Anda di halaman 1dari 100

LAPORAN KASUS

“SEORANG LAKI-LAKI 58 TAHUN DENGAN KELUHAN


NYERI PERUT”

Diajukan untuk memenuhi laporan kasus untuk syarat dalam menempuh Program
Pendidikan Kepaniteraan Umum Ilmu Penyakit Dalam

di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo

Disusun oleh:

Qorry Aina

H3A021069

Pembimbing:

dr. Rachmi Dewi, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD TUGUREJO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
SEMARANG
2022

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Qorry Aina


NIM : H3A021069
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Stase : Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing : dr. Rachmi Dewi, Sp.PD

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal 23 Oktober 2022

Pembimbing,

dr. Rachmi Dewi, Sp.PD

2
DAFTAR MASALAH

Tanggal Masalah Aktif Masalah Pasif


21 September 2022 Pendarahan saluran
Cerna Atas
Serosis Hepatis
Hepatitis B
Insufisiensi Renal
DM
Anemia Sedang
Normositik
Normokromik

3
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. G
Tanggal lahir : 21 April 1964
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : KetroRT 01/07 Limbangan, kab.kendal
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Bangsal : Dahlia 4
No. RM : 63-42-XX
Tanggal Masuk RS : Rabu, 21 September 2022
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di bangsal Dahlia 4 RSUD Tugurejo Semarang
pada tanggal 26 September 2022 pukul 13.00 WIB secara autoanamnesis.
1. Keluhan Utama : Nyeri perut dibagian seluruh abdomen
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo Semarang dengan keluhan nyeri
perut bagian atas abdomen, pasien menyebutkan keluhan nyeri perut seluruh
abdomen sudah 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Awal mula pasien sering
mengkonsumsi obat obatan racikan untuk asam urat lalu setelah beberapa hari
pasien merasa kembung pada bagian perut lama kelamaan pasien merasakan
nyeri setelah merasakan kembung selama 7 hari. nyeri terasa seperti melilit
dan nyeri menjalar hingga ke pinggang, nyeri tersebut dirasakan hilang
timbul. Pasien juga merasa keluhan ini menganggu aktifitas ringan, nyeri
dirasakan memberat ketika pasien ingin buang air besar, lalu pasien membaik
saat istirahat. Pasien juga mengeluhkan mual (+), muntah (+), pusing (+),

4
muntah (+), lemas (+), nafsu makan turun (+), melilit (+), BAB warna hitam
konsistensi lembek pasien mengaku sulit BAB tidak ada ampas dan lendir
sudah 5 x sebelum dibawa ke rs, BAK seperti teh.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa : Disangkal
b. Riwayat Muntah Darah : Disangkal
c. Riwayat BAB Hitam : Disangkal
d. Riwayat penyakit paru : Disangkal
e. Riwayat hipertensi : Disangkal
f. Riwayat DM : Diakui, sejak 10 tahun yang lalu
dan biasa konsumsi glimepirid daeri faskes 1 kontrol rutin
g. Riwayat sakit jantung : Disangkal
h. Riwayat sakit ginjal : Disangkal
i. Riwayat alergi : Disangkal
j. Riwayat maag : Diakui, sejak masih remaja
k. Riwayat kolesterol : Disangkal
l. Riwayat Asam urat : Diakui, sejak 1 tahun yang lalu
m. Riwayat operasi : Disangkal
n. Riwayat Liver : Diakui, sejak tahun 2018 (di RS
kendal) berobat rutin

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat sakit serupa : Disangkal
b. Riwayat hipertensi : Disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
d. Riwayat DM : Diakui oleh bapak pasien
e. Riwayat alergi : Disangkal
f. Riwayat Hepatitis :Disangkal

5
5. Riwayat Pribadi
a. Riwayat merokok : Diakui, sudah sejak 20 tahun yang
lalu dan kini sudah berhenti
b. Riwayat minum alkohol : Disangkal
c. Riwayat olahraga : Disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama keluarga, biaya menggunakan bpjs.
Sebelumnya pasien suka mengkonsumsi obat racikan asam urat, suka
konsumsi obat anti radang, suka makan makanan berlemak serta dan jarang
minum air putih. Biaya pengobatan meggunakkan BPJS.
C. ANAMNESIS SISTEMIK
Kepala Pusing (+), sakit kepala (-), kepala terasa berat (-) Panas (-)
Mata Penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-)
Hidung Pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
Pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar cairan (-), darah
Telinga
(-).
Sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir pecah-pecah (-), gusi
Mulut
berdarah (-), mulut kering (-).
Leher Pembesaran kelenjar limfe (-), leher terasa kaku (-).
Tenggorokan Sulit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).
Sistem respirasi Sesak nafas (-), batuk (-)
Sistem Sesak nafas (-), nyeri dada (-), berdebar-debar (-).
kardiovaskuler
Mual (+), muntah (+), diare (-), nyeri perut (+), nafsu makan
Sistem
menurun (+), konstipasi (-), BB turun (-), melilit (+), Bab hitam
gastrointestinal
(+)
Sistem Nyeri sendi (-), kaku otot (-), badan lemas (+), gemetar (-)
muskuloskeletal
Sering kencing(-), nyeri saat kencing (-), keluar darah (-), berpasir
Sistem
(-), kencing nanah(-), sulit memulai kencing (-), anyang-anyangan
genitourinaria
(-), berwarna seperti teh (+),

6
Luka (-), kesemutan (-), kaku digerakan (-) bengkak (-), sakit
Ekstremitas atas
sendi (-) panas (-)
Ekstremitas Luka (-), kesemutan (-), bengkak (-), sakit sendi (-), panas (-)
bawah
Sistem Kejang (-), gelisah (-), emosi tidak stabil (-)
neuropsikiatri
Sistem Kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-), keringat dingin (-)
Integumentum

D. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 26 September 2022 pukul
13.00 WIB di Dahlia 4 RSUD Tugurejo Semarang:
1. Keadaan Umum : Tampak lemas
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : 15 (E4M6V5)
4. Vital sign
 Tekanan darah : 115/73 mmHg
 Nadi : 88x/menit, regular, isi & tegangan cukup
 Respiratory rate : 20x/menit
 SpO2 : 98%
 Suhu : 36,6C (axiler)
5. Status Gizi
BB : 60 kg
TB : 165 cm
IMT : 22,03
6. Risiko jatuh : 45 (MORSE: Resiko tinggi)
Penilaian
Parameter Status/keadaan Skor
pasien
Riwayat jatuh (baru-baru ini Tidak pernah 0
0
atau dalam 3 bulan terakhir) Pernah 25
Penyakit penyerta (Diagnosis Ada 15
15
Sekunder) Tidak ada 0
Alat bantu jalan Tanpa alat bantu/bedrest 0 0
Tongkat penyangga (crutch)/walker 15

7
furniture 30
Pemakaian infus intravena /
Ya 20
heparin 20
Tidak 0

Normal, tidak dapat berjalan 0


Cara berjalan Lemah 10 10
Terganggu 20

Menyadari kelemahannya 0
Status mental 0
Tidak menyadari kelemahannya 15
Total skore 45

Skor 0-24 : Risiko rendah


25-44 : Risiko sedang
>45 : Risiko tinggi
Status generalisata
a. Kepala: Mesosepal
b. Mata
Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+), mata cekung (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor (±3mm), reflek cahaya (+/+).
c. Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
d. Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
e. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-)
f. Leher
Simetris, trachea ditengah, KGB membesar (-), tiroid membesar (-), nyeri
tekan (-).
g. Thorax
a. Paru
Depan Dextra Sinistra

8
1. Inspeksi
Hemithoraks Simetris Simetris
Warna Sama dengan sekitar Sama dengan sekitar

2. Palpasi
Stem fremitus Dextra = sinistra Dextra = sinistra
Nyeri tekan - -
Pelebaran ICS - -

3. Perkusi Sonor diseluruh lapang paru Sonor diseluruh lapang paru


4. Auskultasi
Suara dasar vasikuler vasikuler
Suara tambahan - -

b. Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI linea midclavicula
sinistra. Pulsus Epigastrium (-). Pulsus Parasternal (-). Pulsus
Defisit (-). Sternal lift (-). Thrill (-).

3. Perkusi :
 Batas kanan bawah jantung : ICS V linea sternalis dextra
 Batas kiri bawah jantung : ICS V linea midclav
Sinistra
 Batas pinggang jantung : ICS III linea parasternalis
sinistra
 Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis
sinistra
4. Auskultasi
 Suara jantung I dan II reguler
 Murmur (-) gallop (-)
h. Abdomen
a) Inspeksi : Perut datar, warna kulit sama dengan sekitar

9
b) Auskultasi : Bising usus (+), 25x/menit
c) Perkusi : Timpani (+), liver span 12 cm
d) Palpasi : Nyeri tekan abdomen (+) regio hypocondriaca dextra,
epigastrica, regio hypocondriaca sinistra dan lumbal dextra. hepar
tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba

i. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- +/-
CRT <2 detik +/+ +/+

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Lengkap (22 September 2022)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit H 13.21 10^3/ul 3.6 – 11
Eritrosit L 3.99 10^6/ul 4.4-5.9
Hemoglobin L 9.5 g/dL 13.2-17,3
Hematokrit L 28.6 % 40 - 52
MCV 89.1 FL 80 – 100
MCH 27.1 Pg 26 – 34
MCHC 32.5 g/dl 32 – 36
Trombosit 312 10^3/ul 150 – 440
RDW H 18.2 % 11.5 – 14.5
2. Kimia klinik dan elektrolit (21 September 2022)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Ureum H 155 Mg/dl 10.0-50.0
Kreatinin H 1.92 Mg/dl 0.70-1.10
Chlorida H 107 Mg/dl 3.2-5.2

Natrium 135 mmol/L 135-147

Kalium 5.0 Mmol/L 3.5-5.0

HbA1C H 8.3 % 4.8-5.9


Albumin L 2.9 Mg/dl 3.2-5.2

SGOT H 68 U/L 0-50


SGPT 49 U/L 0-50

10
HBsAg Reaktif Non Reaktif
HIV Umum Negatif Negatif

Laju Filtrasi Glomerulus


( 140−58 ) x 60
LFG = 72 x 1,92 = 35,6 mL/min/1.73 m2

3. USG ABDOMEN (22 September 2022)


- Hepar : Ukuran normal tepi tajam permukaan rata, parenkim kasar, nodul
soliter ukuran +1,05 cm v. Porta dan v. Hepatika tak melebar.
- Duktus Billiaris : Intra dan ekstra hepatal tak melebar
- Vesika fella : Ukuran normal, tak tampak sludge / batu
- Pankreas: Ukuran normal, tak tampak massa / kalsifikasi
- Lien : Ukuran normal, parenkim homogen. nodul(-). v Lienalis tak melebar
- Ginjal kanan | Ukuran normal , parenkim normal, PCS tak melebar, batu(-)
- Ginjal kiri : Ukuran normal parenkim normal, PCS tak melebar, batu(-)
- Vesika urinaria : Dinding tak menebal, batu(-)
- Prostat :tak membesar, kalsifikasi(+)
KESAN:
Nodul soliter pada lobus kanan Hepar
Kalsifkasi Prostat
Sonografi Lien, Vesika Felea, Pancreas, Ginjal, vesika urinaria dalam batas
normal

4. Histopatologi (26 September 2022)


 Diagnosa klinik : Ulkus gaster / giant ulcer
 Makroskopis : '2 keping jaringan diameter 0,3 cm, warna putih
kecoklatan.
 Mikroskopis:
- Sediaan biopsi 2 keping jaringan bersebukan masil sel - sel
limfosit, leukosit PMN dengan fokus debris nekrotik

11
- Tidak tampak epitel torak aster (ulserasi luas)
- Koloni Helicobacter Pylori / tanda - tanda keganasan tidak
tampak pada sediaan ini

Kesimpulan: Radang kronis aktif pada ulkus gaster


Tidak ditemukan koloni Helicobacter Pylori pada sediaan ini

F. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang
1. Nyeri abdomen 16. Tampak lemas 19. Leukosit H 13,21
2. Nyeri melilit 17. Konjungtiva 20. Eritrosit L 3.99
3. Mual Anemis (+/+) 21. Hemoglobin L 9.5
4. Muntah 18. Nyeri tekan 22. Hematokrit L 28.6
5. Pusing abdome (+) regio 23. Hba1c H 8.3
6. Lemas hyponcondriaca 24. SGOT H 68
7. Nafsu makan dextra dan sinistra, 25. HbsAg Reaktif
turun epigastrica dan 26. Ureum H 155
8. BAB hitam lumba dextra 27. Kreatinin H1.92
lembek 28. USG : permukaan
9. BAK seperti teh tidak rata terdapat
10. Riwayat DM, nodul soliter
sejak 10 tahun 29. Histologi : Ulkus
11. Riwayat asam Gaster
lambung, sejak 1
tahun
12. Riwayat Hepatitis
B
13. Riwayat minum
obat racikan asam
urat
14. Riwayat minum
obat anti radang
15. Riwayat makan

12
berlemak

G. ANALISIS MASALAH
1. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (Melena) : 1,2,3,4,7,8,9,12,16,29,17
2. Sirosis Hepatis : 1,2,3,4,8,7,15, 16,18,28
3. Hepatitis B Kronik : 6,12,24,25
4. DM tipe 2: 5,6,10,23
5. Insufisiensi Renal : 9,18,26,27
6. Anemia Sedang Normositik Normokromik: 5,6,16
H. RENCANA PEMECAHAN MASALAH
1. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (Melena)
Asessment
Etiologi :
Variceal bleeding/non variceal bleeding?
Identifikasi lokasi dan sumber perdarahan
Komplikasi :
Syok Hipovolemia
Initial plan
a. Diagnosis
Endoskopi
b. Terapi
Injeksi Asam Traneksamat 3x1 amp
Injeksi Lansoprazole 2x30mg vial
Ligasi Varises Esofagus
c. Monitoring
KU, TTV
Evaluasi warna BAB dan keluhan muntah darah
Evaluasi Hb
d. Edukasi
Puasa 8 jam untuk mencegah perdarahan berulang
Menghindari makanan yang panas

13
2. Sirosis Hepatis
Assesment
 Klasifikasi Sirosis Hepatis dengan Child-Pug Score
 Komplikasi : Varises Esofagus, Asites, Peritonitis Bakterial Spontan,
Ensefalopati Hepatikum
Initial plan
a. Diagnosis
Laboratorium : Bilirubin Direk Indirek, Prothrombin Time, Kadar
Amonia Serum
Biopsi Hati
Elastografi
b. Terapi
Ursodeoxy 3x1 caps
Domperidon 3x1 tab
Inj.Cefotaxim 2x1 gr vial
Calcitriol 3x1
Spironolakton 1x100mg tab
c. Monitoring
KU, TTV, Trombosit, SGOT, SGPT
d. Edukasi
Pembatasan jumlah cairan kurang lebih 1 L/hari
Diet cair tanpa protein
Menghindari makanan yang keras dan mengandung banyak serat

3. Hepatitis B Kronik
Assesment
Komplikasi : Sirosis Hepatis, Ca Hepar
Initial plan
a. Diagnosis
Biopsi Hepar

14
Pemeriksaan Serologi antigen (HBeAg), antibodi hepatitis B (anti-HBs,
anti-HBe, anti-HBc, IgM anti-HBc)
GGT (Gamma Glutamil Transpeptidase), Alkalin Fosfatase
b. Terapi
Tenovofir tab 3x1
c. Monitoring
KU, TTV, Stigmata Penyakit Hepar Kronis
d. Edukasi
- Patuh minum obat dan kontrol dengan dokter sesuai jadwal

4. Insufisiensi renal
Assesment
a. Etiologi
a) Prarenal : Gagal jantung kronis atau sirosis
b) Ginjal Intrinsik
- Penyakit Vaskular : nefrosklerosis, stenosis arteri ginjal 
- Penyakit Glomerulus
 Nefritik: GN pasca-streptokokus, endokarditis infektif,
nefritis shunt
 Nefrotik: glomerulosklerosis segmental fokal, GN
membran
- Penyakit Tubular dan Interstitial Intrinsik: ginjal polikistik
(PKD). 
c) Postrenal (Nefropati Obstruktif): gangguan prostat, nefrolitiasis
atau tumor perut/panggul.
b. Faktor resiko
a) Usia yang lebih tua
b) jenis kelamin laki-laki
c) hipertensi sistemik
d) proteinuria
e) obesitas

15
f) merokok
g) faktor metabolik seperti resistensi insulin, dislipidemia, dan
hiperurisemia
c. Komplikasi
a) Anemia
b) Gangguan mineral dan tulang
c) Hiperkalemia
d) Asidosis metabolik
e) Penyakit kardiovaskular
Initial plan
a. Diagnosis
a) Blood urea nitrogen (BUN)
b) Mikroskopis urin
b. Terapi
a) Infus Asering : Futrolit s/s 10 tpm
b) Injeksi Uresix Furosemid 10 mg 2 x 1 ampul
c) Injeksi Ondansetron 4 mg 3 x 1 ampul
c. Monitoring
a) Kadar Ureum Kreatinin Elektrolit
b) TTV dan KU
d. Edukasi
a) Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakitnya
dan persiapan untuk hemodialisa.
b) Mengurangi asupan cairan.
c) Meminta pasien untuk menampung urin 24 jam.
d) Pembatasan asupan protein dan fosfat
e) Semua jenis buah dibatasi (1x sehari), terutama pisang
(hiperkalemi)
5. Diabetes Mellitus Tipe 2
Assesment
Status Glikemik

16
Komplikasi :
- Akut : Hiperglikemia (HHS, KAD) & Hipoglikemia
- Kronik : Mikrovaskuler (Nefropati Diabetik, Neuropati Diabetik,
Retinopati Diabetik) & Makrovaskuler (Penyakit jantung koroner, gagal
jantung, stroke, ulkus DM)
Initial plan
a. Diagnosis
GDP, GD2PP, EKG, Funduskopi
b. Terapi
Ryzodeg 12-0-12
c. Monitoring KU, TTV, GDS
d. Edukasi
- Makan 3-5 sendok nasi dengan lauk dan sayur sehari 3x
- Olahraga 3-5x dalam 1 minggu dengan durasi 10-15 menit
- Menghindari makan buah yang manis seperti durian, nangka, rambutan,
kelengkeng
- Memperbanyak konsumsi sayuran
- Mengganti gula biasa dengan gula jagung
6. Anemia Ringan Normositik Normokromik
Assesment
a. Etiologi
a) Anemia penyakit kronis (AOCD)
b) Perdarahan masif
c) Penyakit sumsum tulang
- Infiltrasi sumsum tulang (leukemia, mielofibrosis, metastasis)
- Anemia hipoplastik
- Anemia aplastik
- Efek samping obat
d) Hemolisis
- Intrinsik: Cacat bawaan hemoglobin, membran sel darah
merah, atau enzim; hemoglobinuria nokturnal paroksismal

17
- Ekstrinsik: Anemia hemolitik autoimun, anemia hemolitik
mikroangiopati, koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
b. Komplikasi
a) Gagal jantung
b) Gagal ginjal
c) Hipoksia

Initial plan
a. Diagnosis
a) Hitung jumlah retikulosit
b) Apusan perifer - Morfologi eritrosit (bentuk dan ukuran)
c) BUN/kreatinin, kadar eritropoietin
d) LDH, haptoglobin, bilirubin
e) Coomb test
f) Panel besi (besi, feritin, TIBC, saturasi transferin)
g) ANA, ESR, CRP
h) Elektroforesis serum dan urin
b. Terapi
a) Pengobatan penyakit yang mendasari
b) Asam folat 1x1
c. Monitoring
a) Evaluasi HB
b) Monitoring KU dan TTV
d. Edukasi
a) Banyak makan daging merah, kacang-kacangan, sayuran hijau
b) Patuh dalam pengobatan penyakit yang mendasari

18
I. PROGRESS NOTE
Tanggal Follow Up
21 September 2022 S Keluhan nyeri perut seluruh abdomen
O KU: lemas
Kesadaran: Compos mentis
GCS: 210
TTV
 TD: 105/70 mmHg
 Nadi: 94x/ menit, regular, kuat angkat
 RR: 20x/ menit
 Suhu: 36,9oC
 SpO2: 98%
Pemeriksaan fisik
 Nyeri perut kanan atas dan tengah (+)
A Dx klinis; melena, dm, anemia, hepatitis B, insuf renal
P - O2 3 Liter
- Infus Nacl 0,9% 20 tpm
- Inj omz 2x1
- Inj asam tranex 500 mg 3x1
- Sucralfat syrup 3x1 sdm
- Inj ceftriaxone 2x1
- Inj ondan 3x4 mg
- Novorapid 3x6
22 September 2022 S Keluhan nyeri perut seluruh abdomen
O KU: baik
Kesadaran: Compos mentis
GCS: 138
TTV
 TD: 94/70 mmHg

19
 Nadi: 85x/ menit, regular, kuat angkat
 RR: 20x/ menit
 Suhu: 36,9oC
 SpO2: 98%
Pemeriksaan fisik
 Nyeri perut kanan atas dan tengah (+)
A Dx klinis; melena, dm, anemia, hepatitis B, insuf renal
P - O2 3 Liter
- Infus Nacl 0,9% 20 tpm
- Inj omz 2x1
- Inj asam tranex 500 mg 3x1
- Sucralfat syrup 3x1 sdm
- Inj ceftriaxone 2x1
- Inj ondan 3x4 mg
- Novorapid 3x6
23 September 2022 S Keluhan lemas
O KU: baik
Kesadaran: Compos mentis
GCS: 136
TTV
 TD: 122/70 mmHg
 Nadi: 85x/ menit, regular, kuat angkat
 RR: 20x/ menit
 Suhu: 36,9oC
 SpO2: 98%
Pemeriksaan fisik
Nyeri perut lumbal dextra menjalar sampai punggung (+)
A Dx klinis; melena, dm, anemia, hepatitis B, insuf renal
P - Infus Nacl 0,9% 20 tpm
- Inj omz 2x1
- Inj asam tranex 500 mg 3x1
- Sucralfat syrup 3x1 sdm
- Inj ceftriaxone 2x1
- Inj ondan 3x4 mg
- Novorapid 3x4
24 September 2022 S Keluhan lemas berkurang
O KU: baik
Kesadaran: Compos mentis
GCS: 136
TTV
 TD: 122/70 mmHg
 Nadi: 85x/ menit, regular, kuat angkat
 RR: 20x/ menit
 Suhu: 36,9oC
 SpO2: 98%
Pemeriksaan fisik
 Nyeri perut lumbal dextra

20
A Dx klinis; melena, dm, anemia, hepatitis B, insuf renal
P - Infus Nacl 0,9% 20 tpm
- Inj omz 2x1
- Inj asam tranex 500 mg 3x1
- Sucralfat syrup 3x1 sdm
- Inj ceftriaxone 2x1
- Inj ondan 3x4 mg
- Novorapid 3x4
25 September 2022 S Keluhan lemas berkurang
O KU: baik
Kesadaran: Compos mentis
GCS: 139
TTV
 TD: 124/60 mmHg
 Nadi: x/ menit, regular, kuat angkat
 RR: 20x/ menit
 Suhu: 36,9oC
 SpO2: 98%
Pemeriksaan Penunjang
 Nodul soliter pda lobus hepar kanan, kalsifikasi
prostat, sonografi lien, vesika felea,
pancreas,ginjal, vesika urinasia dalam batas normal
A Dx klinis; melena, dm, anemia, hepatitis B, insuf renal
P - O2 3 Liter
- Infus Nacl 0,9% 20 tpm
- Inj omz 2x1
- Inj asam tranex 500 mg 3x1
- Sucralfat syrup 3x1 sdm
- Inj ceftriaxone 2x1
- Inj ondan 3x4 mg
Novorapid 3x4
26 September 2022 S Nyeri perut post EGD
O KU: baik
Kesadaran: Compos mentis
GCS: 120
TTV
 TD: 123/63 mmHg
 Nadi: x/ menit, regular, kuat angkat
 RR: 20x/ menit
 Suhu: 36,9oC
 SpO2: 98%
Pemeriksaan Penunjang
USG Abdomen
 Nodul soliter pda lobus hepar kanan, kalsifikasi
prostat, sonografi lien, vesika felea,
pancreas,ginjal, vesika urinasia dalam batas normal
EGD

21
 Ulkus gaster
A Dx klinis; melena, dm, anemia, hepatitis B, insuf renal
P - O2 3 Liter
- Infus Nacl 0,9% 20 tpm
- Inj omz 2x1
- Inj asam tranex 500 mg 3x1
- Sucralfat syrup 3x1 sdm
- Inj ceftriaxone 2x1
- Inj ondan 3x4 mg
Novorapid 3x4
26 September 2022 S Nyeri perut post EGD
O KU: baik
Kesadaran: Compos mentis
GCS: 120
TTV
 TD: 125/63 mmHg
 Nadi: x/ menit, regular, kuat angkat
 RR: 20x/ menit
 Suhu: 36,9oC
 SpO2: 98%
Pemeriksaan Penunjang
USG Abdomen
 Nodul soliter pda lobus hepar kanan, kalsifikasi
prostat, sonografi lien, vesika felea,
pancreas,ginjal, vesika urinasia dalam batas normal
EGD
 Ulkus gaster
A Dx klinis; melena, dm, anemia, hepatitis B, insuf renal
P BLPL
- Infus Nacl 0,9% 20 tpm
- Inj omz 2x1
- Inj asam tranex 500 mg 3x1
- Sucralfat syrup 3x1 sdm
- Inj ceftriaxone 2x1
- Inj ondan 3x4 mg
Novorapid 3x4

J. ANALISIS MASALAH
Pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo Semarang dengan keluhan nyeri
perut bagian atas abdomen, pasien menyebutkan keluhan nyeri perut seluruh
abdomen sudah 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Awal mula pasien
sering mengkonsumsi obat obatan racikan untuk asam urat lalu setelah
beberapa hari pasien merasa kembung pada bagian perut lama kelamaan

22
pasien merasakan nyeri setelah merasakan kembung selama 7 hari. nyeri
terasa seperti melilit dan nyeri menjalar hingga ke pinggang, nyeri tersebut
dirasakan hilang timbul. Pasien juga merasa keluhan ini menganggu aktifitas
ringan, nyeri dirasakan memberat ketika pasien ingin buang air besar, lalu
pasien membaik saat istirahat. Pasien juga mengeluhkan mual (+), muntah
(+), pusing (+), muntah (+), lemas (+), nafsu makan turun (+), melilit (+),
BAB warna hitam konsistensi lembek pasien mengaku sulit BAB tidak ada
ampas dan lendir sudah 5 x sebelum dibawa ke rs, BAK seperti teh. Pasien
mengakui memiliki riwayat kencing manis sejak 10 tahun yang lalu dan
biasa konsumsi glimepirid dari faskes 1 kontrol rutin, riwayat asam urat
diakui sejak 1 tahun yang lalu, riwayat sakit hati diakui sejak tahun 2018 di
RS kendal dan berobat rutin. Riwayat merokok sudah 20 tahun yang lalu.
Pasien tinggal bersama keluarga, biaya menggunakan bpjs. Sebelumnya
pasien suka mengkonsumsi obat racikan asam urat, suka konsumsi obat anti
radang, suka makan makanan berlemak serta dan jarang minum air putih.
Biaya pengobatan meggunakkan BPJS. Pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan umum lemas, kesadaran compos mentis dengan TD 115/73 mmHg,
N: 88X/menit, RR: 20x/menit, suhu : 36,5C, SpO2: 98%. Pemeriksaan
status generalisata nyeri tekan hyponcondriaca dextra, sinistra, epigastric
dan lumbal dextra. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Leukosit H
13,21, Eritrosit L 3.99, Hemoglobin L 9.5, Hematokrit L 28.6, SGOT H 68,
HbsAg Reaktif, Ureum H 155, Kreatinin H 1.92
Pada pemeriksaan USG Abdomen Nodul soliter pada lobus kanan Hepar,
Kalsifkasi Prostat, Sonografi Lien, Vesika Felea, Pancreas, Ginjal, vesika
urinaria dalam batas normal. Pada pemeriksaan histopatologi di dapatkan
radang kronis aktif pada ulkus gaster. Tidak ditemukan koloni Helicobacter
Pylori pada sediaan ini

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang


dilakukan hasil yang didapatkan pada pasien ini mengarah pendarahan
saluran cerna atas.

23
K.ALUR PIKIR

ANAMNESIS
PEMERIKSAAN FISIK
Nyeri abdomen
Tampak lemas
Nyeri melilit Tampak lemas
Konjungtiva Anemis (+/+)
Mual Konjungtiva Anemis (+/+)
Nyeri tekan abdome (+) regio hyponcondriaca dextra
Muntah
Nyeri
dan sinistra,tekan
epigastrica abdome (+)
dan lumba dextra regio
Pusing
Lemas hyponcondriaca dextra dan sinistra,
Nafsu makan turun epigastrica dan lumba dextra
BAB hitam lembek
BAK seperti teh
Riwayat DM, sejak 10 tahun
Riwayat asam lambung, sejak 1 tahun
Riwayat Hepatitis B
Riwayat minum obat racikan asam urat
Riwayat minum obat anti radang Pendarahan saluran cerna atas
Riwayat makan berlemak

DARAH RUTIN
Insufisiensi renal
Leukosit H 13,21
Eritrosit L 3.99
Hemoglobin L 9.5 DM
Hematokrit L 28.6
Hep B Serosis Hepatis
Leukosit H 13,36 Anemia normositik normokromik
Eritrosit L 2.70
Hemoglobin L 7,1
Hematokrit L 21,4
MCV L 79,3
MCH L 25,3
Trombosit L 89 RADIOLOGI
Neutrofil Absolut H 10.05 KIMIA KLINIK dan
Neutrofil H 75,3 USG : permukaan tidak
NLR H 3.62 ELEKTROLIT
rata terdapat nodul soliter
Leukosit H 13,36 Hba1c H 8.3
Eritrosit L 2.70 Histologi : Ulkus Gaster
Hemoglobin L 7,1 SGOT H 68
Hematokrit L 21,4
MCV L 79,3 HbsAg Reaktif
MCH L 25,3
Trombosit L 89 Ureum H 155
Neutrofil Absolut H 10.05
Kreatinin H1.92
Neutrofil H 75,3
NLR H 3.62
24
Leukosit H 13,36
Eritrosit L 2.70
Hemoglobin L 7,1 SGOT H 46
Hematokrit L 21,4
MCH L 25,3
Trombosit L 89 HBV DNA H 1.32x107
Neutrofil Absolut H 10.05 IU/mL
Neutrofil H 75,3
NLR H 3.62 Natrium L 132
Leukosit H 13,36 Protein Total L 5.2
Eritrosit L 2.70
Hemoglobin L 7,1 Ureum H 79
Hematokrit L 21,4 Hba1c H 8.3
MCV L 79,3
MCH L 25,3 SGOT H 68
Trombosit L 89 HbsAg Reaktif
Ureum H 155
Kreatinin H1.92
mmnknk

BAB II
DISKUSI KASUS

1. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


a. Definisi
Perdarahan SCBA adalah perdarahan saluran makanan proksimal dari
ligamentum Treitz yang dibedakan menjadi perdarahan varises dan
nonvarises. Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah
pecahnya varises esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, tukak esofagus,
tukak duodenum, gastropati kongestif, sindroma Mallory-Weiss, esofagitis
dan keganansan. Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat merupakan hal
penting dilakukan untuk mengurangi angka mortalitas dan komplikasi pada
pasien PSCBA.
b. Epidemiologi
Di negara barat insidensi perdarahan akut SCBA mencapai 100 per 100.000
penduduk/tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita.Insidensi ini meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia. Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di
populasi tidak diketahui. Dari catatan medik pasien-pasien yang dirawat di
bagian penyakit dalam RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1996-
1998,pasien yang dirawat karena perdarahan SCBA sebesar 2,5% - 3,5% dari
seluruh pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam. Berbeda dengan di
negera barat dimana perdarahan karena tukak peptik menempati urutan
terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptura varises
gastroesofagei merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis
erosiva hemoragika sekitar 25- 30%,tukak peptik sekitar 10-15% dan karena
sebab lainnya < 5%.Kecenderungan saat ini menunjukkan bahwa perdarahan
yang terjadi karena pemakaian jamu rematik menempati urutan terbanyak
sebagai penyebab perdarahan SCBA yang datang ke UGD RS Hasan Sadikin.

25
Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, kematian pada
penderita ruptur varises bisa mencapai 60% sedangkan kematian pada
perdarahan non varises sekitar 9-12%. Sebahagian besar penderita perdarahan
SCBA meninggal bukan karena perdarahannya itu sendiri melainkan karena
penyakit lain yang ada secara bersamaan seperti penyakit gagal ginjal, stroke,
penyakit jantung, penyakit hati kronis, pneumonia dan sepsis.

c. Etiologi
Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah pecahnya
varises esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, tukak esofagus, tukak
duodenum, gastropati kongestif, sindroma Mallory-Weiss, esofagitis dan
keganasan.

d. Patofisiologi SCBA pada pasien Sirosis Hepatis


Salah satu komplikasi pada pasien SH yang paling sering dijumpai ialah
hipertensi portal yang akan berkembang menjadi varises esofagus (VE).
Varises esofagus adalah pelebaran pembuluh darah vena yang terjadi secara
abnormal pada vena esofagus distal submukosa. Kondisi ini sering terjadi
pada pasien sirosis hepatis. Vena esofagus distal submukosa mengalirkan
darah melalui vena porta, yang membawa darah dari sistem pencernaan
seperti hati, pankreas, usus dan esofagus. Terhambatnya vena porta
menyebabkan hipertensi portal, yang menciptakan vena abnormal pada

26
esofagus. Perdarahan varises merupakan salah satu komplikasi yang harus
diwaspadai karena memiliki angka kematian hingga 20% dalam waktu enam
minggu setelah episode perdarahan. Varises esofagus adalah hasil dari
peningkatan tekanan di dalam vena porta. Tekanan tinggi menciptakan
keadaan yang disebut dengan hipertensi portal. Hipertensi
portal menyebabkan pembentukan kolateral portosistemik secara perlahan
dan membesar hingga menghubungkan sirkulasi sistemik ke sistem vena
porta. Hal ini menyebabkan pleksus vena submukosa melebar di esofagus
distal. Pecahnya varises akan menyebabkan perdarahan gastrointestinal
bagian atas.
Patofisiologi varises esofagus umumnya dimulai dengan peningkatan tekanan
di dalam vena porta. Vena porta merupakan vena yang mengalirkan darah
dari organ pencernaan, termasuk esofagus. Tekanan vena porta normal adalah
antara 5-10 mmHg. Jika terjadi obstruksi pada vena porta, tekanan tinggi
dapat mencapai 15-20 mmHg. Tekanan tinggi menciptakan keadaan yang
disebut dengan hipertensi portal yang menginduksi pembentukan kolateral
portosistemik. Sistem vena porta tidak memiliki katup tahanan vaskuler
antara pembuluh splanknik dan sisi kanan jantung, sehingga peningkatan
tekanan akan menyebabkan aliran darah balik dan terbendung. Kolateral
perlahan terbentuk dan membesar, sehingga menghubungkan sirkulasi
sistemik ke sistem vena porta. Hal ini menyebabkan pleksus vena submukosa
melebar di esofagus distal. Varises yang terbentuk bisa mengalami ruptur.
Pecahnya varises menyebabkan perdarahan gastrointestinal bagian atas yang
bersifat fatal jika tidak segera ditangani. Varises esofagus paling sering
ditemukan pada pasien dengan sirosis hepatis.
Patofisiologi pecahnya VGE pada sirosis hati penting diketahui agar sasaran
terapi untuk mencegah perdarahan menjadi jelas. VGE terjadi karena
hipertensi porta yang diakibatkan oleh peningkatan tahanan ke aliran porta
dan banyaknya darah yang masuk ke vena porta.
e. Diagnosis Perdarahan SCBA

27
Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami
perdarahan. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber
perdarahannya berasal dari esofagus,gaster dan duodenum. Penampilan klinis
pasien dapat berupa :
1. Hematemesis : Muntah darah berwarna hitam seperti bubuk kopi
2. Melena : Buang air besar berwarna hitam seperti tar atau aspal
3. Hematemesis dan melena
4. Hematoskezia : Buang air besar berwarna merah marun, biasanya
dijumpai pada pasien-pasien dengan perdarahan masif dimana transit
time dalam usus yang pendek

Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah sinkope, instabilitas


hemodinamik karena hipovolemik dan gambaran klinis dari komorbid
seperti penyakit hati kronis, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit
ginjal dsb. Tanda dan gejala tersering dari perdarahan saluran cerna
bagian atas adalah hematemesis (muntah darah), muntah berwarna
coffee ground dan melena (tinja seperti aspal/tar).

Prioritas pertama pada PSCBA adalah menilai dan mengamati gangguan


hemodinamik yang terjadi resusitasi cairan, transfusi dan stabilisasi
hemodinamik. Seiring dengan rencana pemeriksaan penunjang untuk
memperoleh sumber perdarahan, penyebab perdarahan dan tatalaksana
menghentikan perdarahan serta terapi defenitifnya. Anamnesis yang
akurat dan teliti dapat memperkirakan lokasi dan penyebab perdarahan.
Penilaian hemodinamik (denyut nadi, tekanan darah), laju pernafasan,
status kesadaran, konjungtiva yang pucat, capillary refill yang melambat,
serta tidak ditemukannya stigmata sirosis hati kronik merupakan tanda-
tanda awal yang harus segera diidentifikasi. Takikardia pada saat
istirahat dan hipotensi ortostatik menunjukkan adanya kehilangan darah
yang cukup banyak. Luaran urin rendah, bibir kering dan vena leher
kolaps juga merupakan tanda yang cukup berguna.

28
Pemasangan nasogastric tube (NGT) dan menilai aspiratnya biasanya
bermanfaat untuki penilaian klinis awal. Apabila terdapat darah merah
segar, maka pasien membutuhkan evaluasi endoskopik segera dan
perawatan di unit intensif. Penurunan kadar hemoglobin 1g/dL
diasosiasikan dengan kehilangan darah 250mL. Apabila terdapat warna
coffee ground, maka pasien membutuhkan rawat inap dan evaluasi
endoskopik dalam waktu 24 jam. Namun demikian aspirat normal tidak
menyingkirkan perdarahan saluran cerna. Sekitar 15% pasien dengan
aspirat normal, tetap mempunyai perdarahan saluran cerna aktif atau
risiko tinggi mengalami perdarahan ulang. Pemeriksaan endoskopi, tidak
hanya mendeteksi ulkus peptikum, namun juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi stigmata yang dikaitkan dengan peningkatan risiko
perdarahan ulang.

Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric
Tube (NGT).Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan
tidak aktif,aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif
sangat mungkin perdarahan arteri.Seperti halnya warna feses maka
warna aspiratpun dapat memprediksi mortalitas pasien.

Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold


standard Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula
untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera( bukan prosedur
emergensi), dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24 jam setelah
pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil . Tidak ada keuntungan
yang nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan darurat. Dengan
pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasien-pasien dengan
hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat ditentukan lokasi
perdarahan dan penyebab perdarahannya.

Lokasi dan sumber perdarahan :

29
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur
varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding
dan non variceal bleeding). Identifikasi varises biasanya memakai cara
red whale marking. Yaitu dengan menentukan besarnya varises(F1-F2-
F3), jumlah kolom(sesuai jam), lokasi di esofagus(Lm,Li,Lg) dan warna
(biru,cherry red,hematocystic).

f. Penatalaksanaan
Tindakan umum :
- Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC.
- Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan dianggap
memadai,pasien dapat segera dirawat untuk terapi lanjutan atau
persiapan endoskopi.
- Untuk pasien-pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti:
 Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum(kateter) yang
besar minimal no 18.
Hal ini penting untuk keperluan transfusi. Dianjurkan pemasangan
CVP
 Oksigen sungkup/ kanula.Bila ada gangguan A-B perlu dipasang
ETT
 Mencatat intake output,harus dipasang kateter urine
 Memonitor Tekanan darah, Nadi,saturasi oksigen dan keadaan
lainnya sesuai dengan komorbid yang ada.
 Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan
endoskopi
Dalam melaksanakan tindakan umum ini,terhadap pasien dapat
diberikan terapi :
 Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
 Pemberian vitamin K

30
 Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
 Terapi lainnya sesuai dengan komorbid Terhadap pasien yang
diduga kuat karena ruptura varises gastroesofageal dapat diberikan
oktreotid bolus 50 g dilanjutkan dengan drip 50 g tiap 4 jam.
Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti
sendiri, tetapi pada 20% dapat berlanjut. Walaupun sudah dilakukan
terapi endoskopi pasien dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh
karena itu perlu dilakuka assessmen yang lebih akurat untuk
memprediksi perdarahan ulang dan mortalitas.

31
Outcome pasien ruptura varises gastroesofageal sangat bergantung
pada berbagai faktor antara lain :
 Beratnya penyakit hati (Kriteria Child-Pugh)
 Ada tidak adanya varises gaster, walupun disebutkan dapat diatasi
dengan semacam glue(histoakrilat)
 Komorbid yang lain seperti ensefalopati,koagulopati, hepato renal
sindrom dan infeksi
Memulangkan pasien Sebagian besar pasien umumnya pulang pada
hari ke 1 – 4 perawatan. Adanya perdarahan ulang atau komorbid
sering memperpanjang masa perawatan. Apabila tidak ada komplikasi,
perdarahan telah berhenti dan hemodinamik stabil serta risiko
perdarahan ulang rendah pasien dapat dipulangkan . Pasien biasanya
pulang dalam keadaan anemis, karena itu selain obat untuk mencegah
perdarahan ulang perlu ditambahkan preparat Fe.

32
2. Sirosis Hepatis
a. Definisi
Sirosis hepatis merupakan penyakit pada hepar yang merupakan
bentuk lanjutan dari fibrosis hepar berupa konversi jaringan hepar
normal menjadi nodul abnormal. Sirosis yang tidak tertangani dengan
baik akan menyebabkan penyakit hepar stadium akhir (end stage liver
disease).
Sirosis hepatis terjadi akibat kerusakan hati dalam jangka waktu yang
lama. Sirosis dapat diakibatkan oleh infeksi, misalnya hepatitis B dan
C, atau penyebab noninfeksius, seperti hepatitis autoimun, sirosis

33
bilier primer, atau penyakit Wilson. Penyebab tersering sirosis hepatis
di seluruh dunia adalah hepatitis B.
b. Epidemiologi
Di Indonesia, data mengenai prevalensi sirosis hepatis masih sangat
terbatas. Terdapat 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal
penyakit dalam di rumah sakit umum pemerintah di Indonesia yang
merupakan pasien sirosis. Suatu penelitian di Rumah Sakit Dr.
Sardjito Yogyakarta menunjukkan bahwa terdapat 4.1% pasien
dengan sirosis selama satu tahun dari seluruh pasien penyakit dalam
yang dirawat. Di Indonesia, sirosis yang disebabkan oleh alkohol
jarang terjadi. [10,11]
Penelitian lainnya pada tahun 2008-2010 di Rumah Sakit dr. Soedarso
Pontianak menunjukkan bahwa 21,37% dari seluruh pasien dengan
penyakit hati dan saluran empedu merupakan sirosis hepatis yang
dekompensata. Pada penelitian tersebut, disebutkan pula bahwa
penyebab terbanyak sirosis hepatis adalah infeksi hepatitis B.
Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan saluran cerna atas.
c. Etiologi
Sirosis hepatis dapat terjadi disebabkan beberapa etiologi. Etiologi
tersering dari sirosis hepatis adalah infeksi virus hepatitis B atau
hepatitis C, serta alcohol use disorder. Sirosis hepatis juga dapat
disebabkan oleh penyakit herediter dan metabolik, obat atau toksin,
serta penyakit noninfeksius dan penyakit hepar kronis yang tidak
tertangani dengan baik.
Infeksi virus hepatitis B dan C dapat ditularkan melalui jarum suntik
yang telah digunakan oleh penderita, hubungan seksual, dan transfusi
darah yang tidak steril. Hepatitis C lebih banyak menyebabkan
hepatitis di Eropa dan Amerika, sedangkan di Asia dan Afrika lebih
banyak hepatitis B.

34
d. Patofisiologi
Akibat dari sirosis hati, maka akan terjadi 2 kelainan yang
fundamental yaitu kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta.
Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan terjadinya
perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik dan
penurunan perfusi jaringan hati sehingga mengakibatkan nekrosis
pada hati. Hipertensi porta merupakan gabungan hasil peningkatan

35
resistensi vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui
sistem porta.
Resistensi intra hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara
mekanik dan dinamik. Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis
yang terjadi pada sirosis, sedangkan secara dinamik berasal dari
vasokontriksi vena portal sebagai efek sekunder dari kontraksi aktif
vena portal dan septa myofibroblas, untuk mengaktifkan sel stelata
dan sel-sel otot polos. Tonus vaskular intra hepatik diatur oleh
vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin II, leukotrin dan
trombioksan A) dan diperparah oleh penurunan produksi vasodilator
(seperti nitrat oksida). Pada sirosis peningkatan resistensi vaskular
intra hepatik disebabkan juga oleh ketidakseimbangan antara
vasokontriktor dan vasodilator yang merupakan akibat dari keadaan
sirkulasi yang hiperdinamik dengan vasodilatasi arteri splanknik dan
arteri sistemik. Hipertensi porta ditandai dengan peningkatan cardiac
output dan penurunan resistensi vaskular sistemik. Pada sirosis hepatis
dekompensata, hipertensi porta mengakibatkan pada munculnya
gambaran komplikasi berupa splenomegali, ascites, varises esofagus,
varises rectal, caput medusae dan yang lainnya. Selain itu, kegagalan
fungsi hati akan berakibat pada berbagai macam metabolisme yang
muncul seperti spider angiomata dan ginekomastia pada pria karena
peningkatan estradiol, perubahan pada kuku berupa muehrche’s lines,
terry’s nails karena kondisi hipoalbuminemia, hingga bisa mengalami
ensefalopati hepatikum.

36
e. Manifestasi Klinis
Perjalanan sirosis hepatis lambat, asimtomatis dan seringkali tidak
dicurigai sampai adanya komplikasi penyakit hati. Banyak penderita ini
sering tidak terdiagnosis sebagai sirosis hepatis sebelumnya dan sering

37
ditemukan pada waktu otopsi. Diagnsosi sirosis hepatis asimtomatis
biasanya dibuat secara insidental ketika tes pemeriksaan fungsi hati
(transaminase) atau penemuan radiologi, sehingga kemudian penderita
melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan biopsi hati. Sebagian besar
penderita yang datang ke klinik biasanya sudah dalam stadium
dekompensata, disertai adanya komplikasi seperti perdarahan varises,
peritonitis bakterial spontan, atau ensefalopati hepatis.

Gambaran klinis sirosis akibat disfungsi hepatosit, portosistemik shunt,


dan hipertensi portal. Kelelahan, gangguan tidur, kram otot, dan
penurunan berat badan sering terjadi. Pada sirosis lanjut, anoreksia
biasanya muncul dan mungkin ekstrim, disertai mual dan muntah
sesekali, serta penurunan kekuatan massa otot. Nyeri perut mungkin

38
timbul dan berhubungan dengan pembesaran hati dan peregangan
kapsul Glisson atau dengan adanya asites. Kelainan menstruasi
(biasanya amenore), disfungsi ereksi, hilangnya libido, kemandulan,
dan ginekomastia pada pria dapat terjadi. Hematemesis adalah gejala
yang muncul pada 15-25%. Manifestasi kulit terdiri dari spider angioma
(selalu pada bagian atas tubuh), eritema palmaris (kemerahan berbintik-
bintik pada tonjolan tenar dan hipotenar), dan kontraktur Dupuytren.
Bukti kekurangan vitamin (glossitis dan cheilosis) sering terjadi.
Penurunan berat badan, wasting (karena sarcopenia), dan munculnya
penyakit kronis. Jaundice biasanya bukan tanda awal, pada awal
kemunculannya tampak ringan, dan semakin parah selama tahap akhir
penyakit. Pada 70% kasus, hati membesar, teraba, dan keras. Jika tidak
keras dan memiliki tepi yang tajam atau nodular, lobus kiri mungkin
mendominasi. Splenomegali terjadi pada 35-50% kasus dan dikaitkan
dengan peningkatan risiko komplikasi hipertensi portal. Vena
superfisial abdomen dan toraks melebar, mencerminkan obstruksi
intrahepatik

terhadap aliran darah portal, seperti halnya varises rektal. Vena dinding
abdomen mengisi dari bawah saat dikompresi. Asites, efusi pleura,
edema perifer, dan ekimosis merupakan temuan lanjut. Ensefalopati
yang ditandai dengan asteriksis, tremor, disartria, delirium, mengantuk,
dan akhirnya koma juga terjadi lebih lambat kecuali bila dipicu oleh
gangguan hepatoseluler akut atau episode perdarahan atau infeksi
gastrointestinal. Demam mungkin merupakan gejala yang muncul pada
hingga 35% pasien.

f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Abnormalitas laboratorium mungkin tidak ada atau minimal pada tahap
awal sirosis atau sirosis kompensata. Anemia, yang sering ditemukan,

39
sering bersifat makrositik. Penyebabnya termasuk supresi eritropoiesis
oleh alkohol serta defisiensi folat, hemolisis, hipersplenisme, dan
kehilangan darah samar atau nyata dari saluran cerna. Jumlah sel darah
putih atau leukosit mungkin rendah, mencerminkan hipersplenisme,
atau tinggi, menunjukkan infeksi.
Trombositopenia, sitopenia yang paling umum pada pasien sirosis,
merupakan akibat sekunder dari supresi sumsum karena alkohol, sepsis,
defisiensi folat, atau sekuestrasi limpa. Pemanjangan waktu protrombin
(protombin time) dapat terjadi akibat penurunan kadar faktor
pembekuan (kecuali faktor VIII). Namun, risiko perdarahan berkorelasi
buruk dengan waktu protrombin karena kelainan 11 fibrinolisis, dan di
antara pasien rawat inap di bawah usia 45 tahun, sirosis dikaitkan
dengan peningkatan risiko tromboemboli vena.
Kimia darah mencerminkan cedera dan disfungsi hepatoseluler, yang
dimanifestasikan oleh peningkatan AST dan alkaline phosphatase yang
sedang dan peningkatan bilirubin yang progresif. Albumin serum
menurun seiring perkembangan penyakit; gamma-globulin meningkat
dan mungkin setinggi pada hepatitis autoimun. Risiko diabetes mellitus
meningkat pada pasien dengan sirosis, terutama bila dikaitkan dengan
infeksi HCV, alkoholisme, hemokromatosis, atau NAFLD. Kekurangan
vitamin D telah dilaporkan pada sebanyak 91% pasien dengan sirosis.

40
Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium lainnya yang berguna untuk
mencari penyebabnya antara lain:
a. Serologi virus hepatitis :
- HBV: HbsAg, HbeAg, Anti HBc, HBV-DNA
- HCV: Anti HCV, HCV-RNA
b. Auto antibodi (ANA, ASM, Anti-LKM) untuk autoimun hepatitis
c. Saturasi transferin dan feritin untuk hemokromatosis
d. Ceruloplasmin dan Copper untuk Wilson Disease
e. Alpha 1-antitrypsin f. AMA untuk sirosis bilier primer
f. Antibodi ANCA untuk kolangitis sklerosis primer.

Pemeriksaan Pencitraan

a. Biopsi Hepar
Biopsi hati dapat menunjukkan sirosis yang tidak aktif (fibrosis dengan
nodul regeneratif) tanpa gambaran spesifik yang menunjukkan penyebab
yang mendasarinya. Sebagai alternatif, mungkin ada fitur tambahan dari
penyakit hati alkoholik, hepatitis kronis, NASH, atau penyebab spesifik
sirosis lainnya. Biopsi hati dapat dilakukan dengan laparoskopi atau,
pada pasien dengan koagulopati dan asites, dengan pendekatan
transjugularis. Kombinasi tes darah rutin (misalnya, AST, jumlah
trombosit), termasuk tes FibroSure, dan penanda serum fibrosis hati

41
(misalnya, asam hialuronat, amino-terminal propeptida dari kolagen tipe
III, TIMPs-1) adalah alternatif yang potensial biopsi hati untuk diagnosis
atau eksklusi sirosis. Pada orang dengan hepatitis C kronis, misalnya,
skor FibroSure yang rendah secara andal mengecualikan fibrosis lanjut,
skor tinggi dapat memprediksi fibrosis lanjut, dan skor menengah tidak
meyakinkan.
b. Endoskopi
Gastroskopi dilakukan untuk memeriksa adanya varises di esofagus dan
gaster pada penderita sirosis hepatis. Selain untuk diagnostik juga dapat
pula digunakan untuk pencegahan dan terapi perdarahan varises.
c. Tatalaksana
Penatalaksanaan sirosis hepatis kompensata ditujukan pada penyebab
hepatitis kronis. Hal ini ditujukan untuk mengurangi progresifitas
penyakit sirosis hepatis agar tidak semakin lanjut dan menurunkan
terjadinya karsinoma hepatoseluler. Di Asia Tenggara penyebab yang
tersering adalah HBV dan HCV. Untuk HBV kronis bisa diberikan
preparat interferon secara injeksi atau secara oral dengan preparat analog
nukleosida jangka panjang. Preparat nukleosida analog ini juga bisa
diberikan pada sirosis hepatis dekompensata akibat HBV kronis selain
penanganan untuk komplikasinya. Sedang untuk sirosis hepatis akibat
HCV kronis bisa diberikan preparat interferon. Namun, pada sirosis
hepatis dekompensata pemberian preparat interferon ini tidak
direkomendasikan.
Penatalaksanaan sirosis hepatis dekompensata bergantung pada
komplikasi yang muncul, selain itu, memperbaiki kondisi klinis dan
memperpanjang angka harapan hidup merupakan salah satu tujuan dari
penatalaksanaan pada sirosis dekompensata.
Penatalaksanaan kasus sirosis hepatis dipengaruhi oleh etiologi dari
sirosis hepatis. Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi
progresifitas dari penyakit. Menghindarkan bahan-bahan yang dapat
menambah kerusakaan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi

42
merupakan prinsip dasar penanganan kasus sirosis. Pada kasus ini, pasien
diberikan diet cair tanpa protein, rendah garam, serta pembatasan jumlah
cairan kurang lebih 1 liter per hari. Jumlah kalori harian dapat diberikan
sebanyak 2000- 3000 kkal/hari. Diet protein tidak diberikan pada pasien
ini karena pasien sempat mengalami ensepalopati hepatikum, sehingga
pemberian protein yang dapat dipecah menjadi amonia di dalam tubuh
dikurangi. Pembatasan pemberian garam juga dilakukan agar gejala
ascites yang dialami pasein tidak memberat. Diet cair diberikan karena
pasien mengalami perdarahan saluran cerna. Hal ini dilakukan karena
salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan pecahnya varises
adalah makanan yang keras dan mengandung banyak serat. Selain
melalui nutrisi enteral, pasien juga diberi nutrisi secara parenteral dengan
pemberian infus kombinasi NaCl 0,9%, dekstrosa 10%, dan aminoleban
dengan jumlah 20 tetesan per menit. Pada pasien ini, ditemukan
perdarahan saluran cerna yang ditunjukkan dengan melena sehingga
dilakukan beberapa terapi diantaranya adalah kumbah lambung dengan
air dingin tiap 4 jam, kemudian dipantau warna dan isi kurasan
lambungnya, kemudian dilakukan sterilisasi usus dengan pemberian
paramomycin 4x500 mg, cefotaxime 3x1 gr, dan laktulosa 3xCI setelah
kumbah lambung selesai dikerjakan. Hal ini ditujukan untuk mengurangi
jumlah bakteri di usus yang bisa menyebabkan peritonitis bakterial
spontan serta mengurangi produksi amonia oleh bakteri di usus yang
dapat menyebabkan ensepalopati hepatikum jika terlalu banyak amonia
yang masuk ke peredaran darah. Pasien juga mendapatkan obat
hemostatik berupa asam traneksamat dan propanolol untuk menghindari
terjadinya perdarahan saluran cerna akibat pecahnya varises. Pemberian
obat-obatan pelindung mukosa lambung seperti antasida 3xCI,
omeprazole 2x40 mg, dan sucralfat 3xCI dilakukan agar tidak terjadi
perdarahan akibat erosi gastropati hipertensi porta. Pasien juga mengeluh
mual sehingga diberikan ondancentron 3x8 mg untuk mengurangi
keluhan ini. Selain perdarahan saluran cerna, pasein ini juga mengalami

43
komplikasi berupa ascites dan ensepalopati hepatikum. Pada asites pasien
harus melakukan tirah baring dan terapi diawali dengan diet rendah
garam. Konsumsi garam sebaiknya sebanyak 5,2 gr atau 90 mmol/hari.
Diet rendah garam juga disertai dengan pemberian diuretik. Diuretic
yang diberikan awalnya dapat dipilih spironolakton dengan dosis 100-
200mg sekali perhari. Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan
berat badan 0,5kg/hari tanpa edema kaki atau 1kg/hari dengan edema
kaki. Apabila pemberian spironolakton tidak adekuat dapat diberikan
kombinasi berupa furosemid dengan dosis 20-40mg/hari. Pemberian
furosemid dapat ditambah hingga dosis maksimal 160mg/hari.
Parasintesis asites dilakukan apabila ascites sangat besar. Biasanya
pengeluarannya mencapai 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian
albumin.1 Pada pasien ini diberikan terapi kombinasi spironolakton 100
mg dan furosemide 40 mg pada pagi hari. Selain itu, pemberian tranfusi
albumin juga dilakukan sebanyak 1 kolf setiap harinya. Sementara itu,
komplikasi ensepalopati hepatikum ditangani upaya menghentikan
progresifitas dengan pemberian paramomycin 4x500 mg dan laktulosa
3xCI seperti yang telah dijelaskan di atas untuk mengurangi jumlah
produksi amonia di saluran cerna.
3. Hepatitis B
a. Definisi
Penyakit hepatitis B mencakup berbagai gejala klinis dari perjalanan
akut maupun kronik pada infeksi virus hepatitis B (HBV). Spektrum
penyakit hepatitis B disebabkan oleh respons kekebalan tubuh pejamu
terhadap keberadaan virus yang menyerang hepatosit. Diagnosis
infeksi hepatitis B memerlukan penelusuran faktor risiko hepatitis B,
durasi penyakit, dengan didukung oleh pemeriksaan fisik dan
penunjang, guna memastikan status infeksi (akut versus kronik).
Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan pada penyakit ini untuk
membedakan dengan hepatitis karena penyebab lain.
b. Etiologi

44
Hepatitis B Virus (HBV) merupakan virus etiologi hepatitis B, virus
DNA kecil dengan 3200 kilobasa genom DNA rantai ganda parsial
dalam formasi sirkuler. Keunikan HBV terletak pada adanya struktur
filamen melingkar pada partikel subviral yang kemudian dikenal
dengan sebutan partikel HBsAg. HBsAg merupakan komponen
amplop virus yang melingkupi cangkang inti yang mengandung
genom DNA dan protein polimerase. HBsAg tidak memiliki genom
DNA, tidak infeksius, dan memiliki imunogenisitas yang tinggi
sehingga menjadi komponen dasar dalam vaksin HBV. Inti virus
(nukleokapsid) terdiri atas fosfoprotein basa 21 kDa yang disebut
dengan antigen inti hepatitis B (HBcAg).
c. Patofisiologi
Fase Imunotoleran
Fase imunotoleran ditandai oleh respons imun yang terbatas terhadap
virus sehingga hanya terjadi peningkatan minimal aminotransferase
serum dan penanda inflamasi sel hati walaupun HBsAg, HBeAg, dan
HBV DNA (Hepatitis B Virus Deoxyribonucleic Acid) dalam serum
tinggi. Pada fase ini, virus bereplikasi secara aktif, namun kelainan
secara histologi masih minimal.
Fase Imunoaktif
Pada fase imunoaktif terjadi fluktuasi kadar HBV DNA dan
peningkatan respons sel imun serta kadar aminotransferase dan
penanda inflamasi hepatosit. Pada fase ini terjadi respons sel imun
bawaan dan didapat terhadap HBV yang berujung pada destruksi
hepatosit yang terinfeksi, secara histologi dapat ditemukan aktivitas
nekroinflamasi pada sel hati. Fase imunoaktif dapat berlangsung
hingga bertahun-tahun jika respons imun tidak cukup kuat untuk
membersihkan virus dari tubuh pejamu.
Fase Serokonversi atau Imun Kontrol
Fase ketiga adalah fase serokonversi atau Immune Control ditandai
oleh terbentuknya anti-HBe. Probabilitas serokonversi HBeAg

45
semakin meningkat pada individu dengan kadar aminotransferase
yang lebih tinggi.
Pada fase serokonversi, terdapat tiga kemungkinan nasib perjalanan
penyakit hepatitis B:
 Penurunan replikasi virus disertai penurunan aminotransferase
dan kadar HBV DNA yang rendah (hepatitis B inaktif)
 Seroreversi ke HBeAg positif dan kembali ke fase imunoaktif
(terjadi pada 10-40% kasus hepatitis B)
 Kadar HBV DNA tetap tinggi, ALT tetap tinggi, namun
HBeAg negatif (terjadi pada 20% kasus)[1]
Fase Resolusi
Fase keempat merupakan fase resolusi di mana terjadi bersihan
HBsAg dan pembentukan anti-HBs.
d. Diagnosis Hepatitis B
Diagnosis hepatitis B dibuat berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, kemudian dipastikan dengan pemeriksaan
penunjang karena infeksi akut hepatitis B sulit dibedakan dengan
hepatitis karena penyebab lain. Pemeriksaan penunjang juga
diperlukan untuk menentukan status infeksi.
Anamnesis : Temuan klinis yang membantu diagnosis infeksi
hepatitis B bergantung pada fase perjalanan penyakit (akut atau
kronis).

Pada fase akut, gejala yang timbul dapat bersifat subklinis


(hepatitis nonikterik), hepatitis ikterik, maupun hepatitis fulminans.
Hepatitis ikterik biasanya didahului dengan keluhan demam,
mudah lelah, anoreksia, mual, muntah yang diikuti fase ikterik
dalam beberapa hari kemudian. Hepatitis fulminans hanya terjadi 1
dari 1000 pasien dan ditandai dengan gejala hepatitis akut yang
memberat dengan cepat hingga menyebabkan penurunan

46
kesadaran, kejang, dan manifestasi perdarahan, oleh karena adanya
edema serebri, ensefalopati, dan koagulopati.
Pada fase kronik, temuan dari anamnesis dapat mengarah pada
stadium karier asimptomatik hingga bergejala khas untuk sirosis
dan karsinoma hepatoseluler (mata dan kulit menguning, perut
membuncit, tungkai membengkak, dan pelebaran pembuluh darah
di permukaan kulit perut). Penelusuran riwayat yang mengarah
pada infeksi hepatitis B kronik antara lain:
 Riwayat sakit kuning atau infeksi hati sewaktu kecil
 Perut semakin terasa membuncit yang disertai penambahan
berat badan (asites)
 Mata dan kulit berangsur-angsur terlihat kuning
Riwayat penyakit fase akut dapat pula ditemukan pada fase
kronik mencakup:
 Demam akut (biasanya antara 38-39 C)
 Malaise
 Anoreksia
 Mual dan muntah yang tidak terlalu dipengaruhi oleh kondisi
perut kosong atau setelah makan
 Nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut kanan atas
 Urin berwarna coklat pekat atau tinja berwarna dempul yang
muncul sebelum fase ikterik
Pada kecurigaan infeksi Hepatitis B akut maupun kronik, riwayat
faktor risiko juga perlu ditelusuri satu per satu.
Pemeriksaan Fisik : Pada 70% pasien dengan infeksi hepatitis B
akut, hasil pemeriksaan fisik biasanya masih dalam batas normal.
Pada pasien dengan infeksi hepatitis B kronik, pemeriksaan fisik
dapat menunjukkan hasil normal atau hanya berupa pembesaran
hati saja. Hasil pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada
pasien hepatitis B kronik dan membantu mengarahkan pada
terjadinya sirosis antara lain: Penurunan kesadaran akibat

47
ensefalopati, Sklera ikterik, Splenomegali, Asites, Edema pedis dan
pretibia, Spider angiomata, Asterixis

e. Penatalaksanaan Hepatitis B Kronik


Penatalaksanaan hepatitis B kronik dapat menggunakan regimen
berbasis nukleosida ataupun terapi interferon.
Indikasi Terapi:
Bukti level 1, rekomendasi kuat:
 Semua pasien hepatitis B kronik HBeAg positif atau negatif,
ditandai oleh HBV DNA > 2000 IU/ml dan/atau fibrosis hati
maupun nekroinflamasi hati derajat sedang
 Pasien dengan sirosis kompensata atau dekompensata, pada kadar
HBV DNA berapa saja, tanpa memandang kadar ALT harus
mendapat terapi
Bukti level 2 rekomendasi lemah:
 Pasien dengan hepatitis B kronik HBeAg-positif, ditandai dengan
ALT normal yang persisten dan kadar HBV DNA yang tinggi,
boleh mendapat terapi jika berusia lebih dari 30 tahun tanpa
mempertimbangkan derajat keparahan lesi histologi sel hati
Bukti level 2 rekomendasi kuat:
 Pasien dengan HBV DNA > 20000 IU/ml dan ALT > 2 kali batas
atas normal (BAN) harus mendapat terapi tanpa
mempertimbangkan derajat fibrosis
Bukti level 3 rekomendasi lemah:
 Pasien dengan hepatitis B kronik HBeAg positif maupun negatif
dan riwayat KHS, atau sirosis, atau manifestasi hepatitis
ekstrahepatik boleh mendapat terapi walaupun indikasi terapi
utama belum terpenuhi[14]

48
Pasien yang bukan merupakan kandidat untuk menjalani terapi
harus mendapat tindak lanjut berkala berupa pemeriksaan ALT
dan kadar HBV DNA serta penentuan derajat fibrosis hati
menggunakan marka non-invasif dengan rekomendasi sebagai
berikut:
 Pasien dengan hepatitis B kronik HBeAg positif berusia < 30
tahun dan tidak memenuhi kriteria indikasi terapi harus mendapat
tindak lanjut berupa pemeriksaan ALT tiap 3 bulan, HBV DNA
tiap 6-12 bulan, dan penilaian derajat fibrosis tiap 12 bulan.
 Pasien dengan hepatitis B kronik HBeAg negatif dan kadar HBV
DNA serum < 2000 IU/ml yang tidak memenuhi indikasi terapi
perlu mendapat tindak lanjut tiap 6-12 bulan.
 Pasien dengan hepatitis B kronik HBeAg negatif dan kadar HBV
DNA serum ≥ 2000 IU/ml yang tidak memenuhi indikasi terapi
perlu mendapat tindak lanjut tiap 3 bulan dalam 1 tahun pertama
dan tiap 6 bulan setelahnya.
Strategi pengobatan hepatitis B kronik mutakhir memiliki dua tipe
yaitu:
 Terapi berbasis nukleosida analog dengan menggunakan
lamivudin, telbivudin, adefovir, tenofovir, dan entecavir
 Terapi berbasis interferon atau, versi terbarunya, PegIFNα
Pemantauan respons terhadap terapi hepatitis B kronik terbagi
atas respons virologi, serologi, biokimia, dan histologi.
Terapi Analog Nukleosida
Terapi analog nukleosida seperti lamivudine, telmivudine, atau
entecavir, dapat dilakukan dalam waktu terbatas atau seumur
hidup. Pada prinsipnya, terapi diteruskan sebelum indikasi
penghentian terapi tercapai atau timbul kemungkinan resistensi
dan kegagalan terapi. Terapi dapat dihentikan apabila pasien
hepatitis B dengan HBeAg positif mengalami serokonversi
HBeAg dengan HBV DNA yang tidak terdeteksi. Pada pasien

49
dengan HBeAg negatif, terapi golongan analog nukleosida
dihentikan apabila HBV DNA terbukti negatif pada 3
pemeriksaan dengan interval 6 bulan.
Pemeriksaan HBV DNA, HBeAg, dan anti-HBe (pada kasus
HBeAg positif) serta ALT dilakukan tiap 3-6 bulan sekali.
Respons virologi pada terapi analog nukleosida adalah HBV
DNA tidak terdeteksi oleh pemeriksaan reaksi rantai polimerase
(PCR) sensitif dengan batas deteksi 10 IU/ml. Pasien dianggap
mengalami kegagalan terapi primer apabila penurunan HBV
DNA serum kurang dari 1 log10 setelah 3 bulan pengobatan.
Pasien dikatakan memiliki respons virologi parsial apabila
penurunan HBV DNA lebih dari 1 log10 IU/ml namun masih
terdeteksi selama sekurang-kurangnya 12 bulan masa terapi pada
pasien yang patuh pengobatan. Virological breakthrough adalah
peningkatan HBV DNA lebih dari 1 log10 IU/ml dibandingkan
nilai terendah HBV DNA selama masa terapi. Pada pasien yang
telah berhenti konsumsi analog nukleosida, respons virologi
dianggap bertahan apabila kadar HBV DNA serum <2000 IU/ml
selama 12 bulan pasca pengobatan dihentikan.
Setelah terapi dihentikan, pemeriksaan HBeAg, ALT, dan HBV
DNA dilakukan tiap bulan pada 3 bulan pertama kemudian tiap 3
bulan selama 1 tahun untuk mendeteksi apakah terdapat
kekambuhan.
Terapi Interferon/PegIFNα
Terapi interferon (Peginterferon alfa-2b) dilakukan dalam waktu
terbatas antara 4-12 bulan. Terapi interferon tidak boleh diberikan
pada pasien dengan sirosis dekompensata, gangguan psikiatri,
dan wanita hamil. Pada pasien dengan HBeAg positif, interferon
konvensional diberikan selama 4-6 bulan; namun pada pasien
dengan HBeAg negatif, interferon harus diberikan sekurang-
kurangnya selama 12 bulan namun apabila terapi yang

50
dipertimbangkan adalah PegIFNα, maka durasi terapi dibatasi
selama 48 minggu.
Selama terapi interferon, pemeriksaan darah tepi dilakukan setiap
bulan guna menilai efek samping terapi. Pemeriksaan HBV DNA,
HBeAg, dan anti-HBe (pada pasien HBeAg positif) serta ALT
perlu dilakukan tiap 3-6 bulan sekali.
Respons virologi pada terapi interferon adalah kadar HBV DNA
serum <2000 IU/ml yang biasanya diperiksa tiap 6 bulan dan pada
akhir masa terapi. Respons virologi dianggap bertahan apabila
kadar HBV DNA serum <2000 IU/ml selama sekurang-
kurangnya 12 bulan setelah terapi dihentikan. Terapi dapat
dihentikan apabila terdapat indikator kegagalan terapi berupa
gagalnya penurunan HBV DNA <20000 IU/ml dalam 3 bulan
pertama masa terapi pada pasien dengan HBeAg positif. Pasien
dengan respons virologi menetap pasca terapi PegIFNα dan risiko
KHS yang tinggi tetap perlu mendapat pemantauan risiko KHS
walaupun HBsAg telah negatif.
4. Insufisiensi Renal
- Akut Kidney Disease

a. Definisi
Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan
kadar kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum ≥ 50%
(1,5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang
tercatat ≤ 0,5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam. 6 Kriteria untuk diagnosis
dan klasifikasi AKI sesuai rekomendasi Acute Dialysis Quantitative Initiative
(ADQI) yang pada tahun 2002 memperkenalkan istilah 'acute kidney injury' serta
memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit AKI,
dan untuk pertama kalinya dipresentasikan pada International Conference on
Continuous Renal Replacement Therapies di San Diego pada tahun 2003.7

51
Tabel 2.l Kriteria RIFLE Menurut ADQI 8
Kriteria LFG Kriteria Urine Output
(UO)

Risk Kenaikan SCr 1,5 × UO < 0,5 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 25% (selama 6 jam)

Injury Kenaikan SCr 2 × UO < 0,5 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 50% (selama 12 jam)

Failure Kenaikan SCr 3 × UO < 0,3 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 75% (selama 24 jam)

atau SCr ≥ 4 mg/dL atau anuria dalam 12 jam

Loss Gagal ginjal akut menetap (Loss = hilangnya fungsi ginjal >4
minggu)

ESRD End Stage Renal Disease (Gagal Ginjal Terminal) >3 bulan

*Keterangan
SCr : kadar kreatinin serum
UO : urine output
LFG : laju filtrasi glomerulus

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN) menggunakan


istilah AKI untuk menggambarkan spektrum kerusakan ginjal secara akut, yaitu
proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan didefinisikan
sebagai peningkatan kreatinin serum (≥ 0,3 mg/dl atau peningkatan 50%) atau
penurunan produksi urin (keadaan oliguria < 0,5 ml/kg/jam lebih dari 6 jam).
Kriteria AKI menurut AKIN dibagi atas beberapa tahapan seperti pada Tabel 2
dibawah ini.9,10

Tabel 2.2 Kriteria AKI Menurut AKIN9

Tahap Kriteria Klinis Kriteria Jumlah


Urine

1 (RIFLE – R) Peningkatan kreatinin serum > 0,3 mg/dL < 0,5 ml/kg/jam
atau selama 6 jam

52
peningkatan kreatinin serum 1,5 sampai 2
kali dari keadaan normal

2 (RIFLE – I) Peningkatan kreatinin serum 2 sampai 3 < 0,5 ml/kg/jam


kali dari keadaan normal
selama 12 jam

3 (RIFLE – F) Peningkatan kreatinin serum > 3 kali dari < 0,3 mL/kg/jam
normal atau selama 24 jam atau

kreatinin serum > 4 mg/dL dengan anuria selama 12 jam


peningkatan akut > 0,5 mg/dL

Kriteria AKI menurut AKIN sebenarnya tidak berbeda dengan kriteria


RIFLE. Kriteria RIFLE R, I, dan F sama dengan kriteria AKIN pada tahap l, 2 dan
3. Pada kriteria menurut AKIN, kriteria L dan E dihilangkan karena dianggap
sebagai prognosis, bukan tahapan penyakit. Selain itu, perubahan pada kriteria
laju filtrasi glomerulus (LFG) dilakukan berdasarkan penelitian terbaru bahwa
kenaikan serum kreatinin sebesar 0,3 mg/dl sudah meningkatkan angka kematian
4 kali lebih banyak, serta sulitnya penggunaan LFG sebagai parameter penurunan
fungsi ginjal, terutama jika pasien berada dalam keadaan kritis atau dirawat di
ruang intensif.9
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat kita menggunakan
kriteria tersebut, yaitu :9
❖ Tidak ada perbedaan dalam umur dan jenis kelamin
❖ Dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin serum paling sedikit 2 kali
dalam 48 jam
❖ Dalam menentukan urine output, hidrasi pasien harus dalam keadaan
normal dan tidak ada obstruksi pada saluran kemih
❖ Diagnosis AKI harus dilengkapi dengan tahapan penyakit sesuai
kriteria RIFLE atau kriteria AKIN.
❖ Perlu dibedakan antara diagnosis AKI, penyakit ginjal kronis, atau
perburukan fungsi ginjal pada chronic kidney disease (acute on CKD).
b. Epidemiologi

53
Data epidemiologi mengenai AKI sulit ditemukan, antara lain dikarenakan
tidak adanya keseragaman mengenai definisi dan variasi gejala klinik yang luas
sehingga sulit untuk membuat review kepusatakaan atau meta analisis. Dengan
digunakannya kriteria RIFLE sebagai dasar diagnosis, ternyata ditemukan angka
kejadiannya jauh meningkat. Angka kejadian AKI dapat dikelompokkan menjadi
yang terjadi di populasi umum (community based) dan yang terjadi di rumah sakit
(hospital based).7
Tergantung kepada definisi yang digunakan, AKI merupakan komplikasi
yang terjadi pada 5-7% pasien yang masuk ke rumah sakit serta 30% pasien yang
dirawat di ICU. Dari seluruh kasus AKI, AKI pre renal mencakup sekitar 55%,
AKI intrinsik sekitar 40%, sedangkan AKI post renal mencakup 5% kasus.10
Pada sebuah penelitian di Inggris, dengan kriteria RIFLE dilaporkan angka
kejadian AKI di populasi umum yang cukup tinggi, yaitu 1.811 kasus/juta
penduduk dan acute on

CKD sebesar 336 kasus/juta penduduk.11 Angka kejadian AKI yang terjadi
di rumah sakit juga dilaporkan mencapai 180 kasus dari 1000 pasien yang
dirawat.12

c. Etiologi
Etiologi AKI dibagi berdasarkan lokasi terjadinya kelainan dan gambaran
AKI yang ditimbulkan, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal seperti terlihat
pada Tabel 3. Angka kejadian etiologi prerenal mencapai 70% dari seluruh AKI
yang terjadi di luar rumah sakit dan 40% yang terjadi di dalam rumah sakit.
Etiologi AKI prerenal yang terjadi di luar rumah sakit biasanya disebabkan oleh
diare, muntah-muntah, demam, dan kekurangan cairan (cth: perdarahan). Pada
AKI prerenal yang terjadi di dalam rumah sakit paling sering disebabkan oleh
sepsis dan gagal jantung.7
Etiologi intra renal dapat disebabkan oleh semua gangguan yang terjadi
intra renal, yaitu di tubulus, parenkim, glomerulus, dan di pembuluh darah renal.
Etiologi intra renal dapat terjadi pada penderita di dalam rumah sakit atau

54
merupakan kelanjutan proses AKI prerenal yang terjadi di luar rumah sakit
dikarenakan keterlambatan mendapatkan terapi sehingga berlanjut menjadi tubular
nekrosis akut (ATN). Penyebab tersering ATN adalah sepsis (50%), nefrotoksik
(35%) dan keadaan iskemia (15%).7
Etiologi post renal dapat terjadi akibat adanya sumbatan pada saluran
kemih yang terjadi di ureter, pelvis renal, uretra, dan vesika urinaria. Pada
keadaan obstruksi terjadi peningkatan tekanan dalam kapsula bowman dan
penurunan tekanan hidrostatik sehingga terjadi penurunan LFG. Kejadian AKI
post renal lebih sering terjadi pada laki-laki dengan usia lanjut, dengan adanya
pembesaran prostat, atau dengan riwayat batu saluran kemih. Pada wanita,
obstruksi sering terjadi karena adanya keganasan yang menimbulkan obstruksi
pada saluran kemih.7

Tabel 2.3 Klasifikasi dan Penyebab Utama AKI13

55
AKI Pre Renal :

1. Hipovolemia
a. Hemoragik, luka bakar, dehidrasi
b. Kehilangan cairan lewat Gl; muntah, diare, drainase
c. Kehilangan cairan lewat ginjal: diuretik, diuresis osmotik (misal DM),
hipoadrenalisme.
d. Pankreatitis, peritonitis, trauma, luka bakar, dan hipoalbuminemia berat
2. Penurunan cadiac output:
a. Penyakit otot jantung, katup dan perikardium; aritmia, tamponade
b. Lain-lain: hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif, ventilasi mekanik
3. Perubahan rasio resistensi sistem vaskular renal:
a. Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, anestesi, anafilaksis
b. Vasokonstriksi renal: hiperkalemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,
tacrolimus, amfoterisin
c. Sirosis dengan asites (sindrom hepatorenal)
4. Hipoperfusi renal dengan kegagalan respon autoregulasi renal: siklooksigenase
inhibitor, ACE inhibitor
5. Sindrom hiperviskositas: multipel mieloma, makoglobunemia, polisitemia
AKI Intrinsik :

1. Obstruksi vaskular renal (bilateral atau unilateral)


a. Obstruksi arteri renal: plak arteriosklerotik, trombosis, emboli, aneurisma,
vaskulitis
b. Obstruksi vena renal: trombosis, kompresi
2. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular renal
a. Glomerulonefritis dan vaskulitis
b. Sindrom hemolitik uremik, TTP, DlC, kehamilan toksik, hipertensi, nefritis
radiasi, SLE dan skleroderma
3. Nekrosis tubular akut
a. lskemik akibat AKI pre renal (hipovolemik, penurunan cardiac output,
vasokonstriksi renal, vasodilatasi sistemik), komplikasi obstetri (ruptur plasenta,
perdarahan post partum)
b. Toksin
❖ Eksogen: kontras, siklosporin, antibiotik (misalnya aminoglikosida),
kemoterapi (misalnya cisplatin), bahan organik (misalnya etilen glikol),
asetaminofen.
❖ Endogen: rhabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, diskrasia sel plasma
(misalnya mieloma)
4. Nefritis interstitial
1. Alergi antibiotik (misalnya β laktam, sulfonamida, trimetoprim, rifampisin), anti
inflamasi non steroid, diuretik, kaptopril
2. lnfeksi bakteri (misalnya pielonefritis akut, leptospirosis), cytomegalovirus,
jamur kandida
3. lnfiltrasi: limfoma, leukemia, sarkoidosis
4. ldiopatik
5. Obstruksi tubulus: protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamid
6. Renal allograft rejection

56
AKI Post Renal :

1. Ureter : Kalkuli, bekuan darah, sumbatan pada papilla, keganasan, kompresi


ekstemal (misalnya fibrosis retroperitoneal)
2. Bladder neck : neurogenic bladder, hipertropi prostat, kalkuli, keganasan, bekuan
darah
3. Uretra : striktur, katup kongenital, fimosis

d. Patofisiologi

Gangguan ginjal akut adalah suatu proses multifaktor yang meliputi


gangguan pada sistem hemodinamik renal, obstruksi tubulus renalis, gangguan
sel, dan metabolik. Patofisiologi terjadinya AKI terdiri dari kumpulan kejadian
yang sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada etiologi penyebab AKI.
Patofisiologi AKI memiliki gambaran yang berbeda pada setiap klasifikasi
penyebab AKI, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal.13

Patofisiologi AKI Prerenal

Pada AKI prerenal, respon yang terjadi merupakan reaksi dari fungsi
ginjal terhadap keadaan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan gangguan pada
struktur ginjal. Pada keadaan ini, integritas jaringan ginjal masih terpelihara
dengan adanya mekanisme autoregulasi ginjal. Berkurangnya perfusi ginjal akan
menyebabkan perangsangan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS)
yang mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin II. Peningkatan kadar
angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi arteriol efferen glomerulus ginjal.
Angiotensin II juga berperan pada arteriol afferen glomerulus, tetapi efeknya akan
meningkatkan hormon-hormon vasodilator prostaglandin sebagai upaya
kontraregulasi. Vasokonstiksi pada arteriol efferen dilakukan untuk
mempertahankan tekanan kapiler intra glomerulus serta LFG agar tetap normal.13
Mekanisme autoregulasi ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

57
Gambar 1. Mekanisme Autoregulasi Intra renal pada Keadaan
Penurunan Tekanan Perfusi dan Penurunan LFG14

Gangguan hemodinamik juga merangsang sistem saraf simpatis sehingga


terjadi perangsangan sekresi dari hormon-hormon aldosteron dan vasopressin
yang berakibat pada peningkatan reabsorbsi natrium, urea, dan air pada segmen
distal nefron sehingga terjadi retensi urine dan natrium. Mekanisme autoregulasi
ini dapat terganggu atau tidak dapat dipertahankan apabila gangguan hipoperfusi
ginjal menjadi lebih berat atau berlangsung lama.13

Patofisiologi AKI Intra Renal

Penyebab utama AKI intra renal adalah terjadinya ATN akibat proses
iskemia atau toksik. Nekrosis tubular akut sering diakibatkan oleh etiologi
multifaktorial dan biasa terjadi pada penyakit akut yang disertai sepsis, hipotensi,
atau penggunaan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik. Sepsis merupakan

58
penyebab utama ATN pada pasien-pasien yang dirawat di ICU (35-50%) dan
setelah tindakan operasi (20-25%). Berbeda dengan AKI prerenal, pada AKI intra
renal telah terjadi gangguan pada struktural ginjal Proses kerusakan diawali
dengan keadaan oliguria yang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama setelah
terjadi gangguan (injury). Fase oliguria dapat berlangsung selama l-2 minggu
diikuti oleh fase diuresis yang menandakan terjadinya perbaikan fungsi.7

Proses penyebab AKI intra renal dapat merupakan kelanjutan AKI


prerenal (azotemia prerenal) akibat hipoperfusi yang bertambah berat atau
berlanjut sehingga terjadi gangguan pada sel-sel tubulus ginjal disertai gangguan
pada fungsi ginjal. Proses iskemia ini terjadi melalui beberapa tahapan seperti
terlihat pada Gambar 2 berikut.15

Gambar 2 Beberapa Tahapan Terjadinya AKI 15

59
Pada Gambar 2 di atas, tahapan AKI prerenal akan berlanjut pada tahap
inisiasi yang ditandai dengan kerusakan pada sel-sel epitel dan endotel. Proses
kerusakan pada sel-sel epitel diawali dengan terjadinya perenggangan dan
hilangnya brush border tubulus proksimal disertai penurunan polaritas sel.
Perbaikan gangguan ginjal pada tahap ini akan menyebabkan penyembuhan secara
sempurna. Tetapi bila berlanjut pada tahap ekstensi, akan terjadi apoptosis dan
nekrosis sel-sel epitel, proses deskuamasi yang akan menyebabkan sumbatan pada
lumen tubulus, dan terjadinya proses inflamasi seperti terlihat pada Gambar 3
berikut.15

Gambar 3 Gangguan yang Terjadi pada Struktur Sel Tubuli Setelah


Terjadinya Iskemia16

Apoptosis merupakan mekanisme utama penyebab kematian sel-sel


tubulus setelah iskemia yang berhubungan dengan berkurangnya ukuran sel secara
progresif dan keutuhan fungsi maupun struktur plasma membran. Berkurangnya

60
ukuran sel ini menyebabkan hilangnya volume sitosol dan berkurangnya ukuran
nukleus sel. Gambaran spesifik pada apoptosis adalah terjadinya kondensasi
kromatin inti dan fragmentasi DNA intranukleus. Pada nekrosis terjadi
pembengkakan dan pembesaran sel sehingga terjadi gangguan pada mitokondria.
Integritas plasma sel akan menghilang diikuti dengan hilangnya komponen sitosol
termasuk lisosom protease yang menyebabkan kerusakan dan inflamasi pada
jaringan sekitar. Kematian sel terjadi sebagai akibat proses apoptosis dan nekrosis
sel-sel epitel.17
Kerusakan sel endotel vaskular ginjal terjadi akibat peningkatan stress
oksidatif yang juga meningkatkan angiotensin II, endothelin-l, dan penurunan
prostaglandin dan NO dari endothelial NO synthetase (eNOS). Kerusakan
vaskular secara langsung dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi intra renal.
Vasokonstriksi ini diduga merupakan faktor utama penyebab gangguan
hemodinamik renal pada AKI. Kelainan pada vaskular dapat juga terjadi akibat
peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-I dan p-selectin dari sel
endotel sehingga terjadi perlengketan sel-sel radang terutama neutrofil yang
menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.7,13
Kerusakan tubulus merupakan proses yang terjadi akibat kerusakan
sitoskeleton karena peningkatan calpain, cytosolic phospholipase A2, dan
kerusakan actin karena peningkatan Ca2+ intraseluler. Kerusakan ini menyebabkan
gangguan pada basolateral Na+K+ATP-ase sehingga terjadi penurunan reabsorbsi
natrium di tubulus proksimal. Obstruksi tubulus akibat sumbatan mikrovili yang
terlepas bersama sel-sel debris juga akan diikuti pembentukan silinder cast dari
matriks ekstraseluler. Kerusakan pada sel tubulus berakibat terjadinya kebocoran
kembali (backleak) cairan intra tubular ke dalam sirkulasi peritubular.
Keseluruhan mekanisme di atas secara keseluruhan akan menyebabkan penurunan
LFG dan terjadinya oliguria. Keseluruhan proses tersebut dapat terlihat pada
Gambar 4 berikut.7,13

61
Gambar 4 Patofisiologi AKI Akibat Proses Iskemia 14
Patofisiologi AKI post renal
Penyebab terjadinya AKI post renal dapat terjadi akibat sumbatan dari
sistem traktus urogenital seperti ureter, pelvis renal, vesika urinaria, dan uretra.
Penyebab sumbatan dapat bermacam-macam seperti adanya striktur, pembesaran
prostat, dan keganasan. Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari
keseluruhan GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal.
Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein
( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi
intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan
retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate)
dan uretra (striktura). GGA post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli
dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana salah satu ginjal tidak berfungsi.
7, 18

62
e. Manifestasi Klinis
Presentasi klinis bervariasi tergantung etiologi dan tingkat keparahan AKI,
dan penyakit yang terkait. Kebanyakan pasien dengan AKI ringan sampai sedang
tidak menunjukkan gejala dan biasanya teridentifikasi dengan pemeriksaan
laboratorium. Pasien dengan severe AKImungkin dapat menunjukan gejala,
berupa lesu, rasa bingung, fatique, anoreksia, mual, muntah, penambahan berat
badan, atau edema. Selain itu oliguria (urine output kurang dari 400 ml per hari),
anuria (urin output kurang dari 100 ml per hari), atau dengan urin output normal
(non-oligouric AKI) juga dapat ditemukan pada pasien severe AKI. 5,19

Tabel 2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik GGA berdasarkan Etiologi20

Tipe AKI Hasil Anamnesis Hasil Pemeriksaan Fisik


Pre-Renal Riwayat kehilangan cairan (cth: riwayat Penurunan BB, hipotensi
muntah, diare, penggunaan diuretik ortostatik, dan takikardi
berlebih, perdarahan, luka bakar)
Rasa haus dan penurunan intake cairan Turgor kulit buruk

Kelainan Jantung S3 jantung, edema perifer, dll

Kelainan Hepar Asites, caput medusae, spider


nevi
Renalis

Glomerurlar Lupus, sistemik sklerosis, ruam, artritis, Edema peri-orbital, sacral, dan
uveitis, penurunan BB, fatigue, HIV, ekstremita bawah; ruam; ulkus
hematuria, batuk, sinusitis di daerah oral/nasal

Interstisial Riwayat penggunaan obat-obatan (cth: Demam, ruam akibat


antibiotik, PPI), ruam, arthralgia, demam, penggunaan obat-obatan
penyakit infeksi

Vascular Sindroma Nefrotik, riwayat trauma, flank Pemeriksaan funduskopi


pain, riwayat oprasi vaskular (ditemukan hipertensi maligna),
abdominal bruits

Post- Renal Urgency atau Hesistancy, gross Distensi vesica urinaria,


Hematuria, poliuri, batu, riwayat obat- pembesaran prostat
obatan, kanker

63
e. Diagnosis

Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-


renal, GGA renal, dan GGA post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan
ginjal akut perlu dilakukan pemeriksaan6 :

1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik yang baik, untuk mencari penyebab GGA
seperti misalnya operasi KV, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi
tenggorokan, ISK), riwayat bengkak, riwayat kencing batu
2. Membedakan GGA dan GGK, misalnya: anemia dan ukuran ginjal yang kecil
menunjukkan GGK
3. Pemeriksaan berulang fungsi ginjal untuk mendiagnosis GGA, yaitu kadar
ureum, kreatinin, dan laju filtasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu
diperiksa asupan dan keluaran cairan (balance cairan), berat badan untuk
memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA
yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal, ekskresi air dan garam
berkurang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai terjadi
kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga
dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan
kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh faktor-faktor
presipitasi atau penyakit utamanya.
4. Penilaian pasien GGA:
a. Kadar kreatinin Serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa
berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat

64
mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari produksi (otot),
distribusi dalam cairan tubuh dan eksresi oleh ginjal.
b. Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum
cystatin C dapat menjadi indikator GGA tahap awal yang cukup dapat
dipercaya
c. Volume Urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang
spesifik untuk GGA, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai
biokimia darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa
bermacam-macam. GGA pre-renal biasanya hampir selalu disertai oliguria
(<400 ml/hari), walaupun kadang-kadang tidak dijumpai oliguria. GGA
post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria.
o Perubahan pada urine ouput secara garis besar sedikit berkaitan dengan
perubahan pada laju filtrasi glomerulus (LFG)/ Kurang lebih 50-60%
dari seluruh etiologi AKI adalah non-oligourik. Namun,
mengidentifikasi anuria, oliguria, ataupun non-oliguria mungkin dapat
berguna untuk mengetahui diferensial diagnosis dari AKI, seperti:21
 Anuria : Infeksi saluran kemih, Obstruksi arteri renalis, rapidly
progressive glomerulonephritis, bilateral diffuse renal cortical
necrosis
 Oliguria : AKI akibat pre-renal, sindroma hepatorenal
 Non-oliguria : Acute interstisial nefritis, Glomerulonefritis akut,
Partial Obstructive Nephropathy, radiocontrast- induced AKI.
d. Kelainan analisis urin.5
o Pasien dengan oliguria, pengukuran FENa dapat membantu untuk
membedakan pre-renal dengan GGA renal yang menyebabkan GGA.
FENa dapat dijelaskan dengan hasil sebagai berikut: Nilai kurang dari
1 persen menunjukkan GGA akibat pre-renal, dimana FNEa > 2%
menunjukkan GGA akibat gangguan renal. Pada pasien yang
menjalani terapi diuretik, FNEa> 1% dapat disebabkan oleh proses
natriuresis yang disebabkan oleh diuretik, sehingga kurang dapat
diandalakn sebagai GGA akibat pre-renal. Di beberapa kasus,

65
fractional excretion of urea (FE urea) dapat membantu, dengan hasil
kurang dari 35% yang menunjukkan GGA akibat pre-renal. FENa
kurang dari 1 persen tidak spesifik untuk GGA pre-renal karena hasil
tersebut dapat disebabkan oleh kondisi lainnya, seperti contrast
nephropathy, rhabdomyolisis, acute glomerulonephritis, dan infeksi
saluran kemih.
e. Petanda biologis (Biomarkers). Syarat petanda biologis GGA adalah
mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan
kemudahan teknik pemeriksanya. Biomarkers diperlukan untuk secepatnya
mendiagnosis GGA. Berdasarkan kriteria RIFLE/AKIN maka perlu dicari
pertanda utnuk membuat diagnosis seawal mungin. Beberapa biomarkers
mungkin bisa dikembangkan. Biomarkers ini merupakan zat-zat yang
dikeluarkan oleh tubuls ginjal yang rusak, seperti IL-18, enzim tubular, dll.

f. Tatalaksana dan Komplikasi

Terapi Konservatif (Suportif)


Terapi konservatif (suportif) adalah penggunaan obat-obatan atau
cairan dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi progresivitas,
morbiditas, dan mortalitas penyakit akibat komplikasi AKI. Bilamana
terapi konservatif tidak dapat memperbaiki kondisi klinik pasien, maka
harus diputuskan untuk melakukan Terapi Pengganti Ginjal (TPG).

Tujuan terapi konservatif adalah :22


❖ Mencegah progresifitas penurunan fungsi ginjal.
❖ Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
❖ Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
❖ Memelihara keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa.

Beberapa prinsip terapi konservatif adalah sebagai berikut :22


❖ Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.

66
❖ Hindari keadaan yang menyebabkan deplesi volume cairan
ekstraseluler dan hipotensi
❖ Hindari gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis metabolic
❖ Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi
medis yang kuat

67
❖ Hindari pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa indikasi
medis yang kuat
❖ Kendalikan hipertensi sistemik dan tekanan intraglomerular.
❖ Kendalikan keadaan hiperglikemia dan infeki saluran kemih (lSK).
❖ Diet protein yang proporsional.
❖ Pengobatan yang sesuai terhadap etiologi AKI

Pada dasarnya terapi konservatif (suportif) adalah untuk menjaga


homeostasis tubuh dengan rnengurangi efek buruk akibat komplikasi AKI.
Beberapa terapi suportif beserta dosis obat yang dianjurkan dapat terlihat pada
tabel di bawah.22

Tabel 2.5 Terapi Konservatif (Suportif) pada AKI22

Komplikasi Terapi

Kelebihan cairan Batasi garam (l-2 gram/hari) dan air (<1 liter/hari)

Intravaskuler Diuretik (biasanya furosemide/thiazide)

Batasi cairan (<1 liter/hari)


Hiponatremia Hindari pemberian cairan hipotonis (termasuk
dekstrosa 5%)

Batasi asupan kalium (<40 mmol/hari)


Hindari suplemen kalium dan diuretik hemat
kalium
Beri resin potassium-binding ion exchange
Hiperkalemia (kayexalate)
Beri glukosa 50% sebanyak 50 cc + insulin 10 unit
Beri natrium bikarbonat (50-100 mmol)
Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-l mg lV
Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit)

Batasi asupan protein (0,8-1,0 g/kgBB/hari)


Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum
Asidosis metabolik
bikarbonat plasma > 15 mmol/l dan pH arteri >
7,2)

68
Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
Hiperfosfatemia Beri pengikat fosfat (kalsium asetat-karbonat,
alumunium HCl, sevalamer)

Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10%


Hipokalsemia
(10-20 cc)

Hiperurisemia Tidak perlu terapi jika kadar asam urat < 15 mg/dl

Komplikasi AKI yang esensial dapat menyebabkan kematian dengan


segera. Mengingat bahwa AKI dapat disebabkan oleh etiologi yang berbeda, maka
sukar mencari patofisiologi yang seragam terhadap komplikasi yang terjadi.
Sebagian kasus AKI terjadi akibat hipoperfusi, sebagian lain terjadi akibat
iskemia, dan tidak jarang keduanya terjadi secara bersamaan. Pada pasien AKI
dengan penyakit kritis harus pula diperhatikan kegagalan multi-organ akibat
penyakit etiologinya. Dapat dimengerti bahwa tidak dapat dibuat suatu panduan
yang seragam mengenai pengelolaan komplikasi AKI, bahkan sering terjadi
kontroversi mengenai cara pengelolaannya.23

Berikut dibahas mengenai beberapa kornplikasi AKI yang dapat


menyebabkan kematian dengan segera dan memerlukan pengelolaan dengan cepat
dan tepat, antara lain:7

1. Kelebihan cairan intravaskuler (volume overload)


Pada pasien AKI terutama yang disertai oliguri atau anuria sering sekali
terjadi kelebihan cairan intravaskuler (volume overload), sehingga tindakan
yang harus dilakukan adalah :24
❖ Membatasi intake garam menjadi 1-2 gram/hari
❖ Membatasi intake cairan dengan menyesuaikan dengan jumlah urine dan
IWL (insensible water loss). Contoh rumus yang dapat digunakan adalah :

Jumlah intake/jam = jumlah urine jam sebelumnya + 25 cc.

69
Bila terjadi anuria atau oligouria, sebaiknya jumlah intake dibatasi menjadi
< 1000 cc/hari, kecuali jika ada pengeluaran cairan lain seperti muntah
atau diare.24

2. Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan salah satu komplikasi esensial AKI yang dapat
menimbulkan kematian dengan segera. Pengelolaan hiperkalemia pada AKI
secara bertahap dibagi atas hiperkalemia sedang dan hiperkalemia dengan
kelainan EKG.7
Hiperkalemia sedang (5,5 – 6,5 mmol/liter) tanpa kelainan gambaran EKG
dapat dikelola secara konservatif dengan cara :7
❖ Mengurangi intake kalium dalam diet
❖ Menghindari obat-obatan yang meningkatkan kadar kalium (antagonis
aldosteron, ACE inhibitor, heparin, β blocker non selektif)
❖ Pemberian resin ion-exchange, misalnya Kayexalate dengan dosis 15-
30 gram (3-4 kali per hari) atau digabung dengan pemberian sorbitol
20% per oral.
❖ Untuk mempercepat ekskresi kalium melalui ginjal, dapat diberikan
furosemide oral/IV jika pasien masih responsif terhadap diuretik.
Hiperkalemia dengan kelainan EKG membutuhkan penanganan emergensi yang
perlu dilakukan segera untuk menghindari terjadinya gangguan irama jantung
atau henti jantung (cardiac arrest) Pengelolaan yang dapat dilakukan adalah :7

 Kalsium glukonat 10% 5-10 cc secara IV perlahan (> 5 menit), dapat


diulang setelah 15 menit jika gambaran EKG belum membaik. Obat
ini onset kerjanya cepat (3-5 menit), tetapi hanya bertahan sekitar 30-
60 menit. Fungsinya menstabilkan sel jantung (miosit membran
jantung), tetapi tidak menurunkan kadar kalium darah.

 Berikan obat-obat yang dapat menyebabkan translokasi K+ dari


ekstraseluler ke intraseluler, seperti insulin, bikarbonat, dan β agonis.

70
o Insulin

 Pemberian insulin akan meningkatkan Na+/K+-ATPase,


sehingga translokasi K+ dari ekstraseluler ke
intraseluler meningkat, tetapi tidak menyebabkan
ekskresi kalium keluar tubuh. Onset obat ini 15-30
menit dan berlangsung selama 4-6 jam. Untuk
menghindari hipoglikemia, insulin biasanya diberikan
dalam infus glukosa dengan dosis 10-20 unit insulin
reaksi cepat (Actrapid atau Humulin) diberikan dalam
50 cc glukosa 50% selama 10-20 menit. Bila pasien
menderita hiperglikemia (GDS > 360 mg), insulin
dapat diberikan tanpa dekstrosa, tetapi dengan
monitoring gula darah.

o Bikarbonat

 Bikarbonat dapat diberikan secara bolus 1 ampul (50%


mEq natrium bikarbonat) atau diberikan secara infus.
Pengaruh bikarbonat dalam penurunan kadar kalium
darah baru bermakna jika pasien juga mengalami
asidosis metabolik

o β-agonis

 Salbutamol dapat diberikan secara infus (0,5 mg) atau


nebulisasi (10-20 mg dalam 4 cc NaCl 0,9%). Onset
obat ini 1-2 menit dan berlangsung selama 4-6 jam.
Efek samping obat ini adalah takikardia, rasa cemas,
dan flushing. Harus diberikan secara hati-hati jika
pasien menderita komplikasi jantung. Lebih sering
digunakan pada anak-anak.

71
❖ Memberikan obat-obatan yang dapat mengekskresi K+ ke luar tubuh
Ekskresi kalium dapat melalui urine, dan bila pasien masih
responsif terhadap diuretik, dapat diberikan furosemide oral atau
intravena yang akan meningkatkan ekskresi kalium melalui urine.
Ekskresi kalium melalui feses dapat dilakukan dengan pemberian resin
penukar kation (Kayaxalate) yang akan mengikat kalium dalam saluran
cerna dan menukarnya dengan natrium (sodium polystyrene) atau
kalsium (calcium polystyrene) kemudian diekskresi lewat feses. Dosis
yang diberikan 15-30 gram per oral, untuk meningkatkan ekskresi
lewat feses dapat diberikan bersamaan dengan sorbitol 20% (50-100
cc). Onset obat ini lambat (> 2 jam) dan berlangsung selama 4-6 jam

Bila semua usaha di atas tidak berhasil, atau keadaan hiperkalemia


mengancam nyawa maka kadar kalium harus diturunkan dengan melakukan
terapi pengganti ginjal.7

3. Asidosis metabolik

Penurunan kadar bikarbonat serum < 24 mEq/liter (normal = 24-28


mEq/liter) dengan diikuti penurunan pH darah (normal = 7,35-7,45)
merupakan salah satu komplikasi esensial AKI. Seringkali komplikasi ini
disertai dengan hiperkalemía. Keadaan asidosis metabolik berat (pH < 7,2 dan
kadar bikarbonat < 13 mEq/liter) merupakan kondisi gawat darurat karena
dapat menimbulkan komplikasi pada sistem saraf, sistem gastrointestinal,
gagal napas, dan gagal jantung.7
Pada asidosis metabolik ringan, pengobatan ditujukan untuk
menghilangkan penyebab terjadinya komplikasi ini dan pemberian cairan
isotonis (NaCl 0,9%) untuk rehidrasi. Pada asidosis metabolik berat atau

72
mengancam nyawa dapat diberikan natrium bikarbonat (NaHCO 3), dengan
cara sebagai berikut :7
❖ Bila pH darah < 7,1 diberikan dengan cepat (l -3 jam) sampai dicapai
pH > 7,2 dengan dosis 1 - 2 mEq/kg BB (100-200 mEq) dengan infus
lambat.
❖ Selanjutnya diberikan dengan lebih lambat dengan dosis :
o Kebutuhan bikarbonat (mEq/L) = (kadar bikarbonat diharapkan
− kadar bikarbonat terukur) × 40% BB (kg)
o atau berdasarkan SBE (standard base excess) : Kebutuhan
bikarbonat (mEq/L) = 0,3 × BB(kg) × SBE.
Efek samping pengobatan natrium bikarbonat adalah alkalosis
metabolik, hipokalemia, hipokalsemia, gangguan gastrointestinal, volume
overload, atau edema paru.7

Beberapa komplikasi AKI lain berikut perlu diperhatikan, dan walaupun tidak
segera menimbulkan kematian, tetapi dapat memengaruhi prognosis pasien.7

1. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia

Hiperfosfatemia sering terjadi pada AKI, terutama pada pasien dengan


hiperkatabolik. Untuk mengatasi hal ini, intake fosfat harus dibatasi dan
diberikan obat pengikat fosfat (fosfobinder), misalnya kalsium karbonat 3 ×
500 mg/oral. Bila dengan diet dan terapi konservatif tidak berhasil, dapat
dipikirkan untuk melakukan dialisis. Hipokalsemia, hipermagnesemia, dan
hiperurisemia sering terjadi pada AKI, tetapi biasanya tidak memerlukan
pengobatan kecuali jika ada gejala-gejala klinik seperti kejang-kejang (pada
hipokalsemia), hiporefleksia, dan depresi pernapasan (pada
hipermagnesemia).7

2. Komplikasi hematologi

Pada AKI biasanya terjadi anemia ringan akibat proses inflamasi.


Transfusi hanya diperlukan jika terjadi perdarahan aktif atau anemia

73
menimbulkan gangguan hemodinamik. Pada kasus AKI pemberian
eritropoieitin tidak bermanfaat. Pada AKI yang berat terutama yang disertai
dengan sepsis dapat terjadi gangguan perdarahan. Pada kasus semacam ini
dapat diberikan desmopresin, terapi estrogen, atau segera dilakukan dialisis.7

3. Komplikasi gastro-intestinal

Akibat azotemia dapat terjadi perdarahan gastrointestinal karena ulkus


uremik atau ulkus stress. Untuk pengobatan atau pencegahan dapat diberikan
H2 antagonis atau inhibitor pompa proton. Jangan diberikan antasida yang
berbasis magnesium atau alumunium karena dapat berakumulasi dan menjadi
toksik.7

4. lnfeksi

Akibat berbagai sebab sering terjadi infeksi pada AKI. Harus


dimonitor kemungkinan terjadinya infeksi, termasuk perawatan aseptik yang
baik terhadap saluran infus kateter, saluran CVP, saluran nasogastrik, dll. Bila
dicurigai adanya infeksi segera diatasi dengan pemberian antibiotik spektrum
luas sambil menunggu hasil kultur.7

Terapi Pengganti Ginjal pada AKI

Terapi Pengganti Ginjal (TPG) atau Renal Replacement Therapy (RRT)


adalah usaha untuk menggambil alih fungsi ginjal yang telah menurun dengan
menggunakan ginjal buatan (dializer) dengan teknik dialisis atau hemofiltrasi.
Pada TPG seperti dialisis atau hemofiltrasi, yang dapat digantikan hanya fungsi
ekskresi, yaitu fungsi pengaturan cairan dan elektrolit, serta ekskresi sisa-sisa
metabolisme protein. Sedangkan fungsi endokrin seperti fungsi pengaturan
tekanan darah, pembentukan eritrosit, fungsi hormonal, maupun integritas tulang
tidak dapat digantikan oleh terapi jenis ini.25

74
Pasien AKI dalam kondisi kritis (critically ill) yang dirawat di ruang rawat
intensif (lCU) sangat bervariasi. Mereka merupakan kelompok pasien yang
heterogen, baík dalam diagnosis penyakit etiologi, umur, penyakit lain yang
menyertai (komorbid), atau derajat gangguan fisiologis pada saat masuk. Kondisi
klinik pasien dapat berubah-ubah setiap saat. Tahapan penyakit dapat berganti
dengan cepat, yang tidak hanya disebabkan oleh satu mekanisme patofisiologis
tubuh yang tunggal, melainkan berbagai faktor yang saling memperburuk dan
terkait. Seringkali pasien AKI disertai dengan berbagai gangguan organ (multiple
organ failure) di mana keadaan hemodinamiknya sangat tidak stabil. Oleh karena

itu, strategi TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis diharapkan dapat
mencapai tujuan berikut :25
❖ Mencegah perburukan fungsi ginjal lebih lanjut.
❖ Membantu mempercepat proses penyembuhan penyakit dan pemulihan
fungsi ginjal dan fungsi organ lain yang terganggu.
❖ Memungkinkan dilakukan tindakan pengobatan yang banyak
memerlukan cairan, misalnya resusitasi cairan, pemberian nutrisi, dan
obat-obatan.

Tujuan TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis adalah untuk memberi
bantuan kepada ginjal (renal support) dan kepada berbagai organ tubuh lainnya
supaya kembali berfungsi. Pasien AKI dalam kondisi kritis membutuhkan cairan,
obat-obatan, maupun nutrisi dalarn jumlah besar. Dengan melakukan TPG, dapat
dilakukan ultrafiltrasi sehingga dapat diberikan cairan sesuai dengan kebutuhan
pasien. Jadi, diciptakan lingkungan yang memberi kesempatan kepada tubuh
untuk pulih dari penyakit yang menjadi penyebab kondisi kritisnya. Tujuan
tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan TPG pada pasien gagal ginjal
terminal (chronic kidney disease) di mana tujuan utamanya adalah mengambil alih
fungsi ginjal (renal replacement) secara rutin seumur hidup untuk memperbaiki
keadaan azotemia sehingga yang menjadi patokan keberhasilan adalah survival
dan kualitas hidup.25

75
Pada pasien AKI, indikasi TPG sangat luas, tergantung dari kondisi klinik
yang dihadapi. Saat ini kriteria yang biasa dipakai menjadi dasar untuk inisiasi
dialisis pada AKI adalah gejala klinik kelebihan (overload) cairan dan penanda
biokimia tentang terjadinya ketidak-seimbangan elektrolit, misal hiperkalemia,
azotemia, atau asidosis metabolik. Berikut adalah kriteria praktis yang sangat
bermanfaat sebagai indikasi inisiasi TPG, sehingga memungkinkan bagi pasien
untuk mendapatkan TPG yang lebih tepat waktu, lebih aman, dan lebih
fisiologis.25
Berikut adalah indikasi dan kriteria untuk inisiasi dialisis pada AKI di ICU
:25
1. Oliguria (output urine < 200 cc/12 jam)
2. Anuria/oliguria berat (output urine < 50 cc/ l2 jam)
3. Hiperkalemia (K+> 6,5 mmol/L)
4. Asidosis berat (pH < 7,1)
5. Azotemia (urea > 30 mmol/liter)
6. Gejala klinik berat (terutama edema paru)
7. Ensefalopati uremik
8. Perikarditis uremik
9. Neuropati/miopati uremik
10. Disnatremia berat (Na > 160 atau < 115 mmol/L)
11. Hipertermia/hipotermia
12. Overdosis obat -obatan yang terdialisis jika kadar asam urat <15 mg/dl

Bila didapatkan satu gejala di atas sudah dapat merupakan indikasi untuk
inisiasi dialisis, dua gejala di atas merupakan indikasi untuk segera inisiasi
dialisis, dan lebih dari dua merupakan indikasi untuk segera inisiasi dialisis
walaupun kadarnya belum mencapai yang tertulis.

- CKD
A. Definisi

76
Cronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai adanya
kerusakan ginjal atau perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR) kurang dari
60 ml/menit/1,73 mt2, bertahan selama 3 bulan atau lebih, terlepas dari
penyebabnya. CKD adalah keadaan hilangnya fungsi ginjal secara
progresif yang pada akhirnya mengakibatkan kebutuhan akan terapi
pengganti ginjal (dialisis atau transplantasi). Kerusakan ginjal mengacu
pada kelainan patologis yang dapat ditemukan pada studi pencitraan atau
biopsi ginjal, kelainan pada sedimen urin, atau peningkatan tingkat
ekskresi albumin urin.
B. Klasifikasi
Klasifikasi CKD KDIGO 2012 merekomendasikan rincian tentang
penyebab CKD dan mengklasifikasikannya menjadi 6 kategori
berdasarkan laju filtrasi glomerulus (G1 hingga G5 dengan G3 terbagi
menjadi 3a dan 3b). Ini juga mencakup stadium berdasarkan tiga tingkat
albuminuria (A1, A2, dan A3), dengan setiap tahap CKD disubkategorikan
menurut rasio albumin-kreatinin urin dalam (mg/gm) atau (mg/mmol)
dalam sampel urin pagi.
6 kategori tersebut antara lain:
a. G1: GFR 90 ml/menit per 1,73 m2 ke atas
b. G2: GFR 60 hingga 89 ml/menit per 1,73 m2
c. G3a: GFR 45 hingga 59 ml/menit per 1,73 m2
d. G3b: GFR 30 hingga 44 ml/menit per 1,73 m2
e. G4: GFR 15 hingga 29 ml/menit per 1,73 m2
f. G5: GFR kurang dari 15 ml/menit per 1,73 m2 atau pengobatan
dengan dialisis

Dalam hal ini pasien pada kasus sudah memasuki grade 5, dimana
GFR pada pasien adalah 2.1 ml/menit per 1.73 m2 (< 15 ml/menit per 1,73
m2). Sehingga pasien sudah membutuhkan terapi berupa hemodialisis.

Tiga tingkat albuminuria termasuk rasio albumin-kreatinin (ACR)

77
a. A1: ACR kurang dari 30 mg/gm (kurang dari 3,4 mg/mmol)
b. A2: ACR 30 hingga 299 mg/gm (3,4 hingga 34 mg/mmol)
c. A3: ACR lebih besar dari 300 mg/gm (lebih besar dari 34 mg/mmol).

Gambar Definisi dan Prognosis Penyakit Ginjal Kronis Menurut Kategori


GFR dan Albuminuria, KDIGO 2012.
C. Etiologi
Penyebab CKD bervariasi secara global, bisa oleh sebab penyakit
primer yang diderita pasien atau oleh sebab gangguan ginjal yang
sebelumnya diderita oleh pasien. Pasien pada kasus ini memiliki riwayat
hipertensi sebelumnya dan ketika pertama kali didiagnosa sebagai gagal
ginjal kronik tekanan darah pasien menunjukkan angka 148/81 mmHg.
Selain itu pasien juga memiliki riwayat batu ginjal yang sudah dioperasi 2
tahun yang lalu, yang besar kemungkinan juga menjadi penyebab dari
gagal ginjal kronis yang sekarang diderita pasien.
Penyakit primer lain yang paling umum menyebabkan CKD
adalah:
a. Diabetes mellitus tipe 2 (30% hingga 50%)
b. Hipertensi (27,2%)
c. Glomerulonefritis primer (8,2%)
d. Diabetes mellitus tipe 1 (3,9%)
e. Nefritis tubulointerstitial kronis (3,6%)
f. Penyakit keturunan atau kistik (3,1%)

78
g. Glomerulonefritis atau vaskulitis sekunder (2,1%)
h. Diskrasia atau neoplasma sel plasma (2.1)
i. Nefropati Sel Sabit (SCN) yang menyumbang kurang dari 1% pasien
ESRD di Amerika Serikat
Sedangkan dari gangguan ginjal yang dapat mengakibatkan CKD
dibagi menjadi 3 kategori: prerenal (penurunan tekanan perfusi ginjal),
ginjal intrinsik (patologi pembuluh darah, glomeruli, atau tubulus-
interstitium), atau postrenal (obstruktif, seperti batu ginjal/nefrolithiasis).10
D. Faktor resiko
a. Faktor Risiko CKD yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, etnis non-Kaukasia yang
meliputi Afrika Amerika, individu Afro-Karibia, Hispanik, dan Asia
(Asia Selatan dan Asia Pasifik) semuanya mempengaruhi
perkembangan CKD. Faktor genetik yang mempengaruhi
perkembangan CKD telah ditemukan pada penyakit ginjal yang
berbeda.
b. Faktor Risiko CKD yang Dapat Dimodifikasi
Hipertensi sistemik, proteinuria, obesitas, merokok dan faktor
metabolik seperti resistensi insulin, dislipidemia, dan hiperurisemia
telah terlibat dalam pengembangan dan perkembangan CKD.

E. Epidemiologi

79
Gambar Prevalensi Gagal Ginjal Kronis menurut Karakteristik di
Indonesia
F. Patofisiologi
Patofisiologi gagal ginjal kronik (GGK) dimulai pada fase awal
gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat
– zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit.
Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis
GGK mungkin minimal karena nefron – nefron sisa yang sehat mengambil
alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan
kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi.
Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang
tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron – nefron
tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini
tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron – nefron yang ada untuk
meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron –
nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein, terjadi
pembentukan jaringan parut dan aliran darah pada ginjal akan berkurang.
Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan
sehingga dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan memperburuk
kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar terjadi peningkatan filtrasi protein
– protein plasma. Kondisi akan bertambah buruk dengan semakin banyak
terbentuk jaringan parut sebagai respon dari kerusakan nefron dan secara
progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan manifestasi penumpukan

80
metabolit – metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari sirkulasi sehingga
akan terjadi sindrom uremia berat yang memberikan banyak manifestasi
pada setiap organ tubuh.
Pada saat ini penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup
parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis
cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kompleks perubahan biokimia dan
gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap
sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita sangat
memerlukan pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialysis,
hal tersebut karena prognosis gagal ginjal stadium akhir sangat buruk
bahkan hingga menyebabkan kematian.
G. Diagnosis
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Tahap awal CKD tidak menunjukkan gejala, dan gejala
bermanifestasi pada tahap 4 atau 5. Biasanya terdeteksi dengan tes
darah atau urin rutin. Beberapa gejala dan tanda umum pada tahap
CKD seperti pada pasien ini adalah:
a) Mual
b) Muntah
c) Perut terasa penuh
d) Nafsu makan menurun
e) Lemas
f) Hipertensi yang sulit dikendalikan
Selain itu, CKD juga dapat memiliki gejala lain seperti:
a) Gangguan tidur
b) Oliguria
c) Ketajaman mental menurun
d) Otot berkedut dan kram
e) Pembengkakan kaki dan pergelangan kaki
f) Pruritus persisten
g) Nyeri dada akibat perikarditis uremik

81
h) Sesak napas karena edema paru akibat kelebihan cairan

Gambar manifestasi klinis CKD


b. Pemeriksaan penunjang
a) Gambaran laboratoris
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan
kreatinin serum
3. Penurunan GFR yang dihitung dengan rumus kockroft-gault
4. Kelainan biokimiawi meliputi penurunan hemoglobin,
peningkatan asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hipo atau hiperkloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,
asidosis metabolic

82
5. Kelainan urinalisis berupa proteinuria, hematuria, leukosituria,
cast, isostenuria
b) Pencitraan Ginjal
Jika pemeriksaan ultrasonografi ginjal menunjukkan ginjal
kecil dengan ketebalan korteks yang berkurang, peningkatan
ekogenisitas, jaringan parut, atau kista multipel, ini menunjukkan
proses kronis. Mungkin juga membantu untuk mendiagnosis
hidronefrosis kronis dari uropati obstruktif, pembesaran kistik
ginjal pada ADPKD.
 Ultrasonografi ginjal Doppler dapat digunakan pada kecurigaan
stenosis arteri ginjal untuk mengevaluasi aliran vaskular ginjal
 Computerized tomography: CT non-kontras dosis rendah
digunakan untuk mendiagnosis penyakit batu ginjal. Ini juga
digunakan untuk mendiagnosis dugaan obstruksi ureter yang
tidak dapat dilihat dengan ultrasonografi.
 Angiografi ginjal berperan dalam diagnosis poliarteritis nodosa
di mana terlihat aneurisma multipel dan area penyempitan yang
tidak teratur.
 Voiding cystourethrography terutama digunakan ketika refluks
vesikourethral kronis dicurigai sebagai penyebab CKD. Ini
digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan
memperkirakan tingkat keparahan refluks.
 Scan ginjal dapat memberikan informasi yang cukup tentang
anatomi dan fungsi ginjal. Mereka digunakan terutama pada
anak-anak karena berhubungan dengan paparan radiasi yang
lebih rendah dibandingkan dengan CT scan. Pemindaian ginjal
radionuklida digunakan untuk mengukur perbedaan fungsi
antara ginjal.

H. Penatalaksanaan

83
Pengobatan penyakit ginjal stadium akhir melibatkan koreksi parameter
pada tingkat presentasi pasien. Intervensi yang ditujukan untuk
memperlambat laju penyakit ginjal harus dimulai dan dapat mencakup:
a. Mengobati penyebab yang mendasari dan mengelola tekanan darah
dan proteinuria. Tekanan darah harus ditargetkan untuk tekanan darah
sistolik kurang dari 130 mmHg dan tekanan darah diastolik kurang dari
80 mmHg pada orang dewasa dengan atau tanpa diabetes mellitus yang
ekskresi albumin urin melebihi 30 mg selama 24 jam. Untuk pasien
diabetes dengan proteinuria, penghambat enzim pengubah angiotensin
(ACEI) atau penghambat reseptor angiotensin 2 (ARB) harus dimulai
dalam kasus di mana nilai albumin urin berkisar antara 30 dan 300 mg
dalam 24 jam dan lebih besar dari 300 mg dalam 24 jam. Obat-obat ini
memperlambat perkembangan penyakit, terutama bila dimulai sebelum
GFR menurun menjadi kurang dari 60 mL/menit atau sebelum
konsentrasi kreatinin plasma melebihi 1,2 dan 1,5 pada wanita dan
pria, masing-masing.
b. Target lain dalam perawatan pencegahan dan pemantauan harus
mencakup kontrol glikemik yang ketat, pengurangan risiko
kardiovaskular, dan rekomendasi gaya hidup umum seperti berhenti
merokok dan pembatasan diet. Kontrol glikemik sangat penting.
Sebuah hemoglobin A1C kurang dari 7% umumnya direkomendasikan
untuk mencegah atau menunda komplikasi mikrovaskular pada
populasi ini. Penatalaksanaan dengan penghambat sodium-glucose
transporter 2 (SGLT-2) dapat mengurangi beban penyakit pada mereka
dengan diabetes mellitus tipe 2.
c. Pengobatan asidosis metabolik kronis dengan bikarbonat ginjal
tambahan juga dapat memperlambat perkembangan penyakit ginjal
stadium akhir.
d. Pasien dengan CKD cenderung mengalami dislipidemia, terutama
hipertrigliseridemia. Pemantauan panel lipid puasa dan inisiasi agen

84
penurun kolesterol seperti inhibitor HMG-CoA reduktase harus
dilakukan di awal perjalanan penyakit.
e. Kelebihan volume atau edema paru harus diobati dengan diuretik loop
atau ultrafiltrasi.
f. Untuk manifestasi uremik, terapi penggantian ginjal jangka panjang
(hemodialisis, dialisis peritoneal, atau transplantasi ginjal) diperlukan.
g. Anemia diobati dengan erythropoiesis-stimulating agent (ESA) seperti
erythropoietin.
h. Hiperfosfatemia diobati dengan pengikat fosfat (kalsium asetat,
sevelamer karbonat, atau lantanum karbonat) dan pembatasan diet
fosfat.
i. Modifikasi gaya hidup dan pembatasan diet secara rutin
direkomendasikan. Mengikuti diet rendah garam (kurang dari 2 g/hari),
diet ginjal (menghindari makanan yang tinggi fosfor), dan membatasi
protein harian hingga 0,8 g per kg berat badan per hari sangat penting
untuk mengelola beban penyakit.
j. Hipokalsemia juga harus dipantau. Kadar vitamin D 25-OH kurang
dari 10 ng/mL memerlukan inisiasi ergokalsiferol 50.000 IU setiap
minggu selama 6 hingga 8 minggu sebelum beralih ke kolekalsiferol
800 hingga 1000 IU setiap hari.
k. Hiperparatiroidisme harus diobati dengan kalsitriol, analog vitamin D,
atau kalsimimetik.
l. Perencanaan Terapi Penggantian Ginjal Jangka Panjang
Pendidikan pasien awal harus dimulai mengenai perkembangan
penyakit alami, modalitas yang berbeda untuk dialisis, dan
transplantasi ginjal. Untuk pasien yang transplantasinya tidak dalam
waktu dekat, fistula arteriovenosa primer harus dibuat sebelum tanggal
dialisis yang diantisipasi. Setiap pasien dengan penyakit ginjal stadium
akhir harus dirujuk tepat waktu untuk transplantasi ginjal.
Indikasi terapi pengganti ginjal pada pasien PGK antara lain sebagai
berikut:

85
a) Asidosis metabolik berat
b) Hiperkalemia
c) Perikarditis
d) Ensefalopati
e) Kelebihan volume yang sulit diatasi
f) Gagal tumbuh dan malnutrisi
g) Neuropati perifer
h) Gejala gastrointestinal yang sulit diatasi
i) Laju filtrasi glomerulus (GFR) 5-9 mL/menit/1,73 m², terlepas dari
gejala atau ada atau tidaknya penyakit penyerta lainnya
I. Prognosis
Penyakit ginjal adalah gangguan progresif, dan terapi penggantian ginjal
yang tepat waktu diperlukan untuk mencegah kematian. Penyebab
kematian yang paling umum adalah hiperkalemia, diikuti oleh penurunan
fungsi jantung. Tingkat kematian lebih tinggi untuk pria daripada wanita,
demikian pula, orang kulit hitam lebih rentan terhadap kematian karena
ESRD daripada orang kulit putih. Angka kematian tertinggi adalah dalam
enam bulan pertama setelah memulai dialisis. Tingkat kelangsungan hidup
5 tahun untuk pasien yang menjalani dialisis jangka panjang di Amerika
Serikat adalah sekitar 35% dan sekitar 25% pada pasien dengan diabetes.
J. Komplikasi
Tabel Skrining, Pemantauan, dan Penatalaksanaan Komplikasi Penyakit
Ginjal Kronik (PGK).

Komplikasi Tes yang relevan Frekuensi Pengelolaan


Pengujian Ulang

Anemia Hemoglobin Tanpa anemia: Singkirkan


CKD stadium G1- penyebab lain
G2: bila anemia: defisiensi
terindikasi secara besi, defisiensi
klinis vitamin B12 ,

86
CKD stadium G3: defisiensi folat,
setidaknya sekali perdarahan
per tahun tersembunyi
CKD stadium G4- Pertimbangkan
G5: setidaknya suplementasi besi
dua kali setahun dan rujuk ke ahli
Dengan anemia: nefrologi untuk
CKD stadium 3- terapi agen
5: setidaknya perangsang
setiap 3 bulan eritropoietin bila
hemoglobin <10
g/dL

Gangguan Kalsium serum, Kalsium/fosfat: Pertimbangkan


mineral dan fosfat, hormon CKD stadium G3: terapi penurun
tulang paratiroid, 25- setiap 6-12 bulan fosfat (misalnya,
hidroksivitamin D CKD stadium G4: kalsium asetat,
setiap 3-6 bulan sevelamer,
CKD stadium G5: pengikat berbasis
setiap 1-3 bulan zat besi) dan
Hormon suplementasi
paratiroid: vitamin D
CKD stadium G3:
pada awal,
kemudian sesuai
kebutuhan
CKD stadium G4:
setiap 6 –12 bulan
CKD stadium G5:
setiap 3–6 bulan
Vitamin D:

87
CKD stadium 3-
5: pada awal,
kemudian sesuai
kebutuhan

Hiperkalemia Kalium serum Pada awal dan Diet rendah


sesuai kebutuhan kalium, koreksi
hiperglikemia dan
acidemia,
pertimbangkan
pengikat kalium

Asidosis serum bikarbonat Pada awal dan Suplementasi


metabolik sesuai kebutuhan bikarbonat oral
(misalnya,
natrium
bikarbonat, soda
kue, atau natrium
sitrat/asam sitrat)
untuk nilai yang
menetap <22
mmol/L

5. Diabetes Mellitus Tipe 2


a. Definisi

Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan


metabolisme kronis yang ditandai dengan hiperglikemia
persisten. Ini mungkin karena gangguan sekresi insulin,
resistensi terhadap tindakan perifer insulin, atau keduanya.11

88
b. Epidemiologi
Diabetes adalah epidemi di seluruh dunia. Dengan
perubahan gaya hidup dan meningkatnya obesitas,
prevalensi DM telah meningkat di seluruh dunia. Prevalensi
global DM adalah 425 juta pada tahun 2017. Menurut
International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2015,
sekitar 10% dari populasi Amerika menderita diabetes. Dari
jumlah tersebut, 7 juta tidak terdiagnosis. Dengan
bertambahnya usia, prevalensi DM juga meningkat. Sekitar
25% dari populasi di atas 65 tahun menderita diabetes.12
c. Etiologi
Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari serangkaian
disfungsi yang ditandai dengan hiperglikemia dan akibat
kombinasi resistensi terhadap kerja insulin, sekresi insulin
yang tidak memadai, dan sekresi glukagon yang berlebihan
atau tidak sesuai.

d. Faktor resiko
- Orang yang berusia lebih dari 40 tahun
- Ras/etnis tertentu (penduduk asli Amerika, Afrika Amerika,
Hispanik, atau Asia Amerika, Kepulauan Pasifik),
- Orang yang kelebihan berat badan atau obesitas
- Kerabat tingkat pertama dengan diabetes mellitus
- Riwayat penyakit kardiovaskular atau hipertensi
- Kolesterol HDL rendah atau hipertrigliseridemia,
- Wanita dengan sindrom ovarium polikistik
- Kurang aktifitas fisik
- Memiliki riwayat diabetes gestasional atau melahirkan bayi
dengan berat berlebih
- Kondisi yang berhubungan dengan resistensi insulin, misalnya
Acanthosis nigricans.11,12
e. Patofisiologi

89
DM tipe 2 adalah kondisi resistensi insulin
dengan disfungsi sel beta terkait. Awalnya, ada
peningkatan kompensasi dalam sekresi insulin, yang
mempertahankan kadar glukosa dalam kisaran normal.
Seiring perkembangan penyakit, sel beta berubah, dan
sekresi insulin tidak mampu mempertahankan
homeostasis glukosa, menghasilkan hiperglikemia.
Sebagian besar pasien DMT2 mengalami obesitas atau
memiliki persentase lemak tubuh yang lebih tinggi,
terdistribusi terutama di daerah perut. Jaringan adiposa
ini sendiri meningkatkan resistensi insulin melalui
berbagai mekanisme inflamasi, termasuk peningkatan
pelepasan FFA dan disregulasi adipokin. Kurangnya
aktivitas fisik, GDM sebelumnya pada mereka dengan
hipertensi atau dislipidemia juga meningkatkan risiko
mengembangkan T2DM. Data yang berkembang
menunjukkan peran disregulasi adipokin, peradangan.12
f. Diagnosis
Pasien dengan diabetes mellitus paling sering datang
dengan rasa haus yang meningkat, buang air kecil yang
meningkat, kekurangan energi dan kelelahan, infeksi
bakteri dan jamur, dan penyembuhan luka yang
tertunda. Beberapa pasien juga bisa mengeluh mati rasa
atau kesemutan di tangan atau kaki mereka atau dengan
penglihatan kabur.

Menurut American Diabetes Association


(ADA), diagnosis diabetes adalah melalui salah satu
dari berikut ini: Tingkat HbA1c 6,5% atau lebih tinggi;
Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
atau lebih tinggi (tidak ada asupan kalori selama

90
minimal 8 jam), Tingkat glukosa plasma dua jam 11,1
mmol/L atau 200 mg/dL atau lebih tinggi selama 75-g
OGTT; Glukosa plasma sewaktu 11,1 mmol/L atau 200
mg/dL atau lebih tinggi pada pasien dengan gejala
hiperglikemia (poliuria, polidipsia, polifagia,
penurunan berat badan) atau krisis hiperglikemik. ADA
merekomendasikan skrining orang dewasa berusia 45
tahun dan lebih tua terlepas dari risiko, sedangkan
Satuan Tugas Layanan Pencegahan Amerika Serikat
menyarankan skrining individu antara 40 sampai 70
tahun yang kelebihan berat badan.

g. Tatalaksana
a. Nonfarmakologis
Pasien memiliki hasil yang lebih baik
jika mereka dapat mengatur diet mereka
(karbohidrat dan pembatasan kalori
secara keseluruhan), berolahraga secara
teratur (lebih dari 150 menit setiap
minggu), Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin
sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan adalah berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti
jalan kaki, bersepeda santai, joging dan
berenang serta secara mandiri memantau
glukosa.11,12

91
b. Farmakoterapi
a) Obat oral
metformin adalah terapi lini pertama.
Setelah metformin, banyak terapi
lain seperti sulfonilurea oral,
dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4)
inhibitor. Agonis reseptor glukagon-
like peptide-1 (GLP-I), inhibitor
Sodium-glucose co-transporter-2
(SGLT2), pioglitazon.13

c. Insulin

insulin yang fisiologis. Defisiensi


insulin dapat berupa defisiensi insulin basal,
insulin prandial (setelah makan), atau
keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin
prandial menyebabkan timbulnya
hiperglikemia setelah makan.
Dalam menggunakan insulin, dosis dinaikan secara
bertahap. Apabila kadar glukosa darah belum terkontrol,
titrasi dosis dapat dilakukan setiap 2- 3 hari. Cara
mentitrasi dosis insulin basal :

- Naikan dosis 2 unit bila


glukosa darah puasanya di atas
126 mg/dl
- Naikan dosis 4 unit bila

92
glukosa darah puasanya di atas
144 mg/dl
- Titrasi dosis ini dapat
dilakukan selama 2-3 bulan
pertama sampai kadar glukosa
darah puasa mencapai kadar
yang diinginkan
Jika nilai HbA1c masih belum
mencapai target, setelah kadar glukosa darah
puasa terkendali dengan regimen basal
insulin, maka dibutuhkan insulin lain untuk
menurunkan HbA1c, yaitu dengan
menambahkan insulin prandial. Pemberian
basal insulin dengan menambahkan insulin
prandial disebut dengan terapi basal plus.
Jika dengan pemberian cara di atas belum
mendapatkan hasil yang optimal, maka
pemberian insulin kerja cepat dapat
diberikan setiap mau makan. Cara pemberian
insulin seperti ini disebut dengan basal
bolus.13

6. Anemia Ringan Normositik Normokromik


a. Definisi
Anemia normokromik normositik berbeda dari bentuk
anemia lainnya karena ukuran rata-rata dan kandungan hemoglobin
sel darah merah biasanya dalam batas normal. Sel darah merah

93
biasanya tampak mirip dengan sel normal di bawah pemeriksaan
mikroskopis, meskipun dalam beberapa kasus, mungkin ada variasi
dalam ukuran dan bentuk yang menyamakan satu sama lain,
menghasilkan nilai rata-rata dalam kisaran normal. Anemia
normokromik normositik paling sering terjadi sebagai akibat dari
berbagai infeksi kronis dan penyakit sistemik. Sebagian besar
anemia normositik tampaknya merupakan hasil dari gangguan
produksi sel darah merah.
b. Etiologi
Etiologi anemia normokromik normositik tergantung pada
apakah anemia hipoproliferatif (yaitu, jumlah retikulosit terkoreksi
<2%) atau hiperproliferatif (yaitu, jumlah retikulosit terkoreksi
>2%).
a. Jumlah Retikulosit Normal/Penurunan
a) Sumsum Tulang Normal
 Anemia gangguan kronis (neoplastik, infeksi)
 Anemia gagal ginjal
 Endokrinopati (miksedema, penyakit Addison, hipotiroidisme,
panhipopituitarisme)
 Anemia penyakit hati
 Anemia defisiensi besi dini
b) Sumsum Tulang Tidak Normal
 Infiltrasi sumsum tulang (leukemia, mielofibrosis,
metastasis)
 Anemia hipoplastik
 Anemia aplastik
 Efek samping obat
b. Peningkatan Jumlah Retikulosit
a. Hemolisis
 Intrinsik: Cacat bawaan hemoglobin, membran sel darah
merah, atau enzim; hemoglobinuria nokturnal paroksismal

94
 Ekstrinsik: Anemia hemolitik autoimun, anemia hemolitik
mikroangiopati, koagulasi intravaskular diseminata (DIC).
b. Pendarahan
c. Patofisiologi
Anemia mikrositik hipokromik disebabkan oleh faktor apa pun yang
mengurangi simpanan zat besi tubuh. Hemoglobin adalah protein globular
yang merupakan komponen utama sel darah merah yang diproduksi di
sumsum tulang oleh sel-sel progenitor eritroid. Ini memiliki empat rantai
globin dua di antaranya adalah rantai alfa-globin sedangkan dua lainnya
adalah rantai beta-globin, keempat rantai ini melekat pada cincin porfirin
(heme) yang pusatnya mengandung besi dalam bentuk besi (besi
tereduksi) mampu mengikat empat molekul oksigen. Penyimpanan besi
yang berkurang menghentikan produksi rantai hemoglobin, dan
konsentrasinya mulai menurun dalam sel darah merah yang baru terbentuk
karena warna merah sel darah merah disebabkan oleh hemoglobin warna
sel darah merah yang baru terbentuk mulai memudar sehingga disebut
hipokromik. Karena sel darah merah yang baru diproduksi mengandung
lebih sedikit hemoglobin.
d. Penegakan diagnosis
a. Gejala Umum
a) Kelelahan
b) Pusing atau sakit kepala ringan
c) Dispnea
d) Kelemahan umum
e) Berdebar-debar
f) Sakit kepala
g) Konsentrasi berkurang
b. Penting untuk ditanyakan
a) Diet
b) Riwayat sakit perut, penyakit refluks, penyakit tukak lambung

95
c) Obat-obatan, termasuk sering menggunakan obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID)
d) Riwayat kondisi autoimun, keganasan
e) Kehilangan darah termasuk riwayat menstruasi (misalnya,
hematochezia, feses melena, gross hematuria, hematemesis)
f) Riwayat keluarga talasemia atau penyakit sel sabit
g) Obat-obatan
c. Pemeriksaan Fisik
a) Pucat pada kulit, konjungtiva, bibir, lipatan telapak tangan, dan
dasar kuku
b) Hipotensi postural akibat kehilangan volume intravaskular
c) Penyakit kuning yang disebabkan oleh anemia hemolitik
d) Nyeri tulang dan/atau organomegali dengan penyakit infiltratif
sumsum tulang
e) Splenomegali sekunder untuk hemolisis, limfoma, leukemia,
myelofibrosis
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan umum yang diperlukan untuk mendiagnosis anemia
normokromik normositik meliputi:
a) Pemeriksaan hemoglobin (HB)
b) Volume sel rata-rata (MCV) dan konsentrasi hemoglobin sel darah
rata-rata (MCHC)
c) Hitung retikulosit harus diperoleh untuk menentukan mekanisme
patofisiologi anemia. Peningkatan jumlah retikulosit menunjukkan
hemolisis; bukti lain yang berhubungan dengan peningkatan
penghancuran sel darah merah, misalnya, peningkatan LDH,
peningkatan kadar bilirubin tidak langsung, penurunan
haptoglobin, dll., juga harus dipertimbangkan. Penurunan jumlah
retikulosit dikaitkan dengan keadaan hipoproliferatif seperti
anemia aplastik, penyakit ginjal, hipotiroidisme, dll.

96
Hitung retikulosit terkoreksi = persen retikulosit x (HCT
pasien/HCT normal)
d) Apusan perifer - Morfologi eritrosit (bentuk dan ukuran; tidak
adanya schistocytes mengesampingkan hemolisis mikroangiopati;
mikrosferosit menunjukkan hemolisis; pembentukan rouleaux
berhubungan dengan multiple myeloma.
e) LDH, haptoglobin, bilirubin - untuk menyingkirkan hemolisis
f) Panel besi (besi, feritin, TIBC, saturasi transferin)
Jika anemia normokromik normositik dengan penyebab
sekunder dicurigai, tes berikut harus dilakukan sesuai
diagnosis/kecurigaan klinis:
a) Gagal ginjal: BUN/kreatinin, kadar eritropoietin (penyakit ginjal
stadium akhir)
b) Penyebab autoimun: ANA, ESR, CRP, dan penelitian lain
tergantung pada gejala dan tandanya
c) Hipotiroidisme: Tes fungsi tiroid
d) Multiple myeloma: Elektroforesis serum dan urin, rantai ringan
bebas serum dan urin
e) Anemia aplastik: Paparan obat, infeksi (EBV, hepatitis, CMV,
HIV, parvovirus), keganasan hematologi, dan hemoglobinuria
nokturnal paroksismal (PNH)
f) Aplasia sel darah merah murni: Tes untuk parvovirus B19,
singkirkan timoma
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia normokromik normositik terutama
bergantung pada pengobatan penyebab yang mendasari anemia. Transfusi
darah tetap menjadi pilihan manajemen jangka pendek yang penting,
terutama pada individu dengan anemia berat (Hb <7 g/dL), mereka yang
bergejala atau memiliki penyakit jantung terkait.
a. Anemia Penyakit Kronis: Pengobatan anemia penyakit kronis
memerlukan pengobatan gangguan yang mendasarinya. Anemia

97
penyakit kronis biasanya anemia ringan, tetapi sekitar 20% pasien
mungkin memiliki hemoglobin <8 g/dl. Dalam kasus yang lebih parah
ini, dokter harus menyingkirkan penyebab anemia tambahan, seperti
anemia defisiensi besi. Penggunaan agen perangsang eritropoiesis,
transfusi darah, dan suplementasi zat besi dengan mengobati penyakit
yang mendasarinya adalah pilihan pengobatan yang paling penting.
Jika pasien memiliki kadar eritropoietin normal yang rendah atau tidak
tepat, mereka mungkin merespons terhadap suntikan eritropoietin atau
darbepoetin. Pasien dengan peningkatan kadar EPO yang tepat
(terutama >500 mU/ML) tidak memberikan respon.
b. Kehilangan Darah Akut: Diobati dengan upaya yang bertujuan untuk
menghentikan pendarahan, dan tindakan suportif seperti cairan IV, sel
darah merah yang dicocokkan silang, dan dukungan oksigen.
c. Rheumatoid Arthritis: Antibodi anti-TNF-a telah terbukti mengurangi
keparahan anemia.
d. Penyakit Ginjal Stadium Akhir (ESRD): Biasanya karena penurunan
agen perangsang eritropoietin ginjal, target Hb menjadi 10,5-11 g/dl
pada pasien ESRD dengan Hb<10 g/dl. Pasien ESRD dengan saturasi
transferin 30% dan feritin 500 ng/ml memerlukan suplementasi zat
besi, lebih disukai dengan zat besi intravena daripada oral.
e. Kegagalan Sumsum Tulang Primer: Kondisi seperti anemia aplastik
memerlukan terapi imunosupresi, transplantasi sumsum tulang, dll.
f. Anemia Hemolitik: Jika disebabkan oleh katup mekanis yang rusak
(anemia hemolitik makroangiopati), ini perlu diganti. Anemia
hemolitik karena obat memerlukan penghilangan obat penyebab.
Anemia hemolitik karena penyebab bawaan diobati tergantung pada
jenis kelainannya. Anemia hemolitik persisten mungkin memerlukan
splenektomi.
g. Hemoglobinopati: Transfusi darah sederhana, transfusi tukar,
hidroksiurea.

98
h. DIC: Penghapusan stimulus yang menyinggung. Pasien dengan
perdarahan yang mengancam jiwa memerlukan penggunaan agen
antifibrinolitik bersama dengan transfusi produk darah (trombosit,
plasma, kriopresipitat).

99
6
Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, ed. Buku Ajar:
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
7
Roesli, RMA. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut. 2008. Jakarta: Puspa Swara.
8
Bellomo R, Kellum JA, Mehta R, et al. Acute Dialysis Quality Initiative II.The Vicenza
Conference. Curr Opin Crit Care 2002;8(6):505-508
9
Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, et al. Acute Kidney Injury Network (AKIN): Report of an
Initiative to Improve Outcomes in Acute Kidney Injury. Critical Care 2007;11:R31.
10
Fauci A, Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. 2008: New
York: McGraw-Hill.
11
Tariq A, Kahn I, Simpsoon W, et al. Incidence and Outcomes in Acute Kidney Injury: A
Comprehensive Population-based Study. J Am Soc Nephrol 2007;18:1292-1298
12
Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An Assessment of the RIFLE
Criteria for Acute Renal Failure in Hospitalized Patients. Crot Care Med 2006;34:1913-1917
13
Sudoyo K, Setiyohadi B, et al, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4.
2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
14
Abuelo JG. Normotensive Ischemic Acute Renal Failure. N Engl J Med 2007;357:797-805.
15
Sutton TA, Fischer CJ, Molitoris BA. Microvascular Endothelial Injury and Dysfunction
during Ischemic Acute Renal Failure. Kidney Int 2002;62:1539-49.
16
Devarajan P. Update on Mechanisms of Ischemic Acute Kidney Injury.J Am Soc Nephrol.
2006;17 :1503-20.
17
Goligorsky MS, Lieberthal W. Pathophysiology of Ischemic Acute Renal Failure. Dalam:
Acute Renal Failure: New Concepts and Therapeutic Strategies. New York. Churcill
Livingstone.1995;l-23.
18
Jacob. Acute Renal Failure. Indian J Anaesth. 2003; 47(5): 367-72.
19
Meyer TW, Hostetter TH. Uremia. N Engl J Med. 2007;357(13):1316-1325.
20
Holley JL. Clinical approach to the diagnosis of acute renal failure. In: Greenberg A, Cheung AK,
eds. Primer on Kidney Diseases. 5th ed. Philadelphia, Pa.: National Kidney Foundation; 2009.
21
Workeneh BT. Acute Kidney Injury Differential Diagnosis.Accessed
on: http://emedicine.medscape.com/article/243492-differential.
22
Kieran N, Brady HR: Clinical Evaluation, Management, and Outcome of Acute Renal Failure In:
Johnson RJ, Feehally J. Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. 2nd ed. Mosby 2000;183-207
23
Venkataraman R, Kellum JA. Prevention of Acute Renal Failure. Chest 2007;131:300-308.
24
Fry AC, Farrington K. Management of Acute Renal Failure. Postgrad Med J. 2006;82:106-116.
25
Bellomo R, Ronco C. Indications and Criteria for Initiating Renal Replacement Therapy in the
Intensive Care Unit. Kidney Int 198;53(66):S106-S109.

Anda mungkin juga menyukai