Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PSIKOLOGI ABNORMAL

“ANXIETY DISORDER, OCD & TRAUMA RELATED DISORDER”

Kelompok 4 Kelas A:

Viony Yorike (1910301026)


Farah Salsabil Nabilah (1910322021)
Muhammad Agung Ashar (1910323031)
Tahta Mega Aryan (1910323009)
Puti Bidara Suri (1910323003)

Dosen Pembimbing :

Dwi Puspasari, M. Psi. Psikolog

Amatul Firdausa Nasa, M. Psi. Psikolog

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik, dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam
tak lupa kita hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita ke
zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Makalah ini ditulis sebagai tugas mata
kuliah Psikologi Abnormal Program Studi Psikologi di Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai sumber, seperti buku dan sumber lainnya sehingga dapat memperlancar
dalam pembuatan makalah ini. Kami berharap makalah ini bermanfaat dan mampu
menambah pengetahuan bagi para pembaca. Kami sadar dalam penulisan makalah ini
masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami berharap kepada
pembaca agar dapat memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Padang, 19 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................3
1.3 Tujuan......................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................4
2.1 Anxiety Disorder......................................................................................................4
2.2 Obsessive Compulsive Disorder (OCD) & Trauma-Related Disorders................14
2.3 Posttraumatic Stress Disorder & Acute Stress Disorder......................................19
BAB III PENUTUP....................................................................................................23
3.1 Kesimpulan............................................................................................................23
3.2 Saran......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap hari manusia dihadapkan pada berbagai situasi atau kejadian yang
dapat memicu munculnya kecemasan. Misalnya ujian mendadak, presentasi tugas,
terlambat masuk kelas, deadline pekerjaan, dan sebagainya. Sebenarnya kecemasan
adalah reaksi yang wajar yang dapat dialami oleh siapapun, sebagai respon terhadap
situasi yang dianggap mengancam atau membahayakan. Namun jika kecemasan
tersEbut berlebihan dan serta tidak sesuai dengan proporsi ancamannya, maka dapat
mengarah ke gangguan yang akan menghambat fungsi seseorang dalam
kehidupannya. Pada kadar yang rendah, kecemasan membantu individu untuk
bersiaga mengambil langkah-langkah mencegah bahaya dan atau untuk memperkecil
dampak bahaya tersebut. Kecemasan sampai pada taraf tertentu dapat mendorong
meningkatnya performa dan produktifitas. Misalnya cemas mendapat nilai yang
buruk, membuat seorang siswa belajar keras dan mempersiapkan diri menghadapi
ujian. Namun apabila kecemasan sangat tinggi, justru akan sangat mengganggu.
Misalnya kecemasan berlebihan saat akan ujian, justru akan membuat blocking dan
tidak bisa menjawab pertanyaan.

Gangguan kecemasan juga sering dikaitkan dengan OCD atau Obssesive


Compulsive Disorder. Gangguan obsesif-kompulsif dan terkait didefinisikan oleh
pikiran dan perilaku berulang yang sangat ekstrem sehingga mengganggu kehidupan
sehari-hari. Gangguan terkait trauma termasuk gangguan stres pasca trauma dan
gangguan stres akut, dimana dua kondisi yang dipicu oleh paparan peristiwa
traumatis yang parah. Gangguan obsesif-kompulsif dan gangguan terkait trauma
tercantum dalam bab gangguan kecemasan di DSM-IV-TR. Orang dengan gangguan
ini melaporkan merasa cemas, dan mereka sering mengalami gangguan kecemasan
lainnya juga (Brakoulias, Starcevic, Sammut, et al., 2011). Banyak faktor risiko untuk
gangguan kecemasan lainnya berkontribusi pada gangguan ini, dan pendekatan

1
pengobatannya juga tumpang tindih. Meskipun demikian, gangguan ini juga memiliki
beberapa penyebab yang berbeda dibandingkan dengan gangguan kecemasan lainnya.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka makalah ini memberikan informasi


penting untuk memahami batasan-batasan yang jelas kapan kecemasan yang dialami
dikatakan sebagai sebuah gangguan, apa saja simptom atau gejala yang dimunculkan,
apa saja jenisnya, serta upaya penanganan apa yang dapat diberikan untuk mengatasi
gangguan kecemasan. Selain itu, makalah ini juga memberikan informasi terkait
definisi OCD dan trauma related disorder, jenis gangguan dan simtomnya, etiologi
gangguan, dan penanganan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut
1. Apa yang dimaksud dengan anxiety disorder, jenis gangguan dan simtomnya,
etiologi gangguan, dan penanganan anxiety disorder?
2. Apa yang dimaksud dengan OCD, jenis gangguan dan simtomnya, etiologi
gangguan, dan penanganan OCD?
3. Apa yang dimaksud dengan Trauma Related Disorder, jenis gangguan dan
simtomnya, etiologi gangguan, dan penanganan Trauma Related Disorder?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1. Memaparkan dan membahas tentang definisi anxiety disorder, jenis gangguan
dan simtomnya, etiologi gangguan, dan penanganan anxiety disorder.
2. Memaparkan dan membahas tentang definisi OCD, jenis gangguan dan
simtomnya, etiologi gangguan, dan penanganan OCD
3. Memaparkan dan membahas tentang definisi Trauma Related Disorder, jenis
gangguan dan simtomnya, etiologi gangguan, dan penanganan Trauma Related
Disorder.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anxiety Disorder


2.1.1 Clinical Descriptions of the Anxiety Disorders
Kriteria anxiety dalam diagnosis DSM-5 :
a. Gejala telah mengganggu area fungsi penting atau menyebabkan
gangguan yang nyata.
b. Gejala tidak disebabkan oleh obat atau kondisi medis.
c. Ketakutan dan kecemasan berbeda dari gejala gangguan kecemasan
lainnya.
Namun, setiap gangguan didefinisikan oleh serangkaian gejala yang berbeda
terkait dengan kecemasan atau ketakutan yaitu sebagai berikut.

1. Specific Phobias
Specific Phobias adalah ketakutan yang tidak proporsional yang
disebabkan oleh objek atau situasi tertentu, seperti takut terbang, takut ular,
dan takut ketinggian. Orang tersebut menyadari bahwa ketakutannya
berlebihan tetapi masih berusaha keras untuk menghindari objek atau situasi
yang ditakuti. Kriteria DSM-5 yang diusulkan untuk Fobia Spesifik adalah
sebagai berikut.
a) Ketakutan yang ditandai dan tidak proporsional secara konsisten dipicu
oleh objek atau situasi tertentu .
b) Objek atau situasi dihindari atau dialami dengan kecemasan yang intens
c) Gejala menetap selama minimal 6 bulan.

2. Social anxiety Disorder


Gangguan kecemasan sosial adalah ketakutan yang terus-menerus dan
tidak realistis terhadap situasi sosial yang mungkin melibatkan perhatian, atau

3
bahkan hanya terpapar orang yang tidak dikenal. Kriteria DSM-5 yang
Diusulkan untuk social anxiety disorder.
a) Ketakutan yang ditandai dan tidak proporsional secara konsisten dipicu
oleh paparan pengawasan sosial yang potensial
b) Paparan pemicu menyebabkan kecemasan yang intens tentang dievaluasi
secara negatif
c) Situasi pemicu dihindari atau dialami dengan kecemasan yang intens
d) Gejala bertahan setidaknya selama 6 bulan.

3. Panic Disorder
Gangguan panik dicirikan oleh serangan panik yang sering terjadi yang
tidak berhubungan. Serangan panik adalah serangan tiba-tiba dari ketakutan
yang intens, teror, dan perasaan malapetaka yang akan datang, disertai dengan
setidaknya empat gejala lainnya. Gejala fisik yang mencakup sesak napas,
jantung berdebar-debar, mual, sakit perut, nyeri dada, perasaan tercekik dan
tercekik, pusing, kepala terasa ringan, berkeringat, kedinginan, sensasi panas,
dan gemetar. Gejala lain yang mungkin terjadi selama serangan panik
termasuk: depersonalisasi (perasaan berada di luar tubuh seseorang);
derealisasi (perasaan dunia tidak nyata); dan ketakutan kehilangan kendali,
menjadi gila, atau bahkan mati. Menurut kriteria DSM, untuk diagnosis
gangguan panik, seseorang harus mengalami serangan panik berulang.
Mereka juga harus khawatir tentang serangan atau mengubah perilaku mereka
karena serangan setidaknya selama 1 bulan.

4. Agoraphobia
Agorafobia (dari bahasa Yunani agora yang berarti “pasar”)
didefinisikan oleh kecemasan tentang situasi di mana akan memalukan atau
sulit untuk melarikan diri jika gejala kecemasan terjadi. Situasi yang biasanya
ditakuti termasuk keramaian dan tempat ramai seperti toko kelontong, mal,
dan gereja. Kriteria DSM-5 yang diusulkan untuk Agorafobia adalah.

4
a) Ketakutan atau kecemasan yang tidak proporsional dan nyata tentang
setidaknya 2 situasi di mana akan sulit untuk melarikan diri atau
menerima bantuan jika terjadi ketidakmampuan atau gejala seperti panik,
seperti berada di luar rumah sendirian; bepergian dengan transportasi
umum; berada di ruang terbuka seperti tempat parkir dan pasar; berada di
toko, teater, atau bioskop; atau berdiri dalam antrean atau berada di
keramaian.
b) Situasi ini secara konsisten memicu ketakutan atau kecemasan
c) Situasi-situasi ini dihindari, membutuhkan kehadiran seorang
pendamping, atau dihadapi dengan ketakutan atau kecemasan yang intens
d) Gejala berlangsung setidaknya 6 bulan

5. Generalized Anxiety Disorder


Fitur utama dari generalized anxiety disorder (GAD) adalah penderita
GAD terus-menerus khawatir, seringkali tentang hal-hal kecil. Kriteria DSM-
5 yang diusulkan mensyaratkan bahwa gejala harus ada setidaknya selama 3
bulan untuk memenuhi syarat untuk diagnosis GAD yaitu.
a) Kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan setidaknya 50 persen hari
tentang setidaknya dua domain kehidupan (misalnya, keluarga, kesehatan,
keuangan, pekerjaan, dan sekolah)
b) Kekhawatiran bertahan setidaknya selama 3 bulan
c) Kecemasan dan kekhawatiran terkait dengan setidaknya tiga hal berikut:
d) Kegelisahan atau perasaan tegang atau gelisah
e) Mudah lelah
f) Kesulitan berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
g) Sifat lekas marah
h) Ketegangan otot
i) Gangguan tidur
j) Kecemasan dan kekhawatiran dikaitkan dengan penghindaran yang nyata
dari situasi di mana hasil negatif dapat terjadi, waktu dan upaya yang

5
nyata untuk mempersiapkan situasi yang mungkin memiliki hasil negatif,
penundaan yang nyata, kesulitan membuat keputusan karena
kekhawatiran, atau berulang kali mencari kepastian karena kekhawatiran.

6. Comorbidity in Anxiety Disorders


Komorbiditas dalam gangguan kecemasan muncul karena dua alasan
utama:
a) Gejala yang digunakan untuk mendiagnosis berbagai gangguan
kecemasan tumpang tindih; misalnya, kecemasan sosial dan agorafobia
mungkin melibatkan rasa takut akan keramaian.
b) Beberapa faktor etiologi, seperti karakteristik neurobiologis atau
kepribadian tertentu, dapat meningkatkan risiko lebih dari satu gangguan
kecemasan.

2.1.2 Etiology of Specific Anxiety Disorders


1. Etiology of Specific Phobias
Model fobia yang dominan adalah model dua faktor pengkondisian
perilaku, Fobia spesifik diyakini mencerminkan pengkondisian dalam
menanggapi peristiwa traumatis. Teori perilaku menunjukkan bahwa fobia
bisa dikondisikan oleh trauma langsung, pemodelan, atau instruksi verbal.
Banyak orang melaporkan bahwa mereka mengalami pengalaman
pengkondisian traumatis sebelum mengembangkan fobia spesifik, tetapi
banyak orang tidak, mungkin karena pengalaman pengkondisian telah
dilupakan. Pembelajaran yang dipersiapkan mengacu pada fakta bahwa orang
cenderung mempertahankan respons terkondisi terhadap rangsangan
ketakutan yang memiliki beberapa signifikansi evolusioner.

6
2. Etiology of Social Anxiety Disorder
Pada bagian ini, faktor perilaku dan kognitif yang terkait dengan
gangguan kecemasan sosial.

a. Faktor perilaku
Penyebab gangguan kecemasan sosial serupa dengan fobia spesifik, sejauh
didasarkan pada model pengkondisian dua faktor. Artinya, seseorang dapat
memiliki pengalaman sosial yang negatif (secara langsung, melalui
pemodelan, atau melalui instruksi verbal) dan secara klasik dikondisikan
untuk takut pada situasi serupa, yang kemudian dihindari oleh orang tersebut.
Melalui pengkondisian operan, perilaku penghindaran ini dipertahankan
karena mengurangi rasa takut yang dialami orang tersebut. Ada sedikit
kesempatan untuk menghilangkan ketakutan yang terkondisi karena orang
tersebut cenderung menghindari situasi sosial. Bahkan ketika orang tersebut
berinteraksi dengan orang lain, dia mungkin menunjukkan perilaku
menghindar dengan cara yang lebih kecil yang telah diberi label sebagai
perilaku keselamatan. Contoh perilaku aman dalam gangguan kecemasan
sosial termasuk menghindari kontak mata, melepaskan diri dari percakapan,
dan berdiri terpisah dari orang lain. Meskipun perilaku ini digunakan untuk
menghindari umpan balik negatif, mereka menciptakan masalah lain.

b. Faktor Kognitif
Faktor kognitif yang terlibat dalam gangguan kecemasan sosial termasuk
evaluasi kritis terhadap kinerja sosial dan kecenderungan untuk fokus pada
pikiran dan sensasi internal. Pertama, orang dengan gangguan kecemasan
sosial tampaknya memiliki keyakinan negatif yang tidak realistis tentang
konsekuensi dari perilaku sosial mereka. Kedua, mereka lebih memperhatikan
apa yang mereka lakukan dalam situasi sosial dan sensasi internal mereka
sendiri daripada yang dilakukan orang lain. Mereka sering membentuk
gambaran visual negatif yang kuat tentang bagaimana orang lain akan
bereaksi terhadap mereka

7
3. Etiology of Panic Disorder
Etiologi gangguan panik terdiri dari perspektif neurobiologis, perilaku,
dan kognitif.

a. Penelitian neurobiologis menunjukkan bahwa serangan panik terkait


dengan aktivitas tinggi di lokus seruleus. Lokus seruleus adalah
sumber utama neurotransmitter norepinefrin di otak, dan
norepinefrin memainkan peran utama dalam memicu aktivitas
sistem saraf simpatik.

b. Perspektif perilaku pada etiologi gangguan panik berfokus pada


pengkondisian klasik. Model ini menggambarkan pola yang menarik
yang mana serangan panik sering dipicu oleh rangsangan internal
tubuh (Kenardy & Taylor, 1999). Model perilaku menekankan
bahwa orang bisa mengalami serangan panik dalam menanggapi
situasi eksternal atau tanda-tanda somatik internal dari gairah.
Pengkondisian tanda-tanda somatik disebut pengkondisian
interoseptif. Seseorang mengalami tanda-tanda kecemasan somatik,
yang diikuti oleh serangan panik pertama orang tersebut. Kemudian,
serangan panik menjadi respons yang dikondisikan terhadap
perubahan somatik.

c. Perspektif kognitif fokus pada salah tafsir bencana gejala somatik.


Misalnya, orang tersebut dapat menafsirkan sensasi peningkatan
denyut jantung sebagai tanda serangan jantung yang akan datang.
Pikiran seperti itu akan meningkatkan kecemasan seseorang, yang
menghasilkan lebih banyak sensasi fisik dan menciptakan lingkaran
setan.

8
4. Etiology of Agoraphobia
Model kognitif agorafobia berfokus pada "the fear of fear hypothesis",
atau keyakinan yang terlalu negatif tentang apa yang akan terjadi jika
seseorang mengalami kecemasan.

5. Etiology of Generalized Anxiety Disorder


Gangguan kecemasan umum (GAD) telah dikaitkan dengan defisit dalam
sistem GABA. Satu model kognitif menekankan bahwa kekhawatiran
sebenarnya dapat melindungi orang dari gambaran emosional yang sangat
mengganggu. Orang dengan GAD juga tampaknya tidak toleran terhadap
ambiguitas.

2.1.3 Treatment of the Anxiety Disorder

1. Commonalities Across Psychological Treatment


Perawatan psikologis yang efektif untuk gangguan kecemasan memiliki
fokus yang sama: eksposur yaitu, orang tersebut harus menghadapi apa yang
dia anggap terlalu menakutkan untuk dihadapi. Desensitisasi sistematis adalah
pengobatan paparan pertama yang digunakan secara luas. Dalam perawatan
ini, klien terlebih dahulu diajarkan keterampilan relaksasi. Kemudian klien
menggunakan keterampilan ini untuk bersantai saat menjalani paparan daftar
situasi yang ditakuti dikembangkan dengan terapis mulai dari yang paling
tidak ditakuti dan bekerja sampai yang paling ditakuti.

Pengobatan exposure adalah pengobatan psikologis yang paling


divalidasi dengan baik untuk gangguan kecemasan. Menurut pandangan ini,
eksposur membantu orang mengoreksi keyakinan keliru mereka bahwa
mereka tidak mampu mengatasi stimulus. Dalam pandangan ini, paparan
mengurangi gejala dengan memungkinkan orang untuk menyadari bahwa,
bertentangan dengan keyakinan mereka, mereka dapat mentolerir situasi
permusuhan tanpa kehilangan kendali.

9
Perawatan kognitif melengkapi paparan dengan intervensi untuk
menantang keyakinan negatif tentang apa yang akan terjadi ketika seseorang
menghadapi ketakutannya. Pendekatan kognitif untuk pengobatan gangguan
kecemasan biasanya berfokus pada tantangan (1) keyakinan seseorang tentang
kemungkinan hasil negatif jika dia menghadapi objek atau situasi yang
memicu kecemasan, dan (2) harapan bahwa dia tidak akan mampu.
menghadapi. Perawatan kognitif biasanya kemudian melibatkan paparan,
untuk membantu orang belajar bahwa mereka dapat mengatasi situasi ini.

2. Psychological treatment of Specific anxiety Disorder


a. Perawatan Psikologis Fobia
Banyak jenis perawatan paparan yang berbeda telah dikembangkan untuk
fobia. Perawatan exposure sering kali mencakup: in vivo(kehidupan nyata),
dan paparan terhadap objek yang ditakuti. Untuk fobia yang melibatkan rasa
takut pada hewan, suntikan, atau perawatan gigi, perawatan yang sangat
singkat yang hanya berlangsung beberapa jam terbukti sangat efektif
kebanyakan orang mengalami kelegaan dari gejala fobia.

b. Perawatan Psikologis Gangguan Kecemasan Sosial


Perawatan exposure juga tampaknya merupakan pengobatan yang efektif
untuk gangguan kecemasan sosial. Perawatan seperti itu sering dimulai
dengan bermain peran atau berlatih dengan terapis atau dalam kelompok
terapi kecil sebelummenjalani paparan dalam situasi sosial yang lebih umum.
Menambahkan komponen kognitif ke perawatan paparan juga dapat
membantu untuk gangguan kecemasan sosial. Terapis membantu orang
belajar untuk tidak memusatkan perhatian mereka secara internal. Terapis
juga membantu mereka memerangi citra negatif mereka tentang bagaimana
orang lain akan bereaksi terhadap mereka.

10
c. Perawatan Psikologis Gangguan Panik
Seperti perawatan perilaku untuk fobia yang telah dibahas, perawatan
perilaku kognitif untuk gangguan panik fokus pada paparan (White & Barlow,
2004). Satu pendekatan perawatan perilaku kognitif yang divalidasi dengan
baik disebut Panic Control Therapy (PCT) didasarkan pada kecenderungan
orang dengan gangguan panik untuk bereaksi berlebihan terhadap sensasi
tubuh. Dalam PCT, terapis menggunakan teknik pemaparan yaitu, membujuk
klien untuk secara sengaja memunculkan sensasi yang terkait dengan
kepanikan. Misalnya, seseorang yang serangan paniknya dimulai dengan
hiperventilasi diminta untuk bernapas dengan cepat selama 3 menit, atau
seseorang yang serangan paniknya terkait dengan pusing mungkin diminta
untuk berputar di kursi selama beberapa menit. Ketika sensasi seperti pusing,
mulut kering, kepala terasa ringan, detak jantung meningkat, dan tanda-tanda
panik lainnya dimulai, orang tersebut mengalaminya dalam kondisi aman;
sebagai tambahan, orang tersebut mempraktikkan taktik koping untuk
mengatasi gejala somatik (misalnya, bernapas dari diafragma untuk
menghindari hiperventilasi). Dengan latihan dan dorongan dari terapis, orang
tersebut belajar untuk berhenti melihat sensasi internal sebagai sinyal
kehilangan kendali dan melihatnya sebagai sensasi intrinsik yang tidak
berbahaya yang dapat dikendalikan. Kemampuan seseorang untuk
menciptakan sensasi fisik ini dan kemudian mengatasinya membuatnya
tampak lebih dapat diprediksi dan tidak terlalu menakutkan.

Dalam versi lain dari pengobatan kognitif untuk gangguan panik, terapis
membantu orang tersebut mengidentifikasi dan menantang pikiran yang
membuat sensasi fisik mengancam . Misalnya, jika seseorang dengan
gangguan panik membayangkan bahwa dia akan pingsan, terapis mungkin
membantu orang tersebut memeriksa bukti untuk keyakinan ini dan
mengembangkan gambaran yang berbeda tentang konsekuensi dari serangan
panik. Perawatan ini telah terbukti bekerja dengan baik dalam setidaknya

11
tujuh studi penelitian, dengan bukti spesifik bahwa bentuk perawatan ini lebih
membantu daripada perawatan paparan murni dan hanya sedikit orang yang
putus pengobatan (Clark et al., 1999).

d. Perawatan Psikologis Agorafobia


Perawatan perilaku kognitif agorafobia juga fokus pada paparan,
khususnya pada paparan sistematis terhadap situasi yang ditakuti. Pengobatan
untuk agorafobia dapat ditingkatkan dengan mengikutsertakan pasangan
dalam proses pengobatan.

e. Perawatan Psikologis GAD


Relaksasi dan pendekatan perilaku kognitif sangat membantu untuk
GAD. Teknik relaksasi dapat melibatkan relaksasi kelompok otot satu per satu
atau menghasilkan gambaran mental yang menenangkan. Dengan latihan,
klien biasanya belajar untuk rileks dengan cepat. Perawatan relaksasi
membantu seseorang mentolerir ketidakpastian dan menghadapi ketakutan
inti, dan strategi khusus untuk memerangi kecenderungan untuk khawatir.

3. Medication That Reduce Anxiety


Dua jenis obat yang paling umum digunakan untuk pengobatan
gangguan kecemasan: benzodiazepin(misalnya, Valium dan Xanax) dan
antidepresan, termasuk antidepresan trisiklik, selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRI), dan kelas agen yang lebih baru yang disebut serotonin-
norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI). Ada kelebihan dan kekurangan
masing-masing golongan obat. SSRI saat ini merupakan obat yang
diindikasikan untuk gangguan panik berdasarkan semua bukti yang tersedia,
meskipun disfungsi seksual tampaknya terjadi pada 75% atau lebih orang
yang memakai obat ini (Lecrubier, Bakker, et al., 1997; Lecrubier, Judge, et
al., 1997). Di sisi lain, benzodiazepin potensi tinggi seperti alprazolam
(Xanax), yang biasa digunakan untuk gangguan panik, bekerja dengan cepat
tetapi sulit untuk dihentikan karena ketergantungan dan kecanduan psikologis

12
dan fisik. Oleh karena itu, mereka tidak direkomendasikan sekuat SSRI.
Namun demikian, benzodiazepin tetap menjadi kelas obat yang paling banyak
digunakan dalam praktik (Bruce et al., 2003). Juga, semua benzodiazepin
mempengaruhi fungsi kognitif dan motorik sampai tingkat tertentu.

2.2 Obsessive Compulsive Disorder (OCD) & Trauma-Related Disorders

2.2.1 Clinical Descriptions and Epidemiology of the Obsessive-Compulsive and


Related Disorders

1. Definisi Obsessive Compulsive Disorder (OCD)


Tiap individu pernah memiliki pemikiran yang tidak diinginkan atau
dorongan untuk berperilaki dengan cara yang memalukan. Namun, pikiran
dan dorongan tersebut tidak terjadi terus menerus dan masih dapat untuk
dikontrol. Gangguan obsesif-kompulsif ditandai dengan adanya obsesi atau
kompulsi. Obsesi adalah pikiran, gambaran, atau impuls yang mengganggu,
berulang menetap dan tidak terkendali dan biasanya tampak tidak rasional
pada orang yang mengalaminya (Davison & Neale, 2012). Obsesi ini
memiliki frekuensi dan kekekuatan sedemikian rupa sehingga mengganggu
aktivitas normal. Contoh obsesi seperti ketakutan terkontaminasi, impuls
seksual atau agresif, masalah tubuh, agama, simetri atau ketertiban (Bloch,
Landeros-Weisenberger, Sen, dkk., 2008). Sedangkan kompulsi adalah
perilaku atau tindakan mental yang berulang dan berlebihan yang dirasakan
orang tersebut terdorong untuk melakukan untuk mengurangi kecemasan yang
disebabkan oleh pikiran obsesif atau untuk mencegah terjadinya bencana
(Davison & Neale, 2012). Contoh dari kompulsi seperti seseorang yang harus
memegang tiang jalanan dengan akurat dan apabila ia melewati salah satunya,
ia akan mengulang kembali dan merasa apabila hal tersebut tidak dilakukan
akan datang bencana atau hal mengerikan padanya. Kompulsi umumnya
meliputi, kebersihan, ketertiban dengan ritual yang rumit, tindakan

13
perlindungan yang berulang seperti menghitung atau menyentuh tubuh, atau
pemeriksaan berulang untuk memastika tindakan yang telah dilakukan
(Davison & Neale, 2012).

2. Definisi Body Dysmorphic Disorder (BDD)


Gangguan dismorfik adalah seseorang yang disibukkan dengan
kekurangan yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam penampilan
mereka. Meskipun orang dengan BDD ini pada dasarnya adalah orang yang
menarik mereka tetap menganggap diri mereka jelek atau memiliki
penampilan mengerikan (Davison & Neale, 2012). Perilaku kompulsif yang
muncul pada individu dengan BDD adalah memeriksa penampilan di cermin,
membandingkan penampilan dengan orang lain, meminta kepastian terkait
penampilan kepada orang lain dan merubah penampilan untuk menghilangkan
bagian tubuh yang tidak disukai (Phillips, Wilhelm, et al., 2010). Sekitar
sepertiga pasien dengan BDD menggambarkan delusi tentang penampilan
mereka, seperti bahwa orang lain menertawakan mereka atau menatap
kekurangan mereka (Phillips, 2006). Individu dengan BDD mengalami rasa
malu, kecemasan, depresi dengan penampilan mereka. Kesibukan dengan
penampilan ini mengganggu aspek pekerjaan dan fungsi sosial. Individu
cenderung menghindari kontak dengan orang lain sebagai upaya menghindari
evaluasi penampilan dari orang lain dan lebih banyak menghabiskan waktu di
dalam rumah saja. Sekitar 40% orang dengan gangguan dismorfik ini tidak
dapat bekerja (Didie, Menard, Stern, dkk., 2008). Hampir semua orang
dengan BDD memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan lain seperti
gangguan depresi mayor, gangguan sosial, gangguan kecemasan, gangguan
obsesif-kompulsif, gangguan penggunaan zat dan gangguan kepribadian.
(Gustad, 2003).

3. Definisi Hoarding Disorder


Hoarding disorder adalah gangguan berupa indivdu tidak suka dan tidak
dapat berpisah dengan objek yang mungkin tidak memiliki nilai potensial lagi.

14
Orang dengan hoarding disorder sangat terikat dengan harta benda mereka
dan menahan upaya untuk menyingkar benda tersebut. Selain objek berupa
benda, penimbunan atau keteikatan ini juga dapat terjadi dengan melibatkan
makhluk hidup yakni hewan (Patronek & Nathanson, 2009). Mereka menilai
dirinya sebagai penyelamat hewan namun ewan yang dikumpulkan oleh orang
dengan hoarding disorder ini dalam jumlah banyak yang melebihi
kemampuan untuk menyediakan perawatan, tempat tinggal dan makanan yang
memadai. Terdapat konsekuensi buruk dari perilaku penimbunan seperti
rumah yang sangat kotor, bau tidak sedap, kondisi kesehatan yang memburuk
dan kondisi sosial. Kondisi pernapasan, buruk kebersihan, dan kesulitan
memasak semuanya dapat menyebabkan kesehatan fisik yang buruk (Davison
& Neale, 2012).

2.2.2 Etiologi of the Obsessive Compulsive and Related Disorders


1. Etiologi Obsessive Compulsive Disorder
Terdapat peran dari kontribusi genetik, kognitif, dan perilaku dalam
pengembangan OCD. Perkiraan 30% – 50% kontribusi genetik dalam
pengembangan OCD (Taylor et al, 2010). Salah satu teori menyatakan bahwa
orang dengan OCD menderita defisit Yedasensience yakni mereka gagal
untuk mendapatkan rasa penyelesaian internal, kesulitan untuk menghentikan
pikitan dan perilakunya. Menurut model perilaku kognitif, individu dengan
OCD melakukan kompulsi untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan dan
berusaha lebih keras menekan obsesi yang dimiliki. Orang dengan OCD
percaya bahwa memikirkan sesuatu dapat membuat lebih mungkin terjadi dan
memiliki perasaan tanggung jawab yang mendalam atas apa yang terjadi
sehingga mereka berupaya menekan pikiran (Davison & Neale, 2012).

2. Etiologi Body Dysmorphic Disorder


Orang dengan BDD melihat dan memproses ciri-ciri fisik secara akurat
dan lebih terbiasa dengan fitur penting seperti daya Tarik dan simetri wajah

15
(Lambrou, Veale, & Wilson, 2011). Individu dengan BDD lebih focus pada
detail daripada keseluruhan. Mereka memeriksa satu fitur pada satu waktu dan
lebih sibuk untuk mempertimbangkan kekurangan kecil yang dimiliki. Daya
Tarik menjadi hal yang penting Menurut mereka harga diri terletak secara
eksklusif tergantung pada penampilan yang dimilikinya (Veale, 2004). Hal
tersebut membuat individu dengan dapat menghindari situasi tertentu yang
berkaitan dengan penilaian penampilan maupun menghabiskan banyak uang
dan waktu pada penampilan dan amengabaikan fokus pada rangsangan yang
lebih positif (Davison & Neale, 2012).

3. Etiologi Hoarding Disorder


Terdapat naluri dasar yang tidak dapat terkendali bagi sebagian orang
termasuk pada individu Horder Disorder. Menurut model perilaku kognitif,
penimbunan terkait dengan kemampuan organisasi yang buruk, keyakinan
atas kepemilikan dan perilaku penghindaran (Steketee & Frost, 2003).
Kemampuan organisasi yang buruk menunjukkan adanya kesulitan dengan
perhatian dan sulit untuk mengkategorikan objek. Individu dengan Horder
Disorder lamban untuk mengurutkan objek dan memicu kecemasan. Ketika
diminta untuk memutuskan objek mana yang lebih baik untuk diperoleh atau
dipertahankan, mereka akan memilih dua, tiga atau lebih objek yang sama.
Individu menunjukkan keterikatan emosional yang ekstrim, perasaan nyaman,
takut kehilangan dengan harta benda yang dimilikinya (Davison & Neale,
2012). Objek dilihat sebagai inti rasa diri maupun identitas sehingga mereka
cenderung membenci ketika orang lain menyentuh, meminjam atau
memindahkan. Keterikatan dengan objek ini lebih kuat pada hewan.
Penimbun hewan menilai bahwa hewan mereka sebagai orang terdekat yang
dapat dipercaya (Patronek & Nathanson, 2009).

16
2.2.3 Treatment of the Obsessive Compulsive & Related Disorders
1. Obat
Obat yang umum digunakan pada gangguan obsesif-kompulsif dan
gangguan terkait adalah Serotonin reuptake inhibitor (SRI) (Davison & Neale,
2012). Jenis SRI yang sering diberikan untuk OCD adalah clomipramine.
Clomipramine menyebabkan pengurangan sekitar 50% dalam gejala OCD
sedangkan 50%-75% pada pengobatan individu dengan BDD. Sedangkan
pada individu horder disorder belum ada uji coba terkontrol terkait
penggunaan obat namun terdapat satu penelitian yang menunjukkan bahwa
pasien dengan gangguan horder menunjukkan respon yang sama pada
paroxetine SSRI sama hal dengan OCD (Saxena, Brody, Maidment, et al.,
2007).
2. Perawatan Psikologis
Perawatan psikologis yang paling banyak digunakan adalah Exposure
and Response Prevention (ERP) yakni perawatan perilaku kognitif yang
dipelopori oleh Victor Meyer di Inggris pada pendekatan OCD. Penderita
OCD meyakini bahwa perilaku kompulsif akan mencegah hal buruk terjadi.
Dalam komponen pencegahan respon ERP, individu mengekspos diri mereka
sendiri pada situasi yang menimbulkan tindakan kompulsif lalu menahan diri
untuk melakukan kebiasaan atau ritual kompulsif. Hal tersebut dilakukan
untuk menghadapkan individu pada kecemasan akibat stimulus dan paparan
menghasilkan penghilangan respon terkondisi (kecemasan) (Davison & Neale,
2012). ERP dinilai lebih efektif dibandingkan dengan perawatan control
dalam mengurangi obsesi dan kompulsi (RosaAlcazar, Sanchez-Meca,
Gomez-Conesa, et al., 2008). ERP dilakukan selama 90 menit dengan 15
sampai 20 sesi dalam 3 minggu. Pendekatan kognitif berfokus pada
menantang keyakinan individu tentang hal yang akan terjadi jika mereka tidak
melakukan kebiasaan atau ritual.
Pada gangguan dismorfik tubuh atau body dysmorphic disorder prinsip
ERP juga dilakukan berupa memberikan paparan aktivitas seperti klien

17
berinteraksi dengan orang yang kritis pada penampilan mereka kemudian
diminta untuk menghindari aktivitas untuk meyakinkan diri seperti bercermin
atau melihat permukaan reflektif lainnya. Perawatan perilaku kognitif ini
menunjukkan penurunan gejala dismorfik tubuh disbanding kondisi control
(Davison & Neale, 2012).
Pada gangguan penimbunan atau horder disorder, ERP dilakukan dengan
memberikan paparan berupa penyingkitan benda-benda milikinya dan
menghentikan kebiasaan mereka seperti menghitung atau memilah harta
benda tersebut. Selain itu, mereka diminta untuk mempertimbangkan alasan
untuk melakukan perubahan atau strategi motivasi. Terapis akan membantu
untuk membuat keputusan tentang objek, menyediakan alat untuk mengatur
kekacauan dan menjadwalkan sesi lanjutan. Interventi perilaku kognitif ini
diawali dengan membantu klien membuang benda-benda mereka dan
menghindari keraguan dan kecemasan saat fokus mengevaluasi harta
bendanya. Keluarga dapat membantu individu horder disorder dengan
memulai dialog dan menetapkan prioritas (Davison & Neale, 2012).

2.3 Posttraumatic Stress Disorder & Acute Stress Disorder

2.3.1 Definisi
Gangguan terkait trauma 1 Posttraumatic stress disorder atau PTSD
ditandai dengan adanya peningkatan kecemasan, penghindaran terhadap
rangsangan terkait trauma, serta gejala peningkatan arousal. Gangguan ini
didiagnosis saat seseorang telah mengalami peristiwa traumatis, dimana
kriteria dari diagnosis ini termasuk penyebab gejala yang sangat berbeda
dengan DSM lainnya. Gangguan stres akut (ASD) didefinisikan oleh gejala
yang sama, namun harus terdapat gejala disosiatif dan gejala berlangsung
kurang dari satu bulan. Diagnosis dari gangguan ini dianggap hanya dalam
konteks trauma yang serius, misalnya individu pernah atau menyaksikan

18
peristiwa yang melibatkan kematian atau ancaman kematian, cedera serius,
atau pelanggaran seksual.

2.3.2 Jenis Gangguan dan Gejala


Dalam DSM-5, gejala dari PTSD dikelompokkan menjadi empat
kategori utama:
a. Mengalami kembali peristiwa traumatis secara mengganggu
Individu dengan PTSD mungkin memiliki ingatan yang berulang atau
mimpi buruk mengenai peristiwa traumatis. Ia mungkin menunjukkan
reaksi fisiologis yang nyata terhadap ingatan peristiwa tersebut, misalnya
seperti suara helikopter yang mengingatkan seseorang terhadap situasi
pada medan perang atau kegelapan yang mengingatkan seseorang
terhadap peristiwa pemerkosaan.
b. Menghindari rangsangan yang berhubungan dengan peristiwa trauma
Beberapa individu mungkin akan mencoba untuk menghindari semua hal
yang dapat mengingatkannya terhadap peristiwa tersebut, misalnya
seorang penyintas gempa mulai berhenti tidur di dalam ruangan setelah
peristiwa traumatis yakni terkubur hidup-hidup pada malam hari.
Walaupun individu menghindari rangsangan agar tidak mengingat
peristiwa, namun strategi ini sering gagal.
c. Perubahan mood dan kognitif setelah trauma
Perubahan ini termasuk ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting
dari peristiwa, kognisi negatif secara terus-menerus, menyalahkan diri
sendiri dan orang lain terhadap peristiwa tersebut, kurangnya minat dalam
kegiatan yang signifikan, merasa terlepas dari orang lain, atau tidak
mampu untuk merasakan emosi positif.
d. Peningkatan gairah dan reaktivitas
Gejalanya termasuk pada perilaku yang mudah tersinggung atau agresif,
semberono, perilaku merusak diri sendiri, sulit untuk tidur atau tetap tidur,

19
sulit berkonsentrasi, waspada yang berlebihan, dan respons terkejut yang
berlebihan.

2.3.3 Etiologi Gangguan PTSD


Banyak faktor risiko PTSD yang tumpang tidih dengan faktor risiko
gangguan kecemasan lainnya. Selain itu, PTSD juga dikaitkan dengan model
pengkondisian dua faktor dimana gangguan ini diasumsikan muncul dari
pengkondisian klasik. Dengan kesejajaran ini, berikut dijelaskan beberapa
faktor unik yang terkait dengan PTSD.
a. Sifat Trauma: Keparahan dan Jenis Masalah Trauma
Tingkat keparahan dari peristiwa trauma yang dialami seseorang akan
mempengaruhi apakah PTSD dapat berkembang atau tidak. Di antara
orang-orang yang terpapar dengan peristiwa trauma, mereka yang terpapar
paling parah ialah yang paling mungkin mengalami PTSD. Untuk jenis
masalah trauma yang lebih mungkin menyebabkan terjadinya PTSD
adalah trauma yang disebabkan oleh manusia daripada peristiwa bencana
alam (Charuvastra, 2008, dalam Davison & Neale, 2014). Misalnya
pemerkosaan, pengalaman dalam perang, dan pelecehan.
b. Faktor Neurobiologis: Hippocampus dan Hormon
Gangguan PTSD terkait dengan aktivasi amigdala yang lebih besar dan
berkurangnya kativasi korteks prefrontal medial, dimana daerah tersebut
terlibat dalam pembelajaran dan memadamkan ketakutan. Hippocampus
berperan dalam memori, terutama memori yang berhubungan dengan
emosi. Studi menunjukkan bahwa di antara orang-orang dengan gangguan
PTSD, hippocampus mereka memiliki volume yang lebih kecil daripada
orang-orang yang tidak memiliki PTSD.

2.3.4 Penanganan (Pengobatan gangguan PTSD dan ASD)


a. Obat

20
Pendekatan pengobatan yang didukung kuat untuk gangguan PTSD adalah
inhibitor reuptake seretonergik selektif (SSRI), dimana kekambuhan
sering terjadi jika obat dihentikan.
b. Perawatan psikologis gangguan stress pascatrauma (PTSD)
Pengobatan eksposur merupakan pendekatan psikologis utama untuk
mengobati gangguan kecemasan. Di PTSD, fokus pengobatan ini adalah
pada ingatan dan pengingat trauma asli. Tujuannya adalah untuk
memadamkan respon ketakutan, khususnya respon ketakutan yang
digeneralisasikan. Saat klien belajar bahwa mereka dapat mengatasi
kecemasan mereka, respon penghindaran dapat dikurangi.
c. Perawatan psikologis untuk gangguan stres akut (ASD)
Intervensi psikologis dini untuk gangguan ASD dapat mengurangi risiko
PTSD untuk berkembang. Pendekatan perilaku jangka pendek sebanyak
lima atau enam sesi yang mencakup pengobatan eksposur dapat mencegah
berkembangnya PTSD kepada orang-orang yang telah mengembangkan
gangguan stres akut (ASD).

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kecemasan merupakan suatu sensasi aprehensif atau takut yang menyeluruh
yang bersifat normal pada berbagai kondisi, namun dapat menjadi abnormal jika
berlebihan dan tidak sesuai dengan proporsi ancamannya. Pola-pola tingkah laku
terganggu dimana kecemasan menjadi ciri yang paling menonjol diberi label
gangguan kecemasan. Ada beberapa jenis gangguan kecemasan yaitu gangguan
panik, gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif, gangguan fobia
dan stres akut serta stres pasca trauma.

OCD didefinisikan oleh pikiran dan desakan yang berulang-ulang (obsesi),


serta gangguan yang tak tertahankan. OCD sama juga seperti body dysmorphic
disorder, and hoarding disorder. Individu dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD)
memiliki pikiran yang mengganggu dan tidak diinginkan, serta merasakan tekanan
untuk melakukan ritual guna menghindari kecemasan yang berlebihan. Individu
dengan gangguan dismorfik tubuh (BDD) mengalami pikiran yang terus-menerus dan
parah bahwa mereka memiliki penampilan yang cacat. Hoarding disorder dicirikan
oleh kecenderungan untuk memperoleh objek dalam jumlah yang berlebihan dan
kesulitan yang ekstrem dalam melepaskan diri dari objek tersebut.

Gangguan stres pascatrauma (PTDS) ditandai dengan gejala mengalami


kembali trauma, gairah, dan penghindaran atau mati rasa emosional. Gangguan stres
akut (ASD) didefinisikan oleh gejala yang sama, tetapi gejala disosiatif harus ada dan
gejala berlangsung kurang dari satu bulan. Banyak faktor risiko yang terlibat dalam
gangguan kecemasan terkait dengan perkembangan PTSD, seperti kerentanan
genetik, hiperaktivitas amigdala, paparan trauma masa kanak-kanak, neurotisisme,
perhatian terhadap isyarat negatif di lingkungan, dan pengkondisian perilaku.

22
3.2 Saran

Dengan disusunnya makalah ini, maka pembaca dapat mengerti dan


memahami tentang masalah tujuan penelitian. Semoga makalah ini dapat diterima dan
dimengerti serta berguna bagi pembaca. Dalam makalah ini kami mohon maaf jika
ada tulisan kami atau bahasa kami yang kurang berkenan, dengan demikian kami
mengharapkan kritik dan saran atas tulisan kami agar bisa membangun dan
memotivasi kami agar membuat tulisan jauh lebih baik lagi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Barlow, D.H., & Durand, V.M. (2012). Abnormal psychology: An integrative


approach (6th ed.). Belmont, CA: Wadsworth/Cengage Learning.

Davinson, G.C & Neale, J.M. (2012). Abnormal Psychology Ed 12th. New York: John
Willey & Sons, Inc.

24

Anda mungkin juga menyukai