Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

A. HAKEKAT MUAMALAH
Kata muamalah berasal dari kata ‫ عبهل – يعبهل – هعبهلة‬yang timbangannya (wazannya)
‫ فبعل – يفبعل – هفبعلة‬yang artinya beinteraksi dengannya dalam jual beli atau hal lainnya.
Kata muamalah juga dapat berarti jika kamu bermuamalah dengan seseorang berarti kamu
berinteraksi denganya, mempergaulinya, dan bercampurnya denganya. Perlu juga digaris
bawahi bahwa kata muamalah hanya berlaku bagi manusia dan tidak bagi makluk yang
lainnya seperti binatang.
Dari sisi istilah, muamalah memiliki beberapa definisi yang dipengaruhi dari persepsi
pembagian hukum syara‟.
a. Definisi pertama
Muamalah adalah Hukum syariat yang mengatur interaksi antar sesama manusia di
dunia, baik hukum-hukum yang berkaitan dengan harta, wanita dari sisi
pernikahan dan perceraian, pertikaian, perkara-perkara, harta warisan dan hal-hal
lainnya. Pengertian ini didasari dari pembagian fikih kepada dua bagian, ibadah
dan muamalah.
Ibnu Abidin menyatakan bahwa muamalah terbagi ke dalam lima bagian, yaitu:
transaksi keuangan, pernikahan, pertikaian, amanah dan warisan.1 Selaras dengan
pembagian ini, Muhammad Ruwas Qal‟ah Ji mengutarakan bahwa muamalah
adalah perkara-perkara syariah yang berkaitan dengan perkara-perkara duniawi. 2
Dengan bahasa lain, muamalah berarti hukum-hukum syara‟ yang mengatur
hubungan antar manusia di dunia.
b. Definisi kedua
Muamalah adalah hukum-hukum syariah yang mengatur hubungan antar manusia
di dalam aspek harta dan hubungan dalam rumah tangga, baik pernikahan,
perceraian, nafkah dan lain-lain. Definisi ini sering kita jumpai dalam Mazhab
Hanafiyah didasari dari persepsi bahwa pernikahan termasuk dari interaksi antar
manusia.
c. Definisi ketiga
Muamalah adalah hukum-hukum syariah yang mengatur hubungan antar manusia
di dalam urusan harta. Definisi ini didasari dari pembagian fikih ke dalam
beberapa bagian, yaitu ibadah, muamalah maliyah, munakahat (pernikahan),
jinayah, „alaqah dauliyah (hubungan internasional) dan lain-lain. Ketika fikih
dibagi ke dalam bagian yang lebih besar dimana hukum pernikahan, hukum
warisan, hukum pidana Islam berdiri sendiri maka istilah muamalah menyempit
menjadi hanya sebatas perihal harta dan keuangan.

1
Sehingga dapat disimpulkan bahwa muamalah adalah ilmu yang mengatur
pertukaran harta dengan harta atau manfaat dengan manfaat di antara manusia
dengan cara transaksi atau hal yang mengikat.

B. Pandangan Islam Tentang Kehidupan Dunia

Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau saat ini kita sedang menjalani  hidup di
dunia ini. Kita tidak pernah merencanakan atau meminta untuk hidup didunia ini. Tiba
tiba saja kita sudah hadir didunia , harus menerima apa adanya. Mungkin kita lahir
ditengah keluarga yang kaya raya hidup berkecukupan, atau keluarga miskin yang serba
kekurangan. Diantara kita ada yang terlahir  sebagai orang Indonesia, China, Eropa,
Afrika, India , Arab dan lain sebagainya. Ada yang terlahir sebagai orang Minang, Batak,
Sunda , Jawa , Ambon, dan lain sebagainya, kita tidak bisa menolak takdir kita terlahir
ditengah  Bangsa, atau suku tertentu.
Mengapa kita hadir didunia ini ? kebanyakan kita tidak mengerti mengapa kita ada
dan hadir didunia ini. Kita tidak pernah merencanakannya, kita tidak pernah memutuskan
untuk menjadi anggota salah satu bangsa , suku atau keluarga didunia ini. Kita hanya
menerima keputusan yang tidak bisa kita tawar dan kita tolak.
Manusia meraba raba dan menduga duga , mengapa mereka ada dan hadir didunia
ini. Bermacam macam pendapat dan pemahaman yang muncul. Ada yang mengatakan kita
ada didunia ini karena proses alam dan terjadi begitu saja tanpa maksud dan tujuan
tertentu. Ada yang mengatakan kita ada didunia ini sebagai proses reinkarnasi menuju
kehidupan yang lebih baik. Ada yang mengatakan kita hidup dunia untuk sementara dalam
perjalanan menuju kehidupan yang abadi di akhirat kelak. Ada yang mengatakan kita
hidup didunia sekedar hidup saja dan setelah mati habis sudah semua masalah , dan kita
tidak akan pernah hidup lagi diakhirat kelak. Dan banyak lagi pendapat pendapat yang
merupakan dugaan dan hipotesa.
Ditengah kebingungan dan ketidak pastian itu Allah telah menurunkian Al Qur’an bagi
umat Islam, menjelaskan tentang kehidupan dunia ini. Mengapa dan untuk apa kita hadir
didunia ini, sesudah kematian  kelak kemana kita akan pergi. Apa yang terjadi nanti
sesudah kehidupan dunia ini berakhir.
Ada orang yang menerima penjelasan Qur’an ini dan banyak pula yang menolak dan tidak
percaya dengan penjelasan Al-Qur’an itu. Mereka yang tidak percaya dengan Qur’an
berpegang teguh pada keyakinannya masing masing. Ada yang berpendapat bahwa hidup
hanya sekali didunia ini saja, karena itu nikmatilah hidup ini sepuas puasnya, karena
sesudah mati tidak ada lagi kehidupan berikutnya. Ada yang berpegang pada keyakinan

2
tentang reinkarnasi. Ada yang percaya bahwa Tuhan-Tuhan  yang mereka ikuti akan
memasukan mereka kelak kesyurga selama mereka patuh pada Tuhan mereka yang
bermacam macam itu.
Umat Islam dan mereka yang beriman pada Allah yakin dan percaya pada penjelasan Al-
Qur’an, mereka menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan
dunia ini. Dalam surat Al Hadit ayat 20-21 Allah menjelaskan tentang hakekat kehidupan
dunia ini
20. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu
yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-
banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras
dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu.21. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan)
ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang
disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai
karunia yang besar.      (Al Hadit 20-21 )
Allah menjelaskan beberapa hal tentang kehidupan dunia ini antara lain
1. Kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan bermegah
megah serta berlomba banyak tentang harta dan anak anak
2. Perumpamaan kehidupan dunia seperti tanam tanaman yang tumbuh subur menghijau
kemudian menjadi kuning , layu dan hancur. Dari tiada kembali menjadi tiada.
3. Kehidupan yang abadi adalah kehidupan akhirat, disana ada ampunan dan keridhaan
Allah dan ada pula azab yang pedih bagi para pembangkang yang tidak percaya pada
Allah.
4. Kehidupan  dunia ini  adalah kehidupan yang penuh kepalsuan dan tipuan , hati hati
dan waspadalah menghadapinya.
5. Allah menganjurkan pada orang yang beriman agar berlomba lomba meraih ampunan
Allah dan syurga di akhirat yang luasnya seluas langit dan bumi
6. Syurga itu disediakan bagi orang yang beriman pada Allah dan RasulNya.
Itulah beberapa butir yang dijelaskan Allah tentang sifat dan hakekat dari kehidupan dunia
ini. Kehidupan dunia bukanlah kehidupan yang sebenarnya, kehidupan dunia hanyalah
kehidupan sementara. Kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan diakhirat kelak.
Diakhirat kelak ada orang yang hidup kekal dalam penderitaan abadi didalam Neraka, dan

3
ada pula orang yang hidup kekal dalam kenikmatan abadi di dalam Syurga. Allah
menganjurkan orang yang beriman untuk berlomba lomba meraih ampunan Allah dan
syurga yang luasnya seluas langit dan bumi. Itulah tujuan akhir setiap orang yang beriman
pada Allah dan RasulNya. Kehidupan yang kekal dan abadi didalam taman syurga yang
luasnya seluas langit dan bumi.

C. Makna Spiritual Tentang Kejayaan Hidup


Masyarakat modern dewasa ini menghadapi problem yang sangat serius yaitu
alienasi. Alienasi dalam pandangan Eric Fromm (1995) sejenis penyakit kejiwaan dimana
seseorang tidak lagi merasa memiliki dirinya sendiri, sebagai pusat dunianya sendiri
melainkan terenggut kedalam mekanisme yang sudah tidak lagi mampu dikendalikan.
Masyarakat modern merasakan kebingungan, keterasingan dan kesepian karena apa yang
dilakukan bukan atas kehendaknya sendiri melainkan adanya kekuatan luar yang tidak
diketahuinya menurut perasaan dan akalnya.
Itulah yang juga dikritik oleh Karl Marx, dia menilai akumulasi modal dan alat produksi
pada sekelompok elite membuat dunia mengalami kesenjangan sosial yang hanya
memunculkan kemiskinan massal di mana rakyat yang miskin semakin miskin dan yang
kaya menjadi kaya. Orang miskin menjadi sangat bergantung pada pemilik modal yang
menguasai pusat-pusat produksi dan ekonomi sehingga kebebasan individu untuk memilih
pekerjaan sebagai aktualisasi diri tidak mendapatkan tempat yang kondusif. Penindasan
terjadi secara terus menerus mereka bekerja hanya untuk menjaga keberlangsungan
hidupnya semata sementara disisi lain pemilik modal memeras dengan seenaknya.
Kritik Karl Marx hampir sulit diingkari kebenarannya tentang problem alienasi pada
masyarakat modern, hal ini juga diperkuat oleh pandangan Chistropher Lasch yang
menyebutkan bahwa krisis kejiwaan yang menimpa masyarakat kapitalis terutama barat
telah menyebabkan mereka kehilangan sense of meaning dalam hidupnya.
Relevansi dari kuatnya arus globalisasi sebagai bukti dari perkembangan zaman menurut
pendapat sebagian pakar merupakan proses menghilangnya sekat-sekat pembatasan ruang
dan waktu yang berdampak kepada semakin transparannya proses transformasi nilai-nilai
dan terjadinya asimilasi budaya yang semakin cepat dan nyaris tanpa batas (the world
without border) (Tilaar, 2000).
Kondisi demikian pada akhirnya menjadikan individu dituntut untuk semakin kompetitif
dan mampu bersaing dengan individu yang lainnya. Pada saat itu, individu yang lambat
akan tertinggal dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dengan
segala kenikmatannya. Sebaliknya, kesuksesan hanya akan dimiliki oleh individu yang
mampu bersaing dan memiliki kedewasaan dalam berpikir dan mengaktualisasikan diri
dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat pada hakikatnya adalah sistem terbuka yang
selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan sistem sebagai dampak globalisasi
mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran, dan perubahan nilai dalam masyarakat,
yang pada akhirnya akan mewarnai cara berpikir dan perilaku manusia.

4
Nilai menjadi hal yang penting pada tiap fase perkembangan individu karena nilai menjadi
dasar dalam menentukan pengambilan keputusan. Rusaknya nilai dalam mesyarakat
tentunya berdampak negatif pula terhadap perkembangan masyarakat itu sendiri. Sebagai
imbasnya setiap aspek kehidupan, baik yang secara langsung atau tak langsung
memberikan pengaruh terhadap masyarakat ikut terganggu dan bahkan menjadi "hancur"
(Tirtarahardja,1994).
Perkembangan masyarakat beserta kebudayaannya mengalami percepatan. Percepatan
perubahan ini berdampak kepada hal-hal sebagai berikut: (1) kecenderungan globalisasi
yang makin kuat; (2) perkembangan IPTEK yang makin pesat; (3) perkembangan arus
informasi yang makin padat dan cepat, dan (4) tuntutan peningkatan layanan profesional
dalam berbagai aspek kehidupan manusia. (Tirtarahardja, 1994).

D. Ruang Lingkup Muamalah


Aspeknya, muamalah dibagi menjadi dua jenis, yaitu muamalah adabiyah dan madiyah.

1. Muamalah Adabiyah

Penjelasan muamalah adabiyah adalah muamalah yang berkaitan dengan bagaimana cara
tukar menukar benda ditinjau dari segi subjeknya, yaitu manusia. Muamalah adabiyah
mengatur tentang batasan-batasan yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh
manusia terhadap benda yang berkaitan dengan adab dan akhlak, seperti kejujuran,
kesopanan, menghargai sesama, saling meridhoi, dengki, dendam, penipuan dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat dalam
mengelola suatu benda

Pada muamalah adabiyah memberikan panduan yang syara’ bagi perilaku manusia untuk
melakukan tindakan hukum terhadap sebuah benda. Semua perilaku manusia harus
memenuhi prasyarat etis normatif sehingga perilaku tersebut dianggap layak untuk
dilakukan.

2. Muamalah Madiyah

Sedangkan muamalah madiyah adalah muamalah yang berkaitan dengan objek muamalah
atau bendanya. Muamalah madiyah menetapkan aturan secara syara’ terkait dengan objek
bendanya. Apakah suatu benda halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diupayakan dan
diperjualbelikan, apakah suatu benda bisa menyebabkan kemaslahatan atau kemudharatan
bagi manusia, dan beberapa segi lainnya.

Dengan kata lain, muamalah madiyah bertujuan untuk memberikan panduan kepada
manusia bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat kebendaan dan
bersifat sementara bukan sekedar memperoleh keuntungan semata, tetapi juga bertujuan
untuk memperoleh ridha Allah SWT, dengan cara melakukan muamalah sesuai dengan
aturan main yang sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan secara syara’.

Ruang lingkup muamalah yang bersifat madiyah antara lain adalah sebagai berikut :

 Jual-beli ( bai’ )

5
 Gadai ( rahn )
 Jaminan dan tanggungan ( Kafalah dan Dhaman )
 Pemindahan hutang ( hiwalah )
 Pailit ( taflis )
 Perseroan atau perkongsian ( syirkah )
 Perseroan harta dan tenaga ( mudharabah )
 Sewa menyewa tanah (mukhabarah)
 Upah (ujral al-amah)
 Gugatan (asy syuf’ah)
 Sayembara (al ji’alah)
 Batas bertindak (al hajru)
 Pembagian kekayaan bersama (al qisamah)
 Pemberian (al hibbah)
 Pembebasan (al ibra’), damai (ash shulhu)
 Masalah-masalah seperti bunga bank, kredit, asuransi dan masalah-masalah baru
lainnya.

Ruang Lingkup Muamalah Berdasarkan Tujuan


Perlu diketahui bahwa ruang lingkup muamalah juga mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia seperti bidang ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. Menurut Abdul Wahhab
Khallaf, berdasarkan tujuannya, muamalah dalam Islam memiliki ruang lingkup yang
meliputi :

1. Hukum Keluarga (Ahkam Al Ahwal Al-Syakhiyyah)

Merupakan hukum yang berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang
bertujuan untuk membangun dan memelihara keluarga sebagai bagian terkecil. Meliputi
hukum tentang hak maupun kewajiban suami, istri, dan anak serta hubungan keluarga satu
dengan lainnya

2. Hukum Perdata (Al Ahkam Al Maliyah)

Merupakan hukum yang mengatur hubungan individu-individu dalam bermuamalah serta


bentuk-bentuk hubungannya, seperti jual beli, sewa-menyewa, hutang piutang, perjanjian,
perserikatan dan lain sebagainya. Jadi hukum perdata berkaitan dengan kekayaan dan hak-
hak atas pemeliharaannya sehingga tercipta hubungan yang harmonis di dalam
masyarakat.

3. Hukum Pidana (Al-Ahkam Al-Jinaiyyah)

Merupakan hukum yang berkaitan dengan segala bentuk kejahatan, pelanggaran hukum
dan ketentuan sanksi-sanksi hukumnya. Tujuannya adalah untuk menjaga ketentraman dan
keamanan hidup umat manusia termasuk harta kekayaannya, kehormatannya, dan
membatasi hubungan antara pelaku tindak pidana kejahatan dengan masyarakat maupun
korban.

4. Hukum Acara (Al-Ahkam Al-Murafa’at)

6
Definisi hukum acara adalah hukum yang berkaitan dengan sumpah, persaksian, tata cara
mempertahankan hak dan memutuskan siapa yang terbukti bersalah, sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Pada hukum ini bertujuan untuk mengatur dan
merealisasikan keadilan di dalam kehidupan masyarakat.

5. Hukum Perundang-Undangan (Al-Ahkam Al-Dusturiyyah)

Merupakan hukum yang berkaitan dengan perundang-undangan yang berlaku untuk


membatasi hubungan hakim dengan terhukum serta menetapkan hak-hak perorangan dan
kelompok.

6. Hukum Kenegaraan (Al-Ahkam Al-Duwaliyyah)

Merupakan hukum yang berkaitan dengan hubungan antara penguasa (pemerintah) dengan
rakyatnya, hubungan antar kelompok masyarakat dalam suatu negara maupun antar
negara. Hukum ini bertujuan untuk mengatur mengatur hubungan di antara umat Islam
dengan yang lainnya yang ada dalam suatu Negara, hubungan pemerintah dan rakyatnya
serta hubungan yang terjadi antar negara pada masa damai dan masa perang.

7. Hukum Keuangan dan Ekonomi (Al-Ahkam Al-Iqtishadiyyah Wa Al-


Maliyyah)

Merupakan hukum yang berkaitan dengan hak-hak dari fakir miskin di dalam harta orang
kaya, mengatur sumber keuangan negara, pendistribusian serta permasalahan
pembelanjaan negara dalam rangka untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya.

E. PRINSIP-PRINSIP BERMUAMALAH
Kata prinsip, diartikan sebagai asas, pokok, penting, permulaan, fundamental, dan
aturan pokok. Sedangkan kata muamalah berarti hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan.
Fikih muamalah menjelaskan dengan sangat jelas mengenai prinsip-prinsip muamalah. ada
beberapa prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam bermuamalah. Misalnya saja
dalam memberikan hak atau melakukan segala sesuatu hal. Dianjurkan tindakan yang
dilakukan tidak boleh menimbulkan kerugian terhadap orang lain. Setiap tindakan yang
dapat merugikan orang lain, sekalipun tidak sengaja, maka akan dimintai
pertanggungjawabannya.
Prinsip-prinsip utama dalam bermuamalah adalah terjadinya unsur saling adanya kerelaan
antara kedua belah pihak. Prinsip tersebut telah dijelaskan oleh Allah swt dalam surat An-
Nisaa, 29:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu ...”
Dalam fikih muamalah juga dijelaskan mengenai prinsip-prinsip muamalah dengan jelas,
yaitu :

7
1. Pada asalnya muamalah itu boleh sampai ada dalil yang menunjukkan pada
keharamannya. Kaidah ini disampaikan oleh Ulama Syafi’i, Maliki, dan Imam
Ahmad.
2. Muamalah itu mesti dilakukan atas dasar suka sama suka;
3. Muamalah yang dilakukan itu mesti mendatangkan maslahat dan menolak madarat
bagi manusia;
4. Muamalah itu terhindar dari kezaliman, penipuan, manipulasi, spekulasi, dan hal-
hal lain yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Prinsip-prinsip muamalah juga mengenal adanya keterbukaan dalam transaksi (aqad), dan
prinsip itu diantaranya :
1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi
itu sendiri, kecuali transaksi yang dilakukan jelas-jelas telah melanggar aturan
syariat.
2. Syarat-syarat transaksi itu dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh
dengan tanggungjawab, selama tidak bertentangan dengan syariat.
3. Setiap transaksi dilakukan dengan cara suka rela, dengan tanpa adanya paksaan
dari pihak manapun.
4. Syari (hukum) mewajibkan agar setiap perencanaan transaksi dan pelaksanaannya
didasarkan atas niat yang baik, sehingga segala bentuk penipuan, kecurangan dan
penyelewengan dapat dihindari.
5. Setiap transaksi dan hak yang muncul dari satu transaksi, diberikan penentuannya
pada urf atau adat yang menentukan kriteria dan batas-batasnya.

F. Akhlak dalam Bermuamalah

MENGANDUNG KEBAIKAN
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk berbuat adil dan berbuat
baik. Di antara bentuk kebaikan ialah sikap toleransi dalam berjual-beli dan tidak menipu
saat mengambil untung. Apabila terkait masalah utang-piutang, di antara bentuk kebaikan
ialah meminta pelunasan utang, menganggap lunas utang orang lain, menggugurkan
sebagiannya, memberi tempo, dan bersikap lunak. Demikian pula apabila ada orang yang
hendak meminta dibatalkan transaksinya, ia menerimanya.
Demikian ringkasan penjelasan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Mukhtashar
Minhaj al-Qashidin.
Jangan Meremehkan Satu Kebaikan Pun
Apa yang beliau sebut adalah gambaran sikap toleransi seorang muslim dalam
bermuamalah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan sikap demikian karena hal
itu akan menjalin hubungan yang baik di antara sesama anggota masyarakat.

8
Namun, kebaikan itu dilakukan oleh semua pihak, baik pihak penjual maupun
pembeli; pihak yang mengutangi dan yang berutang; yang menyewakan dan yang
menyewa. Hal ini hendaklah menjadi perhatian semua pihak, bukan hanya sebagian pihak
sehingga terjadi ketimpangan.
Pada pembahasan ini kami akan memberikan sedikit perincian sikap-sikap ihsan atau baik
dalam hal bermuamalah.

Khiyar
Khiyar adalah opsi atau pilihan antara melangsungkan akad dan membatalkannya. Di
antara bentuk toleransi Islam dalam perkara jual-beli adalah adanya khiyar.
Khiyar ini bisa terjadi saat keduanya masih dalam majelis jual-beli—belum berpisah—
sehingga keduanya masih memiliki kesempatan berpikir pada transaksi yang mereka
langsungkan. Ini disebut khiyar majelis.
Khiyar bisa juga disebabkan adanya cacat pada barang yang dibeli. Ini disebut khiyar aib.
Bisa jadi pula, khiyar disebabkan adanya penipuan sehingga pembeli membelinya dengan
harga terlalu tinggi. Ini disebut khiyar ghabn.
Masih ada jenis khiyar yang lain selain yang disebutkan di atas.
Seorang muslim yang taat mestinya tunduk pada aturan ini, baik dia sebagai pihak penjual
maupun pembeli. Aturan ini ditetapkan tidak lain demi kemaslahatan semua pihak
sehingga saling ridha dapat terwujud dan tidak ada pihak yang dirugikan.

Berfikih Sebelum Berdagang


Disebutkan dalam hadits dari Hakim bin Hiradhiallahu anhuam radhiallahu anhu, dari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata,
ِ ‫ان بِال‬
‫ْخيَا ِر َما لَ ْم َي ْفتَ ِرقَا‬ ِ ‫الْبِّيع‬
َ َ
“Penjual dan pembeli itu punya hak khiyar selama mereka belum berpisah.” (Sahih, HR.
al-Bukhari)
Menerangkan Aib/Cacat
Pada pembahasan yang telah lewat telah diterangkan tentang larangan menutupi cacat
pada barang dagangan. Telah dijelaskan pula bahwa perbuatan itu merupakan salah satu
perbuatan zalim yang dapat menghilangkan keberkahan perdagangan.

Sebaliknya, di antara sikap ihsan atau kebaikan pedagang adalah menerangkan aib apabila
barang yang dia jual memiliki cacat. Hal ini akan menyebabkan keberkahan dari
Allah subhanahu wa ta’ala pada apa yang diperdagangkan.

9
Menepati Janji
Dalam perdagangan terkadang terdapat suatu perjanjian. Perjanjian ini bisa berupa
prasyarat dalam jual-beli yang mereka sepakati. Selama persyaratan tersebut tidak
mengandung pelanggaran terhadap agama, kedua belah pihak wajib memenuhinya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


ِ ‫الْمسلِمو َن َعلَى ُشر‬
‫وط ِه ْم‬ ُ ُ ُْ
“Kaum muslimin itu berada pada persyaratan-persyaratan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Misalnya dalam bentuk jual-beli salam, yaitu pembelian dengan cara memesan suatu
barang kepada pedagang dengan spesifikasi yang jelas dengan terlebih dahulu
memberikan uangnya. Transaksi yang semacam ini tentu sangat menuntut adanya
kejujuran dan menepati janji.
Jual-Beli dengan Uang Muka
Segera Memberikan Gaji Pegawai
Setelah pegawai melakukan pekerjaannya, segeralah memberikan gajinya. Sebab, hal itu
merupakan haknya, sedangkan si pegawai telah memberikan hak majikannya dengan ia
melakukan pekerjaannya.

Oleh karena itu, apabila majikan menahan haknya, pada hari kiamat nanti
Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadi lawannya sebagaimana hadits yang telah lalu.
Jujur
Kejujuran merupakan sifat yang terpuji. Jujur akan membawa kepada kebaikan. Seorang
pedagang dituntut untuk jujur dalam bertutur kata, menerangkan cacat yang ada pada
barang yang diperdagangkan, dan tidak mengada-ada. Karena itu, dia tidak mengatakan
bahwa barang itu telah ditawar sekian, sementara belum ditawar dengan harga tersebut
atau bahkan belum ditawar sama sekali. Apabila dia harus mesti menyebutkan harga
modalnya, dia sebutkan sejujurnya tanpa meninggikannya.

Kejujuran dalam Jual Beli


Dengan kejujuran tersebut Allah subhanahu wa ta’ala akan memberkahi perniagaannya,
sebagaimana hadits yang lalu. Dalam hadits yang lain dari Watsilah bin al-
Asqa’ radhiallahu anhu, ia berkata,
ُ ‫ج ِإلَْينَ ا َو ُكنَّا تُ َّج ًارا َو َك ا َن َي ُق‬ ِ ِ ُ ‫َك ا َن رس‬
‫ يَ ا‬:‫ول‬ ُ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم يَ ْخ ُر‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ
ِ
‫ب‬َ ‫ ِإيَّا ُك ْم َوالْ َكذ‬،‫ُّجا ِر‬
َّ ‫ش َر الت‬
َ ‫َم ْع‬

10
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami adalah
para pedagang. Beliau mengatakan, “Wahai para pedagang, jauhi oleh kalian
kedustaan.” (Shahih lighairihi, HR. at-Thabarani, lihat Shahih at-Targhib, 2/164 no.
1793)
Amanah
Amanah juga merupakan sifat yang sangat terpuji. Amanah adalah sifat yang dimiliki oleh
orang-orang mulia. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah dijuluki
sebagai al-Amin, orang yang sangat amanah, sejak sebelum diangkat sebagai nabi.
Sementara itu, lawannya, yaitu khianat, adalah sifat orang-orang munafik.
Sifat amanah sangat dibutuhkan dalam praktik jual-beli, terlebih pada zaman ketika
amanah telah diangkat dari umat ini. Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkisah,
“Sesungguhnya amanah itu turun pada pangkal kalbu orang-orang. Lalu turunlah Al-
Qur’an sehingga mereka mengetahui ilmu dari Al-Qur’an dan dari As-Sunnah.”
Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan kepada kami tentang tercabutnya
amanah. Beliau berkata,
“Seseorang tidur satu kali lalu dicabutlah amanah dari kalbunya, tetapi masih tersisa
bekasnya sedikit. Lalu dia tidur sekali (lagi) dan dicabutlah amanah dari kalbunya hingga
masih tersisa bekasnya seperti bekas kulit yang menonjol dan berair, seperti bara yang
kamu jatuhkan pada kakimu lalu (kulitnya) menjadi berair. Kamu melihatnya meninggi,
tetapi tidak ada apa-apanya.”
Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengambil kerikil dan beliau jatuhkan di kakinya.
“Sampai orang-orang saling berjual-beli, hampir-hampir tidak seorang pun yang
menunaikan amanah. Sampai-sampai disebut bahwa ada seorang yang amanah dari bani
Fulan. Orang pun mengatakan, ‘Betapa pandainya dia, betapa berakalnya dia’, padahal
tidak ada dalam kalbunya sebiji sawi pun iman.” (Shahih, HR. Muslim dan yang lain.
Lihat sedikit penjelasan dalam Shahih at-Targhib no. 2994)
Kisah Sebatang Kayu, Amanah yang Nyaris Punah
Sedemikian mahalnya amanah. Oleh karena itu, Anas radhiallahu anhu menyebutkan,

َ‫ َوال‬،ُ‫ الَ ِإيْ َم ا َن لِ َم ْن الَ ََأمانَةَ لَ ه‬:‫ال‬


َ َ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ِإالَّ ق‬ ِ ُ ‫ما َخطَبنَا رس‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ َ َ
ِ
ُ‫ِديْ َن ل َم ْن الَ َع ْه َد لَه‬
Tidaklah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhotbah kepada kami kecuali
berkata, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah. Tidak ada agama
bagi orang yang tidak menepati janji.” (Shahih, HR. Ahmad, al-Bazzar, ath-Thabarani,
dan Ibnu Hibban; akan tetapi dalam lafaz beliau, “Rasulullah shallallahu alaihi wa

11
sallam berkhotbah kepada kami dan mengatakan dalam khutbahnya, ‘Tidak ada iman…’
dst.” Lihat Shahih  at-Targhib no. 3004)
Atas dasar itu, tak mengherankan apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjanjikan
kedudukan yang tinggi bagi pedagang yang amanah. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
‫الش َه َد ِاء َي ْو َم ال ِْقيَ َام ِة‬
ُّ ‫الص ُدو ُق ال ُْم ْسلِ ُم َم َع‬ ِ ‫َّاجر‬
َّ ‫اَأْلم ْي ُن‬ ِ
َ ‫الت‬
“Seorang pedagang yang amanah, jujur, dan muslim, dia akan bersama para syuhada
pada hari kiamat.” (Hasan Shahih, HR. Ibnu Majah, lihat Shahih at-Targhib, 2/162 no.
1783)
Seorang pedagang harus amanah dalam segala hal yang terkait dengan perdagangan,
termasuk tentunya dalam hal takaran dan timbangan. Ibnu Mas’ud radhiallahu
anhu berkata,
-‫َأش يَاءُ َع َّد َها‬
ْ ‫و‬-َ ،ٌ‫ َوالْ َك ْي ُل ََأمانَ ة‬،ٌ‫ َوالْ َو ْز ُن ََأمانَ ة‬،ٌ‫ض وءُ ََأمانَ ة‬
ُ ‫ َوال ُْو‬،ٌ‫الص الَةُ ََأمانَ ة‬
َّ
َ ِ‫َوَأ َش ُّد ذَل‬
‫ك ال َْو َداِئ ُع‬
“Shalat adalah amanah. Wudhu adalah amanah. Timbangan adalah amanah. Takaran
adalah amanah—beliau menyebutkan beberapa hal lain—dan yang paling berat adalah
(amanah) titipan-titipan.”  (Hasan, diriwayatkan al-Baihaqi. Lihat Shahih at-Targhib,
2/157 no. 1763)
Berbuat Curang dalam Menakar dan Menimbang
Karena pentingnya amanah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruh kita untuk tetap
amanah walaupun kepada orang yang berkhianat kepada kita. Dari Abu
Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
‫ك‬ َ َ‫اَأْلمانَةَ ِإلَى َم ِن اْئ تَ َمن‬
َ َ‫ك َوالَ تَ ُخ ْن َم ْن َخان‬ َ ‫َأد‬ ِّ
“Tunaikanlah kewajiban amanah kepada orang yang mengamanahimu. Jangan kamu
mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (Hasan, HR. Abu Dawud no. 3535,
lihat Shahih Sunan Abi Dawud)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
‫اس َأن‬ ۡ ‫نَّ ٱهَّلل‬
ِ ‫يَأ ُم ُر ُكمۡ َأن ُت َؤ دُّو ْا ٱَأۡل ٰ َم ٰ َن‬
ِ ‫ت ِإ َل ٰ ٓى َأ ۡهلِهَا َوِإ َذا َح َك ۡم ُتم َب ۡينَ ٱل َّن‬ َ ‫ِإ‬
‫يرا‬ ً ِ‫ِيعا َبص‬ ۢ
َ ‫سم‬ ‫هَّلل‬ ۗ ُ ‫هَّلل‬ ۡ
َ َ‫َت ۡح ُك ُمو ْا ِبٱل َع ۡد ِ ۚل ِإنَّ ٱ َ ِن ِع َّما َي ِعظ ُكم ِب ِهۦٓ ِإنَّ ٱ َ َكان‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia

12
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”  (an-Nisa: 58)
Tidak Menjual Barang kepada Orang yang Menggunakannya
untuk Maksiat
Apabila kita mengetahui bahwa orang yang membeli barang dagangan kita akan
mempergunakannya untuk maksiat, kita tidak boleh bagi menjualnya kepadanya. Sebab,
hal itu termasuk tolong-menolong dalam perbuatan dosa. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
‫َو َت َع َاو ُنو ْا َع َلى ۡٱل ِب ِّر َوٱل َّت ۡق َو ٰۖى َواَل َتعَ َاو ُنو ْا َع َلى ٱِإۡل ۡث ِم َو ۡٱل ُع ۡد ٰ َو ۚ ِن َوٱ َّتقُ و ْا‬
‫ب‬ِ ‫شدِي ُد ۡٱل ِع َقا‬
َ َ ‫ٱهَّلل ۖ َ ِإنَّ ٱهَّلل‬
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (al-Maidah: 2)
Tidak boleh juga menjual senjata saat terjadi pertikaian di antara muslimin. Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Senjata yang dijual oleh seseorang kepada orang yang dia ketahui bahwa akan
menggunakannya untuk membunuh seorang muslim, hukumnya haram, tidak sah. Sebab,
hal ini mengandung bantuan dalam perkara dosa dan permusuhan. Apabila dia menjualnya
kepada orang yang menggunakannya untuk berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala,
hal itu merupakan ketaatan dan ibadah.” (al-Mulakhkhas al-Fiqhi, 2/12)
Iqalah
Iqalah artinya pembatalan akad jual-beli dengan kerelaan penjual dan pembeli. Ini
merupakan kebaikan yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Penjual dengan rela mau membatalkan akad jual-beli ketika diminta oleh pembeli, saat
pembeli membutuhkannya, sekalipun akad telah sah.
Sebagai gambarannya, disebutkan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud,
“Apabila seseorang membeli sesuatu dari orang lain lalu menyesali pembeliannya,
mungkin karena ada penipuan, tidak lagi membutuhkannya, tidak punya uang lagi,
sehingga ia mengembalikan barang kepada penjual dan penjual pun menerimanya,
Allah subhanahu wa ta’ala akan menghilangkan kesusahannya pada hari kiamat nanti. Hal
itu merupakan kebaikannya terhadap pembeli. Sebab, akad telah sempurna sehingga
pembeli tidak dapat membatalkannya.”

13
Baca juga:
Membantu Kebutuhan Seorang Muslim
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam telah bersabda,
‫ال ُم ْسلِ ًما َب ْي َعتَهُ َأقَالَهُ اهللُ َع ْث َرتَهُ َي ْو َم ال ِْقيَ َام ِة‬
َ َ‫َم ْن َأق‬
“Barang siapa mau membatalkan akad penjualan seorang muslim, Allah akan lepaskan
dia dari kesulitannya pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu
Hibban dan ini lafaznya, al-Baihaqi, dan yang lain; lihat Shahih at-Targhib no. 1758)
Samahah
Samahah berarti toleransi atau memudahkan urusan. Kita dianjurkan memiliki sikap
toleransi terhadap orang lain dalam urusan jual-beli atau utang-piutang dan memudahkan
urusan muamalah dengan mereka.
Dari Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

َ َ‫اع َوِإ َذا ا ْشَت َرى َوِإ َذا اقْت‬ ِ


‫ضى‬ َ َ‫َرح َم اهلل َر ُجاًل َس ْم ًحا ِإ َذا ب‬
“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang memudahkan urusan saat menjual,
memudahkan urusan saat membeli, dan memudahkan urusan saat menagih
haknya.” (HR. al-Bukhari)
Dalam riwayat Ibnu Hibban rahimahullah ada tambahan lafaz, “Memudahkan saat
melunasi.”
Hukum Menunda-Nunda Membayar Utang
Dalam riwayat lain dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

َ َ‫اش َت َرى َس ْهالً ِإذَا ق‬


‫ضى‬ َ َ‫ َكا َن َس ْهاًل ِإذَا ب‬،‫غَ َف َر اهللُ لَِر ُج ٍل َكا َن َق ْبلَ ُك ْم‬
ْ ‫اع َس ْهالً ِإذَا‬
‫ضى‬َ َ‫َس ْهالً ِإ َذا اقْت‬
“Allah mengampuni seseorang sebelum kalian. Apabila menjual, dia memudahkan
urusan. Apabila membeli, dia memudahkan urusan. Apabila melunasi, dia
memudahkannya. Apabila menagih, dia juga memudahkannya.” (HR. al-
Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 5/357)
Dalam hadits lain dari Utsman bin Affan radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,
‫ْجنَّةَ َر ُجاًل َكا َن َس ْهاًل بَاِئ ًعا َو ُم ْشتَ ِريًا‬
َ ‫َأ ْد َخ َل اهللُ ال‬

14
“Allah memasukkan ke dalam surga, seorang penjual atau pembeli yang memudahkan
urusan.”  (HR. Ibnu Majah)
Dari Ibnu Umar dan Aisyah radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
ٍ ‫اف َأو غَير و‬
‫اف‬ ٍ ٍ ِ ُ‫من طَلَب ح ًّقا َفلْيطْل‬
َ َ ْ ْ ‫ب في َع َفاف َو‬
ْ َ َ َ َْ
“Barang siapa menuntut hak, hendaklah dia menuntut dengan menjaga (dari yang tidak
halal), terpenuhi atau tidak terpenuhi.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban,
dan al-Baihaqi)
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan tentang hadits Jabir radhiallahu anhu di atas,
“Di dalamnya terdapat anjuran untuk mempermudah urusan muamalah dan berakhlak
yang luhur. Tidak musyahah (saling menyulitkan) dan tidak menekan orang dalam
menuntut hak, serta memaafkan mereka.” (Fathul Bari)
Wadh’ul Ja’ihah
Ini adalah sebuah istilah ahli fikih. Ja’ihah berarti bencana alam, bukan upaya manusia,
semacam angin, hujan, atau hama. Wadh’u berarti menggugurkan. Maksud istilah ini ialah
pengguguran akad karena tanaman/buah yang dibeli terkena hama atau bencana sehingga
tidak panen.
Apabila terjadi hal semacam ini, kerugian ditanggung penjual. Jadi, penjual
mengembalikan uang kepada pembeli sebesar kerugiannya. (Lihat penjelasan dalam
kitab al-Mulakhkhas al-Fiqhi 2/41, Syarhul Buyu’ hlm. 64)
Hal tersebut adalah hukum yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa
sallam sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
‫ بِ َم تَْأ ُخ ُذ‬،‫ك َأ ْن تَْأ ُخ َذ ِم ْن هُ َش ْيًئا‬
َ َ‫َأص َاب ْتهُ َجاِئ َحةٌ فَالَ يَ ِح ُّل ل‬
َ َ‫يك ثَ َم ًرا ف‬
َ ‫َأخ‬ِ ‫ت ِمن‬
ْ َ ‫لَ ْو بِ ْع‬
‫يك بِغَْي ِر َحقٍّ؟‬ ِ ‫ال‬
َ ‫َأخ‬ َ ‫َم‬
“Seandainya engkau menjual buah kepada saudaramu lalu hama atau bencana
menimpanya, tidak halal bagimu untuk mengambil apa pun darinya (pembeli). Dengan
(imbalan) apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim)
Tidak Sering Bersumpah
Maksudnya, sering/banyak bersumpah demi melariskan dagangannya.

Seandainya pun sumpah ini dilakukan dengan jujur, ini adalah sifat tercela. Terlebih lagi
jika bersumpah dengan kedustaan.

15
Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
‫ال ْام ِرٍئ‬ ِ ‫ص ِر َعلَى َم‬ َ َ‫ َر ُج ٌل َحل‬:‫ثَالثَ ةٌ الَ يُ َكلِّ ُم ُه ُم اهللُ َوالَ َي ْنظُ ُر ِإلَْي ِه ْم‬
ْ ‫ف َب ْع َد ال َْع‬
‫ َو َر ُج ٌل َمنَ َع‬،‫ف لََق ْد َأ ْعطَى بِ ِس ل َْعتِ ِه َأ ْك َث َر ِم َّما َأ ْعطَى‬
َ َ‫ َو َر ُج ٌل َحل‬،ُ‫ُم ْس لِ ٍم فَاقْتَطَ َع ه‬
‫اك‬َ ‫ض َل َما لَ ْم َت ْع َملْهُ يَ َد‬ ْ َ‫ت ف‬َ ‫ضلِي َك َما َمَن ْع‬ْ َ‫ك ف‬ ُ ‫ َي ُق‬،‫ض َل ال َْم ِاء‬
َ ُ‫الَْي ْو َم َْأمَنع‬: ُ‫ول اهلل‬ ْ َ‫ف‬
“Tiga golongan manusia yang didak akan diajak bicara dan tidak dilihat oleh Allah:
 seseorang yang bersumpah setelah asar[1] atas harta seorang muslim sehingga ia
dapat mengambilnya,
 seseorang yang bersumpah bahwa ia telah memberikan barangnya dengan harga
lebih mahal daripada yang ia berikan, dan
 seseorang yang menghalangi (orang lain) dari kelebihan airnya. Allah subhanahu wa
ta’ala mengatakan, ‘Hari ini Aku halangi kamu dari karunia-Ku sebagaimana kamu
halangi (orang) sisa dari sesuatu yang tidak diupayakan oleh kedua
tanganmu’.” ( Ibnu Hibban)
Sumpah Atas Nama Allah dan Rasul-Nya
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu berkata,
،‫اعنِ َيه ا‬ ِ ‫ و‬،َ‫ ال‬:‫ال‬
َ َ‫ ثُ َّم ب‬.‫اهلل‬ َ َ َ‫ ق‬.‫ تَبِيعُنِ َيه ا بِثَالثَ ِة َد َر ِاه َم‬:‫ْت‬
ُ ‫ش ٍاة َف ُقل‬َ ِ‫َم َّر َأ ْع َرابِ ٌّي ب‬
ِ ‫ ب‬:‫ال‬ ِ ِ ‫ك لِرس‬ ِ ُ ‫فَ َذ َكر‬
َ َ َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َف َق‬
ُ‫اع آخ َرتَهُ بِ ُد ْنيَاه‬ َ ‫ول اهلل‬ ُ َ َ ‫ت َذل‬ ْ
Seorang Arab badui melewatiku dengan membawa seekor kambing. Aku katakan,
“Juallah kepadaku kambing itu dengan harga tiga dirham.” Ia menjawab, “Demi Allah,
tidak.” Namun, setelah itu ia menjualnya kepadaku (dengan harga tersebut). Kutanyakan
kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang hal itu. Beliau menjawab, “Dia
telah menjual akhiratnya dengan imbalan dunianya.” (Hasan, HR. Ibnu Hibban,
lihat Shahih at-Targhib no. 1792)
Dari Abdurrahman bin Syibl radhiallahu anhu, ia berkata, “Saya mendengar
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
:‫ال‬
َ َ‫َأح َّل اهللُ الَْب ْي َع؟ ق‬ ِ َ ‫ قِي ل ي ا رس‬:‫ال‬ َّ ‫ِإ َّن الت‬
َ ‫س قَ ْد‬
َ ‫ ََأولَْي‬،‫ول اهلل‬ َُ ََ َ َ‫ ق‬.‫ار‬ ُ ‫ُّج َار ُه ُم الْ ُف َّج‬
‫َّه ْم يُ َح ِّدثُو َن َفيَ ْك ِذبُو َن َويَ ْحلِ ُفو َن َويَْأثَ ُمو َن‬ ِ
ُ ‫ َولَكن‬،‫َبلَى‬
“Sesungguhnya para pedagang itu adalah para penjahat.” Para sahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual-beli?”

16
Beliau menjawab, “Ya, tetapi mereka berbicara lalu berdusta dan
mereka bersumpah lalu mereka berdosa.”
(Shahih, HR. Ahmad, lihat Shahih at-Targhib no. 1786)
Dari Salman radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa telah
bersabda,
ٍ ‫ط َز‬
‫ َو َر ُج ٌل َج َع َل‬،‫ َو َعاِئ ٌل ُم ْس تَ ْكبٌِر‬،‫ان‬ َ :‫ثَالثَ ةٌ الَ َي ْنظُ ُر اهللُ ِإلَْي ِه ْم َي ْو َم ال ِْقيَ َام ِة‬
ٌ ‫ُأش ْي ِم‬
‫يع ِإالَّ بِيَ ِمينِ ِه‬ ِِ ِ
ُ ِ‫اعةً الَ يَ ْشتَ ِري ِإالَّ بِيَمينه َوال يَب‬ َ‫ض‬ َ ِ‫اهللَ ب‬
“Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat:
 orang tua yang berzina,
 orang miskin yang sombong, dan
 seseorang yang menjadikan Allah sebagai dagangannya; dia tidak membeli kecuali
dengan sumpah dan tidak menjual kecuali dengan sumpah.” (Shahih, ath-Thabarani,
lihat Shahih at-Targhib no. 1788)
Dari Abu Dzar radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata,
‫ َف َق َر ََأه ا‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬.‫يم‬ ِ ‫ثَالَثَ ةٌ الَ ي ْنظُ ر اهلل ِإلَي ِهم ي وم ال ِْقيام ِة والَ ي َز ِّكي ِهم ولَهم َع َذ‬
ٌ ‫اب َأل‬ٌ ُْ َ ْ ُ َ ََ ََْ ْ ْ ُ ُ َ
‫ َخ ابُوا َو َخ ِس ُروا َو َم ْن ُه ْم يَا‬:‫ْت‬ُ ‫ َف ُقل‬،‫ات‬ ٍ ‫ث م َّر‬ ِ
َ َ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ثَال‬
ِ ُ ‫رس‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ
ِ ‫ْف الْ َك‬
ِ ‫ْحل‬ ِ ِ ‫ول‬
‫ب‬ِ ‫اذ‬ َ ‫ َوالْ ُـمَن ِّف ُق سل َْعتَهُ بِال‬،‫ َوالْ َـمنَّا ُن‬،‫ الْ ُـم ْسبِ ُل‬:‫ال‬
َ َ‫اهلل؟ ق‬ َ ‫َر ُس‬
“Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, tidak akan
menyucikan mereka dan mereka mendapat azab yang pedih.” Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menyebutnya tiga kali. Aku katakan, “Rugi mereka. Siapakah mereka, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang memanjangkan kainnya (sampai bawah
mata kaki), orang yang mengungkit pemberian, dan orang yang melariskan dagangannya
dengan sumpah palsu.” (Shahih, HR. Muslim dan Ashabus Sunan)\
Baca juga:
Larangan Isbal (Menjulurkan Pakaian di Bawah Mata Kaki)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫لسل َْع ِة َم ْم َح َقةٌ لِ ْل َك ْس‬
‫ب‬ ِّ ِ‫ْف َم ْن َف َقةٌ ل‬
ُ ‫ْحل‬
َ ‫ال‬
“Sumpah itu (biasanya) membuat laris dagangan dan (biasanya) menghancurkan
penghasilan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

17
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, “Menghancurkan berkah.” (Lihat Shahih at-
Targhib no. 1794)
 

SAYANG TERHADAP AGAMANYA


Di antara bentuk sikap sayang seorang pedagang terhadap agamanya, baik yang terkait
dengan dirinya atau yang mencakup urusan akhiratnya, ialah tidak semestinya ia
tersibukkan dari urusan akihratnya karena urusan dunianya. Justru semestinya ia
memperhatikan agamanya.

Rasa sayang terhadap agama itu akan terwujud sempurna dengan memperhatikan enam
perkara:

Pertama, niat yang baik dalam berwirausaha.


Hendaklah ia meniatkan dengan wirausaha tersebut untuk menjaga dirinya agar meminta-
minta dan mencegah rasa tamaknya terhadap milik orang lain. Dia berniat untuk
mencukupi keluarganya agar dengan itu ia termasuk golongan mujahidin. Dia juga berniat
untuk berbuat baik terhadap sesama muslimin.

Kedua, dengan usahanya dia meniatkan untuk menunaikan salah satu


fardu kifayah.
Sebab, apabila perindustrian atau perdagangan terhenti, tentu kehidupan pun akan macet.
Namun, di antara industri ada yang sangat penting, ada juga yang kurang perlu, misalnya
terkait dengan perhiasan atau sekadar untuk bermewah-mewah. Maka dari itu, bekerjalah
pada industri yang penting supaya usahanya bisa mencukupi kaum muslimin. Jauhilah
segala industri yang dibenci oleh agama, apalagi yang maksiat.

Ketiga, janganlah pasar dunianya menyibukkannya dari pasar


akhiratnya.
Pasar akhiratnya adalah masjid-masjid. Maka dari itu, hendaklah ia menjadikan awal
siangnya untuk akhiratnya sampai ia masuk ke pasar dunia atau usahanya. Ia biasakan
wirid-wiridnya.

Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia


Dahulu orang-orang yang saleh dari kalangan ulama salaf yang berprofesi pedagang
menjadikan awal siangnya dan akhirnya untuk akhiratnya. Apabila mendengar azan Zuhur

18
dan Asar, hendaklah dia meninggalkan usahanya dan menyibukkan diri untuk melakukan
yang wajib.

Keempat, hendaknya senantiasa berzikir kepada Allah subhanahu wa


ta’ala di pasar atau di tempat usahanya yang lain, membaca tasbih atau
tahlil.
Kelima, tidak terlalu berambisi dengan pasar dan perdagangan.
Jadi, dia tidak menjadi orang yang pertama masuk pasar dan yang terakhir keluar darinya.

Keenam, tidak hanya menjauhi yang haram, tetapi juga menjauhi hal-


hal yang syubhat.
(Diringkas dari penjelasan Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin)
Para Pedagang, Bersedekahlah…
Dalam praktik jual-beli, hampir tak lepas dari kata-kata yang tidak ada manfaatnya atau
bermudah-mudah dalam bersumpah. Lebih parah, terkadang tercampuri oleh kata-kata
yang haram, sumpah palsu, dan beragam ucapan dusta.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan para pedagang untuk


bersedekah. Sebab, sedekah akan meredam kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam
hadits dari Qais bin Gharazah radhiallahu anhu disebutkan,
ِ ‫السم‬
ُ ‫ فَ َم َّر بِنَ ا َر ُس‬،‫اس َر َة‬
‫ول‬ َّ ِ ِ ‫ول‬
َّ َ ‫اهلل‬ ِ ‫ُكنَّا فِي َع ْه ِد ر ُس‬
َ َّ ‫س َّمى‬ َ ُ‫ص لى اهلل َعلَْي ه َو َس ل َم ن‬ َ
‫ ِإ َّن‬،‫ُّجا ِر‬
َّ ‫ش َر الت‬ َ ‫ َف َق‬،ُ‫س ُن ِم ْنه‬
َ ‫ يَ ا َم ْع‬:‫ال‬ َ ‫َأح‬ْ ‫اس ٍم ُه َو‬ْ ِ‫س َّمانَا ب‬ َّ ِ
َ َ‫صلى اهلل َعلَْيه َو َسل َم ف‬
ِ
َّ َ ‫اهلل‬
‫الص َدقَ ِة‬
َّ ِ‫شوبُوهُ ب‬ ُ َ‫ ف‬،‫ْف‬ ُ ‫ْحل‬َ ‫ض ُرهُ اللَّغْ ُو َوال‬
ُ ‫الَْب ْي َع يَ ْح‬
Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kami disebut samasirah (yakni
sebutan bukan dari bahasa Arab, artinya makelar). Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam melewati kami dan menyebut kami dengan sebutan yang lebih bagus darinya.
Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Wahai para tujjar (kata berbahasa
Arab yang berarti ‘para saudagar’), sesungguhnya jual-beli itu tercampuri kata-kata
yang tidak manfaat dan sumpah-sumpah, maka campurilah dengan
sedekah.” (Shahih, HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Lihat Shahih al-
Jami’ no. 7974)
Dalam riwayat lain, “Tercampur dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan dusta.”
‫الص َدقَ ِة‬
َّ ِ‫شوبُوا َب ْي َع ُك ْم ب‬ ِ ‫ضر‬
ُ َ‫ان الَْب ْي َع ف‬ َّ ‫ ِإ َّن‬،‫ُّجا ِر‬
َ ُ ‫الش ْيطَا َن َواِإْل ثْ َم يَ ْح‬ َّ ‫ش َر الت‬
َ ‫يَا َم ْع‬

19
“Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa mendatangi proses jual-beli. Maka
dari itu, campurilah jual-beli kalian dengan sedekah.” (Shahih, HR. at-
Tirmidzi, Shahih al-Jami’ no. 7973)
Wallahu a’lam bish-shawab.

20
21

Anda mungkin juga menyukai