Anda di halaman 1dari 18

TEORI SOSIOLOGI ISLAM

Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Teori Sosiologi Modern II
Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Zuldin, Drs., M.Si.

Oleh
Amin Fuady (1168030021)
Andi Sandean (1168030023)
Anis Ilahi Wahdati (1168030026)
Cucu Nur’asih (1168030041)

SOSIOLOGI 5A
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

BANDUNG
2018 M/1439 H

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta
karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat
serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya,
sahabatnya, Tabiin tabiatnya serta kepada kita selaku umatnya.

Makalah ini membahas mengenai “Teori Sosiologi Islam”, guna memenuhi tugas
terstruktur dalam mata kuliah Teori Sosiologi Modern II, dengan dosen pengampu Bapak Dr.
Muhammad Zuldin, Drs., M.Si.

Sebelumnya penyusun mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan.

Bandung, 26 Oktober 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................i


DAFTAR ISI ..........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan.......................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Biografi......................................................................................................................3
B. Akar Pemikiran........................................................................................................4
C. Substansi Pemikiran................................................................................................5
D. Kritik Terhadap Marxisme.....................................................................................11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................................................................13
B. Saran.........................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dibandingkan dengan kepustakaan agama-agama lain yang sudah mapan dan


berkembang baik secara sistematis serta kebudayaan-kebudayaan yang relevan,
pengkajian tentang Islam merupakan pengkajian yang terlantar. Baik pada bidang
fenomenologi maupun sejarah agama-agama. Memang nyaris tidak terdapat sesuatu
penyelidikan penting tentang Islam dan masyarakat Islam.

Dalam dunia keilmuan Islam, Ali Syari’ti merupakan sosiolog yang membuka
ketelantaran kajian sosiologi dalam Islam. Dia adalah sosiolog yang sangat
berpengaruh dalam dunia ilmu pengetahuan. Ia menggunakan Al-Qur’an sebagai
pisau analisis untuk mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan dan kemasyarakatan, banyak
kontribusinya dalam essai-essai pemikiran tentang sosiologi yang berlandaskan pada
konsep-konsep Al-Qur’an.

Islam tandasnya adalah ajaran yang sangat mengapresiasi dan toleran dalam
memberikan kebebasan umatnya untuk berfikir menggunakan kecerdasannya dan
berbuat segenap kemampuannya, selama semua itu dapat dipertanggungjawabkan
sesuai ajaran Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.

Ilyas Ba-Yunus menguraikan ruang lingkup sosiologi dalam proses-proses


yang lebih luas yang dihasilkan dalam masyarakat manusia meliputi seluruh aspek
kehidupan ; politik, ekonomi, pendidikan, migrasi, kematian, rekreasi, pendeknya apa
saja yang mengenai urusan manusia dalam hubungan dengan sesamanya. (Yunus,
1996 ; 16). Dalam konsep sosiologi Ali Syari’ati lebih mengadopsi konsep-konsep
atau istilah-istilah keislaman yaitu ‘adil, tauhid, syirik, hijrah, an-nas, ummah maupun
imamah.

Islam – Al-Qur’an seperti yang diyakini Ali Syari’ati adalah sumber serba ide,
suatu teori dalam kerangka filosofis yang sangat komprehensif, (Syari’ati, t.th. ; 50)
tinggal bagaimana umatnya mempelajari garis-garis besar seluruh ilmu dan hukum

1
yang tergambar dalam Al-Qur’an dan dihubungkan dengan ayat-ayat yang nyata
(ayat-ayat kauniyah).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Ali Syari’ati?
2. Bagaimana akar pemikiran Ali Syari’ati?
3. Bagaimana substansi pemikiran Ali Syari’ati dan Ilyas Ba-Yunus?
4. Apa saja kritik terhadap teori sosiologi Islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana biografi Ali Syari’ati?
2. Untuk mengetahui bagaimana akar pemikiran Ali Syari’ati?
3. Untuk mengetahui bagaimana substansi pemikiran Ali Syari’ati dan Ilyas Ba-
Yunus?
4. Untuk mengetahui apa saja kritik terhadap teori sosiologi Islam?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi

Ali Syariati merupakan anak pertama dari pasangan Muhammad Taqi dan
Zahra, Ia dilahirkan pada tanggal 24 November 1933 di sebuah desa kecil di Kahak,
sekitar 70 kilometer dari Sabzevar, Iran bagian Tenggara. Keluarga Zahra tinggal di
Kahak dan Ali dilahirkan dirumah kakeknya dari pihak Ibu. Dia anak pertama
sekaligus anak laki-laki satu-satunya didalam keluarga, dengan tiga orang saudaranya,
Tehereh, Tayebeh, dan Batul (Afsanah). Ali Syariati hidup dalam masyarakat urban
kelas menengah kebawah.1

Ali Syariati kecil hidup dimasa perang besar dunia II sedang berkecamuk,
tidak terkecuali di Iran. Pada musim semi tahun 1941, sebulan setelah sekutu
menginvasi Iran, Ali memasuki tahun pertama di sekolah dasar. Setelah selesai
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Ibnu Yamin, pada bulan September 1947,
Ali memasuki sekolah menengah Firdausi. Ali menyelesaikan tingkat kesembilannya
di Firdausi. Meskipun demikian, sebagai ganti meneruskan sekolahnya ke tingkat
diploma, dia mengambil jalan lain. Pada tahun 1950, atas permintaan ayahnya,
Muhammad Taqi, dia mengikuti ujian masuk di Institut Keguruan (Danesyara-ye
Moqadimati) yang ketat.

Keterlibatan aktif Ali dalam politik dimula dari periode ini. Dia sudah
mengenal politik dan wacana kenegaraan walaupun hanya terbatas pada ranah-ranah
diskusi. Ali lulus dari Institut Keguruan pada tahun 1952. Semenjak musim gugur
pada tahun yang sama, dia bekerja di Kementrian Pendidikan dan dikirim ke sekolah
dasar Ketabpur di Ahmadabad. Selain menulis, Ali Syari’ati mulai pula
menyampaikan berbagai ceramah dan kuliah di

dan kaum terpelajar. Lembaga ini memainkan peran yang sangat besar dalam
menyebarkan pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati, dan sebaliknya.

Ketika berumur 23 tahun, Ali Syari’ati masuk Fakultas Sastra Universitas


Masyhad. Di sinilah Syari’ati untuk pertama kali masuk penjara selama 8 bulan
1
Ali Syari’ati, Biografi Politik Intelektual Revolusioner. Terj. Ali Rahmena (Jakarta: Erlangga, 2000), hlm. 53.

3
sebagai akibat gerakan oposisinya melawan rezim, di bawah pimpinan Gerakan
Perlawanan Nasional (NRM) Cabang Masyhad. Setelah lulus dari Universitas
Masyhad ia melanjutkan pendidikan tingginya ke Universitas Paris atas beasiswa
pemerintah Iran. Di Prancis sendiri, Ali Syariati menemukan lebih banyak sumber
ilmu pengetahuan yang tidak ada di Iran pada waktu itu. Disertasi doktoralnya
berjudul ‘Fadhil al Balkh’ sebuah essai terjemahan teks Persia abad pertengahan. Ia
menunjukkan keorisinilan berpikir dan mengabaikan nuansa-nuansa sosiologi Barat
resmi.

Keberadaan Syari’ati di Paris bersamaan pula dengan masa-masa munculnya


kebangkitan baru dalam mengembangkan sayap-sayap kemajuan gerakan keagamaan
di dalam negeri Iran. Tidak memakan waktu lama, muncullah gelombang gerakan
kebebasan yang melanda Iran. Dan penguasapun segera melakukan penangkapan-
penangkapan terhadap tokoh-tokoh gerakan kebebasan negeri ini. Sebagian di antara
mereka ditembak mati, dan sebagian lagi dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa
secara keji, yang ditujukan pula untuk menghancurkan gerakan nasionalis dan
keagamaan, khususnya para tokoh gerakan kebebasan Iran.2 Pada usia 44 tahun dia
meninggal dunia di Inggris dan kiprah keilmuannya berjalan sekitar 10 tahun.

B. Akar Pemikiran

Ayah Ali Syari’ati, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang
mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemakaman
Ali Al-Ridha. Kehidupan Syari’ati atau Ali Mazinani berakar di pedesaan dan
disanalah pandangannya pertama kali dibentuk. Guru pertamanya adalah ayahnya
sendiri yang menjadi seorang pengajar di kota Masyhad. Pada awal 1940-an, ayah Ali
Mazinani atau Ali Syari’ati mendirikan usaha penerbitan bernama “Pusat Penyebaran
Kebenaran Islam” (The Center for Propagation of Islamic Truth) yang bertujuan
untuk kebangkitan Islam sebagai agama yang sarat dengan kewajiban dan komitmen
sosial. Ayah Ali Syari’ati adalah orang dengan pemahaman Islam yang progresif.
Sementara dari pihak ibu, kakeknya, Akhun Hakim adalah sosok ulama yang kisah
hidupnya turut menginspirasi Ali Syari’ati. Pamannya adalah murid dari ulama
terkemuka Adib Nishapuri, yang setelah belajar filsafat, fiqh, dan sastra, mengikuti
jejak leluhurnya memilih kembali ke Mazinan.

2
Ibid., hlm. 55-60.

4
Syari'ati mengetahui bahwa tradisi Islam yang sedang berkembanng sudah
banyak di selewengkan oleh penguasa menjadi sekedar ritualitas sempit.bagi Syari'ati,
Islam harus di ekspresikan dalam tindakan. Realitas abadi yang di pelajari kaum
Muslim untuk memahami hakikat kehidupan itu harus di hidupkan. Dalam pandangan
Ali Syari’ati, agama sebagai ideologi di artikan sebagai suatu keyakinan yang di pilih
secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan memecahkan
masalah dalam masyarakat. Ideologi di butuhkan untuk mengarahkan suatu
masyarakat atu bangsa dalam mencapai cita-cita dan alat perjuangan. 

Syari'ati sangat konsen dengan nasib dunia di mana banyak negara di jajah
secara ekonomi, politik, ultural olh barat. ide-ide syari'ati pun banyak di pengaruhi
oleh gagasan tokoh lain di belahan dunia ketiga seperti Frantz Fanon dari Aljazair,
yang pada saat itu sedang menghadapi perlawanan sama. Syari'ati menyadari bahwa
dunia ketiga yang mayoritas Muslim harus keluar dari kemelut hegemoni Barat.

Ali Syari’ati lahir ditengah kondisi dimana degradasi peran agamawan (ulama)
yang hanya menjadikan agama sebagai ritual batin antara hamba dan sang pencipta
tanpa peduli terhadap keterpurukan masyarakatnya. ulama tidak memainkan perannya
sebagai pemimpin yang tercerahkan yang akan memandu masyarakat menggapai
kebahagiaan spiritual dan material. kekeritisannya dalam praktek islam yang seperti
itu banyak didasari dari ide-ide Ahmad Kasravi seorang ulama tradisional yang
awalnya reformer syi’ah namun berubah menjadi anti syi’ah.

Selama menempuh pendidikan di Paris, Syariati berkenaan dengan karya-


karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan
hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi,
filosof, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar
pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dari
masing-masing mereka ia mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi
kepada mereka. Di sinilah Syariati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat
antara lain Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque
dan lain-lain.

C. Substansi Pemikiran
1. Habil dan Qabil

5
Konsep Ali Syariati tentang manusia sangat menarik dan autentik. Di samping
menjelaskan sejarah awal penciptaan manusia dengan tafsir yang sangat progresif,
Syariati juga mengeksplorasi gagasan tentang manusia ideal dan tanggung jawabnya.
Namun dari perspektif sosiologi, terdapat paling tidak 2 eksplanasi terkait dengan
konsep manusia yang dijelaskan melalui pendekatan sosiologi. Pertama tentang kisah
Habil dan Qabil, dan kedua terkait dengan kedudukan wanita dalam Islam.

Melalui perspektif sosiologi, Syariati memberi pemahaman baru terhadap


peristiwa yang dilukiskan oleh Al-Quran dalam ayat 27 Surat Al-Maidah.

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut
yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari
salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain
(Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil:
"Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".

Dalam pandangan Syariati, pembunuhan Qabil terhadap Habil, tidak semata-


mata bisa dijelaskan melalui kacamata kecemburuan seorang pria (Qabil) terhadap
saudaranya sendiri (Habil) dalam pilihan jodoh mereka berdua. Bagi Syariati, Habil
dan Qabil menjelaskan struktur masyarakat dari mana mereka berasal. Habil adalah
wakil dari masyarakat penggembala, sebuah sosialisme primitif yang tidak dan belum
mengenal hak milik pribadi. Sedangkan Qabil merupakan representasi masyarakat
dengan sistem sosial masyarakat pertanian, yang sudah mengenal hak milik pribadi
yang monopolistik. Cerita Habil dan Qabil bagi Syariati merupakan simbol dari
pertarungan antar kelas, kelas yang berkuasa (Qabil) dengan kelas yang dikuasai
(Habil). (Ali Syariati, 1989) Tampak dalam menjelaskan kisah anak Nabi Adam ini,
Syariati menggunakan pendekatan teori kelas Karl Marx.

2. Agama

Syariati jelas seorang mukmin, menerima seluruh ajaran Islam yang


diwahyukan kepada Nabi. Tapi Syariati juga adalah seorang intelektual, yang dalam
bahasanya disebut dengan raushankfikr, yang menerima agamanya setelah melakukan
pergulatan intelektual yang hebat di dalam dirinya. Sebagai raushanfikr, Syariati
merasa bertanggungjawab secara intelektual untuk memberikan landasan rasional-
filosofis atas penerimaannya terhadap agama Islam. Dalam perspektif ini, Syariati
telah melakukan dua pendekatan yang rasional dalam mempertanggungjawabkan

6
penerimaannya atas Islam sebagai bagian yang paling mendasar dalam tata kehidupan
individual, sosial dan bangsa Iran. Yang pertama, Syariati menerima Islam, setelah
melakukan kajian dan perbandingan dengan berbagai ideologi lainnya, apakah itu
dengan Marxisme, Eksistensialisme, Liberalisme, dan nasionalisme Iran sendiri. (A
Syariati, 1995) Sehingga kemudian Syariati mengatakan bahwa dalam seluruh
pencariannya itu, dia menemukan Islam, bukan Islam sebagai budaya yang memacu
kemunculan ahli-ahli teologi, melainkan Islam sebagai ideologi yang memacu
kemunculan kaum mujahid (Ali Syariati, 1989).

Yang kedua, Syariati melakukan kajian dan perbandingan Islam dengan


agama-agama lainnya, baik dengan Laotse, Konghucu, Hindu, Budha, Jainisme,
Yahudi dan Kristen. Mempergunakan teori Pendulum, Syariati melihat bahwa agama
dalam sejarah peradaban manusia tidak ubahnya sebuah pendulum yang selalu
bergerak dari satu titik ekstrem kiri menuju ke titik ekstrem kanan. Pada posisi
ekstrem kirinya, Syariati menyebutnya dengan Materialisme Ekstrem, sedangkan pada
posisi ekstrem kanan, disebut dengan Spiritualisme Ekstrem. Sepanjang sejarahnya,
agama selalu berayun dari salah satu titik ekstrem itu. Suatu waktu, dalam upaya
menyeimbangkan masyarakat, ayunan itu mengarah pada Materialisme Ekstrem
(diwakili oleh agama Musa, Konfusius, dan Zoroaster) dari titik Spiritualisme
Ekstrem (yang diwakili oleh agama Laotse, Buddhisme, Vedik dan Kristen), dan
sebaliknya. Ketika masyarakat menjadi sangat menyimpang ke satu titik ekstrem,
maka munculah Nabi dengan kekuatan agamanya yang menerapkan suatu gaya yang
berlawanan dengan arah penyimpangan. Kekuatan ini terus dilancarkan sehingga
masyarakat kembali pada posisi keseimbangan dengan keberhasilan yang positif,
untuk kemudian pada gilirannya kekuatan ini berubah menjadi kekuatan yang negatif
dan menyimpang. Kemudian pendulum bergerak lagi dengan kehadiran seorang Nabi
dengan kekuatan dan gaya yang berlawanan dari yang sebelumnya, demikian
seterusnya sejarah agama-agama. (A Syariati, 1983).

Jika contoh sejarah agama-agama di atas (Taoisme menuju Konghucu dan


Yahudi menuju Kristen), merupakan pola-pola pergerakan agama dunia, yang jika
dilihat dalam kerangka analisa teori Dialektika Historis, maka pergerakan pendulum
selalu bergerak dari sebuah tesa menuju anti-tesa tanpa sekalipun berhasil
menemukan sintesa yang baik dan sempurna di antara keduanya. Maka baru pada
agama Islamlah, menurut Ali Syariati, yang menjadi mata rantai terakhir dari sejarah

7
agama-agama, kombinasi ideal itu tercapai. Islam mengajak umat manusia “dari
kerendahan bumi ke ketinggian surga, dari perbudakan satu sama lain ke arah
pengabdian kepada Tuhannya alam semesta, dan dari penindasan agama ke arah
keadilan Islam.” (A Syariati, 1983) Dalam perjalanan sejarahnya, Islam tidak dapat
melepaskan diri dari gerakan pendulum yang sudah menjadi hukum sejarah itu.

3. Masyarakat
Menurut Syariati, istilah Ummah dalam al-Quran memiliki 3 (tiga) makna
yang saling berkaitan, yaitu; gerakan, tujuan dan ketetapan hati yang sadar. (A
Syariati, 1995) Lebih jelasnya, umat mengandung pengertian; kumpulan manusia
yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama, yang satu sama lain saling bahu-
membahu agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan, berdasarkan
suatu kepemimpinan kolektif. Dalam istilah umat itu, dengan demikian terkandung
tiga konsep, yakni; Kebersamaan dalam arah dan tujuan; gerakan menuju arah dan
tujuan tersebut; dan, keharusan adanya pemimpin dan petunjuk kolektif. (A Syariati,
1995).
Untuk memperjelas makna konsep Ummah ini, Syariati kemudian melakukan
perbandingan dengan konsep-konsep lainnya yang memiliki pengertian yang hampir
sama seperti; nation, qabilah, qaum, sya’b, thabaqah, mujtama’, tha’ifah, ras, massa
dan people. Berbeda dengan istilah nation, qabilah, qaum dan sya’b, istilah Ummah
memiliki muatan nilai-nilai kemanusiaan yang dinamis. Dan seluruh istilah-istilah itu
menurut Syariati mengandung makna adanya komunitas manusia yang menonjolkan
bentuk, karakteristik dan kondisi-kondisi lokalnya dan statis. (A Syariati, 1995)
Dalam pandangan Syariati, dan ini tampaknya paralel dengan Karl Marx, kerangka
dasar umat adalah ekonomi. Sistem sosialnya didasarkan atas kesamaan dan keadilan,
serta hak milik yang ditempatkan di tangan rakyat. Dengan konsep begini, Syariati
ingin membangkitkan kembali ”sistem Habil”, yakni masyarakat yang ditandai
dengan kesamaan dan persaudaraan, sebuah masyarakat tanpa kelas. (Ali Syariati,
1982).
Dalam konsep umat, kekuatan yang menjadi pengikat paling penting bukanlah
hal-hal yang bersifat lokal dan primordial seperti yang terkandung dalam contoh-
contoh di atas, tetapi oleh ikatan akan samanya jalan yang dilalui. Setiap orang, apa
pun rasnya, nationnya, qabilahnya dan bahasanya dapat dimasukkan ke dalam
pengertian dan kelompok Ummat jika jalan yang dilaluinya sama. (A Syariati, 1995)

8
Makna “jalan yang dilalui” ini kembali pada pengertian Din (agama), sebagai jalan
bersama bagi orang-orang yang beragama Islam. Dengan demikian, dalam konsep
Ummah dan praktiknya tercermin dan memancar sinar ajaran Islam. Aktualisasi
ajaran agama Islam di bawah bimbingan dan arah oleh Imam. Maka konsep Ummah
tidak dapat dilepaskan dari konsep Imamah, sebuah pengertian yang tidak dimiliki
oleh konsep-konsep yang telah disebut di atas. (A Syariati, 1995).
4. Ideologi

Ali Syariati, sebagaimana diakuinya sendiri adalah seorang sosiolog. Tetapi


bagi Syariati, menjadi sosiolog saja tidaklah cukup. Sosiologi hanya menjelaskan
realitas kehidupan masyarakat dan sejarahnya. Ibarat cermin, katanya, sosiologi hanya
memantulkan objek yang ada di hadapan cermin itu tanpa mempengaruhi atau
mengubah objek itu sendiri. Hubungannya bersifat pasif dan negatif. (Ali Syariati,
1982) Dalam pemikiran Syariati, memahami dan menjelaskan realitas tidaklah
bermakna apaapa bagi masyarakat. Makna itu baru tampak jika ada perubahan, dan itu
tidak dapat dilakukan hanya oleh sosiologi. Dari sinilah kemudian Syariati
menegaskan betapa pentingnya ideologi, sebuah konsep yang selalu muncul dalam
setiap penggalan pemikirannya tentang aspek apa pun juga.

Jika dalam pandangan Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), ideologi dilihat


secara positif dan Karl Marx, memandang ideologi secara negatif, (Takwin, 1999),
maka dalam pemikiran Syariati, ideologi bisa bermakna positif sekiranya ideologi itu
dapat mewadahi sifat multi-dimensi dari kehidupan manusia. Hal ini hanya ada dalam
agama Islam. Tetapi ideologi juga bisa bermakna negatif apabila ideologi tersebut
terjebak ke dalam titik ekstrem kutub pemikiran tertentu tanpa bisa mengapresiasi
kutub pemikiran lainnya. Ideologi yang mereduksi sifat multi-dimensi kehidupan
manusia ini akan bermakna negatif bagi manusia. Dan semua ideologi di luar Islam,
menurut Syariati terjebak pada ekstremitas ini.

5. Perubahan Sosial

“Faktor dasar apakah yang menyebabkan suatu masyarakat tiba-tiba berubah


dan berkembang, atau tiba-tiba rusak dan merosot?” (Ali Syariati, 1982) Inilah
pertanyaan Syariati tentang perubahan sosial yang terjadi dalam sejarah. Dalam
menjawab pertanyaan ini, Syariati terlebih dahulu menjelaskan beberapa faktor yang
menentukan dalam sebuah perubahan sosial dalam versi kajian Sosiologi Barat.

9
Namun penjelasan sosiologi Barat terhadap persoalan ini belum memuaskan Syariati.
Pencariannya terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an dan Sunnah Nabilah yang
mengantarkannya pada suatu teori perubahan sosial “yang lebih segar dan lebih
tepat”. (Ali Syariati, 1982).

Menurut Syariati, ada satu faktor perubahan sosial yang disebutnya dengan an-
nas (rakyat) yang disebutkan dalam al-Quran.

“Pada umumnya, setiap ajaran, setiap agama, setiap Nabi, dialamatkan kepada
mereka yang sekaligus juga merupakan faktor perubahan sosial yang fundamental
dan efektif di dalam ajaran itu. Demikianlah al-Qur’an dialamatkan kepada an-nas,
yakni rakyat. Rasul diutus kepada an-nas, beliau berbicara kepada an-nas; an-nas
lah yang bertanggungjawab atas perbuatan mereka sendiri; an-nas-lah yang
menjadi faktor dasar kemerosotan rakyat–ringkasnya an-nas-lah yang memikul
seluruh tanggung jawab terhadap masyarakat dan sejarah.” (Ali Syariati, 1982).

Islam-lah yang pertama kali menjadikan rakyat sebagai faktor penting dalam
setiap perubahan sosial. Berbeda dengan Nietzsche, yang menganggap manusia
terpilih sebagai faktor dasar perubahan sosial; berbeda dengan Plato yang
menganggap kalangan aristokrat dan ningrat sebagai faktor perubahan sosial; berbeda
dengan Carlyle dan Emerson yang menganggap tokoh-tokoh besarlah yang menjadi
faktor fundamental dalam perubahan sosial; dan berbeda pula dengan Alexis Carel
yang menganggap manusia yang berdarah murni saja yang dapat menjadi faktor
perubahan sosial, maka Islam menganggap bahwa faktor fundamental dalam
perubahan sosial itu adalah rakyat sendiri, an-nas sendiri. Rakyatlah yang menjadi
poros dan faktor dasar setiap perubahan, meskipun ketiga faktor yang telah disebut di
atas, menurut Syariati, juga mempengaruhi nasib masyarakat. (Ali Syariati, 1982)

6. Kepemimpinan

Imamah, secara filologis memiliki akar kata yang sama dengan Ummah, dan
oleh karena itu secara sosiologis juga merupakan konsekuensi logis dari keberadaan
Ummah itu sendiri. Imamah menurut Syariati adalah sifat dan atribut istimewa dan
luhur yang terdapat pada diri seorang manusia super (Imam), yang berfungsi sebagai
teladan, syahid, dan contoh praktis serta aktualisasi dari risalah. Imamah memiliki
sifat yang abadi, tidak terikat oleh ruang dan waktu tertentu. (Ali Syariati, 1982).

10
Imamah yang secara historis terwujud dalam diri seorang Imam, memiliki
ruang lingkup tugas dan tanggung jawab yang sangat luas, bahkan bisa dikatakan
seluas persoalan kehidupan manusia yang multi-dimensional. Imamah bukan hanya
sekedar kepemimpinan politik seperti Khalifah dan Amir, yang mengurus, mengatur
dan memimpin dunia politik dan pemerintahan. Tugas Imamah menjangkau semua
aspek kehidupan manusia; politik, ekonomi, sosial, militer, dan semua aspek
kehidupan manusia lainnya. (A Syariati, 1995) Imamah merupakan:

“Manifestasi dari risalah kepemimpinan dan bimbingan individu dan masyarakat’


dari ‘apa yang kini ada’ (dassein) menuju ‘apa yang seharusnya ada’ (das solen)
semaksimal yang bisa dilakukan, bukan berdasarkan pada keinginan pribadi
seorang Imam, melainkan atas dasar konsep yang baku yang menjadi kewajiban
bagi Imam lebih dari individu lainnya. Itu sebabnya, maka Imamah berbeda dari
kepemimpinan diktator, sekaligus menantang kepemimpinan revolusioner
ideologis dan diktatorindividual.” (A Syariati, 1995).

Konseptualisasi Imamah yang secara historis diwujudkan dalam diri seorang


Imam bisa jadi melahirkan gambaran tentang sosok yang serba suci, hero, deskripsi
yang penuh mitologis, karismatik dan supra-manusia. Sadar akan kerancuan yang
mungkin timbul dari pemahaman akan konsep Imamah ini, Syariati menegaskan
bahwa seorang Imam tetaplah “seorang manusia yang wajar sebagaimana manusia
lain”. (A Syariati, 1995) Keyakinan ideotik akan kesucian intrinsik para Imam,
ditambah lagi dengan kekebalan Imam dari berbuat dosa, bagi Syariati merupakan
sesuatu yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.(A Syariati, 1995) Oleh karena itu, ia
bukan makhluk supra-manusia, sebab yang di atas manusia hanyalah Allah. Menolak
pandangan ini berarti Syirik. Dengan demikian, Imam itu bukan Tuhan, juga bukan
perwujudan metafisik, dan bukan pula malaikat, melainkan manusia, yakni manusia
teladan, syahid dan perwujudan real dari manusia konsepsional. (A Syariati, 1995)
Seorang Imam, tetaplah manusia biasa seperti manusia lainnya. Dari dalam diri Imam
terdapat perwujudan-perwujudan dan teladan dari semua karakter manusia yang
sempurna, karakter yang menghimpun sepenuhnya sifat manusia sejenisnya pada
tingkat yang paling puncak. (A Syariati, 1995)

D. Kritik Terhadap Marxisme

11
Pertama, Marxisme adalah suatu paham sosial-ekonomi-politik yang mengacu
pada pemikiran utama Karl Marx. Pada gilirannya Marxisme dibekukan menjadi
Sosialisme, yang merupakan perkembangan pemikiran yang berorientasi pada politik
dan ekonomi. Pada awalnya Sosialisme dibentuk oleh dua pemikir Jerman, yaitu Karl
Marx dan F. Engels. Kedua perumus dan pemikir ini yang bersama-sama secara
kompak membentuk Sosialisme menjadi aliran utama di segala tempat dan waktu.
Sudut pandang yang digunakan Marxisme adalah memandang alam realitas sebagai
fenomena misteri belaka. Segala yang berbau spiritual dan mistik ditolak. Sehingga
ide dan gagasan tentang agama apapun tidak dapat diterima keberadaannya.

Kedua, dengan pengetahuan Islam yang kuat dan realitas sosial di Iran yang
disaksikan oleh Syari’ati ternyata malah menjauh dari akar sejarahnya sendiri, maka
Syari’ati mendiagnosa bahwa Marxisme salah satu yang punya andil menghancurkan
jati diri kondisi di negerinya. Oleh karena itu, Syari’ati dengan gigih dan ambisius
mencari kelemahan dan membeberkan kelemahan dan bahayanya Marxisme apabila
dijadikan filsafat hidup.

Syari’ati megkritik Marxisme dari banyak sudut. Tiga hal yang paling banyak
dikritiknya adalah: pertama, kritik terhadap materialisme dan sejarahnya. Menurut
Syari’ati mengenai materialisme, Marx kurang memahami unsur universal dalam
kehidupan. Materialisme hanya memandang manusia secara sepotong, dan akibatnya
sistem Marxisme itu sendiri banyak menemukan rintangan. Mengenai filsafat sejarah,
menurut Syari’ati filsafat sejarah Marx tidak ilmiah, malah omong kosong belaka.
Karena ada tiga hal yaitu bentuk hak milik, bentuk hubungan kelas, dan bentuk alat
produksi yang tidak berubah sama sekali meski jaman sudah jauh berubah. Kedua,
kritiknya terhadap Marxisme atas sikapnya terhadap agama. Menurut Syari’ati, Marx
telah salah memahami agama. Ia hanya pandai menggeneralisir semua agama menjadi
satu kebencian. Ketiga, kritik atas teori dan praksis Marxisme. Bagi Syari’ati, secara
teoritis, Marxisme tidak kokoh dalam membangun ideologi mengenai landasan
ideologinya. Lainnya, Syari’ati menlai, bahwa pada prinsipnya Marxisme dan
kapitalisme tidak jauh berbeda. Yang membedakan hanya pemegang modal. Maka,
secara sistem beda, secara filsafat sama, yaitu sama-sama memandang materi yang
unggul. Keempat, Islam sangat menentang Marxisme, karena bertentangan dengan
prinsip Islam yang memandang realitas dengan totalitas (tauhid). Marxisme hanya
menyimpulkan manusia dari materi saja. Syari’ati tegas menyatakan bahwa Marxisme

12
yang berdasarkan materialis adalah atheis, dan atheis itu kafir, kafir itu pendosa,
amoral, picik, dan anti Tuhan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kehidupan Syari’ati atau Ali Mazinani berakar di pedesaan dan disanalah


pandangannya pertama kali dibentuk. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri yang
menjadi seorang pengajar di kota Masyhad. Ali Syari’ati juga terlahir dari keluarga
yang saat dalam beragama. Melihat banyak negeri kaum Muslim yang tertindas oleh
Barat serta banyak pemaknaan yang salah terhadap Islam membuat Ali Syari’ati
menjadi seorang yang revolusioner dan terus menyuarakan pemikirannya.

Ali Syari’ati juga mengibaratkan kisah Qabil dan Habil sebagai gambaran
struktur masyarakat darimana mereka berasal dari sebagai simbol pertarungan antar
kelas. Lalu agama sebagai ideologi, solusi dalam setiap permasalahan kehidupan
manusia. Ummah dengan adanya kebersamaan dalam arah dan tujuan; gerakan
menuju arah dan tujuan tersebut; dan, keharusan adanya pemimpin dan petunjuk
kolektif. Ideeologi di luar Islam, menurut Syariati terjebak pada ekstremitas tanpa bisa
mengapresiasi kutub pemikiran lainnya. Lalu mengenai perubahan sosial Islam-lah
yang pertama kali menjadikan rakyat sebagai faktor penting dalam setiap perubahan
sosial. Berbeda dengan Nietzsche, yang menganggap manusia terpilih sebagai faktor
dasar perubahan sosial; berbeda dengan Plato yang menganggap kalangan aristokrat
dan ningrat sebagai faktor perubahan sosial; berbeda dengan Carlyle dan Emerson
yang menganggap tokoh-tokoh besarlah yang menjadi faktor fundamental dalam
perubahan sosial. Kemudian yang terakhir konsep Imamah, seperti yang dikatakan
dalam pembahasan Ummah mengenai keharusan adanya pemimpin dan petunjuk
kolektif, dari dalam diri Imam terdapat perwujudan-perwujudan dan teladan dari

13
semua karakter manusia yang sempurna, karakter yang menghimpun sepenuhnya sifat
manusia sejenisnya pada tingkat yang paling puncak.

Sebagai orang yang sangat mengilhami ajaran Islam, banyak kritik yang
dilancarkan kepada pemikiran Barat oleh Ali Syari’ati. Seperti kritiknya kepada
Marxisme yang intinya mengatakan bahwa Marxisme tidak menjadikan manusia
menjadi manusia seutuhnya karena cara pandang materialismenya. Juga mengingat
Marxisme tidak kokoh dalam pembentukan ideologinya, akan sangat berbahaya
apabila sistem ini dijadikan filsafat hidup, ucap Ali Syari’ati.

B. Saran

Melalui makalah ini diharap pembaca dapat menambah wawasan dan


pengetahuan mengenai teori sosiologi Islam, khususnya pemikiran Ali Syaria’ti.
Tentu perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai teori sosiologi Islam ini,
mengingat Ali Syari’ati saja mempunyai banyak pemikiran yang cukup kompleks
mengenai bagaimana seharusnya Islam diposisikan dalam kehidupan. Penyusun juga
berharap pembaca dapat memahami semua penjelasan yang diberikan pada makalah
ini, sehingga apabila ada yang kurang jelas atau kesalahan dalam penyusunan
makalah ini, pembaca dapat memberi masukan demi sempurnanya makalah ini.
Penyusun sangat menghargai apabila pembaca memberikan kritik yang membangun.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ba-Yunus, I., & Ahmad, F. (1996). Sosiologi Islam: Sebuah Pendekatan. Bandung: Mizan.

Syari’ati, Ali, (t.th). On Sociology of Islam, Terj. Hamid Algar. Mizan Press. Barkeley.

Syariati, Ali. (1989). Membangun Masa Depan Islam, Pesan untuk Para Intelektual Muslim,

Terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan.

Syariati, Ali. (1983). Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat lainnya, terj. Husin
Anis

al-Habsyi. Bandung: Mizan.

Syariati, Ali. (1995). Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. Oleh M.S. Nasrulloh dan Afif

Muhammad. Bandung: Mizan.

Syariati, Ali. (1982). Tentang Sosiologi Islam, Terj Syaifullah Mahyudin. Ananda.
Yogyakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai