Anda di halaman 1dari 5

Mengenal Kebudayaan Daerah Banten

Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan
masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten pada abad ke 5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara.
Salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidanghiyangatau prasasti Lebak, yang
ditemukan di kampung lebak di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru
ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi
prasasti tersebut mengagungkan keberanian rajaPurnawarman. Setelah runtuhnya
kerajaan Tarumanagara (menurut beberapa sejarawan ini akibat serangan kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di
bagian baratPulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda.
Seperti dinyatakan oleh Tome Pires, penjelajah Portugispada tahun 1513, Banten menjadi salah satu pelabuhan
penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Banten adalah salah satu pelabuhan kerajaan
itu selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk.

1. Bahasa Daerah Banten


Bahasa Sunda adalah bahasa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Banten,
terutama wilayah Banten Selatan yang mayoritas didominasi oleh masyarakat dari suku
Sunda. Namun, ada perbedaan dialek dari bahasa Sunda aslinya di Priangan. Bahasa banten
memiliki dialek bahasa Sunda yang terdengar kasar. Hal ini sesuai dengan karakter orang
Banten yang tegas dan keras selaras kondisi alamnya di sekitar pesisir pantai.

Suku Jawa yang beanyak bermukim di Banten Utara menggunakan bahasa Jawa dialek
Banten dalam pergaulan sehari-harinya. Begitupula mayarakat yang berasal dari Lampung
menggunakan bahasa Lampung dialek Sunda-Banten sebagai bahasa sehari-harinya. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa Nasional lebih banyak digunakan oleh masyarakat perkotaan,
terutama masyarakat Banten Timur (Kota Tangerang).

2. Rumah Adat Tradisional Daerah Banten


Seni Arsitektur Sunda terlihat pada bantuk rumah dan perkampungan suku Badui dan Adat
Kasepuhan Banten Kidul (Cisungsang). Rumah tradisionalnya berbentuk panggung yang
dinamakan imah. Dari segi bentuk tidak terlihat berbeda antara rumah adat Baduy dengan
rumah Adat Kasepuhan. Namun, dari segi bahan yang digunakan untuk pembuatannya
terdapat perbedaan. Masyarakat Baduy masih memegang teguh adat istiadat sehingga
kesederhanaan pada bentuk rumahnya masih sangat terlihat. Sebaliknya, rumah adat
kasepuhan terlihat lebih modern karena sudah menggunakan unsur-unsur kebudayaan
modern.

3. Pakaian Adat Tradisional Daerah Banten

Masyarakat Banten mengenal tiga jenis pakaian adat yang digunakan untuk upacara
pengantin. Pakaian adat tersebut, antara lain pakaian pengantin Banten Kebesaran, Banten
Lestari, dan Banten Gaya Tangerang. Setiap jenis pakaian adat ini memiliki ciri khas dan
tujuan pemakaian tersendiri.

Pada pakaian adat Banten Kebesaran, kedua mempelai mengenakan kain berbahan beludru
dengan warna hijau atau hitam. Terdapat berbagai macam hiasan pada pakaian dengan
menggunakan benang emas. Penutup kepala mempelai pria disebut makutaraja. Mempelai
wanita juga mengenakan penutup kepala yang disebut makuta. Mempelai pria memakai selop
serta tombak pendek sebagai pelengkap pakaiannya. Sebagai pelengkap pakaian, mempelai
wanita mengenakan kalung , giwang, gelang, dan selop.

4. Kesenian Tradisional Daerah Banten

Seni Pertunjukan Daerah Banten


Salah satu kesenian tradisional asli Banten adalah Debus. Kesenia debus adalah kombinasi
dari seni tari, seni suara, dan seni kabatinan yang bernuansa magis. Pertunjukan debus
dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama-tama debus diawali dengan pembukaan
(gembung), yaitu pembacaan salawat nabi dan dzikir kepada Allah swt. Selanjutnya beluk,
yaitu lantunan zikir dengan suara keras, nyaring dan saling bersahutan diiringi tetabuhan.
Bersamaan dengan itu dipertunjukkan atraksi-atraksi kekebalan tubuh seperti menyayat
bagian tubuh, memakan kaca, tidur diatas papan berpaku, atau memasak dengan tungku
diatas kepala yang diperagakan para pemainnya. Atraksi ini diakhiri dengan gemrung, yaitu
permainan alat musik tetabuhan.

Debus hanyalah salah satu seni pertunjukan di Banten. Masih banyak jenis pertunjukan yang
lain, seperti jipeng, rudat, pencak silat, pantun buhun, rampak gendang, reog, wayang golek,
dan wayang garing.
5. Tari Tradisional Daerah Banten

Banten memiliki beragam tarian tradisional yang biasanya dipentaskan dalam berbagai
upacara adat, penyambutan tamu, atau pentas budaya. Salah satu kesenian tari tradisional
Banten yang cukup terkenal adalah tari Cokek yang berasal dari Tangerang. Tarian ini
dibawakan oleh sepuluh penari wanita dan diiringi alat musik gambang kromong yang
dimainkan oleh tujuh pemusik pria. Dahulu tarian yang berkesan erotis ini digunakan untuk
hiburan orang-orang Belanda pada masa penjajahan. Pada masa sekarang tarian ini hanya
dipertunjukkan pada acara-acara tertentu. Tari cokek merupakan kolaborasi budaya Sunda
dan Cina dengan iringan musik Betawi.

Selain itu, ada juga tari Cukin yang merupakan pengembangan dari tari Cokek jyang
dipandang tabu. Tari Cukin menggambarkan kegembiraan muda-mudi yang sedang
bersendau gurau pada malam hari. Tarian ini dibawakan oleh lima penari wanita dan satu
penari pria dengan diiringi sepuluh pemain musik. Selain kedua jenis tarian tersebut masih
ada lagi tarian Banten yang lainnya, diantaranya seperti tari Saman, tari Katuran, tari Topeng,
tari Dala'il Wajun, dan tari Ketuk Tilu.

6. Alat Musik Tradisional Daerah Banten

Alat Musik tradisional banten digunakan untuk mengiringi berbagai kesenian tradisional dan
upacara adat Banten. Alat-alat musik tersebut meliputi alat musik pukul, tiup, petik, gesek,
dan tabuh. Ada yang dimainkan secara tunggal, dan ada pula yang dimainkan secara
kelompok dengan membentuk sebuah gabungan irama musik tradisional Banten yang
terdengar merdu.

Masyarakat Baduy memiliki alat musik yang bernama angklung buhun atau yang lebih
dikenal dengan angklung Baduy atau angklung kanekes.  Angklung buhun hanya boleh
dimainkan pada saat upacara adat ngaseuk pere huma dibulan kapitu hingga kasalapan.
Masyarakat banten yang mendalami kesenian silat tidak lepas dari alat musik petitung. Alat
musik pengiring silat ini terdiri atas kendang, gong kempul, kenong, kecrek, gong panggang,
dan terompet petitung. Kesenian rudat Banten juga menggunakan alat musik rabana (terbang)
dalam setiap pementasannya. Alat ini terdiri atas dua buah gedong bibit, mapat, telu,
kemcang, kempul kembar, dan nganak.
Ibu-ibu di wilayah Adat Kasepuhan Cisungsang saat menumbuk padi menghasilkan musik
yang disebut gondang. Hantaman antan pada badan lesung menghasilkan harmonisasi irama
yang indah. Irama pukulan ini berpadu dengan nyanyian dan jogetan (ibing) ibu-ibu yang
bersemangat. Terbentuklah sebuah pertunjukan seni musik tradisional yang mengesankan.

Sebagai bagian dari masyarakat Sunda, masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul  juga
mengenal alat musik yang lain seperti angklung buhun, dog-dog lojor, rengkong, toleat,
calung renteng, karinding, celempung, dan ketimpring. Berbagai alat musik ini dapat
dinikmati pada saat acara perayaan serentaun.

7. Upacara Tradisional Daerah Banten

Berbagai upacara adat tradisional masih ada dan dilaksanakan oleh masyarakat Banten
hingga saat ini. Upacara adat tersebut antara lain upacara adat yang berhubungan dengan daur
hidup serta upacara adat yang berhubungan dengan aktifitas manusia dan lingkungannya.
Jenis upacara yang berhubungan dengan daur hidup diantaranya seperti upacara pada masa
kehamilan, kelahiran, kanak-kanak, masa dewasa, masa perkawinan, dan masa kematian.

masyarakat Baduy juga mengenal tiga upacara adat yang berkaitan dengan kegiatan
perladangan, yaitu ngawalu, ngalaksa, dan seba. Sebagai bagian dari Adat Kasepuhan Banten
Kidul, masyarakat Baduy juga mengikuti upacara Seren Taun. Inilah upacara terbesar dalam
tradisi Adat Kasepuhan Banten Kidul sebagai bentuk rasa syukur masyarakat banten Kidul
atas hasil panen yang berlimpah. Seren Taun menjadi puncak dari rangkaian panjang ritual
berladang yaitu ngaseuk, sapang jadian pare, salametan pare nyiram (mapag pare beukah),
sawenan, mipit pare, nganjaran (ngabukti), dan panggokan.

8. Senjata Tradisional Banten

Golok adalah senjata khas Banten. Jenis senjata ini sangat lekat dengan pendekar dan jawara
Banten. Dahulu golok berfungsi sebagai senjata pertahanan diri, tetapi sekarang hanya
sebagai alat seni bela diri. Salah satu golok khas banten yang terkenal yaitu golok ciomas.
Golok yang hanya dibuat di daerah Ciomas ini terkenal karena ketajaman dan nilai mistisnya.
Menurut cerita golok ciomas hanya dibuat pada bulan Maulud dan melalui tahapan ritual
yang panjang.

Golok juga tidak lepas dari masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul dan suku Baduy.
Orang baduy selalu menyelipkan golok kemana pun mereka pergi. Golok menjadi alat utama
saat mereka berladang dan berburu di hutan. Selain itu, dalam tradisi masyarakat Banten juga
dikenal senjata-senjata tradisional lainnya seperti keris, tombak, kujang, godam, parang,
pedang, dan panah.
9. Makanan dan Minuman Tradisional Banten

Makanan khas Banten salah satunya adalah Rabeg. Rabek adalah makanan khas Banten yang
bentuknya mirip dengan gulai kambing atau rawon. Makanan ini terbuat dari daging dan
jeroan kambing. Makanan kaum bangsawan dan sultan ini hanya terdapat di Kabupaten
Serang.

Ada juga makanan khas Banten lainnya, seperti nasi sumsum dari Kabupaten Serang yang
terbuat dari nasi putih dan sumsum tulang kerbau. Makanan khas lainnya yang dapat ditemui
di Provinsi Banten yaitu mahbub, jejorong, sup sirip hiu, satai bandeng, sup bebek, satai
bebek khas Cibeber, sapo terung lemang malimping, laksa tangerang, ketan bintul, ketan
cuer, dendeng kerbau, emping melinjo, kue pasung, buah kranji, emping jengkol, dan kulit
tangkil.

10. Suku Baduy

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah
Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti
Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai
dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka
seperti Urang Cibeo

Anda mungkin juga menyukai