Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : Tn. A/Laki laki/38 tahun
b. Pekerjaan : Swasta
c. Alamat : RT 24 Tambak Sari

II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga


a. Status Perkawinan : Menikah
b. Jumlah anak : 2 orang
c. Status ekonomi keluarga : Cukup
d. Kondisi Rumah :

Pasien tinggal di lingkungan rumah yang padat penduduk. Rumah


beratapkan genteng. Rumah terdiri dari 1 ruang tamu, 3 kamar tidur, 1 ruang
tengah, dapur, gudang dan 1 kamar mandi. Lantai rumah berupa keramik
pada bagian teras dan ruang tamu, sedangkan lainnya masih berupa semen.
Langit-langit berupa gipsum. Pada ruang tamu terdapat 2 jendela dan
beberapa lubang angin. Pencahayaan kurang jika pintu depan tidak dibuka.
Air yang digunakan untuk masak, makan, minum, dan mandi berasal dari
PDAM. Secara keseluruhan rumah terkesan cukup bersih, pencahayaan
yang kurang.

e. Kondisi Lingkungan Sekitar


Sekitar rumah merupakan pemukiman padat penduduk. Kebersihan
lingkungan sekitar cukup.
2

III. Aspek Perilaku Psikologis dalam Keluarga


Pasien merupakan seorang pekerja swasta. Pasien memiliki 2 orang anak.
Pasien tinggal bersama istri dan anaknya.

IV. Keluhan Utama


Sulit tidur sejak ± 2 bulan

V. Riwayat Perjalanan Penyakit:


Pasien datang dengan keluhan sulit tidur sejak ± 2 bulan yang lalu. Kesulitan
tidur yang dialami pasien adalah kesulitan untuk mengawali tidur. Pasien
biasanya baru bisa tertidur pukul 02.00 malam. Sekitar 1 minggu terakhir
keluhan pasien semakin parah, pasien benar benar tidak bisa tidur semalaman,
pasien merasakan kantuk dan mencoba memejamkan mata namun tetap tidak
bisa tertidur. Akibat keluhan nya ini pasien menjadi sering merasakan
kelelahan dan tidak bersemangat karena tidak pernah bisa tidur. Selama ini
pasien juga sering menonton TV hingga larut malam. Pasien mengaku bahwa
saat ini memang keluarga pasien sedang dalam kesulitan ekonomi.

VI. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat darah tinggi (-)
 Riwayat kencing manis (-)

VII. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat darah tinggi (+)
 Riwayat kencing manis (-)

VIII. Riwayat kebiasaan , alergi makan dan obat obatan


 Alergi obat (-)
 Alergi makanan (-)
 Pasien memiliki kebiasaan minum kopi 3 gelas/hari. Pasien mengaku jika
tidak meminum kopi pasien merasa tidak bersemangat dan lelah.
 Merokok (+) sejak umur 20 tahun. Satu hari pasien dapat menghabiskan 1
bungkus rokok.
3

IX. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C
Berat Badan : 54 kg
Tinggi Badan : 165 cm
Status Gizi : IMT = 44 /(1,50)2 = 19,83

Status Generalisata
 Kepala : Normocepal

 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, RC (+/+)

 Telinga : Nyeri tekan (-)

 Hidung : Simetris, napas cuping hidung (-), lendir -/-

 Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-)

 Tenggorok : Tonsil T1/T1, hiperemis(-), faring hiperemis (-)

 Leher : Pembesaran KGB (-)

 Thoraks
Paru-paru :
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris,skar (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler (+),ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
 Perkusi : batas jantung dbn
 Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
4

 Abdomen
 Inspeksi : Datar, skar (-)
 Auskultasi : Peristaltik normal
 Palpasi : Nyeri tekan (-) hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : Timpani

 Ekstremitas Atas : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik


Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

Status Psikiatri
a. Keadaan Umum
Penampilan : Cukup rapi
Kesadaran : Compos mentis
Orientasi : a. Waktu : Baik
b. Tempat : Baik
c. Orang : Baik
Sikap & Tingkah laku : Kooperatif
b. Gangguan Berpikir
Bentuk pikir : Realistik
Arus pikir : Koheren
Isi Pikir : Waham (-)
c. Alam Perasaan
Mood : Eutimia
Afek : Sesuai
d. Persepsi
Halusinasi : (-) Disangkal
Ilusi : (-) Disangkal
e. Fungsi Intelektual
Daya Konsentrasi : Baik
Orientasi : a. Waktu : Baik
b. Tempat : Baik
c. Orang : Baik
5

Daya Ingat : Baik


Pikiran abstrak : Baik
f. Pengendalian impuls : Baik
g. Daya Nilai : Baik
h. Tilikan :6
i. Taraf dapat dipercaya : Cukup dapat dipercaya

X. Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin :
WBC : 8,2 x 103/µL
RBC : 4,22 x 106/µL
HGB : 12,4 g/dL
HCT : 37,3 %
PLT : 311 x 103/µL

XI. Pemeriksaan Penunjang Anjuran


-

XII. Diagnosis Kerja


Insomnia (G47.0)

XIII. Diagnosis Banding


- Gangguan Cemas Menyeluruh (F41.4)
- Reaksi Stres Akut (F43.0)

XIV. Manajemen
a. Promotif :
 Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit insomnia yang pasien
derita mulai dari penyebab, pengobatan, serta komplikasi.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa harus merubah kebiasaan
kebiasaan yang menjadi faktor resiko timbulnya insomnia.

b. Preventif :
 Hentikan merokok
 Hindari kafein dan alkohol
6

 Makan makanan yang seimbang, konsumsi buah dan sayur serta


vitamin dan mineral.
 Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan
tidur pada malam hari.

c. Kuratif :
Farmakologi :
- Diazepam 1x2,5 mg

Non Farmakologi :
- Stimulus control
- Sleep restriction
- Sleep hygiene
- Cognitive therapy

Obat Tradisional berdasarkan FOHAI :


Herbal untuk insomnia :
 Pala
3x1 kapsul (300 mg serbuk/hari)
 Valerian
1x1 kapsul (600mg ekstrak akar), 30 menit sebelum tidur

d. Rehabilitatif
 Menjelaskan kepada pasien agar dapat merubah gaya hidup yang
selama ini menjadi pencetus insomnia
 Memberikan dukungan kepada pasien dan keluarga dan
menyarankan keluarga pasien untuk membantu dan mengatasi
masalah bersama pasien.
7

Resep Puskesmas Resep Ilmiah 1


DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI
UPTD PUSKESMAS PAKUAN BARU UPTD PUSKESMAS PAKUAN BARU
Jl. Sudirman No. 75, Tambak Sari, Kec. Jambi Jl. Sudirman No. 75, Tambak Sari, Kec. Jambi
Selatan, Kota Jambi. Selatan, Kota Jambi.
Dokter : dr. Intan Anferta M Dokter : dr. Intan Anferta M

R/ R/

Pro : Tn A Pro : Tn. A


Umur : 38 Th Umur : 38 Th

Resep Ilmiah 2 Resep Ilmiah 3


DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI
UPTD PUSKESMAS PAKUAN BARU UPTD PUSKESMAS PAKUAN BARU
Jl. Sudirman No. 75, Tambak Sari, Kec. Jambi Jl. Sudirman No. 75, Tambak Sari, Kec. Jambi
Selatan, Kota Jambi. Selatan, Kota Jambi.
Dokter : dr. Intan Anferta M Dokter : dr. Intan Anferta M

R/ R/

Pro : Tn. A Pro : Tn. A


Umur : 38 Th Umur : 38 Th
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Elektrofisiologi Tidur


Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan
beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola
dunia disebut sebagai irama sirkadian. Tidur tidak dapat diartikan sebagai
manifestasi proses deaktivasi sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf
pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral
batang otak melakukan sinkronisasi.1
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi
terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut
sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang
menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang
otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).

Gambar 1. Regio Otak yang terlibat dalam pengaturan pola tidur1

Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis; nonrapid eye movement (NREM)
dan rapid eye movement (REM). Pada tidur NREM, yang terdiri atas tahap 1
9

sampai 4, sebagian besar fungsi fisiologis sangat berkurang dibandingkan


dengan keadaan terjaga. Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang
terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara
fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, sedangkan
tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur, tidak dibagi-bagi
dalam stadium seperti dalam tidur NREM. Tidur NREM dibagi dalam empat
stadium, antara lain :1
 Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium
ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran
kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7
siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
 Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu
tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle
shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik,
lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini,
orang dapat dibangunkan dengan mudah.
 Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga
2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat
nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
 Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran
EEG hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada
jumlah gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur
dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)
10

Gambar 2. Stadium 1 sampai 4 pada pola tidur NREM1

Tidur REM merupakan jenis tidur yang secara kualitatif berbeda, ditandai
dengan tingginya tingkat aktivitas otak dan tingkat aktivitas fisiologis yang
menyerupai tingkat aktivitas saat terjaga. Kira-kira 90 menit setelah awitan tidur,
NREM menghasilkan episode REM pertama malam tersebut. Latensi REM 90
menit ini merupakan temuan yang konsisten pada orang dewasa normal,
pemendekan latensi REM sering terjadi pada gangguan seperti gangguan depresif
dan narkolepsi. Elektroensefalogram (EEG) merekam gerakan mata konjugat
cepat yang merupakan ciri pengidentifikasi keadaan tidur (tidak ada atau hanya
sedikit REM dalam tidur NREM); pola EEG terdiri atas aktivitas cepat
bertegangan rendah dan acak dengan gelombang gigi gergaji. Elektromiograf
(EMG) menunjukkan berkurangnya tonus otot yang nyata.
Pada orang normal, tidur NREM merupakan keadaan tentram
dibandingkan saat terjaga. Denyut jantung secara khas melambat lima hingga
sepuluh denyut per menit dibawah tingkat saat terjaga sedang istirahat dan sangat
teratur denyutnya. Pernapasan juga dipengaruhi dan tekanan rendah cenderung
rendah, dengan beberapa variasi dari menit ke menit. Potensial otot istirahat pada
otot-otot tubuh lebih rendah pada tidur REM daripada keadaan terjaga. Gerakan
tubuh episodik dan involuntar terdapat pada tidur NREM. Meskipun ada, terdapat
sedikit REM dan jarang ada ereksi penis pada laki-laki. Aliran darah melalui
sebagian besar jaringan, termasuk aliran darah otak, sedikit berkurang. Bagian
11

tidur NREM yang paling dalam –tahap 3 dan 4- kadang-kadang disertai ciri
bangkitan yang tidak biasa. Jika orang dibangunkan 30 menit hingga 1 jam setelah
awitan tidur, biasanya pada tidur gelombang pendek, mereka akan mengalami
disorientasi dan pikiran menjadi kacau. Membangunkan dengan cepat dari tidur
gelombang pendek juga menyebabkan amnesia terhadap peristiwa selama
dibangunkan tersebut. Kekacauan saat bangun dari tahap 3 atau 4 dapat
menghasilkan masalah spesifik, termasuk enuresis, somnambulisme, dan mimpi
buruk atau terror malam hari tahap 4.1
Ukuran poligrafik selama tidur REM menunjukkan pola yang tidak teratur,
kadang-kadang mendekati pola terjaga ketika dibangunkan. Karena pengamatan
ini, tidur REM juga dinamakan tidur paradoksal. Denyut jantung, pernapasan, dan
tekanan darah pada manusia semuanya tinggi saat tidur REM, lebih tinggi
daripada selama tidur NREM dan sering lebih tinggi daripada saat bangun.
Variabilitasnya dari menit ke menit bahkan lebih mencolok dibandingkan kadar
atau frekuensinya. Penggunaan oksigen otak meningkat selama tidur REM.
Respon ventilasi untuk meningkatkan kadar karbondioksida (CO 2) berkurang
selama tidur REM, sehingga tidak terdapat peningkatan volume tidal ketika
tekanan parsial karbondioksida meningkat (PCO2). Termoregulasi berubah saat
tidur REM. Berlawanan dengan keadaan pengaturan suhu homeotermik yang
terjadi saat keadaan terjaga atau selama tertidur REM, keadaan poikilotermik
(suatu keadaan suhu hewan yang beragam sesuai dengan perubahan suhu di
sekelilingnya) berlangsung saat tidur REM. Poikilotermia yang merupakan ciri
khas reptil, menimbulkan kegagalan berespons terhadap perubahan suhu
lingkungan dengan menggigil atau berkeringat, yang bertujuan untuk
mempertahankan suhu tubuh. Hampir semua periode REM pada laki-laki disertai
dengan ereksi penis parsial atau penuh. Temuan ini memiliki nilai klinis
signifikan dalam mengevaluasi penyebab impotensi, studi tumescence nokturnal
penis merupakan salah satu uji laboratorium tidur yang paling lazim diminta.
Perubahan fisiologis lain yang terjadi selama tidur REM adalah paralisis hampir
total pada otot rangka (postural). Karena inhibisi motorik ini, gerakan tubuh tidak
ada selama tidur REM. Mungkin ciri tidur REM yang paling khas adalah mimpi.
Orang yang terbangun saat tidur REM sering (60 hingga 90%) melaporkan bahwa
12

mereka mengalami mimpi. Mimpi selama tidur REM secara khas abstrak dan
aneh. Mimpi dapat terjadi selama tidur NREM tetapi khasnya jelas dan bertujuan.
Sifat siklik pada tidur adalah regular dan dapat dieprcaya; periode REM
terjadi kira–kira setiap 90 hingga 100 menit sepanjang malam. Periode REM
pertama cenderung menjadi yang paling singkat, biasanya berlangsung kurang
dari 10 menit; periode REM selanjutnya masing-masing dapat berlangsung 15
hingga 40 menit. Sebagian besar periode REM terjadi pada dua pertiga akhir
malam, sedangkan sebagian besar tidur tahap 4 terjadi pada sepertiga pertama
malam. Pola tidur ini berubah selama rentang hidup seseorang. Pada periode
neonatus, tidur REM menunjukkan lebih dari 50% waktu tidur, dan pola EEG
bergerak dari keadaan siaga langsung ke keadaan REM tanpa melalui tahap 1
sampai 4. Neonatus tidur kira-kira 16 jam sehari dengan periode bangun yang
singkat. Pada usia 4 bulan, pola bergeser sehingga presentase total tidur REM
berkurang hingga kurang dari 40% dan jatuh tertidur menjadi disertai periode
tidur REM lebih awal. Saat dewasa muda, distribusi tahap tidur pada NREM 75%
(tahap 1 : 5%, tahap 2 : 45%, tahap 3: 12%, tahap 4 : 13%). Distribusi ini relatif
tetap konstan sampai usia tua, walaupun pengurangan terjadi pada tidur
gelombang pendek dan tidur REM pada orang yang berusia lebih tua.1
2.2 Definisi Insomnia
Definisi insomnia adalah keluhan gangguan tidur, sama ada kesulitan
dalam memulai tidur atau mempertahankan tidur, dan/atau awal bangun dari
tidur. Banyak sumber juga mengatakan adanya gangguan di siang hari yang
terkait seperti kelelahan, cepat marah, penurunan memori dan konsentrasi dan
lesu yang mengganggu banyak aspek fungsi di siang hari. Insomnia lebih
sering menyerang perempuan daripada laki-laki, serta sering terjadi pada usia
lanjut. Insomnia bisa diklasifikasikan kepada primer, yaitu insomnia yang
terjadi tanpa disertai penyakit lain, dan juga sekunder, dimana insomnia tipe
ini terjadi disebabkan oleh penyakit lain, masalah psikis, lingkungan, perilaku
atau efek samping dari obat-obatan. Insomnia juga bisa diklasifikasikan
sebagai insomnia akut (kurang dari 1 bulan) ataupun kronis, yaitu 1-6 bulan.
Insomnia lebih tepat disebut sebagai suatu gejala dan bukan meupakan suatu
diagnosis.
13

Walaupun semua definisi insomnia didasarkan pada presentasi gelaja,


definisi diagnosis standar tidak ada. Tiga teks terpisah menyatakan kriteria
diagnosis insomnia : The Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM); The International Classification of Sleep Disorders; and
The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorder. Beberapa
definisi hanya didasarkan pada laporan gangguan tidur malam hari, sementara
yang lain termasuk ciri-ciri seperti gangguan siang hari yang terkait (misalnya,
kelelahan, lekas marah, atau penurunan memori atau konsentrasi), pengakuan
ketidakpuasan tidur, atau kriteria lainnya.2,3

2.3 Etiologi Insomnia


Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi
resiko insomnia meningkat jika terjadi pada :1
 Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan
hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan
peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot
flashes sering mengganggu tidur.
 Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur,
insomnia meningkat sejalan dengan usia.
 Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk
depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder,
mengganggu tidur.
 Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan
sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari,
sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti
kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau
kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
Beberapa penyebab lain yang juga mendukung insomnia, yaitu :
14

 Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan


kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
 Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur,
termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat
alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
 Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang
mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan
stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat
penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah
tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah
malam.
 Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan
bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk
mengalami insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala
tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker,
gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease
(GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
 Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh
atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama
sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak
sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu
tubuh.
 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan
tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh
tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika
mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka
tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau
membaca.

2.4 Epidemiologi
Penyakit insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering
dikeluhkan masyarakat. Prevalensinya bervariasi berdasarkan definisi kasus
15

dan kriteria diagnostik yang spesifik, sehingga estimasi prevalensi insomnia


memiliki rentang sekitar 10% hingga 40%. Penelitian di Korea Selatan
menunjukkan bagaimana variasi angka prevalensi insomnia berdasarkan
definisinya. Ketika insomnia didefinisikan berdasarkan frekuensi tidur (gejala
muncul selama 3 malam dalam 1 minggu) maka angkanya menjadi 17%. Bila
definisinya mengarah pada kesulitan dalam mempertahankan tidur, nilainya
menjadi 11,5%. Dengan menggunakan DSM-IV nilainya menjadi 5%. Suatu
survey di Singapura menunjukkan 8% sampai 10% pasien yang datang ke
dokter umum mengeluhkan gejala insomnia.4,5
Penelitian ini menunjukkan kuantitas pasien insomnia yang datang kepada
dokter umum tidaklah sedikit. Sebuah artikel menyatakan Riset internasional
yang telah dilakukan US Census Bureau, International Data Base tahun 2004
terhadap penduduk Indonesia menyatakan bahwa dari 238,452 juta jiwa
penduduk Indonesia, sebanyak 28,035 juta jiwa (11,7%) terjangkit insomnia.6
Angka ini membuat insomnia sebagai salah satu gangguan paling banyak
yang dikeluhkan masyarakat Indonesia. Dari segi jenis insomnianya, hasil
penelitian di Amerika Serikat yang menggunakan DSM-IV menunjukkan 20%
sampai 49% penduduk dewasa mengidap insomnia intermiten dan 10 sampai
20% mengidap insomnia kronis, di mana 25% dari pengidap insomnia kronis
terdiagnosis sebagai insomnia primer. Prevalensi insomnia lebih tinggi pada
wanita dan lansia (65 tahun ke atas). Wanita lebih sering 1,5 kali mengidap
insomnia dibandingkan pria, dan 20-40% lansia mengeluhkan gejala-gejala
pada insomnia tiap beberapa hari dalam 1 bulan.3

2.5 Patofisiologi Insomnia


Etiologi dan patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti
tetapi insomnia dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal. Arousal
dikaitkan dengan struktur yang memicu kesiagaan di ARAS (ascending
reticular activating system), hipotalamus, basal forebrain yang berinteraksi
dengan pusat-pusat pemicu tidur pada otak di anterior hipotalamus dan
thalamus. Hyperarousal merupakan keadaan yang ditandai dengan tingginya
tingkat kesiagaan yang merupakan respon terhadap situasi spesifik seperti
lingkungan tidur.4
16

Data psikofisiologi dan metabolik dari hyperarousal pada pasien insomnia


meliputi peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi dan penurunan
variasi periode jantung selama tidur. Kecepatan metabolik seluruh tubuh
dihitung melalui penggunaan O2 persatuan waktu ternyata lebih tinggi pada
pasien insomnia dibandingkan pada orang normal. Data elektrofisiologi
hyperarousal menunjukkan peningkatan frekuensi gelombang beta pada EEG
selama tidur NREM. Aktivitas gelombang beta dikaitkan dengan aktivitas
gelombang otak selama terjaga. Penurunan dorongan tidur pada pasien
insomnia dikaitkan dengan penurunan aktivitas gelombang delta. Data
neuroendokrin tentang hyperarousal menunjukan peningkatan level kortisol
dan adrenokortikoid (ACTH) sebelum dan selama tidur, terutama pada
setengah bagian pertama tidur pada pasien insomnia. Penurunan level
melatonin tidak konsisten ditemukan. Data menurut functional neuroanatomi
studies of arousal tentang hyperarousal menunjukan pola-pola aktivitas
metabolisme regional otak selama tidur NREM melalui SPECT (single-photon
emission computer tomography) dan PET ( positron emission tomography).
Pada penelitian PET yang pertama pada insomnia primer terjadi peningkatan
kecepatan metabolisme glukosa baik pada waktu tidur maupun terjaga.4
Selama terjaga, pada pasien insomnia primer ditemukan penurunan
aktivitas dorselateral prefrontal cortical. Dari hasil penelitian-penelitian
tersebut menunjukkan hyperarousal pada tidur NREM dan hypoarousal frontal
selama terjaga, hal inilah yang menyebabkan keluhan-keluhan yang dirasakan
oleh pasien baik pada saat terjaga maupun tidur. Pada pasien yang mengalami
insomnia yang karena depresi berat terjadi peningkatan gelombang beta yang
berkaitan dengan peningkatan aktivitas metabolik di kortek orbita frontal dan
mengelukan kualitas tidur yang buruk, hal ini juga mendukung hipotesis
mengenai hyperarousal. Pada pemeriksaan SPECT pada pasien insomnia
primer, selama tidur NREM terjadi hipoperfusi diberbagai tempat yang paling
jelas pada basal ganglia. Kesimpulan penelitian imaging mulai menunjukkan
perubahan fingsi neuroanatomi selama tidur NREM yang berkaitan dengan
insomnia primer maupun sekunder.4

2.6 Kriteria Diagnosis Insomnia Primer


17

Insomnia primer didiagnosis jika keluhan utama adalah tidur yang tidak
bersifat menyegarkan atau kesulitan memulai atau mempertahankan tidur, dan
keluhan ini terus berlangsung sedikitnya satu bulan. Istilah primer
menunjukkan bahwa insomnia bebas dari adanya gangguan fisik atau
psikologis. Pasien dengan insomnia primer secara umum memiliki preokupasi
mengenai tidur cukup. Semakin mereka mencoba tidur, semakin besar rasa
frustasi dan penderitaan serta makin sulit terjadinya tidur.

Tabel 1. Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Insomnia Primer1


A Keluhan yang dominan adalah kesulitan memulai atau mempertahankan
tidur, atau tidur yang tidak bersifat menyegarkan, selama sedikitnya 1
bulan
B Gangguan tidur (atau kelelahan di siang hari yang terkait) menyebabkan
penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya fungsi sosial,
pekerjaan, atau area fungsi penting lain
C Gangguan tidur tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan
narkolepsi, gangguan tidur yang terkait dengan pernapasan, gangguan
tidur irama sirkadian, atau parasomnia
D Gangguan ini tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan jiwa lain
(contoh gangguan depresif berat, gangguan ansietas menyeluruh,
delirium)
E Gangguan ini bukan disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat
(contoh penyalahgunaan obat, suatu obat) atau keadaan medis umum

Diagnosis yang tepat dapat ditegakkan melalui anamnesis yang cermat dan
adekuat untuk menentukan insomnia primer atau diagnosis bandingnya serta
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang (tekanan darah, gangguan hormon,
kolesterol, kadar gula darah, dan sejenisnya, termasuk kuesioner) untuk
mengetahui adanya penyakit klinis dan pemeriksaan psikologis untuk
mendeteksi gangguan psikis (depresi, skizofrenia, psikosis,dan sejenisnya).6
Pemeriksaan tambahan seperti sleep wake diaries, aktigrafi,
polisomnografi telah dilakukan untuk membantu diagnosis walaupun
validitasnya masih terbatas. Sleep wake diaries merupakan pencatatan waktu
18

tidur yang dilakukan selama 1-2 minggu, pencatatan ini berguna untuk
menegakkan pola tidur, variasi pada jam tidur, gangguan tidur dari hari kehari.
Aktigrafi merupakan metode objektif untuk mengevaluasi pola tidur dan
beraktivitas dengan menggunakan peralatan yang sensitif terhadap gerakan,
digunakan pada pergelangan tangan yang tidak dominan. Pada penelitian yang
valid menunjukan hubungan antara pola aktigrafi dan tidur yang dinilai
melalui polisomnografi, walaupun aktigrafi dapat melebih-lebihkan jumlah
nyata dari tidur. Aktigrafi digunakan dalam mengevaluasi gangguan ritme
sirkadian tapi belum sepenuhnya valid. Polisomnografi merupakan alat yang
paling sensitif untuk membedakan tidur dan terjaga. Pemeriksaan dengan alat
ini tidak rutin digunakan untuk mengevaluasi insomnia kronik karena pada
banyak kasus hanya mengkonfirmasi laporan subjektif dari pasien tanpa
mengindikasikan penyebab pasien terjaga, tapi pada situasi tertentu
polisomnografi sangat berguna seperti pada sleep apnea, periodic limb
movement, atau parasomnia (mimpi buruk). Pada pasien dengan keluhan tidak
wajar atau riwayat respon terhadap pengobatan tidak baik dapat dilakukan
pemeriksaan polisomnografi.4
Beberapa tanda dan gejala yang dapat membantu menegakkan diagnosis
insomnia, yaitu :
 Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
 Sering terbangun pada malam hari
 Bangun tidur terlalu awal
 Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
 Iritabilitas, depresi atau kecemasan
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
 Gejala gastrointestinal

2.7 Diagnosis Banding


Individu dengan insomnia menetap harus dibedakan dengan ganguan
kecemasan (serang panil, fobia, dan obsesi) depresi atau skizofren akut.
19

Penyakit anorganik otak, alergi dan sakit kronis harus disingkirkan sebelum
diagnosis psikofisiologi insomnia menetap dibuat.

2.7.1 Insomnia Berhubungan Dengan Kecemasan Gangguan Kepribadian


Onset tidur insomnia, dan kesulitan dalam menjaga tidur dapat
dihubungkan dengan kecemasan umum, panik, fobia, hipokondiasis, dan
kepribadian kompulsif. Di kondisi ini dapat kronis, kecuali gangguan yang
mendasarinya dapt teratasi. Insomnia ini, sulit dibedakan dengan insomnia
situasional, insomnia psikofisiologi menetap dan dari insomnia yang
berhubungan dengan bermacam obat dan faktor lingkungan, harus
didiagnosa ketika ada bukti yang mana durasi insomnia lebih lama dari 3
minggu dan kondisi psikiatrik yang jelas ada.
Walaupun ini pikiran klasik bahwa individu dengan kecemasan
memiliki kesulitan untuk tidur tetapi sekali tertidur, tertidur dengan baik,
bukti mengindikasikan bahwa pepatah ini tidak selalu benar. Banyak
pasien cemas kronis tidur dengan mudah mungkin dari kelelahan,
walaupun begitu mereka sering terbangun pada malam hari sebagai
tekanan emosional mengatasi kebutuhan  fisik untuk tidur. Pasien dengan
kecemasan menunjukan tanda dari tekanan dan hiperaktifitas untuk
autonom. Pasien kecemasan gelisah dan gemetar dan mengeluh gampang
lelah dan susah relaksasi. Keresahan, tidak bisa beristirahat, pernafasan
yang mendesah sering ditemukan pada pemeriksaan status mental.
Hiperaktif otonom ditunjukan dengan berkeringat, nadi cepat, tangan yang
basah, dizziness, panas atau dingin masa sakit, sering kencing, dan
parestesias pada tangan dan kaki. Pasien cemas secara konstan khawatir
dan merenung berlebihan pikiran tentang bencana. Pasien cemas
merasakan “diujung” memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi, mudah
terkejut dan akan mengeluh kesulitan untuk tidur, tidur yang terganggu
dan kelelahan saat bangun tidur.6

2.7.2 Insomnia Terasosiasi dengan Gangguan Afektif


20

Insomnia terasosiasi dengan depresi ditandai dengan kemampuan


untuk tertidur walaupun terbangun pada dini hari dan memendeknya tidur
laten REM (periode waktu dari mulai tidur sampai terjadinya REM). Tidur
laten REM yang pendek dianggap suatu pertanda biologis untuk depresi.
Penelitian Elektroensefalografi juga memperlihatkan penurunan
gelombang delta (stage III dan IV), banyak pergeseran stage, dan
peningkatan gerakan tubuh. Klinikus, ketika dia mendengar laporan
tentang bangun dini hari, harus seelalu mencari gejala lain dari depresi.
Pasien dengan depresi biasanya terlihat sedih. Pasien lesu dan bahunya
turun. Matanya secara umum melihat ke bawah. Aktivitas motorik pasien
dan bicaranya pelan. Pasien mengeluh akan adanya kesulitan
berkonsentrasi dan masalah dalam mengambil keputusan. Kadang-kadang
pasien dapat menunjukkan kebalikan dari retardasi psikomotor : mereka
agitasi, sering meremas-remas tangannya, dan mondar-mandir. Seorang
pasien yang tertekan mengeluh akan defisit energi, menurunnya nafsu
makan, sembelit, menurunnya dorongan seksual, menurunnya ketertarikan
dalam aktifitas yang biasanya dilakukan, dan perasaan putus asa dan 
keadaan tidak berdaya. Sebagai tambahan, pasien ini mungkin memiliki
pikiran ingin bunuh diri. Pasien dengan depresi sedang tidak mengeluhkan
apapun selain sensasi somatik yang tidak jelas, seperti perasaan berat,
penuh, pening, atau letih dan mau jatuh. Dalam kasus ini dokter harus
mengejar dengan giat gejala lain dari depresi, terutama jika pasien
mengeluh terbangun pada dini hari. Kadang-kadang, setelah dilakukan
pemeriksaan fisik yang menyeluruh tidak ditemukan sebab dari keluhan
pasien. Pasien mungkin mencoba secara empiris antidepresan trisiklik
seperti amitriptiline. Suatu respon klinik pada dosis terapi (umumnya
150mg), mengesahkan diagnosis depresi.6

2.7.3 Insomnia Berhubungan dengan Penyalahgunaan Obat dan Alkohol


Karena alkohol dan hipnotik-sedatif kehilangan efek farmaseutiknya
pada tidur dalam 2 minggu mereka menyebabkan tendensi pada pasien
untuk meningkatkan dosis untuk insisiasi tidur. Selama pemakaian kronis
dari agen hipnotik, tidur ditandai oleh sering terbangun dan problem
21

kontinuitas seperti obat secara cepat kehilangan efeknya setelah beberapa


jam pada pasien yang toleran. Elektroensefalografi menjejak bagaimana
penurunan tidur tahap III dan IV dan penurunan tidur REM. Terdapat juga
transisi tahap tidur yang sering, penurunan gelombang tidur, penurunan
kompleks K dan penurunan gelombang delta. Selama reduksi cepat dari
hipnotik, tidur menjadi sepenuhnya terganggu dengan rebound dari tidur
REM. Pasien tidak waspada untuk gejala putus obat jangka panjang dari
barbiturate mungkin melanjutkan meminum obat-obatan hipnotik karena
insomnia dan tidur yang berlebihan berhubungan dengan putus obat.
Amfetamin, barbiturat, benzodiazepine, antidepresan trisiklik, dan
monoamine ozidase inhibitors mempengaruhi tidur REM. Obat-obatan ini
secara inisial menyebabkan supresi dari tidur REM dan diikuti oleh
kembalinya secara bertahap ke level normal REM dan suatu rebound
meningkat pada tidur REM pada gejala putus obat. Beberapa inhibitor
monoamine oxidase dapat menyebabkan suatu supresi tidur REM yang
lengkap dan kadang diperlambat. Obat-obatan yang mempengaruhi tidur
termasukantimetabotil, obat kemoterapi kanker, preparat tiroid,
antikonvulsan, inhibitor monoamine oksidase, hormone
adenokortikotropik, kontrasepsi oral, propanolol, dan banyak lainnya.
Obat-obatan lain seperti diazepam, antipsikotik, trisiklik sedative,
marijuana, kokain, dan opiate mendesak efek dari depresan CNS ringan
yang, dengan putus obat, menghasilkan insomnia kompensatoar. Selama
putus obat adalah umum untuk observasi sentakan kaki yang harus
dibedakan dengan nocturnal myoclonus.
Alkohol, walaupun dipakai secara spesifik oleh sekelompok individu
untuk memicu tidur, menyebabkan insomnia, khususnya pada malam yang
lebih larut. Dalam suatu kilas balik yang baik, Pokorny menyimpulkan
efek alkohol terhadap tidur. Jumlah moderat alkohol menyebabkan tidur
lebih cepat tetapi meningkatnya terbangun dalam setengah akhir dari suatu
malam. Intoksikasi akut menyebabkan penurunan tidur REM; putus
alkohol menghasilkan penundaan dalam onset tidur, REM rebound, dan
terbangun berkali-kali sepanjang malam. Mimpi buruk dan halusinasi yang
22

menakutkan adalah umum selam putus alkohol. Insomnia dan gangguan


tidur mungkin menetap selama 6 bulan setelah gejala putus alkohol.
Penggunaan secara bijak dan pemberhentian alkohol telah menurunkan
jumlah tidur delta dan kekacauan dalam siklus tidur REM.6

2.8 Terapi Insomnia


Insomnia adalah merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu
diagnosis, maka terapi yang diberikan adalah secara simtomatik. Walaupun
insomnia merupakan suatu gejala, namun gejala ini bisa menjadi sangat
mengganggu aktivitas dan produktivias penderita, terutama penderita dengan
usia produktif. Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan terapi yang
sewajarnya. Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa dengan
farmakologi atau non-farmakologi, berdasarkan berat dan perjalanan gejala
insomnia itu sendiri.1,3,8,9

2.8.1 Terapi Farmakologis


Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia harus
berdasarkan tingkat keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan
pada penderita dengan insomnia jangka pendek supaya tidak berlanjut ke
insomnia kronis. Terdapat beberapa pertimbangan dalam memberikan
pengobatan insomnia :
1) memiliki efek samping yang minimal;
2) mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai
tidur; dan
3) lama kerja obat tidak mengganggu aktivitas di siang hari. Obat tidur
hanya digunakan dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 2-4
minggu.8,11
Secara dasarnya, penanganan dengan obat-obatan bisa
diklasifikasikan menjadi : benzodiazepine, non-benzodiazepine dan
miscellaneous sleep promoting agent.
a. Benzodiazepine7,10,11
Golongan benzodiazepine telah lama digunakan dalam menangani
penderita insomnia karena lebih aman dibandingkan barbiturate pada
era 1980-an. Namun akhir-akhir ini, obat golongan ini sudah mulai
23

ditingalkan karena sering menyebab ketergantungan, efek toleran dan


menimbulkan gejala withdrawal pada kebanyakan penderita yang
menggunakannya. Selain itu, munculnya obat baru yang lebih aman
yang sekarang menjadi pilihan berbanding golongan ini. Kerja obat ini
adalah pada resepor γ-aminobutyric acid (GABA) post-synaptic,
dimana obat ini meningkatkan efek GABA (menghambat
neurotransmitter di CNS) yang memberi efek sedasi, mengantuk, dan
melemaskan otot. Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah :
triazolam, temazepam, dan lorazepam.10,11
Namun, efek samping yang dari obat golongan ini harus diperhatikan
dengan teliti. Efek samping yang paling sering adalah, merasa pusing,
hipotensi dan juga distress respirasi. Oleh sebab itu, obat ini harus
diberikan secara hati-hati pada penderita yang masalah respirasi kronis
seperti penyakit paru obstrutif kronis (PPOK). Dari hasil penelitian,
obat ini sering dikaitkan dengan fraktur akibat jatuh pada penderita
dengan usia lanjut dengan pemberian obat dengan kerja yang lama
maupun kerja singkat.7,10
b. Non-benzodiazepine7,11
Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip
dengan benzodiazepine, tetapi mempunyai efek samping yang lebih
ringan. Efek samping seperti distress pernafasan, amnesia, hipotensi
ortostatik dan jatuh lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian
yang telah dilakukan. Zolpidem merupakan salah satu derivate non-
benzodiazepine yang banyak digunakan untuk pengobatan jangka
pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif α-1 subunit GABA
reseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan hipnotik tanpa
menimbulkan efek anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi yang
terdapat pada benzodiazepine. Pada clinical trial yang dilakukan, obat
ini dapat mempercepat onset tidur dan meningkatkan jumlah waktu
tidur dan mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu tidur
tanpa menimbulkan efek rebound dan ketergantungan pada
penderita.7,11
24

Zaleplon adalah pilihan lain selain zolpidem, adalah derivat


pyrazolopyrimidine. Obat ini mempunyai waktu kerja yang cepat dan
sangat pendek yatu 1 jam. Cara kerjanya sama seperti zolpidem yaitu
pada reseptor subunit α-1 GABA reseptor. 3,11 Efektivitasnya sangat
mirip dengan zolpidem, tetapi, pada suatu penelitian, dikatakan obat
ini memiliki efek yang lebih superior berbanding zolpidem. Sering
menjadi pilihan utama pada penderita dengan usia produktif karena
masa kerja obat yang sangat pendek sehingga tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari. Pada sesetengah penelitian, ada menyatakan
pilihan lain seperti eszopiclone dan Ramelteon dimana mempunyai
efektifitas yang mirip dengan zolpidem dan zaleplon.3
c. Miscellaneous sleep promoting agent3
Obat-obat dari golongan ini dikatakan mampu mempersingkat
onset tidur dan mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur.
Namun keterangan ini masih belum mempunyai dibuktikan secara
signifikan. Melatonin tersedia dalam bentuk sintetik maupun natural.
Melatonin secara alami diproduksi dalam tubuh manusia normal oleh
kelenjar pineal. Melalui penyelidikan, sekresi melatonin meningkat
sewaktu onset tidur dimulai dan mulai menurun saat bangun tidur. 3
Ada penelitian yang menyebut, sekresi melatonin ini juga terkait
intesnsitas cahaya, dimana produksinya meningkat saat hari mulai
gelap dan berkurang saat hari mulai cerah, sesuai siklus tidur manusia.
Melatonin menstimulasi tidur dengan menekan signal bangun tidur
pada suprakiasmatik pada hipotamalamus. Oleh itu, ada juga studi
yang menyatakan pemberian melatonin pada siang hari dapat
menimbulkan efek sedasi Farmakokinetik dari melatonin belum dapat
ditemukan secara pasti karena sangat tergantung pada dosis,
penyerapan oleh tubuh, waktu adminitrasi dan juga bentuk sediaan.
Belum ada penelitian tentang efek samping melatonin, namun
dinyatakan pada beberapa penelitian, melatonin menimbulkan pusing,
sakit kepala, lemas dan ketidaknyamanan pada penderita. Dengan
pemberian megadose (300mg/hari), dapat menyebabkan menghambat
25

fungsi ovari.3 Oleh itu hindari pemberian melatonin pada perempuan


hamil dan yang sedang dalam proses menyusui. Antihistamin adalah
bahan utama dalam obat tidur. dephenydramine citrate,
diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate adalah tiga
derivate yang telah mendapat persetujuan dari FDA. Efek samping dari
obat ini adalah pusing, lemas dan mengantuk di siang hari ditemukan
hampir pada 10-25% penderita yang mengkonsumsi obat ini. Efikasi
dari obat ini dalam penanganan insomnia belum dapat dipastikan
dengan signifikan karena penelitian keterkaitan anti-histamine dengan
penanganan insomnia belum menemukan bukti yang kuat.3
Alkohol sering digunakan oleh orang awam dalam menghadapi
kesulitan tidur. Data terkumpul menyatakan 13.3% penderita dari usia
18-45 tahun mengkonsumsi alkohol untuk mengatasi gangguan tidur,
namun ini tidak mempunyai bukti yang nyata. Alkohol mempunyai
efek yang bervariasi terhadap siklus tidur. Alkohol diduga dapat
menyebabkan tidur yang terganggu diengah-tengah siklus tidur dan
memperpendek fase REM. Selain tiu, alkohol dapat menyebabkan
ketergantungan, toleran dan penggunaan yang berlebihan. 2,3
Antidepresan dengan dosis rendah seperti trazodone, amitriptyline,
doxepine, dan mitrazapine sering digunakan pada penderita insomnia
tanpa gejala depresi. Bukti efektivitas penggunaan antidepresan pada
penderita insomnia sangat tidak mencukupi. Namun, obat ini bisa
diberikan karena tidak memberikan efek samping dan harga obat ini
yang sangat murah.3 Kava-kava, suatu pengobatan alternatif yang
diesktrak dari akar pohon Polynesian, Piper methysticum sp. Ekstrak
ini dipercayai mengandungi zat aktif yang mengeksitasi tingkat selular
yang bisa menimulkan efek anxiolitik dan sedatif. Zat ini mempunyai
onset yang cepat dan efek mengantuk di siang hari yang minimal.
Namun begitu, zat ini dilarang di Eropah karena bersifat hepatotoksik.
Valerian berasal dari Valeriana officinalis yang bisa memberi efek
sedatif, tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti.
Dipercayai, zat ini bereaksi pada reseptor GABA. Ia mempunyai onset
26

kerja yang sangat lambat (2-3 minggu) sehinga tidak sesuai diberikan
pada penderita insomnia akut. Efek samping yang ditimbulkan tidak
jelas dan efektifitas zat ini belum dapat dibuktikan secara pasti.
Aromaterapimembantu dalam menciptakan suasana yang nyaman dan
kondusif untuk penderita. Aromaterapi yang sering digunakan adalah
ekstrak lavender, chamomile dan ylang-ylang, namun belum ada data
yang mendukung terapi menggunakan metode aromaterapi.3

Tabel 2. FDA Aprroved Seddative-Hypnotic Agents by Mechanism of


Action
27

Tabel 3. Dosis, Awitan dan Waktu Paruh Obat Insomnia

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :12


 Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia”
yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietas
 Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-
Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
 Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.
Pengaturan Dosis :
 Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi
tidur.
 Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
 Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
 Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3
kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia
lanjut
Lama Pemberian :
28

 Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak


lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan
lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang
menetap sekitar 6 bulan lamanya.
 Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping :
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-
insomnia (waktu paruh) :
 Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)  gejala
rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
 Waktu paruh sedang, seperti Estazolam  gejala rebound lebih ringan
 Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam  menimbulkan gejala
“hang over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime
sleepiness”
 Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat
terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”
Interaksi obat :
 Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan
potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation
and respiratory failure”
 Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang
menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
 Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol
atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.
Kontraindikasi :
- Sleep apneu syndrome
- Congestive Heart Failure
- Chronic Respiratory Disease
29

 Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko


menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan
melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP).
2.8.2 Terapi Non-Farmakologis
Terapi tanpa obat-obatan medis bisa diterapkan pada insomnia tipe
primer maupun sekunder. Banyak peneliti menyarankan terapi tanpa
medikamentosa pada penderita insomnia karena tidak memberikan efek
samping dan juga memberi kebebasan kepada dokter dan penderita untuk
menerapkan terapi sesuai keadaan penderita. Terapi tipe ini sangat
memerlukan kepatuhan dan kerjasama penderita dalam mengikuti segala
nasehat yang diberikan oleh dokter. Terdapat beberapa pilihan yang bisa
diterapkan seperti yang dibahas di bawah ini :7,8
a. Stimulus Conrol
Tujuan dari terapi ini adalah membantu penderita menyesuaikan onset
tidur dengan tempat tidur. Dengan metode ini, onset tidur dapat dapat
dipercepat. Malah dalam suatu studi menyatakan bahwa jumlah tidur
pada penderita insomnia dapat meningkat 30-40 menit. Metode ini
sangat tergantung kepada kepatuhan dan motivasi penderita itu sendiri
dalam menjalankan metode ini, seperti : 7,8,10
 Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar
kelelahan atau tiba waktu tidur,
 Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhubungan sexual.
 Membaca, menonton TV, membuat kerja tidak boleh dilakukan di
tempat tidur
 Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk
kembali jika penderita sudah merasa ingin tidur kembali
 Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi
 Hindari tidur di siang hari
b. Sleep Restriction
Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur
hanya waktu tidur dan dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga
30

diharapkan dapat meningkatkan kualitas tidur penderita. Pendekatan


ini dilakukan dengan alasan, berada di tempat tidur terlalu lama bisa
menyebabkan kualitas tidur terganggu dan terbangun saat tidur.
Metode ini memerlukan waktu yang lebih pendek untuk diterapkan
pada penderita berbanding metode lain, namun sangat susah untuk
memastikan penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan.
Protocol sleep restriction seperti di bawah : Hitung rata-rata total
waktu tidur pada penderita. Data didapatkan melalui catatan waktu dan
jumlah tidur yang dibuat penderita sekurang-kurangnya 2 minggu
Batasi jam tidur berdasarkan perhitungan jumlah waktu tidur Estimasi
tidur yang efisien setiap minggu dengan menggunakan rumus (jumlah
jam tidur/jumlah waktu di tempat tidur x 100) Tingkatkan jam tidur
15-20 menit jika efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya kurangi 15-20
menit jika < 80%, atau pertahankan jumlah jam tidur jika efisiensi
tidur 80-90% Setiap minggu sesuaikan jumlah tidur berdasarkan
perhitungan yang dilakukan Jangan tidur kurang dari 5 jam Tidur di
siang hari diperbolehkan, tetapi tidak melebihi 1 jam Pada usia lanjut,
jumlah jam tidur dikurangi hanya apabila efisiensi tidur kurang dari
75%.8,11
c. Sleep Hygiene
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup
dan lingkungan penderita dalam rangka meningkatakan kualitas tidur
penderita itu sendiri. Sleep hygiene yang tidak baik sering
menyebabkan insomnia tipe primer. Pada suatu studi mendapatkan,
seseorang dengan kualitas buruk biasanya mempunyai kebiasan sleep
hygiene yang buruk. Penelitian lain menyatakan, seseorang dengan
sleep hygiene yang baik, bangun di pagi hari dalam suasana yang lebih
bersemangat dan ceria. Terkadang, penderita sering memikirkan dan
membawa masalah-masalah ditempat kerja, ekonomi, hubungan
kekeluargaan dan lain-lain ke tempat tidur, sehingga mengganggu tidur
mereka. Terdapat beberapa hal yang perlu dihindari dan dilakukan
penderita untuk menerapkan sleep hygiene yang baik, seperti
31

dibawah : Hindari mengkonsumsi alkohol, kafein dan produk nikotin


sebelum tidur Meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang
terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu dingin atau panas Pastikan
kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik Menggunakan bantal dan
kasur yang nyaman dengan penderita Hindari makanan dalam jumlah
yang banyak sebelum tidur Elakkan membawa pikiran yang bisa
mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur Lakukan senam secara
teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan aktivitas yang berat
sebelum tidur7,8,10
d. Cognitive Therapy
Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk
mengubah pola pikir, pemahaman penderita yang salah tentang sebab
dan akibat insomnia. Kebanyakan penderita mengalami cemas ketika
hendak tidur dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka
yang sulit tidur. untuk mengatasi hal itu, mereka lebih sering tidur di
siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah tidur yang tidak
efisien di malam hari. Namun itu salah, malah memperburuk status
insomnia mereka. Pada studi yang terbaru, menyatakan cognitive
therapy dapat mengurangi onset tidur sehingga 54%. Pada studi
lainnya menyatakan, metode ini sangat bermanfaat pada penderita
insomnia usia lanjut, dan mempunyai efektifitas yang sama dengan
pengobatan dengan medikamentosa.7,8,11

2.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang
teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
32

Gambar 3. Komplikasi Insomnia


Komplikasi insomnia meliputi :
 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan
reaksi kecelakaan.
 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya
tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini
disertai skizophrenia.1
33

BAB III
ANALISIS KASUS

1. Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar :


Diagnosis penyakit pada pasien ini tidak ada hubungan dengan lingkungan
disekitarnya, karena penyakit pasien ini bukan merupakan penyakit
berbasis lingkungan.

2. Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan dalam


keluarga :
Di dalam hubungan diagnosis dan aspek psikologis di keluarga tidak ada
hubungannya dengan penyakit pasien, karena didalam keluarga pasien
hubungan pasien dengan keluarga baik. Sehingga tidak ada hubungan
diagnosis dengan aspek psikologis dalam keluarga.

3. Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga,


lingkungan sekitar :
Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama.
Lingkungan rumah dan lingkungan disekitar rumah pasien tidak
memberikan pengaruh terhadap terjadinya penyakit pada pasien. Hal
tersebut menunjukkan lingkungan rumah dan sekitarnya tidak memiliki
peranan terhadap perkembangan penyakit yang diderita oleh pasien.

4. Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit


pada pasien ini :
Beberapa faktor resiko yang dapat mencetus keluhan pasien :
 Selama ini pasien sering menonton TV hingga larut malam.
34

 Pasien memiliki kebiasaan minum kopi 3 gelas/hari. Pasien mengaku


jika tidak meminum kopi pasien merasa tidak bersemangat dan lelah.
 Merokok (+) sejak umur 20 tahun. Satu hari pasien dapat
menghabiskan 1 bungkus rokok.
 Pasien mengaku bahwa saat ini memang keluarga pasien sedang
dalam kesulitan ekonomi.
5. Analisis untuk mengurangi paparan atau memutus rantai penularan
dengan faktor resiko atau etiologi pada pasien ini :
 Hindari menonton TV hingga larut malam, karena dapat mengganggu
kualitas tidur.
 Hindari mengkonsumsi kafein berlebihan
 Hentikan merokok, karena didalam rokok terdapat zat nikotin yang
merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia.
 Mencari solusi untuk permasalahan ekonomi didalam keluarga.
Keluarga harus saling mendukung.

6. Edukasi yang diberikan pada pasien atau keluarga :


 Memberikan informasi kepada pasien bahwa penyakitnya dapat
dicetuskan oleh beberapa kebiasaan hidup pasien, oleh karena itu
pasien harus mulai merubah gaya hidup nya.
 Menjelaskan kepada pasien untuk segera datang berobat apabila
keluhan tidak membaik atau bertambah parah.
 Menjelaskan terapi, efek samping dan hasil yang diharapkan dari
pengobatan.

7.
35

DOKUMENTASI
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang : Bina Rupa Aksara Publisher.
2. Karl D. The Epidemiology and Diagnosis of Insomnia, AMJ.2006;12: 14-220
3. Kumar B, Carlos R, Nancy FS. Advances in Treating insomnia. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. April : 2007; Vol 74 : 251-265.
4. Evelyn Mai, Daniel J. Buysse. 2009. Insomnia: Prevalence Impact,
Pathogenesis, Differential Diagnosis, and Evaluation.Fall; p.491-498.
5. R Mahendran. 2001. Characteristics of Patients Referred to an Insomnia
Clinic. Singapore Med J Vol 42(2); p. 064-066.
6. Anonim. 28 Juta Orang Indonesia Terkena Insomnia.(akses 20 Januari 2011).
Download dari situs: http://balagu.com/health/?p=8/
7. Erika N. Susan L. John ED. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. June :
2004 ; 17 : 212-218
8. R.George L, Cynthia G. Nonpharmacologic Approaches to the Management
on Insomnia. JAOA. Nov : 2010; Vol 110: 695-700
9. R Aretoula F. Sleep Disorder Insomnia. Silva Method Research Proper.2005 :
2-8.
10. Anne MMHH, Renee C. Anna L. The Diagnosis and Management of
Insomnia in Clinical Practice. CMAJ. 2000 ; 162 : 216-220
11. L Petit. N Azad. Anna B. Non-pharmacological Management of Primary and
Secondary Insomnia Among Older People. British geriatric Society.2003;32:
19-25.
12. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai