Oleh:
Kelompok IV
Yulianti -B0522386
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Kebudayaan Majene ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata kuliah Wawasan Sosial Budaya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah “Kebudayaan Majene” ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber
bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang
menjadi bahan makalah kami.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
arahan serta bimbingannya dalam menyelesaikan makalah ini sehingga penyusunan makalah
dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah “Kebudayaan Majene” ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan.
Semoga makalah Kebudayaan Majene ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………...………………………….…………………......…..i
DAFTAR ISI…….…………………………………………………..………………………...ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………..………………………………...
1
A. Latar Belakang…………………………..……………………………………….….... 1
B. Rumusan Masalah………………………………..………………………….………...
1
C. Tujuan………………………………………..……………………….………….....… 1
BAB II PEMBAHASAN………………………………..…………………….……………...
2
A. Kesimpulan………………………………………………………..…….…….....….. ..9
B. Saran…………………………………………………………..…………….................9
DAFTAR PUSTAKA………………………………………….
……......................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kebudayaan akhir-akhir ini menjadi salah satu perhatian pemerintah
dalam memperkenalkan pariwisata budaya kepada mancanegara. Tidak terkecuali
pada daerah Mandar khususnya di Kabupaten Majene, Majene merupakan salah satu
kabupaten di Indonesia yang kawasannya didiami oleh suku Mandar. Sebagai daerah
asal muasal dari kebudayaan Mandar, Majene belum memiliki sarana prasarana
penunjang dalam berkegiatan yang menyangkut kepentingan kesenian budaya secara
khusus. Kegiatan kesenian sejumlah besar dilaksanakan di gedung Assamalewuang,
yang merupakan gedung serbaguna. Fungsinya yang demikian, menjadikan kegiatan
kesenian terbatas dalam penggunaan ruang untuk berkarya di kegiatan kebudayaan.
Sementara kegiatan lain yang juga sama-sama bersifat penting yang jadwal
pengadaannya padat disetiap tahunnya, seperti acara wisuda, rapat dalam skala besar
dan tidak menutup kemungkinan acara-acara formal lainnya
B. Rumusan Masalah
a. Apa itu Daerah Majene?
b. Seperti apakah Bahasa Masyarakat Majene?
c. Apa saja tradisi yang ada di Majene?
d. Apa makanan khas daerah Majene?
e. Objek Pariwisata apa saja yang ada di Majene?
C. Tujuan
a. Memahami Sejarah Daerah Majene
b. Mengetahui Bahasa Daerah Majene
c. Mengetahui Tradisi Masyarakat Majene
d. Mengetahui makanan khas daerah Majene
e. Mengetahui Pariwisata yang ada di Majene
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
C. Tradisi yang ada di Majene
Sayyang Pattu’du (kuda menari) atau biasa juga disebut penunggang Kuda
Menari (pessaweang Saeyyang Mattu’du) adalah ritual yang paling khas di lingkungan
masyarakat Mandar termasuk majene adalah totamma mangayi (khatam alqur’an).
Pada acara ini Pessaweang saeyyang Mattu’du (Penunggangan Kuda Menari), yang
dibawakan oleh perempuan-perempuan Mandar, dengan menggunakan pakaian adat,
dan diarak keliling kampung, dengan iringan parrewana (pemukul rebana). Diselingi
dengan Kalinda’da (sastra lisam mandar). Pessaweang Saeyyang Mattu’du juga bisa
ditampilkan pada acara maulid. Acara ritual biasanya diawali pambacangan (upacara
syukuran) dengan melantunkan Barazanji (tembang pujian kepada Rasulullah) saat
pagi dan siang harinya. Dan pada sore harinya, barulah digelar penunggangan kuda
menari. Dalam perkembangannya kuda dimanfaatkan sebagai sayyang pattu’du atau
tradisi kebudayaan pada suku mandar yang memiliki hubungan erat dengan khataman
al-qur’an.
3
pakkalinda’da (orang yang melantunkan pantun berbahasa Mandar). Kalinda‟da juga
merupakan rangkaian dari acara yang bertujuan untuk menghibur penunggang kuda
dan orang-orang yang menyaksikan tradisi tersebut. Apabila penunggang wanita maka
akan terlihat malolo (cantik) karena pissawe memakai pakaian adat Mandar berupa
pasangan mamea (baju adat Mandar berwarna merah) yang dipadukan dengan sarung
sutra Mandar. Serta menggunakan hiasan sederhana. Seorang anak yang khataman al-
qur‟an (totamma) memakai pakaian muslimah dilengkapi kerudung penutup kepala
(badawara), tetapi jika yang menunggangi seorang laki-laki maka akan terlihat
makappa (tampan/gagah) karena memakai pakaian mirip dengan orang arab dengan
jubah yang panjang dan ikatan kepala. Penunggang kuda harus mengikuti tata cara
duduk diatas kuda yang berlaku secara turun temurun, seperti satu kaki dilekuk
kebelakang, lutut menghadap kedepan, sementara satu kaki lainnya terlipat dengan
lutut dihadapkan keatas dan telapak kaki berpijak pada sarung yang sudah disiapkan di
atas punggung kuda. Apabila salah satu perlengkapan tradisi sayyang pattu’du tidak
tersedia, maka tidak dapat dikatakan sebagai tradisi sayyang pattu’du, misalnya
pemain musik rebana, pakkalinda’da, kuda, baju dan adat dan penunggangnya tidak
tersedia atau belum lengkap, maka tidak dapat disebut sebagai tradisi sayyang pattu’du
karena perlengkapan dalam tradisi ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dan masing-masing perlengkapan itu mempunyai fungsi yang berbeda.
2. Makkuliwa lopi
Tradisi makkuliwa lopi merupakan salah satu tradisi nelayan suku Mandar,
Provinsi Sulawesi Barat yang diwariskan dari generasi ke generasi sampai saat ini.
Menurut pengetahuan nelayan Mandar, tidak ada waktu pasti yang tercatat di mana
dan sejak kapan tradisi makkuliwa lopi ini dimulai. Para nelayan Mandar hanya
bercermin dari kehidupan nenek moyang pada zaman dahulu yang diwariskan dari
seorang bapak kepada anak lelakinya yang dianggap mampu meneruskan pekerjaan
sebagai nelayan.
Tradisi makkuliwa lopi dalam masyarakat Mandar Majene apabila ditinjau dari
sudut pandang filosofis, tentu sangat berkaitan dengan yang dimaksudkan oleh Anton
Bakker dan Achmad Charris Zubair. Sebab, tradisi makkuliwa lopi merupakan produk
akal budi manusia yang diturunkan dari generasi ke generasi, menghasilkan pandangan
hidup kaum nelayan Mandar dalam melaut, dan hal tersebut erat hubungannya dengan
filosofi tradisi itu sendiri. Bagaimana kemudian tradisi ini lahir dan besar di tengah
masyarakat nelayan Mandar, kemudian dianggap mendatangkan kebaikan dan sampai
4
saat ini tradisi tersebut tetap eksis di tengah kehidupan nelayan Mandar Majene.
Dalam pelaksanaan tradisi makkuliwa lopi, perahu adalah benda utama yang paling
penting dihadirkan dan yang akan di-kuliwa. Adapun jenis perahu yang akan di-
kuliwa, tidak ditentukan bentuknya. Apabila perahu yang akan di-kuliwa adalah jenis
perahu biasa semacam lepa-lepa, maka akan tetap di-kuliwa. Makkuliwa lopi tidak
selamanya harus perahu berukuran besar dan semacamnya. Tidak ada jenis lopi
(perahu) yang ditentukan yang harus di-kuliwa. Bagi nelayan Mandar, tradisi
makkuliwa lopi, apabila ada perahu baru yang telah jadi dibuat, sebelum digunakan
maka akan di-kuliwa. Adapun jenisjenis lopi (perahu) yang termasuk dalam
pemahaman nelayan Mandar memiliki berbagai jenis
a. Pertama, perahu jenis soppeq. Soppeq menurut nelayan Mandar adalah jenis lopi
(perahu) yang hampir sama dengan sandeq. Akan tetapi, terdapat perbedaan bentuk
pada letak ujung perahu. Biasa disebut paccong, yang berada pada dua sisi ujung
perahu yang tersambung langsung dengan badan perahu. Jika pada sandeq
bentuknya sedikit melengkung atau berkelok, sedangkan pada soppeq bentuknya
lurus menjulang ke atas. Soppeq biasanya digunakan nelayan untuk mencari ikan
dengan cara yang manual menggunakan pean (semacam lengkungan besi kecil
tempat umpan dikaitkan) yang diberi umpan semacam potongan ikan kecil-kecil,
cacing dan sebagainya. Penangkap ikan jenis seperti ini dirangkai dengan
menggunakan tasi yang kemudian dililit pada media tertentu. Nelayan biasa
menggunakan potongan bambu, kaleng bekas dan semacamnya.
b. Kedua, adalah perahu dengan nama ba’go Ba’go merupakan jenis perahu besar
yang biasa digunakan nelayan untuk menjala ikan. Menjala ikan tentunya
menggunakan jala yang besar atau biasa disebut pukat. Perbedaan ba’go dengan
jenis perahu lain terletak pada bentuknya yang sedikit lebih besar. Jika pada
soppeq memiliki ruang terbuka pada badan atas perahu, ba’go memiliki sekat-sekat
semacam kamar-kamar kecil dan kolom penyimpanan ikan. Ba’go juga dirancang
dengan layar pada ujung tiang perahu yang terpasang menjulang ke atas. Meskipun
fungsinya sama dengan perahu jenis lain, yaitu mencari ikan. Akan tetapi untuk
jenis ba’go konteksnya menjala, cenderung memiliki waktu yang lebih lama di laut
karena menunggu jala yang telah disebar di setiap penjuru laut untuk disinggahi
ikan-ikan calon tangkapan.
5
c. Ketiga adalah perahu jenis lepa-lepa. Lepa-lepa pada fungsinya sama seperti
soppeq, digunakan nelayan menangkap ikan dengan memakai pean. Pada dasarnya,
lepa-lepa adalah sampan. Perahu kecil dengan ruang terbuka, terdiri dari badan
perahu yang dibantu dengan dayung untuk mengoperasikannya.
d. Keempat perahu Sandeq (lihat gambar 5). Sandeq adalah jenis perahu Mandar
yang sangat populer. Bentuk sandeq hampir sama dengan soppeq. Akan tetapi pada
bagian pangkal ujungnya berbentuk lengkungan yang langsung dari badan perahu.
Sandeq juga biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan. Memiliki layar yang
besar dan berukuran cukup besar dengan ruang perahu yang terbuka. Perahu
sandeq lebih populer digunakan untuk lomba dan memang dipersiapkan untuk hal
yang demikian. Apabila tengah memasuki masa-masa pelaksanaan Sandeq Race,
maka akan terlihat kesibukan para nelayan Mandar merenovasi atau bahkan
membuat ulang sandeq yang akan dilombakan. Ada juga yang disebut sandeq-
sandeq. Sandeq-sandeq merupakan jenis sandeq yang berukuran sdikit lebih kecil,
tanpa layar dan digunakan untuk mencari ikan. Biasanya juga dibantu dengan
mesin dalam proses penggunaannya.
b. Jepa
d. Golla kambu
Cara membuatnya yaitu mula-mula beras ketan dikukus. Lalu, masukkan beras
ketan dan garam ke dalam rebusan air. Di tempat berbeda, rebus gula merah hingga
larut. Selanjutnya, masukkan beras ketan tadi dan kelapa. Tambahkan kacang, aduk
sebentar lalu angkat dan biarkan dingin. Setelah itu baru dikemas.
1. Pantai Dato
2. Pantai Baluno
3. Pantai Barane
4. Air Terjun Baruga
5. Air Terjun Salutakaang
6. Permandian Air Panas Makula
7. Museum Mandar
8. Pantai Munu
9. Villa Andatama
10. Bukit Teletubbies Tubo
11. Taraujung
12. Makam Raja-Raja dan Hadat Banggae
13. Masjid Purbakala Syeck Abdul
14. Permandian Puncak Raja Bunga Baruga
15. . Buttu Pattumea
16. Mannan Salabose
17. Pantai Banaburebe
7
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
8
atau Banggae dan sisanya menggunakan dialek Pamboang yang umum digunakan di
wilayah pesisir Pamboang sedangkan dialek Awok Sumakengu diucapkan hanya di Desa
Onang, Kecamatan Tubo Sendana.
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
9
10