Anda di halaman 1dari 49

PROPOSAL PENELITIAN

RANCANGAN INSTRUMEN TES UNTUK MENGIDENTIFIKASI


MISKONSEPSI PESERTA DIDIK MENGGUNAKAN THREE TIER
DIAGNOSTIC TEST DIGITAL PADA MATERI ALAT OPTIK

MIRNA
1712040008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2021
i
Daftar Isi
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1

B. Identifikasi Masaalah.................................................................................6

C. Batasan Masalah........................................................................................6

D. Rumusan Masalah.....................................................................................6

E. Tujuan Penelitian.......................................................................................7

F. Manfaat Penelitian.....................................................................................7

II TINJAUAN PUSTAKA

A. Miskonsepsi...............................................................................................10

B. Penyebab Terjadinya Miskonsepsi............................................................12

C. Three-Tier Diagnostic Test........................................................................13

D. Google Formulir........................................................................................19

E. Kerangka Berpikir.....................................................................................24

III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian..........................................................................................26

B. Tempat dan Waktu Penelitian...................................................................26

C. Subjek Uji Coba........................................................................................26

D. Langkah-Langkah Pengembaangan Instrumen Diagnostik Tes................27

E. Teknik daan Instrumen Pengumpulan Data..............................................31

F. Teknik Analisis Data.................................................................................33

DAFTARPUSTAKA

ii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi tugas penting untuk

mengantisipasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin

berkembang pesat di berbagai bidang kehidupan. Sumber daya yang berkualitas

diharapkan mampu menjadi pioner dan dapat memanfaatkan peluang untuk

mencapai kehidupan yang lebih baik. Sumber daya manusia yang berkualitas

dapat diwujudkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas pula.

Dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2003 dinyatakan bahwa tujuan

pendidikan nasional untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia

Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, cakap, berilmu, kreatif, mandiri menjadi warga negara yang

demokratis dan bertanggungjawab.

Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, pengembangan potensi peserta

didik di sekolah, dilakukan mulai dari jenjang sekolah dasar untuk mencetak

manusia dengan kualitas yang baik seutuhnya, agar dapat bersaing dan menjawab

tantangan global. Salah satu mata pelajaran yang memiliki misi untuk

mengembangkan potensi peserta didik adalah mata pelajaran IPA.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) menurut Ismail (2016) secara ideal merupakan

suatu rumpun ilmu mengenai fenomena alam sekitar yang dimasukkan ke dalam

pembelajaran yang merupakan kombinasi antara Fisika, Kimia dan Biologi. Lebih

lanjut, Ismail menjelaskaan bahwa IPA merupakan mata pelajaran yang

membekali peserta didik dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan di dalam

1
pembelajaran serta menghendaki penguasaan kompetensi terkait pemahaman yang

lebih mendalam mengenai alam sekitar.

Wulandari (2015) IPA tidak hanya berkaitan dengan penguasaaan

pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep atau bahkan prinsip saja melainkan

merupakan suatu proses menemukan berkaitan dengan fenomena alam secara

sistematis.

Fisika merupakan salah satu bagian dari ilmu sains yang menekankan pada

pemahaman konsep. Fisika merupakan suatu bidang ilmu yang sering dijumpai

dalam kehidupan sehari – hari. Namun kehadirannya sering tidak disadari atau

bahkan tidak diketahui oleh manusia. Hal tersebut terjadi, karena pemahaman

tentang konsep fisika masih minim sehingga hal-hal yang berkaitan dengan fisika

dan sering dijumpai dalam kehidupan sehari – hari tidak dipedulikan.

Pembelajaran fisika menurut kurikulum 2013 memiliki tujuan yaitu peserta

didik mempunyai kemampuan untuk menguasai konsep dan prinsip fisika serta

memiliki keterampilan untuk mengembangkan pengetahuan, serta sikap percaya

diri sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan

juga mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut Widya, dkk (2018) penguasaaan konsep menunjukkan siswa

menguasai materi – materi fisika dengan baik. Pemahaman konsep sangat penting

dalam pembelajaran fisika sebab dengan peserta didik memahami konsep fisika

maka pengetahuan mereka cenderung akan bertahan lama, meskipun materi

tersebut telah lama diajarkan namun materi tersebut tetap akan membekas di

ingatan peserta didik.

2
Arifin (Putri, 2020) mengemukakan permasalahan dalam proses pembelajaran

peserta didik sering mengalami kesalahan konsep atau yang biasa disebut dengan

miskonsepsi, meskipun pembelajaran sudah disampaikan oleh guru. Menurut

Faizah (2016) miskonsepsi peserta didik dapat dikurangi apabila guru menyadari

bahwa dalam diri peserta didik sudah terdapat prakonsepsi yang merupakan hasil

dari pengalaman mereka sehari-hari. Menurut Putri (2020) terdapat hubungan

antara pemahaman konsep dengan miskonsepsi, pemahaman konsep pada

pembelajaran khususnya fisika menuntut penguasaan terhadap konsep yang sesuai

dengan kesepakatan para ahli, dimana pemahaman tersebut tidak menyimpang

dan tidak menimbulkan hipotesis yang lain, yang akan menimbulkan konflik

negatif. Sarlina (2015) mengemukakan bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep

awal, kesalahan hubungan yang tidak benar diantara konsep-konsep, gagasan

intuitif atau pandangan naif. Yuyu (2017) menjelaskan adanya miskonsepsi

haruslah menjadi perhatian untuk para guru, hal ini dikarenakan miskonsepsi

dapat berdampak pada keberhasilan pembelajaran.

Menurut Ibrahim (2019) ketika seorang peserta didik mengalami miskonsepsi

maka dapat ditandai dengan (1) pengertian konsep pada peserta didik tersebut

berbeda dengan pengertian yang telah disepakati, (2) peserta didik merasa saangat

yakin, bahwa apa yang mereka yakini itu adalah benar, dan (3) karena keyakinan

tersebut maka akan memicu hal lain, yaitu mengalami miskonsepsi yang bersifat

resisten, selalu bertahan dengan kesalahannya sehingga sulit untuk diperbaiki.

Guru harus peka terhadap miskonsepsi yang dialami oleh peserta didik,

dengan begitu guru dapat menentukan model pembelajaran yang efektif untuk

3
mengurangi tingkat miskonsepsi itu serta menentukan alat evaluasi yang dapat

digunakan untuk mengukur seberapa tinggi tingkat miskonsepsi yang dialami oleh

peserta didik. Menurut Pratiwi (2018) evaluasi yang sering dilakukan di sekolah

adalah pelaksanaan ulangan harian, dimana ketika terdapat peserta didik yang

menjawab soal dengan salah biasanya dianggap terjadi karena kesalahan hitung,

kurang teliti, dan lain sebagainya, namun guru kurang mempertimbangkan

kemungkinkan kurangnya pemahaman peserta didik tersebut terhadap konsep

pada materi yang diajarkan.

Menurut Mubarak (2016) sala satu cara untuk mengidentifikasi miskonsepsi

peserta didik yaitu dengan menggunakan instrumen tes diagnostik yang diberikan

kepada peserta didik setelah proses pembelajaran berlangsung. Ika (2019)

menjelaskan bahwa tes diagnostik ini digunakan untuk membantu kesulitan atau

mengatasi hambatan yang dialami oleh peserta didik sewaktu mengikuti

pembelajaran. Salah satu jenis tes diagnostik yaitu Three – Tier Diagnostic Test .

Penggunaan tes ini diharapkan dapat membantu pendidik dalam mengidentifikasi

peserta didik yang paham konsep, miskonsepsi dan yang tidak paham konsep.

Pada tes diagnostik ini terdapat tiga tingkatan jawaban yang akan dijawab oleh

peserta didik. Tingkat pertama yaitu jawaban peserta didik terhadap pertanyaan

yang diberikan, kemudian tingkat kedua merupakan alasan peserta didik mengapa

menuliskan jawaban tersebut, dan pada tingkat ketiga merupakan tingkat

keyakinan peserta didik mengenai jawabannya.

Penelitian ini dilakukan di tengah pandemi Covid-19 yang tengah menjangkiti

seluruh negara di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Hal ini

4
mengakibatkan dikeluarkannya aturan pemerintah untuk membatasi aktivitas

manusia yang disebut sebagai sosial distancing. Social distancing ini

mengharuskan setiap orang menjaga jarak dan dilarang untuk berkerumun,

sehingga diterapkan work from home dan school from home. Maka dari itu,

penelitian ini tidak dilakukan secara langsung melainkan secara online atau biasa

disebut dengan daring. Instrumen yang dihasilkan akan disebarkan secara digital

tidak dibagikan secara langsung dalam bentuk print out, aplikasi yang akan

digunakan untuk menyebar instrumen secara digital yaitu Google Form atau

google formulir. Aplikasi google form menjadi salah satu pilihan untuk

melaksanakan kegiatan pembelajaran selama pandemi, aplikasi ini membantu

dalam mengisi survei, memberikan kuis, dan lain sebagainya. Aplikasi ini bekerja

dalam penyimpanan google drive, penggunaan aplikasi ini memudahkan

penelitian dan membantu dalam mengumpulkan data dengan efisien walaupun

tidak bertemu langsung dengan peserta didik.

Lokasi penelitian adalah sekolah menengah atas di Kabupaten Barru yaitu

SMAN 4 Barru, berdasarkan studi awal peneliti yang dilakukan pada tanggal 7

Februari 2021, sekolah tersebut belum pernah menggunakan instrumen Three-Tier

Diagnostic Test, guru hanya menggunakan instrumen yang masih umum,

sehingga menilai hasil belajar peserta didik hanya dilihat dari benar salahnya

jawaban peserta didik tanpa menguji kebenaran konsep yang dimiliki oleh peserta

didik. Berdasarkan latar belakang yang telah diurai oleh peneliti di atas, maka

peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul ”Rancangan

5
Instrumen Tes untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi Peserta Didik

Menggunakan Three-Tier Diagnostic Test Digital pada Materi Alat Optik”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat didefinisikan masalah yang terjadi

dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

1. Pendidik belum memperhatikan tingkat pemahaman konsep peserta didik

dalam membuat instrumen.

2. Belum adanya instrumen tes untuk mengidentifikasi miskonsepsi peserta

didik

3. Penilaian peserta didik sebatas benar salah, tanpa memperhatikan

bagaimana konsep yang dipahami peserta didik terhadap suatu materi

tertentu

C. Batasan Masalah

Pembatasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Instrumen yang dirancang ialah instrumen tes untuk mengidentifikasi

miskonsepsi peserta didik menggunakan Three-Tier Diagostic Test yang

layak untuk digunakan. Jenis instrumen yang akan dirancang adalah

instrumen tes berbentuk pilihan ganda bertingkat.

D. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan

yaitu:

6
1. Bagaimana kualitas instrumen tes untuk mengidentifikasi miskonsepsi

pada peserta didik menggunakan Three-Tier Diagnostic Test Digital pada

materi alat optik ditinjau secara teoretik?

2. Bagaimana kualitas instrumen tes untuk mengidentifikasi miskonsepsi

peserta didik menggunakan Three-Tier Diaagnostic Test Digital pada

materi alat optik ditinjau secara empirik?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui kualitas instrumen tes untuk mengidentifikasi

miskonsepsi pada peserta didik menggunakan Three-Tier Diagnostic Test

Digital pada materi alat optik ditinjau secara teoretik.

2. Untuk mengetahui kualitas instrumen tes untuk mengidentifikasi

miskonsepsi pada peserta didik menggunakan Three-Tier Diagnostic Test

Digital pada materi alat optik ditinjau secara empirik.

F. Manfaat penelitian

Manfaat instrumen tes untuk mengidentifikasi miskonsepsi peserta didik

menggunakan Three-Tier Diagnostic Test Digital pada materi alat optik adalah :

a. Manfaat Teoretis

1. Dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dalam merancang

instrumen untuk mencegah terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran

fisika.

7
2. Dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dalam merancang

instrumen untuk mencegah terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran

fisika.

3. Dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dalam merancang

instrumen untuk mencegah terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran

fisika.

4. Dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dalam merancang

instrumen untuk mencegah terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran

fisika.

5. Dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dalam merancang

instrumen untuk mencegah terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran

fisika.

6. Hasil penelitian dapat digunakan dalam upaya meningkatkan mutu

pendidikan di sekolah

7. Memberikan rekomendasi kepada calon peneliti selanjutnya agar

melaakukan penelitian yang sejenis secara lebih luas dan intensif

b. Manfaat Praktis

1. Bagi Guru

(a) Sebagai bahan pertimbangan untuk mengetahui kesalahan konsep

yang terjadi pada peserta didik dengan melakukan tes diagnostik

(b) Sebagai informasi tambahan untuk merancang kembali metode dan

alat evaluasi yang dapat mengidentifikasi tingkat pemahaman konsep

peserta didik.

8
2. Bagi Peserta Didik

(a) Membantu mengenali miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik

(b) Membantu meningkatkan kemampuan dan hasil belajar peserta

didik pada pembelajaran fisika.

3. Bagi Sekolah

Penelitian ini dapat digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan

mutu dan kualitas pembelajaran fisika di sekolah.

9
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Miskonsepsi

1. Definisi Konsep

Konsep dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti ide atau

pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. Menurut Singarimbun dan

Effendi (Muslich Anshori, 2017) konsep merupakan abstraksi mengenai suatu

fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik

kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.

Sejalan dengan pendapat Effendi di atas, Eriyanto (2015) menjelaskan bahwa

konsep secara umum dapat didefinisikan sebagai abstraksi atau representasi dari

suatu objek atau gejala sosial. Sedangkan menurut Sagala (Eka Fitri, 2017)

konsep merupakan buah dari pemikiran seseorang atau sekelompok orang yang

dinyatakan dalam definisi sehingga melahirkan produk pengetahuan meliputi

prinsip, hukum dan teori.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai konsep, maka disimpulkan

bahwa konsep adalah serangkaian pemikiran abstrak terhadap suatu peristiwa

yang dijadikan dasar untuk menghasilkan sebuah pengetahuan seperti prinsip,

hukum dan teori tertentu.

2. Definisi Miskonsepsi

Peserta didik yang datang ke sekolah bukan berarti mereka tidak mengetahui

apa-apa, mereka memiliki pengalamannya masing-masing yang mempengaruhi

cara mereka merespon peristiwa di lingkungannya. Hal tersebut biasanya disebut

10
dengan prakonsepsi. Mereka memiliki pengetahuan yang membentuk teori mini

yang sesuai dengan pemahaman mereka. Hanya saja, pemahaman mereka

terhadap suatu hal, seringkali melenceng dari yang seharusnya yang disebut

dengan miskonsepsi.

Miskonsepsi berasal dari bahasa Inggris misconception, menurut Webster’s

Third New International Dictionary (Effandi., Norazah., dan Sabri, 2007)

conception berarti kemampuan, fungsi atau proses membentuk sebuah ide,

abstrak atau berkenaan pemahaman maksud simbol yang mewakili ide atau

abstrak. Mis bermaksud salah atau tidak, sehingga ketika kedua suku kata

tersebut digabungkan maka akan berarti ide, abstrak atau pemahaman yang salah.

Menurut Ibrahim (2019) miskonsepsi dapat didefinisikan sebagai keadaan

dimana seorang individu memiliki penjelasan yang berbeda dengan para ilmuan

mengenai suatu konsep tertentu. Sedangkan menurut Suparno (2013)

menjelaskan bahwa miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep

yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh

para pakar dalam bidang tersebut. Hal itu sejalan dengan pendapat Marleen, dkk

(2016) yang menjelaskan bahwa miskonsepsi adalah sebuah gagasan yang

dimiliki sesorang yang tidak sesuai dengan pandangan ilmiah yang telah ada,

Marleen dkk juga menjelaskan bahwa miskonsepsi ini sulit untuk dideteksi dan

diubah sehingga berpotensi akan memberikan pengaruh negatif terhadap konsep-

konsep baru yang akan dipelajari.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas mengenai miskonsepsi maka dapat

disimpulkan bahwa miskosepsi adalah peristiwa dimana seseorang

11
mengkonstruksi suatu pemahaman yang berbeda dengan yang disepakati secara

umum oleh para ahli.

B. Penyebab Terjadinya Miskonsepsi

Menurut Suparno (2013) Ssecara garis besar, penyebab miskonsepsi dapat

dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu peserta didik, guru, buku teks,

konteks dan metode mengajar.

Tabel 2.1 Faktor Penyebab Miskonsepsi


No Sebab Utama Sebab Khusus
1. Peserta didik 1. Prakonsepsi
2. Pemikiran asosiatif
3. Pemikiran humanistik
4. Reasoning yang tidak lengkap/salah
5. Intuisi yang salah
6. Tahap perkembangan kognitif peserta
didik
7. Kemampuan peserta didik
8. Minat belajar peserta didik
2. Guru / Pengajar 1. Tidak mengusai materi yang diajarkan
2. Bukan lulusan dari bidang ilmu yang
diajarkan
3. Menjalankan proses pembelajaran
dengan pasif serta berpusat pada
pengajar
4. Relasi guru dan peserta didik tidak
baik
3. Buku Teks 1. Penjelasan keliru
2. Kesalahan pengetikan terutama pada
persamaan
3. Bahasa yang digunakan terlalu tinggi
bagi level peserta didik
4. Demi menarik minat peserta didik,
terkadang buku sains fiksi
menyimpang dari konsepnya
4. Konteks 1. Pengalaman peserta didik
2. Bahasaa sehari-hari yang digunakan
peserta didik yang berbeda
3. Teman diskusi yang kurang tepat

12
4. Keyakinan dan agama
5. Penjelasan orang sekitar peserta didik
yang keliru
5. Cara Mengajar 1. Hanya berisi ceramah dan menulis
2. Tidak mengoreksi tugas yang
diberikan
3. Model analogi yang digunakan kurang
tepat
4. Model demonstrasi sempit
Sumber : Paul Suparno (2013)

C. Three – Tier Diagnostic Test

a. Pengertian Tes Diagnostik

Istilah tes diagnostik merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk

mengidentifikasi gejala-gejala yaang ditimbulkan. Tes diagnostik dapat

digunakan untuk mengidentifikasi masalah atau kesulitan peserta didik dan dapat

digunakan untuk merencanakan tindak lanjut upaya pemecahan sesuai dengan

masalah atau kesulitan yang telah teridentifikasi (Departemen Pendidikan

Nasional, 2007).

Ika (2019) menjelaskan bahwa tes diagnostik merupakan serangkaian tes

yang digunakan untuk mengetahui kekurangan peserta didik dimana hasil

tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk memberikan tindak lanjut berupa

perlakuan yang tepat dan sesuai dengan kekurangan yang ditemukan pada diri

peserta didik. Samani (Hairunnisyah, dkk : 2020) juga menjelaskan bahwa tes

diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan atau

miskonsepsi yang dimiliki peserta didik pada suatu materi tertentu dalam

pembelajaran sehingga dari hasil tes diperoleh masukan tentang respon peserta

didik untuk memperbaiki kelemahan yang dimilikinya.

13
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai tes diagnostik di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk

mengidentifikasi kelemahan-kelemahan peserta didik, dimana hasil dari tes

tersebut dapat dijadikan sebuah rujukan untuk menentukan cara atau upaya

dalam menangani kelemahan yang dialami oleh peserta didik.

b. Karakteristik Tes Diagnostik

Menurut Hairunnisyah (2020) tes diagnostik memiliki beberapa karakteristik

sebagai berikut :

a. Dirancang untuk mendeteksi kelemahan belajar peserta didik, karena itu

format dan respon yang dijaring harus didesain memiliki fungsi

diagnostik.

b. Dikembangkan berdasarkan analisis terhadap sumber kesalahan yaang

mungkin menjadi penyebab muncunya masalah peserta didik.

c. Menggunakan soal-soal bentuk constructed response (bentuk uraian atau

jawaban singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara lengkap.

Dalam kondisi tertentu dapat menggunakan bentuk selected response

(bentuk pilihan ganda), namun harus disertakan penjelasan mengapa

peserta tes memilih jawaban tertentu. Dengan demikian dapat

meminimalisir jawaban terkaan dan dapat ditentukan tipe kesalahan atau

masalahnya.

d. Disertai rancangan tindak lanjut sesuai dengan kesulitan yang

teridentifikasi (Permendikbud, 2016).

14
c. Tes Diagnostik Tingkat Tiga (Three – Tier Diagnostic Test)

Menurut Suci Widayana (2019) Three – Tier Diagnostic Test merupakan

tes diagnostik yang merupakan bentuk pengembangan dari two tier, dimana

pada tes diagnostik tiga tingkat ini memberika tingkat keyakinan ketika

menjawab.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Gurel, dkk (2015) menjelaskan dalam

tes tiga tingkat para peneliti menyusun tes pilihan ganda. Pada tingkat

pertama terdiri atas tes pilihan ganda biasa, pada tingkatan kedua adalah

pilihan ganda yang menanyakan alasan, dan yaang ketiga merupakan skala

keyakinan peserta didik dalam memberikan dua jawaban sebelumnya. Gurel

juga menjelaskan bahwa jawaban peserta didik untuk setiap item dianggap

benar jika keduanya pilihan dan alasan yang benar diberikan dengan tingkat

keyakinan tinggi. Demikian pula peserta didik dianggap sebagai

kesalahpahaman ketika pilihan jawaban yang salah disertai dengan penalaran

yang salah diikuti dengan keyakinan yang tinggi. Tiga tingkat tes dianggap

lebih akurat dalam memunculkan kesalahpahaman peserta didik, karena tes

tersebut dapat mendeteksi persentase kurangnya pengetahuan melalui tingkat

keyaakinan. Ini membantu pengguna tes sehingga persentase kesalahpahaman

yang diperoleh bebas dari positif palsu, negatif palsu dan kurangnya

pengetahuan, karena masing-masing membutuhkan sebuah remediasi dan

penanganan yang berbeda.

Tayubi (Fitrianingrum, Sarwi., dan Budi Astuti, 2017) menjelaskan ukuran

tingkat keyakinan/kepastian peserta tes dalam menjawab setiap item soal

15
yang diberikan, yang dikembangkan untuk dapat membedakan antara peserta

didik yang mengalami miskonsepsi dan tidak paham konsep disebut dengan

certainty of response index (CRI).

Untuk mengidentifikasi terjadinya miskonsepsi, Hasan, Saleem., D.

Bagayoko,D., and Kalley,E.L (Siti dan Harina, 2016) telah mengembangkan

suatu metode identifikasi yang dikenal dengan sebutan certainty of response

index (CRI), yang merupakan suatu ukuran tingkat keyakinan atau kepaastian

responden dalam menjawab setiap pertanyaan yang diberikan. CRI biasanya

berdasarkan pada suatu skala yang tetap yang diberikan bersamaan dengan

setiap jawaban suatu soal. Skala yang dikembangkan oleh Hasan, Saleem., D.

Bagayoko,D., and Kalley,E.L dengan teknik CRI adalah skala enam (0-5)

dengan kriteria pada tabel berikut :

16
Tabel 2.2 CRI dan Kriterianya

Skala CRI Kriteria

0 Totally guessed answer (100% jawaban hanya ditebak)

1 Almost guess, (75-99% jawaban ditebak)

2 Not sure, (tidak yakin, 50-74% jawaban ditebak)

3 Sure, (yakin, jawaban tebakan hanya berkisar 25-49%)

4 Almost certain, (hampir yakin tanpa keraguan,


persentase jawaban tebakan hanya berikisar 0-24%)

5 Certain, (sangat yakin tanpa keraguan, tidak terdapat


unsur tebakan dalam menjawab soal)
Sumber : Siti dan Harina (2016)

Ketentuan dalam teknik CRI kemudian dikembangkan oleh Hakim, Liliasari., dan

Kadarohman (2012) untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang disesuaikan dengan

karakteristik peserta didik di Indonesia. Ketentuan terhadap kemungkinan peserta

didik dalam menjawab soal pilihan ganda dengan alasan terbuka dengan teknik

modifikasi CRI adalah sebagai berikut :

17
Tabel 2.3 Skala Certainty Response Index
Skala Interpretasi

0 Totally guessed answer

1 Almost guess

2 Not sure

3 Sure

4 Alomst certain

5 Certain
Sumber : Siti dan Harina, 2016

Tabel 2.4 Kriteria Penilaian dengan Teknik Modifikasi CRI

Kriteria Alasan Indeks CRI Deskripsi


Jawaban

Salah Salah < 2,5 Lack of Knowladge (LK) / tidak


paham konsep.

Salah Benar < 2,5 Lack of Knowladge (LK) / tidak


paham konsep.

Salah Salah > 2,5 Miskonsepsi

Salah Benar > 2,5 Miskonsepsi

Benar Salah < 2,5 Lucky Guess (LG) / paham


konsep sebagian

Benar Benar < 2,5 Understanding of Concept but not


Confidence (NC) with the
answer / paham konsep tapitidak
yakin

Benar Salah > 2,5 Miskonsepsi

Benar Benar > 2,5 Knowladge of Correct Concepts


(KCC) / paham konsep dengan

18
benar
Sumber: (Hakim Liliasari., dan Kadarohman,
2012)
Tabel 2.5 Pengkategorian Antara Tahu Konsep, Miskonsepsi dan Tidak
Tahu Konsep pada Peserta Didik

Kriteria Jawaban CRI Rendah (<2,5) CRI Tinggi (>2,5)

Jawaban benar tetapi CRI Jawaban benar dan CRI


Jawaban benar rendah, berarti tidak tahu tinggi berarti menguasai
konsep konsep dengan baik

Jawaban salah dan CRI Jawaban salah tetapi CRI


Jawaban salah rendah berarti tidak tahu tinggi berarti terjadi
konsep miskonsepsi.
Sumber : Siti dan Harina, 2016

Dari kriteria di atas terlihat bahwa peserta didik yang menjawab benar dan

memberikan alasan yang tepat dan diikuti dengan keyakinan yang tinggi maka

peserta didik tersebut benar-benar paham konsep tertentu, sedangkan untuk

peserta didik yang menjawab salah tetapi yakin akan jawabnnya maka peserta

didik tersebut mengaalami miskonsepsi terhadap materi tertentu, kemudian

peserta didik yang menjawab salah dan tidak yakin atas jawabannya bukan berarti

peserta didik tersebut mengalami miskonsepsi tepati mengalami lack of

knowladge (kurang paham konsep).

D. Google Form (Google Formulir)

Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, instrumen yang rdirancang

akan disebarkan secara digital, yaitu melalui aplikasi Google Form atau google

formulir.

a. Pengertian Google Form

19
Menurut Endah dan Rissa (2019) google form atau biasa disebut google

formulir adaalah alatyang beguna untuk membantu penggunanya dalam

merencanakan acara, engirim survei, memberikan peserta didik kuis, atau

mengumpulkan informasi dengan cara yang mudah dan efisien. Sudaryo dkk

(2019) juga menjelaskan google formulir adalah salah satu fitur google yang

bertujuan untuk memudahkan penggunanya membuat suatu survei/formulir

melalui internet. Google form adalah bagian dari komponen Google Docs yang

disediakan oleh teknologi besar google, google form ini merupakan software

yang dapat diakses secara gratis dan cukup mudah dalam pengoperasiannya.

Anton (2019) menjelaskan bahwa sebelum menggunakan google form,

terlebih dahulu calon penggunanya harus memiliki akun google, yaitu dengan

mendaftar di halaman web google. Setelah memiliki akun google maka kita telah

bisa mengakses berbaagaai produk google yang dirilis secara gratis, seperti gmail

sebagai alat untuk berkomunikasi dengan email, drive sebaagai alat penyimpanan

online dan lain sebagainya.

b. Fungsi Google Form

Terdapat beberapa fungsi google form dalam dunia pendidikan, oleh Anton

(2019) dijelaskan sebagai berikut :

1. Memberikan tugas latihan / ulangan online melalui lama website

2. Mengumpulkan pendapat orang lain melalui laman website

3. Mengumpulkan berbagai data mahasiswa/dosen, melalui laman website

4. Membuat formulir pendaftaran online untuk sekolah

5. Membagikan kuesioner kepada orang-orang secara online.

20
c. Keunggulan Google Form

Google form memiliki beberapa kelebihan, yaitu:

1. Tampilan forms yang menarik. Aplikasi ini menyediakan fitur kepada

penggunanya untuk memasukkan dan menggunakan foto atau logonya

sendiri di dalam survei tertentu. Aplikasi ini juga dilengkapi dengan

berbagai macam template yang dapat digunakan untuk membuat survei

lebi menarik dan berwarna.

2. Memiliki beragam macam tes yang dapat dipilih. Aplikasi ini memiliki

macam-macam bentuk tes yang dapat dipilih untuk digunakan sesuai

dengan kebutuhan penggunanya.

3. Responden dapat mengirimkan tanggapan dimanapun. Aplikasi ini sangat

memudahkan pengguananya. Aplikasi ini dapat diakses secara gratis oleh

siapapun untuk membuat survei, kuesioner online, kuis online dengan

menggunakan laptop atau smartphone yang terhubung dengan internet

lalu membagikan alamat link form nya kepada responden.

4. Formulir responsive. Berbagai jenis kuis, serta kuesioner dapat dibuat

dengan lebih mudah, lancar dan hasilnya tampak profesional dan indah.

5. Hasil yang tersusun secara otomatis. Tanggapan survei dikumpulkan

dalam formulir denganrapi secara otomatis, disertai info tanggapan,

waaktu nyata dan grafik tanggapan. Penggunanya juga dapat melihat

semua di spreadsheet, yakni aplikasi semacam Ms. Office Excel.

21
6. Dapat dikerjakan bersaama orang lain. Kuesioner dan kuis menggunakan

aplikasi ini dapat dikerjakan bersaama orang lain atau siapa saja yang

diinginkan oleh pengguna.

7. Dapat di publish ke laman web atau di share ke akun media sosial

E. Kerangka Berpikir

Proses belajar peserta didik pada dasarnya tidak hanya berfokus pada apa

yang mereka terima di sekolah. Setiap peserta didik telah memiliki

pengetahuannya masing-masing sebelum datang ke sekolah. Berbekal dari

pengetahuan yang mereka peroleh dari lingkungan dan pengalamannya masing-

masing membuat setiap peserta didik memiliki pemahaman yang berbeda tentang

suatu hal. Pengetahuan yang peserta didik miliki akan dikombinasikan dengan

pengetahuan yang mereka terima di sekolah. Hal tersebut membuat setiap peserta

didik mencapai suatu kesimpulan yang berbeda-beda dari sebuah teori yang sama.

Kesimpulan yang mereka pahami inilah yang menjadi masalah ketika apa

yang mereka simpulkan tidak sesuai dengan yang telah disepakati para ahli di

suatu bidang tertentu. Hal ini disebut dengan miskonsepsi. Miskonsepsi

merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengkontruksi pemahaman yang

salah dan berbeda dengan yang telah disepakati secara umum oleh para ahli.

Seseorang yang mengalami miskonsepsi cenderung akan sangat yakin dengan apa

yang mereka pahami, walaupun pemahaman tersebut salah.

Miskonsepsi dapat diidentifikasi jika menggunakan alat ukur yang tepat.

Akan tetapi, miskonsepsi peserta didik jarang dilakukan bahkan di SMAN 4 Barru

penggunaan instrumen untuk mengidentifikasi miskonsepsi peserta didik tidak

22
pernah digunakan. Instrumen yang digunakan hanya menilai benar salahnya

peserta didik dalam menjawab soal tanpa mempertimbangkan alasan mengapa hal

tersebut terjadi. Instrumen yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

miskonsepsi peserta didik adalah instrumen diagnostik tes. Diagnostik tes atau tes

diagnostik adalah tes yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah atau

kesulitan peserta didik dan dapat digunakan untuk merencanakan tindak lanjut

upaya pemecahan sesuai dengan masalah atau kesulitan yang telah teridentifikasi.

Salah satu bentuk tes diagnostik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

miskonsepsi peserta didik adalah three tier diagnostic test.

Three tier diagnostic test, atau tes diagnostik bertingkat tiga adalah instrumen

yang memiliki tiga tingkatan jawaban untuk setiap item soal. Tes diagnostik yang

akan dirancang dalam penelitian ini adaalah tes diagnostik dalam bentuk pilihan

ganda. Tingkatan pertama merupakan pertanyaan dari suatu materi, kemudian

tingkatan kedua yaitu alasan responden mengapa memberikan jawaban tersebut

pada tingkatan pertama, kemudian pada tingkatan ketiga merupakan skala

keyakinan responden terhadap dua tingkatan sebelumnya.

Pemilihan instrumen three – tier diagnostic test tersebut dapat menjadi

solusi pendidik dalam mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami oleh peserta

didik. Sehingga upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan merancang instrumen

three tier diagnostic test yang valid dan reliabel. Instrumen sebagai alat

pengumpul data, maka instrumen yang dibuat haruslah dapat mengukur apa yang

hendak diukur, salah satunya adaalah mengidentifikasi miskonsepsi peserta didik.

23
Mengingat masih kurangnya penggunaan instrumen tes diagnostik, maka

penelitian ini merancang instrumen three-tier diagnostic test untuk mengukur

miskonsepsi peserta didik kelas XI di SMAN 4 Barru pada pembelajaran fisika

materi alat optik. Setelah diharapkan valid dan reliabel, instrumen three tier

diagnostic test yang telah dirancang diharapkan mampu untuk mengukur

miskonsepsi peserta didik dengan baik. Berdasarkan uraian di atas, maka

kerangka pikir pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

24
Latar Belakang:
Miskonsepsi peserta didik dalam memahami suatu konsep dalam fisika perlu
diketahui penyebabnya, sehingga dapat ditentukan pemecahannya. Hal ini dapat
dilakukan dengan penilaian menggunakan instrumen yang telah valid dan
reliabel.

Masalah: Harapan:
-Bentuk soal kurang -Bentuk soal dapat lebih
bervariasi bervariasi
-Penilaian tes sebatas -Peserta didik dapat
benar dan salah mengidentifikasi
-Belum pernah miskonsepsi peserta didik
menggunakan tes -Penggunaan instrumen
diagnostik diagnostik tes

Solusi yang dilakukan :


Merancang instrumen three tier diagnostic test.
Keunggulan :
-Peserta didik diberikan paket soal yang dilengkapi dengan alasan dan skala
keyakinan
-Lebih valid dalam mengungkap miskonsepsi peserta didik
-Menggunakan cara sederhana untuk mengidentifikasi miskonsepsi

Penggunaan instrumen three tier diagnostic test untuk mengidentifikasi


miskonsepsi peserta didik di SMAN 4 Barru

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

25
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini tergolong ke dalam penelitian dan pengembangan atau

Reasearch and Development (R&D). Hanafi (2017) menjelaskan Research and

Development adalah metode penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan

produk – produk tertentu serta menguji validitas dan keefektivan produk tersebut

dalam penggunaannya. Instrumen yang dirancang adalah instrumen tes diagnostik

untuk mengidentifikasi miskonsepsi peserta didik pada materi alat optik. Model

pengembangan yang digunakan adalah model pengembangan yang dikemukakan

oleh Heri Retnawati.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sekolah SMA Negeri 4 Barru Kabupaten Barru.

Tahap studi pendahuluan dari penelitian ini yaitu menggunakan metode

wawancara dengan salah satu guru mata pelajaran fisika yang ada di sekolah

tersebut.

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tahap persiapan hingga pelaksanaan

serta penentuan kualitas instrumen tes diagnostik. Penelitian ini dilaksanakan pada

semester genap tahun ajaran 2020/2021.

C. Subjek Uji Coba

Subjek uji coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah peserta didik

kelas XI MIPA pada semester genap tahun ajaran 2020/2021 yang terdiri dari tiga

kelas.

26
D. Langkah – Langkah Pengembangan Instrumen Tes Diagnostik

Untuk mengembangkan instrumen tes diagnostik, peneliti menggunakan

langkah-langkah pengembangan yang dikemukakan oleh Heri Retnawati (2015).

Adapun langkah-langkahnya yaitu sebagai berikut :

1. Menentukan Tujuan Penyusuna Tes

Pada tahap awal dalam menyusun instrumen, perlu ditetapkan tujuan

penyusunan instrumen. Tujuan penyusunan ini memandu teori untuk

mengkonstruk instrumen, bentuk instrumen, penskoran instrumen sekaligus

pemaknaan hasil penskoran pada instrumen yang akan dikembangkan. Adapun

tujuan penyusunan instrumen ini perlu disesuaikan dengan tujuan penelitian itu

sendiri. Untuk menyesuaaikan tujuan penyusunan intrumen dengan tujuan

penelitian, maka peneliti melakukan observasi dan wawancara dengan salah satu

guru fisika yang ada di sekolah yang menjadi lokasi penelitian. Hal ini dilakukan

untuk mengetahui sejauhmana sekolah tersebut memerlukan instrumen diagnostik

tes yang akan dirancang oleh peneliti.

2. Mencari Teori Yang Relevan Atau Cakupan Materi

Setelah tujuan penyusunan instrumen ditetapkan, selanjutnya perlu dicari

teori atau cakupan materi yang relevan. Teori yang relevan digunakan untuk

membuat konstruk, apa saja indikator suatu variabel yang akan diukur.

3. Menyusun Indikator Butir Soal

Indikator soal ini ditentukan berdasarkan kajian teori yang relevan pada

instrumen tes, selain itu perlu dipertimbangkan cakupan dan kedalaman materi.

Kegiatan ini ditujukan untuk mengidentifikasi, merinci, dan menyusun secara

27
sistematis materi utama yang akan dipelajari peserta didik berdasarkan analisis

kurikulum. Penyusunan indikator ini dapat membantu dalam mengidentifikasi

materi utama yang akan digunakan sebagai patokan dalam penyusunan instrumen.

Setelah proses penyusunan indikator selesai dilakukan, maka tahap

selanjutnya adalah menyusun kisi-kisi. Kisi – kisi instrumen yang dibuat, memuat

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, kemudian memuat indikator soal,

dan pemetaan nomor soal beserta level kognitif yang diukur. Penyusunan kisi-kisi

ini memudahkan peneliti dalam membuat butir soal.

4. Menyusun Butir Instrumen

Langkah selanjutnya adaalah menyusun butir-butir instrumen. Penyusunan

butir ini dilakukan dengan melihat indikator yang telah disusun sebelumnya pada

kisi-kisi. Pada penyusunan butir soaal ini peneliti akan membuat instrumen tes

dengan bentuk tes objektif yaitu pilihan ganda bertingkat tiga.

5. Validasi Isi

Setelah butir-butir soal tersusun \, langkah selaanjutnya adaalah validasi.

Validasi ini dilakukan dengan menyampaikan kisi-kisi, butir instrumen dan

lembar validasi diberikan kepada para ahli untuk ditelaah secara kuantitatif dan

kualitatif. Para ahli akan melihat kesesuaian antara indikator dengan tujuan

pengembangan instrumen, kesesuaian antara indikator dengan cakupan materi

atau kesesuaian teori, melihat kesesuaian instrumen dengan butir indikator butir,

melihat kebenaran konsep butir soal, melihat kebenaran isi, serta bahasa yang

digunakan dalam instrumen. Secara ringkas, para ahli akan menilai atau

28
menelaah instrumen dari segi konten, konstruk dan bahasa. Proses ini disebut

dengan validasi isi dengan mempertimbangkan penilaian ahli (expert judgement).

6. Revisi Instrumen

Setelah ahli menelaah instrumen, dan memberikan masukan atau saran

kepada peneliti terkait instrumen yang telah dibuat, maka peneliti melakukan

revisi terhadap butir-butir instrumen yang kurang bagus, perbaikan atau revisi

akan terus dilakukan hingga instrumen tes yang dirancang betul-betul berada

pada kategori baik atau valid menurut para ahli dan dapat digunakan. Setelah

instrumen valid, maka dilakukan uji coba

7. Melakukan Uji Coba

Setelah revisi, butir instrumen kemudian disusun lengkap dan akan

diujicobakan. Uji coba dilakukan untuk memperoleh bukti empiris, dimana

uji coba ini akan dilakukan kepada responden atau subjek coba yang

bersesuaian dengan penelitian.

8. Melakukan Analisis

Pada tahap ini akan diperoleh tanggapan peserta didik yang menjadi

responden. Setelah diperoleh respon peserta didik, maka akan dilakukan

penskoran terhadap butir soal tes. Selanjutnya, hasil penskoran ini menjadi

bukti empiris yang dimaksudkan pada tahap uji coba, dimana hasil tersebut

akan digunakan untuk melakukan analisis secara empirik yang meliputi

validitas, reliabilitas serta analisis kuantitatif instrumen yaitu tingkat

kesukaran, daya pembeda dan efektivitas pengecoh/distraktor.

29
9. Merakit Instrumen

Setelah karakteristik butir diketahui, maka peneliti melakukan perakitan

instrumen. Perakitan instrumen dilakukan setelah butir soal yang ada telah

memenuhi kriketria sebagai butir soal yang baik baik atau valid secara teoretik

yang merupakan hasil dari penilaian ahli (expert judgement), kemudian valid

secara empirik, serta reliabel. Setelah semua syarat tersebut terpenuhi, maka butir

soal akan dirakit menjadi instrumen three tier diagnostic test yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami oleh peserta didik

pada materi alat optik di SMA Negeri 4 Barru.

Tabel 3.1 Karakteristik yang Menjadi Fokus Prototype

Konten - Kesesuain dengan materi alat optik


- Kejelasan maksud soal
- Soal sesuai dengan indikator pengetahuan dan
pemaahaman konsep peserta didik
- Materi yang ditanyakan sesuai dengan kompetensi
Konstruk Soaal sesuai dengan teori yang mendukung dari kiteria:
- Terdapat petunjuk yang jelas mengenai pengerjaan
soal
- Dapat mengidentifikasi miskonsepsi peserta didik
- Sesuai dengan level peserta didik kelas XI
- Terdapat pedoman penskoran
Bahasa - Sesuai dengan EYD
- Soal tidak mengandung penafsiran ganda
- Kalimat soal komunikatif, menggunakan bahasa yang
sederhana dan mudah dipahami oleh peserta didik
Sumber : Junari (2017)

30
E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan oleh peneliti untuk

memperoleh data yang sesuai dengan data yang dibutuhkan. Pengumpulan data

dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan bahan, keterangan serta

informasi yang dapat dipercaya. Adapun teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini yaitu:

1. Tes

Menurut Malawi (2016) tes adalah suatu alat yang digunakan untuk

mengumpulkan fakta atau informasi yang bersifat resmi serta dipenuhi

batasan-batasan. Tes adalah sekumpulan pertanyaan yang digunakan untuk

mengukur keterampilan, pengetahuan, kemampuan atau bakat yang dimiliki

oleh individu atau kelompok. Tes yang diberikan adalah tes dengan soal-soal

diagnostik pilihan ganda tigatingkat yang dapat mengidentifikasi

miaskonsepsi peserta didik.

Tabel 3.2 Kriteria Penskoran Instrumen Tes Soal Pilihan GandaTiga

Tingkat

Tingkat Pertama Tingkat Kedua Tingkat Ketiga Skor


Benar Benar Yakin 1
Benar Benar Tidak yakin 0
Benar Salah Yakin 0
Benar Salah Tidak yakin 0
Salah Benar Yakin 0
Salah Benar Tidak yakin 0
Salah Salah Yakin 0

31
Salah Salah Tidak yakin 0
Sumber: Lu’lu Yu’tikan Nabilah, 2019

2. Teknik Pengumpulan Data Melalui Expert Judgment

Teknik pengumpulan data dengan Expert Judgment, data hasil validitas

teoritik oleh pakar dikumpulkan dengan cara membagikan lembar validasi

yang terdiri dari kisi- kisi instrumen kepada dua orang pakar yang bertujuan

untuk mendapatkan kelayakan isi per item/butir yang dikonsultasikan kepada

pakar.

Validasi dilakukan berdasarkan konten, konstruk dan bahasa dengan

meminta pertimbangan penilaian validator pada instrumen tes diagnostik

yang dirancang. Penilaian tersebut diberikan pada lembar validasi instrumen

tes diagnostik untuk mengidentifikasi miskonsepsi peserta didik.

b. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Tes

Tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat dalam penelitiaan ini

menggunakan soal fisika kelas XI. Tes yang diujikan dalam bentuk

pilihan ganda tiga tingkat atau three tier diagnostic test, yang dalam

hal ini tidak diberikan dalam bentuk hard file melainkan dalam bentuk

digital. Three tier test digital, maksudnya soal yang termuat dalam

instrumen tes adalah soal dengaan tiga tingkatan jawaban, untuk

tingkatan pertama adalah jawaban dari pertanyaan, kemudian

32
tingkatan keduaadalah alasan mengapa memilih jawaban tertentu dan

tingkatan ketiga adalah skala tingkat keyakinan peserta didik dalam

memilih dua jawaban sebelumnya. Adapun kriteria pemberian skor

pada instrumen tes soal pilihan ganda tiga tingkat yaitu seperti pada

tabel berikut :

2. Lembar Validasi

Lembar validasi digunakan untuk memperoleh data penilaian yang

dihasilkan dari para ahli terhadap instrumen tes diagnostik pilihan

ganda tiga tingkat sebelum dilakukan uji coba, kemudian direvisi

untuk menghasilkan data kelayakan produk instrumen tes diagnostik

pilihan ganda tiga tingkat.

F. Teknik Analisis Data

Setelah para validator memberikan penilaian terhadap instrumen yang dibuat,

maka hasil tersebut akan dianalisis dengan menggunakan uji coba empirik.

Selanjutnya instrumen yang telah diuji coba secara teoretik tersebut akan diuji

coba secaara empirik dengan menghitung reliabilitas, daya pembeda, tingkat

kesukaran serta efektivitass pengecoh (distraktor).

33
1. Analisis Secara Teoretik

Analisis validitas isi soal yang ada pada instrumen tes diagnostik harus

dilakukan sebelum instrumen tes diujikan ke peserta didik. Untuk menganalisis

kualitas soal maka dilakukan validitas isi. Persamaan yang digunakan dalam

menghitung validitas isi yaitu dengan persamaan Gregory. Prosedur penilaian

validitas isi padaa metode ini melibatkan dua oraang ahli (expert) yang bertujuan

untuk melihat kesepakatan dari dua pakar dalam menilai keseluruhan konten

dalam instrumen yang disusun. Menurut Gregory (Agung, 2020) validitas ini

menunjukkan sejauh mana pertanyaan, tugas atau butir daalam suaatu tes atau

instrumen mampu mewakili secara keseluruhan dan proporsional perilaku sampel

yaang dikenai perlakuan. Artinya instrumen yang ada mencerminkan keseluruhan

konten atau materi yang diujikan atau yang seharusnya dikuasi. Formula yaang

digunakan adalah:

D
CV =
A + B+C+ D

Keterangan:

CV = Content Validity (validitas isi)


A = kedua expert menyatakan kurang relevan
B = expert I menyatakan relevan sedangkan expert II kurang relevan
C = expert I menyatakan kurang relevan sedangkan expert II menyatakan
relevan
D = kedua expert menyatakan relevan
Hasil penilaian dua pakar disusun dalam tabulasi silang 2×2 berikut:

34
Tabel 3.3 Tabulasi Silang 2×2

Tabulasi silang 2×2 Pakar (expert) I


Kurang Relevan Relevan
Kurang Relevan A B
Pakar (expert) II
Relevan C D

Tabel 3.4 Kategori Nilai Validitas Gregory


Nilai CV Kategori
0,8 - 1,00 Validitas sangat tinggi
0,6 – 0,79 Validitas tinggi
0,4 – 0,59 Validitas sedang
0,2 – 0,39 Validita rendah
0,0 – 0,19 Validitas sangat rendah
Sumber : Agung, 2020
2. Analisis Secara Empirik

a. Validitas Butir Soal

Untuk menghitung validitas butir suatu soal objektif (pilihan ganda) dengan

skor dikotomi dapat digunakan persamaan koefisien korelasi biserial sebagai

berikut:

r bis(i)=
X i−X t
St √ pi
qi

Keterangan:

r bis(i) = koefisien korelasi biserial antara skor butir soal ke-i dengan skor total
Xi = rata-rata skor total responden yang menjawab benar butir ke-i
Xt = rata-rata skor total semua responden
St = standar deviasi skor total semua responden
pi = proporsi jawaban yang benar untuk butir soal ke-i
qi = proporsi jawaban yang salah untuk butir soal ke-i

Sumber : Djaali dan Muljono, 2004

35
Nilai koefisien korelasi yang diperoleh untuk masing-masing butir

dibandingkan dengan nilai koefisien korelasi yang ada di tabel r (r t) pada alpha

tertentu. Jika nilai koefisien korelasi skor butir dengan skor total lebih besar dari

koefisien korelasi dari tabel, maka butir tersebut dianggap valid secara empiris.

b. Uji Reliabilitas

Slamet dan Aglis (2020) menjelaskan reliabilitas alat ukur adalah derajat

ketepatan atau keajegan alat ukur tersebut dalam mengukur apa yang hendak

diukur. Salim dan Haidir (2019) mengemukakan bahwa instrumen yang reliabel

apabila hasil pengekurunnya konsisten atau ajek dalam hasil ukurnya sehingga

hasil pengukuran tersebut dapat dipercaya. Instrumen reliabel tidak bersifat

tendensius yang mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban

tertentu. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan internal consistancy, menurut

Sugiyono (2007) untuk instrumen tes yang menghasilkan skor dikotomi (1 dan 0)

maka reliabilitas instrumen dianalisis dengan rumus KR (Kuder-Richardson)-20.

adapun persamaannya yaitu

{ }
2
k s i −∑ p i q i
r i=
(k−1) si
2

Dimana
ri = Koefisien reliabilitas instrumen
k = jumlah item dalam instrumen
pi = proporsi banyaknya subyek yang menjawab pada item 1
qi = 1 - pi
2
si = varians soal

Rumus untuk varians total dan varians item :

2 2
2 ∑ Xt (∑ X t )
st = −
n n2

36
JK i JK s
si2= − 2
n n
Dimana :
JKi : jumlah kuadrat seluruh skor item
JKs : jumlah kuadrat subyek
Sugiyono , 2007
Dalam penelitian ini digunakan persamaan KR-20 untuk menguji reliabilitas

instrumen, maka dari itu menurut Domenic (Nurul Fithrotuz Zaidah, 2020) untuk

kriteria koefisien reliabilitas menggunakan batasan 0,6. Oleh karena itu, kriteria

tes diagnostik pilihan ganda three-tier dikatakan reliabel apabila nilai koefisien

korelasinya lebih besar atau sama dengan 0,6.

c. Analisis Butir Kuantitatif

1. Tingkat Kesukaran Butir Soal Instrumen Three-Tier Diagnostic Test

Menurut Arifin (Setiawan, 2018) metode yang dapat digunakan untuk

menentukan kriteria tugas dalam soal bentuk objektif,apakah soal tersebut

termasuk kategori mudah, sedang atau sulit adalah melalui analisis tingkat

kesukaran soal (difficulty index). Persamaan yang digunakan untuk menganalisis

tingkat kesukaran butir soal tes adaalah sebagai berikut :

jumalah subjek menjawab benar


Tingkat Kesukaran (TK )=
jumlah subjek

Kriteria yang dapat digunakan untuk memutuskan apakah soal berada pada tingkat

sulit, sedang atau mudah didasarkan pada keberhasilan peserta didik dalam

menjawab sooal. Semakin tinggi tingkat keberhasilan peserta didik dalam

menjawab soal maka soal dikatakan soal yang mudah. Kriteria tersebut dapat

dirincisebagai berikut :

37
Tabel 3.6 Kategori Tingkat Kesukaran Butir Soal Tes

Persentase Kategori

0 %– 29,9% Sulit

30% – 70,9% Sedang

≥ 71% Mudah

2. Daya Pembeda Butir Soal Intrumen Three Tier Diagnostic Test


Menurut Wayan dan Wisnu (2020) daya pembeda suatu soal adalah

kemampuan sebuah soal untuk membedakan siswa yang menguasai materi tes dan

siswa yang kurang menguasai materi tes. Sehingga, untuk soal dikatakan memiliki

daya beda jika soal tersebut dapat membedakan peserta didik yang paham konsep,

mengalami miskonsepsi dan yang tidak paham konsep.

Menurut Ali Hamzah (Junari,2017) dalam penyusunan butir soal tes

sebaiknya ada sifat yang menunjukkan kualitas butir soal tersebut, sehingga :

1. Tidak dapat dijawab dengan benaar oleh peserta didik kelompok atas maupun

peserta didik kelompok bawah

2. Dapat dijawab benar oleh peserta didik kelompok atas, tetapi tidak dapat

dijawab oleh peserta didik kelompok bawaah

3. Dapat dijawab benar oleh peserta didik kelompok atas maupun peserta didik

kelompok bawaah.

Apabila nomor 1 dan 2 terjadi, maka dapat dikatakan bahwa soal memiliki

daya pembeda, artinya soal tersebut dapat membedakan antara peserta didik

yang berkemampuan tinggi dengan peserta didik yang berkemaampuan

rendah.

38
Ina (2020) menjelaskan bahwa semakin tinggi indeks daya beda soal

berarti semakin mampu soal itu membedakan peserta didik yang telah

memahami materi dengan peserta didik yang belum memahami materi.

Indeks daya pembeda berkisar antara -1,00 hingga +1,00. Umi dan Mariyani

(2021) menjelaskan tanda negatif yang ada pada indeks diskriminasi atau

daya pembeda digunakan jika suatu soal terbalik menunjukkan kualitas testee

yaitu anak yang pandai dianggap tidak pandai dan anak yang tidak pandai

dianggap pandai. Umi dan Mariyani (2021) menjelaskan lebih lanjut bahwa,

jika sebuah soal dapat dijawab oleh peserta didik yang pandai dan peserta

didik yang kurang pandai maka soaal tersebut dikatakan tidak baik, sebab

tidak memiliki daya pembeda. Sebaliknya, jika semua peserta didik baik yang

kurang pandai dan yang pandai tidak dapat menjawab suatu item soal, soal

tersebut juga tidak baik sebab tidak memiliki daya pembeda juga.

Ina (2020) berpendapat bahwa semaakin besaar daya pembeda suatu soal,

maka semakin kuat/baik soal tersebut. Jika nilai daya pembedanya negaatif

(<0) berarti lebih banyak kelompok bawah (peserta didik yang kurang

memaahami materi) menjawab soal benar dibanding dengan peserta didik

kelompok atas (peserta didik yang paham materi). Berikut ini adalah

persamaan yang akan digunakan dalam menganalisis daya pembedaa butir

soal instrumen three tier diagnostic test:

BA BB
Dp= −
JA JB

Dengan :

Dp = daya pembeda soal

39
BA = banyak kelompok atas yang menjawab benar
BB = banyak kelompok bawah yang menjawab benar
JA = jumlah peserta tes kelompok atas
JB = jumlah peserta tes kelompok bawah
Menurut Umi dan Mariyani (2021) daya pembeda diklasifikasikan seperti pada

tabel di bawah ini :

Tabel 3.7 Klasifikasi Indeks Daya Pembeda Butir Soal Tes


Nilai Dp Klasifikasi
Negatif (-) Semua butir soal tidak baik
0,00 – 0,20 Jelek (poor)
0,20 – 0,40 Cukup (statisfactory)
0,40 – 0,70 Baik (good)
0,70 – 1,00 Baik sekali (excellent)
3. Efektivitas Pengecoh (Distraktor)

Istilah opsi atau pilihan jawaban untuk soal pilihan ganda (multiple choice),

tidak asing lagi. Opsi atau alternatif jawaban ini biasanya berjumlah lima buah,

salah satu dari kelima pilihan jawaban tersebut adalah jawaban yang benar dan

sisanya adalah jawaban yang salah atau jawaban-jawaban yang salah itulah yang

biasa disebut dengan pengecoh (distraktor). Menurut Rahmat (2019) tujuan

utama dari pemasangan pengecoh agar testee tertarik untuk memilihnya dan

menjadikan testee terkecoh karena memilih jawaban yang salah.

Menurut Fitri dan Syahrul (2017) distraktor dapat dikatakan menjalankan

tugasnya dengan baik, jika distraktor tersebut telah memiliki daya ransang atau

daya tarik yang membuat peserta tes (khususnya yang berkemampuan rendah)

merasa bimbang dan ragu hingga pada akhirnya mereka menjadi terkecoh untuk

memilih distraktor sebagai jawaban betul, sebab mereka mengira jawaban yang

telah mereka pilih adalah jawaban yang benar.

40
Menurut Arifin (Umi dan Mariyani, 2021) untuk menganalisis efektifitas

distraktor digunakan persamaan :

P
IP= ×100 %
(N−B)/(n−1)

Dengan :
IP = indeks pengecoh / distraktor
P = jumlah peserta tes yang memilih pengecoh
N = jumlah peserta tes
B = jumlah peserta yang menjawab benar pada butir soal
n = jumlah alternatif jawaban
Menurut Ina (2020) analisis distraktor dimaksudkan untuk mengetahui apakah

distraktor tersebut telah berfungsi secara efektif atau tidak. Kemudian Mariyani

menjelaskan bahwa distraktor dikatakan sudah berfngsi dengan baik, jika dipilih

oleh lebih dari 5% pengikut tes (p > 5%) dan jika kurang atau sama dengan 5% (p

≤ 5%) berarti distraktor tersebut tidak berfungsi dengan baik.

Tabel 3.8 Klasifikasi Pengecoh Berdasarkan Indeks Pengecoh


Nilai IP Interpretasi
76% - 125% Sangat baik
51% - 75% atau 126% - 150% Baik
26% - 50% atau 151% - 175% Kurang baik
0% - 25% atau 176% - 200% Buruk
˃ 200% Sangat buruk

Dengan demikian, Umi dan Mariyani (2021) menyimpulkan bahwa

efektifitas distraktor adalah seberapa baik pilihan yang salah tersebut dapat

mengecoh peserta tes yang memang tidak mengetahui kunci jawaban yang

tersedia. Semakin banyak peserta tes yang memmilih distraktor tersebut, maka

dapat dikatakan bahwa distraktor tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan

baik.

41
Daftar Pustaka

Anak Agung Purwa Antara. (2020). Penyetaraan Vertikal dengan Pendekatan

Klasik dan Item Response Theory (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta :

Deepublish

Aliefman Hakim., Liliasari., dan Kadarohman. (2012). Student Concep

Understanding of Natural Cheamistry in Primary and Secondary

Metabolites Using teh Data Collecting Technique of Modified CRI.

International Online Journal of Eduvation Sciences, 4(3), 544-553

Ana Yuniati Retno Wulandari. (2015). Pengembangan Media Pembelajaran IPA

Berbasis Animasi Komputer Menggunakan Program Macromedia Flash 8.

Jurnal Pena Sains, 2(1), 35-43

Anton Zulkarnain Sianipar. (2019). Penggunaan Google Form sebaagai Alat

Penilaian Kepuasan Pelayanan Mahasiswa. Journal of Information System,

Applied, Management, Accounting and Reseacrh, 1(3), 16-22.

Aufa Maulida Fitrianingrum., Sarwi., dan Budi Astuti. (2017). Peneraapan

Intrumen Three-Tier Untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi Siswa SMA pada

Materi Keseimbangan Benda Tegar. Jurnal Phenomenom, 07(02), 88-98.

David Firna Setiawan. (2018). Prosedur Evaluasi dalam Pembelajaran.

Yogyakarta : Deepublish

Derya Kaltakci Gurel., Ali Eryilmaz., dan Lillian Christie McDermott. (2015). A

Review and Comparison of Diagnostic Instruments to Identify Students

Misconception in Science. Eurasi Journal of Mathematics, Science &

Technolgy Education, 11(5), 989-1008

42
Effandi Zakaria., Norazah Mohd Nordin., dan Sabri Ahmad. (2007). Kuala

Lumpur: PRIN-AD SDN. BHD

Endah Nurmahmudah dan Rissa Nuryuniarti. (2019). Otak Atik Google Forms

untuk Pembuatan Kuesioner dan Quiz. Tasikmalaya: Edu Pulisher

Eriyanto. (2015). Analisis Isi Pengantar Metodologi Untuk Penelitian Ilmu

Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana

Fitri Rahmawati, B., dan Syahrul Amar. (2017). Evaluasi Pembelajaran Sejarah.

Lombok Timur: Universitas Hamzanwadi Press

Hairunnisyah Sahidu., Gunawan., Ni Made Yeni Suranti., dan Nina Nisrina.

(2020). Model E-Assesment dan Implikasinya dalam Pembelajaran.

Malang: Literasi Nusantara

Hanafi. (2017). Konsep Penelitian R&D dalam Bidang Pendidikan. Jurnal Kajian

Keislaman: Saintifika Islamica, 4(2), 129-150

Heri Retnawati. (2015). Analisis Kuantitatif Instrumen Penelitian (Panduan

Peneliti, Mahasiswa, dan Psikometrian). Yogyakarta: Parama Publishing

Junari. (2017). Penyusunan Insrumen Tes Diagnostik Pilihan Ganda Dua Tingkat

untuk Mengidentifikasi Pemahaman Konsep Matematika Wajib Siswa X

MIA MAN 1 Makassar. Skripsi. Makassar: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

UIN Alauddin Makassar.

Ika Sriyanti. (2019). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Ponorgo: Uwais

Inspirasi Indonesia

Ina Magdalena. (2020). Evaluasi Pembelajaran SD (Teori dan Praktik).

Sukabumi: CV Jejak

43
Kurniyatul Faizah. (2016). Miskonsepsi dalam Pembelajaran IPA. Jurnal

Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam,

8(1), 115-128.

Lu’lu Yu’tikan Nabilah. (2019). Pengembangan Instrumen Diagnostik Three Tier

Test Pada Materi Pecahan Kelas VII SMPN 24 Makassar. Skripsi.

Makassar: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Negeri Makassar

Marleen Olde Bekkink., Rogier Dondesr, A.R.T., Jan G. Kooloos., Rob M.W. de

Waal., and Dirk J. Ruiter. (2016). Uncovering Students Misconception by

Assesment of Their Written Questions. BMC Medical Education, 1-7.

M. Ilyas Ismail., dkk. (2016). Evaluasi dan Asesmen Pembelajaran. Makassar:

Cendekia Publisher

Muslich Ansiori dan Sri Iswati. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif. Surabaya:

Airlangga Universitas Press

Muslim Ibrahim. (2019). Model Pembelajaran P2OC2R Untuk Mengubah

Konsepsi IPA Siswa. Sidoarjo: Zifatama Jawara

Ni Wayan Sri Darmayanti dan I Komang Wisnu Budi Wijaya. (2020). Evaluasi

Pembelajaran IPA. Badung: NILACAKRA

Nurul Fithrotuz Zaidah. (2020). Pengembangan Tes Diagnostik Three-Tier Untuk

Mengidentifikasi Miskonsepsi Pada Materi Geometri. Skripsi. Surabaya:

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya.

44
Paul Suparno. (2013). Miskonsepsi & Perubahan Konsep Dalam Pendidikan

Fisika. Gramedia Widiasarana Indonesia

Pratiwi Nurfainzani., Endang Susilaningsih., dan Jumaeri. (2018). Pengembangan

Tes Diagnostik Tow-Tier Multiple Chioce Untuk Mengidentifikasi

Miskonsepsi Siswa Kelas XI. Chemistry in Education, 7(2), 27-33

Putri Nurmanitari. (2020). Identifikasi Miskonsepsi Menggunakan Three-Tier

Diagnostic Test Berbasis Google Form Materi Tekanan Zat dan

Penerapannya pada Masa Pandemi Covid-19 di SMP Negeri 4 Salatiga.

Skripsi. Salatiga: Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama

Islam Negeri Salatiga.

Rahmat. (2019). Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta:

Bening Pustika

Siti Ulfah dan Harina Fitriyani. (2016). Prosiding Seminar Nasional dan

Internasional, Seminar Nasional Pendidikan, Sains dan Teknologi

Universitas Muhammadiyah Semarang. Certainty Of Response Index (CRI):

Miskonsepsi Siswa SMP Pada Materi Pecahan. Hal. 341-349

Slamet Riyanto dan Aglis Andhita Hatmawan. (2020). Metode Riset Penelitian

Kuantitatif Penelitian di Bidang Manajemen, Teknik, Pendidikan dan

Eksperimen. Yogyakarta: Deepublish

Sugiyono. (2007). Statistika untuk Penelitian. Bandung: ALFABETA

Syarifatuk Mubarak., Endang Susilaningsih., dan Edi Cahyono. (2016).

Pengembangan Tes Diagnostik Three Tier Multiple Chioce Untuk

45
Mengidentifikasi Miskonsepsi Peserta Didik Kelas XI. Journal of Innovation

Science Education, 5(2), 101-110.

Umi Chotimah dan Mariyani. (2021). Buku Ajar Evaluasi Pembelajaran PPKn.

Palembang: Bening Media Publishing

Yoyo Sudaryo., Nunung Ayu Sofiati., Adam Medidjati., dan Ana Hadiana.

(2019). Metode Penelitian Survei Online dengan Google Forms.

Yogyakarta: ANDI

Yuyu Yuliati. (2017). Miskonsepsi Siswa pada Pembelajaran IPA serta

Remediasinya. Jurnal Bio Educatio, 2(2), 50-58

46

Anda mungkin juga menyukai