Anda di halaman 1dari 43

Sari Pustaka

Implantasi Plasenta dan Stres Oksidatif pada Preeklamsia

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh :
dr. Mitra Virgusrudhina
Peserta PPDS Obstetri dan Ginekologi

Pembimbing :
Dr. dr. Vaulinne Basyir, Sp.OG (K)-KFM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2021
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) OBSTETRI DAN
GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : dr. Mitra Virgusrudhina

Semester : III (Tiga) / Patologi II

Telah menyelesaikan Presentasi Sari Pustaka dangan judul:

Implantasi Plasenta dan Stres Oksidatif pada Preeklamsia

Padang, September 2021

Mengetahui / menyetujui

Pembimbing Peserta PPDS Obstetri & Ginekologi

Dr. dr. Vaulinne Basyir, Sp.OG (K)-KFM dr. Mitra Virgusrudhina

Mengetahui :

KPS PPDS OBGIN


FK UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG

Dr. dr. Bobby Indra Utama, Sp.OG (K)-Urogin


Kata Pengantar

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T dan


Shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan sari pustaka dengan judul “Implantasi
Plasenta dan Stres Oksidatif pada Preeklamsia” yang merupakan salah satu syarat
dalam melaksanakan pembelajaran sebagai PPDS Ilmu Kebidanan dan
Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Keberhasilan dalam penyusunan sari pustaka ini telah banyak dibantu oleh
berbagai pihak. Ucapan terimakasih khususnya kepada pembimbing penulisan sari
pustaka ini yaitu Dr. dr. Vaulinne Basyir, Sp.OG (K)-KFM dan kepada seluruh
pihak yang membantu dalam pengerjaan sari pustaka ini. Penulis memohon maaf
atas seluruh kesalahan yang mungkin ditemukan dalam penulisan sari pustaka ini.
Semoga sari pustaka ini dapat menjadi sumber keilmuan yang dapat dipakai
sebagai sumber rujukan kepustakaan di kemudian hari.

Padang, September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
DAFTAR TABEL....................................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………...….vi
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Plasenta......................................................................................................4
2.1.1 Perkembangan Plasenta Normal........................................................5
2.1.2 Perkembangan Plasenta Abnormal....................................................8
2.2 Stres Oksidatif.........................................................................................10
2.2.1 Definisi Stres Oksidatif....................................................................10
2.2.2 Patofisiologi Stres Oksidatif............................................................10
2.2.3 Definisi Antioksidan........................................................................12
2.2.4 Pengaruh Antioksidan terhadap Tubuh............................................12
2.3 Preeklamsia.............................................................................................14
2.3.1 Definisi Preeklamsia........................................................................14
2.3.2 Etiologi Preeklamsia........................................................................15
2.3.3 Faktor Risiko Preeklamsia...............................................................16
2.3.4 Patofisiologi Preeklamsia.................................................................18
2.4 Implantasi Plasenta dan Stres Oksidatif pada Preeklamsia.....................20
2.4.1 Implantasi Plasenta pada Preeklamsia.............................................20
2.4.2 Stres Oksidatif Pada Preeklamsia....................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................31
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tahap awal perkembangan plasenta manusia.....................................6


Gambar 2.2 Implantasi blastokista dan Perkembangan Plasenta...........................6
Gambar 2.3 Maternal-fetal interface dan subtipe trofoblas....................................7
Gambar 2.4 Mekanisme Antioksidan Endogen Sebagai Pertahanan Tubuh........13
Gambar 2.5 Remodeling arteri spiralis yang buruk..............................................21
Gambar 2.6 Model plasenta preeklamsia dua tahap tahun 1991..........................24
Gambar 2.7 Model dua langkah preeklamsia 2019 yang direvisi........................29
Gambar 2.8 Sindrom plasenta tidak hanya preeklamsia......................................30
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Faktor Risiko Preeklamsia....................................................................16


DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Nama
aPLS antibodi antifosfolipid
CCCs Cytotrophoblast cell column
GD Diabetes gestasional
T1D Diabetes tipe 1
T2D Diabetes tipe 2
s-Eng Endoglin terlarut
ET-1 Endothelin-1
eEVT Endovaskular EVT
iEVT EVT interstisial
GSH Glutathione
GSSG Glutathione disulfide
GPx Glutation peroksidase
GRed Glutation reduktase
GOSs Great Obstetric Syndromes
OH+ Hidroksil reaktif
HLA-C Human Leukocyte Antigen-C
H2O2 HIdrogen peroksida
ICM Inner Cell Mass
IFNγ Interferon gamma
IUGR Intrauterine Growth Restriction
KIR Killer-Cell Immunoglobulin-like receptor
MHC Kompleks histokompatibilitas utama
MDA Malondialdehid
NO Nitrit Oxide
PJT Pertumbuhan Janin Terhambat
PlGF Placental Growth Factor
PAPPA-A Pregnancy-Associated Plasma Protein-A
PGI2 Prostaglandin I2
O2- Radikal superoksida
ROS Reactive Oxygen Species
AT1-AA Reseptor autoantibodi angiotensin II tipe 1
ER Retikulum endoplasma
dNK Sel Natural killer desidua
Tregs Sel T regulator desidua
vCT Sitotrofoblas vili
sFlt-1 Soluble fms-like tyrosine kinase-1
SOD Superoksida dismutase
SLE Systemic Lupus Erythematosus
TH1 T-Helper1
TH2 T-Helper2
TXA2 Thromboxane A2
EMT Transisi epitel-mesenkim
EVT Trofoblas ekstravili
TE Trophectoderm
TNF Tumor Necrosis Factor
VEGF Vascular Endothelial Growth Factor
SCT Vili sinsitiotrofoblas lapisan luar
BAB 1

PENDAHULUAN

Gangguan hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu penyebab


utama kematian ibu dan perinatal di seluruh dunia. Diperkirakan bahwa
preeklamsia mempengaruhi 2-8% kehamilan secara global.1

Preeklamsia adalah gangguan kehamilan yang berhubungan dengan


hipertensi onset baru, yang paling sering terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu
dan sering menjelang aterm. Meskipun sering disertai dengan proteinuria onset
baru, hipertensi dan tanda atau gejala preeklamsia lainnya dapat muncul pada
beberapa wanita tanpa adanya proteinuria.1

Berbagai faktor risiko telah dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan


preeklamsia. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa sebagian besar
kasus preeklamsia terjadi pada wanita nulipara yang sehat tanpa faktor risiko yang
jelas.2 Trias antara plasenta, janin, dan ibu terus membentuk keseimbangan
fungsional selama periode prenatal, dan disfungsi salah satu dari mereka dapat
membahayakan yang lain. Disfungsi plasenta salah satunya sering dikaitkan
dengan patogenesis terjadinya preeklamsia/eklamsia.2

Di Indonesia preeklamsia berat dan eklamsia merupakan penyebab


kematian ibu berkisar 1,5 persen sampai 25 persen, sedangkan kematian bayi
antara 45 persen sampai 50 persen. Preeklamsia yang termasuk dalam hipertensi
dalam kehamilan (HDK) menempati posisi kedua terbanyak setelah perdarahan
yang menyebabkan kematian ibu. Walau bukan merupakan penyebab terbanyak
penyebab angka kematian ibu (AKI), proporsi kejadiannya mengalami
peningkatan dibandingkan dua penyebab AKI yang lain, yaitu perdarahan dan
infeksi yang cenderung mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.3

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012


menunjukkan peningkatan AKI di Indonesia yang signifikan yaitu menjadi 359
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. AKI kembali menujukkan penurunan
menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan hasil Survei
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) di tahun 2015. Walaupun mengalami
penurunan, jumlah ini masih belum mencapai target Sustainable Development
Goals (SDGs) yaitu menurunkan AKI di Indonesia menjadi 70 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2030 mendatang.3,4.Menurut data WHO, AKI
Indonesia sebesar 177 per 100.000 kelahiran pada tahun 2017 dimana menurut
data World Bank angka tersebut membuat Indonesia menduduki posisi AKI
tertinggi di negara ASEAN pada tahun 2017. 5 Jumlah kematian ibu menurut
provinsi tahun 2018-2019 terdapat penurunan dari 4.226 menjadi 4.221 kematian
ibu di Indonesia. Pada tahun 2019 penyebab kematian ibu terbanyak adalah
perdarahan (1.280 kasus), hipertensi dalam kehamilan (1.066 kasus), infeksi (207
kasus). 6

Penyebab kematian ibu di Kota Padang tahun 2014 dilihat dari penyebab
secara langsung setiap tahunnya eklamsia merupakan penyebab terbesar sebanyak
5 orang, kemudian perdarahan sebanyak 3 orang, dan sepsis sebanyak 2 orang
(DKK Padang, 2015). Berdasarkan data dari rekam medis Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil Padang sebagai pusat rujukan provinsi Sumatera
Barat dan sekitarnya, angka kejadian preeklamsia pada tahun 2011 sebanyak 137
kasus dari 1432 persalinan (9,5%), tahun 2012 sebanyak 160 kasus dari 1661
persalinan (9,5%), tahun 2013 sebanyak 216 kasus dari 1710 persalinan (12,6%),
tahun 2014 sebanyak 171 kasus dari 942 persalinan, dan tahun 2015 sebanyak 146
kasus dari 593 persalinan (24,6%).7 Pada tahun 2018 jumlah kematian ibu di
Sumatera Barat mencapai 111 dan pada tahun 2019 jumlah kematian ibu
mengalami peningkatan yaitu sebesar 116 kasus. Pada tahun 2019 di Sumatera
Barat penyebab kematian ibu terbanyak adalah karena perdarahan sebanyak 23
kasus, diikuti hipertensi dalam kehamilan sebanyak 22 kasus, gangguan sistem
peredarah darah 7 kasus, gangguan metabolik 6 kasus, dan infeksi 4 kasus.6

Plasenta merupakan organ unik dan luar biasa yang muncul secara de
novo, dan berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan janin. 10
Organ yang sangat penting untuk kelangsungan kehamilan dan suplai nutrisi janin
ini telah menjadi minat yang besar di kalangan dokter obstetri dan juga ahli
patologi, terutama mengenai pemahaman organ kompleks ini pada pasien
preeklamsia /eklampsia. 8

Akar penyebab preeklamsia diperkirakan adalah plasenta. Hal ini


beralasan, karena sebagian besar kasus preeklamsia mulai mengalami resolusi
bersamaan dengan lahirnya plasenta dan dapat terjadi dengan adanya jaringan
trofoblas dengan mola hidatidosa tanpa adanya janin. Mengingat hal ini, studi
tentang plasenta harus memberikan wawasan tentang patofisiologi
preeklamsia/eklamsia.9

Kegagalan pengaturan dan ketidakseimbangan agen vasoaktif


proangiogenik dan anti angiogenik plasenta seperti Placental Growth Factor
(PlGF) dan soluble Fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1) juga terbukti memainkan
peranan penting dalam patogenesis preeklamsia. Konsentrasi plasma Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) dan PIGF ditemukan lebih rendah sedangkan
konsentrasi plasma sFlt-1 ditemukan lebih tinggi pada penderita preeklamsia
dibandingkan dengan kehamilan normal, sehingga faktor angiogenik dan
antiangiogenik plasma/serum ibu telah diusulkan sebagai paramater yang dapat
membantu mengidentifikasi wanita yang berpotensi mengalami preeklamsia.7

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, sari pustaka ini
disusun untuk menambah pemahaman mengenai plasenta dan hubungannya
dengan terjadinya preeklamsia serta dapat dijadikan penelitian untuk masukan
dalam menurunkan angka kejadian preeklamsia mengenai tatalasana menurunkan
angka preeklamsia sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan khususnya di
RSUP M. Djamil Padang.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Plasenta
Plasenta adalah organ sementara yang menghubungkan janin yang sedang
berkembang ke dinding rahim melalui tali pusat, untuk memungkinkan
penyerapan nutrisi, pengaturan termal, pembuangan limbah, dan pertukaran gas
melalui suplai darah ibu. Selain itu, plasenta menghasilkan hormon yang
mendukung kehamilan dan bertindak sebagai barier untuk melawan infeksi
internal.10

Plasenta manusia aterm memiliki bentuk diskoid, diameter rata-rata 15-20


cm, ketebalan 2,5 cm di tengah, dan berat sekitar 500 g. Di antara endometrium
dan lempeng basal, ada rongga yang berisi darah ibu, ruang intervili, tempat vili
korionik bercabang menonjol. Vili korionik adalah unit struktural dan fungsional
plasenta. Intinya terbuat dari fibroblas, sel mesenkim, sel endotel, sel imun seperti
sel Hofbauer (seperti makrofag), dan pembuluh darah plasenta-janin. Vili ditutupi
oleh dua lapisan trofoblas. Lapisan dalam terdiri dari sitotrofoblas vili (vCT),
yang sangat proliferatif dan dapat berdiferensiasi menjadi vili sinsitiotrofoblas
lapisan luar (SCT), lapisan luar yang bersentuhan langsung dengan darah ibu atau
trofoblas ekstravili (EVT).10

Plasenta telah lama dikenal sebagai komponen penting untuk terjadinya


preeklamsia. Pembentukan plasenta yang rusak mendasari gangguan kehamilan
yang umum seperti preeklamsia dan hambatan pertumbuhan janin. Mola
hidatidosa dengan trofoblas yang melimpah dengan tidak terdapatnya janin
dikaitkan dengan insiden preeklamsia yang tinggi.9,11

Pertumbuhan janin yang sehat selama kehamilan sangat tergantung pada


profil genetik janin, sedangkan faktor yang berasal dari ibu serta sistem
plasenta/janin menjaga komunikasi antara dua individu untuk mempertahankan
kehamilan. Pada saat yang sama, fungsi plasenta sangat penting untuk
memungkinkan dukungan nutrisi dan gas yang optimal untuk perkembangan
normal janin. Pertumbuhan dan diferensiasi plasenta harus secara langsung
dikaitkan dengan adaptasi fisiologis ibu untuk memastikan crosstalk yang tepat
antara dua individu. Perubahan besar dari crosstalk ini selanjutnya dapat
berkembang menjadi patologi kehamilan seperti hambatan pertumbuhan janin dan
terutama preeklamsia.12

2.1.1 Perkembangan Plasenta Normal

Plasenta manusia berkembang dari trophectoderm (TE), lapisan luar


embrio pra-implantasi, yang terbentuk pada 5 hari pasca pembuahan. Pada tahap
ini, embrio pra-implantasi (disebut blastokista) dipisahkan menjadi dua garis
keturunan: inner cell mass (ICM) dan TE.11

Setelah implantasi, sinsitium primer dengan cepat menginvasi melalui


epitel permukaan ke dalam endometrium di bawahnya, yang berubah selama
kehamilan menjadi jaringan khusus yang dikenal sebagai desidua. Sel-sel
trofoblas di bawah sinsitium (disebut sel-sel sitotrofoblas) awalnya tidak
berkontak langsung dengan jaringan ibu tetapi dengan cepat berproliferasi untuk
membentuk tonjolan-tonjolan yang mendorong melalui sinsitium primer untuk
membentuk vili primer (inti sitotrofoblas dengan SCT) yang merupakan tahap
perkembangan vili. Pohon-pohon vili dibentuk oleh proliferasi dan percabangan
lebih lanjut, dan ruang kosongnya menjadi ruang antarvili. Sel-sel sitotrofoblas
akhirnya menembus sinsitium primer dan bergabung secara lateral untuk
mengelilingi konseptus dalam cangkang sitotrofoblas kontinu antara vili dan
desidua. Blastokista sekarang ditutupi oleh tiga lapisan: lempeng korion dalam
yang bersentuhan dengan rongga aslinya; vili dipisahkan oleh ruang antarvili; dan
cangkang sitotrofoblas yang bersentuhan dengan desidua.11

Segera setelah itu, sekitar hari ke 17-18, sel mesenkim ekstraembrionik


menembus inti vili untuk membentuk vili sekunder. Pada hari ke 18 pasca
fertilisasi, kapiler janin muncul di dalam inti, menandai perkembangan vili tersier.
Pohon vili terus membesar dengan cepat dengan percabangan progresif dari
lempeng korionik untuk membentuk sistem pohon vili. Cangkang sitotrofoblas
bersentuhan dengan desidua (antarpermukaan maternal-fetal), sel-sel sitotrofoblas
individu meninggalkan cangkang untuk menginvasi ke dalam desidua sebagai
EVT dalam proses yang sangat mirip dengan transisi epitel-mesenkim (EMT).
Dengan cara ini, pada akhir trimester pertama, “blueprint” plasenta terbentuk.11

Gambar 2.1 Tahap awal perkembangan plasenta manusia. Ilustrasi yang menggambarkan tahap awal
pembentukan plasenta setelah implantasi blastokista. (A,B) Tahap pra-lakunar. (C) Tahap lakunar.
(D) Tahap vili primer. 1° ys, kantung yolk sac primer; ac, rongga ketuban; cs, cangkang sitotrofoblas;
eec, selom ekstra-embrionik; exm, mesoderm ekstra-embrio; GE, epitel kelenjar; ICM, inner cell mass;
lak, lakuna; LE, epitel luminal; M N. tr, trofoblas mononuklear; hal. syn, syncytium primer; TE,
trofektoderm; vs, pembuluh darah.9

Gambar 2.2 Gambar Implantasi blastokista dan Perkembangan Plasenta. embrioblas (EB) dan
sitotrofoblas (CT). Sitotrofoblas mulai berdiferensiasi menjadi Syntiotrofoblas (SCT). SCT menginvasi
endometrium menuju arteri spiral ibu yang terletak di miometrium. Lakuna berkembang di
sinsitiotrofoblas, yang pada akhirnya akan membentuk ruang intervili. Gen yang diregulasi selama
pembentukan vili disajikan pada gambar di sebelah kanan. Sitotrofoblas lain akan menginvasi arteri
spiral ibu dengan berdiferensiasi menjadi trofoblas ekstravili.8

Sel Trofoblas
Fungsi utama plasenta dilakukan oleh sel trofoblas. Munculnya trofoblas
merupakan kemajuan evolusioner penting pada mamalia berplasenta. Istilah
'trofoblas' pertama kali digunakan oleh ahli embriologi Belanda Ambrosius
Arnold Willem Hubrecht pada tahun 1889 untuk menggambarkan sel yang
mengangkut nutrisi dan membentuk barrier pelindung antara ibu dan janin. Dia
juga mengamati bahwa trofoblas secara inheren sangat invasif atau 'korosif', dan
bergantung pada desidua untuk mendukung perkembangannya.13

Gambar 2.3 Maternal-fetal interface dan subtipe trofoblas. Sel-sel yang terdapat di dalam vili plasenta
trimester pertama awal dan subtipe trofoblas utama dalam kaitannya dengan desidua terwakili.
Daerah desidua telah diilustrasikan untuk memasukkan miometrium. sinsitiotrofoblas (SCT, abu-abu),
sitotrofoblas vili (VCT, merah muda), cytotrophoblast cell column (CCC) dan trofoblas ekstravili (EVT)
(EVT endovaskular dan interstisial, oranye) ditunjukkan. Titik akhir diferensiasi EVT, placental bed
giant cells juga ditunjukkan. 10

Saat plasenta membesar, cangkang sitotrofoblas menjadi terputus dan


cytotrophoblast cell column (CCCs) muncul dari ujung distal anchoring villi
dalam kontak dengan desidua. Sel-sel di kolom berbentuk bulat, kohesif dan kaya
glikogen. Dari cangkang, dan kemudian anchoring villi, EVT bermigrasi ke
desidua melalui dua jalur diferensiasi: EVT interstisial (iEVT) bermigrasi melalui
stroma desidua menuju arteri spiralis ibu, sedangkan trofoblas endovaskular EVT
(eEVT) bergerak turun ke dalam arteri spiralis. Pada desidua, iEVT memiliki
morfologi pleomorfik dan fusiform, inti tetraploid, dan tidak bersiklus serta
menunjukkan penuaan. Mereka kembali menuju arteri spiralis untuk membentuk
cuff sel-sel di sekitarnya. Hal ini terkait dengan hilangnya aktin dalam sel otot
polos arterial media, yang digantikan oleh bahan eosinofilik amorf, yang
menghasilkan tampilan histologis yang dikenal sebagai perubahan 'fibrinoid'.
Transformasi arteri yang dimediasi trofoblas ini menyebabkan hilangnya
vasoaktivitas dan konversi menjadi pembuluh darah yang mampu memberikan
suplai yang tinggi meskipun pada tekanan rendah, suatu adaptasi penting untuk
kehamilan normal. iEVT menginvasi sejauh sepertiga bagian dalam miometrium
(lapisan otot dinding rahim), di mana diperkirakan mereka menyatu untuk
membentuk placental bed giant cells. Setelah transformasi arteri terjadi, eEVT
bergerak secara retrograde ke bawah arteri untuk membentuk sumbat yang
mencegah darah memasuki ruang intervili sampai menjelang akhir trimester
pertama, ketika sirkulasi hemokorial penuh telah terbentuk.11,14

2.1.2 Perkembangan Plasenta Abnormal

Banyak komplikasi kehamilan yang berasal dari perkembangan abnormal


plasenta pada trimester pertama. Ini termasuk preeklamsia, pertumbuhan janin
terhambat (PJT/FGR), lahir mati yang tidak dapat dijelaskan, solusio plasenta dan
persalinan prematur; komplikasi ini secara kolektif dikenal sebagai Great
Obstetric Syndromes (GOSs). Kondisi ini bertanggung jawab atas tingginya
proporsi morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang terlihat di semua populasi,
terutama di Afrika sub-Sahara.15

Defek pada invasi trofoblas adalah penyebab utama GOSs. Sel-sel


trofoblas menginvasi ke dalam desidua untuk mendapatkan akses ke suplai darah
ibu dan keberhasilan transformasi EVT dari 30-40 arteri spiral jauh ke dalam
miometrium sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan janin yang
normal.16
Jika arteri tidak cukup dikonversi dan tetap mempertahankan media
kontraktilnya, akan terjadi gangguan perfusi aliran darah ke ruang intervili. Hal
ini, bersama dengan suplai nutrisi dan oksigen yang tidak memadai, mengurangi
percabangan progresif dari pohon vili saat kehamilan berlanjut, mengurangi area
permukaan yang tersedia untuk pertukaran, dengan kemungkinan hasil PJT dan
lahir mati. Selain itu, jika proses regresi chorion frondiosum untuk membentuk
chorion leave tidak terjadi dengan benar, membran korionik dapat terpisah
sebelum waktunya, mengakibatkan solusio plasenta atau persalinan prematur.
Preeklamsia dihasilkan dari pelepasan produk dari plasenta yang perfusinya buruk
dan stress ke dalam sirkulasi ibu, memicu gangguan endotel sistemik. Dengan
demikian, hasil klinis yang tepat dari invasi trofoblas yang rusak tergantung pada
luasnya invasi arteri dan jumlah arteri yang diinvasi.17

Invasi trofoblas yang dalam ke dalam rahim adalah ciri yang hanya terlihat
pada manusia dan kera besar, defek transformasi arteri sulit untuk dikarakterisasi
dan didiagnosis pada awal kehamilan. Sejumlah pengukuran klinis sedang
dikembangkan untuk mengatasi hal ini, seperti velocimetry Doppler arteri uterina,
yang mengukur resistensi terhadap aliran darah dan dengan demikian merupakan
pembacaan tidak langsung dari tingkat remodeling arteri spiralis. Saat EVT
bergerak lebih dalam, ekspresi protein plasma terkait kehamilan Pregnancy-
Associated Plasma Protein-A (PAPPA-A) meningkat, dan pengukuran protein ini
dalam serum ibu pada trimester pertama merupakan prediktor GOSs yang
berguna.18,19

Gangguan implantasi plasenta primer telah diketahui bidan dan dokter


obstetri setidaknya selama 100 tahun. Secara keseluruhan, anomali ini hanya
dijelaskan pada kehamilan manusia dan berhubungan dengan risiko tinggi
komplikasi antenatal dan perinatal. Dengan demikian mereka tidak dapat
dianggap sebagai keuntungan reproduksi evolusioner. Etiopatologinya masih
belum sepenuhnya dipahami, tetapi prevalensi dan insidennya meningkat oleh
faktor iatrogenik yang mungkin memiliki dampak langsung atau tidak langsung
pada integritas fungsional endometrium.20

Peristiwa yang terjadi pada saat implantasi manusia tidak sepenuhnya


dipahami, tetapi jelas memiliki dampak besar pada pembentukan plasenta yang
benar dan pada hasil kehamilan. Pemahaman tentang faktor-faktor yang
menentukan di mana implantasi terjadi dan bagaimana orientasi blastokista diatur
pada kehamilan normal sangat penting untuk menilai bagaimana proses ini
terganggu dalam kasus patologis.20

2.2 Stres Oksidatif

2.2.1 Definisi Stres Oksidatif

Stres oksidatif adalah kondisi yang menggambarkan adanya


ketidakseimbangan antara prooksidan atau radikal bebas dan antioksidan yang
berfungsi dalam mempertahankan kondisi terhadap kerusakan jaringan yang
terjadi. Jadi stres oksidatif ini muncul apabila produksi radikal bebas yang terjadi
melebihi antioksidan yang ada sebagai pertahanan intrinsik.21

2.2.2 Patofisiologi Stres Oksidatif

Stres oksidatif merupakan ketidakseimbangan antara radikal bebas (pro


oksidan) dan antioksidan yang dipicu oleh dua kondisi umum yaitu kurangnya
antioksidan dan kelebihan produksi radikal bebas.22 Radikal bebas merupakan
dasar untuk banyak proses biokimia dan menunjukkan bagian penting dari
metabolisme. Radikal bebas didefenisikan sebagai sebuah molekul atau bagian
molekuler yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada
orbit atom atau molekular terjauh dan dapat tereksistensi sendiri.23

Istilah stres oksidatif juga didefenisikan sebagai suatu keadaan dimana


terjadi peningkatan level Reactive Oxygen Species (ROS). Dalam jumlah normal,
ROS berperan pada berbagai proses fisiologis seperti sistem pertahanan,
biosintesis hormon, fertilisasi, dan sinyal seluler. Akan tetapi, peningkatan
produksi ROS yang dikenal dengan kondisi stres oksidatif memiliki implikasi
pada berbagai macam penyakit seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes, gagal
jantung, stroke, dan penyakit kronis lainnya.23 Stres oksidatif disebabkan oleh
faktor yaitu peningkatan oksidan, penurunan proteksi antioksidan, dan kegagalan
sel untuk memperbaiki kerusakan oksidatif.25

Salah satu teori berkaitan dengan patofisiologi preeklamsia adalah stres


oksidatif. Pada pasien preeklamsia, proses invasi sel-sel trofoblas terganggu dan
menyebabkan tidak adekuatnya perfusi plasenta, yang selanjutnya dapat
mengakibatkan stres oksidatif. Lapisan muskuler dinding arteri spiralis menjadi
kaku, sehingga perfusi ke plasenta tidak lancar. Semua mekanisme tersebut
bersamaan dengan sering terbentuknya sumbat trombotik diikuti disolusi yang
menyebabkan keadaan hipoksia-reoksigenasi berulang di plasenta. Hipoksia-
reoksigenasi berulang memicu aktivasi xantin oksidase. Xantin oksidase sumber
penting produksi superoxide terutama pada sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas, dan sel
vilus stromal; memainkan peran penting dalam terjadinya kerusakan jaringan
plasenta yang dimediasi radikal bebas. Perfusi yang tidak adekuat dan proses
kematian sel plasenta dapat menyebabkan terlepasnya mikrovesikel
sinsitiotrofoblas ke sirkulasi maternal. Mikropartikel ini ditemukan meningkat
pada preeklamsia dan berkaitan langsung dengan aktivasi neutrofil maternal.
Proses ini selanjutnya berkontribusi dalam mekanisme disfungsi endotel.25

Pada preeklamsia, radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua akan
menyebabkan kerusakan sel endotel. ROS seperti radikal hidroksil dan anion
superoksidan, menambah agregasi trombosit serta menyebabkan asam lemak tak
jenuh pada membran fosfolipid mengalami konversi menjadi peroksida lipid.
Pembentukan peroksida lipid membuat radikal bebas lebih toksik merusak sel
endotel. Kerusakan sel endotel mengganggu produksi Nitrit Oxide (NO), sehingga
mempengaruhi keseimbangan Prostaglandin I2 (PGI2) dan Thromboxane A2
(TXA2) berupa inhibisi produksi PGI2 dan akselerasi produksi TXA2 plasenta.
Stres oksidatif menyebabkan peningkatan produksi sel makrofag lipid, aktivasi
faktor koagulasi mikrovaskular (trombositopenia), dan peningkatan permeabilitas
mikrovaskular (edema dan proteinuria). Semua proses ini selanjutnya
menyebabkan manifestasi klinis preeklamsia.25

Spesies oksigen reaktif menurunkan kadar antioksidan dalam sel. Pada


preeklamsia berat kadar antioksidan glutathione (GSH) menurun. Stres oksidatif
bisa mengubah perbandingan GSH terhadap Glutathione disulfide (GSSG) yang
menyebabkan pergeseran dapar reduksi oksidasi GSSG terhadap GSH.5,6 Pada
preeklamsia berat terjadi penurunan rasio GSH/GSSG yang digunakan untuk
menetralisir peningkatan Malondialdehid (MDA).22
Gambar 2.4 Mekanisme stres oksidatif pada preeklamsia25

2.2.3 Definisi Antioksidan

Antioksidan merupakan zat yang dapat membersihkan radikal bebas dan


mencegah radikal bebas merusak sel. Radikal bebas bertanggung jawab
menyebabkan sejumlah besar masalah kesehatan seperti kanker, penuaan dini,
penyakit kardiovaskular, dan gangguan pencernaan. Antioksidan memiliki efek
protektif dengan menetralkan radikal bebas yang bersifat toksik dengan
memproduksi metabolisme sel alami. Tubuh secara alami menghasilkan
antioksidan, tapi prosesnya tidak efektif 100% jika dalam keadaan produksi
radikal bebas melimpah di udara dan keefektifannya juga menurun karena
penuaan.21 Peningkatan jumlah asupan antioksidan dapat mencegah berbagai
penyakit dan mengurangi permasalahan kesehatan. Makanan dapat meningkatkan
kadar antioksidan. Buah dan sayur mengandung antioksidan penting seperti
vitamin A, C, E, betakaroten, dan mineral penting, termasuk selenium dan zink.
Buah-buahan, sayur-sayuran, dan obat herbal merupakan sumber utama
antioksidan.26

2.2.4 Pengaruh Antioksidan terhadap Tubuh

Antioksidan diperlukan untuk mencegah stres oksidatif. Stres oksidatif


adalah kondisi ketidakseimbangan antara jumlah radikal bebas yang ada dengan
jumlah antioksidan di dalam tubuh. Radikal bebas merupakan senyawa yang
mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan dalam orbitalnya,
sehingga bersifat sangat reaktif dan mampu mengoksidasi molekul di sekitarnya
(lipid, protein, DNA, dan karbohidrat). Antioksidan bersifat sangat mudah
dioksidasi, sehingga radikal bebas akan mengoksidasi antioksidan dan melindungi
molekul lain dalam sel dari kerusakan akibat oksidasi oleh radikal bebas atau
oksigen reaktif.

Gambar 2.5 Mekanisme Antioksidan Endogen Sebagai Pertahanan Tubuh.26

Gambar 2.5 menerangkan mekanisme pertahanan tubuh yang diperankan


oleh antioksidan endogen. Enzim superoksida dismutase (SOD) akan mengubah
radikal superoksida (O2-) yang dihasilkan dari respirasi serta yang berasal dari
lingkungan, menjadi hidrogen peroksida (H2O2), yang masih bersifat reaktif.
SOD terdapat di dalam sitosol dan mitokondria. Peroksida dikatalisis oleh enzim
katalase dan glutation peroksidase (GPx). Katalase mampu menggunakan satu
molekul H2O2 sebagai substrat elektron donor dan satu molekul H2O2 menjadi
substrat elektron akseptor, sehingga 2 molekul H2O2 menjadi 2 H2O dan O2. Di
dalam eritrosit dan jaringan lain, enzim glutation peroksidase (GPx) mengkatalisis
destruksi H2O2 dan lipid hidroperoksida dengan menggunakan glutation tereduksi
(GSH), melindungi lipid membran dan hemoglobin dari serangan oksidasi oleh
H2O2, sehingga mencegah terjadinya hemolisis yang disebabkan oleh serangan
peroksida.8 GSH akan dioksidasi menjadi GSSG. Agar GSH terus tersedia untuk
membantu kerja enzim GPx, maka GSSG ini harus direduksi lagi menjadi GSH.
Fungsi ini diperankan oleh enzim glutation reduktase (GRed).26

H2O2 yang tidak dikonversi menjadi H2O, dapat membentuk radikal


hidroksil reaktif (OH+) apabila bereaksi dengan ion logam transisi (Fe2 +/Cu+ ).
OH٠ bersifat lebih reakif dan berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan sel
melalui peroksidasi lipid, protein dan DNA. Di pihak lain, tubuh tidak mempunyai
enzim yang dapat mengubah OH٠ menjadi molekul yang aman bagi sel.26

Tubuh manusia dapat menetralisir radikal bebas bila jumlahnya tidak


berlebihan, dengan mekanisme pertahanan antioksidan endogen. Bila antioksidan
endogen tidak mencukupi, tubuh membutuhkan antioksidan dari luar. Berbagai
tanaman maupun obat sintetis dapat berperan sebagai antioksidan, antara lain
bawang-bawangan, spirulina dan N-asetil sistein.26

Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor).11 Secara


biologis, antioksidan adalah senyawa yang mampu meredam dampak negatif
oksidan dalam tubuh. Sistem antioksidan dibagi menjadi kelompok enzimatis dan
non-enzimatis. Antioksidan enzimatis sering disebut sebagai antioksidan primer,
terdiri dari enzim glutation peroksidase, katalase, glutation, dan superoksida
dismutase (SOD). Antioksidan enzimatis bekerja dengan cara mencegah
pembentukan senyawa radikal bebas baru dan memutus reaksi radikal berantai.
Antioksidan sekunder terdiri dari vitamin C, A, E, β karoten, tokoferol, dan
flavonoid yang berfungsi menangkap senyawa oksidan dan mencegah
terbentuknya reaksi radikal berantai. Pada preeklamsia antioksidan glutation
peroksidase, katalase, glutation, dan superoksida dismutase (SOD) cenderung
menurun. Pada pasien preeklamsia, penurunan kadar antioksidan dan GSH
tampak signifikan dibandingkan pada pasien kehamilan normal.26

2.3 Preeklamsia

2.3.1 Definisi Preeklamsia

Preeklamsia adalah gangguan multisistem yang umum dan berpotensi


mematikan pada kehamilan yang ditandai dengan hipertensi onset baru dan
proteinuria setelah minggu ke-20 kehamilan, atau tanda terkait preeklamsia onset
baru tanpa adanya proteinuria.27

Secara histoplatologi, preeklamsia diklasifikasikan berdasarkan onset


kejadian, yaitu early onset preeclampsia dan late onset preeclampsia. Insiden
early onset preeclampsia dihubungkan dengan angka morbiditas dan mortalitas
pada janin seperti IUGR (Intrauterine Growth Restriction), Abnormalitas janin,
terganggunya aliran darah di dalam rahim, ukuran plasenta yang kecil, dan
kelahiran prematur. Sedangkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dapat terjadi
seperti sindrom metabolik, gangguan toleransi glukosa, obesitas, dislipidemia, dan
hipertensi kronik yang dihubungkan dengan insiden terjadinya late onset
preeclampsia.29

Preeklamsia muncul dalam bentuk heterogen, di mana bentuk awitan dini


(sebelum usia kehamilan 34 minggu), dikaitkan dengan tingkat FGR yang tinggi,
berbeda dengan bentuk awitan lambat (setelah 34 minggu) di mana neonatus
umumnya tidak mengalami FGR, dan bahkan mungkin besar untuk usia
kehamilan. Namun, preeklamsia awitan lambat bukannya tanpa bahaya. Eklamsia
dan HELLP (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombosit rendah) adalah
contoh dari kondisi kritis yang mengancam jiwa yang lebih sering terjadi pada
akhir kehamilan dan manifestasi post-term dari preeklamsia. Beban kesehatan
preeklamsia/eklamsia sangat tinggi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah.30

Heterogenitas sindrom preeklamsia sampai sekarang masih kurang


dipahami, dan onset serta perkembangannya tidak dapat diprediksi. Lebih lanjut,
preeklamsia tidak hanya merupakan ancaman kesehatan utama bagi wanita dan
janinnya selama kehamilan dan persalinan, tetapi juga memberikan peningkatan
risiko penyakit kardiovaskular jangka panjang pada ibu dan anak. Pencegahan
adalah kuncinya, tetapi dengan obat-obatan saat ini, pilihan untuk pencegahan
yang efisien masih terbatas.30

2.3.2 Etiologi Preeklamsia

Plasenta selalu menjadi figur sentral dalam etiologi preeklamsia karena


pengangkatan plasenta diperlukan agar gejala berkurang. Pemeriksaan patologis
plasenta dari kehamilan dengan preeklamsia lanjut sering mengungkapkan banyak
infark plasenta dan penyempitan arteriol sklerotik. Hipotesis bahwa invasi
trofoblas yang rusak dengan hipoperfusi uteroplasenta terkait dapat menyebabkan
preeklamsia didukung oleh penelitian pada hewan dan manusia. Dengan
demikian, model dua tahap dikembangkan: remodeling arteri spiralis yang tidak
lengkap di uterus yang berkontribusi terhadap iskemia plasenta (tahap 1) dan
pelepasan faktor antiangiogenik dari plasenta iskemik ke dalam sirkulasi ibu yang
berkontribusi terhadap kerusakan endotel (tahap 2 ).31
Selama implantasi, trofoblas plasenta menginvasi uterus dan menginduksi
remodeling arteri spiralis, sambil melenyapkan tunika media arteri spiralis
miometrium; hal ini mendukung arteri untuk mengakomodasi peningkatan aliran
darah terlepas dari perubahan vasomotor ibu untuk memberi nutrisi pada janin
yang sedang berkembang. Bagian dari remodeling ini mewajibkan trofoblas
mengadopsi fenotipe endotel dan berbagai molekul adhesi. Jika remodeling ini
terganggu, plasenta kemungkinan akan kekurangan oksigen, yang menyebabkan
keadaan iskemia relatif dan peningkatan stres oksidatif selama keadaan perfusi
intermiten. Remodeling arteri spiralis yang abnormal ini terlihat dan dijelaskan
lebih dari lima dekade yang lalu pada wanita hamil yang menderita hipertensi.
Sejak itu telah terbukti menjadi faktor patogen sentral pada kehamilan yang rumit
oleh pertumbuhan intrauterin, hipertensi gestasional, dan preeklamsia.31

2.3.3 Faktor Risiko Preeklamsia

Faktor risiko yang diketahui termasuk primiparitas, penyakit ginjal,


hipertensi kronis, obesitas, usia ibu lanjut, kehamilan multipel, kehamilan mola,
dan diabetes mellitus pra-kehamilan atau gestasional.30

Tabel 2.1 Faktor Risiko Preeklamsia30

Faktor Risiko Meningkatkan risiko preeklamsia/hipertensi


gestasional
Faktor  Primiparitas/primigravida
pregestasional  Usia ibu lanjut (> 40 tahun)
 Kelebihan berat badan/obesitas ibu (risiko meningkat
secara linier dari BMI 28)
 Hipertensi kronis (menurut definisi bukan faktor risiko
HT gestasional)
 Diabetes melitus pregestasional
 Penyakit ginjal (termasuk transplantasi ginjal)
 Penyakit autoimun (misalnya Lupus Eritematosus
Sistemik dan sindrom Antifosfolipid)
 Durasi hubungan seksual pra-kehamilan yang singkat
(dengan ayah yang mengkonsepsi). Interval antar
kehamilan yang lama (> 10 tahun). Kontrasepsi barier
 Wanita keturunan Afrika (genetik)
 Preeklamsia berat/awal-awal sebelumnya (persalinan
sebelum minggu kehamilan 34) dan/atau hambatan
pertumbuhan janin.
 Preeklamsia pada ibu/saudara perempuan
 Merokok
Faktor kehamilan  Plasenta besar, termasuk multipel dan mola
 Pertumbuhan Janin Terhambat (FGR)
 Diabetes melitus gestasional
 Uterine artery notch/elevated PI
 Faktor disregulasi angiogenik (mis., Kadar Faktor
Pertumbuhan Plasenta yang bersirkulasi rendah pada
trimester pertama)
 Teknologi Reproduksi Berbantu

Obesitas pada ibu juga meningkatkan risiko hipertensi kronis. Hipertensi


kronis, bahkan pada wanita non-obesitas, juga merupakan faktor risiko yang kuat
untuk berkembangnya preeklamsia (dinamakan preeklamsia “superimposed”),
baik untuk penyakit onset dini maupun akhir. Preeklamsia superimposed onset
dini dikaitkan dengan FGR, fitur utama dari plasentasi yang buruk. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa ibu hamil yang hipertensi sebelum hamil merupakan
predisposisi terjadinya plasentasi yang buruk. Namun, mekanisme yang tepat
dimana disfungsi arteri ibu menghambat plasentasi dini belum didefinisikan. Jika
itu adalah hipertensi ibu itu sendiri, maka pengobatan dini diharapkan dapat
mengurangi risiko preeklamsia kemudian, yang hanya ada sedikit bukti. Oleh
karena itu lebih mungkin dimediasi oleh peningkatan inflamasi vaskular di arteri
spiralis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagaimana hal ini
berinteraksi dengan proses remodeling arteri spiralis, termasuk invasi trofoblas
endovaskular yang dangkal yang terlihat pada preeklamsia onset dini, masih
belum jelas.30,32

Faktor risiko maternal dapat mempengaruhi respons vaskular ibu terhadap


faktor inflamasi yang dilepaskan oleh plasenta. Peningkatan tingkat inflamasi
vaskular ibu pada awal kehamilan, karena faktor risiko ibu (misalnya diabetes,
hipertensi, atau obesitas), dapat menjelaskan mengapa stres tingkat sedang
(apakah sekunder akibat plasentasi disfungsional atau masalah ukuran plasenta)
dapat menimbulkan manifestasi klinis.30

2.3.4 Patofisiologi Preeklamsia

Remodeling arteri spiralis uterus ibu oleh trofoblas yang menginvasi dan
peningkatan perfusi ruang intervili plasenta diperlukan untuk perkembangan
normal kehamilan. Terlepas dari banyak teori tentang patofisiologi preeklamsia,
secara umum diterima bahwa preeklamsia pasti terkait dengan invasi trofoblas
yang rusak dan kegagalan modifikasi fisiologis ini. Hal ini menyebabkan hipoksia
plasenta dan/atau 'stres' serta lesi vili dan vaskular plasenta yang khas terkait
dengan preeklamsia.33

Remodeling vaskular yang tidak tepat dan hipoperfusi plasenta, yang


dihasilkan dari migrasi sitotrofoblas dangkal menuju arteriol spiral uteri, telah
dikarakterisasi sebagai peristiwa awal yang penting dalam preeklamsia. Plasenta
menjadi iskemik yang menyebabkan pelepasan faktor-faktor yang berhubungan
dengan disfungsi endotel vaskular ibu. Disfungsi endotel telah menjadi fenotipe
umum preeklamsia dan ditandai dengan vasokonstriksi dan berkurangnya aliran
darah ke organ. Selanjutnya, kondisi yang sudah ada sebelumnya seperti diabetes
dan obesitas berkontribusi pada faktor-faktor yang dilepaskan dari plasenta
iskemik. Selain itu, peningkatan sel imun dan sitokin inflamasi berhubungan
dengan disfungsi endotel pada preeklamsia.34

Disfungsi Endotel

Pada preeklamsia, mekanisme yang bertanggung jawab untuk disfungsi


vaskular sistemik ibu masih belum sepenuhnya dipahami. Namun, faktor anti-
angiogenik seperti sFlt-1 atau reseptor faktor pertumbuhan endotel 1 vaskular
terlarut telah dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal dan hipertensi selama
kehamilan. Kadar sFlt-1 dalam sirkulasi dan mRNA sFlt-1 plasenta lebih tinggi
pada wanita yang mengalami preeklamsia dibandingkan dengan wanita hamil
normal. Juga, data hewan telah menunjukkan bahwa sFlt-1 menginduksi sindrom
seperti preeklamsia, yang dikaitkan dengan peningkatan Endothelin-1 (ET-1) dan
penurunan NO dan mengakibatkan disfungsi endotel. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa ET-1 meningkat pada preeklamsia dan beberapa penelitian
melaporkan korelasi positif antara ET-1 dan keparahan gejala. NO diperlukan
perubahan vaskular selama kehamilan normal untuk mendukung peningkatan
volume darah. Defisiensi NO telah terbukti mengganggu vasorelaksasi pada
model preeklamsia manusia dan hewan dan peningkatan bioavailabilitas NO dapat
berkontribusi untuk meningkatkan hasil ibu dan janin.35

Inflamasi Kronis Berkontribusi pada Disfungsi Endotel dan Patologi


Preeklamsia

Selama kehamilan normal, ada keseimbangan yang cermat antara sel imun
T-Helper1 (TH1) dan T-Helper2 (TH2) dan respons imun masing-masing.
Namun, pada preeklamsia, keseimbangan ini terganggu dan ada pergeseran ke
arah respons TH1 yang mengarah ke lingkungan imun kronis yang serupa dengan
yang dialami oleh individu dengan penyakit autoimun. Peningkatan sel imun TH1
dan sitokin meningkatkan produksi sel B dari autoantibodi ke reseptor
autoantibodi angiotensin II tipe 1 (AT1-AA), meningkatkan ekspresi ET-1 dan
sFlt-1 dan meningkatkan stres, yang semuanya berkontribusi pada patofisiologi
preeklamsia dan akhirnya perkembangan hipertensi selama kehamilan.34

Meskipun etiologi preeklamsia tidak diketahui dengan pasti, wanita


dengan obesitas atau indeks massa tubuh tinggi (BMI: >30 kg/m 2), hipertensi
kronis, diabetes, dan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) lebih rentan terhadap
perkembangan preeklamisa. Karena obesitas merupakan keadaan kronis
peradangan tingkat rendah, yang merupakan faktor risiko preeklamsia. Selain
inflamasi sistemik yang terkait dengan obesitas, sebuah studi oleh Aye dkk telah
menunjukkan bahwa ketika indeks massa tubuh meningkat, demikian juga
aktivasi plasenta dari jalur inflamasi juga meningkat. Plasenta dari wanita obesitas
juga telah terbukti lipotoksik dan meningkatkan stres oksidatif.30

Wanita dengan diabetes tipe 1 (T1D), diabetes tipe 2 (T2D) atau diabetes
gestasional (GD) semuanya berisiko lebih tinggi terkena preeklamsia. Sekitar 15-
20% wanita hamil dengan T1D, 10-14% wanita hamil dengan T2D akan
mengembangkan preeklamsia. Baik T1D dan T2D terkait dengan inflamasi kronis
tingkat rendah, yang bersama dengan fakta bahwa wanita dengan preeklamsia
cenderung resisten insulin sebelum kehamilan dapat menjadi salah satu alasan
mengapa wanita dengan diabetes lebih rentan terhadap preeklamsia. Wanita
dengan GD memiliki profil imun yang mirip dengan wanita dengan preeklamsia,
karena ada bukti disfungsi endotel, ketidakseimbangan faktor angiogenik dan
peningkatan stres oksidatif.34

SLE (Systemic Lupus Erythematosus) adalah penyakit autoimun yang


terutama menyerang wanita di masa subur mereka dan dikaitkan dengan
perubahan imunitas, khususnya pengurangan sel Treg. Lebih dari 20% wanita
hamil dengan SLE memiliki kehamilan dengan komplikasi preeklamsia. SLE juga
terkait dengan antibodi antifosfolipid (aPLs) yang terkait dengan preeklamsia,
kelahiran prematur dan pertumbuhan janin terhambat (IUGR).34

2.4 Implantasi Plasenta dan Stres Oksidatif pada Preeklamsia

2.4.1 Implantasi Plasenta pada Preeklamsia

Remodeling Arteri Spiral pada Kehamilan Normal dan Preeklamsia

Proses normal dan patologis remodeling arteri uterina pada tahap awal
kehamilan telah dijelaskan dengan baik dan diterbitkan ulang dalam buku teks
dasar tentang obstetri sebagai salah satu konsep dasar fisiologi gestasional.
Plasenta normal terjadi dalam proses dua langkah, di mana arteri spiralis
terganggu, diinvasi, dan dibentuk ulang oleh trofoblas antara minggu ke-8 dan ke-
14, diikuti oleh invasi ke segmen vaskular miometrium junctional-zone di
kemudian hari. Remodeling arteri spiralis yang tidak memadai terbukti dengan
adanya dilatasi dangkal lumen arteri, invasi segmen miometrium yang kurang
luas, dan tanda-tanda arteriosklerosis hiperplastik dan aterosklerosis. Hasil
akhirnya adalah berkurangnya suplai oksigen ke placental bed, mengakibatkan
stres oksidatif lokal, yang secara bertahap menyebar ke seluruh sistem
kardiovaskular global seiring dengan kemajuan kehamilan. Pengamatan bahwa
gejala preeklamsia sembuh lebih cepat setelah kuretase awal postpartum rongga
rahim menunjukkan bahwa plasenta bertindak sebagai pendorong utama disfungsi
kardiovaskular pada preeklamsia.35
Gambar 2.6 Pada Preeklamsia, penurunan invasi EVT menginduksi remodeling arteri spiralis yang
buruk, menyebabkan aliran darah yang buruk menuju plasenta. Peningkatan jumlah mikropartikel
dari sinsitiotrofoblas dan peningkatan jumlah DNA janin bebas diamati dalam darah ibu.10

Mekanisme Imun

Menjelaskan penyebab yang mendasari defek plasentasi memerlukan


pemahaman tentang toleransi imunologis yang diperlukan pada antarmuka
maternal-plasenta. Sel natural killer desidua (dNK) memiliki peran kunci dalam
remodeling arteri spiralis. Studi in vivo menunjukkan bahwa injeksi sel dNK ke
tikus immunocompromised dengan peningkatan resistensi arteri uterina
mengurangi resistensi ini, menunjukkan peningkatan plasentasi. Dengan
demikian, aktivasi sel dNK yang tepat sangat penting untuk plasentasi normal.31

Aspek lain dari sistem imun yang telah terlibat dalam preeklamsia adalah
kompleks histokompatibilitas utama (MHC). Sel trofoblas janin normal
mengekspresikan molekul Human Leukocyte Antigen-C (HLA-C), yang
berinteraksi dengan Killer-Cell Immunoglobulin-like receptor (KIR) yang
diekspresikan pada sel natural killer uterus ibu. HLA-C diturunkan dari ibu dan
ayah, dan kelompok molekul HLA-C tertentu, serta haplotipe KIR tertentu,
tampaknya lebih sering diekspresikan pada kehamilan preeklamsia daripada pada
kehamilan normal. Temuan ini menunjukkan bahwa plasentasi normal
memerlukan alorekognisi oleh KIR ibu dari HLA-C ayah dan bahwa peningkatan
insiden preeklamsia dengan kehamilan pertama, perubahan peternitas, periode
kohabitasi seksual yang lebih pendek dan penggunaan kontrasepsi barier terkait
dengan pengurangan pajanan antigen paternal.31

Plasentasi normal juga dicirikan oleh profil karakteristik sel T dan


sitokinnya masing-masing, dengan dominasi sitokin T helper tipe 2 (seperti anti-
inflamasi IL-10) dan penekanan tipe T-helper-1 pro-inflamasi. Reaksi oleh sel T
sitotoksik terhadap trofoblas janin. Sebaliknya, preeklamsia ditandai dengan
ketidakseimbangan dalam profil sel T, dengan dominasi sel TH1 dan sitokin
terkaitnya seperti Interferon gamma (IFNγ) dan Tumor Necrosis Factor (TNF).
Ketidakseimbangan ini kemungkinan berkontribusi pada plasentasi yang buruk
dan inflamasi maternal berikutnya dan disfungsi endotel.31

Aktivasi komplemen juga telah terlibat dalam kehamilan patologis seperti


pre-eklamsia dan pembatasan pertumbuhan janin intrauterin. Sebuah studi tahun
2006 menunjukkan aktivasi komplemen, khususnya anaphylatoxin C5a, dalam
model tikus yang tidak tergantung antibodi dari keguguran spontan dan
pembatasan pertumbuhan intrauterin; kedua kondisi ini ditandai dengan plasentasi
yang rusak.31

Two-stage model of preeclampsia / model dua tahap preeklamsia

Two-stage model of preeclampsia / model dua tahap preeklamsia telah


menggambarkan faktor risiko yang telah diketahui dan temuan biomarker ibu
yang bersirkulasi yang berasal dari plasenta, juga meningkatkan pemahaman
tentang patofisiologi yang mendasari preeklamsia yang diharapkan akan
mendorong pengembangan tindakan pencegahan dan terapi baru, untuk pada
akhirnya meningkatkan hasil kesehatan ibu dan anak jangka pendek dan jangka
panjang setelah preeklamsia.30

Original Two-stage model of preeclampsia tahun 1991 dan konsep sebelumnya


Model klasik dua tahap preeklamsia diperkenalkan oleh Redman pada
tahun 1991. Model ini mengubah paradigma pada masanya; sebelumnya
preeklamsia hanya dianggap sebagai "penyakit hipertensi" pada kehamilan.
Manifestasi maternal sekunder dari preeklamsia, hipertensi onset baru dan
proteinuria, secara keliru dianggap sebagai primer. Model dua tahap diperluas
pada konsep Redman yang diterbitkan sebelumnya mendalilkan bahwa “pada
asalnya preeklamsia adalah penyakit trofoblas, bukan gangguan hemodinamik,
ginjal, atau bahkan sistem endotel, meskipun proses yang melibatkan sistem ini
mungkin penting terhadap evolusinya”. Dia lebih lanjut berargumen bahwa
jaringan yang tidak teratur pastilah trofoblas plasenta (janin), karena janin tidak
diperlukan (sindrom yang sama terjadi dengan mola hidatidosa lengkap), juga
bukan uterus (karena wanita dengan kehamilan abdominal dapat mengalami
preeklamsia).30
Bukti bahwa plasenta penting dalam preeklamsia disajikan lebih dari
seratus tahun sebelumnya, oleh Schmorl pada tahun 1893, dalam sebuah laporan
kasus trofoblas di paru-paru wanita yang telah meninggal karena eklamsia.
Belakangan, diketahui bahwa deportasi trofoblas juga terjadi pada kehamilan
normotensif, meskipun pada tingkat yang lebih rendah daripada pada preeklamsia
(dan eklamsia). Pada tahun 1967, Robertson dan Brosens mempresentasikan
temuan mereka yang menunjukkan bahwa preeklamsia berhubungan dengan
plasentasi yang buruk, diamati sebagai remodeling yang buruk dari arteri spiralis
uteroplasenta. Pada tahun 1989, Roberts dan rekan kerja memperkenalkan konsep
preeklamsia sebagai gangguan disfungsi sel endotel. Model plasenta preeklamsia
Redman 1991 mengusulkan dua tahap penghubung: yang pertama, tahap plasenta,
disebabkan oleh remodeling arteri spiralis yang buruk selama paruh pertama
kehamilan, yang mengarah ke "cacat struktural pada arteri spiralis yang memasok
ruang intervili", pada gilirannya. menyebabkan "iskemia plasenta". Diakui bahwa
plasentasi yang buruk tidak spesifik untuk preeklamsia, karena dapat juga terjadi
pada kehamilan dengan FGR tanpa sindrom maternal. Lebih lanjut, malperfusi
uteroplasenta akibat plasentasi yang buruk diduga menyebabkan peningkatan
pelepasan “produk atau aktivitas plasenta” ke dalam sirkulasi maternal. Tahap
kedua, penyakit maternal yang nyata secara klinis, dipostulasikan sebagai
konsekuensi dari Tahap 1; "sekuel dari iskemia plasenta, sekunder dari
insufisiensi arteri spiralis".30

Penyempurnaan Lebih Lanjut dari Model Dua Tahap Preeklamsia


Daripada menyangkal model preeklamsia dua tahap yang disajikan pada
tahun 1991, penelitian preeklamsia ekstensif telah menyempurnakan pemahaman
tentang Tahap 1 dan Tahap 2. Redman mengusulkan pada tahun 1992 bahwa
mekanisme sistem imun terlibat dalam plasentasi dan insufisiensi arteri spiralis
(Tahap 1) dan klinis perkembangan preeklamsia (Tahap 2). Pada tahun 1993,
Roberts dan Redman bersama-sama memberikan pemahaman sinergis tentang
preeklamsia dalam makalah mereka “Preeklamsia: lebih dari hipertensi yang
diinduksi kehamilan”. Mereka menyarankan bahwa disfungsi endotel adalah
penghubung antara perfusi plasenta yang buruk (Tahap 1) dan penyakit sistemik
maternal (Tahap 2), khususnya bahwa endotelium maternal merupakan target
utama (mengarah ke Tahap 2 perkembangan hipertensi dan proteinuria) dari
faktor-faktor yang berasal dari plasenta (diproduksi pada Tahap 1). Mereka
berpendapat bahwa disfungsi endotel sistemik menyebabkan hilangnya fungsi
depresor endotel normal dan meningkatkan sensitivitas terhadap agen depressor
yang bersirkulasi secara normal. Hilangnya integritas endotel diduga mendasari
manifestasi klinis preeklamsia yang heterogen. Ness dan Roberts memberikan
kontribusi substansial untuk pengembangan konsep preeklamsia pada tahun 1996,
mendalilkan bahwa adanya dua jenis penyakit: jenis "plasenta" dan jenis
"maternal". Mereka mengusulkan bahwa jenis "plasenta" dikaitkan dengan
penyakit dini dan pertumbuhan janin terhambat, mendefinisikannya sebagai
bentuk dengan "masalah sirkulasi plasenta". Jenis "maternal", terkait dengan
penyakit onset lambat dan tingkat FGR yang lebih rendah, didefinisikan sebagai
preeklamsia yang terjadi meskipun plasentasi normal dan sirkulasi plasenta
normal, dan lebih karena kondisi predisposisi inflamasi pada wanita yang
menyebabkan pembuluh darahnya bereaksi secara abnormal terhadap "stres
kehamilan", termasuk diabetes mellitus, hipertensi kronis, obesitas, dan gangguan
autoimun.30
Gambar 2.7 Model plasenta preeklamsia dua tahap tahun 1991 yang asli. Model preeklamsia dua
tahap yang asli ini (Redman, 1991) mengusulkan "plasentasi yang buruk" dengan unremodelling
arteri spiralis sebagai jalur menuju preeklamsia Tahap 1 (disfungsi plasenta). Tahap 1 mewakili tahap
praklinis sebelum perkembangan tanda-tanda klinis ibu (Tahap 2).30

Pada tahun 1999, Redman dkk lebih lanjut menyempurnakan Tahap 2


dengan mengusulkan bahwa inflamasi vaskular (bukan disfungsi endotel
terisolasi) adalah penyebab manifestasi klinis preeklamsia. Aktivasi endotel
bersifat intrinsik terhadap respon inflamasi sistemik, yang melibatkan aktivasi
leukosit dan komplemen, respon fase akut, gangguan fungsi komplemen dan
koagulasi, resistensi insulin, dan hiperlipidemia. Inflamasi vaskular umum, yang
disebabkan oleh beberapa faktor stres proinflamasi potensial dari plasenta
(misalnya fragmen mikrovilus sinsitiotrofoblas, yang lebih baru disebut vesikel
ekstraseluler syncytriotrophoblast) diajukan sebagai penjelasan mengenai sindrom
multi organ dari preeklamsia. Bentuk preeklamsia "maternal" diintegrasikan ke
dalam model dua tahap yaitu bahwa wanita dengan inflamasi sistemik kronis
(seperti diabetes, obesitas, hipertensi kronis, dan kondisi autoimun) memulai
kehamilan mereka dengan tingkat inflamasi pembuluh darah maternal yang lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita sehat. Akibatnya, saat kehamilan berlanjut dan
pelepasan faktor inflamasi plasenta meningkat, wanita yang memiliki predisposisi
akan lebih cepat mencapai tingkat disfungsi inflamasi berat (Tahap 2) dan dengan
demikian menunjukkan tanda-tanda klinis preeklamsia, termasuk hipertensi onset
baru dan proteinuria, bahkan pada kehamilan dengan remodeling arteri spiralis
dan plasentasi yang normal.30,36
Penelitian di bidang imunologi kehamilan telah memberikan kontribusi
kemajuan besar sejak lahirnya model dua tahap pada tahun 1991. Pada tahun
1996, Robillard dkk menerbitkan pengamatan penting mereka bahwa preeklamsia
dikaitkan dengan periode kohabitasi seksual yang lebih pendek sebelum fertilisasi.
Robillard dan Hulsey menunjukkan bahwa primipaternitas dari primigravida
merupakan faktor risiko untuk preeklamsia. Hal ini menunjukkan tahap
prakonsepsi preeklamsia yang mengubah risiko plasentasi yang buruk dan
masalah Tahap 1 lainnya. Interaksi ibu dengan aloantigen janin (paternal),
memfasilitasi imunotoleransi lokal ibu-janin, saat ini dipandang penting untuk
plasentasi normal. Dekade terakhir telah menunjukkan pentingnya sel T regulator
desidua (T-regs) untuk toleransi imun maternal untuk memastikan plasenta yang
kuat. Selain memediasi toleransi, T-regs bersifat anti-inflamasi, memberikan
perlindungan terhadap cedera inflamasi. Keadaan toleransi imun ibu yang aktif
untuk mempertahankan kehamilan alogenik sangat penting. Penurunan jumlah
atau fungsi Treg diamati pada kehamilan dengan preeklamsia. Disfungsi T-regs
terlibat dalam disfungsi invasi trofoblas dan masalah remodeling arteri spiralis di
beberapa varian klinis disfungsi plasenta, termasuk preeklamsia dan FGR.
Temuan imunologi tersebut sejalan dengan pengamatan epidemiologi bahwa
risiko preeklamsia meningkat pada kehamilan yang dicapai setelah inseminasi
dengan sperma donor, atau setelah menggunakan metode kontrasepsi barier.30,37,38

Pada tahun 2009, Burton dkk menyempurnakan konsep tentang bagaimana


remodeling arteri spiralis uteroplasenta yang tidak memadai dapat menyebabkan
perfusi uteroplasenta abnormal dan disfungsi plasenta pada preeklamsia.
Sebelumnya diasumsikan bahwa invasi endovaskular yang dalam dan kegagalan
remodeling akan menyebabkan “perfusi plasenta yang buruk” dan mengakibatkan
hipoksia kronis. Dalam model oleh Burton dkk, dikatakan bahwa volume aliran
tidak hanya dipengaruhi oleh kegagalan remodeling arteri spiralis pada kehamilan,
tetapi kualitas perfusi uteroplasenta melalui arteri spiral yang tidak dikonversi
memiliki aliran yang lebih pulsatil dan tekanan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan apa yang diamati pada arteri yang mengalami remodelling normal. Aliran
abnormal yang dihasilkan dari remodeling suboptimal ini diperkirakan akan
mencederai vili korionik, baik secara hidrodinamik maupun biokimia,
menghasilkan cedera iskemia reperfusi dan stres oksidatif plasenta, daripada
hipoksia kronis saja. Pada tahun yang sama, Burton dkk juga menunjukkan bahwa
malperfusi plasenta sekunder akibat plasentasi yang buruk dikaitkan dengan
peningkatan tekanan retikulum endoplasma (ER) plasenta dan menghentikan
sintesis protein yang berkontribusi pada perkembangan fenotipe plasenta kecil
yang diamati pada FGR dan preeklamsia onset dini.30

Modifikasi lainnya pada model preeklamsia dua tahap tahun 1991 adalah
meningkatnya pemahaman bahwa plasentasi yang buruk melibatkan lebih dari
sekadar remodeling arteri spiralis yang berhubungan dengan trofoblas. Beberapa
fitur remodeling non-trofoblas juga mungkin mempengaruhi preeklamsia.
Langkah-langkah ini termasuk remodeling vaskular desidua awal (sebelum invasi
trofoblas) dan penyumbatan pembuluh darah oleh trofoblas. Penyumbatan
pembuluh darah ibu oleh sitotrofoblas membantu mempertahankan keadaan
hipoksia fisiologis di awal proses plasentasi, mendukung proliferasi sitotrofoblas
daripada diferensiasi dan invasi.30

Sebuah perbaikan besar pada konsep bagaimana Tahap 1 dan Tahap 2 dari
model interkoneksi plasenta - preeklamsia, dibuat oleh Karumanchi dkk pada
tahun 2003. Mereka menemukan bahwa beberapa marker turunan trofoblas terkait
erat dengan preeklamsia, yang disebut faktor anti-angiogenik (misalnya reseptor
VEGF 1 terlarut; sFlt-1, dan Endoglin terlarut (s-Eng) dan faktor pro-angiogenik
(misalnya faktor pertumbuhan plasenta; PlGF). Ketidakseimbangan anti-
angiogenik relatif (peningkatan kadar sFlt-1 dan s-Eng yang bersirkulasi ke ibu,
dan PlGF yang rendah) ditemukan pada preeklamsia (Tahap 2), dibandingkan
dengan sebagian besar kehamilan normotensif. Juga, peningkatan pola anti-
angiogenik pada dua trimester pertama secara signifikan meningkatkan risiko
preeklamsia onset dini. Selain menjadi pengontrol utama angiogenesis, sFlt1
mewakili hubungan penting dari disfungsi plasenta (Tahap 1) ke tahap klinis
(Tahap 2) perkembangan preeklamsia karena mempengaruhi fungsi struktur
endotel normal melalui penurunan PlGF dan VEGF yang tersedia (bebas). Tidak
seperti PlGF bebas, konsentrasi VEGF bebas dalam darah terlalu rendah pada
kehamilan untuk diukur secara reliabel dengan metodologi immunoassay saat ini,
bahkan pada kehamilan normotensif.30

Perbaikan Terbaru pada Model 2 Tahap Preeklamsia


Pada model paling awal diasumsikan bahwa plasentasi yang buruk terjadi
pada semua preeklamsia. Tetapi kenyataanya pada kebanyakan kasus preeklamsia
awitan lambat yang melahirkan pada atau setelah aterm, neonatus tidak
mengalami hambatan pertumbuhan, dimana ini tidak sesuai dengan teori bahwa
plasentasi yang buruk terjadi pada semua preeklamsia. Oleh karena itu, model 2
tahap yang asli hanya dapat diterapkan terutama untuk preeklamsia awitan dini.
Model yang menghubungkan dengan disfungsi plasenta masih kurang. Pada tahun
2014 Redman dkk menyarankan etiologi plasenta kedua dari preeklamsia. Ini
terdiri dari malperfusi uteroplasenta aterm, tanpa plasentasi yang buruk, terjadi
ketika plasenta melebihi kapasitas uterus, sehingga vili terminal terkompresi,
menghambat perfusi intervili. Hal ini menyebabkan hipoksia dan stres
sinsitiotrofoblas dengan cara yang sama seperti perfusi disfungsional yang terkait
dengan penyakit awitan dini. Oleh karena itu kedua jalur ini memiliki perjalanan
waktu dan penyebab yang berbeda, tetapi memicu respons maternal yang serupa,
keduanya dimediasi oleh stres sinsitiotrofoblas.30

Model preeklamsia dua tahap yang direvisi menjelaskan mengapa FGR


lebih terkait dengan preeklamsia onset dini daripada onset lambat. Efeknya adalah
fungsi dari durasi masalah perfusi uteroplasenta disfungsional. Dalam konteks
plasentasi yang buruk, ini lebih lama, dimulai pada trimester pertama, oleh karena
itu gangguannya lebih parah. Pada preeklamsia awitan lambat, FGR dapat terjadi,
tetapi dapat dikurangi dengan durasinya yang singkat dan fakta bahwa FGR dapat
ditangani dengan cepat dengan menginduksi persalinan. Dua bentuk plasenta
preeklamsia dapat terjadi bersamaan dengan preeklamsia cukup bulan, sesuai
dengan heterogenitas klinis penyakit. Kompresi plasenta lebih mungkin terjadi
pada wanita dengan plasenta yang lebih besar pada saat aterm, yang telah diamati
memiliki peningkatan risiko berkembangnya preeklamsia onset lambat.30

Plasentasi yang buruk sekarang diketahui terkait dengan spektrum hasil


obstetrik yang buruk di luar preeklamsia onset dini, seperti yang sudah diprediksi.
Hal ini termasuk keguguran (berulang), FGR, ketuban pecah dini prematur,
kematian janin intrauterin, dan solusio plasenta. Serupa dengan remodelling arteri
spiralis disfungsional yang tidak menjadi prasyarat wajib untuk semua bentuk
preeklamsia, FGR dan sindrom plasenta lainnya juga dapat terjadi tanpa masalah
remodeling ini.29
2.4.2 Stres Oksidatif Pada Preeklamsia

Stres oksidatif yang terjadi pada antarmuka ibu-janin dan dianggap


memiliki peran kunci dalam perkembangan plasenta yang normal dan cacat.
Regresi normal vili perifer (tempat aliran darah plasenta dimulai) pada awal
kehamilan diperkirakan terjadi melalui mekanisme yang melibatkan stres oksidatif
dan apoptosis. Pada preeklamsia, tampaknya ada ketidakseimbangan antara
mekanisme antioksidan dan prooksidan. Ketidakseimbangan ini mungkin
disebabkan oleh remodeling arteri spiralis yang rusak yang terlihat pada
kehamilan yang terkena, yang diperkirakan menyebabkan cedera iskemia-
reperfusi berulang karena retensi segmen kontraktil arteri spiralis di miometrium.
Konsisten dengan hipotesis ini, studi in vitro menunjukkan peningkatan kadar
spesies oksigen reaktif dalam jaringan plasenta manusia setelah iskemia dan
reperfusi. Temuan ini selanjutnya didukung oleh penelitian yang menunjukkan
peningkatan stres oksidatif pada tikus hamil dengan penurunan tekanan perfusi
uterus (model kehamilan hipertensi).31

Gambar 2.8 Model dua langkah preeklamsia 2019 yang direvisi, mengintegrasikan faktor risiko ibu
dan dua jalur plasenta utama ke preeklamsia klinis.30
Model pemersatu ini menunjukkan bagaimana faktor ibu dan plasenta
berkontribusi pada kedua tahap penyakit; TAHAP 1 mewakili tahap disfungsi
plasenta (stres STB-syncytiotrofoblas) dan TAHAP 2 mewakili sindrom klinis
ibu. Jalur A menggambarkan jalur klasik plasentasi disfungsional ke TAHAP 1
("jalur plasenta ekstrinsik") dan Jalur B menggambarkan "jalur plasenta intrinsik",
biasanya pada akhir kehamilan dan plasenta yang lebih besar.30

Jalur C menggambarkan jalur potensial lainnya ke Tahap 1, termasuk


penuaan/senescent placentas, jalur yang layak untuk diselidiki lebih lanjut. Kotak
kuning menggambarkan bahwa faktor ibu, seperti penyakit inflamasi kronis, dapat
mempengaruhi beberapa langkah dari kedua jalur plasenta serta mempengaruhi
penerimaan kardiovaskular untuk STAGE 1 menghasilkan faktor inflamasi,
mendorong perkembangan menuju preeklamsia yang diakui secara klinis dengan
hipertensi onset baru dan proteinuria (TAHAP 2 preeklamsia).19

Gambar 2.9 Sindrom plasenta tidak hanya preeklamsia. Masalah plasentasi berhubungan dengan
beberapa sindrom plasenta, tidak hanya preeklamsia. Semua sindrom plasenta ini, termasuk
preeklamsia, mungkin juga memiliki penyebab lain disfungsi plasenta selain masalah remodeling
arteri spiralis.29

Kesimpulannya, model preeklamsia dua tahap yang direvisi berbeda dari


yang asli karena mencakup lebih dari satu penyebab disfungsi plasenta (Tahap 1
dari sindrom). Efek Tahap 1 mungkin tergantung pada derajat inflamasi yang
telah ditetapkan sebelumnya dari pembuluh darah ibu, berpotensi memuncak pada
respon vaskular yang berlebihan dan klinis preeklamsia stadium penuh Tahap 2.
Model dua tahap yang direvisi dari preeklamsia konsisten dengan temuan ilmiah
saat ini juga dengan epidemiologi dan patofisiologi preeklamsia dan mulai
menjelaskan aspek heterogenitas dari presentasi klinis preeklamsia.30

DAFTAR PUSTAKA

1. Espinoza J, Vidaeff A, Pettker CM, Simhan H. American College of


Obstetricians and Gynecologists. Gestational hypertension and preeclampsia:
ACOG Practice Bulletin, number 222. Obstet Gynecol;2020:135(6).p. 135-6.
2. Ezeigwe CO, Okafor CI, Eleje GU, Udigwe GO, Anyiam DC. Placental
peripartum pathologies in women with preeclampsia and eclampsia.
Obstetrics and gyn intl.2018.1-8.
3. Kementerian Kesehatan RI. INFODATIN Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI Situasi Balita Pendek. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI;2016.
4. BPS, BKKBN, Kemenkes, DHS Macro. Survei Demografi Dan
Kependudukan Indonesia 2012. Jakarta: BPS, BKKBN, Kemenkes, DHS
Macro;2013.
5. Ayu Andini.(2020). Angka Kematian Ibu Antar Negara ASEAN.
https://amp.lokadata.id/amp/angka-kematian-ibu-di-indonesia-masih-jauh-
dari-target.pdf-Diakses Agustus 2020.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2019. Jakarta; 2020
7. RSUP Dr. M. Djamil Padang. Rekam Medik RSUP Dr. M. Djamil Padang
Padang: RSUP Dr. M. Djamil Padang; 2015
8. Roberts JM, Escudero C. The placenta in preeclampsia. Pregnancy
Hypertension: An International Journal of Women's Cardiovascular Health.
2012 Apr 1;2(2):72-83.
9. Apicella C, Ruano CS, Méhats C, Miralles F, Vaiman D. The role of
epigenetics in placental development and the etiology of preeclampsia.
International journal of molecular sciences. 2019 Jan;20(11):2837.
10. Turco MY, Moffett A. Development of the human placenta. Development.
2019 Nov 15;146(22):dev163428.
11. Huppertz B. The critical role of abnormal trophoblast development in the
etiology of preeclampsia. Current pharmaceutical biotechnology. 2018 Sep
1;19(10):771-80
12. Pijnenborg R, Vercruysse LA. AAW Hubrecht and the naming of the
trophoblast. Placenta. 2013 Apr 1;34(4):314-9.
13. Velicky P, Meinhardt G, Plessl K, Vondra S, Weiss T, Haslinger P, et al.
Genome amplification and cellular senescence are hallmarks of human
placenta development. PLoS genet. 2018;14(10)
14. Graham W, Woodd S, Byass P, Filippi V, Gon G, Virgo S, et al. Diversity
and divergence: the dynamic burden of poor maternal health. The Lancet.
2016;1(6).
15. Collins SL, Birks JS, Stevenson GN, Papageorghiou AT, Noble JA, Impey L.
Measurement of spiral artery jets: general principles and differences observed
in small‐for‐gestational‐age pregnancies. Ultrasound Obstet Gynecol.
2012;40:171-178.
16. Burton GJ, Redman CW, Roberts JM, Moffett A. Pre-eclampsia:
pathophysiology and clinical implications. The BMJ. 2019;366:12381
17. O'Gorman N, Wright D, Poon LC, Rolnik DL, Syngelaki A, de ALVARADO
M, et al. Multicenter screening for pre‐eclampsia by maternal factors and
biomarkers at 11–13 weeks' gestation: comparison with NICE guidelines and
ACOG recommendations. Ultrasound Obstet Gynecol. 2017;49:756-60
18. Gaccioli F, Aye IL, Sovio U, Charnock-Jones DS, Smith GC. Screening for
fetal growth restriction using fetal biometry combined with maternal
biomarkers. American journal of obstetrics and gynecology.
2018;218(2):S725-37.
19. Jauniaux E, Moffett A, Burton GJ. Placental implantation disorders.
Obstetrics and Gynecology Clinics. 2020 Mar 1;47(1):117-32.
20. Arief H, Widodo MA. Peranan Stres Oksidatif Pada Proses Penyembuhan
Luka Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 2019; 5(2) : 22-29.
21. Rush JWE, Denniss SG, Graham DA. 2015. Vascular Nitric Oxide and
Oxidative Stress: Determinants of Endothelial Adaptations to Cardiovascular
Disease and to Physical Activity. Can J Appl Physiol 30(4): 442-74.
22. Halliwell B, Gutteridge JMC. editors. Free radicals in biology and medicine.
New York: Oxford University Press;2015.
23. Paravicini TM, Touyz RM. NADPH oxidase, reactive oxygen species, and
hypertention. Journal Diabetes Care. 2018;31(2): 170-80.
24. Oever IAMVD, Raterman HG, Nurmohamed MT, Simsek S. Endothelial
Dysfunction, Inflammation, and Apoptosis in Diabetes Mellitus. Hindawi
Publishing Corporation Mediators of Inflammation. 2010;20(10): 1-15.
25. Sen S, Chakraborty R, Sridhar C, Reddy YSR, De B. Free radicals,
antioxidants, disease and phytomedicines: current status and future prospect.
International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research.
2010;3(6):91-100.
26. Werdhasai A. Peran Antioksidan bagi Kesehatan. Jurnal biotek medisiana
Indonesia. 2014;3(2):59-68.
27. Putri MP, Ariadi, Yusrawati. Correlation of ferritine and brain derived
neurotrophic factor (BDNF) levels in preeclampsia. Andalas obstetrics and
gynecology journal. 2021 Jun 22;5(2):161.
28. Brown MA, Magee LA, Kenny LC, Karumanchi SA, McCarthy FP, Saito S,
et al. Hypertensive disorders of pregnancy: ISSHP classification, diagnosis,
and management recommendations for international practice. Hypertension.
2018 Jun;72(1):24-43.
29. Staff AC. The two-stage placental model of preeclampsia: an update. Journal
of reproductive immunology. 2019 Sep 1;134-135:1-10.
30. Phipps EA, Thadhani R, Benzing T, Karumanchi SA. Pre-eclampsia:
pathogenesis, novel diagnostics and therapies. Nat Rev Nephrol.
2019;15:275-89.
31. Lisonkova S, Joseph KS. Incidence of preeclampsia: risk factors and
outcomes associated with early-versus late-onset disease. American journal of
obstetrics and gynecology. 2013 Dec 1;209(6):544-e1.
32. Falco ML, Sivanathan J, Laoreti A, Thilaganathan B, Khalil A. Placental
histopathology associated with pre‐eclampsia: systematic review and meta‐
analysis. Ultrasound in Obstetrics & Gynecology. 2017 Sep;50(3):295-301.
33. Amaral LM, Wallace K, Owens M, LaMarca B. Pathophysiology and current
clinical managment of preeclampsia. Current hypertension reports. 2017
Aug;19(8):1-6.
34. Gyselaers W. Preeclampsia is a syndrome with a cascade of pathophysiologic
events. Journal of Clinical Medicine. 2020 Jul;9(7):2245.
35. Tannetta DS, Hunt K, Jones CI, Davidson N, Coxon CH, Ferguson D, et al.
Syncytiotrophoblast extracellular vesicles from pre-eclampsia placentas
differentially affect platelet function. PloS one. 2015;10(11):e0142538.
36. Robertson SA, Care AS, Moldenhauer LM. Regulatory T cells in embryo
implantation and the immune response to pregnancy. J Clin Invest.
2018;128(10):4224-35.
37. Tsuda S, Zhang X, Hamana H, Shima T, Ushijima A, Tsuda K, et al. Clonally
expanded decidual effector regulatory T cells increase in late gestation of
normal pregnancy, but not in preeclampsia, in humans. Frontiers in
immunology. 2018;9:1934.

Anda mungkin juga menyukai