Anda di halaman 1dari 18

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA PENYAKIT DARAH (ANEMIA

DAN POLISITEMIA)

MAKALAH

LOGO UNIV

DI SUSUN OLEH :

OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Pemeriksaan
Laboratorium Pada Penyakit Darah ( Anemia dan Polistemia “ Ini tepat Pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini guna untuk memenuhi tugas yang telah
di berikan. Selain itu makalah ini juga berfungsi untuk menambah wawasan tentang “
Pemeriksaan Laboratorium ” bagi para pembaca juga penulis.

Saya mengucapkan terimakasih kepada bapak/ibu dosen selaku yang telah


memberikan tugas ini sehingga saya dapat menambah wawasan tentang dan pengetahuan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
membagi Sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah
ini. Saya menyadari bahwa makalah yang saya tulis ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

06 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemeriksaan laboratorium terutama darah rutin merupakan pemeriksaan darah


yang sering diminta oleh dokter. Dengan melakukan pemeriksaan darah rutin dapat
menunjang diagnosis berbagai penyakit kelainan darah (Verbrugge and Huisman, 2015).
Pemeriksaan darah rutin diantaranya merupakan uji kadar hemoglobin, jumlah eritrosit,
jumlah leukosit, jumlah trombosit, nilai hematokrit, laju endap darah dan menentukan
indeks eritrosit.

Hemoglobin (hb) terdiri dari protein yang mengandung zat besi didalam sel darah
merah yang merupakan pengangkut oksigen (O2) dari paru keseluruh jaringan tubuh,
yang terdapat pada mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin juga merupakan pembawa
karbondioksida (CO2) dari jaringan tubuh menuju paru untuk dikeluarkan ke atmosfir
atau dunia luar. Hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, yaitu
molekul organic dengan satu atom besi. Mutasi pada gen protein hemoglobin dapat
mengakibatkan suatu golongan penyakit yang disebut hemoglobinopati, yang paling
sering ditemui dilapangan adalah anemia sel sabit dan talasemia (Hoffrand and Moss,
2013).

Menurunnya kadar hemoglobin dalam sel darah merah menjadi penyebab utama
anemia (kurang darah). Menurunya hemoglobin menunjukkan rendahnya tingkat oksigen
yang ada dalam darah sering menyebabkan sesak nafas. Kekurangan oksigen dalam darah
akan memperberat daya kerja jantung. Dapat menimbulkan gejala seperti jantung
berdebar dan nyeri dada. Apabila oksigen tidak alirkan keseluruh bagian tubuh maka
fungsi tubuh akan terhambat sehingga, sel tidak mendapatkan asupan oksigen yang cukup
untuk melakukan aktivitasnya. Gejala yang sering dirasakan oleh penderita adalah mudah
lelah (Price and Wilson, 2012).

Pemeriksaan hemoglobin dalam darah mempunyai peranan penting dalam


diagnosis suatu penyakit. Pemeriksaan kadar hemoglobin ini berguna untuk menilai
tingkat anemia, respons terhadap terapi anemia, atau perkembangan penyakit yang
berhubungan dengan anemia dan polisitemia. Anemia dapat ditentukan dengan
penurunan kadar hemoglobin darah di bawahnilai normal (10 - 14 g/dl), pengelompokan
anemia yang umum dipakai seperti anemia ringan sekali (Hb 10 g/ dL-kurang dari nilai
normal), anemia ringan (Hb 8 - 9,9 g/dL), anemia sedang (Hb 6 - 7,9 g/ dL), anemia berat
(Hb < 6 g/dL). Polisitemia merupakan peningkatan kadar hemoglobin melebihi batas nilai
normal, yaitu pada pria Hb > 18,5 g/dL dan wanita> 16,5 g/dL (Kusumawati et al, 2018
and Paiva et al, 2004).

Pemeriksaan kadar hemoglobin yang biasa digunakan di Indonesia adalah cara


Sahli dimana kesalahan dengan menggunakan metode ini sebesar 10% - 15%.
Pemeriksaan sederhana yang dipakai dilapangan perlu diteliti dan dibandingkan dengan
cara standar yang dianjurkan WHO (Price et al, 2012). Pemeriksaan hemoglobin
sederhana yang dianjurkan oleh International Committee for Standardization in
Hematology metode Cyanmethemoglobin (Autoanalyzer), yaitu dengan menghitung
secara otomatis kadar hemoglobin dalam eritrosit, metode ini banyak digunakan karena
mempunyai ketelitian yang lebih akurat dan tingkat kesalahannya rendah (Nugraha,
2015).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja faktor faktor dan definisi dari eritrosit ?

2. Apa saja faktor faktor yang melandasi Penyebab Anemia dan sebutkan serta definisikan
jenis jenis dari Anemia ?

3. Bagaimana definisi dari polisitemia ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui faktor faktor dan definisi dari eritrosit.

2. Untuk Mengetahui faktor faktor yang melandasi Penyebab Anemia serta definisi jenis
jenis dari Anemia.

3. Untuk mengetahui definisi dari polisitemia.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Eritrosit

2.1.1 Definisi Eritrosit

Sel darah merah atau eritrosit adalah merupakan bentuk cakram bikonkaf yang
tidak berinti, cekung pada kedua sisinya dan berdiameter kira- kira 7,8 mikrometer dan
dengan ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5 mikrometer dan pada bagian tengah
1 mikrometer atau kurang. Fungsi utama dari sel-sel darah merah adalah mengangkut
hemoglobin, dan mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan (Putra et al., 2017).

Jumlah sel darah merah kira-kira 5 juta per milimeter kubik darah pada ratarata
orang dewasa dan berumur 120 hari. Keseimbangan tetap dipertahankan antara
kehilangan dan penggantian sel darah tiap hari. Pembentukan sel darah merah dirangsang
oleh hormon glikoprotein, eritroprotein, yang dianggap berasal dari ginjal. Pembentukan
eritroprotein dipengaruhi oleh hipoksia jaringan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti perubahan O2, berkurangnya kadar O2 darah arteri, dan berkurangnya konsentrasi
hemoglobin. Eritropoetin merangsang sel induk untuk memulai proliferasi dan
pematangan sel-sel darah merah. Selanjutnya, pematangan tergantung pada jumlah zat-
zat makanan yang cukup.

Pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah adalah hemoglobin yang
terdapat sekitar 300 molekul hemoglobin dalam darah merah. Hemoglobin memiliki daya
gabung terhadap oksigen dan membentuk oxihemoglobin didalam sel darah merah
selanjutnya dibawa dari paru-paru ke jaringan.

Pembentukan hemoglobin terjadi pada sumsum tulang melalui semua stadium


pematangan. Sel darah merah memasuki sirkulasi sebagai retikulosit dari sumsum tulang.
Retikulosit adalah stadium terakhir dari perkembangan sel darah merah yang belum
matang dan mengandung jala yang terdiri dari serat-serat retikular. Sejumlah kecil
hemoglobin masih dihasilkan selama 24 sampai 48 jam pematangan, retikulum kemudian
larut dan menjadi sel darah merah yang matang.

Perubahan sel darah merah menimbulkan dua keadaan yang berbeda. Jika jumlah
sel daram merah kurang maka akan timbul anemi. Sebaliknya keadaan dimana sel darah
merah terlalu banyak disebut polisitemia.

2.1.2 Struktur Eritrosit


Eritrosit normal berbentuk cakram bikonkaf yang tidak berinti, cekung pada
kedua sisinya dan berdiameter kira – kira 7,8 mikrometer dan dengan ketebalan pada
bagian tengah 1 mikrometer atau kurang. Volume rata –rata eritrosit adalah 90-95
mikroliter kubik.

Warnanya kuning kemerah- merahan, karena didalamnya mengandung suatu zat


yang disebut hemoglobin, warna ini akan bertambah merah jika didalamnya banyak
mengandung oksigen. Fungsinya mengikat oksigen dari paru – paru untuk diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh dan mengikat karbondioksida dari jaringan tubuh untuk
dikeluarkan melalui paru – paru.

Bentuk eritrosit dapat berubah - ubah sel berjalan melewati kapiler. sel normal
mempunyai membran yang sangat kuat untuk menampung banyak bahan material
didalamnya maka perubahan bentuk tadi tidak akan merenggangkan membran secara
hebat berbagai tahap yaitu mula-mula besar dan berisi nukleus tetapi tidak ada Hb dan
akhirnya kehilangan dan sebagai akibatnya tidak akan memecah sel seperti yang akan
terjadi pada sel lainnya (Wahyuni S, 2021).

2.1.3 Pembentukan Eritrosit

Eritrosit berasal dari sel yang dikenal sebagai hemositoblast. Hemositoblast yang
baru secara kontinyu dibentuk dari sel induk. Hemositoblast mula-mula membentuk
eritoblast basofil yang mulai mensintesis hemoglobin. Eritoblast kemudian menjadi
eritoblast polikromatofilik karena mengandung zat basofilik dan hemoglobin merah.
Hemoglobin dibentuk dalam jumlah yang lebih banyak dan menjadi normoblast. Setelah
sitoplasma normoblast telah terisi dengan hemoglobin, inti menjadi kecil dan dibuang.
Pada waktu yang sama retikulum endoplasma diabsorbsi. Sel dalam stadium ini
dinamakan retikulosit, setelah dari retikulosit lalu sel akan menjadi eritrosit matang .

Sel darah merah dibentuk didalam sumsum tulang, terutama dari tulang pendek,
pipih dan tidak beraturan. Sel darah merah (eritrosit) didalam tubuh juga dibuat didalam
limpa dan hati yang kemudian akan beredar didalam tubuh selama 14 – 15 hari setelah
itu akan mati. Hemoglobin yang keluar dari eritrosit yang mati akan terurai menjadi 2 zat
yaitu hematin yang mengandung Fe yang berguna untuk pembuatan eritrosit baru dan
hemoglobin yaitu suatu zat yang terdapat didalam eritrosit yang berguna untuk mengikat
oksigen dan karbondioksida.
Komponen utama sel darah merah adalah protein Hb. Pembentukan Hb terjadi
dalam sumsum tulang melalui semua pematangan. Perkembangan sel darah merah
diedarkan kedalam sirkulasi darah yang sebagian kecil dari sumsum tulang. Hemoglobin
masih dihasilkan selama ½ hari. Retikulum kemudian larut dan menjadi sel darah merah
yang matang (Jiwintarum et al., 2020).

2.1.4 Fungsi Eritrosit

Fungsi eritrosit adalah:

1. Untuk mentransport hemoglobin, yang selanjutnya membawa oksigen dari paru-paru


ke jaringan.

2. Mengangkut O2 ke jaringan dan mengembalikan karbondioksida dari jaringan ke paru-


paru.

2.2 Anemia

2.2.1 Definisi Anemia

Anemia adalah menurunnya massa eritrosit yang menyebabkan


ketidakmampuannya untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke jaringanperifer. Secara
klinis, anemia dapat diukur dengan penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung
eritrosit, namun yang paling sering digunakan adalah pengujian kadar hemoglobin.

Anemia atau kekurangan sel darah merah yaitu suatu kondisi dimana jumlah sel
darah merah atau hemoglobin (protein yang membawa oksigen) dalam sel darah merah
berada di bawah normal.Sel darah merah itu sendiri mengandung hemoglobin yang
berperan untuk mengangkut oksigen dari paru – paru dan mengantarkan ke seluruh bagian
tubuh (Widoyoko & Septianto, 2020).

Tanda dan gejala Anemia yaitu sebagai berikut :

a. Anemia Ringan Berdasarkan WHO, anemia ringan merupakan kondisi dimana kadar
Hb dalamdarah diantara Hb 8 g/dl – 9,9 g/dl. Sedangkan berdasarkan Depkes RI, anemia
ringan yaitu ketika kadar Hb diantara Hb 8 g/dl - <11 g/dl. Jumlah sel darah yang rendah
dapat menyebabkan berkurangnya pengiriman oksigen ke setiap jaringan seluruh tubuh
sehingga muncul tanda dan gejala serta dapat memperburuk kondisi medis lainnya. Pada
anemia ringan umumnya tidak menimbulkan gejala karena anemia berlanjut terus-
menerus secara perlahan sehingga tubuh beradaptasi dan mengimbangi perubahan. Gejala
akan muncul bila anemia berlanjut menjadi lebih berat. Gejala anemia yang mungkin
muncul :

1) Kelelahan

2) Penurunan energi

3) Kelemahan

4) Sesak nafas ringan

5) Palpitasi

6) Tampak pucat

b. Anemia Berat Menurut WHO anemia berat merupakan kondisi dimana kadar Hb dalam
darah dibawah < 6 g/dl. Sedangkan berdasarkan Depkes RI, anemia berat yaitu ketika
kadar Hb dibawah < 5 g/dl. Beberapa tanda yang mungkin muncul pada penderita anemia
berat yaitu:

1) Perubahan warna tinja, termasuk tinja hitam dan tinja lengket dan berbau busuk,
berwarna merah marun, atau tampak berdarah jika anemia karena kehilangan darah
melalui saluran pencernaan.

2) Denyut jantung cepat

3) Tekanan darah rendah

4) Frekuensi pernapasan cepat

5) Pucat atau kulit dingin

6) Kulit kuning disebut jaundice jika anemia karena kerusakan sel darah merah

7) Murmur jantung

8) Pembesaran limpa dengan penyebab anemia tertentu

2.2.2 Macam – Macam Anemia

a. Anemia defisiensi besi


yaitu kekurangan asupan besi pada saat makan atau kehilangan darah secara
lambat atau kronis. Zat besi adalah komponen esensial hemoglobin yang menutupi
sebagaian besar sel darah merah (Fitriany & Saputri, 2018).

b. Anemia megaloblastik

Anemia yang terjadi karena kelainan proses pembentukan DNA sel darah merah
yang disebabkan kekurangan (defisiensi) vitamin B12 dan asam folat.

c. Anemia hipoplastik

Anemia yang terjadi karena kelainan sumsung tulang yang kurang mampu
membuat sel-sel darah baru.

d. Anemia Aplastik

Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan


jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.Anemia aplastik sering
diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.Akan tetapi, kebanyakan pasien
penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui. Anemia
aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain (Leny, 2019).

2.2.3 Cara Pemeriksaan Untuk Kadar Hemoglobin

Pengecekan anemia dapat dilakukan dengan memeriksa kadar hemoglobin


merupakan hal yang sering dilakukan oleh setiap laboratorium. Pemeriksaan hemoglobin
dapat dilakukan melalui beberapa metode, antara lain :

a Metode cyanmethemoglobin.

Metode yang lebih canggih adalah metode cyanmethemoglobin.Pada metode ini


hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosianida menjadi methemoglobin yang kemudian
bereaksi dengan ion sianida membentuk sian-methemoglobin yang berwarna
merah.Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan dengan
standar.Karena yang membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih
objektif.Namun, fotometer saat ini masih cukup mahal, sehingga semua laboratorium
memilikinya (Kadriyan et al., 2019).

b. Metode Sahli
Metode Sahli sudah tidak dianjurkan belakangan ini disebabkan karena memiliki
rasio kesalahan yang cukup besar, metode Sahli adalah hemoglobin diubah menjadi
hematin asam, kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standar
dalam hemometer dan dibaca pada tabung sahli. Cara ini juga kurang baik karena tidak
semua macam hemoglobin dapat diubah menjadi hematin asam.

c. Metode mikrokuvet

Reaksi di mikrokuvet adalah reaksi azide-methemoglobin yang dimodifikasi.


Erittrosit terhemolisa dan mengeluarkan hemoglobin. Hemoglobin ini dikonversi menjadi
methemoglobin dan kemudian digabungkan dengan azida duntuk membentuk azide-
methemoglobin. Pengukuran berlangsur di analyzer di mana transmitasi diukur dan
absorbsi kadar hemoglobin diukur. Absorban ini berbanding lurus dengan kadar
hemoglobin.

2.2.4 Hemoglobin dan kriteria anemia

Hemoglobin adalah suatu protein yang kompleks, tersusun dari protein globin,
protofirin dan besi.Protofirin dibentuk disekitar mitokondria, globin itu sendiri dibentuk
di sekitar ribosom dan besi berasal dari transferrin.

Kadar hemoglobin berdasarkan usia menurut (WHO, 2014) kaitannya dengan


anemia pada populasi wanita tidak hamil usia 15 tahun keatas di kategorikan sebagai
berikut : Normal (>12 mg/dl), ringan (11,0-11,9 mg/dl), sedang( 8,0-10,9 mg/dl), berat
(<8,0 mg/dl ).

2.2.5 Penyebab Anemia

Penyebab umum dari anemia antara lain : kekurangan zat besi, pendarahan,
genetik, kekurangan asam folat, gangguan sumsum tulang. Secara garis besar, anemia
dapat disebabkan karena :

a Peningkatan destruksi eritrosit, contohnya pada penyakit gangguan sistem imun,


talasemia.

b Penurunan produksi eritrosit, contohnya pada penyakit anemia aplastik, kekurangan


nutrisi.
c Kehilangan darah dalam jumlah besar, contohnya akibat perdarahan akut, perdarahan
kronis, menstruasi, trauma.

Penyebab anemia dapat di bagi menjadi dua yaitu penyebab secara langsung
maupun tidak langsung :

1. Penyebab secara langsung Penyebab langsung ini merupakan faktor-faktor yang


langsung mempengaruhi kadar hemoglobin pada seseorang meliputi :

a Menstruasi pada remaja putri Menstruasi yang dialami oleh remaja putri setiapbulannya
merupakan sala satu penyebab dari anemia. Keluarnya darah dari tubuh remaja pada saat
menstruasi mengakibatkan hemoglobin yang terkandung dalam sel darah merah juga ikut
terbuang, sehingga cadangan zat besi dalam tubuh juga akan berkurang dan itu akan
menyebabkan terjadinya anemia.

b Intake makanan yang tidak cukup bagi tubuh. Faktor ini berkaitan dengan asupan
makanan yang masuk ke dalam tubuh.Seperti anemia defiensi besi yaitu kekurangan
asupan besi pada saat makan atau kehilangan darah secara lambat atau kronis.Zat besi
adalah komponen esensial hemoglobin yang menutupi sebagaian besar sel darah
merah.Tidak cukupnya suplai zat besi dalam tubuh yang mengakibatkan hemoglobinnya
menurun. Kekurangan asam folat dalam tubuh dapat ditandai dengan adanya peningkatan
ukuran eritrosit yang disebabkan oleh abnormalitas pada proses hematopoeisis.

c. Gaya hidup seperti sarapan pagi. Sarapan pagi sangatlah penting bagi seorang remaja
karena dengan sarapan tenaga dan pola berfikir seorang remaja menjadi tidak
terganggu.Ketidak seimbangan antara gizi dan aktifitas yang dilakukan. Remaja dengan
status gizi yang baik bila beraktifitas berat tidak akan ada keluhan, dan bila status gizi
seorang remaja itu kurang dan selalu melakukan aktifitas berat maka akan menyebabkan
seorang remaja itu lemah, pucat, pusing kepala, karena asupan gizi yang di makan tidak
seimbang dengan aktifitasnya.

2. Penyebab tidak langsung Penyebab tidak langsung ini merupakan faktor-faktor yang
tidak langsung mempengaruhi kadar hemoglobin pada seseorangmeliputi :

a. Tingkat pengetahuan Pengetahuan membuat pemahaman seseorang tentang penyakit


anemia beserta penyebab dan pencegahannya menjadi semakin baik. Seseorang yang
memiliki pengetahuan yang baik akan berupaya mencegah terjadinya anemia seperti
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi guna menjaga kadar
hemoglobin dalam kondisi normal.
b. Sosial ekonomi Sosial ekonomi berkaitan dengan kemampuan suatu keluarga dalam
memenuhi kebutuhan pangan keluarga baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Keluarga
dengan tingkat ekonomi tinggi akan mudah memberikan pemenuhan kebutuhan asupan
makanan bagi keluarganya dengan makanan yang memenuhi gizi seimbang, namun hal
berbeda jika permasalahan tersebut dialami oleh keluarga dengan ekonomi rendah,
sehingga seringkali jumlah makanan yang dipentingkan sementara kualitas dengan
pemenuhan kebutuhan gizi seimbang kurang mendapat perhatian.

2.3 Polisitemia

2.3.1 Definisi Polisitemia

Polisitemia atau eritrositosis merupakan peningkatan jumlah sel darah merah


dalam sirkulasi. Peningkatan nilai hematokrit tersebut bersifat persisten > 2 bulan. Angka
kejadian polisitemia (primer maupun sekunder) hingga saat ini sulit untuk dihitung.
Diperkirakan separuh kasus polisitemia merupakan kasus polisitemia sekunder akibat
kelainan non hematologi. Sementara itu angka insiden polisitemia primer/vera adalah 1,9
per 100.000 orang (Cahyanur & Rinaldi, 2019).

Polisitemia adalah keadaan kadar hemoglobin lebih dari 16,5 g/dL atau
hematokrit lebih dari 49% pada lakilaki, sementara pada wanita yaitu kadar hemogloblin
lebih dari 16,0 g/dL atau hematorkrit lebih dari 48%.Pada kasus angka hematokrit
melebihi 60% pada laki-laki atau 56% pada wanita, maka dapat diasumsikan mengalami
polisitemia absolut.

Seringkali pasien datang dengan penyakit kardiovaskular yang menjadi tampilan


awal dari polisitemia vera. Angka kejadian tromboemboli ditemukan pada 39-41% pasien
dengan polisitemia vera. Sekitar 70% penyulit yang terjadi merupakan trombosis arteri
seperti stroke, infark miokard, serta penyakit arteri perifer. Penting bagi kita untuk dapat
membedakan antara kasus polisitemia vera dengan polisitemia sekunder sehingga
penatalaksanaan yang tepat dapat diberikan untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Pada artikel ini akan dibahas mengenai pendekatan diagnosis polisitemia, serta
tata laksana yang perlu dikerjakan.

2.3.2 Patofisiologi Polisitemia

Peningkatan hematokrit atau sel darah merah dapat disebabkan oleh penurunan
volume plasma atau peningkatan jumlah sel darah merah. Terkadang sulit bagi klinisi
dengan hanya mengandalkan nilai hematokrit darah vena. Pada kasus polisitemia akibat
hipoksia atau peningkatan jumlah eritropoietin akan terjadi peningkatan sel darah merah,
akan tetapi volume plasma juga dapat mengalami penurunan akibat upaya tubuh menjaga
volume darah agar tetapi sama. Hal tersebut menyulitkan kita untuk memastikan
terjadinya polisitemia absolut atau relatif. Pada polisitemia vera, peningkatan sel darah
merah dapat diikuti oleh peningkatan volume plasma. Hal tersebut yang mendasari untuk
dipertimbangkannya pemeriksaan ulang dalam kurun waktu 2-4 minggu. Berdasarkan hal
tersebut, maka polisitemia dibagi menjadi polisitemia relatif dan polisitemia absolut.

Polisitemia relatif adalah peningkatan hematokrit, sel darah merah akibat


penurunan volume plasma. Sedangkan, polisitemia absolut adalah peningkatan jumlah sel
darah merah. Setelah kita dapat membedakan polisitemia relatif dengan absolut, maka
langkah berikutnya adalah mengetahui sumber peningkatan sel darah merah. Polisitemia
absolut diklasifikasikan menjadi polisitemia sekunder dan polisitemia primer/vera.
Polisitemia vera adalah peningkatan jumlah sel darah merah akibat proliferasi sel
progenitor atau prekursor di sumsum tulang, akibat mutasi gen yang mengatur
eritropoiesis.

2.3.3 Hiperviskositas Dan Trombosis

Peningkatan hematokrit akan berhubungan dengan peningkatan viskositas darah.


Peningkatan viskositas tersebut juga dipengaruhi oleh shear rate aliran darah. Pada aliran
darah yang lambat, maka peningkatan hematokrit akan lebih besar memberikan dampak
terhadap peningkatan viskositas darah dibandingkan dengan aliran darah yang cepat. Hal
tersebut akan menimbulkan peningkatan hematokrit yang sedikit berkaitan dengan
peningkatan logaritmik viskositas darah. Perubahan juga terjadi pada pembuluh darah
kapiler. Hal tersebut berdasarkan temuan bahwa pembuluh darah akan berkelok pada
kondisi hiperviskositas. Sel darah merah akan bertumpuk membentuk rouleaux (Firdaus
& Wahid, 2020).

Kejadian hiperviskositas pada pembuluh darah serebral seringkali menjadi


manifestasi trombosis pada polisitemia. Laju aliran darah pada pembuluh darah serebral
berhubungan terbalik dengan viskositas darah. Meskipun terdapat peningkatan
kandungan hemoglobin yang mengandung oksigen, akan tetapi dampak akibat
hiperviskositas lebih besar terhadap suplai oksigen di otak.

Pasien dengan polisitemia vera juga berisiko mengalami trombosis. Terjadinya


trombosis tidak sematamata terkait dengan masalah hiperviskositas. Faktor lain yang
diduga berperan terhadap terjadinya trombosis adalah jumlah alel JAK2V617F yang
mengalami mutasi, inflamasi, dan leukositosis.

2.3.4 Evaluasi Pasien dengan Polisitemia

Pada pasien dengan polisitemia, evaluasi pertama kali adalah dengan menanyakan
riwayat penyakit secara lengkap. Hal penting yang harus diketahui adalah penyakit
penyerta, obat-obat yang rutin digunakan, kebiasaan, dan riwayat keluarga. Pasien
umumnya datang asimptomatik atau dirujuk saat pemeriksaan kesehatan rutin. Keluhan
awal yang dirasakan oleh pasien umumnya nonspesifik seperti lemas, serta pusing akibat
hiperviskositas darah. Pada kondisi tertentu, pasien dapat mengeluhkan gejala yang
mengganggu seperti nyeri dada atau nyeri perut. Berbagai gejala dan tanda terkait
hiperviskositas. Pasien juga kadang mengeluhkan urtikaria, terutama pada polisitemia
vera. Pada riwayat penyakit juga harus diketahui penyakit jantung atau paru yang dapat
mengakibatkan hipoksemia. Gangguan tidur di malam hari serta kebiasaan mengorok
mengarahkan kepada OSAS (obstructive sleep apnoea syndrome).

Pada riwayat penyakit dahulu yang perlu ditanyakan yaitu mengenai riwayat
trombosis, terutama pada lokasi yang tidak lazim seperti di pembuluh darah abdomen,
dapat dijumpai pada polisitemia vera. Beberapa obatobatan seperti diuretik, sunitinib,
atau sorafenib terkait dengan polisitemia sekunder. Injeksi eritropoietin atau hormon
steroid anabolik juga dapat menyebabkan polisitemia sekunder.

Riwayat keluarga juga harus ditanyakan seperti adanya kerabat yang menderita
polisitemia vera atau neoplasia mieloproliferatif menjadi salah satu risiko memiliki
polisitemia vera.

Pasien dengan polisitemia memperlihatkan plethora. Pada pemeriksaan tanda vital


dapat dijumpai hipertensi, yang dapat ditemukan pada polisitemia vera. Obesitas dapat
mengarahkan kecurigaan terhadap sindrom OSAS. Pada pemeriksaan status generalis kita
mencari adanya tanda yang mengarahkan kepada polisitemia sekunder. Pada ekstremitas
adanya sianosis atau jari tabuh menandakan kelainan jantung atau paru. Sementara itu,
eritromelalgia (ekstremitas dengan kemerahan atau pucat disertai rasa nyeri) terkait
adanya polisitemia vera.

Bentuk rongga dada abnormal seperti dada berbentuk tong (barrel chest) disertai
dengan terdengar murmur dan bunyi jantung tambahan menandakan kelainan jantung
akibat pintas kanan ke kiri. Pemeriksaan abdomen dapat ditemukan adanya splenomegali,
yang ditemukan pada lebih dari separuh kasus polisitemia vera. Pembesaran limpa terjadi
akibat peningkatan jumlah sel darah merah serta proses hematopoiesis ekstrameduler.
Pemeriksaan abdomen juga harus melihat adanya pembesaran massa atau tumor yang
dapat menjadi penyebab polisitemia sekunder akibat sindrom paraneoplastik.

Feritin dan saturasi transferin dilakukan untuk menilai status besi yang dapat
menyamarkan kejadian polisitemia, terutama bila gambaran darah tepi menunjukkan
mikrositik hipokrom. Pada polisitemia vera kadar feritin umumnya juga rendah.
Pemeriksaan fungsi ginjal dan hati juga dikerjakan untuk melihat penyakit penyerta ginjal
dan hati terkait dengan polisitemia sekunder. Urinalisis juga dikerjakan untuk mengetahui
adanya penyakit ginjal yang mendasari (Riswan et al., 2020).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa :

1. Sel darah merah atau eritrosit adalah merupakan bentuk cakram bikonkaf yang
tidak berinti, cekung pada kedua sisinya dan berdiameter kira- kira 7,8
mikrometer dan dengan ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5 mikrometer
dan pada bagian tengah 1 mikrometer atau kurang. Bentuk eritrosit dapat berubah
- ubah sel berjalan melewati kapiler. sel normal mempunyai membran yang sangat
kuat untuk menampung banyak bahan material didalamnya.
2. Anemia adalah menurunnya massa eritrosit yang menyebabkan
ketidakmampuannya untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke jaringanperifer.
Secara klinis, anemia dapat diukur dengan penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit, atau hitung eritrosit, namun yang paling sering digunakan adalah
pengujian kadar hemoglobin. Hemoglobin adalah suatu protein yang kompleks,
tersusun dari protein globin, protofirin dan besi.
3. Polisitemia adalah keadaan kadar hemoglobin lebih dari 16,5 g/dL atau
hematokrit lebih dari 49% pada lakilaki, sementara pada wanita yaitu kadar
hemogloblin lebih dari 16,0 g/dL atau hematorkrit lebih dari 48%.Pada kasus
angka hematokrit melebihi 60% pada laki-laki atau 56% pada wanita, maka dapat
diasumsikan mengalami polisitemia absolut.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyanur, R., & Rinaldi, I. (2019). Pendekatan Klinis Polisitemia. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia, 6(3), 156. https://doi.org/10.7454/jpdi.v6i3.349
Firdaus, M., & Wahid, I. (2020). Trombosis Berulang pada Pasien dengan Polisitemia
Vera dan Penyakit Ginjal Kronis. Jurnal Kesehatan Andalas, 9(1S), 204–209.
https://doi.org/10.25077/jka.v9i1s.1174
Fitriany, J., & Saputri, A. I. (2018). Anemia Defisiensi Besi. Jurnal. Kesehatan
Masyarakat, 4(1202005126), 1–30.
Jiwintarum, Y., Srigede, L., & Asyhaer, R. K. (2020). Hematocrite Values With High
Measurement Of Eritrosit After Centrifugation On Serum Making. Jurnal Analis
Medika Biosains (JAMBS), 7(2), 112. https://doi.org/10.32807/jambs.v7i2.193
Kadriyan, H., Sulaksana, M. A., Lestarini, I. A., Susilawati, N. K., Punagi, A. Q., Pieter,
N. A. L., & Gaffar, M. (2019). Incidence and characteristics of anemia among
patients with nasopharyngeal carcinoma in Lombok, Indonesia. AIP Conference
Proceedings, 2199(December). https://doi.org/10.1063/1.5141329
Leny. (2019). 1035325 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Pada
Ibu Hamil. Jurnal Kebidanan : Jurnal Medical Science Ilmu Kesehatan Akademi
Kebidanan Budi Mulia Palembang, 9(2), 161–167.
https://doi.org/10.35325/kebidanan.v9i2.195
Putra, K. P., Al Ardha, M. A., Kinasih, A., & Aji, R. S. (2017). Korelasi perubahan nilai
VO2max, eritrosit, hemoglobin dan hematokrit setelah latihan high intensity interval
training. Jurnal Keolahragaan, 5(2), 161. https://doi.org/10.21831/jk.v5i2.14875
Riswan, M., Oetama, R. A., & Muhsin, M. (2020). Polisitemia vera; aspek klinis dan
tatalaksana terbaru. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 20(2), 121–130.
https://doi.org/10.24815/jks.v20i2.18507
Wahyuni S. (2021). Pengaruh Suplementasi Fe dan Vitamin C terhadap Hemoglobin dan
Indeks Eritrosit Remaja Putri The Effect of Iron and Vitamin C Supplementation on
Hemoglobin and Erythrocyte Index in Teenager. Jurnal Kesehatan, 12(2), 162–172.
http://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JK
Widoyoko, A. P. H., & Septianto, R. (2020). Pengaruh Anemia terhadap Kematian
Maternal. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 2(1), 1–6.
https://doi.org/10.37287/jppp.v2i1.36

Anda mungkin juga menyukai