Pendamping
dr. Kemalasari
Disusun Oleh
RSUD AMBARAWA
2018
LAPORAN KASUS
Topik : Psikiatri
Kasus : Psikosomatis
Objektif : Medik
Ambarawa,
Pendamping dokter internship,
dr. Kemalasari
BAB I
PENDAHULUAN
A. Identitas
Nama : Ny. T
Tanggal lahir : 24 Juni 1983
Usia : 35 tahun
Alamat : Banyubiru, Kab. Semarang
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Status pernikahan : Menikah
Tanggal masuk RS : 02 Juni 2018
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Lemas dan nyeri ulu hati
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang wanita berusia 35 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa diantar keluarga
dengan keluhan lemas dan nyeri ulu hati sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan nyeri perut muncul disertai keluhan mual, lemas, dan mulut terasa kering. Mual
tidak disertai muntah. Keluhan demam, pusing, batuk, pilek, sesak, nyeri pinggang, dan
gangguan BAB dan BAK disangkal. Pasien merasa sangat kesakitan sehingga diputuskan
untuk dirawat di bangsal untuk mendapat terapi lebih lanjut. Pasien selalu bertanya-tanya
mengapa ia selalu kesakitan seperti ini dan sampai menangis ketika diwawancara.
Pasien sebelumnya sudah berobat ke Poliklinik, tetapi masih mengeluh nyeri perut dan
mual tidak kunjung hilang meskipun sudah diberikan obat-obatan. Pasien mengatakan
dirinya sudah sering di rawat inap namun keluhan masih tetap muncul.
Pasien mengaku sedang berobat di psikiatri 1 bulan yang lalu di RSUD Ambarawa atas
saran dokter yang merawat sebelumnya dikarenakan kecemasannya dan pasien sering
sulit tidur.
Pasien mengaku keluhan seperti ini sering sekali dirasakan dan susah hilang jika sudah
kambuh. Keluhan sampai menganggu aktivitas. Menurut suami pasien, pasien seperti ini
saat suaminya berhenti bekerja, terdapat permasalahan ekonomi dan pasien tidak dapat
menyelesaikan pekerjaannya sebagai tukang jahit, sementara para pelanggan pasien telah
menagih baju yang dijahit oleh pasien.
b. Thorax – Pulmo
ANTERIOR POSTERIOR
Inspeksi
c. Abdomen
1) Inspeksi
Tampak datar, massa (-), sikatrik (-), warna sama seperti kulit sekitarnya
2) Auskultasi
Peristaltik (+) normal
3) Perkusi
Timpani di seluruh lapang abdomen, shifting dullnes (-)
4) Palpasi
Nyeri tekan ulu hati (+), massa (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal
tidak mengalami pembesaran.
8. Ekstremitas
Ekstremitas Ekstremitas
Superior Inferior
D. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 11.3 g/dl 13,2 – 17,3
Leukosit 9.8 Ribu 3.8-10.5
Eritrosit 5.31 Juta 4.4-5.9
Hematokrit 43.0 % 40 – 52
Trombosit 315 Ribu 150 – 400
MCV 60.9 L fL 82 – 95
MCH 26.9 L Pg 27 – 32
MCHC 33.3 g/dl 32 – 37
RDW 12.7 % 10-16
MPV 6.97 Mm3 7-11
Eosinofil 0.011 L 103/ul 0.04 - 0.8
Basofil 0.052 103/ul 0 – 0.2
Netrofil 4.5 103/ul 1.8-7.5
Limfosit 1.18 103/ul 1.0-4.5
Monosit 0.225 103/ul 0.2-1.0
PCT 0.305 % 0.2-0.5
PDW 18.3 % 10-18
E. Initial Plan
Diagnosis Kerja Sementara
Gangguan Psikosomatis
Diagnosis Multiaksial
Axis 1 : F45 Gangguan Somatisasi
Axis 2 : Tidak ada kelainan
Axis 3 : Tidak ada kelainan
Axis 4 : Masalah ekonomi dan pekerjaan
Axis 5 : GAF 71-80
Initial Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium
Initial terapi
o Farmakologi
a. Infus RL 20 tpm
b. Inj. Omeprazole 1 amp/12 jam
c. Inj. Ondancetron 1 amp/12 jam
o Anjuran terapi selain obat-obatan:
Menjelaskan kepada pasien bahwa keluhan yang dialami tak separah
yang diperkirakan
Psikoterapi
Reedukasi: meluruskan pendapat pasien yang salah, beri keyakinan,
pengertian tentang penyebab penyakit
Komitmen agama & pengamalannya
o Pendukung:
Perbaiki kondisi sosial ekonomi, rumah tangga, pekerjaan
Tunjukkan jalan keluar permasalahan
Psikoterapi terhadap orang di sekitarnya
Initial Monitoring
a. Evaluasi keadaan umum
6. Edukasi
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang sakit yang dialami pasien dan
pengobatan yang harus dijalani
Follow up
Tanggal Perjalanan Penyakit Planning
3 Juni 2018 S : nyeri ulu hati (+) mual (+) P:
O : KU/Kes : tampak lemas, CM - Infus RL 20 tpm
TTV : - Inj. Omeprazole 1 amp/12
- TD : 120/70 mmHg jam
- N : 88 x/menit - Inj. Ondancetron 1
- RR: 24 x/menit amp/12jam
- S: 36,5 0C
- SpO2 : 89%
A:
Dyspepsia
Gangguan Psikosomatik
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Hubungan antara psikis (jiwa) dan soma (badan) telah menjadi perhatian para ahli dan
para peneliti sejak dahulu. Keduanya (psikis dan soma) saling terkait secara erat dan tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kedua aspek saling mempengaruhi yang
selanjutnya tercermin dengan jelas dalam ilmu kedokteran psikosomatik. 1
Di masa prasejarah masyarakat percaya bahwa penyakit disebabkan oleh kekuatan roh
jahat/setan. Oleh karena itu pengobatannya harus dilakukan dengan mantera-mantera. Di
masa peradaban kuno kemudian dipercaya bahwa pikiran memiliki kekuatan besar untuk
mempengaruhi badan, sehingga gangguan pada badan tidak bisa disembuhkan tanpa
mengobati kepalanya (pikiran).1
Dalam perkembangannya tidak hanya aspek fisis dan psikis saja yang menjadi titik
perhatian, tetapi juga aspek spiritual (agama) dan lingkungan merupakan faktor yang harus
diperhatikan untuk mencapai keadaan kesehatan yang optimal. Hal ini sesuai dengan definisi
WHO tentang pengertian sehat yang meliputi kesehatan fisis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Jadi mempunyai 4 dimensi yaitu bio-psiko-sosio-spiritual.1
Dalam pengertian kedokteran psikosomatik secara luas, aspek bio-psiko-sosio-spiritual
tersebut sangat perlu dipahami untuk melakukan pendekatan dan pengobatan terhadap pasien
secara holistic (menyeluruh) dan ekliktik (rinci) yaitu pendekatan psikosomatik.1
Gangguan psikosomatik ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-gejala yang
menyerupai penyakit fisis dan diyakini adanya hubungan yang erat antara suatu peristiwa
psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-gejala tersebut. Ada juga yang memberikan
batasan bahwa gangguan psikosomatik merupakan suatu kelainan fungsional suatu alat atau
sistem organ yang dapat dinyatakan secara obyektif, misalnya adanya spasme, hipo atau
hipersekresi, perubahan konduksi saraf dan lain-lain. Keadaan ini dapat disertai adanya
organik/struktural sebagai akibat gangguan fungsional yang sudah berlangsung lama.1
Menurut JC. Heinroth yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik ialah adanya
gangguan psikis dan somatik yang menonjol dan tumpang tindih. Berdasarkan pengertian dan
kenyataan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik
adalah gangguan atau penyakit yang ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan somatik yang
dapat merupakan kelainan fungsional suatu organ dengan ataupun tanpa gejala objektif dan
dapat pula bersamaan dengan kelainan organik/ struktural yang berkaitan dengan stressor
atau peristiwa psikososial tertentu.1
Gangguan fungsional yang ditemukan bersamaan dengan gangguan struktural organis
dapat berhubungan sebagai berikut:
Gangguan fungsional yang lama dapat menyebabkan atau mempengaruhi timbulnya
gangguan struktural seperti asma bronchial, hipertensi, penyakit jantung koroner, arthritis
rheumatoid dan lain-lain
Gangguan atau kelainan struktural dapat menyebabkan gangguan psikis dan
menimbulkan gejala-gejala gangguan fungsional seperti pada pasien penyakit jantung,
penyakit kanker, gagal ginjal dan lain-lain.
Gangguan fungsional dan struktural organik berada bersamaan oleh sebab yang berbeda.1
Dalam kenyataannya, di klinik jarang sekali faktor psikis/emosi seperti frustasi, konflik,
ketegangan dan sebagainya dikemukakan sebagai keluhan utama oleh pasien. Justru keluhan-
keluhan fisis yang beraneka ragam yang selalu ditonjolkan oleh pasien. Keluhan-keluhan
yang dirasakan pasien umumnya terletak di bidang penyakit dalam seperti keluhan sitem
kardiovaskuler, sistem pernapasan, saluran cerna, saluran urogenital, dan sebagainya.
Keluhan-keluhan tersebut adalah manifestasi adanya ketidakseimbangan sistem saraf
otonom vegetatif, seperti sakit kepala, pusing, serasa mabuk, cenderung untuk pingsan,
banyak keringat, jantung berdebar-debar, sesak napas, gangguan pada lambung, dan usus,
diare, anoreksia, kaki dan tangan dingin, kesemutan, merasa panas atau dingin seluruh tubuh
dan banyak lagi gejala lainnya.1 Terdapat multiaxial evaluation system pada psikosomatik.
Dikenal 5 aksis yang ada:
Aksis 1. Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi malfungsi atau kondisi fisis,
sindrom klinis.
Aksis 2. Gangguan personality (kepribadian) dan derajat beratnya gangguan tersebut.
Aksis 3. Gangguan penyakit fisik.
Aksis 4. Stresor psikososial dan derajat beratnya.
Aksis 5. Sosio-kultural, kemampuan fungsi adaptasi yang tertinggi, didapatkan dalam
satu tahun terakhir.
Dengan mempergunakan evaluasi multiaksis ini pada setiap pasien psikosomatik dapat
dipandang secara luas dari berbagai aspek, yaitu aspek psikologis, sosial, fisik, dan beratnya
faktor stresor dan derajat fungsi adaptasinya.
II. PATOFISIOLOGI
III. KLASIFIKASI
Berdasarkan ada tidaknya patologi sistem organ, gangguan psikosomatik dibagi menjadi:1
a. Gangguan psikosomatik fungsional (malfungsi fisiologis) atau gangguan psikosomatik
primer
b. Gangguan psikosomatik struktural (malfungsi fisiopatologis) atau gangguan psikosomatik
sekunder
Kasus-kasus psikosomatik di bagian penyakit dalam dapat dibedakan beberapa kelompok,
yaitu:
Tanpa dijumpai kelainan organik (kasus psikosomatik murni)
Terdapat kelainan organik disebabkan karena gangguan psikosomatiknya sudah
berlangsung lama. Misalnya dispepsia non ulkus menjadi ulkus peptikum
Kelainan organik terjadi bersama-sama gangguan psikosomatiknya dan tidak saling
berhubungan (koinsidensi). Dalam hal ini keluhan-keluhan pasien tidak sesuai dengan
kelainan yang ditemukan. Mereka terlampau banyak mempunyai keluhan yang tak cocok
dengan keluhan organiknya
Kelainan organik yang ada baru disadarkan oleh orang atau dokternya. Misalnya kelainan
jantung bawaan, tuberkulosis, tumor ganas, infark miokard, dan sebagainya.
4. Gangguan Endokrin
a. Kelainan Tiroid
Pasien tirotoksikosis umumnya datang dengan keluhan yang dianggap bersifat
psiksi belaka. Misalnya rasa cemas, mudah marah, paranoid, rasa seperti leher
tercekik atau terikat, rasa takut tanpa sebab yang jelas, insomnia dengan mimpi buruk,
dan gugup. Keluhan ini sering diikuti dengan hiperaktivitas saraf otonom seperti
keringat banyak, mulut kering, pupil lebar, kulit pucat, nadi cepat, dan sebagainya.8
Pengobatan ialah usaha untuk mengendalikan metabolism dengan obat-obat dan
bila perlu dioperasi. Transquilaizer dapat sangat membantu. Psikoterapi perlu,
terutama pada penderita dengan konflik yang mendalam dan yang tidak dapat
menyesuaikan diri.2
b. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit meabolik yang ditandai dengan
adanya defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hipetglikemia kronik
pada pasien diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan berbagai organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah
serta mempengaruhi kondisi psikis. Gangguan psikis yang biasa terjadi pada penderita
diabetes mellitus adalah depresi. 9
Depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial yang berhubungan dengan
penyakit atau terapinya. Depresi pada diabetes terjadi akibat meningkatnya tekanan
pasien yang dialami dari penyakitnya yang kronik. Hubungan ketidakmampuan
adaptasi dengan gejala depresi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:9
a. Pandangan terhadap penyakit yang diderita.
b. Dukungan sosial yang kurang baik
c. Coping strategy, mencegah pikiran untuk lari dari kenyataan dan adaptasi
psikologis menjadi lebih baik sehingga mengurangi kemungkinan gejala depresi.
Pengobatan depresi dan diabetes dilakukan bersama-sama dengan psikoterapi,
psikoedukasi, psikofarmaka secara serentak. Cognitive Behavioral Theraphy (CBT)
sangat bermanfaat diberikan pada pasien depresi dengan diabetes mellitus dan
dikombinasikan dengan edukasi diabetes. Teknik CBT tersebut adalah:9
a. Merubah perilaku dengan mengembalikan aktuvitas fisik dan kehidupan sosial
yang menyenangkan pasien.
b. Upaya pemecahan masalah atau stress yang dihadapi.
c. Teknik kognitif dengan mengidentifikasi adanya maldaptasi dan menggantinya
dengan pandangan yang akurat, adaptif dan akurat.
Beberapa golongan obat antidepresan yang biasa diberikan untuk penderita
diabetes melitus adalah golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) dapat
mengurangi resistensi insulin sehingga gula darah dapat lebih terkontrol. Beberapa
golongan obat SSRI seperti fluoksetin memiliki efek menurunkan berat badan
sehingga baik diberikan pada penderita diabetes yang gemuk. Efek samping yang
perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya hipoglikemia, disfungsi seksual
dan pasien yang disertai gangguan ginjal.9
5. Gangguan Muskuloskeletal
Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dengan pathogenesis autoimun
dan etiologi yang multikompleks. Berbagai faktor yang dapat berperan penting seperti
immunogenetik, kelamin, umur dan stress. Hubungan stress dengan AR masih belum
jelas, meskipun pada berbagai penelitian terdapat perkembangan bahwa faktor stressor
lingkungan, psikologis, dan biologis menjadi faktor predisposisi.10
Sebelum timbulnya penyakit AR, pasien menunjukkan ciri-ciri psikodinamik dan
kepribadian yang khas, yaitu:
- Ketelitian yang berlebihan, perfeksionisme, kepatuhan, dengan kecenderungan
menekan semua dorongan agresi dan permusuhan.
- Ciri mesokistis-depresif dengan tendensi pengorbanan diri, sifat menolong yang
berlebihan, bermoral tinggi dan cenderung depresif.
- Kebutuhan aktivitas badaniah seperti olahraga, kerja di rumah dan berkebun sebagai
penyaluran agresi.2,10
Kepribadian, stressor psikologis, ancaman terserang AR, kemampuan menanggulangi
nyeri dan menanggulagi ketidakmampuan serta dukungan sosial telah terbukti
berhubungan dengan derajat nyeri, disabilitas dn aktivitas penyakit AR. Faktor
psikososial seperti stress psikologis, penyesuaian, depresi, keyakinan dalam kemampuan
menanggulangi penyakit dan dukungan sosial berperan pada keadaan sakit dengan
mempengaruhi pelepasan hormone stress, yang selanjutnya berpengaruh pada mekanisme
dalam tubuh termasuk kerentanan dan kekambuhan penyakit AR.10
6. Gangguan Urologi
Irritable bladder, yang bukan disebabkan oleh kelainan organik terutama pada wanita
hingga klimakterium, jarang pada pria. Secara psikofisiologis yang mendasari terjadinya
irritable bladder ialah sensibilitas fungsi kandung kemih yang berlebihan atau ambang
rangsang yang rendah yang bersifat psikovegetatif, yang dapat ditemukan dengan
pengukuran tegangan intravesikal. Dengan demikian perubahan-perubahan pengisian
kandung kemih yang berlebihan. Secara psikodinamik hal ini dapat terjadi pada situasi
konflik seksual, rasa malu dan takut pada percobaan koitus, rasa segan terhadap
pasangan.11
Beberapa contoh lain gangguan psikosomatik saluran kemih:
- Fobia mengenai buang air kecil yang tak diinginkan
- Polakisuria tanpa ada kelainan organ
- Retensio urin tidak organik yang sepintas lalu atau residivans
- Bercampur aduknya fungsi berkemih dengan fungsi seksual11
IV. DIAGNOSIS
V. PENATALAKSANAAN
Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum tidak mempunyai
gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai gangguan organik tetapi keluhannya berlebihan. 2
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan psikosomatik dapat ditolong.
Kita dapat menerangkan kepada penderita tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang
kurang, tidak terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur. Untuk
menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat diambil contoh sehari-hari seperti
orang yang malu mukanya akan menjadi merah, orang yang takut menjadi bergemetar dan pucat.
Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan pengetahuan penderita. 2
Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi yaitu: 2
Fase 1 : ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan dokter bersama-sama
berusaha dan saling membantu melalui anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan tes
laboratorium bila perlu. Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit organik dan
dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan tentang gejala-gejala.
Berikan kesempatan kepada penderita untuk bertanya.
Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara. Untuk memberi keterangan
tentang keluhan, meyakinkan serta menenangkan pasien, dapat dikatakan antara lain :
Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh dan menderita
Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang sudah kita obati
Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain
Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan gangguan emosional
Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu, tetapi akan hilang atau
berkurang bila diobati dengan baik
Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan kecemasan
Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh sehingga timbul gejala
Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa
Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat. Sering gejala merupakan
pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan
Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.
Fase 3 : ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini pasien yang lebih banyak bicara.
Terjadi pengakuan, katarsis dan wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat pribadi, rahasia,
tanpa sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan pengertian. Dokter menjelaskan
saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan.
Tujuan terapi adalah kesembuhan, maksudnya adalah resolusi gangguan, reorganisasi
gangguan, rerganisasi kepribadian, adaptasi yang lebih matang, meningkatkan kapasitas fisik
dan okupasi serta proses penyembuhan, perbaikan penyakit, mengurangi secondary gain
terhadap kondisi medisnya, serta menjadi patuh dengan pengobatan.14
1. Aspek Psikiatrik
Terapi gangguan psikosomatik dari pandangan psikiatrik merupakan suatu tugas yang
sulit. Psikiater harus memusatkan terapi pada pemahaman motivasi dan mekanisme fungsi
yang terganggu serta membantu pasien menyadari sifat penyakit mereka serta kaitan pola
adaptif yang merugikan tersebut. Tilikan ini harus menghasilkan pola perilaku yang berubah
dan lebih sehat.15
Pasien dengan gangguan psikosomatik biasanya lebih enggan menghadapi masalah
emosional daripada pasien dengan masalah psikiatrik lain. Pasien psikosomatik mencoba
menghindari tanggung jawab untuk penyakitnya dengan mengisolasi organ yang sakit serta
datang ke dokter untuk didiagnosis dan disembuhkan. Mereka mungkin memuaskan
kebutuhan infantil untuk dirawat secara pasif, sambil menyangkal kalau mereka dewasa,
dengan semua stres dan konflik yang ada.15
2. Aspek Medis
Terapi internis gangguan psikosomatik harus mengikuti peraturan
pengelolaan medis yang telah ditegakkan. Umumnya, internis harus menghabiskan sebanyak
mungkin waktu dengan pasien dan mendengarkan banyak keluhan dengan simpatik; mereka
harus bersikap menenangkan dan suportif. Sebelum melakukan prosedur yang memanipulasi
fisik—terutama jika menyakitkan, seperti kolonoskopi—internis harus menjelaskan pada
pasien apa yang akan dihadapi. Penjelasan akan menghilangkan ansietas pasien, membuat
pasien lebih kooperatif, dan akhirnya memudahkan pemeriksaan. 15
Sikap pasien terhadap minum obat juga dapat memengaruhi hasil terapi psikosomatik.
Contohnya, pasien dengan diabetes yang tidak menerima penyakitnya dan memiliki -impuls
merusak diri yang tidak mereka sadari dapat dengan sengaja tidak mengendalikan diet
mereka, akibatnya akan mengalami koma hiperglikemik. Pasien lain menggunakan penyakit
mereka sebagai hukuman untuk rasa bersalah atau sebagai cara untuk menghindari tanggung
jawab. Terapi pada kasus seperti ini hams berusaha membantu pasien meminimalkan rasa
takut mereka dan berfokus pada perawatan diri sendiri serta pembentukan kembali citra tubuh
yang sehat. 15
3. Perubahan Perilaku
Peran penting psikiater dan dokter lain yang bekerja dengan pasien psikosomatik
adalah memobilisasi pasien untuk mengubah perilaku dengan cara yang mengoptimalkan
proses penyembuhan. Hal ini memerlukan perubahan umum gaya hidup (cth., berlibur) atau
perubahan perilaku spesifik (cth., berhenti merokok). Terjadi atau tidaknya ini bergantung
pada ukuran besar kualitas hubungan antara dokter dan pasien. Kegagalan dokter
menciptakart rapport yang baik menyebabkan ketidakefektivan untuk membuat pasien
berubah. 15
Rapport adalah perasaan disadari dan spontan mengenai responsivitas yang harmonis
antara pasien dan dokter. Rapport mengesankan pengertian dan kepercayaan di antara
keduanya. Dengan rapport, pasien merasa diterima, meskipun mereka dapat berpikir aset
mereka melebihi kewajiban mereka. Yang sering, dokter adalah orang yang dapat diajak
bicara oleh pasien mengenai hal-hal yang tidak dapat ia bicarakan dengan orang lain.
Sebagian besar pasien merasa bahwa mereka dapat percaya pada dokter, terutama psikiater
untuk menyimpan rahasia. Kepercayaan ini tidak boleh dikhianati. Perasaan yang diketahui,
dimengerti seseorang, dan menerimanya adalah sumber kekuatan yang dapat memungkinkan
pasien memulai perilaku yang sehat, seperti mengikuti Alcoholics Anonymous (AA) atau
mengubah kebiasaan makan. 15
4. Terapi Spesifik
Sistem kardiovaskular. Pada penyakit arteri koroner, untuk menghilangkan
ketegangan psikis yang berhubungan dengan penyakit, klinisi menggunakan obat
psikotropika, contohnya diazepam. Terapi yang digunakan untuk membantu melindungi
terhadap aritmia akibat emosi adalah psikotropika dan obat penghambat Beta seperti
propanolol. Pengobatan psikofarmaka ditujukan bila terdapat gejala yang menonjol pada
penyakit jantung psikogenik. Obat antiansietas dapat digunakan bila kecemasan yang timbul
berat. Derivat benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi, menghilangkan rasa
cemas, dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan rasa cemas.
Sebagai antiansietas, klordiazepoksid dapat diberikan secara oral atau bila sangat
diperlukan, suntikan dapat diulang 2-4 jam dengan dosis 25-100 mg sehari dalam 2 atau 4
pemberian. Dosis diazepam adalah 2-20 mg sehari; pemberian suntikan dapat diulang tiap 3-4
jam. Klorazepam diberikan secara oral 30 mg sehari dalam dosis terbagi. Klordiazepoksid
tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg. Diazepam berbentuk tablet 2 dan 5 mg. Diazepam
tersedia sebagai larutan untuk pemberian rektal pada anak dengan kejang demam.16
Terapi medis harus suportif dan menentramkan, dengan suatu penekanan psikologis
untuk menghilangkan stres psikis, kompulsivitas dan ketegangan. Psikoterapi supotif dan dan
teknik perilaku (biofeedback, meditasi, terapi relaksasi) telah dilaporkan berguna dalam
pengobatan.
Sistem Pernapasan. Pasien asmatik harus diterapi dengan melibatkan berbagai
disiplin ilmu antara lain menghilangkan stres, penyesuaian diri, menghilangkan alergi serta
mengatur kerja sistem saraf vegetatif dengan obat-obatan. Pada penderita tuberkulosis, faktor
psikologis mempengaruhi sistem kekebalan dan mungkin mempengaruhi daya tahan pasien
terhadap penyakit. Psikoterapi suportif adalah berguna karena peranan stres dan situasi
psikososial yang rumit.
Sistem gastrointestinal. Pada penyakit Crohn terapi mencakup penggunaan agen
antibiotik, obat imunosupresan, dan kortikosteroid. Penggunaan obat psikotropika umum
dalam pengobatan berbagai gangguan GI. Pengobatan pada pasien dengan penyakit GI
dipersulit oleh gangguan motilitas lambung dan penyerapan, dan metabolisme berkaitan
dengan gangguan GI yang mendasarinya. Efek GI pada obat psikotropika dapat digunakan
untuk efek terapi dengan gangguan GI fungsional. Sebuah contoh dari efek samping
menguntungkan dari penggunaan TCA untuk mengurangi motilitas lambung pada IBS
dengan diare. Psikotropika efek samping GI, bagaimanapun, dapat memperburuk gangguan
GI. Sebuah contoh dari efek samping potensial yang merugikan akan meresepkan sebuah
TCA untuk mengobati pasien depresi dengan refluks gastroesophageal.
Terapi obat psikotropika yang rumit oleh penyakit hati akut dan kronis. Sebagian besar agen
psikotropika dimetabolisme oleh hati. Banyak dari agen dapat dikaitkan dengan
hepatotoksisitas. Ketika perubahan akut pada tes fungsi hati terjadi dengan TCA,
carbamazepine, atau antipsikotik, mungkin perlu untuk menghentikan obat. Selama periode
penghentian, lorazepam atau lithium dapat digunakan, karena mereka diekskresikan oleh
ginjal. Terapi electroconvulsive (ECT) juga dapat digunakan pada pasien dengan penyakit
hati, meskipun ahli anestesi perlu hati-hati memilih agen anestesi dengan risiko minimal
untuk hepatotoksisitas.17
Psikoterapi bisa menjadi komponen kunci dalam pendekatan melangkah perawatan
untuk pengobatan IBS dan gangguan GI fungsional. Beberapa model yang berbeda dari
psikoterapi telah digunakan. Ini termasuk jangka pendek, berorientasi dinamis, psikoterapi
individu, psikoterapi suportif, hipnoterapi, teknik relaksasi, dan terapi kognitif.17
Sistem neurologis. Migrain dan cluster headache paling baik diterapi selama periode
prodromal dengan ergotamine tartrate (Cafergot) dan analgesik. Pemberian propranolol atau
verapamil (Isoptin) profilaktik berguna jika sakit kepala sering terjadi. Sumatriptan (Imitrex)
diindikasikan untuk terapi jangka pendek migrain dan dapat menghentikan serangan.
Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) juga berguna untuk profilaksis. Psikoterapi
untuk menghilangkan efek konflik dan stres serta teknik perilaku tertentu (cth., biofeedback)
telah dilaporkan berguna. 15
5. Psikofarmaka
Terapi penyakit psikosomatik pada dasarnya harus dilakukan dengan beberapa cara.
Komponen-komponen yang harus dibedakan, ialah:
a. Terapi somatik
Hanya bersifat somanya saja dan pengobatan ini bersifat simtomatik.
b. Psikoterapi dan sosioterapi
Pengobatan dengan memperhatikan faktor psikisnya atau kepribadian secara keseluruhan.
c. Psikofarmakoterapi
Pengobatan psikosomatik dengan menggunakan obat-obat psikotrop yang bekerja pada
sistem saraf sentral. Efek samping yang timbul dari penggunaan obat-obat psikofarmaka:
13
BAB IV
PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Mudjaddid, E. Shatri, Hamzah. Gangguan Psikosomatik: Gambaran Umum dan
Patofisiologinya. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p896-8
2. Maramis, W.F. Gangguan Psikosomatik. Dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Surabaya: Airlangga University Press. p339-72
3. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Faktor Psikologik Yang Mempengaruhi
Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Dalam Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2010.p287-93
4. Mudjaddid, E. Dispepsia Fungsional. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK
UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p906
5. Hadi, Sujeno. Psikosomatik Pada Saluran Cerna Bagian Bawah. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p907-9
6. Halim, S. Budi, dkk. Aspek Psikosomatik Hipertensi. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p913-4
7. Putranto, Rudi. Mudjaddid, E. shatri, Hamzah. Sindrom Hiperventilasi. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p920-1
8. Mudjaddid, E. Aspek Psikosomatik pada Asma Brokhial. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p922-3
9. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p937-8
10. Mudjaddid, E. Putranto, Rudi. Aspek Pikosomatik Pasien Diabetes Melitus. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p939-40
11. Sukatman, D. Budihalim, S. Putranto, Rudi. Gangguan Psikosomatik Pada Penyakit
Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II
FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p924-5
12. Budihalim, S. Sukatman, D. Mudjaddid, E. Gangguan Psikosomatik Saluran Kemih.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
2006. p953