Kelompok 4 Kelas A:
Dosen Pembimbing :
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik, dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam
tak lupa kita hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita ke
zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Makalah ini ditulis sebagai tugas mata
kuliah Psikologi Abnormal Program Studi Psikologi di Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai sumber, seperti buku dan sumber lainnya sehingga dapat memperlancar
dalam pembuatan makalah ini. Kami berharap makalah ini bermanfaat dan mampu
menambah pengetahuan bagi para pembaca. Kami sadar dalam penulisan makalah ini
masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami berharap kepada
pembaca agar dapat memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................3
1.3 Tujuan......................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................4
2.1 Anxiety Disorder......................................................................................................4
2.2 Obsessive Compulsive Disorder (OCD) & Trauma-Related Disorders................14
2.3 Posttraumatic Stress Disorder & Acute Stress Disorder......................................19
BAB III PENUTUP....................................................................................................23
3.1 Kesimpulan............................................................................................................23
3.2 Saran......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................25
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
pengobatannya juga tumpang tindih. Meskipun demikian, gangguan ini juga memiliki
beberapa penyebab yang berbeda dibandingkan dengan gangguan kecemasan lainnya.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1. Memaparkan dan membahas tentang definisi anxiety disorder, jenis gangguan
dan simtomnya, etiologi gangguan, dan penanganan anxiety disorder.
2. Memaparkan dan membahas tentang definisi OCD, jenis gangguan dan
simtomnya, etiologi gangguan, dan penanganan OCD
3. Memaparkan dan membahas tentang definisi Trauma Related Disorder, jenis
gangguan dan simtomnya, etiologi gangguan, dan penanganan Trauma Related
Disorder.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Specific Phobias
Specific Phobias adalah ketakutan yang tidak proporsional yang
disebabkan oleh objek atau situasi tertentu, seperti takut terbang, takut ular,
dan takut ketinggian. Orang tersebut menyadari bahwa ketakutannya
berlebihan tetapi masih berusaha keras untuk menghindari objek atau situasi
yang ditakuti. Kriteria DSM-5 yang diusulkan untuk Fobia Spesifik adalah
sebagai berikut.
a) Ketakutan yang ditandai dan tidak proporsional secara konsisten dipicu
oleh objek atau situasi tertentu .
b) Objek atau situasi dihindari atau dialami dengan kecemasan yang intens
c) Gejala menetap selama minimal 6 bulan.
3
bahkan hanya terpapar orang yang tidak dikenal. Kriteria DSM-5 yang
Diusulkan untuk social anxiety disorder.
a) Ketakutan yang ditandai dan tidak proporsional secara konsisten dipicu
oleh paparan pengawasan sosial yang potensial
b) Paparan pemicu menyebabkan kecemasan yang intens tentang dievaluasi
secara negatif
c) Situasi pemicu dihindari atau dialami dengan kecemasan yang intens
d) Gejala bertahan setidaknya selama 6 bulan.
3. Panic Disorder
Gangguan panik dicirikan oleh serangan panik yang sering terjadi yang
tidak berhubungan. Serangan panik adalah serangan tiba-tiba dari ketakutan
yang intens, teror, dan perasaan malapetaka yang akan datang, disertai dengan
setidaknya empat gejala lainnya. Gejala fisik yang mencakup sesak napas,
jantung berdebar-debar, mual, sakit perut, nyeri dada, perasaan tercekik dan
tercekik, pusing, kepala terasa ringan, berkeringat, kedinginan, sensasi panas,
dan gemetar. Gejala lain yang mungkin terjadi selama serangan panik
termasuk: depersonalisasi (perasaan berada di luar tubuh seseorang);
derealisasi (perasaan dunia tidak nyata); dan ketakutan kehilangan kendali,
menjadi gila, atau bahkan mati. Menurut kriteria DSM, untuk diagnosis
gangguan panik, seseorang harus mengalami serangan panik berulang.
Mereka juga harus khawatir tentang serangan atau mengubah perilaku mereka
karena serangan setidaknya selama 1 bulan.
4. Agoraphobia
Agorafobia (dari bahasa Yunani agora yang berarti “pasar”)
didefinisikan oleh kecemasan tentang situasi di mana akan memalukan atau
sulit untuk melarikan diri jika gejala kecemasan terjadi. Situasi yang biasanya
ditakuti termasuk keramaian dan tempat ramai seperti toko kelontong, mal,
dan gereja. Kriteria DSM-5 yang diusulkan untuk Agorafobia adalah.
4
a) Ketakutan atau kecemasan yang tidak proporsional dan nyata tentang
setidaknya 2 situasi di mana akan sulit untuk melarikan diri atau
menerima bantuan jika terjadi ketidakmampuan atau gejala seperti panik,
seperti berada di luar rumah sendirian; bepergian dengan transportasi
umum; berada di ruang terbuka seperti tempat parkir dan pasar; berada di
toko, teater, atau bioskop; atau berdiri dalam antrean atau berada di
keramaian.
b) Situasi ini secara konsisten memicu ketakutan atau kecemasan
c) Situasi-situasi ini dihindari, membutuhkan kehadiran seorang
pendamping, atau dihadapi dengan ketakutan atau kecemasan yang intens
d) Gejala berlangsung setidaknya 6 bulan
5
nyata untuk mempersiapkan situasi yang mungkin memiliki hasil negatif,
penundaan yang nyata, kesulitan membuat keputusan karena
kekhawatiran, atau berulang kali mencari kepastian karena kekhawatiran.
6
2. Etiology of Social Anxiety Disorder
Pada bagian ini, faktor perilaku dan kognitif yang terkait dengan
gangguan kecemasan sosial.
a. Faktor perilaku
Penyebab gangguan kecemasan sosial serupa dengan fobia spesifik, sejauh
didasarkan pada model pengkondisian dua faktor. Artinya, seseorang dapat
memiliki pengalaman sosial yang negatif (secara langsung, melalui
pemodelan, atau melalui instruksi verbal) dan secara klasik dikondisikan
untuk takut pada situasi serupa, yang kemudian dihindari oleh orang tersebut.
Melalui pengkondisian operan, perilaku penghindaran ini dipertahankan
karena mengurangi rasa takut yang dialami orang tersebut. Ada sedikit
kesempatan untuk menghilangkan ketakutan yang terkondisi karena orang
tersebut cenderung menghindari situasi sosial. Bahkan ketika orang tersebut
berinteraksi dengan orang lain, dia mungkin menunjukkan perilaku
menghindar dengan cara yang lebih kecil yang telah diberi label sebagai
perilaku keselamatan. Contoh perilaku aman dalam gangguan kecemasan
sosial termasuk menghindari kontak mata, melepaskan diri dari percakapan,
dan berdiri terpisah dari orang lain. Meskipun perilaku ini digunakan untuk
menghindari umpan balik negatif, mereka menciptakan masalah lain.
b. Faktor Kognitif
Faktor kognitif yang terlibat dalam gangguan kecemasan sosial termasuk
evaluasi kritis terhadap kinerja sosial dan kecenderungan untuk fokus pada
pikiran dan sensasi internal. Pertama, orang dengan gangguan kecemasan
sosial tampaknya memiliki keyakinan negatif yang tidak realistis tentang
konsekuensi dari perilaku sosial mereka. Kedua, mereka lebih memperhatikan
apa yang mereka lakukan dalam situasi sosial dan sensasi internal mereka
sendiri daripada yang dilakukan orang lain. Mereka sering membentuk
gambaran visual negatif yang kuat tentang bagaimana orang lain akan
bereaksi terhadap mereka
7
3. Etiology of Panic Disorder
Etiologi gangguan panik terdiri dari perspektif neurobiologis, perilaku,
dan kognitif.
8
4. Etiology of Agoraphobia
Model kognitif agorafobia berfokus pada "the fear of fear hypothesis",
atau keyakinan yang terlalu negatif tentang apa yang akan terjadi jika
seseorang mengalami kecemasan.
9
Perawatan kognitif melengkapi paparan dengan intervensi untuk
menantang keyakinan negatif tentang apa yang akan terjadi ketika seseorang
menghadapi ketakutannya. Pendekatan kognitif untuk pengobatan gangguan
kecemasan biasanya berfokus pada tantangan (1) keyakinan seseorang tentang
kemungkinan hasil negatif jika dia menghadapi objek atau situasi yang
memicu kecemasan, dan (2) harapan bahwa dia tidak akan mampu.
menghadapi. Perawatan kognitif biasanya kemudian melibatkan paparan,
untuk membantu orang belajar bahwa mereka dapat mengatasi situasi ini.
10
c. Perawatan Psikologis Gangguan Panik
Seperti perawatan perilaku untuk fobia yang telah dibahas, perawatan
perilaku kognitif untuk gangguan panik fokus pada paparan (White & Barlow,
2004). Satu pendekatan perawatan perilaku kognitif yang divalidasi dengan
baik disebut Panic Control Therapy (PCT) didasarkan pada kecenderungan
orang dengan gangguan panik untuk bereaksi berlebihan terhadap sensasi
tubuh. Dalam PCT, terapis menggunakan teknik pemaparan yaitu, membujuk
klien untuk secara sengaja memunculkan sensasi yang terkait dengan
kepanikan. Misalnya, seseorang yang serangan paniknya dimulai dengan
hiperventilasi diminta untuk bernapas dengan cepat selama 3 menit, atau
seseorang yang serangan paniknya terkait dengan pusing mungkin diminta
untuk berputar di kursi selama beberapa menit. Ketika sensasi seperti pusing,
mulut kering, kepala terasa ringan, detak jantung meningkat, dan tanda-tanda
panik lainnya dimulai, orang tersebut mengalaminya dalam kondisi aman;
sebagai tambahan, orang tersebut mempraktikkan taktik koping untuk
mengatasi gejala somatik (misalnya, bernapas dari diafragma untuk
menghindari hiperventilasi). Dengan latihan dan dorongan dari terapis, orang
tersebut belajar untuk berhenti melihat sensasi internal sebagai sinyal
kehilangan kendali dan melihatnya sebagai sensasi intrinsik yang tidak
berbahaya yang dapat dikendalikan. Kemampuan seseorang untuk
menciptakan sensasi fisik ini dan kemudian mengatasinya membuatnya
tampak lebih dapat diprediksi dan tidak terlalu menakutkan.
Dalam versi lain dari pengobatan kognitif untuk gangguan panik, terapis
membantu orang tersebut mengidentifikasi dan menantang pikiran yang
membuat sensasi fisik mengancam . Misalnya, jika seseorang dengan
gangguan panik membayangkan bahwa dia akan pingsan, terapis mungkin
membantu orang tersebut memeriksa bukti untuk keyakinan ini dan
mengembangkan gambaran yang berbeda tentang konsekuensi dari serangan
panik. Perawatan ini telah terbukti bekerja dengan baik dalam setidaknya
11
tujuh studi penelitian, dengan bukti spesifik bahwa bentuk perawatan ini lebih
membantu daripada perawatan paparan murni dan hanya sedikit orang yang
putus pengobatan (Clark et al., 1999).
12
dan fisik. Oleh karena itu, mereka tidak direkomendasikan sekuat SSRI.
Namun demikian, benzodiazepin tetap menjadi kelas obat yang paling banyak
digunakan dalam praktik (Bruce et al., 2003). Juga, semua benzodiazepin
mempengaruhi fungsi kognitif dan motorik sampai tingkat tertentu.
13
perlindungan yang berulang seperti menghitung atau menyentuh tubuh, atau
pemeriksaan berulang untuk memastika tindakan yang telah dilakukan
(Davison & Neale, 2012).
14
Orang dengan hoarding disorder sangat terikat dengan harta benda mereka
dan menahan upaya untuk menyingkar benda tersebut. Selain objek berupa
benda, penimbunan atau keteikatan ini juga dapat terjadi dengan melibatkan
makhluk hidup yakni hewan (Patronek & Nathanson, 2009). Mereka menilai
dirinya sebagai penyelamat hewan namun ewan yang dikumpulkan oleh orang
dengan hoarding disorder ini dalam jumlah banyak yang melebihi
kemampuan untuk menyediakan perawatan, tempat tinggal dan makanan yang
memadai. Terdapat konsekuensi buruk dari perilaku penimbunan seperti
rumah yang sangat kotor, bau tidak sedap, kondisi kesehatan yang memburuk
dan kondisi sosial. Kondisi pernapasan, buruk kebersihan, dan kesulitan
memasak semuanya dapat menyebabkan kesehatan fisik yang buruk (Davison
& Neale, 2012).
15
(Lambrou, Veale, & Wilson, 2011). Individu dengan BDD lebih focus pada
detail daripada keseluruhan. Mereka memeriksa satu fitur pada satu waktu dan
lebih sibuk untuk mempertimbangkan kekurangan kecil yang dimiliki. Daya
Tarik menjadi hal yang penting Menurut mereka harga diri terletak secara
eksklusif tergantung pada penampilan yang dimilikinya (Veale, 2004). Hal
tersebut membuat individu dengan dapat menghindari situasi tertentu yang
berkaitan dengan penilaian penampilan maupun menghabiskan banyak uang
dan waktu pada penampilan dan amengabaikan fokus pada rangsangan yang
lebih positif (Davison & Neale, 2012).
16
2.2.3 Treatment of the Obsessive Compulsive & Related Disorders
1. Obat
Obat yang umum digunakan pada gangguan obsesif-kompulsif dan
gangguan terkait adalah Serotonin reuptake inhibitor (SRI) (Davison & Neale,
2012). Jenis SRI yang sering diberikan untuk OCD adalah clomipramine.
Clomipramine menyebabkan pengurangan sekitar 50% dalam gejala OCD
sedangkan 50%-75% pada pengobatan individu dengan BDD. Sedangkan
pada individu horder disorder belum ada uji coba terkontrol terkait
penggunaan obat namun terdapat satu penelitian yang menunjukkan bahwa
pasien dengan gangguan horder menunjukkan respon yang sama pada
paroxetine SSRI sama hal dengan OCD (Saxena, Brody, Maidment, et al.,
2007).
2. Perawatan Psikologis
Perawatan psikologis yang paling banyak digunakan adalah Exposure
and Response Prevention (ERP) yakni perawatan perilaku kognitif yang
dipelopori oleh Victor Meyer di Inggris pada pendekatan OCD. Penderita
OCD meyakini bahwa perilaku kompulsif akan mencegah hal buruk terjadi.
Dalam komponen pencegahan respon ERP, individu mengekspos diri mereka
sendiri pada situasi yang menimbulkan tindakan kompulsif lalu menahan diri
untuk melakukan kebiasaan atau ritual kompulsif. Hal tersebut dilakukan
untuk menghadapkan individu pada kecemasan akibat stimulus dan paparan
menghasilkan penghilangan respon terkondisi (kecemasan) (Davison & Neale,
2012). ERP dinilai lebih efektif dibandingkan dengan perawatan control
dalam mengurangi obsesi dan kompulsi (RosaAlcazar, Sanchez-Meca,
Gomez-Conesa, et al., 2008). ERP dilakukan selama 90 menit dengan 15
sampai 20 sesi dalam 3 minggu. Pendekatan kognitif berfokus pada
menantang keyakinan individu tentang hal yang akan terjadi jika mereka tidak
melakukan kebiasaan atau ritual.
Pada gangguan dismorfik tubuh atau body dysmorphic disorder prinsip
ERP juga dilakukan berupa memberikan paparan aktivitas seperti klien
17
berinteraksi dengan orang yang kritis pada penampilan mereka kemudian
diminta untuk menghindari aktivitas untuk meyakinkan diri seperti bercermin
atau melihat permukaan reflektif lainnya. Perawatan perilaku kognitif ini
menunjukkan penurunan gejala dismorfik tubuh disbanding kondisi control
(Davison & Neale, 2012).
Pada gangguan penimbunan atau horder disorder, ERP dilakukan dengan
memberikan paparan berupa penyingkitan benda-benda milikinya dan
menghentikan kebiasaan mereka seperti menghitung atau memilah harta
benda tersebut. Selain itu, mereka diminta untuk mempertimbangkan alasan
untuk melakukan perubahan atau strategi motivasi. Terapis akan membantu
untuk membuat keputusan tentang objek, menyediakan alat untuk mengatur
kekacauan dan menjadwalkan sesi lanjutan. Interventi perilaku kognitif ini
diawali dengan membantu klien membuang benda-benda mereka dan
menghindari keraguan dan kecemasan saat fokus mengevaluasi harta
bendanya. Keluarga dapat membantu individu horder disorder dengan
memulai dialog dan menetapkan prioritas (Davison & Neale, 2012).
2.3.1 Definisi
Gangguan terkait trauma 1 Posttraumatic stress disorder atau PTSD
ditandai dengan adanya peningkatan kecemasan, penghindaran terhadap
rangsangan terkait trauma, serta gejala peningkatan arousal. Gangguan ini
didiagnosis saat seseorang telah mengalami peristiwa traumatis, dimana
kriteria dari diagnosis ini termasuk penyebab gejala yang sangat berbeda
dengan DSM lainnya. Gangguan stres akut (ASD) didefinisikan oleh gejala
yang sama, namun harus terdapat gejala disosiatif dan gejala berlangsung
kurang dari satu bulan. Diagnosis dari gangguan ini dianggap hanya dalam
konteks trauma yang serius, misalnya individu pernah atau menyaksikan
18
peristiwa yang melibatkan kematian atau ancaman kematian, cedera serius,
atau pelanggaran seksual.
19
sulit berkonsentrasi, waspada yang berlebihan, dan respons terkejut yang
berlebihan.
20
Pendekatan pengobatan yang didukung kuat untuk gangguan PTSD adalah
inhibitor reuptake seretonergik selektif (SSRI), dimana kekambuhan
sering terjadi jika obat dihentikan.
b. Perawatan psikologis gangguan stress pascatrauma (PTSD)
Pengobatan eksposur merupakan pendekatan psikologis utama untuk
mengobati gangguan kecemasan. Di PTSD, fokus pengobatan ini adalah
pada ingatan dan pengingat trauma asli. Tujuannya adalah untuk
memadamkan respon ketakutan, khususnya respon ketakutan yang
digeneralisasikan. Saat klien belajar bahwa mereka dapat mengatasi
kecemasan mereka, respon penghindaran dapat dikurangi.
c. Perawatan psikologis untuk gangguan stres akut (ASD)
Intervensi psikologis dini untuk gangguan ASD dapat mengurangi risiko
PTSD untuk berkembang. Pendekatan perilaku jangka pendek sebanyak
lima atau enam sesi yang mencakup pengobatan eksposur dapat mencegah
berkembangnya PTSD kepada orang-orang yang telah mengembangkan
gangguan stres akut (ASD).
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kecemasan merupakan suatu sensasi aprehensif atau takut yang menyeluruh
yang bersifat normal pada berbagai kondisi, namun dapat menjadi abnormal jika
berlebihan dan tidak sesuai dengan proporsi ancamannya. Pola-pola tingkah laku
terganggu dimana kecemasan menjadi ciri yang paling menonjol diberi label
gangguan kecemasan. Ada beberapa jenis gangguan kecemasan yaitu gangguan
panik, gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif, gangguan fobia
dan stres akut serta stres pasca trauma.
22
3.2 Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
Davinson, G.C & Neale, J.M. (2012). Abnormal Psychology Ed 12th. New York: John
Willey & Sons, Inc.
24