YOGYAKARTA
2021
DISUSUN OLEH:
2104119
YOGYAKARTA
2022
HALAMAN PENGESAHAN
YOGYAKARTA
2021
Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing akademik dan pembimbing klinik.
Perseptor Akademik
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
iii
BAB I
LANDASAN TEORI
A. LANDASAN TEORI
1. Konsep Gagal Ginjal Kronik
a. Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah dimana terjadinya
penurunan fungsi organ ginjal sehingga ginjal tidak lagi
mampu untuk bekerja dalam hal penyaringan pembuangan
elektrolit tubuh, dan menjaga keseimbangan cairan dan zat
kimia tubuh (Brunner & Lazarus, 2012).
1
b. Anatomi fisiologi
1) Anatomi Ginjal Gambar
2
di nefron dan tubulus. Tubulus mengangkut cairan
ke ginjal yang kemudian bergerak menjauh dari
nefron menuju bagian yang mengumpulkan dan
mengangkut urine keluar dari ginjal.
c) Pelvis ginjal (Renal pelvis)
Pelvis ginjal adalah ruang berbentuk corong
dibagian paling dalam dari ginjal. Pelvis berfungsi
sebagai jalur untuk cairan dalam perjalanan ke
kandung kemih. Bagian pertama dari pelvis ginjal
mengandung calyces. Calyces adalah ruang
berbentuk cangkir kecil yang berfungsi untuk
mengumpulkan cairan sebelum bergerak ke
kandung kemih. Hilum adalah lubang kecil yang
terletak dibagian dalam ginjal dan bentuknya
melengkung kedalam yang bentuknya seperti
kacang.
d) Nefron
Nefron adalah bagian yang bertanggung jawab
untuk penyaringan darah. Nefron mengambil
darah, memetabolisme nutrisi, dan membantu
mengedarkan hasil penyaringan. Nefron meluas
melewati area korteks dan medulla ginjal. Setiap
ginjal memiliki sekitar satu juta nefron, yang
masing-masing memiliki struktur internal sendiri.
Baggian dari nefron, yaitu badan malphigi dan
tubulus ginjal (setiadi, 2012).
2) Fisiologi Ginjal
Ginjal menjalankan fungsi vital sebagai pengatur
volume dan komposisi kimia darah yang terdapat dalam
tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air secara
selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi
3
plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi
sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai.
Kelebihan zat terlarut dan air dieksresikan keluar dari
tubuh dalam bentuk urin (Price dan Wilson, 2012).
Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki beberapa
fungsi yaitu:
a) Mempertahankan keseimbangan cairan dalam
tubuh.
b) Memelihara volume plasma sehingga sangat
berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan
darah arteri.
c) Membantu memelihara keseimbangan asam basa
dalam tubuh.
d) Mengekskresikan produk-produk sisa metabolism
dalam tubuh.
e) Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-
obatan.
4
protein, di filtrasi secara bebas sehingga
konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula
bowman hampir sama seperti plasma (Haryono, 2013).
c. Etiologi
Gagal ginjal kronis sering kali menjadi penyakit
komplikasi dari penyakit lainnya, sehingga merupakan
penyakit sekunder. Penyebab dari gagal ginjal kronis
antara lain:
1) Infeksi saluran kemih (pielenofritis kronis)
2) Penyakit peradangan (glomerulonephritis)
3) Penyakit vaskuler hipertensi (nefrosklerosis, stenosis
arteri renalis)
4) Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis
nodusa, sclerosis sistemik)
5) Penyakit kongenitaldan hirediter (penyakit ginjal
polikistik, asidosis tubulus ginjal)
6) Nefropati toksik g. Nefropati obstruksi (batu saluran
kemih) (Robinson 2013 dalam Zuliani, 2021
5
d. Patofisiologi
Obstruksi saluran kemih
Hematuria
Gagal ginjal kronik
Payah jantung
Defisit nutrisi Gastritis Keletihan Cairan Tekanan Kapiler Edema
kiri
atrium kiri vena paru naik
Mual muntah Anemia 6 naik pulmonalis Gangguan
vena pertukaran
Risiko infeksi
Hematemesi Risiko perdarahan gas
e. Manifestasi klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2015) tanda gejala gagal ginjal
kronis terdiri dari berbagai macam, yaitu:
1) Kardiovaskuler: hipertensi, pitting edema (kaki,
tangan, sakrum), edema periorbital, friction rub
pericardial, pembesaran vena leher
2) Integumen: warna kulit abu-abu mengkilat, kulit
kering (bersisik), pruritus, ekimosis, kuku tipis dan
rapuh, rambut tipis dan kasar.
3) Pulmoner: krekels, sputum kental dan liat, napas
dangkal, pernapasan kussmaul.
4) Gastrointestinal: napas berbau ammonia, ulserasi dan
perdarahan pada mulut, anoreksia (mual muntah),
konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran
gastrointestinal.
5) Neurologi: kelemahan dan keletihan, konfusi,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa
panas pada telapak kaki.
6) Muskuloskeletal: kram otot, kekuatan otot hilang,
fraktur tulang, foot Reproduktif: amenore, dan atrofi
testikuler. (Smeltzer & Bare, 2015)
7
Sedangkan tanda gejala menurut Tanto (2014) Tanda dan
gejala gagal ginjal kronik melibatkan berbagai sistem organ,
diantaranya:
f. Klasifikasi
Menurut suwitra (2014) gagal gingal di bagi menjadi 5
derajat yang di dasarkan pada laju filtrasi glomerulus
(LFG) dengan ada tidaknya kerusakan pada ginjal:
8
sampai sedang.
4 Kerusakan ginjal dengan
15-59
LFG berat.
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
n ( 140−umur ) x BB
LFG/GFR (ml/mnt/1,72m2) =
72 x kreatinin plasma (mg /dl)
g. Faktor resiko
Menurut National Kidney Foundation (NKF) (2016),
faktor resiko dari penyakit GGK yaitu:
1) Diabetes Melitus
Diabetes merupakan faktor komorbiditas hingga 50%
pasien dan sebesar 65% pasien gagal ginjal kronik
meninggal yang menjalani hemodialisis memiliki
riwayat penyakit diabetes (Dikow, 2002, dalam
Ekantari, 2012).
2) Hipertensi
Menurut Budiyanto (2009), dalam Ekantari (2012),
mengatakan bahwa hipertensi dan gagal ginjal saling
mempengaruhi. Hipertensi dapat menyebabkan gagal
ginjal, sebaliknya gagal ginjal kronik dapat
menyebabkan hipertensi.
9
3) Anemia
Anemia terjadi pada awal perkembangan penyakit
gagal ginjal dan mengakibatkan fungsi ginjal
memburuk sehingga menjadi kronis. Anemia banak
terjadi pada pasien gagal ginjal kronik (Ekantari,
2012).
4) Ras
Memiliki ras kelompok populasi yang memiliki
tingkat tinggi diabetes atau tekanan darah tinggi,
dapat memicu terjadinya komplikasi GGK (National
Kidney Foundation (NKF), 2016).
h. Pemeriksaan penunjang
Menurut Suhardjono (2014), pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik yaitu:
1) Pemeriksaan laboratorium
Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan,
menentukan derajat GGK, serta menentukan
gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi.
2) Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri,
serta tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan
elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia).
3) Ultrasonografi (USG)
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti
obstruksi oleh batu atau massa tumor, dan untuk
menilai apakah proses sudah lanjut.
4) Foto polos abdomen
Untuk menilai bentuk dan besarnya ginjal apakah ada
batu atau obstruksi lain.
10
5) Pieolografi Intra-vena (PIV)
Untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
6) Pemeriksaan foto dada
Untuk melihat tanda-tanda bendungan paru akibat
kelebihan air (fluid overload), efusi pleura,
kardiomegali dan efusi perikardial.
i. Pencegahan
11
dalam tubuh. Dan juga akan membantu untuk
mmpertahankan volume serat konsentrasi darah.
Selain itu juga bisa berguna dalam memelihara sistem
pencernaan dan membantu mengendalikan suhu
tubuh. Jadi jangan sampai tubuh anda mengalami
dehidrasi.
4) Jangan menahan buang air kecil. Penyaringan darah
merupakan fungsi yang paling utama yang dimiliki
ginjal. Disaat proses penyaringan berlangsung, maka
jumlah dari hasil kelebihan cairan akan tersimpan di
dalam kandung kemih dan setelah itu harus segera di
buang. Walaupun kandung kemih mampu
menampung lebih banyak urin, tetapi rasa ingin buang
air kecil akan dirasakan disaat kandung kemih sudah
mulai penuh skitar 120-250 ml urin. Sebaiknya jangan
pernah menahan buang air kecil. Hal ini akan
berdampak besar dari terjadinya proses penyaringan
ginjal.
5) Makan makanan yang baik. Makan yang baik adalah
makan dengan kandungan utrisi serta gizi yang lebih
baik. Hindari makan junk food.
j. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan gagal ginjal kronik
menurut Suwirta (2014) adalah :
a) Terapi farmakologi
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik
(Renagel), Kalsitrol 3) Koreksi asidosis
metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Koreksi hyperkalemia
12
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100
mg/dl dianjurkan golongan statin
Terapi ginjal pengganti, Hemodialisa
b) Terapi non farmakologi
Pengaturan asupan protein
Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori
total dan mengandung jumlah yang sama antara
asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari
kalori total
Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
Fosfor:5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17
mg/hari
Kalsium: 1400-1600 mg/hari
Besi: 10-18mg/hari
Magnesium: 200-300 mg/hari
Asam folat pasien HD: 5mg
Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible
water loss)
Adapun penatalaksanaan gagal ginjal kronik yang lain
terdiri dari berbagai macam yaitu:
1) Manajemen cairan
Manajemen cairan merupakan suatu keterampilan
dalam mengidentifikasi sebuah masalah, serta
menetapkan tujuan, pemecahan masalah, pengambilan
keputusan dalam menanggapi fluktuasi tanda dan
gejala, mengambil tindakan dengan menanggapi
respon fisiologis kekurangan cairan tubuh, monitoring
13
serta mengelola gejala. Kelebihan IDWG dapat
dicegah dengan pemasukan cairan setiap hari 500 –
750 ml dalam situasi produksi urin kering. Pemasukan
natrium 80 – 110 mmol tiap hari, untuk mengontrol
haus serta membantu pasien dalam mengatur cairan
(Lindberg, 2012).
2) Kepatuhan Diet
Kepatuhan diet merupakan satu penatalaksanaan
untuk mempertahankan fungsi ginjal dengan prinsip
rendah protein, rendah garam, rendah kalium dimana
pasien harus meluangkan waktu untuk menjalani
pengobatan dan terapi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan hidupnya (Sumigar, Rompas, &
Pondaag, 2015).
3) Terapi Konservatif
Tujuan terapi konservatif adalah mencegah
memburuknya faal ginjal secara progresif, sehingga
meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi
toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara
optimal serta memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Price & Sylvia, 2006, dalam Husna, 2012).
4) Terapi penganti ginjal
Terapi pengganti ginjal, dilakukan pada penyakit
ginjal kronik stadium 5, yaitu pada GFR kurang dari
15 mL/menit. Terapi tersebut juga dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
ginjal (Suwitra, 2012)
k. Komplikasi
14
Komplikasi yang sering ditemukan pada penderita
penyakit gagal ginjal kronik menurut Alam & Hadibroto
(2008) dalam Hulu (2018), antara lain:
1) Anemia Anemia terjadi karena gangguan pada produksi
hormon eritroprotein yang bertugas untuk
mematangkan sel darah, agar tubuh dapat
menghasilkan energy yang dibutuhkan sebagai
pendukung kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan
tersebut, tubuh kekurangan energy karena sel darah
merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh
tubuh dan jaringan yang tidak mencukupi. Contoh
gejala dari gangguan sirkulasi darah yaitu kesemutan,
kurang energy, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh,
kehilangan rasa (baal) pada kaki tangan.
2) Osteodistopi ginjal Kelainan tulang karena tulang
kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme
mineral. Jika kadar kalium dan fosfat dalam darah
sangat tinggi, maka akan terjadi pengendapan garam
dan kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak yang
menimbulkan nyeri persendian (artritis), batu ginjal,
pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah,
gangguan irama jantung, serta gangguan penglihatan.
3) Gagal jantung Jantung kehilangan kemampuan
memompa darah dalam jumlah yang memadai
keseluruh tubuh. Jantung akan tetap bekerja, tetapi
kekuatan memompa atau daya tampungnya akan
berkurang. Gagal jantung pada penderita gagal ginjal
kronik dimulai dari anemia yang mengakibatkan
jantung harus bekerja lebih keras lagi, sehingga akan
terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left ventricular
hypertrophy/LVH). Sehigga lama kelamanan otot
15
jantung akan mulai melemah dan mengakibatkan otot
tidak mampu memompa sebagaimana mestinya
(sindrom kardiorenal).
16
2. Konsep Hemodialisa
a. Definisi hemodialisa
Menurut Suhardjono (2014) adalah sebuah proses
perubahan komposisi solute darah oleh larutan lain (cairan
dialisat) melalui membrane semipermeable (membrane
dialisis). Hemodialisi itu sendiri merupakan proses
pemisahan, penyaringan, atau pembersihan darah melalui
membran semipermeable yang dilakukan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal baik akut maupun kronik.
Hemodialisis adalah suatu metode peralihan senyawa
terlarut dengan produk yang tersisa dalam tubuh. Senyawa
sisa yang terkumpul pada penderita GGK diambil dengan
cara menarik menggunakan metode difusi pasif membran
semipermeable. Peralihan zat atau senyawa yang tersisa
pada hasil metabolik bekerja dengan mengikuti penurunan
gradien konsentrasi pada sirkulasi ke dalam dialisat (Aisara,
S., Azmi and M, 2018)
b. Tujuan
Menurut Muttaqin & Sari, 2014 Hemodialisa bertujuan
untuk:
1) Membuang sisa produk metabolisme, protein : urea
kreatinin dan asam urat.
2) Membuang kelebihan cairan dengan mempengaruhi
tekanan banding antara darah dan cairan.
3) Mempertahankan atau mengembalikan kadar
elektrolit tubuh.
4) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi
(membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh,
seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang
lain), menggantikan fungsi ginjal dalam
17
mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urine saat ginjal sehat.
5) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita
penurunan fungsi ginjal
18
2) Kontraindikasi hemodialisis Kontraindikasi
melakukan hemodialisis adalah apabila tidak
didapatkannya akses vaskular. Kontraindikasi relatif
adalah apabila ditemukan adanya kesulitan akses
vaskular, fobia terhadap jarum, gagal jantung, dan
koagulopati (Suhardjono, 2014).
d. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik
(Kemenkes, 2017). Tekanan darah umumnya menurun
dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan
saat hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-
40% penderita yang menjalani hemodialisis regular,
namun sekitar 5-15% dari responden hemodialisis tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi
intradialitik atau intradialytic hypertension (Kemenkes,
2017).
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis
menurut Beiber dan Hemmelfarb (2013), yaitu:
1) Penyakit jantung merupakan suatu kelainan yang
terjadi pada organ jantung dengan akibat terjadinya
gangguan fungsional anatomis serta hemodinamis.
2) Hipertensi merupakan tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan
sistolik di atas 90 mmHg.
3) Malnutrisi adalah keadaan dimana tubuh tidak
mendapat asupan gizi yang cukup.
4) Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit
dana tau masa hemoglobin yang beredar tidak
19
memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen
bagi jaringan tubuh.
5) Neurophaty adalah suatu keadaan yang berhubungan
dengan gangguan fungsi dan struktur dari saraf tepi.
6) Renal osteodystrophy adalah kelainan metabolisme
pada tulang yang terjadi secara sekunder terhadap
gagal ginjal akibat kelainan fungsi ekskresi dan
endokrin.
7) Disfungsi reproduksi adalah gangguan kesehatan
seksual yang umumnya menyerang organ reproduksi.
8) Gangguan perdarahan adalah perdarahan yang
disebabkan oleh kemampuan pembuluh darah,
platelet, dan faktor koagulasi pada sistem hemostatis.
9) Amiloidosis merupakan sebutan untuk berbagai
macam kelompok penyakit dengan adanya
penumpukan protein amyloid pada organ atau
jaringan sehingga mengakibatkan timbulnya penyakit.
10) Infeksi adalah proses infasive dari mikroorganisme
dan berpoliferasi dalam tubuh yang menyebabkan
sakit.
11) Acquired cystic kidney disease adalah gangguan
ginjal di mana kelompok kista berkembang
berkembang terutama dalam ginjal
e. Proses hemodialisa
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan
hemodialisa berfungsi mempersiapkan cairan dialisa
(dialisat). Mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati
suatu membrane semipermeable, dan memantau fungsinya
termasuk dialisat dan sirkuit darah koporeal. Pemeberian
heparin melengkapi antikoagulasi sitenuk. Darah dan
20
dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk
memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan.
Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membrane
dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan
mempengaruhi pemindahan larutan. Dalam proses
hemodialisa diperlukan suatu mesin yang disebut dialyzer,
yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan
darah dari ureum, creatinin dan zat-zat sisa metabolisme
yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan
akses hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai
tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin
hemodialisa.
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari
membrane semipermeable yang terdiri dari dua bagian,
bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah
mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah
ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah.
Dialyzer merupakan hollow fiber atau capillary dialyzer
yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun
parallel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-
tabung kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian
luarnya. Dialyzer ini sangat kecil dan kompak karena
memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak
tabung kapiler. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari
tubuh melalui kateter masuk ke dalam sebuahmesin yang
dihubungkan dengan sebuah membrane semipermeable
(dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan
dialirkan darah dan ruangan lain dialirkan dialisat,
sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai
dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan
kedalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-Shunt).
21
Suatu sitem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk
darah dan satu untuk cairan dialisa. Darah mengalir dari
pasien melalui tabung plastic (jalur areteri/blood line),
melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien
melalui jalur vena. Cairan dialisa membentuk saluran
kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai
dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat
dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk
dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian
dimasukkan ke dalam dializer, dimana cairan akan
mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui
drainase. Keseimbangan anatara darah dan dialisat terjadi
sepanjang membrane semipermeabel dari hemodializer
melalui difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi
terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat.
Perbedaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan
meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen
darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi
terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek
vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur
tekanan negative. Perbedaan tekanan hidrostatik diantara
membrane dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi
solute. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan
larutan garam atau NaCl 0.9 % sebelum dihubungkan
dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin
cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit
ekstrakorporeal (diluar tubuh), atau mungkin juga
memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan
quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit)
merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara
22
terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus
lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap
beluan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam
aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien,
maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-
monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter.
Waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan
kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4-5 jam
dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya
dilakukan 10-15 jam/minggu dengan QB 200-300
ml/menit. Sedangkan menurut Corrwin (2000)
hemodialisa memerlukan 3-5 jam diantara hemodialisa,
keseimbangan garam, air, dan PH sudah tidak normal lagi.
Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena
sebagian darah merah rusak dalam proses hemodialisa
(Nuari, 2017).
f. Jenis
Ada dua jenis dialisis yaitu :
1) Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
Menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang
berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah dipompa
keluar dari tubuh, masuk ke dalam mesin dialiser
untuk dibersihkan melalui proses difusi dan
ultrafiltrasi dengan dialisat (cairan khusus untuk
dialisis), kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh.
Agar prosedur hemodialisis dapat berlangsung, perlu
dibuatkan akses untuk keluar masuknya darah dari
tubuh. Akses tersebut dapat bersifat sementara
(temporer) Akses temporer berupa kateter yang
23
dipasang pada pembuluh darah balik (vena) di daerah
leher. Akses permanen biasanya dibuat dengan akses
fistula, yaitu menghubungkan salah satu pembuluh
darah balik dengan pembuluh darah nadi (arteri) pada
lengan bawah, yang dikenal dengan nama cimino.
2) Dialisis peritonial (cuci darah melalui perut)
Adalah metode cuci darah dengan bantuan membran
selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah
tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk
dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis
(Jeffrey, 2013).
24
DAFTAR PUSTAKA
Hulu, Y. (2018). Gambaran self care manejemen pada pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis di rsud panembahan senopati bantul
Yogyakarta. (Skripsi). STIKES Bethesda Yakkum Yogyakarta.
Mutaqqin, A., & Sari, K,. 2014. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
25
Parwati, Ida. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Klien Chronic Kidney Disease
Dengan Masalah Resiko Gangguan Integritas Kulit Di Rumah Sakit Panti
Waluya Sawahan Malang.
Smeltzer & Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 12. Alih bahasa: Devi Yulianti, Amelia Kimin. Jakarta:
EGC.
Suwitra, K. (2012). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, dkk. Edisi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit dalam FKUI Suwitra, K. (2014).
Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: I Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
SImadibrata M, Setyohadi B, .Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
(SDKI) Edisi 1, Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI) Edisi 1, Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI) Edisi 1, Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia.
Zuliani, dkk. (2021). Gangguan Pada Sistem Perkemihan. Yayasan Kita Menulis
26