Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI


PESANTREN SEKOLAH DAN MADRASAH

OLEH:

KELOMPOK 5

EVA ROSDIANA DEWI

SARTIKA .HM

SANTI

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


AL-HADY BOMBANA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Penyusunan tugas ini, bertujuan untuk memenuhi tugas dan kewajiban kami sebagai
seorang mahasiswa. Dalam tugas ini kami membahas mengenai “PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PESANTREN SEKOLAH DAN
MADRASAH”.
Kami menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga kami dapat
memperbaiki kekurangan atau kesalahan kami.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan untuk dikembangkan lebih lanjut dan dapat memberi sumbangsih baik kepada
penyusun maupun kepada masyarakat. Amiin.

Bombana,   Oktober 2021


Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I  PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah .......................................................................................................

BAB II  PEMBAHASAN
2.1   Pengertian Kurikulum ..........................................................................................................
2.2    Model Pengembangan Kurikulum PAI di Pesantren ..........................................................

BAB III  PENUTUP
3.1    Kesimpulan ........................................................................................................................
3.2    Kritik dan Saran ..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang Masalah 
Kurikulum merupakan alat yang sangat penting dalam keberhasilan suatu pendidikan,
tanpa adanya kurikulum  yang baik dan tepat maka akan sulit dalam mencapai tujuan dan
sasaran pendidikan yangtelah dicita-citakan oleh suatu lembaga pendidikan, baik formal,
informal maupun non formal. Karena segala sesuatu harus ada manajemennya bila ingin
menghasilkan sesuatu yang baik, sesuai dengan yang diharapakan.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang berfungsi sebagai
salah satu benteng pertahanan umat islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan
masyarakat muslim di Indonesia. Istilah pondok pesantren pertama kali dikenal di Jawa, di
aceh dikenal dengan rangkah dan dayah, di Sumatra Barat dikenal dengan surau.[1]
Dimana kurikulum senantiasa mengalami perubahan, perbaikan dan pembahruan. Di
Indonesia, telah tercatat dalam sejarah pendidikannya telah mengalami beberapa kali
perubahan kurikulum seiring perubahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Disamping
kurikulum formal dan non formal, terdapat juga kurikulum tersembunyi (the hidden
curriculum). Dimana kurikulum ini antara lain berupa aturan-aturan yang tidak tertulis, yang
tentunya kurikulum ini bisa berkonotasi positif maupun negatif.
Apabila hal ini dikaitkan dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan bahwa konsep
kurikulum yang digunakan dalam pondok pesantren tidak hanya mengacu pada pengertian
kurikulum sebagai materi semata, melainkan jauh lebih luas dari itu, yakni menyangkut
keseluruhan pengalaman belajar santri yang masih berada dalam lingkup koordinasi pondok
pesantren. Termasuk didalamnya sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di
pesantren, yang mana perlu diadakan suatu rekonstruksi sesuai dengan tuntutan masyarakat
dan jaman. Sehingga misi dan cita-cita pondok pesantren dapat berperan dalam pembangunan
masyarakat.
Salah satu keunikan pesantren adalah independensinya yang kuat, dimana masyarakat
memiliki keleluasaan dan kebebasan relatif yang tidak harus memihak atau mengikuti model
baku yang ditetapkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantren bebas
mengembangkan model pendidikannya tanpa harus mengikuti standarisasi dan kurikulum

[1] Hidar Putra Dulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren,  Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2001),ix

1
yang ketat. Karena cenderung pada sentralistik yang berpusat di tangan kyai. Model
pendidikan seperti inilah yang berjalan di pesantren menjadi sangat beragam sesuai dengan
kecenderungan dan misi yang ingin dikembangkan oleh sang kyai, yang sebagai pemimpin
sekaligus sebagai pengasuh pondok pesantren.
Lemahnya visi dan tujuan pendidikan pesantren marupakan penekanan yang berlebihan
terhadap satu aspek disiplin keilmuan tertentu, sehingga mengabaikan aspek keilmuan
lainnya yang mana telah mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Karena pelajaran
agama masih dominan di beberapa lingkungan pesantren, bahkan materinya hanya khusus
disajikan dalam bentuk bahasa arab, dan pengetahuan umum dilaksanakan hanya setengah-
setengah, sehingga kemampuan santri terbatas dan masih kurang mendapat pengakuan dari
sebagian masyarakat.[2]
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian kurikulum
pembelajaran dalam pendidikan pesantren dan problematikanya(secara umum beserta faktor
penghambat dan pendukung), kemudian agenda inovasi kurikulum dalam pendidikan
pesantren.

[2] Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur CholisMadjid Terhadap Pendidikan Islam


Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal.78

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Pengertian Kurikulum
1. Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Kata “kurikulum” berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan dalam bidang
olah raga yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yaitu jarak yang harus ditempuh dari
start sampai ke finish. Dan lambat laun pengertian ini digunakan dalam dunia pendidikan.
Dalam bahasa Arab kurikulum di istilahkan dengan manhaj, yaitu jalan yang terang, atau
jalan yang terang yang dilalui manusia pada kehidupanya. Dalam konteks pendidikan
kurikulum berarti jalan terang yang diikuti oleh guru dan peserta didik untuk
mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, sikan dan nilai-nilai kependidikan.[3]
Sedangkan menurut Anin, kurikulum adalah seperangkat materi pendidikan dan
pengajaran yang diberikan kepada peserta didik, agar visi, misi dan tujuan pendidikan dapat
tercapai.[4] Dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan modern berisi materi-materi yang
cenderung kearah pengembangan potensi murid (child centered) guna kepentingan hidup di
masyarakat (community centered), sedangkan kurikulum tradisional lebih mengarah kepada
pendidikannya(education centered).
Dari beberapa definisi kurikulum di atas, dapat kita ambil titik tengahnya. Pada
dasarnya kurikulum dapat diklafisikasikan menjadi dua, pertama kurikulum sebagai program
yang direncanakan dan dilaksanakan di sekolah. Kedua, kurikulum sebagai program yang
direncanakan dan dilaksanakan secara nyata di kelas. Perencanaan dan pelaksanaannya
tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan
demikian, kurikulum berkedudukan sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Maka
kurikulum dalam kedudukannya memiliki anticipatory(dapat meramalkan kejadian dimasa
depan) bukan hanya sekedar reportorial (melaporkan informasi hasil belajar peserta didik).

2. Ciri, Komponen dan Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam


Ciri-ciri umum kurikulum pendidikan Islam, menurut al-Syaibani yaitu: [5]

[3] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah, Madrasah dan


Perguruan Tinggi, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 1
[4] Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Pesantren,(Yogyakarta: Teras, 2010), hal.30
[5] Prof. Omar Muhammad Al-Toumy As-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979),  hal.459

3
1. Lebih mementingkan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai hal seperti tujuan dan
kandungan, kaidah, alat dan tehniknya.
2. Meluaskan perhatian dan kandungnnyamencakaup perhatian, pengembangan serta
bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar baik dari segi intelektual, psikologi, sosial
maupun spiritual. Oleh karena itu murid harus diajarkan bermacam-macam ilmu
pengetahuan, seperti; al-qur’an, al-tafsir, ilmu fiqh, ilmu tauhid, aqidah, filsafat akhlak,
ilmu sejarah, sastra, matematika dan lain sebagainya. Pada dasarnya murid atau santri
harus mempelajari semua ilmu.
3. Adanya prinsip keseimbangan antara kandungan kurikulum tentang ilmu dan seni,
pengalaman dan kegiatan pengajaran.
4. Menekankan kepada konsep secara menyeluruh, keseimbangan pada kandungannya yang
tidak terbatas pada ilmu-ilmu teoritis baik yang bersifat naqli maupun aqli. Tetapi meliputi
aktivitas pendidikan seni, jasmani, bahasa,dan lain sebagainya.
5. Keterkaitan antara kurikulum pendidikan Islam dengan minat, kemampuan, keperluan dan
perbedaan individual antara peserta didik
Komponen-komponen kurikulum pendidikan Islam
          Fungsi kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan
pendidikan, adapun komponen-komponen tersebut meliputi; komponen tujuan, komponen
isi atau materi, komponen metode ataustrategi dan evaluasi.[6]
Komponen tujuan, tujuan merupakan hal yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan
secara keseluruhan baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik. Tujuan pendidikan
bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan
dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.
Komponen materi, komponen isi yang berupa materi yang diprogramkan adalah untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, materi tersebut berupa materi bidang studi
yang bersumber dari al-qur’andanal-hadits.
Komponen metode, adapun metode-metode yang digunakan adalah untuk menjelaskan
materi pendidikan kepada peserta didik.
Komponen evaluasi,  merupakan cara atau tehnik penilaian terhadap tingkah laku peserta
didik berdasarkan standar yang komprehensif, baik dari aspek psikologis maupun spiritual.
Prinsip-prinsip kurikulum Pendidikan islam;

[6] AninNurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap pengembangan kurikulum


Pendidikan Pesantren, hal.33

4
1. Pinsip berorientasi kepada Islam, baik dari ajarannya maupun nilai-nilainya.
2. Prinsip berorientasi pada tujuan, dimana semua aktifitas kurikulum harus terarah.
3. Prinsip keseimbangan, relatif seimbang antara tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum.
4. Prinsip perkembangan dan perubahan, sesuai dengan perubahan dan tuntutan zaman.
5. Prinsip integritas, menghasilkan manusia yang seutuhnya (selaras dunia dan akhirat).
6. Prinsip relevansi, pendidikan dapat mempengaruhi jenis dan mutu tenaga kerja.
7. Prinsip efisiensi,  mendayagunakan waktu, biaya, tenaga, sehingga sesuai dengan hasil
yang diharapkan.
8. Prinsip kontinuitas, selalu kesinambungan dengan kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya.
9. Prinsip individualisasi, memperhatikan perbedaan pembawaan dan lingkungan pada
umumnya yang meliputi pendidik maupun peserta didik.
10. Prinsip long life education,konsep yang diterapkan di dalam kurikulum diharapkan
mengingat akan keutuhan potensi manusia yang berkembang dan butuh wawasan dalam
hidupnya.[7]
Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan ilmu yang meliputi
pengetahuan secara teoritis dan praktis. Pada konteks inilah kurikulum pendidikan Islam
harus mempertimbangkan adanya kenyataan klasifikasi ilmu, seperti yang telah dirumuskan
oleh para ahli disiplin ilmu maupun pemikir muslim, yang lebih penting lagi kurikulum
pendidikan yang telah disusun harus senantiasa mempertimbangkan content dan
applicationnya.

2.2    Model Pengembangan Kurikulum PAI di Pesantren


1. Pesantren dan Model Pengembangan Kurikulum
Dalam diskursus pendidikan pesantren dapat dipahami sebagai lembaga tradisional
pendidikan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh
fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup
bermasyarakat sehari-hari.[8] Penyelenggaraan lembaga pendidikan pesantren berbentu
asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah ulama atau kyai dibantu oleh beberpa
orang ulama atau para ustadz yang hidup ditengah-tengah para santri dengan masjid sebagai
pusat kegiatan peribadatan.

[7] As-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, hal.520-522


[8] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, …………………., hlm. 6

5
Dalam pendidikan pesantren setidak-tidaknya didalamnya ada unsur kyai, pondok,
masjid, santri, dan pengajaran kitab-kitab kuning. [9]Kyai yang mengajar dan mendidik,
masjid tempat penyelenggaraan pendidikan, shalat berjamaah dan sebagainya, serta pondok
atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.[10]
Menurut Imam Bawani, jika dilihat dari proses muncul atau lahirnya sebuah
pesantren, maka kelima elemen tersebut urutanya adalah: kyai, santri, masjid, santri, pondok,
dan pengajaran kitab-kitab klasik. Kyai sebagai cikal-bakal berdirinya pesantren biasanya
tinggal dipemukiman baru yang cukup luas, karena terppanggil untuk berdakwah, maka
beliau mmendirikan masjid yang terkadang berawal dari mushalla atau langgar sederhana.
Ketika jamaah mulai ramai, dan yang tempat tinggalnya jauh ingin menetap bersama kyai,
maka mereka inilah dan para jama’ah yang lain, yang biasanya disebut sebagai santri. Jika
yang bermukin disana jumlahnya cukup banyak, maka perlu dibangunkan pondok atau
asrama khusus, agar tidak mengganggu ketenangan masjid serta keluarga kyai. Dengan
mengambil tempat dimasjid, kyai mengajar para santrinya dengan materi pelajaran Islam
klasik.[11]
Penjelasan lebih luas mengenai unsur-unsur pesantren tersebut dijelaskan sebagai
berikut;
1) Kyai
Keberadaan kyai dalam lingkungan pesantren merupakan hal yang mutlak, dan tidak
bisa ditawar-tawar lagi, kyai adalah esensi dari pesantren, dan dalam banyak hal kekhasan
keilmuan disebuah pesantren itu tergantung pada kualitas dan kualifikasi keilmua yang
dipunyai oleh kyainya. Biasanya kyai adalah pendiri, perintis, pengelola, pengasuh,
pemimpin, dan terkadang merupakan pemilik tunggal suatu pesantren.
Gelar kyai, biasanya diperoleh berkat kedalaman ilmu agamanya, kesungguhan
perjuanganya untuk kepentingan Islam, keteladanannya ditengah ummat, kekhusukanya
dalam beribadah dan kewibawaanya sebagai pemimpin. Pendidikan tidak menjadi jaminan
seseorang untuk menjadi kyai, tetapi faktor bakat dan seleksi alamlah yang lebih menentukan.

[9] Zamachsary Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta; LP3ES,
1985), hlm. 44
[10]  Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam; Studi Atas Daya Tahan Pesantren
Tradisional, (Surabaya; Penerbit “Al-Ikhlas”, 1993), hlm. 89
[11]  Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam………………hlm. 89-90

6
Dalam sebuah pesantren. Kyai sering kali mempunyai kekuasaan mutlak. Berjalan
atau tidaknya kegiatan apapun disitu, tergantung pada izin dan restu kyai. Untuk menjalankan
kepemimpinanya, unsure kewibawaan memegang peranan penting. Kyai adalah tokoh yang
berwibawa, baik dihadapan para ustadz yang menjadi pelaksana kebijakanya, dihadapan para
santri, dihadapan keluarga, dan kemudian ditengah-tenga masyarakat luas kewibawaan
seorang kyai juga sangat berpengaruh, oleh karena itu kyai sering kali juga merupakan tokoh
kunci dalam masyarakat.
2) Masjid
Masjid merupakan sentral bagi pesantren, karena disitulah sebagian besar aktifitas
pembelajaran dan kegiatan pesantren dijalankan. Oleh karena itu dibandingkan bangunan lain
dipesantren masjid adalah tempat palig ramai dan selalu dikunjungi, bukan hanya sebagai
tempat sholat, tetapi juga mengaji, dan tadarus (hal yang merupakan kebiasaan para santri
bahkan sampai larut malam)
Dalam kegiatan pengajaran pesantren, masjid biasanya digunakan untuk mengaji
bandongan, sorogan, wekton, yang biasanya mengambil tempat secara rutin diserambi
masjid. Diluar jam pelajaran, diserambi yang sama biasanya digunakan untuk musyawarah,
diskusi memmbaca kitab, atau permasalahan actual dalam agama Islam.
3) Santri
Istilah santri menunjuk dan berkonotasi kepada dua pengertian. Pertama adalah
mereka yang taat menjalankan perintah agama Islam. Dengan pegertian ini mereka
dibedangan secara kontras dengan mereka yang disebut denga kelompok abangan (yaitu
mereka yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya jawa pra Islam khususnya yang berasal
dari mistisme hindu dan budha).[12] Yang kedua adalah santri, mereka yang tengah menuntut
ilmu dan sedang menempuh pendidikan di pesantren. Keduanya berbeda tetapi mempunyai
segi persamaan, yaitu sama-sama taat dalam menjalankan syari’at Islam.
4) Pondok
Dalam dunia pesantren keberadaan pondok sangatlah penting, karena fungsinya
sebagai tempat tinggal atau asrama santri. Situasi dan bentuk pondok tentu saja berbeda-beda,
mengingat perbedaan dan karakteristik pesantren yang berbeda-beda pula.

[12]  Mengenai tipologi santri dan abangan ini, lihat dalam Clifford Geertz, Agama Jawa; Santri,
Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta;Komunitas Bambu, 2013), hlm. 56

7
5) Pengajaran kitab klasik
Pada masa lalu, pegajaran kitab-kitab klasik (baca kitab kuning), terutama karang
ulama yang menganut madzhab Syafi’i, merupakan satu-satunya pengajaran yang diberikan 
dilingkungan pesantren. Dan untuk sekarang, meskipun banyak pesantren telah memasukkan
pelajaran ilmu umum, namun pengajaran kitab-kitab klasik tetap diberikan sebagai upaya
meneruskan tradisi dan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pembelajaran di pesantren kitab-kitab klassik sering disebut sebagai kitab
kuning. Ya’kub menyebut kitab kuning sebagai kitab-kitab yang ditulis para ulama klasik
atau ulama kontemporer yang bermuatan ajaran-ajaran klasik. Kitab itu disebut kitab kuning
karena pada umumnya ditulis diatas kertas yang berwarna kuning.[13]
Sekarang ini hampir disemua jenis pesantren. Didalamnya terdapat jenis-jenis
pendidikan. Diantaranya yaitu;
1. “Pesantren” yang hanya mempelajari agama dengan kitab-kitab keagamaan klassik atau
“kitab kuning” dan berbentuk nonformal. Pola pengajaran pesantren ini menggunakan dua
sistem pengajaran sorogan dan bandongan,  dan tidak menggunakan sistem pembelajaran
klasikal (penjenjangan).
2. Madrasah (sekolah agama)
3. Sekolah umum
4. Perguruan tinggi, baik agama atau umum[14]

Ketiga jenis pendidikan terakhir ini berbentuk pendidikan formal, tetapi keempatnya
hidup dalam satu kampus pesantren, dan oleh karena itu semua siswanya disebut santri.
[15] Sebagai contoh kita bisa melihat pesantren Matholiul Falah di Pati Jawa Tengah yang
mempunyai jenjang pendidikan yang lengkap, dan juga kita bias melihat pesantren Lirboyo
Kediri dan pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, keduanya berasal dari daerah basis
pesantren yaitu jawa timur. Mereka mempunyai jenis dan pendidikan yang lengkap mulai
dari madrasah (Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah), sampai pada tingkat perguruan
tinggi.

[13] E. Badri, dan Munawiroh (ed), Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyah, (Jakarta; Puslitbang


Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,  2007), hlm. 110
[14] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, …………………., hlm. 6
[15] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, …………………., hlm. 6

8
 Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren mempunyai prinsip-prinsip yang
didasarkan atas prinsip ajaran Islam yang mendasari lembaga pendidikan ini. Seperti yang
disinggung diatas bahwa pesantren bertujuan untuk mengarahkan pada Tafaqquh Fid Din.
Dalam pesantren arti penting pengetahuan adalah untuk beribadah dan mengetahui
bagaimana tata cara beribadah. Mastuhu memberikan pengertian ibadah dalam pesantren
menjadi dua macam.
1) Melaksanakan doktrin agama atau perintah agama yang sudah jelas dan pasti, tanpa
menanyakan alasanya atau memikirkan kenapa harus demikian, sebab hal ini mengenai
akidah yang harus diyakini kebenaranya. Ibadah dalam pengertian ini berorientasi pada
kehidupan akhirat atau ukhrawi.
2) Malaksanakan perbuatan-perbuatan yang benar, baik, dan bermanfaat bagi dirinya dan
bagi kepentingan bersama; meliputi manfaat lahiriyah dan batiniyah. Wujud ibadah kedua
ini sepenuhnya berada dalam daerah kewenangan dan pemikiran serta kekuasaan manusia
untuk melaksanakanya, dan berorientasi kepada kehidupan duniawi.
Lebih lanjut Mastuhu menjelaskan bahwa, meskipun pemilahan diatas atas antara
ibadah yang berorientasi kepada aspek duniawi dan ukhrawi, Islam mengajarkan bahwa
kehidupan duniawi ini bagian dari kehidupan ukhrawi,  dan bentuk kehidupan ini merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Baik buruknya
kehidupan ukhrawi juga sangat tergantung pada amalan-amalan manusia di dunia; dan
kelurusan amalan manusia di dunia sangat tergantung pada keyakinanya terhadap kehidupan
ukhrawi. Kedudukan dua ibadah ini tidak dapat saling menggantikan kedudukan anatara satu
dengan yang lain. Kedua-duanya merupakan dua bentuk instrument ibadah yang sangat
penting, dan saling melengkapi, dan sama-sama mempunyai peranan penting dalam
membentuk karakter muslim para santri.
Abdurrahman Wahid menjelaskan ada tiga unsur yang sangat khas dalam dunia
pesantren dalam menata nilai pendidikanya, yaitu;
1) Kepemimpinan kyai, baik dengan kepemimpinan dengan masyarakat atau dengan kyai
yang lain, hal ini penting sebab ia menunjukkan bagaimana kyai memlihara hubungan
sejawat (peer-relationship). Dalam hal ini aspek yang sangat penting muncul, yaitu
pemeliharaan tradisi Islam, yaitu kekuatan ulama sebagai pemangku keilmuan agama
Islam yang kemudian akan diwariskan kepada santri-santrinya. Kepemimpinan kyai
menyediakan kerangka bagi santri dalam menjalankan tugasnya untuk memelihara ilmu-
ilmu agama. Kepemimpinan kyai tidak akan bias dilepaskan dengan konsep kharisma
kyai, yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan pesantren.

9
2) Literature universal yang dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi yang secara
langsung berkaitan dengan konsep yang unik tentang kepemimpinan kyai. Kitab kuning
menciptakan kesinambungan ‘tradisi yang benar’ dalam memelihara ilmu-ilmu agama
sebagaimana yang diwariskan dalam masyrakat Islam oleh Imam-Imam dimasa lalu.
3) Sistem nilai kepesantrenan yang unik. Sistem nilai ini yang jelas tidak akan pernah lepas
dari usnsur sistem nilai yang lain yaitu kepemimpinan kyai dan literature yang universal,
pembakuan ajaran-ajaran Islam tentang kehidupan sehari-hari bagi kyai dan santri
melegitimasikan dua hal, yaitu; kitab-kitab sebagai sumber tata nilai dan kyai sebagai
model dari implementasinya dalam kehidupan nyata, sebagai jalur utama dari sistem nilai.

Ketiga unsur utama pesantren tersebut tampak saling berkaitan dan sulit untuk
dipisahkan. Akan tetapi berbagai tantangan dari luar pesantren menyebabkan pola masing-
masing unsur itu terbuka untuk menerima perubahan-perubahan tertentu. Sebagai contoh
sistem nilai pesantren tersebut harus memasukkan ijazah tertulis yang dikeluarkan pemerintah
sebagai ‘bukti kecakapan’. Kitab universal itu sekarang harus bersaing dengan bahan-bahan
pengajaran yang lebih baru dan sederhana yang disusun untuk sekolah-sekolah agama negeri
yang berada di pesantren, disamping persaingan dalam literature keagamaan, kepemimpinan
kyai saat ini tunduk kepada rencana-rencana institusionaisasi yang dibebankan baik itu
tuntutan dari luar maupun dalam peantren itu sendiri, yang kesemuanya itu tentu saja akan
mempengaruhi watak, cakupan dan gaya dari kepemimpinan kyai tersebut.
Dalam melihat dan meneliti sebuah pesantren, orang luar mungkin melihat pesantren
dan dunia kyai sebagai sesuatu yang homogenik. Tetapi ketika ditelusuri lebih lanjut, kyai
dan pesantren memiliki corak keagamaan yang berbeda baik dari segi metodologi
pembelajaran yang dikembangkan, madzhab keagamaan yang dianut. Pilihan sikap politik
maupun manajemen kelembagaan yang dimiliki. Sungguh tidaklah tepat membuat
generalisasi karakter kyai dan pesantrenya. Dan bahkan sekarang ini bermunculan orang
dengan panggilan kyai, tetapi tidak memiliki lembaga pesantren dan tidak pernah tinggal
bersama para santri.

2. Muatan kurikulum Pesantren


Ketika pendidikan awal pesantren masih berlansung di langgar (surau) atau masjid,
kurikulum pengajian dalam pesantren masih dalam bentuk sangatlah sederhana, yakni berupa
inti ajaran Islam yang mendasar. Rangkaian tiga inti ajaran Islam yang berupa Iman, Islam,
dan ikhsan atau doktrin, ritual, mistik telah menjadi perhatian kyai perintis pesantren sebagai

10
muatan kurikulum yang diajarkan kepada santrinya. Penyajian tiga komponen ajaran tersebut
dalam bentuk yang paling mendasar, sebab disesuaikan dengan tingkat intelektual dengan
masyarakat (para santri) dan kualitas keberagaanya pada saat itu.
Dalam sistem pengajaran pesanten dikenal ada dua sistem pengajaran yaitu, wekton
(atau yang lebih dikenal dengan bandongan), sorogan. Sorogan adalah aktifitas pengajaran
secara individual dimana setiap santri menghadap secara bergiliran kepad ustadz atau kyai,
untuk membaca, menjelaskan atau menghafal pelajaran yang diberikan sebelumnya; dan bila
santri telah dianggap menguasai, maka sang ustadz atau kyai akan menambahnya dengan
materi baru, biasanya membaca kitab, mengartikan, memberi penjelasan dan lain-lain. Lalu
santri itu meninggalkan tempat tersebut pergi ketempat lain, guna mengulang dan
merenungkan kembali apa saja yang diberikan kepadanya, sementara sang kyai atau ustadz
telah dihadapi oleh santri lain untuk mendapatkan perlakuan yang sama, hal ini berulang
sampai santri menyelesaikan setoranya. Metode sorogan ini dalam dunia modern dapat
dipersamakan dengan istilah tutorship atau mentorship. Metode pengajaran seperti ini diakui
paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk melakukan
Tanya jawab secara langsung.
Metode yang kedua adalah metode wekton atau wetonan. Yaitu kegiatan pegajaran
dimana sang ustadz atau kyai membaca, menerjemahkan, atau mengupas pengertian kitab
tertentu, sementara para santri dalam jumlah yang cukup banyak, mereka bergerombol dan
mengelilingi sang ustadz atau kyai, atau mereka mengambil tempat yang agak jauh selama
suara beliau masih bisa didengar, dan masing-masing membawa kitab yang tengah dikaji itu,
sambil jika perlu memberikan syakal (harakat), terjemah, atau keterangan disela-sela kitab
tersebut. Di Jawa Barat metode ini disebut sebagai metode bandongan, sedangkan di
Sumatera di pakai istilah halaqah. Sistem ini terkenal juga dengan sebutan balaghan.
Marwan Sardijo menyatakan kitab-kitab yang lazim dipakai dalam pesantren adalah
kitab-kitab terbitan abad pertengahan (antara abad 12 s/d 15). Dan pengajaran di bagi atas
klassifikasi keilmuan, yang diantaranya adalah daras (Arab dars). Dengan demikian jam-jam
pelajaranya terdiri atas pelajaran Qur’an, nahwu, Fiqih, dan lain sebagainya. Tiap-tiap
pelajaran terkadang terbagi atas nama-nama kitab. Untuk ilmu Ushul Fiqih misalnya di
adakan beberapa kali daras, misalnya  ada daras kitab-kitab Fathul Qarib, Syarh Matn
Taqrib (Ibn Qasim Al-Qasim 1512), Fathul Mu’in, Syarh Sutari (Zainuddin Al Malita
1575), Minhaj Thalibin, (An Nawawi 1277), Iqna Sya’ibin, 1569, Nihayah (Ramli 1550) dan
lain-lain.
Untuk tingkat lanjut pertama kitab yang dipergunakan antara lain:

11
(1)Nahwu, kitab-kitab : Tahrirul Aqwal, Matan Al-Jurumiyah, dan Mutammimah,
(2)Sharaf, Matan Bina Salsalul Mukhdal, Al-Kailani dan kadang-kadang sampai dengan Al-
Mathub.
(3)Fiqih, Matan Taqrib Fathul Qarieb atau Al-Bajuri, Fathul Mu’in atau I’anatut Thalibien.
(4)Tauhid,Matan Al-Sanusi, Kifayatul Awam dan Hudhudi.
(5)Ushul fiqih, Al-Waraqat, Al-Thaifatul Isyarah dan Ghayatul Wushul.
(6)Manthiq, Matan Al-Sullam, dan Idhahul Mubham.
(7)Al-balaghah, Majmu’ Khamsir Rasail dan Al-Bayan.
(8)Tasawuf/ Akhlak, Maraghi Al-Ubudiyah dan Tanbih Al-Ghafilin.
Sedang untuk tingkat lanjutan (di Aceh disebut tingkat balee), kitab-kitab yang
dipelajari antara lain:
(1)Nahwu, Alfiyah dan Khurdi
(2)Sharaf, Mirahul Arwah.
(3)Fiqih, Al-Mahalli dan Fathul Wahab
(4)Ushul fiqih, Jam’ul Jawami
(5)Tauhid, Ad-Dasuqi
(6)Manthiq, Isaghuji, As-Shaban dan Asy Syamsiyah.
(7)Al-Balaghah, Jawahir Al -Maknun
(8)Tasawuf, Ihya Ulumuddin.
Dan untuk pengajian kittab tingkat spesialisasi (tahassus) para santri boleh mempelajari
kitab-kitab :
(1)Hukum islam, seperti : Tuhfatul Muhtaj, Nihayatul Muhtaj (masing-masing 10 jilid besar).
(2)Hadist, seperti : Fathul Bari, Qustalani, (dan 10 jilid).
(3)Tasawuf, seperti : Syarah Ihya Ulumuddin Ibn Arabi (10 jilid)
(4)Tafsir, seperti : Ibn Jarir At-Thabari dan
(5)Kitab-kitab besar atau pengetahuan khusus lainya.
Madrasah Diniyah sebagaimana madrasah  Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah yang
dibakukan disetarakan oleh departemen Agama dan depertemen pendidikan dan kebudayaan
melalui SKB 3 menteri atau sekolah yang diselenggarakan oleh pondok pesantren
menggunakan kurikulum yang sama dengan kurikulum di madrasah atau sekolah lain, yang
telah dibakukan oleh departemen agama atau depertemen pendidikan nasional. Lembaga
formal lain yang diselenggrakan oleh pondok pesantren selain madrasah dan sekolah,
kurikulumnya disusun oleh penyelenggara pondok pesantren yang bersangkutan.

12
Departemen Agama selanjutnya menyatakan bahwa, berbeda dengan pesantren
khalafiyah, pada pesantren salafiyah tidak dikenal kurikulum dalam pengertian seperti
kurikulum pada lembaga pendidikan formal. Kurikulum pada pesantren salafiyah disebut
sebagai Manhaj, yang dapat diartikan sebagai arah pembelajaran tertentu. Manhaj pondok
pesantren salafiyah ini tidak berbentuk jabaran silabus, tetapi berupa penjabaran funun kitab-
kitab yang diajarkan kepada para santri.
Muatan kurikulum yang sudah dirumuskan oleh departemen agama mengenai
kurikulum madrasah dan pesantren, disesuaikan pada kitab yang diajarkan berdasarkan
tingkatanya, penjabaranya adalah sebagai berikut;
a. Tingkat Dasar
1) Al Qur’an
2) Tauhid       : Al-Jawhar al-Kalamiyah, Ummu al-Barohim
3) Fiqih          : Safinah al-Sholah, Safinah al-Naja’, Sullam al-Taufiq, Sullam al-Munajat.
4) Akhlak      : Al-washaya al-Abna’, Al-Akhlaq li al-Banin/Banat
5) Nahwu      : Nahw al-Wadhih, Al-Jurumiyah, Matn al-Bina wa al-Asas
b. Tingkat Menengah Pertama
1. Tajwid       : Tuhfah al-Athfal, Hidayah al-Mustafid, Mursyid al-Wildan, Syifa’ al-
Rahmah
2. Tauhid       : Aqidah al-Awwam, Al Dina al-Islami
3. Fiqih          : Fath al-Qarib (Taqrib), Minhaj al-Qawwim, Safinah al-Sholah
4. Akhlak      : Ta’lim al-Muta’allim
5. Nahwu      : Muthammimah, Nazham Imrithi, Al-makudi, Al-‘Asymawi
6. Sharaf        : Nazaham Maksud, Al-Kailani
7. Tarikh        : Nur al-Yakin
c. Tingkat Menengah Atas
1. Tafsir         : Tafsir al-qur’an al-Jalalain, Al- Maraghi
2. Ilmu Tafsir : Al-Tibya fi Ulumu al-qur’an, Mabahist fi’ Ulumul al-qur’an, Manahil al-
Irfan
3. Hadits       : Al-Arbain al-Nawawi, Mukhtar al-Hadits, Bulugh al-Maram, Jawahir al-
Bukhari, Al-Jami’ al-Shaghir
4. Musthalah al-Hadits : Minhah al-Mughits Al-Baiquniyyah
5. Tauhid       : Tuhfah al-Murid, Al-Husun al-Hamidiyah, Al-Aqidah al-Islamiyah,
Kifayah al-Awwam
6. Fiqih          : Kifayah al-Afkar

13
7. Ushul al-Fiqh : Al-Waraqat, Al-Sullam, Al-Bayan, Al-Luma’
8. Nahwu dan Sharaf : Alfiyah ibn Malik, Qawa’id al-Lughah al-Arabiyah, Syarh ibn
Aqil, Al-Syabrawi, Al-I’lal, I’lal al-Sharf
9. Akhlak      : Minhaj al-Abidin, Irsyad al-‘ibad
10. Tarikh        : Ismam al-Wafaq
11. Balaghah   : Al-Jauhar al-Maknun
d. Tingkat Tinggi
1. Tauhid       : Fath al-Majid
2. Tafsir         : Tafsir Qur’an al-Azhim (Ibn Katsir) Fi Zhilal al-Qur’an
3. Ilmu Tafsir : Al-Itqan fi ulum al-Qur’an, Itmam al-Dirayah
4. Hadits       :Riyadh al-Shalihin, Al-Lu’lu’ al al-Marjan, Shahih al-Bukhari, Shahih al-
Muslim, Tajrid al-Shalih
5. Mushtalah al-Hadits : Alfiyah al-Suyuthi
6. Fiqih          : Fath al-Wahab, Al-Iqna’, Al-Muhadzdzab, Al-Mahalli, Al-Fiqh ‘ala al-
Madzhab al-Arba’ah, Bidayah al-Mujtahid
7. Ushul al-Fiqh        : Latha’ifa al-Isyarah, Ushul al-Fiqh, Jam’u al-Jawami’, Al-Asybah
wa al-Nadha’ir, al-Nawahib al-Saniyah
8. Bahasa Arab          : Jami’ al-Durus A;-Arabiyah
9. Balaghah   : Uqud al-Juman, Al-Balaghah al-Wadhihah
10. Manthiq     : Sullam al-Munauraq
11. Akhlaq      : Ihya’ al-Ulum al-Din, Risalah al-Mu’awwanah, Bidyah al-Hidayah
12. Tarikh        : Tarikh Tasyri’
Kitab-kitab tersebut umunya dipergunakan dalam pengajian standar oleh pondok-
pondok pesantren. Selain yang telah dikemukakan di atas, masih banyak  kitab-kitab yang
dipergunakan untuk pendalaman dan perluasan pengetahuan ajaran Islam. Misalnya kitab-
kitab sebagai berikut;
1) Dalam bidang Tafsir/ Ilmu tafsir
a. Ma’ani al-Qur’an
b. Al Basith
c. Al Bahal al-Muhith
d. Jami’ al-Ahkam al-Qur’an
e. Ahkam al-Qur’an
f. Mafatih al-Ghaib
g. Lubab al-Nuqul fi Asbab Nuzul al-Qur’an

14
h. Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an
i. I’jaz al-Qur’an
2) Dalam bidang Hadits
a. Al Muwaththa’
b. Sunan al-Turmudzi
c. Sunan Abu Daud
d. Sunan al-Nasa’i
e. Sunan Ibn Majah
f. Al-Musnad
g. Al-Targhib wa al-Tarhib
h. Nail al-Awthar
i. Subul al-Salam
3) Dalam bidang Fiqh
a. Al-Syarh al-Kabir
b. Al-Umm
c. Al-Risalah
d. Al-Muhalla
e. Fiqh Al-Sunnah
f. Min Taujihah al-Islam
g. Al-Fatawa
h. Al-Mughni li Ibn Qudamah
i. Al-Islam Aqidah wa Syari’ah
j. Zaad al-Maad
Dalam pelaksanaanya, penjenjangan diatas tidaklah mutlak. Bisa saja pesantren
tertentu memberikan tambahan atau langkah-langkah inovasi, misalnya dengan
menambahkan kitab-kitab yang popular, tetapi lebih mudah dalam penyajianya, sehingga
lebih efektif para santri menguasai materi.
Menurut Martin Van Bruinessen kurikulum dan pengajaran di pesantren tidaklah  di
standarisasi. Hampir setiap pesantren mengajarkan kombinasi kitab yang berbeda-beda, dan
banyak kyai terkenal ahli dalam kitab atau mempunyai spesialisasi bidang keilmuan
tertentu. Banyak santri tekun berpindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain untuk
mempelajari kitab yang ingin mereka kuasai. Steenbrink menggambarkan beberapa santri
yang berkelana untuk mencari ilmu kepada kyai yang mempunya kemampuan dan keahlian
dalam keilmuan tertentu yang sudah tersohor. Pada saat ini kejadian seperti itu meskipun

15
tidak seramai beberapa puluh tahun yang lalu masih dapat kita temui dan relevan pada hidup
sekarang, karena para santri kadang kala tidak hanya belajar di pesantren tetpai juga belajar
di madrasah atau bahkan perguruuan tinggi yang mempunyai keunggulan dan spesialisasi
yang cukup terkenal dibandingkan dengan madrasah/ pesantren/ perguruan tinggi di tempat
yang lain.
Dalam hal pengembangan kurikulum pendidikanya lembaga pendidikan Islam
(Madrasah dan Pesantren) , dalam wilayah sebagai institusi sosial ia dihadapkan kepada
bagaimana ia melakukan respon terhadap tuntutan yang berkembang di masyarakat. Tuntutan
tersebut tidak bisa dielakkan karena  madrasah dan kehidupan sosial disekitarnya merupakan
dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Masing-masing saling berebut untuk saling melakukan
intervensi terhadap pihak lainya. Madrasah dan pesantren tidak mungkin mengelak dari
dinamika masyarakat, karena dimanapun ia berada.  Sementara pada saat yang sama, proses
pendidikan di madrasah selalu berupaya untuk mengendalikan jalanya kehidupan agar tetap
berada di atas norma-norma yang di idealkan.
3. Pengembangan Kurikulum Pesantren
a) Pengembangan kurikulum Pesantren
Dalam beberapa penelitian terhadap pesantren ditemukan bahwa pesantren mempunyai
kewenangan tersendiri dalam menyusun dan mengembangan kuurikulumnya. Menurut
penelitian Lukens-Bull dalam bukunya Abdullah Aly, secara umum kurikulum pesantren
dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu; Pendidikan Agama, pengalaman dan
pendidikan moral, sekolah dan pendidikan umum serta, ketrampilan dan kursus.
Pertama, kurikulum berbentuk pendidikan Agama Islam. Di dalam dunia pesantren,
kegiatan belajar pendidikan Agama Islam lazim disebut sebagai  ngaji atau pengajian.
Kegiatan ngaji dipesantren pada praktiknya dibedakan menjadi dua tingkatan. Pada tingkatan
awal ngaji sangatlah sederhana, yaitu para santri belajar membaca teks-teks Arab, terutama
sekali Al-Qur’an. Tingakatan ini dianggap sebagai usaha minimal dari pendidikan agama
yang harus dikuasai oleh para santri. Tingkatan berikutnya adalah para santri memilih kitab-
kitab islam klassik dan mempelajarinya dibawah bimbingan kyai. Adapun kitab-kitab yang
dijadikan bahan untuk ngaji meliputi bidang ilmu: fikih, aqidah atau tauhid, nahwu, sharaf,
balaghah, hadits, tasawuf, akhlak, ibadah-ibadah seperti sholat doa, dan wirid. Dalam
penelitian Martin Van Bruinessen, ada 900 kitab kuning dipesantren. Hampir 500 kitab-kitab
tersebut ditulis oleh ulama asia tenggara dengan bahasa yang beragam; bahasa Arab, Melayu,
Jawa, Sunda, Madura, Indonesia, dan Aceh.

16
Kitab kuning dalam dunia pesantren mempunyai posisi yang siginifikan selain dari
kharisma kyai itu sendiri. Dan kitab kuning itu sendiri dijadikan referensi dan buku pegangan
dalam tiap-tiap pesantren, dan kurikulum sebagai sistem pendidikan daam sebuah pesantren
tersebut.
Kedua, kurikulum berbentuk pengalaman dan pendidikan moral. Kegiatan keagamaan
yang paling terkenal di dunia pesantren adalah kesalehan dan komitmen para santri terhadap
lima rukun Islam. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran
para santri untuk mengamalkan nilai-nilai moral yang di ajarkan pada saat ngaji. Adapun
nilai-nilai moral yang ditekankan dipesantren adalah persaudaraan Islam, keikhlasan,
kesederhanaan dan kesaudaraan Islam.
Ketiga,  kurikulum berbentuk sekolah dan pendidikan umum. Pesantren
memberlakukan kurikulum sekolah mengacu kepada pendidikan nasional yang dikeluarkan
Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan kurikulum Madrasah mengacu kepada
pendidikan Agama yang diberlakukan oleh Departemen Agama.
Keempat, kurikulum berbentuk ketrampilan dan kursus. Pesantren memberlakukan
kurikulum yang berbentuk ketrampilan dan kursus secara terencana dan terpogram melalui
kegiatan ekstrakulikuler. Adapun kursus yang popular dipesantren adalah bahasa inggris,
computer, setir mobil, reparasi sepeda motor, dan lain sebagainya. Kurikulum seperti ini
diberlakukan di pesantren karena mempunyai dua alasan, yaitu alasan politis dan promosi.
Dari segi politis, pesantren yang memberikan pendidikan ketrampilan dan kursus kepada para
santrinya berarti merespon seruan pemerintah untuk peningkatan kemampuan sumber daya
manusia (SDM). Hal ini berarti hubungan antara pesantren dengan pemerintah cukup
harmonis. Sementara itu dari segi promosi terjadi peningkatan jumlah santri yang memliki
pesantren-pesantren modern dan terpadu, dengan alasan adanya pendidikan ketrampilan dan
kursus di dalamnya.
Sedangkan M Ridwan Nastir memberikan gambaran mengenai  tingkat
keanekaragaman pranata sesuai dengan spektrum komponen serta pengembangan suatu
pesantren. Yang diklasifikasikan menjadi lima bagian, yaitu;
a) Pondok pesantren salaf/klasik; yaitu pondok pesantren yang didalamnya terdapat sistem
pendidikan salaf (weton, sorogan, bandongan) dan sistem klasikal (madrasah) salaf.
b) Pondok pesantren semi berkembang; yaitu pondok pesantren yang didalamnya terdapat
sistem pendidikan salaf (weton, sorogan, bandongan) dan sistem klasikal (madrasah)
swasta dengan kurikulum 90% agama dan 10% umum.

17
c) Pondok pesantren berkembang; yaitu pondok pesantren seperti semi berkembang, hanya
saja sudah lebih bervariasi dalam bidang kurikulumnya, yakni 70% agama dan 30%
umum. Disamping itu juga diselenggarakan madrasah SKB tiga menteri dengan
penambahan diniyah.
d) Pondok pesantren khalaf/modern; yaitu seperti pondok pesantren berkembang, hanya saja
sudah lebih lengkap lembaga pendidikan yang ada di dalamya, antara lain diselenggarakan
sistem sekolah umum dengan penambahan diniyah (praktek membaca kitab salaf),
perguruan tinggi (baik umum, maupun agama), bentuk koperasi dan dilengkapi
dengan takhassus  (bahasa Arab dan bahasa Inggris).
e) Pondok pesantren Ideal; yaitu sebagaimana bentuk pondok pesantren modern hanya saja
lembaga ppendidikan yang ada lebih lengkap, terutama bidang ketrampilan yang meliputi
pertanian, teknik, perikanan, perbankankan, dan benar-benar memperhatikan kualitasnya
dengan tidak menggeser ciri khusus kepesantrenannya yang masih relevan dengan
kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Dengan adanya bentuk tersebut
diharapkan alumni pondok pesantren benar-benar berpredikat khalifah fil ardhi.
Dalam perkembanganya pesantren tidak semata-mata tumbuh atas pola lama yang
bersifat tradisional dengan hanya menggunakan pola sorogan dan bandongan. Binti Ma’unah
menyatakan, dalam perkembanganya ada tiga sistem pembelajaran yang dikembangkan di
pesantren, yaitu;
1) Sistem klassikal
Pola penerapan  sistem klassikal adalah dengan pembentukan kelas-kelas dan
tingkatan, kluster pembelajaran yang disesuaikan seperti pada sekolah dalam pendidikan
formal. Dalam banyak pesantren pola ini sudah banyak di gunakan di sebagai madrasah
diniyah atau kegiatan dalam pesantren sebagai pengelompokan pembelajaran yang
didasarkan atas kemampuan dan pemahaman selama di pesantren tersebut.
2) Sistem kursus (tahassus)
Pengajaran sistem kursus ini mengarah kepada terbentuknya santri-santri yang
mandiri dalam menopang ilmu-ilmu agama yang mereka terima dari Kyai melalui
pengajaran sorogan  dan bandongan. Sebab pada umumnya para santri diharapkan tidak
tergantung kepada pekerjaan di masa mendatang, melainkan harus mampu menciptakan
pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka.
3) Sistem pelatihan
Pola pelatihan ini dikembangkan untuk menumbuh kembangkan kemampuan praktis
seperti pelatihan, pertukangan, perkebunan, perikanan, manajemen koperasi dan kerajinan-

18
kerajinan yang mendukung tercinptanya kemndirian integratif. Dalam banyak pesantren
sudah banyak digodog (diusahakan dan di didik pengalaman dan pembelajaranya secara
intensif) agar para santrinya mempunyai kemampuan entrepreneur. Hal ini erat kaitanya
dengan kemampuan yang lain yang cenderung melahirkan santri yang intelek dan ulama yang
mumpuni.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kurikulum adalah seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan
kepada peserta didik, agar visi, misi dan tujuan pendidikan dapat tercapai. Dapat dipahami
bahwa kurikulum pendidikan modern berisi materi-materi yang cenderung kearah
pengembangan potensi murid (child centered) guna kepentingan hidup di
masyarakat (community centered), sedangkan kurikulum tradisional lebih mengarah kepada
pendidikannya(education centered ‫ز‬
Fungsi kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan
pendidikan, adapun komponen-komponen tersebut meliputi; komponen tujuan, komponen
isi atau materi, komponen metode ataustrategi dan evaluasi. Dalam pendidikan pesantren
setidak-tidaknya didalamnya ada unsur kyai, pondok, masjid, santri, dan pengajaran kitab-
kitab kuning. Dalam sistem pengajaran pesanten dikenal ada dua sistem pengajaran yaitu,
wekton (atau yang lebih dikenal dengan bandongan) dan sorogan.
Menurut penelitian Lukens-Bull dalam bukunya Abdullah Aly, secara umum
kurikulum pesantren dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu; Pendidikan Agama,
pengalaman dan pendidikan moral, sekolah dan pendidikan umum serta, ketrampilan dan
kursus.

20
DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi,


Jakarta;Kompas Gramedia,2002
Abdullah Aly, Pendidikan Islam Mulltikulturalisme di Pesantren; Telaah Kurikulm Pondok
Pesantren Islam Assalam Surakarta Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2011
Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Pesantren,Yogyakarta: Teras, 2010
Binti Ma’unah, Tradisi Intelektual Santri, Yogyakarta; TERAS, 2009
Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan,  Jakarta; Prasasti, 2002
Clifford Geertz, Agama Jawa; Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa,
Jakarta;Komunitas Bambu, 2013
Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah; Pertumbuhan dan
Perkembanganya, (Jakarta; Departemen Agama RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam),
2003
E. Badri, dan Munawiroh (ed), Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyah, (Jakarta;
Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,  2007
Hidar Putra Dulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren,  Sekolah dan Madrasah,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Jakarta; Erlangga, 2002
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2012
Marwan Sardijo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta; Penerbit Dharma
Bakti, 1982
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat, Yogyakarta ; Gading
Publishing, 2012
Omar Muhammad Al-Toumy As-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979.
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur CholisMadjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, Jakarta: Ciputat Press, 2002
Zamachsary Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta;
LP3ES, 1985

21

Anda mungkin juga menyukai