BAB I
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : Tn. A/Laki laki/38 tahun
b. Pekerjaan : Swasta
c. Alamat : RT 24 Tambak Sari
Status Generalisata
Kepala : Normocepal
Thoraks
Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris,skar (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+),ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : batas jantung dbn
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
4
Abdomen
Inspeksi : Datar, skar (-)
Auskultasi : Peristaltik normal
Palpasi : Nyeri tekan (-) hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Status Psikiatri
a. Keadaan Umum
Penampilan : Cukup rapi
Kesadaran : Compos mentis
Orientasi : a. Waktu : Baik
b. Tempat : Baik
c. Orang : Baik
Sikap & Tingkah laku : Kooperatif
b. Gangguan Berpikir
Bentuk pikir : Realistik
Arus pikir : Koheren
Isi Pikir : Waham (-)
c. Alam Perasaan
Mood : Eutimia
Afek : Sesuai
d. Persepsi
Halusinasi : (-) Disangkal
Ilusi : (-) Disangkal
e. Fungsi Intelektual
Daya Konsentrasi : Baik
Orientasi : a. Waktu : Baik
b. Tempat : Baik
c. Orang : Baik
5
X. Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin :
WBC : 8,2 x 103/µL
RBC : 4,22 x 106/µL
HGB : 12,4 g/dL
HCT : 37,3 %
PLT : 311 x 103/µL
XIV. Manajemen
a. Promotif :
Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit insomnia yang pasien
derita mulai dari penyebab, pengobatan, serta komplikasi.
Menjelaskan kepada pasien bahwa harus merubah kebiasaan
kebiasaan yang menjadi faktor resiko timbulnya insomnia.
b. Preventif :
Hentikan merokok
Hindari kafein dan alkohol
6
c. Kuratif :
Farmakologi :
- Diazepam 1x2,5 mg
Non Farmakologi :
- Stimulus control
- Sleep restriction
- Sleep hygiene
- Cognitive therapy
d. Rehabilitatif
Menjelaskan kepada pasien agar dapat merubah gaya hidup yang
selama ini menjadi pencetus insomnia
Memberikan dukungan kepada pasien dan keluarga dan
menyarankan keluarga pasien untuk membantu dan mengatasi
masalah bersama pasien.
7
R/ R/
R/ R/
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis; nonrapid eye movement (NREM)
dan rapid eye movement (REM). Pada tidur NREM, yang terdiri atas tahap 1
9
Tidur REM merupakan jenis tidur yang secara kualitatif berbeda, ditandai
dengan tingginya tingkat aktivitas otak dan tingkat aktivitas fisiologis yang
menyerupai tingkat aktivitas saat terjaga. Kira-kira 90 menit setelah awitan tidur,
NREM menghasilkan episode REM pertama malam tersebut. Latensi REM 90
menit ini merupakan temuan yang konsisten pada orang dewasa normal,
pemendekan latensi REM sering terjadi pada gangguan seperti gangguan depresif
dan narkolepsi. Elektroensefalogram (EEG) merekam gerakan mata konjugat
cepat yang merupakan ciri pengidentifikasi keadaan tidur (tidak ada atau hanya
sedikit REM dalam tidur NREM); pola EEG terdiri atas aktivitas cepat
bertegangan rendah dan acak dengan gelombang gigi gergaji. Elektromiograf
(EMG) menunjukkan berkurangnya tonus otot yang nyata.
Pada orang normal, tidur NREM merupakan keadaan tentram
dibandingkan saat terjaga. Denyut jantung secara khas melambat lima hingga
sepuluh denyut per menit dibawah tingkat saat terjaga sedang istirahat dan sangat
teratur denyutnya. Pernapasan juga dipengaruhi dan tekanan rendah cenderung
rendah, dengan beberapa variasi dari menit ke menit. Potensial otot istirahat pada
otot-otot tubuh lebih rendah pada tidur REM daripada keadaan terjaga. Gerakan
tubuh episodik dan involuntar terdapat pada tidur NREM. Meskipun ada, terdapat
sedikit REM dan jarang ada ereksi penis pada laki-laki. Aliran darah melalui
sebagian besar jaringan, termasuk aliran darah otak, sedikit berkurang. Bagian
11
tidur NREM yang paling dalam –tahap 3 dan 4- kadang-kadang disertai ciri
bangkitan yang tidak biasa. Jika orang dibangunkan 30 menit hingga 1 jam setelah
awitan tidur, biasanya pada tidur gelombang pendek, mereka akan mengalami
disorientasi dan pikiran menjadi kacau. Membangunkan dengan cepat dari tidur
gelombang pendek juga menyebabkan amnesia terhadap peristiwa selama
dibangunkan tersebut. Kekacauan saat bangun dari tahap 3 atau 4 dapat
menghasilkan masalah spesifik, termasuk enuresis, somnambulisme, dan mimpi
buruk atau terror malam hari tahap 4.1
Ukuran poligrafik selama tidur REM menunjukkan pola yang tidak teratur,
kadang-kadang mendekati pola terjaga ketika dibangunkan. Karena pengamatan
ini, tidur REM juga dinamakan tidur paradoksal. Denyut jantung, pernapasan, dan
tekanan darah pada manusia semuanya tinggi saat tidur REM, lebih tinggi
daripada selama tidur NREM dan sering lebih tinggi daripada saat bangun.
Variabilitasnya dari menit ke menit bahkan lebih mencolok dibandingkan kadar
atau frekuensinya. Penggunaan oksigen otak meningkat selama tidur REM.
Respon ventilasi untuk meningkatkan kadar karbondioksida (CO 2) berkurang
selama tidur REM, sehingga tidak terdapat peningkatan volume tidal ketika
tekanan parsial karbondioksida meningkat (PCO2). Termoregulasi berubah saat
tidur REM. Berlawanan dengan keadaan pengaturan suhu homeotermik yang
terjadi saat keadaan terjaga atau selama tertidur REM, keadaan poikilotermik
(suatu keadaan suhu hewan yang beragam sesuai dengan perubahan suhu di
sekelilingnya) berlangsung saat tidur REM. Poikilotermia yang merupakan ciri
khas reptil, menimbulkan kegagalan berespons terhadap perubahan suhu
lingkungan dengan menggigil atau berkeringat, yang bertujuan untuk
mempertahankan suhu tubuh. Hampir semua periode REM pada laki-laki disertai
dengan ereksi penis parsial atau penuh. Temuan ini memiliki nilai klinis
signifikan dalam mengevaluasi penyebab impotensi, studi tumescence nokturnal
penis merupakan salah satu uji laboratorium tidur yang paling lazim diminta.
Perubahan fisiologis lain yang terjadi selama tidur REM adalah paralisis hampir
total pada otot rangka (postural). Karena inhibisi motorik ini, gerakan tubuh tidak
ada selama tidur REM. Mungkin ciri tidur REM yang paling khas adalah mimpi.
Orang yang terbangun saat tidur REM sering (60 hingga 90%) melaporkan bahwa
12
mereka mengalami mimpi. Mimpi selama tidur REM secara khas abstrak dan
aneh. Mimpi dapat terjadi selama tidur NREM tetapi khasnya jelas dan bertujuan.
Sifat siklik pada tidur adalah regular dan dapat dieprcaya; periode REM
terjadi kira–kira setiap 90 hingga 100 menit sepanjang malam. Periode REM
pertama cenderung menjadi yang paling singkat, biasanya berlangsung kurang
dari 10 menit; periode REM selanjutnya masing-masing dapat berlangsung 15
hingga 40 menit. Sebagian besar periode REM terjadi pada dua pertiga akhir
malam, sedangkan sebagian besar tidur tahap 4 terjadi pada sepertiga pertama
malam. Pola tidur ini berubah selama rentang hidup seseorang. Pada periode
neonatus, tidur REM menunjukkan lebih dari 50% waktu tidur, dan pola EEG
bergerak dari keadaan siaga langsung ke keadaan REM tanpa melalui tahap 1
sampai 4. Neonatus tidur kira-kira 16 jam sehari dengan periode bangun yang
singkat. Pada usia 4 bulan, pola bergeser sehingga presentase total tidur REM
berkurang hingga kurang dari 40% dan jatuh tertidur menjadi disertai periode
tidur REM lebih awal. Saat dewasa muda, distribusi tahap tidur pada NREM 75%
(tahap 1 : 5%, tahap 2 : 45%, tahap 3: 12%, tahap 4 : 13%). Distribusi ini relatif
tetap konstan sampai usia tua, walaupun pengurangan terjadi pada tidur
gelombang pendek dan tidur REM pada orang yang berusia lebih tua.1
2.2 Definisi Insomnia
Definisi insomnia adalah keluhan gangguan tidur, sama ada kesulitan
dalam memulai tidur atau mempertahankan tidur, dan/atau awal bangun dari
tidur. Banyak sumber juga mengatakan adanya gangguan di siang hari yang
terkait seperti kelelahan, cepat marah, penurunan memori dan konsentrasi dan
lesu yang mengganggu banyak aspek fungsi di siang hari. Insomnia lebih
sering menyerang perempuan daripada laki-laki, serta sering terjadi pada usia
lanjut. Insomnia bisa diklasifikasikan kepada primer, yaitu insomnia yang
terjadi tanpa disertai penyakit lain, dan juga sekunder, dimana insomnia tipe
ini terjadi disebabkan oleh penyakit lain, masalah psikis, lingkungan, perilaku
atau efek samping dari obat-obatan. Insomnia juga bisa diklasifikasikan
sebagai insomnia akut (kurang dari 1 bulan) ataupun kronis, yaitu 1-6 bulan.
Insomnia lebih tepat disebut sebagai suatu gejala dan bukan meupakan suatu
diagnosis.
13
2.4 Epidemiologi
Penyakit insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering
dikeluhkan masyarakat. Prevalensinya bervariasi berdasarkan definisi kasus
15
Insomnia primer didiagnosis jika keluhan utama adalah tidur yang tidak
bersifat menyegarkan atau kesulitan memulai atau mempertahankan tidur, dan
keluhan ini terus berlangsung sedikitnya satu bulan. Istilah primer
menunjukkan bahwa insomnia bebas dari adanya gangguan fisik atau
psikologis. Pasien dengan insomnia primer secara umum memiliki preokupasi
mengenai tidur cukup. Semakin mereka mencoba tidur, semakin besar rasa
frustasi dan penderitaan serta makin sulit terjadinya tidur.
Diagnosis yang tepat dapat ditegakkan melalui anamnesis yang cermat dan
adekuat untuk menentukan insomnia primer atau diagnosis bandingnya serta
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang (tekanan darah, gangguan hormon,
kolesterol, kadar gula darah, dan sejenisnya, termasuk kuesioner) untuk
mengetahui adanya penyakit klinis dan pemeriksaan psikologis untuk
mendeteksi gangguan psikis (depresi, skizofrenia, psikosis,dan sejenisnya).6
Pemeriksaan tambahan seperti sleep wake diaries, aktigrafi,
polisomnografi telah dilakukan untuk membantu diagnosis walaupun
validitasnya masih terbatas. Sleep wake diaries merupakan pencatatan waktu
18
tidur yang dilakukan selama 1-2 minggu, pencatatan ini berguna untuk
menegakkan pola tidur, variasi pada jam tidur, gangguan tidur dari hari kehari.
Aktigrafi merupakan metode objektif untuk mengevaluasi pola tidur dan
beraktivitas dengan menggunakan peralatan yang sensitif terhadap gerakan,
digunakan pada pergelangan tangan yang tidak dominan. Pada penelitian yang
valid menunjukan hubungan antara pola aktigrafi dan tidur yang dinilai
melalui polisomnografi, walaupun aktigrafi dapat melebih-lebihkan jumlah
nyata dari tidur. Aktigrafi digunakan dalam mengevaluasi gangguan ritme
sirkadian tapi belum sepenuhnya valid. Polisomnografi merupakan alat yang
paling sensitif untuk membedakan tidur dan terjaga. Pemeriksaan dengan alat
ini tidak rutin digunakan untuk mengevaluasi insomnia kronik karena pada
banyak kasus hanya mengkonfirmasi laporan subjektif dari pasien tanpa
mengindikasikan penyebab pasien terjaga, tapi pada situasi tertentu
polisomnografi sangat berguna seperti pada sleep apnea, periodic limb
movement, atau parasomnia (mimpi buruk). Pada pasien dengan keluhan tidak
wajar atau riwayat respon terhadap pengobatan tidak baik dapat dilakukan
pemeriksaan polisomnografi.4
Beberapa tanda dan gejala yang dapat membantu menegakkan diagnosis
insomnia, yaitu :
Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
Sering terbangun pada malam hari
Bangun tidur terlalu awal
Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
Iritabilitas, depresi atau kecemasan
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
Gejala gastrointestinal
Penyakit anorganik otak, alergi dan sakit kronis harus disingkirkan sebelum
diagnosis psikofisiologi insomnia menetap dibuat.
kerja yang sangat lambat (2-3 minggu) sehinga tidak sesuai diberikan
pada penderita insomnia akut. Efek samping yang ditimbulkan tidak
jelas dan efektifitas zat ini belum dapat dibuktikan secara pasti.
Aromaterapimembantu dalam menciptakan suasana yang nyaman dan
kondusif untuk penderita. Aromaterapi yang sering digunakan adalah
ekstrak lavender, chamomile dan ylang-ylang, namun belum ada data
yang mendukung terapi menggunakan metode aromaterapi.3
2.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang
teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
32
2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini
disertai skizophrenia.1
33
BAB III
ANALISIS KASUS
7.
35
DOKUMENTASI
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang : Bina Rupa Aksara Publisher.
2. Karl D. The Epidemiology and Diagnosis of Insomnia, AMJ.2006;12: 14-220
3. Kumar B, Carlos R, Nancy FS. Advances in Treating insomnia. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. April : 2007; Vol 74 : 251-265.
4. Evelyn Mai, Daniel J. Buysse. 2009. Insomnia: Prevalence Impact,
Pathogenesis, Differential Diagnosis, and Evaluation.Fall; p.491-498.
5. R Mahendran. 2001. Characteristics of Patients Referred to an Insomnia
Clinic. Singapore Med J Vol 42(2); p. 064-066.
6. Anonim. 28 Juta Orang Indonesia Terkena Insomnia.(akses 20 Januari 2011).
Download dari situs: http://balagu.com/health/?p=8/
7. Erika N. Susan L. John ED. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. June :
2004 ; 17 : 212-218
8. R.George L, Cynthia G. Nonpharmacologic Approaches to the Management
on Insomnia. JAOA. Nov : 2010; Vol 110: 695-700
9. R Aretoula F. Sleep Disorder Insomnia. Silva Method Research Proper.2005 :
2-8.
10. Anne MMHH, Renee C. Anna L. The Diagnosis and Management of
Insomnia in Clinical Practice. CMAJ. 2000 ; 162 : 216-220
11. L Petit. N Azad. Anna B. Non-pharmacological Management of Primary and
Secondary Insomnia Among Older People. British geriatric Society.2003;32:
19-25.
12. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran