Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KEBUDAYAAN DAERAH MAJENE

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Wawasan Sosial Budaya

Dosen Pengampu : Achmad Mawardi Shabir, SH., M.K.M

Oleh:

Kelompok IV

Amelia Winda Arimbi -B0522057 Apriel Demmatande -B0522025

Awalia Rahmah -B0522070 Dian Hefriani -B0522004

Sri Basmalah Basri -B0522011 Ivani Sri Ardana -B0522005

Serly Amelia -B0522308 Nur Alvira Basri -B0522359

Salsabila Ramadhana -B0522045 Eldi Meidriantho D -B0522318

Yulianti -B0522386

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI KESEHATAN

UNIVERSITAS SULAWESI BARAT

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Kebudayaan Majene ini dapat diselesaikan
dengan baik.

Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata kuliah Wawasan Sosial Budaya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah “Kebudayaan Majene” ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber
bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang
menjadi bahan makalah kami.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
arahan serta bimbingannya dalam menyelesaikan makalah ini sehingga penyusunan makalah
dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah “Kebudayaan Majene” ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan.
Semoga makalah Kebudayaan Majene ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Campalagian, 20 Oktober 2022


Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………...………………………….…………………......…..i

DAFTAR ISI…….…………………………………………………..………………………...ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………..………………………………...
1

A. Latar Belakang…………………………..……………………………………….….... 1
B. Rumusan Masalah………………………………..………………………….………...
1
C. Tujuan………………………………………..……………………….………….....… 1

BAB II PEMBAHASAN………………………………..…………………….……………...
2

A. Sejarah Kebudayaan Majene………….………………………...


……………………...2
B. Bahasa Masyarakat Majene…....................................…...……………….……………2
C. Tradisi daerah Majene.…..................................………………..…….………………. 3
D. Makanan Khas daerah
Majene........................................................................................6
E. Pariwisata daerah Majene...............................................................................................7

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………. 9

A. Kesimpulan………………………………………………………..…….…….....….. ..9
B. Saran…………………………………………………………..…………….................9

DAFTAR PUSTAKA………………………………………….
……......................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan kebudayaan akhir-akhir ini menjadi salah satu perhatian pemerintah
dalam memperkenalkan pariwisata budaya kepada mancanegara. Tidak terkecuali
pada daerah Mandar khususnya di Kabupaten Majene, Majene merupakan salah satu
kabupaten di Indonesia yang kawasannya didiami oleh suku Mandar. Sebagai daerah
asal muasal dari kebudayaan Mandar, Majene belum memiliki sarana prasarana
penunjang dalam berkegiatan yang menyangkut kepentingan kesenian budaya secara
khusus. Kegiatan kesenian sejumlah besar dilaksanakan di gedung Assamalewuang,
yang merupakan gedung serbaguna. Fungsinya yang demikian, menjadikan kegiatan
kesenian terbatas dalam penggunaan ruang untuk berkarya di kegiatan kebudayaan.
Sementara kegiatan lain yang juga sama-sama bersifat penting yang jadwal
pengadaannya padat disetiap tahunnya, seperti acara wisuda, rapat dalam skala besar
dan tidak menutup kemungkinan acara-acara formal lainnya

B. Rumusan Masalah
a. Apa itu Daerah Majene?
b. Seperti apakah Bahasa Masyarakat Majene?
c. Apa saja tradisi yang ada di Majene?
d. Apa makanan khas daerah Majene?
e. Objek Pariwisata apa saja yang ada di Majene?

C. Tujuan
a. Memahami Sejarah Daerah Majene
b. Mengetahui Bahasa Daerah Majene
c. Mengetahui Tradisi Masyarakat Majene
d. Mengetahui makanan khas daerah Majene
e. Mengetahui Pariwisata yang ada di Majene

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Kebudayaan Majene


Kabupaten Majene adalah salah satu Daerah Tingkat II yang berada di Provinsi
Sulawesi Barat, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Banggae. Kabupaten ini
memiliki luas wilayah 947,84 km² dan berpenduduk sebanyak 173.844 jiwa. Kabupaten
Majene merupakan salah satu dari 5 kabupaten dalam wilayah Propinsi Sulawesi Barat
yang terletak di pesisir pantai barat Propinsi Sulawesi Barat memanjang dari Selatan ke
Utara. Jarak Kabupaten Majene ke ibukota Propinsi Sulawesi Barat (Kota Mamuju)
kurang lebih 146 km. Secara geografis Kabupaten Majene terletak antara 200 38’ 45” –
300 38’ 15” Lintang Selatan dan antara 1180 45’ 00” – 1190 4’ 45” Bujur Timur.
Kata daerah Majene yang dipahami masyarakat Mandar Majene dalam sebuah
tradisi Bpengetahuan sejarah secara lisan, bahwa dikatakan Majene sebab adanya sebuah
cerita orang-orang terdahulu. Suatu ketika ada pendatang (sebagian mengatakan orang
Belanda dan sebagian pula menyebutnya orang Melayu) yang tiba di pesisir pantai dan
menyandarkan kapalnya. Pendatang tersebut mendatangi salah seorang penduduk yang
saat itu sedang berwudhu di pinggir pantai dan bertanya, “apa nama tempat ini?”. Oleh
karena yang sedang berwudhu tidak mengerti dan menyangka bahwa pendatang tersebut
bertanya tentang apa yang sedang dilakukannya, maka dijawablah “manje’ne”
(berwudhu). Mulai saat itulah, para pendatang menamainya “Majene”. Meskipun dalam
sumber ini tidak ada tanggal ataupun tahun yang jelas, namun cerita inilah yang
berkembang dalam pemahaman sejarah masyarakat Mandar Majene dan tetap dijadikan
pijakan dasar untuk mengetahui asal mula penamaan Majene.

B. Bahasa Masyarakat Majene

Penduduk Kabupaten Majene sebagian besar berasal dari Suku Mandar yang


merupakan suku asli di Sulawesi Barat. Umumnya mereka berbahasa dengan
menggunakan Bahasa Mandar. Bahasa ini bagian dari kelompok Utara dalam rumpun
bahasa Sulawesi Selatan dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa
Austronesia. Bahasa Mandar yang digunakan oleh mereka memiliki dialek bahasa
bervariasi, tetapi sebagian besar menggunakan Dialek Majene atau Banggae dan sisanya
menggunakan dialek Pamboang yang umum digunakan di wilayah pesisir Pamboang
sedangkan dialaek Awok Sumakengu diucapkan hanya di Desa Onang, Kecamatan Tubo
Sendana.

2
C. Tradisi yang ada di Majene

1. Sayyang Pattu’du (kuda menari)

Sayyang Pattu’du (kuda menari) atau biasa juga disebut penunggang Kuda
Menari (pessaweang Saeyyang Mattu’du) adalah ritual yang paling khas di lingkungan
masyarakat Mandar termasuk majene adalah totamma mangayi (khatam alqur’an).
Pada acara ini Pessaweang saeyyang Mattu’du (Penunggangan Kuda Menari), yang
dibawakan oleh perempuan-perempuan Mandar, dengan menggunakan pakaian adat,
dan diarak keliling kampung, dengan iringan parrewana (pemukul rebana). Diselingi
dengan Kalinda’da (sastra lisam mandar). Pessaweang Saeyyang Mattu’du juga bisa
ditampilkan pada acara maulid. Acara ritual biasanya diawali pambacangan (upacara
syukuran) dengan melantunkan Barazanji (tembang pujian kepada Rasulullah) saat
pagi dan siang harinya. Dan pada sore harinya, barulah digelar penunggangan kuda
menari. Dalam perkembangannya kuda dimanfaatkan sebagai sayyang pattu’du atau
tradisi kebudayaan pada suku mandar yang memiliki hubungan erat dengan khataman
al-qur’an.

Tradisi tersebut adalah warisan dari nenek moyang masyarakat Mandar,


sehingga masyarakat Mandar meyakini para pendahulu mereka bahwa pada saat
melaksanakan kegiatan sayyang pattu‟du ada tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat
di Mandar. Apabila seorang anak di Mandar telah khatam al-qur‟an, maka diarak
keliling kampung dengan menunggangi seekor kuda menari (sayyang pattu’du),
sehingga pertunjukan tradisi sayyang pattu’du menjadi motivasi bagi seorang anak
untuk lebih giat mengaji dan bisa mengkhatamkan al-qur‟an. Kuda yang ditunggangi
dalam tradisi sayyang pattu’du adalah kuda jinak yang sudah terlatih sejak kecil agar
dapat menari mengikuti bunyi rebana. Dalam tradisi sayyang pattu’du identik dengan
penungganggangnya, yaitu seorang anak yang khataman al-qur‟an duduk di punggung
kuda bagian belakang dan seorang wanita dewasa duduk di punggung bagian depan,
dinamakan pissawe atau sering juga disebut sebagai pendamping anak khataman al-
qu‟an. Kedua penunggang kuda diarak keliling kampung menunggangi sayyang
pattu’du atau kuda jinak yang sudah terlatih untuk mengangguk-anggukan kepalanya,
selaras dengan kakinya, dan seirama iringan musik tabuhan rebana. Untuk menjaga
posisi penunggang kuda, di sisi kiri dan sisi kanan didampingi oleh orang yang
menjaga keseimbangan penunggang kuda (passarung), orang tersebut biasanya
keluarga atau kerabat terdekat anak yang khataman al-qur‟an. Terdapat pula seorang
atau pembawa payung yang sudah di hiasi dengna sedemikian rupa serta terdapat

3
pakkalinda’da (orang yang melantunkan pantun berbahasa Mandar). Kalinda‟da juga
merupakan rangkaian dari acara yang bertujuan untuk menghibur penunggang kuda
dan orang-orang yang menyaksikan tradisi tersebut. Apabila penunggang wanita maka
akan terlihat malolo (cantik) karena pissawe memakai pakaian adat Mandar berupa
pasangan mamea (baju adat Mandar berwarna merah) yang dipadukan dengan sarung
sutra Mandar. Serta menggunakan hiasan sederhana. Seorang anak yang khataman al-
qur‟an (totamma) memakai pakaian muslimah dilengkapi kerudung penutup kepala
(badawara), tetapi jika yang menunggangi seorang laki-laki maka akan terlihat
makappa (tampan/gagah) karena memakai pakaian mirip dengan orang arab dengan
jubah yang panjang dan ikatan kepala. Penunggang kuda harus mengikuti tata cara
duduk diatas kuda yang berlaku secara turun temurun, seperti satu kaki dilekuk
kebelakang, lutut menghadap kedepan, sementara satu kaki lainnya terlipat dengan
lutut dihadapkan keatas dan telapak kaki berpijak pada sarung yang sudah disiapkan di
atas punggung kuda. Apabila salah satu perlengkapan tradisi sayyang pattu’du tidak
tersedia, maka tidak dapat dikatakan sebagai tradisi sayyang pattu’du, misalnya
pemain musik rebana, pakkalinda’da, kuda, baju dan adat dan penunggangnya tidak
tersedia atau belum lengkap, maka tidak dapat disebut sebagai tradisi sayyang pattu’du
karena perlengkapan dalam tradisi ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dan masing-masing perlengkapan itu mempunyai fungsi yang berbeda.

2. Makkuliwa lopi

Tradisi makkuliwa lopi merupakan salah satu tradisi nelayan suku Mandar,
Provinsi Sulawesi Barat yang diwariskan dari generasi ke generasi sampai saat ini.
Menurut pengetahuan nelayan Mandar, tidak ada waktu pasti yang tercatat di mana
dan sejak kapan tradisi makkuliwa lopi ini dimulai. Para nelayan Mandar hanya
bercermin dari kehidupan nenek moyang pada zaman dahulu yang diwariskan dari
seorang bapak kepada anak lelakinya yang dianggap mampu meneruskan pekerjaan
sebagai nelayan.

Tradisi makkuliwa lopi dalam masyarakat Mandar Majene apabila ditinjau dari
sudut pandang filosofis, tentu sangat berkaitan dengan yang dimaksudkan oleh Anton
Bakker dan Achmad Charris Zubair. Sebab, tradisi makkuliwa lopi merupakan produk
akal budi manusia yang diturunkan dari generasi ke generasi, menghasilkan pandangan
hidup kaum nelayan Mandar dalam melaut, dan hal tersebut erat hubungannya dengan
filosofi tradisi itu sendiri. Bagaimana kemudian tradisi ini lahir dan besar di tengah
masyarakat nelayan Mandar, kemudian dianggap mendatangkan kebaikan dan sampai

4
saat ini tradisi tersebut tetap eksis di tengah kehidupan nelayan Mandar Majene.
Dalam pelaksanaan tradisi makkuliwa lopi, perahu adalah benda utama yang paling
penting dihadirkan dan yang akan di-kuliwa. Adapun jenis perahu yang akan di-
kuliwa, tidak ditentukan bentuknya. Apabila perahu yang akan di-kuliwa adalah jenis
perahu biasa semacam lepa-lepa, maka akan tetap di-kuliwa. Makkuliwa lopi tidak
selamanya harus perahu berukuran besar dan semacamnya. Tidak ada jenis lopi
(perahu) yang ditentukan yang harus di-kuliwa. Bagi nelayan Mandar, tradisi
makkuliwa lopi, apabila ada perahu baru yang telah jadi dibuat, sebelum digunakan
maka akan di-kuliwa. Adapun jenisjenis lopi (perahu) yang termasuk dalam
pemahaman nelayan Mandar memiliki berbagai jenis

a. Pertama, perahu jenis soppeq. Soppeq menurut nelayan Mandar adalah jenis lopi
(perahu) yang hampir sama dengan sandeq. Akan tetapi, terdapat perbedaan bentuk
pada letak ujung perahu. Biasa disebut paccong, yang berada pada dua sisi ujung
perahu yang tersambung langsung dengan badan perahu. Jika pada sandeq
bentuknya sedikit melengkung atau berkelok, sedangkan pada soppeq bentuknya
lurus menjulang ke atas. Soppeq biasanya digunakan nelayan untuk mencari ikan
dengan cara yang manual menggunakan pean (semacam lengkungan besi kecil
tempat umpan dikaitkan) yang diberi umpan semacam potongan ikan kecil-kecil,
cacing dan sebagainya. Penangkap ikan jenis seperti ini dirangkai dengan
menggunakan tasi yang kemudian dililit pada media tertentu. Nelayan biasa
menggunakan potongan bambu, kaleng bekas dan semacamnya.

b. Kedua, adalah perahu dengan nama ba’go Ba’go merupakan jenis perahu besar
yang biasa digunakan nelayan untuk menjala ikan. Menjala ikan tentunya
menggunakan jala yang besar atau biasa disebut pukat. Perbedaan ba’go dengan
jenis perahu lain terletak pada bentuknya yang sedikit lebih besar. Jika pada
soppeq memiliki ruang terbuka pada badan atas perahu, ba’go memiliki sekat-sekat
semacam kamar-kamar kecil dan kolom penyimpanan ikan. Ba’go juga dirancang
dengan layar pada ujung tiang perahu yang terpasang menjulang ke atas. Meskipun
fungsinya sama dengan perahu jenis lain, yaitu mencari ikan. Akan tetapi untuk
jenis ba’go konteksnya menjala, cenderung memiliki waktu yang lebih lama di laut
karena menunggu jala yang telah disebar di setiap penjuru laut untuk disinggahi
ikan-ikan calon tangkapan.

5
c. Ketiga adalah perahu jenis lepa-lepa. Lepa-lepa pada fungsinya sama seperti
soppeq, digunakan nelayan menangkap ikan dengan memakai pean. Pada dasarnya,
lepa-lepa adalah sampan. Perahu kecil dengan ruang terbuka, terdiri dari badan
perahu yang dibantu dengan dayung untuk mengoperasikannya.

d. Keempat perahu Sandeq (lihat gambar 5). Sandeq adalah jenis perahu Mandar
yang sangat populer. Bentuk sandeq hampir sama dengan soppeq. Akan tetapi pada
bagian pangkal ujungnya berbentuk lengkungan yang langsung dari badan perahu.
Sandeq juga biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan. Memiliki layar yang
besar dan berukuran cukup besar dengan ruang perahu yang terbuka. Perahu
sandeq lebih populer digunakan untuk lomba dan memang dipersiapkan untuk hal
yang demikian. Apabila tengah memasuki masa-masa pelaksanaan Sandeq Race,
maka akan terlihat kesibukan para nelayan Mandar merenovasi atau bahkan
membuat ulang sandeq yang akan dilombakan. Ada juga yang disebut sandeq-
sandeq. Sandeq-sandeq merupakan jenis sandeq yang berukuran sdikit lebih kecil,
tanpa layar dan digunakan untuk mencari ikan. Biasanya juga dibantu dengan
mesin dalam proses penggunaannya.

D. Makanan khas Majene


a. Tuing-tuing
Tuing-tuing adalah sebutan untuk ‘terbang’ dalam bahasa Mandar –suku
mayoritas di Sulawesi Barat. Cara masak ikan ini terbilang unik. Ikan terbang yang
sudah dibersihkan dan direndam dengan air garam, diletakkan di atas pelepah daun
kelapa di atas tungku kayu kering. Sudah dipastikan, tidak ada kobaran api yang
menyentuh kulit si ikan. Itu makanya di sebut tuing-tuing ‘asap’, karena asap inilah
yang mematangkan daging ikan terbang.

b. Jepa

Jepa atau dieja yepa adalah makanan khas suku Mandar, Sulawesi Barat,


berupa lingkaran dalam lembaran tipis. Roti pipih ini dibuat dari bahan singkong dan
parutan kelapa. Warnanya putih kecokelatan dengan aroma singkong bakar dan
bertekstur seperti roti. Jepa dijadikan makanan pokok sama seperti nasi bagi suku
Mandar dan biasanya disajikan bersama ikan teri, bau tuing-tuing, atau cumi. Saat ini
Jepa sudah berinovasi dengan menambahkan toping berupa parutan gula merah. Jepa
diperkirakan muncul ketika daerah tersebut mengalami kekeringan dan kelaparan, dan
mengolah makanan menjadi tahan lama adalah solusinya.
6
c. Kue bua rangas

Berasal dari salah satu daerah di Majene bernama Rangas, kue bua


rangas merupakan hidangan berupa gorengan yang bahan-bahannya berasal dari
tepung terigu, kacang hijau, dan gula aren. Kemudian, semua bahan-bahan tersebut
dicampur menjadi adonan lalu digoreng hingga matang.

d. Golla kambu

Tampilan golla kambu mirip seperti wajik dari Jawa. Tapi, golla


kambu memiliki cita rasa manis yang lebih khas. Bahan-bahan yang diperlukan untuk
membuat sajian ini adalah beras ketan, garam, kelapa parut, kacang tanah yang
sebelumnya telah disangrai, dan gula merah.

Cara membuatnya yaitu mula-mula beras ketan dikukus. Lalu, masukkan beras
ketan dan garam ke dalam rebusan air. Di tempat berbeda, rebus gula merah hingga
larut. Selanjutnya, masukkan beras ketan tadi dan kelapa. Tambahkan kacang, aduk
sebentar lalu angkat dan biarkan dingin. Setelah itu baru dikemas.

E. Pariwisata yang ada di Majene

1. Pantai Dato
2. Pantai Baluno
3. Pantai Barane
4. Air Terjun Baruga
5. Air Terjun Salutakaang
6. Permandian Air Panas Makula
7. Museum Mandar
8. Pantai Munu
9. Villa Andatama
10. Bukit Teletubbies Tubo
11. Taraujung
12. Makam Raja-Raja dan Hadat Banggae
13. Masjid Purbakala Syeck Abdul
14. Permandian Puncak Raja Bunga Baruga
15. . Buttu Pattumea
16. Mannan Salabose
17. Pantai Banaburebe

7
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Penduduk Kabupaten Majene sebagian besar berasal dari Suku Mandar yang


merupakan suku asli di Sulawesi Barat. Umumnya mereka berbahasa dengan
menggunakan Bahasa Mandar. Bahasa Mandar yang digunakan oleh mereka
memiliki dialek bahasa bervariasi, tetapi sebagian besar menggunakan Dialek Majene

8
atau Banggae dan sisanya menggunakan dialek Pamboang yang umum digunakan di
wilayah pesisir Pamboang sedangkan dialek Awok Sumakengu diucapkan hanya di Desa
Onang, Kecamatan Tubo Sendana.

2. Saran

Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di


atas masih banyak kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis
akan segera melakukan perbaikan susunan makalah ini dengan menggunakan pedoman
dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. (31 Oktober 2021).Kabupaten Majene. Diakses tanggal 20 Oktober


2022, dari https://id.wikipedia.org/TanpaPenulis
Goncing,IsnaArliana.2017.TradisiMakkuliwaLopidalamMandarMajene,http://
repositori.uinalauddin.ac.id/id/eprint/17285/2017/tradisi-makkuliwa-lopi-mandar-
majene (Kamis, 14:31)

9
10

Anda mungkin juga menyukai