MAKALAH
DOSEN PENGAMPU:
Dr. M. Hatta Roma Tampubalon, SH., MH.
Oleh :
Narjianti Usmar
NIM: D 102 21 054
i
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur kepada Tuhan Yesus yang maha Esa, karena atas berkatNya
Kesejahteraan Masyarakat Desa Dalam Perspektif Sosio Legal Studies ”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi penugasan mata kuliah sosiologi hukum Magister Hukum
makalah ini, baik dari segi isi maupun penyajian. Untuk dapat menyelesaikan
makalah ini, tentu tidak dapat terlepas dari segala hambatan dan kesulitan yang
penulis rasakan ketika menyusun makalah ini, namun dengan dukungan dan
bimbingan dari pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini
1. Orang tua serta keluarga penulis yang senantiasa memberikan dukungan dan
2. Dr. Moh. Hatta R. Tampubolon, S.H., M.H., selaku Dosen mata kuliah Sosiologi
3. Semua pihak yang membantu penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu – satu,
ii
Penulis sadar bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan yang dimiliki penulis, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak. Penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi pihak yang membaca maupun yang membutuhkan. Terima kasih.
Penulis
( Narjianti Usmar)
No. Stb. D102 21 054
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 6
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penulisan.................................................................................. 6
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Hutan di Pulau Jawa sebagian besar dikelola oleh Perum Perhutani dengan luas lahan
yang dikelola mencapai 85,37% dari total luas hutan di Pulau Jawa atau sekitar 2,4 juta
hektar (Purwanto et al. 2013). Perhutani memiliki kewajiban untuk melibatkan masyarakat
yang menjadi model pengelolaan hutan, sistem kolaborasi ini dilakukan oleh pihak
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Posisi antara Perum Perhutani dan LMDH
menurut Ervianto (2010) adalah sebagai mitra yang sejajar melalui keterlibatan satuan
kerja dinas atau instansi secara terpadu. Artinya sifat LMDH adalah mandiri, baik dari
masyarakat di sekitar hutan. Namun dalam pelaksanaan program PBHM masih terdapat
evaluasi. Menurut Purwanto et al.(2013), PHBM sebagai program yang dibangun Perhutani
tidak secara substansial menyelesaikan akar masalah dan cenderung menjadi bagian yang
justru mempertajam konflik dengan masyarakat. Salah satu akar permasalahannya adalah
PHBM hanya mengakui secara sepihak kelembagaan masyarakat yang dapat mengakses
sumberdaya hutan yaitu LMDH. Pada kenyatannya LMDH justru gagal menjadi lembaga
1
Purwanto AB, Manalu D, Suprapto E, Hanif H, Ferdaus RM, Sulastriyono, Diantoro
TD. 2013. Hutan Jawa, kontestasi dan kolaborasi. Jurnal AruPA. [Internet]. [Diunduh
pada 9 Desember 2018]. Tersedia pada
http://arupa.or.id/sources/uploads/2014/06/Hutan-Jawa-Kontestasi-dan- Kolaborasi-
resize.pdf
dilahirkan dari kesepakatan bersama masyarakat, maka realitanya LMDH dikuasai oleh
sejumlah elite seperti perangkat desa, pengurus Badan Permusyawaratan Desa, guru,
birokrat, dan lainnya. Sehingga banyak yang merasakan bahwa LMDH tidak lebih dari
masyarakat.2
pengelolaan hutan Jawa, diperlukan langkah penting untuk merekonstruksi kebijakan mulai
yang menjadi basis kebijakan kepengurusan hutan dan perlu penataan ulang mengenai
mekanisme perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan hutan agar manfaat yang diperoleh
sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Negara melalui KLHK hadir dan mengambil alih
Permen LHK No. P 83 tahun 2016 dan Permen LHK No. P 39 tahun 2017 yang juga
PHBM dan LMDH yang sudah ada sebelum berlakunya PermenLHK No. P 39 tahun
2017 maka pelaksanaannya disesuaikan dengan peraturan tersebut bila arealnya sesuai
dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 4 Permen LHK No. P 39 tahun 2017 yaitu
melalui skema Izin Pengelolaan Hutan Perhutanan Sosial atau IPHPS. Jika arealnya diluar
ketentuan pada P.39 tahun 2017 maka pelaksanaannya disesuaikan dengan Permen LHK
No. P 83 tahun 2016 dengan skema Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan
(Kulin KK).3
2
Anantayu S .1998. Analisis kebutuhan dasar dan respons mayarakat sekitar hutan
terhadap perhutanan sosial (Kasus di Desa Katekan, Desa Mojorebo, di Desa Dokoro).
[Internet]. [Diunduhpada 20 April 2019]. Tersedia
pada https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/22353
3
[MenLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial
2
Salah satu kelompok yang mengajukan SK Perhutanan Sosial adalah Desa
Haruman seluas 75 ha yang dikelola melalui PHBM sejak tahun 2002. Hingga pada tahun
2017 LMDH Buana Mukti mengajukan Perhutanan Sosial dengan pendampingan dari SHI
(Serikat Hijau Indonesia). LMDH Buana Mukti pada akhirnya mendapatkan SK legalitas
atau Kulin KK antara LMDH Buana Mukti dengan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)
percepatan perhutanan sosial yang seakan-akan terlalu memaksakan semua lahan ’harus
versi baru ini. Atau dengan adanya Kulin KK yang menjadi skema baru hasil lanjutan dari
PHBM hanyalah sarana panggung baru bagi Perum Perhutani agar tetap terjaga
eksistensinya. Penelitian ini pun secara garis besar akan membahas bagaimana
LMDH Buana Mukti terdiri dari 115 anggota yang keseluruhannya mendapatkan SK
Kulin KK. Seluruh masyarakat desa hutan inilah yang berhak mendapatkan akses legal
kelola hutan. Penetapan Perhutanan Sosial dengan skema Kulin KK yang sebelumnya pada
masyarakat desa hutan yang secara langsung maupun tidak langsung terkena dampak dari
skema baru tersebut. Terutama bagaimana proses penetapan dan pelaksanan skema Kulin
kesejahteraan masyarakat desa hutan tidak akan banyak memberikan manfaat apabila
Hukum dapat dipelajari baik dari perspektif ilmu hukum atau ilmu sosial, maupun
3
kombinasi diantara keduanya. Studi sosio-legal merupakan kajian terhadap hukum dengan
Hal pertama yang perlu dipahami adalah studi sosio-legal, tidak identik dengan
sosiologi hukum, ilmu yang sudah banyak dikenal di Indonesia sejak lama. Kata ‘socio’
tidaklah merujuk pada sosiologi atau ilmu sosial. Para akademisi sosio-legal pada
umumnya berumah di fakultas hukum. Mereka mengadakan kontak secara terbatas dengan
para sosiolog, karena studi ini hampir tidak dikembangkan di jurusan sosiologi atau ilmu
sosial yang lain (Banakar & Travers 2005). Pada prinsipnya studi sosio-legal adalah studi
hukum, yang menggunakan pendekatan metodologi ilmu sosial dalam arti yang luas.
Mengutip pendapat Wheeler dan Thomas (dalam Banakar 2005), studi sosio-legal
adalah suatu pendekatan alternatif yang menguji studi doktrinal terhadap hukum. Kata
berada (an interface with a context within which law exists). Itulah sebabnya mengapa
ketika seorang peneliti sosio-legal menggunakan teori sosial untuk tujuan analisis, mereka
sering tidak sedang bertujuan untuk memberi perhatian pada sosiologi atau ilmu sosial
yang lain, melainkan hukum dan studi hukum (Banakar & Travers 2005). Sebagai suatu
school of thought ‘baru’, studi ini melalui berbagai buku mutakhir dan jurnal sudah
menggambarkan teori, metode, dan topik-topik yang semakin mantap menjadi perhatian
dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja No. 11 tahun 2020 UUCK 5dan kemudian
Kehutanan, para rimbawan, pengamat kehutanan, mahasiswa dan masyarakat luas pada
umumnya, harus hati hati dan cerdas dalam memahami dan menafsirkan pasal yang ada di
4
Arifiani. 2017. Analisis respon masyarakat terhadap dana desa untuk pembangunan pedesaan. [Internet].
[Diunduh pada 20 Februari 2019]. Tersedia pada https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/88024
5
http://agroindonesia.co.id/2021/08/18032/ ( diakses tgl 10 november 2021)
4
dalamnya dan hubungan kasualistik antara pasal yang satu dengan pasal yang lainnya.
Tidak mudah memahami perubahan 18 pasal dari UU No. 41/1999 yang turunananya
menjadi satu PP dengan 302 pasal tanpa memahami lebih dahulu mengenai substansi
dasar, syarat lain adalah pemahaman secara tekstual dan kontekstual yang kadang sering
dilupakan oleh kita semua. Pemahaman tekstual adalah apa yang tersurat di dalam regulasi,
itulah yang harus dipedomani atau dilaksanakan di lapangan, bila dilanggar tentu mendapat
Dalam PP 6/2007, secara tekstualpun juga tidak ditemukan adanya kegiatan perhutanan
desa; hutan kemasyarakatan; atau kemitraan , dimana ketiga kegiatan tersebut adalah
bagian dari kelima kegiatan perhutanan sosial selain hutan adat dan hutan tanaman rakyat.
Baru pada peraturan menteri LHK P. 83 tahun 2016, secara tekstual kegiatan perhutanan
presiden Joko Widodo dalam membangun rakyat dari pinggiran dengan reforma agrarianya
maka dalam UUCK bidang kehutanan secara tekstual kegiatan perhutanan sosial dimuat
dalam pasal 29A dan 29B yang berbunyi pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi
dapat dilakukan kegiatan Perhutanan Sosial. Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan
berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam PP.
6
[MenLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017. Peraturan Menteri
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Pehutanan Sosial di Wilayah Kerja
Perum Perhutani.
5
Secara tekstual dalam PP 23/2021, kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Bab VI
tentang pengelolaan perhutanan sosial dari pasal 203 sampai pasal 247. Dalam pasal 247
diatur tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perhutanan Sosial diatur dalam
Peraturan Menteri. Rancangan peraturan menteri LHK tentang ini sedang dalam proses
sosialisasi dan uji publik yang nantinya diharapkan sebagai pengganti permen LHK
2. Menganalisis tingkat kapasitas individu petani hutan pra Perhutanan Sosial, dan?
5. Untuk Mengetahui Menganalisis tingkat kapasitas individu petani hutan pra Perhutanan
Sosial, dan
terhadap respons yang diberikannya pada Program Perhutanan Sosial dengan kontribusi
sebesar 12.8% dan nilai signifikasi sebesar 0.024 (p<0.05). Respons yang diberikan oleh
masyarakat berupa respons positif untuk menyertakan dirinya dalam pelaksanaan Program
6
Perhutanan Sosial.
BAB II
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tata kuasa berkaitan dengan sistem tenurial dari lahan atau kawasan hutan yang
bersangkutan (Ferdaus et all 2014). Atau dengan kata lain persoalan tata kuasa erat
hubungannya dengan akses atas sumberdaya hutan. Penjelasan kekuasaan oleh Harland dalam
Fitriawan (2016) kekuasan tidak mengacu pasa satu sistem umum dominasi oleh seseorang
atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan
kekuasaan
masyarakat desa hutan dalam menggarap hutan karena model penguasaannya yang berubah.
Klasifikasi responden berdasarkan lama menggarap di hutan dibagi menjadi empat berdasarkan
pergantian model penguasaan hutan. Responden dominan lama menggarap di hutan selama 3-
15 tahun dengan persentase sebanyak 50%. Pada rentang tahun itu merupakan masa dimana
program PHBM berjalan dan masyarakat memang diberikan hak akses pengelolaan hutan.
Pada rentang waktu lebih dari 21 tahun adalah sebanyak 15% atau sedikitnya 6 orang. Petani
yang menggarap hutan pada rentang waktu tersebut adalah yang menggarap hutan diatas tahun
1998 dan masih berupa tanah milik masyarakat desa hingga tahun 1987.
Leuwigoong. Pada kurun waktu sebelum tahun 1987, sebagian besar lahan di Gunung
Haruman merupakan tanah milik masyarakat. Klaim kepemilikan lahan ini dibuktikan dengan
SPPT dan skema pajak. Pada saat itu tidak ada masyarakat yang menunjukkan kepemilikan
lahan melalui bukti kepemilikan tanah seperti girik. Selain tanam milik, terdapat tanah carik
yang juga disewakan antar masyarakat. Mereka mengelola lahan tersebut sebagai tanah milik
maupun tanah sewa. Pada saat itu sebagian besar wilayah hutan ditanami tanaman semusim
8
seperti palawija secara subsisten.
Pada tahun 1980an hutan di Gunung Haruman didominasi oleh tanaman musiman. Oleh
karena itu pemerintah mengemas bahwa Gunung Haruman kritis dan harus di bebaskan untuk
dihijaukan kembali. Pemerintah melakukan pembebasan lahan melalui tukar guling kawasan
yang ada di Gunung Haruman dan Gunung Kaledong. Lahan yang ditukargulingkan di Gunung
Haruman seluas 218 ha sedangkan lahan yang di Gunung Kaledong seluas 320 ha. Tukar
guling ini bertujuan mengganti lahan yang digunakan untuk membangun Waduk Cirata yang
akan dijadikan PLTA. Setelah lahan diambil alih penguasannya, masyarakat berhenti
menggarap di hutan. Perhutani mulai melakukan reboisasi dengan menanam tanaman kayu
seperti Pohon Damar, Mahoni, Gamalina, dan Pinus. Tak luput pula menanam tanaman pioner
yaitu Kaliandra.
Tahun 1998 banyak desas desus yang beredar bahwa setelah Soeharto turun,
masyarakat boleh untuk kembali mengelola hutan. Informasi menyebar dari mulut ke mulut.
Pada awalnya hanya sedikit yang berani untuk menggarap di atas. Perlahan pengawasan dari
perhutani mulai kendur. Lama-kelamaan banyak masyarakat yang kembali menggarap dan
mengambil manfaat dari hutan. Pada tahun ini pun dimulai garapan liar di kawasan Gunung
Haruman.
Hutan Gunung Haruman berdasarkan hasil pengajian partisipatif pada tahun 2002
diperkirakan telah dirambah hingga mencapai 80% dikarenakan kebutuhan lahan pertanian
yang kurang. Lahan hutan pada saat itu digarap oleh sekitar 250 orang yang sebagian besar
penduduk Harumansari. Gunung Haruman kemudian secara de facto telah dikuasai oleh
masyarakat setempat untuk budidaya pertanian. Perhutani tidak lagi memiliki kontrol atas
Penerbitan ijin pengelolaan hutan untuk masyarakat bisa dilakukan dengan berbagai
9
skema termasuk skema kemitraan kehutanan. Hal inilah yang kemudian ditempuh oleh kedua
belah pihak melalui adanya kerjasama dalam pengelolaan hutan dengan skema PHBM. Tahun
2004 antara KKPH Garut dan LMDH Buana Mukti membuat sebuah Naskah Perjanjian
Kerjasama (NPKS). Lahan yang dikerjasamakan seluas 85 ha di Gunung Haruman yang secara
administratif berada di wilayah Desa Harumansari. Perjanjian ini mengatur mengenai kegiatan
yang dilakukan di lahan Perhutani maupun kegiatan yang dikerjasamakan antara kedua belah
pihak. Salah satunya adalah kegiatan agroforestry, adapula kerjasama merawat pohon,
menghijaukan, dan menanam tanaman yang produktif. dan pengembangan masyarakat yang
NKK yang pernah dibuat pertama kali saat PHBM hadir. Isi NKK tidak jauh berbeda dengan
NPKS yang pernah dibuat pada tahun 2004. Dimana didalamnya berisi kegiatan yang harus
dilakukan dan termasuk bagi hasil didalamnya. Pembuatan NKK ini disusun kembali dengan
tujuan pengajuan Program Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. NKK
merupakan salah satu syarat yang wajib dipenuhi dalam proses pengajuan Program PS
tersebut.
Proses pendataan dilakukan dengan mengumpulkan fotokopi identitas berupa KTP dan
KK bagi masyarakat desa hutan yang ingin ikut serta dalam pengelolaan hutan di wilayah kerja
Perhutani. Pendataan dilakukan dengan melibatkan ketua beserta pengurus LMDH, perangkat
desa, dan ketua kelompok tani hutan. Nyatanya di lapang, penentuan penerima SK tidak sesuai
dengan peraturan yang telah ditetapkan. Pada pencatatannya bukan hanya petani penggarap,
yang bukan petani pun ada yang dimasukkan dalam daftar calon penerima SK.tara skema
IPHPS dan Kulin KK, Perhutani lebih banyak mendorong kelompok tani untuk mengajukan
Kulin KK. Salah satu alasannya adalah terkait akses dan kontrol yang dimiliki Perhutani. Pada
10
penyusunan rencana pemanfataan hutan melalui skema Kulin KK disesuaikan dengan dengan
RPKH milik Perhutani, sehingga Perhutani hanya tinggal melanjutkan PHBM yang sudah
dilaksanakan sebelumnya. Berbeda dengan IPHPS yang rencana pemanfaatannya sudah diatur
dalam Peraturan Dirjen PSKL No.39 tahun 2017 tanpa adanya sebuah intervensi dari
Perhutani.
Sesuai dengan pasal yang dicantumkan dalam SK Kulin KK, penentuan luas areal
dilakukan setelah penandaan batas di lapangan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh
kedua belah pihak. Luasan areal garapan pun disesuaikan dengan kondisi lapangan dengan
memperhatikan topografi dan kondisi lahan di tingkat tapak yang juga dilaksanakan
Haruman dibagi menjadi 4 blok. HPD yang didapat oleh Desa Harumansari adalah seluas 75
ha. Kemudian diukur kembali luas lahan yang ada dijadikan wilayah kerjasama. Didapatlah
luas Gunung Haruman yang masih berada di areal Desa Harmansari kurang lebih 100 ha.
Namun berdasarkan kesepakatan antara pihak BPKH Garut, Dirjen PSKL, dan pengurus
LMDH Buana Mukti akhirnya luas garapan yang dikerjasamakan adalah 85 ha.
tersebutlah yang berpengaruh pada produktivitas mereka (Gary dalam Utami 2015). Syarat
yang dibutuhkan dalam pembangunan kapasitas individu adalah memiliki tenaga kerja yang
memadai, terampil, dan terlatih. Pengukuran tingkat kapasitas individu petani hutan bertujuan
untuk melihat sejauh mana program PHBM berdampak bagi masyarakat setelah diberikan
akses untuk ikut memanfaatkan hutan. Tingkat kapasitas individu petani hutan diukur melalui
kapasitas individu berdasarkan indikator pengetahuan dan pengalaman petani, kepemilikan dan
Mayoritas responden berada pada tingkat kapasitas sedang dengan persentase mencapai
11
75%. masyarakat desa hutan di Desa Harumansari cukup memiliki kemampuan untuk
melakukan kegiatan penguasaan dan pemanfaatan hutan. Mereka memiliki potensi yang cukup
belum mengetahui secara pasti sistem pengaturan hutan serta belum memenuhi seluruh
Selama 15 tahun PHBM dan LMDH berkiprah, tentunya banyak perubahan yang terjadi
baik dari sisi pengelolaan hutan maupun pengaturan penguasaan hutan. LMDH terbentuk
bertujuan untuk mewadahi petani penggarap di hutan dalam pemanfaatan penguasaan hutan
demi mencapai kesejahteraannya. Fungsi LMDH sebagai perpanjangan tangan Perhutani untuk
peran ini memang bukan hanya dari satu pihak yaitu LMDH. Kopi menjadi komoditas utama
yang dianjurkan untuk ditanam. Bukan hanya bantuan tetapi juga mengusahakan adanya
Kehutanan berharap bahwa program ini mampu mengurangi konflik, ketimpangan lahan,
sekaligus menjaga kelestarian hutan. Tujuan program ini pun difokuskan pada percepatan
pemerataan ekonomi terutama terkait dengan ketersediaan lahan bagi kelompok masyarakat
kecil.
Sosial. Sejumlah 87.5% dari total seluruh responden memberikan respons positif. Ini
memberikan indikasi bahwa angin segar yang dijanjikan oleh pemerintah melalui progam ini
Beberapa kali perubahan sistem penguasaan lahan yang dialami oleh masyarakat
12
membuat mereka berharap bahwa program ini mampu mencapai tujuan yang mereka inginkan
yang selama ini masyarakat alami baik mengenai keterbatasan akses maupun modal dalam
pengelolaan hutan diharapkan mampu segera teratasi. Respons positif masyarakat ini menjadi
modal utama dalam proses menuju keberhasilan adopsi sistem pengelolaan hutan yang benar-
benar berbasis masyarakat. Bahwasannya pemberian hak tenurial kepada masyarakat bukanlah
hanya mementingkan keuntungan dari aspek ekonomi. Melainkan dengan adanya keterlibatan
masyarakat diharapkan juga mampu memenuhi aspek sosial dan ekologi. Proses komunikasi
maupun sosialisasi mengenai hal tersebut kepada masyarakat berhasil untuk memunculkan
sikap positif dan menimbulkan kecenderungannya untuk terlibat pada program ini.
2.5. Pengaruh Tingkat Kapasitas terhadap Respons yang Diberikan Masyarakat Desa Hutan
pada Program Perhutanan Sosial
Responden dengan tingkat kapasitas yang sedang, 74.3% diantaranya adalah mereka
yang memberikan respons positif terhadap Program Perhutanan Sosial. Tingkat kapasitas
individu petani hutan pra Perhutanan Sosial berkontribusi sebesar 12.8% terhadap respons
yang diberikan oleh masyarakat desa hutan mengenai tujuan yang ingin diperoleh pasca
penetapan Perhutanan Sosial dengan skema Kulin KK. Sedangkan sisanya sebesar 87.2%
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar tingkat kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat desa
hutan pra Perhutanan Sosial. Kapasitas individu adalah sebagai cermin faktor pendorong
internal terhadap respons yang diberikan. Oleh sebab itu masih ada faktor pendorong lain yang
tidak dijelaskan dalam penelitian ini. Nilai signifikansi 0.024 (p<0.05), angka ini menunjukkan
bahwa adanya pengaruh yang signifikan mengenai tingkat kapasitas terhadap respons yang
Peningkatan kapasitas individu petani hutan sebagai salah satu tujuan Program PHBM
dalam penelitian ini hanya mampu mencapai kapasitas sedang. Terlepas dari siapa yang
sebenarnya paling berkontribusi dalam pencapaian ini, ternyata kapasitas individu masyarakat
13
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respons yang diberikan terhadap Program PS.
Dengan kapasitas yang dimiliki, masyarakat desa hutan di Desa Harumansari mampu
menentukan keputusan yang akan diambilnya terhadap perubahan yang ada. Masyarakat
memiliki hak yang sama terhadap sumberdaya, memiliki akses dan kontrol yang sama
sehingga suara yang dimiliki mampu menjadi pertimbangan dalam sebuah penentuan
kebijakan. Respons positif menunjukkan bahwa dengan kapasitas yang masyarakat miliki,
mereka siap menerima perubahan dengan mempelajari, terlibat, dan pada akhirnya mengadopsi
Kurang lebih dalam kurun waktu satu tahun pasca penepatan Perhutanan Sosial dengan
skema Kulin KK di Desa Harumansari ada beberapa capaian yang telah diperoleh LMDH
Buana Mukti dalamusahanya dibidang PS. Termasuk dengan terbentuknya KUPS (Kelompok
Usaha Perhutanan Sosial). Pemerintah berharap LMDH maupun kelompok tani hutan
hutan. KLHK mengarahkan kelompok tersebut bertransformasi mejadi KUPS yang mandiri.
LMDH Buana Mukti memecah anggotanya menjadi empat KUPS yang siap untuk mengajukan
rencana kerja.
Penyusunan rencana kerja yang dilakukan oleh keempat KUPS tersebut tak lepas dari
peran Pokja PPS serta SHI sebagai pendamping. Pengerjaan rencana kerja ini dilakukan oleh
Pengurus LMDH. Dimana Pojka PPS yang turut membantu merupakan anak dari salah satu
pengurus LMDH Buana Mukti, dan salah satu pihak SHI yang membantu merupakan kawan
dekat dari pengurus LMDH tersebut. Kondisi ini sangat mempermudah pengurusan berkas
sejak mendapatkan izin hak pengelolaan hutan sosial. Perlu diketahui bahwa pengurus dari
KUPS mulai dari ketua tiap kelompok hingga sekretaris dan bendahara merupakan orang yang
sama dengan para pengurus maupun elite yang ada di LMDH. KUPS ini seakan hanya terlihat
formalitas semata untuk mempermudah dokumen pengajuan bantuan dalam berbagai kegiatan.
14
Dalam Peraturan Perundangan di Indonesia Undang-Undang Nomor 41/1999
pengaturan yang memiliki perbedaan mendasar dengan masukkan peran serta masyarakat, hak
masyarakat atas informasi kehutanan dan keterlibatan dalam pengelolaan hutan secara umum.
Dalam undang-undang ini terdapat dua status hutan yaitu hutan negara dan hutan hak.7
kepada masyarakat adat yang berdiam di kawasan hutan. Hutan adat dianggap sebagai masih
bagian dari hutan negara yang berada di wilayah masyarakat adat. Dalam undang-undang ini
meski terdapat pengakuan terhadap masyarakat adat, namun dalam praktik pengelolaan dan
Selain itu Adapun di dalam Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa Terdapat
lebih 33 ribu desa yang berbatasan dengan kawasan hutan, jika hal ini tidak menjadi perhatian
maka masalah tenurial, status desa maupun kekayaan budaya yang selama ini dikenal
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
(UUD 1945, pasal 18B: 2). Salah satu poin penting Undang-Undang Desa ini adalah adanya
regulasi yang memberi kepastian hukum bagi keberadaan masyarakat adat melalui
7
Fitriawan DE. 2016. Dominasi Perhutani dalam pengelolaan hutan. Jurnal sosiologi.
[Diunduh pada 17 Juni 2020]. Tersedia pada http://journal.unair.ac.id/download-
fullpapers
8
Utami, NN. 2015 Pengelolaan hutan bersama masyarakat ditinjau dari perspektif assets
based community development. Social word jurnal. Hal.106-208 [2]. [Diunduh pada 10
Desember 2018]. Diunduh dari http://jurnal.unpad.ac.id/share/article/view/13142
15
Desa Adat akan diakui apabila memiliki kesatuan masyarakat adat. Kesatuan
masyarakat adat harus memiliki unsur; mempunyai wilayah adat, pemerintahan adat,
benda/harta adat, hukum adat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat 1 UU Desa. UU
desa juga mengakui hak-hak kesatuan masyarakat adat. Desa Adat bukan hanya bertujuan
untuk mengakui hak-hak ulayat masyarakat adat, tetapi juga undang-undang ini mengatur agar
mempertimbangkan prakarsa masyarakat desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya
masyarakat desa, serta kemampuan dan potensi desa. Pemerintah pusat dan daerah akan
melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat untuk kemudian ditetapkan menjadi
Desa Adat9 Ketidakpastian areal kawasan hutan merupakan salah satu yang menghambat
efektifitas tata kelola hutan di Indonesia. Dari seluruh kawasan hutan seluas 130 juta hektar
maka areal yang telah selesai ditatabatas (istilahnya “temu gelang”) baru sekitar 12 persen
(14,2 juta hektar). Ketidakpastian ini memicu munculnya konflik tenurial (lahan) dengan
berbagai pihak yang berkepentingan dengan kawasan hutan. Padahal setidak-tidaknya terdapat
50 juta orang yang bermukim disekitar kawasan hutan dengan lebih dari 33 ribu desa yang
Persoalan ketidakpastian tata batas hutan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat
ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam
kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Di
tingkat lapangan batas yang berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit
Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses
pengukuhan kawasan hutan, dimana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan,
9
https://www.mongabay.co.id/hukum-dan-perundangan-yang-berhubungan-dengan-tata-kelola-hutan-dan-
lahan/ ( Diakses tgl 15 November 2021)
16
penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Proses ini semua adalah untuk
Pemerintah lewat Kemenhut telah mengatur proses pengkukuhan kawasan hutan lewat
berbagai aturan, diantaranya Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan,
Permenhut nomor P.47/2010 tentang Panitia Tata Batas dan Permenhut P.50/Menhut‐II/2011
tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Namun ketiga peraturan ini dinilai masih
memiliki kelemahan.
Terkadang suatu kawasan hutan negara baru merupakan penunjukkan tetapi telah
diterbitkan izin bagi konsesi, padahal seharusnya baru pada tahap penetapan hutan itu memiliki
dan Tata Kelola Hutan dan Kewirausahaan di Lombok pada tahun 2011, direkomendasikan
4. Mendorong pembentukan kebijakan terpadu dalam penguasaan tanah dan kawasan hutan
dan koordinasi kewenangan antara sektor yang terkait dengan urusan penguasaan tanah
Beberapa hal yang membuat konflik tenurial masih terjadi membentang dari sisi paradigma,
kebijakan, aturan hukum hingga masalah teknis di lapangan. Berikut adalah beberapa
penjelasannya.
17
Paradigma: Hutan Adalah Unit Produksi bukan Bagian dari Proses Pengaturan Tata Ruang
Pengurusan hutan dilakukan lewat sistem pengelolaan hutan dengan prinsip ilmiah
modern (scientific forestry, kehutanan ilmiah). Hutan dilihat sebagai sebuah unit kesatuan,
memperoleh keuntungan bagi negara dan pelaku bisnis atau untuk mengakumulasi modal
(Peluso 1992). Dengan demikian langkah yang diambil sesuai dengan tujuan tersebut adalah
membatasi akses masyarakat terhadap kayu dan hasil hutan termasuk membuat aturan yang
membatasi kegiatan di hutan yang telah dikuasai, melakukan penentuan jenis-jenis kayu bernilai
ekonomi tinggi melalui inventarisasi tegakan, membagi hutan menjadi blok-blok (petak) hutan
yang memungkinkan eksploitasi hutan sistematik, serta merekrut pekerja upahan untuk
Dengan kenyataan bahwa hutan tidak lepas dari unsur adanya manusia seperti
keberadaan masyarakat lokal atau masyarakat adat yang telah bermukim bergenerasi di wilayah
tersebut, -bahkan sebelum adanya aturan negara, maka konteks kawasan hutan harus
ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar unsur.
Secara teknis penataan batas hutan menjadi elemen penting pengelolaan hutan yang
optimal. Penatabatasan kawasan hutan harus melibatkan seluruh unsur pemerintah pusat dan
daerah, serta masyarakat lokal dengan pengesahan dan berita acara yang jelas agar tidak lagi
terjadi konflik.
18
Sudah sejak lama permasalahan kawasan hutan bukan terletak kepada sumberdaya yang
ada di dalam hutan, tetapi lebih kepada masalah tenurial, tempat dimana hutan itu tumbuh dan
berada. Pada kenyataannya yang disebut dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu
Tanah menjadi subyek penting yang sering menjadi sumber dasar konflik diantara para
pemangku kepentingan, diantaranya antar departemen dan instansi pemerintah, antar pemerintah
pusat dan daerah, antar masyarakat lokal dengan pemerintah dan antar masyarakat lokal dengan
Lebih jauh, tipologi konflik tenurial kehutanan (Safitri et al, 2011) dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Konflik antara masyarakat adat dengan Kemenhut. Ini terjadi akibat ditunjuk dan/atau
19
6. Konflik antara calo tanah vs elit politik vs masyarakat petani vs Kemenhut vs
BPN. Misalnya konflik karena adanya makelar/calo tanah yang umumnya didukung oleh
7. Konflik antara masyarakat lokal (adat) vs pemegang izin. Meskipun ini terjadi akibat
Kemenhut melakukan klaim secara sepihak atas kawasan hutan dan memberikan hak
memanfaatkannya kepada pemegang izin, seringkali tipologi ini juga dipicu karena
8. Konflik antar pemegang izin kehutanan dan izin-izin lain seperti pertambangan dan
perkebunan.
Hasil pengujian materi (judicial review) yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi
terhadap Undang-Undang nomor 41/1999 oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu di Kabupaten Kampar Riau, dan Masyarakat Adat
Kesepuhan Cisitu di Kabupaten Lebak Banten telah mengabulkan sebagian butir-butir pemohon
yang menyatakan bahwa “hutan adat adalah hutan negara [hapus] yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.” Dengan kata lain, konsekuensi dari keputusan ini maka terdapat tiga
nomenklatur status hutan di Indonesia yaitu hutan negara, hutan hak dan hutan adat.
10
https://www.mongabay.co.id/permasalahan-tenurial-dan-konflik-hutan-dan-lahan/ ( Diakses tgl 18 November
2021).
20
Setelah pasca keputusan MK nomor 35/2012 beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh
a. Surat Edaran Menhut no. SE 1/2013 yang menyebutkan “pelepasan hutan adat dari
kawasan hutan negara hanya dapat dilakukan oleh Kementerian Kehutanan apabila
ada persetujuan dari pemerintah daerah” yang berarti hutan adat baru akan
b. Permenhut nomor 62/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menhut nomor 44/2012
pemukiman, fasilitas umum, dan fasilitas sosial yang sudah ada sebelum penunjukan
keberadaan Hutan Adat harus berdasarkan pengukuhan Perda. Dengan adanya Perda
tersebut hutan adat bisa dilepas dari kawasan hutan, padahal yang dimaksud MK
adalah hutan adat dilepaskan dari hutan Negara di dalam kawasan hutan.
Masyarakat hukum Adat. Dalam Permendagri ini mengatur bahwa Gubenur dan
kabupaten/kota, dan perubahan juga bisa sebaliknya. Desa Adat dibentuk atas dasar
21
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih
hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional yang
Hingga akhir tahun 2013, luas wilayah adat yang sudah dipetakan melalui pemetaan
partisipatif telah mencapai 2,4 juta hektar. Wilayah adat dengan luasan tersebut telah diserahkan
oleh AMAN kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada tanggal 14 November 2013. AMAN
memperkirakan luas hutan adat yang telah dijadikan sebagai bagian dari hutan negara mencapai
40 juta hektar11
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
a. Masyarakat desa hutan sebagai subjek dan objek dalam pengelolaan hutan memiliki
kapasitas sebagai hasil dari implementasi dari program sebelumnya. Kapasitas individu
11
Loc.cit https://www.mongabay.co.id/permasalahan-tenurial-dan-konflik-hutan-dan-lahan/ ( Diakses tgl 18
November 2021).
22
masyarakat di Desa Harumansari tergolong pada tingkat sedang yang dilihat dari
asset, serta sumber pendapatan yang dimilikinya. Dengan kapasitas tersebut ternyata
mampu mempengaruhi 12.8% respons yang diberikan masyarakat desa hutan terhadap
program ini dengan wujud respons positif. Kapasitas individu masyarakat memiliki peran
berhasil seperti yang telah disampaikan banyak pihak sebelum penetapan PS di Desa
Harumansari. Peningkatan kapasitas ternyata belum maksimal sebagai salah satu tujuan
dari PHBM. Masyarakat masih sangat membutuhkan pendampingan dan pembinaan dari
segala aspek agar kapasitas yang dimiliki semakin baik dan mendorong pelaksanaan
perubahan adalah penting, maka hal ini menjadi suatu pokok utama yang harus
diperhatikan terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh pada pencapaian program PS.
b. Respons positif yang diberikan masyarakat desa hutan adalah sebuah tanggapan dalam
menyikapi tujuan yang ingin dicapai oleh program PS itu sendiri. Ini merupakan modal
yang sangat penting agar suatu program dapat diterima hingga pada akhirnya nanti dapat
c. diadopsi oleh masyarakat. Meskipun pada tahap perencanaan porsi keterlibatan elite
yang akan berdampak pula bagi masyarakat itu sendiri. Program PS penting untuk
dilanjutkan apalagi setelah mendapat respons yang positif. Melihat PS ternyata banyak
celah, harapannya program ini tidak menjadi sasaran suatu kepentingan yang hanya
memberikan keuntungan pada suatu kelompok karena tujuan program ini adalah untuk
pemerataan keadilan.12
12
Awang SA, Astuti A, Himmah B, Novenanto A, Septiana RM, Solehudin, Widayanti
WT. 2008. Panduan pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Bogor
23
3.1. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan beberapa saran dan rekomendasi kepada
1. Akademisi
Perhutanan Sosial dengan skema Kulin KK sebagai program yang baru dirilis oleh
Pemerintah pada tahun 2017 tentu menarik untuk dibahas lebih lanjut. Dapat dilihat
dampak dan keberlanjutan dari Program tersebut sehingga mampu menilai capaian
pengawasan program Selain itu penting pula peningkatan kapasitas dari pendamping agar
pesan yang ingin disampaikan dapat tersampaikan dengan tepat kepada masyarakat.
3. Pemerintah
program. Penting pula bagi pemerintah untuk berkonsentrasi pada peningkatan kapasitas
individu masyarakat terutama bagi kawasan yang masih menjadi wilayah rencana
percepatan Perhutanan Sosial karena tingkat kapasitas individu yang dimiliki mampu
4. Masyarakat
Masyarakat khususnya petani yang menggarap di hutan lebih kritis dan proaktif sebagai
subjek dan objek program. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama yang
harus dijalankan secara maksimal agar tujuan yang diinginkan pun tercapai. Respons
positif yang dimiliki harus terjaga dan diwujudkan dengan secara konsisten melibatkan
DAFTAR PUSTAKA
Arifiani. 2017. Analisis respon masyarakat terhadap dana desa untuk pembangunan pedesaan.
[Internet]. [Diunduh pada 20 Februari 2019]. Tersedia pada
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/88024
Anantayu S .1998. Analisis kebutuhan dasar dan respons mayarakat sekitar hutan terhadap
perhutanan sosial (Kasus di Desa Katekan, Desa Mojorebo, di Desa Dokoro).
[Internet]. [Diunduh pada 20 April 2019].
Tersedia pada https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/22353
Awang SA, Astuti A, Himmah B, Novenanto A, Septiana RM, Solehudin, Widayanti WT.
2008. Panduan pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Bogor (ID) :
CIFOR. [Diunduh pada 1 Januari 2019].
25
Tersedia pada https://www.cifor.org/lpf/docs/Panduan%20Pemberdayaan
%20LMDH.pdf
Fitriawan DE. 2016. Dominasi Perhutani dalam pengelolaan hutan. Jurnal sosiologi.
[Diunduh pada 17 Juni 2020]. Tersedia pada http://journal.unair.ac.id/download-
fullpapers
[Perhutani] Perusahaan Hutan Negara Indonesia. 2009. Keputusan Dewan Pengawas Perum
Perhutani No. 682/KTPS/DIR/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Bersama Masyarakat
Purwanto AB, Manalu D, Suprapto E, Hanif H, Ferdaus RM, Sulastriyono, Diantoro TD. 2013.
Hutan Jawa, kontestasi dan kolaborasi. Jurnal AruPA. [Internet]. [Diunduh 18 November
2021]. Tersedia pada http://arupa.or.id/sources/uploads/2014/06/Hutan-Jawa-Kontestasi-dan-
Kolaborasi-resize.pdf
Suharjito D. 2010. Pengembangan kapasitas masyarakat lokal dan stakeholder lain dalam
pembangunan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. [Internet]. [Diunduh pada 9
April 2019]. Tersedia pada https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/24277
Utami, NN. 2015 Pengelolaan hutan bersama masyarakat ditinjau dari perspektif assets
based community development. Social word jurnal. Hal.106-208 [2]. [Diunduh pada 17
November 2021]. Diunduh dari http://jurnal.unpad.ac.id/share/article/view/13142
Zid. 2000. Perbedaan respons lapisan-lapisan masyarakat desa pertanian terhadap krisis
moneter (Studi kasus di Desa Cipayung Kecamatan Lemah Abang Kabupaten Bekasi-
Jawa Barat). [Internet]. [Diunduh pada 3 April 2019]. Tersedia pada
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/5427
https://www.mongabay.co.id/permasalahan-tenurial-dan-konflik-hutan-dan-lahan/ ( Diakses tgl
26
18 November 20
27