Anda di halaman 1dari 9

BEBERAPA PEYIMPANGAN KEBAHASAAN DALAM PUISI1

Oleh: Shiny.ane el’poesya


Penulis buku Puisi #sainsPuisi dan founder grup telegram SainsPuisi Lab.
(Join Club Link: t.me/sainsPuisi_lab)

A.A. Teew seorang professor bidang Sastra dalam bukunya Membaca dan Menilai
Sastra (1983) pernah mengatakan, bahwa seringkali seorang penulis puisi melakukan
sebuah penyimpangan bahasa pada masanya. Sebuah penyimpangan yang pada akhirnya
bisa kita fahami dilakukan untuk memberikan efek tertentu baik dalam segi pengucapan,
penulisan atau efek visual yang diharapkan—khususnya efek citarasa seni. Hal tersebut
dikarenakan, seorang penulis puisi kerap menemukan bahwa bahasa konvensional (artinya
bahasa dengan aturan yang baku pada masanya) tidak cukup untuk menjadi media
menyampaikan pesan khusus tertentu.
Jika kita membaca kajian makna kalimat milik Geofreey Leach dalam Linguistic Guide to
English Poetry (1969), paling tidak ada 8 jenis penyimpangan bahasa yang terdapat dalam
puisi. Di antaranya:
1. Penyimpangan Leksikal
Penyimpangan leksikal adalah penyimpangan yang dilakukan oleh seorang penulis puisi
yang berhubungan dengan aspek morfologi (pembentukan kata). Jika kita perhatikan
berbagai puisi, maka seringkali kita menemukan sejumlah kata-kata aneh yang tak dapat
bisa dipahami dan ketika kita coba mencari-cari artinya apa di dalam kamus, ternyata kata
tersebut tidak ditemukan dalam kamus. Sebagai contoh mari kita baca penggalan puisi
Chairil Anwar yang berjudul Kepada L.K Bohang berikut:
Kami jalan sama. Sudah larut
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat
Siapa berkata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga.
Nah coba kita perhatikan dua kata berikut ini, “pedat” dan “mengelucak.” Apa artinya?
Apakah kita dapat menemukannya pula artinya di dalam kamus? Jawabannya, kita tidak

1
Ditulis sebagai materi penyempurna kelas Pengantar Teknik Sains Puisi Akhir Tahun 2019. Tulisan ini pula akan dimuatkan ke
dalam website SAINSPUISI.com. Tulisan ini boleh dibagiakan seluas-luasnya.
akan menemukan artinya di dalam kamus. Sebab apa? Sebab yang dilakukan oleh Chairil
adalah usaha kreatif menciptakan sebuah “kata baru” (neologisme) untuk mengungkapkan
apa yang ia rasakan/fikirkan.
Dalam konteks ini, terkadang kita akan menemukan berbagai kata-kata aneh yang memang
benar-benar aneh sebagai sebuah kata dalam sebuah puisi, sehingga kita begitu gelap
untuk meraba maknanya apa, tetapi terkadang juga seperti yang dilakukan oleh Chairil di
atas, dengan hanya melakukan penyimpangannya saja sedikit dari kata-kata yang
sebenarnya. Contoh, kata “pedat” dalam “tumpat-pedat” akan dengan mudah diraba
maksudnya apa, sebab simpangan yangdilakukan tidaklah jauh dari kata aslinya “padat.”
Begitu juga pada “menggelucak,” yang secara fonetis (bunyi kata) begitu dekat dengan kata
“bergejolak” serta “berdecak.”
2. Penyimpangan Semantis
Penyimpangan makna maksudnya adalah, praktik yang dilakukan oleh kalangan penulis
puisi dengan menyimpangkan arti dari sebuah kata kepada makna lain yang dimaksudkan.
Sebagai contoh: Kata “Mawar,” dalam kamus diatikan sebagai sebuah Bunga tetapi di
dalam sebuah puisi, kata “Mawar” bias dimaksudkan kepada bukan sekedar bunga, tetapi
sebagai symbol dari perasaan, atau sebagai pengganti ungkapan dari “cinta.” Kata “Bulan”
misalnya, dalam percakapan konvensional merujuk kepada benda langit yang bercahaya
redup yang muncul di malam hari, tetapi dalam puisi, kata bulan bisa disimpangkan
maknanya oleh penulis sebagai seorang kekasih, teman sepia tau seterusnya seterusya.
Inilah yang disebut sebagai penyimpangan makna dalam puisi. Oleh karenanya, di sini pula
ditekankan dalam membaca sebuah puisi, harus memiliki kepekaan atas maksud
keseluruhan dari isi puisi. Sebab, tak jarang, kata Mawar atau Bulan pada satu puisi
bermakna A, tetapi di dalam puisi lain bisa bermakna B, C dan D, sesuai konteks makna
keseluruhan puisinya. Juga dengan demikian, dalam membaca sebuah puisi (yang sudah
bagus), kamus tidaklah menjadi patokan satu-satunya untuk pekerjaan message hunting
(penelusuran makna). Lagi-lagi. Kepekaan terhadap keseluruhan wacana atau pemikiran,
yang hendak disampaikan oleh penyairnya.
Dalam buku SainsPuisi misalnya, dikatakan bahwa para filsuf islam seperti Ibnu Shina dan
Al-Farabi menyatakan bahwa salah satu sifat yang sering muncul dari puisi adalah
bentuknya sebuah Mukhayyal (imajinasi, fiksi), yang berbeda dengan sebuah diktat filsafat
yang setiap kata-katanya haruslah mewakilkan sebuah konsep-konsep atau benda-benda
dengan benar (jika ditulis mawar, maka dia harus merujuk pada kata mawar. Jika ditulis
bulan, maka ia harus merujuk pada bulan—tidak boleh menyimpang). Dalam kaitan ini,
dikatakan pula bahwa pengerjaan puisi memanglah berarti sebuah pengerjaan kreatif atas
hubungan antara kata dan makna, bukan hanya sekedar menggunakan bahasa yang sudah
tersedia di dalam tubuh masyarakatnya.
3. Penyimpangan Fonologis
Penyimpangan fonoligis, atau penyimpangan bunyi, juga kerap digunakan oleh sebagian
penyair untuk memberikan efek tertentu terhadap puisinya. Biasanya, penyimpangan ini
dilakukan untuk kepentingan rima, atau bahkan untuk kepentingan lain. Sebagai contoh,
Bunda waktu tuan melahirkan beta
Pada subuh kembang cempaka
Adakah ibunda menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda ?
Wah kalau begini naga – naganya
Kayu basah dimakan api
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah fani.
Dua bait puisi di atas adalah penggalan puisi Amir Hamzah yang berjudul “Buah Rindu.”
Perhatikan pada kata “Fani” yang ada di baris paling akhir. Mungkin, bagi pembaca awam
atau bahkan editor yang kurang wawasan ilmu puisi, kata “Fani” di sana akan dianggap
sebagai sebuah salah ketik (typo) yang seharusnya ditulis “Fana.” Padahal, apa yang
dilakukan oleh Amir Hamzah tidaklah lain praktik menyimpangkan suara akhir kata agar
diperoleh kesetimbangan rima.
Chairil Anwar sebagai pelopor puisi kerap juga melakukan hal yang sama, untuk
kepentingan tertentu. Sebagai contoh dalam penggalan sajak “Aku” berikut.
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Perhatikan sajak di atas. Terutama pada penggunaan kalimat “‘Ku mau tak seorang ‘kan
merayu” dan “Hingga hilang pedih peri.” Pertanyaannya, apa yang telah dilakukan oleh
Chairil Anwar dalam puisinya tersebut dengan menghilangkan huruf “A” dalam “Ku” dan
“Kan”, serta menghilangkan huruf “H” dalam “Peri?” Jawabannya adalah bahwa Chairil
telah melakukan penyimpangan Fonetis untuk tujuan tertentu.
Dalam “’Ku mau tak seorang ‘kan merayu” kita akan merasakan ungkapan yang dibuat oleh
Chairil begitu lugas. Akan menjadi kurang lugas ternyata, ketika kalimat itu diubah dengan
susunan fonologis yang sesuai dengan wajarnya: “Aku mau tak seorang akan merayu.”
Dengan meyebutkannya demikan, ungkapan tersebut memang menjadi kurang lugasnya.
Begitu juga akan berbeda rasa pembacaan antara berhadapan dengan kata “Pedih peri” dan
“Pedih Perih.”
Secara pribadi, saya sendiri dalam praktik berpuisi seringkali melakukan hal demikian
untuk kepentingan memberi efek tertentu. Salah satunya sebagai contoh, bagaimanapun
saya mengetahui bahwa kata baku Bahasa Indonesia dari “fikir” adalah “pikir,” tetapi demi
tetap mempertahankan efek bunyi huruf “f” ketimbang “p”, sampai saat ini, hampir di
semua tulisan saya menggunakan kata “Fikir” ketimbang “pikir.”
4. Penyimpangan Sintaksis
Sintaksis merupakan sebuah kata yang digunakan untuk merujuk sebuah tata hubungan
fungsional yang terdapat dalam sebuah bahasa (baca: kalimat). Menjadi apa sebuah kata
dalam kalimat yang telah dibuat: apakah menjadi Subjek, Predikat, Objek, atau sebagai
Keterangan pembantu. Setiap negara, pada dasarnya memiliki aturannya tersendiri dalam
usaha penataan bahasa masyarakatnya. Indonesia, menganggap bahwa struktur kalimat
yang normal untuk sebuah kalimat deklaratif (pernyataan) adalah yang paling tidak
memiliki susunan sintaksis Subjek dan Predikat. Begitu pula, seperti dalam pernyataan
kalimat aktif, susunan S dan P tidaklah benar jika dibalik menjadi P-S. Contoh: Aku (S)
makan (P) nasi (O), menjadi Makan (P) aku (S) nasi (O). Pemutaran seperti ini tidak boleh
dilakukan sebab akan menimbulkan kebingungan komunikasi di telinga pendengar, atau di
mata pembaca, jika itu berupa tulisan. Lain halnya jika hal tersebut ada dalam praktik
penulisan kreatif (Poiesis).
Dalam Puisi (Poiesis), sebagaimana penyimpangan kebahasaan lainnya, kreativitas dalam
struktur sintaksis justru dianjurkan, selama hal tersebut untuk tujuan menimbulkan efek
kesenian tertentu. Sebagai contoh lain bisa kita baca puisi “Nisan” milik Chairil di bawah ini,
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Kerinduanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.
Perhatikan kalimat pembuka sajak di atas, “Bukan kematian benar menusuk kalbu.” Pada
kalimat ini kita bisa menemukan Chairil melakukan pemutaran sintaks dengan
menempatkan kata penegas di tengah antara subjek dan predikatnya, yang seharusnya
diletakkan di awal seperti berikut, “Benar, bukan kematian (S) menusuk (P) kalbu (O).
Begitu juga pada kalimat, “Tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan
bertakhta,” yang seharusnya dalam kalimat-kalimat formal disusun demikian, “Tak kutahu
(K1) maha tuan (S) bertakhta setinggi itu (P) atas debu dan duka (K2).”
Sebab kajian sistaksis juga melingkupi tidak hanya struktur kata, melainkan struktur frasa
dan klausa, maka penyimpangan sintaksis ini bisa terjadi pada tingkat frasa dan kluasa.
Sebagai contoh, pada puisi “Ini kali tak ada yang mencari cinta,” pada baris pertama ditulis
kalimat (yang sama dengan judul) yang menyimpang dalam pembuatan frasa.
5. Penyimpangan dengan Penggunaan Dialek
Maksud dari penyimpangan dialek adalah penggunaan bahasa lokal ke dalam tubuh puisi
yang berbahasa nasional. Dalam hal ini, yang dimaksud sebagai puisi yang normal adalah
puisi yang menggunakan bahasa nasionalnya sehingga bisa diterima oleh masyarakat lintas
kultur karena telah digunakan bahasa persatuan. Penggunaan kembali bahasa lokal ke
dalam tubuh puisi akan membuat puisi dianggap kembali menyimpang dari tradisi
perpuisian nasionalnya. Namun, lagi-lagi hal tersebut diperkenankan dalam penulisan
kreatif demi tujuan tertentu. Adapun tujuan-tujuan tersebut di antaranya, untuk
mempertahankan ciri khas pengucapan bahasa daerahnya sehingga tetap memberikan cita
rasa lokalitas dalam puisinya, untuk mengangkat kearifan bahasa lokal di tempat bahasa
itu dilahirkan yang mana kearfian baha sa tersebut tidak didapatkan baik pada
katatabahasaan nasionalnya maupun pada bahasa lokal daerah lainnya. Sehingga,
kebutuhan untuk menyampaikan kearifan atau muatan makna yang dimaksud mau tidak
mau harus menggunakan bahasa/dialek lokalnya. Mari kita baca penggalan sajak
“Penangkapan Sukra” milik Goenawan Mohammad di bawah ini,
Pusaran amat panjang, dan tebakan-tebakan amat
sengit, dalam perjalanan itu.
Sampai akhirnya iringan berhenti.
Tempat itu sepi.
“Katakanlah, ki sanak, di manakah ini.”
“Diamlah, Raden, tuan sebentar lagi
akan mengetahuinya sendiri.”
Ada ruang yang tak kulihat.
Ada gema meregang di ruang yang tak kulihat.
Kemudian mataku mereka buka. Lalu kulihat pertama kali
gelap sehabis senja.
Pada penggalan sajak tersebut, dalam dialog digunakan kata sapaan “Ki sanak” dan
"Raden” yang merupakan kata bukan dari dialek Bahasa Indonesia modern, tetapi dari
dialek lokal. Penggunaan tersebut dikatakan sebagai sebuah penyimpangan, namun
segerra dipahami penyimpangan tersebut memang diaktifkan bukan sebab kegagalan
pemahaman terhadap penggunaan tata kebahasaan dalam menulis. Tetapi, justru
sebaliknya dengan sebuah kesadaran untuk memberikan keutuhan suasana makna dari
suasana yang hendak disampaikan oleh penulisnya. Alih-alih, akan menjadi rancu justru
jika kata Kisanak di sana misalnya diganti dengan kata “Anda” yang merupakan leksis
Bahasa Indonesia padahal yang hendak disampaikan adalah suasana dari kebudayaan lokal
yang melingkupi dunia imajinatif puisinya.
Dari adanya penyimpangan dialek ini, pula kita akan dapat belajar, bahwa membangun
suasana dalam penulisan kreatif, tidak memulu dengan menggunakan deskripsi mengenai
apa yang hendak dihadirkan. Dengan penggunaan dialek khusus pun dalam tubuh puisinya,
maka pembaca akan secara otomatis mengenal dan memahami maksud suasana yang
hendak dibangun oleh penggubahnya. Nah, penggunaan bahasa-bahasa prokem keseharian
yang sifatnya tak jarang seenaknya--seperti pada puisi-puisi mbeling demi menghadirkan
situasi hidup keseharian yang apa adanya, vulgar dan tanpa tedeng aling-aling, juga bisa
kita kategorikan ke dalam penyimpangan ini.
6. Penyimpangan dengan Penggunaan Register (Dialek non-Puisi)
Penggunaan Register ini pada dasarnya adalah bagian dari penyimpangan dengan
menggunakan dialek. Hanya saja, apa yang dimaksud dari penggunaan register ini
membidik berbagai nomenklatur formal yang berhubungan dengan dunia keilmuan,
profesi, atau bahkan bahasa lain di luar bahasa Nasional penulisnya. Seperti pada sajak
milik Hamzah Fansuri berikut,

Thayr al-`uryan unggas sulthani


Bangsanya nur al-rahmani
Tasbihnya Allah `Subhani’
Gila dan mabuk akan rabbani

Unggas itu terlalu pingai


Warnanya sempurna bisai
Rumahnya tiada berbidai
Duduknya da’im di balik tirai

Perhatikan penggunaan frasa “Thayr al-`uryan”, dan kata “Da’im”, pada sajak milik Hamzah
fansuri di atas. Bagi pembaca umum akan dengan mudah merasakan bahwa istilah tersebut
bukanlah istilah yang diambil dari percakapan umum bahasa nasionalnya, melainkan
bahasa yang diambil sebagai bahan dasar menggubah puisi dari peristilahan teknis ilmu
tasawuf. Begitu pula bagi mereka yang hendak mendalaminya. Maka, tidak dapat mungkin
untuk masuk ke dalamnya, tanpa mempertimbangkan pemahaman atas keilmuan yang
melingkupinya.
Penyimpangan-penyimpangan register ini seringkali muncul, terlebih jika penggubah
sebuah puisi adalah merupakan seseorang yang dalam kehidupan sehari-harinya aktif
dalam bidang keilmuan tertentu atau memiliki profesi formal di luar bidang sosial-
humaniora; dokter, ahli teknologi informasi, ahli fisika dst.
7. Penyimpangan Historis.
Sebagaimana Penyimpangan dengan Penggunaan Register, Penyimpangan Historis pula
sebenarnya bisa dikatakan juga sebagai bagian dari penyimpangan dialek. Namun, yang
dimaksudkan dalam Penyimpangan Historis ini adalah penggunaan bahasa-bahasa yang
sifatnya sangat arkaik, diambil dari bahasa-bahasa kuno atau klasik dari masa yang telah
jauh, yang mana masyarakat pada umumnya sudah tidak menggunakannya lagi dalam
leksis bahasa nasionalnya, bahkan dalam percakapan bahasa lokal kesehariannya. Kembali,
dalam bagian ini saya contohkan penggalan sajak milik Amir Hamzah yang berjudul
“Nyanyi Sunyi.” Berikut,
Sunyi itu luka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Perhatikan penggunaan kata “lampus” di atas. Kata tersebut adalah kata-kata yang diambil
Amir Hamzah dari bahasa melayu lama yang oleh masyarakatnya pada saat itu sudah tidak
digunakan lagi. Namun menariknya adalah, secara pribadi, saya sendiri merasakan
penggunaan kata tersebut justru tidak menjadi kata yang usang karena kekunoannya.
Pertanyaannya, mengapa? Karena Amir Hamzah dapat menempatkannya dalam struktur
puisi yang tepat baik secara bentuk (sajak berima) maupun makna (peleburan makna kata
yang setimbang antar kata yang dihubungkan: kudus-lampus).
8. Penyimpangan Grafologis
Grafologi, atau ilmu penggunaan simbol-simbol tulis, merupakan bagian yang tidak
terhindarkan dalam pembahasan Puisi Indonesia modern yang memang secara umum
hidup dan berkembang melalui tradisi tulis. Dalam perkembangan ini, seluruh kelisanan
dikonversikan ke dalam simbol-simbol kebahasaan berupa tulisan. Keberadaan bunyi kata
(fonetik) digantikan dengan rangkaian huruf-huruf dan keberadaan intonasi dalam
komunikasi lisan digantikan dengan keberadaan tanda baca dalam bahasa tulis; Mayarakat
teks = Masyarakat visual, sebagaimana pernah saya ungkapkan melalui sebuah puisi
berjudul Kupu-Kupu dalam buku sainsPuisi berikut.
Lantas dalam kaitan ini, apa yang dimaksud dengan penyimpangan Grafologis dalam puisi?
Yang dimaksudkan Penyimpangan Grafologis tidak lain adalah penyimpangan di dalam
penggunaan simbol-simbol tulis tersebut. Dalam perpuisian pada umumnya, misalnya kita
temukan dengan mudah orang menuliskan puisi dari awal sampai akhir puisi tidak sama
sekali menggunakan tanda koma, titik, pengakpitalan sesuai aturan tatabahasa nasionalnya
yang baik. Hal-hal semacam itulah yang merupakan bagian dari penyimpangan Grafologis
dalam Poiesis (penulisan kreatif). Dan dalam pola penulisan puisi eksperimental,
penyimpangan grafologis kerap digunakan juga sebagai penguat elemen dan makna
typografis, sebagaimana puisi Kupu-Kupu di atas. Bagaimana?
Penutup
Di luar dari kajian semantic G. Jefrey L. itu, kita juga bisa menemukan berbagai
penyimpangan lain yang dilakukan oleh para pegiat Puisi. Dalam konteks ini, salah satunya
adalah adanya model penyimpangan sintaksis lain yang kerap dilakukan terutama oleh
seorang penulis sajak. Yaitu melakukan pemenggalan kalimat yang dinamakan dengan
Enjambemen; memenggal sebuah kalimat ke dalam beberapa baris-baris (stanza),
sebagaimana dalam tradisi perpuisian Indonesia Modern dipelopori oleh Chairil Anwar.
Tulisan ini merupakan sebuah gubahan ulang (adaptasi) dari sebuah paper berjudul
“Linguistik Deviation in Poetry Translation: An Investigation into The English Rendering of
Shamlu’s Verse,” karya Hossein Pimajmuddin dan Vahid Medhat, University of Isfahan,
Iran., yang membahas bagaimana karakter penggunaan bahasa dalam Puisi yang
dibedakannya dengan penggunaan dalam bahasa sehari-hari.
Materi tersebut saya adaptasi dan gubah ulang sesuai kontkes tradisi Perpuisian Indonesia,
tidak lain untuk memberikan pemahaman umum kepada kawan-kawan, bahwa banyak hal
kreatif yang bisa dilakukan di dalam sebuah Pelaksanaan Puisi, yang sifatnya—sebenarnya
sangat-sangat eksperimental di dalam penggunaan bahasa yang kita punya.
Puisi, sebagai kerja kreatif (untuk kesekian kali saya mengatakan bahwa Puisi adalah kata
kerja yang mencakup berbagai kegiatan kreatif, bukan kata benda), pada dasarnya adalah
sudah pasti merupakan sebuah praktik eksprimen dalam berbahasa. Hanya saja, memang,
dalam praktiknya, apa yang dikatakan sebagai Puisi Eksperimental (sebagai sebuah genre),
terkadang sifatnya sangat-sangat eksploratif ketimbang wujud perpuisian yang dikerjakan
oleh masyarakat pada umumnya.
Salah satu penyebabnya adalah, masyarakat umum kebanyakan, atau bahkan banyak para
pegiat perpuisian dan sastra tidak dalam mempelajari seluk beluk ilmu puisi dengan benar,
juga terus menyatakan bahwa puisi adalah lagi-lagi sekedar permainan dalam
menyampaikan perasaan (kegembiraan, kesedihan, kemarahan, kesepian, kegelisahan,
dsb.), atau fikiran-fikiran belaka, tanpa menghiraukan aspek usaha pernyataan
berkeseniannya terhadap bahasa (to language splendor) yang bangsanya punya. Sehingga
dengan demikian, maka diperolehlah satu pemisahan yang sebenarnya agak keliru, sebab
faktanya secara praktik tidak bisa benar-benar dipisahkan secara tegas antara puisi yang
konvensional (umum) dengan puisi yang eksperimental (benar-benar memiliki fokus
terhadap eksperimen bahasa); kecuali memang antara yang ekstrim dari keduanya.

12 Januari 2020 —Sekian

Anda mungkin juga menyukai