkan, seperti kolonoskopi—internis harus menjelaskan pada
pasien apa yang akan dihadapi. Penjelasan akan menghilangkan ansietas pasien, membuat
pasien lebih kooperatif, dan akhirnya memudahkan pemeriksaan. 15
Sikap pasien terhadap minum obat juga dapat memengaruhi hasil terapi psikosomatik.
Contohnya, pasien dengan diabetes yang tidak menerima penyakitnya dan memiliki -impuls
merusak diri yang tidak mereka sadari dapat dengan sengaja tidak mengendalikan diet
mereka, akibatnya akan mengalami koma hiperglikemik. Pasien lain menggunakan penyakit
mereka sebagai hukuman untuk rasa bersalah atau sebagai cara untuk menghindari tanggung
jawab. Terapi pada kasus seperti ini hams berusaha membantu pasien meminimalkan rasa
takut mereka dan berfokus pada perawatan diri sendiri serta pembentukan kembali citra tubuh
yang sehat. 15
3. Perubahan Perilaku
Peran penting psikiater dan dokter lain yang bekerja dengan pasien psikosomatik
adalah memobilisasi pasien untuk mengubah perilaku dengan cara yang mengoptimalkan
proses penyembuhan. Hal ini memerlukan perubahan umum gaya hidup (cth., berlibur) atau
perubahan perilaku spesifik (cth., berhenti merokok). Terjadi atau tidaknya ini bergantung
pada ukuran besar kualitas hubungan antara dokter dan pasien. Kegagalan dokter
menciptakart rapport yang baik menyebabkan ketidakefektivan untuk membuat pasien
berubah. 15
Rapport adalah perasaan disadari dan spontan mengenai responsivitas yang harmonis
antara pasien dan dokter. Rapport mengesankan pengertian dan kepercayaan di antara
keduanya. Dengan rapport, pasien merasa diterima, meskipun mereka dapat berpikir aset
mereka melebihi kewajiban mereka. Yang sering, dokter adalah orang yang dapat diajak
bicara oleh pasien mengenai hal-hal yang tidak dapat ia bicarakan dengan orang lain.
Sebagian besar pasien merasa bahwa mereka dapat percaya pada dokter, terutama psikiater
untuk menyimpan rahasia. Kepercayaan ini tidak boleh dikhianati. Perasaan yang diketahui,
dimengerti seseorang, dan menerimanya adalah sumber kekuatan yang dapat memungkinkan
pasien memulai perilaku yang sehat, seperti mengikuti Alcoholics Anonymous (AA) atau
mengubah kebiasaan makan. 15
4. Terapi Spesifik
Sistem kardiovaskular. Pada penyakit arteri koroner, untuk menghilangkan
ketegangan psikis yang berhubungan dengan penyakit, klinisi menggunakan obat
psikotropika, contohnya diazepam. Terapi yang digunakan untuk membantu melindungi
terhadap aritmia akibat emosi adalah psikotropika dan obat penghambat Beta seperti
propanolol. Pengobatan psikofarmaka ditujukan bila terdapat gejala yang menonjol pada
penyakit jantung psikogenik. Obat antiansietas dapat digunakan bila kecemasan yang timbul
berat. Derivat benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi, menghilangkan rasa
cemas, dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan rasa cemas.
Sebagai antiansietas, klordiazepoksid dapat diberikan secara oral atau bila sangat
diperlukan, suntikan dapat diulang 2-4 jam dengan dosis 25-100 mg sehari dalam 2 atau 4
pemberian. Dosis diazepam adalah 2-20 mg sehari; pemberian suntikan dapat diulang tiap 3-4
jam. Klorazepam diberikan secara oral 30 mg sehari dalam dosis terbagi. Klordiazepoksid
tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg. Diazepam berbentuk tablet 2 dan 5 mg. Diazepam
tersedia sebagai larutan untuk pemberian rektal pada anak dengan kejang demam.16
Terapi medis harus suportif dan menentramkan, dengan suatu penekanan psikologis
untuk menghilangkan stres psikis, kompulsivitas dan ketegangan. Psikoterapi supotif dan dan
teknik perilaku (biofeedback, meditasi, terapi relaksasi) telah dilaporkan berguna dalam
pengobatan.
Sistem Pernapasan. Pasien asmatik harus diterapi dengan melibatkan berbagai
disiplin ilmu antara lain menghilangkan stres, penyesuaian diri, menghilangkan alergi serta
mengatur kerja sistem saraf vegetatif dengan obat-obatan. Pada penderita tuberkulosis, faktor
psikologis mempengaruhi sistem kekebalan dan mungkin mempengaruhi daya tahan pasien
terhadap penyakit. Psikoterapi suportif adalah berguna karena peranan stres dan situasi
psikososial yang rumit.
Sistem gastrointestinal. Pada penyakit Crohn terapi mencakup penggunaan agen
antibiotik, obat imunosupresan, dan kortikosteroid. Penggunaan obat psikotropika umum
dalam pengobatan berbagai gangguan GI. Pengobatan pada pasien dengan penyakit GI
dipersulit oleh gangguan motilitas lambung dan penyerapan, dan metabolisme berkaitan
dengan gangguan GI yang mendasarinya. Efek GI pada obat psikotropika dapat digunakan
untuk efek terapi dengan gangguan GI fungsional. Sebuah contoh dari efek samping
menguntungkan dari penggunaan TCA untuk mengurangi motilitas lambung pada IBS
dengan diare. Psikotropika efek samping GI, bagaimanapun, dapat memperburuk gangguan
GI. Sebuah contoh dari efek samping potensial yang merugikan akan meresepkan sebuah
TCA untuk mengobati pasien depresi dengan refluks gastroesophageal.
Terapi obat psikotropika yang rumit oleh penyakit hati akut dan kronis. Sebagian besar agen
psikotropika dimetabolisme oleh hati. Banyak dari agen dapat dikaitkan dengan
hepatotoksisitas. Ketika perubahan akut pada tes fungsi hati terjadi dengan TCA,
carbamazepine, atau antipsikotik, mungkin perlu untuk menghentikan obat. Selama periode
penghentian, lorazepam atau lithium dapat digunakan, karena mereka diekskresikan oleh
ginjal. Terapi electroconvulsive (ECT) juga dapat digunakan pada pasien dengan penyakit
hati, meskipun ahli anestesi perlu hati-hati memilih agen anestesi dengan risiko minimal
untuk hepatotoksisitas.17
Psikoterapi bisa menjadi komponen kunci dalam pendekatan melangkah perawatan
untuk pengobatan IBS dan gangguan GI fungsional. Beberapa model yang berbeda dari
psikoterapi telah digunakan. Ini termasuk jangka pendek, berorientasi dinamis, psikoterapi
individu, psikoterapi suportif, hipnoterapi, teknik relaksasi, dan terapi kognitif.17
Sistem neurologis. Migrain dan cluster headache paling baik diterapi selama periode
prodromal dengan ergotamine tartrate (Cafergot) dan analgesik. Pemberian propranolol atau
verapamil (Isoptin) profilaktik berguna jika sakit kepala sering terjadi. Sumatriptan (Imitrex)
diindikasikan untuk terapi jangka pendek migrain dan dapat menghentikan serangan.
Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) juga berguna untuk profilaksis. Psikoterapi
untuk menghilangkan efek konflik dan stres serta teknik perilaku tertentu (cth., biofeedback)
telah dilaporkan berguna. 15
5. Psikofarmaka
Terapi penyakit psikosomatik pada dasarnya harus dilakukan dengan beberapa cara.
Komponen-komponen yang harus dibedakan, ialah:
a. Terapi somatik
Hanya bersifat somanya saja dan pengobatan ini bersifat simtomatik.
b. Psikoterapi dan sosioterapi
Pengobatan dengan memperhatikan faktor psikisnya atau kepribadian secara keseluruhan.
c. Psikofarmakoterapi
Pengobatan psikosomatik dengan menggunakan obat-obat psikotrop yang bekerja pada
sistem saraf sentral. Efek samping yang timbul dari penggunaan obat-obat psikofarmaka:
13

 Mudah terjadi ketergantungan psikologis dan fisis, mungkin terjadi ketergantungan


obat.
 Depresi atau kehilangan sifat menahan diri dapat terjadi, yang akhirnya dapat
menimbulkan kekacauan pikir.
 Semua depresan sistem saraf sentral merupakan kontraindikasi pada payah paru
(asma, emfisema, dispnea oleh sebab-sebab lain).
 Gangguan psikomotorik
 Lekas marah, kegelisahan dan ansietas serinng terjadi bila obat dihentikan.
Tiga golongan senyawa psikofarmaka:
1) Obat tidur (hipnotik)
Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang dianjurkan adalah senyawa
benzodiazepine berkhasiat pendek seperti nitrazepam, flurazepam, dan triazolam. Pada
insomnia dengan kegelisahan dapat diberikan senyawa fenotiazin seperti tioridazin,
prometazin.13
2) Obat penenang minor dan obat penenang mayor (neuroleptik)
 Obat penenang minor
Diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada anxietas, agitasi,
spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine hanya diberikan pada anxietas hebat
maksimal 2 bulan sebelum dicoba dihentikan secara perlahan (tapering off) untuk
menghindari toleransi dan adiksi.13
 Obat penenang mayor
Kegagalan fungsi otak menimbulkan gangguan-gangguan kelakuan berupa rasa takut,
penderitaan batin, atau menimbulkan kegelisahan, keluyuran, kegaduhan, agresi hingga
kekerasan karena halusinasi dan khayalan. Hal ini bisa diatasi dengan menggunakan
sedatif walaupun pemberian sedatif tidak dianjurkan karena sering timbul imobilitas.
Yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin dan butirofenon seperti
clorpromazin, tioridazin dan haloperidol. Diberikan hanya pada kasus gejala agitasi,
kegelisahan yang berlebihan, agresi dan kegaduhan. 13
3) Antidepresan
Gejala-gejala psikosomatik sering ditemukan pada depresi. Depresi sering
merupakan komplikasi penyakit fisis. Yang dianjurkan ialah senyawa-senyawa
trisiklik dan tetrasiklik, yaitu Amitriptilin (Laroxyl), Imipramin (Tofranil), Mianserin
(Tolvon), dan Maprotilin (Ludiomil). Obat-ibat ini harus diberikan dimulai dengan
dosis kecil yang kemudian ditingkatkan. Saat ini, golongan trisiklik sudah jarang
digunakan karena efek samping yang banyak akibat kerja anti kolinergiknya.
Antidepresan baru dengan efek samping yang minimal adalah golongan:
- SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): sertalin, paroksetin, fluoksetin,
fluvoksamin
- SSRE (Selective Serotonin Reuptake Enhancer): Tianeptin
- SNRI (Serotonin Nor Epinephrin Reuptake Inhibitor): Venlafaksin
- RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oxidose type A): Moklobemid
- NaSSA (Nor-adrenalin ang Serotonin Anti Depressant): Mitrazapin
- Atipik: Trazodon, Nefazodon12
Golongan benzodiazepin umumnya bermanfaat pada gangguan ansietas, yaitu
pada ansietas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder - GAD) obat pilihannya
ialah Buspiron. Pada ansietas panik, obat pilihannya ialah alprazolam namun ada
beberapa penelitian anksietas panik dapat diobati dengan antidepresan golongan SSRI
(Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor).13
Obsessive Compulsive Disorder (OCD) ialah varian gangguan cemas namun
obat yang efektif untuk gangguan ini adalah golongan antidepresan misalnya
Klomipramin maupun golongan SSRI seperti Sertralin, Paroksetin, Fluoksetin, dan
sebagainya.13
Fobia juga varian gangguan cemas dan berespons baik pada pengobatan
antidepresan. Misalnya fobia sosial membaik dengan pemberian Moklobemid
(golongan RIMA-Reversible Inhibitory Monoamine Oksidase type A). Gangguan
campuran ansietas-depresi juga memberikan perbaikan dengan obat-obat
antidepresan.
Penggunaan psikofarmaka hendaknya bersama-sama dengan psikoterapi yang efektif
sehingga hasilnya akan lebih baik.13
6. Jenis Terapi Lain15
Psikoterapi Kelompok dan Terapi Keluarga. Pendekatan kelompok memberikan
kontak interpersonal dengan orang lain yang menderita penyakit yang sama dan memberikan
dukungan untuk pasien yang takut akan ancaman isolasi dan pengabaian. Terapi keluarga
memberikan harapan perubahan hubungan antar anggota keluarga yang sering mengalami
stres dan bersikap bermusuhan pada anggota keluarga yang sakit.
Teknik Relaksasi. Edmund Jacobson pada tahun 1983 mengembangkan suatu
metode yang dinamakan relaksasi otot progresif untuk mengajarkan relaksasi tanpa
menggunakan instrumentasi seperti yang digunakan di dalam biofeedback. Pasien diajari
untuk merelaksasikan kelompok otot seperti yang terlibat di dalam "tension headache".
Ketika mereka menghadapi dan menyadari situasi yang menyebabkan tegangan pada otot
mereka, pasien dilatih untuk relaksasi. Metode ini adalah suatu tipe desensitisasi sistematik—
suatu tipe terapi perilaku.2
Herbert Benson pada tahun 1975 menggunakan konsep yang dikembangkan dari
meditasi transcendental, di sini pasien dipertahankan pada perilaku yang lebih pasif,
memungkinkan relaksasi terjadi dengan sendirinya. Benson menciptakan tekniknya dari
berbagai praktik dan agama Timur, seperti yoga. Semua teknik ini memiliki kesamaan posisi
nyaman, lingkungan yang damai, pendekatan pasif, dan citra mental yang menyenangkan
tempat seseorang dapat berkonsentrasi.
Hipnosis. Hipnosis efektif untuk menghentikan merokok dan menguatkan perubahan
diet. Hipnosis digunakan dalam kombinasi dengan perumpamaan yang tidak disukai (cth.,
rokok terasa menjijikkan). Beberapa pasien menunjukkan angka relaps yang cukup tinggi dan
dapat memerlukan pengulangan program terapi hipnotik (biasanya tiga hingga empat sesi).
Biofeedback. Neal Miller pada tahun 1969 mempublikasikan tulisan pelopornya
"Learning of Visceral and Glandular Response", yang melaporkan bahwa pada hewan,
berbagai respons viseral yang diatur oleh sistem saraf otonom involuntar dapat dimodifikasi
dengan pencapaian pembelajaran melalui operant conditioning yang dilakukan di
laboratorium. Hal ini membuat manusia mampu mempelajari cara mengendalikan respons
fisiologis involuntar tertentu (disebut biofeedback), seperti vasokonstriksi pembuluh darah,
irama jantung, dan denyut jantung. Perubahan fisiologis ini tampak memainkan peranan yang
bermakna di dalam perkembangan dan terapi atau penyembuhan gangguan psikosomatik
tertentu. Studi seperti itu, faktanya, mengonfirmasi bahwa pembelajaran yang disadari dapat
mengendalikan denyut jantung dan tekanan sistolik pada manusia.
Biofeedback dan teknik-teknik terkait telah berguna pada tension headache, sakit
kepala migrain, dan penyakit Raynaud. Meskipun teknik biofeedback awalnya memberikan
hasil yang menyokong di dalam menerapi hipertensi esensial, terapi relaksasi telah
menghasilkan efek jangka-panjang yang lebih signifikan daripada biofeedback.
Acupressure dan Akupuntur. Acupressure dan akupuntur adalah teknik
penyembuhan Cina yang disebutkan di dalam teks medis kuno pada tahun 3000 SM.
Keyakinan dasar pengobatan Cina adalah keyakinan bahwa energi vital (qi atau chi) mengalir
sepanjang jalur khusus (meridian), kira-kira memiliki 350 titik (acupoints), yang
manipulasinya memperbaiki ketidakseimbangan dengan merangsang atau membuang
hambatan terhadap aliran energi. Konsep fundamental lainnya adalah gagasan mengenai dua
medan energi yang berlawanan (yin dan yang), yang harus seimbang untuk mempertahankan
kesehatan. Di dalam acupressure, acupoints dimanipulasi dengan jari; di dalam akupuntur,
jarum perak atau emas yang steril (berdiameter rambut manusia) dimasukkan ke dalam kulit
dengan kedalaman yang bervariasi (0,5 mm hingga 1,5 cm) dan diputar atau ditinggalkan di
tempatnya selama berbagai periode waktu untuk memperbaiki setiap ketidakseimbangan qi.
Teknik akupuntur telah digunakan pada hampir semua gangguan yang disebutkan di bagian
ini dengan hasil yang beragam.15

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien didiagnosa dengan gangguan psikosomatis berdasarkan


anamnesis didapatkan keluhan lemas dan nyeri ulu hati sejak 4 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan nyeri perut muncul disertai keluhan mual, lemas, dan mulut terasa
kering. Mual tidak disertai muntah. Keluhan demam, pusing, batuk, pilek, sesak, nyeri
pinggang, dan gangguan BAB dan BAK disangkal. Pasien merasa sangat kesakitan
sehingga diputuskan untuk dirawat di bangsal untuk mendapat terapi lebih lanjut. Pasien
selalu bertanya-tanya mengapa ia selalu kesakitan seperti ini dan sampai menangis ketika
diwawancara.
Pasien sebelumnya sudah berobat ke Poliklinik, tetapi masih mengeluh nyeri perut
dan mual tidak kunjung hilang meskipun sudah diberikan obat-obatan. Pasien
mengatakan dirinya sering di rawat di rumah sakit namun keluhan masih tetap timbul.
Pasien mengaku sedang berobat di psikiatri di RSUD Ambarawa atas saran dokter
yang merawatnya sebelumnya dikarenakan kecemasannya dan pasien sering sulit tidur.
Pasien mengaku keluhan seperti ini sering sekali dirasakan dan susah hilang jika
sudah kambuh. Keluhan sampai menganggu aktivitas. Menurut suami pasien, pasien
seperti ini saat suaminya berhenti bekerja, terdapat permasalahan ekonomi dan pasien
tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya sebagai tukang jahit, sementara para pelanggan
pasien telah menagih baju yang dijahit oleh pasien.
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan nyeri pada ulu hati (+). Terapi yang berikan
untuk meredakan keluhan pasien, infus RL 20 tpm, Inj. Omeprazole 1 amp/12jam, Inj.
Ondancetron 1 amp/12 jam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mudjaddid, E. Shatri, Hamzah. Gangguan Psikosomatik: Gambaran Umum dan
Patofisiologinya. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p896-8
2. Maramis, W.F. Gangguan Psikosomatik. Dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Surabaya: Airlangga University Press. p339-72
3. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Faktor Psikologik Yang Mempengaruhi
Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Dalam Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2010.p287-93
4. Mudjaddid, E. Dispepsia Fungsional. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK
UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p906
5. Hadi, Sujeno. Psikosomatik Pada Saluran Cerna Bagian Bawah. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p907-9
6. Halim, S. Budi, dkk. Aspek Psikosomatik Hipertensi. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p913-4
7. Putranto, Rudi. Mudjaddid, E. shatri, Hamzah. Sindrom Hiperventilasi. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p920-1
8. Mudjaddid, E. Aspek Psikosomatik pada Asma Brokhial. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p922-3
9. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p937-8
10. Mudjaddid, E. Putranto, Rudi. Aspek Pikosomatik Pasien Diabetes Melitus. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p939-40
11. Sukatman, D. Budihalim, S. Putranto, Rudi. Gangguan Psikosomatik Pada Penyakit
Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II
FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p924-5
12. Budihalim, S. Sukatman, D. Mudjaddid, E. Gangguan Psikosomatik Saluran Kemih.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
2006. p953

Anda mungkin juga menyukai