Anda di halaman 1dari 72

LAPORAN KASUS

“SEORANG WANITA 44 TAHUN DENGAN KELUHAN BATUK”

Diajukan untuk memenuhi laporan kasus untuk syarat dalam menempuh

Program Pendidikan Kepaniteraan Umum Ilmu Penyakit Dalam

di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo

Disusun oleh:

Fatima Khiarun Nisa

H3A021039

Pembimbing:

dr. Dedi Winarto, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT


DALAM RSUD TUGUREJO SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
SEMARANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Fatima Khiarun Nisa


NIM : H3A021053
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Stase : Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing : dr. Dedi Winarto, Sp.PD

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal ….. Juli 2022

Pembimbing,

dr. Dedi Winarto, Sp.PD


DAFTAR MASALAH

Tanggal Masalah Aktif Masalah Pasif

21 Juni 2022 Tuberculosis Paru

Atelektasis Paru

Diabetes Mellitus Tipe 2

Hipertensi Stage I

Hiponatremia Sedang
BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. M
Tanggal lahir : 16 Oktober 1977
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Randu Garut RT 2/II Tugu, Semarang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Bangsal : Dahlia 4
No. RM : 09-95-XX
Tanggal Masuk RS : Senin, 20 Juni 2022
Tanggal Dikasuskan : Selasa, 21 Juni 2022

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di bangsal Dahlia 4 RSUD Tugurejo Semarang
pada tanggal 21 Juni 2022 pukul 13.00 WIB secara autoanamnesis.
1. Keluhan Utama : Batuk
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD Tugurejo Semarang dengan keluhan batuk
sejak 2 bulan yang lalu (Mei 2022). Keluhan batuk muncul saat malam
hari disertai dengan dahak yang sulit keluar. Dahak pernah keluar 1x
berwarna kuning. Keluhan batuk sangat menganggu aktifitas dan
membuat pasien tidak bisa tidur. Batuk memberat saat posisi pasien
sedang berbaring, dan berkurang saat pasien duduk dan beraktivitas..
Pasien juga mengeluhkan sesak saat batuk terus menerus, lemas, sulit
tidur, berkeringat di malam hari, penurunan nafsu makan, penurunan
berat badan
yang awalnya 50 kg dalam waktu 2 bulan menjadi 42 kg. Pasien juga
terkadang merasakan kesemutan pada bagian jari tangan. Keluhan mual
dan muntah disangkal, BAB dan BAK dalam batas normal.
Sebelumnya, pasien telah memeriksakan diri ke puskesmas, namun
keluhan tidak berkurang. Kemudian, pasien melakukan pemeriksaan X-
Foto Thorax secara mandiri (08 Juni 2022) dan selanjutnya mendapat
rujukan dari puskesmas ke Poli Paru RSUD Tugurejo Semarang. Hasil
X- Foto Thorax didapatkan bahwa dicurgai adanya atelektasis dengan
nodul dan hasil pemeriksaan TCM didapatkan adanya MTB DETECTED
MEDIUM-TB SENSITIF.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa : Disangkal
b. Riwayat penyakit paru : Disangkal
c. Riwayat hipertensi : Disangkal
d. Riwayat DM : Disangkal
e. Riwayat sakit jantung : Disangkal
f. Riwayat sakit ginjal : Disangkal
g. Riwayat alergi obat : Disangkal
h. Riwayat maagh : Disangkal
i. Riwayat kolesterol : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat sakit serupa : Disangkal
b. Riwayat penyakit paru : Disangkal
c. Riwayat hipertensi : Disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
e. Riwayat DM : Disangkal
f.Riwayat alergi : Disangkal
5. Riwayat Pribadi
a. Riwayat merokok : Disangkal
b. Riwayat minum alkohol : Disangkal
c. Riwayat olahraga : Tidak rutin
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal di pemukiman padat penduduk dengan ventilasi rumah
yang kurang baik, cahaya yang masuk ke dalam rumah terbatas. Pasien
merupakan perokok pasif. Suami pasien seorang perokok. Biaya
pengobatan menggunakan BPJS.
C. ANAMNESIS SISTEMIK
Kepala Pusing (-), sakit kepala (-), kepala terasa berat (-)
Mata Penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-)
Hidung Pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
Pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar cairan (-), darah
Telinga
(-).
Sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir pecah-pecah (-), gusi
Mulut
berdarah (-), mulut kering (-).
Leher Pembesaran kelenjar limfe (-), leher terasa kaku (-).
Tenggorokan Sulit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).
Sistem respirasi Sesak nafas (+), batuk (+) berdahak kuning
Sistem Sesak nafas (-), nyeri dada (-), berdebar-debar (-).
kardiovaskuler
Sistem Mual (-), muntah (-), diare (-), nyeri perut (-), nafsu makan
gastrointestinal menurun (+), konstipasi (-), BB turun (+)
Sistem Nyeri sendi (-), kaku otot (-), badan lemas (+), gemetar (-),
muskuloskeletal terdapat
Sering kencing(-), nyeri saat kencing (-), keluar darah (-), berpasir
Sistem
(-), kencing nanah(-), sulit memulai kencing (-), anyang-anyangan
genitourinaria
(-), berwarna seperti teh (-),
Luka (-), kesemutan (-), kaku digerakan (-) bengkak (-), sakit sendi
Ekstremitas atas
(-) panas (-)
Ekstremitas Luka (-) , kesemutan (-), bengkak (-), sakit sendi (-), panas (-)
bawah
Sistem Kejang (-), gelisah (-), emosi tidak stabil (-)
neuropsikiatri
Sistem Kulit kuning (-), pucat (-), gatal (+), berkeringat di malam hari
Integumentum (+)

D. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 21 Juni 2022 pukul 13.00 WIB
di Dahlia 4 RSUD Tugurejo Semarang:
1. Keadaan Umum : tampak lemas
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : 15 (E4M6V5)
4. Vital sign
 Tekanan darah : 142/91 mmHg
 Nadi : 82x/menit, isi & tegangan cukup
 Respiratory rate : 22x/menit
 Suhu : 36,5C (axiler)
 SpO2 : 98% dengan nasal canul 3 lpm
5. Status Gizi
BB : 42 kg
TB : 155 cm
IMT : 17,5 (Underweight)
6. Risiko jatuh : 30 (MORSE: Resiko sedang)
Penilaian
Parameter Status/keadaan Skor pasien
Riwayat jatuh (baru-baru ini Tidak pernah 0
0
atau dalam 3 bulan terakhir) Pernah 25
Penyakit penyerta (Diagnosis Ada 0
0
Sekunder) Tidak ada 15
Tanpa alat bantu/bedrest 0
Alat bantu jalan Tongkat penyangga (crutch)/walker 15 0
furniture 30
Pemakaian infus intravena /
Ya 20
heparin 20
Tidak 0

Normal, tidak dapat berjalan 0


Cara berjalan Lemah 10 10
Terganggu 20
Menyadari kelemahannya 0
Status mental 0
Tidak menyadari kelemahannya 15
Total skore 30
Skor 0-24 : Risiko rendah
25-44 : Risiko sedang
>45 : Risiko tinggi
Status generalisata
a. Kepala : Mesosepal
b. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-), perdarahan
subkonjungtiva (-/-), pupil isokor (±3mm), reflek cahaya (+/+).
c. Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
d. Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
e. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-)
f. Leher
Simetris, trachea ditengah, KGB membesar (-), tiroid membesar (-), nyeri
tekan (-)
g. Thorax
a. Paru
Depan Dextra Sinistra
Inspeksi
Hemithoraks Asimetris, gerakan dada Asimetris
kanan tertinggal
Warna Sama dengan sekitar Sama dengan sekitar
Palpasi
Taktil fremitus Dextra (melemah) < sinistra Dextra (melemah) < sinistra
Nyeri tekan - -
Pelebaran ICS - -
Perkusi Sonor diseluruh lapang paru Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi
Suara dasar Suara dasar vesikuler Vesikuler
melemah
Suara tambahan Ronkhi basah halus pada -
basal paru
Belakang Dekstra Sinistra
1. Inspeksi
Hemithoraks Asimetris, gerakan dada Asimetris
kanan tertinggal
Warna Sama dengan sekitar Sama dengan sekitar
2. Palpasi
Stem fremitus Dextra (melemah) < sinistra Dextra (melemah) < sinistra
Nyeri tekan - -
Pelebaran ICS - -
3. Perkusi Sonor diseluruh lapang paru Sonor diseluruh lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar Suara dasar vesikuler Vesikuler
melemah
Suara tambahan Ronkhi basah halus pada -
basal paru

b. Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI linea midclavicula
sinistra. Pulsus Epigastrium (-). Pulsus Parasternal (-). Pulsus
Defisit (-). Sternal lift (-). Thrill (-).
3. Perkusi :
 Batas kanan bawah jantung : ICS V linea sternalis dextra
 Batas kiri bawah jantung : ICS V 1-2 cm linea midclav
Sinistra
 Batas pinggang jantung : ICS III linea parasternalis
sinistra
 Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis
sinistra
4. Auskultasi
 Suara jantung I dan II reguler
 Murmur (-) gallop (-)
h. Abdomen
a) Inspeksi : Perut datar, warna kulit sama dengan sekitar, massa di
epigastrium (-)
b) Auskultasi : Bising usus (+), 15x/menit
c) Perkusi : Timpani (+), liver span 12 cm
d) Palpasi : Terdapat massa di region epigastrium (-), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba
i. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
CRT <2 detik +/+ +/+

E. PEMERIKSAAN
PENUNJANG DATA DASAR

1. Darah Lengkap (20 Juni 2022)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit 7,49 10^3/ul 3.6 – 11
Eritrosit 4,20 10^6/ul 3.8 – 5,2
Hemoglobin 12,2 g/dL 11,7 – 15,5
Hematokrit 36,8 % 35 – 47
MCV 87,6 FL 80 – 100
MCH 29,0 Pg 26 – 34
MCHC 33,2 g/dl 32 – 36
Trombosit 359 10^3/ul 150 – 440
RDW 13,3 % 11.5 – 14.5
PLCR 20,9 %
Eosinofil absolute 0,07 10^3/ul 0.045 – 0.44
Basofil absolute 0,02 10^3/ul 0 – 0.2
Neutrofil absolute 5,57 10^3/ul 1.8 – 8
Limfosit absolute 1,16 10^3/ul 0.9 – 5.2
Monosit absolute 0,67 10^3/ul 0.16 – 1
Eosinofil L 0,9 % 2–4
Basofil 0,3 % 0–1
Neutrofil H 74,4 % 50 – 70
Limfosit H 8,9 % 25 – 40
Monosit H. 4,8 % 2– 8

2. Kimia klinik dan elektrolit (20 Juni 2022)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HbA1C H 14,1 % 4,8-5,9
Glukosa Sewaktu H 484 Mg/dL <200
SGOT 18 U/L 0 - 35
SGPT 30 U/L 0 – 35
Natrium L 127 Mmol/L 135-145
Kalium 4,6 Mmol/L 3,5-5,0
Chlorida 96 Mmol/l 95-105
Albumin 3.2 g/dL 3.2-5.2
Ureum 25 Mg/dl 10,0-50,0
Kreatinin 0.79 Mg/dl 0,70-1,10
3. Imunologi (20 Juni 2022)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HIV Umum Negatif - Negatif
4. Serologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HBsAg Non Reaktif - Non Reaktif
5. X foto thorax (8 Juni 2022)

Cor : CRT <50%, tidak membesar


Pulmo : Tampak kesuraman di apex paru kanan
Tampak nodul dengan udara di
tengahnya
Diafragma dan sinus costophrenicus Normal
Kesan : Cor dalam batas normal
Pulmo : Curiga atelektasis dengan nodul
6. Pemeriksaan TB
a. TCM (11 Juni 2022)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Mikrobiologi Non Reaktif - Non Reaktif
TCM MTB DETECTED - Negatif
MEDIUM -TB
SENSITIF
b. Hasil BTA (+)

DATA TAMBAHAN

1. Hasil Pemeriksaan Bronchoscopy (23 Juni 2022)

Plica Vocalis Normal

Trakea Normal

Carina Norma

B.Utama Kanan Mukosa Edem


mudah berdarah

L. Utama Kanan Normal

L. Medium Kanan Normal

L. Bawah Kanan Normal

B.Utama Kiri Normal

Lingula Normal

L.Atas Kiri Normal


L. Bawah Kiri Normal

Kesimpulan Atelektasis paru


kanan dengan
penyempitan
orifisium LAKa
disertai edema
mukosa

Saran Pemeriksaan
Sitologi Bilasan
Bronkus

2. Hasil Pemeriksaan Histopatologi (29 Juni 2022)


Makroskopis : 1 botol berisi cairan dengan volume +- 60 cc, waran putih, keruh,
berlendir
Mikroskopis :
Sediaan sitologi bilasan bronkhus mengandung sel sel epitel skuamosa, epitel
torak respiratorius tersebar, inti dalam batas normal, disekitarnya tersebar
banyak sel-sel limfosit, leukosit PMN
Tidak ditemukan sel atipik pada sediaan
ini. Kesimpulan : Proses inflamasi non
spesifik
F. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang
1. Batuk sejak 2 12. TD : 142/91 17. Eosinofil L 0,9
bulan mmHg 18. Neutrofil H 74,4
2. Batuk berdahak 13. IMT : 17,5 19. Limfosit H 8,9
kuning (Underweight) 20. Monosit H 4,8
kehijauan 14. Inspeksi paru : 21. HbA1C H 14,1
3. Batuk malam hemithorax 22. Glukosa sewaktu H
hari asimetris, 484
4. Mengganggu gerakan dada 23. Natrium L 127
aktivitas kanan tertinggal 24. X-Foto Thorax
5. Tidak bisa tidur 15. Palpasi paru : Curiga atelektasis
6. Sesak nafas Taktil dengan nodul
saat batuk fremitus 25. TCM MTB
7. Badan lemas melemah pada DETECTED
8. Keringat malam paru kanan MEDIUM-TB
hari 16. Auskultasi : SENSITIF
9. Penurunan nafsu Suara dasar 26. TB BTA (+)
makan vesikuler
10. Penurunan BB melemah,
50kg ke 42kg Ronkhi basah
11. Kesemutan pada halus pada
ujung jari basal paru pada
30. Pasien perokok paru kanan
pasif

G. ANALISIS MASALAH
1. Tuberculosis Paru : 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,13,16,17,18,19,20,25,26,30
2. Atelektasis Paru : 14,15,16,24
3. Diabetes Mellitus Tipe 2 : 11, 21,22
4. Hipertensi Stage I : 12
5. Hiponatremia Sedang : 23
H. RENCANA PEMECAHAN MASALAH
1. Tuberculosis Paru
Asessment
Komplikasi :
- Efusi Pleura
- ARDS (Acute Resipratory Distress Syndrome)
Initial plan
a. Diagnosis
- Tes fungsi paru (Spirometri)
- USG Thorax
- Analisa Gas Darah
b. Terapi
2HRZE/4H3R3 :
a) Rifampisin 1x600 mg
b) Isoniazid 1x300 mg
c) Pirazinamid 1x500mg
d) Etambutol 1x500mg
e) Vitamin B6 1x10 mg
c. Monitoring
a) Efek samping obat
b) Keadaan umum
c) Tanda-tanda vital
d. Edukasi
a) TB merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui udara,
sehingga penggunaan masker sangat disarankan
b) Patuh dalam pengobatan TB selama jangka waktu yang ditetapkan
c) Perbaikan ventilasi dan penerangan rumah
d) Makan makanan yang bergizi dan olahraga
2. Atelektasis Paru
Assesment
Atelektasis Obstruktif (Mucus plug), Atelektasis Sikatrik (Infeksi TB)
Initial plan
Diagnosis
- Bronchoalveolar Lavage
- Transbronchial Needle Aspiration
Terapi
- Terapi oksigenasi 3 lpm
Monitoring
- Evaluasi sitologi sputum berkala setiap 4 bulan
- Evaluasi Foto Thorax berkala setiap 4 bulan
- Keadaan umum dan tanda-tanda vital, dan SpO2
a. Edukasi
- Meminimalisir paparan asap rokok
- Menjalani pengobatan yang patuh apabila memiliki penyakit yang
meningkatkan risiko atelektasis
3. Diabetes Mellitus Tipe 2
Assesment
Status Glikemik
Komplikasi :
- Akut : Hiperglikemia (HHS, KAD) & Hipoglikemia
- Kronik : Mikrovaskuler (Nefropati Diabetik, Neuropati Diabetik,
Retinopati Diabetik) & Makrovaskuler (Penyakit jantung koroner, gagal
jantung, stroke, ulkus DM)
Initial plan
a. Diagnosis
GDP, GD2PP, EKG, Funduskopi
b. Terapi
Ryzodeg 12-0-12
c. Monitoring
KU, TTV,
GDS
d. Edukasi
- Makan 3-5 sendok nasi dengan lauk dan sayur sehari 3x
- Olahraga 3-5x dalam 1 minggu dengan durasi 10-15 menit
- Menghindari makan buah yang manis seperti durian, nangka,
rambutan, kelengkeng
- Memperbanyak konsumsi sayuran
- Mengganti gula biasa dengan gula jagung
4. Hipertensi Stage I
Assesment
Komplikasi
- Penyakit jantung (LVH, Sindrom Koroner Akut, Gagal Jantung)
Initial plan
a. Diagnosis
EKG
b. Terapi
Amlodipin 1x10mg
c. Monitoring
- Keadaan Umum
- Tanda-tanda vital
- EKG
d. Edukasi
- Modifikasi gaya hidup dengan membatasi konsumsi garam (6mg/hari)
- Olahraga (bersepeda, jalan kaki) 3 kali seminggu selama 15-30 menit
- Minum obat rutin, istirahat yang cukup, dan pengendalian stres
5. Hiponatremia Sedang
Assesment
Sindrom of Inappropriate Antidiuretic Hormone
a. Diagnosis
Osmolalitas urin
b. Terapi
Infus NaCl 3% 20 tpm
c. Monitoring
a) Kadar Natrium
b) TTV dan KU
d. Edukasi
a) Tingkatkan makanan tinggi natrium (susu dan sosis)
b) Minum air sebanyak cairan yang keluar
I. PROGRESS NOTE
Tanggal Follow Up
Selasa, 21 Juni 2022 S Batuk (+) dahak tidak bisa keluar, Sesak kadang-kadang
(+)
O KU : tampak lemas
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 139
TTV
TD : 142/91 mmHg
Nadi : 82x/ menit, regular, kuat angkat
RR : 20x/ menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 98% dengan nasal canul 3 lpm
GDS : 484 mg/dL
Natrium : 127mmol/L
Pemeriksaan fisik :
- Inspeksi paru : Hemithorax asimetris, gerakan dada
kanan tertinggal
- Palpasi paru : Taktil fremitus melemah pada paru
kanan
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler melemah,
Ronkhi basah halus pada basal paru pada paru
kanan
A Dx klinis : TB Paru, Atelektasis paru kanan atas, Diabetes
Mellitus Tipe 2, Hipertensi stage 1, Hiponatremia
P - Monitoring KU dan TTV, SpO2, GDS pagi dan sore
- Tatalaksana
 OAT FDC 1x3 tab jam 20.00
a) Rifampisin 1x600 mg
b) Isoniazid 1x300 mg
c) Pirazinamid 1x500mg
d) Etambutol 1x500mg
e) Vitamin B6 1x10 mg
 Ryzodeg 12-0-12
 Amlodipin 1x10mg
 Koreksi Hiponatremi Hari ke 2 : Infus NaCl 3%
10 tpm
Rabu, 22 Juni 2022 S Batuk (+) dahak (+), Sesak berkurang, Pusing sedikit
O KU : baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
TTV
TD : 183/100 mmHg
Nadi : 118 x/ menit, regular, kuat angkat
RR : 20x/ menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 98% tanpa oksigenasi
GDS Pagi : 230 mg/dL
GDS Sore : 361 mg/dL
Natrium : 133mmol/L
Pemeriksaan fisik
- Inspeksi paru : Hemithorax asimetris, gerakan dada
kanan tertinggal
- Palpasi paru : Taktil fremitus melemah pada paru
kanan
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler melemah,
Ronkhi basah halus pada basal paru pada paru
kanan
A Dx klinis : TB Paru, Atelektasis paru kanan atas, Diabetes
Mellitus Tipe 2, Hipertensi stage 1, Hiponatremia
P - Monitoring KU dan TTV, SpO2, GDS pagi dan sore
- Tatalaksana :
 OAT FDC 1x3 tab jam 20.00
a) Rifampisin 1x600 mg
b) Isoniazid 1x300 mg
c) Pirazinamid 1x500mg
d) Etambutol 1x500mg
e) Vitamin B6 1x10 mg
 Ryzodeg 14-0-14
 Amlodipin 1x10mg
 Infus RL 15 tpm
 Infus Tutosol 15 tpm
- Persiapan Bronchoscopy :
1. Puasa mulai Rabu jam 03.00
2. Codein 20mg (Selasa 22.00 dan Rabu 06.00)
3. Injeksi Sulfas Atropin dan Ondancentron 1 jam
sebelum tindakan
4. Nebulisasi Pulmicort+Combivent 30 menit
sebelum tindakan
Kamis, 23 Juni 2022 S Batuk (+) berkurang hanya terkadang, tanpa dahak
O KU : Baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
TTV (06.00)
TD : 139/86 mmHg
Nadi : 125 x/ menit, regular, kuat angkat
RR : 20x/ menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 99% tanpa terapi oksigenasi
GDS Pagi : 176mg/dL
TTV (12.00) – Post Bronchoscopy
TD : 121/73 mmHg
Nadi : 100x/ menit, regular, kuat angkat
RR : 20x/ menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 99% tanpa terapi oksigenasi
Pemeriksaan fisik
- Inspeksi paru : Hemithorax asimetris, gerakan dada
kanan tertinggal
- Palpasi paru : Taktil fremitus melemah pada paru
kanan
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler melemah, Ronkhi
basah halus pada basal paru pada paru kanan
A Dx klinis : TB Paru, Atelektasis paru kanan atas, Diabetes
Mellitus Tipe 2, Hipertensi stage 1, Hiponatremia
P Post Bronchoscopy :
 Cek PA bilasan Bronchus hasil tanggal 30 Juni 2022
 ACC BLPL bila KU dan TTV stabil 6 jam setelah
bronchoscopy
Hasil Bronchoscopy :
Atelektasis paru kanan dengan penyempitan orifisium
LAKa disertai edema mukosa
Obat pulang :
 Ryzodeg Inj 14-0-14
 Vit B6 (Pyridoxine) 1x20 mg Tab
 Omeprazole Caps 2x20 mg
 Amlodipin 1x10mg
 FDC TAB INTENSIF :
a) Rifampisin 1x600 mg
b) Isoniazid 1x300 mg
c) Pirazinamid 1x500mg
d) Etambutol 1x500mg
30 Juni 2022 Hasil Sitologi Bilasan Bronchus
Makroskopis : 1 botol berisi cairan dengan volume +- 60 cc, waran
putih, keruh, berlendir
Mikroskopis :
Sediaan sitologi bilasan bronkhus mengandung sel sel epitel
skuamosa, epitel torak respiratorius tersebar, inti dalam batas
normal, disekitarnya tersebar banyak sel-sel limfosit, leukosit PMN
Tidak ditemukan sel atipik pada sediaan ini.
Kesimpulan : Proses inflamasi non spesifik

J. ANALISIS MASALAH
Pasien dirawat di RS Tugurejo semarang pada tanggal 20 Juni 2022.
Pada dengan keluhan batuk sejak 2 bulan yang lalu (Mei 2022). Keluhan batuk
muncul saat malam hari disertai dengan dahak yang sulit keluar. Dahak pernah
keluar 1x berwarna kuning. Keluhan batuk sangat menganggu aktifitas dan
membuat pasien tidak bisa tidur. Batuk dirasakan saat posisi pasien sedang
berbaring, dan berkurang saat pasien duduk dan beraktivitas. Pasien juga
mengeluhkan sesak saat batuk terus menerus, lemas, sulit tidur, berkeringat di
malam hari, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan yang awalnya 50 kg
dalam waktu 2 bulan menjadi 42 kg. Pasien juga terkadang merasakan kesemutan
pada bagian jari tangan. Keluhan mual dan muntah disangkal, BAB dan BAK
dalam batas normal.
Sebelumnya, pasien telah memeriksakan diri ke puskesmas, namun
keluhan tidak berkurang. Kemudian, pasien melakukan pemeriksaan X-Foto
Thorax (08 Juni 2022) dan selanjutnya memeriksakan diri ke Poli Paru RSUD
Tugurejo Semarang. Hasil X-Foto Thorax didapatkan bahwa dicurgai adanya
atelektasis dengan nodul dan hasil pemeriksaan TCM didapatkan adanya MTB
DETECTED MEDIUM-TB SENSITIF. Pasien dirawatinapkan untuk melakukan
tindakan bronchoscopy.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemas, kesadaran
compos mentis dengan TD 142/91 mmHg, N : 82X/menit, RR : 22x/menit, suhu :
36,5 C, BB 42 kg, TB ; 155 cm dengan IMT 17,5 dan resiko jatuh sedang.
Pemeriksaan status generalisata didapatkan Inspeksi paru : hemithorax asimetris,
gerakan dada kanan tertinggal, Palpasi paru : Taktil fremitus melemah pada paru
kanan, Auskultasi : Suara dasar vesikuler melemah, Ronkhi basah halus pada
basal paru pada paru kanan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Eosinofil
rendah, Neutrofil tinggi, Limfosit tinggi, Monosit tinggi, HbA1C tinggi, Glukosa
sewaktu tinggi, Natrium rendah. Pada pemeriksaan X-foto Thorax didapatkan
curiga atelektasis dengan nodul. Pada pemeriksaan diagnostik TB paru didapatkan
hasil TCM (+) dan BTA (+). Hasil pemeriksaan Bronchoscopy didapatkan
Atelektasis paru kanan dengan penyempitan orifisium LAKa disertai edema
mukosa. Pemeriksaan Sitologi Bilasan Bronkus didapatkan hasil Makroskopis : 1
botol berisi cairan dengan volume +- 60 cc, waran putih, keruh, berlendir.
Mikroskopis : Sediaan sitologi bilasan bronkhus mengandung sel sel epitel
skuamosa, epitel torak respiratorius tersebar, inti dalam batas normal, disekitarnya
tersebar banyak sel-sel limfosit, leukosit PMN Tidak ditemukan sel atipik pada
sediaan ini. Kesimpulan : Proses inflamasi non spesifik.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan hasil yang didapatkan pada pasien ini mengarah pada Tuberkulosis Paru
dengan Atelektasis Paru, DM Tipe II, Hipertensi Stage I dan Hiponatremia.
K. ALUR PIKIR

ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK


Batuk sejak 2 bulan 1.TD: 142/91 mmHg
Batuk berdahak kuning 2.IMT : 17,5
kehijauan (Underweight)
Batuk malam hari Inspeksi paru : hemithorax
Mengganggu aktivitas asimetris, gerakan dada kanan
Tidak bisa tidur tertinggal
Sesak nafas saat batuk Palpasi paru : Taktil fremitus
Badan lemas melemah pada paru kanan
Keringat malam hari Auskultasi : Suara dasar
Penurunan nafsu makan vesikuler melemah, Ronkhi
Penurunan BB 50kg ke 42kg basah halus pada basal paru pada
Kesemutan pada ujung jari paru kanan
Pasien perokok pasif

Hipertensi Stage I Atelektasis Paru

Diabetes Mellitus Tipe 2 Tuberkulosis Paru

Hiponatremia

DARAH RUTIN KIMIA KLINIK DIAGNOSTIK TB


DIAGNOSTIK TB Bronchoscopy didapatkan
Eosinofil L 0,9 HbA1C H 14,1 X-Foto Thorax Curiga atelektasis Atelektasis paru kanan dengan
Neutrofil H 74,4 Glukosa sewaktu H 484 dengan nodul penyempitan orifisium LAKa
Limfosit H 8,9 Natrium L 127 TCM MTB disertai edema mukosa.
Monosit H 4,8 DETECTED MEDIUM-TB Sitologi bilasan bronkus
SENSITIF didapatkan hasil Proses inflamasi
TB BTA (+) non spesifik
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. Tuberkulosis
A. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam
(BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim
paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki
kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti
pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya.1
B. Etiologi dan transmisi
Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB: Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum,
Mycobacterium microti and Mycobacterium cannettii. M.tuberculosis
(M.TB), hingga saat ini merupakan bakteri yang paling sering ditemukan,
dan menular antar manusia melalui rute udara. Tuberkulosis biasanya
menular dari manusia ke manusia lain lewat udara melalui percik renik atau
droplet nucleus (<5 mikrons) yang keluar ketika seorang yang terinfeksi TB
paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik renik, yang merupakan
partikel berdiameter 1-5 mikrons, bersifat sangat infeksius, dan dapat
bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil,
percik renik ini memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru,
dimana bakteri kemudian melakukan replikasi.
Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB :
a. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
b. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang dan
ventilasi.
c. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan minim
ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu yang
lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili
dengan cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan
yang gelap. Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi
meningkatkan risiko penularan.1
C. Faktor resiko
Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah :
a. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
b. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu
panjang.
c. Perokok
d. Konsumsi alkohol tinggi
e. Anak usia <5 tahun dan lansia
f. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang
infeksius.
g. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis
(contoh: lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka
panjang)
h. Petugas kesehatan.1
D. Klasifikasi
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis :
a) TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena
terdapat lesi di paru.
b) TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen,
saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus
TB ekstra paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah
diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.1
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :
a) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT
sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (<
dari 28 dosis bila memakai obat program)
b) Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat
program).
c) Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir
pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali
(karena reaktivasi atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
d) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
e) Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan
OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari
2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil
pengobatan.
f) Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
g) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien
yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak
dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.1
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
a) Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
b) Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan
c) Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid
(H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
d) Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan
amikasin).
e) Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin
baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk
TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan
terhadap rifampisin.1
E. Patofisiologi
a. TB primer
Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan menempati
alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian bawah lobus
superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian
mengalami terfagosistosis oleh makrofag; produk mikobakterial mampu
menghambat kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus,
sehingga bakteri dapat melakukan replikasi di dalam makrofag.
Makrofag dan monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan
dan bermigrasi menuju fokus infeksi dan memproduksi respon imun.
Area inflamasi ini kemudian disebut sebagai Ghon focus. Basili dan
antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui jalur
limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks (Ghon)
primer. Respon inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal nekrosis
kaseosa. Di dalam nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu respon
imun spesifik dan mengaktivasi makrofag untuk menghambat
pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus primer ini mengandung
1,000–10,000 basili yang kemudian terus melakukan replikasi. Area
inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan dengan jaringan
fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya terdapat makrofag yang
mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem imun host
adekuat. Beberapa basili tetap
dorman di dalam fokus primer untuk beberapa bulan atau tahun, hal ini
dikenal dengan “kuman laten”. Infeksi primer biasanya bersifat
asimtomatik dan akan menunjukkan hasil tuberkulin positif dalam 4-6
minggu setelah infeksi. Dalam beberapa kasus, respon imun tidak cukup
kuat untuk menghambat perkembangbiakan bakteri dan basili akan
menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh
tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB
primer progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus
primer, sehingga dapat ditemukan banyak area menunjukkan gambaran
nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran
klinis yang serupa dengan TB post primer.1
b. TB pasca primer
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai
kembali bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari
melemahnya sistem imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi
ketika seorang yang pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali
oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam
sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi
primer. Setelah terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi
penyakit intra- torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding pada
orang dewasa. Foto toraks.1
F. Manifestasi klinis
Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat
menunjukkan manifestasi klinis sebagai berikut:
a. Batuk >2 minggu
b. Batuk berdahak
c. Batuk berdahak dapat bercampur darah
d. Dapat disertai nyeri dada
e. Sesak napas
Dengan gejala lain meliputi :
a. Malaise
b. Penurunan berat badan
c. Menurunnya nafsu makan
d. Menggigil
e. Demam
f. Berkeringat di malam hari.1
G. Penegakan Diagnosis

Gambar 1 Alur diagnosis TB1


H. Penatalaksanaan
a. Rekomendasi OAT
Berdasarkan hasil penelitian meta analisis WHO merekomendasikan
paduan standar untuk TB paru kasus baru adalah 2RHZE/4RH
Tabel 1 Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa

b. Pemantauan hasil pengobatan


Tabel 2 Hasil pengobatan
c. Efek samping OAT
Tabel 3 Efek samping OAT
Efek samping Kemungkinan obat Pengobatan
penyebab
Berat
Ruam kulit dengan streptomisin isoniazid Hentikan OAT
atau tanpa gatal rifampisin pirazinamid
Tuli Streptomisin Hentikan streptomisin
Pusing vertigo dan Streptomisin Hentikan streptomisin
nistagmus
Ikterik tanpa penyakit Streptomisin, isoniazid, Hentikan OAT
hepar (hepatitis) rifampisin, pirazinamid
Bingung (curigai gagal Isoniazid, pirazinamid, Hentikan OAT
hati imbas obat bila rifampisin Sebagian
terdapat ikterik) besar OAT
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
(singkirkan penyebab
lainnya)
Syok, purpura, gagal Rifampisin Hentikan rifampisin
ginjal akut (sangat
jarang terjadi, akibat
gangguan imunologi)
Oligouria Streptomisin Hentikan streptomisin
Ringan Lanjutkan OAT dan
cek dosis OAT
Anoreksia, mual, nyeri Pirazinamid, Berikan obat dengan
perut rifampisin, isoniazid bantuan sedikit
makanan atau menelan
OAT sebelum tidur,
dan sarankan untuk
menelan pil secara
lambat dengan sedikit
air. Bila gejala
menetap atau
memburuk, atau
muntah
berkepanjangan atau
terdapat tanda tanda
perdarahan,
pertimbangkan
kemungkinan ETD
mayor dan rujuk ke
dokter ahli segera
Nyeri sendi Isoniazid Aspirin atau obat anti
inflamasi non-steroid,
atau parasetamol
Rasa terbakar, kebas Isoniazid Piridoksin 50-75 mg/
atau kesemutan di hari(13)
tangan dan kaki
Rasa mengantuk Isoniazid Obat dapat diberikan
sebelum tidur
Air kemih berwarna Rifampisin Pastikan pasien
kemerahan diberitahukan sebelum
mulai minum obat dan
bila hal ini terjadi
adalah normal
Sindrom flu (demam, Pemberian rifampisin Ubah pemberian
menggigil, malaise, intermiten rifampisin intermiten
sakit kepala, nyeri menjadi setiap hari
tulang)
I. Tuberculosis dengan Diabetes Mellitus
Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang berkaitan
dengan gangguan fungsi imunitas tubuh, sehingga penderita lebih
rentan terserang infeksi, termasuk TB paru. Penyebab infeksi TB paru
pada penderita DM adalah karena defek fungsi sel-sel imun dan
mekanisme pertahanan tubuh, termasuk gangguan fungsi dari epitel
pernapasan serta motilitas silia. Paru pada penderita DM akan
mengalami perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan
lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari
komplikasi mikroangiopati sama seperti yang terjadi pada retinopati
dan nefropati. Gangguan neuropati saraf autonom berupa hipoventilasi
sentral dan sleep apneu. Perubahan lain yang juga terjadi yaitu
penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi
karbonmonoksida, dan peningkatan endogen produksi karbondioksida.
Sel-sel efektor yang sering berkontribusi terhadap infeksi M.
tuberculosis adalah fagosit, yaitu makrofag alveolar, perkursor monosit,
dan limfosit sel-T. Makrofag alveolar, berkolaborasi dengan limfosit
sel-T, berperan penting dalam mengeliminasi infeksi tuberkulosis. Pada
penderita diabetes melitus, diketahui terjadi gangguan kemotaksis,
fagositosis, dan antigen presenting oleh fagosit terhadap bakteri M.
tuberculosis; kemotaksis monosit tidak terjadi pada penderita DM.
Defek ini tidak dapat diatasi dengan terapi insulin.19 Beberapa
penelitian menunjukkan makrofag alveolar pada penderita TB paru
dengan komplikasi DM menjadi kurang teraktivasi. Penurunan kadar
respons Th-1, produksi TNF-α, IFN-γ, serta produksi IL-1 β dan IL-6
juga ditemukan pada penderita TB paru disertai DM dibandingkan pada
penderita TB tanpa DM. Penurunan produksi IFN-γ lebih signifi kan
pada pasien TB paru dengan DM tidak terkontrol dibandingkan pada
pasien TB paru dengan DM terkontrol. Produksi IFN-γ ini akan kembali
normal dalam 6 bulan, baik pada pasien TB paru saja maupun pasien
TB paru dengan DM terkontrol, tetapi akan terus menurun pada pasien
TB paru dengan DM tidak terkontrol. Selain itu, terjadi perubahan
vaskuler
pulmonal dan tekanan oksigen alveolar yang memperberat kondisi
pasien.
Prinsip pengobatan obat anti-tuberkulosis (OAT) terdiri dari dua
fase, yaitu fase intensif selama 2 sampai 3 bulan dan fase lanjutan
selama 4 sampai 6 bulan, terkadang sampai 12 bulan karena jumlah
M.Tb yang harus dieradikasi.25 Lini pertama pengobatan TB paru
menggunakan rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol, dan
streptomisin.15 Tatalaksana pengobatan pada penderita TB paru yang
memiliki DM sama dengan penderita TB paru saja, akan tetapi lebih
sulit, terutama karena ada beberapa hal penting yang harus
diperhatikan, yaitu interaksi antar obat TB paru dengan obat DM dan
efek samping obat. Hingga saat ini, belum ada rekomendasi kuat
berdasarkan evidence mengenai tatalaksana pengobatan TB paru pada
penderita DM maupun sebaliknya. International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) dan WHO memberikan
rekomendasi terapi TB paru pada penderita DM menggunakan regimen
yang sama sesuai standar.17 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI) menyarankan pemberian OAT dan lama pengobatan pada
prinsipnya sama dengan TB paru tanpa DM, dengan syarat gula darah
harus terkontrol. Apabila gula darah tidak terkontrol, pengobatan perlu
dilanjutkan hingga 9 bulan. Tahun 2011, American Diabetes
Association (ADA) merekomendasikan target HbA1c kurang dari 7%
atau setara dengan gula darah sewaktu sebesar 130 mg/dL.
J. Tuberculosis dengan Atelektasis
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang
di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin
timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional).
Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer.
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara perkontinuitatum menyebar kesekitarnya.
- Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar
hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran
napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis
akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
- Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun
ke paru sebelahnya atau tertelan.
- Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara 20 spontan, akan
tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti itu berkulosismilier,
meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy.
- Limfadenopati merupakan manifestasi paling umum dari TB paru
primer. Adanya limfadenopati hilar dan mediastinal dapat
membedakan TB paru primer dengan TB paru sekunder, karena
limfadenopati hanya terjadi pada 5% pasien TB sekunder.
Limfadenopati tanpa lesi parenkim dapat terjadi sebagai satu-satunya
pertanda TB paru primer pada foto toraks. Limfadenopati perihiler
terjadi pada sekitar 60% pasien dengan TB paru primer.
Limfadenopati paratrakea terjadi pada 40% pasien dan limfadenopati
subkarina terjadi pada 80% pasien TB paru primer. Limfadenopati
biasanya bersifat unilateral dan terdapat di sebelah kanan. Gambaran
limfadenopati TB tidak dapat dibedakan dengan sarkoidosis maupun
limfoma. Penyembuhan akan membuat limfadenopati mengecil dan
mengalami kalsifikasi. Kombinasi kalsifikasi KGB perihiler dengan
fokus Ghon disebut sebagai kompleks Ranke.
Lesi TB primer juga dapat melibatkan saluran pernafasan.
Limfadenopati dapat menekan saluran pernafasan yang
mengakibatkan terjadinya atelektasis. Atelektasis yang diakibatkan
oleh limfadenopati disebut juga sebagai epituberkulosis. Atelektasis
biasanya terjadi pada segmen anterior dari lobus superior dan
segmen medial dari lobus media. Atelektasis akan menghilang
seiring dengan regresi dari limfadenopati. Resolusi yang mendadak
dari atelektasis menandakan perforasi KGB yang terinfeksi ke
saluran pernafasan sehingga terbebas dari obstruksi.
K. Tuberculosis dengan Hiponatremia

Tuberkulosis dapat menginduksi hiponatremia melalui berbagai


mekanisme seperti invasi lokal dari kuman M. tuberculosis ke
kelenjar adrenal Kondisi ini menyebabkan insufisiensi adrenal,
tuberkulosis meningitis, penurunan volume cairan dalam tubuh
akibat asupan cairan berkurang, serta terjadinya SIADH.
Penurunan kadar Natrium juga dapet terjadi karena asupan yang
berkurang (low intake) akibat anoreksia dan kehilangan nafsu
makan karena inflamasi kronis pada tuberkulosis. Tuberkulosis
dapat memengaruhi nafsu makan dengan memodulasi berbagai
sitokin yang dapat memengaruhi susunan saraf pusat.
SIADH disebabkan oleh tiga (3) penyebab utama, yaitu hasilan ADH
ektopik oleh sel kanker, SIADH terimbas obat (drug-induced
SIADH), dan jejas di jaras baroreseptor, terutama di sistem saraf
pusat (SSP) dan paru. Jejas di jaras baroreseptor juga dapat
menimbulkan
SIADH, karena baroreseptor arkus aorta terletak di daerah dada.
Perubahan tekanan yang ditemukan akan diteruskan melalui saraf
sensorik (nervus IX dan X) dan berakhir di otak. Persarafan tersebut
juga menyampaikan isyarat yang bersifat hambatan. Apabila terdapat
jejas di jaras tersebut, maka akan terjadi gangguan aliran isyarat
hambatan, dan dapat mengimbas sekresi ADH yang berlebihan.
Keadaan ini dapat terjadi di kelainan paru seperti radang parenkim
paru (pneumonia) terutama yang disebabkan oleh Legionella dan
Mycoplasma, tuberkulosis, atau abses. SIADH dapat pula terjadi di
gangguan SSP seperti tumor, trauma, infeksi, serta perdarahan.
L. Gambaran Bronchoscopy pada TB Paru
Gambaran lumen bronkus pada penderita TB paru bisa berupa
kelainan pada bronkus akibat proses inflamasi endobronkial.
Inflamasi yang tampak saat dilakukan bronkoskopi bisa berupa
pembengkakkan (edema) mukosa, mukosa hiperemis, sekresi sekret
yang purulen, sekret atau perdarahan, gambaran granuloma, ulserasi
pada percabangan bronkus atau segmen. Gambaran yang sering
didapati pada infeksi TB adalah gambaran mukosa yang tampak
hiperemis yaitu gambaran suatu peradangan, sama dengan gambaran
suatu infeksi.
3. Atelektasis Paru
A. Definisi
Atelektasis didefinisikan sebagai kolaps alveolus reversibel, dengan atau
tanpa pergeseran mediastinum. Secara fisiologis, atelektasis dibagi
menjadi obstruktif dan nonobstruktif. Atelektasis obstruktif adalah
penyebab tersering kolaps paru, baik pada anak-anak maupun orang
dewasa. Atelektasis obstruktif dapat terjadi karena adanya benda asing
atau mukus yang menyumbat saluran napas. Sementara itu, atelektasis
nonobstruktif dapat terjadi karena necrotizing pneumonia atau karsinoma
sel bronkoalveolar.
Patofisiologi atelektasis berkaitan dengan penurunan compliance paru,
terganggunya oksigenasi, dan peningkatan resistensi vaskular paru.
Penyebab atelektasis antara lain adanya kompresi jaringan paru, absorpsi
udara alveolar, atau gangguan produksi maupun fungsi surfaktan.
Pasien atelektasis dapat asimptomatik, tetapi dapat juga menunjukkan
manifestasi klinis seperti batuk nonproduktif, hipoksia, hingga gagal
napas. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan dullness pada perkusi di
area lobus yang terkena.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis
atelektasis adalah rontgen thorax, CT scan thorax, bronkoskopi fiber optic,
dan pemeriksaan histologi. Penatalaksanaan atelektasis ditentukan oleh
etiologinya, dan dapat meliputi pembedahan.
B. Etiologi
Secara fisiologis, etiologi atelektasis dibedakan menjadi etiologi obstruktif
dan nonobstruktif. Atelektasis obstruktif lebih sering terjadi, misalnya
karena benda asing saluran napas. Sementara itu, salah satu etiologi
atelektasis nonobstruktif adalah anastesi saat tindakan bedah.

- Atelektasis Obstruktif
Atelektasis obstruktif merupakan jenis atelektasis yang paling sering ditemukan.
Atelektasis obstruktif diakibatkan oleh reabsorpsi gas dalam alveolus ketika
terjadi obstruksi antara alveoli dan trakea, sehingga segmen paru yang berada
lebih distal dari obstruksi akan kolaps. Hal-hal yang bisa menyebabkan atelektasis
obstruktif antara lain : Tumor: bronkus, metastasis, Inflamasi: tuberkulosis,
sarkoidosis, Lainnya: mucus plug, bronkopneumonia, bronkitis, bronkiektasis,
benda asing saluran napas[1,2,4]

- Atelektasis Nonobstruktif
Atelektasis nonobstruktif dapat dibagi lagi menjadi atelektasis kompresi, adhesi,
sikatrik, relaksasi, dan replacement.
1. Atelektasis Kompresi
Atelektasis kompresi terjadi akibat adanya space-occupying lesion yang
menekan jaringan paru dan mendorong udara keluar dari paru-paru. Space-
occupying lesion dapat berupa tumor perifer, penyakit interstitial, atau
kondisi air trapping di jaringan paru pada emfisema. Pada pembedahan,
posisi supinasi dan penggunaan agen paralitik selama anestesi umum juga
dapat meningkatkan tekanan pleura dan mengurangi volume paru-paru,
mengakibatkan atelektasis kompresi.[4]
2. Atelektasis Adhesif
Pada keadaan normal, surfaktan mengurangi tegangan permukaan alveolus,
sehingga mencegah terjadinya kolaps. Penurunan produksi atau inaktivasi
surfaktan menyebabkan defisiensi surfaktan, sehingga terjadi instabilitas dan
kolaps alveolus, misalnya acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada
neonatus prematur.[6]
3. Atelektasis Sikatrik
Proses scarring dapat menyebabkan penurunan volume paru, menimbulkan
atelektasis sikatriks, misalnya pada penyakit granulomatosa, tuberkulosis
paru, atau pneumonia necrotizing.
4. Atelektasis Relaksasi
Hilangnya kontak antara pleura parietal dan visceral, misalnya
pada pneumothorax atau efusi pleura, menimbulkan atelektasis pasif atau
relaksasi. Kondisi lain yang dapat menimbulkan atelektasis pasif antara lain
pembedahan thorax dan abdomen, kolaps bagian basal paru akibat anestesi,
dan hernia diafragma.

Faktor Risiko
Beberapa keadaan berikut dapat meningkatkan risiko terjadinya atelektasis:
 Kelainan paru: penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), trauma thorax,
riwayat merokok, keganasan, efusi pleura, retensi mukus pada jaringan
paru
 Komorbiditas: obesitas, gagal ginjal, penyakit autoimun, tirah baring
berkepanjangan, riwayat anestesi atau tindakan bedah
 Keadaan fisiologis: penuaan, kehamilan

C. Patofisiologi Atelektasis Paru


Patofisiologi atelektasis berbeda antara atelektasis obstruktif dan nonobstruktif.
Pada atelektasis obstruktif, terjadi absorpsi alveolar di bagian distal dari obstruksi.
Obstruksi akan menghambat ventilasi ke sejumlah area paru. Perfusi akan terus
berlanjut, sehingga pada akhirnya seluruh gas pada segmen yang terkena akan
diabsorpsi dan, jika ventilasi tidak kembali, jalan napas akan kolaps,
menyebabkan atelektasis.
Atelektasis nonobstruktif dapat dibagi lagi menjadi atelektasis kompresi, adhesi,
sikatrik, relaksasi, dan replacement. Pada atelektasis kompresi, terjadi penurunan
gradien tekanan transmural, sehingga alveolus akan kolaps. Pada atelektasis
adhesi, umumnya terjadi defisiensi atau disfungsi surfaktan yang menyebabkan
peningkatan tegangan permukaan alveolus, sehingga alveolus menjadi tidak stabil
dan kolaps. Atelektasis sikatrik sering disebabkan oleh terbentuknya jaringan
parut pada parenkim paru yang menyebabkan kontraksi pada paru,
misalnya pada tuberkulosis paru, fibrosis paru, dan proses kronik destruktif
lainnya. Atelektasis relaksasi melibatkan hilangnya hubungan antara jaringan
visceral dan parietal, seperti pada pneumothorax atau efusi pleura.
Replacement atelectasis terjadi ketika seluruh alveoli di suatu lobus digantikan
dengan jaringan tumor, misalnya pada karsinoma bronkioalveolar.
Kesemua hal tersebut akan berujung dengan penurunan compliance paru,
terganggunya oksigenasi, dan peningkatan resistensi vaskular paru.
Penurunan Compliance Paru
Kehilangan volume paru-paru akibat atelektasis menyebabkan siklus inspirasi-
ekspirasi terganggu, sehingga dibutuhkan tekanan transpulmonal yang lebih tinggi
untuk mencapai volume tidal.
Terganggunya Oksigenasi
Atelektasis mengakibatkan kurangnya ventilasi adekuat pada unit paru, sehingga
mengganggu oksigenasi sistemik.
Peningkatan Resistensi Vaskular Paru
Hipoksia pada unit paru yang mengalami atelektasis menyebabkan penurunan
tekanan oksigen vena dan alveolar, sehingga mengakibatkan vasokonstriksi
pulmonal. Jika fenomena tersebut berlangsung secara luas, dapat terjadi disfungsi
ventrikel kanan dan kebocoran cairan mikrovaskular.
D. Diagnosis Atelektasis Paru
Diagnosis atelektasis bisa ditegakkan secara klinis pada pasien yang memiliki
faktor risiko. Jika diperlukan, modalitas pencitraan seperti rontgen thorax, CT
scan dada, dan USG dada bisa dilakukan.
Anamnesis
Atelektasis bisa asimptomatik dan ditemukan tanpa sengaja melalui pemeriksaan
foto thorax. Tetapi ada juga pasien yang menunjukkan gejala dyspnea, hipoksia,
dan batuk berdahak. Faktor risiko yang dimiliki pasien perlu digali, seperti adanya
penyakit paru, obesitas, kehamilan, riwayat anestesi umum dalam waktu dekat,
ataupun riwayat pembedahan thorax dan abdomen.
Beratnya gejala klinis ditentukan oleh kecepatan terjadinya oklusi bronkus,
luasnya area paru yang terkena, dan adanya infeksi penyerta. Oklusi bronkus yang
berlangsung mendadak dengan area atelektasis yang luas dapat menyebabkan
nyeri dada di sisi yang terkena dan dyspnea mendadak.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik atelektasis dapat ditemukan takipnea. Pemeriksaan
saturasi oksigen dapat membantu menilai keparahan atelektasis dan disfungsi
paru. Dapat dijumpai sianosis, hipotensi, takikardia, hingga gejala syok pada
kasus yang lebih berat. Pada inspeksi, dapat dijumpai kurangnya ekspansi dinding
dada saat inspirasi di sisi paru yang terkena. Auskultasi paru dapat menunjukkan
suara napas yang menurun atau menghilang dan crackles, sedangkan pada
perkusi dapat ditemukan dullness di area lobus yang terkena.

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis atelektasis dapat ditegakkan dengan bantuan berbagai modalitas
pencitraan, termasuk di dalamnya rontgen thorax, CT scan dada, dan USG dada.
- Rontgen Thorax
Umumnya atelektasis dapat terlihat di rontgen thorax jika ukurannya signifikan.
Rontgen thorax akan menunjukkan garis horizontal atau platelike di area paru
yang mengalami atelektasis, juga hilangnya volume paru dan pergeseran fisura
lobus, mediastinum, atau diafragma ke arah unit paru yang terkena. Jaringan
paru yang terkena umumnya tampak lebih opak.
- CT Scan Dada
CT scan dada merupakan baku emas untuk menilai atelektasis perioperatif. CT
scan dada umumnya menunjukkan peningkatan densitas dan berkurangnya
volume pada sisi paru yang terkena.
- Ultrasonografi
Meskipun baku emas pemeriksaan atelektasis perioperatif adalah CT scan,
ultrasonografi lebih mudah dilakukan pada pasien perioperatif. USG
memungkinkan untuk memeriksa kondisi paru-paru pasien beberapa kali di
dalam ruang operasi, bahkan selama pembedahan berlangsung. Hasil
pemeriksaan bisa menunjukkan air bronchogram dan konsolidasi.
- Bronkoskopi Fiberoptic
Digunakan untuk menentukan letak kompresi pada atelektasis kompresi. Pada
atelektasis obstruksi, bronkoskopi bisa digunakan untuk menentukan penyebab
obstruksi, sekaligus mengambil benda asing yang menyebabkan obstruksi.
Indikasi Bronkoskopi :
- Batuk
- Batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya
- Obstruksi dan atelektasis
- Adanya benda asing dalam saluran nafas
- Pemeriksaan Bronchoalveolar Lavage
- Carsinoma Bronkhus (Ada bukti sitologi atau masih tersangka)
- Penentuan derajat karsinoma bronkhus
Indikasi Terapi :
- Mengeluarkan sekret/gumpalam mukus yang bertahan pencylubatelektasis,
pneumonia, abses paru.
E. Penatalaksanaan
- Oksigenasi dan Reekspansi Paru
Pada atelektasis yang menyebabkan hipoksia, dibutuhkan oksigenasi untuk
mencapai saturasi oksigen arteri 90% atau lebih. Continuous positive airway
pressure (CPAP) melalui nasal kanul atau masker dapat efektif meningkatkan
oksigenasi dan membantu reekspansi paru.
Kasus hipoksia berat disertai distres pernapasan memerlukan intubasi dan
ventilasi mekanik. Selain untuk oksigenasi, intubasi memberikan akses
untuk suction jalan napas dan bronkoskopi jika diperlukan. Ventilasi tekanan
positif dan volume tidal yang lebih besar dapat membantu reekspansi paru.
Bronkoskopi Fiberoptic
Bronkoskopi dilakukan ketika dicurigai terdapat obstruksi bronkus dan upaya
batuk, penggunaan suction, fisioterapi, atau bronkodilator tidak berhasil. Sebuah
studi menunjukkan bahwa bronkoskopi membantu mengetahui derajat dan
penyebab obstruksi trakeobronkial.
Terapi Farmakologis
Nebulisasi dengan N-acetylcystein dapat dilakukan pada atelektasis akibat
mucus plug untuk meningkatkan klirens sekresi. Bronkodilator dapat bermanfaat
sebagai ekspektoran dan membantu meningkatkan ventilasi.
Antibiotik spektrum luas diindikasikan jika penyebab atelektasis adalah infeksi.
Antibiotik juga diberikan pada atelektasis pasca pembedahan. Jika terdapat hasil
kultur sputum atau sekresi bronkus, pemberian antibiotik disesuaikan dengan
hasil pemeriksaan. Pemberian antitusif umumnya dihindari karena mengurangi
refleks batuk dan dapat mengakibatkan obstruksi lebih lanjut. Penggunaan
analgesik perioperatif dapat memudahkan pasien bernapas lebih dalam, batuk
lebih keras, dan berpartisipasi dalam manuver fisioterapi dada.
F. Deteksi Dini Keganasan Paru

5. Diabetes Mellitus Tipe 2


A. Definisi
Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme kronis yang ditandai
dengan hiperglikemia persisten. Ini mungkin karena gangguan sekresi
insulin, resistensi terhadap tindakan perifer insulin, atau keduanya.11
B. Epidemiologi
Diabetes adalah epidemi di seluruh dunia. Dengan perubahan gaya hidup
dan meningkatnya obesitas, prevalensi DM telah meningkat di seluruh
dunia. Prevalensi global DM adalah 425 juta pada tahun 2017. Menurut
International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2015, sekitar 10% dari
populasi Amerika menderita diabetes. Dari jumlah tersebut, 7 juta tidak
terdiagnosis.
Dengan bertambahnya usia, prevalensi DM juga meningkat. Sekitar 25%
dari populasi di atas 65 tahun menderita diabetes.12
C. Etiologi
Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari serangkaian disfungsi yang ditandai
dengan hiperglikemia dan akibat kombinasi resistensi terhadap kerja
insulin, sekresi insulin yang tidak memadai, dan sekresi glukagon yang
berlebihan atau tidak sesuai. Lihat gambar di bawah ini.12

Gambar 9 etiologi DM
D. Faktor resiko
a) Orang yang berusia lebih dari 40 tahun h
b) Ras/etnis tertentu (penduduk asli Amerika, Afrika Amerika, Hispanik,
atau Asia Amerika, Kepulauan Pasifik),
c) Orang yang kelebihan berat badan atau obesitas
d) Kerabat tingkat pertama dengan diabetes mellitus
e) Riwayat penyakit kardiovaskular atau hipertensi
f) Kolesterol HDL rendah atau hipertrigliseridemia,
g) Wanita dengan sindrom ovarium polikistik
h) Kurang aktifitas fisik
i) Memiliki riwayat diabetes gestasional atau melahirkan bayi dengan
berat berlebih
j) Kondisi yang berhubungan dengan resistensi insulin, misalnya
Acanthosis nigricans.11,12
E. Patofisiologi
DM tipe 2 adalah kondisi resistensi insulin dengan disfungsi sel beta terkait.
Awalnya, ada peningkatan kompensasi dalam sekresi insulin, yang
mempertahankan kadar glukosa dalam kisaran normal. Seiring
perkembangan penyakit, sel beta berubah, dan sekresi insulin tidak mampu
mempertahankan homeostasis glukosa, menghasilkan hiperglikemia.
Sebagian besar pasien DMT2 mengalami obesitas atau memiliki persentase
lemak tubuh yang lebih tinggi, terdistribusi terutama di daerah perut.
Jaringan adiposa ini sendiri meningkatkan resistensi insulin melalui
berbagai mekanisme inflamasi, termasuk peningkatan pelepasan FFA dan
disregulasi adipokin. Kurangnya aktivitas fisik, GDM sebelumnya pada
mereka dengan hipertensi atau dislipidemia juga meningkatkan risiko
mengembangkan T2DM. Data yang berkembang menunjukkan peran
disregulasi adipokin, peradangan.12
F. Diagnosis
Pasien dengan diabetes mellitus paling sering datang dengan rasa
haus yang meningkat, buang air kecil yang meningkat, kekurangan energi
dan kelelahan, infeksi bakteri dan jamur, dan penyembuhan luka yang
tertunda. Beberapa pasien juga bisa mengeluh mati rasa atau kesemutan di
tangan atau kaki mereka atau dengan penglihatan kabur.
Menurut American Diabetes Association (ADA), diagnosis
diabetes adalah melalui salah satu dari berikut ini: Tingkat HbA1c 6,5%
atau lebih tinggi; Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
atau lebih tinggi (tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam), Tingkat
glukosa plasma dua jam 11,1 mmol/L atau 200 mg/dL atau lebih tinggi
selama 75-g
OGTT; Glukosa plasma sewaktu 11,1 mmol/L atau 200 mg/dL atau lebih
tinggi pada pasien dengan gejala hiperglikemia (poliuria, polidipsia,
polifagia, penurunan berat badan) atau krisis hiperglikemik. ADA
merekomendasikan skrining orang dewasa berusia 45 tahun dan lebih tua
terlepas dari risiko, sedangkan Satuan Tugas Layanan Pencegahan
Amerika Serikat menyarankan skrining individu antara 40 sampai 70 tahun
yang kelebihan berat badan.

Gambar 10 Alur diagnosis pasien curiga DM


Diabetes dapat didiagnosis dengan kriteria hemoglobin A1C atau
konsentrasi glukosa plasma (glukosa plasma puasa atau 2 jam). Tes HBA1C
memberikan gambaran rata-rata glukosa darah selama 2 hingga 3 bulan
terakhir. Pasien dengan HbA1C lebih besar dari 6,5% (48 mmol/mol)
didiagnosis menderita DM.11–13
G. Tatalaksana
a. Nonfarmakologis
Pasien memiliki hasil yang lebih baik jika mereka dapat mengatur diet
mereka (karbohidrat dan pembatasan kalori secara keseluruhan),
berolahraga secara teratur (lebih dari 150 menit setiap minggu), Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,
joging dan berenang serta secara mandiri memantau glukosa.11,12

b. Farmakoterapi
a) Obat oral
metformin adalah terapi lini pertama. Setelah metformin, banyak
terapi lain seperti sulfonilurea oral, dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4)
inhibitor. Agonis reseptor glukagon-like peptide-1 (GLP-I), inhibitor
Sodium-glucose co-transporter-2 (SGLT2), pioglitazon.13
Tabel 11 OHO
b) Insuli
n
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi
insulin yang fisiologis. Defisiensi insulin dapat berupa defisiensi
insulin basal, insulin prandial (setelah makan), atau keduanya.
Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia
pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
menyebabkan timbulnya hiperglikemia setelah makan.
Dalam menggunakan insulin, dosis dinaikan secara bertahap.
Apabila
kadar glukosa darah belum terkontrol, titrasi dosis dapat dilakukan
setiap 2- 3 hari. Cara mentitrasi dosis insulin basal :
- Naikan dosis 2 unit bila glukosa darah puasanya di atas 126
mg/dl
- Naikan dosis 4 unit bila glukosa darah puasanya di atas 144
mg/dl
- Titrasi dosis ini dapat dilakukan selama 2-3 bulan pertama
sampai kadar glukosa darah puasa mencapai kadar yang
diinginkan
Jika nilai HbA1c masih belum mencapai target, setelah kadar
glukosa darah puasa terkendali dengan regimen basal insulin, maka
dibutuhkan insulin lain untuk menurunkan HbA1c, yaitu dengan
menambahkan insulin prandial. Pemberian basal insulin dengan
menambahkan insulin prandial disebut dengan terapi basal plus.
Jika dengan pemberian cara di atas belum mendapatkan hasil yang
optimal, maka pemberian insulin kerja cepat dapat diberikan setiap
mau makan. Cara pemberian insulin seperti ini disebut dengan
basal bolus.13

Gambar 12 Farmakokinetik sediaan insulin yang umum digunakan

H. Prognosis
DM dikaitkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular
aterosklerotik (ASCVD) dan pengobatan tekanan darah, penggunaan
statin, olahraga teratur, dan berhenti merokok sangat penting dalam
mengurangi risiko. Kelebihan kematian secara keseluruhan pada mereka
dengan DMT2 adalah sekitar 15% lebih tinggi tetapi sangat bervariasi.
Prevalensi retinopati diabetik yang mengancam penglihatan di Amerika
Serikat adalah sekitar 4,4% di antara orang dewasa dengan diabetes,
sedangkan 1% untuk penyakit ginjal stadium akhir. Saat ini, dengan
farmakoterapi untuk hiperglikemia, serta menurunkan kolesterol LDL
dan mengelola tekanan
darah dengan terapi ACE/ARB, dengan obat antihipertensi lain dan aspirin
dalam pencegahan sekunder, komplikasi vaskular dapat dikelola secara
memadai, menghasilkan penurunan morbiditas dan mortalitas.12
I. Komplikasi
Hiperglikemia yang persisten pada diabetes mellitus yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan beberapa komplikasi, baik akut maupun
kronis. Diabetes mellitus adalah salah satu penyebab utama penyakit
kardiovaskular (CVD), kebutaan, gagal ginjal, dan amputasi anggota tubuh
bagian bawah. Komplikasi akut termasuk hipoglikemia, ketoasidosis
diabetikum, keadaan hiperosmolar hiperglikemik, dan koma diabetik
hiperglikemik. Komplikasi mikrovaskular kronis adalah nefropati,
neuropati, dan retinopati, sedangkan komplikasi makrovaskular kronis
adalah penyakit arteri koroner (CAD), penyakit arteri perifer (PAD), dan
penyakit serebrovaskular. Diperkirakan setiap tahun 1,4 hingga 4,7%
orang paruh baya dengan diabetes memiliki kejadian CVD.12

6. Hipertensi Stage 1
A. Definisi
Hipertensi arteri sistemik (selanjutnya disebut hipertensi) ditandai dengan
tekanan darah tinggi yang menetap (BP) di arteri sistemik. Tekanan darah
biasanya dinyatakan sebagai rasio tekanan darah sistolik (yaitu, tekanan
yang diberikan darah pada dinding arteri saat jantung berkontraksi) dan
tekanan darah diastolik (tekanan saat jantung berelaksasi). Beberapa
etiologi dapat mendasari hipertensi. Mayoritas (90-95%) pasien memiliki
hipertensi 'esensial' atau primer yang sangat heterogen dengan etiologi
lingkungan gen multifaktorial. Riwayat keluarga yang positif sering terjadi
pada pasien dengan hipertensi, dengan heritabilitas (ukuran seberapa
banyak variasi sifat yang disebabkan oleh variasi faktor genetik)
diperkirakan antara 35% dan 50% di sebagian besar penelitian. Hipertensi
adalah faktor risiko paling umum yang dapat dicegah untuk penyakit
kardiovaskular (CVD; termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung,
stroke, infark miokard, fibrilasi atrium dan penyakit arteri perifer),
penyakit ginjal kronis (CKD) dan gangguan kognitif, dan merupakan
penyakit tunggal utama. kontributor semua penyebab kematian dan
kecacatan di seluruh dunia.16
B. Epidemiologi
Dalam masyarakat pra-industri, tingkat BP memiliki distribusi yang sempit
dengan nilai rata-rata yang berubah sedikit dengan usia dan rata-rata
sekitar 115/75 mmHg ., nilai yang mungkin mewakili tekanan darah
normal (atau ideal) untuk manusia. Namun, di sebagian besar masyarakat
kontemporer, tingkat tekanan darah sistolik meningkat dengan mantap dan
terus menerus seiring bertambahnya usia baik pada pria maupun wanita.
Temuan di mana- mana ini dapat dijelaskan karena usia adalah proksi
untuk kemungkinan dan durasi paparan berbagai faktor lingkungan yang
meningkatkan tekanan darah secara bertahap dari waktu ke waktu, seperti
konsumsi natrium yang berlebihan, asupan kalium yang tidak mencukupi,
kelebihan berat badan dan obesitas, asupan alkohol dan fisik. tidak aktif.
Faktor lain, seperti predisposisi genetik atau lingkungan intrauterin yang
merugikan (seperti hipertensi gestasional atau preeklamsia), memiliki
hubungan yang kecil tetapi pasti dengan kadar BP yang tinggi di masa
dewasa .. Bahkan sedikit peningkatan tekanan darah rata-rata populasi
menyebabkan peningkatan besar dalam jumlah absolut orang dengan
hipertensi. Seiring perkembangan ekonomi, hipertensi pada awalnya
mempengaruhi mereka yang memiliki status sosial ekonomi tinggi, tetapi
pada tahap perkembangan ekonomi selanjutnya, prevalensi hipertensi dan
konsekuensinya paling besar pada mereka yang memiliki status sosial
ekonomi rendah; Fenomena ini terlihat baik di dalam maupun antar
negara. Selanjutnya, kecepatan perubahan prevalensi hipertensi sejak
tahun 2000 hingga 2010 jauh lebih cepat dibandingkan dengan transisi
epidemiologi sebelumnya.17
C. Etiologi
Sebagian besar kasus hipertensi adalah idiopatik yang juga dikenal
sebagai hipertensi esensial. Telah lama disarankan bahwa peningkatan
asupan garam meningkatkan risiko terkena hipertensi. Salah satu faktor
yang dijelaskan untuk pengembangan hipertensi esensial adalah
kemampuan genetik pasien untuk respon garam. Sekitar 50 hingga 60%
pasien sensitif terhadap garam dan karena itu cenderung mengalami
hipertensi. Penyebab hipertensi sekunder diuraikan dalam tabel 6.

Tabel 6 Etiologi hipertensi17


Ginjal - Stenosis arteri ginjal
- Penyakit ginjal polikistik
- Nefropati refluks kronis
- Glomerulonefritis kronis
- Poliarteritis nodosa
- Sklerosis sistemik
Endokrin - Sindrom Cushing
- Sindrom Conn
- Feokromositoma
- Akromegali
- Hiperparatiroidisme
- Sindrom ovarium polikistik
- Sindrom metabolik (diabetes
mellitus, dislipidemia, obesitas)
Lainnya - Apnea tidur obstruktif
- Koarktasio aorta
- Pre-eklampsia
- Obat-obatan (pil kontrasepsi oral
kombinasi, siklosporin, steroid)
- Gangguan SSP (peningkatan tekanan
intrakranial, disautonomia familial)

D. Patofisiologi
Tekanan darah ditentukan oleh beberapa parameter sistem kardiovaskular,
termasuk volume darah dan curah jantung (jumlah darah yang dipompa
oleh jantung per menit) serta keseimbangan tonus arteri yang dipengaruhi
oleh volume intravaskular dan sistem neurohumoral. bagian berikut).
Pemeliharaan tingkat tekanan darah fisiologis melibatkan interaksi
kompleks dari berbagai elemen sistem neurohumoral terintegrasi yang
mencakup sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), peran peptida
natriuretik dan endotel, sistem saraf simpatik (SNS) dan sistem imun.
Malfungsi atau gangguan dari faktor-faktor yang terlibat dalam kontrol BP
di salah satu sistem ini dapat secara langsung atau tidak langsung
menyebabkan peningkatan rata-rata BP, variabilitas BP atau keduanya,
dari waktu ke waktu mengakibatkan kerusakan organ target (misalnya,
hipertrofi ventrikel kiri dan CKD) dan hasil CVD.
Mekanisme patofisiologis yang bertanggung jawab untuk hipertensi adalah
kompleks dan bertindak berdasarkan latar belakang genetik. Hipertensi
primer melibatkan beberapa jenis gen; beberapa varian alelik dari beberapa
gen dikaitkan dengan peningkatan risiko mengembangkan hipertensi
primer dan di hampir semua kasus terkait dengan riwayat keluarga yang
positif. Predisposisi genetik ini, bersama dengan sejumlah faktor
lingkungan, seperti asupan Na + yang tinggi, kualitas tidur yang buruk
atau sleep apnea, asupan alkohol berlebih dan stres mental yang tinggi,
berkontribusi pada perkembangan hipertensi. Akhirnya, kemungkinan
terjadinya hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia, karena
kekakuan progresif dari pembuluh darah arteri yang disebabkan oleh, di
antara faktor-faktor lain, perubahan kolagen vaskular yang perlahan
berkembang dan peningkatan aterosklerosis. Faktor imunologis juga dapat
memainkan peran utama, terutama pada latar belakang penyakit menular
atau reumatologis seperti rheumatoid arthritis. Teori mosaik hipertensi
menjelaskan patofisiologi multifasetnya.17

E. Diagnosis
1. Anemnesis
Pada umumnya, penderita hipertensi esensial tidak memiliki
keluhan. Keluhan yang dapat muncul antara lain: nyeri kepala, gelisah,
palpitasi, pusing, leher kaku, penglihatan kabur, nyeri dada, mudah
lelah, dan impotensi. Nyeri kepala umumnya pada hipertensi berat,
dengan ciri khas nyeri regio oksipital terutama pada pagi hari.
Anamnesis identifikasi faktor risiko penyakit jantung, penyebab
sekunder hipertensi, komplikasi kardiovaskuler, dan gaya hidup pasien.
a. Anamnesis faktor resiko
a) Riwayat hipertensi, penyakit jantung, stroke, penyakit ginjal
pribadi dan di keluarga
b) Riwayat faktor risiko pribadi dan di keluarga (contoh:
hiperkolesterolemia familial)
c) Riwayat merokok
d) Riwayat diet dan konsumsi garam
e) Konsumsi alkohol
f) Kurang aktivitas fisik/ gaya hidup tidak aktif
g) Riwayat disfungsi ereksi
h) Riwayat tidur, merokok, sleep apnoea (informasi juga dapat
diberikan oleh pasangan)
i) Riwayat hipertensi pada kehamilan/pre-eklampsia
b. Anamnesis kemungkinan hipertensi sekunder
a) Awitan hipertensi derajat 2 atau 3 usia muda (< 40 tahun),
perkembangan hipertensi tiba-tiba, atau tekanan darah cepat
memburuk pada pasien usia tua
b) Riwayat penyakit ginjal/traktus urinarius
c) Penggunaan obat/penyalahgunaan zat/terapi lainnya:
kortikosteroid, vasokonstriktor nasal, kemoterapi, yohimbine,
liquorice
d) Episode berulang berkeringat, nyeri kepala, ansietas, atau
palpitasi, sugestif phaeochromocytoma
e) Riwayat hipokalemia spontan atau terprovokasi diuretik,
episode kelemahan otot, dan tetani (hiperaldosteronisme)
f) Gejala penyakit tiroid/ hiperparatiroidisme
g) Riwayat kehamilan saat ini dan/atau penggunaan kontrasepsi
oral
h) Riwayat sleep apnoea
c. Anamnesis riwayat dan Gejala Hypertension Mediated Organ
Damage (HMOD), Penyakit kardiovaskuler, Stroke, Penyakit
Ginjal
a) Otak dan mata: Nyeri kepala, vertigo, sinkop, gangguan
penglihatan, transient ischemic attact (TIA), defisit motorik
atau sensorik, stroke, revaskulerisasi karotis, gangguan kognisi,
demensia (pada lanjut usia)
b) Jantung: Nyeri dada, sesak napas, edema, infark miokard,
revaskulerisasi koroner, sinkop, riwayat berdebar-debar,
aritmia (terutama AF), gagal jantung
c) Ginjal: Haus, poliuria, nokturia, hematuria, infeksi traktus
urinarius
d) Arteri perifer: Ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten, jarak
berjalan bebas nyeri, nyeri saat istirahat, revaskulerisasi perifer
e) Riwayat Penyakit Ginjal Kronis (contoh: penyakit ginjal
polikistik) pribadi atau keluarga.17

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk menegakkan diagnosis hipertensi
dan skrining kerusakan organ target dan penyebab sekunder. Pasien
harus duduk dengan tenang selama 5 menit sebelum pembacaan
tekanan darah dilakukan dan manset tekanan darah harus setinggi
jantung. Rata - rata dari 2 sampai 3 pengukuran tekanan darah yang
diperoleh pada 2 sampai 3 kesempatan terpisah memberikan dasar
yang akurat untuk estimasi tekanan darah. Setidaknya sekali, BP harus
diukur pada kedua lengan, dan perbedaan SBP> 20 mmHg dan / atau
DBP> 10mmHg harus memulai penyelidikan kelainan vaskular.
Pemeriksaan fisik mungkin sulit dilakukan selain dari peningkatan
tekanan darah, tetapi kita perlu mencari tanda-tanda:
a. Koarktasio aorta (penundaan radio-radial, penundaan radio-
femoral, perbedaan TD lengan kiri dan kanan atau TD ekstremitas
atas dan bawah lebih dari 20mmHg)
b. Penyakit katup aorta (murmur ejeksi sistolik, bunyi jantung ke-4)
c. Penyakit renovaskular atau displasia fibromuskular (FMD) - (brut
ginjal, bruit karotis)
d. Ginjal polikistik (pembesaran ginjal bilateral)
e. Gangguan endokrin [hiperkortisolisme (kulit tipis, mudah memar,
hiperglikemia)
f. Gangguan tiroid (tiroid teraba/nyeri atau membesar] yang
merupakan penyebab umum hipertensi sekunder yang dapat diobati
g. Adanya bunyi jantung ke-4, yang menunjukkan ventrikel kiri yang
kaku dan tidak komplians, menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri
dan disfungsi diastolik.
h. Adanya ronki paru dan/atau edema perifer menunjukkan disfungsi
jantung dan memberikan petunjuk tentang kronisitas hipertensi.17
3. Pemeriksaan penunjang
Pengukuran tekanan darah rawat jalan adalah metode yang paling
akurat untuk mendiagnosis hipertensi dan juga membantu dalam
mengidentifikasi individu dengan hipertensi bertopeng serta efek jas
putih. Evaluasi terdiri dari mencari tanda-tanda kerusakan organ akhir
dan terdiri dari berikut ini,
a. EKG 12 sadapan (untuk mendokumentasikan hipertrofi ventrikel
kiri, denyut jantung, dan irama)
b. Fundoskopi untuk mencari retinopati/makulopati
c. Pemeriksaan darah meliputi hitung darah lengkap, LED, kreatinin,
eGFR, elektrolit, HbA1c, profil tiroid, kadar kolesterol darah, dan
asam urat serum
d. Rasio albumin urin terhadap kreatinin
e. Indeks tekanan pergelangan kaki-brakial - ABI (jika gejala
menunjukkan penyakit arteri perifer)
f. Pencitraan termasuk ultrasonografi doppler karotid, ekokardiografi,
dan pencitraan otak (di mana secara klinis dianggap layak)17
F. Klasifikasi
Tabel 7 klasifikasi hipertensi
Kategori tekanan Sistolik Diastolik
darah
Normal < 120 mmHg Dan < 80 mmHg

Meningkat 120-139 mmHg Dan < 80 mmHg

Hipertensi

Stadium 1 140-159 mmHg Atau 80-89 mmHg

Stadium 2 ≥ 160 mmHg Atau ≥ 90 mmHg

G. Penatalaksanaan

Gambar 8 terapi Hipertensi


a. Farmako
tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan
target tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam 1
bulan perawatan tingkatkan dosis obat awal atau tambah kan obat kedua
dari salah satu kelas ZanH direkomendasikan dalam rekomendasi 6
thiazide-type diuretic. Dokter harus terus menilai tekanan darah dan
menyesuaikan regimen perawatan sampai target tekanan darah dicapai.
Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai dengan 2 obat tambahkan dan
titrasi obat ketika dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEI dan
ARB bersama-sama pada satu pasien. Jika target tekanan darah tidak dapat
dicapai menggunakan obat di dalam rekomendasi 6 karena kontraindikasi
atau perlu menggunakan lebih dari 3 obat obat antihipertensi kelas lain

dapat digunakan.
Gambar 9 algoritma penatalaksanaan hipertensi menurut JNC

b. Nonfarmako
Intervensi non-farmakologis merupakan salah satu cara efektif
untuk menurunkan tekanan darah; yang telah terbukti dengan uji klinis
adalah penurunan berat badan, Dietary Approaches to Stop Hypertension
(DASH), diet rendah garam, suplemen kalium, peningkatan aktivitas fisik,
dan pengurangan konsumsi alkohol. (tabel 5). Intervensi lain berupa
konsumsi probiotik, diet tinggi protein, serat, minyak ikan, suplemen
kalsium atau magnesium, terapi perilaku dan kognitif, belum banyak
didukung data dan penelitian yang kuat

Gambar 10 terapi nonfarmakoterapi


Biasanya, farmakoterapi antihipertensi dimulai dengan obat
antihipertensi lini pertama baik dalam monoterapi atau dalam kombinasi.
Terapi kombinasi mungkin lebih disukai pada pasien dengan tingkat
tekanan darah sebelum pengobatan yang lebih tinggi. Obat antihipertensi
lini pertama termasuk penghambat ACE, penghambat reseptor angiotensin
II (juga dikenal sebagai sartans), penghambat saluran kalsium
dihidropiridin, dan diuretik tiazid. Beta-blocker juga diindikasikan pada
pasien dengan gagal jantung dan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri atau
pasca infark miokard, dan beberapa pedoman merekomendasikan beta-
blocker sebagai obat antihipertensi lini pertama . Pilihan harus didasarkan
pada efikasi dan tolerabilitas individu. Etnisitas mempengaruhi respon
terhadap obat antihipertensi, dan telah disarankan bahwa calcium channel
blocker dan diuretik mungkin menjadi pilihan pertama pada orang kulit
hitam. Selanjutnya, dalam situasi klinis tertentu, misalnya hipertensi pada
wanita hamil, obat lain seperti alfa-metildopa (agonis adrenoreseptor alfa
di sistem saraf pusat yang menghambat sistem saraf simpatik) atau
labetalol (penghambat beta adrenoreseptor) lebih disukai, sedangkan
beberapa antihipertensi lini pertama, misalnya penghambat ACE dan
penghambat reseptor angiotensin II, dikontraindikasikan karena
peningkatan risiko teratogenisitas ginjal. Dosis terbagi obat antihipertensi
cenderung menurunkan kepatuhan dan harus dihindari bila
memungkinkan.17

H. Pencegahan
Perubahan gaya hidup, Intervensi yang paling efektif adalah penurunan
berat badan, pengurangan asupan Na +, peningkatan asupan kalium,
peningkatan aktivitas fisik, pengurangan konsumsi alkohol dan diet seperti
Dietary Approaches untuk Menghentikan Hipertensi (DASH) diet yang
menggabungkan beberapa elemen yang mempengaruhi tekanan darah.
Diet DASH sangat berhasil bila dikombinasikan dengan intervensi
penurunan tekanan darah efektif lainnya seperti pengurangan asupan
natrium. Perubahan gaya hidup adalah cara terbaik bagi individu untuk
menerapkan intervensi ini. Bahkan perbaikan kecil dalam gaya hidup
seseorang bisa sangat berharga. Situs web lembaga pemerintah dan
masyarakat profesional memberikan tips bermanfaat untuk perubahan
gaya hidup dan pemantauan
tekanan darah. Pemantauan tekanan darah yang cermat sangat penting
karena efek menguntungkan dari perubahan gaya hidup didasarkan pada
pemeliharaan intervensi17 Saran gaya hidup dianjurkan untuk semua pasien
dengan hipertensi. Intervensi yang paling efektif sama dengan pencegahan
hipertensi. Pendekatan diet yang ditargetkan dapat mengurangi tekanan
darah sistolik pada individu dengan hipertensi. Misalnya, mengurangi
asupan natrium (idealnya menjadi <2,3 g per hari, atau <1,5 g per hari
pada mereka yang paling rentan terhadap efek natrium pada BP, tetapi
pengurangan setidaknya 1,0 g per hari diinginkan) dapat menurunkan
tekanan darah sistolik. sebesar 2–4 mmHg. Penurunan serupa dapat
diharapkan dengan peningkatan asupan kalium menjadi 3,5-5,0 g per hari.
Kurangi asupan garamUntuk keseimbangan metabolisme, jumlah garam
yang dikonsumsi harus sama dengan yang hilang. Jadi, dalam kondisi
hidup normal dan tingkat aktivitas fisik, asupan 5 g garam/hari dianggap
cukup, sesuai dengan rekomendasi WHO (<5 g per hari). Sebaliknya,
perkiraan asupan garam saat ini sekitar 9-12 g per hari di sebagian
besar negara. Rekomendasi terbaru dari American Heart Association dan
American Society of Hypertension lebih ketat
daripada pedoman Eropa, merekomendasikan
penurunan asupan garam menjadi 3,8 g per hari, sedangkan pedoman
ESH/ESC 2013 merekomendasikan 5-6 g garam per hari

7. Hiponatremia
A. Definisi
Hiponatremia didefinisikan sebagai konsentrasi natrium serum kurang dari
135 mEq/L tetapi dapat bervariasi sampai batas tertentu tergantung pada
nilai yang ditetapkan dari berbagai laboratorium. Hiponatremia adalah
kelainan elektrolit umum yang disebabkan oleh kelebihan total air tubuh
dibandingkan dengan kandungan natrium total tubuh. konsentrasi natrium
serum tidak bergantung pada natrium tubuh total tetapi ditentukan oleh
rasio zat terlarut total tubuh (misalnya, natrium tubuh total dan kalium
total
tubuh) terhadap total air tubuh. Hiponatremia merupakan
ketidakseimbangan dalam rasio ini di mana air tubuh total lebih dari total
zat terlarut tubuh. Total body water (TBW) memiliki dua kompartemen
utama, extracellular fluid (ECF) sepertiga dan intracellular fluid (ICF),
dua pertiga sisanya. Natrium adalah zat terlarut utama ECF dan kalium
untuk ICF.20
B. Klasifikasi
Tabel klasifikasi hiponatremia21

C. Etiologi
Etiologi hiponatremia dapat diklasifikasikan berdasarkan status volume
cairan ekstraseluler. pasien dapat diklasifikasikan menjadi hipovolemik,
euvolemik, atau hipervolemik. Rangsangan fisiologis yang menyebabkan
pelepasan vasopresin bersamaan dengan peningkatan asupan cairan dapat
menyebabkan hiponatremia. Hipotiroidisme dan insufisiensi adrenal dapat
menyebabkan peningkatan pelepasan vasopresin. Rangsangan fisiologis
untuk pelepasan vasopresin termasuk hilangnya volume intravaskular
(hipovolemik hiponatremia) dan hilangnya volume efektif intravaskular
(hipervolemik hiponatremia).
a. Penyebab Hiponatremia Hipovolemik (TBW menurun lebih dari
penurunan total natrium tubuh)
a) Kehilangan cairan gastrointestinal (diare atau muntah)
b) Jarak cairan ketiga (pankreatitis, hipoalbuminemia, obstruksi usus
halus)
c) Diuretik
d) Diuresis osmotik (glukosa, manitol)
e) Nefropati pemborosan garam
f) Sindrom pemborosan garam serebral (pembuangan garam urin,
mungkin disebabkan oleh peningkatan peptida natriuretik otak)
g) Defisiensi mineralokortikoid
b. Penyebab Hiponatremia Hipervolemik (TBW meningkat lebih besar
dari peningkatan total natrium tubuh)
a) Penyebab ginjal (gagal ginjal akut, gagal ginjal kronis, sindrom
nefrotik)
b) Penyebab ekstrarenal (gagal jantung kongestif, sirosis)
c) Iatrogenik
c. Penyebab Euvolemic Hyponatremia (TBW meningkat dengan total
natrium tubuh yang stabil)
a) Pelepasan vasopresin patologis nonosmotik dapat terjadi dalam
pengaturan status volume normal, seperti pada hiponatremia
euvolemik.
b) Penyebab hiponatremia euvolemik meliputi:
c) Narkoba, seperti yang disebutkan di bawah ini.
d) Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH)
e) penyakit Addison
f) Hipotiroidisme
g) Asupan cairan yang tinggi dalam kondisi seperti polidipsia primer;
atau potomania, yang disebabkan oleh rendahnya asupan zat
terlarut dengan asupan cairan yang relatif tinggi
h) Tes medis terkait cairan berlebihan seperti kolonoskopi atau
kateterisasi jantung
i) Iatrogenik
Banyak obat menyebabkan hiponatremia dan yang paling umum termasuk:
a. Analog vasopresin seperti desmopresin dan oksitosin
b. Obat-obatan yang merangsang pelepasan vasopresin atau
mempotensiasi efek vasopresin seperti inhibitor reuptake serotonin
selektif dan antidepresan lainnya morfin dan opioid lainnya
c. Obat-obatan yang mengganggu pengenceran urin seperti diuretik
thiazide
d. Obat-obatan yang menyebabkan hiponatremia seperti carbamazepine
atau analognya, vincristine, nikotin, antipsikotik, klorpropamid,
siklofosfamid, obat antiinflamasi nonsteroid
e. Obat-obatan terlarang seperti methylenedioxymethamphetamine
(MDMA atau ekstasi).20
D. Epidemiologi
Hiponatremia adalah gangguan elektrolit yang paling umum, dengan
prevalensi 20% sampai 35% di antara pasien rawat inap. Insiden
hiponatremia tinggi di antara pasien kritis di unit perawatan intensif (ICU)
dan juga pada pasien pasca operasi. Ini lebih sering terjadi pada pasien
usia lanjut karena beberapa komorbiditas, beberapa obat, dan kurangnya
akses ke makanan dan minuman. 20
E. Patofisiologi
Stimulasi haus, sekresi hormon antidiuretik (ADH), dan penanganan
natrium yang disaring oleh ginjal mempertahankan natrium dan
osmolalitas serum. Normal osmolalitas plasma sekitar 275 mOsm/kg
sampai 290 mOsm/kg. Untuk mempertahankan osmolalitas normal,
asupan air harus sama dengan ekskresi air. Ketidakseimbangan asupan dan
ekskresi air menyebabkan hiponatremia atau hipernatremia. Asupan air
diatur oleh mekanisme rasa haus dimana osmoreseptor di hipotalamus
memicu rasa haus ketika osmolalitas tubuh mencapai 295 mOsm/kg.
Ekskresi air diatur secara ketat oleh hormon antidiuretik (ADH), disintesis
di hipotalamus, dan disimpan di kelenjar hipofisis posterior. Perubahan
tonisitas menyebabkan peningkatan atau penekanan sekresi ADH.
Peningkatan sekresi ADH menyebabkan reabsorpsi air di ginjal, dan
penekanan menyebabkan efek
sebaliknya. Baroreseptor di sinus karotis juga dapat merangsang sekresi
ADH, tetapi kurang sensitif dibandingkan osmoreseptor.
Ada tiga mekanisme yang terlibat dalam ketidakmampuan ginjal untuk
mengeluarkan air:
a. Aktivitas ADH tinggi: Tiga mekanisme berbeda dapat menyebabkan
ADH tinggi:
a) Penurunan volume darah arteri efektif (EABV): hormon
antidiuretik (ADH) dilepaskan ketika ada pengurangan 15% atau
lebih dari EABV. Hal ini terjadi dengan hipovolemia (misalnya,
muntah, diare), penurunan curah jantung (misalnya, gagal jantung),
atau vasodilatasi (misalnya, sirosis).
b) SIADH: ADH disekresikan secara otonom. Empat penyebab umum
ini adalah gangguan otak, gangguan paru-paru, obat-obatan
(misalnya, SSRI), dan miscellanea (misalnya, mual dan nyeri).
c) Defisiensi kortisol: Kortisol memberikan efek penghambatan pada
pelepasan ADH. Ketika kortisol menurun, ADH dilepaskan dalam
jumlah besar. Insufisiensi adrenal adalah penyebab mekanisme ini
b. Laju filtrasi glomerulus rendah (GFR), laju filtrasi glomerulus yang
rendah akan mengganggu kemampuan ginjal untuk membuang air.
Contoh khas adalah cedera ginjal akut (AKI), penyakit ginjal kronis
dan penyakit ginjal stadium akhir
c. Asupan zat terlarut rendah
Pasien dengan diet teratur mengkonsumsi 600 mOsm sampai 900
mOsm zat terlarut per hari. Zat terlarut didefinisikan sebagai zat yang
disaring secara bebas oleh glomerulus tetapi memiliki kesulitan relatif
atau absolut untuk diserap kembali oleh tubulus dalam hubungannya
dengan air. Zat terlarut utama adalah urea (yang berasal dari
metabolisme protein) dan elektrolit (misalnya garam). Karbohidrat
tidak berkontribusi pada beban zat terlarut. Dalam kondisi mapan,
asupan zat terlarut sama dengan beban zat terlarut urin. Oleh karena
itu, diharapkan pasien ini juga mengekskresikan 600 mOsm hingga
900 mOsm zat
terlarut dalam urin. Volume urin, dan karenanya ekskresi air,
tergantung pada beban zat terlarut urin. Semakin banyak zat terlarut
yang perlu dikeluarkan, semakin besar volume urin yang perlu
diproduksi. Semakin sedikit zat terlarut yang perlu dikeluarkan,
semakin kecil volume urin yang harus diproduksi. Pasien yang makan
zat terlarut dalam jumlah rendah per hari (misalnya, 200 mOsm/hari),
pada kondisi mapan, juga akan mengeluarkan zat terlarut dalam jumlah
rendah dalam urin, dan oleh karena itu mereka akan melakukannya
dalam volume urin yang lebih kecil. Penurunan volume urin ini akan
membatasi kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air. Contoh khasnya
adalah bir potomania dan diet teh dan roti panggang.20,21
F. Diagnosis
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Gejala tergantung pada derajat dan kronisitas hiponatremia. Pasien
dengan hiponatremia ringan hingga sedang (lebih dari 120 mEq/L)
atau penurunan natrium secara bertahap (lebih dari 48 jam) memiliki
gejala minimal. Pasien dengan hiponatremia berat (kurang dari 120
mEq/L) atau penurunan kadar natrium yang cepat memiliki gejala
yang bervariasi. Gejalanya dapat berkisar dari anoreksia, mual dan
muntah, kelelahan, sakit kepala, dan kram otot hingga perubahan status
mental, agitasi, kejang, dan bahkan koma. Selain gejala, anamnesis
yang terperinci untuk memasukkan riwayat gangguan paru dan SSP,
semua pengobatan di rumah, dan riwayat sosial (peningkatan asupan
bir atau penggunaan MDM atau ekstasi) sangat penting. Pemeriksaan
fisik meliputi penilaian status volume dan status neurologis. 20
b. Pemeriksaan penunjang
Langkah-langkah berikut dapat dilakukan saat mengevaluasi pasien
dengan dugaan hiponatremia:
a. Langkah 1 : Osmolalitas Plasma (275 mOsm hingga 290 mOsm/kg)
 Ini dapat membantu membedakan antara hiponatremia
hipertonik, isotonik, dan hipotonik.
 Pasien hiponatremia sejati adalah hipotonik.
 Jika pasien hipotonik, lanjutkan ke langkah 2.
b. Langkah 2: Osmolalitas Urine
 Osmolalitas urin kurang dari 100 mOsm/kg menunjukkan
polidipsia primer atau reset osmostat.
 Osmolalitas urin lebih besar dari 100 mOsm/kg biasanya
menunjukkan keadaan ADH yang tinggi, lanjutkan ke langkah
3.
c. Langkah 3: Status Volume (status ECF)
 Hipovolemik vs euvolemik vs hipervolemik.
 Jika pasien hipovolemik, lanjutkan ke langkah 4.
d. Langkah 4: Konsentrasi Natrium Urine
 Natrium urin kurang dari 10 mmol/L menunjukkan kehilangan
cairan ekstrarenal (penggunaan diuretik jarak jauh dan muntah
jarak jauh).
 Natrium urin lebih besar dari 20 mmol/L menunjukkan
kehilangan urin melalui ginjal (diuretik, muntah, defisiensi
kortisol, dan nefropati pemborosan garam).
e. Tes lain yang mungkin membantu dalam membedakan
penyebabnya termasuk:
 Hormon perangsang tiroid (TSH) serum
 Hormon adrenokortikotropik serum (ACTH)
 Urea serum
 Tes fungsi hati
 Rontgen dada atau computed tomography (CT) scan dada
 CT scan kepala20

G. Penatalaksanaan
Pengobatan hiponatremia tergantung pada derajat hiponatremia, durasi
hiponatremia, keparahan gejala, dan status volume. Jika ragu, seseorang
dapat memulai infus NaCl 0,9% dengan pemantauan natrium serum dan
tindak lanjut pada 6 hingga 8 jam. Hiponatremia hipovolemik membaik
dengan NaCl 0,9% sementara hiponatremia pada SIADH mungkin tidak
dapat dikoreksi dan biasanya memburuk dengan pemberian NaCl 0,9%.22
a. Hiponatremia simtomatik akut
a) Hiponatremia dengan gejala berat: Berikan 3% natrium klorida;
100 mL intravena (IV) bolus (ulangi hingga dua kali jika gejalanya
menetap). Pedoman terbaru menyarankan pemberian bolus 100ml
NaCl 3% IV selama 10 menit, diulang hingga 3 dosis sampai gejala
akut mereda. Tujuannya adalah untuk memberikan koreksi segera
sebesar 4 sampai 6 mmol/L untuk mencegah herniasi otak. Untuk
gejala ringan hingga sedang dengan risiko herniasi rendah, 3%
NaCl diinfuskan pada 0,5-2 mL/kg/jam20,22
b) Hiponatremia simtomatik ringan sampai sedang: Natrium klorida
3%, infus lambat (gunakan rumus defisit natrium untuk
menghitung laju infus tetapi hitung ulang laju dengan pemantauan
natrium yang sering).
b. Hiponatremia asimtomatik kronis
a) Hiponatremia hipovolemik: Pemberian cairan isotonik dan
pemberian diuretik apa pun.
b) Hiponatremia hipervolemik: Obati kondisi yang mendasarinya,
batasi garam dan cairan, dan berikan diuretik loop.
c) Hiponatremia euvolemik: Pembatasan cairan kurang dari 1 liter per
hari.
Obat-obatan: Antagonis reseptor vasopresin 2 selektif sedang
digunakan baru-baru ini. Mereka meningkatkan ekskresi air di ginjal
tanpa mempengaruhi natrium, sehingga meningkatkan kadar natrium
serum. Obat-obatan ini digunakan pada pasien dengan kondisi
euvolemik dan hipervolemik (kecuali gagal hati) jika tindakan di atas
tidak membantu.
Tujuan koreksi: Koreksi natrium tidak lebih dari 10 mEq/L sampai 12
mEq/L dalam periode 24 jam.
Faktor risiko untuk sindrom demielinasi osmotik (ODS):
Hipokalemia, penyakit hati, malnutrisi, alkoholisme dengan batas
Koreksi:
 Risiko tinggi untuk ODS: kurang dari 8 mEq/L dalam periode 24
jam
 Risiko rata-rata untuk ODS: kurang dari 10 mEq/L dalam periode
24 jam
Pada natrium urin rendah kurang dari 100 mOsm/kg dan tidak adanya
konsumsi air yang cepat, potensi cairan tinggi, diet rendah protein,
termasuk bir potomania, harus diperiksa. Pada pasien dengan
hiponatremia berat kurang dari 120 mEq/L, kronisitas hiponatremia harus
dipertimbangkan. Oleh karena itu, pada hiponatremia kronis yang parah,
salin 3 persen intravena dengan kecepatan 15 hingga 30 mL/jam harus
dimulai. Pada beberapa pasien, desmopresin (dDAVP) juga harus
diberikan untuk mencegah koreksi yang terlalu cepat. 20

H. Prognosis
Prognosis pada pasien dengan hiponatremia tergantung pada tingkat
keparahan hiponatremia dan kondisi yang mendasarinya. Prognosis buruk
pada pasien dengan hiponatremia berat, hiponatremia akut, dan pasien
lanjut usia.20

I. Komplikasi
Jika tidak diobati atau diobati secara tidak memadai, pasien dengan
hiponatremia dapat mengalami rhabdomyolysis, perubahan status mental,
kejang, dan bahkan koma. Koreksi hiponatremia kronis yang cepat (lebih
dari 10 mEq/L sampai 12 mEq/L natrium dalam 24 jam) dapat
menyebabkan sindrom demielinasi osmotik. Sindrom demielinasi osmotik,
sebelumnya dikenal sebagai mielinolisis pontin sentral adalah komplikasi
natrium koreksi cepat pada pasien dengan hiponatremia kronis. Pada
pasien
dengan hiponatremia, otak beradaptasi dengan penurunan kadar natrium
serum, tanpa mengembangkan edema serebral, dalam waktu sekitar 48
jam. Akibatnya, pasien dengan hiponatremia kronis sebagian besar tidak
menunjukkan gejala. Setelah otak beradaptasi dengan natrium serum yang
rendah, koreksi natrium yang cepat menyebabkan sindrom demielinasi
osmotik. Manifestasi klinis biasanya tertunda beberapa hari dan terdiri dari
beberapa gejala neurologis ireversibel, termasuk kejang, disorientasi, dan
bahkan koma. Sindrom "terkunci" terjadi pada pasien yang terkena
dampak parah. Pasien-pasien ini terjaga tetapi tidak dapat bergerak atau
hanya dapat berkomunikasi dengan bantuan mata mereka.20
DAFTAR PUSTAKA
1. Indonesia kementerian kesehatan republik. pedoman nasional pelayanan
kedokteran : tatalaksana tuberkulosis. 2020.
2. Mahmoud N, Vashisht R, Sanghavi D, et al. Bronchoscopy. In: StatPearls.
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448152/

3. Sembiring R, Hidajat H, Jusuf A, Jonathan S. Klasifikasi histologis kanker paru.


In: Jusuf A, editor. Dasar-dasar diagnosis kanker paru. Jakarta: UI Press; 2017. p.
89– 100

4. K. Ray, A. Bodenham, and E. Paramasivam, Pulmonary atelectasis in anaesthesia


and critical care, Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain,
2014;14(5):236-245. https://doi.org/10.1093/bjaceaccp/mkt064

5. Madappa T, Atelectasis. Medscape, 2018.


https://emedicine.medscape.com/article/296468-overview#a5

6. R. D. Restrepo and J. Braver man, Current challenges in the recognition,


prevention and treatment of perioperative pulmonary atelectasis, Expert Review of
Respiratory Medicine, 2015;9(1): 97-107.
https://doi.org/10.1586/17476348.2015.996134

7. K. Um, J. K. Ku, and Y. S. Kim, Diagnosis and treatment of obstructive atelectasis


after general anesthesia in a patient with abscess in the maxillofacial area: A case
report, J Dent Anesth Pain Med, 2018;18(4): 271-275.
https://dx.doi.org/10.17245%2Fjdapm.2018.18.4.271

8. J. J. Marini, Acute Lobar Atelectasis, Chest, 2019; 155(5):1049-1058.


doi:10.1016/j.chest.2018.11.014.

9. Diabetes Care. Classification and Diagnosis of Diabetes: Standards of Medical


Care in Diabetes. American Diabetes Association. 2021;44 (Suppl. 1):S15–S33.
https://doi.org/10.2337/dc21-S002

10. World Health Organization. Diagnosis and management of type 2 diabetes


(HEARTS-D). Geneva: 2020 (WHO/UCN/NCD/20.1).

11. Urakami T. Maturity-onset diabetes of the young (MODY): current perspectives


on diagnosis and treatment. Diabetes Metab Syndr Obes. 2019.

12. Lechner et al. The pathology associated with diabetic retinopathy. Vision
Research. 2017.

13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman


tatalaksana hipertensi pada penyakit kardiovaskular. 2015

14. The seventh report of the joint national committee on prevention,


detection, evaluation and treatment of high blood pressure. NIH publication. 2004:
15. Whelton PK. 2017.
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACP/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA. Guideline for the
prevention, detection, evaluation, and management of high blood pressure in adults.
Hypertension. 2017: 21-22.

Anda mungkin juga menyukai