Disusun oleh:
H3A021039
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
SEMARANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing,
Atelektasis Paru
Hipertensi Stage I
Hiponatremia Sedang
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. M
Tanggal lahir : 16 Oktober 1977
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Randu Garut RT 2/II Tugu, Semarang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Bangsal : Dahlia 4
No. RM : 09-95-XX
Tanggal Masuk RS : Senin, 20 Juni 2022
Tanggal Dikasuskan : Selasa, 21 Juni 2022
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di bangsal Dahlia 4 RSUD Tugurejo Semarang
pada tanggal 21 Juni 2022 pukul 13.00 WIB secara autoanamnesis.
1. Keluhan Utama : Batuk
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD Tugurejo Semarang dengan keluhan batuk
sejak 2 bulan yang lalu (Mei 2022). Keluhan batuk muncul saat malam
hari disertai dengan dahak yang sulit keluar. Dahak pernah keluar 1x
berwarna kuning. Keluhan batuk sangat menganggu aktifitas dan
membuat pasien tidak bisa tidur. Batuk memberat saat posisi pasien
sedang berbaring, dan berkurang saat pasien duduk dan beraktivitas..
Pasien juga mengeluhkan sesak saat batuk terus menerus, lemas, sulit
tidur, berkeringat di malam hari, penurunan nafsu makan, penurunan
berat badan
yang awalnya 50 kg dalam waktu 2 bulan menjadi 42 kg. Pasien juga
terkadang merasakan kesemutan pada bagian jari tangan. Keluhan mual
dan muntah disangkal, BAB dan BAK dalam batas normal.
Sebelumnya, pasien telah memeriksakan diri ke puskesmas, namun
keluhan tidak berkurang. Kemudian, pasien melakukan pemeriksaan X-
Foto Thorax secara mandiri (08 Juni 2022) dan selanjutnya mendapat
rujukan dari puskesmas ke Poli Paru RSUD Tugurejo Semarang. Hasil
X- Foto Thorax didapatkan bahwa dicurgai adanya atelektasis dengan
nodul dan hasil pemeriksaan TCM didapatkan adanya MTB DETECTED
MEDIUM-TB SENSITIF.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa : Disangkal
b. Riwayat penyakit paru : Disangkal
c. Riwayat hipertensi : Disangkal
d. Riwayat DM : Disangkal
e. Riwayat sakit jantung : Disangkal
f. Riwayat sakit ginjal : Disangkal
g. Riwayat alergi obat : Disangkal
h. Riwayat maagh : Disangkal
i. Riwayat kolesterol : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat sakit serupa : Disangkal
b. Riwayat penyakit paru : Disangkal
c. Riwayat hipertensi : Disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
e. Riwayat DM : Disangkal
f.Riwayat alergi : Disangkal
5. Riwayat Pribadi
a. Riwayat merokok : Disangkal
b. Riwayat minum alkohol : Disangkal
c. Riwayat olahraga : Tidak rutin
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal di pemukiman padat penduduk dengan ventilasi rumah
yang kurang baik, cahaya yang masuk ke dalam rumah terbatas. Pasien
merupakan perokok pasif. Suami pasien seorang perokok. Biaya
pengobatan menggunakan BPJS.
C. ANAMNESIS SISTEMIK
Kepala Pusing (-), sakit kepala (-), kepala terasa berat (-)
Mata Penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-)
Hidung Pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
Pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar cairan (-), darah
Telinga
(-).
Sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir pecah-pecah (-), gusi
Mulut
berdarah (-), mulut kering (-).
Leher Pembesaran kelenjar limfe (-), leher terasa kaku (-).
Tenggorokan Sulit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).
Sistem respirasi Sesak nafas (+), batuk (+) berdahak kuning
Sistem Sesak nafas (-), nyeri dada (-), berdebar-debar (-).
kardiovaskuler
Sistem Mual (-), muntah (-), diare (-), nyeri perut (-), nafsu makan
gastrointestinal menurun (+), konstipasi (-), BB turun (+)
Sistem Nyeri sendi (-), kaku otot (-), badan lemas (+), gemetar (-),
muskuloskeletal terdapat
Sering kencing(-), nyeri saat kencing (-), keluar darah (-), berpasir
Sistem
(-), kencing nanah(-), sulit memulai kencing (-), anyang-anyangan
genitourinaria
(-), berwarna seperti teh (-),
Luka (-), kesemutan (-), kaku digerakan (-) bengkak (-), sakit sendi
Ekstremitas atas
(-) panas (-)
Ekstremitas Luka (-) , kesemutan (-), bengkak (-), sakit sendi (-), panas (-)
bawah
Sistem Kejang (-), gelisah (-), emosi tidak stabil (-)
neuropsikiatri
Sistem Kulit kuning (-), pucat (-), gatal (+), berkeringat di malam hari
Integumentum (+)
D. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 21 Juni 2022 pukul 13.00 WIB
di Dahlia 4 RSUD Tugurejo Semarang:
1. Keadaan Umum : tampak lemas
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : 15 (E4M6V5)
4. Vital sign
Tekanan darah : 142/91 mmHg
Nadi : 82x/menit, isi & tegangan cukup
Respiratory rate : 22x/menit
Suhu : 36,5C (axiler)
SpO2 : 98% dengan nasal canul 3 lpm
5. Status Gizi
BB : 42 kg
TB : 155 cm
IMT : 17,5 (Underweight)
6. Risiko jatuh : 30 (MORSE: Resiko sedang)
Penilaian
Parameter Status/keadaan Skor pasien
Riwayat jatuh (baru-baru ini Tidak pernah 0
0
atau dalam 3 bulan terakhir) Pernah 25
Penyakit penyerta (Diagnosis Ada 0
0
Sekunder) Tidak ada 15
Tanpa alat bantu/bedrest 0
Alat bantu jalan Tongkat penyangga (crutch)/walker 15 0
furniture 30
Pemakaian infus intravena /
Ya 20
heparin 20
Tidak 0
b. Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI linea midclavicula
sinistra. Pulsus Epigastrium (-). Pulsus Parasternal (-). Pulsus
Defisit (-). Sternal lift (-). Thrill (-).
3. Perkusi :
Batas kanan bawah jantung : ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri bawah jantung : ICS V 1-2 cm linea midclav
Sinistra
Batas pinggang jantung : ICS III linea parasternalis
sinistra
Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis
sinistra
4. Auskultasi
Suara jantung I dan II reguler
Murmur (-) gallop (-)
h. Abdomen
a) Inspeksi : Perut datar, warna kulit sama dengan sekitar, massa di
epigastrium (-)
b) Auskultasi : Bising usus (+), 15x/menit
c) Perkusi : Timpani (+), liver span 12 cm
d) Palpasi : Terdapat massa di region epigastrium (-), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba
i. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
CRT <2 detik +/+ +/+
E. PEMERIKSAAN
PENUNJANG DATA DASAR
DATA TAMBAHAN
Trakea Normal
Carina Norma
Lingula Normal
Saran Pemeriksaan
Sitologi Bilasan
Bronkus
G. ANALISIS MASALAH
1. Tuberculosis Paru : 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,13,16,17,18,19,20,25,26,30
2. Atelektasis Paru : 14,15,16,24
3. Diabetes Mellitus Tipe 2 : 11, 21,22
4. Hipertensi Stage I : 12
5. Hiponatremia Sedang : 23
H. RENCANA PEMECAHAN MASALAH
1. Tuberculosis Paru
Asessment
Komplikasi :
- Efusi Pleura
- ARDS (Acute Resipratory Distress Syndrome)
Initial plan
a. Diagnosis
- Tes fungsi paru (Spirometri)
- USG Thorax
- Analisa Gas Darah
b. Terapi
2HRZE/4H3R3 :
a) Rifampisin 1x600 mg
b) Isoniazid 1x300 mg
c) Pirazinamid 1x500mg
d) Etambutol 1x500mg
e) Vitamin B6 1x10 mg
c. Monitoring
a) Efek samping obat
b) Keadaan umum
c) Tanda-tanda vital
d. Edukasi
a) TB merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui udara,
sehingga penggunaan masker sangat disarankan
b) Patuh dalam pengobatan TB selama jangka waktu yang ditetapkan
c) Perbaikan ventilasi dan penerangan rumah
d) Makan makanan yang bergizi dan olahraga
2. Atelektasis Paru
Assesment
Atelektasis Obstruktif (Mucus plug), Atelektasis Sikatrik (Infeksi TB)
Initial plan
Diagnosis
- Bronchoalveolar Lavage
- Transbronchial Needle Aspiration
Terapi
- Terapi oksigenasi 3 lpm
Monitoring
- Evaluasi sitologi sputum berkala setiap 4 bulan
- Evaluasi Foto Thorax berkala setiap 4 bulan
- Keadaan umum dan tanda-tanda vital, dan SpO2
a. Edukasi
- Meminimalisir paparan asap rokok
- Menjalani pengobatan yang patuh apabila memiliki penyakit yang
meningkatkan risiko atelektasis
3. Diabetes Mellitus Tipe 2
Assesment
Status Glikemik
Komplikasi :
- Akut : Hiperglikemia (HHS, KAD) & Hipoglikemia
- Kronik : Mikrovaskuler (Nefropati Diabetik, Neuropati Diabetik,
Retinopati Diabetik) & Makrovaskuler (Penyakit jantung koroner, gagal
jantung, stroke, ulkus DM)
Initial plan
a. Diagnosis
GDP, GD2PP, EKG, Funduskopi
b. Terapi
Ryzodeg 12-0-12
c. Monitoring
KU, TTV,
GDS
d. Edukasi
- Makan 3-5 sendok nasi dengan lauk dan sayur sehari 3x
- Olahraga 3-5x dalam 1 minggu dengan durasi 10-15 menit
- Menghindari makan buah yang manis seperti durian, nangka,
rambutan, kelengkeng
- Memperbanyak konsumsi sayuran
- Mengganti gula biasa dengan gula jagung
4. Hipertensi Stage I
Assesment
Komplikasi
- Penyakit jantung (LVH, Sindrom Koroner Akut, Gagal Jantung)
Initial plan
a. Diagnosis
EKG
b. Terapi
Amlodipin 1x10mg
c. Monitoring
- Keadaan Umum
- Tanda-tanda vital
- EKG
d. Edukasi
- Modifikasi gaya hidup dengan membatasi konsumsi garam (6mg/hari)
- Olahraga (bersepeda, jalan kaki) 3 kali seminggu selama 15-30 menit
- Minum obat rutin, istirahat yang cukup, dan pengendalian stres
5. Hiponatremia Sedang
Assesment
Sindrom of Inappropriate Antidiuretic Hormone
a. Diagnosis
Osmolalitas urin
b. Terapi
Infus NaCl 3% 20 tpm
c. Monitoring
a) Kadar Natrium
b) TTV dan KU
d. Edukasi
a) Tingkatkan makanan tinggi natrium (susu dan sosis)
b) Minum air sebanyak cairan yang keluar
I. PROGRESS NOTE
Tanggal Follow Up
Selasa, 21 Juni 2022 S Batuk (+) dahak tidak bisa keluar, Sesak kadang-kadang
(+)
O KU : tampak lemas
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 139
TTV
TD : 142/91 mmHg
Nadi : 82x/ menit, regular, kuat angkat
RR : 20x/ menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 98% dengan nasal canul 3 lpm
GDS : 484 mg/dL
Natrium : 127mmol/L
Pemeriksaan fisik :
- Inspeksi paru : Hemithorax asimetris, gerakan dada
kanan tertinggal
- Palpasi paru : Taktil fremitus melemah pada paru
kanan
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler melemah,
Ronkhi basah halus pada basal paru pada paru
kanan
A Dx klinis : TB Paru, Atelektasis paru kanan atas, Diabetes
Mellitus Tipe 2, Hipertensi stage 1, Hiponatremia
P - Monitoring KU dan TTV, SpO2, GDS pagi dan sore
- Tatalaksana
OAT FDC 1x3 tab jam 20.00
a) Rifampisin 1x600 mg
b) Isoniazid 1x300 mg
c) Pirazinamid 1x500mg
d) Etambutol 1x500mg
e) Vitamin B6 1x10 mg
Ryzodeg 12-0-12
Amlodipin 1x10mg
Koreksi Hiponatremi Hari ke 2 : Infus NaCl 3%
10 tpm
Rabu, 22 Juni 2022 S Batuk (+) dahak (+), Sesak berkurang, Pusing sedikit
O KU : baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
TTV
TD : 183/100 mmHg
Nadi : 118 x/ menit, regular, kuat angkat
RR : 20x/ menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 98% tanpa oksigenasi
GDS Pagi : 230 mg/dL
GDS Sore : 361 mg/dL
Natrium : 133mmol/L
Pemeriksaan fisik
- Inspeksi paru : Hemithorax asimetris, gerakan dada
kanan tertinggal
- Palpasi paru : Taktil fremitus melemah pada paru
kanan
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler melemah,
Ronkhi basah halus pada basal paru pada paru
kanan
A Dx klinis : TB Paru, Atelektasis paru kanan atas, Diabetes
Mellitus Tipe 2, Hipertensi stage 1, Hiponatremia
P - Monitoring KU dan TTV, SpO2, GDS pagi dan sore
- Tatalaksana :
OAT FDC 1x3 tab jam 20.00
a) Rifampisin 1x600 mg
b) Isoniazid 1x300 mg
c) Pirazinamid 1x500mg
d) Etambutol 1x500mg
e) Vitamin B6 1x10 mg
Ryzodeg 14-0-14
Amlodipin 1x10mg
Infus RL 15 tpm
Infus Tutosol 15 tpm
- Persiapan Bronchoscopy :
1. Puasa mulai Rabu jam 03.00
2. Codein 20mg (Selasa 22.00 dan Rabu 06.00)
3. Injeksi Sulfas Atropin dan Ondancentron 1 jam
sebelum tindakan
4. Nebulisasi Pulmicort+Combivent 30 menit
sebelum tindakan
Kamis, 23 Juni 2022 S Batuk (+) berkurang hanya terkadang, tanpa dahak
O KU : Baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
TTV (06.00)
TD : 139/86 mmHg
Nadi : 125 x/ menit, regular, kuat angkat
RR : 20x/ menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 99% tanpa terapi oksigenasi
GDS Pagi : 176mg/dL
TTV (12.00) – Post Bronchoscopy
TD : 121/73 mmHg
Nadi : 100x/ menit, regular, kuat angkat
RR : 20x/ menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 99% tanpa terapi oksigenasi
Pemeriksaan fisik
- Inspeksi paru : Hemithorax asimetris, gerakan dada
kanan tertinggal
- Palpasi paru : Taktil fremitus melemah pada paru
kanan
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler melemah, Ronkhi
basah halus pada basal paru pada paru kanan
A Dx klinis : TB Paru, Atelektasis paru kanan atas, Diabetes
Mellitus Tipe 2, Hipertensi stage 1, Hiponatremia
P Post Bronchoscopy :
Cek PA bilasan Bronchus hasil tanggal 30 Juni 2022
ACC BLPL bila KU dan TTV stabil 6 jam setelah
bronchoscopy
Hasil Bronchoscopy :
Atelektasis paru kanan dengan penyempitan orifisium
LAKa disertai edema mukosa
Obat pulang :
Ryzodeg Inj 14-0-14
Vit B6 (Pyridoxine) 1x20 mg Tab
Omeprazole Caps 2x20 mg
Amlodipin 1x10mg
FDC TAB INTENSIF :
a) Rifampisin 1x600 mg
b) Isoniazid 1x300 mg
c) Pirazinamid 1x500mg
d) Etambutol 1x500mg
30 Juni 2022 Hasil Sitologi Bilasan Bronchus
Makroskopis : 1 botol berisi cairan dengan volume +- 60 cc, waran
putih, keruh, berlendir
Mikroskopis :
Sediaan sitologi bilasan bronkhus mengandung sel sel epitel
skuamosa, epitel torak respiratorius tersebar, inti dalam batas
normal, disekitarnya tersebar banyak sel-sel limfosit, leukosit PMN
Tidak ditemukan sel atipik pada sediaan ini.
Kesimpulan : Proses inflamasi non spesifik
J. ANALISIS MASALAH
Pasien dirawat di RS Tugurejo semarang pada tanggal 20 Juni 2022.
Pada dengan keluhan batuk sejak 2 bulan yang lalu (Mei 2022). Keluhan batuk
muncul saat malam hari disertai dengan dahak yang sulit keluar. Dahak pernah
keluar 1x berwarna kuning. Keluhan batuk sangat menganggu aktifitas dan
membuat pasien tidak bisa tidur. Batuk dirasakan saat posisi pasien sedang
berbaring, dan berkurang saat pasien duduk dan beraktivitas. Pasien juga
mengeluhkan sesak saat batuk terus menerus, lemas, sulit tidur, berkeringat di
malam hari, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan yang awalnya 50 kg
dalam waktu 2 bulan menjadi 42 kg. Pasien juga terkadang merasakan kesemutan
pada bagian jari tangan. Keluhan mual dan muntah disangkal, BAB dan BAK
dalam batas normal.
Sebelumnya, pasien telah memeriksakan diri ke puskesmas, namun
keluhan tidak berkurang. Kemudian, pasien melakukan pemeriksaan X-Foto
Thorax (08 Juni 2022) dan selanjutnya memeriksakan diri ke Poli Paru RSUD
Tugurejo Semarang. Hasil X-Foto Thorax didapatkan bahwa dicurgai adanya
atelektasis dengan nodul dan hasil pemeriksaan TCM didapatkan adanya MTB
DETECTED MEDIUM-TB SENSITIF. Pasien dirawatinapkan untuk melakukan
tindakan bronchoscopy.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemas, kesadaran
compos mentis dengan TD 142/91 mmHg, N : 82X/menit, RR : 22x/menit, suhu :
36,5 C, BB 42 kg, TB ; 155 cm dengan IMT 17,5 dan resiko jatuh sedang.
Pemeriksaan status generalisata didapatkan Inspeksi paru : hemithorax asimetris,
gerakan dada kanan tertinggal, Palpasi paru : Taktil fremitus melemah pada paru
kanan, Auskultasi : Suara dasar vesikuler melemah, Ronkhi basah halus pada
basal paru pada paru kanan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Eosinofil
rendah, Neutrofil tinggi, Limfosit tinggi, Monosit tinggi, HbA1C tinggi, Glukosa
sewaktu tinggi, Natrium rendah. Pada pemeriksaan X-foto Thorax didapatkan
curiga atelektasis dengan nodul. Pada pemeriksaan diagnostik TB paru didapatkan
hasil TCM (+) dan BTA (+). Hasil pemeriksaan Bronchoscopy didapatkan
Atelektasis paru kanan dengan penyempitan orifisium LAKa disertai edema
mukosa. Pemeriksaan Sitologi Bilasan Bronkus didapatkan hasil Makroskopis : 1
botol berisi cairan dengan volume +- 60 cc, waran putih, keruh, berlendir.
Mikroskopis : Sediaan sitologi bilasan bronkhus mengandung sel sel epitel
skuamosa, epitel torak respiratorius tersebar, inti dalam batas normal, disekitarnya
tersebar banyak sel-sel limfosit, leukosit PMN Tidak ditemukan sel atipik pada
sediaan ini. Kesimpulan : Proses inflamasi non spesifik.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan hasil yang didapatkan pada pasien ini mengarah pada Tuberkulosis Paru
dengan Atelektasis Paru, DM Tipe II, Hipertensi Stage I dan Hiponatremia.
K. ALUR PIKIR
Hiponatremia
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tuberkulosis
A. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam
(BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim
paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki
kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti
pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya.1
B. Etiologi dan transmisi
Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB: Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum,
Mycobacterium microti and Mycobacterium cannettii. M.tuberculosis
(M.TB), hingga saat ini merupakan bakteri yang paling sering ditemukan,
dan menular antar manusia melalui rute udara. Tuberkulosis biasanya
menular dari manusia ke manusia lain lewat udara melalui percik renik atau
droplet nucleus (<5 mikrons) yang keluar ketika seorang yang terinfeksi TB
paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik renik, yang merupakan
partikel berdiameter 1-5 mikrons, bersifat sangat infeksius, dan dapat
bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil,
percik renik ini memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru,
dimana bakteri kemudian melakukan replikasi.
Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB :
a. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
b. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang dan
ventilasi.
c. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan minim
ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu yang
lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili
dengan cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan
yang gelap. Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi
meningkatkan risiko penularan.1
C. Faktor resiko
Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah :
a. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
b. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu
panjang.
c. Perokok
d. Konsumsi alkohol tinggi
e. Anak usia <5 tahun dan lansia
f. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang
infeksius.
g. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis
(contoh: lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka
panjang)
h. Petugas kesehatan.1
D. Klasifikasi
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis :
a) TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena
terdapat lesi di paru.
b) TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen,
saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus
TB ekstra paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah
diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.1
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :
a) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT
sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (<
dari 28 dosis bila memakai obat program)
b) Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat
program).
c) Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir
pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali
(karena reaktivasi atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
d) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
e) Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan
OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari
2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil
pengobatan.
f) Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
g) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien
yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak
dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.1
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
a) Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
b) Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan
c) Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid
(H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
d) Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan
amikasin).
e) Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin
baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk
TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan
terhadap rifampisin.1
E. Patofisiologi
a. TB primer
Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan menempati
alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian bawah lobus
superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian
mengalami terfagosistosis oleh makrofag; produk mikobakterial mampu
menghambat kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus,
sehingga bakteri dapat melakukan replikasi di dalam makrofag.
Makrofag dan monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan
dan bermigrasi menuju fokus infeksi dan memproduksi respon imun.
Area inflamasi ini kemudian disebut sebagai Ghon focus. Basili dan
antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui jalur
limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks (Ghon)
primer. Respon inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal nekrosis
kaseosa. Di dalam nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu respon
imun spesifik dan mengaktivasi makrofag untuk menghambat
pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus primer ini mengandung
1,000–10,000 basili yang kemudian terus melakukan replikasi. Area
inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan dengan jaringan
fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya terdapat makrofag yang
mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem imun host
adekuat. Beberapa basili tetap
dorman di dalam fokus primer untuk beberapa bulan atau tahun, hal ini
dikenal dengan “kuman laten”. Infeksi primer biasanya bersifat
asimtomatik dan akan menunjukkan hasil tuberkulin positif dalam 4-6
minggu setelah infeksi. Dalam beberapa kasus, respon imun tidak cukup
kuat untuk menghambat perkembangbiakan bakteri dan basili akan
menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh
tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB
primer progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus
primer, sehingga dapat ditemukan banyak area menunjukkan gambaran
nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran
klinis yang serupa dengan TB post primer.1
b. TB pasca primer
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai
kembali bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari
melemahnya sistem imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi
ketika seorang yang pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali
oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam
sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi
primer. Setelah terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi
penyakit intra- torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding pada
orang dewasa. Foto toraks.1
F. Manifestasi klinis
Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat
menunjukkan manifestasi klinis sebagai berikut:
a. Batuk >2 minggu
b. Batuk berdahak
c. Batuk berdahak dapat bercampur darah
d. Dapat disertai nyeri dada
e. Sesak napas
Dengan gejala lain meliputi :
a. Malaise
b. Penurunan berat badan
c. Menurunnya nafsu makan
d. Menggigil
e. Demam
f. Berkeringat di malam hari.1
G. Penegakan Diagnosis
- Atelektasis Obstruktif
Atelektasis obstruktif merupakan jenis atelektasis yang paling sering ditemukan.
Atelektasis obstruktif diakibatkan oleh reabsorpsi gas dalam alveolus ketika
terjadi obstruksi antara alveoli dan trakea, sehingga segmen paru yang berada
lebih distal dari obstruksi akan kolaps. Hal-hal yang bisa menyebabkan atelektasis
obstruktif antara lain : Tumor: bronkus, metastasis, Inflamasi: tuberkulosis,
sarkoidosis, Lainnya: mucus plug, bronkopneumonia, bronkitis, bronkiektasis,
benda asing saluran napas[1,2,4]
- Atelektasis Nonobstruktif
Atelektasis nonobstruktif dapat dibagi lagi menjadi atelektasis kompresi, adhesi,
sikatrik, relaksasi, dan replacement.
1. Atelektasis Kompresi
Atelektasis kompresi terjadi akibat adanya space-occupying lesion yang
menekan jaringan paru dan mendorong udara keluar dari paru-paru. Space-
occupying lesion dapat berupa tumor perifer, penyakit interstitial, atau
kondisi air trapping di jaringan paru pada emfisema. Pada pembedahan,
posisi supinasi dan penggunaan agen paralitik selama anestesi umum juga
dapat meningkatkan tekanan pleura dan mengurangi volume paru-paru,
mengakibatkan atelektasis kompresi.[4]
2. Atelektasis Adhesif
Pada keadaan normal, surfaktan mengurangi tegangan permukaan alveolus,
sehingga mencegah terjadinya kolaps. Penurunan produksi atau inaktivasi
surfaktan menyebabkan defisiensi surfaktan, sehingga terjadi instabilitas dan
kolaps alveolus, misalnya acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada
neonatus prematur.[6]
3. Atelektasis Sikatrik
Proses scarring dapat menyebabkan penurunan volume paru, menimbulkan
atelektasis sikatriks, misalnya pada penyakit granulomatosa, tuberkulosis
paru, atau pneumonia necrotizing.
4. Atelektasis Relaksasi
Hilangnya kontak antara pleura parietal dan visceral, misalnya
pada pneumothorax atau efusi pleura, menimbulkan atelektasis pasif atau
relaksasi. Kondisi lain yang dapat menimbulkan atelektasis pasif antara lain
pembedahan thorax dan abdomen, kolaps bagian basal paru akibat anestesi,
dan hernia diafragma.
Faktor Risiko
Beberapa keadaan berikut dapat meningkatkan risiko terjadinya atelektasis:
Kelainan paru: penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), trauma thorax,
riwayat merokok, keganasan, efusi pleura, retensi mukus pada jaringan
paru
Komorbiditas: obesitas, gagal ginjal, penyakit autoimun, tirah baring
berkepanjangan, riwayat anestesi atau tindakan bedah
Keadaan fisiologis: penuaan, kehamilan
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik atelektasis dapat ditemukan takipnea. Pemeriksaan
saturasi oksigen dapat membantu menilai keparahan atelektasis dan disfungsi
paru. Dapat dijumpai sianosis, hipotensi, takikardia, hingga gejala syok pada
kasus yang lebih berat. Pada inspeksi, dapat dijumpai kurangnya ekspansi dinding
dada saat inspirasi di sisi paru yang terkena. Auskultasi paru dapat menunjukkan
suara napas yang menurun atau menghilang dan crackles, sedangkan pada
perkusi dapat ditemukan dullness di area lobus yang terkena.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis atelektasis dapat ditegakkan dengan bantuan berbagai modalitas
pencitraan, termasuk di dalamnya rontgen thorax, CT scan dada, dan USG dada.
- Rontgen Thorax
Umumnya atelektasis dapat terlihat di rontgen thorax jika ukurannya signifikan.
Rontgen thorax akan menunjukkan garis horizontal atau platelike di area paru
yang mengalami atelektasis, juga hilangnya volume paru dan pergeseran fisura
lobus, mediastinum, atau diafragma ke arah unit paru yang terkena. Jaringan
paru yang terkena umumnya tampak lebih opak.
- CT Scan Dada
CT scan dada merupakan baku emas untuk menilai atelektasis perioperatif. CT
scan dada umumnya menunjukkan peningkatan densitas dan berkurangnya
volume pada sisi paru yang terkena.
- Ultrasonografi
Meskipun baku emas pemeriksaan atelektasis perioperatif adalah CT scan,
ultrasonografi lebih mudah dilakukan pada pasien perioperatif. USG
memungkinkan untuk memeriksa kondisi paru-paru pasien beberapa kali di
dalam ruang operasi, bahkan selama pembedahan berlangsung. Hasil
pemeriksaan bisa menunjukkan air bronchogram dan konsolidasi.
- Bronkoskopi Fiberoptic
Digunakan untuk menentukan letak kompresi pada atelektasis kompresi. Pada
atelektasis obstruksi, bronkoskopi bisa digunakan untuk menentukan penyebab
obstruksi, sekaligus mengambil benda asing yang menyebabkan obstruksi.
Indikasi Bronkoskopi :
- Batuk
- Batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya
- Obstruksi dan atelektasis
- Adanya benda asing dalam saluran nafas
- Pemeriksaan Bronchoalveolar Lavage
- Carsinoma Bronkhus (Ada bukti sitologi atau masih tersangka)
- Penentuan derajat karsinoma bronkhus
Indikasi Terapi :
- Mengeluarkan sekret/gumpalam mukus yang bertahan pencylubatelektasis,
pneumonia, abses paru.
E. Penatalaksanaan
- Oksigenasi dan Reekspansi Paru
Pada atelektasis yang menyebabkan hipoksia, dibutuhkan oksigenasi untuk
mencapai saturasi oksigen arteri 90% atau lebih. Continuous positive airway
pressure (CPAP) melalui nasal kanul atau masker dapat efektif meningkatkan
oksigenasi dan membantu reekspansi paru.
Kasus hipoksia berat disertai distres pernapasan memerlukan intubasi dan
ventilasi mekanik. Selain untuk oksigenasi, intubasi memberikan akses
untuk suction jalan napas dan bronkoskopi jika diperlukan. Ventilasi tekanan
positif dan volume tidal yang lebih besar dapat membantu reekspansi paru.
Bronkoskopi Fiberoptic
Bronkoskopi dilakukan ketika dicurigai terdapat obstruksi bronkus dan upaya
batuk, penggunaan suction, fisioterapi, atau bronkodilator tidak berhasil. Sebuah
studi menunjukkan bahwa bronkoskopi membantu mengetahui derajat dan
penyebab obstruksi trakeobronkial.
Terapi Farmakologis
Nebulisasi dengan N-acetylcystein dapat dilakukan pada atelektasis akibat
mucus plug untuk meningkatkan klirens sekresi. Bronkodilator dapat bermanfaat
sebagai ekspektoran dan membantu meningkatkan ventilasi.
Antibiotik spektrum luas diindikasikan jika penyebab atelektasis adalah infeksi.
Antibiotik juga diberikan pada atelektasis pasca pembedahan. Jika terdapat hasil
kultur sputum atau sekresi bronkus, pemberian antibiotik disesuaikan dengan
hasil pemeriksaan. Pemberian antitusif umumnya dihindari karena mengurangi
refleks batuk dan dapat mengakibatkan obstruksi lebih lanjut. Penggunaan
analgesik perioperatif dapat memudahkan pasien bernapas lebih dalam, batuk
lebih keras, dan berpartisipasi dalam manuver fisioterapi dada.
F. Deteksi Dini Keganasan Paru
Gambar 9 etiologi DM
D. Faktor resiko
a) Orang yang berusia lebih dari 40 tahun h
b) Ras/etnis tertentu (penduduk asli Amerika, Afrika Amerika, Hispanik,
atau Asia Amerika, Kepulauan Pasifik),
c) Orang yang kelebihan berat badan atau obesitas
d) Kerabat tingkat pertama dengan diabetes mellitus
e) Riwayat penyakit kardiovaskular atau hipertensi
f) Kolesterol HDL rendah atau hipertrigliseridemia,
g) Wanita dengan sindrom ovarium polikistik
h) Kurang aktifitas fisik
i) Memiliki riwayat diabetes gestasional atau melahirkan bayi dengan
berat berlebih
j) Kondisi yang berhubungan dengan resistensi insulin, misalnya
Acanthosis nigricans.11,12
E. Patofisiologi
DM tipe 2 adalah kondisi resistensi insulin dengan disfungsi sel beta terkait.
Awalnya, ada peningkatan kompensasi dalam sekresi insulin, yang
mempertahankan kadar glukosa dalam kisaran normal. Seiring
perkembangan penyakit, sel beta berubah, dan sekresi insulin tidak mampu
mempertahankan homeostasis glukosa, menghasilkan hiperglikemia.
Sebagian besar pasien DMT2 mengalami obesitas atau memiliki persentase
lemak tubuh yang lebih tinggi, terdistribusi terutama di daerah perut.
Jaringan adiposa ini sendiri meningkatkan resistensi insulin melalui
berbagai mekanisme inflamasi, termasuk peningkatan pelepasan FFA dan
disregulasi adipokin. Kurangnya aktivitas fisik, GDM sebelumnya pada
mereka dengan hipertensi atau dislipidemia juga meningkatkan risiko
mengembangkan T2DM. Data yang berkembang menunjukkan peran
disregulasi adipokin, peradangan.12
F. Diagnosis
Pasien dengan diabetes mellitus paling sering datang dengan rasa
haus yang meningkat, buang air kecil yang meningkat, kekurangan energi
dan kelelahan, infeksi bakteri dan jamur, dan penyembuhan luka yang
tertunda. Beberapa pasien juga bisa mengeluh mati rasa atau kesemutan di
tangan atau kaki mereka atau dengan penglihatan kabur.
Menurut American Diabetes Association (ADA), diagnosis
diabetes adalah melalui salah satu dari berikut ini: Tingkat HbA1c 6,5%
atau lebih tinggi; Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
atau lebih tinggi (tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam), Tingkat
glukosa plasma dua jam 11,1 mmol/L atau 200 mg/dL atau lebih tinggi
selama 75-g
OGTT; Glukosa plasma sewaktu 11,1 mmol/L atau 200 mg/dL atau lebih
tinggi pada pasien dengan gejala hiperglikemia (poliuria, polidipsia,
polifagia, penurunan berat badan) atau krisis hiperglikemik. ADA
merekomendasikan skrining orang dewasa berusia 45 tahun dan lebih tua
terlepas dari risiko, sedangkan Satuan Tugas Layanan Pencegahan
Amerika Serikat menyarankan skrining individu antara 40 sampai 70 tahun
yang kelebihan berat badan.
b. Farmakoterapi
a) Obat oral
metformin adalah terapi lini pertama. Setelah metformin, banyak
terapi lain seperti sulfonilurea oral, dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4)
inhibitor. Agonis reseptor glukagon-like peptide-1 (GLP-I), inhibitor
Sodium-glucose co-transporter-2 (SGLT2), pioglitazon.13
Tabel 11 OHO
b) Insuli
n
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi
insulin yang fisiologis. Defisiensi insulin dapat berupa defisiensi
insulin basal, insulin prandial (setelah makan), atau keduanya.
Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia
pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
menyebabkan timbulnya hiperglikemia setelah makan.
Dalam menggunakan insulin, dosis dinaikan secara bertahap.
Apabila
kadar glukosa darah belum terkontrol, titrasi dosis dapat dilakukan
setiap 2- 3 hari. Cara mentitrasi dosis insulin basal :
- Naikan dosis 2 unit bila glukosa darah puasanya di atas 126
mg/dl
- Naikan dosis 4 unit bila glukosa darah puasanya di atas 144
mg/dl
- Titrasi dosis ini dapat dilakukan selama 2-3 bulan pertama
sampai kadar glukosa darah puasa mencapai kadar yang
diinginkan
Jika nilai HbA1c masih belum mencapai target, setelah kadar
glukosa darah puasa terkendali dengan regimen basal insulin, maka
dibutuhkan insulin lain untuk menurunkan HbA1c, yaitu dengan
menambahkan insulin prandial. Pemberian basal insulin dengan
menambahkan insulin prandial disebut dengan terapi basal plus.
Jika dengan pemberian cara di atas belum mendapatkan hasil yang
optimal, maka pemberian insulin kerja cepat dapat diberikan setiap
mau makan. Cara pemberian insulin seperti ini disebut dengan
basal bolus.13
H. Prognosis
DM dikaitkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular
aterosklerotik (ASCVD) dan pengobatan tekanan darah, penggunaan
statin, olahraga teratur, dan berhenti merokok sangat penting dalam
mengurangi risiko. Kelebihan kematian secara keseluruhan pada mereka
dengan DMT2 adalah sekitar 15% lebih tinggi tetapi sangat bervariasi.
Prevalensi retinopati diabetik yang mengancam penglihatan di Amerika
Serikat adalah sekitar 4,4% di antara orang dewasa dengan diabetes,
sedangkan 1% untuk penyakit ginjal stadium akhir. Saat ini, dengan
farmakoterapi untuk hiperglikemia, serta menurunkan kolesterol LDL
dan mengelola tekanan
darah dengan terapi ACE/ARB, dengan obat antihipertensi lain dan aspirin
dalam pencegahan sekunder, komplikasi vaskular dapat dikelola secara
memadai, menghasilkan penurunan morbiditas dan mortalitas.12
I. Komplikasi
Hiperglikemia yang persisten pada diabetes mellitus yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan beberapa komplikasi, baik akut maupun
kronis. Diabetes mellitus adalah salah satu penyebab utama penyakit
kardiovaskular (CVD), kebutaan, gagal ginjal, dan amputasi anggota tubuh
bagian bawah. Komplikasi akut termasuk hipoglikemia, ketoasidosis
diabetikum, keadaan hiperosmolar hiperglikemik, dan koma diabetik
hiperglikemik. Komplikasi mikrovaskular kronis adalah nefropati,
neuropati, dan retinopati, sedangkan komplikasi makrovaskular kronis
adalah penyakit arteri koroner (CAD), penyakit arteri perifer (PAD), dan
penyakit serebrovaskular. Diperkirakan setiap tahun 1,4 hingga 4,7%
orang paruh baya dengan diabetes memiliki kejadian CVD.12
6. Hipertensi Stage 1
A. Definisi
Hipertensi arteri sistemik (selanjutnya disebut hipertensi) ditandai dengan
tekanan darah tinggi yang menetap (BP) di arteri sistemik. Tekanan darah
biasanya dinyatakan sebagai rasio tekanan darah sistolik (yaitu, tekanan
yang diberikan darah pada dinding arteri saat jantung berkontraksi) dan
tekanan darah diastolik (tekanan saat jantung berelaksasi). Beberapa
etiologi dapat mendasari hipertensi. Mayoritas (90-95%) pasien memiliki
hipertensi 'esensial' atau primer yang sangat heterogen dengan etiologi
lingkungan gen multifaktorial. Riwayat keluarga yang positif sering terjadi
pada pasien dengan hipertensi, dengan heritabilitas (ukuran seberapa
banyak variasi sifat yang disebabkan oleh variasi faktor genetik)
diperkirakan antara 35% dan 50% di sebagian besar penelitian. Hipertensi
adalah faktor risiko paling umum yang dapat dicegah untuk penyakit
kardiovaskular (CVD; termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung,
stroke, infark miokard, fibrilasi atrium dan penyakit arteri perifer),
penyakit ginjal kronis (CKD) dan gangguan kognitif, dan merupakan
penyakit tunggal utama. kontributor semua penyebab kematian dan
kecacatan di seluruh dunia.16
B. Epidemiologi
Dalam masyarakat pra-industri, tingkat BP memiliki distribusi yang sempit
dengan nilai rata-rata yang berubah sedikit dengan usia dan rata-rata
sekitar 115/75 mmHg ., nilai yang mungkin mewakili tekanan darah
normal (atau ideal) untuk manusia. Namun, di sebagian besar masyarakat
kontemporer, tingkat tekanan darah sistolik meningkat dengan mantap dan
terus menerus seiring bertambahnya usia baik pada pria maupun wanita.
Temuan di mana- mana ini dapat dijelaskan karena usia adalah proksi
untuk kemungkinan dan durasi paparan berbagai faktor lingkungan yang
meningkatkan tekanan darah secara bertahap dari waktu ke waktu, seperti
konsumsi natrium yang berlebihan, asupan kalium yang tidak mencukupi,
kelebihan berat badan dan obesitas, asupan alkohol dan fisik. tidak aktif.
Faktor lain, seperti predisposisi genetik atau lingkungan intrauterin yang
merugikan (seperti hipertensi gestasional atau preeklamsia), memiliki
hubungan yang kecil tetapi pasti dengan kadar BP yang tinggi di masa
dewasa .. Bahkan sedikit peningkatan tekanan darah rata-rata populasi
menyebabkan peningkatan besar dalam jumlah absolut orang dengan
hipertensi. Seiring perkembangan ekonomi, hipertensi pada awalnya
mempengaruhi mereka yang memiliki status sosial ekonomi tinggi, tetapi
pada tahap perkembangan ekonomi selanjutnya, prevalensi hipertensi dan
konsekuensinya paling besar pada mereka yang memiliki status sosial
ekonomi rendah; Fenomena ini terlihat baik di dalam maupun antar
negara. Selanjutnya, kecepatan perubahan prevalensi hipertensi sejak
tahun 2000 hingga 2010 jauh lebih cepat dibandingkan dengan transisi
epidemiologi sebelumnya.17
C. Etiologi
Sebagian besar kasus hipertensi adalah idiopatik yang juga dikenal
sebagai hipertensi esensial. Telah lama disarankan bahwa peningkatan
asupan garam meningkatkan risiko terkena hipertensi. Salah satu faktor
yang dijelaskan untuk pengembangan hipertensi esensial adalah
kemampuan genetik pasien untuk respon garam. Sekitar 50 hingga 60%
pasien sensitif terhadap garam dan karena itu cenderung mengalami
hipertensi. Penyebab hipertensi sekunder diuraikan dalam tabel 6.
D. Patofisiologi
Tekanan darah ditentukan oleh beberapa parameter sistem kardiovaskular,
termasuk volume darah dan curah jantung (jumlah darah yang dipompa
oleh jantung per menit) serta keseimbangan tonus arteri yang dipengaruhi
oleh volume intravaskular dan sistem neurohumoral. bagian berikut).
Pemeliharaan tingkat tekanan darah fisiologis melibatkan interaksi
kompleks dari berbagai elemen sistem neurohumoral terintegrasi yang
mencakup sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), peran peptida
natriuretik dan endotel, sistem saraf simpatik (SNS) dan sistem imun.
Malfungsi atau gangguan dari faktor-faktor yang terlibat dalam kontrol BP
di salah satu sistem ini dapat secara langsung atau tidak langsung
menyebabkan peningkatan rata-rata BP, variabilitas BP atau keduanya,
dari waktu ke waktu mengakibatkan kerusakan organ target (misalnya,
hipertrofi ventrikel kiri dan CKD) dan hasil CVD.
Mekanisme patofisiologis yang bertanggung jawab untuk hipertensi adalah
kompleks dan bertindak berdasarkan latar belakang genetik. Hipertensi
primer melibatkan beberapa jenis gen; beberapa varian alelik dari beberapa
gen dikaitkan dengan peningkatan risiko mengembangkan hipertensi
primer dan di hampir semua kasus terkait dengan riwayat keluarga yang
positif. Predisposisi genetik ini, bersama dengan sejumlah faktor
lingkungan, seperti asupan Na + yang tinggi, kualitas tidur yang buruk
atau sleep apnea, asupan alkohol berlebih dan stres mental yang tinggi,
berkontribusi pada perkembangan hipertensi. Akhirnya, kemungkinan
terjadinya hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia, karena
kekakuan progresif dari pembuluh darah arteri yang disebabkan oleh, di
antara faktor-faktor lain, perubahan kolagen vaskular yang perlahan
berkembang dan peningkatan aterosklerosis. Faktor imunologis juga dapat
memainkan peran utama, terutama pada latar belakang penyakit menular
atau reumatologis seperti rheumatoid arthritis. Teori mosaik hipertensi
menjelaskan patofisiologi multifasetnya.17
E. Diagnosis
1. Anemnesis
Pada umumnya, penderita hipertensi esensial tidak memiliki
keluhan. Keluhan yang dapat muncul antara lain: nyeri kepala, gelisah,
palpitasi, pusing, leher kaku, penglihatan kabur, nyeri dada, mudah
lelah, dan impotensi. Nyeri kepala umumnya pada hipertensi berat,
dengan ciri khas nyeri regio oksipital terutama pada pagi hari.
Anamnesis identifikasi faktor risiko penyakit jantung, penyebab
sekunder hipertensi, komplikasi kardiovaskuler, dan gaya hidup pasien.
a. Anamnesis faktor resiko
a) Riwayat hipertensi, penyakit jantung, stroke, penyakit ginjal
pribadi dan di keluarga
b) Riwayat faktor risiko pribadi dan di keluarga (contoh:
hiperkolesterolemia familial)
c) Riwayat merokok
d) Riwayat diet dan konsumsi garam
e) Konsumsi alkohol
f) Kurang aktivitas fisik/ gaya hidup tidak aktif
g) Riwayat disfungsi ereksi
h) Riwayat tidur, merokok, sleep apnoea (informasi juga dapat
diberikan oleh pasangan)
i) Riwayat hipertensi pada kehamilan/pre-eklampsia
b. Anamnesis kemungkinan hipertensi sekunder
a) Awitan hipertensi derajat 2 atau 3 usia muda (< 40 tahun),
perkembangan hipertensi tiba-tiba, atau tekanan darah cepat
memburuk pada pasien usia tua
b) Riwayat penyakit ginjal/traktus urinarius
c) Penggunaan obat/penyalahgunaan zat/terapi lainnya:
kortikosteroid, vasokonstriktor nasal, kemoterapi, yohimbine,
liquorice
d) Episode berulang berkeringat, nyeri kepala, ansietas, atau
palpitasi, sugestif phaeochromocytoma
e) Riwayat hipokalemia spontan atau terprovokasi diuretik,
episode kelemahan otot, dan tetani (hiperaldosteronisme)
f) Gejala penyakit tiroid/ hiperparatiroidisme
g) Riwayat kehamilan saat ini dan/atau penggunaan kontrasepsi
oral
h) Riwayat sleep apnoea
c. Anamnesis riwayat dan Gejala Hypertension Mediated Organ
Damage (HMOD), Penyakit kardiovaskuler, Stroke, Penyakit
Ginjal
a) Otak dan mata: Nyeri kepala, vertigo, sinkop, gangguan
penglihatan, transient ischemic attact (TIA), defisit motorik
atau sensorik, stroke, revaskulerisasi karotis, gangguan kognisi,
demensia (pada lanjut usia)
b) Jantung: Nyeri dada, sesak napas, edema, infark miokard,
revaskulerisasi koroner, sinkop, riwayat berdebar-debar,
aritmia (terutama AF), gagal jantung
c) Ginjal: Haus, poliuria, nokturia, hematuria, infeksi traktus
urinarius
d) Arteri perifer: Ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten, jarak
berjalan bebas nyeri, nyeri saat istirahat, revaskulerisasi perifer
e) Riwayat Penyakit Ginjal Kronis (contoh: penyakit ginjal
polikistik) pribadi atau keluarga.17
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk menegakkan diagnosis hipertensi
dan skrining kerusakan organ target dan penyebab sekunder. Pasien
harus duduk dengan tenang selama 5 menit sebelum pembacaan
tekanan darah dilakukan dan manset tekanan darah harus setinggi
jantung. Rata - rata dari 2 sampai 3 pengukuran tekanan darah yang
diperoleh pada 2 sampai 3 kesempatan terpisah memberikan dasar
yang akurat untuk estimasi tekanan darah. Setidaknya sekali, BP harus
diukur pada kedua lengan, dan perbedaan SBP> 20 mmHg dan / atau
DBP> 10mmHg harus memulai penyelidikan kelainan vaskular.
Pemeriksaan fisik mungkin sulit dilakukan selain dari peningkatan
tekanan darah, tetapi kita perlu mencari tanda-tanda:
a. Koarktasio aorta (penundaan radio-radial, penundaan radio-
femoral, perbedaan TD lengan kiri dan kanan atau TD ekstremitas
atas dan bawah lebih dari 20mmHg)
b. Penyakit katup aorta (murmur ejeksi sistolik, bunyi jantung ke-4)
c. Penyakit renovaskular atau displasia fibromuskular (FMD) - (brut
ginjal, bruit karotis)
d. Ginjal polikistik (pembesaran ginjal bilateral)
e. Gangguan endokrin [hiperkortisolisme (kulit tipis, mudah memar,
hiperglikemia)
f. Gangguan tiroid (tiroid teraba/nyeri atau membesar] yang
merupakan penyebab umum hipertensi sekunder yang dapat diobati
g. Adanya bunyi jantung ke-4, yang menunjukkan ventrikel kiri yang
kaku dan tidak komplians, menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri
dan disfungsi diastolik.
h. Adanya ronki paru dan/atau edema perifer menunjukkan disfungsi
jantung dan memberikan petunjuk tentang kronisitas hipertensi.17
3. Pemeriksaan penunjang
Pengukuran tekanan darah rawat jalan adalah metode yang paling
akurat untuk mendiagnosis hipertensi dan juga membantu dalam
mengidentifikasi individu dengan hipertensi bertopeng serta efek jas
putih. Evaluasi terdiri dari mencari tanda-tanda kerusakan organ akhir
dan terdiri dari berikut ini,
a. EKG 12 sadapan (untuk mendokumentasikan hipertrofi ventrikel
kiri, denyut jantung, dan irama)
b. Fundoskopi untuk mencari retinopati/makulopati
c. Pemeriksaan darah meliputi hitung darah lengkap, LED, kreatinin,
eGFR, elektrolit, HbA1c, profil tiroid, kadar kolesterol darah, dan
asam urat serum
d. Rasio albumin urin terhadap kreatinin
e. Indeks tekanan pergelangan kaki-brakial - ABI (jika gejala
menunjukkan penyakit arteri perifer)
f. Pencitraan termasuk ultrasonografi doppler karotid, ekokardiografi,
dan pencitraan otak (di mana secara klinis dianggap layak)17
F. Klasifikasi
Tabel 7 klasifikasi hipertensi
Kategori tekanan Sistolik Diastolik
darah
Normal < 120 mmHg Dan < 80 mmHg
Hipertensi
G. Penatalaksanaan
dapat digunakan.
Gambar 9 algoritma penatalaksanaan hipertensi menurut JNC
b. Nonfarmako
Intervensi non-farmakologis merupakan salah satu cara efektif
untuk menurunkan tekanan darah; yang telah terbukti dengan uji klinis
adalah penurunan berat badan, Dietary Approaches to Stop Hypertension
(DASH), diet rendah garam, suplemen kalium, peningkatan aktivitas fisik,
dan pengurangan konsumsi alkohol. (tabel 5). Intervensi lain berupa
konsumsi probiotik, diet tinggi protein, serat, minyak ikan, suplemen
kalsium atau magnesium, terapi perilaku dan kognitif, belum banyak
didukung data dan penelitian yang kuat
H. Pencegahan
Perubahan gaya hidup, Intervensi yang paling efektif adalah penurunan
berat badan, pengurangan asupan Na +, peningkatan asupan kalium,
peningkatan aktivitas fisik, pengurangan konsumsi alkohol dan diet seperti
Dietary Approaches untuk Menghentikan Hipertensi (DASH) diet yang
menggabungkan beberapa elemen yang mempengaruhi tekanan darah.
Diet DASH sangat berhasil bila dikombinasikan dengan intervensi
penurunan tekanan darah efektif lainnya seperti pengurangan asupan
natrium. Perubahan gaya hidup adalah cara terbaik bagi individu untuk
menerapkan intervensi ini. Bahkan perbaikan kecil dalam gaya hidup
seseorang bisa sangat berharga. Situs web lembaga pemerintah dan
masyarakat profesional memberikan tips bermanfaat untuk perubahan
gaya hidup dan pemantauan
tekanan darah. Pemantauan tekanan darah yang cermat sangat penting
karena efek menguntungkan dari perubahan gaya hidup didasarkan pada
pemeliharaan intervensi17 Saran gaya hidup dianjurkan untuk semua pasien
dengan hipertensi. Intervensi yang paling efektif sama dengan pencegahan
hipertensi. Pendekatan diet yang ditargetkan dapat mengurangi tekanan
darah sistolik pada individu dengan hipertensi. Misalnya, mengurangi
asupan natrium (idealnya menjadi <2,3 g per hari, atau <1,5 g per hari
pada mereka yang paling rentan terhadap efek natrium pada BP, tetapi
pengurangan setidaknya 1,0 g per hari diinginkan) dapat menurunkan
tekanan darah sistolik. sebesar 2–4 mmHg. Penurunan serupa dapat
diharapkan dengan peningkatan asupan kalium menjadi 3,5-5,0 g per hari.
Kurangi asupan garamUntuk keseimbangan metabolisme, jumlah garam
yang dikonsumsi harus sama dengan yang hilang. Jadi, dalam kondisi
hidup normal dan tingkat aktivitas fisik, asupan 5 g garam/hari dianggap
cukup, sesuai dengan rekomendasi WHO (<5 g per hari). Sebaliknya,
perkiraan asupan garam saat ini sekitar 9-12 g per hari di sebagian
besar negara. Rekomendasi terbaru dari American Heart Association dan
American Society of Hypertension lebih ketat
daripada pedoman Eropa, merekomendasikan
penurunan asupan garam menjadi 3,8 g per hari, sedangkan pedoman
ESH/ESC 2013 merekomendasikan 5-6 g garam per hari
7. Hiponatremia
A. Definisi
Hiponatremia didefinisikan sebagai konsentrasi natrium serum kurang dari
135 mEq/L tetapi dapat bervariasi sampai batas tertentu tergantung pada
nilai yang ditetapkan dari berbagai laboratorium. Hiponatremia adalah
kelainan elektrolit umum yang disebabkan oleh kelebihan total air tubuh
dibandingkan dengan kandungan natrium total tubuh. konsentrasi natrium
serum tidak bergantung pada natrium tubuh total tetapi ditentukan oleh
rasio zat terlarut total tubuh (misalnya, natrium tubuh total dan kalium
total
tubuh) terhadap total air tubuh. Hiponatremia merupakan
ketidakseimbangan dalam rasio ini di mana air tubuh total lebih dari total
zat terlarut tubuh. Total body water (TBW) memiliki dua kompartemen
utama, extracellular fluid (ECF) sepertiga dan intracellular fluid (ICF),
dua pertiga sisanya. Natrium adalah zat terlarut utama ECF dan kalium
untuk ICF.20
B. Klasifikasi
Tabel klasifikasi hiponatremia21
C. Etiologi
Etiologi hiponatremia dapat diklasifikasikan berdasarkan status volume
cairan ekstraseluler. pasien dapat diklasifikasikan menjadi hipovolemik,
euvolemik, atau hipervolemik. Rangsangan fisiologis yang menyebabkan
pelepasan vasopresin bersamaan dengan peningkatan asupan cairan dapat
menyebabkan hiponatremia. Hipotiroidisme dan insufisiensi adrenal dapat
menyebabkan peningkatan pelepasan vasopresin. Rangsangan fisiologis
untuk pelepasan vasopresin termasuk hilangnya volume intravaskular
(hipovolemik hiponatremia) dan hilangnya volume efektif intravaskular
(hipervolemik hiponatremia).
a. Penyebab Hiponatremia Hipovolemik (TBW menurun lebih dari
penurunan total natrium tubuh)
a) Kehilangan cairan gastrointestinal (diare atau muntah)
b) Jarak cairan ketiga (pankreatitis, hipoalbuminemia, obstruksi usus
halus)
c) Diuretik
d) Diuresis osmotik (glukosa, manitol)
e) Nefropati pemborosan garam
f) Sindrom pemborosan garam serebral (pembuangan garam urin,
mungkin disebabkan oleh peningkatan peptida natriuretik otak)
g) Defisiensi mineralokortikoid
b. Penyebab Hiponatremia Hipervolemik (TBW meningkat lebih besar
dari peningkatan total natrium tubuh)
a) Penyebab ginjal (gagal ginjal akut, gagal ginjal kronis, sindrom
nefrotik)
b) Penyebab ekstrarenal (gagal jantung kongestif, sirosis)
c) Iatrogenik
c. Penyebab Euvolemic Hyponatremia (TBW meningkat dengan total
natrium tubuh yang stabil)
a) Pelepasan vasopresin patologis nonosmotik dapat terjadi dalam
pengaturan status volume normal, seperti pada hiponatremia
euvolemik.
b) Penyebab hiponatremia euvolemik meliputi:
c) Narkoba, seperti yang disebutkan di bawah ini.
d) Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH)
e) penyakit Addison
f) Hipotiroidisme
g) Asupan cairan yang tinggi dalam kondisi seperti polidipsia primer;
atau potomania, yang disebabkan oleh rendahnya asupan zat
terlarut dengan asupan cairan yang relatif tinggi
h) Tes medis terkait cairan berlebihan seperti kolonoskopi atau
kateterisasi jantung
i) Iatrogenik
Banyak obat menyebabkan hiponatremia dan yang paling umum termasuk:
a. Analog vasopresin seperti desmopresin dan oksitosin
b. Obat-obatan yang merangsang pelepasan vasopresin atau
mempotensiasi efek vasopresin seperti inhibitor reuptake serotonin
selektif dan antidepresan lainnya morfin dan opioid lainnya
c. Obat-obatan yang mengganggu pengenceran urin seperti diuretik
thiazide
d. Obat-obatan yang menyebabkan hiponatremia seperti carbamazepine
atau analognya, vincristine, nikotin, antipsikotik, klorpropamid,
siklofosfamid, obat antiinflamasi nonsteroid
e. Obat-obatan terlarang seperti methylenedioxymethamphetamine
(MDMA atau ekstasi).20
D. Epidemiologi
Hiponatremia adalah gangguan elektrolit yang paling umum, dengan
prevalensi 20% sampai 35% di antara pasien rawat inap. Insiden
hiponatremia tinggi di antara pasien kritis di unit perawatan intensif (ICU)
dan juga pada pasien pasca operasi. Ini lebih sering terjadi pada pasien
usia lanjut karena beberapa komorbiditas, beberapa obat, dan kurangnya
akses ke makanan dan minuman. 20
E. Patofisiologi
Stimulasi haus, sekresi hormon antidiuretik (ADH), dan penanganan
natrium yang disaring oleh ginjal mempertahankan natrium dan
osmolalitas serum. Normal osmolalitas plasma sekitar 275 mOsm/kg
sampai 290 mOsm/kg. Untuk mempertahankan osmolalitas normal,
asupan air harus sama dengan ekskresi air. Ketidakseimbangan asupan dan
ekskresi air menyebabkan hiponatremia atau hipernatremia. Asupan air
diatur oleh mekanisme rasa haus dimana osmoreseptor di hipotalamus
memicu rasa haus ketika osmolalitas tubuh mencapai 295 mOsm/kg.
Ekskresi air diatur secara ketat oleh hormon antidiuretik (ADH), disintesis
di hipotalamus, dan disimpan di kelenjar hipofisis posterior. Perubahan
tonisitas menyebabkan peningkatan atau penekanan sekresi ADH.
Peningkatan sekresi ADH menyebabkan reabsorpsi air di ginjal, dan
penekanan menyebabkan efek
sebaliknya. Baroreseptor di sinus karotis juga dapat merangsang sekresi
ADH, tetapi kurang sensitif dibandingkan osmoreseptor.
Ada tiga mekanisme yang terlibat dalam ketidakmampuan ginjal untuk
mengeluarkan air:
a. Aktivitas ADH tinggi: Tiga mekanisme berbeda dapat menyebabkan
ADH tinggi:
a) Penurunan volume darah arteri efektif (EABV): hormon
antidiuretik (ADH) dilepaskan ketika ada pengurangan 15% atau
lebih dari EABV. Hal ini terjadi dengan hipovolemia (misalnya,
muntah, diare), penurunan curah jantung (misalnya, gagal jantung),
atau vasodilatasi (misalnya, sirosis).
b) SIADH: ADH disekresikan secara otonom. Empat penyebab umum
ini adalah gangguan otak, gangguan paru-paru, obat-obatan
(misalnya, SSRI), dan miscellanea (misalnya, mual dan nyeri).
c) Defisiensi kortisol: Kortisol memberikan efek penghambatan pada
pelepasan ADH. Ketika kortisol menurun, ADH dilepaskan dalam
jumlah besar. Insufisiensi adrenal adalah penyebab mekanisme ini
b. Laju filtrasi glomerulus rendah (GFR), laju filtrasi glomerulus yang
rendah akan mengganggu kemampuan ginjal untuk membuang air.
Contoh khas adalah cedera ginjal akut (AKI), penyakit ginjal kronis
dan penyakit ginjal stadium akhir
c. Asupan zat terlarut rendah
Pasien dengan diet teratur mengkonsumsi 600 mOsm sampai 900
mOsm zat terlarut per hari. Zat terlarut didefinisikan sebagai zat yang
disaring secara bebas oleh glomerulus tetapi memiliki kesulitan relatif
atau absolut untuk diserap kembali oleh tubulus dalam hubungannya
dengan air. Zat terlarut utama adalah urea (yang berasal dari
metabolisme protein) dan elektrolit (misalnya garam). Karbohidrat
tidak berkontribusi pada beban zat terlarut. Dalam kondisi mapan,
asupan zat terlarut sama dengan beban zat terlarut urin. Oleh karena
itu, diharapkan pasien ini juga mengekskresikan 600 mOsm hingga
900 mOsm zat
terlarut dalam urin. Volume urin, dan karenanya ekskresi air,
tergantung pada beban zat terlarut urin. Semakin banyak zat terlarut
yang perlu dikeluarkan, semakin besar volume urin yang perlu
diproduksi. Semakin sedikit zat terlarut yang perlu dikeluarkan,
semakin kecil volume urin yang harus diproduksi. Pasien yang makan
zat terlarut dalam jumlah rendah per hari (misalnya, 200 mOsm/hari),
pada kondisi mapan, juga akan mengeluarkan zat terlarut dalam jumlah
rendah dalam urin, dan oleh karena itu mereka akan melakukannya
dalam volume urin yang lebih kecil. Penurunan volume urin ini akan
membatasi kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air. Contoh khasnya
adalah bir potomania dan diet teh dan roti panggang.20,21
F. Diagnosis
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Gejala tergantung pada derajat dan kronisitas hiponatremia. Pasien
dengan hiponatremia ringan hingga sedang (lebih dari 120 mEq/L)
atau penurunan natrium secara bertahap (lebih dari 48 jam) memiliki
gejala minimal. Pasien dengan hiponatremia berat (kurang dari 120
mEq/L) atau penurunan kadar natrium yang cepat memiliki gejala
yang bervariasi. Gejalanya dapat berkisar dari anoreksia, mual dan
muntah, kelelahan, sakit kepala, dan kram otot hingga perubahan status
mental, agitasi, kejang, dan bahkan koma. Selain gejala, anamnesis
yang terperinci untuk memasukkan riwayat gangguan paru dan SSP,
semua pengobatan di rumah, dan riwayat sosial (peningkatan asupan
bir atau penggunaan MDM atau ekstasi) sangat penting. Pemeriksaan
fisik meliputi penilaian status volume dan status neurologis. 20
b. Pemeriksaan penunjang
Langkah-langkah berikut dapat dilakukan saat mengevaluasi pasien
dengan dugaan hiponatremia:
a. Langkah 1 : Osmolalitas Plasma (275 mOsm hingga 290 mOsm/kg)
Ini dapat membantu membedakan antara hiponatremia
hipertonik, isotonik, dan hipotonik.
Pasien hiponatremia sejati adalah hipotonik.
Jika pasien hipotonik, lanjutkan ke langkah 2.
b. Langkah 2: Osmolalitas Urine
Osmolalitas urin kurang dari 100 mOsm/kg menunjukkan
polidipsia primer atau reset osmostat.
Osmolalitas urin lebih besar dari 100 mOsm/kg biasanya
menunjukkan keadaan ADH yang tinggi, lanjutkan ke langkah
3.
c. Langkah 3: Status Volume (status ECF)
Hipovolemik vs euvolemik vs hipervolemik.
Jika pasien hipovolemik, lanjutkan ke langkah 4.
d. Langkah 4: Konsentrasi Natrium Urine
Natrium urin kurang dari 10 mmol/L menunjukkan kehilangan
cairan ekstrarenal (penggunaan diuretik jarak jauh dan muntah
jarak jauh).
Natrium urin lebih besar dari 20 mmol/L menunjukkan
kehilangan urin melalui ginjal (diuretik, muntah, defisiensi
kortisol, dan nefropati pemborosan garam).
e. Tes lain yang mungkin membantu dalam membedakan
penyebabnya termasuk:
Hormon perangsang tiroid (TSH) serum
Hormon adrenokortikotropik serum (ACTH)
Urea serum
Tes fungsi hati
Rontgen dada atau computed tomography (CT) scan dada
CT scan kepala20
G. Penatalaksanaan
Pengobatan hiponatremia tergantung pada derajat hiponatremia, durasi
hiponatremia, keparahan gejala, dan status volume. Jika ragu, seseorang
dapat memulai infus NaCl 0,9% dengan pemantauan natrium serum dan
tindak lanjut pada 6 hingga 8 jam. Hiponatremia hipovolemik membaik
dengan NaCl 0,9% sementara hiponatremia pada SIADH mungkin tidak
dapat dikoreksi dan biasanya memburuk dengan pemberian NaCl 0,9%.22
a. Hiponatremia simtomatik akut
a) Hiponatremia dengan gejala berat: Berikan 3% natrium klorida;
100 mL intravena (IV) bolus (ulangi hingga dua kali jika gejalanya
menetap). Pedoman terbaru menyarankan pemberian bolus 100ml
NaCl 3% IV selama 10 menit, diulang hingga 3 dosis sampai gejala
akut mereda. Tujuannya adalah untuk memberikan koreksi segera
sebesar 4 sampai 6 mmol/L untuk mencegah herniasi otak. Untuk
gejala ringan hingga sedang dengan risiko herniasi rendah, 3%
NaCl diinfuskan pada 0,5-2 mL/kg/jam20,22
b) Hiponatremia simtomatik ringan sampai sedang: Natrium klorida
3%, infus lambat (gunakan rumus defisit natrium untuk
menghitung laju infus tetapi hitung ulang laju dengan pemantauan
natrium yang sering).
b. Hiponatremia asimtomatik kronis
a) Hiponatremia hipovolemik: Pemberian cairan isotonik dan
pemberian diuretik apa pun.
b) Hiponatremia hipervolemik: Obati kondisi yang mendasarinya,
batasi garam dan cairan, dan berikan diuretik loop.
c) Hiponatremia euvolemik: Pembatasan cairan kurang dari 1 liter per
hari.
Obat-obatan: Antagonis reseptor vasopresin 2 selektif sedang
digunakan baru-baru ini. Mereka meningkatkan ekskresi air di ginjal
tanpa mempengaruhi natrium, sehingga meningkatkan kadar natrium
serum. Obat-obatan ini digunakan pada pasien dengan kondisi
euvolemik dan hipervolemik (kecuali gagal hati) jika tindakan di atas
tidak membantu.
Tujuan koreksi: Koreksi natrium tidak lebih dari 10 mEq/L sampai 12
mEq/L dalam periode 24 jam.
Faktor risiko untuk sindrom demielinasi osmotik (ODS):
Hipokalemia, penyakit hati, malnutrisi, alkoholisme dengan batas
Koreksi:
Risiko tinggi untuk ODS: kurang dari 8 mEq/L dalam periode 24
jam
Risiko rata-rata untuk ODS: kurang dari 10 mEq/L dalam periode
24 jam
Pada natrium urin rendah kurang dari 100 mOsm/kg dan tidak adanya
konsumsi air yang cepat, potensi cairan tinggi, diet rendah protein,
termasuk bir potomania, harus diperiksa. Pada pasien dengan
hiponatremia berat kurang dari 120 mEq/L, kronisitas hiponatremia harus
dipertimbangkan. Oleh karena itu, pada hiponatremia kronis yang parah,
salin 3 persen intravena dengan kecepatan 15 hingga 30 mL/jam harus
dimulai. Pada beberapa pasien, desmopresin (dDAVP) juga harus
diberikan untuk mencegah koreksi yang terlalu cepat. 20
H. Prognosis
Prognosis pada pasien dengan hiponatremia tergantung pada tingkat
keparahan hiponatremia dan kondisi yang mendasarinya. Prognosis buruk
pada pasien dengan hiponatremia berat, hiponatremia akut, dan pasien
lanjut usia.20
I. Komplikasi
Jika tidak diobati atau diobati secara tidak memadai, pasien dengan
hiponatremia dapat mengalami rhabdomyolysis, perubahan status mental,
kejang, dan bahkan koma. Koreksi hiponatremia kronis yang cepat (lebih
dari 10 mEq/L sampai 12 mEq/L natrium dalam 24 jam) dapat
menyebabkan sindrom demielinasi osmotik. Sindrom demielinasi osmotik,
sebelumnya dikenal sebagai mielinolisis pontin sentral adalah komplikasi
natrium koreksi cepat pada pasien dengan hiponatremia kronis. Pada
pasien
dengan hiponatremia, otak beradaptasi dengan penurunan kadar natrium
serum, tanpa mengembangkan edema serebral, dalam waktu sekitar 48
jam. Akibatnya, pasien dengan hiponatremia kronis sebagian besar tidak
menunjukkan gejala. Setelah otak beradaptasi dengan natrium serum yang
rendah, koreksi natrium yang cepat menyebabkan sindrom demielinasi
osmotik. Manifestasi klinis biasanya tertunda beberapa hari dan terdiri dari
beberapa gejala neurologis ireversibel, termasuk kejang, disorientasi, dan
bahkan koma. Sindrom "terkunci" terjadi pada pasien yang terkena
dampak parah. Pasien-pasien ini terjaga tetapi tidak dapat bergerak atau
hanya dapat berkomunikasi dengan bantuan mata mereka.20
DAFTAR PUSTAKA
1. Indonesia kementerian kesehatan republik. pedoman nasional pelayanan
kedokteran : tatalaksana tuberkulosis. 2020.
2. Mahmoud N, Vashisht R, Sanghavi D, et al. Bronchoscopy. In: StatPearls.
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448152/
12. Lechner et al. The pathology associated with diabetic retinopathy. Vision
Research. 2017.