Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK

UNGGAS

“Faktor keberhasilan penetasan telur”

Kelas F

Kelompok 7

Oleh :

Rifdah Farah Aristawati 200110190248


Syifa Arohmatul Insani 200110190217
Luhur Sukma Nagara 200110190294
Muhammad irsyad F. 200110190187
Dicky Mashudi Putri 200110190016
Muhammad Haidar Daffa 200110190328
Raden Djoviansyah K.P. 200110190330

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penyusun limpah curahkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah
mata kuliah mata kuliah Manajemen Ternak Unggas dengan judul “Faktor
keberhasilan penetasan telur”. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Manajemen Ternak Unggas. Penyusun berharap makalah ini dapat
menjadi sumber pembelajaran bagi penyusun dan bagi semua pihak yang
membaca makalah ini.

Pada kesempatan ini, penyusun menyampaikan ucapan terima kasih


kepada semua pihak yang telah membantu, memberi masukan, serta memberi
dukungan moril ataupun materil kepada penyusun dalam menyusun makalah.
Penyusun secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Ir. Dani Garnida,
MS.. sebagai dosen mata kuliah Manajemen Ternak Unggas yang telah
membimbing penyusun dalam menyusun makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam


penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki. Penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Sumedang,Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK UNGGAS ........................................................... 1


Kelas F Kelompok 7 Oleh................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 5
1.3 Maksud dan Tujuan............................................................................................. 5
II 6
Analisis Berbagai Faktor..................................................................................................... 6
2.1 Suhu .......................................................................................................................... 6
2.2 Kelembaban .............................................................................................................. 7
2.3 Ventilasi Pada Mesin Tetas ....................................................................................... 7
2.4 Pemutaran telur tetas ( Turning) ............................................................................... 8
2.5 Single-stage incubator .............................................................................................. 9
2.6 Temperatur telur....................................................................................................... 9
2.7 Ventilasi dan konsentrasi gas .................................................................................. 10
2.8 Multi stage .............................................................................................................. 11
2.9 Perbandingan Single stage and multi stage incubation system ............................... 11
III 13
SOLUSI ............................................................................................................................ 13
3.1 Mesin tetas .............................................................................................................. 13
3.2 Pemutaran telur tetas ( Turning) ............................................................................. 14
3.3 Temperatur telur...................................................................................................... 14
3.4 Ventilasi .................................................................................................................. 15
BAB IV PENUTUP .......................................................................................................... 15
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 15
4.2 Saran ....................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 18
I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan meningkatnya permintaan akan telur di masyarakat membuat


usahan di dunia industri perunggasan semakin gencar melakukan peningkatan hasil
produksi baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Ayam merupakan ternak yang
sering dijumpai di Indonesia dan sudah menjadi konsumsi sehari – hari oleh
masyarakat. Hasil produksi ternak ayam khususnya daging kerap dijadikan sebagai
sumber pangan yang berfungsi untuk memenuhi segala zat nutrisi bagi manusia,
khususnya protein. Dalam memenuhi permintaan tersebut, maka perlu diadakan
usaha peningkatan produk peternakan unggas. Peningkatan DOC yang berkualitas
sangat bergantung kepada kualitas telur dan manajemen yang digunakan. Oleh
karna itu manajemen penetasan telur ayam sangat perlu diperhatikan dalam sebuah
usaha peternakan.
Penetasan merupakan suatu proses dimana embrio berkembang di dalam telur
hingga menetas, guna mendapatkan individu yang baru. Pada dasarnya cara
penetasan dibedakan menjadi dua yaitu penetasan secara alami (menggunakan
induk) dan penetasan buatan (menggunakan mesin tetas telur). Penetasan buatan
dinilai lebih praktis dan efisien dibandingkan penetasan alami karena penggunaan
mesin tetas telur memiliki kapasitas yang lebih banyak sehingga membantu
peternak dalam menjaga kelangsungan usahanya. Faktor yang terpenting dalam
sistem kerja mesin tetas adalah pengaturan suhu, kelembapan, sirkulasi udara, dan
pemutaran telur di dalam mesin tetas berpengaruh pada daya tetas telur. Selain itu,
penanganan pada sistem mesin tetas single stage dan multi stage juga perlu untuk
diperhatikan.
Keunggulan dari penerapan teknologi mesin tetas yaitu untuk menghilangkan
periode mengeram pada induk, sehingga induk lebih produktif dan mampu
menghasilkan telur lebih banyak selama hidupnya. Selain itu anak ayam dapat
diproduksi dalam jumlah banyak pada waktu yang bersamaan dan kapasitas
penetasan dapat diperbanyak sesuai dengan jumlah telur tetas yang siap ditetaskan.
Pada prinsipnya penetasan telur dengan mesin tetas yaitu untuk menyediakan
lingkungan yang sesuai untuk perkembangan embrio, yakni meniru sifat-sifat
alamiah induk yang mengerami telur.
Hatchery dengan skala industri ditunjang oleh sarana prasarana dan teknologi
yang modern. Keberhasilan mendapatkan anak unggas dengan daya tetas tinggi dan
kualitas anak unggas yang baik (DOC yang layak jual tinggi) memerlukan tenaga
kerja yang terampil dan memahami pentingnya setiap kegiatan dilakukan sesuai
dengan standar. Mengoptimalkan proses penetasan sesuai dengan prosedur dan
tahapannya, khususnya selama proses penetasan dapat dilakukan dengan cara
menganalisis berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi selama proses
penetasan, setelah itu jika ada suatu permasalahan yang berkaitan dengan proses
penetasan maka kita harus mencari solusinya agar dapat menangani permasalahan
- permasalahan yang timbul.

1.2 Rumusan Masalah

1) Apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi selama proses penetasan?


2) Bagaimana solusi jika ada suatu permasalahan yang timbul terkait selama
proses penetasan?

1.3 Maksud dan Tujuan

1) Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi proses selama penetasan


2) Untuk mengetahui solusi jika ada suatu permasalahan yang timbul terkait
selama proses penetasan
II
Analisis Berbagai Faktor

2.1 Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang secara langsung


mempengaruhi perkembangan embrio selama proses penetasan. Pengontrolan suhu
yang kurang diperhatikan akan mengakibatkan gagalnya proses penetasan telur.
Panas dalam mesin tetas harus selalu dipertahankan sesuai dengan yang dibutuhkan.
Suhu yang ideal umumnya dapat memungkinkan daya tetas dan bobot tetas
maksimum tercapai. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian embrio
atau abnormalitas embrio (Wulandari, 2002), sedangkan jika suhu inkubasi rendah
akan menghasilkan daya tetas dan bobot tetas yang rendah pula (Romao, dkk.,
2009). Suhu inkubasi telur unggas liar masih bervariasi hingga saat kini, berkisar
antara 33°C – 39°C. Sementara suhu optimal inkubasi untuk ternak unggas lokal
yaitu 37°C – 38°C (Visschedijk, 1991). Suhu yang ideal dalam mesin tetas pada
hari ke-1 sampai dengan hari ke-19 adalah 37,5°C – 37,7°C dan pada hari ke-20
sampai dengan hari ke-21 suhu idealnya yaitu 36,1°C – 37,2°C (Murtidjo, 2005).
Kontrol suhu saat periode setter di multi-stage machine harus tetap konstan.
Suhu optimum untuk daya tetas dan chick quality berbeda tergantung pada jenis
inkubatornya. Suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari suhu yang
direkomendasikan akan menyebabkan perkembangan menjadi lebih cepat atau
lambat dan berakibat mengurangi daya tetas. Sedangkan, kontrol suhu saat periode
setter di single-stage incubation dapat diubah sesuai kebutuhan pertumbuhan
embrio dan peningkatan produksi panasnya. Suhu pada periode hatcher umumnya
sedikit lebih rendah dibandingkan periode setter, hal ini berguna untuk mengurangi
risiko overheating (cobb-vantress, 2013).
2.2 Kelembaban

Kelembaban merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam proses


penetasan telur. Kelembaban memiliki fungsi untuk menjaga cairan yang terdapat
dalam telur, cairan tersebut bermanfaat untuk melarutkan zat-zat nutrisi dalam telur
yang biasa digunakan untuk makanan embrio selama berada di dalam telur. Selama
inkubasi, uap air akan hilang dari telur melalui pori-pori cangkang. Hal ini
menyebabkan kelembaban pun hilang tergantung pada jumlah dan ukuran pori-pori
serta kelembaban sekitar telur (cobb-vantress, 2013).
Kelembaban yang tidak optimal akan menyebabkan embrio yang terdapat di
dalam telur tidak dapat memecahkan kerabang yang terlalu keras, sedangkan jika
kelembaban yang terlalu tinggi akan menyebabkan embrio tidak dapat bernafas dan
mengalami kematian. Hal ini disebabkan oleh masuknya air melalu pori-pori
kerabang sehingga terjadi penimbunan cairan di dalam telur (Hartono dan Isman,
2010). Kelembaban yang ideal pada mesin tetas pada hari ke-1 sampai dengan hari
ke-18 yaitu 55-60% dan suhu ideal pada hari ke-19 sampai dengan hari ke-21
dinaikkan menjadi 75% (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010).

2.3 Ventilasi Pada Mesin Tetas

Ventilasi merupakan hal yang penting pada proses penetasan. Ventilasi


berfungsi untuk mengatur keluar masuknya udara di dalam mesin. Ventilasi yang
baik untuk penetasan telur harus sesuai dengan kebutuhan agar sirkulasi udara di
dalam mesin berjalan dengan baik. Ventilasi merupakan kunci penyeimbang antara
kelembaban dan temperatur. Jika ventilasi lancar maka kelembaban akan
berkurang, sedangkan jika ventilasi terhambat maka temperatur mesin akan
meningkat (Hartono, 2010). Ventilasi yang kurang baik atau tidak sesuai dengan
kebutuhan embrio dapat mengakibatkan penurunan daya tetas telur. Hal ini
dikarenakan embrio memerlukan O2 dan mengeluarkan CO2 selama
perkembangannya, jika gas CO2 terlalu banyak maka mortalitas embrio akan tinggi
dan menyebabkan daya tetas telur pun rendah (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010).
Ventilasi pada periode setter normalnya akan menarik udara segar masuk.
Udara segar akan memasok O2 dan embun untuk menjaga kelembaban relatif, lalu
udara yang keluar akan menghilangkan CO2 dan kelebihan panas yang dihasilkan
oleh telur. Pasokan udara ke ruang setter harus 8cfm per 1000 telur. Pada periode
hatcher, pasokan udara segar harus 17cfm per 1000 telur (cobb-vantress, 2013).

2.4 Pemutaran telur tetas ( Turning)

Tujuan turning adalah untuk menyeimbangkan panas yang diterima telur


selama masa inkubasi. Tujuan lain adalah untuk mencegah embrio menempel pada
satu sisi cangkang: ketika menetas secara alami, ayam biasanya membalik telur
beberapa kali sehari. Oleh karena itu, telur dalam sistem inkubasi buatan juga harus
dibolak-balik beberapa kali sehari, jika menggunakan alat pembalik otomatis
dengan frekuensi 30-60 menit dan posisi 38-45 ° sebanyak minimal 2 atau 6 dan 8
putaran. Proses perputaran telur yang tidak teratur dapat menyebabkan panas yang
mengenainya tidak merata sehingga menyebabkan embrio menempel pada
cangkang dan akhirnya mengakibatkan kematian embrio (Dulay et al., 2008).
Rotasi telur yang lebih sering menyebabkan tingkat kesuburan yang lebih tinggi.
Hal ini mungkin disebabkan oleh semakin seringnya rotasi telur mengurangi
penguapan cairan dan gas dari telur, terutama pada suhu penyimpanan yang tinggi,
sehingga kuning telur tidak menyentuh kulit telur dan merusak embrio (Sitorus dan
Zalukhu, 2017). menurut (Lukman, et al. 2020) Frekuensi pemutaran telur akan
menurunkan angka kematian pada telur sehingga meningkatkan daya tetas telur
yang tinggi. Frekuensi pemutaran yang sering dapat mencegah terjadinya
penguapan pada salah satu sisi telur, sehingga daya tetasnya tinggi (Rohmad dan
Fitri, 2016). Menurut Lukman dkk. (2020) Dengan pemeriksaan yang lebih sering,
telur menetas (menetas) lebih cepat sehingga kandungan air di dalamnya tidakakan
banyak hilang yang dapat meningkatkan berat badan dan sebaliknya, pemeriksaan
yang jarang menyebabkan telur menjadi tidak menetas cepat (daya tetas) sehingga
terjadi penguapan yang berlebihan dan kadar air dalam telur menurun, yang dapat
menurunkan bobot badan (Irawati Bachari, 2006). Efek membalik telur dilakukan
minimal 2 kali, atau lebih baik 6 dan 8 putaran.

2.5 Single-stage incubator

Sistem penetasan single stage adalah sistem penetesan all-in-all-out yaitu


telur-telur yang ditempatkan dalam inkubator memiliki umur yang sama, sehingga
menetas dalam waktu yang hampir bersamaan. Biasanya digunakan oleh
perusahaan besar karena kapasitasnya yang besar sehingga anak ayam juga
diproduksi dalam jumlah banyak sehingga dapat memenuhi permintaan pasar.

2.6 Temperatur telur

Single stage memungkinkan suhu inkubator diubah untuk memenuhi


kebutuhan perkembangan embrio. Untuk mencapai distribusi suhu yang benar-
benar homogen, masalahnya adalah pertukaran energi, O2/CO2 dan kelembaban
tanpa mempengaruhi keseragaman telur. Suhu inkubator dapat mempengaruhi
perkembangan tiroid, yang dapat mempengaruhi respon terhadap stres di dalam
kandang (Iqbal et al., 1990, Christensen et al., 2005, Wineland et al., 2006a).
Kurva produksi panas melalui perkembangan telur menunjukkan bahwa suhu
internal telur lebih rendah dari suhu inkubator yang ditetapkan pada awal dan akhir
masa inkubasi. Suhu di mana embrio berkembang dapat mempengaruhi embrio dan
daya tetas internal inkubator (Romijn dan Lokhorst, 1960; (Wineland et al. 2006,
Christensen dkk. 2007, Oviedo dkk. 2008).

Hilangnya kelembaban melalui telur. Hilangnya air dari telur dipengaruhi


oleh porositas cangkang telur dan kelembaban inkubator saat didirikan. Porositas
kulit telur diukur dengan hilangnya air atau konduksi kulit telur, yang memberikan
informasi tentang kemampuan untuk mengeluarkan gas melalui pori-pori telur.
Oksigen memasuki telur dan CO2 dan air yang menguap bermigrasi. Efek utama
hilangnya kelembaban dari telur dalam sistem inkubasi apa pun adalah kelembaban
relatif yang terpapar di inkubator. Peningkatan kelembaban relatif akan
menurunkan kehilangan air dan kelembaban relatif yang rendah akan meningkatkan
kehilangan air dari telur tertentu. Kehilangan air pada setiap titik selama inkubasi
penting untuk keseragaman. Inkubator satu tahap memungkinkan untuk
memanipulasi waktu kehilangan air dari telur, membantu menjaga keseragaman
suhu di inkubator saat keseragaman suhu paling dibutuhkan. Umumnya ventilasi
ditutup selama 610 hari inkubasi dan di beberapa inkubator inkubator memiliki
sistem kelembaban. jika ruang inkubasi dipelihara dengan baik. Penutupan sistem
suction menyebabkan peningkatan konsentrasi CO2 selama masa inkubasi awal.
Dalam inkubator satu tahap, kehilangan air (rata-rata 810%) dari telur dibandingkan
dengan inkubator multi-stage (rata-rata 121 %). Telur kehilangan air untuk waktu
yang lama dan embrio memiliki kemampuan untuk mempertahankan kelembaban
pada kadar air tertentu (Funderburk et al., 2007).

Konduksi telur yang rendah menunjukkan bahwa kehilangan air di


lingkungan tertentu dapat dikurangi dengan meningkatkan kelembaban relatif. Ini
sangat penting ketika kulit telur memiliki porositas rendah (konduksi telur rendah)
dan membatasi jumlah gas vital yang masuk dan keluar dari telur dan/atau embrio
yang sedang berkembang. Kondisi kritis selama periode embrionik adalah
konsumsi oksigen yang konstan. Cangkang telur yang berada dalam kondisi rendah
membatasi jumlah oksigen untuk embrio yang sedang berkembang, sedangkan
cangkang telur dengan konduktivitas tinggi memiliki lebih banyak oksigen untuk
embrio yang sedang berkembang. Embrio membutuhkan oksigen untuk
sepenuhnya memanfaatkan nutrisi untuk produksi energi dan berkembangnya
jaringan (Christensen et al. 2005, Christensen et al. 2007, Wineland et al. 2006b).
Inkubator bekerja secara berbeda untuk strain yang berbeda, karena penelitian
menunjukkan bahwa strain yang berbeda memiliki sifat konduksi kulit telur yang
berbeda. Ini menjelaskan mengapa beberapa strain kurang tahan terhadap masalah
metabolisme daripada yang lain jika inkubator tidak bekerja dengan baik.
2.7 Ventilasi dan konsentrasi gas

Ventilasi inkubator terdiri dari dua komponen. Pertama, kemampuan kipas


untuk menggerakkan udara di sekitar inkubator sehingga udara dapat mengalir
secara merata ke seluruh sudut telur. Dimungkinkan untuk menerapkan panas pada
embrio yang sangat muda dan menghilangkan panas metabolik dari embrio yang
berkembang lebih tua. Eliminasi kelebihan panas metabolik dapat dicapai melalui
kombinasi aliran udara dan titik setel di dalam inkubator. Kedua, ventilasi inkubator
mengubah konsentrasi gas vital agar sesuai dengan perkembangan embrio.
Kemampuan sistem satu langkah melakukan ini untuk mengatur perkembangan
embrio dengan lebih baik. Meningkatkan konsentrasi oksigen bila perlu
meningkatkan penggunaan nutrisi yang benar

2.8 Multi stage

Inkubator multi stage mengerami telur dari berbagai usia dengan cara yang
sedikit berbeda dari inkubator satu level. Untuk mengisi inkubator, batch telur dari
pemasok harus dibagi menjadi batch dan inkubator yang berbeda. Pada mesin multi
stage, telur yang ditetaskan memiliki umur inkubasi paling muda 1 (satu) hari dan
paling tua umur inkubasi 18 hari. Dalam kasus beberapa tahap, telur dibawa ke
inkubator langkah demi langkah. Kapasitas mesin adalah 100.000 telur, misalnya.
Pembagian telur masuk, setiap tiga hari sekali. Ini adalah tugas yang rumit untuk
melacak telur jika terjadi kesalahan.
Inkubator Multi stage jarang kosong, jadi membersihkan dengan disinfektan agak
merepotkan. Namun, keuntungan dari inkubator multi-tahap adalah: Mengurangi
biaya penyediaan energi untuk memanaskan telur, karena panas yang digunakan
berasal dari telur yang lebih tua. Karena telur yang lebih tua tidak hanya menjadi
sumber energi, tetapi juga sumber jamur atau bakteri yang dapat bermigrasi ke telur
yang lebih muda. Ada juga risiko ledakan gas dan kontaminasi pada hewan yang
baru lahir, yang dapat menurunkan performa, kematian yang tinggi, dan pada
akhirnya kontaminasi bakteri pada produk daging.

2.9 Perbandingan Single stage and multi stage incubation system


Beberapa studi kinerja kedua inkubator ini pada ayam pedaging komersial
menunjukkan bahwa anak ayam menetas satu tahap memiliki bobot badan dan
konversi pakan yang lebih baik dan penurunan cacat yang signifikan pada ayam
dewasa, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.1 dan 5.2 (Wineland dan Oviedo
Rondon, 2010). Intinya adalah jika Anda dapat lebih mengontrol parameter di
inkubator, pada titik tertentu kinerja embrio akan lebih baik. Incubator single stage
akan mendapatkan pengembalian finansial atas investasi, tetapi manajer penetasan
perlu memahami cara kerja penetasan dan bagaimana kualitas penetasan harus
dicapai

Penelitian menunjukkan bahwa sistem satu tingkat menghasilkan dokumen


yang lebih kuat yang dapat lebih baik disesuaikan dengan ayam yang dimodifikasi
secara genetik karena untuk kontrol penuh dan fleksibilitas yang lebih besar.
Kematian pasca menetas lebih rendah karena doc lebih berat dan lebih sehat.
Mortalitas kulit telur (cangkang mati) dan kekurangan biji-bijian (telur tanpa
tulang) juga lebih rendah. Menghemat tenaga kerja karena waktu yang dibutuhkan
untuk pengumpulan telur, penyimpanan telur dan peletakan telur di dalam inkubator
dilakukan pada waktu yang bersamaan. Mesin juga dapat dibersihkan segera setelah
menetas, mengurangi kontaminasi oleh mikroorganisme.
III
SOLUSI

3.1 Mesin tetas

Produk Mesin Penetas Telur telah dirancang sedemikian rupa agar dapat
menghasilkan Kelembaban secara alami yang cukup untuk membantu proses
penetasan telur agar dapat berjalan dengan baik.

Kelembaban alamiah ini bisa dibuat hanya dengan memasukkan sebuah Bak
Air atau Nampan yang berisi air ke dalam ruang mesin tetas.

Pada kondisi normal, kelembaban alamiah yang terbentuk berkisar antara


55-60%, dan ini sudah cukup untuk fase pengeraman dan penetasan untuk telur-
telur yang bercangkang lunak seperti Telur Ayam dan Burung.

Sedangkan untuk telur bercangkang keras (seperti Telur Bebek, Itik, dan
sejenisnya), dibutuhkan Tingkat Kelembaban yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan telur bercangkang lunak.

Cara termudah untuk menaikkan kelembaban di dalam mesin tetas adalah


dengan menggunakan nampan yang lebih besar. Atau jika tidak memungkinkan,
gunakan spon agak basah, lalu letakkan di sekitar nampan. Banyaknya spon yang
digunakan ini tergantung kebutuhan.

Cara-cara tersebut bertujuan untuk menambah luas permukaan air yang bisa
menguap untuk menaikkan Kelembaban ruang mesin tetas hingga menjadi kisaran
65-75%. Cara ini lebih praktis dan hemat biaya jika dibandingkan harus membeli
alat tambahan untuk menaikkan Tingkat Kelembabannya.

Catatan:

• Tips lainnya untuk tiga hari terakhir proses penetasan (Telur Ayam hari ke
19-21, Telur Bebek hari ke 26-28) adalah dengan menaikkan posisi nampan
agar lebih dekat dengan bagian bawah telur-telur yang ditetaskan, karena
secara alami kelembaban akan terkonsentrasi hanya
beberapa centimeter saja dari permukaan air.
• Agar alat elektronik di dalam mesin penetas tetap awet, kelembaban
maksimum yang diperbolehkan adalah 80%

3.2 Pemutaran telur tetas ( Turning)

Hal yang akan menyebabkan sulit untuk mencapai keberhasilan yang maksimal
dalam penetasan. Shanaway (1994) mengemukakan bahwa bobot telur yang terlalu
besar atau terlalu kecil menyebabkan menurunnya daya tetas. Pemutaran telur yang
dilakukan peternak selama proses penetasan biasanya sebanyak dua kali/hari.
Proses pemutaran telur yang tidak teratur dapat menyebabkan panas yang mengenai
telu rmenjadi tidak merata sehingga embrio akan lengket pada kerabang dan
akhirnya menyebabkan kematian embrio (Daulay et al., 2008).
Frekuensi pemutaran empat kali/hari, enam kali/hari dan delapan kali/hari tidak
memberikan pengaruh terhadap fertilitas telur. Hal ini diduga karena jarak
pemutaran telur terlalu dekat sehingga belum memberikan pengaruh terhadap
fertilitas telur. Hasil penelitian Abiola et al. (2008) menunjukkan bahwa frekuensi
pemutaran telur tidak memberikan pengaruh terhadap fertilitas telur. Bachari et al.
(2006) yang menyatakan bahwa frekuensi pemutaran telur empat kali/hari, delapan
kali/hari dan 12 kali/hari pada telur ayam kampung belum berpengaruh terhadap
daya tetas telur

3.3 Temperatur telur

Suhu dan kelembaban merupakan faktor penting untuk perkembangan embrio.


Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian embrio ataupun abnormalitas
embrio, sedangkan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan normal dari embrio
(Wulandari, 2002). Suhu dan kelembaban dalam mesin tetas harus stabil untuk
mempertahankan kondisi telur agar tetap baik selama proses penetasan.
Parkust dan Moutney (1998) menyatakan bahwa telur akan banyak menetas jika
berada pada suhu antara 94-104°F (36-40°C). Embrio tidak toleran terhadap
perubahan suhu yang drastis. Kelembapan mesin tetas untuk penetasan telur
berbagai jenis unggas relatif sama, yaitu sekitar 60-79% RH. Kelembapan juga
memegang peranan penting dalam menetas. Kelembapan berfungsi untuk
mengurangi kehilangan cairan dari dalam telur selama proses penetasan, membantu
pelapukan kulit telur pada saat akan menetas sehingga anak unggas mudah
memecahkan kulit telur. Selama persiapan ventilasi atas mesin tetas ditutup sampai
hari penetasan ketiga (Suprijatna et al., 2005).

3.4 Ventilasi

Ventilasi yang tepat dalam tempat penetasan adalah salah satu faktor
terpenting utk Mendapatkan daya tetas yang baik. Ventilasi adalah kunci
keberhasilan dalam hatchery/perusahaan penetasa. Di mesin hatcher produksi panas
dan CO2 oleh embrio sangat tinggiutk itu perlu supplay oksigen yg lebih banyak
usahakan agar blower atau damper sering bekerja. Direkomendasikan agar
kosentrasi CO2 pd kisaran 0,1 – 0,3 %. Velocity utk mesin hatcher adalah 200 –
220 CFM per mesin.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Penetasan merupakan suatu proses dimana embrio berkembang di dalam


telur hingga menetas, guna mendapatkan individu yang baru. Cara penetasan
dibedakan menjadi dua yaitu penetasan secara alami atau menggunakan induk dan
penetasan buatan yang menggunakan mesin tetas telur. :
• Suhu
Pengontrolan suhu yang kurang diperhatikan akan mempengaruhi
perkembangan embrio dan akan mengakibatkan gagalnya proses penetasan
telur. Suhu yang ideal dalam mesin tetas pada hari ke-1 sampai dengan hari

ke-19 adalah 37,5°C – 37,7°C dan pada hari ke-20 sampai dengan hari
ke- 21 suhu idealnya yaitu
• Kelembapan
Kelembaban memiliki fungsi untuk menjaga cairan yang terdapat dalam telur,
cairan tersebut bermanfaat untuk melarutkan zat-zat nutrisi dalam telur
yang biasa digunakan untuk makanan embrio selama berada di dalam telur.
Kelembaban yang ideal pada mesin tetas pada hari ke-1 sampai dengan hari
ke-18 yaitu 55-60% dan suhu ideal pada hari ke-19 sampai dengan hari ke-
21 dinaikkan menjadi 75%.
• Ventilasi pada mesin
Ventilasi berfungsi untuk mengatur keluar masuknya udara di dalam mesin.
Pasokan udara ke ruang setter harus 8cfm per 1000 telur. Pada periode
hatcher, pasokan udara segar harus 17cfm per 1000 telur.
• Pemutaran telur tetas (turning)
Tujuan turning adalah untuk menyeimbangkan panas yang diterima telur
selama masa inkubasi. Telur dalam sistem inkubasi buatan juga harus
dibolak-balik beberapa kali sehari dalam penggunaan alat pembalik
otomatis dengan frekuensi 30-60 menit dan posisi 38-45 ° sebanyak
minimal 2 atau 6 dan 8 putaran. Proses perputaran telur yang tidak teratur
dapat menyebabkan panas yang mengenainya tidak merata sehingga
menyebabkan embrio menempel pada cangkang dan akhirnya
mengakibatkan kematian embrio.
Dalam inkubasi terdapat 2 sistem diantaraya adalah Single-stage dan Multi
stage. single stage adalah sistem penetesan all-in-all-out yaitu telur-telur
yang ditempatkan dalam inkubator memiliki umur yang sama, sehingga
menetas dalam waktu yang hampir bersamaan. Inkubator multi stage
mengerami telur dari berbagai usia dengan cara yang sedikit berbeda dari
inkubator satu level. Untuk mengisi inkubator, batch telur dari pemasok
harus dibagi menjadi batch dan inkubator yang berbeda. Pada mesin multi
stage, telur yang ditetaskan memiliki umur inkubasi paling muda 1 (satu)
hari dan paling tua umur inkubasi 18 hari. kinerja kedua inkubator ini pada

ayam pedaging komersial menunjukkan bahwa anak ayam menetas satu


tahap memiliki bobot badan dan konversi pakan yang lebih baik dan
penurunan cacat yang signifikan pada ayam dewasa

4.2 Saran
• Temperatur pada mesin tetas sebaiknya kisaran 36 – 40°C.
• Kelembapan pada mesin tetas sebaiknya berkisar antara 60-79% RH.
• Velocity untuk mesin hatcher adalah 200 – 220 CFM per mesin dengan
konsentrasi CO2 berkisar antara 0,1 – 0,3 %.
• Pemutaran telur sebaiknya dengan frekuensi 30-60 menit dan posisi 38-45
° sebanyak minimal 2 atau 6 dan 8 putaran
DAFTAR PUSTAKA

Abiola, S. S., A. O. Afolabi and O. J. Dosunmu. 2008. Hatchability of chicken eggs


as influenced by turning frequency in hurricane lantern incubator. Afr. J.
Biotech. 7: 4310- 4313.
Bachari, I., I. Sembiring, dan D. S. Tarigan. 2006. Pengaruh frekuensi pemutaran
telur terhadap daya tetas dan bobot badan DOC ayam kampung. Jurnal
Agribisnis Peternakan 2: 101-105.
Bachari, Irawati. 2006. Pengaruh Frekuensi Pemutaran telur terhadap Daya tetas
dan Bobot Badan DOC Ayam Kampung (The Effect Egg Centrifugation
Frequenscy on Hatchability and Body Weight DOC of Free-range Chicken).
Jurnal Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU.
Christensen, V. L., M. J. Wineland, I. Yildrum, D. T. Ort and K. M. Mann,
2005. "Incubator temperature and oxygen concentrations at the plateau stage
in oxygen uptake affect turkey embryo plasma T4 and T3 concentrations."
International Journal of Poultry Science. 4:268-273
Christensen, V.L., M.J. Wineland, J.L. Grimes, E.O. Oviedo, P.S. Mozdziak, D.T.
Ort and K.M. Mann 2007. Effect of Incubator Temperature and Oxygen
Concentration at the Plateau Stage in Oxygen Consumption on Turkey
Embryo Muscle Growth and Development. International Journal of Poultry
Science 6 (6): 406-412.
Cobb-vantress. 2013. Hatchery Management Guide.
Daulay, A. H., S. Aris, dan A. Salim. 2008. Pengaruh umur dan frekuensi pemutaran
terhadap daya tetas dan mortalitas telur ayam Arab (Gallus turticus). Jurnal
AgribisnisPeternakan 1: 6-10.
Hartono dan Isman, 2010. Kiat Sukses Menetaskan Telur Ayam. Penerbit Agro
Media Pustaka. Yogyakarta
Kartasudjana, R. Dan E. Suprijatna. 2010. Manajemen Ternak Unggas. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Lukman, Syamsuryadi B.,dan Mutmainna I. 2020 FREKUENSI PEMUTARAN
TELUR TERHADAPNILAI MORTALITAS, DAYA TETAS DAN BOBOT
TETAS TELUR PUYUH. Jurnal Agrominansia, ISSN 2527 – 4538.
Murtidjo, B. A. 2005. Penetasan Telur Itik Dengan Sekam. Kanisius. Yogyakarta.
Rohmad dan fitri S. 2016.PENGARUH FREKUENSI PEMUTARAN DAN
PEMBILASAN DENGAN LARUTAN DESINFEKTANTERHADAP DAYA TETAS,
MORTALITAS DAN BOBOT TETAS AYAM ARAB. ISSN : 2502-
5597. Kediri
Romao, J. M., T. G. V. Moraes. dan R. S. C. Teixeira. 2009. Effect of relative
humidity on incubation of Japanese quail eggs. Livestock Research for Rural
Development, .21, (3).
Shanawany. 1994. Quail Production Systems. FAO of The United Nations. Rome.
Sitorus F.T. dan Zalukhu S.S..2017. PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN
FREKUENSI PEMUTARAN TELUR PADA MASA SIMPAN TERHADAP
FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK LOKAL. Fakultas Peternakan
Universitas HKBP Nommensen. Medan
Suprijatna, E., U. Atmo marsono dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Visschedijk, A. H. J. 1991. Physic and Physiology of Incubation. British Poultry
Science. 23: 3-20.
Wineland, M.J and E. Oviedo-Rondon. 2010. Single stage incubation systems
versus multi stage incubation systems. https://en.engormix.com/poultry-
industry/articles/incubation-single-multi-stage -systems-t34734.htm
Wulandari, A. 2002. Pengaruh Indeks dan Bobot Telur Itik Tegal Terhadap Daya
Tetas, Kematian Embrio dan Hasil Tetas. Skripsi. Fakultas Peternakan
Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto.

Anda mungkin juga menyukai